Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
096 Utusan Dari Akhirat
SATU
Hujan lebat mendera kawasan
Teluk Penanjung, Pangandaran. Angin dari laut bertiup kencang laksana hendak
membongkar gugusan bukit-bukit karang. Awan hitam yang terus menggantung di
udara membuat suasana menjadi gelap seperti .
“Dari arah timur teluk, di
antara deru hujan dan hembusan angin kencang serta gelegar ombak terdengar
derap kaki kuda yang sesekali dihantui oleh suara ringkikan keras. Tak selang
berapa lama, dalam cuaca yang sangat buruk itu di kejauhan tampak seekor kuda
betina hitam berlari seperti gila, melompat kesetanan dan meringkik tiada
henti. Penunggangnya seorang pemuda bertubuh kokoh mencekal tali kekang
erat-erat, berusaha mengendalikan binatang itu.
“Walet hitam!” si pemuda
berseru menyebut nama kuda tunggangannya. “Apa yang terjadi denganmu! Tahan
larimu! Kau hendak membunuhku?!” Dengan tangan kirinya pemuda ini berusaha
mengelus leher tunggangannya agar binatang itu menjadi jinak. Namun hal itu tak
bisa dilakukan karena kalau dia hanya memegang tali kekang kuda dengan satu
tangan, tubuhnya pasti akan terlempar jatuh.
“Kuda gila!” Akhirnya keluar
suara makian dari mulut pemuda itu ketika Walet Hitam masih terus lari kencang
tak karuan. Beberapa kali binatang ini berputar-putar di sekitar teluk. Setiap
tubuhnya terkena hantaman ombak Walet Hitam meringkik keras.
Sesaat binatang ini tampak
oleng seperti hendak tersungkur, namun dilain kejap dia berdiri tegak kembali
dan lari lagi seperti tadi.
“Kalau mau selamat aku harus
melompat!” pikir pemuda penunggang kuda. Namun dia merasa ragu. Salah lompat
Justru dia bisa celaka. Apa lagi di sekitar tempat itu penuh dengan gugusan
batu-batu karang. Maka pemuda ini berusaha mengarahkan lari kudanya ke arah
laut. Selagi berada di tempat yang dangkal dia akan pergunakan kesempatan untuk
melompat. Dia kerahkan tenaga menarik tali kekang. Leher dan kepala
tunggangannya memang tertarik ke kanan yakni ke arah laut, tapi tubuh dan empat
kaki binatang ini tetap tak bergeming dan terus membuat gerakan lari
berputar-putar.
Selagi pemuda itu cemas dan
kebingungan karena tidak tahu mau melakukan apa, sekonyong-konyong dari arah
bukit karang sebelah barat terdengar suara ringkikan keras.
Mendadak sontak Walet Hitam
yang seperti kemasukan setan itu hentikan larinya. Leher dijulurkan ke atas,
kepala mendongak. Sepasang matanya terpentang lebar. Mulutnya yang dipenuhi
busahan ludah terbuka. Lalu ringkikan aneh keluar dari mulut binatang ini!
“Huh!” Dalam herannya pemuda
di atas kuda palingkan kepala ke arah bukit karang di sebelah barat. Dalam
lebatnya curahan hujan dan gelapnya cuaca, samar-samar di puncak bukit karang
itu dia melihat seekor kuda dan penunggangnya. Si penunggang tampak
melambai-lambaikan tangannya tiada henti seolah-olah memanggil.
Pemuda di teluk perhatikan
kuda tunggangannya yang saat itu diam tegak tak bergerak. Bahkan matanya sejak
tadi tidak berkesip.
“Aneh, apa yang sebenarnya
terjadi dengan binatang ini! Siapa orang di atas bukit karang sana…?” si pemuda
bertanya-tanya dalam hati.
Kuda di atas bukit meringkik
keras. Dua telinga Walet Hitam bergerak. Ekornya berputar. Dua kaki depannya
diangkat lalu dari mulutnya keluar suara ringkikan keras seolah membalas
ringkik kuda di atas bukit.
Pemuda penunggang Walet Hitam
kembali memandang ke atas bukit karang di sebelah barat. Orang di atas kuda di
puncak bukit itu tampak masih terus melambai-lambaikan tangan
memanggil-manggil.
Tiba-tiba kilat menyambar,
guntur menggelegar. Pemuda penunggang Walet Hitam tersirap kaget. Kuda di
puncak bukit meringkik keras. Walet Hitam balas meringkik. Lalu binatang ini
memutar tubuhnya. Laksana anak panah lepas dari busurnya Walet Hitam lari ke
arah bukit karang di sebelah barat. Walau hampir keseluruhan bukit karang itu
tertutup lumut licin namun Walet Hitam berlari pesat menuju puncak bukit.
“Walet! Kau mau ke mana?!”
teriak pemuda penunggangnya. Dia menarik tali kekang kuda kuat-kuat berusaha
menahan lari binatang itu. Namun sia-sia saja. Walet Hitam tetap melesat menuju
puncak bukit, tempat di mana penunggang kuda di atas sana terus memanggil
dengan lambaian tangan.
Kuda di puncak bukit meringkik
keras. Walet Hitam membalas dengan ringkikan tak kalah kerasnya. Semakin dekat
ke puncak semakin jelas si pemuda melihat sosok kuda dan penunggang di atas
bukit itu. Kuda di puncak bukit karang itu adalah seekor kuda jantan coklat.
Penunggangnya seorang kakek bungkuk berpakaian putih, berwajah angker karena
selain sangat pucat seolah tak berdarah juga sangat cekung dan hanya tinggal
kulit pembalut tulang!
Tujuh langkah dari kuda jantan,
Walet Hitam si kuda betina hentikan larinya. Binatang ini rundukkan kepalanya
ke kiri dan ke kanan. Orang tua di atas kuda coklat tampak menyeringai lalu
kembali lambaikan tangannya. Walet Hitam bergerak maju lang-kah demi langkah
sementara pemuda di atas punggungnya merasakan keanehan yang menyelimuti
dirinya perlahan-lahan berubah menjadi rasa takut, terlebih ketika dia berada
begitu dekat dengan si kakek di atas kuda coklat.
Walet Hitam kini
berhadap-hadapan dengan kuda jantan itu. Dua binatang ini meringkik halus lalu
sama-sama sorongkan kepala masing-masing, saling menggeserkan leher dan saling
menggigit.
Sekonyong-konyong orang tua di
atas kuda jantan coklat keluarkan tawa panjang. Kepalanya mendongak. Sepasang
matanya yang cekung menatap ke atas seolah hendak menembus langit gelap
berawan.
“Kudamu berjodoh dengan
kudaku. Berarti kau pun berjodoh denganku anak muda!”
Si kakek berkata. Suaranya
terdengar aneh di telinga si pemuda, kecil jauh tapi menggaung seolah keluar
dari satu dasar jurang batu yang dalam.
“O…. or… orang tua… Siapakah
kau? Apa maksud ucapanmu tadi?” Si pemuda bertanya dengan suara gagap.
Orang tua di atas kuda coklat
menyeringai dan dua matanya memandang tajam pada si pemuda.
“Anak muda, sebelum aku
menjawab pertanyaanmu undurkan dulu kudamu empat langkah ke belakang, lalu
perhatikan bukit karang di sebelah kananmu.”
Si pemuda belum melakukan
sesuatu. Namun Walet Hitam seolah mengerti akan ucapan orang tua tadi sudah
lebih dulu bertindak mundur empat langkah.
“Walet Hitam berlaku aneh.
Siapa sebenarnya orang tua ini?!” ujar si pemuda dalam hati. Namun ingat akan
ucapan si orang tua dia segera memandang ke arah kanan. Kejut si pemuda bukan
alang kepalang. Di sebelah kanan, pada bagian bukit yang sedikit menurun dia
melihat sesosok tubuh terkapar dalam, keadaan tergelung kaku. Sosok ini
mengenakan pakaian putih. Tangan dan kakinya berwarna putih pucat. Ketika si
pemuda memperhatikan wajah orang itu rasa kagetnya seolah meledak. Wajah sosok
yang tergelimpang di atas bukit karang itu dipenuhi noda darah yang telah
membeku. Keluar dari liang hidung, mulut dan telinga serta kedua matanya. Namun
bukan kengerian ini yang membuat si pemuda terkejut besar.
“Anak muda, mendekat kembali
ke sini!”
Penunggang Walet Hitam
terkejut. Seperti tadi sebelum dia mengikuti perintah, kudanya telah lebih dulu
berjalan mendekati kuda coklat.
“Apa yang kau lihat anak
muda…?” tanya si orang tua.
“A… aku tidak mengerti….”
Orang tua itu tertawa panjang.
“Apa yang tidak kau mengerti
anak muda?”
“Hemmm…. Wajah orang tua yang
menggeletak di sana itu….”
“Ada apa dengan wajahnya?!”
“Wajahnya… wajahnya sama
dengan wajahmu…” jawab si pemuda.
Orang tua bermuka pucat dan
cekung dongakkan kepala, kembali tertawa panjang.
“Anak muda, dengar baik-baik.
Orang yang tadi kau lihat tergeletak di sebelah sana memang adalah diriku. Tapi
itu adalah aku yang telah jadi mayat. Yang telah jadi bangkai. Menemui ajal,
mati di tangan seorang musuh!”
“A… aku jadi tambah tidak
mengerti…” ujar si pemuda. Karena menganggap kakek berwajah angker itu bergurau
maka saat itu si pemuda lebih banyak merasa heran daripada takut.
“Orang tua. Kalau yang satu
itu memang dirimu yang telah jadi mayat, lalu kau yang di atas kuda coklat ini
siapakah adanya!”
Yang ditanya tertawa panjang.
“Mayat itu adalah mayat! Sosok
kasar bangkai manusia tanpa nyawa. Yang di atas kuda coklat ini adalah sosok
rohku!”
“Aku tidak mengerti….” Si
pemuda merasakan tengkuknya mendadak menjadi dingin.
“Anak muda, aku jelaskan pun
kau tidak bakal mengerti. Seribu penjelasan tidak akan dapat menembus akal
sehat. Satu contoh yang tidak dapat diterima akal, apakah kau sudah meneliti
keadaan sekitar puncak bukit karang di mana kita berada saat ini? Pakaianmu
basah kuyup. Dari langit hujan masih terus turun tapi apakah kau lihat hujan
jatuh dan membasahi tempat kita berada saat ini?!”
Si pemuda baru sadar. Dia
mendongak ke langit. Memandang berkeliling. “Astaga! Keanehan apa yang aku
hadapi saat ini!” kejutnya dalam hati.
Di hadapannya, kakek
berpakaian putih bermuka sepucat mayat itu bersama kuda tunggangannya sama
sekali tidak basah. Di langit hujan turun deras namun tak setetes pun jatuh di
tempat itu. Memandang sekeliling puncak bukit di mana dia berada, puncak batu
karang itu berada dalam keadaan kering, hanya terselimut lumut hijau lembab di
beberapa tempat!
“Tidak mungkin! Bagaimana ini
bisa terjadi?!” ujar si pemuda dalam hati lalu memandang ke arah orang tua di
atas kuda coklat.
“Kau melihat dan kau harus
berpikir. Tapi tidak perlu mengerti! Aku bertanya siapa namamu anak muda?!”
“Aku Layang Kemitir….”
“Hemmm…. Bukankah kau biasa
dipanggil orang dengan sebutan Raden Layang Kemitir. Karena kau adalah seorang
putera bangsawan terhormat di Banten, cucu seorang Pangeran satu kerajaan di
ujung barat tanah Jawa….”
Pemuda di atas kuda hitam
bernama Walet Hitam itu tercengang diam walau dalam hati dia bertanya-tanya.
“Aku tidak mengenal dirinya. Sebaliknya orang tua aneh ini tahu banyak tentang
diriku….”
“Anak muda, waktuku tidak
lama. Aku harus segera kembali ke alamku. Aku minta saat ini juga kau turun
dari kudamu. Melangkah ke tempat jenazahku tergeletak. Periksa mayatku sampai
kau menemukan sesuatu….”
“Orang tua…. Aku….” Ucapan si
pemuda terputus. Di hadapannya kuda coklat tunggangan si orang tua meringkik
keras. Lalu terjadilah satu keanehan yang benar-benar tidak bisa dipercayanya.
Pemuda ini menggosok kedua matanya berulang kali. Menjambak rambutnya kuat-kuat
dan menggigit bibirnya kencang-kencang,
“Aku tidak bermimpi…. Apa yang
aku lihat nyata adanya. Rambut kujambak terasa sakit. Bibir kugigit terasa luka
berdarah….” Paras si pemuda menjadi pucat, lututnya terasa goyah. Dia bertahan
sekuat tenaga agar tidak roboh!
*
* *
DUA
Di hadapan si pemuda, kuda
coklat dan sosok tubuh kakek bungkuk berpakaian putih itu tiba-tiba tampak
berubah menjadi samar. Kini seolah berbentuk asap putih yang meliuk-liuk kian
kemari dan perlahan-lahan naik ke udara.
“Anak muda, aku tidak suka
orang yang tidak menurut perintah. Turun dari kudamu dan pergi ke arah mayat
diriku. Lakukan apa yang aku katakan tadi….”
“Orang tua, aku….”
Di langit kilat menyambar dan
guruh menggelegar. Puncak bukit batu karang terasa bergetar. Kuda coklat yang
kini hanya berbentuk bayang-bayang dan seolah mengapung di atas bukit meringkik
keras. Walet Hitam kelihatan gelisah lalu ikut meringkik dan menaikkan sepasang
kaki depannya tinggi-tinggi hingga pemuda di atas punggungnya merosot jatuh dan
terbanting di atas bukit!
“Itu peringatan pertama! Kalau
aku memberi peringatan ke dua, berarti nyawamu putus meninggalkan badan!” Kakek
bungkuk di atas punggung kuda coklat mengancam. Seperti tadi suaranya seolah
datang dari satu jurang yang dalam. Dan saat itu sosoknya bersama sosok kuda
coklat melayang berputar-putar di udara.
Kalau tadi dirinya banyak
diselimuti oleh hal-hal mengherankan yang tidak masuk akalnya kini pemuda
bernama Layang Kemitir itu menjadi takut. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri
sambil sepasang matanya tidak lepas memandang pada sosok orang tua dan kuda
coklat yang samar berbentuk asap dan menggantung di udara berputar-putar.
Langkahnya terasa berat ketika
dia berjalan menghampiri sosok mayat yang menggeletak bergelung di puncak bukit
karang yang menurun. Apa yang dikatakan orang tua itu terngiang di kedua
telinga Layang Kemitir.”… turun dari kudamu. Melangkah ke tempat jenazahku
tergeletak. Periksa mayatku sampai kau menemukan sesuatu….”
Layang Kemitir sampai di
tempat mayat tergeletak. Perlahan-lahan dia berjongkok di samping mayat itu.
Sesaat diperhatikannya mayat itu dengan dada berdebar. Di atas bukit orang tua
penunggang kuda memandang ke bawah, memperhatikan setiap gerak yang dilakukan
si pemuda. Setelah memandang sejurus barulah Layang Kemitir menyadari bahwa
mayat yang tergeletak di hadapannya berada dalam keadaan utuh dan tidak berbau
busuk. Hanya kulitnya saja yang tampak putih tak berdarah. Dengan tangan kiri
gemetar Layang Kemitir membalikkan sosok mayat. Sesaat dia tersentak karena
mayat itu dingin sekali seolah barusan dia menyentuh es!
Mayat kini tergeletak
menelentang. Layang Kemitir pandangi mayat itu dengan dada berdebar. “Bagaimana
aku harus memeriksa…?” pikir si pemuda. “Aku bisa mati berjongkok kalau harus
menggerayangi mayat ini dengan kedua tanganku!” Sesaat pemuda ini jadi termangu
bingung bercampur ngeri.
“Layang Kemitir) Mengapa kau
tidak segera memeriksa jenazah? Jangan menunggu sampai aku habis kesabaran!”
Layang Kemitir memandang ke
atas. Orang tua berwajah seram yang kini hanya tinggal seolah asap atau
bayangan itu menatap tajam ke arahnya membuat si pemuda tambah bergidik.
“Sesuatu…. Aku harus menemukan
sesuatu…. Mungkin senjata….” Layang Kemitir pergunakan dua tangannya meraba ke
pinggang mayat. Polos, tak ada apa-apa. Sementara tangannya yang bersentuhan
dengan mayat terasa sedingin es. “Mungkin sebilah pedang sakti. Disisipkan di
punggung….” Pikir Layar Kemitir. Lalu dengan tangan gemetar mayat dimiringkan.
Tangannya kini meraba dan memeriksa di bagian punggung yang bungkuk. Dia tidak
menemukan apa-apa.
“Layang Kemitir! Lekas
selesaikan pekerjaanmu! Waktuku hampir habis!” Di udara suara orang tua itu
kembali menggema aneh, membuat Layang Kemitir semakin bingung dan takut. Mayat
dibalikkannya kembali. Pada saat itulah sebuah benda tersembul dari balik baju
di bagian dada mayat.
“Mungkin ini benda yang
dimaksudkan orang tua itu…” membatin Layang Kemitir. Dengan tangan gemetar
benda yang tersembul segera ditariknya. Begitu tangannya menyentuh benda itu di
langit kilat tiba-tiba menyambar. Guruh menggelegar. Puncak bukit karang
bergetar dan ringkik kuda coklat membahana. Di sebelah sana Walet Hitam ikut
pula meringkik.
“Ada hawa aneh mengalir dari
benda ini ke dalam tubuhku…” kata Layang Kemitir dengan hati ikut bergetar. Si
pemuda perhatikan benda yang dipegangnya dengan tangan gemetar. Ternyata sebuah
kitab tipis dari daun lontar yang sudah sangat tua, bernoda darah, lusuh dan
lembab. Pada sampul kitab tertera tulisan berbunyi Matahari. Sumber Segala
Kesaktian.
“Layang Kemitir!”
Di atas bukit karang
menggelegar suara orang tua bungkuk berpakaian putih, membuat Layang Kemitir
terdongak dan memandang ke atas.
“Kau ternyata berjodoh dengan
kitab itu! Langit dan bumi menjadi saksi! Dengar baik-baik anak muda! Mulai
saat ini kau harus melupakan masa silammu. Mulai saat ini kau tidak akan ingat
lagi masa silam dan siapa dirimu. Mulai saat ini nama Layang Kemitir harus kau
pendam ke pusar bumi. Mulai saat ini namamu adalah Utusan Dari Akhirat! Jika
ada orang bertanya siapa dirimu, siapa namamu. Maka jawabmu: adalah Utusan Dari
Akhirat! Kau dengar anak muda?”
“Aku… aku mendengar…” jawab
Layang Kemitir seperti berada dalam satu pengaruh kekuatan yang membuatnya
patuh.
“Siapa namamu anak muda?!”
“Aku Utusan Dari Akhirat!”
Orang tua di atas bukit
tertawa mengekeh.
“Utusan Dari Akhirat! Saat ini
kau memiliki sebuah kitab berisi ilmu kesaktian yang bersumber pada kekuatan
Matahari. Hanya ada empat manusia di atas jagat ini yang memiliki ilmu
kesaktian itu. Hanya empat! Setelah itu tak ada lagi yang berhak! Tiga dari
empat orang itu telah mati menemui ajal!”
“Siapa saja mereka itu, orang
tua…?” Layang Kemitir beranikan diri bertanya.
“Yang pertama adalah guruku.
Dia sudah lama mati. Yang kedua diriku sendiri yang semasa hidup disebut dengan
julukan Si Muka Bangkai alias Si Muka Setan. Walau belum lama tapi aku juga
sudah mati. Orang ke tiga adalah muridku berjuluk Pangeran Matahari, Dia juga
belum lama mati! Yang ke empat dan yang terakhir adalah dirimu. Utusan Dari
Akhirat!”
Layang Kemitir jadi ternganga
mendengar ucapan orang tua mengaku berjuluk Si Muka Bangkai atau Si Muka Mayat
itu. Lama dia menatap kitab lusuh di tangannya. Ketika dia hendak membuka
sampul penutup kitab tiba-tiba di atasnya si kakek membentak.
“Jangan kau berani membuka
kitab sakti itu sebelum aku pergi dari sini!”
“Maafkan aku, orang tua….”
Layang Kemitir cepat menutup kitab itu kembali.
“Sekarang kau dengar baik-baik
Utusan Dari Akhirat! Ada saat memberi. Ada saat memintal Aku telah memberikan
satu kitab berisi ilmu silat dan kesaktian yang sulit dicari tandingannya di
muka bumi ini! Sebagai imbalannya kau harus melakukan sesuatu untukku. Kau
dengar Utusan Dari Akhirat?!”
“Saya dengar….”
“Kau bisa memiliki ilmu silat
dan kesaktian di dalam kitab itu dalam waktu singkat. Karena aku tahu sebagai
cucu seorang Pangeran kau telah memiliki dasar ilmu silat serta penguasaan
tenaga dalam. Kau hanya membutuhkan waktu tiga kali purnama untuk mempelajari
kitab Matahari, Sumber Segala Kesaktian yang kini jadi milikmu. Setelah kau
menguasai ilmu silat dan kesaktian ini maka itulah saat bagimu untuk terjun ke
dalam rimba persilatan. Kau harus mencari tiga anak manusia dan harus membunuh
mereka. Dengar baik-baik Utusan Dari Akhirat! Orang pertama adalah seorang
pemuda luar biasa gemuk bernama Santiko, bergelar Bujang Gila Tapak Sakti. Dialah
bangsat yang telah membunuhku! Ingat baik-baik. Namanya Santiko! Gelarnya
Bujang Gila Tapak Sakti!” (Mengenai kematian Si Muka bangkai yang adalah guru
Pangeran Matahari harap baca serial Wiro Sableng Episode berjudul Kiamat Di
Pangandaran. Sedang perihal riwayat Bujang Gila harap baca serial Wiro Sableng
berjudul Bujang Gila Tapak Sakti).
“Orang ke dua yang harus kau
cari dan kau bunuh adalah seorang pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2121”
“Kalau aku boleh bertanya, siapakah
orang itu adanya?”
“Dia adalah sahabat Bujang
Gila Tapak Sakti, murid seorang nenek sakti di Gunung Gede bernama Sinto
Gendeng! Dialah bangsatnya yang telah membunuh muridku Pangeran Matahari! Ingat
nama dan gelar itu baik-baik. Wiro Sableng alias Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212!”
“Akan kuingat sesuai
perintahmu, orang tua…. Siapakah orang yang ke tiga?”
“Bangsat tua renta dikenal
dengan julukan Tua Gila!”
“Apa permusuhan atau kesalahan
orang ketiga itu?”
“Ketika terjadi pertempuran
besar di bukit ini beberapa waktu yang silam, bangsat tua itu ikut menanam
andil atas kematianku dan kematian muridku) Utusan dari Akhirat, aku sudah
bicara dan kau sudah mendengar. Apa ada sesuatu yang hendak kau sampaikan
sebelum aku pergi?!”
Layang Kemitir terdiam sesaat.
Lalu dia jatuhkan diri berlutut. “Orang tua, perkenankan aku memanggilmu Guru.
Perkenankan aku mengucapkan terima kasih atas kebaikanmu memberikan kitab
ini….”
Si Muka Bangkai tertawa dan
menjawab. “Kau boleh memanggil dan mengenang diriku sebagai Guru. Aku terima
ucapan terima kasihmu. Tetapi aku bukan orang baik seperti katamu. Ha… ha… ha!”
Suara tawa Si Muka Bangkai
yang membahana tiba-tiba lenyap. Layang Kemitir memandang ke atas. Orang tua
bungkuk itu dan kuda coklatnya tak ada lagi di atas bukit karangi
“Aku tidak bermimpi. Aku tidak
berada dalam sirapan ilmu hitam. Kitab ini bukti segala-galanya…” kata Layang
Kemitir dengan suara bergetar. Dia memandang lagi ke langit. Lalu perhatiannya
tertuju pada kitab yang dipegangnya. Agak gemetar sampul kitab itu dibukanya.
Di halaman pertama terpampang gambar matahari besar, dikelilingi tujuh garis
warna. Warna hitam, kuning dan merah tampak lebih lebar dan jelas dibanding
empat warna lainnya.
Di halaman ke dua terbaca
serangkaian tulisan berbunyi:
Hanya ada empat manusia yang
layak memiliki dan mempelajari kitab ini.
Yang pertama diriku sendiri
Yang kedua pewarisku Si Muka
Bangkai
Yang ke tiga murid Si Muka
Bangkai
Yang ke empat dan terakhir
Yang berjodoh dengan kitab ini
dan kusebut dengan nama Utusan
Dari Akhirat
Layang Kemitir diam terkesiap
beberapa lamanya. “Sukar kupercaya. Utusan Dari Akhirat agaknya telah
dipersiapkan sejak lama. Ternyata aku orangnya….” Perlahan-lahan pemuda itu
melanjutkan membuka halaman kitab berikutnya.
Di halaman itu tertulis: Jurus
sakti “Pukulan Gerhana Matahari”. Belum sempat Layang Kemitir meneruskan
membaca tiba-tiba kilat menyambar laksana membelah langit. Sesaat udara terang
benderang. Lalu gelegar guntur menggetarkan puncak bukit karang. Di sebelah
sana Walet Hitam meringkik keras. Mendadak hujan deras mencurah turun. Layang
Kemitir cepat masukkan kitab “Matahari, Sumber Segala Kesaktian” ke balik
pakaiannya. Lalu lari mendapatkan kuda hitamnya dan di bawah hujan lebat serta
tiupan angin kencang segera tinggalkan puncak bukit karang di sebelah barat
Teluk Penanjung Pangandaran itu.
Di atas kuda hitamnya Layang
Kemitir merasa heran tapi diam-diam juga merasa gembira. Waktu lari dan
melompat ke atas kuda tadi tubuhnya terasa ringan, gerakannya enteng dan gesit.
“Satu perubahan terjadi dengan diriku. Kitab sakti pemberian orang tua itu….
Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Pemuda itu berusaha mengingat-ingat
keadaan dirinya di masa lalu. Tapi aneh. Bagaimanapun dia berusaha dia tidak
mampu melakukannya.
“Siapa diriku ini sebenarnya…?
Siapa namaku? Dari mana aku berasal sebelumnya? Mengapa aku bisa berada di
puncak bukit karang tadi? Aku… aku Utusan Dari Akhirat?!” Bahkan Layang Kemitir
tidak mampu mengingat namanya sendiri. Di hadapannya kini membentang satu
kehidupan baru yang serba asing. Dia tidak sadar dan tidak tahu lagi kehidupan
masa lalunya.
*
* *
TIGA
Perahu kayu yang bocor dan
berisi air sampai dua pertiganya itu mendarat di bawah hujan lebat di pesisir
utara di satu tanjung yang sepi. Dua orang melompat turun laksana terbang. Dari
gerakan mereka jelas keduanya memiliki kepandaian tinggi. “
emalukan! Kalau tidak lekas
mencapai daratan, perahu bocor itu akan menenggelamkan kita di tengah laut!”
Salah satu dari dua orang yang barusan melompat turun berkata sambil menutup
wajahnya dengan dua telapak tangan.
Orang yang diajak bicara,
seorang nenek bertopi tinggi berbentuk eluk tanduk kerbau, mengenakan mantel
hitam yang robek salah satu ujungnya memandang ke tengah laut. Tanpa berpaling
pada orang di sebelahnya dia berkata.
“Iblis Pemalu, aku ingin tahu
apa alasanmu tidak mau melanjutkan perjalanan bersama-sama….”
“Nenek Sabai, aku malui Kau
kembali menanyakan hal itu. Sudah kubilang aku malu, kau juga bisa malu. Kita
sama-sama malu!”
“Aku tahu apa alasanmu yang
sebenarnya….”
“Coba kau bilang jika kau
tidak malu,” ujar orang yang dipanggil dengan sebutan Iblis Pemalu tadi.
“Kau tidak senang karena
maksud dan tujuan perjalananku selanjutnya di tanah Jawa ini adalah mencari dan
membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan gurunya nenek sakti bernama Sinto
Gendeng itu! Karena mereka adalah sahabat-sahabatmu. Bukankah begitu?!”
Iblis Pemalu terdiam tapi
cepat menjawab. “Tidak kujawab memalukan. Kalau kujawab juga memalukan! Ha… ha…
ha…”
“Kau tidak bisa berdusta
padaku Iblis Pemalu. Aku melihat sinar aneh di kedua matamu waktu aku memberi
tahu beberapa waktu lalu….”
Iblis Pemalu geleng-geleng
kepala. “Aku sudah bilang bagiku semua orang adalah sahabat. Aku merasa malu
kalau sampai mempunyai musuh. Urusanmu adalah urusanmu! Tugasmu adalah tugasmu!
Memalukan kalau aku mencampuri walau hanya sekedar memberi pendapat….”
“Hmmm, jadi sebenarnya kau
punya suatu pendapat atas tugasku itu?” tanya Sabai Nan Rancak.
“Tidak, itu juga tidak. Itu
juga memalukan bagiku! Aku hanya ingin mengatakan begini. Kau adalah, orang
baik. Setiap orang baik jika mau kembali ke hati nurani dan lubuk hatinya yang
terdalam, dia akan melakukan segala yang terbaik. Dia tidak akan terpengaruh
oleh siapapun. Hingga dalam hidupnya dia tidak pernah mendapat malu dan tidak
pernah memberi malu orang lain….”
Hati Sabai Nan Rancak menjadi
tidak enak mendengar ucapan Iblis Pemalu itu. Maka dia segera saja berkata.
“Baiklah sobatku Iblis Pemalu.
Jika kau tidak mau melanjutkan perjalanan ke selatan bersama-sama, tak jadi
apa. Aku senang selama ini kita bisa bersama, berbincang-bincang bertukar
pikiran. Mudah-mudahan di lain waktu kita bisa bertemu lagi….”
“Aku tidak akan malu jika
memang bisa bertemu denganmu lagi Nenek Sabai. Biarlah saat ini aku mengucapkan
selamat jalan padamu….”
“Bolehkah aku memelukmu?”
tanya Sabai Nan Rancak.
“Eh, apa maksudmu Nek?” tanya
Iblis Pemalu.
“Kita sahabat perjalanan.
Berpisah Saling berpelukan berbagi rasa adalah hal biasa saja….”
“Ah…. Hemmm….” Iblis Pemalu
jadi salah tingkah. Kedua telapak tangannya semakin ketat menutupi wajah. Dia
mundur satu langkah ketika si nenek mendekatinya. “Terima kasih kau mau berbuat
sesuatu yang menyentuh perasaanku. Tapi aku malu Nek. Sudah tua bangka begini
masih dipeluk orang. Masakan kau mau memelukku dan aku mau dipeluk olehmu?
Walaupun sebenarnya….”
“Walaupun sebenarnya apa?!”
tanya Sabai Nan Rancak ketika Iblis Pemalu memutuskan ucapannya.
“Sudahlah! Lama-lama bicara
salah melulu membuat aku tambah malu!” kata Iblis Pemalu. “Selamat jalan Nek.”
Sabai Nan Rancak pandangi
orang di hadapannya itu sesaat. “Dia tak mau kupeluk. Aneh, apa salahnya sesama
perempuan saling berpelukan jika berpisah. Atau mungkin dugaanku salah. Dia
bukan seorang….” Sabai Nan Rancak hentikan suara hatinya. Dia menarik nafas
dalam, mengangkat bahu lalu memutar tubuh tinggalkan tempat itu.
Lama setelah Sabai Nan Rancak
pergi baru Iblis Pemalu melangkah. Tapi dia tidak meninggalkan tempat itu
melainkan duduk di balik sebuah batu besar, menghadap ke tengah laut. Saat itu
hujan telah berhenti dan cuaca perlahan-lahan berubah cerah. Ternyata
pemandangan di tanjung itu indah sekali. Namun Iblis Pemalu tidak memperhatikan
atau menikmati pemandangan itu. Perlahan-lahan kedua tangannya yang selalu
dipergunakan menutupi wajahnya diturunkan.
“Laut biru… langit putih
bersih tapi pikiranku tidak padamu. Nenek Sabai Nan Rancak…. Siapa kau
sebenarnya? Apakah kau benar orang yang kucari selama ini? Jika benar apakah
akan terkabul harapanku untuk menemukan dia yang aku damba dan rindukan? Apakah
aku juga akan menemukan saudaraku yang hilang…? Tuhan, apa betul aku memiliki
seorang saudara? Kalau betul tunjukkan siapa dia, dimana dia berada. Dunia
begini lebar Manusia begini banyak. Tuhan, datangkanlah kebesaranMu padaku.
Tunjukkan dimana mereka berada. Pertemukan aku dengan orang-orang yang kudamba
dan kukasihi itu. Hanya kuasa dan kasihMulah yang mampu melakukan semua itu….
Datuk Bulu Lawang, kita memang tidak sedarah tidak sekandung. Namun kau lebih
dari seorang kakak bagiku. Aku minta maaf beribu maaf karena tidak dapat
membalaskan sakit hati kematianmu pada dua orang itu. Terus terang ada keraguan
di hatiku bahwa lantaran mereka kau menemui ajal. Aku menaruh kesangsian bahwa
orang-orang Lembah Akhirat mengatur semua ini…. Ya Tuhan beri petunjuk apa yang
harus aku lakukan. Kemana aku harus melangkah….” (Mengenai Datuk Bulu Lawang
harap baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku)
Tak terasa sepasang mata Iblis
Pemalu merebak basah. Air mata menyusuri kelopak matanya lalu menggelinding
jatuh ke pipi.
Tiba-tiba telinganya yang
tajam mendengar sesuatu di balik batu. Dia cepat melompat sambil menutupi
wajahnya dengan kedua tangan lalu bergerak ke balik batu besar. Dia hanya
sempat melihat sesosok bayangan berkelebat melarikan diri, menyelinap ke balik
batu-batu dan semak belukar di sebelah sana lalu lenyap. Walau hanya sekilas
namun Iblis Pemalu masih dapat mengenali.
“Sabai! Kau berani
mengintipku! Memalukan sekali!” Dada Iblis Pemalu tampak turun naik. Dalam hati
dia merasa khawatir. “Jangan-jangan dia mendengar keluh kesah diriku tadi…. Apa
yang harus kulakukan sekarang? Mengejarnya?!” Iblis Pemalu menarik nafas dalam
lalu kembali ke tempat duduknya semula di depan batu besar, menghadap ke tengah
laut.
Di lembah menurun yang sarat
dengan pohon-pohon kelapa itu Sabai Nan Rancak terduduk di tanah. Dia berusaha
menenteramkan diri, menekan guncangan hatinya yang membuat dadanya berdebar
keras.
“Iblis Pemalu…” desis si
nenek. “Ucapanmu banyak yang menyentuh hati dan perasaanku. Siapa kau
sebenarnya? Aku sempat mendengar desah ucapanmu tadi. Iblis Pemalu, kalau kau
bukannya…. Siapa yang kau cari selama ini? Diriku…? Pikiranku kacau. Hatiku
tidak tenteram. Hanya Tuhan yang tahu ada apa sebenarnya di antara kita. Aku
ingat waktu aku menyentuh lenganmu di atas perahu. Kau bukan seperti apa ujudmu
yang kelihatan. Lenganmu begitu mulus dan lembut. Kau…. Ya Tuhan…. Mungkinkah
dugaan ini? Kalau saja aku bisa melihat wajahmu yang selalu ditutupi itu. Aku yakin
di balik semua yang serba rahasia ini pasti ada seseorang yang mengetahui asal
muasal kejadian dan peristiwanya. Tapi siapa orangnya? Menantu jahanam itu tak
diketahui lagi dimana rimbanya. Lalu anakku Andam Suri, tak pernah kuketahui di
tanah mana kuburnya, di negeri mana makamnya. Nasib kalian malang benar…. Ah,
mau pecah kepalaku memikirkan semua ini! Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Meneruskan perjalanan atau menemuinya kembali di pantai? Menanyainya
habis-habisan?! Aku akan melakukan itu! Aku harus menemuinya. Aku harus bicara
dan menanyainya!”
Habis berkata begitu si nenek
cepat berdiri. Dia berlari ke arah pantai secepat yang bisa dilakukannya.
Sebentar saja dia sudah berada di belakang batu besar itu.
“Iblis Pemalu! Kau harus
berterus terang padaku!” seru Sabai Nan Rancak. Namun si nenek kecewa besar.
Ketika dia menyelinap di balik batu besar yang menghadap ke pantai, Iblis
Pemalu tidak ada lagi di tempat itu. Sabai Nan Rancak terduduk di pasir. Dia
tidak sadar berapa lama dia duduk di tempat itu sampai ujung jubah hitam dan
Mantel Sakti yang dikenakannya basah oleh percikan ombak yang memecah di pasir.
*
* *
EMPAT
Seperti dituturkan dalam
Episode sebelumnya (Jagal Iblis Makam Setan) orang-orang Lembah Akhirat
dibawahi pimpinan Pengiring Mayat Muka Merah berhasil membujuk Sika Sure
Jelantik hingga mau diajak ke Lembah Akhirat. Kedatangan salah satu dari
pembantunya yang membawa nenek sakti itu membuat Datuk Lembah Akhirat gembira
sekali. Dia langsung menemui Sika Sure Jelantik yang ditempatkan di sebuah
kamar bagus, dibaringkan di atas ranjang empuk.
“Nenek sakti tokoh besar dunia
persilatan Sika Sure Jelantik!” kata Datuk Lembah Akhirat. Dia berdiri di
samping ranjang lalu membungkuk memberi hormat. “Kita memang belum pernah
bertemu. Namun nama besarmu telah sejak lama mampir di telingaku….”
Sika Sure Jelantik kerenyitkan
kening. Matanya memandang menyipit tak berkedip. Di samping ranjang dimana dia
dibaringkan tegak seorang tinggi besar berjubah hitam. Kumis, jenggot dan
cambang bawuknya meliar menutupi wajahnya yang berwarna tiga. Merah, hitam dan
hijau. Lengannya yang tersembul dari ujung jubah juga penuh bulu. Demikian juga
dada dan lehernya.
“Apakah aku berhadapan dengan
penguasa Lembah Akhirat? Sang Datuk…?” Sika Sure Jelantik bertanya.
“Betul sekali….” „
“Ah, aku ingin membalas
penghormatanmu. Tapi kau lihat sendiri keadaanku….”
“Nenek Sika, tidak usah
repot-repot memakai peradatan. Berbaring saja seenakmu. Aku tahu kau dalam
keadaan sakit dan keracunan. Pembantuku Si Muka Merah telah memberitahu apa
yang kau alami. Sungguh orang-orang golongan putih belakangan ini bertindak
diluar batas. Kawan segolongan dianiaya seperti ini…. Tapi kau tak usah kawatir
Nenek Sika. Aku akan menolongmu. Pertama sekali kau harus meneguk sejenis obat
agar racun yang telah menjalar di dalam tubuhmu musnah!”
Habis berkata begitu Datuk
Lembah Akhirat bertepuk dua kali. Seorang lelaki yang muka dan rambutnya dicat
hijau muncul membawa sebuah poci kecil terbuat dari perak, Poci itu
diberikannya pada Datuk Lembah Akhirat. Dengan cepat sang Datuk membuka penutup
poci. Asap tipis berwarna biru mengepul keluar dari dalam poci yang terbuka.
Sekali meniup maka asap itupun sirna.
“Nenek Sika, silakan kau teguk
obat ini sampai habis,” kata Datuk Lembah Akhirat seraya mendekatkan bibir poci
ke mulut si nenek sementara pembantu bermuka hijau meninggikan kepala Sika Sure
Jelantik. Si nenek mencium bau harum dari hawa hangat. Karenanya tanpa ragu dia
segera meneguk cairan yang ada dalam poci sampai habis. Wajahnya yang semula
pucat tampak agak bercahaya.
“Bagaimana rasanya obat yang
barusan kau teguk?” tanya Datuk Lembah Akhirat.
“Enak, manis. Rasanya bukan
seperti obat…” jawab Sika Sure Jelantik.
Datuk Lembah Akhirat tertawa
dan kerlingkan matanya pada Pengiring Mayat Muka Merah yang tegak di
sampingnya.
“Aku selalu memberikan obat
yang terbaik dan termujarab untuk seorang sahabat sepertimu!” kata Datuk Lembah
Akhirat lalu poci yang telah kosong dikembalikannya pada pembantunya seraya
berkata. “Cepat bawakan kemari bubuk putih penyembuh luka pemusnah racun ular!”
Pembantu bermuka hijau itu
cepat keluar. Tak lama kemudian dia kembali membawa sebuah batok kelapa berisi
bubuk berwarna putih.
“Nenek Sika sahabatku,” kata
Datuk Lembah Akhirat pula. “Racun dalam darahmu telah musnah. Namun masih ada
racun yang menempel di kedua kakimu yang patah. Aku tidak akan mengikis dan
membuang tumbukan daun beracun yang ada di kedua kakimu. Sungguh kejam
perbuatan orang terhadapmu! Nenek Sika, bubuk putih ini akan menawarkan racun
tumbukan daun. Sekaligus mengobati tulang yang patah dan daging yang terluka.
Kau tak usah kawatir. Tak ada rasa sakit. Malah kau akan merasa kedua kakimu
dingin sejuk….”
Datuk Lembah Akhirat
memberikan isyarat pada pembantu di sebelahnya. Si Muka Hijau ini segera
menaburkan bubuk putih di dalam batok kelapa ke atas kaki kiri kanan Sika Sure
Jelantik.
“Nah, apa kataku. Kau sama
sekali tidak merasa sakit bukan, Nenek Sika?”
“Tidak…. Seperti katamu, aku
malah merasa sejuk pada kedua kaki celaka ini!” jawab Sika Sure Jelantik lalu
tertawa mengekeh.
Setelah menaburkan bubuk putih
itu si pembantu segera keluar dari ruangan. Datuk Lembah Akhirat pegang lengan
si nenek. Lalu berkata. “Kau beruntung cepat datang ke sini. Terlambat sedikit
saja aku tak mungkin menolongmu….”
“Aku berterima kasih padamu.
Juga pada pembantumu yang bermuka merah itu!” jawab Sika Sure Jelantik seraya
memandang pada Pengiring Mayat Muka Merah. Orang ini tersenyum dan anggukkan
kepalanya.
“Dalam waktu dua hari tulangmu
yang patah akan bertaut. Luka di kedua kakimu akan sembuh. Namun kau butuh tiga
hari untuk istirahat sebelum kau benar-benar pulih dan boleh berjalan….”
“Terima kasih…” kata Sika Sure
Jelantik senang sekali. Sebenarnya nenek ini sama sekali tidak mengetahui bahwa
obat minum yang tadi ditelannya hanyalah air gula biasa sedang bubuk yang
ditebarkan di kedua kakinya adalah semacam tawas. Tidak diobatipun kedua
kakinya bakal sembuh dalam waktu beberapa hari lagi yaitu berkat obat daun
tumbuk yang diberikan oleh Tua Gila. Si nenek tidak tahu kalau orang sudah
menipu dan menjalankan jerat atas dirinya.
“Nenek Sika, sebetulnya banyak
yang akan aku bicarakan denganmu. Tapi kau butuh istirahat. Aku akan kembali
menemuimu dua hari lagi….”
“Datuk Lembah Akhirat, walau
kedua kakiku sakit tapi aku tak kurang suatu apa. Jika memang ada hal-hal yang
ingin kau bicarakan aku mempersilakan….”
“Nenek Sika, kau sungguh baik.
Kalau kau memang suka kita bicara sekarang aku merasa sangat gembira.” kata
Datuk Lembah Akhirat pula. Lalu dia bertanya. “Nenek Sika, mengapa kau
mengalami nasib buruk seperti ini. Apa benar tokoh yang berjuluk tua Gila itu
yang mencelakai dirimu?”
“Aku berkelahi melawan seorang
sakti aneh berjuluk Iblis Pemalu…. Dia yang membuat kedua kakiku cidera begini
rupa.” Menerangkan Sika Sure Jelantik.
“Iblis Pemalu! Satu tokoh yang
sebelumnya tak dikenai. Begitu muncul melakukan berbagai kejahatan aneh. Aku
mendengar dari pembantuku Pengiring Mayat Muka Merah, bahwa seorang tokoh
bergelar Tua Gila katanya berusaha menolongmu. Padahal yang diberikannya padamu
bukannya obat melainkan racun! Heran, mengapa Tua Gila berbuat sejahat itu.
Padahal aku tahu betul dia adalah seorang tokoh silat golongan putih.”
“Antara aku dan dia ada dendam
kesumat lama yang tidak akan selesai sebelum salah satu dari kami menemui
ajal!”
“Hemmm…. Kalau begitu
ceritanya, Tua Gila patut menerima hukuman yang setimpal atas kejahatannya!”
Datuk Lembah Akhirat mulai membakar.
“Hukuman memang sudah aku
tetapkan baginya Datuk. Begitu aku sembuh, aku akan segera mencarinya dan
membunuhnya!”
“Sahabatku Nenek Sika Sure
Jelantik. Dalam urusan balas dendam jangan bertindak terburu-buru. Kita harus
punya perhitungan masak. Ilmu kesaktian tidak ada gunanya kalau tidak disertai
akal pikiran. Aku dan orang-orangku akan membantumu menyelesaikan urusan dengan
Tua Gila. Namun, aku punya satu titipan untukmu…. Ah, mungkin hal ini terlalu
cepat aku katakah. Biar kita bicarakan hal lain lebih dulu….”
“Datuk, aku dengar tokoh besar
berjuluk Dewa Sedih telah bergabung denganmu….”
“Betul sekali sahabatku. Dia
tengah bersiap-siap menjalankan satu tugas besar. Membunuh seorang pemuda
berjuluk Pendekar 212….”
“Hemmm…. Pemuda itu adalah
murid Tua Gila. Aku pernah mencoba menggebuknya tapi lolos. Pendekar 212 memang
pantas dilenyapkan dari muka bumi!” kata Sika Sure Jelantik pula.
“Aku gembira kita satu
pendapat untuk melenyapkan Pendekar 212….”
“Datuk Lembah Akhirat, tadi
kau menyebut soal titipan. Aku tidak mengerti. Apakah kau mau menerangkan?”
“Sebenarnya ini hanya akan
merepotkanmu saja. Namun aku terpaksa meminta. Maukah kau menolongku melakukan
sesuatu?”
“Datuk, kau telah
menyelamatkan nyawaku. Apapun yang kau minta dan suruh akan aku penuhi kalau
aku memang mampu melakukannya….”
“Aku ingin kau membunuh
seorang kakek berjuluk Kakek Segala Tahu. Orang ini adalah tokoh golongan putih
sesat yang ilmu kepandaiannya bisa mencelakai Lembah Akhirat…. Orang ini adalah
sahabat Pendekar 212, sahabat Tua Gila….”
“Datuk, aku bersedia dibawa ke
sini. Kau dan orang-orangmu telah menyelamatkan diriku. Apa lagi yang terbaik
bagiku untuk membalas budi selain bergabung denganmu dan melakukan apa yang kau
inginkan!”
“Nenek Sika, aku gembira
mendengar ucapanmu. Benar-benar gembira…” kata Datuk Lembah Akhirat. “Apakah
pembantuku Pengiring Mayat Muka Merah pernah menceritakan padamu tentang sebuah
kitab sakti bernama Kitab Wasiat Malaikat?”
Sika Sure Jelantik anggukkan
kepala. Sepasang matanya membesar.
“Kitab itu ada padaku. Semalam
aku bermimpi. Mendapat semacam petunjuk bahwa kelak kitab itu harus kuserahkan
padamu karena hanya kaulah yang berjodoh dengan kitab sakti tersebut.”
Sika Sure Jelantik seperti mau
melompat mendengar kata-kata Datuk Lembah Akhirat itu. “Datuk, aku benar-benar
berterima kasih padamu….”
“Aku harus pergi Nenek Sika.
Dua hari lagi aku kembali. Kita perlu bicara lagi sebelum kau meninggalkan
tempat ini.” Habis berkata begitu Datuk Lembah Akhirat memberi isyarat pada
Pengiring Mayat Muka Merah. Kedua orang ini lalu tinggalkan ruangan itu.
Begitu berada di luar ruangan
Datuk Lembah Akhirat berbalik pada Pengiring Mayat Muka Merah dan bertanya.
“Apakah mata-mata kita yang menyelidik kedatangan Sabai Nan Rancak telah
kembali memberikan laporan?”
“Sampai saat ini belum Datuk.
Kita tunggu sampai dua hari dimuka….”
“Pengiring Mayat Muka Hijau
masih belum kembali?”
“Belum Datuk. Mungkin kita
perlu mengutus orang untuk menyelidik apa yang terjadi dengan dirinya….”
“Kuharap kau lekas mengatur
hal itu. Mata-mata kita yang lain memberitahu bahwa banyak terlihat gerakan
orang-orang tak dikenal sekitar Telaga Gajahmungkur. Harap kau beritahu
Pengiring Mayat “Muka Hitam agar segera menghadapku. Hal itu perlu dibicarakan
karena orang-orang yang muncul di sekitar telaga adalah diluar rencana kita!”
“Perintah akan saya lakukan
Datuk….”
“Ada satu hal lagi. Beberapa
hari lalu mata-mata kita yang bertugas di Selat Sunda menyirap kabar tentang
munculnya seorang tokoh luar biasa yang menamakan dirinya Jagal Iblis Dari
Makam Setan…. Selidiki siapa dia adanya dan kita harus bisa membuat dia
bergabung di Lembah Akhirat ini!”
“Perintah akan saya lakukan
Datuk…” jawab Pengiring Mayat Muka Merah.
*
* *
LIMA
Pada siang hari pemandangan di
puncak bukit batu itu indah sekali. Sejauh puluhan tombak di daratan mata akan
melihat bukit batu berwarna merah berseling coklat. Di sebelah depan membentang
laut biru dihias oleh tebaran pulau-pulau batu yang didibawah sentuhan sinar
matahari memantulkan warna-warna aneh dan bagus. Namun pada malam hari seperti
saat itu semua keindahan itu sirna ditelan kegelapan.
Ada tujuh puncak batu merah
bersusun membentuk setengah lingkaran, seolah membentengi teluk Parangtritis.
Pada malam yang dingin itu, di salah satu puncak batu kelihatan sinar terang
nyala api. Ternyata ada orang membuat api unggun di tempat itu. Dua orang gadis
berparas jelita duduk mengelilingi perapian. Sebentar-sebentar mereka memandang
ke arah legukan dinding batu yang membentuk sebuah goa kecil. Cahaya nyala api
yang bergoyang-goyang di wajah dan tubuh mereka membuat paras masing-masing
tampak aneh tetapi lebih menawan. Apalagi saat itu mereka mengenakan sebentuk
pakaian ketat bermanik-manik yang terbelah tinggi di kedua sisinya. Sepertinya
dua gadis ini tengah menunggu kemunculan seseorang.
Setelah lama menunggu,
keduanya mulai merasa tidak sabaran. Salah seorang di antara mereka berbisik
pada temannya.
“Aninia, menurutmu apakah Ratu
akan kukuh pada pendiriannya untuk memilih tetap tinggal di alamnya yang
sekarang?”
Gadis bernama Aninia tak
segera menjawab. Dia seperti termenung. Selang beberapa ketika baru terdengar
jawabannya. Suaranya perlahan. “Sulit aku menduga. Dunia kita yang sekarang
bagaimanapun indahnya namun tetap bukan merupakan suatu alam yang wajar. Daya
tarik dunia luar jauh lebih besar. Seandainya Ratu memilih tetap hidup di alam
yang sekarang, apakah kau akan mengikuti?”
“Kau sulit menduga, aku sulit
menjawab. Kita semua sangat dekat dengan Ratu. Agaknya kita hanya akan mengikut
apa pilihannya. Jika dia bertahan, berarti kita tetap bersamanya. Jika dia
memilih kehidupan yang baru, kita juga akan mengikuti. Rasa-rasanya sudah
terlalu kasip bagi kita untuk kembali ke dunia luar. Tapi lebih baik semua kita
serahkah pada putusan Ratu saja….”
“Aku setuju pendapatmu,
Magini. Tetapi apakah….” Aninia tidak meneruskan ucapannya. Sikutnya digeserkan
ke pinggang temannya.
Saat itu dari goa kecil di
lamping batu merah melangkah keluar seorang perempuan muda berwajah sangat
cantik. Celana panjang ringkas dan jubah dalam selutut berwarna hitam yang
dikenakannya membuat kulitnya yang putih lebih berkesan dan menambah
keanggunannya. Rambut panjangnya dibiarkan tergesar lepas di punggung.
Perempuan muda ini melangkah sambil membawa baju biru bertahta manik-manik yang
dilipat rapi di atas mana terletak sebuah kalung, mahkota dan anting-anting
serta: gelang yang semuanya terbuat dari kerang berwarna biru.
Magini dan Aninia sama-sama
tercengang kagum menyaksikan kemunculan perempuan muda yang selama ini menjadi
pimpinan mereka dan dipanggil dengan sebutan Ratu Duyung. Sebelumnya mereka
selalu melihat Sang Ratu dalam pakaian yang ditaburi manik-manik putih
berkilauan, rambut digulung dan diberi mahkota, wajah dihias. Kini semuanya
berganti. Dalam pakaian serba hitam, rambut dibiarkan lepas begitu rupa dan
tanpa riasan kecantikan Ratu Duyung kelihatan justru lebih asli dan menonjol.
Terlebih sepasang bola matanya yang berwarna biru, indah sekali untuk
dipandang.
Ratu Duyung melangkah menuju
perapian lalu duduk di depan ke dua anak buahnya.
“Magini, pakaian, mahkota,
kalung, gelang, dan anting-anting ini harap kau bawa kembali ke tempat kita.
Simpan baik-baik dalam kamarku…. Aku tidak tahu sampai berapa lama akan berada
di sini. Tidak dapat aku pastikan berapa lama aku akan mendapat petunjuk dari
Yang Kuasa serta berhubungan dengan Maha Ratu Samudera. Karena itu kalian
berdua lekas kembali ke tempat kita….”
“Ratu, kami berdua siap
menunggu sampai kapanpun Ratu selesai melakukan penyepian diri ini….” kata
Magini sambil menerima pakaian dan barang perhiasan yang diserahkan Ratu Duyung
padanya.
“Kalian para pembantuku yang
setia dan baik hati. Namun ada kalanya kesetiaan dan kebaikan itu tidak perlu
dijadikan hal yang utama. Apapun hasil yang akan kudapat, aku akan kembali
untuk memberitahu. Bertahun-tahun, bahkan mungkin puluhan tahun selama ini kita
berada di alam yang serba gaib dan aneh tanpa diri kita dimakan oleh usia. Ini
antara lain karena perbedaan perhitungan dari antara dunia luar dan dunia kita.
Kalau kita memasuki dunia luar, semua hal itu akan berubah. Siapkah kita
menghadapi perubahan itu?”
Dua gadis di hadapan Sang Ratu
lama terdiam. Namun, akhirnya Aninia membuka mulut. “Putusan apapun yang Ratu
ambil, kami akan mengikuti dan rela menanggung segala akibatnya.”
“Kalau begitu, dan kalau tak
ada lagi hal lain yang hendak kalian tanyakan maka sebelum pergi ada satu tugas
yang harus kalian lakukan.”
“Kami siap menjalankannya
Ratu,” jawab Magini dan Aninia berbarengan.
Dari balik jubah hitamnya Ratu
Duyung mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah seuntai kalung terbuat
dari perak dan memiliki mata sebuah batu berwarna hijau pekat tetapi redup.
“Kalian dengar baik-baik. Aku
yakin kalung ini adalah sebuah benda sangat berharga, paling tidak bagi
pemiliknya. Kalung ini adalah milik seorang sahabat, seorang tokoh silat
berjuluk Tua Gila. Ketika dia menemui malapetaka di tengah laut tempo hari, kalung
itu terpisah dari dirinya. Karena dia dalam keadaan pingsan, kalung aku amankan
dan simpan di satu tempat. Sayangnya ketika dia pergi aku tidak menemuinya.
Kalung ini tertinggal. Berarti kalung ini harus aku kembalikan padanya. Aku
tidak tahu akan berapa lama berada di sini. Karena itu aku menugaskan kalian
untuk mencari Tua Gila dan menyerahkan kalung ini padanya. Kalian pernah
melihat orang tua itu. Jadi aku tak perlu memberitahu ciri-cirinya. Siapa yang
akan menyimpan dan membawa kalung ini?”
Aninia beringsut ke depan.
Setengah membungkuk dia berkata. “Karena Magini akan membawa pakaian dan
seperangkat perhiasan milik Ratu, biar saya yang membawa kalung itu….”
Ratu Duyung mengangguk lalu
serahkan kalung perak bermata hijau yang bukan lain adalah Kalung Permata
Kejora. Seperti dituturkan dalam Episode I (Tua Gila Dari Andalas) Raja Pulau
Sipatoka yakni Rajo Tuo Datuk Paduko Intan memberikan kalung itu pada Tua Gila
yang dikenalnya dengan nama Wiro Sableng. Kalung tersebut merupakan satu
senjata sakti mandraguna yang sebenarnya harus diberikan pada puterinya yaitu
Andam Suri dan merupakan satu-satunya senjata yang sanggup membunuh Tua Gila.
Namun sebagaimana diriwayatkan Andam Suri dikabarkan menemui kematian. Karena
itu Datuk Paduko Intan meminta bantuan Tua Gila untuk mengembalikan benda itu
pada Sabai Nan Rancak, tanpa dia mengetahui bahwa orang tua di hadapannya saat
itu adalah Tua Gila dan Sabai Nan Rancak adalah kekasih Tua Gila yang berniat
membunuh Tua Gilai Karena tidak ingin rahasia dirinya terbuka maka Tua Gila
menerima kalung itu dari Rajo Tua Datuk Paduko Intan yang sebenarnya adalah
menantunya sendiri.
“Jaga kalung ini baik-baik
seperti kau menjaga diri dan nyawamu sendiri, Aninia. Jangan kembali ke alam
kita sebelum kau menemui Tua Gila dan menyerahkan kalung ini padanya!
Berdasarkan penglihatanku melalui Cermin Sakti aku ketahui bahwa beberapa waktu
lalu Tua Gila terlihat bersama Pendekar 212 Wiro Sableng. Mereka berada di satu
kaki bukit di kawasan selatan. Tua Gila kemungkinan besar menuju ke sebuah
lembah di sebut Lembah Akhirat tak berapa jauh dari Telaga Gajahmungkur. Sedang
Pendekar 212 tak jelas ke mana tujuannya. Namun kuperkirakan dia tidak berada
jauh dari kawasan telaga besar itu…. Aninia, terima kalung ini.”
“Pesan Ratu saya dengar.
Perintah Ratu akan saya jalankan…” jawab Aninia. Lalu dia ulurkan kedua
tangannya. Telapak tangan dikembangkan untuk menyambut Kalung Permata Kejora
itu.
Namun tiba-tiba, secara tidak
terduga berkelebat satu bayangan hitam. Aninia terpelanting dan terkapar di
bebatuan. Magini ikut terbanting lalu terguling sampai dua tombak. Ratu Duyung
keluarkan pekikan keras. Dengan cepat dia menarik pulang tangan kanannya yang
barusan siap menjatuhkan Kalung Permata Kejora ke atas tangan Aninia. Lalu
dengan satu gerakan kilat dia melesat ke belakang sambil tangan kirinya
menghantam ke arah perapian. Kayu-kayu bernyala yang menerangi tempat itu
hancur berpelantingan. Serta merta puncak bukit batu merah itu diselubungi
kegelapan!
*
* *
ENAM
Walau tubuh mereka terasa
sakit tak karuan, jantung berdebar dan darah mengalir kacau namun Magini dan
Aninia cepat berdiri. Dua jari tangan masing-masing diacungkan tepat-tepat ke
depan. Ujung jari dua gadis ini tampak memancarkan sinar biru. Melihat ini Ratu
Duyung cepat memberi isyarat agar dua anak buahnya tidak melakukan serangan.
Di dalam gelap, sejarak
sembilan langkah dari tempatnya berdiri Ratu Duyung melihat sosok tinggi
seorang perempuan tua berambut putih, bertopi berbentuk tanduk kerbau,
mengenakan mantel hitam.
“Orang tua tak dikenal, siapa
kau?!” Ratu Duyung menegur.
Yang ditanya tidak segera
menjawab. Rupanya dia masih terheran mungkin juga bercampur kagum atau jengkel
karena tidak menyangka. Kemunculannya di bukit batu itu tidak diketahui oleh
tiga orang gadis. Tapi mengapa gerakan kilatnya tadi tidak mampu merampas
Kalung Permata Kejora dari tangan gadis cantik berpakaian serba hitam itu?
Diam-diam dia juga bertanya-tanya siapa adanya ketiga orang itu karena dia
hanya sempat mendengar sebagian terakhir dari percakapan mereka sedang
perhatiannya tertuju penuh pada Kalung Permata Kejora.
“Kalau kau tidak Segera
menjawab, jelas kau adalah seorang jahat yang hendak mencuri atau merampok
barang milik orang laini” ujar Ratu Duyung dengan suara keras.
Sosok orang bermantel dalam
gelap maju selangkah. Dari tenggorokannya keluar suara menggeram.
“Siapa diriku kau dan
orang-orangmu tak perlu tahu. Aku datang dengan satu maksud. Maksud berubah
menjadi perintahi Serahkan Kalung Permata Kejora padaku!”
Orang yang bicara julurkan
tangan kanannya membuat gerakan meminta. Dia bukan lain adalah Sabai Nan
Rancak. Ketika tadi dia menyusuri pantai, dari kejauhan dia melihat nyala api
di salah satu puncak bukit batu. Penuh rasa ingin tahu, nenek sakti dari
Andalas ini segera mendaki bebukitan batu merah di tepi pantai untuk
menyelidik. Si nenek terkejut besar ketika sampai di puncak bukit yang
diterangi nyala perapian bakal menemukan satu hal yang tidak pernah diduganya.
Seorang gadis cantik berpakaian serba hitam yang dipanggil dengan sebutan Ratu
tengah menyerahkan sebentuk kalung perak bermata hijau pada seorang gadis yang
duduk bersimpuh di hadapannya. Keterkejutan ini adalah karena kalung itu
dikenalinya bukan lain adalah Kalung Permata Kejora yang selama ini lenyap tak
diketahui di mana rimbanya.
“Hmmmm….” Ratu Duyung
bergumam. “Kau meminta barang yang bukan milikmu! Kau memerintahkan aku
menyerahkan sesuatu yang bukan punyamu. Apa namanya ini? Rampok? Begal di malam
hari?!”
“Terserah kau mau menyebut
apa! Tapi dengar baik-baik! Kau masih muda belia. Masa depanmu masih panjang.
Tentu banyak kebahagiaan dunia yang belum kau rasakan….”
“Eh, apa maksudmu?!” bentak
Ratu Duyung.
“Maksudku kalau kau tidak
segera menyerahkan kalung bermata hijau itu maka umurmu hanya sampai malam hari
ini saja. Selanjutnya rohmu akan gentayangan tak tahu juntrungan!” Ratu Duyung
tertawa panjang.
Aninia yang tidak sabar
berseru. “Ratu! Biar aku membunuh tua bangka gila yang kesasar ini sekarang
juga!”
“Hmmm! Jadi dia seorang Ratu
rupanya. Ratu apa?!” ujar Sabai Nan Rancak lalu balas tertawa lebih keras.
“Kalung ini bukan milikmu!
Mengapa kau hendak merampasnya?!” Ratu Duyung bertanya dengan suara lantang.
Diam-diam dia luruskan jari telunjuk tangan kirinya sementara Kalung Permata
Kejora dipegangnya erat-erat di tangan kanan.
“Kau tahu apa soal kalung itu!
Benda itu lenyap sejak bertahun-tahun! Aku pemiliknya! Jadi harus dikembalikan
padaku!”
“Siapa percaya pada cerita
bohongmu! Aku tahu sekali riwayat kalung ini!”
“Gadis setan! Kau tahu apa mengenai
riwayat kalung itu!” hardik Sabai Nan Rancak.
“Nenek gila!” balas Ratu
Duyung. “Kalung ini adalah milik seorang sahabatku bernama Tua Gilai
Kepadanyalah aku akan mengembalikan! Bukan padamu! Monyet tua kesasar dan
temaha harta orang lain!”
Marahlah Sabai Nan Rancak
mendengar ucapan caci maki Ratu Duyung itu. Dia angkat tangan kanannya lalu
laksana kilat lepaskan pukulan Kipas Neraka ke arah Ratu Duyung. Satu sinar
merah melesat ke depan lalu mengembang membentuk kipas.
“Ratu awasi” teriak Magini dan
Aninia. Dua gadis anak buah Ratu Duyung segera angkat tangan kanan
masing-masing. Ratu Duyung tak tinggal diam.
Tiga larik sinar biru menderu
menghantam Sabai Nan Rancak dari tiga jurusan. Inilah ilmu kesaktian paling
hebat yang dimiliki oleh Ratu Duyung dan anak buahnya. Jangankan tubuh manusia,
tembok batu setebal apapun akan jebol dan hancur berentakan dilanda sinar biru
itu.
Sabai Nan Rancak yang tidak
tahu siapa adanya Ratu Duyung dan juga tidak pernah mendengar kehebatan ilmu
Ratu dari alam gaib ini walaupun kaget dapatkan dirinya dihantam serangan dari
tiga jurusan, namun tidak menarik seranganya. Dia melompat sambil menambah
dorongan kekuatan tenaga dalam. Pukulan sakti Kipas Neraka yang dilepasnya
bersibak ke kiri dan ke kanan. Namun baru saja sinar pukulan maut ini menebar
membentuk kipas untuk menghantam tiga lawan sekaligus, bersamaan dengan itu
tiga larik sinar biru sampai melabrak.
“Bummm!”
“Bummm!”
“Bummm!”
Tiga dentuman keras
mengguncang. Bukit batu merah bergetar hebat. Dua nyala api tampak di lamping
bukit batu merah yang terkena cipratan pukulan Kipas Neraka sebelum pukulan
sakti ini terbelah-belah dan sirna berentakan. Sabai Nan Rancak sendiri tampak
jatuh berlutut. Tubuhnya bergetar keras. Wajah putihnya yang tua keriputan tampak
pucat seolah tak berdarah. Sadar kalau dia tidak menderita cidera apa-apa si
nenek cepat bangkit berdiri.
Saat itu di sebelah kiri
Aninia tampak mencoba bangun terbungkuk-bungkuk. Namun gadis ini kembali roboh.
Waktu terjadi bentrokan pukulan sakti tadi dia berada paling dekat dengan Sabai
Nan Rancak hingga hantaman kekuatan lawan mendera tubuhnya paling telak. Darah
tampak mengucur dari mulutnya. Untuk beberapa lamanya gadis ini terkapar di
atas batu tanpa bisa berkutik. Agaknya nyawanya tidak tertolong lagi.
Di sebelah Magini mengerang
panjang. Walau darah juga keluar dari mulutnya namun lukanya tidak seberapa
parah. Gadis ini masih mampu bangkit dan kumpulkan kekuatan. Kedua tangannya
diangkat tanda dia hendak menyerang kembali.
Tujuh langkah di hadapan Sabai
Nan Rancak, Ratu Duyung tersandar ke dinding batu. Mukanya tampak pucat pasi.
Dadanya berdebar kencang dan urat-urat besar di lehernya yang jenjang bergerak
turun naik.
“Perempuan tual Kenapa kau
menjatuhkan tangan jahat terhadap kami?!” ujar Ratu Duyung.
“Eh, kau masih bisa bicara!
Kukira sudah menemui ajali Ini terima bagianmu sekali lagi!” kata Sabai Nan
Rancak. Lalu untuk ke dua kalinya si nenek lancarkan pukulan sakti Kipas
Neraka.
“Wuss!”
“Wuss! Wussss!”
“Ratu awasi Lekas menyingkir!”
Yang berteriak adalah Magini.
Sambil lepaskan dua serangan sinar biru gadis ini melompat ke tengah kalangan
pertempuran. Karena menyangka pimpinannya dalam keadaan cidera dan tidak
berdaya maka gadis ini melesat menghalang arus serangan sinar merah pukulan
lawan. Maksud baiknya hendak menolong sang Ratu hanya mengantarkannya ke alam
kematian.
Tubuhnya mencelat tiga tombak
ke udara. Jatuh di bebatuan mengepulkan asap. Sekujur badannya laksana dibakar
matang mengerikan!
Ketika sinar merah lawan
terpencar dihantam dua larik sinar biru yang dilepaskan Magini, Ratu Duyung
acungkan tiga jari tangan kanannya. Kali ini yang melesat keluar dari tangan
sang Ratu bukan cuma satu larik sinar biru tetapi sekaligus tiga larik. Sabai
Nan Rancak kertakkan geraham. Daya lesat tiga sinar maut yang begitu cepat
tidak memungkinkan baginya untuk balas menghantam lagi dengan pukulan sakti
Kipas Neraka membuat si nenek terpaksa melompat ke udara. Gerakannya yang cepat
laksana kilat menyelamatkan dirinya dari tembusan dua larik serangan sinar
biru. Namun sinar ke tiga sempat memapas tipis di bahu kanannya.
“Wusss!”
Sabai Nan Rancak terpekik.
Bahu kanannya mengepulkan asap. Mantel sakti hitam yang dikenakannya tampak
berlubang hangus seolah terbakar. Si nenek hampir tidak percaya pada apa yang
dilihatnya. Mantel Sakti yang begitu hebat masih bisa ditembus pukulan sakti
lawan. Masih untung hanya jubah hitamnya yang terletak di sebelah bawah mantel
saja yang ikut robek. Sedang daging atau kulit tubuhnya tidak mengalami cidera.
“Aku yakin gadis itu sudah
cidera akibat hantaman pertamaku tadi! Kalau tidak segera kuhabisi bukan saja
aku yang bakal celaka tapi kalung itu tak bisa kumiliki!” Memikir sampai di
situ Sabai Nan Rancak segera tanggalkan Mantel Saktinya.
“Dia menanggalkan mantelnya.
Pasti mantel itu merupakan satu senjata yang sangat diandalkannya.” pikir Ratu
Duyung. Dia cepat angkat tangan kiri sedang tangan kanan diselinapkan ke
pinggang di mana tersimpan Cermin Sakti. Namun Sabai Nan Rancak menggebrak
lebih dahulu.
“Kau tak mau menyerahkan apa
yang aku minta! Terima kematianmu gadis keras kepalai”
Mantel hitam dikebutkan ke
arah Ratu Duyung.
Ratu Duyung berseru kaget
ketika di depannya menderu suara keras laksana air bah menggemuruh disertai
tiupan angin luar biasa kencangnya. Sekujur tubuhnya terasa ngilu, jalan
darahnya seperti menyungsang. Di lain kejap tubuhnya mencelat mental. Karena di
belakangnya menghadang dinding batu merah maka tak ampun lagi tubuh Ratu Duyung
mencelat menghantam dinding batu itu. Demikian kerasnya hinggai ada bagian batu
yang melesak ke dalam. Perlahan-lahan sosok Ratu Duyung terkulai. Dari mulut
dan hidungnya mengucur darah. Dalam keadaan seperti itu tangan kanannya masih
menggenggam Kalung Permata Kejora.
Sabai Nan Rancak tertawa
mengekeh.
“Kalau saja kau tidak keras
kepala, mau menyerahkan kalung yang kuminta, niscaya kau tidak akan menemui
ajal mengenaskan begini rupa!” Si nenek melangkah mendekati Ratu Duyung yang
berusaha bertahan agar tidak roboh dan pingsan. Ketika dia hendak membungkuk
mengambil Kalung Permata Kejora dari tangan Ratu Duyung tiba-tiba ada dua belas
larik sinar hitam menghantam ke arahnya, membuat si nenek terpaksa melompat
mundur selamatkan diri dan terpekik kaget. Pada dinding batu merah di sebelah
kiri kelihatan dua belas lobang kecil hitam sebesar ujung ibu jari dan
mengepulkan asap berbau aneh.
“Kurang ajar! Siapa berani
main gila terhadapku!” teriak Sabai Nan Rancak marah sekali.
Di lain saat sesosok tubuh
tinggi besar berdiri dalam gelap antara dia dan Ratu Duyung yang masih terkulai
bersandar ke dinding batu merah.
*
* *
TUJUH
Karena membelakanginya Ratu
Duyung tidak dapat melihat siapa adanya manusia tinggi besar berambut seperti
ijuk yang tegak di hadapannya.
“Siapa orang ini, Pada
punggung kanannya kulihat ada lobang besar! Aneh, ada manusia bisa hidup dengan
lobang sebesar itu pada tubuhnya.” Tiba-tiba Ratu Duyung sadar akan keadaan
dirinya. Bahaya besar nenek bertopi tinggi yang tidak dikenalnya jelas belum
lenyap. Tadinya dia berniat mengeluarkan Cermin Saktinya untuk membalas. Namun
saat itu dirinya telah menderita luka dalam yang cukup parah. Keparahan ini
ditambah pula akibat cidera bentrokan dengan Bunga alias Suci tempo hari.
“Sakit hati rasanya harus
menerima kekalahan ini. Tapi jika dia membunuhku, Kalung Permata Kejora tidak
bisa diselamatkan! Apa yang harus kulakukan?” Ratu Duyung memandangi lelaki
tinggi besar di hadapannya. Tiba-tiba didengarnya bentakan nenek berwajah putih
keriput itu.
“Hantu Balak Anam! Kau lagi
rupanya, hah! Kau benar-benar mencari mati berani mengikutiku! Kau juga berlaku
kurang ajar mencampuri urusanku!”
Si tinggi besar mendengus.
“Terus terang aku belum puas dengan keteranganmu di tengah laut tempo hari. Aku
punya firasat sebenarnya kau memang ada hubungan tertentu dengan Sutan Alam
Rajo Di Bumi. Mengapa kau tidak mau mengaku dan berterus terang?”
“Pertanyaan yang sudah basi
masih saja kau ulang-ulang! Menyingkir dari hadapanku sebelum aku muak melihat
tampangmu yang jauh lebih buruk dari hantu rimba belantara!”
Si tinggi besar berambut ijuk
yang pada wajahnya ada dua belas lobang hitam tertawa bergelak. Sementara itu
Ratu Duyung yang mendengar percakapan kedua orang di depannya itu diam-diam
kini mengetahui kalau mereka saling berseteru satu sama lain. Entah bagaimana
mendadak saja selintas pikiran muncul dalam benak Ratu Duyung. “Kalau aku
sampai mati di tangan perempuan tua itu, aku tidak akan membiarkannya mengambil
kalung milik Tua Gila ini! Lebih baik kalung ini sirna dan tidak jadi milik
siapa-siapa!”
Lalu tanpa berpikir panjang
lagi Ratu Duyung masukkan Kalung Permata Kejora ke dalam lobang besar di
punggung kanan orang di hadapannya. Hantu Balak Anam yang sudah mati rasa di
bagian tubuh yang cacat itu sama sekali tidak tahu dan tidak merasa ada sebuah
benda masuk ke dalam tubuhnya dan menyangsrang di dekat tulang belikatnya yang
patah. Sabai Nan Rancak sendiri tidak melihat apa yang dilakukan Ratu Duyung
karena terhalang oleh sosok tubuh Hantu Balak Anam yang tinggi besar. Apalagi
tempat itu walaupun terbuka cukup gelap.
Walau sudah merasa agak lega
karena apapun yang bakal terjadi Kalung Permata Kejora telah diselamatkan,
namun kini Ratu Duyung menjadi bingung sendiri.
“Celaka, bagaimana aku harus
memberitahu pada orang yang aku tidak kenal ini bahwa kalung tersebut adalah
milik Tua Gila dan harus diserahkan pada kakek itu?! Ah…!”
Ratu Duyung tak sempat
berpikir lebih panjang karena saat itu perang mulut antara Hantu Balak Anam dan
Sabai Nan Rancak kembali terjadi.
“Sabai! Kalau kau tetap tidak
mau mengaku, kelak kau akan menyesal sendiri. Kau tahu, para tokoh silat
golongan putih di Pulau Andalas diam-diam menaruh curiga padamu!”
“Begitu?! Apa yang mereka
curigakan?!”
“Paling tidak kau punya andil
atas segala kerusuhan yang terjadi di rimba persilatan pulau itu!”
“Fitnah keji! Pasti kau yang
menyebarkan!”
“Kau mau menyebut sebagai
fitnah atau apa terserah! Tapi barusan aku melihat sendiri kau membunuh dua
gadis tidak berdosa secara keji! Kau juga hendak membunuh gadis berjubah hitam
yang saat ini tegak di belakangku! Lebih dari itu kau hendak merampas sebuah
benda miliknya!”
“Setan alas! Kau tahu apa
urusanku! Benda Itu adalah milikku! Apa salah kalau aku memintanya. Dia tidak
mau menyerahkan aku memaksa! Dia dan dua gadis temannya itu keras kepala
terpaksa kuhantam! Katakan apa sangkut pautmu dengan tiga gadis ini? Kaki
tangannya. Atau mungkin kau gendak mereka?! Ha… ha… ha!”
Hantu Balak Anam tampak tidak
berubah wajahnya dikatai seperti itu. Sebaliknya Ratu Duyung jadi naik pitam
dan memaki. “Tua bangka gila! Ternyata bukan cuma hatimu yang keji! Mulutmu
juga busuk!”
“Gadis setan! Diam!” bentak
Sabai Nan Rancak.
“Kau harus bersyukur
kematianmu tertunda beberapa kejap! Secepatnya aku menyingkirkan setan hitam
ini giliranmu akan tiba untuk menerima ke-matian!”
“Sabai! Kau belum lama
menginjakkan kaki di tanah Jawa ini. Pengalamanmu di sini hanya sesempit jalan
pikiranmu! Kau tidak tahu siapa adanya gadis ini!”
“Hemmm…. Aku mendengar dua
gadis lainnya memanggilnya Ratu. Ratu apa?! Hik… hik… hik!”
Hantu Balak Anam palingkan
kepalanya ke belakang. Tersiraplah darah Ratu Duyung melihat keangkeran manusia
yang alisnya panjang menyatu ini. “Kita memang baru sekali ini bertemu. Namamu
sudah lama kudengar. Aku yakin kau adalah Ratu Duyung penguasa alam gaib
kawasan samudera….”
“Terima kasih kau mengenali
diriku. Sayang kita bertemu pada saat yang kurang menyenangkan. Namun demikian
ada satu hal yang perlu aku beri tahu padamu. Aku barusan….”
Maksud Ratu Duyung hendak
memberitahu bahwa dia telah memasukkan kalung ke dalam tubuh Hantu Balak Anam
melalui lobang besar bekas luka di punggungnya. Tapi tidak terlaksana karena
saat itu Sabai Nan Rancak telah melompat ke depan seraya mengebutkan Mantel
Saktinya ke arah lelaki tinggi besar berusia 78 tahun itu.
Hantu Balak Anam yang
sebelumnya telah melihat kehebatan mantel milik si nenek cepat menyingkir. Dari
samping dia palingkan kepalanya ke arah lawan. Dua belas sinar hitam menderu.
Angin laksana badai yang keluar dari Mantel Sakti menghantam lamping batu di
atas Ratu Duyung. Bukit batu itu hancur berentakan mengeluarkan suara
menggemuruh. Kepingan batu dan debu berpelantingan, sebagian besar seolah
mengguyur Ratu Duyung.
Sabai Nan Rancak cepat
balikkan diri ke arah Hantu Balak Anam. Mantel di tangannya dipukulkan ke
depan. Dua belas sinar hitam panas yang keluar dari dua belas lobang hitam di
muka Hantu Balak Anam keluarkan suara meletup dan buyar berentakan. Hantu Balak
Anam sendiri tampak terhuyung. Dia masih untung sempat jatuhkan diri. Kalau tidak
tubuhnya pasti akan hancur dilanda angin sakti yang keluar dari Mantel Sakti.
Untuk ke dua kalinya salah satu bagian bukit batu merah hancur
berkeping-keping. Pecahan batu dan debu menutupi pemandangan. Ketika batu dan
debu luruh ke permukaan bukit dan keadaan menjadi terang, Sabai Nan Rancak
melompat ke arah jatuhnya Hantu Balak Anam. Tapi orang itu tak ada lagi di
situ! Tampang si nenek tampak berubah ketika dia dapatkan tiga buah lobang
berasap di Mantel Saktinya. Ternyata tiga dari Dua Belas Jalur Kematian yaitu
dua belas sinar hitam serangan yang dilancarkan Hantu Balak Anam sempat
menjebol mantel hitam di tiga bagian!
“Jahanam!” rutuk si nenek. Dia
berpaling ke arah Ratu Duyung. Kemarahan kini dilampiaskannya pada sang Ratu.
Mantel Saktinya diangkat tinggi-tinggi. Dari jarak dua belas langkah dia siap
untuk menggebuk lawan yang terkulai terduduk di permukaan batu bukit dalam
keadaan tak berdaya itu.
“Lekas serahkan kalung itu!”
hardik Sabai Nan Rancak.
Ratu Duyung meludah ke tanah.
Ludahnya bercampur darah. Dari mulutnya keluar suara tawa panjang. Tangan
kanannya bergerak ke pinggang. Si nenek menyangka gadis itu hendak mengeluarkan
barang yang dimintanya. Ternyata yang tampak tergenggam di tangan kanan Ratu
Duyung adalah Sebuah cermin bulat.
“Gadis setani Sebelum mampus
apakah kau hendak berdandan lebih dulu?! Hik… hik… hik…!”
Ratu Duyung menyeringai.
Sabai Nan Rancak turunkan
tangan kanannya yang memegang Mantel Sakti. “Kehebatan mantel ini sudah
kuketahui. Mengapa sekarang tidak menjajal Mutiara Setan?!” Memikir begitu si
nenek keruk kantong kain yang tergantung di pinggang pakaian hitamnya. Sebutir
Mutiara Setan dijepit diantara ibu jari dan telunjuk tangan kirinya. “Selagi
masih hidup kau tak mau menyerahkan Kalung Permata Kejora! Tidak jadi apa! Aku
tidak keberatan mengambilnya setelah kau jadi mayat!”
Tangan kiri Sabai Nan Rancak
bergerak. Mutiara Setan yang berwarna hitam itu menderu dahsyat mengarah kening
Ratu Duyung. Di saat yang bersamaan Ratu Duyung gerakkan Cermin Saktinya.
Selarik sinar putih yang sangat menyilaukan berkiblat ke arah mata Sabai Nan
Rancak. Si nenek keluarkan jeritan keras ketika dia tiba-tiba merasakan seolah
buta akibat kesilauan. Cepat dia melompat sambil usap sepasang matanya. Sesaat
kemudian dia bisa melihat kembali. Namun untuk beberapa lamanya penglihatannya
tidak bisa jelas walau dia telah mengerahkan tenaga dalam ke arah kedua
matanya.
Meskipun Ratu Duyung bisa
membuat sepasang mata lawan cidera walau hanya sementara namun kiblatan Cermin
Saktinya tadi tidak sanggup meluruhkan Mutiara Hitam yang menyambar ke arahnya.
Sejengkal lagi senjata rahasia milik Datuk Tinggi Raja Di Langit yang
dilemparkan Sabai Nan Rancak itu akan menembus keningnya dan mengirimnya ke
akhirat tiba-tiba sebuah benda panjang memapas di depan hidung sang Ratu.
“Tring!
“Traak!”
Mutiara Setan mencelat mental.
Namun benda yang memapas patah di bagian ujungnya. Ratu Duyung tidak tahu pasti
apa yang terjadi. Saat itu dia hanya melihat ada satu bayangan berkelebat dan
dia mencium bau pesing!
*
* *
DELAPAN
Ratu Duyung tidak mengetahui
siapa yang memanggul dan melarikan dirinya. Mula-mula dia juga tidak mengetahui
apakah yang melarikannya saat itu seorang lelaki atau seorang perempuan. Dia
mencoba menggerakkan tubuhnya. Walau dirinya tidak ditotok tapi adalah aneh. Di
atas bahu orang yang melarikannya dia tidak sanggup bergerak. Seperti diketahui
tingkat kepandaian dan ilmu kesaktian Ratu Duyung tinggi sekali. Namun kalau
dia tidak sanggup membebaskan diri padahal dia tidak ditotok maka dapat dibayangkan
bagaimana tingginya kepandaian orang yang saat itu memanggul dan membawanya
lari.
Ratu Duyung memperhatikan
lagi. Dia tidak bisa melihat, muka orang tapi dapat melihat bagian atas
kepalanya. Dalam gelapnya malam dia melihat ada lima buah tusuk konde terbuat
dari perak menancap di atas kepala orang itu.
“Aneh. orang ini memiliki
rambut putih jarangi Bagaimana lima tusuk konde itu bisa menancap di
kepalanya?!” Ratu Duyung coba memperhatikan lebih seksama. “Astaga!” Gadis ini
terkejut Ternyata lima tusuk konde itu bukan disisipkan di antara rambut tapi
langsung ditusukkan ke kulit kepala dan terus menancap ke batok kepalai
“Rasanya aku pernah melihat orang dengan tusuk konde seperti ini sebelumnya!”
Ratu Duyung berusaha mengingat. Tiba-tiba meledak suaranya. “Tuan penolongku!
Aku berterima kasih padamu! Bukankah kau adalah nenek sakti dari Gunung Gede
yang dipanggil dengan nama Sinto Gendeng. Guru Pendekar 212 Wiro Sableng?!”
“Anak setan! Akhirnya kau
mengenali diriku juga hah!”
Orang yang melarikan Ratu
Duyung hentikan larinya lalu enak saja tubuh si gadis dicampakkannya ke tanah.
“Nek, barusan saja kau
menolongku! Sekarang mengapa tiba-tiba melemparkanku begitu saja?!” ujar Ratu
duyung seraya bangkit sambil pegangi dadanya yang mendenyut sakit.
“Anak setan! Siapa yang
menolongmu?!” Sosok tubuh tinggi hitam bungkuk dan bau pesing di hadapannya
membentak.
“Eh, bagaimana ini. Nek kau
betul Sinto Gendeng guru sahabatku Pendekar 212 Wiro Sableng. Betul kan ?!”
“Hemmmm. Jadi anak setan satu
itu adalah sahabatmu?!”
“Betul. Aku tidak dusta…”
jawab Ratu Duyung.
“Kalau dia sahabatmu kau tentu
tahu di mana dia berada sekarang.,.?”
“Aku tidak tahu pasti. Tapi
ada petunjuk bahwa dia berada di kawasan selatan. Tak jauh dari Telaga
Gajahmungkur….”
“Betul katamu dia sahabatmu?!”
“Aku tidak berdusta Nek!”
“Kalau begitu mengapa kau
celakai dirinya?!”
terkejutlah Ratu Duyung
mendengar ucapan orang di depannya. Seorang nenek bungkuk mengenakan pakaian
lusuh dan kain panjang ketinggian yang menebar bau pesing.
“A… aku tidak mengerti
maksudmu Nek….”
“Kau mulai bermain lidah! Aku
si tua bangka Sinto Gendeng ini apa kau kira bisa ditipu?!”
“Aku tidak menipumu. Aku
benar-benar tidak tahu apa maksud ucapanmu tadi…. Kalau saja kau mau
menjelaskan….”
“Kau minta penjelasan! Aku
akan katakan! Bukankah karena ulahmu mengajak muridku berzinah sampai dia kini
menderita lumpuh ilmu, lumpuh kesaktian?! Kau sembuh dan bebas dari kutukah
jahanam itu tapi muridku ketiban celaka malapetaka! Ayo! apa jawabmu! Kutampar
mulutmu sampai pencong kalau kau berani berdusta!”
Ratu Duyung merasakan dadanya
yang sejak tadi mendenyut sakit kini malah menyesak. Jantungnya berdebar keras
dan aliran darahnya seperti tidak karuan.
“Nenek Sinto Gendeng, kau
tentu telah menerima kabar yang salah….”
“Kabar yang salah? Siapa yang
salah?!” bentak Sinto Gendeng.
“Nek, Izinkan aku memberi
keterangan….”
“Bicaralah! Tapi jika
keteranganmu palsu dan bicaramu bohong kubeset mulutmu atas bawah!”
Ratu Duyung merasa mukanya
menjadi merah karena jengah mendengar ucapan si nenek yang dianggapnya sangat
keterlaluan itu. Tapi apa mau dikata. Dia harus bersabar diri. Apalagi yang
dihadapinya adalah seorang nenek sakti berpikiran aneh dan lebih dari itu
adalah guru pemuda yang diam-diam dicintainya.
“Waktu kami meninggalkan
Pangandaran, aku yakin kau sebagai gurunya mengizinkan kepergian kami berdua.
Menurut Wiro dia juga telah menceritakan hal menyangkut kutukan yang menimpa
diriku dan belasan anak buahku. Saat itu aku merasa bahwa kau ikut merestui. Mungkiri
sekarang aku baru menyadari bahwa aku salah….”
“Teruskan saja keteranganmu.
Jangan berhenti kalau aku tidak menyuruh. Tanganku sudah gatal hendak menjambak
rambut dan menampar mukamu!”
“Aku membawa muridmu ke sebuah
Puri di tempat kediamanku. Puri itulah tempat yang telah ditentukan untuk dapat
memusnahkan kutukan. Kami memang bersatu badan. Namun kami belum sempat
melakukan sesuatu. Kuasa Tuhan tiba-tiba membuat kutukan musnah. Aku dan anak
buahku bebas dari kutukan itu….”
“Tapi akibatnya muridku yang
celaka!”
“Nenek Sinto Gendeng, kalau
aku tahu bahwa akibat itu akan terjadi dengan diri muridmu, aku tak akan pernah
melakukannya. Aku memilih lebih baik tetap berada dalam sumpah kutukan….”
“Hemmm, itu bicaramu
sekarang!”
“Aku bersumpah Nek. Aku tidak
punya maksud buruk terhadap Wiro. Kami tidak sampai melakukan perzinahan….”
“Mana aku percayai Soalnya aku
tidak melihat, juga tidak mengintipi Kalian berdua yang punya kerjaan! Muridku
yang menderita!”
“Kalau itu memang kesalahan
berat, aku siap menerima hukuman. Terserah kau mau melakukan apa terhadapku….
Aku tidak mungkin melakukan kejahatan terhadap muridmu. Aku tidak akan pernah
culas terhadapnya. Aku tidak mungkin melakukan semua itu terhadap dia yang
aku…”
“Ayo teruskan ucapanmu!
Mengapa diputus?!” bentak Sinto Gendeng.
“Aku mencintai muridmu Nek….”
Suara Ratu Duyung perlahan sekali tapi bergema dalam sampai ke lubuk hati nenek
sakti dari Gunung Gede itu. Mula-mula si nenek mengernyitkan keningnya, lalu
menyeringai. Namun wajahnya tampak berubah. Untuk beberapa lamanya mulutnya
terkancing. Dia memandang ke arah kegelapan. Saat itu mereka berada di sebuah
hutan kecil jauh di belakang bukit batu merah. Pepohonan yang menghitam di
kegelapan malam seolah berubah menjadi sosok manusia di mata Sinto Gendeng.
Setiap dia memperhatikan wajah manusia itu dia melihat semuanya memiliki wajah
sama. Yang dilihatnya adalah wajah Sukat Tandika alias Tua Gila!
“Cinta…. Kau mencintai
muridku…?” Tiba-tiba Sinto Gendeng ajukan pertanyaan tanpa memandang pada Ratu
Duyung. Sebelum sang Ratu menjawab si nenek sudah membuka mulutnya kembali.
“Cinta gila…. Siapa percaya pada cinta akan celaka!”
“Nek, mengapa tega-teganya kau
berkata begitu?”
“Aku jauh lebih tua darimu
anak setan! Aku sudah makan asam garam dunia! Aku lebih banyak tahu darimu! Ini
bukan soal tega atau tidak tegai Kau tahu apa mengenai cinta! Cinta membuat
banyak manusia celaka dunia akhirat! Buktinya aku sudah merasakan! Kini muridku
juga kena getahnya cinta! Setan betul!”
Tahu orang sedang marah Ratu
Duyung memilih bersikap diam. Tapi lama-lama hatinya tidak tahan. Dia berkata.
“Kalau cinta memang membuat manusia celaka dunia akhirat, aku sendiri merasa
bahagia dalam celaka itu. Karena yang kucintai adalah muridmu sendiri…. Kalau
semua itu menyakiti hatimu aku mohon ampun pada Tuhan dan minta maaf padamu.”
“Eh, anak setani Jangan kau
berpandai-pandai bicara padaku! Berani-beranian kau menyebut nama Tuhan! Aku….”
Sinto Gendeng tudingkan tongkat kayu bututnya yang patah di bagian ujung akibat
dipergunakan menangkis Mutiara Setan tadi.
Sinto Gendeng tidak meneruskan
ucapannya. Memandang ke arah barisan pepohonan dia kembali melihat Sosok dan
wajah Tua Gila, kekasihnya di masa muda. Lalu sayup-sayup seperti ada suara
yang masuk ke liang telinganya. “Sinto, masa bercintamu sudah habis dimakan
usia. Masa lalu hanyalah kenangan. Masa sekarang kenyataan dan masa depan
adalah tantangan….!
Si nenek ulurkan tangannya
memegangi leher yang terasa seperti tercekat.
“Gila! Apa yang tengah terjadi
dengan diriku….” kata si nenek dalam hati. Perlahan-lahan dia berpaling pada
Ratu Duyung yang duduk bersimpuh di tanah dengan kepala tertunduk seperti
seorang pesakitan yang siap menjalankan hukuman pancung!
“Traak!”
Ratu Duyung terkejut dan
angkat kepalanya. Ternyata si nenek sengaja mematahkan ujung tongkat bututnya.
Patahan sepanjang setengah jari kelingking disodorkannya ke muka Ratu Duyung.
“Kunyah kayu ini sampai
lidahmu merasa pahit!”
Ratu Duyung memandang pulang
balik dari wajah si nenek ke patahan tongkat yang disodorkan di depan mukanya.
“Nek, aku…”
“Anak setan! Bukankah kau
terluka parah di dalam akibat serangan dajal kesasar tadi?! Nah, kau tunggu apa
lagi! Kunyah potongan tongkat ini sampai ada rasa pahit dalam mulutmu!”
“Apakah…. Apakah ini semacam
obat…?”
“Anak setan! Lain kali jangan
harap aku mau menolongmu lagi!”
“Hek!”
Ratu Duyung keluarkan suara
tercekik ketika potongan kayu tongkat dilemparkan Sinto Gendeng hingga melesat
masuk ke dalam mulutnya.
“Anak setan, lakukan saja apa
yang aku katakan! Sekarang aku harus pergi! Karena menyadari kau adalah seorang
ratu dan aku seorang rakyat jelata dalam bentuk nenek keropos maka ada patutnya
aku memberi penghormatan padamu sebelum pergi!” Habis berkata begitu Sinto
Gendeng bungkukkan tubuhnya yang memang sudah bungkuk lalu sambil tertawa
cekikikan dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
Karena ada rasa jijik, semula
Ratu Duyung hendak memuntahkan potongan tongkat di dalam mulutnya. Namun aneh,
mendadak mulutnya terasa manis.
“Nenek itu mengatakan rasa
pahit. Yang kurasakan justru sebaliknya. Tapi aku masih belum mengunyah!
Bagaimana ini, apakah aku harus melakukan apa yang dikatakannya?” Sambil
berpikir sang ratu mengunyah perlahan. Semakin dikunyah semakin manis terasa
mulutnya. Dia mulai merasa kelu dan capai mengunyah. Sampai puluhan bahkan
ratusan kali kayu yang dikunyahnya masih terasa manis.
“Sampai tanggal seluruh gigi
di mulutku dan sampai hancur kayu ini agaknya tak akan ada rasa pahit!” Ratu
Duyung mulai merasa was-was. Tapi tiba-tiba kunyahannya terhenti. “Aku merasa
ludahku memahit….” Ratu Duyung lalu mengunyah kembali. Benar saja. Semakin dia
meneruskan mengunyah semakin kentara rasa pahit itu. Bersamaan dengan itu ada
rasa hangat menjalari urat-urat dalam tubuhnya. Aliran darahnya yang tadi
terasa seperti kacau kini perlahan-lahan teratur kembali. Lalu sakit di dadanya
perlahan-lahan sirna melenyap. Ratu Duyung bangkit berdiri. Astaga! Seperti ada
satu kekuatan baru kini berakar dalam tubuhnya padahal sebelumnya akibat
hantaman Mantel Sakti Sabai Nan Rancak bukan saja dia menderita luka dalam yang
parah, berdiri pun dia rasanya tak sanggup.
“Nenek itu…” desis Ratu
Duyung. “Ternyata dia telah menolongku. Aku berhutang besar padanya! Bagaimana
aku harus membalas sementara dia merasa aku telah mencelakai muridnya…? Wiro,
di mana kau saat ini. Aku harus menemuimu! Aku harus menceritakan semua ini
padamu….” Ratu Duyung angkat Cermin Saktinya. Namun dia tidak melihat apa-apa
karena air matanya jatuh membasahi permukaan cermin.
*
* *
SEMBILAN
Di salah satu sudut teluk
Parangtritis yang sepi, pemuda berpakaian hitam itu duduk sendirian, seolah
sengaja mengucilkan diri padahal di teluk saat itu tengah berlangsung upacara
besar taburan bunga yang diselenggarakan oleh keraton. Ratusan orang bertebaran
di sepanjang teluk menyaksikan keramaian yang hanya terjadi sekali dalam
setahun itu. Rakyat bukan saja mengikuti jalannya upacara dari tepian teluk
tetapi banyak pula yang langsung mengayuh perahu ke tengah laut.
“Sahabat muda, pesta keramaian
ada di sana. Mengapa kau justru menyaksikan bersunyi diri dari jauh di tempat
ini?” Satu suara menegur.
Pemuda berpakaian hitam
tersentak kaget. Cepat palingkan kepala. Dia melihat seorang pemuda berambut
gondrong dan berpakaian serta hitam seperti keadaannya, tegak sambil memandang
menyeringai padanya.
“Rambutmu gondrong, rambutku
gondrong. Pakaianmu hitami Pakaianku juga hitami Bukankah itu satu tanda
persahabatan?” Pemuda pertama kembali berucap.
Pemuda yang ditegur pandangi
wajah orang di sebelahnya penuh selidik. Yang dipandang, walau tidak
memperhatikan berkata. “Kau memandangku penuh curigai Itu bukan satu tanda
persahabatan!”
Pemuda baju hitam yang duduk
di tanah berkata dalam hati. “Walau diriku masih dalam musibah gila ini, tapi
adalah aneh aku tidak mendengar langkah kakinya ketika datang. Dia tidak
memandang padaku tapi tahu kalau aku memperhatikan penuh curiga. Siapa adanya
pemuda ini. Melihat raut wajah dia tiga atau empat tahun lebih muda dariku.
Dibalik wajahnya yang tampan, di dalam tubuhnya yang kekar aku yakin tersimpan
satu kekuatan hebat….”
“Kalau aku boleh bertanya,
siapa kau adanya dan mengapa menyendiri di tempat ini? Tidak turun berperahu ke
laut. Tidak bergabung dengan orang banyak di teluk. Kulihat di sana banyak meja
bertebaran berisi berbagai macam hidangan, buah-buahan dan minuman….”
“Aku hanya seorang nelayan.
Aku sedang tidak enak badan. Itu sebabnya aku memilih lebih baik duduk di
sini….”
Mendengar ucapan pemuda yang
duduk, pemuda satunya tertawa. Sepasang matanya masih terus menatap ke arah
teluk ketika berkata. “Sekali lagi kau menunjukkan sikap tidak bersahabat.
Katamu kau seorang nelayan. Nelayan mana ada yang kulitnya putih pucat
sepertimu!”
Pemuda berpakaian hitam yang
duduk di tanah pencongkan mulutnya lalu garuk-garuk kepala. “Sudah sebulan aku
tidak turun ke laut. Itu sebabnya aku tampak putih. Karena sakit kulitku jadi
pucat…. Kau sendiri siapa? Mengapa memilih berada di tempat ini daripada berada
di teluk sana?!”
“Siapa aku itulah yang aku
tidak ketahui….”
“Hemm…. Pemuda ini sedeng
kurang waras rupanya! Biar aku kerjain!” membatin pemuda yang duduk di tanah.
“Kau bilang tidak tahu siapa dirimu. Itu hebat! Kalau kutanya apakah kau
laki-laki atau perempuan, apakah kau bisa menjawab?!”.
“Eh!” Pemuda yang berdiri palingkan
kepalanya, memandang tajam pada pemuda yang duduk di depannya lalu tertawa
bergelak. “Kau tidak buta! Kau lihat sendiri ujud keadaanku! Ya jelas aku ini
seorang lelaki! Pemuda sepertimu!”
“Sekarang jaman aneh! Lelaki
suka pakai pakaian perempuan. Perempuan suka mengenakan pakaian lelaki.
Bagaimana kau bisa membuktikan bahwa kau betul-betul seorang lelaki?!”
“Gilai Kau orang gila!”
“Silahkan kau menganggap
begitu. Nah sekarang coba kau perlihatkan anumu padaku. Untuk membuktikan bahwa
kau memang laki-laki! Bukan perempuan!”
“Benar-benar gila!”
“Ah! Jangan-jangan seperti
dugaanku kau adalah seorang banci!” “Setan kau!”
“Tadi kau memaki aku gila.
Sekarang setan. Sebentar lagi entah apa! Sebaiknya kau pergi ke teluk sana. Aku
tidak suka dekat-dekat dengan orang yang tidak ketahuan lelaki atau perempuan!
Seorang yang tidak tahu siapa dirinya!”
“Orang gila! Aku ini laki-laki
tahu!”
“Kalau begitu coba kau
buktikan. Tunjukkan padaku apa kau memang punya jambu klutuk atau cuma jambu
mete! Ha… ha… ha…!”
“Setan alas! Apa maksudmu
jambu klutuk dan jambu mete itu!”
“Coba kau melorotkan celanamu
ke bawah! Nanti akan ketahuan kau ini jenis jambu klutuk atau cuma jambu mete!”
“Jahanam kurang ajar! Kau
benar-benar tidak bersahabat!” si pemuda marah sekali. Dia menunjuk ke sebuah
batu sebesar kepala. “Lihat batu itu! Rupanya kau mau aku membuat kepalamu
seperti ini!”
“Wuuutt!”
Satu kali berkelebat pemuda
itu melesat ke udara, lalu menukik dengan tangan kanan menjotos ke arah batu.
“Bukkk!”
“Byaaarr!”
Batu besar yang kena hantaman
tangan si pemuda hancur berkeping-keping. Belum lagi hancuran batu itu
berjatuhan ke atas permukaan pasir, si pemuda telah berkelebat dan kembali
tegak di samping pemuda satunya!
Si gondrong yang duduk di
tanah perlahan-lahan bangkit berdiri. “Jangan-jangan anak setan ini punya
maksud jahat terhadapku!”
“Gerakanmu laksana kilat!
Pukulanmu hebat dan tenaga dalammu luar biasa! Dari mana kau dapatkan ilmu
kepandaian itu Kisanak?!”
“Aku tidak tahu!”
“Kau tidak tahu! Siapa
gurumu?!”
“Tidak tahu! Aku tidak ingat!
Sobat, dengar baik-baik. Aku tidak Ingat semua hal di masa lalu!”
Si gondrong satunya kembali
garuk-garuk kepala. “Dia tak ingat masa lalunya. Otaknya mungkin sudah dikuras
setan!” Setelah pandangi pemuda di hadapannya dengan tak berkesip dia bertanya.
“Kau punya nama? Atau tidak ingat siapa namamu?!”
“Aku Utusan Dari Akhirat!”
jawab si gondrong sambil menyeringai seperti bangga.
“Nama hebat!” desis pemuda
satunya sambil garuk-garuk kepala. “Kau berasal dari mana?”
“Tidak ingat! Tidak tahu!”
“Gila!” rutuk pemuda itu dalam
hati. “Kalau kau bernama Utusan Dari Akhirat mustinya kau datang dari atas
langit sana! Tapi apa kau tahu kalau akhirat itu ada dua. Satu akhirat yang
disebut sorga. Satunya lagi yang dinamakan neraka. Nah, kau datang yang dari
mana?!”
“Mana aku tahu!”
“Jelas anak setan ini memang
miring otaknya. Tapi dia berkepandaian tinggi. Aku harus hati-hati!” Setelah
menggaruk kepalanya sekali lagi, pemuda ini berkata. “Kau tidak ingat masa
lalumu. Kau tidak ingat semua hal di masa silam. Jadi kau hanya ingat hal-hal
di masa yang akan datang!”
“Betul!”
“Hal apa saja?!”
“Aku punya tiga tugas besar!”
“Tiga tugas besar? Tugas apa?
Kau mau memberitahu?”
Tentu akan kuberitahu seperti
aku sudah beritahu pada beberapa orang tertentu yang aku temui sebelumnya!
Siapa tahu kau bisa membantu! Tugasku adalah mencari dan membunuh tiga orang!”
“Jauh-jauh dari akhirat
tugasmu untuk membunuh orang…?! Siapa-siapa mereka yang hendak kau bunuh itu?!”
Yang ditanya tidak menjawab
melainkan menunjuk ke arah teluk Parangtritis.
Upacara taburan bunga di
tengah laut kali ini dilakukan sangat meriah. Cuaca cerah, laut yang tenang dan
angin yang bertiup sejuk membuat upacara yang dilakukan setiap setahun sekali
itu berlangsung lancar. Di atas perahu besar yang diberi gaba-gaba serta
berbagai macam hiasan, Suitan duduk tersenyum dikelilingi para pengawal,
beberapa perwira dan puluhan pengawal. Di samping sebelah kanan tegak Patih Ki
Haryo Darmogumpito. Meski tua tapi masih kelihatan tegap penuh wibawa. Sebilah
pedang bersarung dan berhulu emas tergantung di pinggangnya, memantulkan sinar
berkilauan terkena cahaya matahari. Di sebelah kiri Sultan, di atas sebuah
kursi bagus yang kebesaran, duduk seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun.
Dia adalah Juminten Sekar Wangi, cucu paling disayangi Sultan. Kehadirannya di
situ seolah mewakili para penghuni Keraton lainnya. Karena itu Sultan tidak
merasa risau walau dalam upacara penting itu permaisuri yang sedang kurang sehat,
dua anak dan dua menantunya tidak ikut hadir. Di usianya yang sudah lanjut bagi
Sultan sang cucu Juminten Sekar Wangi adalah sumber segala kebahagiaannya.
Di hadapan Sultan ada sebuah
meja kecil. Di atas meja beralaskan kain beludru merah terletak dua buah pusaka
Keraton yang selalu dihadirkan dalam setiap upacara taburan bunga di tengah
laut. Pusaka pertama adalah sebilah keris emas. yang gagangnya berbentuk kepala
seekor burung Elang jantan dengan sepasang mata merah terbuat dari batu mulia.
Pusaka kedua juga sebilah keris emas lebih kecil dari yang pertama dengan hulu
berbentuk kepala seekor Elang betina. Sepasang matanya terbuat dari batu
permata berwarna biru.
Dua buah perahu mengapit
perahu besar yang ditumpangi Sultan. Di atas dua perahu pengapit ini ada dua
rombongan pemain gamelan yang tiada henti-hentinya mengalunkan tembang-tembang
kesukaan Sultan.
Patih Ki Haryo Darmogumpito
menunduk sedikit dan berbisik pada Sultan. “Upacara taburan sudah selesai. Kita
siap kembali ke teluk. Kecuali Sultan ingin melakukan sesuatu.
Misalnya berkeliling sampai ke
batas pusaran laut dingin dan laut panas seperti yang dilakukan tahun lalu.”
“Kita kembali saja Patih.
Perutku sudah lapar! Dan cucuku si kecil jelita ini tentu juga ingin cepat
pulang, bermain bersuka-suka di Keraton…” Sambil berucap Sultan mencium kepala
Juminten Sekar Wangi. Selagi dia mencium kepala cucu yang dikasihinya Itu
tiba-tiba telinganya menangkap suara sesuatu di antara gema alunan gamelan di
dua perahu yang mengapit perahu besar.
“Patih Haryo, apakah kau
mendengar suara sesuatu?” tanya Sultan. Hidungnya masih menempel di kepala
Juminten.
“Saya mendengar Sultan. Dan
saya sudah tahu apa yang terjadi. Ada seorang anak kecil duduk di kepala
perahu….”
Perlahan-lahan Sultan angkat
kepalanya lalu memandang ke bagian depan perahu. Perahu besar ini di sebelah
depan mulai dari lambung sampai ke ujung dibuat demikian rupa berbentuk sosok
seorang gadis bermahkota yang tengah memegang anak panah dan merentang busur.
Duduk di atas leher patung
gadis memanah itu kelihatan seorang anak kecil berpakaian terusan warna hitam
dalam keadaan basah kuyup. Pada bagian dada pakaiannya terpampang gambar seekor
naga bergelung dengan kepala membesar seolah hendak menerkam. Kaki dan lengan
pakaian hitamnya panjang demikian rupa hingga anak berwajah lucu ini kelihatan
seperti seekor tikus besar. Anak ini duduk sambil meniup sebuah seruling.
Kepalanya yang berambut jabrik digoyang-goyang, kedua kakinya diuncang-uncang
mengikuti alunan gamelan. Setiap habis meniup dia jauhkan sebentar serulingnya
dari mulut lalu lidahnya dijulurkan. Dalam keadaan lain orang yang melihat
tingkah bocah itu pasti akan senyum-senyum tertawa. Namun saat itu tentu saja
tidak ada yang berani tersenyum apalagi tertawa. Anak tak dikenal itu duduk
secara kurang ajar di atas perahu besar yang ditumpangi Suitan bahkan
membelakangi Suitan. Semua orang sudah dapat memastikan kalau Sultan akan
menjadi marah. Namun yang terdengar saat itu justru gelak berderai Juminten
Sekar Wangi. Cucu Sultan ini agaknya senang melihat tingkah anak berpakaian
terusan hitam yang meniup suling itu.
Setelah memperhatikan sejurus
Suitan berkata. “Seumur hidup baru sekali ini aku mendengar tiupan suling
dipadu dengan alunan gamelan. Sedap di telinga tapi kehadirannya kurang berkenan
di hatiku. Patih, kau kenal siapa adanya anak itu?”
“Saya tidak kenal. Tidak
pernah melihatnya sebelumnya Sultan….”
“Kau bisa memberi keterangan
bagaimana tiba-tiba dia berada di atas perahu ini tanpa seorang pun
mengetahui?”
“Saya akan menyelidiki
Sultan,” jawab Patih. Dia memberi isyarat pada dua orang perwira. Tiga orang
ini bergegas menuju bagian depan perahu.
Juminten Sekar Wangi melompat
turun dari kursinya mengikuti ketiga orang itu. Sultan berusaha mengejar tapi
dengan lincah anak perempuan ini menyelinap di antara para pengawal dan
mendahului lari menuju bagian depan perahu besar.
*
* *
SEPULUH
Sementara di bawahnya orang
sibuk melakukan sesuatu, anak berbaju hitam berambut jabrik di atas sana terus
saja asyik meniup serulingnya mengikuti alunan gamelan. Rombongan pemain
gamelan di dua perahu walau merasa heran melihat kejadian itu tapi tetap saja
meneruskan permainan mereka karena ternyata tiupan seruling si bocah begitu
enak membuat mereka terus bermain bersambut-sambutan.
“Kawan! Hai kawan yang meniup
suling! Siapa namamu?!” Yang berseru adalah cucu Sultan si kecil Juminten.
Anak di atas sana miringkan
kepalanya dan memandang ke bawah. Dia tidak menjawab tapi melontarkan senyuman
dan terus meniup serulingnya.
“Hai! Hati-hati! Jangan
miring-miring begitu! Nanti kau jatuh!” teriak Juminten kembali.
“Anak di atas leher patung!
Hentikan permainanmu! Lekas turun kemari!” Tiba-tiba ada suara teriakan keras.
Yang berteriak adalah Patih Ki Haryo Darmogumpito.
Mendengar suara teriakan si
anak kembali miringkan kepala memandang ke bawah ke arah sang Patih. Sesaat
anak ini jauhkan seruling dari bibirnya. Lidahnya dijulurkan ke arah Patih Ki
Haryo lalu kembali dia meniup seruling.
Merasa tidak diperdulikan
malah dipermainkan dikurang-ajari Patih Ki Haryo menjadi marah.
“Anak kurang ajari Kau minta
digebuk rupanya!”
“Paman Patih!” tiba-tiba
Juminten berteriak. “Jangan sakiti temanku!”
“Den Ayu Juminten! Anak itu
bukan temanmu! Dia anak gelandangan yang kesasar! Anak kurang ajar!” jawab
Patih Kerajaan. “Aku akan menyuruhnya turun sekali lagi! Kalau dia tidak turun
akan kutarik putus dua daun telinganya! Awas kau anak kurang ajar!”
Di atas sana si anak kecil
tetap saja tidak perduli. Tiupan serulingnya malah diperkencang dan iramanya
dipercepat. Para pemain gamelan yang ada di dua perahu dan sejak tadi
terpengaruh keenakan oleh tiupan seruling si bocah segera pula mempercepat
alunan gamelan hingga suara Patih Kerajaan yang berteriak-teriak marah
tenggelam tidak terdengar. Juminten Sekar Wangi tertawa-tawa dan
berjingkrak-jingkrak sementara Sultan tekap kedua telinganya.
“Bocah kurang ajar!” damprat
Patih Ki Haryo. Dia memberi isyarat pada seorang perwira di sebelahnya. “Naik
ke atas sana! Lemparkan anak itu ke dalam laut!” Perwira yang diperintahkan
kebetulan bertubuh gemuk buntal bermuka bundar seperti bola.
“Paman Patih!” teriak
Juminten. “Jangan sakiti anak itu! Aku Ingin berteman dengannya!”
“Dengar Den Ayu Juminten. Anak
itu tidak pantas menjadi temanmu. Kau adalah cucu Raja!”
“Aku tidak perduli! Aku ingin
berteman dengan dia!” teriak Juminten.
Patih Ki Haryo Darmogumpito
jadi hilang akal menghadapi cucu Sultan itu. Juminten dirangkulnya lalu
digendong dan dibawanya ke tempat Suitan. Tapi si gadis cilik ini menggigit
tangan Patih Haryo. Selagi sang Patih menjerit kesakitan Juminten merosot turun
dan lari ke arah depan perahu kembali.
“Cucuku…. Juminten…!” panggil
Sultan.
Patih Ki Haryo yang kesakitan
usap-usap kedua tangannya lalu berteriak pada rombongan penabuh gamelan di perahu
kiri dan perahu kanan. “Hentikan permainan kalian! Hentikan!”
Mendengar teriakan dan melihat
kemarahan sang Patih semua pemain gamelan segera hentikan permainan
masing-masing. Di atas sana si anak berpakaian serba hitam masih terus meniup
serulingnya. Ketika dia menyadari sirnanya suara gamelan dia turunkan tangannya
yang memegang seruling lalu memandang ke arah perahu kiri kanan.
“Kenapa berhenti? Aku lagi
enak-enaknya! Ayo main lagi!” teriak si anak. Dia tiup sulingnya kembali. Tapi
tak ada seorang pun pemain gamelan berani menyentuh peralatannya. Si anak
akhirnya berhenti meniup suling.
Pada saat itu perwira gemuk
yang diperintahkan sang Patih tengah merangkak sepanjang kayu patung. Sikapnya
yang seperti beruk memanjat itu membuat banyak orang menahan tawa. Begitu
sampai di dekat si bocah dia segera ulurkan tangan untuk mencekal leher. Sadar
kalau ada orang di belakangnya anak ini berpaling. Melihat tangan hendak
menyambar dirinya cepat-cepat anak ini bersurut mundur dan naik ke bagian
kepala patung yang lebih tinggi sambil mencibirkan lidahnya pada si perwira.
“Anak kurang ajar! Kau mau
lari kemana!”
Penasaran perwira gendut itu
terus mengejar. Sebenarnya saat itu lututnya sudah gemetar karena gamang. Namun
di bawah sana Patih Ki Haryo terus berteriak-teriak agar dia segera menangkap
anak kecil itu.
Sesaat kemudian si anak telah
sampai di bagian kepala patung yang paling tinggi. Tak ada lagi baginya tempat
untuk bersurut sementara dari bawah perwira gemuk terus merangkak naik.
“Ayo lari terus! Kau mau lari
kemana! Ha… ha…! Kupatahkan batang lehermu sekarang!” Perwira itu menggertak
tapi si anak bukannya takut malah sambil terus mencibirkan lidahnya tangan
kirinya dilambai-lambaikan agar perwira yang mengejarnya itu naik dan mendekat
lebih cepat. Begitu si perwira berada sejarak seuluran tangan darinya, anak
kecil ini tusukkan sulingnya ke bawah ketiak sang perwira. Orang ini menggeliat
karena kegelian.
“Jahanam! Berani kau
mempermainkan aku!” teriak perwira itu marah sekali. Karena tak dapat menjangkau
ditambah oleh rasa kalap maka setelah maju lebih dekat dia langsung kirimkan
tamparan ke muka anak itu.
“Wuttt!”
Tamparan perwira gendut
berkelebat. Si bocah tundukkan kepala lalu “seett!” Serulingnya menyusup ke
depan. Kali ini menusuk ke bawah ketiak satunya dari sang perwira. Lalu
terjadilah hunjaman tusukan tiada hentinya. Tusukan-tusukan seruling itu tidak
menciderai si perwira namun membuat dia kegelian setengah mati. Tubuhnya yang
gemuk besar itu berguncang kian kemari. Sebentar miring ke kiri miring ke kanan
atau terjerembab ke depan. Dari mulutnya tiada henti terdengar jeritan-jeritan
kegelian. Orang banyak di tiga perahu menahan nafas walau ada yang tak dapat
menyembunyikan senyumannya. Sebaliknya Juminten Sekar Wangi tertawa gelak-gelak
melihat apa yang terjadi
Ketika si bocah menusuk dan
menggeletarkan ujung serulingnya di pangkal paha perwira itu, si gemuk ini tak
tahan lagi. Dia menjerit keras, tanpa sadar kedua tangannya diangkat. Tubuhnya
menggeliat Karena tak memegang apa-apa lagi maka tak ampun sosoknya jatuh ke
bawah.
“Celaka! Ah…!” Perwira itu
menjerit keras sekali lagi. Di saat yang tegang itu otaknya masih bisa bekerja.
Dari pada jatuh ke atas geladak perahu dia memilih jatuh masuk ke dalam laut.
“Byuurrr!”
Tubuh gemuk itu lenyap ke
dalam air.
Juminten tertawa panjang. Anak
di atas sana ikut tertawa lalu dia membuat gerakan berputar-putar pada leher
patung. Di lain kejap tubuhnya melayang ke bawah dan tahu-tahu hup! Hebat
sekali! Anak ini sudah berada di depan Juminten. Mula-mula cucu Suitan ini
terkejut dan bersurut mundur. Tapi setelah sadar siapa yang tegak di hadapannya
Juminten lalu tertawa keras.
“Teman! Kau bukan saja pandai
meniup suling! Tapi pandai melompati Namaku Juminten. Aku cucu Raja. Siapa
namamu teman?!”
“Namaku jelek…” jawab si anak.
“Jelek atau tidak kau harus
memberi tahu!” desak Juminten sambil memegang tangan si anak dan
menggoyang-goyangnya.
“Namaku Naga Kuning.
Kadang-kadang orang memanggilku Naga Kecil atau Naga Cilik.”
“Namamu aneh. Tapi tidak jelek
seperti katamu.” Juminten perhatikan gambar naga di dada pakaian hitam si anak.
“Hemm…. Namamu Naga Kuning, pantas sampai-sampai pakaianmu ada gambar
naganya….” Cucu Sultan itu tertawa. Tapi tawanya lenyap begitu ada satu tangan
menariknya. Ternyata Patih Ki Haryo.
Sementara itu belasan orang di
tiga perahu mencemaskan apa yang terjadi dengan perwira gemuk tadi. Beberapa
perahu kecil berputar-putar di bekas tempatnya jatuh. Semua orang tahu kalau
perwira itu tidak bisa berenang. Dan sejak tadi tubuhnya tak kunjung muncul ke
permukaan laut.
“Juminten, jangan berlaku yang
bukan-bukan. Sultan bisa marah dan mendampratku!” kata Patih Ki Haryo setengah
berteriak seraya mencekal dan menggendong Juminten erat-erat hingga anak itu
tak bisa bergerak. Dengan pelototkan mata sang Patih membentak bocah di
hadapannya. “Tetap di tempatmu! Awas kalau kau berani bergerak satu langkah
saja!” Sebelum membawa Juminten ke tempat Sultan duduk sang Patih memberi
isyarat pada beberapa prajurit di dekatnya. “Tangkap anak itu. Dia harus
dihukum cambuk karena berlaku kurang ajar terhadap Sultan, terhadap Cucu
Sultan, Patih Kerajaan dan Perwira Kerajaan!”
“Kakek berjenggot lebat!” Anak
bernama Naga Kuning berteriak pada Patih Ki Haryo. “Kenapa kau berlaku kasar
terhadap anak perempuan itu! Kalau dia memang cucu Suitan kau tidak layak
memperlakukannya seperti itu!”
“Dasar anak sampah kurang
ajar! Makan tendanganku ini!” Patih Kerajaan yang hendak bergerak pergi jadi
marah mendengar kata-kata Naga Kecil. Kaki kanannya ditendangkan ke perut anak
itu.
Dengan lincah Naga Kuning
membuat gerakan mengelak. Begitu kaki kanan Patih Ki Haryo mengapung di udara
dia gerakkan tangan kanannya yang memegang seruling. Terdengar suara
mendenging. Lalu “sett… settt… sett!”
Tali kulit kasut yang
dikenakan Patih Kerajaan putus di tiga tempat. Ketika si bocah menyentakkan
serulingnya maka kasut itu pun terlepas mental dan melayang jatuh masuk ke
dalam laut.
Kalaplah Ki Haryo
Darmogumpito. Juminten diserahkannya pada seorang perwira. Beberapa orang
prajurit yang hendak menyergap Naga Kuning didorongnya. “Biar aku yang
mematahkan leher anak jahanam itu!”
Sekali melompat saja sang
Patih telah berada di hadapan Naga Kuning. Kedua tangannya terpentang. Lalu
diulurkan untuk mencekik leher si anak. Naga Kuning tidak tinggal diam. Dia
julurkan lidahnya dan jerengkan kedua matanya. Ketika sang Patih menyergap lagi
anak Ini melompat ke udara. Lalu membuat lesatan jungkir balik ke belakang
sampai beberapa kali hingga akhirnya ke dua kakinya menginjak pagar buritan
perahu besar. Di sini sekali lagi dia menjulurkan lidah mengejek Patih Ki
Haryo. Lalu sambil sisipkan serulingnya ke pinggang dia jatuhkan diri ke dalam
laut. Patih Ki Haryo berusaha menangkap salah satu kaki anak itu tapi luput.
“Anak setan kurang ajar!”
rutuk Ki Haryo seraya pukulkan tangan kanannya ke pinggiran perahu hingga kayu
perahu hancur berantakan.
“Patih! Perwira Ngadikarso
yang tadi jatuh ke laut sampai saat ini belum muncul!” Seorang prajurit
melaporkan pada Patih Ki Haryo.
“Perduli setan! Aku
perintahkan kalian terjun ke laut! Kejar anak itu. Pergunakan perahu-perahu
kecil yang ada di sekitar kita!” teriak Patih Kerajaan itu dengan mata melotot.
Maka hampir selusin prajurit dan dua orang perwira segera terjun ke taut
melakukan perintah Patih Kerajaan itu. Belum lama orang-orang Kerajaan ini
melakukan pengejaran tiba-tiba orang-orang di atas perahu berseru-seru sambil
menunjuk ke arah pantai teluk. Mereka melihat tubuh gemuk perwira yang tadi
jatuh mengapung di permukaan air dan bergerak seperti ditarik menuju pantai.
Begitu tubuhnya terbujur di atas pasir menyusul muncul sosok bocah berpakaian
hitam itu. Kedua tangannya didorongkan ke telapak kaki sang perwira hingga
tubuh gemuk itu naik ke atas pasir teluk dan tidak sampai diseret ombak.
“Lihat! Anak itu menolong
perwira yang jatuh!” teriak seseorang. Orang banyak sekarang bertanya-tanya
siapa adanya anak kecil tadi.
“Kalau dia tidak memiliki
kepandaian mana mungkin dia mampu menolong perwira yang tubuhnya hampir sepuluh
kali lebih besar!”
“Anak itu pasti punya ilmu
silat! Masakan Patih Ki Haryo bisa dipermainkannya!” kata seorang lainnya.
“Ya, ya! Yang jelas dia pandai
sekali berenang dan mampu menyelam!”
Tak lama setelah si anak
menyelamatkan perwira gemuk itu, belasan prajurit dan dua perwira Kerajaan
mendarat di pantai teluk. Merek- segera mengejar Naga Kuning.
Menghadapi orang begitu banyak
anak ini bukannya segera melarikan diri. Tapi lebih dulu dia mencibir berulang
kali pada orang-orang itu, melompat jungkir balik ke belakang lalu lari ke arah
dua orang pemuda berambut gondrong yang ada di teluk seraya berteriak.
“Hai! Tolong! Tolong! Ada
orang-orang jahat mengejar mau memukuli diriku!”
*
* *
SEBELAS
Ada keributan di atas perahu
besar, kata pemuda berambut gondrong seraya terus menunjuk ke tengah laut.
Pemuda di sebelahnya memandang ke arah yang ditunjuk tapi tidak berkata
apa-apa. Sesaat kemudian dia mengulangi pertanyaannya tadi. “Katamu kau punya
tugas mencari dan membunuh tiga orang. Siapa saja mereka itu?”
“Kalau kusebutkan pun belum
tentu kau kenal mereka. Apa gunanya?”
“Kalau aku tidak kenal apa
ruginya bagimu mengatakan. Tapi kalau ada diantara mereka yang aku kenal
bukankah ada untungnya bagimu…?”
“Baiklah. Kau bertanya aku
akan memberi tahu. Orang pertama seorang bernama Santiko, berjuluk Bujang Gila
Tapak Sakti. Kau kenal orang ini?”
Orang yang ditanya cepat
sembunyikan perubahan wajahnya. Dia mendongak ke atas sambil garuk-garuk kepala
berpura-pura berpikir. Diam-diam dia menekan rasa keterkejutannya lalu gelengkan
kepala. Dalam hati dia berkata. “Siapa pemuda ini sebenarnya? Mengapa dia
hendak membunuh sahabatku si gendut Bujang Gila Tapak Sakti itu? Aku harus
hati-hati. Manusia ini di luar kelihatan baik bersahabat tapi di dalam mungkin
sejenis binatang buas yang bisa mencelakaiku!” Pemuda Ini lantas, pura-pura
bertanya. “Siapa orang yang ke dua…?”
“Seorang kakek dikenal dengan
nama Sukat Tandika, berjuluk Tua Gila. Kabarnya dia sulit dicari.
Suka gentayangan kemana-mana.
Tapi aku pasti akan menemukannya….”
“Aku juga tidak kenal kakek
itu,..” kata pemuda yang tadi bertanya dengan suara perlahan tapi jantung
mendenyut keras.
“Kau masih ingin tahu siapa
korbanku yang ke tiga?”
“Ya, ya…. Katakanlah.” Jawab
pemuda yang ditanya dengan dada berdebar.
“Orangnya bernama Wiro
Sableng. Punya julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Kabarnya dia seorang
pendekar muda yang telah menggegerkan dunia persilatan di mana-mana. Pernah
dengar nama dan julukannya?”
“Hemm…. Aku pernah dengar tapi
tidak tahu siapa dia adanya….”
“Nah, terbukti kau tidak kenal
ketiga orang yang kusebutkan itu. Suaramu bergetar. Aku melihat ada perubahan
pada air mukamu….”
“Perutku mendadak mules. Tapi
sebelum pergi apakah aku boleh menanyakan sesuatu?” Tanpa menunggu jawaban
orang pemuda itu langsung ajukan pertanyaan. “Apa sebabnya kau ingin membunuh
tiga orang itu? Apa ada silang sengketa atau dendam kesumat antara kalian?”
Yang ditanya menggeleng.
“Kataku tadi, aku menjalankan tugas….”
“Siapa yang memberi tugas itu
padamu?”
“Eh, kau bertanya biasa atau
tengah menyelidik?!”
“Aku hanya kepingin tahu.
Siapa tahu di kemudian hari aku bisa membantu tugasmu itu….”
“Hemm…. Apakah perutmu masih
mules?!”
“Aku harus pergi sekarang.,..”
“Tunggu!” kata pemuda yang
berusia lebih muda seraya memegang tangan pemuda satunya. “Aku melihat ada
orang gemuk terapung di permukaan laut. Entah masih hidup Utusan entah sudah
jadi mayat. Anehnya tubuh itu bergerak ke arah pantai. Ke jurusan kita…. Hai!
Ada seorang anak kecil mendorong tubuh gemuk itu ke atas pasir…. Aku mau
menyelidik apa yang terjadi.”
“Hati-hati! Aku melihat
belasan perahu menuju ke sini. Sepertinya tengah melakukan pengejaran….”
“Perduli dengan orang-orang di
atas perahu. Aku ingin menyelidiki si gemuk dan anak kecil itu….”
Tiba-tiba anak kecil
berpakaian hitam berteriak dan lari ke arah dua pemuda berpakaian hitam itu.
“Tolong! Tolong! Ada
orang-orang jahat mengejar mau memukuli diriku!”
Sesaat kemudian anak kecil
berambut jabrik itu sampai di hadapan dua pemuda gondrong. Salah seorang dari
mereka yaitu yang lebih muda bertanya. “Kulihat yang mengejarmu adalah prajurit
Kerajaan. Apa yang telah kau lakukan?!”
Sebelum anak itu sempat
menjawab, tiga belas prajurit ditambah dua orang perwira telah berada di tempat
itu. Mereka langsung mengurung ketiga orang itu. Ketika empat prajurit hendak
menangkap si anak, pemuda yang tadi bertanya cepat menghalangi.
“Kalau dua pemuda ini adalah
teman anak kurang ajar ini, tangkap mereka bertiga!” Salah seorang dari dua
perwira memerintah lalu melompat ke depan. Tapi gerakannya ditahan dua ujung
jari tangan kiri pemuda di hadapannya.
“Orang muda! Kau berani
menantang perwira Kerajaan?!”
“Aku tidak perduli siapa kau
siapa kalian! Anak kecil itu meminta tolong pada kami! Aku wajib menolongnya
karena kalian berjumlah lebih banyak dan dia cuma seorang anak kecil. Tapi aku
berjanji akan menyerahkan anak itu pada kalian jika kalian bisa memberi
keterangan mengenai tiga orang yang tengah aku cari!”
“Kakak! Kau bukannya mau
menolong! Tapi hendak menjirat leherku!” teriak anak kecil yang adalah Naga
Kuning alias Naga Cilik atau Naga Kecil adanya.
Si pemuda tidak perdulikan
seruan Naga Kuning. Dia terus saja berkata. “Tiga orang itu bernama Santiko
alias Bujang Gila Tapak Sakti. Sukat Tandika alias Tua Gila dan Wiro Sableng
alias Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212….”
“Pemuda gila! Jangan bicara
segala orang yang kami tidak tahu! Kalau kau berani menghalangi kami menangkap
anak ini, maka ini bagianmu!”
Perwira muda itu lalu
hantamkan satu jotosan ke perut si pemuda. Yang dijotos bergeming pun tidak.
Sebaliknya perwira yang memukul tampak merintih kesakitan. Tangan kanannya
kelihatan bengkak kemerahan.
“Rasakan olehmu!” teriak Naga
Kuning seraya tertawa dan julurkan lidahnya.
“Tangkap tiga orang ini! Jika
mereka melawan bunuh semua!” teriak perwira yang tadi memukul dan masih berdiri
kesakitan. Dia bukan saja marah akibat tangannya yang cidera tapi juga karena
diejek dicibir-cibir oleh Naga Kuning.
Maka empat belas orang dengan
berbagai macam senjata menyerbu ke arah si anak kecil dan dua pemuda berambut
gondrong.
“Celaka! Kita hanya mencari
penyakit!” seru pemuda di sebelah kanan. Tapi pemuda yang tadi telah menghadapi
rombongan orang-orang Kerajaan itu malah maju menyongsong sambil bertolak
pinggang.
“Aku Utusan Dari Akhirat! Aku
harap kalian semua segera meninggalkan tempat ini!”
“Pemuda gila itu bunuh lebih
dulu!” teriak perwira yang cidera.
Belasan senjata berkiblat ke
arah pemuda mengaku bernama Utusan Dari Akhirat.
“Kalian mencari mati!” teriak
si pemuda. Lututnya ditekuk sedikit. Tangan kanannya lalu dipukulkan ke depan.
Terjadilah hal yang aneh.
Udara di tempat itu mendadak redup. Lalu tiga larik sinar terang menggidikkan
menderu keluar dari tangan si pemuda. Merah, hitam dan kuning! Hawa panas tiba-tiba
menyungkup seiring tiga sinar yang berkiblat.
Pemuda di samping kiri berseru
kaget ketika melihat pukulan yang dilepaskan oleh si gondrong di depannya.
“Pukulan Gerhana Matahari!”
Pemuda ini kemudian jadi pucat sendiri. Dalam hati dia memaki kebodohannya.
Tololnya diriku! Mengapa aku sampai menyebutkan nama pukulan itu! Tapi aku tak
bisa ditipu. Pukulan tadi benar-benar pukulan Gerhana Matahari. Yang hanya
dimiliki oleh Pangeran Matahari dan Si Muka Bangkai. Tapi murid dan guru itu
sudah menemui ajal di Pangandaran…. Siapa adanya pemuda Ini! Aku harus mencari
tahu sebelum bahaya mengancam!”
Di lain kejap terjadilah hal
yang mengerikan.
Sembilan penyerang termasuk
seorang perwira mencelat mental, jatuh berkaparan di pasir dan tercebur ke
dalam laut. Semua tidak bernyawa lagi. Menemui ajal dengan tubuh terpanggang
hancur! Yang masih hidup tertegun dengan muka pucat lalu berputar larikan diri,
termasuk perwira yang cidera.
“Aku Utusan Dari Akhirat telah
memberi ingat! Tapi kalian sengaja minta mampus! Masih untung tidak mampus
semua!”
Perlahan-lahan pemuda bernama
Utusan Dari Akhirat memutar tubuhnya ke arah pemuda di belakangnya. “Kau
mengenali dan menyebut nama pukulan sakti yang tadi aku lepaskan! Kalau kau
bukan seorang dari dunia persilatan mana mungkin bisa mengenali! Siapa kau
sebenarnya sahabat?!”
“Ah…!” Pemuda yang ditanya
garuk-garuk kepala. “Aku hanya mengira-ngira saja. Tidak tahunya dugaanku tadi
betul. Beberapa waktu lalu aku pernah menyaksikan perkelahian antara dua orang
sakti. Yang satu menyebutkan nama pukulannya sebelum dilepaskan. Katanya itulah
Pukulan Gerhana Matahari. Lalu mencuat tiga warna seperti yang tadi keluar dari
tanganmu….”
“Di mana terjadinya
perkelahian itu! Siapa orang yang kau lihat melepaskan pukulan Gerhana Matahari
itu?!” Utusan Dari Akhirat bertanya dengan pandangan mata lekat menyorot.
“Peristiwanya di Gunung
Bromo…. Tapi aku tidak tahu siapa orangnya….”
“Kau masih ingat ciri-ciri
orang yang memiliki pukulan sakti itu?”
“Orangnya tinggi tegap. Masih
muda. Dia mengenakan sebentuk mantel. Hanya itu yang bisa kau ketahui….
Sobatku, ternyata kau seorang pendekar sakti mandraguna. Kalau saja aku bisa
memiliki kepandaian sepertimu. Ah, aku nelayan tolol mengapa bicara dan
bercita-cita yang bukan-bukan….”
Utusan Dari Akhirat
menyeringai. Dia memandang ke tengah laut. Saat itu dua perahu besar yang
diapit dua perahu rombongan penabuh gamelan semakin dekat ke teluk.
“Sahabatku, pertemuan kita
sampai di sini. Aku harus pergi…” kata Utusan Dari Akhirat.
“Saya Naga Kuning mengucapkan
terima kasih padamu, kakak yang hebat perkasa. Kalau kau tidak menolong pasti
aku sudah ditangkap dan digebuki prajurit-prajurit Kerajaan itu. Aku kagum pada
ilmu kesaktianmu. Bolehkah aku Ikut bersamamu? Maukah kau mengajari pukulan sakti
tadi padaku?”
Utusan Dari Akhirat tersenyum.
“Setiap manusia memiliki rejeki sendiri-sendiri. Jangan meminta yang lebih dari
pada yang sudah ditakdirkan!”
“Kalau begitu maafkan saya
yang tidak tahu diri!” kata Naga Kuning alias Naga Kecil.
Utusan Dari Akhirat mengucak
rambut jabrik Naga Kuning lalu tinggalkan tempat itu. Anak kecil ini memandang
pada pemuda gondrong satunya yang tegak sambil berulang kali menarik nafas
panjang. “Kakak, kau seperti orang diserang bengek. Mengapa kau tidak ikut
dengan kakak satunya itu? Bukankah dia sahabatmu seperjalanan?”
Yang ditanya menggelengkan
kepala dan mengusap mukanya berulang kali. “Pemuda hebat itu barusan saja aku
kenal di tempat ini….”
“Pantas saya lihat kakak
kurang senang padanya….”
“Eh, mengapa kau bicara
begitu?”
“Tadi saya lihat kakak
berulang kali menarik nafas panjang tanda lega orang itu sudah pergi. Bukankah
begitu? Kakak seperti menyembunyikan rasa takut terhadapnya…”
Paras si pemuda sesaat
berubah. “Anak sekecil ini pandai menduga dan mampu membaca pikiran orang…”
katanya dalam hati.
“Saya juga tidak senang pada
pemuda tadi. Dia membunuh orang begitu banyak seperti membunuh lalat saja. Lalu
namanya. Utusan Dari Akhirat! Saya rasa itu satu nama gila dan membayangkan hal
mengerikan….”
“Tapi tadi kau minta dia
mengajarkan pukulan sakti yang dimilikinya itu….”
“Tidak, saya hanya memancing.
Dia pandai menolak secara halus….”
“Bocah cerdik, berapa umurmu?”
“Sebelas tahun…” jawab si
anak.
“Naga Kuning…. Itu namamu
bukan? Kau anak cerdik…. Kau pasti murid seorang pandai dunia persilatan. Dari
sini tadi aku lihat kau mempermainkan lelaki gemuk di atas perahu itu.”
Naga Kuning tertawa lebar.
“Saya sendiri tahu kalau kakak berpura-pura tolol mengaku seorang nelayan.
Sebenarnya kakak adalah seorang dari dunia persilatan, betul?”
“Bocah, kau mulai berlaku
keliwat pintar…”
“Saya bisa membuktikan!”
“Hemm…. Cobalah!”
“Pertama, tadi kau bisa
menyebut nama pukulan sakti yang dilepaskan pemuda itu. Ketika ditanya kau
mengatakan pernah melihat ada dua orang berkelahi dan salah satu melepaskan
pukulan sakti itu sambil menyebut namanya. Saya rasa kau bicara dusta. Bukankah
begitu…? Hik… hik… hik!” Naga Kuning tertawa gelak-gelak.
Pemuda gondrong di hadapan
Naga Kuning tertegun ternganga. Lalu sambil tersenyum dia berkata. “Aku kagum
akan kecerdikanmu. Tapi pernah kau mendengar ujar-ujar yang mengatakan bahwa
kadang-kadang seseorang bisa tertipu oleh kecerdikannya sendiri?”
“Baiklah kalau kau tidak mau
mengakui bukti pertama tadi. Saya masih punya satu bukti lagi…. Kalau kakak
bukan orang persilatan mengapa membekal senjata dibalik pakaian?”
Rupanya karena anak ini lebih
pendek maka dari bawah dia bisa melihat jelas bagian pakaian si pemuda gondrong
yang menggembung.
Karena terkejut mendengar
ucapan Naga Kuning, pemuda itu secara tak sengaja membuat gerakan meraba ke
pinggang.
Naga Kuning tertawa
gelak-gelak.
“Kau benar-benar cerdik Naga
Kuning. Walau kau tidak mau mengaku tapi gurumu tentu seorang berkepandaian
sangat tinggi. Apa kau tinggal di sekitar teluk ini?”
Naga Kuning menggeleng. “Saya
tidak punya rumah. Tidak punya orang tua. Rumah saya di mana-mana. Orang tua
saya siapa saja yang. menyukai diri saya….” Anak ini hentikan ucapannya.
“Ada apa?”
“Lihat, tiga perahu besar
segera mendarat. Belasan perahu berisi puluhan prajurit dikayuh ke arah sini….
Kita tidak bisa menghindarkan urusan kecuali segera kabur dari sini!
“Aku tidak mau mencari
penyakit. Orang-orang Kerajaan pasti akan menangkap kita. Lekas tinggalkan
tempat ini….”
“Saya akan lari ke arah
timur!” kata Naga Kuning.
“Aku ke jurusan Tenggara!”
kata pemuda berambut gondrong.
“Tunggu dulu! Apa kau tidak
merasa kehilangan sesuatu?”
“Eh, apa maksudmu?” tanya si
gondrong.
Naga Kuning acungkan tangan
kirinya yang sejak tadi disembunyikan ke belakang. Di tangan itu tergenggam
sebuah batu hitam berbentuk empat persegi panjang. Pemuda gondrong berseru
kaget.
“Anak sialan! Bagaimana kau
bisa mencopet benda itu tanpa aku tahu?!” bentak si gondrong. Batu hitam itu
adalah batu mustika yang bisa mengeluarkan lidah api. Benda ini membuktikan
bahwa si pemuda sebenarnya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Selagi Naga Kuning tertawa
cekikikan pemuda di hadapannya segera menyambar batu hitam yang merupakan
Sebuah batu mustika sakti pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 yang saat itu
terselip di pinggangnya.
Baru saja Wiro berhasil
mengambil batu hitam itu tiba-tiba delapan senjata tajam melayang di udara.
Wiro cepat tarik tangan Naga Kuning hingga anak ini terbetot ke belakangnya.
Pada saat itu pula tiga buah tombak dan dua buah golok panjang menghantam tubuh
Pendekar 212. Tiga senjata lainnya menderu di atas kepalanya.
Lima kali terdengar suara
berdentrangan. Lima senjata terpental. Dua di antaranya dalam keadaan patah.
Berkat jubah Kencono Geni yang dikenakannya Wiro menjadi kebal tak cidera
sedikit pun. Hanya baju hitam yang dikenakannya tampak robek di beberapa
bagian.
“Luar biasa! Kau punya ilmu
kebal!” teriak Naga Kuning dengan mata melotot. “Kau tak bisa menipu lagi! Kau
pasti seorang pendekar rimba persilatan berkepandaian tinggi!”
Wiro tidak perdulikan ucapan
anak itu. Sebelum puluhan prajurit sampai ke tempat itu dia segera melarikan
diri. Si kecil Naga Kuning sesaat celingukan. Lalu dia menghambur pula ke arah
lenyapnya Pendekar 212.
DUA BELAS
Murid Eyang Sinto Gendeng lari
sekencang yang bisa dilakukannya. Bukan saja karena khawatir akan dikejar oleh
prajurit Kerajaan namun dia juga masih dihantui oleh rasa ngeri terhadap pemuda
yang mengaku bernama Utusan Dari Akhirat itu. Seperti diketahui walau saat itu
telah mendapat ilmu tidur dari Si Raja Penidur dan mengenakan jubah sakti
Kencono Geni namun Wiro masih berada dalam keadaan lemah karena telah
kehilangan kesaktian dan tenaga dalamnya. Karenanya belum terlalu jauh berlari
meninggalkan teluk dia mulai merasakan dadanya sesak kehabisan nafas dan dua
kakinya laksana mau tanggal.
“Aku tak bisa lari lagi! Kalau
orang-orang itu masih mengejar celaka diriku!” pikir Wiro. Dia berusaha mencari
tempat berhenti sekaligus bersembunyi. Namun kawasan pantai di sekitar tempat
dia berada adalah kawasan terbuka. Hanya pohon-pohon kelapa yang bertumbuhan di
sana-sini dan tak mungkin dipergunakan untuk tempat berlindung. Bukit-bukit
karang berada cukup jauh di sebelah timur teluk. Tak ada jalan lain. Kalau ingin
selamat dia harus mampu mencapai bebukitan karang itu. Maka walau dada sesak,
nafas serasa mencekik leher dan dua kakinya seolah telah berubah menjadi batu
berat yang membuatnya sulit melangkah apalagi berlari, namun tak ada jalan
lain. Dia harus dapat menyelinap selamatkan diri di bukit-bukit karang sana.
Wiro hanya mampu berjalan
sampai dua puluh tombak. Setelah itu kakinya goyah. Tubuhnya jatuh berlutut.
Telinganya menangkap suara ramai di kejauhan. Ketika dia berpaling ke arah
teluk sebelah barat berubahlah parasnya. Puluhan prajurit Kerajaan sambil
berteriak-teriak berlari ke arahnya dengan senjata diacung-acungkan ke udara!
Beberapa di antaranya malah telah menarik busur melepas anak panah ke arahnya.
“Celaka!” desis Pendekar 212.
Dia maklum walau saat itu mengenakan jubah Kencono Geni serta memiliki ilmu
tidur namun menghadapi lawan sebanyak itu mana mungkin dia selamatkan diri?
Selagi Wiro kebingungan
tiba-tiba dia mendengar suara lain. Suara rentak kaki kuda serta sesuatu yang
berputar dan meluncur di atas permukaan pasir pantai diseling oleh suara “tar…
tar… tar” berulang kali! Wiro berpaling ke jurusan datangnya suara itu. Sebuah
gerobak ditarik oleh seekor kuda meluncur dari arah samping.
“Ini satu-satunya harapanku!”
pikir murid Sinto Gendeng. Dia tidak memikirkan lagi dari mana datangnya
gerobak itu atau siapa orang yang menjadi sais. Yang ada di otaknya adalah
mencari selamat. Dia juga tidak memperhatikan kalau di bagian bawah gerobak
mendekam sesosok tubuh berpakaian serba hitam.
Wiro kumpulkan sisa-sisa
tenaganya yang ada. Begitu gerobak lewat di depannya dia segera melompat. Dia
berhasil menangkap dinding kereta sebelah kanan. Untuk beberapa lamanya Wiro
hanya mampu bergelantungan sementara kedua kakinya terseret di pasir. Dia
kumpulkan lagi tenaga yang masih ada. Dengan susah payah akhirnya Wiro berhasil
memanjat pinggiran kereta dan jatuhkan dirinya ke dalam kereta. Untuk beberapa
lamanya dia terhenyak tertelentang di lantai kereta. Sinar matahari yang keras
membuat pemandangannya kelam kesilauan. Dia tidak dapat melihat dengan jelas
kusir gerobak itu. Yang tampak hanyalah satu sosok berpakaian serba kuning,
duduk di bagian depan gerobak. Tangan kanan mencekal tali kekang sedang tangan
kiri memegang cemeti yang terus menerus dipergunakan untuk mencambuk kuda
penarik gerobak yang berlari kencang ke jurusan bukit-bukit batu.
Karena terbujur di lantai
gerobak Wiro tidak mengetahui kalau kendaraan itu meluncur ke arah gundukan
batu karang yang mencuat muncul setinggi satu jengkal dari permukaan pasir.
Jika arah gerobak tidak segera dirubah maka salah satu roda kendaraan akan
membentur batu karang itu. Akibatnya gerobak akan terpental lalu terguling.
Tapi anehnya seperti tidak melihat adanya gundukan batu karang atau mungkin
memang disengaja kusir kereta tidak mengubah arah lari kudanya.
Kalau Wiro tidak mengetahui
apa yang bakal terjadi, lain halnya orang yang bergelantungan di bawah kolong
gerobak. Sepasang matanya melotot ketika melihat bagaimana roda gerobak sebelah
kanan meluncur tepat ke arah gundukan batu karang yang menyembul di permukaan
pasir pantai.
“Gilai Kusir gerobak ini buta
atau bagaimana?!”
“Batu sebesar hantu itu
masakan dia tidak melihat! Aku harus berteriak memberi ingat!”
Namun sebelum sempat orang ini
berteriak, roda kanan gerobak telah lebih dulu membentur dan menggilas gundukan
batu. Tak ampun gerobak itu terpental ke udara setinggi dua tombak. Roda kanan
tanggal, sesaat membubung ke udara lalu jatuh ke pasir hancur berantakan.
Gerobak dan kuda terbanting ke pasir, sisi kirinya remuk. Kuda penarik gerobak
meringkik keras sebelum jatuh terkapar.
Pada saat gerobak menghantam
gundukan batu tadi, tiga sosok tubuh tampak melesat ke udara. Yang pertama
adalah kusir gerobak yang mengenakan pakaian kuning dan ternyata wajahnya juga
ditutup sehelai kain kuning. Orang ini membuat tiga kali jungkiran di udara
lalu melesat ke arah bukit karang dan lenyap di balik salah satu lamping batu
karang.
Sosok ke dua bukan lain adalah
tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba terpental ke arah pantai. Dia
berusaha agar tidak terbanting jatuh ke atas pasir dengan mencoba membuat
gerakan berputar. Namun karena tidak punya daya kekuatan lagi, dia tak mampu
melakukan hal itu. Wiro masih mencoba membuat gerakan meredam daya berat
kejatuhannya dengan pergunakan kedua tangannya bertumpu ke pasir lalu
menggelindingkan diri. Dia berhasil, hanya saja salah memilih arah. Punggungnya
menghantam bukit karang. Dia meringis kesakitan, menggeliat lalu rebah ke
pasir. Dari mulutnya keluar suara erangan. Punggungnya terasa seolah hancur.
Orang ke tiga terpental dari
bawah kolong gerobak. Dia yang paling beruntung karena tubuhnya mencelat ke
arah laut dan jatuh ke air. Sesaat dia megap-megap namun kemudian dengan
cekatan berenang ke tepi pasir.
Di balik lamping batu karang
murid Sinto Gendeng terhenyak tak bergerak. Kedua matanya terpejam. Meskipun
rasa sakit pada punggungnya masih terasa namun dia beruntung terlindung oleh
jubah Kencono Geni yang melekat di tubuhnya. Selain itu beruntung dia tidak
sampai jatuh pingsan. Wiro menarik nafas berulang kali. Perlahan-lahan dia
beringsut ke balik bukit. Wiro masih khawatir kalau-kalau para prajurit
Kerajaan akan mengejarnya. Namun sampai saat itu tidak satu orang pun yang
muncul. Dia mengusap mukanya berulang kali. Sambil menggaruk-garuk kepala dia
berusaha berpikir apa yang telah terjadi. Dia dikejar oleh puluhan prajurit.
Menyelamatkan diri dengan jalan meloncat ke atas gerobak yang dikemudikan oleh
seseorang berpakaian serba kuning yang tidak sempat dilihatnya wajahnya. Lalu
tiba-tiba saja gerobak itu menumbuk sesuatu dan mental ke udara. Tubuhnya ikut
terlontar.
Memandang berkeliling Wiro
tidak melihat kusir gerobak tadi. Wiro juga tidak mengetahui kalau ada orang ke
tiga yang ikut mental sewaktu gerobak menumbuk batu karang.
“Kusir kereta berpakaian
kuning itu. Aku rasa-rasa…. Ah jangan-jangan memang dia! Orang bercadar kuning
yang menolong Tua Gila waktu di serang nenek brengsek bernama Sabai Nan Rancak
itu…. Ke mana dia sekarang?” Wiro memandang berkeliling namun orang berpakaian
serba kuning yang menutupi wajahnya dengan cadar kuning sama sekali tidak
kelihatan. “Aneh, orang berkepandaian tinggi seperti si cadar kuning itu
masakan begitu bodoh mengemudikan gerobak….”
Selagi Wiro berpikir-pikir
seperti itu tiba-tiba terdengar suara keras menegur.
“Aku Utusan Dari Akhirat
datang untuk minta nyawamu! Apakah kau sudah bersiap menerima kematian?!”
Murid Sinto Gendeng mendengar
petir menyambar di kedua liang telinganya. Mukanya berubah pucat. Walau sakit
di punggungnya belum lenyap, dia cepat bangkit berdiri dan berpaling ke jurusan
datangnya suara orang menegur tadi. Namun dia tidak melihat siapa-siapa.
“Suaranya jelas dan keras
terdengar dari arah situ. Tapi orangnya tidak kelihatan. Kalau dia muncul dan
ternyata sudah mengetahui siapa aku, celaka besar diriku!”
“Utusan Dari Akhirat, kau
bicara tapi tidak memperlihatkan diri. Aku tak mengerti maksud teguranmu tadi!
Tadi kau pergi dengan sikap bersahabat. Mengapa sekarang muncul kembali dengan
niat hendak membunuhku?!”
Jawaban yang didapat Pendekar
212 adalah suara tawa bergelak yang mau tak mau membuat hatinya bertambah
kecut. Diusapnya dadanya. “Kalau dia memang berniat hendak membunuhku, apakah
jubah sakti ini sanggup menahan pukulan Gerhana Matahari?!” membatin Wiro
seraya tangannya meraba ke pinggang di mana terselip Kapak Maut Naga Geni 212.
*
* *
TIGA BELAS
Suara tawa berhenti. Berganti
dengan ucapan mengejek. “Tangan bergerak ke pinggang. Hendak mencabut batu api
atau pasangannya kapak bermata dua?! Ha… ha… ha! Kau boleh punya batu api
segunung, boleh punya kapak segerobak! Tapi Utusan Dari Akhirat telah datang
membawa pesan malaikat maut! Manusia mana yang mampu menolak datangnya ajal?!
Ha… ha… ha!”
Bersamaan dengan lenyapnya
suara tertawa tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. Menyangka orang hendak
menyerangnya Pendekar 212 cepat melompat mundur. Ternyata orang itu tidak
menyerang tapi tegak berdiri di atas gundukan batu karang sejarak tiga langkah
dari hadapan Wiro.
Sewaktu murid Eyang Sinto Gendeng
ini melihat siapa adanya orang itu maka dia langsung memaki habis-habisan.
“Anak setan! Kau rupanya!
Kurang ajar sial dangkalan! Berani kau mempermainkan aku!”
Orang di atas batu tersenyum
cengar-cengir. Ternyata dia adalah anak kecil berusia sebelas tahun berambut
jabrik, mengenakan pakaian serba hitam dengan gambar naga di dadanya. Dia bukan
lain adalah Naga Kuning alias Naga Cilik alias Naga Kecil. Pakaian hitamnya
basah kuyup. Rambutnya juga basah tapi tetap saja kaku tegang berdiri.
“Kakak, bukit batu karang di
teluk ini bukit angker! Siapa berani memaki tak karuan lidahnya bisa mencelat
dan mulutnya bisa perot! Hik… hik… hik…!”
Wiro hendak melabrak lagi si
anak dengan kutukan serapah tapi batalkan niatnya. Sambil garuk-garuk kepala
dia berpikir. “Suara anak ini jelas berbeda dengan suara orang yang tadi
membentakku. Berarti…. Atau mungkin dia….” Wiro garuk lagi kepalanya lalu
bertanya. “Naga Kuning! Apakah kau tadi yang mempermainkanku, seolah kau adalah
orang bernama Utusan Dari Akhirat itu…?!”
“Aku barusan datang. Utusan
Dari Akhirat bukankah sudah pergi. Pertanyaanmu aneh….”
“Di sini tidak ada orang lain
kecuali kau dan aku! Kecuali ada setan yang pandai berkata-kata….”
“Apa kau mengenali suara orang
itu…?”
“Suaranya memang tidak seperti
suaramu. Juga tidak menyerupai suara Utusan Dari Akhirat….”
“Lalu apakah suaranya seperti
ini…?” Naga Kuning lalu monyongkan mulutnya dan berkata. “Aku Utusan Dari
Akhirat Datang untuk minta nyawamu! Apakah kau sudah bersiap menerima
kematian?!”
Murid Sinto Gendeng
terbelalak. Suara dan kata-kata yang diucapkan Naga Kuning sama dengan suara
orang yang tadi didengarnya.
“Hemmm…. Kau punya kepandaian
meniru suara orang! Berarti memang kau yang sengaja mempermainkan diriku!” Wiro
melangkah cepat mendekati Naga Kuning. Tangan kanannya diulurkan untuk
menjambak rambut jabrik anak itu. Tapi gerakannya tertahan sewaktu tiba-tiba
dari samping kiri terdengar suara deru dahsyat. Di lain kejap satu gelombang
angin melabrak ganas ke arah Pendekar 212. Karena Naga Kuning berada di dekat
Wiro maka sambaran angin itu ikut menyapunya. Naga Kuning berteriak keras.
Dengan cepat anak ini melompat
ke udara setinggi dua tombak. Namun tak urung salah satu kakinya kena tersambar
hingga dalam keadaan melayang tubuhnya terbanting di udara. Kakinya serasa
putus. Naga Kuning menjerit kesakitan sambil pegangi kaki kirinya. Di bawah
sana gundukan batu karang tempat dia berdiri tadi hancur berentakan dan
bertaburan ke udara bersama pasir pantai. Naga Kuning menjerit lagi ketika menyadari
saat itu dirinya terlontar ke arah bagian runcing salah satu gundukan batu
karang, kepala lebih dulu!
Di saat bersamaan murid Sinto
Gendeng telah menerima pula hantaman dahsyat. Tubuhnya laksana dihantam batu
besar, bersamaan dengan itu dia seperti diseret air bah. jubah sakti Kencono
Geni memang melindungi tubuhnya namun jalan darah di sekitar tubuhnya laksana
berhenti. Lalu dengan tiba-tiba mengalir lagi tapi alirannya tak karuan,
seperti menyungsang terbalik. Akibatnya Wiro merasa seolah ada ribuan jarum
menusuki bagian dalam tubuhnya. Murid Sinto Gendeng menjerit keras sementara
tubuhnya terlempar empat tombak ke udara lalu melayang jatuh. Masih untung dia
jatuh ke arah pinggiran laut. Namun dalam keadaan seperti lumpuh, walaupun
jatuh di bagian laut yang dangkal Wiro tak bisa berbuat apa-apa. Dia tetap akan
tenggelam dan kalau tidak dihanyutkan ombak ke tepi pasir atau ada yang
menolong, cepat atau lambat nyawanya tidak akan selamat!
“Huh…. Hancur kepalaku!” seru
Naga Kecil ketika menyadari sebentar lagi kepalanya akan membentur bagian batu
karang runcing. Jarak demikian dekatnya hingga tak mungkin baginya untuk
menghindar atau membuat gerakan berkelit. Dalam keadaan genting begitu rupa si
anak ingat pada seruling yang terselip di pinggangnya, Dengan cepat dia
pergunakan tangan kiri mencabut benda itu. Begitu suling berada dalam
genggaman, benda ini ditusukkannya ke depan, ke arah batu karang runcing. Ini
satu-satunya jalan untuk menghindarkan benturan kepala dengan batu karang.
Traakkk!”
Suling yang terbuat dari bambu
itu patah dua! Bobot dorongan tubuh Naga Kuning yang terlempar walau kini
berkurang sampai setengahnya yang membuat dia masih ada kesempatan untuk
miringkan kepala, walau kepalanya selamat dari benturan namun tak urung bahu
kanannya kini tak terhindarkan dari menghantam pertengahan batu karang. Kepala
selamat tapi tulang belikat si bocah akan hancur remuk!
Sesaat lagi benturan itu akan
terjadi tiba-tiba terdengar suara semburan keras. Bersamaan dengan itu
kelihatan muncratan cairan aneh ke arah batu karang disertai menghamparnya bau
sangat harum. Udara seolah terbungkus oleh hawa yang menyengat tapi melegakan
jalan pernafasan.
“Brakkk!”
Batu karang runcing hancur
berentakan bagian atasnya. Bahu kanan Naga Kuning selamat dari benturan keras.
Namun hancuran batu karang serta bau aneh yang menyengat membuat anak ini
megap-megap sulit bernafas. Sesaat kemudian ketika dia akhirnya jatuh ke tanah,
walau disambut pasir basah empuk, tetap saja anak ini terkapar pingsan dengan
kening kiri benjut!
“Ah betapa bodohnya diriku
ini!” kata satu suara penuh penyesalan. Orangnya tak kelihatan karena
terlindung di balik lamping batu karang.
“Hik… hik… hik!” Ada suara
perempuan tertawa menyahuti ucapan tadi. “Kini kau sadar kalau kau sering berlaku
bodoh! Seharusnya kau pergunakan benang suteramu untuk menjirat bocah itu!”
“Buat apa disesali! Yang
penting aku harus segera menolong anak setan yang kecebur ke dalam laut itu!”
Lalu terdengar suara “gluk,.. gluk… gluk!” Suara seseorang meneguk minuman
dengan lahap.
“Tunggu! Walau otak bodoh
kuharap matamu jangan jadi buta! lihat! Ada seorang nenek memegang mantel
berlari ke arah laut!” Suara perempuan memberi ingat.
“Hemmm… Aku tidak kenal nenek
berjubah hitam itu. Tapi aku tahu betul, mantel yang dipegangnya adalah
kepunyaan Datuk Tinggi Raja Di Langit yang dikabarkan sudah menemui ajal,
terkubur hidup-hidup beberapa waktu lalu!”
“Gluk… gluk… gluk!” Kembali
terdengar suara orang menenggak minuman dengan lahap.
“Kau tidak kenal dia, tapi aku
tahu siapa nenek satu itu. Dia adalah Sabai Nan Rancak, seorang nenek sakti
dari puncak Gunung Singgalang. Dialah yang dicurigai para tokoh persilatan
sebagai biang racun penimbul kekacauan di dua pulau besar!”
“Kalau begitu biar kuhajar
dia! Barusan dia hendak mencelakai, malah mau membunuh Pendekar 212 Wiro
Sableng!”
“Masih saja tolol! Tak mau
membuka mata. Lihat ke tengah laut sana!”
Siapa adanya dua orang yang
terlindung di balik lamping batu karang merah di teluk Parangtritis itu? Yang
di sebelah kanan adalah seorang kakek berusia lebih dari 80 tahun. Janggutnya
yang putih menjela dada. Pakaiannya selempang kain putih. Dia membelai dua
tabung bambu berisi tuak murni menebar bau harum. Satu tabung dipanggul di
punggung, satunya lagi ditenteng di tangan kanan. Orang tua ini bukan lain
adalah Dewa Tuak. Salah seorang tokoh utama rimba persilatan tanah Jawa yang
merupakan guru gadis bernama Anggini.
Tegak di sampingnya adalah
seorang nenek mengenakan baju panjang hitam berbunga-bunga putih. Wajahnya yang
keriputan sangat menggelikan untuk dipandang. Karena nenek ini berdandan sangat
mencorong. Bedaknya putih setebal dempul. Dua alisnya dicat tebal hitam,
mencuat ke atas. Bibirnya berwarna sangat merah entah dipoles dengan apa.
Rambutnya hitam disanggul rapi di belakang kepala. Perempuan tua ini adalah
yang dikenal dalam rimba persilatan dengan julukan Iblis Muda Ratu Pesolek atau
Iblis Putih Ratu Pesolek. Sejak peristiwa besar di Pangandaran (baca serial
Wiro Sableng Episode berjudul Kiamat Di Pangandaran) sepasang kakek nenek ini
selalu ke mana-mana berdua karena sebenarnya mereka adalah dua kekasih di masa
muda yang selama belasan tahun tidak pernah bertemu.
Mendengar ucapan Iblis Muda
Ratu Pesolek dan karena tangannya dipegang, Dewa Tuak terpaksa batalkan niatnya
hendak keluar dari lamping batu karang merah. Dia memandang ke tengah laut, di
arah mana tadi Pendekar 212 Wiro Sableng terpental dan tercebur dalam keadaan
tak berdaya.
*
* *
EMPAT BELAS
Sabai Nan Rancak yang begitu
bernafsu hendak membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu mengapung tak
berdaya di permukaan laut Teluk Parangtritis, mendadak sontak hentikan
langkahnya. Memandang ke tengah laut dia melihat satu pemandangan yang sulit
dipercayanya.
Sebuah caping bambu tampak
terapung di atas permukaan laut, bergerak ke pantai seolah mengikuti alunan
arus gelombang. Di atas caping bambu ini duduk berjongkok seorang kakek
berpakaian rombeng butut. Di bahu kanannya dia memanggul satu kantong kain. Di
tangan kiri ada sebatang tongkat yang sesekali dicelupkannya ke dalam air.
Setiap tongkat dicelup maka caping yang jadi dudukannya melesat ke depan,
mengarah ke jurusan sosok Pendekar 212 terapung-apung. Kepalanya mendongak ke
langit. Rambutnya yang putih tipis berkibar-kibar ditiup angin. Yang hebatnya
lagi, di tangan kanannya kakek ini memegang sebuah kaleng rombeng berisi
batu-batu kerikil. Setiap dia mengguncang kaleng itu maka menggemalah suara
berisik memekakkan telinga yang terdengar sampai ke pantai dan membuat ombak
seolah berhenti mengalun!
Apa yang dilihat Sabai Nan
Rancak juga disaksikan oleh Dewa Tuak dan Iblis Muda Ratu Pesolek. Kalau Sabai
jadi tercekat sebaliknya Dewa Tuak dan sang kekasih walaupun melongo
terheran-heran tapi juga tampak senyum-senyum.
“Tua bangka jahanam itu! Pembunuh
Datuk Angek Garang! Dicari sulit, kini datang sendiri meminta mati!” Seperti
dituturkan dalam Episode Lembah Akhirat Datuk Angek Garang pembunuh Malin Sati
(Murid Tua Gila) menemui ajalnya di tangan Tua Gila. Namun Sabai Nan Rancak
menduga keras bahwa Kakek Segala Tahulah yang telah membunuh sahabatnya itu. Si
nenek kertakkan rahang lalu berlari cepat berusaha mendahului kakek di atas
caping. Namun si kakek yang sepasang matanya tertutup lapisan putih alias buta
ini lebih cepat. Dua kali mencelupkan tongkat bututnya serta dua kali
mengerontangkan kaleng rombengnya maka orang tua yang dalam rimba persilatan
dikenal dengan julukan Kakek Segala Tahu itu sudah berada di depan sosok
Pendekar 212.
“Anak tolol! Siang bolong
begini mengapa berenang di lautan! Ha… ha… ha!”
Dengan ujung tongkatnya Kakek
Segala Tahu menusuk tengkuk pakaian hitam Wiro. Ujung tongkat diputar hingga
leher baju Pendekar 212 ikut tergulung. Lalu sekali tongkat itu disentakkan
maka sosok Wiro melesat ke udara, melayang ke arah pantai.
Sabai Nan Rancak berseru kaget
dan mendongak mengikuti tubuh yang melayang itu. Ternyata Kakek Segala Tahu
melesatkan tubuh Wiro ke arah sederetan bukit karang rendah tetapi memiliki
empat puncuk seruncing tombak! Sekali tubuhnya terbanting di atas batu karang
maka paling tidak dua bagian batu yang runcing akan menembus tubuhnya!
“Celaka anak itu!” seru Dewa
Tuak. Dia segera bergerak hendak menolong tapi lagi-lagi lengannya dipegang
nenek di sebelahnya.
“Iblis Muda Ratu Pesolek! Kau
sengaja menahanku agar pemuda itu mati mengenaskan ditembus batu karang!”
teriak Dewa Tuak. Kali ini dia benar-benar marah.
Tapi si nenek malah tertawa
cekikikan.
“Kau lagi-lagi berlaku seperti
orang buta! Coba kau lihat ke jurusan batu karang sana!”
Meski mengomel panjang pendek
Dewa Tuak putar kepalanya ke arah yang ditunjuk yakni gugusan empat batu karang
runcing. Maka tercekatlah orang tua berselempang kain putih ini. Dengan
menjejakkan kaki kiri kanan di atas tonjolan dua batu karang runcing kelihatan
tegak rangkapkan dua tangan di depan dada seorang pemuda berambut gondrong,
mengenakan pakaian hitam dan ikat kepala hitam.
Begitu sosok Wiro sampai dan
jatuh tepat di hadapannya, pemuda ini segera angsurkan sepasang tangannya ke
depan menyambut tubuh Pendekar 212. Tubuhnya terbungkuk ke depan, sepasang
lututnya tertekuk sedikit karena menahan beban tubuh yang cukup berat. Namun
dua kakinya sedikit pun tidak bergeser dari ujung-ujung batu karang runcing
yang dipijaknya!
“Manusia hebat!” Memuji Dewa
Tuak. “Gluk… gluk… gluk!” Dia teguk tuak dari tabung bambu lalu bertanya. “Apa
kau mengenali siapa adanya pemuda yang menolong Pendekar 212 itu?”
Iblis Putih Ratu Pesolek
rapikan sanggulnya, usap pipinya baru menjawab. “Baru sekali ini aku melihat.
Tampangnya boleh juga! Hik… hik… hik!”
“Jangan berpikiran kotor!”
bentak Dewa Tuak setengah jengkel.
Saat itu pemuda berpakaian
hitam sambil mendukung Wiro bergerak turun dari atas bukit karang. Baru saja
dia mencapai kaki bukit karang merah Sabai Nan Rancak telah berada di hadapannya
memandang dengan mata melotot penuh selidik.
“Anak muda! Aku tak punya
waktu banyak untuk bicara! Katakan siapa dirimu! Terangkan apa hubunganmu
dengan pemuda yang kau tolong itu!”
Pemuda berpakaian hitam
berambut gondrong letakkan tubuh Pendekar 212 di tanah. Lalu memandang si nenek
sambil rangkapkan tangan di depan dada. “Orang bertanya aku harus menjawab.
Namaku Utusan Dari Akhirat! Pemuda itu tak punya hubungan, apa-apa dengan
diriku! Tapi karena sebelumnya sudah saling mengenal kurasa tidak ada ruginya
aku menolongnya!”
“Hemm… Begitu?! Jika demikian
harap kau segera tinggalkan tempat ini! Pemuda itu sudah ditakdirkan untuk mati
di tanganku!”
Sepasang mata Utusan Dari
Akhirat membesar, alisnya naik ke atas lalu dia tertawa gelak-gelak. Dia
memandang pada sosok Wiro sesaat. “Nyawa orang bagiku bukan apa-apa. Aku justru
datang dari akhirat untuk menyebar maut! Untung kau bukan salah seorang calon
korbanku! Jika kau mau membunuhnya silahkan saja. Tapi….”
“Tapi apa!” sentak Sabai Nan
Rancak. Tangan kanannya yang memegang mantel siap menggebuk.
“Setiap kematian ada sebabnya.
Setiap pembunuhan ada alasannya. Apa sebab kau ingin membunuh pemuda ini?”
tanya Utusan Dari Akhirat.
“Kau tak layak bertanya. Lekas
menyingkir atau kau akan ikut mampus bersamanya!”
“Nenek tua, bicaramu sombong
amat!” kata Utusan Dari Akhirat tidak senang. Saat itu dilihatnya tubuh Wiro
bergerak sedikit dan dua matanya membuka tanda dia mulai siuman. Utusan Dari
Akhirat melangkah mendekati Wiro. “Kau ingin membunuhnya! Nah bunuhlah!”
Utusan Dari Akhirat selinapkan
kaki kanannya ke bawah punggung Wiro. Lalu kaki itu disentakkan kuat-kuat.
Tubuh Wiro terangkat dan melesat ke arah si nenek. Di saat itu justru Pendekar
212 tersadar dari pingsannya. Walau siuman namun dia tidak tahu apa yang tengah
terjadi. Begitu mengetahui dirinya melesat ke udara dan ada orang di sampingnya
maka tanpa pikir panjang dia langsung memeluk dan menggayuti tubuh orang itu.
Sabai Nan Rancak terpekik
ketika Wiro memeluknya kencang-kencang sementara wajah mereka saling bertemu
satu sama lain.
“Kurang ajar! Berani kau
memelukku!” teriak Sabai Nan Rancak marah. Dia berusaha membantingkan tubuh
Wiro ke tanah. Tahu dirinya hendak dilemparkan orang Wiro malah mempererat
pelukan ke dua tangannya. Pipinya semakin rapat ditempelkan ke pipi si nenek
dan malah dua kakinya ikut digelungkan ke tubuh belakang Sabai Nan Rancak.
“Jahanam!” Sabai Nan Rancak
marah sekali. Tapi kedua tangannya tersepit di bawah gelungan sepasang tangan
Wiro. Ketika dia berusaha berontak lepaskan diri, kakinya terpeleset. Sabai Nan
Rancak jatuh tertelentang. Karena Wiro masih memelukinya maka dengan sendirinya
Wiro ikut jatuh tertelungkup di atas tubuhnya.
Di balik lamping batu karang
terdengar suara tawa cekikikan Iblis Putih Ratu Pesolek. Dari arah laut
menggema suara kerontangan kaleng.
“Jahanam kurang ajari Berani
kau menindihku!”
“Bukk… bukk!” Wiro mengeluh
tinggi. Tubuhnya terpental ke atas akibat sodokan lutut dan pukulan tangan kiri
Sabai Nan Rancak.
Saat itu Naga Kecil yang tadi
terkapar pingsan di atas pasir pantai keluarkan suara seperti mengerang.
Tangannya memegangi keningnya yang benjut. Dia mendengar suara
bentakan-bentakan. Lalu ada tubuh melayang ke udara. Anak ini cepat bangkit.
“Bukkkk!”
Naga Kuning melihat Wiro jatuh
terduduk di atas pasir. Di hadapan Wiro ada seorang nenek berjubah hitam, tegak
memegang sehelai mantel yang siap hendak digebukkan ke kepala Wiro.
Ada seseorang berseru dari
balik bukit karang. Lalu dua larik sinar biru membeset udara. Sabai Nan Rancak
berseru kaget. Gerakannya hendak menghantamkan Mantel Sakti ke kepala Wiro
terpaksa dibatalkan karena dua larik sinar biru tadi menderu ke arah dada dan
perutnya.
Kertakkan rahang Sabai Nan
Rancak berpaling ke arah asal datangnya dua larik sinar biru tadi. Rahangnya
menggembung. Di atas bukit sejarak delapan tombak dari tempatnya berdiri si
nenek melihat seorang gadis berjubah hitam selutut tegak memandang tak berkesip
ke arahnya. Di tangan kanannya ada sebuah cermin berbentuk bulat.
“Ratu Duyung!” desis Sabai Nan
Rancak. “Belum mampus dia rupanya!” Sabai tidak suka melihat kemunculan sang
Ratu. Lebih dari itu diam-diam dia mengetahui bahwa ada beberapa orang
berkepandaian tinggi berada di tempat itu.
“Kau!” teriak Sabai Nan
Rancak. “Terima kematianmu!” Lalu laksana terbang nenek ini melesat ke arah
Ratu Duyung. Tangan kanannya menghantam dengan mantel.
Saat itu dari samping melayang
sebuah benda bulat. Memapasi dan memotong gerakan Mantel Sakti. Benda bulat itu
ternyata adalah sebuah caping bambu yang serta merta hancur kena hantaman ujung
mantel. Walau caping hancur berkeping-keping namun hantaman Mantel Sakti jadi
berubah arah ke jurusan lain.
Caping itu bukan lain adalah
milik Kakek Segala Tahu yang sengaja dilemparkan si kakek untuk menolong Ratu
Duyung.
“Braaakkk! Byaaarr!”
Dinding karang di sebelah kiri
Ratu Duyung hancur berantakan. Hancuran batu, pasir dan debu bertebaran di
udara. Ratu Duyung berseru keras. Dia melompat turun dari atas batu sambil
kiblatkan cermin saktinya.
“Gadis jahanam! Aku mau tahu
sampai di mana kehebatanmu!” kata Sabai Nan Rancak beringas. Tenaga dalamnya
dilipat gandakan. Mantel Sakti kembali dipukulkannya ke arah Ratu Duyung yang
saat itu masih melayang di udara. Sementara dari cermin di tangan Ratu Duyung
berkiblat sinar putih panas menyilaukan.
Sebelumnya Sabai Nan Rancak
sudah merasakan kehebatan cermin sakti yang sempat membuat matanya seperti buta
beberapa lama. Karenanya begitu melihat kilauan cahaya si nenek cepat
menyingkir ke kiri. Dari jurusan ini kembali dia kebutkan Mantel Sakti.
Angin laksana badai prahara
menderu. Tapi setengah jalan gerakan si nenek tertahan. Ada seseorang
menyelinap di belakangnya dan tahu-tahu “breettt… breett….” Jubah hitamnya
robek besar di bagian pinggang!
*
* *
LIMA BELAS
Sabai Nan Rancak berpaling.
Dia melihat seorang anak kecil berpakaian hitam, berambut tegak berdiri
menggelantungi dan merobeki jubahnya. “
Anak kurang ajar! Hai!”
Si nenek hantamkan tangan
kirinya ke kepala si bocah. Ini bukan pukulan sembarangan karena bisa
memecahkan kepala anak itu. Tapi sambil cibirkan lidahnya si anak dengan lincah
jatuhkan diri ke tanah. Begitu bangkit dia tepat menyundul tubuh bagian bawah
Sabai Nan Rancak hingga si nenek kembali memaki panjang pendek. Dalam kalapnya
dia kempitkan kedua pahanya. Maksudnya hendak menjepit kepala anak itu namun
“Breettt… brettt… breettt.” Si anak kembali merobek jubah hitamnya di bagian
pinggul. Kini hanya ada satu bagian kecil dari jubah yang masih tergantung.
Sabai Nan Rancak jadi kalang kabut. Sebagian aurat sebelah bawahnya telah
tersingkap. Mau tak mau dia harus pergunakan dua tangan untuk selamatkan diri
pegangi jubah.
Suara gelak tertawa terdengar
di balik bukit batu. Itulah suara tawa Dewa Tuak .dan Iblis Putih Ratu Pesolek.
Di tepi pasir si Kakek Segala Tahu walau tidak melihat tapi sudah bisa menduga
apa yang terjadi. Hanya saja dia tidak melihat siapa adanya yang melakukan
kejahilan itu. Utusan Dari Akhirat ikut-ikutan tertawa sementara Wiro masih
terduduk nanar di atas pasir. Kakek Segala Tahu tiada hentinya kerontangkan
kaleng rombengnya. Di bagian yang lain di dekat kaki bukit Ratu Duyung yang
tadi hendak melancarkan serangan dengan Cermin Saktinya mau tak mau hentikan
gerakannya dan walau tersenyum tapi wajahnya tampak jengah ketika melihat
bagaimana Sabai Nan Rancak kerepotan setengah mati untuk menutupi auratnya yang
tersingkap.
Wiro sendiri yang walaupun
masih terduduk di tanah diam-diam sudah tahu kejahilan apa yang hendak
dilakukan bocah berambut jabrik.
“Naga Kuning! Kalau kau
teruskan pekerjaanmu kau akan menyesal melihat pusar bodong perut kempes
keriput!”
Dewa Tuak dan Iblis Putih Ratu
Pesolek tertawa gelak-gelak. Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng bututnya.
Kemarahan dan rasa malu Sabai
Nan Rancak sudah sampai ke puncaknya. Setelah beberapa kali tak berhasil
menyergap dan meringkus anak kecil itu akhirnya dia berusaha melompat menjauhi
sambil lepaskan pukulan Kipas Neraka!
Tapi justru lompatannya ini
membuatnya celaka. Ketika dia melompat Naga Kuning justru menarik ujung jubah
hitam si nenek. “Breettt!”
Jubah hitam Sabai Nan Rancak
robek keseluruhannya di bagian pinggang lalu merosot jatuh ke atas pasir.
Tempat itu riuh oleh suara
tertawa dan ucapan-ucapan mengejek.
“Nek! Untung kau masih pakai
celana dalam! Walau kelihatan butut dekil!” teriak Wiro.
“Celana dalam bau amis!
Tercium sampai ke sini!” teriak Naga Kuning sambil pijit hidungnya dengan
tangan kiri.
Paras Sabai Nan Rancak berubah
merah gelap. Marah dan malu tiada terkirakan, dia tidak sadar apa yang dilakukannya.
Dengan cepat dia membungkuk mengambil jubahnya yang jatuh di pasir.
Saat itu Wiro kembali berseru.
“Nek! Awas! Jangan salah
menungging! Tidak ada orang kepingin melihat kue apam angus dan basi!”
Kakek Segala Tahu kerontangkan
kaleng rombengnya. Naga Kecil tertawa gelak-gelak. Dewa Tuak dan Iblis Putih
Ratu Pesolek kembali cekikikan. Utusan Dari Akhirat masih tegak rangkapkan
tangan di depan dadanya yang tersentak-sentak karena tak kuasa menahan tawa.
Salah tingkah, mendengar
teriakan Wiro tadi Sabai Nan Rancak jatuhkan tubuhnya ke pasir. Dengan cara ini
baru aurat bawahnya terlindung. Selain itu dia cepat-cepat pergunakan mantel
hitam untuk bantu menutupi bagian bawah tubuhnya.
“Aku bersumpah membunuh kalian
semua!” teriak Sabai Nan Rancak marah. Kedua tangannya dihantamkan dua kali
berturut-turut.
“Awas pukulan Kipas Neraka!”
Seseorang berteriak memberi ingat.
“Wusss! Wussss!”
Dua larik sinar merah pekat
menderu. Hawa sepanas di neraka menghampar. Lalu larikan sinar ini mengembang
melebar membentuk kipas. Menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat
itu baru saja bangkit berdiri. Utusan Dari Akhirat, Naga Kuning dan Kakek
Segala Tahu.
Naga Kuning yang pertama
sekali membuat gerakan. Bocah ini jatuhkan diri ke atas pasir pantai lalu
berguling ke arah Wiro yang saat itu seperti tidak menyadari datangnya bahaya.
Dengan ke dua tangannya ditariknya kaki Pendekar 212 hingga murid! Eyang Sinto
Gendeng jatuh bergedebuk ke pasir. Walau dia tidak sampai terkena telak pukulan
maut itu namun hawa panas yang menyambar sempat membakar baju hitamnya. Selain
itu sekujur tubuhnya terasa laksana dipanggang. Setengah sadar dan dalam
keadaan menahan sakit Wiro tiba-tiba melihat dan merasa Naga Kecil menyusupkan
tangannya ke balik pinggangnya.
Di bagian lain bukit karang
sebelah kiri runtuh dan hancur berantakan ketika dilanda pukulan sakti yang
dilepas Sabai Nan Rancak. Beberapa bagian dinding dan kepingan batu-batu karang
yang bermentalan tampak merah dikobari api. Untungnya Utusan Dari Akhirat, Kakek
Segala Tahu dan iblis Putih Ratu Pesolek lebih cepat menyingkir selamatkan
diri.
“Naga Kuning…. Apa yang kau
lakukan? Kau hendak mencuri…?” terdengar teriakan Wiro di antara gemuruh suara
bukit yang hancur.
“Aku pinjam senjatamu untuk
menggebuk nenek jelek Itu!” jawab Naga Kuning.
“Jangan kurang ajar! Itu bukan
senjata sembarangan. Kau tidak akan….”
Tapi Naga Kuning tidak
perduli. Kapak Maut Naga Geni 212 dipegang dengan kedua tangannya. Dia menyerbu
ke arah Sabai Nan Rancak. Sinar putih menyilaukan memancar dari dua mata kapak
dan hawa panas menggebrak.
“Hai!” teriak Wiro sambil
bangkit berdiri. “Anak itu! Kalau dia tidak memiliki tenaga dalam tidak mungkin
dia mampu mempergunakan Kapak Naga Geni 212. Senjata itu memancarkan sinar
berkilauan!”
“Nenek jahat! Rasakan
bagaimana dibelah kapak!”
Sinar putih perak menyilaukan
berkiblat. Suara seperti ratusan tawon mengamuk memenuhi udara ketika Kapak
Naga Geni 212 dibabatkan Naga Kuning ke batok kepala Sabai Nan Rancak. Namun
bagaimana pun hebatnya serangan Naga Kuning, bocah sebelas tahun ini mana mampu
mempecundangi apalagi sampai membunuh si nenek yang sudah makan asam pengalaman
rimba persilatan selama puluhan tahun. Dengan gerakan yang disebut Angin
Menukik Lembah Petir Menyambar Bukit Sabai Nan Rancak liukkan tubuhnya ke
bawah. Begitu sambaran kapak yang membuat hangus bahu jubahnya lewat tangan
kanannya melesat ke atas.
“Kraaak!”
Naga Kuning terpekik keras.
Tubuhnya mencelat sampai dua tombak lalu terbanting tertelentang di tanah.
Lengan kanannya patah! Sabai Nan Rancak yang sudah kalap tidak mau memberi
kesempatan. Tangan kirinya kembali dihantamkan ke arah tubuh Naga Kuning yang
masih melayang di udara. Selarik sinar merah menggebubu. Beberapa orang
keluarkan seruan tertahan karena tidak menyangka si nenek akan senekad itu.
Pada saat sangat genting
itulah tiba-tiba satu bayangan berkelebat menyambar tubuh Naga Kuning. Di saat
yang sama satu gulungan sinar biru muncul membuntal pukulan Kipas Neraka
sebelum larikan sinar merahnya mengembang melebar. “Wusss…!”
Gulungan sinar biru melesat ke
udara seolah menyeret sinar merah. Lalu “Bummmm!” Dua belas tombak di udara
sinar merah dan sinar biru itu meletus dahsyat. Teluk Parangtritis bergetar.
Air laut bergelombang. Ombak seolah tertahan memecah di atas pasir, semua orang
merasakan dada masing-masing berdegup kencang- Ketika sinar merah dan biru
sirna, sosok Naga Kuning dan orang yang menyambar tubuhnya lenyap Seolah
ditelan bumi!
Sabai Nan Rancak memandang
berkeliling. Dia tidak melihat sosok Wiro dan Kakek Segala Tahu. Dia juga tidak
bisa menduga apakah dua orang yang sebelumnya bersembunyi di balik lamping batu
karang yaitu Dewa Tuak dan Iblis Putih Ratu Pesolek masih berada di tempat itu.
Satu-satunya yang masih tegak di tempat itu adalah pemuda berambut gondrong
berpakaian serba hitam mengaku bernama Utusan Dari Akhirat.
Sabai Nan Rancak keluarkan
suara bergemeretak dari mulutnya. Dadanya berdenyut tak karuan. Sepasang
matanya merah laksana dikobari api. Pandangannya membentur Kapak Maut Naga Geni
212 yang tergeletak di pasir hanya sejarak uluran tangan. Secepat kilat Sabai
Nan Rancak menjangkau senjata mustika sakti itu. Namun satu kaki berkasut bagus
yang terjulur dari ujung kaki celana panjang ringkas berwarna kuning mendahului
gerakannya. Kaki itu menginjak Kapak Maut Naga Geni 212 tepat pada pertengahan
dua mata kapak.
Terkejut tapi juga semakin
marah Sabai Nan Rancak mendongak ke atas. Dia melihat sepasang mata memancarkan
sinar bening tapi tajam memandang ke arahnya. Di hadapannya tegak seorang
berpakaian serba kuning yang menutupi wajah dan kepalanya dengan sehelai cadar
kuning.
“Kau…!” desis Sabai Nan Rancak
dengan suara bergetar tapi darah menggelegak. “Beberapa kali kau sengaja muncul
menggagalkan urusanku! Sekarang kau muncul lagi ikut campur urusan orang! Apa
kau kira aku tidak sanggup membunuhmu walau kau memiliki kesaktian Menghormat
Kipas Neraka yang mampu mementahkan pukulan Kipas Nerakaku!”
Sabai Nan Rancak gerakkan
tangan kanannya yang memegang Mantel Sakti. Tapi orang bercadar kuning tetap
tegak tak bergerak. Malah dengan tenang dia berucap mengeluarkan kata-kata
seperti berpantun.
“Nenek Sabai jangan berjalan
tanpa tujuan. Jangan membunuh tanpa alasan. Alasan terkadang hanya satu
kepalsuan. Karena manusia tidak lepas dari hasutan setan….”
“Manusia jahanam! Siapa kau
sebenarnya! Kau ini laki-laki atau perempuan?!” sentak Sabai Nan Rancak.
“Ini bukan saat dan tempatnya
kita bicara. Jika kau suka datanglah ke Lembah Merpati. Di sana kita bisa
melenyapkan segala duka. Hingga tidak ada yang kecewa dan keliru di hati….”
“Apa maksudmu dengan ucapan
berpantun itu?!” ujar Sabai Nan Rancak.
“Lembah Merpati. Tiga hari
dari saat ini. Usahakan untuk datang. Sehingga semua urusan jadi terang.”
Habis berkata begitu orang
bercadar kuning membungkuk mengambil Kapak Maut Naga Geni 212. Dia menatap
sejurus pada Sabai Nan Rancak, membuat si nenek merasa adanya satu getaran aneh
dalam dirinya.
Tanpa berkata apa-apa lagi
orang bercadar kuning ini tinggalkan tempat itu. Dia kelihatan melangkah perlahan
saja.
“Jahanam pengecut! Sembunyikan
wajah di balik cadar! Tidak mau menerangkan diri! Lebih baik kau mati sekarang
saja!” rutuk Sabai Nan Rancak. Si nenek gerakkan tangan kirinya ke pinggang
jubahnya yang robek. Di situ tergantung sebuah kantong kain berisi senjata
rahasia Sakti Mutiara Setan milik Datuk Tinggi Raja Di Langit. Jari-jari tangan
Sabai Nan Rancak telah menggenggam tiga butir senjata maut itu. Siap untuk
dilemparkan ke arah si baju kuning yang berjalan membelakanginya. Tiba-tiba saja
ada satu getaran aneh menyeruak di lubuk hati si nenek. Entah mengapa akhirnya
Sabai Nan Rancak masukkan kembali tiga butir Mutiara Setan itu ke dalam
kantong. Kini perhatiannya tertumpah pada satu-satunya orang yang masih berada
di tempat itu.
“Manusia setan bernama Utusan
Dari Akhirat! Kalau kau tidak menolong pemuda tadi, tidak nanti urusanku
menjadi kapiran begini rupa!”
Utusan Dari Akhirat mendongak
ke langit lalu tertawa.
“Jangan sangkut pautkan
kegagalanmu dengan apa yang aku lakukan!” jawabnya. “Sudah kukatakan nyawa
manusia bagiku tidak ada harganya. Aku justru tengah mencari tiga orang yang
harus kulenyapkan dari muka bumi ini! Itu tugasku dan itu takdir buruk ketiga
orang itu!”
“Persetan dengan tugasmu!
Seharusnya aku sudah berhasil membunuh pemuda keparat itu tapi gagal
gara-garamu! Sekarang nyawamu gantinya!”
Sabai Nan Rancak yang saat itu
masih duduk bersimpuh di tanah, tidak bisa berdiri karena aurat sebelah
bawahnya masih terbuka, perlahan-lahan angkat tangan kanannya. Siap melepas
pukulan Kipas Neraka.
“Tunggu!” seru Utusan Dari
Akhirat. “Mengapa kau hendak membunuh kawanku pemuda nelayan yang bodoh itu?!”
“Pemuda nelayan yang bodoh
katamu?! Pemuda yang mana?!”
“Yang berambut gondrong dan
berpakaian hitam sepertiku itu!”
Sabai Nan Rancak pandangi
tampang Utusan Dari Akhirat berapa jurus lamanya lalu tertawa mengejek. “Dasar
manusia tolol! Pemuda yang kau kira nelayan dungu itu sebenarnya adalah seorang
berkepandaian tinggi bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212. Dia adalah murid seorang musuh besarku! Murid dan guru harus
kuhabisi! Apa kau tadi tidak melihat senjatanya yang selama Ini menggegerkan
dunia persilatan. Sebilah kapak bermata dua bernama Kapak Maut Naga Geni 212!”
Terbelalaklah Utusan Dari
Akhirat.
“Apa kau bilang?! Pemuda
gondrong itu adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng?!”
“Kau tidak tuli!”
“Jahanam!” teriak Utusan Dari
Akhirat seraya menendang batu karang di sampingnya hingga batu ini pecah
berantakan. “Justru Wiro Sableng adalah satu dari tiga manusia yang harus aku
bunuh!”
“Karena ketololanmu kau tidak
tahu siapa dia adanya!” kata Sabai Nan Rancak lalu keluarkan suara dengusan
mengejek.
“Sekali lagi kau berani
mengatakan Utusan Dari Akhirat tolol, tubuhmu akan kubuat cerai berai menjadi
potongan daging panggang terkutuk!”
Sabai Nan Rancak tertawa
panjang. “Anak muda, rimba persilatan bukan saja tempat malang melintangnya
orang-orang berkepandaian tinggi. Tapi juga dipenuhi oleh segala macam
kelicikan, hasutan dan fitnah, dendam serta seribu satu macam kebusukan dan
kekejian. Jika kau tidak bisa mempergunakan otak dan kecerdikan, kau akan
menjadi mayat sebelum apa yang jadi tujuanmu tercapai!”
“Dunia persilatan bukan satu
hal yang aku takutkah. Aku punya tangan untuk menggenggamnya!” jawab Utusan
Dari Akhirat sambil menggerakkan lima jari tangan kanannya hingga mengeluarkan
suara berkeretekan.
“Siapa lagi dua orang yang
hendak kau singkirkan itu?” Sabai Nan Rancak ajukan pertanyaan.
“Perduli setan! Aku tahu kau
tengah menyelidiki diriku!”
Sabai Nan Rancak perhatikan
pemuda berambut gondrong itu dari rambut sampai ke kaki. “Gerak-geriknya
menyatakan dia memang membekal kepandaian tinggi. Tapi sikapnya menunjukkan dia
masih sangat hijau dalam rimba persilatan.”
“Kau tak mau memberi tahu
tidak ada ruginya bagiku. Kau betul! Perduli setan! Kau boleh pergi! Aku tak
jadi membunuhmu!”
Utusan Dari Akhirat pandangi
wajah si nenek. Lalu dia tertawa. “Aku tahu apa yang ada di benakmu! Kau ingin
bekerja sama denganku untuk membunuh pemuda bernama Wiro Sableng itu.”
“Aku tidak butuh bantuan orang
setololmu. Bisa-bisa hanya menyusahkan saja! Sekarang lekas minggat dari
hadapanku!”
“Kau bicara keliwat sombong!
Tapi dalam banyak hal aku tahu kau seolah ragu mengambil keputusan akhir! Buktinya
tadi kau tidak jadi membunuh orang bercadar kuning itu!”
Paras Sabai Nan Rancak jadi
berubah. “Lekas , pergi sebelum aku muak melihatmu!”
Utusan Dari Akhirat tersenyum
lalu batuk-batuk beberapa kali. “Kau salah menduga Nek. Bukan kau yang muak tapi
akulah yang mau muntah! Apa kau kira aku berlama-lama di sini hendak melihat
kau bangkit berdiri memperlihatkan aurat bawahmu yang tidak tertutup?!”
“Pemuda kurang ajar! Terima
kematianmu!”
Seolah lupa akan keadaan
dirinya Sabai Nan Rancak bangkit berdiri lalu kebutkan Mantel Sakti ke arah
Utusan Dari Akhirat. Suara deru angin laksana badai menggelegar menggebu ke
arah Utusan Dari Akhirat. Tapi pemuda itu telah berkelebat lenyap.
Yang jadi sasaran hantaman
Mantel Sakti itu untuk kesekian kalinya adalah dinding batu karang. Tempat itu
dilanda goncangan hebat. Batu, pasir dan debu beterbangan ke udara.
“Jahanam!” maki Sabai Nan
Rancak. Mantel Sakti cepat-cepat dikenakannya. Lalu tanpa menunggu lebih lama
dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
TAMAT