Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
103 Hantu Bara Kaliatus
1
SANG SURYA MASIH BELUM
memperlihatkan diri. Udara di penghujung malam itu masih diremangi kegelapan.
Angin dingin masih mencucuk menembus kulit sampai ke tulang. Hampir tak dapat
dipercaya, dalam kegelapan seperti itu, di kawah Gunung Latinggimeru berkelebat
satu bayangan. Gerakannya cepat, sulit ditangkap mata biasa. Bayangan ini
melompat dari satu gundukan batu ke gundukan batu lainnya. Lalu sesekali
kakinya menendang dan "byaaarr!" Gundukan batu hancur berantakan!
Batu-batu yang ada dalam kawah
Gunung Latinggimeru itu bukan batu biasa. Tapi adalah batu-batu yang sejak
ratusan tahun telah berubah menjadi bara merah menyala dan tentunya panasnya
bukan alang kepalang. Jangankan untuk dipijak, berada cukup dekat saja panasnya
seolah mampu membakar seseorang. Apalagi di dalam kawah terdapat cairan lahar
merah mengepulkan asap panas dan sesekali mencuatkan lidah api sampai setinggi
satu tombak! Namun sosok yang berkelebat dari satu batu ke batu lainnya itu
sama sekali tidak mengalami cidera kedua kakinya. Kelebatan tubuhnya yang
mengeluarkan angin deras membuat cairan lahar bergetar mengeluarkan riak
se-olah mendidih. Kalau sosok yang berkelebat di dalam kawah itu bukan sebangsa
hantu atau setan tetapi manusia adanya maka pastilah dia memiliki ilmu
kenukilan yang luar biasa. .
Tepat ketika cahaya pertama
kemunculan sang surya mencuat di ufuk timur, satu bayangan hitam berkelebat
dari lamping kawah sebelah barat. Sesaat kemudian bayangan ini tahu-tahu telah
berdiri di atas satu gundukan batu panas membara, rangkapkan tangan di atas
dada. Wajahnya yang aneh mengerikan sesaat menatap pada orang yang masih
berkelebat dari satu batu ke batu lainnya.
Makhluk yang tegak di atas
batu sambil rangkapkan tangan di depan dada itu memiliki wajah luar biasa aneh
dan angkernya. Muka itu seperti muka seekor burung gagak hitam. Hidung dan
mulut jadi satu menyerupai paruh. Sepasang mata kecil tajam memandang tak
berkesip ke arah orang yang masih saja melompat dan menendang seolah tidak
menyadari kalau saat itu di dalam kawah dia tidak lagi sendirian. Ini memberi
kejelasan, betapapun tingginya ilmu kepandaian orang pertama namun masih jauh
berada di bawah makhluk yang barusan datang. Buktinya dia tidak tahu kehadiran
makhluk yang bermuka burung yang semakin terang sinar sang surya semakin jelas
bentuknya. Dia ternyata adalah seorang nenek aneh mengenakan pakaian dedaunan
kering yang diberi jelaga hitam.
Kesunyian di dalam kawah
Gunung Latinggimeru itu tiba-tiba meledak oleh suara tawa si nenek bermuka
burung. Saat itulah bayangan yang sejak tadi berkelebat kian kemari tiada henti
menyadari kalau di dalam kawah ada orang lain. Cepat dia membalikkan tubuh dan
siap menghantam dengan tangan kanannya.
"Seratus hari telah
berlalu! Wahai Latandai! Aku datang memenuhi perjanjian!" Si nenek berseru
keras membuat seantero kawah bergeletar.
"Nenek Hantu Santet
Laknat!" orang di seberang sana keluarkan ucapan lalu cepat-cepat berlutut
di atas batu panas. "Nenek, terima hormatku!"
SI nenek kembali tertawa
mengekeh.
"Berdirilah wahai
Latandai!"
Orang di atas batu merah
membara segera berdiri tapi cara tegaknya agak membungkuk pertanda dia masih
meneruskan sikap hormatnya pada si nenek angker.
"Kulihat gerakan tubuh
serta kekuatan kakimu telah maju pesat Latandai! Aku senang! Sekarang, hari
perjanjian telah datang! Kau akan kuberikan ilmu kesaktian yang selama ini kau
inginkan! Apakah kau telah siap menerimanya wahai Latandai?!"
"Wahai Nenek Hantu Santet
Laknat. Aku Latandai siap menerima ilmu apapun yang akan kau berikan
padaku!"
Si nenek tertawa melengking.
"Ilmu Bara Setan Penghancur Jagat akan segera kau dapatkan! Begitu ilmu
itu menjadi milikmu, maka otakmu ada dalam otakku. Kau menjadi milikku. Artinya
kau berada di bawah kekuasaanku. Kau harus melakukan semua apa yang aku kata
dan perintahkan. Sekali kau berani membangkang maka ilmu Bara Setan Penghancur
Jagat akan menghancurkan dirimu sendiri! Kau mengerti dan paham
Latandai?!"
"Aku mengerti. Aku paham
wahai Nenek Hantu Santet Laknat!"
Si nenek tertawa panjang. Di
timur langit semakin terang. "Berdiri lurus-lurus Latandai! Kepalkan dua
tanganmu dan letakkan di samping!"
Lelaki bernama Latandai
lakukan apa yang dikatakan si nenek. Tubuhnya tegak lurus-lurus di atas batu
merah panas. Dua tangan ditempelkan rapat-rapat ke sisi kiri kanan.
"Kau sudah siap
Latandai?!"
"Aku sudah siap
Nek!"
"Sungguh?!"
"Sungguh Nek!"
"Ceburkan dirimu ke dalam
lahar!"
Latandai tersentak kaget
mendengar perintah yang tidak disangkanya itu.
"Nek…."
"Sekali lagi kau dirasuk
ragu dan bimbangi Sekali lagi kau berucap dan menolak berbuat! Maka wahai!
Cukup sampai di sini aku melihatmu! Kalau aku masih sempat melihatmu maka aku
hanya akan melihat rohmu gentayangan antara langit dan bumi!"
Dinginlah tengkuk Latandai.
Dia tahu si nenek tidak bicara kosong. Dia sadar perempuan tua bermuka burung
gagak itu memiliki kemampuan untuk menghabisinya semudah dia membalikkan
telapak tangan! Maka tanpa menunggu lebih lama Latandai melompat, ceburkan diri
ke dalam cairan lahar yang mendidih panas di puncak Gunung Latinggimeru itu!
Sosok Latandai lenyap tenggelam di bawah permukaan lahar. Di sebelah atas lahar
mencuat memercikkan lidah api. Sepasang mata Hantu Santet Laknat memperhatikan
dengan tajam. Mulutnya komatkamit seperti merapal sesuatu. Lalu dia berteriak.
"Kau boleh keluar sekarang Latandai!"
Aneh! Walau berada di bawah
permukaan lahar panas dan tebal namun si nenek mampu mengiangkan perintahnya ke
telinga Latandai hingga lelaki itu mendengar lalu serta meria melesat keluar
dari dalam lahar dan tegak kembali di atas batu panas membara. Sekujur tubuhnya
mengepulkan asap panas dan berwarna merah seolah udang direbus. Latandai
merasakan sesuatu di atas kepalanya. Dia meraba ke atas. Dia juga merasa ada
kelainan pada sepasang matanya, dia mengedip-ngedipkan beberapa kali. Lalu
ketika dia memandang ke dada dan perutnya terkejutlah lelaki ini.
"Nekl Apa yang terjadi
dengan diriku!"
Hantu Santet Laknat mendongak
lalu tertawa panjang.
"Wahai Latandai! Mengapa
kau harus terkejut apalagi takut" ujar si nenek.
Tubuh Latandai bergeletar.
Untuk beberapa saat lamanya dia tidak bisa membuka mulut. Dia melihat ada
tumpukan batu-batu merah membara sebesar ujung ibu jari kaki di dada dan di
perutnya. Namun dia tidak dapat melihat bagaimana saat itu telah terjadi
kelainan pada sepasang matanya. Bola matanya yang sebelumnya hanya ada satu
pada masing-masing mata kini berubah menjadi dua dan berwarna merah seolah
terbuat dari bara! Dia bisa meraba tapi tidak melihat bagaimana kepalanya
seolah telah dibabat sebatas kening lalu di atas kepala yang sebelumnya ada
otak, batok kepala dan rambut itu kini dipenuhi oleh tumpukan batu-batu merah
menyala!
"Latandai!" seru
Hantu Santet Laknat! "Sekarang kau telah memiliki ilmu kesaktian yang
disebut Bara Setan Penghancur Jagat!"
"Nek!" kejut
Latandai sampai keluarkan seruan tertahan saking tidak percayanya.
Hantu Santet Laknat kembali
mengekeh. "Di tubuhmu, mulai dari kepala sampai ke pusar kini terdapat dua
ratus bara api! Itu sebabnya mulai saat ini kau kuberi nama Hantu Bara
Kaliatus! Batu-batu bara itu akan menjadi senjata yang ikut kemana kau pergi!
Kau akan melihat wahai Latandai! Sekali kau mencabut bara itu dan menghantam
lawan, sulit bagi musuh untuk selamatkan diri dari Kematian! Di masing-masing
matamu kini ada dua bola mata berbentuk bara api. Jika kau pentang dua matamu
lebar-lebar dan hentakkan rahangmu maka empat larik sinar merah sepanas api
neraka akan menebar maut! Kalau kau tidak percaya silahkan coba. Palingkan
matamu ke arah batu besar di sebelah sana! Kau sanggup menghancurkan batu itu
dengan sinar bara setan yang ada pada dua matamu!"
Latandai putar tubuhnya.
Palingkan muka dan sepasang matanya ke arah batu besar menyembul di permukaan
kawah yang barusan ditunjuk si nenek. Dalam keadaan tak berkedip Latandai
katupkan rahangnya. Gigi-giginya bergemeletukan. Saat itu juga empat larik
sinar semerah bara menyala berkiblat! Melesat dan menyambar ke arah batu besar
di permukaan kawah.
"Byaaarr!"
Batu merah menyala itu hancur
berantakan, lenyap dari permukaan lahar. Yang kelihatan kini hanyalah kepulan
asap! Melihat hal itu Latandai segera berpaling dan jatuhkan diri berlutut.
"Nenek Hantu Santet Laknat! Aku menghatur ribuan terima kasih. Kau…."
Si nenek potong ucapan
Latandai dengan tawa bergelak lalu berkata. "Kau sudah kuberikan ilmu Bara
Setan Penghancur Jagatt Sekarang mari kita mengatur perjanjian dan perintah!
Harap kau dengar baik-baik wahai Hantu Bara Kaliatus! Setiap aku memberi
perintah aku bisa langsung muncul di hadapanmu atau hanya mengirimkan dari
kejauhan melalui angin dengan ilmu yang disebut Ilmu Menyadap Suara Batin.
Sekarang aku mulai dengan perintah-perintahku Latandai! Setiap perintah harus
kau lakukan tanpa pernyataan karena otakmu ada dalam otakku! Kau berada dalam
kekuasaanku! Pertama kau harus mencari seorang manusia bernama Lakasipol Aku
tak perlu menerangkan siapa adanya manusia itu. Kau kenal dia karena dia
dulunya adalah Kepala Negeri Latanahsilam."
"Aku tahu dan aku kenal
Lakasipo. Perintah akan kujalankan Nenek Hantu Santet Laknat!" kata
Latandai yung kini telah diberi nama Hantu Bara Kaliatus!
"Perintah ke dua! Kau
harus membunuh Luhsantini Istrimu sendiri…."
"Nek!" Latandai
terkejut dan sampai keluarkan teman.
"Jahanam! Aku sudah
katakan tak ada pertanyaan" Bentakan si nenek menggetarkan Seantero kawah
Gunung Latinggimeru.
"Maafkan aku Nek…"
ujar Latandai yang jadi kecut melihat tampang si nenek dan mendengar
bentakannya yang dahsyat.
"Aku mempunyai alasan
mengapa menyuruhmu membunuh Luhsantini. Karena dia seorang istri tidak berbudi
dan tidak setia! Luhsantini pernah berhubungan badan dengan seorang pemuda
bernama Lasingar, kerabatmu di Latanahsilam. Selain itu dia juga bermain cinta
dengan Hantu Muka Dua! Apa perlunya kau mempunyai seorang istri seperti
itu!"
Latandai merasakan tubuhnya
bergetar dan mukanya mendadak jadi panassampai ke telinga. Dia hendak bertanya
dari mana atau bagaimana Nenek Hantu Santet Laknat mengetahui hal itu tapi
tidak berani membuka mulut. Apa yang ada dalam pikiran Latandai sudah terbaca
oleh si nenek. Maka dia pun berkata.
"Waktu kau meninggalkan
istrimu di kala dia hamil muda kau sebenarnya telah mengambil satu keputusan
tepat! Berbulan-bulan kau mengelana mencari ilmu!
Kau telah menjadi budak hawa
nafsu ingin menguasai berbagai ilmu kesaktian! Kau hampir jadi orang gila dan
kerasukan roh-roh jahat! Syukur kau bertemu denganku wahai Hantu Bara Kaliatus!
Satu ilmu yang kuberikan tidak bisa menandingi seratus ilmu kesaktian yang bisa
kau peroleh dari orang lain!"
"Aku mengerti dan aku
berterima kasih Nek," kata Latandai pula.
"Satu hal lagi harus kau
ketahui wahai Hantu Bara Kaliatus! Kalau istrimu dan Lasingar tidak dihabisi
maka mereka kelak akan melanjutkan hubungan tidak senonoh itu I Berarti akan
lahir lagi anak ke dua, anak ketiga yang bukan darah dagingmu!"
Bergetar sekujur tubuh
Latandai mendengar ucapan Hantu Santet Laknat itu. Walau di lubuk hatinya ada
rasa kebimbangan namun saat itu otaknya telah dikuasai oleh si nenek hingga dia
tidak bisa berpikir secara jernih, sekurang-kurangnya tekad untuk menyelidik
yang dikatakan si nenek apa benar adanya.
"Kau sudah dengar
penjelasan! Kau sudah tahu kewajiban harus menyingkirkan istrimu! Membunuh
Lasingar! Kau juga patut menghabisi Hantu Muka Dua. Tapi manusia satu itu
adalah bagianku! Jangan kau berani menyentuhnya! Aku sendiri yang akan
membunuhnya!"
"Aku mendengar dan
perintahmu akan kujalankan wahai Nenek Hantu Santet Laknat…" kata Latandai
pula.
"Wahai Hantu Bara
Kaliatus! Tugasmu di hari pertama memiliki ilmu kesaktian Bara Setan Penghancur
Jagat cukup sekian dulu! Laksanakan segera! Jika kau sampai gagal aku akan
muncul untuk menjatuhkan hukuman!"
Hantu Bara Kaliatus alias
Latandai membungkuk dan berkata. "Tugas perintah akan kujalankan! Aku
tidak akan menemui kegagalan. Cuma mohon maafmu. Apakah keadaan diriku yang
seperti ini tidak bisa dirubah kembali seperti sedia kala?"
Nenek Hantu Santet Laknat
tertawa panjang lalu berkata. "Sudah kukatakan otakmu ada dalam otakku!
Dirimu berada dalam kekuasaanku. Berarti hanya aku yang bisa mengembalikan
dirimu pada keadaan semula! Setiap ilmu ada syaratnya wahai Latandai. Dan kini
dia menerima syarat itu dalam bentuk keadaanmu seperti saat ini! Bila kau
memang menginginkan perubahan bisa saja aku lakukan! Tapi kau harus menjalankan
semua perintahku lebih dulu. Kau mengerti Hantu Bara Kaliatus?!"
"Aku… aku mengerti
Nek," jawab Latandai walau dengan suara setengah tertahan dan dada sesak.
Hantu Santet Laknat
menyeringai lalu tertawa panjang. Ketika tawanya lenyap sosoknya tak ada lagi
di lompat Ku. Latandai palingkan kepala. Si nenek tahutahu sudah berada di
lamping kawah sebelah timur. Berkelebat cepat sekali seolah menyongsong
matahari lalu pupus dari pemandangan.
2
BELALANG HIJAU RAKSASA ITU
TERBANG menembus kabut pagi disaat udara masih dingin menusuk sampai ke tulang
sumsum. Di satu tempat ketinggian binatang ini melayang turun lalu hinggap di
atas sebuah batu besar. Dua matanya memandang liar kian kemari seolah meneliti
keadaan. Sepasang misainya bergerakgerak tiada henti.
"Wahai Laehijau, apakah
sanggup kau membawa kami ke puncak Latinggimeru? Seharian sudah kau melompat
dan melayang menerbangkan kami. Aku khawatir kau keletihan di tengah jalan dan
jatuh!" Satu suara memecah kesunyian di tempat itu. Yang bicara adalah
seorang perempuan muda mengenakan pakaian kulit kayu halus. Kepala dan wajahnya
tertutup selendang terbuat dari rumput hijau dikeringkan. Perempuan ini duduk
di punggung belalang hijau, menjadikan binatang raksasa itu sebagai
tunggangannya. Belalang raksasa tundukkan kepala ke bawah lalu menggeleng
pertanda dia mengerti dan menjawab ucapan tuan penunggangnya.
"Kau sahabatku yang setia
wahai Laehijau. Mudahmudahan para Dewa dan Peri menolong kita hingga kita bisa
selamat sampai ke puncak Latinggimeru…."
Baru saja perempuan ini
selesai berucap tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi. Astaga. Ternyata dalam
bungkusan yang didukungnya di tangan kiri, ada sosok seorang orok yang masih
merah karena baru berusia 40 hari. Perempuan ini cepat menimang-nimang bayi
daam bedungan.
"Anakku Lamatahati,
berhentilah menangis. Sebentar lagl kau akan bertemu dengan bapakmu. Sebentar
lagi kau akan menjadi anak yang syah. Punya Ibu dan punya ayah!" Perempuan
itu terus menimang-nimang si bayi hingga akhirnya berhenti menangis. Sesaat dia
mendongak ke atas, berusaha menembus tebaran kabut yang menutupi pemandangan.
Jauh di atas sana menjulang tinggi puncak Gunung Latinggimeru yang dari
kawahnya selalu mengepul asap panas berwarna kemerahan sedang dari perutnya ada
suara tiada henti menggemuruh menggidikkan dan menggetarkan seantero tempat.
"Laehijau kalau letihmu
lenyap bisakah kita melanjutkan perjalanan?"
Belalang raksasa bernama
Laehijau seperti tadi rundukkan kepalanya dan goyang-goyangkan misainya.
Kaki-kakinya diregang pertanda dia siap melompat. Perempuan di atas belalang
peluk erat-erat bayi dalam bedungan. Sesaat kemudian Laehijau telah melesat ke
udara, terbang ke arah ketinggian puncak Gunung Latinggimeru.
Untuk beberapa saat bayi dalam
bedungan tertidur pulas. Begitu mulai mendekati puncak gunung, udara yang
tadinya sangat dingin kini berubah menjadi panas. Tubuh Laehijau bergetar
menahan panas. Begitu juga perempuan di atas punggungnya sementara bayi yang
tadi tertidur pulas tersentak bangun lalu menangis kepanasan.
"Tenang anakku, jangan
menangis…." Sang ibu pergunakan ujung bedungan untuk mengipasi bayinya.
Namun Lamatahati terus saja menangis.
Semakin jauh ke atas mendekati puncak Gunung Latinggimeru hawa bertambah panas
tapi kabut mulai menipis. Setelah terbang berputar-putar dan mulai sempoyongan,
Laehijau turun di suatu pedataran sempit di tepi timur puncak Latinggimeru. Dua
tombak di depan mereka terbentang kawah yang permukaannya berupa lahar mendidih
dan mengepulkan asap. Selain itu ada kabut tebal menebar di sana-sini menutupi
pemandangan.
Perempuan di atas punggung
belalang hijau memandang berkeliling lalu menatap lekat-lekat ke arah kawah
gunung batu itu. Cukup lama dia menunggu dan mencari-cari. Hatinya mulai risau.
Orang yang dicari tidak terlihat sama sekali. Bayi dalam bedungan terus
menangis, tak tahan oleh hawa panas yang keluar dari kawah.
"Mimpiku memberi petunjuk
dia ada di sini. Dua orang penduduk Latanahsilam memberi kesaksian melihat dia
dalam perjalanan menuju puncak Latinggimeru ini empat purnama yang lalu. Namun
di mana dia gerangan?" Perempuan di atas belalang hijau membatin.
Pada saat tebaran kabut yang
menutupi kawah itu tertiup angin, berarak ke jurusan selatan maka barulah dia
dapat melihat seantero kawah dengan jelas. Sesaat perempuan di atas punggung
belalang hijau terkesiap ngeri menyaksikan pemandangan di hadapannya. Namun
rasa ngeri ini berubah menjadi kegembiraan ketika dia melihat sosok seorang
lelaki tegak tak bergerak di atas sebuah batu besar merah menyala. Dari dua
kakinya hanya yang sebelah kiri menginjak batu. Yang kanan diangkat dan dilipat
ke atas sedang kedua matanya dipejamkan. Jelas orang ini tengah bersamadi
dengan cara yang aneh.
"Dia mampu berdiri di
atas batu api itu! Wahai, berarti Latandai telah berhasil mendapatkan ilmu yang
dicarinya…" berucap dalam hati perempuan di atas belalang raksasa. Tapi
tiba-tiba hatinya mendadak tercekat. "Aneh, mengapa ada kelainan kulit
pada dirinya. Kepalanya… tubuhnya…. Kalau saja aku bisa mendekat ke
sana…."
Spasang mata perempuan di atas
belalang raksasa menatap tak berkedip pada lelaki di atas batu.
“Wahai Lamatahati, apapun yang
terjadi dengan ayahmu,, akhirnya dia kita temui juga…." Perempuan itu
berucap setengah berbisik seraya membelai kepala bayi dalam bedungan yang
sampai saat itu masih terus menangis. Suara tangisan orok ini tadi sempat
membuat lelaki yang bersamadi di atas batu dalam kawah menjadi terganggu. Daun
telinganya bergerak-gerak. Pelipis dan rahangnya menggembung. Urat lehernya
tampak mengencang sedang dua kelopak matanya yang tertutup mengeluarkan
getaran-getaran halus. Hanya dengan menabahkan hati, menutup jalan pendengaran,
lelaki yang di puncak batu tinggi akhirnya mampu meneruskan samadinya. Namun
itupun tidak bertahan lama karena tiba-tiba dari puncak timur Gunung
Latinggimeru ada suara seman keras, melengking ke langit, mencuat ke dasar
kawah.
"Wahai Latandai suamiku!
Puluhan hari aku habisi! Berbagai negeri aku datangi! Akhirnya kutemui juga kau
ditempat ini! Latandai, buka matamu! Lihat siapa yang kubawa!"
Hantu Bara Kaliatus yang tegak
bersamadi di atas batu menyala tidak bergerak, juga tidak membuka sepasang
matanya yang terpejam.
"Wahai Latandai! Jangan
berpura tidak mendengar ucapanku! Berhentilah bersamadi barang seketika.
Melompat dan datanglah ke tempat ini! Aku datang membawa anakmu! Anak kita yang
kuberi nama Lamatahati. Seorang bayi laki-laki bertubuh gemuk sehat. Pertanda
di masa besarnya dia akan menjadi seorang pemuda gagah kuat berotot seperti
ayahnya!" Bersamaan dengan berhentinya ucapan sang ibu, bayi dalam
bedungan menangis keras.
Di atas batu Latandai
merasakan tubuhnya bergetar. Lehernya menjadi kaku dan telinganya mengiang.
Bagaimanapun dia mencoba, getaran pada matanya tak dapat dikuasainya. Dia sadar
bahwa samadinya tak mungkin diteruskan. Didahului teriakan menggeledek sosok
Latandai melesat ke atas. Dilain kejap dia telah berdiri dua tombak di hadapan
Laehijau si belalang raksasa di atas mana duduk perempuan yang membawa bayi.
Belalang raksasa tersurut
mundur. Misainya bergerak-gerak sementara perempuan yang mendukung bayi berubah
pucat wajahnya dan ketakutan setengah mati. Tadi sewaktu Latandai masih berada
di dalam kawah dia memang sudah melihat ada kelainan atas diri suaminya itu.
Namun setelah dekat dia tidak mengira kelainan itu adalah satu kengerian yang
dahsyat!
Sepasang mata yang memiliki
empat bola mata laksana kobaran api memandang padanya.
"Luhsantini! Perempuan
celaka! Beraninya kau datang kemari! Berani kau mengganggu samadiku!"
Perempuan yang disebut dengan
nama Luhsantini itu sesaat jadi terkesiap. Keningnya berkerut. Dadanya berdebar
dan mulutnya bergetar. Walau takut tapi dicobanya juga menjawab.
"Wahai Latandai suamiku!
Bukan diriku bermaksud mengganggu samadimu! Aku tidak dapat menahan diri. Ini
adalah hari ke empat puluh sejak bayi ini lahir. Ini adalah hari terakhir kau
harus melihat puteramu dan puteramu melihat dirimu! Ini adalah hari terakhir
kau harus mengusap ubun-ubun di kepalanya pertanda kau mengakui bahwa
Lamatahati adalah anak dari darah yang keluar dari tulang sumsummu! Jika itu
tidak terjadi, sesuai aturan dan adat Negeri Latanahsilam maka seumur hidupnya
anak ini tidak akan mempunyai ayah yang syah! Jika dia tidak punya ayah ayah
syah berarti aku bukan pula ibunya yang syah. Lalu apa akan jadinya anak kita
ini kelak? Jika hidup dia akan menjadi anak setan! Tak layak tinggal di Negeri
Latanahsilam! Jika mati rohnya akan terkatungkatung antara langit dan bumi!
Wahai suamiku Latandai.
Datanglah ke sini. Lihat
anakmu! Usap kepala dan tubuhnya. Cium kening dan pipinya!" Sehabis
berucap seperti itu Luhsantini jadi ngeri sendiri. Dalam keadaan kepala dan
sosok Latandai seperti itu janganjangan bayinya akan celaka jika bersentuhan
dengan ayahnya!
Lelaki di atas batu merah
menyala menatap dengan tampang menggidikkan pada perempuan di atas belalang
raksasa itu. Sepasang matanya menyala-nyala. Terlebih ketika dia melihat
bagaimana Luhsantini membuka kain pembedung bayi lalu mengangkat tinggitinggi
bayi lelaki itu dan bergerak hendak disodorkan kepadanya.
"Tidaaakk!"
Tiba-tiba meledak teriakan dahsyat dari mulut Latandai. Suara teriakan ini
menggema menggidikkan di dalam kawah Gunung Latinggimeru, menggeletar sampai ke
permukaan puncak gunung, membuat darah Luhsantini tersirap dan seolah berhenti
mengalir.
"Tidak? Tidak apa
maksudmu wahai suamiku Latandai?" bertanya Luhsantini.
"Bayi itu bukan anakku!
Tapi anak haram hasil hubunganmu dengan Lasingar, jauh sebelum aku
mengawinimu!"
Luhsantini merasa seolah
berdiri di atas bara api yang kemudian runtuh dan menghunjam memurukkannya ke
dasar sebuah lobang api!
"Wahai Latandai….
Bagaimana bisa dan teganya kau berkata seperti itu?! Kita kawin sepuluh bulan
purnama yang lalu. Malam pertama kita berhubungan di Bukit Batu Kawin
disaksikan orang tua, para sesepuh Negeri, disaksikan oleh nenek Lamahila dan
disaksikan serta direstui oleh para Dewa dan Peri…."
"Apa yang kau katakan
semua benar! Tapi pada saat aku mengawinimu kau telah berbadan dua akibat
hubunganmu dengan Lasingar! Aku tertipu!"
Luhsantini sampai terpekik
mendengar ucapan Latandai itu. Wajahnya seputih kain kafan.
"Wahai Latandai, demi
anak ini aku ikhlas menerima keadaanmu seperti ini. Demi segala roh yang baik
penjaga langit dan bumi! Demi semua para Dewa dan Peri penguasa jagat raya! Aku
bersumpah tidak pernah melakukan hubungan hina terkutuk yang tidak terpuji
dengan Lasingar! Pemuda itu hanyalah kerabat sahabat biasa saja…."
"Kerabat sahabat biasa
saja?!" Latandai meludah. Ludahnya berwarna merah dan mengepulkan asap.
Lalu manusia yang telah berubah menjadi makhluk mengerikan ini tertawa
bergelak.
"Banyak saksi di
Latanahsilam yang mengatakan bahwa dia sering menyelinap ke rumahmu dikala dua
orang tuamu berburu ke hutan atau mencari ikan di sungai!"
"Latandai…. Sungguh tidak
dapat kupercaya semua ucapanmu! Lasingar sering berada di rumahku karena dia
berobat pada orang tuaku atas penyakit yang telah lama diidapnya! Jika kau tahu
aku ini sudah bernoda mengapa kau mengawini diriku…?"
"Itu karena aku tertipu!
Karena kau menipuku! Keluargamu menipuku!"
"Wahai Latandai, agaknya
Kau yang menipu diri sendiri! Jika bayi ini sudah kukandung jauh sebelum kawin
denganmu, mengapa dia kulahirkan setelah sembilan bulan? Jika aku memang punya
hubungan keji dengan Lasingar dan hamil sebelumnya seharusnya dia lahir lebih
cepat dari itu!"
"Luhsantini! Apapun
cakapmu! Apapun dalih yang Iwndak kau ucapkan aku tetap tidak akan mengakui
anak Itu adalah anakku! Dan dirimu yang kotor ini tidak layak hidup lebih lama!
Kau dan anakmu lebih baik kulempar ke dalam kawah Gunung Latinggimeru!"
Menggigil sekujur tubuh
Luhsantini mendengar kata-kata Latandai itu. Dengan tubuh bergeletar dan dada menggemuruh
dia turun dari punggung Laehijau si belalang raksasa lalu melangkah ke tepi
kawah. Bayi dalam bedungan terus menangis tiada henti.
"Latandai…!"
"Diam! Namaku bukan
Latandai lagi. Aku sekarang adalah Hantu Bara Kaliatus!"
"Tidak perduli siapapun
kau punya nama! Tidak kusangka sejahat ini hati dan pekertimu! Dengar manusia
keji! Pembalasan dan karma akan jatuh atas dirimu!" Luhsantini angkat bayi
dalam bedungan tinggi tinggi. Lalu berserulah perempuan malang ini. "Wahai
para Dewa dan para Peri! Wahai semua roh yang ada di antara langit dan bumi!
Bayi ini bayi suci! Tiada dosa atas dirinya! Bayi ini keluar dari rahimku!
Hasil hubunganku dengan seorang suami bernama Latandai!
Namun hari ini Latandai tidak
mengakui kalau Lamatahati adalah anak darah dagingnya! Para Dewa dan para Peri
serta semua roh! Jatuhkan hukuman atas diri Latandai! Sengsarakan dia sebelum
bayi ini sendiri menderita karena perbuatannya! Biarkan tubuhnya seperti itu
sepanjang usia! Biarkan dia menderita seumur-umur dalam keangkuhan dan
kesesatannya! Wahai anakku Lamatahati. Malang nasibmu! Kau tak akan berayah
seumur hidupmu! Aku tak akan diakui adat sebagai ibumu! Aku memohon kepala ke
atas kaki ke bawah. Kaki ke atas kepala ke bawahi Kalau kelak kau sudah dewasa
para Dewa dan para Peri akan memberi kekuatan padamul Balaskan sakit hati
ibumu! Balaskan sakit hati dirimu!"
Bayi dalam bedungan menangis
keras. Belum habis gaung suara Luhsantini di puncak Gunung Latinggimeru, seolah
alam mendengar jerit hati sang ibu yang malang ini tiba-tiba lumpur merah di
dasar kepundan menggelegak keras lalu mencuat tinggi ke udara. Lidah api
membumbung mengerikan. Lalu seolah jatuh dari langit didahului suara gelegar
dahsyat berkiblat satu cahaya biru, langsung menghantam sosok Latandai alias Hantu
Bara Kaliatus.
Sekujur tubuh lelaki ini
seolah dialiri satu sinar biru, menggeletar hebat dan mengepulkan asap. Hantu
Bara Kaliatus menjerit keras lalu tergelimpang roboh di tepi kawah.
Luhsantini memeluk bayinya
erat-erat. Belalang raksasa menghentak-hentakkan kakinya seolah memberi isyarat
agar perempuan itu lekas naik ke punggungnya. Luhsantini cepat balikkan tubuh.
Sambil mendukung bayinya dia lari ke arah Laehijau. Namun sebelum dia sempat
mencapai belalang raksasa itu, di belakang sana sosok Hantu Bara Kaliatus buka
sepasang matanya lalu bergerak bangkit! Mulutnya sunggingkan seringai maut.
Lalu dia menggembor keras.
"Luhsantini! Jahat nian
kutuk sumpahmu! Tak bisa aku menerima!" teriak Latandai.
"Bukan aku yang jahat!
Hatimu yang bejat!" teriak Luhsantini. "Kutuk Dewa dan Peri hanya
jatuh pada manusia durjana!"
"Perempuan jahanam! Kau
dan bayimu tak layak Hidup." Latandai angkat tangan kanannya lalu
dipukulkan ke depan. Dua belas sinar hitam halus berkelebat ganas.
Dalam keadaan marah luar biasa
seperti itu Hantu Bara Kaliatus bukan keluarkan ilmu yang baru dimilikinya
yakni Bara Setan Penghancur Jagat, melainkan dia menghantam dengan ilmu
kesaktian yang telah didapatnya lebih dahulu.
"Selusin Bianglala
Hitam." jerit Luhsantini begitu dia mengenali pukulan sakti yang
dilancarkan Latandai.
Perempuan ini menjerit sekali
lagi. Dia berusaha menyelamatkan diri dengan melompat ke kiri. Tapi salah
lumpat. Arah yang ditujunya ternyata adalah kawah Gunung Latinggimeru!
Sementara itu dua belas sinar hitam yang menyerangnya demikian cepat membeset
udara hingga tidak mungkin dielakkan! Sudah dapat dibayangkan bagaimana dua
belas cahaya ganas Itu akan menembus sosok Luhsantini. Lalu tubuh itu sendiri
akan terjungkal masuk kedalam kawah gunung.
Hanya dua jengkal lagi selusin
sinar hitam akan menghantam tubuh Luhsantini, tiba-tiba dari arah selatan
pinggiran kawah berkiblat selarik cahaya berwarna Jingga. Laksana tameng cahaya
Jingga ini melindungi Luhsantini dari hantaman Selusin Bianglala Hitam. Perempuan
ini selamat karena begitu beradu dengari cahaya Jingga, selusin sinar hitam
terpental ke kiri. Namun pentalan dua belas sinar ini melesat ke arah bayi
dalam bedungan pelukan sang ibu! Bayi dalam bedungan terpekik keras.
"Anakku!" jerit
Luhsantini. Tubuhnya terhuyung. Dia hampir jatuh pingsan ketika melihat wajah
bayinya! Sama sekali tidak menyadari bagaimana Latandai melompat ke hadapannya
dan tendangkan kaki kanan.
"Plaaakkk!"
Satu benda hijau menghantam
bahu kiri Latandai hingga orang ini terpental dan terguling di tanah bebatuan.
Benda yang barusan menghantamnya ternyata adalah sayap belalang raksasa.
Sehabis menghantam Laehijau merangkul tubuh Luhsantini dengan kaki kiri sebelah
depan lalu dengan cepat binatang ini melompat ke udara, terbang meninggalkan
puncak Gunung Latinggimeru.
"Binatang jahanam!"
teriak Latandai marah. Gerahamnya bergemeletakan. Dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimilikinya dia menghantam ke atas. Lepaskan pukulan sakti
Selusin Bianglala Hitam Dua belas larik sinar hitam menderu. Di udara belalang
raksasa Laehijau keluarkan suara menggerung keras ketika tubuhnya bagian
belakang hancur dihantam pukulan sakti yang dilepaskan Latandai. Dalam keadaan
seperti itu belalang raksasa ini masih sanggup terbang menyelamatkan diri serta
menyelamatkan ibu dan anak yang ada di punggungnya. Tapi berapa lama dia bisa
bertahan dengan tubuh yang setengah hancur seperti itu.
Latandai menggembor marah
melihat Luhsantini dan anaknya berhasil menyelamatkan diri. Berkali-kali
kepalan tangan kanannya dihantamkan ke telapak tangan kiri. Tiba-tiba ada suara
mengiang masuk ke dalam telinga orang ini. Itu adalah suara Hantu Santet Laknat
yang disampaikan lewat ilmu Menyadap Suara Batin.
"Hantu Bara Kaliatus. Kau
telah membuat kesalahan besar! Sudah kukatakan seratus ilmu yang sudah kau
punya tidak bakal bisa menandingi ilmu Bara Setan Penghancur Jagat! Mengapa kau
tidak menghantam perempuan itu dengan ilmu yang kuberikan?! Malah kau
mempergunakan ilmu keropos Selusin Bianglala Hitam! Kau manusia tidak berguna.
Sekali ini aku memberi pengampunan! Lain kali jika kau masih berlaku teledor
kau akan rasakan hukuman dariku."
Latandai sadar, segera
jatuhkan diri berlutut "Nenek Hantu Santet Laknat. Aku mohon maafmu! Aku
mengaku telah berlaku salah! Lain kali aku tidak akan berbuat tolol lagi!"
Jauh di kaki Gunung
Latinggimeru, si nenek yang di uluk Hantu Santet Laknat banting-banting kaki
saking marahnya. "Hantu Bara Kaliatus tolol keparat! Dia memberi
kesempatan pada Hantu Muka Dua untuk mencari dan menemukan Luhsantini kembali.
Ah!.Bagaimana caraku agar
membuat Hantu Muka Dua berpaling padaku. Padahal dulu-dulu dia seolah bisa gila
jika sehari tidak bertemu denganku! Tapi sekarang…. banyak bermunculan
perempuan cantik yang menjadi sainganku. Luhsantini, Luhjelita…. Entah siapa
lagi! Kalau saja aku bisa mengguna-guna Hantu Muka Dua. tapi dia terlalu
sakti…. Mungkin saatnya aku kembali mempergunakan Ilmu Bersalin Wajah. Tapi
Hantu Muka Dua sudah pernah tahu ilmuku itu Memang, tak ada jalan lain. Dua perempuan
itu harus cepat-cepat dibunuh. Selain itu aku harus cepat menyirap kabar
siapa-siapa saja mereka yang bercinta dengan Hantu Muka Dua!"
*
* *
3
HANTU BARA KALIATUS INGAT.
Tadi ada selarik sinar Jingga berkelebat menamengi dan menyelamatkan Luhsantini
dari pukulan Selusin Bianglala Hitam yang dilepaskannya. Serta meria dia
memutar tubuh ke arah selatan. Empat buah bola mata merah menyala lelaki itu
membesar berkilat-kilat ketika dia melihat satu pemandangan yang membuat
darahnya menjadi panas dan tubuh menggeletar oleh rangsangan.
Sejarak lima tombak di
hadapannya, di tepi kawah Gunung Latinggimeru tegak seorang gadis berwajah
cantik. Tubuhnya yang berkulit putih mulus terbungkus oleh pakaian terbuat dari
kulit kayu yang diberi jelaga berwarna ungu. Belum pernah Latandai melihat
gadis mengenakan pakaian sebagus dan sangat mempesona seperti yang satu ini.
Bagian punggung, ketiak, dada dan pinggul tersibak lebar hingga empat bola mata
Latandai menjadi silau.
Di tempat itu tidak ada orang
lain. Jangan-jangan gadis berpakaian Jingga inilah yang telah melepaskan
pukulan sakti menangkis pukulan Selusin Bianglala Hitam yang tadi dilepaskannya
untuk membunuh Luhsantini. Tadinya Latandai hendak mendamprat marah bahkan siap
menyerang. Namun melihat wajah begitu cantik, tubuh putih mulus dan molek,
hatinya langsung menjadi dingin. Terlebih ketika si cantik itu menyapanya.
"Wahai orang gagah di
tepi kawahl Gerangan apakah yang membuat dirimu begitu marah hingga unjukkan
wajah membesi dan memukulkan satu tangan ke tangan lainnya!"
Latandai segera mendekati
gadis berpakaian kulit kayu warna Jingga itu. Tiga langkah di hadapan si gadis
dia berhenti. Matanya semakin membesar. Perlahanlahan muncul senyum di wajahnya
yang garang. "Sungguh para Dewa memberikan berkah sangat indah padaku. Di
tempat seperti ini bagaimana mungkin aku bertemu dengan seorang gadis
secantikmu?"
"Kau bukan saja gagah,
ternyata sopan dan lembut dalam bertutur sapa…."
"Ah, suaramu semerdu
bebunyian yang dimainkan para Peri di langit ke tujuhl Aku bernama Latandai.
Berjuluk Hantu Bara Kaliatus. Wahai siapa kiranya engkau gerangan?"
"Namamu menunjukkan
kejantanan. Julukanmu menandakan kedahsyatan! Tidak menyangka kiranya aku akan
berhadapan dengan seorang gagah dan pasti sakti mandraguna…."
Cuping hidung Latandai
bergerak-gerak mendengar pujian yang diucapkan suara merdu dan keluar dari
mulut berbibir merah mempesona.
"Luar biasa, kau memiliki
empat bola mata, menjunjung bara api di atas kepala, melekatkan bara api ke
dada dan perut! kalau saja tidak takut hangus, ingin rasanya aku berada lebih
dekat denganmu…." Sambil berkata gadis itu lemparkan senyum serta
kerlingan mata yang membuat Hantu Bara Kaliatus semakin merasa seperti d i
kahyangan sehingga dia terlupa untuk menanyakan siapa adanya gadis itu.
"Datanglah mendekat, aku
tidak akan menciderai wajah cantik dan tubuh sebagusmu…."
Si gadis benar-benar melangkah
mendekat. Tapi dua langkah dari hadapan Hantu Bara Kaliatus dia hentikan
tindakannya dan tertawa berderai.
"Orang sakti memang
sering menampilkan diri secara aneh dan berada di tempat aneh! Tapi wahai Hantu
Bara Kaliatus, jika aku boleh bertanya gerangan apa yang membuat kau berada di
pinggiran kawah Gunung Latinggimeru ini?"
"Kawah ini memang jadi
tempat kediamanku sejak beberapa bulan purnama. Tapi hari ini adalah hari
terakhir aku berada di sini…."
"Hemmm…. Aku bisa
menduga!" kata si gadis seraya kembali kerlingkan matanya. "Tempat
ini adalah tempatmu melakukan samadi atau tempat menggembleng diri. Jika hari
ini kau selesai melakukan semua itu berarti kau akan kembali pulang menemui
anak istrimu…." Kata-kata terakhir diucapkan dengan nada perlahan dan
wajah membayangkan kesedihan.
"Aku tidak punya istri,
tidak punya anak!" jawab Hantu Bara Kaliatus.
"Wahai! Harap maafkan
diriku yang lancang menduga!" kata si gadis seraya mengusap lengan
Latandai yang penuh ditumbuhi bulu. Membuat lelaki ini jadi tambah tenggelam
dalam rangsangan hasrat yang berkobar-kobar. "Hai! Lenganmu terasa
panas…." Si gadis terpekik kecil.
"Aku…. Darahku menjadi
panas melihat kecantikanmu!" kata Latandai tanpa malu-malu. "Maukah
kau ikut bersamaku…?"
"Ajakan seorang gagah
siapa berani menampik. Tapi kemanakah kau hendak membawaku…?" Latandai
jadi bingung sendiri. Lalu dia tertawa gelakgelak.
"Aku jadi bodoh! Tidak
tahu mau mengajakmu kemana…."
"Kemana saja asal kau
yang mengajak tentu aku suka…" kata si gadis pula dan tak lupa dengan
kerlingan mata genit yang membuat La tandai tambah terambung-ambung seperti di
awan! Tangan kanannya meluncur memegang lengan si gadis lalu setengah berbisik
dia berkata." Di lamping kawah sebelah sana ada sebuah goa Di dalamnya ada
satu telaga kecil. Hawa di sana sangat sejuk dan bersih. Aku akan membawamu
kesana…."
"Ah, senang hatiku. Tapi
aku ingin sedikit berlamalama di bawah sinar sang surya yang baru terbit ini.
Kuharap kau tidak marah. Sinar mentari sangat bagus Ituat kulit perempuan
sepertiku…."
"Apapun yang kau katakan
aku akan menurut. Tapi ada satu hal yang ingin kutanyakan…."
"Kata orang bertanyalah
sebelum sesat dijalan. Hik…hik… hik!" Si gadis tertawa hingga terlihat
barisan gigigiginya yang putih berkilat serta lidahnya yang merah dan basah,
membuat Latandai tambah geregetan dan saat itu ingin memeluk serta menciumnya.
"Mengapa kau datang ke
kawah ini…."
"Wahai Hantu Bara
Kaliatus, jangan kau bercuriga pada diriku. Tadi aku berada di pinggiran kawah
sebelah sana. Tiba-tiba kulihat ada sinar hitam dan sinar Jingga bertabur di
udara. Cepat-cepat aku ke sini. Sampai di sini sinar hitam dan cahaya Jingga itu
tidak kutemukan. Yang kulihat adalah seorang gagah bernama Latandai berjuluk
Hantu Bara Kaliatus!" Gadis itu kembali tertawa merdu. Latandai ikutan
tertawa senang. Lalu lelaki ini berbisik. "Kita ke goa sekarang?"
"Hari masih panjang,
mengapa terburu-buru? Tapi jika kau memaksa biar aku mengalah! Aku tak mau kau
menjadi marah!"
Mendengar ucapan si gadis
segera saja Hantu Bara Kaliatus menarik tangannya.
"Tunggu dulu!" si
gadis berseru.
"Ada apa…?" tanya
Latandai.
"Apapun yang akan kita
perbuat di dalam goa itu kau harus berjanji! Jangan sampai bara menyala di
kepala, dada dan perutmu menyentuh diriku…."
"Aku berjanji!"
jawab Hantu Bara Kaliatus dengan suara keras. Hasratnya tambah menggila dan dia
benarbenar senang luar biasa karena tidak menduga akan bertemu dengan seorang
gadis jelita yang saat itu mau saja diajaknya masuk ke dalam goa. Sambil
memegang lengan si gadis Latandai mengajaknya berlari sepanjang tepi kawah.
Lelaki ini berlari kencang sekali dan bukan merupakan lari biasa. Dia sama sekali
tidak menyadari walau dia lari secepat itu tetapi si gadis di sebelahnya mampu
mengikuti!
"Wahai! Goa ini benar
sejuk dan indah bersih seperti yang kau katakan!" ujar si gadis begitu
mereka masuk ke dalam goa. Langsung saja dia dudukkan diri di lantai goa dekat
sebuah telaga kecil berair jernih kebiruan.
"Kalau kita bisa
sering-sering berada di tempat ini, hemmm…. Senang sekali hatiku…."
Latandai tertawa lebar lalu
ikutan duduk di lantai. Dia sengaja merapatkan tubuhnya ke pinggul si gadis.
"Sekarang apa yang akan
kita lakukan?!" bertanya gadis itu seolah-olah menantang.
Latandai rangkulkan tangan
kirinya di pinggang sang dara.
"Awas bara menyala di
kepala, dada dan perutmu! Hik… hik… hik!" memperingatkan si gadis sambil
tertawa genit.
"Jangan khawatir, aku
akan berhati-hati…" bisik Latandai.
"Astaga…!" si gadis
terpekik kecil.
"Ada apa?" tanya
Latandai.
Gadis itu masukkan tangan
kanannya ke balik dada pakaian kulit kayunya yang membuat Latandai membeliak.
Dari balik pakaiannya si gadis keluarkan dua buah benda bulat sebesar kepalan
berbulu halus.
"Aku membawa dua buah
kecapi hutan. Aku pernah memakannya! Rasanya manis sekali. Satu untukmu, satu
untukku! Ini kuberikan padamu yang besar karena kau orangnya besar. Aku biar
yang kecil. Ayo sama-sama kita makan!"
Gadis itu bantingkan buah
kecapinya kelantai hingga terbelah dua. Lalu sambil senyum-senyum memandang
pada Latandai dia segera menyantap buah kecapi yang lombut putih dan manis itu.
Latandai segera pula membuka buah yang dibelahnya dengan remasan tangan.
"Kecapimu manis…?"
tanya si gadis.
"Hemmm…"gumam
Latandai sambil mengangguk.
Dia cepat-cepat menghabiskan
buah kecapi itu karena hasratnya tidak tertahankan lagi. Begitu buah kecapi
dimakan habis kembali dia merangkul tubuh si gadis. Tapi belum sempat tersentuh
tiba-tiba Latandai merasakan dadanya sesak, pemandangannya gelap menghitam.
Nafasnya tersendat.
"Aku…." Dia hanya sanggup mengeluarkan satu patah ucapan itu lalu
tubuhnya terguling tertelentang di lantai goa.
Gadis berpakaian jingga
tertawa panjang. Dengan cepat dia memeriksa keadaan Latandai. Setelah
memastikan lelaki itu benar-benar pingsan maka tangan dan matanya bekerja
memeriksa bagian tubuh di sebelah bawah pusar Latandai. Sesaat kemudian gadis
itu menarik nafas panjang. Wajahnya menunjukkan kekecewaan. "Hanya ada
satu tahi lalat di bawah pusarnya…" katanya perlahan. Sesaat dia duduk
termenung.
Dalam hati kembali dia
berkata. "Mendapatkan satu saja begini sulitnya. Bagaimana mungkin aku
sanggup mencari sampai tujuh orang? Wahai diriku yang bernama Luhjelita, sulit
sekali tugas yang kau pikul. Untuk mendapatkan satu ilmu kau harus menempuh
perjalanan berliku, menantang seribu bahaya…."
Gadis yang menyebut dirinya
Luhjelita ini menarik nafas panjang. Sesaat dia perhatikan sosok Hantu Bara
Kaliatus lalu mencibir. Dia bangkit berdiri. Sebelum keluar dari goa dia
tendang lebih dulu kaki kiri Latandai. Lalu berkelebat pergi sambil tertawa
cekikikkan. Di satu tempat gadis itu menyelinap ke balik pohon-pohon besar
tumbuh rapat berjejeran. Di balik pepohonan mendekam seekor kura-kura raksasa
berwarna coklat.
Tidak seperti kura-kura biasa,
binatang yang satu ini memiliki dua buah sayap yang bisa dilipat dan
direntangkan. Si gadis melompat naik ke atas kura-kura raksasa lalu mengetuk
punggung binatang ini tiga kati.
Kura-kura keluarkan kepalanya,
sayap di kiri kanan direntang lebar. Sesaat kemudian binatang aneh ini melayang
terbang di udara meninggalkan puncak Gunung Latinggimeru. Sementara itu di
dalam goa, tak lama setelah gadis berpakaian jingga berlalu Hantu Bara Kaliatus
mulai siuman. Dia keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya menggeliat. Sesaat
kemudian dia bangun dan langsung melompat bangkit. Empat bola matanya menyorot
memandang berkeliling. Dia lari ke mulut goa. Memandang ke seantero kawah
Gunung Latinggimeru.
"Aku tertipu!" ucap
Hantu Bara Kaliatus sadar. "Gadis jahanam! Aku ingat sekarang! Gadis itu
berpakaian warna jingga! Cahaya sakti yang tadi melesat di udara menyelamatkan
Luhsantini juga berwarna jingga! Jangan-jangan dia yang punya perbuatan
menolong Luhsantini! Kurang ajar! Aku tertipu oleh kecantikan dan keelokan
tubuh serta tutur bicaranya yang pandai merayu! Waktu lari tadi…. Gila! Mengapa
sekarang aku baru sadari Aku berlari sekencang angin! Dan dia mampu mengikuti aku!"
Hantu Bara Kaliatus bantingbanting kakinya. "Kalau bertemu akan kukuliti
sekujur tubuhnya!"
Saking marahnya Hantu Bara
Kaliatus tendang batu di mulut goa hingga hancur berantakan.
*
* *
4
GEMURUHNYA ARUS SUNGAI TERASA
menyeramkan di telinga Wiro. Naga Kuning dan Setan Ngompol yang berada di atas
telapak tangan kanan Lakasipo. Lakasipo sendiri saat itu duduk di atas sebuah
batu besar sambil merendam sepasang kakinya yang terbungkus dua batu besar
berbentuk bola yang di seantero Negeri Latanahsilam kini telah dikenal dengan
sebutan Bola Bola Iblis. Bahkan banyak pula yang menjuluki Lakasipo sebagai
Hantu Kaki Batu. Sejak dia membunuh Lahopeng, pemuda jahat yang hendak
mencelakai dirinya, penyebab kematian istrinya Luhrinjani serta perampas
kedudukannya sebagai Kepala Negeri Latanahsilam, hampir seluruh penduduk
menginginkannya kembali menjadi Kepala Negeri. Namun Lakasipo telah kepalang
kecewa. Walau kini dia telah meninggalkan Latanahsilam dia belum tahu kemana
dia hendak pergi. Sementara itu rasa suka dan persahabatannya terhadap Wiro dan
dua kawannya semakin terasa erat. (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Bola
Bola Iblis")
Lakasipo memetik selembar daun
di tepi sungai. Ketiga orang itu diletakkannya di atas daun, lalu daun itu
diturunkannya ke air. Dengan ukuran tubuh mereka yang kecil maka bagi Wiro dan
dua temannya daun itu sama besarnya dengan sebuah rakit. Begitu berada di atas
air daun segera dihanyutkan arus.
"Hai! Hendak kau apakan
kami?!" teriak Wiro. Naga Kuning mencengkeram daun sekuat-kuatnya
sementara Setan Ngompol Jatuhkan diri tertelentang sambil menahan kencing.
Lakasipo tertawa lalu mencebur
masuk ke dalam sungai hingga daun di mana Wiro dan kawan-kawan berada terlempar
ke atas bersama muncratan air tak ampun lagi ketiganya amblas masuk ke dalam
air. Sambil tertawa-tawa Lakasipo selidupkan tangan kirinya ke dalam air,
menangkap ketiga orang yang sudah megap-megap itu.
" "Dia hendak
membunuh kita!" teriak Naga Kuning dengan muka pucat."
"Bagaimana kau bisa
berbuat sejahat ini Lakasipo?!" ujar Setan Ngoropol seraya mengusap wajah
yang basah dengan tangan kanan sementara tangan kiri menekan bagian bawah
perutnya yang tak dapat lagi menahan kencing.
"Lakasipo apa maksudmu
rnembenamkan kami ke dalam air?" Wiro akhirnya ikut bertanya.
Lakasipo dekatkan telapa
tangan kiri ke mukanya.
"Selama beberapa hari ini
kita berempat tak pernah mandi-mandi. Kebetulan bertemu sungai airnya jernih,
bersih dan sejuk. Apa salahnya pergunakan kesempatan untuk mandi wahai tiga
kawanku? Apalalagi kawanmu kakek bermata jereng berkuping lebar ini. Bau
Pesingnya sudah tidak ketelengan!"
"Kalau kau memang mau
memandikan kami bukan begini caranya! Kami bertiga bisa mati tenggelam!"
ujar Setan Ngompol lalu mengomel panjang pendek.
"Air sungai bagimu sejuk
tapi bagi kami sama saja tenggelam dalam es! Kami bertiga bisa mati
kedinginan!" teriak Naga Kuning.
"Kalian bertiga memang
makhluk seperti kutu cebol. Tapi aku tahu kalian memiliki ilmu kepandaian
tinggi! Anggap saja kalian sedang mendapat gemblengan!"
kata Lakasipo lalu tertawa
gelak-gelak hingga ketiga orang itu terbanting di atas telapak tangannya dan
dekap, telinga masing-rnasing agar tidak kesakitan.
"Saatnya, kita
melanjutkan perjalanan kata Lakasipo kernudian. Lalu dia bersuit keras..
Laekakienam, kuda hitam raksasa berkaki enam yang jadi tunggangan Lakisipo dan
saat itu! tengah mahdi di sebelah hilir. segera melompat dan berenang
rnendapatkan tuannya. Suara binatang ini merancah air sungai membuat Wiro dan
kawan-kawannya menahan nafas karena ngeri sementara air..sungai bermuncratan
kian kemari laksana sambaran-ombak.
"Tunggu dulu
Lakasipo!" berkata Wiro. "Kau mau bawa,kami kemana?”
“ Wahai Wiro, bukankah aku
sudah mengatakan Padamu dan Naga Kuning serta Setan Ngompol bahwa akan
membawamu ke Bukit Latinggihijau untuk melihat makam istriku?!"
Pendekar 212 garuk-garuk
kepalanya. "Kami memang senang kau bawa ke sana," katanya menyahuti
walau dalam hati dia berkata, "kenal saja aku tidak pernah. Lagipula pada
akhir hayatnya perempuan itu mengkhianati Lakasipo. Perlu apa pergi ke
sana?" Wiro lalu berkata lagi "Tapi Lakasipo! Sebelum pergi ke Bukit
Latinggihijau bagaimana kalau kita mencari dulu Batu Sakti Pembalik Waktu yang
hilang itu?"
"Ah, kau tidak kerasan
lama-lama di Latanahsilam "Bukan begitu. Kami suka tinggal di sini. Tapi
alam sini sangat berbeda dengan alam kami di tanah Jawa. Marabahaya senantiasa
membayangi kami dan muncul tidak terduga. Bukan.karena orang-orang di sini
ingin mencelakai karni, tapi karena keadaan tubuh kami kecil begini yang menjadi
sumber malapetaka! Bayangkan kalau kami sampai dipatuk burung atau ayam
raksasa, atau dirubung semut atau disengat tawon. Bayangkan kalau kami sampai
terinjak anjing atau kambing atau jadi permainan kucing, dicakar dan
digigit!"
"Kalian bertiga tak perlu
khawatir wahai para kutu Cebol sobat-sobatku! Bukankah aku akan melindungi dan
membawa kalian bertiga kemana aku pergi?"
"Aku percaya pada dirimu
Lakasipo. Tapi kami lebih suka jika bisa kembali ke alam kami…" kata Naga
Kuning pula. "Antarkan kami ke kawasan rerumputan itu mencari. Batu Sakti
Pembalik Waktu.!"
"Kita sudah pernah ke
sana. Kalian sendiri dan juga aku telah menyelidik. Tapi batu tujuh warna itu
tidak ditemukan…."
"Batu itu pasti ada di
sana. Kita mencarinya terburuburu saat itu. Karena, hampir malam!" kata
Setan Ngompol.
Lakasipo gelengkan kepala.
"Betapapun kecilnya benda itu, walau hari hampir gelap tapi mataku tak
bisa ditipu. Aku pasti akan menemukannya jika batu itu benar-benar ada di
sana…."
“Kalau kau memang bersahabat
dengan kami, kau harus mau mengantarkan kami ke sana. sekali lagi. Kita
habiskan satu hari penuh untuk mencari batu itu!" kata Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Lakasipo menyeringai.
"Persahabatan bukan berarti harus melakukan sesuatu yang mustahil wahai
sobatku Wiro Sableng. Kita pergi ke Bukit Latinggihijau dulu. Soal batu itu
kita urus kemudian…."
Lakasipo mengusap kepala kuda
hitam berkaki enam yang kini tegakdi sampingnya. Ketika dia hendak, naik ke
punggung binatang ini Wiro berkata. "Lakasipo, tunggu! Kalau kau tidak mau
mengantarkan kami ke kawasan rerumputan itu, apa kau juga tidak mau menolong
kami mencari Hantu Tangan Empat?"
"Makhluk satu ini…. Dia
sulit sekali dicarinya, wahai Wiro."
"Seluas-luasnya Negeri
Latanahsilam ini Hantu Tangan Empat pasti punya tempat kediaman. Kalau kita
pergi ke sana masakan tidak bertemu?!" berkata Naga Kuning.
"Kalian bertiga tidak
tahu siapa adanya Hantu Tangan Empat. Dia jarang berada di tempat kediamannya.
Selain itu dia berada di bawah pengaruh Hantu Muka Dua yang selalu memberinya
perintah ini itu. Kalau dia pergi bisa satu dua tahun. Apa yang bisa kalian
harapkan?"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
Setan Ngompol.berbisik.
"Aku yakin satu tahun di
negeri celaka ini tidak sama dengan satu tahun di negeri kita. Mungkin satu atau
dua tahun di sini hanya satu atau dua bulan saja di alam kita. Buktinya orang
di sini bisa berusia sampai tiga ratus tahun!"
Saat rtu Lakasipo telah
melompat naik ke punggung kuda hitam kaki enam. Sebelum dia memasukkan ketiga
orang itu ke dalam kocek jerami di pinggang kanannya Naga Kuning berseru.
"Lakasipo! Bagaimana
kalau aku tidak ikut kau tapi antarkan saja mencari seorang anak
perempuan…."
"Seorang anak
perempuan?" Lakasipo mengulang heran. Sementara Wiro dan Setan Ngompol
memandang lekat-lekat penuh tanda tanya pada si bocah.
"Memangnya kau ada
kenalan anak perempuan di Latanahsilam ini? Aku tidak tahu. Tidak aku mengerti!
Anak siapa, anak yang mana?"
"Aku melihat anak itu di
tepi tanah lapang luas. Sewaktu terjadi perkelahian antara kau dengan
Lahopeng," menerangkan Naga Kuning.
"Kau ini aneh Naga
Kuning. Ada puluhan bahkan ratusan anak perempuan di negeri yang luas ini. Kau
tahu nama anak itu? Kau ini ada-ada saja Naga Kuning. Bocah sebesarmu sudah
tahu perempuan!" Wiro hendak mengatakan sesuatu tapi Naga Kuning cepat
kedipkan mata sambil berbisik. "Jangan kau berani membuka rahasia sobat
sendiri Wiro!" ucapan itu membuat murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk
kepala. Naga Kuning pencongkan mulut lalu berkata menjawab pertanyaan Lakasipo
tadi. "Aku hanya kenal muka, tapi tidak kenai nama anak itu…."
"Mungkin aku bisa
membantu!" tiba-tiba Setan Ngompol berkata. "Aku juga memang tidak
tahu nama anak perempuan itu. Tapi aku ingat betul ciri-cirinya!"
"Hemm…. Coba kau beri
tahu aku ciri-ciri anak itu wahai kakek mata jereng kuping lebar!" kata
Lakasipo pula.
Setan Ngompol menyeringai. Dia
mengerling dulu pada Naga Kuning baru menjawab. "Anak perempuan itu
seingatku hanya mengenakan pakaian dari kulit kayu di sebelah bawah. Di sebelah
atas polos. Dadanya lumayan montok. Sekujur tubuhnya penuh koreng. Lalu di atas
bibirnya ada dua jalur ingus yang mengambang terus menerus. Naik kalau disedot,
turun lagi kalau dibiarkan…."
“Tua bangka bermulut
jahat!" teriak Naga Kuning seraya menarik kolor si kakek ke bawah hingga
auratnya menongol! "Bukan gadis itu yang aku maksudkan!"
"Bocah kurang ajari Kau
boleh marah! Tapi jangan main tarik kolorku! Lihat! Terong peot dan kantong
menyanku berojolan kemana-mana!" Setan Ngompol marah sekali dan
cepat-cepat tarik kolor bututnya ke atas.
Sambil menahan tawa Lakasipo
berkata. "Naga Kuning, kalau kau masih ingat ciri-ciri gadis itu, katakan
padaku."
"Anaknya putih. Rambutnya
dikuncir kepirangpirangan. Dia memiliki sepasang kaki yang bagus. Pahanya putih
sekali. Pakaiannya agak tersingkap di bagian dada. Aku benar-benar tidak bisa
melupakannya! Aku ingin sekali bertemu lagi dengan dia. Ah…."
"Bocah ini sudah ketiban
sakit mala rindu tak tahu juntrungan!" Setan Ngompol mengejek. ‘Tapi
sebagai sahabat yang nyasar ke negeri asing, aku tidak keberatan
menemaninya…."
"Apa maksudmu kakek
cebol?’ tanya Lakasipo.
"Kalau bocah ini melihat
anak perempuan itu, aku juga melihat sorang nenek berbadan molek. Dia
mengenakan pakaian kulit kayu yang dililit sepanjang badan. Di sebelah atas
pakaiannya itu seperti kemben. Kulihat ternyata dadanya putih dan masih
kencang. Hik… hik… hik!"
"Di Latanahsilam hanya
ada satu nenek seperti yang kau sebutkan itu. Namanya Luhlampiri. Dia sudah
kawin sembilan kali. Setiap kawin suaminya menemui ajal dalam waktu tiga puluh
hari!"
Setan Ngompol terkejut dan
langsung terkencing mendengar keterangan Lakasipo itu sementara Wiro
senyum-senyum dan Naga Kuning tertawa haha-hihi sambil cibirkan bibir.
"Kau masih ingin
mengincar nenek itu, wahai sobatku Setan Ngompol?!" bertanya Lakasipo.
"Aku terpaksa berpikir
dulu sampai tujuh kali. Tapi kalau cuma sekadar bertemu saja apa salahnya!
Bermain cinta tapi tak perlu kawin! Apa ada aturan yang melarang perbuatan
seperti itu di Negeri Latanahsilam ini, wahai sobatku Lakasipo?" bertanya
Setan Ngompol.
"Tidak, memang tidak ada
aturan yang melarang wahai Setan Ngompol. Juga tidak ada aturan yang melarang
kalau satu ketika, akibat kelakuanmu itu terong peot dan kantong menyanmu
tahu-tahu pindah ke jidat!" Lakasipo tertawa gelak-gelak yang membuat
tangan kanannya berguncang-guncang hingga Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol
yang ada di atas telapak tangan itu berjatuhan tumpang tindih.
Naga Kuning yang masih
penasaran pada Setan Ngompol cepat bangkit dan berkata. "Setan Ngompol!
Kalaupun nenek bernama Luhlampiri itu mau dikawin olehmu, apa yang bisa kau
lakukan dengan terong peotmu yang baginya cuma sebesar jarum karatan! Sekali
kau kena kentutnya, anumu bisa mental dan remuk tak karuan rupal Hik… hik…
hik!"
Setari Ngompol jadi naik
darah. Dia membentak marah. Namun sebelum ucapannya keluar dia sudah tcrkencing
duluan!
"Wahai kalian bertiga
para sahabatku! Saatnya untuk berangkat ke Bukit Latinggihijau. Kalian akan
kumasukkan dulu ke dalam kocek jerami." Baru saja Lakasipo hendak membuka
penuiupkocek di pinggang kanannya tiba-tiba ada satu sosok besar melesat keluar
dari hutan di seberang sungai. Gerakan makhluk itu membuat dua pohon besar yang
terlanggar tubuhnya berderak patah dan bertumbangan. Dilain kejap makhluk ini
telah berdiri tegak di atas sebuah batu besar di tengah sungai.
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol Langsung tercekat pucat menyaksikan sosok yang berada di tengah sungai
itu. Bahkan Lakasipo ikut tersirap kaget.
"Berulang kali aku
mendengar ceritanya. Baru sekali ini aku menyaksikan dengan mata kepala
sendiri! Benarbenar mengerikan…" kata Lakasipo dengan hati bergetar.
*
* *
5
SOSOK YANG TEGAK DI ATAS BATU
BESAR DI tengah sungai bukan lain adalah Latandai alias Hantu Bara Kaliatus.
Sepasang matanya masingmasing memiliki dua bola mata berwarna merah seperti
bara menyala menatap angker ke arah Lakasipo. Saat itu Lakasipo masih duduk di
atas punggung Laekaki enam kuda tunggangannya yang berkaki enam. Sementara
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol masih berada dalam genggaman tangannya,
belum sempat dimasukkan ke dalam kocek jerami.
"Makhluk apa ini
gerangan…" kata Naga Kuning.
"Kepalanya seperti
pendupaan! Ada bara menyala!"
menjawab! Wiro. Sementara
Setan Ngompol berdiam diri sambil menekap bagian bawah perutnya karena ngeri
melihat sosok Hantu Bara Kaliatus. Udara di sekitar sungai yang tadinya sejuk
kini berubah menjadi panas oleh hawa yang keluar dari bara menyala di kepala
dan tubuh Hantu Bara Kaliatus.
"Lihat matanya!"
Naga Kuning kembali berucap.
"Setiap mata ada dua bola
mata!"
"Ya, aku juga sudah
melihat. Jangan-jangan makhluk ini punya empat biji di kantong
menyairnya!" kata Wiro pula sambil tertawa cekikikan.
"Kalian jangan bergurau
saja!" membentak Setan Ngompol. "Aku punya firasat bahaya besar
mengancam Lakasipo, berarti mengancam kita bertiga!"
"Wahai orang berkaki batu
berkuda kaki enam!"
Hantu Bara Kaliatus berseru
dari tengah sungai. "Walau rambutmu gondrong riap-riapan, muka tertutup
kumis, Janggut dan cambang bawuk tebali Tapi aku masih mengenali siapa dirimu!
Dan aku memang sudah lama mencarimu I Bukankah kau manusianya yang bernama
Lakasipo dan kini dijuluki Bola Iblis alias Hantu Kaki Batu?."
Lakasipo tidak segera
menyahut. Dia perhatikan sekali orang di tengah sungai itu. "Lama sudah
kudengar kedahsyatan keadaan dirimu! Jika aku tidak salah menduga bukankah kau
Latandai, kerabat dari Latanahsilam yang kini terkenal dengan julukan Hantu
Bara Kaliatus?!"
Hantu Bara Kaliatus tertawa
bergelak. "Dulu kita sama-sama tinggal di Latanahsilam, saling bersahabat
saling berkerabat! Tapi keadaan kini telah menentukan lain! Aku memanggul tugas
membunuh dirimu Lakasipo!"
Terkejutlah Lakasipo mendengar
ucapan Hantu Bara Kaliatus itu. Dalam genggamannya Setan Ngompol langsung terkencing.
Naga Kuning gemetaran sedang Wiro walaupun tampak tenang tapi hatinya jadi
berdebar. Jika terjadi perkelahian antara Lakasipo dengan orang yang kepala dan
tubuhnya dipenuhi bara menyala itu, niscaya keselamatan mereka ikut terancam.
"Latandai, hampir delapan
puluh tahun kita tidak pernah bertemu! Sekali bersua kau berniat hendak
membunuhkul Siapa yang memberi tugas gila itu padamu! Mengapa dia menginginkan
jiwaku?!" tanya Lakasipo alias Hantu Kaki Batu dengan suara lantang.
"Aku tidak ditugaskan
untuk bertanya jawab. Tapi mungkin aku bisa memperpanjang saat-saat kematian
mu. Asalkan kau bersedia menjawab pertanyaanku!"
"Manusia gendeng! Hendak
membunuh orang tapi mau bertanya dulu!" memaki Naga Kuning.
"Hantu Bara Kaliatus!
Belum pagi berganti sore ucapanmu sudah ngaco bertolak belakang! Tadi kau
bilang tidak ingin bertanya jawab. Tapi sekarang kau mau mengajukan
pertanyaan!"
Tampang Hantu Bara Kaliatus
jadi berubah. Bara api di atas kepalanya mengepulkan asap merah. Tidak
mengacuhkan ejekan Lakasipo dia berkata. "Aku mencari seorang bernama
Lasingar. Aku juga mencari seorang perempuan bernama Luhsantini. Terakhir
sekali aku bertemu orang-orang itu sekitar seratus tahun lalu. Lalu ada seorang
lelaki bernama Lamatahati yang usianya sekitar delapan puluh tahunan. Di mana
mereka sekarang, apakah kau bisa memberi tahu?"
"Aku pernah mendengar
sedikit riwayatmu di masa lalu. Luhsantini bukankah dia istrimu dan Lamatahati
bukankah dia anakmu? Aku menaruh curiga kau punya niat jahat terhadap kedua
orang itu. Juga terhadap Lasingar! Aku tak mungkin memberi tahu! Apalagi kau
punya maksud hendak membunuhku!"
Hantu Bara Kaliatus
perlihatkan wajah sedih. "Yang lalu biarlah berlalu. Walau bagaimanapun
Luhsantini adalah istriku. Lamatahati adalah anakku dan Lasingar adalah
kerabatku! Aku rindu ingin bertemu dengan mereka."
Lakasipo terdiam beberapa
ketika. Akhirnya dia menjawab. "Istrimu kudengar kabar menyepi diri di
satu tempat di sebuah pertapaan di sebelah selatan Gunung Labatuhitam. Lasingar
kalau tak salah menetap di Bukit Latinggibiru. Mengenai anakmu Lamatahati tidak
pernah kuketahui. Mungkin dia berada di alam lain sebelum kita atau alam seribu
dua ratus tahun setelah kita."
Hantu Bara Kaliatus tatap muka
Lakasipo beberapa saat seolah hendak meneliti apakah keterangannya bisa
dipercaya. Kemudian manusia ini sunggingkan seringai. "Wahai Lakasipo!
Ternyata kau tidak bakal mati sia-sia! Kau mati dengan menanam budi padaku!
Semoga para Dewa dan para Peri memberikan tempat paling hnflua begini di alam
atas langit! Tiba saatnya aku membunuhmu wahai Hantu Kaki Batu"
Habis berkata begitu Hantu
Bara Kaliatus sentakan lehernya. Kepalanya bergoyang keras. Sebuah bara menyala
melesat dari atas kepala orang ini, menyambar ke arah kepala Lakasipo. Secepat
kilat Lakasipo tundukkan kepala. Melompat ke kiri, mencebur ke dalam sungai.
Bara menyala lewat setengah jengkal disamping paha kirinya, menebar hawa panas
yang sempat menghanguskan cambang bawuknya. Bara menyala sesaat kemudian
menghantam sebuah batu besar di tepi sungai sehingga meledak dan hancur
berkeping-keping!
Hantu Bara Kaliatus tertawa
bergelak. "Gerakanmu lumayan cepat Hantu kaki Batu. Aku ingin melihat
kehebatan sepasang kaki batumu!"Hantu Bara Kaliatus lalu sentakkan otot di
perutnya. Dua buah bara menyala melesat menyerang Lakasipo. Lebih cepat dan
lebih ganas! Lakasipo yang masih berada dalam sungai membentak keras lalu
melesat ke udara. Pada saat dua bara menyala menyambar dan hanya tinggal satu
langkah dari perut dan dadanya, Lakasipo tendangkan kedua kakinya.
"Byaaarrr!"
"Byaaarrr!"
Percikan lidah api mencuat di
atas sungai. Membakar daun-daun pepohonan. Lakasipo terdorong keras ke belakang
tapi masih sanggup menjejakkan dua kaki batunya di tepi sungai. Rasa sakit
menjalar dari kaki sampai ke pinggang. Kalau tidak cepat mengimbangi diri dan
pasang kuda-kuda niscaya dia akan jatuh terhenyak di tanah. Di atas batu di
tengah sungai Hantu Bara Kaliatus tegak dengan tubuh tergontaigontai. Sesaat
mukanya seolah tak berdarah ketika menyaksikan bagaimana dua bara yang
dihantamkannya ke arah lawan hancur berantakan ditangkis Bola Bola Iblis di
kaki Lakasipo!
Lakasipo sendiri tampak
berkerut keningnya ketika melihat bagaimana hantaman dua keping batu bara merah
yang hanya sebesar ibu jari kaki itu membuat dua kakinya yang terbungkus batu
laksana dirajam dalam api. Ketika dia memperhatikan ternyata dua batu di
kakinya telah gompal! Padahal selama ini tidak satu senjata atau kekuatan sakti
puri sanggup merusak dua batu bulat itu!
Mendadak Lakasipo merasa ada tusukan
halus di tangan kanannya. Tusukan itu sebenarnya adalah gigitan yang dilakukan
Wiro untuk menarik perhatian Lakasipo. Hal ini menyadarkan Lakasipo bahwa
sampai saat itu dia masih menggenggam ketiga orang Itu di tangan kanannya. Wiro
lambaikan tangan berulang kali. Melihat tanda ini Lakasipo segera dekatkan
tangan kanannya ke telinga. Wiro cepat membuka mulut.
"Lakasipo! Lekas masuk
kedalam sungai. Manusia bara menyala itu pasti tidak berani mengejar. Seluruh
bara menyala di kepala dan tubuhnya pasti akan mati kena air. Di dalam air kau
punya kesempatan bertahan dan menyerang!"
"Kau cerdik!" ujar
Lakasipo. Lalu sambil terus menggenggam Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol
dengan cepat dia mencebur masuk ke dalam sungai. Air sungai muncrat sampai beberapa
tombak. Wiro dan dua temannya yang masih berada dalam genggaman tangan kanan
Lakasipo jadi gelagapan begitu mereka ikut tenggelam masuk ke dalam air.
Di atas batu di tengah sungai
Hantu Bara Kaliatus menyeringai lebar. "Aku tahu apa yang ada di benakmu
Hantu Kaki Batu! Kau kira aku takut turun ke air! Aku masih belum puas kalau
tidak menjajal seluruh kesaktianmu sebelum menamatkan riwayatmu!" Setelah
berucap Hantu Bara Kaliatus lantas melompat masuk ke dalam sungai.
"Byuuurrr!"
Sosok Hantu Bara Kaliatus
lenyap di dalam air. Di permukaan sungai mengepul asap kelabu. Tiba-tiba sosok
Hantu Bara Kaliatus muncul kembali. Astaga! Semua bara menyala yang ada di atas
kepala dan menempel di tubuhnya ternyata masih menyala! Tidak mati walau
terkena air!
"Hantu Kaki Batu!
Perlihatkan kehebatanmu!"
Hantu Bara Kaliatus tanggalkan
sebuah bara menyala dari atas kepalanya. Sesaat bara itu ditimangtimangnya. Di
saat yang sama Lakasipo ingat akan orang-orang yang ada di tangan kanannya.
Dengan cepat dia keluarkan tangan kanan dari dalam sungai. Wiro dan Naga Kuning
muntah-muntah semburkan air. Setan Ngompol muntah atas bawah. Walau keadaannya
saat itu megap-megap seperti orang mau sekarat tapi Wiro masih sempat mengintip
dari sela jari Lakasipo dan dia menyaksikan sendiri bagaimana bara menyala di
kepala dan tubuh lawan tidak menjadi mati walau terkena air!
"Lakasipo…. Huekkk!"
Wiro muntah lagi. "Sulit bagimu mengalahkan makhluk bara itu. Kau harus
menyelinap ke belakangnya. Totok urat besar dipangkal leher sebelah kanan.
Tubuhnya pasti kaku tak bisa bergerak!"
"Kau memang pernah bilang
mengenai ilmu totok itu! Tapi mana aku paham melakukannya!" jawab Lakasipo
seraya mendekatkan tangan kanannya ke dekat, kepala.
"Luruskan dua jari tangan
kirimu! Kerahkan tenaga dalam lalu tusukkan ke pangkal leher! Ingat, aku pernah
menunjukkan caranya beberapa hari lalu! Kau harus melakukan sekarang sebelum
dia menyerang!"
Apa yang dikatakan Wiro tidak
mudah bagi Lakasipo melakukannya. Bukan saja karena dia tidak pernah mengenal
ilmu totokan itu tetapi saat itu Hantu Bara Kaliatus telah melemparkan bara api
yang tadi ditimang nya di tangan kanan.
"Wuussss!"
Batu bara menyala seolah
berubah menjadi sinar merah panjang, melesat di atas permukaan air sungai
menyambar ke arah dada Lakasipo. Lakasipo membuang dirinya ke samping sambil
melepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit Lima larik sinar hitam berkiblat
memapasi sambaran bara menyala.
"Taar! Taarr! Taarr!
Taarr! Taarr!"
Lima letusan keras
menggetarkan udara. Sinar hitam dan kilatan nyala api bertaburan. Air sungai
bergejolak ke atas antara dua lawan yang tengah bertempur itu hingga untuk
beberapa saat lamanya mereka tak dapat saling melihat. Lakasipo merasa sakit
dan panas pada pinggang sebelah kiri. Namun tidak diacuhkannya karena dia ingin
mempergunakan kesempatan untuk melakukan apa yang diberitahu Wiro tadi. Yakni
menotok tubuh lawan. Tapi celakanya Lakasipo lupa bagian mana dari tubuh Hantu
Bara Kaliatus yang harus ditotoknya. Sebelum tubuhnya masuk ke dalam air dia
angkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan bertanya. "Wiro, bagian mana dari
tubuh Hantu Bara Kaliatus yang harus aku tutuk!"
Saat itu dalam genggaman
tangan kanan Lakasipo Wiro terjepit di sebelah bawah. Walau dia bisa
mendengarpertanyaan Lakasipo namun dia tak bisa menjawab.Sebaliknya Naga Kuning
berada di sebelah atas antara dua celah jari tangan. Enak saja bocah ini
berteriak.
"Totok saja
selangkangannya sebelah kanan! Kau harus menyelami Lakukan cepat sebelum
muncratan air turun!"
*
* *
6
TANPA PIKIR PANJANG LAKASIPO
SEGERA menyelam lalu bergerak cepat mendekati lawan dengan dua jari tangan kiri
terpentang lurus. Hantu Bara merasa dan mendengar ada herrtakanhentakan keras
di dasar sungai yakni hentakan Bola Bola Iblis atau dua kaki Lakasipo yang terbungkus
batu. Ketika dia menyadari lawan menyusup dalam air dan mendekatinya dengan
cepat keadaaan sudah kasip.
Tubuh Hantu Bara menggeletar
ketika satu tusukan keras menghantam pangkal paha kanan sebelah atas!
Hantu Bara Kaliatus pukulkan
tangan kanannya ke dalam air namun Lakasipo telah lebih dulu menyelinap. Sesaat
kemudian dia melesat ke tebing sungai dan berlindung di balik sebuah batu
besar. Dari balik batu itu dia memperhatikan apa yang terjadi atas diri
Latandai alias Hantu Bara Kaliatus. Pada saat bersamaan Lakasipo ingat lagi
akan tiga sahabatnya yang terbawa menyelam dan masih berada dalam genggaman
tangan kanannya. Cepat-cepat Lakasipo buka tangannya lalu meletakkan ketiga
orang itu di tanah.
"Celaka…. Jangan-jangan
mereka mati semua. Wahai sahabatku!" kata Lakasipo dalam hati sewaktu
dilihatnya Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol tak satupun yang bergerak!
Lakasipo cepat tengkurapkan ketiga orang itu. Lalu hati-hati dan perlahan
sekali, dengan mempergunakan ujung jarinya ditekannya punggung dan pantat
ketiga orang itu. Air sungai yang memenuhi perut Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol menyembur keluar. Sesaat kemudian ketiganya tampak menggerakkan kaki
dan tangan. Walau mereka masih tertelungkup begitu rupa dan nafas agak
megap-megap namun masing-masing sudah bisa membuka mata hingga menyaksikan apa
yang terjadi dengan diri Hantu Bara Kaliatus seperti yang juga disaksikan oleh
Lakasipo.
Saat itu di tengah sungai
Hantu Bara Kaliatus berhasil menguasai diri hingga getaran yang menjalari
tubuhnya segera lenyap. Namun begitu getaran hilang tiba-tiba dia merasakan ada
satu kelainan pada bagian tubuh di bawah perut. Rasa berat yang amat sangat.
Saat itu dia tidak lagi ingat untuk mencari tahu di mana adanya Lakasipo.
Terbungkuk-bungkuk orang ini merambah air. menuju tepian sungai lalunaik ke
daratan.
Begitu sampai di dataran dan
memandang kebawah. Seruan tertahan keluar dari mulut Hantu Bara Kaliatus!
Matanya membeliak seperti mau
melompat dari sarangnya sedang mukanya pucat memutih! Celana yang dikenakan
Hantu Bara, yang terbuat dari kulit kayu robek besar di bagian bawah perut.
Dari robekan itu mencuat keluar anggota rahasianya yang telah berubah bentuk
menjadi bengkak membesar!
"Demi para roh!"
jerit Hantu Bara Kaliatus. "Apa yang terjadi dengan diriku! Wahai para
Dewa dan Peri! Tolong diriku!" Setengah meratap Hantu Bara sambar
serumpunan dedaunan lalu ditutupi auratnya dengan daun-daun itu.
Di balik batu Pendekar 212
Wiro Sableng,. Naga Kuning dan Setan Ngompol berusaha bangkit dari saling
pandang.
"Kau lihat barusan anunya
Hantu Bara…?" tanya Setan Ngompol pada Wiro.
Wiro mengangguk.
"Aku heran apa yang
terjadi atas dirinya. Sampai kantong menyannya bengkak besar begitu rupa. Dan
bukan cuma kantong menyannya saja! Tongkat Gandaruwonya juga…" Setan
Ngompol tidak teruskan ucapannya.
Kakek bermata jereng ini
melirik pada Naga Kuning lalu mengerling ke arah Wiro. "Hemmmm…"
Setan Ngompol bergumam. "Ini pasti pekerjaan salah satu dari kalian!
Memberi kisikan gila pada Lakasipo! Kalau tidak ada yang menotok urat sembung
di selangkangannya tidak nanti dia jadi begitu. Lihat, berdiri saja dia seperti
tidak mampu. Yang di bawah bengkak membesar. Yang di atas menunjuk kurang
ajar!"
Pendekar 212 garuk-garuk
kepala. "Aku memang mengajari Lakasipo untuk menotok. Tapi menotok urat
besar di leher atas! Bukan di leher bawah!"
"Hik… hik… hik!"
Naga Kuning tekap mulutnya menahan ketawa.
"Bocah geblek! Pasti kau
yang mengajari!" kata Setan Ngompol pula pada Naga Kuning. Saat itu
Lakasipo rundukkan kepalanya ke tanah.
Perlahan sekali dia berkata.
"Wahai Naga Kuning, kalau kita tidak membebaskan tutukan…."
"Totokan! bukan
tutukan!" sergah Naga Kuning tapi sambil senyum-senyum.
‘Terserah! Kau menyebut
totokan, aku tutukan. Karena totokan dalam bahasa di Negeri Latanahsilam
berarti payudara perempuan!"
Setan Ngompol tertawa
cekikikan hingga kencingnya terpancar. Wiro garuk-garuk kepala sambil menyengir
sedang Naga Kuning tertawa terpingkal-pingkal.
"Kalau kita tidak
membebaskan tutukannya, seumur-umur dia akan menderita seperti itu…."
"Dia perlu celana baru
yang gombrang di sebelah bawah! kata Wiro. "Atau sarung!"
"Mana ada sarung di
negeri gila ini!" tukas Setan Ngompol.
"Siapa yang berani
menolongnya?! Sekali mendekat pasti mati kita dihantamnya!" kata Naga Kuning.
"Lakasipo, bukankah kau
yang menotok selangkangannya? Jadi kalau kau mau berbaik hati kau saja yang
melepas totokannya. Tusuk sekali lagi selangkangannya! Hik… hik… hik!"
Saat itu Hantu Bara Kaliatus
duduk tergeletak di tanah. Dia tak habis pikir apa yang terjadi dengan dirinya.
Memandang berkeliling dia tidak melihat siapasiapa. Tapi hatinya mulai curiga.
Tertatih-tatih orang ini bangkit berdiri. Sambil melangkah pergi dia berkata.
"Lakasipo manusia
jahanam! Akan kucari kau sampai ke ujung dunia! Pasti kau yang punya pekerjaan!
Jahanam!" Saking marahnya Hantu Bara tinggalkan dua bara menyala dari
perutnya lalu di lemparkan ke depan. Dua bara menyala ini menghantam, pohon
besar. Begitu tembus masuk ke batang pohon, pohon ini meledak dan tumbang hancur
berentakan.
"Siapa sebenarnya makhluk
yang mata dan tubuhnya ditempeli bara menyala itu?!" Naga Kuning bertanya.
"Panjang ceritanya wahai
tiga saudaraku! Tapi jika kalian ingin tahu biar aku ceritakan sedikit."
Lakasipo lalu menuturkan siapa adanya Hantu Bara Kaliatus.
"Peristiwanya terjadi
sekitar hampir delapan puluh tahun silam. Dimulai ketika Latandai kabur dari
Latanahsilam sementara istrinya hamil besar. Setelah bayinya hampir berusia
empat puluh hari Latandai tidak pernah pulang, maka Luhsantini meninggalkan
rumah mencari suaminya itu. Di Latanahsilam ada semacam adat jika pada saat
seorang bayi mencapai usia empat puluh hari dan ayahnya tidak hadir untuk satu
upacara pengusapan ubun-ubun, penyentuhan tubuh serta menciumanaknya, maka anak
itu dianggap tidak memiliki ayah, sekaligus tidak punya ibu dan jadilah dia
semacam anak haram yang dikucilkan…."
"Adat aneh!" ujar
Pendekar 212.
"Negeri ini memang
diselimuti seribu satu macam keanehan. Latandai dan Luhsantini jelas-jelas
dikawinkan secara syah. Masakan karena ayahnya tidak mengusap ubun-ubunnya saja
dia lalu jadi anak haram. Dikucilkan…."
‘Terus terang memang banyak
keanehan terutama menyangkut adat yang tidak aku sukai di Negeri Latanahsilam
ini," kata Lakasipo pula. "Tapi bagaimana mau mengikisnya? Siapa saja
yang berani merubah adat dan aturan akan dicap sebagai pengkhianat besar.
Hukumannya direbus dalam sebuah belanga besi selama empat puluh hari sampai
daging dan tulang belulangnya hancur larut dalam air!"
"Menurutmu putera
Luhsantini dikucilkan lalu diusir dari Negeri Latanahsilam. Kemana minggatnya
anak itu, apa dia tidak bisa kembali ke sini? Tidak ingin membalas
dendam?"
"Putera Luhsantini itu
tidak bisa disebut sebagai anak lagi. Saat ini usianya paling tidak sekitar
delapan puluh tahunan. Kemana perginya sulit diketahui. Tapi aku menduga
kemungkinan masuk ke dalam negeri asal kalian. Kabar terakhir, sebelum dia
lenyap dari sini diketahui dia telah mendapat julukan Hantu Balak Anam!"
"Apa?!" Tiga mulut
yakni Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol berseru berbarengan.
. "Wahai tiga saudaraku!
Melihat raut muka dan seruan kagetmu tadi aku menaruh sangka kau kenal atau
pernah tahu dengan Hantu Balak Anam?!" ujar Lakasipo.
"Orangnya tinggi besar,
berambut lurus ke atas seperti ijuk. Alisnya panjang bersambung jadi satu. Lalu
di keningnya ada enam buah lobang hitam. Di pipi kiri dan kanan masing-masing
ada tiga lobang hitam serupa. Itukah orangnya?!" tanya Wiro.
"Tepat! Memang dia wahai
saudaraku Wiro! Mungkin ukuran tubuhnya saja yang tidak sesuai dengan ukuran
tubuh kami di sini! Tapi lain dari itu sangat cocok!"
"Dia berada di tanah
Jawa. Terakhir sekali dia berada di Telaga Gajahmungkur…." (Mengenai
"Hantu Balak Anam" harap baca serial Wiro Sableng berjudul
"Pedang Naga Suci 212" yang merupakan Episode ke-4 dari 11 Episode)
"Ah, dugaanku tidak
meleset. Jadi memang ke sanalah diamengucilkan dirL Apakah dia menjadi hantu
jahat atau hantu baik di negeri kalian?’ tanya Lakasipo.
"Walau dia banyak
berpihak pada orang-orang golongan putih, namun dia tidak bisa dikatakan
termasuk golongan putih. Yang jelas dia bukan golongan hitam," jawab Wiro.
"Aku tidak mengerti. Apa
yang kau maksudkan dengan golongan putih dan golongan hitam," ujar
Lakasipo pula.
Wiro tersenyum lalu
menceritakan apa arti golongan putih dan golongan hitam di rimba persilatan di
tanah Jawa.
Sambil garuk-garuk kepala Wiro
kemudian berkata. "Kalau kau tidak setuju dengan adat negeri ini, berarti
kau menyadari bahwa Lasingar dan Luhsantini serta Lamatahati sama sekali tidak
bersalah. Lalu mengapa kau memberi tahu di mana orang-orang itu berada? Hantu
Bara Kaliatus pasti akan mencari Lasingar dan Luhsantini. Lalu membunuh kedua
orang itu. Lamatahati mungkin selamat karena menurutmu. dia berada di alam
lain…."
Lakasipo jadi terkejut
mendengar ucapan Wiro Sableng itu. "Astaga, kau benar…" katanya
dengan suara bergetar. "Aku membuat kesalahan besar. Aku harus menolong
mereka…."
“Tapi apa kau bisa menduga
siapa di antara Lasingar dan Luhsatini yang akan lebih dulu didatangi Hantu
Bara Kaliatus?!"
"Kukira dendam Latandai
sangat besar terhadap Luhsantini. Gara-gara perempuan itulah maka dia menerima
bala kutukan. Pasti dia akan membunuh jandanya itu lebih dulu!"
"Kalau kau yakin hal itu,
berarti perempuan itu yang harus diselamatkan lebih dulu! Kau tahu tempatnya!
Mengapa tidak segera berangkat ke sana!" ujar Naga Kuning.
"Aku…. Aku harus
menyambangi makam istriku lebih dulu di Bukit Latinggihijau!" kata
Lakasipo pula.
"Istrimu sudah meninggal,
Lakasipo!" kata Wiro.
"Tidak ada satu bahaya
pun mengancam dirinya dibanding dengan perempuan bernama Luhsantini itu! Dia
yang harus didatangi dan diselamatkan lebih dulu!"
"Lalu bagaimana dengan
Hantu Santet Laknat! Aku juga punya urusan yang belum selesai dengan dukun
keparat itu! Gara-gara dia sepasang kakiku jadi begini!"
"Bagaimanapun.keadaan
kakimu, yang jelas kau kini malah memiliki ilmu kesaktian yang hebatl Lupakan
makam istrimu! Lupakan dulu Hantu Santet Laknat Malah kami bertiga untuk
sementara bersedia melupakan mencari Batu Sakti Pembalik Waktu dan mencari
Hantu Tangan Empat! Asalkan kau mau menyelamatkan perempuan bernama Luhsantini
itu!"
Mendengar ucapan Wiro itu
Lakasipo alias Hantu Kaki Batu menjadi bimbang. Saking gemesnya Wiro memberi
isyarat pada Naga Kuning dan Setan Ngompol. Ketiga orang ini serentak menggigit
telapak tangan Lakasipo. Walau gigitan itu tidak melukainya namun rasa sakit
seperti ditusuk membuat Lakasipo tersentak.
"Kalian nakal
semua!" Mengomel Lakasipo. Lalu ketiga orang itu dimasukkannya ke dalam
kocek jerami. Sekali lompat saja dia sudah berada di punggung kuda hitam kaki
enam.
* *
7
LAPANGAN KECIL DI BUKIT
LATINGGISUBUR pagi itu dipenuhi oleh para penyabung ayam, mereka yang bertaruh
atau hanya sekedar menonton. Ketika ayam milik Lakabil dan Latondang sedang
hebathebatnya berlaga tiba-tiba sebuah benda melayang di udara dan jatuh di
tengah lapangan. Dua ayam yang bertarung berkotek keras lalu kabur. Orang yang
ada di tempat itu serta merta dilanda kegemparan. Betapa tidak. Benda yang
bergelimpang ditanah lapang itu adalah sesosok tubuh bergelimpang darah mulai
dari kepala sampai ke badan. Dalam keadaan seperti itu dari balik semak belukar
sekonyong-konyong keluar sesosok tubuh tinggi besar. Saat itu juga tempat itu
diselimuti hawa panas serta bau aneh seperti daging terpanggang.
Kalau tadi semua orang dilanda
kegegeran maka kini mereka dicekam ketakutan setengah mati. Mereka tidak tahu
pasti makhluk apa yang sebenarnya tegak di depan mereka saat itu. Sosok tinggi
besar ini tegak kaki terkembang tubuh agak terbungkuk seolah menahan sesuatu
yang berat di bawah perutnya. Di atas kepalanya ada puluhan bara menyala. Bara
yang sama juga menempel di dada dan perut. Di bawah pinggang makhluk ini
mengenakan jerami kering dan daundaunan demikian rupa sengaja menutupi bagian
tubuhnya yang besar gembung menonjol.
"Roh jahat kesasar…"
bisik seseorang.
"Hantu lapar turun dari
langit!" kata yang lain dengan suara bergetar.
"Lihat tubuhnya sebelah
bawah. Besar nian. Sebesar kelapa!"
"Aneh dan seram! Dia memiliki
empat buah bola mata!"
"Wahai, agaknya dia yang
barusan melempar orang bergelimang darah itu! Dia sengaja melempar ke hadapan
Lakabil!" kata seorang lainnya.
"Lasingar!"
Tiba-tiba orang menyeramkan di tengah lapangan berteriak keras. Tanah lapang terasa
bergetar. Daun-daun pepohonan bergemerisik. "Buka matamu lebar-lebar! Apa
kau masih mengenali siapa adanya manusia yang menggeletak sekarat di depanmu
itu?! Apa kau juga mengenali siapa diriku?!"
Orang bernama Lakabil
melangkah mundur dengan muka pucat ketakutan. Matanya memandang berganti-ganti
dari si makhluk seram yang bukan lain adalah Latandai alias Hantu Bara Kaliatus
lalu pada sosok yang tergeletak di tanah.
"Lasingar! Jawab
pertanyaanku!" Terbungkuk bungkuk keberatan dia maju dua langkah mendekati
Lakabil.
Seseorang di tepi lapangan
beranikan diri berkata. "Wahai makhluk yang kepalanya menjunjung bara
menyala! Orang yang kau ajak bicara itu bernama Lakabil. Bukan Lasingar."
"Benar! Dia Lakabil! Tak
ada orang bernama Lasingar di sini."
Hantu Bara Kaliatus melirik
tajam pada dua orang yang barusan bicara itu. "Kalian berdua berbanyak
mulut! Kalian tahu apa!" Tiba-tiba Hantu Bara Kaliatus menyergap. Dua
tangannya bergerak.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
Dua orang yang tadi bicara
menjerit keras. Tubuh mereka terpental. Jatuh bergedebukan di tanah dengan
mulut hancur.
"Ada lagi yang mau
bicara?!" sentak Hantu Bara Kaliatus.
Tak ada yang menjawab. Tak ada
yang berani bergerak. Hantu Bara Kaliatus melangkah ke hadapan orang bernama
Lakabil tapi yang dipanggilnya dengan Lasingar.
"Kau pandai berpura-pura.
Tak mau menjawab. Seolah tidak mengenal siapa manusia satu ini! Dia adalah
kerabatmu Latorikl Penduduk Negeri Latanahsilam. Sekitar delapan puluh tahun
silam dia yang menangkap basah dirimu sewaktu berada di atas ranjang bersama
Luhsantini!"
Pucatlah wajah Lakabil. Dalam
hati dia membatin.
"Walau kini aku
berhadap-hadapan, tapi apa benar makhluk aneh ini Latandai adanya…. Celaka,
bagaimana dia tahu aku tinggal di sini!"
"Kerabat," kata
Lakabil. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan…."
Hantu Bara Kaliatus
menyeringai. "Kau masih meneruskan kepura-puraanmu! Aku adalah Hantu Bara
Kaliatus! Luhsantini adalah istriku yang telah kau cabuli hingga hamil.
Ingatanmu sudah terang sekarang Lasingar?!
Atau perlu kubelah batok
kepalamu, kukeluarkan otakmu dan kucuci di sungai Lapanjangbiru?"
"Han…. Hantu Bara
Kaliatus…. Kau… kau adalah Latandai!" ujar Lakabil dengan suara tercekat
Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak. "Sekarang otakmu mulai jernih
rupanya! Apa kau juga sudah ingat bahwa namamu sebenarnya Lasingar? Bukan
Lakabil yang kau palsukan sejak puluhan tahun bersembunyi di Bukit
Latinggisubur ini?"
Dalam takut yang amat sangat,
semua orang yang mendekam di tempat itu merasa heran apa sebenarnya yang
dibicarakan makhluk seram itu dengan kerabat yang selama ini mereka kenal
bernama Lakabil. Tapi si makhluk seram menyebutnya sebagai Lasingar.
"Latandai…. Perihal
kejadian delapan puluh tahun silam itu, aku tidak melakukannya. Aku…."
Hantu Bara Kaliatus menggembor
keras. Dia menunjuk pada orang yang terkapar di tanah. "Latorik saksi
mata. Saksi hidup yang sebentar lagi akan meregang nyawa! Dia yang melihat kau
dalam keadaan bugil di atas ranjang bersama Luhsantini! Di atas anjungan rumah
kediaman orang tua gadis itu!"
"Latandai aku bersumpah….
Demi para Dewa dan para Peri. Aku tidak menggauli calon istrimu Luhsantini. Aku
berada dirumahnya untuk berobat, aku tidak tahu…tidak mengerti mengapa hari itu
tahu-tahu aku berada di atas ranjang bersama Luhsantini dalam keadaan tidak
berpakaian…."
"Jahanam pendusta!
Setelah merambas tanaman muda kau tidak berani mengakui perbuatan kejimu!
Dengar baik-baik Lasingar! Ketika Luhsantini kukawini, gadis itu sudah tidak
perawan lagi! Kau melakukan kebejatan itu bukan cuma sekali! Pasti
berulang-ulang! Alasan sakit hanya tipu muslihatmu semata agar bisa mendekati
Luhsantini! Jahanam terkutuk!"
"Demi para Dewa dan para
Peri. Demi para arwah ke dua orang tuaku! Aku bersumpah, Latandai! Aku tidak
melakukan semua yang kau tuduhkan itu!"
"Lasingar! Ternyata kau
bukan saja seorang laknat Tapi berani bersumpah palsu menyebut para Dewa dan
para Peri! Bahkan menyebut roh orang tuamu!
Kalau kau benar tidak
melakukan perbuatan terkutuk itu mengapa melarikan diri?! Bersembunyi tinggal
di Bukit Latinggisubur ini selama puluhan tahun?! Menukar nama menjadi
Lakabil!"
"Latandai…. Aku saat itu
berada dalam keadaan tidak mungkin membela diri. Kalau benar orang itu Latorik,
apa yang disaksikannya mungkin karangan belaka! Mungkin saja seseorang menyuruh
atau memaksanya berbuat begitu. Memberi kesaksian palsu…."
"Bukkkk!"
Kaki kanan Hantu Bara Kaliatus
mendarat telak di dada Lasingar. Orang ini terpental dan ambruk di bawah
sebatang pohon. Darah segar mengucur dari mulutnya. Nafasnya sesak, nyawanya
seolah terbang. Dia mengerang dengan sekujur tubuh bergeletar. Hantu Bara
Kaliatus menyeret sosok berdarah ke hadapan Lasingar. Orang yang berada dalam
keadaan luka parah itu dijambaknya lalu membentak. "Latorik! Sebelum kau
keburu mampus katakan apa yang kau lihat delapan puluh tahun silam di atas
ranjang di anjungan rumah kediaman Luhsantini! Kalau kau mati para Dewa dan
para Peri akan mengampuni segala dosamu karena kau telah berbuat baik, memberi
kesaksian yang benar!"
Orang yang bergelimang darah
itu tidak segera menjawab. Mungkin dia tidak lagi mampu bersuara. Hantu Bara
Kaliatus menggoncang kepala Latorik.
"Bicara! Atau kugeprak
pecah kepalamu saat ini juga!" teriak Hantu Bara Kaliatus.
"A… aku…." Latorik
bersuara walau perlahan. "Del…delapan puluh tahun silam…. Suatu pagi,
seperti biasa aku membawa satu bumbung berisi air ke rumah orang tua
Luhsantini. Tanpa sengaja aku…. Aku menjenguk ke anjungan. Aku melihat
dia…."
"Dia siapa?! Sebutkan
nama!" bentak Hantu Bara Kaliatus.
"Dia…, dia Lasingar… aku
melihat Lasingar dan Luhsantini saling berpelukan. Keduanya dalam pulas
tertidur. Keduanya tidak berpakaian…."
"Latorik jahanam! Kau
mengarang cerita memfitnah diriku! Bejat sekali pekertimu!" Teriak Lakabil
alias Lasingar menggeledek. Dari pinggangnya dihunusnya sebilah parang batu
lalu ditusukannya ke dada Latorik, tepat di arah jantung hingga orang ini tewas
seketika!
Kalau semua orang tersentak
kaget melihat apa yang dilakukan Lasingar itu, sebaliknya Hantu Bara Kaliatus
tertawa bergelak. Dia tadi sengaja tidak mencegah pembunuhan itu. Jambakannya
di rambut Latorik dilepaskan hingga sosok tak bernyawa ini tergelimpang di
tanah.
"Lasingar manusia
terkutukl Kau terlambat membungkam mulut Latorik! Dia keburu memberi kesaksian!
Didengar oleh para Dewa dan Peri serta para roh! Termasuk roh orang tuamu!
Disaksikan pula oleh kerabat sepenyabungahmu! Sekarang giliranmu menyusul ke
alam langit ke tujuh!"
Hantu Bara Kaliatus
tanggalkan, sebuah bara menyala di dadanya lalu dilemparkan ke arah Lasingar.
Lasingar tak tinggal diam. Parang batu berdarah yang masih dipegangnya
dipergunakan untuk menangkis.
"Traaanggg!"
Parang batu hancur berantakan.
Lasingar menjerit. Suara jeritannya lenyap begitu bara menyala menembus
keningnya lalu meledak menghancurkan sebagian tubuhnya mulai dari kepala sampai
ke dada!
Hantu Bara Kaliatus memandang
berkeliling. Tak seorang pun masih terlihat di tempat itu. Ternyata semua orang
telah kabur melarikan diri karena takut akan menjadi korban keganasan makhluk
bara menyala itul
Hantu Bara Kaliatus putar
langkah hendak meninggalkan tempat itu. Namun gerakannya tertahan ketika di
langit dilihatnya ada satu cahaya biru sebesar ujung jari kelingking. Makin
lama cahaya ini semakin membesar, menukik ke bawah. Bertambah besar dan terang.
Sepuluh tombak di atas kepala Hantu Bara Kaliatus cahaya tadi berubah membentuk
satu sosok tubuh seorang perempuan. Bersamaan dengan itu bau harum mewangi
menebar di tempat tersebut.
8
MELIHAT SIAPA YANG MUNCUL DI
ATASNYA itu Latandai alias hantu Bara Kaliatus jadi tercekat. Buru-buru dia
menjatuhkan diri ber-lutut seraya dalam hati membatin. "Gerangan pesan apa
yang dibawanya padaku. Berkah atau hukuman. Kalau dia sampai melihat keadaanku
seperti ini…."
Hantu Bara Kaliatus mendongak
ke atas dan letakkan dua tangan yang dirapatkan di .atas kepala.
"Wahai Peri Bunda, Simpul
Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan, Berkah apakah
yang hendak kau berikan padaku hingga tidak biasanya kau menampakkan diri
seperti ini…."
Angin bertiup sejuk beberapa
saat lamanya. Di atas sana bayangan biru berbentuk sosok seorang perempuan
memandang sayu pada hantu Bara Kaliatus. Sosok yang disebut Peri Bunda ini
berwajah seorang perempuan separuh baya cantik, agung dan anggun. Di kepalanya
ada sebentuk mahkota bertabur batu-batu permata berkilau-kilau. Tubuhnya
terbungkus selendang tipis warna biru bergulung-gulung panjang. Demikian
panjangnya seolah ujung pakaian ini tergantung sampai ke langit.
"Wahai manusia bernama
Latandai," Peri Bunda berkata dari atas sana. Suaranya walau, lembut tapi
mengiang keras masuk ke telinga Hantu Bara Kaliatus.
"Aku datang bukan membawa
berkah! Kami para Peri di angkasa raya merasa sedih. Karena sejak kau keluar,
dari kawah Gunung Latinggimeru, maka di Negeri Latanahsilam telah bertambah
satu lagi Hantu yaitu Hantu Bara Kaliatus. Hantu yang perwujudannya adalah
bagaimana keadaan dirimu sendiri saat ini…. Kami ingin melenyapkan semua Hantu
yang ada, malah kini ketambahah satu lagi. Kami tahu ada Hantu baik dan ada
Hantu jahat di antara kalian. Selama puluhan tahun kami para Peri telah
mengikuti perjalanan hidupmu. Ternyata kau bukan termasuk golongan Hantu baik.
Di tubuhmu sebelumnya ada dua ratus bara merah menyala. Kini bara itu telah
banyak berkurang. Berarti belasan bara maut telah kau pergunakan untuk membunuh
manusia lainnya!’ Ketahuilah Latandai, membunuh adalah sesuatu yang tidak
diizinkan kecuali dalam membela diri, keluarga.dan para kerabat. Tapi seperti
yang aku saksikan sendiri hari ini kau telah menjadi penyebab kematian dua
orang. Pertama Latorik. Walau bukan tanganmu yang menghabisinya tapi
kematiannya berpangkal sebab pada perbuatanmu. Kedua Lasingar. Kau membunuhnya
atas dasar kesaksian yang diragukan. Tidak ada pembuktian yang sempurna. Semurah
itukah nyawa manusia di matamu…?"
Untuk beberapa saat lamanya
Latandai alias Hantu Bara Kaliatus diam tertunduk masih berlutut dan dua tangan
masih di atas kepala.
"Latandai, dari tadi
kulihat kau berlutut terus. Berdirilah dan bicara secara wajar. Aku bukan
sebangsa Peri gila hormat…"
Latandai alias Hantu Bara
Kaliatus jadi bingung dan kecut. Kalau dia berdiri, Peri Bunda pasti akan
melihat kelainan keadaan auratnya sebelah bawah.
"Wahai Latandai, apakah
kau tidak mendengar. Berhentilah berlutut. Bicara dengan berdiri padaku."
kata Peri Bunda.
Perlahan-lahan,
terbungkuk-bungkuk Hantu Bara Kaliatus bangkit berdiri. Celakanya ketika
berdiri, celananya yang sudah tidak karuan rupa merosot ke bawah. Cepat-cepat
Latandai memegangi, menariknya ke atas dan membenahi dedaunan yang dipakainya
untuk melindungi anggota rahasianya.
Meskipun semua itu dilakukan
dengan cepat oleh Latandai, namun Peri Bunda masih sempat melihat. Sang Peri
langsung tersentak dan palingkan mukanya yang serta merta menjadi sangat merah.
Latandai kembali jatuhkan diri mengambil sikap berlutut agar tubuh sebelah
bawahnya yang menggembung tersingkap tidak kelihatan dari atas sana.
"Wahai Peri Bunda, Simpul
Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Tiada niat
membunuh orang tidak berdosa. Latorik terpaksa saya aniaya. Karena semula dia
tidak mau memberi keterangan atas apa yang dilihatnya…."
"Apa yang dilihat
seseorang belum tentu apa nyatanya. Begitu juga dengan Latorik…."
"Mengenai Lasingar…. Dia
lelaki terkutuk yang mempergunakan kesempatan untuk merayu dan meniduri calon
istriku! Mana mungkin aku mengakui Lamatahati sebagai anakku padahal dia lahir
dari benih yang ditanamkan manusia mesum itu ke dalam rahim Luhsantini!"
kata-kata Latandai jadi keras dan kasar.
Peri Bunda tersenyum rawan dan
gelengkan kepalanya.
"Latandai…. Hidup di
alammu penuh teka teki. Apa yang terlihat belum tentu itu yang terjadi. Apa
yang terjadi belum tentu itu nyatanya. Kami para Peri tahu kalau otakmu sudah
dicuci oleh Hantu Santet Laknat. Kau telah dijadikan boneka penurut kemauannya.
Kau berada dalam kekuasaannya. Kami para Peri masih menaruh kasihan serta
harapan padamu. Kau belum lama tersesat. Masih ada jalan kembali. Jangan
teruskan menebar maut. Apa kau hendak menghabiskan sisa bara menyala di kepala,
dada dan perutmu untuk membunuh orang? kembali ke puncak Gunung Latinggimeru.
Campakkan batu-batu bara menyala itu ke dasar kepundan. Hiduplah sebagai
Latandai kembali….Bila tiba saatnya apa yang sebenarnya terjadi akan
tersingkap."
"Peri Bunda, saya
menghormatmu seribu hormat. Namun apa yang kau katakan tidak dapat saya
lakukan…."
"Aku tidak mengatakan
apa-apa wahai Latandai.
Aku memberi perintah
padamu!" kata Peri Bunda pula.
"Maafkan diri saya Peri
Bunda. Ampuni dirikul Sekali ini saya terpaksa tidak mampu mematuhi perintahmu.
Jika Peri Bunda memang berniat baik, mengapa diriku yang menjadi incaran.
Bukankah banyak Hantu lain di Negeri ini yang malang melintang berbuat
kejahatan. Misalnya Hantu Santet Laknat. Hantu Muka Dua! Mengapa bukan mereka
yang dihukum…?!"
"Wahai Latandai, jangan
menganggap kami para Peri bodoh dan memilih-milih. Kau adalah manusia yang
tersesat terakhir kali. Jadi masih ada kesempatan untuk memperbaiki dirimu.
Hantu-Hantu lainnya akan menerima giliran. Biar kami para Peri dan para Dewa
yang mengatur…. Satu hal lagi wahai Latandai. Aku melihat ada yang tidak beres
di antara kedua kakimu! Binatang berbisa apa gerangan yang telah menggigitmu
hingga auratmu menjadi bengkak seperti itu…?"
"Wahai Peri Bunda, saya
tidak tahu jelas apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ini saya alami setelah saya
berkelahi dengan Lakasipo alias Hantu Kaki Batu alias Bola Bola Iblis."
"Latandai, menurut
penglihatanku seseorang telah menutukmu. Tapi ilmu tutukan tidak dikenal di
Negeri Latanahsilam. Berarti ada orang luar yang menyusup masuk ke Negeri ini
!"
"Saya tidak tahu Peri
Bunda sejak kedua kakinya dibungkus Bola Bola Iblis, Lakasipo memiliki beberapa
keanehan. Peri Bunda, saya gembira bertemu denganmu. Semoga pertemuan ini ada
hikmahnya. Jika kau mau memberi izin saya akan meninggalkan tempat ini…."
"Jika itu katamu,
terpaksa aku menghalangi wahai Latandai! Karena aku tahu kau akan membunuh lagi
beberapa orang yang belum tentu berdosa!"
Peri Bunda kembangkan dua
tangannya. Pakaian birunya bergulung-gulung di udara. Perlahan-lahan sosok
tubuhnya turun mendekati Latandai. "Peri Bunda, jangan terlalu memaksa.
Aku bisa bertindak nekad!" Latandai alias Hantu Bara Kaliatus berteriak.
Peri Bunda hanya tersenyum dan terus melayang turun. Hantu Bara Kaliatus ambil
sebuah bara menyala di atas kepalanya lalu dilemparkan ke arah Peri Bunda.
"Wussss!"
Bara menyala itu menembus sisi
kiri pakaian Peri Bunda hingga berlubang dan terbakar.
"Luar biasa! Hebat
sekali!" Seru Peri Bunda sambil memperhatikan pakaiannya yang berlubang
dan terbakar. Dia meniup satu kali. Kobaran api serta merta padam. Pakaian yang
berlobang kembali utuh seperti semula. Peri Bunda memandang sayu pada Hantu
Bara Kaliatus. "Petunjuk sudah kuberikan. Peringatan sudah kusampaikan.
Kau nekad menempuh jalan hidup menurut gerak hati dan denyut jantung serta
otakmu yang terbungkus bara api. Padahal ketahuilah wahai Latandai. Otakmu
sebenarnya sudah dicuci oleh Hantu Santet Laknat. Kau telah dijadikannya boneka
penurut perintahnya. Kau telah dikuasai oleh nenek jahat itu. Sekarang terserah
padamu. Kau akan merasakan sendiri akibatnya kelak wahai Latandai. Namun aku
masih mau memberi petunjuk terakhir bagi keselamatan dirimu. Jika kau tidak mau
kembali ke Gunung Latinggimeru untuk membersihkan semua bara menyala di kepala,
muka dan tubuhmu maka carilah Luhsantini.
Minta maaf dan minta ampun
padanya. Minta dia mencabut sumpah dan kutuk yang telah dijatuhkannya atas
dirimu. Karena akibat kutukannya, ilmu yang kau dapat dari Hantu Santet Laknat
telah berubah menjadi malapetaka seumur hidupmu! Temui Luhsantini. Maka kau
akan selamat dan kembali ke keadaan serta kehidupan semula…."
Perlahan-lahan sosok Peri
Bunda melayang naik ke atas udara, makin tinggi, makin tinggi dan akhirnya
lenyap seolah menerobos ke balik langit.
"Luhsantini…." Hantu
Bara Kaliatus kepalkan tinju kanannya. "Kekasih gelapmu sudah kubunuh!
Sekarang giliranmu kuhabisi! Karena kutuk sumpahmu aku jadi begini! Berpantang
bagiku untuk minta maaf dan ampun pada perempuan! Akan kuhabisi kau
Luhsantini!"
9
PERJALANAN MENUJU GUNUNG
LABATUHITAM di kawasan selatan bukan perjalanan mudah. Walau Lakasipo alias
Hantu Kaki Batu menunggangi Laekakienam, kuda raksasa berkaki enam namun mereka
harus melewati kawasan berbukitbukit, lembah tandus, menyeberangi sungai serta
menembus rimba belantara yang nyaris jarang dilewati manusia. Selama perjalanan
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol lebih banyak berada di dalam kocek jerami
sehingga keadaan mereka bertiga cukup menderita.
Memasuki malam Lakasipo
hentikan kudanya di bibir sebuah lembah berbatu-batu. Wiro dan dua kawannya
dikeluarkan dari dalam kocek lalu diletakkan di atas sebuah batu datar.
Lakasipo meletakkan sepotong kecil jambu hutan untuk santapan ketiga orang itu.
Walau sangat kecil tapi bagi Wiro dan kawankawannya sepotong jambu hutan itu
hampir seukuran besar tubuh mereka hingga ketiganya tak sanggup menghabiskan.
Sementara Lakasipo
membaringkan tubuhnya di tanah, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol
bercakap-cakap.
"Berapa lama lagi kita
berada dalam keadaan seperti ini?" Setan Ngompol berbaring di batu sambil
usap-usap perutnya.
"Begitu Lakasipo berhasil
menyelamatkan Luhsantini, kita harus memaksa dia mencari Hantu Tangan Empat
atau mendapatkan kembali Batu Sakti Pembalik Waktu itu! Aku ingin segera
kembali ke tanah Jawa."
"Lalu bagaimana dengan
gadis di Latanahsilam yang sekali melihat membuat kau tergila-gila itu?’tanya
Setan Ngompol sambil menyeringai.
Naga Kuning terdiam. Dia
berpaling pada Pendekar 212 yang duduk bertopang dagu. "Apa yang kau
pikirkan Wiro?" Tanya Naga Kuning.
"Aku ingat orang-orang di
alam jauh di sana. Guruku Eyang Sinto Gendeng, sobatku si Bujang Gila Tapak
Sakti, lalu Kakek Segala Tahu. Gadis berambut panjang pirang bernama Bidadari
Angin Timur itu…Puteri Duyung. Banyak lagi yang lainnya. Mereka semua pasti
tidak mengetahui apa yang telah terjadi dengan kita bertiga."
"Pendekar 212, menurutmu
mana yang lebih baik. Mencari Hantu Tangan Empat lebih dulu atau Batu Pembalik
Waktu itu?"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Dua-duanya sama penting. Tapi jika aku boleh memilih, lebih baik kita
mencari Hantu Tangan Empat lebih dulu."
"Mengapa begitu?"
bertanya Naga Kuning.
"Waktu Hantu Tangan Empat
muncul di tanah Jawa, sosok tubuhnya sama besardengan sosok tubuh kita. Di
Negeri Latanahsilam tidak mungkin sosoknya tetap sebesar kita. Pasti dia akan
sebesar raksasa seperti Lakasipo. Berarti dia memiliki semacam ilmu kepandaian
atau ilmu kesaktian untuk membesarkan dan mengecilkan badannya! Kalau kita bisa
mendapatkan ilmu itudari dia berarti sosok kita bisa berubah sebesar
orang-orang di sini. Berarti kita bisa selamat dari segala macam bahaya,
manusia, binatang ataupun cuaca."
"Kau benar Pendekar 212.
Tapi apakah Hantu Tangan Empat mau memberikan ilmu itu pada kita bertiga?’
tanya Setan Ngompol.
"Mungkin padamu akan
diberikan Wiro ujar Naga Kuning. "Tapi pada kami berdua belum tentu.
Apalagi kurasa dia masih menaruh dendam terhadapku !"
"Mudah-mudahan kakek aneh
itu tidak sejahat yang kau sangka. Bukankah dia katanya hanya suruhan Hantu
Muka Dua saja?" kata Wiro.
"Jangan-jangan Hantu Muka
Dua itu yang punya ilmu kepandaian membuat orang besar dan kecil. Berarti tipis
harapan kita mendapatkan ilmu tersebut. Aku lebih suka kita berusaha
mati-matian mencari batu tujuh warna itu!" ujar Naga Kuning pula.
Lima jari raksasa bergerak di
permukaan batu.
"Wahai para saudaraku.
Kita harus melanjutkan perjalanan. Agar pagi besok kita bisa sampai di tempat
tujuan."
Mendengar ucapan Lakasipo itu
Wiro segera berteriak.
"Lakasipo, jika
Luhsantini sudah kau selamatkan, kau harus berjanji membantu kami mencari Hantu
Tangan Empat atau mendapatkan Batu Sakti Pembalik Waktu!"
"Hal itu bisa kita
bicarakan nanti para saudaraku," jawab Lakasipo yang membuat Wiro dan
kawan-kawannya menjadi jengkel tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ketika Lakasipo
hendak memasukkan ketiga orang itu kembali ke dalam kocek jerami tiba-tiba ada
satu suara merdu datang dari kejauhan.
"Lakasipo wahai suamiku,
belum berbilang minggu berbilang bulan aku berada di alam roh. Tega nian hatimu
tak pernah menjengukku lagi…."
Suara yang datang dari jauh
itu menggeletarkan batu di atas mana Wiro dan dua kawannya berada.
"Ada suara perempuan di
kejauhan…" bisik Naga Kuning.
"Suara itu menyebut
Lakasipo suaminya. Pasti itu suara Luhrinjani…."
‘Tapi menurut Lakasipo
istrinya itu bukankah sudah mati dan dimakamkan di Bukit Latinggihijau.
Bagaimana sekarang bisa muncul…."
"Itu mungkin hanya suara
rohnya," berkata Setan Ngompol dan bersiap-siap menekap bagian bawah
perutnya agar tidak terkencing.
"Kalian berdua jangan
bicara saja. Lihatdi kejauhan sana. Ada satu sosok aneh mendatangi ke
sini!" Berkata Wiro.
Pada saat suara itu terdengar
wajah Lakasipo berubah. Lelaki ini cepat bangkit berdiri dan memandang ke
kejauhan dari arah mana datangnya suara tadi. Dadanya berdebar ketika di antara
pepohonan dia melihat ada seorang perempuan melangkah seperti melayang-layang.
Rambut tergerai lepas, pakaian sehelai kain sutera putih tipis yang tak pernah
dilihat Lakasipo sebelumnya. Makin dekat perempuan itu, makin jelas kelihatan
wajahnya.
"Luhrinjani…" desis
Lakasipo. Dia langsung ingat pada peristiwa yang lalu. Ketika dia juga
disongsong oleh sosok Luhrinjani yang kemudian menjebaknya hingga dua kakinya
terpendam ke dalam batu besar. Apakah sekali ini roh istrinya datang lagi untuk
mencelakainya. Lakasipo melangkah mundur.
"Celaka! Jangan-jangan
Lakasipo kedatangan setan istrinya sendiri! Kita bisa ditinggalkan begitu saja
di atas batu ini!" ujar Wiro.
"Lakasipo wahai suamiku!
Aku berada begini dekat di hadapanmu. Kau seolah tertegun lupa. Apa kau tidak
lagi mengenali istrimu sendiri, Lakasipo?"
Sosok perempuan itu kini hanya
terpisah dua langkah dari hadapan Lakasipo.
"Perempuan raksasa
itu…" bisik Naga Kuning.
"Wajahnya cantik,
pakaiannya sangat tipis. Aku dapat melihat sekujur auratnya! Lihat, tubuhnya
putih bagus. Dadanya sebesar batu raksasa di sungai, Tonilnya begitu mulus….
Ah… aku bisa bersembunyi dalam pusarnya! Hik… hik… hik…!"
Setan Ngompol usap-usap
sepasang matanya berulang kali. Sementara Wiro memandang dengan ternganga.
"Lihat, ada tahi lalat di
kiri pahanya sebelah dalam. Kalau saja aku bisa memanjat kakinya yang bagus
mulus itu…."
"Tua bangka berpikiran
kotor!" tukas Wiro pada Setan Ngompol. "Coba kau perhatikan! Apa kau
tidak melihat dua kakinya yang tersembul dari balik pakaian putih itu tidak
menginjak tanah?!"
Pucatlah wajah Setan Ngompol
dan juga Naga Kuning ketika memandang ke bawah sana. Sepasang kaki perempuan
itu memang melayang di udara!
"Luhrinjani…. Aku tidak
tahu kau ini makhluk apa adanya. Penjelmaan hantu atau roh yang gentayangan.
Dulu kau pernah muncul. Kemunculanmu membawa celaka bagi diriku! Lihat dua
kakiku! Terpendam ke dalam dua bola batu yang tak bisa aku hancurkan! Apakah
saat ini kau muncul lagi hendak mencelakaiku?!"
"Kau tidak menginginkan
pertemuan ini, wahai Lakasipo?’ tanya Luhrinjani.
"Bukan aku tidak
menginginkan wahai Luhrinjani. Tapi jika ini semua hanyalah bayang-bayang hampa
atau mimpi buruk yang akhirnya membawa celaka diriku…."
"Kau tidak mimpi wahai
Lakasipo. Kau juga tidak berhadapan dengan bayang-bayang hampa. Dulu aku muncul
karena ada satu kekuatan gaib yang sangat hebat menguasai diriku. Memaksa aku
keluar dari liang makam dan memerintahkan aku untuk mencelakaimu. Tapi sekarang
yang datang ini adalah Luhrinjani yang sebenarnya. Yang diberi kekuatan oleh
para Peri dan roh untuk keluar dari dalam makam guna menemuimu. Aku inginkan
pertemuan ini Lakasipo. Aku merindukanmu…."
Sosok Luhrinjani maju
mendekat. Sebaliknya Lakasipo cepat melangkah mundur. Ketika melangkah tadi
ujung bawah pakaian yang dikenakan Luhrinjani menimbulkan siuran angin. Tiga
orang di atas batu langsung berguling-guling. Walau rasa takut mencekam ketiga
orang di atas batu namun mereka tak habis pikir. Bagaimana seseorang yang sudah
mati bisa hidupdan muncul seperti ini. "Aneh, baru sekali ini aku dengar
ada hantu merasa rindu…." Bisik Naga Kuning.
"Naga-naganya kita
sebentar lagi akan menyaksikan dua raksasa saling bercumbu…" kata Setan
Ngompol pula sambil satu tangan menekap mulut agar tidak tertawa dan satu
tangan lagi menekap bagian bawah perutnya.
"Luhrinjani…. Aku…. Aku
masih tidak mengerti. Mengapa kau bisa muncul seperti ini. Apakah dirimu,
tubuhmu nyata…."
"Diri dan tubuhku nyata
senyata aku melihat kau wahai! Lakasipo…" jawab Luhrinjani. "Ulurkan
tanganmu.
Pegang jari-jariku! Pegang
wajahkul Pegang sekujur tubuhku! Semuanya nyata. Aku bukan bayangbayang, bukan
pula asap…."
Lakasipo tidak berani ulurkan
tangannya untuk menyentuh perempuan di hadapannya.
"Lalu… lalu apa maksud
kedatanganmu Luhrinjani….Ki… kita tak mungkin bersatu kembali. Atau
mungkin…."
"Kita tak mungkin bersatu
kembali memang wahai Lakasipo. Tapi tali hubungan kita tak pernah putus walau
kita berada di dua alam berlainan…."
"Maksudmu
Luhrinjani…?"
"Kita dua suami istri
berpisah mati. Kita dua suami istri yang belum sempat mengecap nikmatnya hidup
sebagai suami istri. Apakah kau tidak menginginkannya Lakasipo?"
Luhrinjani ulurkan tangan
kanannya menyentuh jari-jari tangan Lakasipo. Lelaki ini tersentak kaget.
Jari-jari tangan itu adalah jari-jari sungguhan.
"Usap wajahku Lakasipo,
sentuh tubuhku…" bisik Luhrinjani.
Sesaat Lakasipo masih ragu.
Lalu dia memberanikan diri mengangkat tangan membelai wajah perempuan di
hadapannya itu. Dia benar-benar memegang manusia hidup! Kenyataan yang tidak
bisa dipercaya itu membuat Lakasipo jadi merinding dan dingin sekujur tubuhnya.
Perlahan-lahan dia melangkah mundur. Tiba-tiba ada bau harum semerbak memenuhi
tempat itu. Lalu satu cahaya biru terang muncul di kejauhan, bergerak di antara
pepohonan. Makin lama makin besar dan makin dekat.
"Astaga! Lihat!"
seru Naga Kuning sambil menunjuk ke atas. Sementara Wiro dan juga Setan Ngompol
pelototkan mata terheran-heran.
Saat itu cahaya biru tadi
telah berubah menjadi sosok seorang perempuan separuh baya cantik sekali.
Tubuhnya terselubung lilitan pakaian biru bergulunggulung panjang seolah
tergantung sampai ke langit. Di kepalanya ada sebentuk mahkota yang ditebari
batu-batu permata berkilauan.
"Peri Bunda, terima
hormat saya!" kata Lakasipo begitu melihat siapa yang berada di atasnya.
"Lakasipo menyebut
perempuan cantik itu Peri Bunda…" bisik Wiro pada dua temannya.
"Setahuku yang namanya
Peri itu hanya ada dalam dongeng…" menyahuti Setan Ngompol.
"Di negeri serba aneh ini
bisa saja terjadi. Bukankah saat ini kita berada di alam seribu dua ratus tahun
silam?" ujar Wiro. "Yang aku herankan, kalau peri separuh baya
cantiknya seperti ini, yang lebih muda tentu selangit tembus!"
"Aku jadi kepingin tahu,
apakah ada Peri anak-anak sebayaku?!" ujar Naga Kuning tengil.
Si Setan Ngompol ikut-ikutan
latah. "Kalau ada peri tua seusiaku, benar-benar nikmat rasanya tinggal di
negeri aneh ini!"
"Kalian berdua sama
tololnya! Selama keadaan tubuh kita seperti ini jangan berharap yang bukanbukan!"
kata murid Sinto Gendeng pula.
"Wahai Lakasipo…."
Peri Bunda berkata dengan suara lembut tapi jelas. "Jangan kau merasa
takut pada sosok Luhrinjani istrimu itu. Dia memang telah berada di alam lain.
Namun kami para Peri telah berusaha melakukan sesuatu, memberi berkat padamu
dengan menghadirkan istrimu dalam keadaan seutuhnya. Terima kehadirannya dengan
segala rasa suka cita wahai Lakasipo. Dia istrimu yang syah. Karena itu tidak
ada halangan bagimu untuk memperlakukannya sebagaimana adanya…."
"Peri Bunda, kalau itu
berkah yang kau turunkan pada saya, saya tidak tahu harus mengucapkan terima
kasih bagaimana," kata Lakasipo seraya membungkuk dalam-dalam.
"Saya juga menghaturkan
terima kasih wahai Peri Bunda," kata Luhrinjani seraya menjatuhkan diri,
berlutut di samping Lakasipo.
"Mungkin Peri itu bisa
berbuat sesuatu untuk kita," kata Wiro tiba-tiba. "Lekas k’rta
memohonkan sesuatu! Siapa tahu dia bisa menolong…."
Naga Kuning dan Setan Ngompol
cuma diam saja. Sebaliknya Wiro yang berada di atas batu datar
melambai-lambaikan tangannya agar terlihat oleh sang Peri. Tapi sampai
tangannya seperti mau copot Peri Bunda tidak melihat dirinya. Wiro berteriak
keras-keras. Peri Bunda menolehpun tidak.
"Lakasipo, aku tidak akan
hadir lebih lama di tempat ini. Pergunakan waktumu sebaik-baiknya. Ada satu hal
yang sebenarnya ingin kubicarakan denganmu…."
"Jika Peri Bunda sudi
mengatakannya pada saya…" ujar Lakasipo pula:
"Mataku menangkap tiga
sosok aneh di atas batu sana"
Lakasipo berpaling ke atas
batu. Wiro kembali lambaikan tangannya. "Mereka adalah saudara-saudara
angkat saya wahai Peri Bunda…."
"Ini satu keanehan yang
sebenarnya ingin kubicarakan denganmu Lakasipo. Tapi seperti kataku tadi aku
tidak ingin mengganggumu saat ini. Aku pergi sekarang. Di lain waktu aku akan
kembali untuk bicara denganmu mengenai ketiga makhluk aneh itu…."
"Peri Bunda! Jangan pergi
dulu!" teriak Wiro. "Kami butuh pertolonganmu! Bisakah kau
membesarkan kami bertiga…!"
Teriakan yang dikeluarkan Wiro
tidak terdengar ke telinga Lakasipo ataupun Luhrinjani. Tapi Peri Bunda dapat
mendengarnya dengan jelas. Sepasang mata sang Peri melirik ke bawah ke arah
batu. Dia tersenyum lalu berkata.
"Apamu yang minta
dibesarkan wahai makhluk aneh?" Peri Bunda bertanya. Masih tersenyum dia
meneruskan. "Mungkin anumu itu minta dibesarkan seperti apa yang kalian
lakukan terhadap Hantu Bara Kaliatus?”
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol terkesiap kaget mendengar ucapan Peri Bunda.
"Dia mendengar teriakanku
tadi!" kata Wiro gembira.
Dia memandang ke atas.
"Yaaaa…." Murid Sinto Gendeng kecewa. Peri Bunda itu telah lenyap.
Yang tinggal hanya baunya yang harum serta suara tawanya yang merdu di
kejauhan.
"Peri satu ini kurasa
termasuk Peri tengil. Masakan anunya Hantu Bara Kaliatus disebut-sebut!"
Wiro berucap sambil garuk-garuk kepala.
Sesaat setelah Peri Bunda
menghilang di kegelapan malam, Lakasipo berpaling ke kiri. Tangannya diulurkan
menyentuh tangan Luhrinjani.
"Luhrinjani wahai
istriku… kau benar-benar nyata! Kau benar-benar hidup!" ujar Lakasipo.
"Aku memang nyata wahai
Lakasipo. Aku memang hidup. Tapi nyata dan hidup terbatas. Aku hanya bisa
muncul jika ada saling pertalian rasa di antara kita.
Jika para roh mengizinkan dan
para Dewa serta Peri merestui. Peluk diriku, Lakasipo. Peluk yang kuat…."
Lakasipo ulurkan dua tangannya
memeluk tubuh Luhrinjani. "Cium wajahku Lakasipo, belai tubuhku…."
Bisik Luhrinjani lalu pakaian
sutera tipisnya lepas jatuh ke tanah.
Tiga orang di atas batu yang
menyaksikan kejadian itu dengan mata melotot, terpental kena sambaran angin
pakaian yang jatuh. Tapi ketiganya cepat bangkit kembali dan pentang mata
menyaksikan apa yang terjadi di depan mereka.
"Lihat dada perempuan
itu! Walah Mak! Besar amat!" kata Setan Ngompol dengan mata melotot.
"Bisa mati enak aku kalau
sampai ketiban!" ujar Naga Kuning yang juga memandang dengan mata
mendelik. "AstagaI Lihat! Dia melepaskan pakaian Lakasipo! Mereka
berdekap-dekapan!"
"Seumur hidup baru sekali
ini aku menyaksikan dua makhluk raksasa bercumbul Padahal yang perempuan
sebenarnya sudah mati!" kata Setan Ngompol pula lalu terkencing-kencing.
"Kedua-duanya sudah tidak
berpakaian lagll Gila!" seru Naga Kuning. "Lihat, mereka membaringkan
diri di tanah…."
Saat itu tak sengaja kaki
Lakasipo menyentuh celananya yang terbuat dari kulit kayu dan ada di tanah
hingga tergeser ke atas batu dan menutupi Wiro, Naga Kuning serta Setan
Ngompol.
"Aduh! Mengapa jadi gelap
begini?!" teriak Naga Kuning.
"Sial! Kita tidak bisa
melihat apa-apa lagi!" ujar Wiro.
Setan Ngompol ikut menggerutu
panjang pendek sambil terkencing-kencing. Ketiga orang ini berusaha meloloskan
diri dari bawah himpitan pakaian Lakasipo. Tapi dengan keadaan tubuh mereka
sekecil itu, walau dengan mengerahkan tenaga sekalipun sulit bagi mereka untuk
bisa keluar.
"Wiro! Pergunakan kapak
saktimu! Lubangi celana sialan ini! Biar kita bisa mengintip!" teriak Naga
Kuning. Masih penasaran bocah tengil ini rupanya.
10
HUJAN LEBAT MEMBUAT LAKASIPO
TIDAK dapat memacu kencang kuda tunggangannya. Di dalam kocek jerami yang
basah, Wiro, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol kedinginan setengah mati. Bukan
saja karena kocek yang basah oleh air hujan, tapi juga akibat terpaan angin
deras yang menembus masuk melalui celah-celah anyaman jerami.
Menjelang pagi dalam keadaan
letih dan mata mengantuk Lakasipo hentikan kudanya di tepi sebuah rimba
belantara. Saat itulah Japat-lapat telinganya menangkap suara aneh.
"Seperti suara orang meracau.
Tapi juga seperti seseorang
mengerang. Eh, malah berubah seperti suara tangis anak-anak," membatin
Lakasipo sambil terus memasang telinga.
Di dalam kocek suara itu juga
terdengar oleh Wiro dan kawan-kawannya. Mereka berusaha mengangkat penutup
kocek untuk melihat. Namun baru sedikit tersingkap ketiganya jatuh terduduk
karena saat itu Lakasipo menyentakkan kudanya, bergerak masuk ke dalam rimba.
Ingin menyelidik suara apa adanya yang barusan didengarnya.
Masuk ke dalam rimba sejauh
beberapa puluh tombak, di bawah sebatang pohon besar Lakasipo melihat satu
pemandangan hampir sulit dipercaya. Di bawah pohon itu terikat sosok tubuh
seorang anak perempuan. Pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu serta seluruh
tubuh mulai dari kepala sampai kaki kotor bercelemongan tanah dan basah oleh
air hujan. Dari mulutnya yang terus-terusan ternganga keluar imam erangan serta
lelehan darah. Dua matanya terpejam. Lakasipo segera hentikan kudanya dan cepat
melompat turun. Suara kaki batunya yang menghentakhentak menggetarkan Seantero
tempat membuat anak perempuan yang terikat di pohon buka kedua matanya sedikit.
Satu pekik halus keluar dari mulut anak itu. Lalu ada suara panjang yang sulit
dimengerti.
Ketika Lakasipo melangkah
lebih dekat, tengkuknya yang memang sudah basah oleh air hujan kini menjadi
tambah dingin. Dari mulut anak perempuan yang ternganga itu menjulur panjang
lidah merah diselimuti ludah campur darah. Lidah itu ternyata berada dalam
keadaan terikat, dibuhul demikian rupa hingga selain kesakitan si anak jadi tak
bisa bicara!
"Kejahatan gila macam apa
ini!" ujar Lakasipo penuh geram. "Wahai anak, siapa yang berlaku
sekeji ini padamu?!"
Anak perempuan yang ditanya
hanya keluarkan suara mengerang sambil gelengkan kepala sedikit. Dua matanya
kembali dipejamkan.
"Bagaimana cara aku
menolong anak ini. Melepas lidahnya yang dibuhul!" pikir Lakasipo.
Mendengar suara Lakasipo yang
keras lantang tadi Wiro dan kawan-kawannya kembali berusaha mengangkat penutup
kocek lalu mengintai keluar. Ketiganya sama keluarkan seruan kaget karena muka
anak perempuan yang lidahnya terjulur dalam keadaan terikat itu tepat berada di
depan mereka di muka kocek!
Naga Kuning yang pertama
sekali mengenal anak perempuan itu. "Astaga! Ini anak perempuan yang
kulihat di tanah lapang waktu terjadi Bakucarok antara Lakasipo dengan
Lahopeng!"
"Benar memang dia…"
kata Setan Ngompol. "Apa yang terjadi dengan anak ini…?"
"Bagaimana bisa berada
sejauh ini. Pasti ada orang jahat yang membawanya kemari. Mengikatnya
dan….Gila! Baru sekali ini aku melihat lidah dibuhul seperti itu! Kejam sekalil
Aku harus keluar dari tempat ini! Aku harus menolong anak itu!" Naga
Kuning segera hendak loloskan dirinya dari bawah penutup kocek. Tapi Pendekar
212 Wiro Sableng segera pegang lengannya dan berkata, "Maksud menolong
boleh saja sobatku! Tapi pakai otak! Pertolongan apa yang bisa kau lakukan.
Anak itu puluhan kali lebih besar tubuhnya dari sosokmu!"
"Aku…." Naga Kuning
jadi bingung sendiri. "Aku kasihan melihatnya. Aku tak bisa membiarkannya
teraniaya seperti itu!"
"Aku juga kasihan. Kita
semua merasa kasihan. Tapi kita tak bisa berbuat apa-apa. Kau tadi mendengar
apa yang dikatakan Lakasipo. Dia pasti bisa menolong anak itu…."
Naga Kuning tendangi dinding
kocek dan berteriak keras-keras untuk menarik perhatian Lakasipo. Tapi Hantu
Kaki Batu ini tidak merasakan tendangan itu dan juga tidak mendengar teriakan
Naga Kuning. Dengan cepat Lakasipo membuka lilitan tali yang mengikat si anak
perempuan ke batang pohon. Begitu ikatan lepas kalau tidak segera ditahan, anak
ini pasti jatuh roboh ke tanah. Keadaan tubuhnya selain menyedihkan juga sangat
lemah sekali. Dengan hati-hati Lakasipo baringkan tubuh anak perempuan itu ke
tanah. Sewaktu Lakasipo membungkuk dan jaraknya dengan tanah lebih dekat,
kesempatan ini dipergunakan Naga Kuning untuk menyelinap keluar kocek lalu
melompat ke tanah.
"Anak nekat. Gila betul
dia!" teriak Setan Ngompol lalu terkencing.
"Kurasa kita juga harus
segera keluar dari sini!" kata Wiro. Lalu terjun ke tanah menyusul Naga
Kuning. Tinggal Setan Ngompol sendirian. Dia bingung mau melompat gamang dan
ngeri. Tinggal sendirian di dalam kocek jerami dia merasa jerih. Sesaat matanya
yang jereng berputar-putar dan daun telinganya yang lebar bergerak-gerak.
Akhirnya sambil pejamkan mata dan tekap bagian bawah perutnya dengan dua tangan
sekaligus, kakek ini jatuhkan diri ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia
tergeletak melingkar di tanah sambil beser terus-terusan.
Naga Kuning lari menuju bagian
kepala anak perempuan yang terbaring di tanah. Dia berusaha memanjat ke bahu.
Tapi setiap dicoba tergelincir kembali karena tubuh anak perempuan itu licin
akibat kebasahan air hujan. Saat itulah Lakasipo melihat sosok Naga Kuning dan
Wiro serta Setan Ngompol.
Dia hendak marah dan menegur
tapi karena lebih mementingkan menolong anak perempuan itu maka untuk sementara
Lakasipo tidak mengacuhkan tiga orang tersebut.
Dengan sangat hati-hati dan
sampai keluarkan keringat dingin Lakasipo berhasil membuka lidah yang terbuhul.
Lidah itu masuk ke dalam mulut dengan mengeluarkan suara keras. Bersamaan
dengan itu menyembur darah segar. Si anak perempuan mengerang pendek lalu
terkulai tak bergerak.
"Kau membunuhnya!"
teriak Naga Kuning. Wiro dan Setan Ngompol juga merasa khawatir.
"Kau tak usah takut Naga
Kuning. Anak ini hanya jatuh pingsan. Sebentar lagi dia pasti siuman. Kulihat
kau begitu cemas. Jangan-jangan anak ini yang pernah kau tanyakan berulang kali
itu…." Lakasipo berkata sambi dekatkan mukanya ke tanah.
‘Tolong dia Lakasipo! Memang
anak ini yang tempo hari kulihat di pinggir tanah lapang!" jawab Naga
Kuning.
"Tak sengaja akhirnya kau
temui juga dia. Hanya sayang dalam keadaan begini rupa…."
"Selamatkan dia Lakasipo!
Lakukan apa saja agar dia tidak mati!" kata Naga Kuning lalu dengan kedua
tangannya dipegangnya lengan si anak yang ukurannya puluhan kali lebih besar
dibanding dengan lengan Naga Kuning. Bocah ini kerahkan tenaga dalamnya untuk
dialirkan ke dalam tubuh anak perempuan itu.
"Sudah, kau tak perlu
susah-susah. Biar aku yang menolong!” kata Lakasipo. Lalu tangan kirinya
ditempelkan ke kening anak perempuan sedang tangan kanan mencekal pergelangan
kaki kirinya. Dari atas dan dari bawah Lakasipo salurkan tenaga dalamnya. Tak
berapa lama kemudian si anak buka kedua matanya. Sesaat dia menatap ke atas tak
berkesip. Dia melihat langit di antara celah-celah daun pepohonan. Lalu pandangannya
membentur wajah Lakasipo yang berambut awut-awutan, wajah tertutup cambang
bawuk, kumis dan jenggot meranggas liar. Anak ini hendak menjerit karena
ketakutan yang amat sangat.
*
* *
11
LAKASIPO TERSENYUM. DIA COBA
TENANGKAN anak perempuan itu. Sambil mengusap keningnya dia berkata.
"Anak, jangan takut! Aku bukan orang jahat…"
"Kau…." Hanya
sepotong bicara si anak hentikan ucapannya. Leher dan lidahnya terasa sakit.
Dari mulutnya masih meleleh darah.
"Totok tenggorokannya di
bawah dagu sebelah kanan!” Wiro berteriak. "Sakit pada mulut dan lidah
anak itu pasti berkurang "
Lakasipo palingkan kepalanya
pada Wiro. "Aku pernah menutuk orang. Akibatnya luar biasa! Bagian bawah
perutnya jadi melembung bengkaki Apa saat ini kau juga hendak menipuku, mencelakai
anak perempuan ini?"
"Aku tidak seberengsek
itu! Yang dulu kau lakukan adalah petunjuk gila bocah bernama Naga Kuning
ini!" sahut Wiro.
"Lakasipo, sobatku ini
memang benar. Totok di tempat yang tadi dikatakannya. Leher di bawah dagu
sebelah kanan. Waktu dengan Hantu Bara Kaliatus aku sengaja berbuat gila agar
manusia itu tahu rasa!"
"Hemm…. Baik, tapi jika
kalian menipuku lagi tahu sendiri akibatnya…" lalu Lakasipo tusukkan dua
jari tangan kanannya ke lekukan antara dagu dan leher kanan anak perempuan. Si
anak mengeluh pendek. Darah berhenti mengucur dari mulutnya.
"Mulut dan lidahmu masih
terasa sakit…?" Lakasipo bertanya.
Anak perempuan itu sesaat
menatap muka Lakasipo seolah untuk meyakinkan bahwa dia memang tidak berhadapan
dengan orang jahat. Lalu periahan-lahan kepalanya digelengkan.
"Kau bisa bicara
sekarang?"
Anak perempuan itu mengangguk.
"Lakasipo, tanyakan siapa
namanya! Beri tahu aku di sini! Beri tahu namaku Naga Kuning!" teriak Naga
Kuning pula.
"Bocah geblek!" maki
Setan Ngompol.
Naga Kuning tidak perdulikan
ucapan orang. Dia memanjat ke lengan anak perempuan itu lalu lari sepanjang
lengan kiri naik ke bahu. Mengira ada semut yang menjalar di tangannya si anak
perempuan pergunakan jari tangan kanan hendak menindas. Untung Lakasipo
memperhatikan apa yang hendak dilakukan anak itu. Dengan cepat dia memegang
Naga Kuning dan meletakkannya di tanah.
"Anak konyol! Hampir
mampus kau ditindas orang!
Hik… hik… hik…!" kata
Setan Ngompol lalu tertawa cekikikan dan tentunya sambil ngompol.
"Anak, kalau aku tidak
salah kau adalah penduduk Latanahsilam. Benar?" tanya Lakasipo.
Yang ditanya mengangguk.
"Mengapa kau berada
sejauh ini! Seorang diri! Dan waktu kami temukan tadi kau dalam keadaan
setengah pingsan lidah terbuhul!"
Naga Kuning banting-banting
kaki lalu mengomel sendirian. "Aku minta tanya siapa namanya malahtanya
hal-hal lain!"
"Saya… saya mendengar
suara-suara halus aneh…."
Anak perempuan itu tiba-tiba
berucap. Terbata-bata tapi cukup jelas.
"Itu suara satu dari dua saudaraku
makhluk cebol sebesar kutu. Tapi tak usah perdulikan mereka dulu. Kau bisa
duduk bersandar ke pohon biar kutolong.. “
Lalu Lakasipo tolong
mendudukkan anak perempuan itu di tanah dan menyandarkannya ke pohon.
"Nah, sekarang terangkan
siapa namamu. Apa yang terjadi dengan dirimu," kata Lakasipo pula.
Si anak tidak segera menjawab.
Sudut matanya melihat sesuatu. Ketika dia menukikkan pandangan ke tanah dekat
ujung kakinya, terkejutlah dia melihat ada tiga sosok tubuh sangat kecil yang
bukan lain
adalah Wiro, Naga Kuning dan
Setan Ngompol.
"Tiga makhluk yang kau
bilang cebol sebesar kutu…. Mereka itu yang kau maksudkan saudara-saudaramu
wahai Bapak penolong?" Ketika Lakasipo tersenyum dan mengangguk si anak
berkata. "Sungguh aneh. Baru sekali ini saya melihat ada manusia sekecil
ini. Aneh, tapi lucu-lucu…."
"Aku yang lucu! Si kakek
bau pesing dan pendekar gondrong ini apa lucunya!" kata Naga Kuning.
"Wahai Bapak penolong,
bagaimana kau bisa punya saudara seperti mereka?" Lalu si anak melihat sepasang
kaki Lakasipo yang terbungkus batu bulat besar. "Wahai Bapak penolong.
Ternyata kau juga memiliki keanehan di kedua kakimu! Saya ingat sekarang….
Wahai bukankah Bapak ini kepala Negeri Latanahsilam, Bapak Lakasipo?"
Lakasipo menyeringai.
"Dulu aku memang Kepala Negeri Latanahsilam. Sekarang tidak lagi…."
"Bukankah Bapak yang
telah membunuh Lahopeng dalam Bakucarok di tanah lapang?"
Lakasipo menghela nafas
panjang. "Kejadian itu sudah berlalu. Sekarang kami berempat ingin tahu
siapa namamu. Apa yang terjadi dengan dirimu sampai kau berada sejauh ini,
diikat d ipohon, dibuhul lidahnya!"
Si anak tidak segera menjawab.
Pandangannya kembali ditujukan pada tiga sosok kecil di ujung kakinya. Melihat
orang memandang ke arahnya Naga Kuning lambaikan tangannya berulang-ulang.
"Wahai Bapak Lakasipo, bolehkah saya memegang tiga makhluk kecil yang
katamu saudara-saudaramu itu…?"
"Asyiki Tentu saja
boleh!" berteriak Naga Kuning.
Lakasipo alias Hantu Kaki Batu
hendak mencegah tapi si anak telah lebih dulu mengulurkan tangannya memegang
Naga Kuning, Wiro dan Setan Ngompol.
"Makhluk aneh,
lucu!" kata anak perempuan itu.
Wiro dan kawan-kawannya
diletakkan di telapak tangan kiri dan dipandanginya sambil tertawa-tawa.
"Yang satu sudah kakek-kakek, satunya kakak muda berambut gondrong.
Satunya lagi seperti anak kecil…."
"Bukan sepertinya, dia
memang anak keci!" kata Setan Ngompol.
"Kakek kuping lebar, aku
lihat kau tidak pakai celana! Apa kau tidak punya celana atau memang suka tidak
pakai celana?"
Setan Ngompol tutupi auratnya
sebelah bawah lalu tertawa cekikikan.
"Namaku Naga
Kuning!" berseru Naga Kuning. "Jika tubuhku sebesarmu atau tubuhmu
sebesarku kita pasti sama-sama sebaya. Siapa wahai namamu, sahabatku anak
perempuan?’ Bocah ini bicara meniru-niru gaya orang Latanahsilam.
Anak perempuan yang ditanya
tersenyum. "Namaku Luhkimkim. Kau anak lucu. Aku suka berteman denganmu
walau kau kecil sebesar kutu!"
"Lihat! Kalian dengar
semua!" teriak Naga Kuning pada Setan Ngompol dan Wiro Sableng. "Dia
suka padaku! Yahui…!" Di atas telapak tangan anak perempuan itu Naga
Kuning lalu bersalto tiga kali berturutturut membuat si anak perempuan tertawa
senang.
"Wahai Luhkimkim, aku
ikut senang kalau kau suka pada tiga saudaraku itu. Tapi awas si kakek bermata
jereng berkuping lebar itu. Dia tukang ngompol Namanya Setan Ngompol. Lalu
pemuda yang gondrong itu bernama Wiro Sableng. Dia punya julukan hebat yakni
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2121 Kami sudah tahu namamu, kau sudah tahu siapa
nama kami. Sekarang harap kau suka menjawab pertanyaanku tadi. Mengapa kau
berada di tempat ini. Siapa yang telah berlaku jahat terhadapmu."
Luhkimkim seperti hendak
menangis. Tapi anak ini berusaha tabahkan diri agar tidak mengeluarkan air
mata. Setelah mengusap lelehan darah yang masih melekat di sudut bibirnya
Luhkimkim lalu memberi keterangan.
"Makhluk jahat bernama
Mantu Muka Dua yang menjatuhkan tangan jahat mencelakai saya…."
"Hantu Muka Dua?"
mengulang Lakasipo. "Dia memang terkenal jahat, menganggap diri Raja Di
Raja para Hantu di Latanahasilam. Tapi sungguh tak kupercaya wahai Luhkimkim
kalau dia tega berlaku sekeji ini terhadap seorang anak kecil sepertimu.
Kesalahan apa yang telah kau lakukan? Dendam apa yang bersarang di hati makhluk
biadab itu?"
"Kesalahan saya tidak punya
wahai Bapak penolong. Tapi ada satu rahasia kejahatan besar yang dilakukan
Hantu Muka Dua yang saya ketahui. Itu sebabnya dia menculik saya, lalu membawa
saya ke sini…."
"Luhkimkim, katakan
kejahatan apa yang telah diperbuat Hantu Muka Dua?" bertanya Wiro.
"Saya tak sengaja melihat
dia membawa pemuda bernama Lasingar ke anjung rumah kediaman Luhsantini.
Lasingar dibaringkannya di atas ranjang, di sebelah Luhsantini. Kedua mereka
itu sama-sama dalam keadaan tidak berpakaian. Sama-sama pingsan. Lalu saya
lihat dia menanggalkan pakaiannya sendiri. Lalu Hantu Muka Dua menindih! tubuh
Luhsantini. Sebelum pergi Hantu Muka Dua merangkulkan tangan Lasingar ke tubuh
Luhsantini…."
"Makhluk jahanam!
Benar-benar keji biadab!" kata Lakasipo geram.
Pendekar 212 Wiro Sableng
garuk-garuk kepalanya. Lalu berkata. "Kami mendengar kabar ada seorang
pemuda bernama Latorik yang juga melihat kejadian Luhsantini bersama Lasingar
dalam keadaan bugil di atas ranjang. Latorik kemudian dianiaya oleh Latandai,
akhirnya dibunuh oleh Lasingar yang bertahun-tahun sembunyi di satu bukit,
menyaru dengan nama Lakabil. Jika kau benar mengetahui rahasia Hantu Muka Dua
sebagai pelaku keji, mengapa Hantu Muka Dua tidak membunuhmu?"
Luhkimkim tak bisa menjawab
pertanyaan Wiro itu. Semua orang terdiam. Suasana sunyi dan tidak enak itu
akhirnya dipecahkan oleh suara Lakasipo.
"Aku pernah mendengar
kabar bahwa Hantu Muka Dua punya satu pantangan besar. Yaitu pantangan membunuh
perempuan. Agaknya pasti itu sebabnya dia tidak membunuh Luhkimkim. Membawanya
ke tempat ini dengan dua maksud. Pertama, kalau anak ini tidak mati disantap
binatang buas maka kemungkinan ke dua dia akan gagu seumur hidup karena
lidahnya sudah dibuhul…."
"Makhluk bernama Hantu
Muka Dua itu harus dihajar habis-habisan! Mayatnya direbus dalam pendaringan
besi sampai tulang belulangnya leleh jadi air.
Bukankah ada hukum seperti itu
di Negeri Latanahsilam?" ujar Naga Kuning.
"Naga Kuning, kau tidak
tahu siapa adanya Hantu Muka Dua. Sebagai Raja Di Raja para Hantu di Negeri Latanahsilam
ilmu kesaktiannya setinggi langit se dalam lautan!"
"Tiap kehebatan pasti ada
kelemahannya!” Kata Naga Kuning tak mau kalah.
"Betul," ujar
Luhkimkim. "Tapi kelemahannya apa ? Naga Kuning memandang berkeliling.
Wiro berkata kata. "Saat ini yang lebih penting adalah menyelamatkan
perempuan bernama Luhsantini itu. Hantu Bara Kaliatus pasti mencari dan
membunuhnya. Lebih baik kita segera melanjutkan perjalanan."
"Wahai Bapak Lakasipo,
apakah saya boleh ikut bersamamu?" tanya Luhkimkim.
"Tentu saja boleh! Siapa
yang melarang!" Yang menjawab adalah Naga Kuning. Lakasipo dan Wiro
menyeringai.
Setan Ngompol mengulurkan
tangan lalu mendorong kepala berambut jabrik si bocah. "Enak saja kau
bicaral Upil Luhkimkim saja lebih besar dari tubuhmu! Biar Lakasipo yang
mengambil keputusan!"
"Suka atau tidak suka apa
kalian tega meninggalkan Luhkimkim sendirian di dalam rimba belantara
ini?" sanggah Naga Kuning.
Tak ada yang menukas ucapan
Naga Kuning itu. Akhirnya Lakasipo memegang lengan Luhkimkim lalu menaikkan
anak perempuan ini ke atas punggung kuda kaki enam. Begitu berada di atas
punggung kuda raksasa itu Luhkimkim bertanya. "Wahai Bapak Lakasipo,
bagaimana dengan tiga sahabatku yang luculucu ini. Apakah saya boleh memegang
mereka terus atau…."
"Kami lebih suka berada
dalam genggamanmu dari pada masuk kembali ke dalam kocek pesing itu!" kata
Naga Kuning cepat, "Bukan begitu sobatku Wiro?’ Naga Kuning kedipkan
matanya.
Pendekar 212 Wiro Sableng
tertawa lebar sambil garuk-garuk kepala. Setan Ngompol berbisik ke telinga Naga
Kuning. "Kalau anak perempuan itu tahu kau sebenarnya seorang kakek
berusia seratus dua puluh tahun, jangan harap dia masih akan suka padamu!"
"Setan Ngompol, awas
kalau kau berani membuka rahasia, Kuremas terong peot dan kantong menyanmu!"
kata Naga Kuning mengancam.
Wiro tertawa bergelak. Setan Ngompol merengut masam. Sambil membalikkan tubuh
diam-diam tangannya diusapkan ke bawah perut. Lalu tangan yang basah kena air
kencing itu dipeperkannya ke muka Naga Kuning hingga bocah ini
menyumpah-nyumpah. Semua kejadian ini dilihat oleh Luhkimkim dengan
tertawa-tawa. Derita yang dialaminya akibat penculikan dan siksaan yang
dilakukan Hantu Muka Dua jadi terlupakan.
***
12
GUNUNG LABATUHITAM SESUAI
DENGAN NAMANYA merupakan satu gunung batu berwarna hitam. Tak satu
tetumbuhanpun hidup di sana kecuali sejenis lumut. Di bawah panas teriknya
matahari, di kaki selatan gunung kelihatan melesat satu bayangan merah,
berkelebat cepat dari satu gundukan batu ke gundukan lainnya. Mengingat batubatu
di tempat itu diselimuti lumut licin dan orang tersebut dapat bergerak begitu
cepat tanpa kakinya terpeleset, jelas dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tinggi. Di satu lamping batu orang ini tendangkan kaki kirinya.
"Bukk!"
Satu gerakan hebat melanda
lamping batu. Batu yang ditendang sama sekali tidak cacat atau rusak
sedikitpun, apa lagi hancur. Tapi justru sebuah batu besar yang terletak di
belakang batu yang ditendang keluarkan suara berderak. Lalu seolah menjadi
rapuh secara tiba-tiba batu itu hancur menjadi bubuk dan bertebaran hampir sama
rata dengan batu rendah di sekitarnya! Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut
Di Balik Labukit Menghancur Lagunung! Dan jelas orang berpakaian merah itu
tengah melatih diri, mulai dari ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam
termasuk pukulan sakti tadi.
Selagi berlatih diri seperti
itu tiba-tiba orang ini melihat ada bayang-bayang hitam berputar-putar di atas
kawasan berbatu-batu itu. Dia mendongak ke langit. Wajahnya berubah. Dengan
cepat dia lari ke balik satu lamping batu lalu membuat beberapa kali lesatan
dan akhirnya menyelinap lenyap ke dalam sebuah goa.
Orang ini ternyata adalah
seorang perempuan berwajah cantik. Melihat raut mukanya dia seperti baru
berusia tiga puluhan. Padahal sebenarnya usianya telah mencapai seratusan
tahuni Perempuan ini tidak terus masuk ke dalam melainkan mengintai di mulut
goa, memandang ke langit.
"Kemarin, hari
ini.." katanya perlahan. "Telah dua kali dia muncul. Pasti melakukan
pengintaian. Walet terbang…. Siapa gerangan penunggangnya? Terlalu jauh. Tak
bisa kulihat wajahnya. Tapi…."
Tiba-tiba benda yang
menimbulkan bayang-bayang di bebatuan itu menukik ke bawah lalu lenyap di balik
goa. Perempuan berpakaian merah terbuat dari kulit kayu yang dicelup dengan
jelaga merah menunggu sesaat.
Menatap ke udara. "Tak
muncul lagi. Seperti kemarin pasti dia sudah pergi…."
Perlahan-lahan, tetap
hati-hati perempuan itu melangkahkan kakinya keluar dari goa. Baru bertindak
empat langkah tiba-tiba di samping kiri goa terdengar suara menegur. Suara yang
sudah sekian puluh tahun tak pernah di dengarnya. Suara yang cukup dikenalnya
dan membuat dua kakinya seolah dipantek ke batu yang dipijaknya.
"Luhsantini, aku ada di
sini…."
Perempuan itu berbalik dengan
cepat. Wajahnya berubah pucat, keningnya mengerenyft dan sepasang mata terbuka
lebar.
"Latandai…" desis
perempuan di depan goa.
"Benar, yang kau lihat
memang Latandai!"
"Wahai para Dewa dan
Peri…. Bagaimana dia tahu aku berada di sini!" membatin perempuan
berpakaian merah. Lalu pandangannya membentur bagian bawah lelaki itu. Yang
bengkak menggelembung . “Ya Dewa, ya Peri, apa yang telah terjadi pada dirinya
? Dia seperti menahan beban yang begitu berat .Tegak terbungkuk…."
"Tak ada yang perlu kau
takutkan wahai Luhsantini. Aku datang membawa kesalahan masa lalu. Aku datang
untuk meminta ampun dan maafmu. Apa yang kulakukan dimasa lalu adalah satu
kesalahan besar. Mengusirmu dan mengusir anak kita. Lamatahati anakku…. Dimana
kau sekarang. Ayahmu membekal dosa besar terhadapmu, lebih besar dari dosaku
terhadap ibumu…."
Luhsantini yang semula berada
dalam ketakutan kini terheran-heran. "Apa yang telah membuat lelaki ini
berubah. Dulu dia begitu benci terhadapku, terhadap Lamatahati. Sekarang
seolah-olah dia menyadari semua kesalahan itu. Mencariku untuk minta maaf dan
ampun. Merindukan Lamatahati. Ada apa di balik semua ini…."
"Luhsantini, berkatalah.
Berucaplah. Jangan diam saja. Aku ingin kita melupakan masa lalu walau mungkin
ada yang salah di antara kita. Biarlah aku mengakui kesalahan ada di pihakku.
Biar aku menanggung segala dosa. Tapi perjalanan hidup ini tidak bisa kita
hentikan begitu saja…."
"Latandai…" kata
Luhsantini dengan suara bergetar.
"Jika kerukunan yang
hendak kau cari, jika hidup bersama yang kau dambakan, menyesal sekali wahai
Latandai. Tak mungkin hal itu kulakukan…."
"Wahai Luhsantini…"
ujar Latandai alias Hantu Bara Kaliatus dengan suara tercekat dan tersurut dua
langkah.
"Kau tak ingin karena
keadaaanku yang seperti ini? Kepala seolah bertopi bara. Mata seolah api
menyala. Tubuh penuh bara api!"
"Bukan…. Bukan itu wahai
Latandai. Tapi di antara kita ada satu jurang besari Jurang kesalahpahaman yang
sangat nyata adanya…."
"Wahai Luhsantini, aku
datang tidak membawa segala yang berbau masa lalu. Aku ingin kita bersatu
kembali. Jika kau ihklas, jika kau suka hal itu bisa terjadi. Mengenai diriku
yang celaka ini akan bisa disembuhkan, akan bisa kembali ke asal keadaan
semula. Asalkan saja kau mau memohon kepada para Dewa dan Peri, kepada para roh
yang ada antara langit dan bumi. Mintakan ampun untukku. Cabut kutuk dan
sumpahmu dulu! maka semua bara api yang ada di kepala dan tubuhku akan sirna….
Aku mohon padamu Luhsantini. Ini satu-satunya permintaan kalau hidup ini masih
bisa panjang. Kalau masa depanku masih kau terima…."
Hantu Bara Kaliatus jatuhkan
dirinya di atas batu, berlutut dengan kepala tertunduk dan dua tangan disatukan
membentuk sembah. Untuk beberapa lamanya Luhsantini tegak tak bergerak,
sepasang mata tak berkesip pandangi lelaki yang pernah hidup sebagai suaminya.
Di luar sadar dua mata yang tidak berkesip itu tampak berkaca-kaca.
Getaran-getaran muncul di dadanya.
"Wahai Latandai, jika
niatmu sebersih itu, jika pintamu sesuci yang aku dengar, aku yakin para Dewa
dan para Peri mendengar pintamu. Tetapi apakah diri yang hina ini bisa
memintakan apa yang kau mohonkan itu dan sudikah para Dewa dan para Peri
mengabulkan permintaan kita?"
"Wahai Luhsantini. Belum
lama berselang aku didatangi Peri Bunda. Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri
Junjungan Dari Segala Junjungan. Dia memberi petunjuk bahwa keadaan diriku bisa
pulih kembali jika kau bersedia memohonkan ampun kepada para Dewa, para Peri
dan para roh…."
"Jika begitu wahai
Latandai bilsa memang begitu janji Peri Bunda, aku ikhlas menerima kenyataan,
aku rela memohon…. “. Luhsantini jatuhkan diri berlutut di atas batu,
berhadap-hadapan dengan suaminya, saling terpisah lima langkah satu sama lain.
Perlahan-lahan perempuan itu
angkat kedua tangannya ke atas. Lalu dari mulutnya meluncur ucapan :
"Wahai para Dewa dan para Peri, para roh yang ada di antara langit dan
bumi. Delapan puluh tahun lalu aku Luhsantini pernah memohon menjatuhkan sumpah
dan kutuk atas diri Latandai. Ya para Dewa dan para Dewi, wahai para roh, aku
tidak menyangka akan demikian besar akibat sumpah dan kutuk itu. Selama delapan
puluh tahun kami hidup tersiksa. Tanpa tahu dimana beradanya kini putera kami
Lamatahati. Rasanya ya para Dewa dan para Peri serta para roh. Sudah cukup
semua siksaan hukuman itu. Ampuni kesalahan kami wahai para Dewa, Peri dan roh.
Ampuni terutama dosa dan kesalahan suamiku Latandai. Aku memohon kaki ke atas
kepala ke bawah. Aku meminta kepala di atas kaki di bawah. Cabutlah kutuk dan
sumpah itu. Sembuhkan suamiku. Lenyapkan semua bara api yang menempel di
kepala, wajah serta sekujur tubuhnya! Kasihani kami wahai para Dewa, Peri dan
para roh. Aku tahu kalian mendengar permintaan yang aku sampaikan dengan hati
tulus serta kudus ini…."
Air mata bercucuran jatuh
membasahi pipi Luhsantini kiri kanan pertanda perempuan ini benar-benar memohon
sepenuh hati atas kesembuhan suaminya. Sesaat kesunyian mencengkam lalu ada
suara bergetar seolah-olah gempa keluar dari pusat bumi di bawah kaki Gunung
Labatuhitam. Saat itu tak ada mendung tak ada hujan. Namun mendadak guntur
menggelegar. Dari langit mencuat cahaya terang menyilaukan seolah, petir
menyambar lalu menghantam sosok tubuh Hantu Bara Kaliatus yang berlutut di atas
batu. Batu tempat Bara Kaliatus berlutut hancur berkepingkeping, berubah
menjadi bara. Sosok Latandai sendiri terpental belasan tombak. Lalu melayang
jatuh, tergelim-pang di celah antara dua batu besar. Dari tubuhnya mengepul
asap.
"Latandai!" pekik
Luhsantini. Perempuan ini melompat dari berlututnya, menghambur ke tempat
Latandai terkapar. Dia melihat kenyataan bagaimana kini tidak sebuah bara
apipun ada di kepala, dada dan perut Latandai. Dengan keluarkan pekik gembira
seraya menyebut para Dewa, Peri dan roh berulang kali perempuan ini jatuhkan
diri memeluk suaminya.
"Latandai…
Latandai…" panggil Luhsantini berulang kali mendekap wajah lelaki itu
dengan dua tangan dan menciuminya.
Sosok Latandai bergerak. Dua
matanya yang tadi terpejam perlahan-lahan terbuka. Dia menatap Luhsantini
sesaat lalu tersenyum. Bola matanya yang tadinya ada empat kini kembali hanya
dua. Tangan kanannya diusapkannya ke kepala, muka, dada dan perut. Tak ada lagi
bara menyala! Latandai berseru gembira lalu bangkit berdiri. "Aku sembuh
Luhsantini! Aku sembuh! Permohonanmu dikabulkan!" Latandai mendukung,
memeluk dan meciumi istrinya sambil berputar-putar di atas batu. "Terima
kasih Peri Bunda, terima kasih semua Peri dan para Dewa, para roh!"
Perlahan-lahan Luhsantini
diturunkannya. Dari mulutnya keluar suara tertawa aneh. Ketika Luhsantini
hendak menjauhkan kepalanya guna dapat memandang wajah lelaki itu mendadak dua
tangan Latandai menyambar cepat ke lehernya. Demikian kencangnya hingga
perempuan ini merasakan nafasnya seolah berhenti dan tulang lehernya seperti
mau patah. Lidahnya mulai terjulur.
"La…Latandai… Apa yang kau..
laku…lakukan…Kau mencekikku…."
Tawa Latandai semakin keras.
"Perempuan tolol. Apa kau kira menolongku berarti menghapus semua dosa
terkutuk yang pernah kau lakukan dengan Lasingar?!"
"Latandai. Ap… apa maksud
ucapanmu. Bukan…. Bukankah kau berkata tidak ingin membicarakan hal masa silam.
Lag… lagi pula aku tidak pernah melakukan perbuatan tidak senonoh dengan
Lasingar…."
Latandai mendengus.
"Delapan puluh tahun lalu kau berdusta. Sekarang masih saja berdusta!
Siapa percaya padamu! Aku sudah sembuh Luhsantini! Dengar. Aku sudah sembuh!
Dan aku tidak memerlukan dirimu lagi! Mampuslah perempuan jalang!"
Sepuluh jari kokoh Latandai
disertai tenaga luar dan dalam yang sangat hebat mencengkeram siap
menghancurkan leher Luhsantini. Pada saat itulah tangan kanan Luhsantini
menghantam ke depan, mengarah ke perut Latandai. Melepas pukulan Di Balik
Labukit Menghancur Lagunung!
Tapi Latandai tidak buta.
Tangan kirinya secepat kilat di babatkan ke bawah.
"Bukkk!"
Dua lengan saling beradu
keras. Kedua orang itu terpental dan sama-sama kesakitan. Begitu lepas dari
cekikan Latandai, Luhsantini berteriak marah. "Manusia laknat! Binatang
saja kalau ditolong tidak akan pernah berkhianat! Kau memang Hantu jahanam yang
harus dimusnahkan!" untuk kedua kalinya Luhsantini menyerang dengan
pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung.
Latandai cepat menyingkir.
Gerakannya memang tidak terlalu cepat akibat kendala di bagian bawah perutnya.
Sadar dan khawatir serangan lawan bisa mencelakainya maka lelaki ini menangkis
dengan melepaskan pukulan sakti Selusin Bianglala Hitam. Dua belas larikan
sinar hitam halus menggebubu. Luhsantini seperti gila melihat berkiblatnya dua
belas sinar hitam itu. Delapan puluh tahun silam, pukulan inilah yang telah
membuat cacat puteranya Lamatahati! Seperti hendak mengadu jiwa, dengan nekad
Luhsantini sambuti pukulan lawan dengan pukulan Di Balik Labukit Menghancur
Lagunung. Kali ini dengan tangan kiri kanan sekaligus.
Kesaktian Luhsantini boleh
hebat, namun dia kalah jauh pada tenaga dalam. Begitu dua pukulan sakti
bentrokan, terdengarlah pekik perempuan ini. Tubuhnya terlempar ke udara
setinggi tiga tombak lalu jatuh di atas batu. Darah mengucur di mulutnya. Dada
pakaian merahnya robek dan hangus besar hingga auratnya tersingkap putih.
Latandai sendiri terlempar satu tombak. Punggungnya menghantam gundukan batu.
Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Dadanya mendenyut sakit dan tubuhnya bagian
bawah seolah hendak tanggal. Terbungkuk bungkuk dia melangkah mendekati sosok
Luhsantini. Saat itu dilihatnya saiah satu kaki perempuan itu bergerak hingga
pakaiannya tersibak di bagian paha. Nafas Latandai sesaat tertahan. Darahnya
menyentaknyentak. Apalagi ketika matanya membentur dada Luhsantini yang tidak
tertutup. Nafsunya langsung menggelegak.
"Mungkin ada baiknya dia
tidak segera mati…" kata Latandai menyeringai. Dia membungkuk di atas
tubuh Luhsantini. Agar yakin perempuan itu tidak membuat gerakan tiba-tiba yang
dapat mencelakainya, kedua tangan Luhsantini dilipatnya ke belakang.
"Kraaakk!"
Salah satu lengan Luhsantini
berderak patah. Tapi tak ada suara jerit kesakitan keluar dari mulut perempuan
ini, karena keadaannya saat itu nyaris pingsan. Latandai menyeringai, tangannya
bergerak menyingkapkan pakaian merah Luhsantini sesaat lagi maksud terkutuknya akan
kesampaian tiba-tiba satu ringkikan keras menggelegar di kawasan bebatuan itu.
"Wuuuutt!"
Kalau tidak lekas menyingkir
pecahlah kepala Latandai kena tendangan dua kaki depan kuda raksasa berkaki
enam!
13
RAHANG LATANDAI MENGGEMBUNG
KETIKA melihat apa yang barusan hendak menghantam kepalanya. "Hantu Kaki
Batu Jahanam!" teriak Latandai. "Kau mencari mati berani mencampuri
urusanku!" Sebelum melompat turun dari kudanya Hantu Kaki Batu alias
Lakasipo berkata pada Luhkimkim. "Bawa kuda ke balik batu tinggi di
sebelah kiri. Tunggu di sana bersama tiga saudaraku sampai urusanku
selesai…."
"Untuk urusan keji
seperti yang kau lakukan siapa saja boleh ikut campur Latandai! Ho… ho! Bara di
kepala, mata dan tubuhmu sudah lenyap rupanya! Bagaimana caranya kau menipu
para Dewa dan para Peri?! Ha… ha… ha!"
"Jahanam kau Lakasipo!
Perempuan itu adalah istriku sendiri! Mengapa kau sebut aku melakukan kekejian!
Dan beraninya kau menghina para Dewa dan para Peri!"
"Latandai! Raut wajah dan
bentuk tubuhmu boleh berubah seperti sediakala! Tapi hati bejat dan otak jahat
tetap mendekam di dalam dirimu!"
"Sudah! Jangan bicara
banyak! Kalau kau memang mau mati, aku bisa memberi cara yang tercepat!"
Lalu Latandai pukulkan dua tangannya ke depan. Dua lusin sinar hitam menggebubu.
Latandai lepaskan dua pukulan Selusin Bianglala Hitami
Luhkimkim, Wiro, Naga Kuning
dan Setan Ngompol yang menyaksikan perkelahian itu dari balik besar tersentak
kaget melihat kehebatan serangan yang dilancarkan Latandai.
Sederetan batu-batu besar di
depan sana hancur berkeping-keping dilanda pukulan sakti yang dilancarkan
Latandai. Tapi Lakasipo sendiri sudah lenyap Selagi Latandai berusaha mencari
di mana lawannya berada tiba-tiba dari samping terdengar suara rantai
bergemerincingan disertai sambaran sebuah bola batu ke arah dadanya..
Latandai cepat jatuhkan diri
ke samping lalu berguling menjauh. Dari jarak tiga tombak kembali dia
menggempur dengan pukulan dua belas jalur sinar hitam. Walau bisa mengelak
namun lambat laun Lakasipo terdesak juga. Melihat hal ini Wiro segera berkata
pada Luhkimkim. "Kalau Lakasipo berkelahi dalam jarak terlalu renggang,
dirinya bisa celaka. Lekas kau berteriak padanya. Beri peringatan agar dia
berkelahi dalam jarak dekat. Orang kondor seperti Latandai pasti tak bisa
bergerak gesit dan cepat karena keberatan di selangkangannya!"
Bukannya mengikuti apa yang
dikatakan Pendekar 212, anak perempuan bernama Luhkimkim itu malah bertanya.
"Apa artinya kondor?"
"Kau ini ada saja yang
ditanyakan. Kondor artinya barang si Latandai itu sebesar gentong!"
"Gentong? Apa pula
artinya gentong?!"
Wiro garuk-garuk kepala. Naga
Kuning akhirnya berkata. "Sobatku Kimkim! Sudah, jangan banyak tanya.
Lekas kau beri tahu saja Latandai. Kalau sampai terlambat dia bisa celaka. Kita
semua nanti juga ikutikutan celaka!"
Mendengar kata-kata Naga
Kuning yang ada di telapak tangannya itu Luhkimkim segera berteriak.
"Bapak Lakasipo, hadapi
lawanmu dalam jarak pendek! Dia ada kondornya! Kondornya ada gentongnya! Pasti
tak bisa bergerak cepat kalau diserang dari dekat! Kalau dari jauh kondornya
bisa leluasa!"
Wiro tertawa bergelak sambil
garuk-garuk kepala mendengar teriakan Luhkimkim itu. Naga Kuning tertawa
gelak-gelak. Sedang Setan Ngompol terpingkalpingkal dan terkencing-kencing!
Walau tidak begitu jelas apa
yang dimaksudkan anak perempuan itu namun Lakasipo bisa juga menangkap arti
ucapan Luhkimkim. Memang jika dia menggempur dari jarak jauh berarti lawan akan
mampu menghujaninya dengan pukulan-pukulan sakti yang mengeluarkan dua belas jalur
hitam maut itu. Maka Lakasipo pusatkan tenaga dalamnya ke kaki. Bola Bola Iblis
mengeluarkan suara menghentak menggetarkan tanah dan bebatuan di tempat itu
begitu Lakasipo melangkah cepat mendekati lawan. Tubuhnya melesat ke udara.
Bola batu di kaki kanannya menyambar ke kepala lawan. Serangan ini bukan
olah-olah hebatnya karena seperti diketahui di dalam dua kaki Lakasipo masih
tersimpan ilmu kesaktian yang disebut Kaki Roh Pengantar Maut. Di samping itu
sesekali Lakasipo barengi pula serangan dua kakinya dengan pukulan sakti Lima
Kutuk Dari Langit. Lima sinar hitam menderu ganas. Latandai yang tahu keganasan
pukulan lawan tidak berani menyambuti dan semakin terdesak. Dalam keadaan
seperti itu terpikir olehnya kalau dirinya kembali memiliki bara menyala akan
lebih mudah baginya menghadapi lawan. Maka dalam hati lalu dia berdoa meminta.
"Wahai para Dewa, Peri dan semua rohl Aku mohon kembalikan diriku menjadi
Hantu Bara Kaliatus!"
Tapi tak terjadi apa yang
diharapkan. Latandai kembali memohon malah dengan-mengeluarkan suara keras.
Sampai berulang kali. Tetap saja tidak terjadi apa-apa. "Nenek Hantu
Santet Laknat! Wahai di mana kau! Tolong aku. Tolong Aku nek. Kembalikan bara
di kepala, dada dan perutku!’ Latandai ganti memohon pada si nenek sakti yang
selama ini menguasai otak dan dirinya. Namun sia-sia belaka. Dalam keadaan
terdesak salah satu ujung rantai di kaki Lakasipo sempat merobek pipi kirinya
hingga terluka besar dan kucurkan darah! Latandai tambah was-was dan kecut
ketika dilihatnya Luhsantini siuman dari pingsannya, lalu terhuyung-huyung
melangkah ke arahnya.
"Wahai kerabat yang aku
kenal dengan nama Lakasipo!" Luhsantini berseru. "Latandai adalah
suami khianat musuh besarku! Serahkan dirinya padaku!"
"Kerabat Luhsantini!
Siapapun kau adanya, kau berada dalam keadaan terluka! Menyingkirlah! Biar aku
mewakilimu menyelesaikan urusan dengan manusia keji ini!"
"Sayang aku tidak mau
diwakili wahai kerabat. Jika kau tak mau mengalah berarti terpaksa kita
menyerangnya bersama-sama!" ujar Luhsantini pula. Walau tangan kanannya
patah dan sakitnya bukan main namun amarah dan dendam kesumat yang membakar
dirinya membuat Luhsantini tidak perdulikan semua cidera yang dialaminya. Kalau
Lakasipo menyerang dari arah depan maka perempuan ini menyerbu dari samping
kirinya. Tanpa ampun berulang kali Luhsantini lepaskan pukulan Di Balik Labukit
Menghancur Lagunung!
Digempur dahsyat dari dua
jurusan membuat Latandai terdesak hebat dan leleh nyalinya. Lebih-lebih ketika
satu jotosan Luhsantini mengancurkan sambungan siku tangan kirinya hingga
lengan kiri itu mulai dari siku ke bawah menjadi buntung!
Kini nyali Latandai
benar-benar putus! Sambil melepas pukulan Selusin Bianglala Hitam dua kali
berturut-turut untuk melindungi dirinya, dia melompat ke atas sebuah batu besar
lalu melayang turun ke bawah dan tahu-tahu secara tak terduga telah menyambar
sosok Luhkimkim yang ada di balik batu.
Anak perempuan ini terpekik
saking kaget, takut dan kesakitan karena Latandai mencekal rambut lalu menyeret
Luhkimkim ke arah walet raksasa tunggangannya. Wiro dan Naga Kuning yang masih
ada dalam genggaman anak perempuan itu tak kalah takutnya. Setan Ngompol jangan
dibilang lagi. Begitu Latandai melayang turun menjambak rambut Luhkimkim kakek
satu ini sudah terbeser-beser!
Luhsantini dan Lakasipo
melompat ke hadapan Latandai. Orang ini ganda tertawa. "Kau ingin
membunuhku? Silahkan! Jangan kira aku tidak tega membunuh anak perempuan
ini?" Luhsantini menyumpah dalam hati. Lakasipo menggeram keras.
"Kemana kau pergi!
Sekalipun ke ujung langit akan kukejar!" teriak Lakasipo.
"Ho… ho! Begitu! Silahkan
kejar kaiau kau mampu!" ejek Latandai. Lalu dia melompat ke atas punggung
walet terbang. Luhkimkim yang masih terus dicekalnya diletakkanya di belakang
kuduk walet. "Selamat tinggal para kerabat! Selamat tinggal Lakasipo
malang. Selamat tinggal Luhsantini jalang! Ha… ha… ha!"
Luhsantini saking marahnya
hendak lepaskan satu pukulan tangan kosong jarak jauh dengan tenaga dalam
penuh. Tapi Lakasipo cepat pegang tangan perempuan itu. "Jangan. Kalau
pukulanmu meleset anak perempuan itu bisa celaka. Lagi pula dalam genggamannya
ada tiga orang saudaraku!"
Walau tidak mengerti apa atau
siapa yang dimaksud Lakasipo dengan tiga orang saudaranya itu namun Luhsantini
urungkan niatnya untuk menghantam.
Sementara itu walet
tunggangannya semakin tinggi, naik keudara. Suara gelak tawa Latandai masih
terdengar di atas sana. Di dalam genggaman Luhkimkim yang gemetaran ketakutan,
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol merasa sudah terbang nyawa masing-masing.
"Celaka kita semua.
Celaka sahabatku Luhkimkim" ujar Naga Kuning.
Tiba-tiba dari langit sebelah
timur ada satu sinar biru terang sekali. Makin lama makin besar dan bergerak ke
bawah ke arah walet terbang. Sesaat kemudian cahaya biru itu berubah menjadi sosok
seorang perempuan yang bergoyang-goyang seperti asap. Bersamaan dengan itu bau
harum semerbak memenuhi udara.
"Peri Bunda!" seru
Lakasipo dan Luhsantini begitu dia melihat lebih jelas dan mengenali siapa
adanya sosok biru, di atas sana. Kedua orang ini segera jatuhkan diri berlutut.
Sampai saat itu Lakasipo secara tidak sadar masih memegangi tangan kiri
Luhsantini yang tadi hendak memukul. Luhsantini sendiri tidak pula berusaha
untuk melepaskan tangannya dari pegangan orang.
Latandai yang ada di atas walet
terbang jadi berubah kecut tampangnya ketika dia melihat siapa yang muncul dari
langit di atasnya. Dia berusaha mempertenang diri karena sampai saat itu masih
menguasai Luhkimkim yang tetap terus dijambaknya. "Kalau Peri itu berbuat
macam-macam kupecahkan kepala anak ini!" kata Latandai dalam hati.
"Wahai Latandai manusia
culas!" Peri Bunda berseru.
Mahkota di kepalanya
mengeluarkan sinar berkilauan. Pakaiannya yang berupa gulungan selendang biru
panjang melambai-lambai. "Istrimu memohon pengampunan secara ikhlas.
Ternyata petunjukku dan kemauan baik istrimu kau salah gunakan. Kau pakai untuk
menipu. Hukuman tak bisa lepas darimu Latandai!"
"Peri Agung! Jika kau
berani mencelakai diriku, anak perempuan ini akan kulempar ke bawah sana! Biar
kepalanya mendarat hancur di atas bebatuan!" Latandai mengancam.
Peri Agung tersenyum.
"Kau ingin membunuh anak itu! Jatuhkanlah sekarang juga! Aku peri Bunda
tidak termakan ancamanmu!"
"Peri jahanam!"
rutuk Latandai. Nekad sudah orang ini. Jambakannya di rambut Luhkimkim
diperkencang. Lalu dengan satu betotan keras anak itu dilemparkannya ke bawah.
Luhkimkim menjerit keras.
Tangannya yang menggenggam Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terbuka. Tak
ampun lagi ketiga orang ini melayang jatuh sama-sama memekik. Di bawah sana
Luhsantini dan Lakasipo tak kalah kagetnya dan keluarkan seruan tertahan. Hanya
beberapa saat lagi tubuh Luhkimkim akan jatuh di atas bebatuan disusul oleh
tubuh Wiro dan kawan-kawannya, tiba-tiba ujung pakaian biru Peri Bunda melesat
bergulung-gulung ke bawah, menyambar tubuh Luhkimkim sehingga anak ini merasa
seperti di ayunan. Waktu pakaian menggulung tubuh anak perempuan itu tiga sosok
tubuh Wiro dan kawankawannya ikut tergulung.
"Hai apa yang
terjadi?!" teriak Setan Ngompol yang sudah basah kuyup aurat sebelah
bawahnya.
"Kita melayang dalam
gulungan pakaian makhluk aneh di atas sana!’ ujar Wiro.
Walah! Aku tahu kita berada di
mana! Kita memang tergulung tapi aku berada di atas dada Luhkimkim! Maut
mengintai tapi rejeki besar yang kudapati Hik…hik..: hik!" Itu suaranya
Naga Kuning.
Tubuh Luhkimkim mendarat
lembut di Atas sebuah batu besar. Begitu juga Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol yang ada di atas dada perempuan Ini. Luhkimkim cepat memegang tiga
sahabat kecilnya itu lalu berlutut sambil dongakkan kepala ke atas dan berkata
"Peri Bunda, Peri Agung, saya Luhkimkim mengucap kan terima kasih atas
pertolonganmu."
"Anak baik anak berbudi
aku mengucapkan terima kasih kembali Jaga baik-baik tiga temanmu…"
rnenyahuti Peri Agung sambil tersenyum.
"Makhluk bernama Peri
Agung itu ternyata memang cantik," bisik Setan Ngompol ke telinga Wiro
lalu senyum-senyum sendiri sambi! memandang ke atas. Sementara itu Luhsantini
dan Lakasipo segera mendatangi Luhkimkim.
Di atas sana, di punggung
walet Latandai jadi bingung sendiri dalam kecutnya. Tiba-tiba digebraknya tubuh
binatang itu. Namun sebelum binatang ini melayang terbang menjauhi Peri Bunda,
tahu-tahu sang Peri sudah berada di hadapannya. Telapak tangan kirinya
diacungkan ke depan kepala walet hingga binatang ini seolah-olah kaku tak bisa
bergerak barang sedikitpun.
"Latandai! Aku terpaksa
menjatuhkan hukuman atas dirimu sekali lagi. Kau akan menjadi makhluk bernama
Hantu Bara Kaliatus kembali! Namun kau tidak memiliki kesaktian apa-apa. Dua
ratus bara api akan kususupkan dalam perutmu! Seumur-umur kau akan hidup dengan
sekujur tubuh seperti dipanggang!"
Peri Bunda angkat tangan
kanannya lalu dua jari menjentik. Dua ratus sinar merah sebesar ujung ibu jari
kaki, entah dari mana datangnya melesat masuk ke dalam perut Latandai. Dari
luar perut itu kelihatan memancarkan sinar terang bara api. Latandai menjerit
keras tiada hentinya
Peri Bunda tarik tangan
kirinya. Walet yang tadi mengapung kaku tak bergerak kini kepakkan sayapnya
lalu terbang menuju ke barat. Di atas punggungnya Latandai terbaring
menelungkup kelojotan dan terus berteriak-teriak. Bersamaan dengan itu sosok
Peri Bunda melesat ke atas lalu lenyap seolah menembus langit.
"Luhkimkim, kau tak
apa-apa?" tanya Lakasipo
sambil membantu anak perempuan
itu berdiri. Si anak yang masih dicekam ketakutan hanya menjawab dengan
gelengan kepala. Lalu tangan kirinya diulurkan.
"Ha… ha…! Wahai tiga
saudaraku! Syukur kalian juga selamat! Aku tadi sudah sangat khawatir! Agar
tidak kena celaka lagi biar kalian kumasukkan kembali ke dalam kocek!"
"Kami lebih suka dipegang
oleh Luhkimkim saja!" kata Naga Kuning cepat-cepat sambil senyum-senyum.
"Makhluk-makhluk aneh.
Manusia, atau apa mereka itu? Bagaimana kau mengatakan mereka adalah
saudara-saudaramu wahai Lakasipo?" tanya Luhsantini.
"Panjang ceritanya. Kalau
kau suka akan kuceritakan dalam perjalanan…."
"Eh, memangnya kita mau
mengadakan perjalanan kemana? Tempat tinggalku adalah di daerah ini…" kata
Luhsantini pula.
Air muka Lakasipo jadi kemerah-merahan.
"Maksudku…. Hemm, aku menduga apa gunanya kau memencilkan diri terus
menerus di tempat sunyi ini. Lebih baik kembali ke Negeri Latanahsilam bersama
kami!"
"Berat bagiku untuk
kembali ke sana wahai Lakasipo. Hidup ini sudah terlanjur bergelimang derita….
Aku lebih suka pergi ke tempat yang lain. Mungkin aku akan mencari puteraku
yang hilang…."
"Jika kau suka aku mau
membantu mencari puteramu itu. Namun itu bukan pekerjaan mudah karena kabarnya
dia telah masuk ke dunia para saudarasaudaraku ini…. Tapi tidak ada salahnya
berusaha. Asalkan sebelum melakukan pencarian kita ke Lanahsilam dulu untuk
sama-sama mengantarkan anak perempuan ini. Lagi pula tanganmu yang patah perlu
rawat."
Luhsantini terdiam sejenak.
Sepertinya dia tengah menimbang-nimbang. Sesekali dia melirik pada Lakasipo. Di
atas tangan Luhkimkim Naga Kuning berbisik.
"Kurasa perempuan itu
naksir sama Lakasipo. Tapi mungkin merasa bingung, bagaimana ya rasanya kalau
punya kekasih yang dua kakinya dibungkus batu seperti bola…?’
"Salah-salah lagi asyik
bercumbu kaki sang kekasih bisa ketiban gandulan batu itu!" menyahuti
Wiro.
Ketiga orang itu tertawa
terpingkal-pingkal. Bersamaan dengan itu Lakasipo sendiri secara tak sengaja
memperhatikan dua kakinya. Dalam hati lelaki ini membatin. "Mungkin
keadaan dua kakiku ini yang membuat Luhsantini tidak mau melakukan perjalanan
bersama-sama." Menyadari keadaan dirinya Lakasipo lalu menaikkan Luhkimkim
ke atas punggung kuda kaki enam Laekakienam. Ketika Lakasipo sudah berada di punggung
binatang raksasa itu Luhsantini masih tegak termangu.
"Selamat tinggal wahai
Luhsantini. Aku tidak memaksa kau ikut bersama kami. Kemana pun kau pergi
berlakulah hati-hati."
Luhsantini anggukkan kepala
mendengar ucapan Lakasipo itu. Ketika kuda kaki enam ‘itu mulai melangkah
perempuan ini bertanya.
"Apa masih cukup tempat
bagiku di punggung kuda itu?"
Lakasipo tertawa lebar. Dia
melompat turun. Menolong Luhsantini naik ke atas kuda lalu melompat naik dan
duduk di belakang Luhsantini.
"Wah, kalau begini agar
yang dua orang itu senang, lebih baik kita mencari jalan jauh berputar. Biar
lama Hik… hik… hik!" Naga Kuning tertawa cekikikan.
"Sebenarnya bukan cuma
Lakasipo dan Luhsantini yang ingin dan merasa senang. Kau juga kan?!" kata
Wiro pula.
"Sssst… jangan bicara
keras-keras! Nanti Lakasipo mendengar! Kita bertiga nanti bisa masuk ke dalam
kocek bau pesing itu!" Naga Kuning tertawa geli.
"Bagaimana rasanya tadi
menempel di dada anak itu waktu jatuh dari atas walet…?" Setan Ngompol
bertanya.
"Kakek gendeng!"
ujar Naga Kuning pura-pura marah. Lalu menyambung ucapannya. "Kalau ada
kesempatan lagi aku mau-mau sajal Hik… hik… hik!"
TAMAT