Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
099 Wasiat Malaikat
SATU
Setan Ngompol pegang lengan
nenek di sebelahnya seraya berkata. “Aku melihat ada dinding batu di bawah
sana. Mari kita selidiki….” sinenek yang bukan lain adalah Sinto Gendeng guru
Pendekar 212 langsung mengomel.
“Aku kemari mencari Pedang
Naga Suci 212! Buat mengobati muridku yang sedang kapiran! Bukan untuk
menyelidiki segala macam dinding! Lagi pula apa kau lupa. Sepasang naga kuning
pasti berada di dalam telaga ini. Salah bergerak kita bisa jadi mangsa mereka!”
“Memang kita harus hati-hati,”
ikut bicara Panji. “Selain sepasang naga dan Makhluk Api Liang Neraka bukan
mustahil Kiai Gede Tapa Pamungkas memiliki makhluk peliharaan lain….”
Ketiga orang tersebut saat itu
berada dalam Telaga Gajahmungkur. Berkat ilmu yang diberikan Ratu Duyung mereka
bukan saja sanggup berenang sampai jauh ke dasar telaga tapi luar biasanya juga
mampu bernapas dan bicara dalam air tidak beda seolah mereka berada di daratan
terbuka. Seperti diketahui sebagai penguasa salah satu kawasan laut selatan
Ratu Duyung memiliki berbagai kesaktian antara lain hidup di dalam air. Sehabis
geger besar di Pangandaran dia pernah membawa Wiro ke dasar laut. Karenanya
tidak sulit baginya untuk menyirap memberi kekuatan pada Sinto Gendeng, Panji
dan Setan Ngompol hingga ketiga orang ini mampu berada dalam air. Malah ilmunya
jauh lebih hebat dari yang dimiliki oleh tokoh rimba persilatan lainnya yakni
Sika Sure Jelantik. Nenek satu ini telah menolong dan memberikan ilmu serupa
pada Puti Andini, namun hanya berkekuatan selama 100 hari.
“Sinto, jangan kau
menakut-nakuti aku. Nanti aku ngompol lagi!” berkata Setan Ngompol yang sudah
punya rasa tidak enak.
“Siapa menakuti tua bangka
sepertimu! Coba kau lihat ke kanan sebelah bawah!” teriak Sinto Gendeng.
Setan Ngompol lakukan apa yang
dikatakan si nenek. Panji juga ikut menoleh. Begitu Setan Ngompol memperhatikan
ke kanan ke arah dasar telaga pandangannya membentur satu sosok aneh bergelung
yang bukan lain adalah naga kembar betina peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang
sebelumnya sudah mereka lihat sewaktu masih berada di tepi telaga.
“Kau benar Sinto! Celaka kita
bertiga!” kata Setan Ngompol. Kakek ini langsung tekap bagian bawah perutnya.
Tapi karena takut dia tak bisa menahan kencingnya. Begitu air kencing si kakek
mencemari air telaga maka di dasar telaga terdengar suara menggemuruh. Air
telaga menggelombang.
Naga betina yang memang sudah
tahu kalau ada makhluk lain di dalam telaga, segera bergerak menggeliat.
Kepalanya dipentang. Dari mulutnya keluar desisan keras yang membuat air telaga
laksana ombak besar menghantam ke arah Sinto Gendeng, Setan Ngompol dan Panji
hingga ketiga orang ini terpental beberapa tombak. Naga betina ini siap
menyerbu. Tapi begitu sepasang matanya yang merah melihat cairan kuning mengambang
di hadapannya binatang ini keluarkan ringkikan aneh dan panjang menggidikkan
lalu bersurut menjauh.
“Ha… ha…! Naga itu takut
melihat air kencingku!” kata Setan Ngompol tertawa mengekeh sambil
menunjuk-nunjuk ke arah naga betina. Tapi suara tawanya serta merta lenyap dan
berubah menjadi jeritan kaget ketika dari arah kiri naga jantan yang sebelumnya
mendekam diam tiba-tiba membuka gelungan tubuhnya lalu meluncur ke arah tiga
orang itu.
Kini bukan cuma Setan Ngompol
yang terkencing-kencing saking kaget dan takut. Sinto Gendeng juga ikut basah
kainnya. Sedang Panji serasa terbang nyawanya. Cairan kuning bertebaran dimana-
mana. Seperti naga betina tadi, begitu melihat dan mencium air larangan yang
keluar dari tubuh Setan Ngompol dan Sinto Gendeng, naga jantan meringkik aneh
dan meliukkan tubuh lalu berenang menjauh.
Di dasar telaga untuk kesekian
kalinya muncul suara menggemuruh disertai goncangan keras. Untuk beberapa
lamanya air telaga menjadi keruh menghalangi pemandangan.
“Nek! Nenek Sinto Gendeng!”
Tiba-tiba ada teriakan
memanggil Sinto Gendeng.
“Edan! Siapa yang memanggil
diriku di tempat seperti ini! Apa telaga ini ada hantunya?!” ujar Sinto
Gendeng. Dia memandang berkeliling. Tapi air telaga masih keruh. Si nenek tak
bisa melihat dengan jelas.
“Suaranya seperti suara anak
kecil!” kata Setan Ngompol seraya celingak-celinguk ikut mencari.
“Jangan-jangan ada tuyul di tempat ini! Eh, apa ada tuyul berkeliaran dalam
air?!” Sinto Gendeng pentang dua matanya besar-besar.
“Nek! Saya di bawah sini!”
Setan Ngompol meniup ke bawah.
Sesaat air telaga yang keruh menjadi jernih. Begitu dia memandang ke bawah dia
melihat satu dinding tinggi berkeluk, laksana sebuah tonggak raksasa. Lalu pada
bagian bawah dinding batu itu dilihatnya satu sosok terpentang seolah menempel
ke dalam batu. Setan Ngompol pegang lengan Sinto Gendeng lalu menunjuk ke bawah
sana. “Kau lihat dinding batu itu? Lihat di sebelah bawahnya. Ada patung anak
kecil!”
Saat itu air telaga telah
jernih kembali. Penglihatan si nenek menjadi terang, “itu bukan patung! Itu
manusia!” ujar Sinto Gendeng. “Kalau patung mana mungkin bisa bicara!”
“Kalau manusia mengapa
menempel di dalam dinding batu! Tidak bergerak-gerak! Aku baru yakin itu
manusia kalau mendengar dia kentut!” Habis berkata begitu Setan Ngompol tertawa
mengekeh. Tidak terasa kembali air kencingnya keluar.
“Biar saya berenang ke bawah,”
berkata Panji.
“Ya, mari kita turun
menyelidiki!” kata Sinto Gendeng yang jadi penasaran. Lalu mendahului melesat
ke bawah. Sejarak lima tombak dari dasar telaga Sinto Gendeng keluarkan seruan
yang membuat Setan Ngompol kaget dan buru-buru tekap bagian bawah pusarnya.
“Astaga! Anak itu kiranya!”
“Heh, anak itu anak siapa?!”
tanya Setan Ngompol.
Sinto Gendeng tidak perdulikan
pertanyaan orang terus saja dia berenang menukik ke arah dasar dinding. Kali
ini hanya Panji yang terus mengikuti sedang Setan Ngompol berhenti berenang
karena dia lebih tertarik pada rangkaian tulisan yang tertera di dinding batu.
Di sebelah atas tertulis besar
kata-kata “Liang Lahat”. Namun belum sempat dia membaca seluruh tulisan yang
ada di dinding berbentuk setengah lingkaran itu tiba-tiba di bawah sana Sinto
Gendeng berteriak memanggil. Si kakek segera berenang ke dasar telaga.
“Kau lihat sendiri! Yang ada
dalam batu itu manusia atau patung!” kata Sinto Gendeng begitu Setan Ngompol
sampai di dekatnya. Si kakek memandang ke depan ke arah yang ditunjuk Sinto
Gendeng. “Walah! Memang manusia. Anak kecil. Matanya bisa kedap kedip tapi
tubuhnya tidak bisa bergerak. Melesak menempel ke dalam dinding batu!”
“Dia memang tak bisa bergerak
tapi bisa bicara! Aku akan menanyainya! Aku kenal betul anak ini!” kata Sinto
Gendeng pula. “Naga Kuning, aku tahu kawasan ini ada di bawah pengawasanmu.
Tapi coba katakan dulu permainan apa yang hendak kau perlihatkan padaku saat
ini!”
Anak kecil yang dipendam di
dasar Liang Lahat cibirkan mulutnya lalu menjawab.
“Ini bukan permainan. Saya
dihukum pendam ke dalam batu oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas.”
“Heh, apa orang tua itu masih
ada di sekitar sini?” bertanya Sinto Gendeng sambil melirik berkeliling.
“Dia sudah pergi. Tidak tahu
pergi ke mana!”
“Ceritakan apa yang terjadi
atas dirimu! Mengapa kau dihukum begini rupa?!”
“Nanti akan saya jelaskan Nek.
Tapi harap kau mau menolong membebaskan saya dari dalam batu ini.”
“Kalau kesalahanmu tidak besar
pasti hukumanmu tidak seberat ini! Apa yang kau lakukan bocah sial? Kau
mengintip sang Kiai lagi kencing atau bagaimana? Hik… hik… hik!”
“Sinto! Jangari membanyol! Aku
bisa kencing!” berkata Setan Ngompol.
“Tubuhnya tak bisa bergerak.
Mungkin dia ditotok Nek,” kata Panji pula.
“Hemmm…. Kalau benar kau
ditotok cepat beri tahu bagian tubuhmu sebelah mana yang ditotok agar aku bisa
menolong,” kata Sinto Gendeng.
“Saya tidak ditotok. Tapi
dipendam dalam batu! Saya bisa bergerak kalau bebas dari pendaman…” menerangkan
Naga Kuning.
“Kalau begitu biar aku tarik
tangan dan kakimu!” kata Sinto Gendeng pula. Lalu nenek ini cekal tangan kiri
dan pergelangan kaki kanan Naga Kuning. Sekali menarik pasti anak itu bisa
dikeluarkannya dari pendaman batu. Tapi sampai mukanya mengerenyit keriputan
dan rahangnya menggembung sosok Naga Kuning tak bisa dikeluarkan. Tubuh anak
ini menempel laksana jadi satu dengan dinding batu Liang Lahat.
Sinto Gendeng tak mau
mengalah. Dia kerahkan tenaga dalam. Tetap saja tubuh Naga Kuning tidak
bergerak barang sedikit pun! Malah tiba-tiba dari bagian tubuh bawah sebelah
belakang si nenek kelihatan gelembung-gelembung air banyak sekali disertai
suara merepet berkepanjangan. Lalu air laut di sekitar situ mendadak menjadi
bau:
“Sialan kau Sinto! Kau kentut
ya!” teriak Setan Ngompol seraya berenang menjauh sedang Panji tutup hidungnya
dengan belakang telapak tangan sambil pergunakan tangan kanan untuk mendorong
air di sekitarnya yang menjadi bau akibat kentut si nenek. Di dinding batu Naga
Kuning tertawa gelak-gelak. Sebaliknya Sinto Gendeng hanya menyengir.
“Baru kentut saja kalian sudah
kelabakan! Belum lagi menghadapi bahaya besar!” kata si nenek pula.
“Nek…!” Naga Kuning ikut
bersuara.
“Bocah sialan! Diam sajalah!
Dan kau tua bangka tukang ngompol jangan diam saja! Bantu aku mengeluarkan anak
ini dari dalam batu! Kau juga Panji! Jangan pura-pura jadi orang geblek! tarik
pinggang anak ini!”
“Menurut penglihatanku anak
ini tidak bisa dikeluarkan walau ada seratus kuda yang menarik tubuhnya!” kata
Setan Ngompol pula.
“Kau cuma bicara. Bantu saja.
Tarik pinggangnya!” bentak Sinto Gendeng.
“Nek….”
“Kau! Nak – Nek…. Nak – Nek!
Diam!” bentak Sinto Gendeng jengkel.
“Dengar dulu Nek…. Kakek ini
benar. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa mengeluarkan tubuh saya dari dalam
dinding batu Liang Akhirat ini….”
“Kalau begitu nasibmu
benar-benar sial! Kau akan mampus cepat atau lambat! Hik…hik… hik! Sudah! Aku
hanya menghabiskan waktu saja! Aku ada urusan lain di dasar telaga ini!”
“Saya tahu apa yang kau cari.
Saya tahu benda itu berada di mana. Jika kau mau menolong akan saya katakan
padamu!”
“Naga Kuning, kalau kau memang
tahu dimana beradanya benda yang dicari Nenek ini, mengapa kau tidak lekas
mengatakan?” berkata Panji. Pemuda ini yang mulai tahu sifat si nenek yang
gampang naik darah berusaha membujuk, Sinto Gendeng pelototkan mata.
“Hemmm…. Dulu aku menolongmu
waktu kau digebuk Sabai Nan Rancak. Aku tidak mengharapkan pamrih. Tapi hari
ini keadaan lain. Baik, aku akan menolongmu. Sudah kulakukan. Tapi tidak bisa.
Lalu apa lagi?!”
“Ada caranya Nek…” kata Naga
Kuning pula.
“Coba kau bilang!”
“Kiai Gede Tapa Pamungkas,
Telaga Gajahmungkur dan segala apa yang telah dibangun oleh sang Kiai di tempat
ini yaitu Liang Akhirat dan Liang Lahat termasuk Sepasang Naga Kembar dan
Makhluk Api Liang Lahat, mempunyai satu pantangan besar,
Tidak boleh terkena air
larangan. Semuanya bisa musnah!”
“Air larangan! Sebut saja air
kencing!” tukas Sinto Gendeng sambil menyeringai buruk.
“Tapi air kencing itu tidak
air kencing orang sembarangan Nek,” ujar Naga Kuning.
“Hanya mempan kalau air
kencingnya adalah air kencing orang yang telah berusia lebih dari tujuh puluh
tahun tujuh bulan dan tujuh hari…. Air kencing temanmu pemuda beranting-anting
ini tidak mempan dan tak bisa menolongku!”
“Ada-ada saja…!” ujar Setan
Ngompol lalu tertawa terbahak-bahak dan tentu saja sambil ngompol lagi.
Sementara Panji hanya bisa melongo mendengar kata-kata Naga Kuning itu.
“Kau bicara panjang lebar.
Tapi belum mengatakan bagaimana caranya kami menolongmu!” kata Sinto Gendeng.
“Atau mungkin tubuhmu bisa kukorek dengan tusuk konde yang ada di kepalaku!” Si
nenek langsung hendak mencabut dua buah tusuk konde perak di kepalanya.
“Saya tahu tusuk konde itu
sakti mandraguna. Bisa menembus batu gunung sebesar apapun. Tapi kesaktiannya
tidak mungkin bisa membebaskan diri saya. Hanya ada satu cara Nek. Tubuh saya
hanya bisa bebas jika diguyur dengan air larangan!”
*
* *
DUA
Sinto gendeng pelototkan mata
mendengar keterangan Naga Kuning itu. Dia berpaling pada Setan Ngompol yang
saat itu memandang melongo ke arahnya. Dua kakek nenek ini lalu tertawa
gelak-gelak sementara Panji diam-diam merasa tidak enak. Dia tidak melihat ada
hal yang lucu. Pemuda ini maklum kalau telaga itu diselimuti berbagai macam
keanehan yang terkadang mengandung keangkeran dan sekaligus bahaya maut. Karena
tertawa begitu rupa Setan Ngompol dan Sinto Gendeng sama-sama
terkencing-kencing. Akibatnya Telaga Gajahmungkur kembali tercemar air
larangan. Suara menggemuruh terdengar lagi di dasar telaga. Gelombang kembali
menggoncang. Sepasang naga meringkik panjang. Beberapa lamanya keadaan di
telaga diselimuti kegelapan. Begitu keadaan tenang dan air yang keruh jernih
kembali Sinto Gendeng berkata.
“Gila! Masakan air kencing
lebih sakti dari senjata mustika dan lebih hebat dari kekuatan tenaga dalam!”
“Nek, kau menyaksikan sendiri
setiap kau dan temanmu mengeluarkan air kencing keadaan di sini laksana mau kiamat.
Sepasang naga meringkik ketakutan. Telaga ini laksana mau terjungkir balik!”
“Nek, saya rasa anak ini tidak
bicara dusta…” berbisik Panji pada Sinto Gendeng.
Sinto Gendeng terdiam sejurus.
“Naga Kuning, kalau memang air kencing yang bisa membebaskan dirimu dari
pendaman batu itu baiklah. Mari kita lihat! Setan Ngompol cepat kau kencingi
bocah itu!”
“Eh, mengapa aku?!” seru Setan
Ngompol sambil memandang dengan sepasang matanya yang jereng mendelik pada si
nenek.
“Apa susahnya mengencingi anak
itu! Apalagi kau tukang ngompol. Punya banyak persediaan air larangan! Sudah!
Ayo kau kencingi dia! Hik… hik… hik!”
“Tunggu dulu!” Naga Kuning
tiba-tiba berseru. “Yang mempan dan sanggup membebaskan diri saya dari pendaman
batu Liang Lahat ini hanyalah air kencing perempuan yang usianya lebih dari
tujuh puluh tahun tujuh bulan tujuh hari! Lalu air larangan itu harus jatuh
langsung dari atas. Tidak boleh mengucur lewat tubuh atau pakaian….”
“Nah… nah… nah!” Setan Ngompol
berseru keras lalu tertawa gelak-gelak dan kencing lagi. “Sinto! Berarti hanya
kau yang bisa menolongnya!”
Nenek sakti dari puncak Gunung
Gede itu pen-tang wajah marah dan untuk beberapa lamanya dia tidak bisa berkata
apa-apa.
“Aku tidak mau!” kata Sinto
Gendeng akhirnya. “Kau cuma mau mengerjaiku!”
“Kalau tidak mau bocah itu
tidak akan memberi tahu di mana tersembunyinya benda yang kau cari itu.,.” kata
Setan Ngompol yang membuat Sinto Gendeng tambah marah, “Perduli setan! Dulu aku
sendiri yang menyembunyikan benda itu. Aku masih bisa mengira-ngira dimana
letaknya! Aku pasti bisa mendapatkannya tanpa pertolongan setan kecil ini!”
“Jangan tolol Sinto. Kejadian
itu puluhan tahun silam. Keadaan sudah berubah. Sampai tubuhmu bongkok lalu
lempang lalu bongkok lagi belum tentu kau bisa menemukan!” ujar Setan Ngompol.
“Bocah setan! Kau benar-benar
mengerjaiku!” kata Sinto Gendeng pada Naga Kuning dengan mata melotot.
“Sinto! Pertolongan itu mudah
sekali melakukannya! Kau hanya menempatkan dirimu di atas kepala anak itu. Lalu
menyingsingkan kain bututmu, menungging sedikit dan serrr…. Beres sudah!”.
“Sialan kau Setan Ngompol! Kau
bisa berkata begitu karena bukan kau yang melakukan!” Menggerendeng Sinto
Gendeng.
“Nek, untuk kebaikan mungkin
sekali ini kau terpaksa mengalah…” berkata Panji.
Sambil terus mengomel panjang
pendek si nenek berenang berputar-putar. Akhirnya dia naik ke atas. “Aku
peringatkan pada kalian semua!” kata Sinto Gendeng. “Setan Ngompol! Kau lekas
mendekam di belakang dinding batu sana! Jangan berani mengintip auratku! Kau juga
Panji! ikuti kakek itu ke belakang dinding batu!”
“Sinto…. Sinto! Aurat gadis
saja aku tidak doyan mengintip. Apalagi kayu hitam lapuk yang sudah; dimakan
rayap sepertimu!” Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Namun dia melakukan juga
apa yang dikatakan si nenek yaitu berenang ke balik dinding Liang Lahat sambil
tekap tubuhnya sebelah bawah dengan kedua tangan. Panji berenang mengikuti di
belakangnya. Sinto Gendeng kembali memaki panjang pendek lalu bergerak
mendekati dinding batu , tepat di atas kepala Naga Kuning.
“Bocah setan! Aku akan
menolongmu! Tapi awas! Jangan kau berani melirik atau mengintip ke atas! Kalau
itu kau lakukan jangan menyesal kedua matamu akan aku korek dan seumur hidup
kau akan terpendam dalam batu celaka itu!”
Naga Kuning mencibir.
“Nek, sepasang mata ini memang
sudah puluhan tahun tidak melihat aurat terlarang. Tapi kau tahu siapa diri
saya. Lagipula mana mungkin saya berlaku tidak hormat terhadap orang yang
hendak menolong?!” Seperti diketahui Naga Kuning alias Naga Cilik atau Naga
Kecil ini sebenarnya adalah seorang kakek berusia jauh lebih tua dari Sinto
Gendeng atau Setan Ngompol.
“Sudah! Kau bocah tua bangka
pandai bicara! Aku segera menolongmu! Tutup matamu!” Sinto Gendeng lalu
tempelkan tubuhnya sebelah belakang yang bungkuk ke dinding Liang Lahat tepat
di atas sosok Naga Kuning yang terpendam ke dalam dinding batu itu.
Naga Kuning segera pejamkan ke
dua matanya. Tapi setelah menunggu cukup lama tidak terjadi apa-apa.
“Nek, kau masih berada di atas
atau bagaimana?!” Naga Kuning bertanya.
“Diam! Aku masih di dekat
dinding di atas kepalamu! Tutup mulutmu! Kau hanya membuyarkan perhatianku!”
Terdengar bentakan Sinto Gendeng.
Naga Kuning tak berani berkata
apa-apa lagi. Tapi setelah kembali menunggu cukup lama dan tetap tak terjadi
apa-apa anak ini menjadi tidak sabaran. Kedua matanya dibuka.
”Nek….”
“Tutup mulutmu! Tutup matamu!
Atau kutusuk sampai kau buta!”
“Saya sudah menunggu lama!
Tapi kau tidak kencing-kencing juga!” jawab Naga Kuning. Walau sesaat tapi anak
ini masih sempat melihat si nenek di atasnya, menempel ke dinding batu
menungging.
Dia berusaha menahan diri agar
tidak tersenyum apalagi sampai tertawa cekikikan.
Dalam hati anak ini berkata,
“Seumur hidup baru sekali ini aku melihat nenek-nenek. Ternyata menyerupai ikan
pepes kering kejemur matahari!”
Dari sebelah atas terdengar
suara Sinto Gendeng.
“Aku sudah berusaha kencing.
Tapi tidak bisa-bisa! kencing sialan! Dipaksa tidak mau. Biasanya
sebentar-sebentar aku kencing!”
Di balik dinding batu Liang Lahat
Setan Ngompol dan Panji tertawa cekikikan mendengar ucapan Sinto Gendeng tadi.
Sebaliknya Sinto Gendeng keluarkan suara menggerendeng lalu mengedan-edan
sekuat tenaga agar bisa kencing hingga tubuhnya tambah bungkuk hampir terlipat.
Setelah berusaha setengah mati tiba-tiba beerrrrr…. Naga Kuning merasa ada air
hangat laksana mancur mengucur membasahi kepalanya. Air hangat dan bau pesing
ini turun ke muka terus membasahi tubuhnya. Si bocah seperti mau muntah ketika
ada air kencing membasahi mukanya mengalir ke bawah hidung, turun ke bibirnya
dan hampir tertelan!
Pada saat yang sama Naga
Kuning merasa dinding batu dimana dia terpendam menjadi panas. Tiba-tiba
didahului suara menggemuruh seolah datang dari dasar telaga yang membuat
dinding batu Liang Lahat itu bergoncang keras, tubuh Naga kuning terpental
keluar. Ada hawa aneh mendera keras membuat Sinto Gendeng tersapu sampai
beberapa tombak.
“Hai! Apa yang terjadi?!”
Terdengar suara Setan Ngompol berseru. Kakek ini dalam keadaan
terkencing-kencing keluar dari balik dinding batu bersama Panji. Wajah mereka
tampak pucat. Dilihatnya
Naga Kuning melayang dalam air
sedang Sinto Gendeng tengah berenang mendekati anak itu.
“Bocah setan! Kau sudah
kutolongi! Sekarang katakan di mana beradanya benda yang kucari!” Tahu-tahu si
nenek sudah berada di depan Naga Kuning yang saat itu tengah mengusap mukanya
berulangkali berusaha membersihkan sisa-sisa air kencing Sinto Gendeng yang
tadi ikut, membasahi mukanya.
“Nek, terlebih dulu saya
mengucapkan terima kasih. Kalau kau tidak mengencingi diri saya akan terpendam
selamanya di Liang Lahat itu…. Sebelum saya memberi keterangan saya mau
bertanya dulu. Mana kakek yang dulu ikut mengobati lengan saya yang patah? Dan
siapa kakek satu ini? Apa pacarmu yang baru?!”
Panji tersentak mendengar
ucapan si bocah yang begitu berani. Setan Ngompol sesaat melongo lalu tertawa
gelak-gelak dan kencing lagi. Sebaliknya Sinto Gendeng langsung naik darah.
“Bocah kurang ajar! Naga
Kuning! Kau minta aku gebuk?!”
“Harap maafkan, bukan maksud
saya mau kurang ajar. Cuma mau menanya saja, itu tanda saya suka padamu dan
juga pada orang tua berjuluk Kakek Segala Tahu itu…”
“Bocah sialan! Kalau kau
memang benar-benar anak kecil boleh saja kau bilang suka padaku! Apa kau tidak
sadar sudah berapa umurmu?!
“Ah, maafkan saya. Saya memang
tidak tahu diri!”
kata Naga Kuning pula
tersipu-sipu lalu ketika si nenek tidak melihat ke arahnya dia mencibirkan
bibirnya.
Setan Ngompol mendekati Sinto
Gendeng dan bertanya. “Menurutku anak ini paling bantar baru berusia dua belas
tahun. Aku tidak mengerti pertanyaanmu tadi. Memangnya bocah itu berapa
usianya?”
“Kau tak perlu mengerti.
Dibikin mengerti kau tak bakalan mengerti. Yang kau mengerti cuma beser alias
ngompol!” jawab Sinto Gendeng membentak saking kesalnya. Dibentak begitu rupa
dalam air Setan Ngompol melayang mundur dan unjukkan muka sedih. Dalam keadaan
seperti itu tetap saja dia kembali ngompol.
“Apa kataku! Sedih saja kau
masih ngompol!” kata si nenek. Dia berpaling pada Naga Kuning. “Kau tunggu apa
lagi! Ayo beri tahu di mana beradanya benda yang aku cari itu!”
“Nek, di dasar telaga ini
tersimpan berbagai benda rahasia. Belasan orang coba mencarinya. Mereka bukan
saja tidak berjodoh dengan benda-benda itu tetapi mereka hanya mencari kematian.
Tolong kau beri tahu benda apa yang tengah kau cari.”
“Bocah geblek!” maki Sinto
Gendeng. “Kau mau menipuku atau bagaimana?! Tadi kau bilang tahu apa yang aku
cari. Sekarang malah bertanya!”
“Maafkan saya Nek. Soalnya
seperti saya bilang tadi ada beberapa benda sangat berharga dicari orang di
Telaga Gajahmungkur ini. Saya takut memberi keterangan keliru….”
Setelah menggerendeng lebih
dulu baru si nenek memberi tahu.
“Aku mencari sebilah pedang
sakti. Pedang Naga Suci 212. Senjata ini tidak bersarung. Bentuknya bergulung
seperti ikat pinggang. Puluhan tahun lalu pedang itu aku sembunyikan di satu
tempat di dasar telaga ini. Sekarang senjata itu harus segera kutemukan untuk
mengobati muridku!”
“Maksudmu mengobati Pendekar
212 Wiro Sableng?” tanya Naga Kuning.
“Betul!” jawab Sinto Gendeng.
Lalu tidak sabaran dia berkata. “Ayo lekas kau terangkan dimana pedang itu
beradanya!”
“Naga Kuning,” tiba-tiba Panji
berkata. “Aku punya seorang sahabat, gadis bernama Puti Andini. Berpakaian
serba merah…. Katanya dia ke sini mau mencari sesuatu. Sebuah batu….”
“Setan alas!” teriak Sinto
Gendeng. “Gadis hantu siapa yang kau tanya! Jangan berani bicara memotong
ucapan orang! Kau tahu aku tidak suka kau ikut ke tempat ini! Kalau bukan
gara-gara Kakek Segala Tahu sialan itu jangan harap….”
“Sinto! Jangan membentak
terus-terusan. Aku jadi kaget-kagetan dan kencing terus!” Setan Ngompol
berkata.
Tadinya si nenek juga hendak
mendamprat kakek satu ini. Tapi dia akhirnya berpaling pada Naga Kuning dan
berkata. “Kau masih belum mau bicara mengatakan di mana pedang sakti itu?!”
Naga Kuning menghela napas
dalam. Wajahnya tampak murung.
“Nek, sebenarnya kau datang
terlambat….”
Mata Sinto Gendeng membeliak.
Wajah tuanya membersitkan seribu kerutan. Setan Ngompol yang merasa tegang
mendengar percakapan kedua prang itu diam-diam kembali terkencing di celana.
“Bocah setan! Apa kau bilang?!
Aku terlambat? Memangnya pedang sakti itu sudah diambil orang lain? Siapa?!”
*
* *
TIGA
Senjata itu masih ada dalam
telaga ini, Nek. Masih dalam keadaan tergulung. Tapi berada di perut naga
kembar yang betina itu….” Menerangkan Naga Kuning seraya menunjuk pada naga
kuning betina yang mendekam di kejauhan. Sinto Gendeng menatap sejurus ke arah
naga betina. “Aku tidak percaya. Bagaimana pedang itu bisa berada dalam perut
naga. Mana ada ular doyan pedang!”
“Kau betul Sinto,” menimpali
Setan Ngompol. “Bocah ini hendak menipu kita!”
“Nenek Sinto, kau tahu siapa
diri saya ini. Mana mungkin hendak berlaku culas padamu. Dua kali dengan ini
kau menolong diri saya. Walau cuma seorang tua bangka bertampang bocah buruk
tapi saya bukan bangsa manusia yang tidak mengerti budi orang. Saya sudah
memberi tahu apa yang kau ingin tahu. Walau budimu belum dapat saya balas namun
saya terpaksa meninggalkanmu. Air larangan sudah terlalu banyak di tempat ini.
Bukan mustahil sebentar lagi telaga ini akan amblas musnah. Lebih baik kalian
cepat-cepat pergi dari sini….”
“Sebelum aku menemukan pedang
itu aku tidak akan keluar dari Telaga Gajahmungkur ini!” jawab Sinto Gendeng.
“Dan kau bocah jelek. Jangan buru-buru ngambek! Apa yang barusan kau bilang
tidak masuk akal….”
“Nek, kau hidup sudah puluhan
tahun. Kawanmu yang kau panggil dengan nama Setan Ngompol ini pasti juga sudah
lebih delapan puluh tahun malang melintang di rimba persilatan. Saya jauh lebih
tua dari kalian. Apa di usia kalian yang begini tua masih tidak menyadari kalau
hidup di dunia ini banyak yang tidak masuk akal? Bahwa untuk menghadapi semua
yang tidak masuk akal itu manusia harus punya seribu akal? Satu contoh, kita
manusia-manusia biasa bisa berada di dalam air begini dalam, apa masuk akal?!
Kiai Gede Tapa Pamungkas makhluk setengah manusia setengah roh. Sepasang naga
kembar bukan ular besar biasa. Di luar langit masih ada langit lain. Di luar akal
masih ada akal lain! Siapa berani melupakan kekuasaan Gusti Allah?!”
Walau jadi terdiam mendengar
ucapan Naga Kuning tapi tak urung Sinto Gendeng tetap saja unjukkan wajah
cemberut.
“Nek,” kata Naga Kuning lagi.
“Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Pedang sakti bergulung itu ditelan
oleh naga betina: Dan bukan cuma Pedang Naga Suci 212. Ada seorang gadis cantik
bernama Puti Andini ikut ditelan naga dan kini mendekam di dalam perut binatang
jejadian itu!”
Sinto Gendeng keluarkan seruan
tercekat dan pandangi Naga Kuning dengan mata melotot sementara Setan Ngompol
lag Magi terkencing karena kaget mendengar keterangan si bocah yang
mengejutkan, sementara itu Panji menjadi pucat pasi. “Puti Andini…. Puti….”
Pemuda ini menyebut nama si gadis berulang kali.
“Kalau keteranganmu betul, apa
yang harus aku lakukan untuk mendapatkan pedang yang ada dalam perut naga
itu….”
“Juga menolong gadis yang kau
bilang cantik itu!” ujar Setan Ngompol. Lalu dia berkata pada Sinto Gendeng.
“Turut ceritamu bukankah gadis itu yang kau katakan sebagai cucu Sukat Tandika,
bekas kekasihmu di masa muda?”
Kembali Sinto Gendeng unjukkan
muka cemberut. “Urusan utama ku mendapatkan Pedang Naga Suci 212. Soal cucu Tua
Gila itu kalau memang bisa kutolong akan kulakukan. Tapi jika orang ditelan
ular menurutmu apa masih bisa hidup?”
“Ah, menyedihkan sekali kalau
gadis yang katanya cantik itu sampai menemui ajal ditelan ular…” kata Setan
Ngompol pula. “Naga Kuning, kau pasti tahu caranya bagaimana mendapatkan pedang
dan menyelamatkan gadis itu.” . “Naga Kuning, kau harus menolong kami!” ujar
Panji.
“Saya tidak tahu bagaimana
caranya. Mungkin kita terpaksa menunggu….”
“Kami tidak punya waktu lama.
Selain hanya bisa bertahan sampai tengah malam nanti, juga muridku perlu cepat
disembuhkan. Satu peristiwa besar yang menebar nyawa dan darah agaknya akan
terjadi di Gajahmungkur ini…. Kami harus bergerak cepat sebelum orang-orang
Lembah Akhirat menimbulkan bencana lebih besar….”
“Naga itu takut dengan air
kencing!” berkata Panji. “Bagaimana kalau kalian berdua mengguyur-nya dengan
air larangan itu. Begitu dia mampus kita bedol perutnya!”
“Kau betul Panji!” ujar Sinto
Gendeng pertama kali menyetujui ucapan si pemuda.
“Setan Ngompol! Ayo lekas
siapkan kencingmu yang banyak. Kita serbu ular naga betina itu!” kata Sinto
Gendeng.
“Nenek Sinto dan Kakek Setan
Ngompol, naga itu bukan binatang biasa. Air larangan memang bisa membunuhnya.
Namun kalau dia mati setahuku tubuhnya akan lenyap berubah menjadi pasir
kuning. Rohnya melesat ke angkasa. Aku khawatir bersama rohnya dia akan membawa
serta Pedang Naga Suci 212 dan gadis bernama Puti Andini itu…”
Mendengar keterangan Naga
Kuning itu tiga orang yang ada di hadapan Naga Kuning menjadi bingung.
ini urusan gila! Pasti ada
cara untuk mendapatkan senjata itu. Apapun akan kulakukan untuk menolong
muridku….”
“Seandainya pedang itu sudah
kau dapat dan Pendekar 212 berhasil disembuhkan, lalu apa yang akan kau lakukan
dengan Pedang Naga Suci 212 itu Nek?”
Pertanyaan Naga Kuning yang
tiba-tiba itu membuat Sinto Gendeng sesaat terdiam. Tapi tiba-tiba dia
membentak marah yang membuat Setan Ngompol tersembur air kencingnya.
“Bocah setan! Aku sekarang
tahu apa yang ada di benakmu! Kau sengaja tidak mau menolongku. Karena kau
khawatir aku akan mengambil dan menguasai pedang itu!”
“Saya memang ditugaskan oleh
Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk menjaga segala sesuatu yang ada di Telaga
Gajahmungkur. Setelah sang Kiai meninggalkan telaga tanggung jawab lebih besar
berada di pundak saya….”
“Kau bocah tolol, tua bangka
geblek! Kiai Gede Tapa Pamungkas telah menghukummu, mengapa kau masih
perdulikan orang yang sudah tidak ada itu?!” Menukas Sinto Gendeng.
‘Nek, Kiai Gede menghukum saya
karena memang saya bersalah. Walau dia tidak ada lagi di tempat ini tapi beban
tugas yang diberikannya tetap menjadi tanggung jawab saya. Saya hanya ingin
mengatakan. Jika pedang itu kau pergunakan sepenuhnya untuk menyembuhkan
muridmu, siapa yang mau mencegah. Tetapi, setelah muridmu sembuh kau masih
ingin menguasai senjata mustika sakti tersebut maka itu berarti menyalahi
maksud dan tujuan, menyalahi adat dan aturan….”
“Bocah pintar ngomong!”
semprot Sinto Gendeng. “Katamu dalam hidup ini manusia harus memakai seribu
akal! Apa salahnya kalau aku mengikuti kata-katamu itu dan memiliki Pedang Naga
Suci 212?! Dulu pun senjata itu sudah berada di tanganku…. Daripada jatuh ke
tangan orang jahat bukankah lebih baik aku yang menguasainya?! Perduli setan
dengan segala adat dan aturan. Maksud dan tujuan bisa berubah sesuai keadaan!
Itu baru namanya hidup memakai akal!”
Naga Kuning tersenyum.
“Manusia memang harus memakai seribu akal dalam menghadapi tantangan hidup.
Tapi akal yang mana? Ada akal yang sepenuhnya datang dari otak atau alam
pikiran. Ada akal yang memadu otak dengan perasaan hati. Lalu ada akal yang
mempergunakan otak tapi juga dipengaruhi oleh dorongan yang datang dari bawah
pusar. Saya tidak tahu kau memakai akal yang mana Nek…. Jika maksudmu
mendapatkan Pedang Naga Suci bukan semata karena hendak menolong muridmu, saya
khawatir kau akan menghadapi urusan besar. Karena Kiai telah menceritakan
riwayat pedang itu. Senjata mustika itu hanya boleh dimiliki oleh seseorang.
Terserah orang itu nanti mau memberikan kepada siapa. Saya rasa kau sudah tahu
hal itu Nek, jadi tak perlu saya beberkan.”
Dari wajah si nenek Naga
Kuning maklum kalau Sinto Gendeng masih tidak puas.
Maka dia menunjuk ke atas ke
arah dinding batu Liang Lahat. “Nek, sebelum kita meneruskan bicara, ada
baiknya kau membaca dulu apa yang tertera di dinding batu itu….”
“Perlu apa aku mengikuti
nasihatmu! Membaca segala tulisan bobrok di atas batu sialan!” bentak Sinto
Gendeng.
Naga Kuning tidak perduli. Dia
berenang ke atas. Setan Ngompol ikut berenang ke atas karena sebelumnya memang
dia sudah membaca sedikit rangkaian tulisan di atas batu itu. Sesampainya di
atas dan melihat Sinto Gendeng masih tetap berada di bawah sana, Naga Kuning
berseru.
“Nek, jika kau tak mau membaca
sendiri tulisan di batu ini, biaraku bacakan dan kau silahkan pasang kuping
mendengarkan!”
Lalu Naga Kuning membaca
keras-keras rangkaian tulisan yang ada di batu.
LIANG LAHAT
Sesungguhnya insan hidup
terbuat dari tanah
Hidupnya terbatas dari tanah
ke tanah
Namun mengapa manusia menjadi
lupa
Bersikap sombong membusung
dada
Bersikap angkuh besar kepala
insan hidup tak ada arti di
hadapan Sang Penguasa
Tapi mengapa insan berani
menantang Sang Pencipta
Berani tapi putih, lembut tapi
jantan, perkasa tapi jujur
Bukankah itu lebih baik
daripada berani tapi hitam, lembut tapi culas, perkasa tapi serakah! Liang
lahat!
Di sini tersimpan saksi bisu
dari keserakahan, saksi buta dari keculasan, saksi tuli dari ketidakjujuran
Bisakah kekuatan insan memecah
kebisuan, menyalangkan kebutaan hati, mendengar desah ketidakadilan
Bisakah tongkat si buta mengetuk
membuka pintu kebenaran
Yang kuasa dan Sang Pencipta
adalah tempat bertanya, tempat meminta
Adakah manusia bertanya dengan
segala kebersihan hati? Adakah insan meminta dengan kejujuran jiwa….
Naga kuning belum sempat
mengakhiri membaca bait-bait tulisan yang ada di atas
batu. Masih tertinggal satu
bait lagi. Namun Sinto Gendeng yang merasa semua yang dibacakan si bocah
sengaja untuk menyindir dirinya, kembali menjadi marah dan membentak.
“Naga Kuning! Kau boleh
membaca tulisan itu sampai seribu kali. Mulai dari pagi sampai pagi lagi tujuh
hari tujuh malam! Jangan harap aku akan terpengaruh! Kalau saja kau. bukan
orang yang dipercayakan Kiai Gede Tapa Pamungkas guruku, sudah dari taditadi
kau kulabrak! Sekarang dengar ucapanku! Apa yang akan kulakukan nanti dengan
Pedang Naga Suci 212 adalah urusanku sendiri! Jika kau coba menghalangi aku
terpaksa akan melupakan segala macam budi….”
“Kalau memang begitu Nek,
urusan lebih baik diselesaikan sekarang sebelum semuanya menjadi kapiran! Saya
akan mendahuluinya mendapatkan senjata sakti itu! Kalaupun kau berhasil
mendapatkan pertama kali, saya bersumpah untuk merampasnya!”
Merasa ditantang marahlah
Sinto Gendeng. Dia tidak perduli lagi siapa adanya Naga Kuning. Melihat
ketegangan yang terjadi Setan Ngompol sudah ter-kencing-kencing. Dia berusaha
mencegah terjadinya bentrokan namun saat itu didahului satu pekikan keras nenek
sakti dari Gunung Gede itu melesat ke arah si anak.
“Bocah Setan! Aku tidak
meminta kau membalas segala budi pertolonganku! Tapi adalah tolol dan kurang
ajar kalau kau mencoba menghalangiku!”
Tangan kanan si nenek bergerak
ke arah kepala. Setan Ngompol maklum apa yang dilakukan si nenek. Cepat-cepat
dia tekap perutnya sebelah bawah. Panji yang juga sudah bisa memperkirakan apa
yang hendak diperbuat Sinto Gendeng segera berseru. “Nek! Jangan serang anak
itu! Kita memerlukan dia!” Yang dikhawatirkan pemuda ini adalah kalau dia
sampai kehilangan jejak Puti Andini.
Namun Sinto Gendeng yang sudah
khilaf karena nekad dan marah gerakkan tangannya. Dua tusuk konde perak laksana
sepasang anak panah lepas dari busurnya melesat berkilauan di dalam air. Tusuk
konde pertama mencari sasaran tepat di mata kiri si bocah, satunya lagi
mengarah dada kiri tepat di jurusan jantung. Jelas Sinto Gendeng bertekad
menghabisi anak ini!
Lima tusuk konde yang selalu
menancap di kepala Sinto Gendeng bukanlah tusuk konde biasa karena merupakan
senjata yang sangat berbahaya dan mengandung racun mematikan. Kini dua dari
lima tusuk konde itu dipakai untuk menyerang dan membunuh Naga Kuning.
Naga Kuning yang mendapat
serangan itu seolah terkesiap dan tidak percaya kalau si nenek benar-benar
hendak menurunkan tangan jahat terhadapnya. Dia tidak sempat bergerak mengelak
atau pun menangkis.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba
berkiblat satu sinar putih menyilaukan yang sesaat menerangi seantero dasar
telaga. Air telaga yang dingin berubah menjadi panas. Tusuk konde perak yang
melesat ke arah mata kiri Naga Kuning terpental ke atas sewaktu ujung tusuk
konde hanya tinggal setengah jengkal saja dari sasaran!
Seseorang telah turun tangan
menolong anak itu. Namun tusuk konde kedua yang mengarah jantung tidak mungkin
dihindari. Ujung tusuk konde yang lancip menghantam telak dada kiri Naga
Kuning. Tapi begitu menyentuh dada si anak senjata itu tidak mampu melukai
apalagi menancap tembus dan menusuk sampai ke jantung. Seolah menghantam satu
permukaan licin dan atos tusuk konde itu terpental ke samping.
“Kurang ajar! Bocah itu
ternyata memang benar telah memiliki ilmu lumba-lumba putih yang membuat
tubuhnya licin seperti kulit ikan!” mengomel Sinto Gendeng. “Tapi siapa yang
barusan menolong menangkis tusuk konde yang mengarah matanya. Padahal aku tahu
betul kedua mata anak ini adalah dua titik terlemah segala kesaktian yang dimilikinya!”
Sinto Gendeng memandang
berkeliling penuh marah. Sepasang matanya mendelik berapi-api. Rahangnya
menggembung dan mukanya yang keriput kelam membesi. Dalam marahnya dia melihat
dua sosok tubuh melayang dalam air. Begitu mengenali kedua orang itu maka
meledaklah dampratannya.
*
* *
EMPAT
Sebelum kita melanjutkan apa
yang terjadi di dasar Telaga Gajahmungkur mari kita ikuti dulu apa yang
berlangsung di salah satu tepian telaga. Setelah gurunya Eyang Sinto Gendeng
dan Seta n Ngompol masuk ke dalam telaga bersama Panji alias Datuk Pangeran
Rajo Mudo dan perginya Kakek Segala Tahu, di tepi telaga hanya tinggal Pendekar
212 Wiro Sableng berdua dengan Ratu Duyung. Untuk beberapa lama kedua orang ini
hanya berdiam diri. Sesekali Wiro melirik. Gadis di sebelahnya dilihatnya
memandang ke arah telaga terus-terusan. Murid Sinto Gendeng ini mendehem
beberapa kali lalu membuka pembicaraan dengan bertanya.
“Menurutmu apakah guruku akan
berhasil mendapatkan Pedang Naga Suci 212 itu?”
“Kau khawatir mereka gagal dan
kau tidak bisa ditolong?” Ratu Duyung malah balik bertanya.
“Soal diriku sudah nasib jadi
begini. Tak ada yang perlu disesalkan. Yang aku khawatirkan adalah mendadak
terjadi satu hal besar di tempat ini. Dan aku tidak bisa berbuat apa. Apalagi
Kapak Naga Geni 212 milikku entah di mana beradanya. Guruku pasti marah besar
kalau….” Wiro tiba-tiba ingat pada cermin bulat yang dimiliki Ratu Duyung.
“Mana cermin saktimu. Mungkin
kau bisa melihat melalui cermin itu di mana beradanya Kapak Naga Geni 212.
Ratu Duyung segera keluarkan
cermin saktinya. Dia segera memusatkan perhatian dan pandangan mata ke
permukaan cermin itu. Sesaat kemudian tampak cermin bergetar. Wiro mendekat dan
coba melihat. Tapi dia tidak melihat apa-apa dalam cermin itu.
“Kau melihat sesuatu Ratu..,?”
bertanya Wiro.
“Cermin bergetar….” kata Ratu
Duyung perlahan. , Wiro memperhatikan. Cermin bulat itu memang tampak bergetar
dalam pegangan gadis sakti bermata biru. “Ada daya tolak dari satu kekuatan
sakti. Aku hanya melihat sesuatu berwarna kuning. Bergerak sangat cepat. Tidak
jelas apakah sosok manusia. Sulit diterka lelaki atau perempuan….”
“Maksudmu kalau itu adalah
sosok manusia maka dia mengenakan pakaian serba kuning?”
“Mungkin…. Aku tak berani
memastikan. Bayangan kuning lenyap dari dalam cermin. Aku tak bisa memantau
lebih jauh….”
Wiro termenung sambil
garuk-garuk kepala. “Be-rat dugaanku. Bayangan kuning ya rig kau lihat dalam
cermin adalah sosok orang berpakaian dan bercadar kuning. Waktu terjadi
pertempuran di teluk dia muncul menolong. Jangan-jangan senjata itu ada
padanya…."
“Aku menduga demikian. Kau tak
usah khawatir. Senjatamu berada di tempat yang aman….”
“Aku tetap khawatir. Soalnya
siapa bisa menduga sifat manusia…. Di luar bisa saja baik. Di dalam mungkin penuh
maksud tertentu….”
Ratu Duyung terdiam. Pandangan
matanya masih terus ke arah telaga. Sejak peristiwa di Puri Pelebur Kutuk dulu
dia selalu memendam rasa bersalah tak berkeputusan. Walau sebelumnya masalah
itu sempat mereka bicarakan dan Wiro telah menganggap selesai namun di lubuk
hati gadis ini selalu ada perasaan penyesalan yang sulit dilupakannya. Karena
itu setiap Wiro mengatakan sesuatu dia seolah merasa bahwa ucapan pemuda itu
seolah merupakan sindiran yang ada hubungannya dengan peristiwa lama. Melihat
sang Ratu berhening diri, diam-diam Wiro menduga mungkin gadis itu tersinggung
dengan ucapannya tadi. Maka sambil memegang jari-jari tangan kiri Ratu Duyung,
Wiro berkata. “Ratu, jangan kau merasa tersinggung. Segala ucapanku polos
belaka. Tak ada sangkut pautnya dengan diri kita berdua atau apapun yang pernah
terjadi antara kita berdua….”
“Aku tahu…” jawab Ratu Duyung
dengan suara setengah berbisik. “Tapi sulit bagiku melenyapkan rasa bersalah
dari lubuk hati ini. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana perasaanku terhadap diriku
sendiri dan terhadap dirimu. Aku….”
Ratu Duyung tersendat.
Ucapannya terhenti. Sepasang matanya yang biru tampak basah. Wiro meremas
jari-jari tangan gadis itu. Malah dengan tangannya yang lain dia merangkul bahu
sang Ratu seraya berbisik.
“Ratu, jangan menangis….”
“Kalau tidak menangis rasanya
hati ini belum lega Wiro. Dada ini serasa sesak berkepanjangan. Tekanan batin
mengikuti kemana pun aku pergi….”
“Kau gadis gagah. Kau mampu
menyingkirkan semua itu….”
“Aku manusia biasa. Manusia
biasa yang jalan hidupnya ditakdirkan lain….”
“Jangan menyalahi dirimu.
Jangan menyalahi siapa-siapa. Kau adalah kau dan aku senang serta bangga
melihat kau apa adanya….”
“Betul ucapanmu itu Wiro?”
tanya Ratu Duyung seraya menatap dalam-dalam ke mata Pendekar 212. Dua pasang
mata sama beradu pandang. Dua hati berpadu rasa. Dua jantung berdegup penuh
cinta.
Wiro tersenyum dan anggukkan
kepala.
Entah siapa yang bergerak
lebih dulu tahu-tahu dua insan itu telah tenggelam dalam pelukan mesra.
“Wiro…” bisik Ratu Duyung
sambil membelai kuduk pemuda itu.
“Hemmm….” Wiro bergumam.
“Seringkali rasa bahagia
seperti yang kualami saat ini menipu diriku sendiri. Membuat aku lupa siapa
diriku sebenarnya’….”
“Bukankah kukatakan tadi kau
adalah kau. Dan aku bangga melihat kau apa adanya…” kata Pendekar 212 balas
membelai punggung Ratu Duyung dengan usapan jarijari tangan yang lembut. Ratu
Duyung pejamkan kedua matanya. Wajahnya disandarkan di dada kiri Wiro. “Aku
suka mendengar kata-katamu itu Wiro. Tapi aku sadar hatiku tak bisa ditipu oleh
jalan pikiran. Sebaiknya pikiranku tidak pula dapat ditipu oleh suara hati.
Sesuatu i di lubuk hati ini
mendekam sejak lama, tak kuasa aku utarakan. Bahkan mungkin terpaksa harus
ku-tanam lebih dalam dan*lebih jauh”. Lebih dalam dari pusat bumi. Lebih jauh
dari ujung dunia. Biarlah hanya getaran nya saja yang tetap hidup dalam alam-i
ku yang serba aneh. Alamku yang tak mungkin bersatu dengan alammu….”
Wiro mendekap pipi Ratu Duyung
dengan dua tangannya lalu mengangkat kepala gadis itu. Se-pasang mata biru Ratu
Duyung tampak berkaca-kaca. Walau basah oleh air mata tapi di balik segala
kedukaan yang ada masih terbayang cahaya bahagia dan mesra. Sudah sejak lama
gadis ini membayangkan betapa indah dan mesranya jika berada dalam pelukan
Wiro. Semua ini menjadi kenyataan. Mereka bermesraan. Namun sampai berapa lama
kemesraan ini akan didapat dan dirasakannya?
“Tuhan…. Jangan kau pupus dan
sirnakan kebahagiaan ini dari tanganku….” Suara yang muncul di lubuk hati Ratu
Duyung lebih merupakan bayangan ketakutan daripada permintaan. Lehernya yang
putih jenjang bergerak-gerak pertanda dia berusaha menahan gelora hatinya. Wiro
merunduk. Dengan permukaan bibirnya ditelusurinya leher dan tengkuk yang
ditumbuhi rambut-rambut halus itu. Ratu Duyung merasakan kehangatan yang tak
pernah dialaminya sebelumnya. Sesaat terbayang kembali olehnya peristiwa di
Purr Pelebur Kutuk. Ketika mereka berdua-dua berada di atas ketiduran tanpa
sehelai benang pun menutupi aurat.
Ratu Duyung mendesah halus.
Tubuhnya menggeliat. Pelukannya tiba-tiba mengencang seolah Wiro tak akan
dilepaskannya untuk selama-lamanya. Wiro merasakan dada basah keringatan
berdegup kencang di wajahnya yang memanas. Hampir dia terlupa dan hendak
membenamkan wajahnya di belahan dada gadis itu tiba-tiba Wiro ingat,
perlahan-lahan ditariknya kepalanya. Dilihatnya wajah Ratu Duyung memerah.
Sepasang matanya terpejam, bibirnya yang merah terbuka merenggang dan cuping
hidungnya bergerak-gerak.
Wiro ingin sekali mengecup
bibir yang bagus dan basah itu. Namun pemuda ini masih dapat menahan diri.
Dalam gelora yang membakar darahnya dia masih ingat untuk tidak berbuat lebih
jauh. Jangan sampai dorongan hatinya mempengaruhi jalan pikiran.
“Ratu,” bisik Wiro di antara
desah napasnya yang panas clan menderu. “Tadi kau mengatakan alammu masih
berbeda dengan alamku. Padahal setelah peristiwa di Puri itu, bukankah kutukan
yang menimpa dirimu telah sirna? Kau bukan lagi makhluk setengah manusia
setengah ikan? Kau benar-benar telah menjadi seorang anak manusia, seorang
gadis dengan segala kecantikan, keanggunan dan kesucian yang ada.”
Sepasang mata Ratu Duyung yang
basah masih terpejam. Dua tangannya masih merangkul lembut punggung dan
belakang kepala pemuda itu. “Kau betul. Diriku dan juga diri semua anak buahku
telah bebas dari kutukan yang menyengsarakan itu. Namun dalam kebahagiaan itu
aku juga menyadari. Sekian lama hidup di dasar samudera dalam alam yang berbeda
telah menjadikan diriku bersatu men-darah daging dengan alam yang serba aneh itu.
Membuat diriku asing di tengah alammu walau wujud diriku tidak beda dengan
manusia lainnya. Aku merasa diri ini tidak punya tempat dalam dunia ini….”
“Itu hanya perasaanmu saja
Ratu. Perlahan-lahan tapi pasti kau akan terbiasa. Kau kelak akan merasakan
betapa bahagianya hidup di dunia ini. Dengan segala masalahnya baik suka maupun
duka…”
Ratu Duyung gelengkan
kepalanya. Air mata jatuh berderai dari celah-celah barisan bulu matanya yang
panjang dan lentik. Mulutnya terbuka namun tidak ada ucapan yang sanggup
dikeluarkannya. Hanya suara hatinya yang berkata dan tak mungkin terdengar oleh
Wiro. “Kau tidak tahu Wiro, bukan hidup di alammu itu yang menakutkan diriku.
Tapi hidup tanpa dirimu di sampingku yang membuat aku seolah merasa mati dalam
hidup ini.
Aku boleh tahu besarnya kasih
sayang kecintaanku padamu. Tapi aku tidak tahu apakah kau memiliki dan berapa
besarnya kasih sayang dan rasa cintamu terhadapku. Yang aku tahu adalah aku tak
bakal dapat memiliki dirimu. Ini seperti sudah menjadi takdir. Kau tak akan
pernah menjadi milikku. Hati ini tahu, perasaan ini-mengerti, ada seorang iain
yang kau kasihi dan kau cintai dengan seputih hatimu. Wiro, setinggi gunung
kasih sayangku, sedalam lautan cintaku padamu tapi aku sadar bahwa aku hanya
akan meratap dalam kebahagiaanmu bersama gadis lain itu….”
Ratu Duyung berusaha menahan
sengguk tangis hingga bahunya terguncangguncang. Wiro peluk gadis ini
erat-erat. Terasa kehangatan air mata Ratu Duyung menyentuh dadanya.
“Ratu, kau harus berani
menghadapi kenyataan. Hidup yang sebenarnya hidup adalah hidup di alam ini,
bukan di alammu. Kita akan bersama-sama. Kita akan berjalan berdampingan dalam
suka maupun susah….”
Ratu Duyung angkat kepalanya.
Sepasang matanya yang biru dibuka. Menatap lembut penuh mesra. Senyum menyeruak
di bibirnya yang bagus. “Semua yang kau ucapkan itu pancaran suara hatimu yang
tulus. Tapi Wiro. Tidak mungkin kita bersamasama, berjalan berdampingan dalam
suka maupun susah. Karena aku tahu kau bukan milikku. Ada gadis lain yang lebih
baik dan cocok untuk dirimu….”
Wiro hendak menggaruk
kepalanya mendengar kata-kata Ratu Duyung itu tapi si gadis tersenyum dan
pegangi tangan sang pendekar.
“Kau tahu hal itu Wiro. Kau
tak akan mau menipu dirimu sendiri. Yang aku pinta saat ini hanyalah izinkan
diri ini sedikit lebih lama berada dalam keadaan seperti ini, bermesra
berdua-dua dengan dirimu. Karena mungkin ini kesempatanku yang pertama dan yang
terakhir….”
“Eh, memangnya kau mau ke
mana? Mau melakukan apa?” tanya Wiro.
“Kau bukan milikku tapi milik
gadis lain. Cintamu bukan milikku tapi milik seorang lain. Kau harus mengakui
itu. Aku tak perlu menyebut siapa adanya gadis itu….”
“Aku….” Wiro gelengkan kepala
dan usap pipi sang Ratu dengan jari-jari tangan kanannya. “Kalau kau sudah
tahu…. Aku akan berterus-terang padamu. Aku memang pernah menyukai dan
mencintai seorang gadis….”
Ratu Duyung pejamkan sepasang
matanya yang biru. Jauh di lubuk hatinya seolah ada sembilu menyayat perih.
Bibirnya bergetar.
“Tapi aku hanya bertepuk
sebelah tangan,” terdengar kembali suara Wiro. “Aku senang orang tak suka. Aku
sayang orang tak cinta….”
Ratu Duyung perlahan-lahan
buka kedua matanya. Gadis ini berusaha menguatkan hatinya untuk bisa berucap.
“Wiro, cinta tak selalu
seperti apa yang kita lihat. Bagi seorang gadis cinta yang ada dalam hatinya
terhadap seorang pemuda tidak ubahnya seperti gunung es yang kelihatan hanya
secuil di permukaan samudera. Bagian cinta yang sangat besar disimpan dan
disembunyikan di bawah permukaan laut. Di dalam laut hati sanubarinya.
Dipeliharanya baik-baik….”
“Ah, aku tidak mengerti…” ujar
Wiro. Kembali dia hendak menggaruk kepala tapi lagi-lagi tangannya dipegang
oleh Ratu Duyung.
“Gila! Kepalaku mau pecah
rasanya karena gatal! Aku tak bisa menggaruk! Lepaskan peganganmu Ratu.”
Ratu Duyung tersenyum. Sambil
terus pegangi tangan Wiro dia berkata.
“Sebagian dari keindahan cinta
justru adalah pada ketidakmengertian itu Wiro…,”
Perlahan-lahan Ratu Duyung
angsurkan wajahnya mendekati wajah Pendekar 212. Murid Eyang Sinto Gendeng ini
jadi kelagapan ketika bibir gadis itu menyentuh permukaan bibirnya. Tapi
kegelapan si pemuda hanya sebentar. Dilain saat dua insan ini tenggelam dalam
kemesraan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.
“Wiro…” suara Ratu Duyung
bergumam diantara desau napas. Wajahnya disusupkan ke pundak si pemuda dan
sepasang matanya melirik ke arah timur, ke balik serumpunan semak belukar.
“Sudah pergi…. Dia sudah pergi…. Pasti hatinya akan tersayat perih menyaksikan
aku dan pemuda yang dicintainya dalam keadaan begini rupa. Apakah dia bisa
mengerti, apakah gadis itu mau memahami. Bahwa hanya ini kebahagiaan hidup yang
bisa kudapatkan dan tak lebih dari ini. Aku hanya meminta secuil kebahagiaan
ini. Kalau ini satu dosa semoga kau mau memaafkan dan Tuhan mau mengampuni.
Sahabat, aku tidak akan menodai diriku dan diri pemuda yang kau kasihi. Kau
akan mendapatkan nya sebagai seorang kekasih yang bersih. Aku berdoa untuk
kebahagiaan kalian berdua….”
“Ratu, aku mendengar seperti
kau bicara sendirian…” kata Wiro seraya mendekap wajah Ratu Duyung dengan dua
tangannya,
“Wiro, kita sudah terlalu lama
di tempat ini. Kau tahu kawasan ini kurang amah. Orang-orang Lembah Akhirat
bisa muncul setiap saat. Lagipula aku punya firasat ada sesuatu bakal terjadi
di dasar telaga. Sebaiknya kita menyusul orang-orang itu masuk ke dalam
telaga….”
“Tapi Eyang Sinto Gendeng
meminta kita berjaga-jaga di sini….”
“Jika sesuatu akan terjadi
pasti akan terjadi walau kita berjaga-jaga bagaimanapun. Mari….” Ratu Duyung
memegang lengan Pendekar 212, siap mengajaknya terjun ke dalam air.
“Ratu, kau tahu aku tak
mungkin masuk ke dalam air sepertimu, Kecuali kau mendekap dan menyirap diriku
seperti yang kau lakukan terhadap orang-orang itu.”
“Hemmm….” Sang Ratu meragu
sejenak. Kalau dilakukannya apa yang dipinta Wiro yakni memberikan ilmu
kemampuan masuk ke dalam telaga dengan cara mendekap, mungkin lain yang akan
terjadi. Mungkin salah seorang dari mereka akan lupa diri.
“Guruku ada di dalam telaga.
Dia pasti marah besar kalau diketahuinya aku ikut masuk. Padahal dia sudah
berpesan agar kita tetap berada di sini untuk berjaga-jaga.”
“Aku tahu sifat gurumu.
Gampang marah gampang pula baiknya.”
“Tapi Ratu mungkin bahaya
lebih besar akan menghadang diriku di dalam telaga sana. Walau aku masih mengenakan
jubah sakti Kencono Geni dan juga memiliki ilmu tidur yang diberikan Si Raja
Penidur tapi aku khawatir….”
“Celaka bisa terjadi di
mana-mana. Kalau dihadang, malapetaka malah tak datang. Kalau lengah celaka
malah jatuh menimpa.”
Wiro terdiam mendengar ucapan
Ratu Duyung itu.
“Apa yang kau pikirkan Wiro?
Kau takut mati tenggelam dalam air? ingat kejadian setelah geger besar di
Pangandaran? Kau dan aku naik kereta kuda. La lu kita sama-sama masuk ke dalam
samudera….”
“Ah!” Wiro gerakkan tangan
kanannya yang tidak lagi dipegang Ratu Duyung lalu menggaruk kepala
sepuas-puasnya. Dia tidak menolak lagi sewaktu Ratu Duyung menarik tangannya
untuk kedua kali dan mencebur masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur.
*
* *
LIMA
Ketika Wiro dan Ratu Duyung
bermesraan di tepi telaga seseorang berkelebat ke balik serumpunan semak
belukar di sudut telaga tak berapa jauh dari dua muda-mudi itu berada. Orang
ini mengenakan pakaian biru, berambut panjang pirang. Bau tubuh dan pakaiannya-
yang harum menebar ke mana-mana. Bau harum inilah yang membuat Ratu buyung
menyadari bahwa ada seseorang bersembunyi tak jauh dari tempat itu. Wiro
sendiri karena telah hilang kesaktiannya tidak mampu mencium bau harum
tersebut. Dari bau wangi tersebut Ratu Duyung sudah bisa memperkirakan siapa
adanya orang tersebut.
Sambil terus bercakap-cakap
dengan Wiro, Ratu Duyung menyelidik, Memandang berkeliling akhirnya dia
mengetahui bahwa orang itu bersembunyi di baiik serumpunan semak belukar. Rasa
berdosa tiba-tiba saja muncul dalam hati Ratu Duyung. Tapi sebagai manusia
biasa yang tidak luput dari pengaruh perasaan, apalagi perasaan seorang
perempuan yang selalu mempunyai rasa cemburu dan rasa ingin memiliki seseorang,
maka Ratu Duyung tidak memberitahukan kehadiran orang itu pada Wiro. Dia juga
tak mau memutus percakapan dan buru-buru pergi dari tempat itu. Apa salahnya
kalau saat itu dia boleh mereguk sedikit kebahagiaan, berdua-dua bermesraan
dengan orang kepada siapa dia berhutang budi dan kepada siapa cinta kasihnya
tercurah.
Lain halnya dengan orang yang
bersembunyi di balik semak-semak yang bukan lain Bidadari Angin Timur adanya.
Gad is ini merasa sekujur tubuhnya bergeletar laksana dipanggang menyaksikan
Wiro bermesraan dengan Ratu Duyung. Jari-jari tangannya terkepal dan dua matanya
menyorotkan sinar marah penuh cemburu! Kalau dia tidak berpikir panjang saat
itu juga mau dia melompat keluar dan melabrak kedua orang itu. Tetapi begitu
pikiran jernih memasuki kepalanya maka perlahan-lahan gadis ini bisa menguasai
dirinya. Malah diam-diam dia menyadari mungkin semua itu terjadi karena
kesalahannya sendiri. Selama ini dia mengambil sikap curiga dan selalu menjauhi
Wiro. Apa yang harus disesalinya kalau kini pemuda itu jatuh ke tangan gadis
lain? Namun bagaimanapun dia ingin berpikir jernih, rasa mementingkan diri
sendiri tidak mungkin dipupusnya sama sekali.
“Ratu Duyung, ternyata kau
adalah gadis gampangan. Dan kau Wiro, kau tak lebih dari seorang pemuda mata
keranjang yang sanggup bercinta dengan siapa saja dan tega melukai hati setiap
gadis…”
Bidadari Angin timur bersimpuh
di tanah. Wajahnya ditutup dengan sepasang tangannya yang berjari-jari halus.
“Apa yang harus aku lakukan? Menangis? Berteriak marah! Atau lebih baik kupukul
sendiri kepala ini hingga pecah?! Aku mencarinya ke teluk. Dari kabar yang
kudapat katanya dia dalam bahaya. Ternyata kini dia berada di tepi telaga.
Bercinta dengan Ratu murahan itu!”
Bidadari Angin Timur turunkan
kedua tangannya. Wajahnya menjadi sangat merah. Dua matanya laksana kobaran
api. Cepat-cepat kepalanya dipalingkan ke jurusan lain. Tak sanggup dia
menyaksikan bagaimana Ratu Duyung dan Wiro Sableng saling berkecupan.
“Mesum…. Hidup ini ternyata
penuh kemesuman!” jerit Bidadari Angin Timur.
Tinjunya kiri kanan
dipukul-pukulkannya ke paha. Tiba-tiba dia mendengar suara sesuatu masuk ke
dalam telaga. Ketika dia menoleh Ratu Duyung dan Pendekar 212 Wiro Sableng tak
ada lagi di tempat itu.
“Mereka masuk ke dalam telaga.
Aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan. Jangan-jangan Ratu itu memiliki
istana di dalam telaga. Tempat mereka berdua bisa berbuat apa saja. Aku harus
masuk ke dalam telaga! Harus! Tapi tak mungkin…. Walau aku bisa berenang tak
mungkin mampu bertahan lama dalam telaga itu!” Kembali si gadis dibuncah
perasaan marah dan cemburu. Dia melangkah mondar-mandir. Dia berpikir keras apa
yang harus dilakukannya agar kedua orang itu segera keluar dari dalam telaga.
“Aku tak mungkin membakar telaga ini! Aku juga tak punya racun untuk ditebar
hingga mereka sesak napas dan terpaksa keluar dari dalam air. Apa yang harus
kulakukan! Apa!!!”
Selagi dia melangkah
mondar-mandir di tepi telaga seperti itu tiba-tiba saja sesosok tubuh berjubah
hitam tegak di hadapannya. Dia melihat sepasang tangan berkuku panjang. Lalu
dia mendengar suara tawa cekikikan.
“Gadis cantik berlesung pipit!
Kita bertemu lagi! Hik… hik… hik!”
Bidadari Angin Timur angkat
kepalanya. Dia melihat satu wajah bundar putih penuh keriput. Rambut putih yang
dulu dilihatnya digulung di atas kepala kini tergerai lepas riapriapan. Orang ini
semakin jauh lebih tua daripada ketika pertama kali ditemuinya.
“Nenek Sika Sure jelantik…”
ujar Bidadari Angin Timur.
Si nenek tertawa panjang. “Aku
senang kau masih ingat namaku. Padahal aku tak pernah tahu siapa namamu! Hik..;
hik… hik!”
“Nenek Sika aku gembira bisa
bertemu lagi denganmu. Apa yang membawamu ke Telaga Gajahmungkur ini?” bertanya
si gadis.
“Justru aku yang ingin
bertanya. Apa yang membuatmu hingga berada di tempat ini! Hik… hik… hik! Dari
cahaya matamu, dari rona air mukamu aku menduga keras kau berada dalam
gelombang perasaan hati yang sulit kau kendalikan! Betul kan…?! Hik… hik… hik!”
Bidadari Angin Timur tidak
menjawab. Gadis ini cuma menatap dengan tersenyum pada si nenek.
“Ah, kau tersenyum. Sepasang
lesung pipit itu masih ada di kedua pipimu. Anakku, kau ingat pertemuan kita
pertama kali, dulu. Aku menemuimu, dalam keadaan menangis berurai air mata.
Sekarang pun kulihat sepasang matamu yang bagus basah oleh air mata. Wajahmu
menunjukkan adanya pukulan hati yang sangat berat. Sinar matamu seolah
menyembunyikan satu dendam kesumat. Anakku, apakah ini menyangkut persoalan
dulu juga? Masih ada hubungannya dengan pemuda yang kau bilang bernama Wiro
Sableng bergelar Pendekar 212 itu? (Mengenal pertemuan pertama Sika Sure
jelantik dengan Bidadari Angin Timur harap lihat Episode Asmara Darah Tua Gila)
Bidadari Angin Timur
mengangguk perlahan. “Kau tentu masih ingat Nek, waktu itu kukatakan terus
terang padamu ada satu ganjalan yang membuat aku tak mau berterus terang pada
pemuda itu bahwa aku mencintainya. Aku mengambil sikap rnenjauhinya. Aku tak
mau menjadi bahan permainan cinta murahnya. Karena aku tahu banyak gadis cantik
mengelilinginya. Semua menaruh hati pada pemuda itu. Dan barusan saja aku
melihat dia bercinta bermesra dengan salah satu dari gadis itu. Di depan
mataku. Mereka berpegangan tangan, saling berangkulan. Ma lah aku saksikan
sendiri mereka….” Si gadis tidak sanggup lanjutkan ucapannya. Kepalanya
digelengkan beberapa kali. Air mata menggelinding jatuh ke pipinya yang merah.
Sika Sure Jelantik usap kepala
Bidadari Angin Timur. Seperti diketahui nenek satu ini adalah seorang berhati
keras dan kejam. Namun bagaimanapun juga dia adalah seorang perempuan yang ikut
merasa pilu melihat kesedihan yang diderita perempuan iain. Apalagi terhadap
Bidadari Angin Timur yang sudah dianggapnya sebagai cucu atau anak sendiri.
“Anakku, seperti yang aku
bilang dulu. Kau menanam pohon beracun dalam tubuhmu sendiri. Semakin jauh hari
berlalu semakin tinggi pohon itu mencuat ke kepalamu dan semakin dalam akarnya
menghunjam ke kakimu. Kau harus segera mengambil keputusan. Menemui pemuda itu
dan mengatakan terus terang bahwa kau mencintainya….”
“Aku tak sanggup melakukan itu
Nek. Tidak ada seorang gadis pun yang mau berbuat begitu bagaimanapun besar
cintanya terhadap seorang pemuda…”
“Kalau begitu kau mungkin
terpaksa harus meninggalkannya….”
“Itu sama saja dengan bunuh
diri!”
Sika Sure Jelantik tertawa
panjang. “Anakku, itulah kehebatan cinta! Bisa membunuh orang secara
pelan-pelan bahkan bisa secara cepat! Nasib diriku sebagai contohnya. Sampai
saat ini tanganku sudah gatal untuk membunuh bekas kekasihku yang serong dimasa
muda! Tapi belum juga kesampaian!”
“Nek, kalau seandainya kau
bertemu dengan dia dan dia meminta maaf dengan setulus hati, bagaimana
jawabmu?!”
“Pertanyaan gila sekali!”
tukas Sika Sure Jelantik. “Dia memang pernah menunjukkan sikap menyesal dan
minta maaf. Tapi apakah harga diriku ini hanya sebatas penyesalan dan
permintaan maaf? Aku sudah keburu berkubang dalam rasa malu setinggi langit
sedalam lautan! Lalu suatu hari dia datang cengar-cengir bicara segala macam
penyesalan dan minta maaf. Tidak anakku! Sika Sure Jelantik bukan perempuan
berhati loyang. Tapi juga tidak memiliki hati emas! Dan sebagai perempuan hatimu
dengan hatiku mungkin berbeda. Buktinya kau hanya diam saja ketika menyaksikan
mereka bercinta di tepi telaga di depan mata kepalamu!”
“Nek, apa betul kadangkala
cinta itu adalah pengorbanan…?”
Sika Sure Jelantik tertawa
gelak-gelak. “Pengorbanan adalah istilah orang yang berada dalam keadaan
dikalahkan dan lemah tak bisa berbuat apa. Apakah kau merasa orang yang
dikalahkan dalam merebut hati pemuda pujaanmu itu anakku?”
Paras Bidadari Angin Timur
kelihatan bersemu merah.
“Apakah kau tak bisa lagi mengalihkan
cintamu pada pemuda lain?”
“Dia adalah pemuda pertama dan
yang terakhir yang aku cintai Nek. Hati dan cinta kasihku hanya untuk dia
seorang walau mungkin aku tidak akan mendapatkannya….”
“Lalu kau mau menjadi perawan
tua yang patah hati! Sungguh tolol perbuatanmu anakku! Hidup hanya satu kali,
jangan disia-siakan….”
“Tapi bagaimana dengan dirimu
sendiri Nek? Setelah kekasihmu mengkhianati dirimu, apa kau sanggup berpaling
pada lelaki lain?”
“Itu pertanyaan gila! Aku tak
mau menjawab!” kata Sika Sure Jelantik seraya bantingkan kaki kanannya hingga
tepian telaga itu terasa bergetar. “Sekarang aku mau tanya. Apa yang membuatmu
berada di Telaga Gajahmungkur ini. Kau boleh punya seribu alasan cinta! Tapi
pasti ada satu hal lain….”
“Tidak ada alasan lain Nek.
Setelah aku menyirap kabar pemuda itu bersama serombongan para tokoh silat
tengah bergerak ke telaga maka aku segera ke sini. Aku memang menemuinya. Tapi
sedang….”
“Sekarang di maha beradanya
pemuda itu?” tanya si nenek.
“Aku tidak tahu Nek. Mungkin
sekali mereka masuk ke dalam telaga….” Menerangkan Bidadari Angin Timur.
Terkejutlah si nenek mendengar
hal itu. “Dengar, aku pernah bertemu dan menolong seorang gadis tak dikenal.
Tololnya aku tidak tahu namanya. Tapi ciri-cirinya berkulit putih, rambut
panjang hitam dan pakaian merah. Menurut ceritanya dia tengah mencari sebuah
batu hitam di Telaga Gajahmungkur ini. Batu itu berkhasiat untuk menyembuhkan
ibunya yang sedang sakit. Pertanyaanku, apakah kau melihat gadis dengan
ciri-ciri yang aku katakan itu?”
Bidadari Angin Timur
menggeleng.
“Apa warna pakaian gadis yang
bercinta dengan Pendekar 212?” tanya si nenek menyelidik lebih jauh.
“Hitam….”
Sika Sure jelantik mendongak
ke langit lalu menatap tajam ke arah telaga. “Setahuku Pendekar 212 tidak
memiliki ilmu menyelam dalam air. Jika dia berani masuk ke dalam telaga berarti
ada seseorang yang membekalinya ilmu. Hanya ada satu orang memiliki kepandaian
seperti itu. Ratu Duyung. Tapi sang Ratu tak pernah mengenakan pakaian hitam….”
“Gadis berpakaian hitam
bersama Pendekar 212 itu memang Ratu Duyung Nek,” menjelaskan Bidadari Angin
Timur.
“Hah?!” Si nenek tersentak
kaget. “Kenapa tidak kau beri tahu dari tadi! Ratu Duyung dan Pendekar 212 ada
dalam telaga! Beberapa tokoh silat katamu sebelumnya telah menuju ke sini tapi
tak kelihatan mata hidungnya! Jangan-jangan mereka sudah berkumpul di dasar
telaga sana! Pasti ada sesuatu! Anakku, ayo kau lekas ikut bersamaku ke dalam
telaga!”
“Aku tak bisa Nek….”
“Aku akan berikan ilmu
menyelam seratus hari padamu!”
“Bukan itu masalahnya Nek. Aku
hanya tak ingin masuk ke dalam telaga. Kuharap kau bisa memahami…”
“Hemmm…. Baik. Aku bisa
memahami. Jika bertemu dengan Pendekar 212 biar aku memberi pelajaran padanya
sampai nyawanya lepas dari badan!”
“Kuharap kau tidak melakukan
hal itu Nek,” memohon Bidadari Angin Timur.
Si nenek tersenyum. “Kau
benar-benar mencintai pemuda itu. Tapi aku tak bisa menjamin apa aku akan
membunuhnya atau tidak….” Tanpa menunggu jawaban Bidadari Angin Timur si nenek
segera saja melompat masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur.
*
* *
ENAM
Seperti diceritakan dalam
Episode sebelumnya (Rahasia Cinta Tua Gila) Puti Andini telah ditelan oleh ular
naga betina. Sebelumnya gadis ini menyaksikan bagaimana naga betina itu menyedot
dan menelan batu putih sebesar dua kepalan tangan yang ditemukannya di dasar
telaga.
Ketika tubuhnya disedot dan
siap ditelan oleh naga betina itu Puti Andini berusaha selamatkan diri dengan
coba menghantamkan satu: pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Pukulan diarahkan tepat ke arah tanduk hijau yang mencuat di atas kepala naga
betina. Namun belum sempat dia menghantam ular naga tiba-tiba ulurkan lidahnya
yang bercabang, langsung melibat tubuh si gadis. Dalam keadaan tak berdaya, sekali
lidah menyentak maka tubuh Puti Andini pun lenyap ke dalam mulut binatang itu.
Si gadis menjerit keras. Namun jeritannya tidak terdengar karena tubuhnya sudah
berada dalam mulut ular naga. Dilanda rasa takut yang amat sangat gadis ini
akhirnya pingsan. Tubuhnya melayang masuk ke dalam tenggorokan, terus amblas ke
perut ular naga.
Puti Andini, cucu Sabai Nan
Rancak dan Tua Gila ini tidak tahu berapa lama dia berada dalam keadaan
pingsan. Ketika dia siuman pertama sekali yang didengarnya adalah suara hentakan
keras duk… duk… duk… tak berkeputusan. Tubuhnya bergetar dan tersentak-sentak
setiap suara itu terdengar. Lalu ada hawa sangat dingin menyelimuti sekujur
tubuhnya. Demikian dinginnya hingga dia merasa kulit dan daging tubuhnya seolah
disayat-sayat. Dalam keadaan seperti itu dia merasa dadanya sesak dan jalan
napasnya seperti tertutup.
Perlahan-lahan Puti Andini
buka kedua matanya. Dia dapatkan dirinya terbaring di dalam satu lorong redup
berlantai tertutup cairan sangat licin berwarna kemerahan. Ada bau tidak enak
menyengat hidungnya. Gadis ini coba berdiri. Tapi untuk sesaat dia hanya mampu
duduk. Saat itulah dia merasa ada cairan hangat di bawah hidungnya, sekitar
pipi sementara sepasang matanya terpaksa setengah dipejamkan karena hawa dingin
aneh serta bau menusuk di tempat itu membuat matanya menjadi perih. Dirabanya
bagian bawah hidungnya. Jari-jari tangannya menyentuh cairan hangat. Ketika
diperhatikannya ternyata darah.
“Ada darah keluar dari
hidungku….”
Put! Andini mengusap pipinya
kiri kanan. “Darah lagi…. Yang ini keluar dari dua liang telinga…. Aku…. Suara
duk… duk… duk yang seperti hantaman palu itu….” Dia membutuhkan waktu beberapa
saat sebelum menyadari bahwa saat itu dia berada dalam tubuh ular naga betina.
Dihunjam oleh rasa takut gadis ini cepat tegak berdiri. Kakinya terpeleset oleh
licinnya lantai yang dipijaknya yang bukan lain adalah perut besar ular naga
betina! Dia mencoba bangkit lagi sambil tangannya menggapai sesuatu di atas
kepalanya untuk tempat bergayut. Saat itu terdengar suara menggemuruh. Si gadis
terpelanting dan terpekik ketika tiba-tiba lorong perut ujar di mana dia berada
saat itu berputar kencang dan membantingkan tubuhnya hingga jungkir balik lalu
meluncur sejauh beberapa tombak. Sesaat kemudian Puti Andini dapatkan dirinya
berada dalam cairan busuk setinggi betis.
“Aku meluncur. Ke arah mana…?
Mungkin ke bagian ekor atau ke arah kepala? Napasku sesak.,.. Mataku perih….
Kepalaku seperti mau pecah! Agak-nya aku akan menemui ajal dalam perut binatang
ini! Aku tidak mau mati di sini. Aku harus melakukan sesuatu….”
Anehnya pada saat-saat seperti
itu tiba-tiba muncul bayangan wajah seorang gagah yang telinga kanannya memakai
anting-anting. “Panji…” desis Puti Andini. “Pemuda itu…. Di mana dia sekarang?
Dia tak bisa menolongku. Tak satu orang pun bisa menolongku…. Kalau saja dulu
aku tidak meninggalkannya mungkin tidak begini nasibku. Kakek Tua Gila! Ini
semua gara-gara petunjuk gilamu! Panji…. Ah, mengapa di saat seperti ini aku
ingin sekali melihat pemuda itu….”
Megap-megap Puti Andini
bersandar ke dinding di belakangnya yang adalah bagian dari perut besar * ular
naga. Dalam keadaan seperti itu dia melihat isi perut ular yang baginya tampak
aneh dan sangat menyeramkan. Tiba-tiba untuk kedua kalinya muncul suara menggemuruh.
Perut ular bergerak dan membanting tubuh si gadis. Cairan busuk mengguyur muka
dan tubuhnya membuat gadis ini berteriak keras lalu semburkan muntah campur
darah. Sadarlah Puti Andini kalau ada bagian tubuhnya di sebelah dalam yang
telah terluka.
“Aku tidak mau mati! Aku harus
melakukan sesuatu! Aku harus keluar dari tempat celaka ini!” Dia memandang
berkeliling. ‘Aku harus merangkak ke arah mulut ular. Itu satusatunya tempat
untuk lolos. Tapi yang mana bagian kepala, mana bagian ekor? Atau kuhantam saja
isi perut binatang ini. Tubuhnya di sebelah dalam pasti tidak seatos sebelah
luar! Makhluk aneh. Punya isi perut tapi tidak bertulang!”
Puti Andini seka darah yang
terus mengucur dari hidungnya. Tangan kanannya diangkat. Tenaga dalam dialirkan
penuh. Dia menghantam ke arah benda-benda aneh yang merupakan bagian dari isi
perut ular naga.
“Wusss!”
Pukulan sakti si gadis menderu
dan keluarkan suara menggema dahsyat. Bendabenda aneh di depan sana kelihatan
hancur berantakan. Lalu ada cairan merah mengguyur laksana curahan hujan. Saat
yang sama terdengar suara ringkikan dahsyat. Tubuh ular naga betina tersentak
ke atas, lalu berputar bergulung-gulung. Puti Andini terpental kian kemari.
Ketika dia jatuh ke bawah dia dapatkan dirinya terapung dalam cairan merah
setinggi pinggang. Sementara itu suara duk… duk… duk menghantam telinga dan
kepalanya semakin keras.
“Darah… di mana-mana darah….”
Suara Puti Andini menggigil bukan saja karena hawa dingin yang mencucuk tapi
juga oleh rasa takut amat sangat. Walau tenaganya seolah terkuras dia berusaha
bergerak, merancah dalam cairan merah setinggi pinggang. Dia tidak tahu apakah
saat itu dia bergerak ke arah kepala atau ke bagian ekor ular. Sementara dari
bagian-bagian tubuh dalam ular naga yang hancur masih terus mengucur cairan
darah yang makin lama membuat sekujur tubuh putih Andini basah kuyup. Sementara
itu genangan darah di bagian bawah perut semakin tinggi. Di satu sudut Puti
Andini tersandar benarbenar kehabisan tenaga.
“Tamat riwayatku sekarang…”
pikir si gadis. Mulutnya terbuka megap-megap.
Dadanya tambah sesak. Dia
mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Tapi yang masuk ke rongga
pernapasannya hanya bau busuk sedang dari lobang hidungnya tak terasa lagi ada
hembusan napas. Mulutnya terbuka megap-megap. Lututnya lung la i goyah. Sesaat
tubuhnya akan terperosok jatuh ke dalam genangan darah ular tiba-tiba jauh di
sebelah kirinya dari balik tubuh ular yang melingkar tampak seberkas cahaya
terang.
“Mulut ular…. Pasti itu mulut
ular….” Didorong oleh harapan untuk menyelamatkan diri dan keluar hidup-hidup
dari dalam perut ular itu Puti Andini . mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang
masih ada. Perlahan-lahan dia bergerak menyusuri dinding perut ular ke arah
berkas cahaya yang muncul di sebelah sana.
Hanya satu tombak lagi dia
akan mencapai tikungan perut ular dari arah mana membersitnya cahaya terang
tiba-tiba ular naga betina itu kembali memutar tubuh sambil meringkik keras.
Untuk kesekian kalinya keadaan di dalam perut ular itu seperti kiamat bagi Puti
Andini. Tubuhnya terpental kian kemari. Menghantam dinding perut dan terhempas
ke dalam genangan darah. Untung baginya ketika dia mencoba merangkak, genangan
darah di lekukan tubuh ular di mana dia berada hanya setinggi mata kaki. Dengan
mata perih setengah terpejam gadis ini berpaling ke kanan; Dia hanya melihat
kegelapan. Dia alihkan pandangan ke kiri. Harapan nya kembali muncul ketika
dari arah sebelah sana kelihatan lagi berkas cahaya terang tadi.
Karena hanya mampu merangkak,
itulah yang dilakukan Puti Andini. Dalam keadaan susah payah dan nyawa seolah
sudah di depan mata akhirnya anak Andam Suri ini berhasil mencapai bagian perut
ular yang terang. Terduduk di atas perut ular yang tergenang darah matanya
terpacak ke depan. Dalam rongga besar perut ular itu dia melihat sebuah benda
putih melayang-layang seolah tanpa bobot. Benda inilah yang mengeluarkan cahaya
menerangi sebagian perut ular.
“Astaga, benda putih yang
melayang itu…. Bukankah itu batu putih aneh yang aku temui di dasar telaga.
Diperebutkan oleh dua ekor naga lalu akhirnya ditelan oleh naga betina?”
Puti Andini merangkak maju.
mendekati batu putih yang melayang-layang. Ketika dirasakannya cukup dekat
dengan sisa tenaga yang ada dia membuat lompatan. Coba menangkap batu itu. Tapi
luput. Puti Andini tersungkur. Saat itu terdengar suara menggemuruh. Perut ular
bergoncang keras. Puti Andini terbanting ke kiri, terhempas menghantam dinding
perut ular. Megap-megap dia terkapar di atas genangan darah. Tapi sepasang
matanya berusaha memperhatikan dan mengikuti gerakan batu putih yang
melayang-layang. Dia beringsut berusaha mendekat kembali. Ternyata batu putih
itu melayang ke jurusannya. Si gadis tak menyia-nyiakan kesempatan. Untuk kedua
kalinya dia melompat. Luput lagi! Padahal telapak tangan kirinya sempat
bergeseran dengan batu itu.
Namun saat itu tiba-tiba si
gadis merasakan satu keanehan terjadi dengan dirinya. Waktu tangan kirinya
bergeseran dengan batu putih dia merasa ada satu hawa aneh yang membuat
kekuatannya pulih sedikit. Walau dadanya masih terasa sesak dan darah masih
meleleh dari telinga serta hidungnya namun jalan napasnya terasa lebih longgar.
Dengan kekuatan yang ada kini gadis itu mampu berdiri. Pandangannya tak lepas
dari batu putih yang masih melayang-layang dalam perut ular. Tiba-tiba dia
melihat dua buah benda menempel di perut ular di hadapannya, di belakang batu
putih. Pikiran si gadis jadi terbagi dua. Satu pada batu putih yang ingin
ditangkapnya, kedua pada dua benda yang menempel di perut ular naga.
Benda pertama sebuah kitab dalam
keadaan terkembang dan koyak.
“Aneh, perut ular ini dingin
dan lembab. Semua tempat basah oleh darah. Tapi mengapa kitab itu tetap kering.
Kitab apa gerangan adanya…?”
Puti Andini alihkan
pandangannya pada benda kedua. Benda ini adalah sebuah batu empat persegi
panjang seukuran genggaman manusia. Salah satu ujungnya berbentuk bulat dengan
dua tonjolan di kiri kanan menyerupai kepala manusia lengkap dengan telinga
tapi tanpa wajah.
Batu ini memiliki tujuh warna
seperti tujuh warna pelangi yang mengingatkan Puti Andini pada payung tujuh
warna nya serta gelar yang disandangnya yaitu Dewi Payung Tujuh. “Batu warna
pelangi…” kata si gadis dalam hati. Seperti kitab di sebelahnya batu ini
kelihatan kering, tidak basah atau pun terkena noda darah. “Dua benda aneh,
bagaimana bisa berada dalam perut ular…? Jangan-jangan dalam perut binatang ini
pula tersimpan Pedang Naga Suci 212….”
Walau besar keinginan si gadis
hendak menyelidik kitab serta batu aneh itu namun dia memutuskan untuk
mendapatkan batu putih lebih dulu. Maka kembali Puti Andini memusatkan
perhatiannya pada batu putih yang melayang-layang dalam perut ular.
“Kalau binatang ini tidak
bergerak dan aku tidak sampai terjungkir balik batu aneh itu pasti aku
dapatkan!” Puti Andini maju selangkah demi selangkah. Batu putih melayang di
atas kepalanya berputar-putar. Lalu perlahan-lahan turun ke bawah melewati
pundak kirinya. Si gadis cepat bersurut sambil memutar diri lalu menyergap. Dua
tangannya melesat ke atas.
“Dapat!” seru Puti Andini.
“Plaaak!’ Tangan kiri dari tangan kanannya saling beradu. Dia hanya menangkap
angin!
“Aneh…. Batu itu melayang
perlahan. Dekat sekali di depan hidungku. Tapi mengapa aku tak mampu
menangkapnya?” Puti Andini seka darah yang membasahi bagian atas bibirnya.
Sementara itu hawa dingin terasa semakin mencucuk dan bau tidak enak semakin
menusuk hidung.
Si gadis pandangi batu putih.
“Aku harus dapatkan batu itu. Bagaimana caranya?”
Puti Andini memutar otak.
Sesaat dia pandangi dirinya sendiri yang basah kuyup oleh darah serta cairan
busuk dalam perut ikan. Selintas pikiran menyeruak di kepala si gadis. Dengan
cepat dibukanya baju merahnya. “Tak ada siapa-siapa di dalam perut ikan ini.
Tak ada yang akan melihat diriku setengah telanjang seperti ini!”
Puti Andini peras baju merahnya
sekering yang bisa dilakukan. Lalu baju itu dikembangkan, dipegang dengan kedua
tangan. Apa yang dilakukan Puti Andini memang masuk akal. Walau ruangan dalam
perut naga itu cukup besar namun dengan mempergunakan bajunya sebagai jaring,
peluangnya untuk dapat menangkap batu putih itu akan lebih besar. Maka dalam
keadaan tanpa pakaian di sebelah atas dia melangkah mendekati batu putih. Ha
nya dua langkah lagi dari hadapan batu putih, begitu Puti Andini siap untuk
menangkap benda itu dengan baju merahnya tiba-tiba batu putih melesat ke atas.
Gerakan yang hanya menangkap angin di atas pijakan yang licin membuat sang dara
jatuh terbanting dalam keadaan tertelentang. Selagi dia mencoba berdiri
tiba-tiba batu putih melesat ke bawah. Menyambar ke arah dadanya yang polos
sebelah kiri. In! adalah satu serangan yang tidak terduga.
Puti Andini cepat gulingkan
diri untuk mengelak. Namun batu datang lebih cepat.
“Mati aku!” keluh Puti Andini.
Dia lalu menjerit keras.
Batu putih menghantam
permukaan dada kirinya dengan telak. Hantaman batu putih yang hanya sebesar dua
kepalan tangan itu membuat tubuhnya terhenyak laksana ditindih dua gunung
puluhan kati. Matanya mendelik besar. Di balik cairan darah yang mengotori
mukanya gadis itu sepucat kain kafan!
*
* *
TUJUH
Sudah matikah aku….” Puti
Andini bertanya pada diri sendiri. “Duk… duk… duk.”
“Aku mendengar suara
duk-duk-duk itu. Berarti aku belum mati. Tapi dadaku berat sekali. Seolah
ditindih batu sebesar kerbau….” Dia mencoba bangkit tapi tak mampu. Memandang ke
bawah gadis ini terkejut. Batu putih yang tadi menghantam tubuhnya ternyata
menempel di dadanya yang putih, tepat di atas jantung. Dia kembali coba
berdiri, berguling ke kiri lalu ke kanan. Tetap tak bisa. Tiba-tiba ada hawa
aneh mengalir ke dalam tubuhnya. Hawa ini berasal dari batu putih yang menempel
di dadanya yang telanjang.
Dadanya yang sesak
perlahan-lahan menjadi lega. Rongga pernapasannya yang sebelumnya seperti
tersekat kini menjadi lancar, Darah yang tadi masih mengucur dari telinga dan
lobang hidungnya serta merta berhenti. Tubuhnya terasa seringan kapas. Ketika
dicobanya bangkit sekali lagi, ternyata dia bukan saja mampu berdiri tapi juga
melesat ke atas hampir menyundul tubuh atas ular naga. Waktu jatuh ke bawah dia
merasa tubuhnya seperti melayang dan kakinya sama sekali tidak tergelincir
menginjak perut licin ular naga yang digenangi darah!
“Ada keanehan terjadi dengan
diriku!” ujar Puti Andini dalam hati.
Baru saja dia berkata begitu
tiba-tiba muncul suara menggemuruh. Ular naga betina keluarkan ringkikan
dahsyat lalu membanting-banting diri di dalam telaga. Kalau tadi gerakan
sedikit saja dari binatang itu membuat Puti Andini seolah merasa kiamat dalam
perut ular, kini dengan tubuhnya yang begitu ringan dia sanggup bergerak cepat
mengimbangi diri hingga tidak jungkir balik atau terhempas dan
terbanting-banting.
Ketika dia tegak kembali Puti
Andini terkejut. Batu putih itu ternyata masih menempel di atas dadanya yang
kencang dan bergoyang-goyang mengikuti detak jantungnya yang keras. Dengan
gemetar Puti Andini gerakkan tangan kanannya untuk memegang batu itu. Hanya
seujung rambut saja jari-jari tangannya akan menyentuh batu putih, tibatiba
satu tangan berkelebat seperti mengusap dadanya. Tahu-tahu batu putih itu tak
ada lagi di atas dadanya. Disaat bersamaan muncul suara menggemuruh disertai
suara ringkik panjang. Namun tidak terjadi apa-apa. Perut ular di mana Puti
Andini berada tidak bergerak sedikit pun. Bahkan suara duk-duk-duk bunyi
jantungnya tidak terdengar seolah ular raksasa ini telah berhenti bernapas.
Ketika dia memandang ke depan tersurutlah gadis ini sampai punggungnya
menyentuh perut naga.
Lima langkah di hadapannya
tegak sosok tubuh seorang sangat tua berpakaian berupa selempang kain putih.
Rambutnya yang panjang putih menjulai ke bawah. Walau hanya sebagian saja wajah
orang ini yang kelihatan namun Puti Andini segera mengenali. Cepat Puti Andini
tutupkan kedua tangannya di dadanya yang terbuka polos.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Orang tua yang aku lihat di ruang batu pualam. Yang keluar dari makam putih…”
desis Puti Andini dalam hati.
Si orang tua gerakkan
kepalanya sendiri. Rambutnya yang menjulai menutupi wajahnya tersibak ke
belakang. Kini kelihatan keseluruhan wajah orang tua ini, berkumis dan
berjanggut putih panjang. Sepasang matanya memandang tajam ke arah Puti Andini,
membuat si gadis merasa tidak enak.
“Apa lagi yang ada di benak
orang tua ini. Sebelumnya dia menyuruh anak-kecil bernama Naga Kilning itu
menjebloskan diriku ke dalam Liang Lahat. Kini tahu-tahu dia ada dalam perut
ular naga. Apa memang dia tinggal di sini? Yang jelas dia mampu menerobos ruang
dan waktu dan muncul secara tak terduga….”
“Suci kembali kepada suci.
Hanya kesucian bisa menerima kesucian….” Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas
berkata.
“Apa maksud ucapan orang tua
ini….” kata Puti Andini dalam hati tak mengerti.
Tiba-tiba Kiai Gede Tapa
Pamungkas ulurkan tangan kanannya yang memegang batu putih. Walau jarak mereka
terpisah lima langkah namun luar biasanya seolah bisa memanjang tangan sang Kiai
tahu-tahu sudah berada sejengkal di bawah dagu si gadis. Hawa dingin yang
keluar dari batu putih menyambar menyapu wajah Puti Andini.
“Sesuatu yang suci yang bisa
berada di tangan yang suci….” Kembali si orang tua berkata.
“Orang tua…. Apa maksudmu. Aku
tidak mengerti,” ujar Puti Andini.
“Bukankah kau masuk ke dalam
Telaga Gajahmungkur untuk mencari benda ini? Ambillah!” Kiai Gede Tapa
Pamungkas gerakkan tangan kanannya yang memegang batu putih. Kembali ada hawa
dingin menyapu wajah sang dara.
Puti Andini pandangi batu
putih dalam genggaman si orang tua. Dalam hati dia berkata. “Yang kucari
sebenarnya bukan batu putih itu….”
“Anak gadis mengapa kau
mendadak menjadi ragu. Ambillah. Benda ini memang berjodoh denganmu. Tak ada
satu kekuatan pun bisa menghalangi pemilikanmu atas benda ini.”
“Batu putih ini….”
“Dengar, aku tak mungkin
berada lebih lama di tempat ini. Lekas ambil batu ini dan tinggalkan Telaga
Gajahmungkur….”
“Tapi aku terperangkap dalam
perut ular besar ini. Bagaimana mungkin….”
“Kau akan menyesal seumur
hidup jika tidak segera mengambil batu putih ini!” memotong Kiai Gede Tapa
Pamungkas.
Puti Andini ulurkan tangan
kanannya. Pada waktu itulah tiba-tiba keadaan dalam perut ular menjadi sangat
redup. Yang kelihatan hanya batu putih itu. Di kejauhan, entah darimana arahnya
menggema suara suitan aneh disusul suara ringkikan panjang. Lalu ada suara
menggelegar beberapa kali berturut-turut. Namun dalam perut ular tidak terjadi
apaapa, tak ada goyangan bahkan getaran pun tidak terasa.
Kiai Gede Tapa Pamungkas
lepaskan batu putih yang dipegangnya. Dalam gelap benda ini berkilauan jatuh ke
bawah, cepat disambut oleh Puti Andini. Hawa dingin langsung menjalari
tubuhnya.
“Anak gadis yang berjodoh, aku
pergi sekarang. Selamat tinggal…. Kita tak akan bertemu lagi. Anggap juga kita
tak pernah bertemu!”
Memandang ke depan Puti Andini
hanya melihat sekilas bayangan putih berkelebat. Lalu dia tak melihat apa-apa
lagi. Orang tua itu lenyap dari hadapannya. Bersamaan dengan itu perlahan-lahan
keredupan di tempat itu berkurang.
“Dia muncul dan lenyap secara
aneh. Kalau dia memang berniat baik mengapa dia tidak menyelamatkan diriku
keluar dari perut naga ini? Lalu segala ucapannya tadi? Sesuatu yang suci hanya
bisa berada di tangan yang suci. Apa maksudnya…?”
Selagi berpikir begitu
tiba-tiba Puti Andini merasakan seperti ada cairan sangat dingin mengucuri
tangan kanannya yang memegang batu putih. Ketika diperhatikan terkejutlah gadis
ini. Batu putih yang ada di atas telapak tangannya dilihatnya meleleh cair
seperti lapisan salju tersentuh hawa panas. Begitu batu putih berhenti meleleh
kini di telapak tangannya si gadis melihat sebuah benda aneh, bergulung seperti
sebuah ikat pinggang. Ujung benda ini berbentuk kepala seekor naga, terbuat
dari bahan keras putih yang menurut dugaannya adalah sejenis tulang atau
mungkin sekali gading. Bagian benda yang bergulung memancarkan cahaya putih
menyilaukan serta menebar hanya sangat dingin.
Puti Andini mendadak merasakan
sekujur tubuhnya bergetar. Dadanya berdebar keras. Seumur hidup dia belum
pernah melihat Pedang Naga Sues 212. Tua Gila walau menyuruh dia mencari
senjata mustika itu namun tidak pernah mengatakan bagaimana bentuk atau
warnanya.
“Jangan-jangan….” Puti Andini
gerakkan tangan kanannya memegang bagian benda yang berbentuk kepala ular naga.
Tiba-tiba!
“Sreeetttt!”
Laksana kilat benda yang
bergulung bergerak membuka. Cahaya putih berkiblat. Puti Andini terpekik. Benda
yang dipegangnya terlepas. Sesuatu yang tajam menggurat bahu di atas dada
kirinya. Bersamaan dengan itu gadis ini terjajar dua langkah ke belakang. Lalu
terdengar suara sesuatu robek besar.
“Craaaasss!”
Puti Andini kembali menjerit.
Perut naga di sebelah depannya
robek besar dan panjang laksana ditoreh oleh sebuah benda yang sangat tajam.
Bersamaan dengan itu ular naga meringkik keras dan membalikkan tubuhnya,
menggelepar kian kemari. Puti Andini melihat air telaga masuk ke dalam perut
ular. Namun dari dalam perut ular menghantam tekanan yang sangat dahsyat
disertai semburan darah, mendorong ke luar. Benda putih yang tadi melukai dada
kiri Puti Andini melesat ke luar dari perut ular. Samar-samar si gadis masih
sempat melihat bentuk benda itu. Ternyata sebuah pedang sangat tipis,
memancarkan cahaya putih dengan hulu berbentuk kepala naga.
“Pedang Naga Suci 212!” seru
Puti Andini dalam, hati dengan mata terbelalak. Dia berusaha menyambar pedang
itu dengan tangan kanan. Namun disaat yang sama tubuhnya terpental keluar perut
ular yang robek besar. Tekanan yang dahsyat membuat pedang yang berusaha
digapainya terdorong jauh hingga dia hanya menangkap air sedang dirinyasendiri
terlempar jauh.
Bersamaan dengan itu dari
dalam perut naga betina terlempar pula dua buah benda yaitu kitab putih yang
koyak dan batu persegi panjang yang dibalut tujuh warna. Naga betina yang
perutnya jebol sepanjang dua tombak dan mengeluarkan asap aneh
membanting-banting diri kian kemari hingga air telaga laksana dibuncah
gelombang. Tanah, pasir serta bebatuan dan semua benda yang ada di tempat itu
termasuk sosok Puti Andini terpental-pental kian kemari. Keadaan gelap
mengelam. Di kejauhan terdengar suara menggemuruh laksana gunung runtuh.
“Celaka! Kemana lenyapnya
pedang tadi…” ujar Puti Andini. Dia menggapai-gapai kian kemari. Kaki dan
tangannya digerak-gerakkan. Tiba-tiba dia merasa satu keanehan. Gerakan nya
tadi membuat tubuhnya mampu bertahan dan tidak terpental lagi. Padahal air
telaga masih terus membuncah.
“Apa yang sebenarnya terjadi
di tempat ini!” pikir Puti Andini. Dia memandang berkeliling berusaha mencari
dimana adanya pedang putih yang tadi terlepas dari tangannya. Sesaat ketika
.keadaan mulai tenang dan terang kembali yang dilihatnya bukan pedang itu
melainkan sosok-sosok jerangkong dan tulang belulang manusia serta beberapa
mayat mengapung di sekitarnya.
Lalu telinganya menangkap
riakan-riakan halus di sebelah atas. Ketika dia mendongak memperhatikan
terkejutlah gadis ini. Di atas sana di antara mereka memegang sebuah benda
panjang yang memancarkan cahaya putih.
“Pedang itu!” seru Puti Andini
dalam hati. Segera saja gadis ini berenang ke atas. Lagi-lagi dia merasa aneh.
Dia hanya menggerakkan tangan serta kaki biasa-biasa saja. Tapi tubuhnya
melesat ke atas cepat sekali. Hingga dalam waktu singkat dia sudah berada di
dekat kelompok orang-orang itu.
*
* *
DELAPAN
Di dalam telaga, beberapa saat
sebelum perut ular naga dibusai robek oleh pedang putih. Dua orang yang barusan
dilihat Sinto Gendeng di dalam Telaga Gajahmungkur itu bukan lain adalah
Pendekar212dan Ratu Duyung. “Ratu keparat bermata biru itu! Pasti-dia yang
punya gara-gara sampai si anak setan ikut masuk ke dalam telaga ini! Berani-
beraninya gadis itu mencampuri urusanku!”
Untuk sesaat nenek sakti dari
Gunung Gede ini lupakan kemarahannya terhadap Naga Kuning. Kini kejengkelannya
ditumpahkan pada Ratu Duyung dan muridnya. Sinto Gendeng cepat berenang
menyongsong Wiro dan Ratu Duyung. Panji serta Setan Ngompol berenang mengikuti
di sebelah belakang. Begitu sampai di hadapan Ratu Duyung si nenek langsung
mendamprat.
“Ratu Duyung! Gara-garamu
muridku jadi celaka sengsara! Sekarang beraninya kau
mencampuri urusanku! Bertindak
menjadi penghalang! Menolong bocah kurang ajar itu!
Apa maumu! Berada di pihak
mana kau sebenarnya?!”
Dibentak oleh guru pemuda yang
dicintainya seperti itu Ratu Duyung hanya bisa tundukkan kepala sambil pegang
cermin bulat sakti yang tadi dipergunakannya menangkis serangan tusuk konde
yang hendak menusuk mata kiri Naga Kuning. Di atas kaca itu kini tampak
menempel dua buah tusuk konde yang tadi dipakai Sinto Gendeng untuk menyerang
si bocah. Walau dia maklum mengapa si nenek sampai marah besar namun Ratu
Duyung merasa sedih. Baginya apa perlunya si nenek mengungkit persoalan lama
yang dianggapnya sudah selesai.
Melihat Ratu Duyung hanya diam
sambil tundukkan kepala Sinto Gendeng berpaling pada muridnya.
“Anak setan! Bukankah kau aku
perintahkan tetap di tepi telaga untuk berjaga-jaga?! Mengapa masuk ke sini
bersama gadis bermata biru ini?! Kalian berdua dasar manusiamanusia gatal!”
“Eyang, kami datang ke sini
bukan untuk mengacau. Ratu Duyung melihat sesuatu yang mungkin…”
“Bukan untuk mengacau katamu!
Dia mencampuri urusanku! Dia menghalangiku membunuh anak itu!” bentak Sinto
Gendeng hingga Setan Ngompol yang ada di sebelahnya tersentak kaget dan
terkencing.
Wiro garuk-garuk kepala.
“Eyang, apa perlunya membunuh Naga Kuning. Dia anak baik…. Dia pernah
menolongku. Dia….”
“Kalau bicara soal
tolong-menolong aku dua kali menyelamatkan dirinya! Berarti dua kali pula aku
boleh membunuhnya!” jawab Sinto Gendeng hampir berteriak hingga
gelembung-gelembung air melayang-layang di sekitar mulutnya.
Naga Kuning yang sejak tadi
berdiam diri tibatiba berenang ke hadapan Sinto Gendeng lalu berkata. “Nek,
betul sekali ucapanmu. Kau telah menyelamatkan diriku sampai dua kali! Jika kau
memang merasa sebagai wakil Tuhan untuk mencabut nyawaku silahkan kau bunuh aku
saat ini juga!”
Lalu, “Brettt!”
Naga Kuning robek baju
hitamnya hingga dadanya terpentang telanjang. Di atas dada itu terpampang
gambar ular naga berwarna kuning. Sepasang matanya berwarna merah. Di mata
Sinto Gendeng gambar ini seolah hidup dan bergerak ke arahnya dengan kepala
terpentang. Si nenek cepat berenang mundur dengan wajah berubah. Ketika dia
memperhatikan wajah Naga Kuning, wajah itu dilihatnya bukan lagi wajah seorang
bocah melainkan wajah seorang kakek-kakek.
Melihat gurunya terpojok, Wiro
cepat ambil dua buah tusuk konde perak yang menempel di cermin bulat yang
dipegang Ratu Duyung lalu diserahkannya pada Sinto Gendeng.
“Anak setan! Kau hanya bisa membuat
aku malu setengah mati! Kapan kau bisa menyenangkan diriku si tua bangka ini!
Jauh-jauh aku ke sini karena hendak menolongmu! Mencari Pedang Naga Suci 212
untuk mengobati dirimu! Malah kau berbuat kurang ajar terhadapku!” Dengan wajah
cemberut Sinto Gendeng sambar dua buah tusuk konde perak yang diserahkan
muridnya.
“Maafkan saya Nek,” kata Wiro.
“Jika kau tidak suka melihat kami berada di sini, kami akan naik ke atas
kembali….” Lalu Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung.
“Aku juga merasa tidak perlu
berada lebih lama di tempat ini!” ucap Naga Kuning. Lalu dia berenang pula
menuju permukaan telaga.
Pada waktu itulah tiba-tiba
ada suara ringkikan keras disusul oleh menebarnya sesuatu seperti kabut di
sebelah atas telaga. Lalu menyusul suara menggemuruh dan bersamaan dengan itu
air telaga tampak berubah merah oleh darah lalu bergulung-gulung hingga semua
orang yang ada di tempat itu berpelantingan kian kemari!
Dalam keadaan yang tiba-tiba
menjadi kelam di atas sana ada seberkas cahaya putih berkiblat. Setan Ngompol
pegangi perutnya yang bocor berat terkencing-kencing. Sinto Gendeng letakkan
dua. tangan di atas mata. Hatinya berdebar melihat kilauan cahaya putih itu.
Dia berteriak pada Setan Ngompol. “Ikuti aku cepat!”
Sepasang kakek nenek itu
segera berenang ke arah kilatan cahaya putih. Panji mengikuti. Wiro dan Ratu
Duyung sesaat saling-pandang dalam kebimbangan. Akhirnya keduanya berenang
menyusul orang-orang tadi.
Di sebelah depan Sinto Gendeng
dan Setan Ngompol berhenti berenang ketika mereka menyadari bahwa sebenarnya
mereka bergerak mendekati sosok besar ular naga betina yang perutnya kelihatan
robek besar. Lalu dari perut itu melesat keluar sebuah benda yang memancarkan
cahaya putih berkilauan. Disusul oleh sosok seorang gadis tanpa baju. Lalu
menyusul pula dua buah benda berupa kitab dan sebuah batu berwarna. Si nenek
tidak perdulikan gadis setengah telanjang atau pun kitab dan batu berwarna.
Yang diperhatikannya adalah benda panjang yang memancarkan cahaya putih dan
melesat paling depan.
“Pedang Naga Suci 212!” seru
si nenek. Dia segera melesat ke atas untuk menyambar senjata sakti mandraguna
itu. Hanya sedikit lagi jari-jari tangannya akan menyentuh gagang pedang
berbentuk kepala naga putih itu, tiba-tiba dari samping melesat sesosok tubuh dan
tahu-tahu pedang yang hendak diambil Sinto Gendeng telah berada dalam genggaman
orang lain.
“Jahanam!” maki Sinto Gendeng.
“Siapa kau! Serahkan pedang itu padaku!” Di hadapannya, di dalam air, Sinto
Gendeng melihat seorang nenek berjubah hitam berambut putih mengambang-ngambang
kian kemari. Jari-jari tangannya yang memegang pedang selain sangat panjang
juga berwarna merah.
Wiro dan Ratu Duyung, Naga
Kuning serta Panji segera mengenali nenek berjubah hitam yang memegang pedang
putih itu adalah Sika Sure Jelantik.
Seperti diketahui Sika Sure
Jelantik memang memiliki ilmu kepandaian berada lama di dalam air. Namun tidak
seperti ilmu yang dimiliki Ratu Duyung (yang oleh Ratu Duyung seperti
diceritakan sebelumnya diberikan pada Sinto Gendeng, Setan Ngompol, Panji dan
Wiro) atau Naga Kuning. Dia tidak mampu bicara dalam air. Sewaktu dimaki oleh
Sinto Gendeng dia hanya menggoyang-goyangkan tangan lalu melesat ke permukaan
telaga. Melihat orang hendak melarikan diri Sinto Gendeng segera mengejar.
Sementara itu Setan Ngompol
dan Ratu Duyung terbagi perhatiannya pada dua benda lain yang terlempar keluar
dari perut robek ular naga betina. Karena batu berwarna kebetulan melesat tak
jauh dari tempatnya berada maka Setan Ngompol segera berenang mengejar dan
berhasil menangkap benda itu. Untuk sesaat dia memperhatikan terheranheran.
“Sialan! Cuma sebuah batu!
Kukira apa! Tapi bentuknya mengapa aneh begini. Ujung satunya seperti muka
manusia tanpa wajah. Ada kuping. Lalu warnanya tujuh macam. Lalu eh…. Batu ini
dingin sekali! Ah….” Si kakek kembali terkencing. Semula batu itu hendak
dibuangnya begitu saja. “Kalau batu ini keluar dari perut naga berarti batu ini
bukan benda sembarangan. Buktinya begitu kupegang aku terus-terusan kencing!”
Akhirnya Setan Ngompol sembunyikan batu itu di kantong celananya yang gombrong.
Di bagian lain telaga, Ratu
Duyung telah berhasil pula menangkap benda yang melayang di air. Ketika
diperhatikannya ternyata benda itu adalah sebuah kitab yang telah koyak.
“Aneh, ada kitab keluar dari perut
naga besar, terbuat dari daun lontar putih yang langka. Agaknya sudah puluhan
tahun mendekam dalam perut naga itu. Tapi tidak berubah warna, dan tidak
basah,… Hanya ada bagian kitab yang koyak. Kitab apa ini adanya?”
Sang Ratu tutupkan kitab yang
terkembang itu. Pada saat itulah dia membaca tulisan besar yang berada di
sampul kitab. Bibirnya bergetar ketika melafalkan apa yang tertulis di situ.
“Wasiat Malaikat”.
Entah mengapa Ratu Duyung
mendadak merasakan tengkuknya menjadi dingin dan sekujur tubuhnya seperti
digeletari satu kekuatan aneh.
“Kitab Wasiat Malaikat. Aku
memang pernah mendengar. Rimba persilatan memang mempergunjingkannya sejak
puluhan tahun lalu. Para tokoh berusaha menyirap kabar, mencarinya sampai
kemana-mana. Datuk Lembah Akhirat mengaku memiliki dan menyimpan kitab ini.
Ternyata…. Mungkin kitab ini bukan kitab yang asli. Atau mungkin Datuk Lembah
Akhirat menebar cerita bohong untuk maksud tertentu….” Sebelum ada orang yang
tahu Ratu Duyung segera sembunyikan kitab daun lontar itu di balik baju
hitamnya.
Kembali kepada Sika Sure
jelantik.
Begitu gagang Pedang Naga Suci
212 tergenggam di tangannya, Sika Sure Jelantik merasa ada hawa panas menyengat
telapak dan jari-jari tangannya. Hawa panas ini terus menjalar sepanjang lengan
dan masuk ke tubuhnya. Walau dia berada dalam air namun sekujur tubuhnya
mengeluarkan keringat. Si nenek segera kerahkan tenaga dalam hingga hawa hangat
itu berkurang sedikit, ini memang satu keanehan yang tidak diketahui oleh Sika
Sure Jelantik. Sesuai dengan keterangan yang pernah diberikan oleh Kiai Gede
Tapa Pamungkas dan hanya diketahui oleh Sinto Gendeng serta Tua Gila maka
pedang mustika sakti itu hanya berjodoh dan hanya bisa disentuh serta dimiliki
oleh seorang perempuan suci. Jika pedang dipegang oleh perempuan suci maka
senjata ini akan mengeluarkan hawa sejuk dingin. Sebaliknya jika disentuh oleh
perempuan yang dalam hidupnya tidak lagi memiliki kesucian maka senjata itu
akan mengeluarkan hawa panas yang kalau tidak dilepaskan lama-kelamaan akan membuat
tangannya melepuh bahkan keracunan sekujur tubuhnya. Seperti diketahui Sika
Sure Jelantik pernah menjalani hidup yang tidak suci selama berhubungan dengan
Tua Gila di masa mudanya. Demikian pula dengan Sinto Gendeng. Hingga Pedang
Naga Suci tak akan mungkin dapat mereka kuasai. Kalau dipaksakan malah bisa
membahayakan diri mereka sendiri.
Melihat Sika Sure Jelantik
tidak perdulikan bentakannya malah seperti berusaha hendak berenang menuju
permukaan telaga, Sinto Gendeng menjadi tambah marah. “Tua bangka itu
kelihatannya memang bukan perempuan baik-baik! Biar aku beri hadiah untuk
ketololannya!” Habis berkata begitu Sinto Gendeng melesat mengejar sambil
lepaskan satu pukulan sakti. Melihat gerak tangan si nenek Wiro tahu pukulan
apa yang dilepaskan sang guru. Yakni pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Di
atas sana Sika Sure Jelantik tersentak kaget ketika satu gelombang angin yang
dahsyat membuat air telaga bersibak membentuk jalur ganas seperti terowongan
besar. Ada suara menggemuruh di bawah kakinya. Sadar kalau dirinya diserang
Sika Sure Jelantik cepat menyingkir sambil gerakkan tangan kirinya untuk
menangkis dengan pukulan sakti. Namun sadar kalau saat itu dia tengah memegang
sebuah senjata sakti maka tidak menunggu lebih lama serta merta si nenek babatkan
Pedang Naga Suci 212 ke bawah.
*
* *
SEMBILAN
Cahaya putih menyilaukan mata
bertebar dalam air. Telaga Gajahmungkur laksana disergap puluhan kilat. Hawa
aneh dingin menebar seolah air telaga berubah menjadi es. Semua orang yang ada
di dalam telaga menggeletar kedinginan. Setan Ngompol rapatkan dua kakinya lalu
melipat lutut sampai ke dada. Seperti biasa dia tak dapat menahan kencing.
Dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba dari sebelah atas menggemuruh gelombang air. Karena paling dekat
dengan sumber cahaya dan hantaman gelombang Sinto Gendeng yang pertama sekali
terpental. Nenek sakti ini memaki panjang pendek sementara tubuhnya terpental
jungkir balik. Menyusul Setan Ngompol dan Panji. Wiro dan Ratu Duyung yang
berada di sebelah belakang, walau jauh tetap saja ikut kena sambaran gelombang
air dan mencelat beberapa tombak.
Sementara itu Naga Kuning
satu-satunya orang yang agaknya tahu apa yang bakal terjadi. Begitu melihat
kiblatan cahaya putih disusul oleh suara gemuruh air, cepat-cepat anak ini
berenang ke dasar telaga lalu berlindung di balik dinding tinggi Liang Lahat.
Namun tak urung Naga Kuning masih juga terpental dan dinding di balik mana dia
bersembunyi mengeluarkan suara berderak. Lalu ujung dinding sebelah atas
kelihatan patah, melayang jatuh dengan dahsyat, menambah hebatnya gelombang air
telaga. Naga Kuning memandang ke atas. Penglihatannya tertutup oleh keruhnya
air telaga. Apa lagi saat itu air telaga telah bercampur baur pula dengan darah
naga serta kencing Setan Ngompol dan Sinto Gendeng.
“Aku tak dapat melihat jelas.
Pandanganku tidak tembus. Tapi aku yakin seseorang telah menemukan Pedang Naga
Suci 212. Lalu mempergunakan senjata sakti itu untuk menangkis serangan Sinto
Gendeng. Siapa yang kini menguasai pedang itu. Aku melihat nenek berambut putih
di atas sana. Tadi juga aku sempat melihat ada sosok tubuh setengah telanjang.
Jelas tubuh seorang gadis karena dadanya kulihat montok, kencang dan putih
bagus! Hik… hik..! Atau jangan-jangan….” Si bocah tertawa sendirian.
Saat itu Puti Andini baru saja
berhasil hentikan tubuhnya yang terlontar setelah terjungkir balik dalam air
beberapa kali. Dia mengingat-ingat apa yang barusan terjadi sambil usap-usap
bahu kirinya yang tergurat. “Aku melihat cahaya putih berkiblat. Lalu ada rasa
perih akibat goresan luka di bahuku. Tubuhku kemudian terlempar dari perut ular
yang jebol….” Di bawah sana si gadis tiba-tiba mendengar suara orang membentak.
Berarti dia tidak sendirian di dalam telaga itu.
“Jahanam! Apa yang terjadi!”
Yang berteriak adalah Sinto Gendeng. Dadanya mendenyut sakit seolah ditindih
oleh, batu besar sementara sekujur tubuhnya menggeletar kedinginan. Cepat nenek
ini dorongkan kedua tangannya ke atas. Melepas pukulan sakti Benteng Topan
Melanda Samudera.
“Byuuuurrrr! Byuuuurrr!”
Air telaga laksana menggelegak
lalu mendobrak ke atas di dua tempat. Telaga Gajahmungkur kembali bergoncang
keras. Sinto Gendeng tertawa, mengikik lalu berteriak.
“Mampus kau!” Yang dimakinya
adalah perempuan tua berjubah hitam di atas sana. Tapi nenek sakti ini mendadak
keluarkan seruan tegang ketika dari atas kembali menyambar sinar putih. Kali
ini sinar itu tidak menebar melainkan berbentuk panjang. Laksana tombak raksasa
melesat ke arahnya. Sekali lagi si nenek berteriak keras lalu menyingkir. Ujung
sinar putih menyambar lebih cepat. Agaknya kali ini Sinto Gendeng tak mungkin
selamatkan diri.
“Eyang!” seru Pendekar 212
Wiro Sableng. Di luar sadar tanpa-ingat keadaan dirinya dia segera berenang
untuk menolong gurunya.
“Pendekar 212! Jangan mencari
mati!” Naga Kuning yang menyaksikan kejadian itu berseru keras. “Celaka! Guru
dan murid pasti akan menemui ajal! Apa yang harus aku lakukan!” Bocah ini tekuk
jari-jari tangannya dalam gerakan seperti hendak mencakar. Lalu dua tangannya
dihantamkan ke arah datangnya sinar putih. Dua larik cahaya biru pekat menerpa
ke atas, membabat cahaya putih yang menghunjam ke arah sosok Sinto Gendeng, Beg
itu dua larik cahaya biru menyentuh sinar putih dua tangan Naga Kuning bergetar
keras lalu tubuhnya terpental sampai dua tombak. Si bocah terperangah
menyaksikan bagaimana serangannya amblas sementara itu sinar putih terus
menderu ke arah Sinto Gendeng. ketika dia meraba mulutnya terasa ada cairan
hangat. “Aku terluka.,..” Membatin Naga Kuning. Air muka bocah ini tampak berubah.
Sesaat lagi sinar putih itu
akan menghantam tubuh Sinto Gendeng tiba-tiba dari samping kiri melesat satu
cahaya putih yang tak kalah hebat kilauannya dari sinar putih yang menyerang si
nenek.
Dua sinar saling beradu
mengeluarkan letupan keras. Air telaga mencuat ke berbagai penjuru. Sinto
Gendeng selamat walau tubuhnya terpental dan untuk sesaat lamanya
melayang-layang dalam air yang keruh. Nenek ini bergidik ketika di dasar telaga
samarsamar dilihatnya satu lobang besar dan dalam akibat hantaman’-sinar putih
tadi.
“Siapa yang barusan
menolongku?!” ujar Sinto Gendeng dalam hati. Dia memandang berkeliling. Di
sebelah sana dilihatnya Setan Ngompol mengambang dalam air. Cairan kuning yang
keluar dari bawah perutnya bersatu dengan air telaga yang berwarna merah
ternoda darah ular naga betina. Jauh di samping kiri Sinto Gendeng melihat Naga
Kuning bersandar di dinding Liang Lahat. Anak ini berdiri pejamkan mata sambil
rangkapkan sepasang tangan di depan dada. Dari sela bibirnya tampak keluar
cairan merah. “Bocah itu tadi berusaha menolongku. Tapi aku tahu ada seorang
iain yang barusan menyelamatkan jiwaku!”
Sinto Gendeng putar kepalanya
ke jurusan lain. Pandangannya membentur sosok Ratu Duyung yang saat itu berada
di dasar telaga, tegak sambil pegangi cermin bulatnya. Wajahnya pucat. Matanya
yang biru membelalak sedang bibirnya bergetar. Tapi itu hanya sebentar. Sesaat
kemudian gadis ini kelihatan mampu menguasai dirinya kembali.
“Gadis itu…” desis si nenek.
“Dia yang menyelamatkan diriku. Tapi agaknya bukan hanya dengan mengandalkan
kesaktian cerminnya. Ada satu kekuatan lain menyertai kilatan yang keluar dari
cerminnya itu. Aku dapat merasakan…. aku melihat ada pancaran cahaya putih aneh
di sekitar tubuhnya! Mulai dari kepala sampai ke kaki. Astaga! Itu adalah
pancaran cahaya batin yang jarang dimiliki manusia! Dan tidak sembarang orang
bisa melihatnya seperti yang aku saksikan saat ini….” Sinto Gendeng berenang
mendekati Setan Ngompol lalu berkata, “Coba kau perhatikan gadis berpakaian
hitam yang memegang cermin bulat itu….”
“Aku sudah melihatnya dari
tadi. Wajahnya cantik. Sepasang matanya bagus sekali. Tak pernah aku melihat
mata luar biasa mempesona seperti itu. Apa maksudmu Sinto. Apa kau hendak
menjodohkan diriku dengan si jelita itu?”
“Tua bangka bangkotan tak tahu
diri!” maki Sinto Gendeng.
Setan Ngompol tertawa bergelak
hingga air kencingnya kembali terpancar.
“Aku mau tanya! Apa kau
melihat ada cahaya aneh seolah membungkus sekujur tubuhnya?”
Setan Ngompol tekap mulutnya
dengan tangan kiri sedang tangan kanan nenekap bagian bawah perutnya. Orang tua
bermata jereng berkuping lebar ini goleng-golengkan kepala. “Aku tidak melihat
segala macam cahaya aneh yang kau katakan itu Sinto.”
“Benar dugaanku,” kata si
nenek sakti dalam hati. “Tidak semua orang bisa melihat cahaya yang membungkus
tubuh gadis itu…. Bagaimana dia tahu-tahu bisa berada dalam keadaan seperti
itu…. Coba aku tanyakan pada anak setan itu.” Sinto Gendeng hendak berenang
mendekati Pendekar 212. Namun di dasar telaga Wiro telah lebih dulu bergerak
berenang mendekati Ratu Duyung.
Sesaat setelah berada dekat
sang Ratu, murid Sinto Gendeng jadi tertegun. Dua matanya memperhatikan gadis
jelita itu lekat-lekat.
“Ada kelainan pada gadis ini.
Wajahnya lebih berseri. Parasnya tambah cantik. Tubuhnya seolah memancarkan
daya pesona luar biasa. Sepasang matanya juga tampak lebih biru, lebih
bercahaya. Aku juga melihat satu keanehan. Ketika tadi dia melancarkan serangan
dengan cermin sakti, ada seberkas cahaya memancar di balik pakaian hitamnya….“
Merasa dirinya diperhatikan
Ratu Duyung palingkan kepala pada Wiro lalu bertanya.
“Caramu memandangku aneh
sekali Wiro. Ada apa? Apa yang ada dalam pikiranmu?”
“Kau telah menyelamatkan
guruku. Aku sangat berterima kasih,” jawab Wiro.
Ratu Duyung pandangi cermin
saktinya.
“Aku, melihat ada sinar aneh
di balik pakaianmu ketika kau mengerahkan tenaga dalam dan melancarkan serangan
dengan cermin….”
“Sinar aneh apa…?”
“Aku tidak tahu. Kau sendiri
apa tidak sadar…?”
Ratu Duyung terdiam sesaat
baru menjawab. “Memang ada satu keanehan kurasakan dalam tubuhku. Aku
mempergunakan cermin sakti untuk menangkis sinar putih yang datang dari atas
telaga. Gurumu memang selamat. Tapi aku merasa bahwa bukan cuma kekuatan cermin
sakti ini yang telah menolong nenek itu. Seolah ada satu kekuatan lain dalam
tubuhku. Kekuatan itu datangnya dari sini….” Ratu Duyung usapkan tangan kirinya
ke bagian perut di atas pusar di mana dia menyembunyikan kitab kuno terbuat
dari daun lontar yang telah koyak itu. “Kitab Wasiat Malaikat…. Kitab ini yang
jadi sumber kekuatan dahsyat dan aneh itu…” ujar Ratu Duyung dalam hati dengan
dada berdebar.
“Ada apa Ratu…?” tanya
Pendekar 212.
“Apakah akan kuceritakan saja
padanya…?” pikir Ratu Duyung. Hatinya bimbang. Lalu didengarnya Wiro berkata.
“Tadi aku memperhatikan. Ada
beberapa benda keluar dari perut ular naga yang robek. Satu dari benda-benda
itu berhasil kau tangkap. Benda apakah…?”
“Ah, dia melihat aku menyambar
kitab itu.;… Bagaimana ini? Apa harus kukatakan terus terang….” Ratu Duyung
memandang ke atas. Saat itu dilihatnya Sinto Gendeng dan Setan Ngompol saling
bicara sambil memandang ke arahnya.
“Wiro, lekas ikuti aku. Kita
harus segera keluar dari telaga ini.”
“Sekali ini kita tak satu
pendapat Ratu. Aku melihat kilatan cahaya putih aneh mengeluarkan hawa dingin
sekali. Aku melihat sebuah benda melayang di atas sana. Aku mendengar guruku
berteriak menyebut Pedang Naga Suci 212. Kau tahu keadaan diriku.
Saat pulihnya kekuatanku
mungkin hanya tinggal satu atau dua hari. Kau tahu dalam waktu satu dua hari
itu sesuatu bisa terjadi dengan diriku. Konon pedang sakti itu sanggup
menyembuhkan diriku dengan seketika. Aku harus mendapatkan pedang itu Ratu.
Paling tidak harus membantu guruku untuk mendapatkannya!”
“Kalau begitu….” Ratu Duyung
tak dapat meneruskan ucapannya. Karena di atas sana tiba-tiba dia melihat
terjadi sesuatu.
Sika Sure jelantik yang saat
itu masih memegang Pedang Naga Suci 212 merasakan tangannya semakin panas.
Ketika diperhatikannya ternyata tangan kanannya sudah melepuh dan mengepulkan
asap. Dia cepat kerahkan tenaga dalam sementara di bawahnya dilihatnya ada
beberapa orang berenang mendekat.
“Pedang sakti luar biasa! Tapi
mengapa hendak mencelakai diriku? Gila! Gagang pedang ini semakin panas seolah
berubah menjadi bara. Semakin aku kerahkan tenaga dalam untuk melawan hawa
panas, semakin parah sakit di tanganku! Aku tak bisa bertahan. Tapi kalau
senjata ini aku lepaskan, si nenek keparat Sinto Gendeng itu pasti akan
merampasnya. Aku juga melihat beberapa orang lain berenang menuju ke sini.
Janganjangan mereka semua masuk ke dalam telaga ini memang untuk mencari pedang
ini. Apa yang harus aku lakukan?”
Sika Sure Jelantik memandang
berkeliling lalu ke bagian bawah telaga. “Gadis itu….Bukankah dia yang dulu aku
berikan ilmu menyelam seratus hari? Hemmm…. Mungkin dia bisa membantuku keluar
dari kesulitan menghadapi pedang sakti ini….”
Dari bawah sementara itu Panji
berenang dengan cepat menuju bagian atas telaga. Dadanya berdebar keras. Semula
dia merasa ragu akan apa yang dilihatnya. Karena itu dia berenang lebih cepat.
“Mungkin memang gadis itu. Bukankah dia pernah mengatakan ingin menyelidik ke
dasar telaga untuk mencari sebuah benda? Tapi mengapa kini keadaannya seperti
itu? Bercelana tapi tidak mengenakan baju!”
Hanya tinggal beberapa tombak
barulah Panji yakin dia tidak salah menduga. “Puti Andini!” teriak Panji.
Mendengar ada orang yang
menyebut namanya dalam air, Puti Andini. memandang berkeliling. Dia melihat
seorang berpakaian hijau.
“Pemuda itu….” kata si gadis
dalam hati. Saking girangnya dia membuka mulut untuk berteriak balas memanggil.
Tapi dia lupa bahwa ilmu yang diberikan Sika Sure jelantik hanya untuk bertahan
lama dalam air, tidak berkemampuan baginya untuk bicara. Be-gitu mulutnya
terbuka air telaga langsung masuk ke mulutnya terus ke dalam tenggorokan. Gad
is itu megap-megap menggapai kian kemari. Panji cepat memegang salah satu
lengan gadis itu.
“Puti, apa yang terjadi.
Mengapa kau berada dalam keadaan seperti ini. Tanpa baju. Ada luka di bahu
kirimu!”
Puti Andini berpaling. Kedua
matanya membesar. Jika dia tidak malu ingin sekali gadis ini memeluk pemuda
yang entah mengapa sejak beberapa lama ini sangat dirindukannya. Namun begitu
sadar keadaan dirinya yang tanpa pakaian cepat-cepat dia berenang menjauh
sambil menutupi dadanya.
Melihat hal itu Panji segera
buka baju hijaunya lalu berenang mengejar Puti Andini dan serahkan pakaian itu
pada si gadis. Sambil membelakangi si pemuda Puti Andini kenakan pakaian hijau
yang diberikan Panji. Namun belum sempat dia mengancingkan pakaian itu
tiba-tiba di depannya meluncur sebuah benda yang memancarkan cahaya putih
disertai tebaran hawa dingin. Menyusul munculnya satu sosok berpakaian hitam
berambut putih yang mengambang kian kemari dalam air.
“Nenek Sika Sure Jelantik…”
kata Puti And ini dalam hati begitu mengenali siapa adanya orang yang berenang
di atasnya sementara sepasang matanya terpentang lebar memandang pada benda
yang ada dalam genggaman tangan kanan si nenek. Sika Sure Jelantik
acung-acungkan pedangnya ke atas sedang tangan kiri dilambaikan berulang kali
memberi isyarat.
“Nenek itu memberi .tanda agar
kita mengikutinya…” kata Panji. “Setahuku dia bukan orang baik-baik. Apa kau
mengenalnya?”
Puti Andini menjawab dengan
anggukan kepala. Di atas sana kembali si nenek memberi isyarat agar Puti Andini
cepat-cepat mengikutinya. Si gadis memandang sesaat pada Panji lalu menoleh
pada Sika Sure Jelantik. Melihat si gadis masih ragu, Panji akhirnya menarik
tangan Puti Andini dan membawanya berenang menuju permukaan telaga. Di bawah
sana Sinto Gendeng tidak tinggal diam. Nenek ini segera berenang ke atas. Setan
Ngompol mengikuti sementara di bagian lain Wiro dan Ratu Duyung juga telah
meluncur menuju permukaan telaga.
*
* *
SEPULUH
Sosok Sika Sure jelantik
adalah yang pertama sekali melesat keluar dari permukaan air pada tepian Telaga
Gajahmungkur sebelah barat. Nenek ini berjungkir balik dua kali di udara lalu
melayang turun dan tegak di pinggiran telaga pada bagian yang penuh ditebari
batu-batu besar berwarna hitam. Saat itu dia masih coba bertahan memegang
Pedang Naga Suci 212 walau kulit tangannya yang merah aneh telah melepuh dan
mengepulkan asap. Daging tangannya laksana dipanggang bahkan tulang-tulang
telapak tangan dan jarinya ada yang sampai terkuak putih menyembul! Seperti
diketahui nenek satu ini telah terperangkap oleh fitnah dan hasutan orang-orang
Lembah Akhirat hingga kini tangan kanannya berwarna merah pertanda dia telah
menguasai salah satu ilmu dahsyat andalan orang-orang Lembah Akhirat yang
disebut ilmu Mencabut Jiwa Memusnah Raga atau yang juga dikenal dengan Ilmu
Penghancur Mayat.
Puti Andini dan Panji menyusul
muncul di permukaan telaga. Karena muncul agak ke tengah maka keduanya terpaksa
berenang dulu untuk mencapai tepian berbatu-batu di mana Sika Sure Jelantik
berada.
Di tepi telaga Sika Sure
Jelantik menunggu sampai Puti Andini dan Panji naik ke daratan lalu megap-megap
melangkah ke atas batu dalam keadaan basah kuyup.
“Bajumu belum kau kancingkan.
Lekas kau rapikan….”
Puti Andini terkejut mendengar
bisikan Panji. Begitu sadar dia cepat-cepat mengancingkan baju hijau milik si
pemuda yang dipakainya.
“Anak gadis!” Tiba-tiba nenek
berambut putih basah riap-riapan di atas batu membuka mulut. “Bukankah kau
orangnya yang tempo hari pernah kuberikan ilmu menyelam seratus hari?!”
“Benar Nek. Aku tidak
melupakan budi baikmu itu dan sekali lagi mengucapkan terima kasih. Mohon
maafmu kalau sampai saat ini belum dapat membalas budi baikmu itu…” jawab Puti
Andini sambil melirik bergidik pada tangan kanan si nenek yang berwarna merah
dan berada dalam keadaan mengelupas dan mengepulkan asap panas. “Pedang Naga
Suci 212,” kata Puti Andini. “Senjata ini sebelumnya dalam keadaan tergulung.
Pedang ini yang melukai bahuku dan merobek jebol perut ular naga betina….” Si
nenek menyeringai.
“Ini bukan saatnya bicara
segala macam budi! Lihat tanganku yang memegang pedang!”
Puti Andini tercekat ngeri.
Sedang Panji tak bisa lagi menahan diri langsung berteriak.
“Nek, tanganmu terluka parah!
Mengapa kau masih memegangi senjata itu?!”
“Eh, anak muda banci beranting
emas. Kita belum lama bertemu di tepi telaga. Aku masih ingat namamu. Panji!
Apa hubunganmu dengan gadis ini?!” “Dia… dia….” Panji tak bisa menjawab. Si
nenek tertawa cekikikan. “Waktu aku bertemu kau, katamu kau habis berenang dan
menyelam di telaga hanya untuk senang-senang menyegarkan diri. Kini aku tahu,
kau tengah mencari gadis ini! Hik… hik… hik! Berarti kau punya rasa suka
padanya! Hik… hik… hik!”
Baik Panji maupun Puti Andini
jadi sama-sama bersemu merah wajah masingmasing. Si nenek berpaling pada Puti
Andini. Wajahnya yang keriputan tampak mengerenyit menahan sakit yang amat
sangat.
“Anak gadis! Waktu pertama
bertemu denganku kau bilang kau akan mencari sebuah batu hitam di dasar Telaga
Gajahmungkur. Katamu batu itu punya khasiat untuk menyembuhkan ibumu yang sakit
gara-gara ditinggal kabur oleh bapakmu yang tergila-gila dengan seorang
perempuan penghibur! Apa kau sudah menemukan batu hitam itu?!”
Puti Andini jadi tergagau dan
tak bisa menjawab karena dia memang telah berdusta. (Baca Episode ke-3Lembah
Akhirat)
“Parasmu berubah! Kau tak bisa
menjawab. Berarti kau telah mendustai diriku!”
“Harap maafkan diriku Nek.
Perlu waktu banyak untuk menerangkan….”
“Persetan dengan segala keterangan!
Aku tidak punya banyak waktu. Sebentar lagi orang-orang di dalam telaga itu
akan segera muncul. Aku….”
Sika Sure jelantik kembali
mengerenyit. Kali ini sambil terbungkuk-bungkuk. Tangan kanannya tampak
bergetar keras dan menebar bau daging terpanggang.
“Pedang celaka…” rutuk si
nenek. Dia maju ke hadapan Puti Andini. “Tolong kau pegangkan dulu pedang ini.
Lalu kau dan kekasihmu si pemuda banci pakai anting itu lekas ikut bersamaku!”
Habis berkata begitu Sika Sure
Jelantik lalu angsurkan pedang yang dipegangnya pada Puti Andini. Tanpa
ragu-ragu Puti Andini cepat ulurkan tangan untuk menerima senjata itu. Tapi
tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat antara Sika Sure jelantik dan si
gadis. Pedang Naga Suci 212 terbetot lepas dari tangan si nenek. Bersamaan
dengan itu terdengar suara orang terpekik kesakitan! Lalu menyusul suara benda
berdesing dan berkiblatnya cahaya putih disertai suara menderu-deru ditambah
dengan tebaran angin dingin luar biasa;
Baik Sika Sure Jelantik maupun
Puti Andini sama-sama tersurut kaget dan memandang terbelalak ke depan.
“Kau!” teriakan keras keluar
dari mulut Sika Sure Jelantik seraya menunjuk luruslurus ke depan di mana di
atas sebuah batu besar tegak berdiri seorang nenek berjubah hitam. Di kepalanya
bertengger sebuah topi berbentuk tanduk kerbau. Saat itu dia tegak berdiri
sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya yang kulitnya kelihatan merah
terkelupas seolah melepuh! Nenek satu ini adalah Sabai Nan Rancak yang dikenal
sebagai nenek Puti Andini.
Sementara itu Pedang Naga Suci
212 yang tadi berada di tangan Sika Sure Jelantik kini tampak menancap di atas
sebuah batu sampai sedalam sepertiganya, Bagian atasnya bergoyang-goyang
pulang-balik memancarkan kilauan cahaya putih dan deru angin serta hawa dingin.
Apa yang barusan telah
terjadi?
Ketika Sika Sure Jelantik
hendak menyerahkan Pedang Naga Suci 212 pada Puti Andini, belum sempat gadis
ini menyentuh senjata sakti mandraguna itu tiba-tiba muncullah Sabai Nak
Rancak. Dengan satu kelebatan cepat dan gerakan kilat dia berhasil merampas
pedang dari tangan Sika Sure Jelantik. Namun begitu jari-jari tangannya
memegang gagang pedang langsung dia terpekik karena ternyata gagang senjata itu
panas sekali seolah dia memegang bara api. Sabai Nan Rancak kibas-kibaskan
tangan kanannya. Ketika diperhatikannya ternyata telapak tangannya telah
terkelupas melepuh. Pedang sakti yang dilemparkannya menancap di batu sampai
sepertiganya.
“Nenek Sabai!’ berseru Puti
Andini begitu melihat neneknya berada di tempat itu, tegak di atas batu sambil
mengibas-ngibaskan tangannya yang cidera. Sabai Nan Rancak palingkan kepala.
Darahnya langsung naik ke kepala begitu melihat cucunya berada di tempat itu.
“Kau memang cucu murtad! Sejak
dulu aku katakan aku tidak suka kau pergi ke tanah Jawa ini. Ternyata…;”
Pada saat itu
sekonyong-konyong ada orang tertawa mengekeh. Semua kepala dipalingkan ke arah
tebing telaga sebelah kiri di mana terdapat sebuah batu besar berwarna coklat
kehitaman. Di atas batu ini tampak duduk seorang kakek berkepala botak,
mengenakan pakaian putih lusuh.
Tiga orang langsung tercekat.
Yang pertama adalah Sika Sure Jelantik. “Tua bangka botak di atas batu itu.
Kalau aku bisa lebih mendekat dan mencium bau badannya janganjangan….”
Si nenek goyangkan kepalanya
hingga rambut putihnya yang basah riap-riapan tersibak ke belakang.
Kelihatanlah wajahnya yang angker, menatap tajam pada kakek botak di atas batu
yang saat itu masih saja terus tertawa. Sabai Nak Rancak adalah orang ke dua
yang ikut terkesiap melihat kehadiran kakek botak itu, “Aku bertemu pertama
kali dengan manusia satu ini di Lembah Merpati. Hatiku menaruh syak wasangka
tapi tampangnya lain, suaranya juga lain!”
Orang ketiga walau tercekat
tapi diluar sadar bergerak maju satu langkah seraya berseru.
“Kek!”
Kakek botak di atas batu
menyeringai. Tangan kanannya dilambaikan ke arah Puti Andini sedang jari tangan
kirinya disilangkan di depan bibir. “Ssstttt…. Jangan mengganggu tawaku.
Lagipula tak baik ketawa karena ada dua nenek sedang kesakitan di tempat ini!
Ha… ha… ha!”
Melihat gelagat si botak
terhadap Puti Andini baik Sabai Nan Rancak dan Sika Sure Jelantik jadi curiga.
Sika Sure Jelantik segera hendak membentak tapi Sabai Nan Rancak keburu
mendahului.
“Tua bangka botak! Dua kali
dengan ini kita bertemu!”
“Ah, rupanya pertemuan pertama
itu sangat berkesan di hatimu. Berarti sejak itu kau tak pernah melupakan
diriku!”
Wajah keriput Sabai Nan Rancak
menjadi merah padam sementara kakek botak di atas batu kembali tertawa
gelak-gelak.
“Tua bangka botak, otakmu rupanya
kotor dan mulutmu lancang! Perlu apa aku mengingat-ingat dirimu! Tua bangka
edan tak tahu diri!” Memaki Sabai Nan Rancak.
“Ah, pada pertemuan sekali ini
kau jadi pemarah dan galak sekali. Padahal pada pertemuan pertama di lembah itu
kau tenggelam dalam rasa sedih yang amat dalam. Sampai-sampai kau bertanya
padaku, apakah aku bisa membantu membunuh dirimu!”
Kembali wajah Sabai Nan Rancak
merah mengelam.
“Tua bangka sialan! Lekas
katakan siapa kau adanya! Atau kupanggang tubuhmu dengan pukulan ini!” Sabai
Nan Rancak mengancam seraya angkat tangan kanannya. Lang sung tangan ini
menjadi merah. Si nenek rupanya siap menghantamkan pukulan Kipas Neraka!
Orang tua botak di atas batu
angkat kedua tangannya lalu membungkuk dalamdalam.
“Bukan maksudku hendak bersikap
kurang ajar. Bukan maksudku hendak menyinggung perasaanmu. Aku mohon maafmu.
Bolehkah aku mendendangkan lagu yang pernah aku nyanyikan waktu di Lembah
Merpati tempo hari?”
“Manusia jahanam! Siapa sudi
mendengar nyanyianmu!” bentak Sabai Nan Rancak.
Lalu dia berpaling pada
cucunya. “Puti Andini! Lekas kau katakan siapa adanya tua bangka berotak miring
ini!”
“Guru…. Aku….”
“Puti, aku menaruh firasat kau
tahu siapa adanya orang tua botak itu. Siapapun dia adanya kuharap kau tidak
memberi tahu pada gurumu. Aku khawatir keadaan akan tambah kacau di tempat
ini!”
Yang bicara berbisik itu
adalah Panji yang saat itu masih tegak di dekat Puti Andini. Si gadis yang
memang tahu siapa adanya kakek botak itu sebenarnya sudah berniat untuk tidak
membuka rahasia. Namun karena yang bertanya adalah guru dan nenek kandungnya
sendiri maka Puti Andini menjadi gugup.
Sabai Nan Rancak jadi curiga.
Dia melangkah mendekati cucunya dan berkata dengan suara mendesis dan air muka
beringas.
“Berat dugaanku kau tahu siapa
adanya kakek botak itu! Jika kau tidak memberi tahu, aku tak segan-segan
menghajarmu dengan pukulan Kipas Neraka ini!” Sabai Nan Rancak angkat tangan
kanannya yang memancarkan warna merah. Namun gerakannya tertahan ketika dari
pinggiran telaga di samping kirinya melesat keluar tiga sosok tubuh. Mereka
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, Ratu Duyung dan Naga Kuning.
*
* *
SEBELAS
Melihat munculnya Pendekar 212
Wiro Sableng dan Ratu Duyung, Sabai Nan Rancak bertambah naik amarahnya.
“Pemuda jahanam satu ini! Beberapa kali aku ingin membunuhnya. Mungkin sekali
ini baru bisa kesampaian. Aku akan pergunakan pedang sakti yang menancap di
batu!”
Sabai Nan Rancak kerahkan
tenaga dalam ke tangan kiri untuk melindungi diri. Lalu sekali berkelebat dia
berhasil memegang gagang Pedang Naga Suci 212. Ketika senjata itu hendak
ditariknya, kembali nenek sakti dari Pulau Andalas ini terpekik dan tersurut
tiga langkah sambil kibas-kibaskan tangan kirinya. Seperti kejadian dengan
tangan kanannya tadi, kini tangan kirinya ikut melepuh luka. Menyaksikan
kejadian itu Sika Sure jelantik ingat pada apa yang dialaminya lalu perhatikan
tangan kanannya yang cidera.
Di atas batu tinggi kakek
botak kembali tertawa bergelak. Namun mendadak tawanya lenyap, berganti dengan
seruan kaget. “Oo alah!”
Dari dalam telaga untuk
kesekian kalinya melesat keluar sosok-sosok manusia. Yang sekarang ini adalah
sosok Sinto Gendeng dan si Setan Ngompol.
Kakek botak kerenyitkan kening
dan goleng-goleng kepala. “Gawat… gawat! Bagaimana tiga cecunguk ini bisa
muncul bersamaan di tempat ini! Kalau aku tidak bertindak cepat, kalau anak itu
tidak berlaku sigap keadaan bisa jadi tambah tak karuan…” Si botak memandang ke
jurusan Puti Andini.
Maksudnya hendak memberi
isyarat tapi si gadis saat itu justru tengah memandang ke arah lain yakni pada
Pendekar 212 dan Ratu Duyung serta Naga Kuning. Begitu muncul di tepi telaga
Sinto Gendeng langsung berteriak keras hingga suaranya menggelegar di seantero
tempat.
“Jangan ada yang berani
menyentuh pedang!”
Selagi semua orang terkesima
si nenek sakti dari puncak Gunung Gede ini berkelebat menyambar Pedang Naga
Suci 212 yang masih menancap di atas batu. Beg itu jari-jari tangannya yang
kurus menyentuh gagang pedang, Sinto Gendeng menjerit keras dan terjajar ke
belakang sampai dua langkah. Mukanya yang hitam keriput kelihatah kelabu
membesi. Ketika tangan kanannya diperhatikan, tangan itu ternyata telah
terkelupas. Maka disela desis kesakitan si nenek memaki panjang pendek. Lalu
dia bertindak nekad. Walau jelas-jelas tangan kanannya cidera tapi kembali dia
mencekal gagang pedang. Sekali ini dengan mengerahkan tenaga dalam. Ternyata
dia sanggup memegang gagang senjata yang berbentuk kepala naga betina itu. Tapi
hanya sesaat karena dilain kejap kelihatan tubuhnya bergetar keras. Dari
tangannya yang menggenggam pedang mengepul asap putih disusul lelehan darah.
Semakin dia mengerahkan tenaga dalam semakin parah keadaan tangannya. Bahkan
kini dari kepalanya yang ditancapi lima tusuk konde perak tampak mengepul pula
asap putih tipis.
Si nenek menjerit satu kali.
Dia masih berusaha bertahan dan nekad hendak menarik pedang yang menancap di
batu. Lalu dia menjerit sekali lagi. Kali ini yang ke tiga jeritannya disertai
dengan terlemparnya tubuhnya sampai empat langkah lalu terjengkang di atas
batu, tepat di bawah batu tinggi di mana kakek botak berada! Dan seperti tadi
kakek ini lagi-lagi keluarkan tawa mengekeh. Namun kali ini tawanya pendek saja
karena dia menyusul dengan ucapan yang membuat orang-orang yang ada di tepi
telaga itu menjadi tertegun.
Hanya si Setan Ngompol yang
tampak serba salah menekapi bagian bawah perutnya yang ngocor mendengar
jeritan-jeritan dan melihat keadaan tangan Sinto Gendeng yang cidera.
“Berlaku nekad hanya akan
mendapat kualat! Memaksakan niat hanya akan mendapat laknat! Pedang Naga Suci
212 adalah pedang keramat! Pedang Naga Suci 212 adalah sakti dan suci. Pedang
Naga Suci 212 adalah pedangnya kaum hawa. Karenanya hanya perempuan yang suci
saja lah yang sanggup menyentuhnya!”
“Botak gila bermulut sedeng!”
Sinto Gendeng berteriak. “Apa kau kira aku ini manusia kotor!. Puluhan tahun
silam aku telah menguasai senjata ini dan membawanya ke mana-mana lalu
menyimpannya di satu tempat….”
“Orang sakti bertusuk konde
lima,” menjawab kakek botak di atas batu tinggi, “Mulutku mungkin lancang
hingga hati dan perasaanmu tersinggung. Aku tidak mengatakan dirimu manusia
kotor. Tapi keadaan yang menyatakan. Hatimu mungkin baik. Tapi ada perbedaan
antara kebaikan dan kesucian. Seperti kataku Pedang Naga Suci 212 hanya mampu
disentuh oleh perempuan yang masih suci lahir dan batin…. Kalau kau merasa
dirimu suci harap kau mampu menilai sendiri….”
Merah padam wajah Sinto
Gendeng. Dia mengerling pada Sabai Nan Rancak dan melihat tangan kanan nenek
itu cidera berat. Dia memandang ke arah Sika Sure jelantik. Ternyata nenek satu
ini pun penuh luka tangan kanannya. Perlahan-lahan, setelah menyadari arti
ucapan kakek botak tadi, wajah tua nenek ini menjadi berubah.
“Kakek botak! Kau tidak
mengenal diriku dan aku tidak tahu siapa dirimu! Bagaimana kau bisa menilai aku
ini suci atau tidak!” Sinto Gendeng bertanya setengah berteriak tanda dia masih
belum puas.
“Seperti kataku tadi, aku
bukan menilai kau suci atau tidak. Yang mampu mengetahui kesucian dirimu adalah
engkau sendiri. Usiamu sudah puluhan tahun. Apakah seluruh hidupmu kau jalani
dengan kesucian hati dan batin? Katamu dulu kau pernah menguasai dan membawa
Pedang Naga Suci 212 kemana-mana. Mungkin sekali dimasa itu kau masih sebersih
udara pagi, seputih kertas dan seharum bunga melati….” Habis berkata begitu
kakek botak lemparkan lirikan pada Sabai Nan Rancak dan Sika Sure Jelantik.
Untuk beberapa saat lamanya
keadaan di tepi telaga itu menjadi sunyi sehening di pekuburan. Tak ada yang
bicara. Tak ada yang bergerak. Tiba-tiba Naga Kuning keluarkan tawa cekikikan.
“Sayang tokoh silat berjuluk
Tua Gila tidak ada di tempat ini! Kalau saja dia hadir di sini tentu dia
gembira luar biasa melihat tiga kekasihnya dimasa mudanya berkumpul di tempat
ini! Ha… ha… ha!”
“Bocah setan! Kau jangan
berani bicara sembarangan!” teriak Sinto Gendeng karena merasa sangat
tersinggung.
Sabai Nan Rancak yang juga
merasa tersindir gerak-gerakkan sepuluh jari tangannya hingga mengeluarkan
suara berkeretekan dan memandang mendelik pada Naga Kuning. Lalu Sika Sure
Jelantik terdengar menggereng. Tangan kanannya perlahan-lahan diangkat ke atas.
“Tunggu! Jangan kalian marah
padaku!” teriak Naga Kuning mencibir. “Aku bicara apa adanya! Kalian muncul di
sini sebenarnya mencari apa? Pedang Naga Suci 212? Turut ucapan kakek botak di
atas batu sana jelas kalian tidak bakal bisa mendapatkannya….”
“Siapa bilang aku ke sini
mencari pedang!” teriak Sika Sure Jelantik.
“Aku juga!” menimpali Sabai
Nan Rancak.
“Aku memang ke sini mencari
Pedang Naga Suci 212!” ujar Sinto Gendeng polos tanpa malu-malu. Lalu dia
berpaling pada Wiro dan berkata. “Anak setan! Lekas kau ambil pedang sakti
itu!”
“Guru…. Eyang, aku tak bisa
melakukah hal itu. Senjata itu bukan milikku…” jawab Wiro.
“Benar-benar anak setan! Senjata
itu milikku. Aku yang membawanya dan menyembunyikannya di dasar Telaga
Gajahmungkur! Setelah puluhan tahun pedang itu akhirnya ditemui. Sekarang
pedang itu aku berikan padamu sebagai pasangan Kapak Maut Naga Geni 212!”
“Saya tak berani mengambilnya,
Nek…” kata Wiro.
“Tolol pengecut!” teriak Sinto
Gendeng marah. “Apa kau tidak ingat justru senjata itu adalah obat mujarab
untuk memulihkan kesaktian dan tenaga dalammu!”
Wiro terkesima. Dia bukannya
tidak mengetahui hal itu, tapi setelah mendengar katakata kakek botak tadi
hatinya menjadi was-was. Pertama pedang itu katanya adalah pedang perempuan.
Kedua hanya orang suci saja yang mampu menyentuhnya. Dia sendiri bukankah
pernah satu kali ketiduran dengan Ratu Duyung? Secara tak sadar murid Sinto
Gendeng itu melirik ke arah Ratu Duyung. Bagi sang Ratu lirikan itu membuat
hatinya jadi bergoncang. Tiba-tiba Ratu Duyung melompat ke depan. Gadis ini
heran sendiri karena gerakannya luar biasa cepat. Di sekelilingnya tak satu
orang pun yang melihat jelas apa yang dilakukan gadis ini. Tahu-tahu dia telah
tegak sambil memegang gagang Pedang Naga Suci 212 yang menancap di batu!
Sang Ratu merasakan ada satu
hawa dingin sejuk menjalar masuk ke dalam tubuhnya hingga saat dia merasakan
satu ketenangan dan ketentraman luar biasa. Tubuhnya seperti seringan kapas
hingga saat itu dia seolah melayang di atas mega. Tak ada hawa panas, tak ada
sengatan seperti bara api. Kulit tangannya yang halus tidak terkelupas. Dia
sama sekali tidak cidera sedikitpun! Tapi ketika dia coba mencabut senjata itu
dari dalam batu, bagaimanapun dia mengerahkan seluruh tenaga luar dan tenaga
dalam, Pedang Naga Suci 212 tidak bergeming barang sedikit pun!
“Ratu Duyung, kau berhasil
memegang Pedang Naga Suci 212 tanpa terluka tanpa cidera! Berarti kau adalah
seorang gadis yang masih suci lahir dan batin. Tapi kau tidak mampu mencabut
senjata mustika sakti itu dari dalam batu, Itu satu pertanda bahwa kau tidak
berjodoh untuk memilikinya.”
Ratu Duyung dan semua orang
yang ada di tepi telaga memandang ke arah orang yang bicara yakni si kakek
botak di atas batu tinggi.
Wiro garuk-garuk kepala. Dalam
hati dia berkata. “Setelah kejadian di Puri tempo hari, menurut si kakek botak
ternyata gadis ini masih suci. Lalu apakah diriku juga bisa dianggap masih suci?”
Wiro pandangi Pedang Naga Suci 212 yang sampai saat itu masih menancap di batu.
“Wiro!” Tiba-tiba terdengar
teriakan Sinto Gendeng. “Lekas kau ambil pedang itu! Jika Ratu Duyung masih
suci berarti dia masih perawan dan kau masih perjaka! Selain itu kau memerlukan
pedang itu untuk menyembuhkan semua kelemahanmu!” Murid Sinto Gendeng bergerak
melangkah.
“Tunggu dulu!” kakek botak
berseru. “Sudah kukatakan bahwa Pedang Naga Suci 212 adalah senjatanya
perempuan….”
“Jangan dengarkan ucapannya!
Anak setan lekas kau ambil pedang itu lalu tinggalkan tempat ini! Aku akan
menghajar siapa yang berani menghalangi! Setan Ngompol harap kau bantu aku!”
Pendekar 212 jadi bimbang.
Saat itulah Puti Andini memandang ke jurusan si kakek botak. Orang tua ini
tidak menunggu lebih lama. Dia kedipkan matanya lalu tanpa ada lain orang yang
sempat melihat dia tudingkan ibu jari tangan kirinya ke arah Pedang Naga Suci
212 yang menancap di batu.
*
* *
DUA BELAS
Maklum akan arti isyarat
kedipan mata dan gerakan ibu jari yang diberikan kakek botak, maka secepat
kilat Puti Andini berkelebat ke arah batu besar tempat Pedang Naga Suci 212
menancap.
“Berani pegang pedang berarti
mampus!”
Sinto Gendeng berteriak keras.
Nenek ini lalu menerjang ke arah Puti Andini dengan jurus yang disebut Kepala
Naga Menyusup Awan. Tubuh si nenek laksana terbang di udara. Tangan kiri
menyambar ke pinggang sedang tangan kanan memukul ke arah kepala Puti Andini.
Wiro yang menyaksikan gerakan
sang guru jadi terperangah. Garukan kepalanya terhenti di samping kuping kanan.
Dia maklum jurus yang dilancarkan Eyang Sinto Gendeng saat itu sangat cepat dan
berbahaya. Puti Andini tak mungkin mengelakkan diri. Di saat yang sama Sika
Sure Jelantik tak tinggal diam. Melihat Sinto Gendeng menyerang Puti Andini
yang sebelumnya dipercayakannya untuk menitipkan Pedang Naga Suci 212, maka
sambil berteriak beringas, “Tua bangka edan! Hendak kau apakan cucuku?!”
Sika Sure Jelantik lantas
memotong gerakan nenek sakti dari Gunung Gede ini dengan satu pukulan sakti yang
“dilancarkan dengan tangan kiri. Lima larik sinar hitam berkiblat dari ujung
lima kuku tangan kirinya yang hitam.
“Tua bangka setan!” maki Sinto
Gendeng dalam hati. “Berani dia menyerangku! Dia menyebut gadis itu cucunya!
Apa-apaan ini! Aku tahu betul siapa dia! Sama sekali tidak punya hubungan
apa-apa dengan si gadis walau sama-sama datang dari seberang!”
Sabai Nan Rancak juga
terkejut. Sesaat dia bimbang. Ada yang harus dilakukannya dalam keadaan seperti
itu. Semua berlangsung begitu cepat. Kalau dia ikut turun ke gelanggang
pertempuran siapa yang hendak diserbunya. Sejak dulu sesuai dengan tugas yang
diberikan Sutan Alam Rajo Di Bumi, tokoh silat di Gunung Singgalang, saat itu
dia ingin segera membunuh Sinto Gendeng. Apalagi Sinto Gendeng jelas menyerang
cucunya dan berusaha merampas Pedang Naga Suci 212. Tapi menduga bahwa ada
hubungan tertentu antara Puti Andini dengan Sika Sure Jelantik yang juga
dibencinya maka dia khawatir Sika Sure Jelantik nantinya akan kembali merampas
pedang sakti itu dari tangan si gadis.
“Tak ada jalan lain! Aku harus
mendahului merampas pedang sakti itu!” kata Sabai Nan Rancak dalam hati. Maka
dia segera melepas pukulan K/pas Neraka. Sinar merah panas bertabur di udara
lalu melebar menyapu apa saja yang ada di depannya. Siap menghantam Sika Sure
Jelantik, Sinto Gendeng bahkan Puti Andini.
Melihat bahaya besar mengancam
Puti Andini, Panji tak tinggal diam. Pemuda ini segera turun tangan membantu.
Yang dilakukannya adalah menyergap Sinto Gendeng yakni lawan yang paling dekat
dengan si gadis. Seperti-diketahui walau memiliki ilmu silat namun tingkat
kepandaian pemuda ini jauh dibawah semua orang yang ada di tempat itu.
Sebenarnya Panji sendiri mengetahui hal ini. terjun ke gelanggang pertempuran
tokoh-tokoh silat tingkat tinggi itu sama saja dengan mengantar nyawa. Namun
apapun yang terjadi atas dirinya Panji tidak rela kalau Puti Andini sampai
mendapat celaka. Sinto Gendeng memaki dalam hati begitu tahu ada orang hendak
menelikung pinggangnya. Masih melayang di udara Sinto Gendeng hantamkan kaki
kanannya.
“Bukk!”
Panji mengeluh tinggi.
Tubuhnya terpental sampai dua tombak. Tergeletak di bawah batu tinggi di mana
kakek botak berada. Dari sela bibirnya kelihatan lelehan darah. Sementara itu
sesaat lagi lima larik sinar hitam pukulan maut Sika Sure Jelantik akan
menghantam Puti Andini dan sinar merah pukulan Kipas Neraka menebar kematian
tibatiba di udara berkelebat se-gulungan benda aneh, putih halus berkilauan. ,
“Jahanam apa pula ini?!”
Sinto Gendeng memaki sewaktu
tangannya yang siap menghantam Puti Andini terjirat oleh sesuatu yang tak
segera bisa dilihat dan dipastikannya. Disaat yang sama sekonyong-konyong
menggemuruh kiblatan cahaya putih disertai menebarnya hawa yang sangat dingin.
Lima larik sinar hitam pukulan yang dilepaskan Sika Sure Jelantik buyar laksana
disapu topan.
Pukulan Kipas Neraka masih
mampu menyebar dan menderu namun arahnya berubah ke atas menghantam udara
kosong. Beberapa orang terpental lalu jatuh tergeletak di sekitar tebing batu.
Selagi orang-orang ini berusaha bangkit dengan tubuh bergeletar kedinginan
tiba-tiba dari atas melayang jatuh sebuah benda hitam.
“Taaarrr!”
Sebelum jatuh ke atas batu
benda ini meledak. Lalu asap hitam yang memerihkan mata bertabur menutupi
pemandangan. Kutuk serapah terdengar di mana-mana.
Ketika asap hitam lenyap dan
udara di tepi telaga terang kembali maka di tempat itu yang kelihatan hanya
tinggal tiga orang. Yang pertama adalah Sinto Gendeng. Nenek sakti ini memaki
panjang pendek sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya yang dilibat oleh
sejenis benang halus berwarna putih berkilat. Dia segera mengenali benang itu.
Membeliaklah sepasang matanya.
“Setan alas! Ini pasti
pekerjaannya Tua Gila! Jahanam benar! Kakek botak tadi pasti dia!”
Orang kedua adalah Sabai Nan
Rancak. Nenek satu ini melangkah mundar mandir sambil keluarkan suara
menggerutu. Ketika dia memutar langkah maka pandangannya saling bentur dengan
Sinto Gendeng.
“Kalau kau memang membenci
manusia satu itu, mengapa kau tidak mengejarnya! Aku curiga kalian sudah sejak
lama berserikat!” Sabai Nan Rancak menyemprot Sinto Gendeng yang merupakan
saingannya dimasa gadis remaja dalam memperebutkan Sukat Tandika alias Tua
Gila. Mendengar kata-kata Sabai Nan Rancak itu marahlah Sinto Gendeng. “Aku
tahu otakmu miring sejak dulu! Aku juga tahu kau mencari Tua Gila bukan untuk
membalas dendam. Tapi hendak berbaik-baik dan ingin menjadi gendaknya kembali!
Rupanya kau mau minta dibikin bunting lagi hah?!”
“Nenek setan bermulut kotor!”
teriak Sabai Nan Rancak lalu lepaskan pukulan Kipas Neraka dengan tenaga dalam
penuh. Sinto Gendeng tidak tinggal diam. Dia tahu kehebatan pukulan lawan. Tapi
tahu pula kelemahannya. Pukulan Kipas Neraka seperti diketahui menebar lebar
sama rata dengan tanah. Karenanya begitu sinar merah berkiblat Sinto Gendeng
segera melesat setinggi tiga tombak. Lalu dari atas dia menghantam dengan
Pukulan Sinar Matahari!
Seperti diketahui Pukulan
Sinar Matahari telah menimbulkan kegegeran selama Pendekar 212 Wiro Sableng
malang melintang dalam rimba persilatan. Namun sekali ini yang mengeluarkan
pukulan sakti itu adalah sang dedengkotnya yakni nenek sakti Sinto Gendeng guru
Pendekar 212. Maka kedahsyatannya tak bisa dibayangkan.
Tempat itu laksana dilabrak
petir raksasa. Udara dilanda kesilauan luar biasa. Hawa panas membakar seolah
matahari hanya satu tombak di atas batok kepala. Air Telaga Gajahmungkur
bergemericik seperti mendidih.
Cahaya putih Pukulan Sinar
Matahari saling labrak dengan sinar merah pukulan Kipas Neraka. Karena Sinto
Gendeng menghantam dari atas maka pukulan saktinya melabrak pukulan sakti lawan
di bagian tengah yang merupakan titik lemahnya. Satu letusan keras menggelegar.
Batu dan tanah di tepi telaga bergetar hebat. Air telaga muncrat sampai dua
tombak. Pohon-pohon berderak. Ranting-ranting putus dan dedaunan luruh ke tanah
laksana dilanda topan.
Sinto Gendeng melayang turun.
Tubuhnya seolah barusan menembus dinding api. Ketika dia menjejakkan kaki di
tanah jelas nenek ini terhuyung-huyung. Lututnya goyah. Tiga tombak di depannya
Sabai Nan Rancak terjengkang di tanah dengan muka seputih kain kafan. Tiba-tiba
nenek sakti dari Singgalang ini berteriak keras. Dia bangkit berdiri dengan
muka seperti iblis. Dengan gerakan cepat dia menanggalkan Mantel Sakti yang
dikenakannya sambil melangkah cepat mendekati lawan.
Sinto Gendeng yang maklum akan
kehebatan Mantel Sakti yang dulunya adalah milik Datuk Tinggi Raja Di Langit
ini tidak mau berlaku ayal. Dengan tangan kiri dia segera cabut dua tusuk konde
peraknya. Lalu tangan kanannya diangkat ke atas. Ketika tangan kiri kanan Sinto
Gendeng menghantam ke depan maka dua tusuk konde perak menderu di udara dan
pukulan sakti bernama Tameng Sakti Menerpa Hujan berkiblat.
Sabai Nan Rancak belum sempat
mengebutkan mantel hitamnya untuk menyerang Sinto Gendeng. Tahu-tahu lengan
bajunya sebelah kanan robek besar. Dia masih untung karena tusuk konde beracun
yang dilemparkan Sinto Gendeng hanya merobek pakaiannya. Namun selagi dia
terhuyung-huyung menahan dahsyatnya hantaman pukulan Tameng Sakti Menerpa
Hujan, tusuk konde kedua menyambar deras ke sisi kirinya. Sabai Nan Rancak
angkat tangan kiri ke atas, pergunakan mantel hitam untuk menangkis.
“Breeeettt!”
Mantel Sakti robek besar.
Ujung tusuk konde menekuk bengkok tapi masih terus menembus mantel lalu bagian
kepalanya menoreh lengan kiri Sabai Nan Rancak. Nenek ini terpekik dan pucat
wajahnya begitu melihat dari balik lengan kiri jubah hitamnya yang robek ada
darah meleleh. Saat itu juga dia merasakan tangannya panas. Hawa panas segera
menjalar ke seluruh tubuhnya. Terhuyung-huyung dia sandarkan diri ke pohon
besar di tepi telaga. Memandang ke depan dia tidak melihat lagi sosok Sinto
Gendeng. Hanya tampak nenek berambut putih riap-riapan Sika Sure Jelantik tegak
sekitar sepuluh langkah darinya, memandang menyeringai seolah mengejeknya. Lalu
nenek itu pun berkelebat pergi.
“Tusuk konde jahanam…” maki
Sabai Nan Rancak. Dia jatuhkan mantel hitam ke tanah. La lu dengan tangan
kanannya dirobeknya jubah hitam di bagian mana lengannya terluka akibat goresan
tusuk konde perak. Dengan cepat nenek ini tekan kuat-kuat lengannya yang
cidera. Dari luka di lengan itu membersit lelehan darah berwarna kehitaman.
“Racun…. Tusuk konde celaka
itu ternyata mengandung racun jahat!” Tidak menunggu lebih lama Sabai Nan Rancak
segera totok urat besar di pangkal lehernya sebelah kiri.
Pada saat itulah tiba-tiba ada
seorang tinggi besar berambut tegak kaku berkelebat di depannya. Di mukanya
yang hitam ada dua belas lobang mengerikan. Sepasang alisnya yang tebal
bergabung menjadi satu. Di bahu kanannya sebelah belakang ada satu lobang luka
besar yang tembus sampai ke bagian dada dan menebar bau busuk. Walau
penglihatannya saat itu mulai buram namun Sabai Nan Rancak masih bisa mengenali
siapa adanya orang berpakaian serba hitam itu. Hantu Balak Anam!
“Kau muncul lagi! Aku tak suka
melihatmu! Lekas menyingkir dari hadapanku!” Hantu Balak Anam menyeringai.
“ingat dua kali pertemuan kita
sebelumnya Sabai?”
“Persetan dengan pertanyaanmu!
Cepat minggat dari hadapanku!” bentak Sabai Nan Rancak.
Hantu Balak Anam kembali
menyeringai. Dia melirik pada Mantel Sakti yang ada di tanah. Takut mantel itu
hendak diambil orang si nenek segera injakkan kaki kanannya di atas mantel.
“Tak usah khawatir Sabai. Aku
tidak akan merampas Mantel Sakti itu. Aku tahu itu adalah barang curian. Kau
mencari penyakit sendiri karena dengan mencuri kau menambah musuh. Apa kau
masih belum mengerti kalau kau telah diperalat orang? Dengar baik-baik Sabai.
Terakhir sekali bertemu aku menanyakan padamu apa kau punya hubungan tertentu
dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi dari puncak Singgalang…”
“Manusia jahanam! Pergi dari
hadapanku!” hardik Sabai Nan Rancak. Tangan kanannya diangkat.
“Kau berada dalam keadaan
terluka Sabai. Lukamu bukan luka biasa. Kurasa saat ini sekujur tubuhmu sudah
dijalari racun. Kalau kau kerahkan tenaga dalam untuk menghantamku dengan
Pukulan Kipas Neraka, sama saja kau mempercepat kematian sendiri!”
Pucatlah paras si nenek.
Tengkuknya dingin karena dia menyadari apa yang dikatakan Hantu Balak Anam
benar adanya.
“Dengar apa yang akan
kukatakan padamu Sabai. Beberapa tokoh silat Pulau Andalas kembali ditemui
tewas akibat pembunuhan keji. Ada berita bahwa kaulah yang telah membunuh
mereka….”
“Fitnah busuk! Mana mungkin
aku membunuh para tokoh itu. Selama ini aku berada di tanah Jawa!” kata Sabai
Nan Rancak hampir berteriak. “Katakan siapa yang melancarkan fitnah keji itu!
Mungkin sekali kau!”
Hantu Balak Anam tertawa,
“ingat, dulu aku pernah sampai dua kali menanyakan apa hubunganmu dengan Sutan
Alam Rajo Di Bumi. Kau tidak mau memberi tahu. Itu tak jadi apa. Tapi terus
terang aku menaruh curiga padamu Sabai. Kalau terbukti kau memang berkomplot
dengan Sutan keparat itu, aku akan mengadu jiwa denganmu! Lihat tubuhku yang
bolong ini! Kekasih gelapmu itulah yang telah mencelakai diriku!”
“Manusia jahanam! Mulutmu
lancang dan kotor!” Sabai Nan Rancak melompat ke hadapan Hantu Balak Anak dari
Sijunjung yang diserang cepat menghindar.
“Tua bangka tolol! Tidak tahu
kalau dirimu diperalat orang! Kau tahu Sabai! Aku mendapat kabar Sutan Alam
Rajo Di Bumi lenyap dari puncak Singgalang. Cepat atau lambat dia akan segera
muncul di tanah Jawa ini. Mungkin dia tak dapat menahan rindunya terhadapmu.
Tapi mungkin juga dia datang untuk membunuhmu!”
Habis berkata begitu Hantu
Balak Anam putar tubuh lalu dengan langkah tenang dia tinggalkan tempat itu.
Sabai Nan Rancak kembali terduduk di bawah pohon besar. Tubuhnya terasa semakin
panas dan pemandangannya bertambah kabur.
“Celaka! Racun jahat tusuk
konde nenek iblis itu. Sanggupkah aku bertahan atau aku akan menemui ajal di
tempat ini?”
Sabai Nan Rancak kerahkan
tenaga dalam, atur jalan darah dan pernafasan. Dia menotok lagi tubuhnya di
beberapa bagian. Saat itulah tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat di hadapannya.
Bau sangat harum menusuk- penciumannya. Si nenek angkat kepalanya.
“Gadis berbaju biru, pikiranku
sedang kacau. Apakah kita pernah bertemu? Apakah kau datang bermaksud baik atau
jahat?”
“Lupakan semua pertanyaanmu
itu Nek. Kau terluka cukup parah. Ada racun mengalir dalam tubuhmu, izinkan aku
menolong.”
Sabai Nan Rancak tampak
bimbang. “Terima kasih…. Tapi aku tidak percaya padamu. Aku memilih lebih baik
mati saja. Kehidupan dimasa laluku hanya derita sengsara. Kehidupan dimasa
datang hanyalah neraka! Jangan berani menolong! Jangan berani menyentuh
tubuhku!”
“Aku tak pernah melihat racun
sejahat ini. Siapa yang telah mencelakaimu Nek?”
“Iblis perempuan bernama Sinto
Gendeng! Musuh besarku sejak lama. Sial nasib diriku! Ternyata kepandaiannya
luar biasa dan mampu bergerak mendahuluiku. Apa salah kalau saat ini aku
rasanya kepingin mati saja?!”
Berubahlah paras si gadis
berbaju biru mendengar keterangan Sabai Nan Rancak itu. Dalam hati dia
bertanya-tanya silang sengketa apa yang ada antara si nenek dengan guru pemuda
yang dikasihinya itu.
“Nek, jangan tolol. Tidak ada
yang paling menyedihkan daripada menemui kematian secara penasaran. Lihat
jariku!”
“Eh, kau hendak melakukan
apa?!” tanya Sabai Nan Rancak ketika dilihatnya gadis cantik di hadapannya
meluruskan jari telunjuk tangan kanannya. Jawaban yang diterima si nenek adalah
satu totokan tepat di pertengahan keningnya. Sabai Nan Rancak menjerit keras.
Topi berbentuk tanduk kerbau yang melekat di kepalanya terlempar ke atas. Dari
ubun-ubunnya mengepul asap kehijau-hijauan.
Bidadari Angin Timur menghela
napas lega. “Terlambat aku menolongnya-nyawa nenek satu ini tak mungkin
diselamatkan lagi….” Lalu dari baiik pakaian birunya dia mengeluarkan sebutir
obat berwarna hijau. Obat ini dimasukkannya ke dalam mulut Sabai Nan Rancak.
Dengan satu totokan pada tenggorokan si nenek, obat itu meluncur masuk ke dalam
perut Sabai Nan Rancak.
“Sebetulnya aku ingin menunggu
sampai kau siuman Nek. Banyak yang bisa kita bicarakan. Sayang waktuku sangat
sempit. Mungkin lain waktu kita bisa bertemu lagi….Semoga lekas sembuh.”
Setelah pandangi wajah tua keriput itu sesaat Bidadari Angin Timur segera
tinggalkan tempat itu.
*
* *
TIGA BELAS
Seperti diceritakan
sebelumnya, setelah ada letusan yang menebar asap hitam memerihkan mata menutup
pemandangan beberapa orang yang tadi berada di sekitar tepian Telaga
Gajahmungkur lenyap. Yang tinggal hanyalah Sinto Gendeng, Sika Sure Jelantik
dan Sabai Nan Rancak.
Sesudah terjadi bentrokan
hebat antara Sabai dan Sinto Gendeng, Sika Sure Jelantik tinggalkan tempat itu
sementara Sinto Gendeng sendiri telah lenyap lebih dulu. Nenek ini berkelebat
pergi ke arah lenyapnya kakek tukang kencing si Setan Ngompol. Lalu kemana
perginya orang-orang yang lain?
Di arah timur Telaga Gajahmungkur
saat itu tampak kakek berkepala botak berjalan memanggul sesosok tubuh pemuda
tanpa baju. Kakek ini tampaknya seperti berjalan biasa saja. Namun orang yang
ada di belakangnya dan berusaha mengejar tetap saja mengalami kesulitan
mendekati si kakek.
Pemuda yang dipanggul di bahu
kiri si kakek ternyata adalah Panji yang saat itu berada dalam keadaan setengah
sadar akibat tendangan kaki kanan Sinto Gendeng. Sekujur tubuhnya terikat dalam
gulungan benang halus berwarna putih berkilauan.
“Kek! Tunggu!” Seseorang di
sebelah belakang berseru memanggil kakek botak.
Kakek botak seolah tak acuh.
Dia lari terus. Di satu kelokan jalan dia membelok ke kiri, menyelinap ke balik
serumpunan pohon bambu dan mendekam di situ. Ketika orang yang mengejar sampai
di tikungan jalan tentu saja dia jadi kehilangan.
“Kek! Di mana kau! Aku tahu
kau bersembunyi! Ini bukan saatnya bergurau!” Orang yang mengejar ini bukan
lain adalah Puti Andini. Di tangan kanannya gadis ini memegang Pedang Naga Suci
212 yang berkilauan terkena siraman matahari.
“Sssttt! Aku di sini…. Lekas
kemari!”
Batang-batang bambu terkuak ke
samping. Dari celah-celah pohon muncul satu kepala botak menyeringai. Puti
Andini cepat melompat lalu menyelinap ke balik rerumpunan bambu.
“Cucuku, lekas kau simpan
pedang sakti itu!” kata kakek botak begitu melihat Puti Andini masih memegang
pedang telanjang.
Si gadis sesaat jadi bingung.
“Bagaimana aku mau menyembunyikan. Pedang ini tidak bersarung….”
“Anak tolol! Sejak diciptakan
senjata itu memang tidak punya sarung!” Dengan cepat kakek botak mengambil
Pedang Naga Suci 212 dari tangan Puti Andini. Dengan tangan kanannya dia
menekuk ujung pedang lalu enak saja seperti sebuah ikat pinggang senjata itu
digulungnya. Bersamaan dengan tergulungnya pedang, cahaya putih yang
menyilaukan lenyap dengan sendirinya. Puti Andini jadi terheran-heran
menyaksikan hal itu. Sedang kakek botak kepanasan tangannya.
“Lekas kau sembunyikan senjata
ini di balik pakaian. Hati- hati. Jangan sampai jatuh. Jangan sampai ketahuan
orang lain!”
Puti Andini cepat mengambil
Pedang Naga Suci yang kini berada dalam keadaan tergulung lalu memasukkannya ke
balik baju hijaunya. “Kek, menurutmu Pedang Naga Suci 212 hanya bisa disentuh
oleh perempuan yang masih suci. Barusan kau enak saja memegang, bahkan
menggulung senjata itu tanpa cidera seperti yang terjadi dengan nenek Sika Sure
Jelantik dan Sinto Gendeng serta Sabai Nan Rancak….”
Kakek botak tersenyum. “Aku
memang bukan perempuan, bukan juga manusia suci. Tapi aku tidak punya niat
jahat untuk merampas atau memiliki senjata ini….”
“Tapi Kek….”
“Sudah! Jangan banyak tanya
dulu. Lekas ikut aku. Kita harus sembunyi. Aku khawatir ada orang mengikuti….”
Kakek botak balikkan badan, melangkah cepat memasuki kerapatan pepohonan.
“Tunggu Kek!”
“Apa lagi? Kenapa kau jadi
begini bawel?!”
“Kek, aku tahu kau belakangan
ini suka menyamar. Tapi lama-lama aku jadi bingung sendiri melihat mukamu….”
“Kalau begitu jangan lihat
mukaku!” kata si kakek lalu tertawa mengekeh sambil usap-usap kepalanya yang plontos.
Puti Andini geleng-geleng
kepala. Ketika orang tua itu hendak melangkah cepat dia pegang lengannya dan
bertanya. “Kek, sahabatku pemuda yang kau panggul ini bagaimana keadaannya?”
Puti Andini merasa cemas melihat noda darah di mulut Panji.
“Tak usah khawatir. Dia cuma
pingsan,” jawab si kakek. “Eh, kau suka padanya bukan…?”
“Kau tahu apa mengenai
hubungan kami berdua. Aku mengenalnya belum lama,”
jawab Puti Andini. Kakek botak
tertawa. “Cinta kalau ditunggu tak pernah datang. Malah suka muncul secara
tiba-tiba.
“Ha… ha… ha! Aku tahu kau suka
padanya. Aku bisa melihat dari sinar matamu dan nada suaramu waktu bertanya….”
Paras Puti Andini menjadi
merah. Terlebih ketika dilihatnya Panji menggerakkan kepala dan membuka mata.
Walau tidak melihat tapi kakek botak tahu kalau pemuda yang dipanggulnya telah
sadarkan diri.
“Anak muda, kau sudah siuman.
Apa sudah bisa berjalan sendiri? Pinggangku mau patah sejak tadi memanggulmu!”
“Kakek, aku tidak mengenalmu.
Tapi kau telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih. Jika kau mau melepas
lilitan benang aneh ini aku segera akan turun dari bahumu!”
Kakek botak tertawa lalu
gerakkan tangan kanannya yang memegang ujung benang putih halus. Tubuh Panji
tersentak ke udara. Bergulung-gulung beberapa kali lalu jatuh ke tanah dengan
kaki lebih dulu. Sesaat pemuda ini tegak terhuyung-huyung. Kakek botak menunggu
sampai Panji sanggup berdiri dengan benar baru menarik benang putih halus yang
masih melilit sebagian tubuhnya.
“Sudah… sudah! Tak usah pakai
segala macam peradatan!” kata si kakek botak ketika Panji hendak menjura
memberi penghormatan padanya. “Lekas ikuti aku. Kita harus sembunyi sampai
keadaan aman!”
“Kek, aku harus mencari
seseorang. Aku terpaksa tidak bisa ikut bersamamu!”
“Eh, apa-apaan kau ini! Tadi
kau mengejarku. Sekarang malah mau pergi!” Kakek botak pelototkan mata.
“Aku ada urusan sangat
penting. Aku harus menemui Wiro Sableng. Kita sudah mendapatkan Pedang Naga
Suci 212. Saatnya kita menolong pemuda itu….”
Mendengar kata-kata si gadis
kakek kepala botak jadi terkesiap. “Astaga! Kau benar cucuku. Tapi yang lebih
penting saat ini adalah menyelamatkan lebih dulu senjata mustika itu. Kau tahu
mengapa aku sengaja membawamu bersembunyi di tempat ini. Semua orang yang tadi
ada di telaga pasti berusaha mendapatkan Pedang Naga Suci 212. Se-karang kalian
berdua ikuti saja aku. Ada satu goa rahasia tak jauh dari tempat ini. Kita
sembunyi dulu di sana sampai keadaan aman.”
Kakek botak lalu putar
tubuhnya dan berjalan mendahului di sebelah depan. Panji memberi kesempatan
pada. Puti Andini untuk melangkah di belakang si kakek. Ketika gadis ini lewat
di depannya dia segera berbisik. “Tadi kau bicara menyebut-nyebut Pedang Naga
Suci 212. Tapi aku tidak melihat senjata itu. Kau simpan di mana?”
“Aku tak bisa menerangkan
sekarang….” jawab Puti Andini.
Panji»masih belum puas. “Kakek
botak itu. Apa kau kenal padanya. Apa dia bisa dipercaya?”
“Dia kakekku sendiri. Aku
cucunya. Dia yang memberi petunjuk padaku hingga mendapatkan Pedang Naga Suci
212. Apa atasanku tidak mempercayainya?”
“Aku ingat pada ceritamu
tentang batu hitam. Ternyata kau hanya mengelabui diriku,” ujar Panji agak
kecewa. Namun sambil tersenyum dia menunjuk pada kakek botak yang sudah jauh di
depan sana.
“Aku melihat wajahnya aneh.
Sepertinya dia….”
“Hemmm….” Puti And ini
bergumam. Dalam hati gadis ini berkata. “Jangan-jangan dia tahu kalau kakekku
ini menyamar mengenakan topeng tipis.” Dengan tersenyum si gadis akhirnya
berkata, “Ternyata matamu cukup tajam. Tidak banyak orang punya kepandaian
meneliti sepertimu. Tapi sekali lagi aku bilang, sekarang bukan waktunya
menerangkan segala-galanya. Nanti saja….” Habis berkata begitu Puti Andini
segera bergerak cepat menyusul kakek botak. Panji akhirnya mengikuti di
belakang. Baru saja ke dua orang ini berjalan beberapa langkah tiba-tiba dari
arah kanan terdengar suara bentakan-bentakan. Lalu ada sinar merah, kuning dan
hitam berkiblat di udara. Serta merta ranting dan daundaun pepohonan yang ada
di sekitar tempat itu terbakar hangus. Semak belukar dikobari api.
“Astaga! Apa yang terjadi?!”
ujar Panji. Baru saja pemuda ini berkata begitu tiba-tiba kakek botak sudah
berada di hadapan mereka.
“Lekas ikuti aku. Sesuatu
terjadi di sebelah sana. Mungkin hanya tipuan belaka. Jangan melakukan sesuatu
tanpa izinku!” Lalu kakek botak cepat berkelebat di antara kerapatan pepohonan.
Panji dan Puti Andini mengikuti sambil berpegangan tangan.
Berjalan sejarak lima belas
tombak ke. tiga orang itu sampai di «satu tempat yang ditumbuhi rapat
pohon-pohon jati tua yang tidak lagi memiliki daun. Di depan sebatang pohon
jati besar berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Dia mengenakan pakaian serba
hitam dan rambutnya gondrong sebahu. Pemuda ini tegak dengan kaki merenggang,
tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan diangkat di atas kepala
dengan jari-jari terkepal.
Delapan langkah dari hadapan
pemuda tadi tegak Ratu Duyung. Cermin bulat sakti tergenggam di tangan
kanannya. Sepasang matanya yang biru memandang tak berkesip pada pemuda di
depannya yang bukan lain adalah Raden Layang Kemitir yang dalam rimba
persilatan memperkenalkan diri dengan julukan Utusan Dari Akhirat. Seperti
dituturkan dalam Episode Utusan Dari Akhirat pemuda yang adalah putra seorang
bangsawan terhormat di Banten ini telah menemukan sebuah kitab sakti bernama
Matahari Sumber Segala Kesaktian. Kitab ini ditemukannya di balik pakaian Si
Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, guru Pangeran Matahari yang menemui aja!
sewaktu terjadi bentrokan besar di Pangandaran. Berbekal ilmu kesaktian yang
tersimpan di dalam kitab maka arwah Si Muka Bangkai yang menampakkan diri
secara aneh memerintahkan Layang Kemitir untuk mencari dan membunuh tiga musuh
besarnya yang sekaligus musuh Pangeran Matahari. Ketiga orang itu adalah
Santiko alias Bujang Gila Tapak Sakti, Tua Gila dan Wiro Sableng. Ketika Wiro
dan Ratu Duyung meninggalkan Telaga Gajahmungkur kedua orang ini segera
melakukan pengejaran terhadap Puti Andini yang telah mendapatkan Pedang Naga
Suci 212. Karena Wiro tidak mampu berlari secepat yang dilakukannya, maka untuk
dapat mengejar Puti Andini, Ratu Duyung menempuh jalan pintas. Mereka hampir
berhasil memapasi orang yang dikejar namun justru di tempat itu berselisih
jalan dengan Utusan Dari Akhirat. Pemuda ini dalam perjalanan menuju Telaga
Gajahmungkur. Rupanya dia juga telah menyirap kabar akan terjadi sesuatu di
telaga yang luas itu. Beg itu melihat Wiro, Utusan Dari Akhirat segera
menghadang.
“Pendekar 212! Kau sudah
ditakdirkan mati di tanganku! Apa sekali ini kau masih mampu kabur?!”
Beg itu membentak Layang
Kemitir langsung menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari ke arah Wiro.
Langit seolah menjadi redup. Tiga larik sinar aneh menyambar ganas. Ratu Duyung
yang berada di samping murid Sinto Gendeng cepat mendorong pemuda itu hingga
Wiro terpelanting dua tombak dan jatuh di balik sebatang pohon besar.
“Ratu! Lekas menyingkir!
Pemuda itu hendak menyerang dengan pukulan Gerhana Matahari!” Wiro berteriak
memperingatkan karena dia mengenal sekali pukulan sakti yang akan dilancarkan
Utusan Dari Akhirat.
*
* *
EMPAT BELAS
Tapi saat itu ada satu
keberanian luar biasa dalam diri Ratu Duyung. Tangan kanannya menyelinap ke
balik pakaian mengeluarkan cermin saktinya. Ketika dia mengerahkan tenaga dalam
mendadak dia merasa ada satu kekuatan aneh mendahului aliran tenaga dalamnya.
Begitu dia mengiblatkan cermin saktinya maka menggemuruhlah selarik sinar
putih, panas menyilaukan mata laksana ada puluhan kilat menyambar menjadi satu!
Ratu Duyung terkesiap sendiri
ketika menyaksikan bagaimana cahaya putih yang keluar dari cerminnya menghantam
Pukulan Gerhana Matahari yang mengeluarkan sinar merah, kuning dan hitam hingga
melesat bertaburan ke udara. Menghantam ranting-ranting dan daun pepohonan
hingga terbakar. Ranting-ranting yang dikobari api itu begitu luruh ke bawah
langsung membakar semak belukar kering yang ada di sekitar tempat itu.
“Lagi-lagi cermin ini mengeluarkan kehebatan luar biasa tidak seperti
biasanya…” kata sang Ratu dalam hati.
Layang Kemitir tegak
terbelalak. Dadanya berdenyut sakit. Matanya perih dan sepasang lututnya
bergetar. Sejak mewarisi ilmu kesaktian dari kitab Matahari; Sumber Segala
Kesaktian, pemuda ini merasa dirinya sebagai yang paling hebat. Karena-nya dia
menjadi kecut ketika serangannya tadi dihantam mental oleh cahaya putih yang
keluar dari cermin bulat di tangan Ratu Duyung. Sambil menggeram dia angkat
tangannya lurus-lurus ke atas. Jari-jari tangan dikepal.
“Wiro, siapa sebenarnya pemuda
edan ini?” bertanya Ratu Duyung.
“Dia mengaku murid Si Muka
Bangkai, mengaku sebagai saudara seperguruan Pangeran Matahari. Awas Ratu! Dia
hendak melepas pukulan Merapi Meletus,” bisik Wiro pada Ratu Duyung. “Sebaiknya
kita lekas menyingkir. Tak usah melayani pemuda geblek itu. Aku khawatir….”
“Kau tetap saja di balik pohon
itu. Siapapun yang berani berlaku kurang ajar terhadap kita perlu diberi
pelajaran pahit!” jawab Ratu Duyung. Saat itu tangan kirinya mengusap ke dada
dimana tersimpan Kitab Wasiat Malaikat. Gadis ini tahu sekali bahwa kekuatan
hebat yang mengalir mendahului hawa sakti cermin bulatnya berasal dari kitab
sakti itu. Karenanya penuh percaya diri dia tegak tak bergeming menghadapi
Layang Kemitir.
“Gadis cantik bermata biru!”
seru Layang Kemitir seraya sunggingkan seringai genit yang menjijikkan Ratu
Duyung. “Apa gunanya membela pemuda sableng yang bakalan menemui ajal menjadi
bangkai tak berguna itu! Lebih baik kau ikut padaku. Kita bisa hidup
bersenang-senang sepanjang umur dunia!”
“Pemuda jahanam! Berani kau
bicara kurang ajar!” teriak Pendekar 212. Dia melompat dari balik pohon, siap
menyerang Layang Kemitir. Tapi Ratu Duyung cepat menahan dadanya dan mendorong
Wiro.
“Ho… ooo! Pendekar 212 Wiro
Sableng? Ke-kasihmu atau istrimu?! Ha… ha… ha!”
Wiro menggeram marah sampai
tubuhnya bergetar keras. Ratu Duyung sendiri tetap tenang walau dari hidungnya
saat itu dia keluarkan suara mendengus. Sepasang matanya yang biru dan wajahnya
yang cantik membersitkan hawa menggidikkan tapi dari mulutnya malah keluar
suara tawa memanjang.
“Pemuda tak tahu diri! Baru
memiliki ilmu se-dangkal comberan sudah bicara takabur setinggi langit! Kau mau
melepaskan pukulan Merapi Meletus?! Silahkan! Aku mau lihat sampai di mana
kehebatanmu!”
Ratu Duyung melintangkan
cermin saktinya di depan dada. Pada saat itu juga hawa sakti mencuat keluar
dari perutnya di bagian mana dia menyembunyikan Kitab Wasiat Malaikat. Hawa
aneh ini lalu masuk ke dalam cermin sakti hingga benda itu memancarkan sinar
menyilaukan.
Utusan Dari Akhirat sesaat
jadi terkesiap melihat keangkeran cahaya yang keluar dari cermin bulat. Selain
itu diam-diam dia merasa terkejut bagaimana Ratu Duyung tahu bahwa dia hendak
melepaskan pukulan Merapi Meletus. Otak cerdik dan akal panjang seperti yang
dimiliki Pangeran Matahari, walau kadarnya masih sangat rendah, mulai bekerja.
“Gadis cantik bermata biru:
Aku kagum akan kecantikan dan keberanianmu.
Mungkin saat ini kau tidak
menyukai diriku. Tapi kalau umur sama panjang siapa tahu kita kelak akan
bertemu dalam satu jalinan cinta mesra. Ha… ha… ha!”
“Hemmm…. Begitu?!” ujar Ratu
Duyung menyahut sementara Pendekar 212 Wiro Sableng merasa kupingnya panas dan
hatinya geram sekali mendengar ucapan orang.
“Kalau aku boleh tahu sudah
berapakah usiamu anak muda?”
“Eh, apa maksudmu gadis
cantik?” tanya Layang Kemitir agak heran.
“Apa kau tuli? Orang bertanya
berapa usiamu? Karena kemarin kami berdua melihat kau kencing berdiri.
Kencingmu saja masih belum lempang, bagaimana mau bercinta dengan gadis
secantik Ratu Duyung…” Yang berkata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Habis
berkata begitu dia tertawa gelak-gelak.
Merah padam tampang Layang
Kemitir mendengar ucapan Wiro itu. Dadanya laksana disulut api. Dalam keadaan
seperti itu Pendekar 212 kembali menambahkan ejekan.
“Kalau kencing saja belum
becus aku curiga jangan-jangan setiap kencing kau tidak pernah cebok!”
Ratu Duyung tertawa cekikikan.
“Anak muda! Benar-benar memalukan! jangankan aku, kambing betina pun mungkin
tidak suka padamu! Hik… hik… hik!”
“Bangsat keparat!” teriak
Utusan Pari Akhirat dengan darah mendidih. Tangan kanannya diturunkan ke bawah.
Ketika tangan itu hendak dihantamkannya ke arah Ratu Duyung dia tersirap kaget
karena orang yang hendak diserang tak ada lagi di tempatnya semula. Yang masih
tegak di tempat itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Hemmm…. ini kesempatan
paling baik untuk menamatkan riwayat pemuda itu!” Maka Utusan Dari Akhirat
segera menghantam ke arah Wiro.
Namun pada saat itu tiba-tiba
dari samping terdengar suara teriakan keras disertai berkelebatnya satu
bayangan hitam, menyusul kiblatan cahaya putih menyilaukan. Seperti diketahui
meski memiliki ilmu kesaktian yang didapatnya dari kitab Matahari, Sumber
Segala Kesaktian, namun pada dasarnya Layang Kemitir alias Utusan Dari Akhirat
tidak memiliki kepandaian silat tinggi dan tenaga dalam inti. Begitu ada orang
berkelebat ke arahnya dia bukannya mengelak malah dengan nekad coba
menghantamkan pukulan Me-rapi Meletus ke arah orang yang menyerangnya. Padahal
untuk itu dia harus memutar tubuh. Dalam ilmu silat setiap gerakan adalah
waktu. Kalau gerakan tidak didasari kecepatan maka mudah sekali bagi lawan
untuk mencuri kesempatan melakukan serangan. Sebelum Utusan Dari Akhirat sempat
berbalik satu tendangan mendarat di bahu kanannya sebelum dia sempat melepaskan
pukulan saktinya.
“Bukkk!”
Utusan Dari Akhirat mencelat
sampai tiga tombak. Pemuda ini terkapar di tanah. Mengerang kesakitan. “Hancur
bahuku…. Hancur bahuku…” katanya berulang kali.
Saat itu tiba-tiba terdengar
suara orang tertawa mengekeh. “Apa yang terjadi di tempat ini?!” Ada orang
bertanya. Lalu menyusul suara kaleng berkerontangan keras menusuk pendengaran.
“Siapa yang barusan kena gebuk? Ha… ha… ha!”
Sesaat kemudian di tempat itu
muncullah seorang kakek bungkuk berpakaian lusuh penuh tambalan. Dia menyandang
sebuah buntalan di bahu kirinya. Tangan kanan memegang sebuah kaleng rombeng
yang diguncang terus-menerus. Di kepalanya ada caping bambu yang masih baru. Di
tangan kirinya orang tua ini memegang sebatang tongkat kayu.
Orang tua ini yang bukan lain
adalah Kakek Segala Tahu adanya kerontangkan kalengnya tiga kau lalu berkata.
“Hai, aku mau lihat! Siapa saja yang ada di tempat ini!”
Kakek Segala Tahu memandang
berkeliling. Tentu saja kakek ini tidak bisa melihat apa-apa karena kedua
matanya tertutup selaput putih alias buta! Tapi sambil senyum-senyum dia
berkata. “Aku mencium bau pesing sangat santar. Sinto, apakah kau berada di
sekitar sini? Bau pesingmu biasanya tidak sesantar ini. Apa ada orang lain di
dekatmu? Kalau benar dugaanku maka orang itu adalah sahabat lama si Setan
Ngompol!”
Di balik serumpun semak
belukar Sinto Gendeng dan Setan Ngompol saling pandang. Kalau si nenek memaki
dalam hati maka Setan Ngompol tak habis pikir bagaimana orang buta seperti
Kakek Segala Tahu itu memiliki kemampuan untuk mengetahui siapa orang yang ada
di dekatnya.
Kakek Segala Tahu mendongak
sambil gosok-gosok telinga kirinya dengan ujung tongkat. “Ada seseorang
enak-enakan duduk di atas pohon sebelah sana! Siapa kau adanya? Harap memberi
tahu nama!”
Saat itu di atas cabang sebuah
pohon jati terdengar suara orang menjawab. “Kek, aku si bocah konyol Naga
Kuning!”
Kakek Segala Tahu tertawa
mengekeh. “Ah, suaramu masih saja ceria. Tanganmu yang cidera tentu telah
sembuh! Aku dengar ada musibah besar terjadi di tempat kediamanmu di dasar
Telaga Gajahmungkur!” Orang tua ini kerontangkan kaleng rombengnya.
Dia mendongak ke atas. “Hari
telah petang. Udara agak mendung. Tapi telingaku mencium bau yang sangat harum
mewangi di tempat ini. Siapakah kau gerangan…?” Sepi. Tak ada yang menjawab.
Tak ada gerakan.
“Ah, si cantik itu tak mau
menjawab. Malu dia rupanya. Atau mungkin juga dia tak mau kehadirannya
diketahui orang?” Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. Di balik pohon keladi
hutan berdaun lebar Bidadari Angin Timur mendekam tak bergerak. Dia memang
sengaja bersembunyi karena tidak ingin kehadirannya diketahui orang.
“Aku tahu masih ada beberapa
prang di tempat ini. Jika kalian memang para sahabat mengapa tidak memberi
tahu…?”
“Kek! Aku Wiro Sableng! Aku
bersama Ratu Duyung. Dia yang barusan menghajar seorang pemuda berjuluk Utusan
Dari Akhirat!”
“Ratu Duyung! Apa kabarmu?!
Pendekar 212! Aku senang mendengar suaramu. Syukur kau masih hidup! Ha… ha…
ha!” Orang tua ini memandang berkeliling. “Masih ada beberapa orang lagi di
tempat ini. Sembunyi di balik pohon atau semak belukar! Tak jadi apa! tak jadi
apa. Tapi semua kalian yang hadir di tempat ini! ingat malam nanti adalah malam
bulan purnama empat belas hari! Malam ini adalah malam perjanjian. Kita
berkumpul di Telaga Gajahmungkur sebelah barat! Nah, aku pergi sekarang! Sampai
nanti malam!” Si kakek kerontangkan kalengnya tiga kali.
Semua orang yang ada di tempat
itu menjadi terkesiap karena baru sadar bahwa malam nanti adalah malam bulan
purnama empat belas hari. Ketika mereka memandang lagi ke depan Kakek Segala
Tahu tak ada lagi di tempat itu.
Sementara itu di satu tempat
yang terlindung Puti Andini memandang pada kakek botak di sampingnya. Si kakek
gelengkan kepala. “Jangan kau berani membuka mulut! Kita tidak perlu memberi
tahu kehadiran kita di sini. Aku punya firasat sesuatu akan terjadi di tempat
ini. Kau dan Panji tetap di sini. Aku coba menyelidik ke balik pohon besar
sana. Aku barusan melihat ada seseorang menyelinap di tempat itu.”
Tak jauh dari situ, di balik
pohon keladi hutan berdaun sangat lebar Bidadari Angin Timur merasakan tubuhnya
tegang ketika tiba-tiba di belakangnya ada satu suara berkata perlahan tapi
jelas.
“Sahabat berwajah jelita.
Waktu kita tidak lama. Ambil senjata ini. Berikan pada pemiliknya sebelum malam
tiba….”
Sebuah benda yang memancarkan
cahaya berkilauan tiba-tiba diangsurkan di depan Bidadari Angin Timur hingga
gadis ini tersurut kaget.
“Kapak Naga Geni 212 yang
dikabarkan lenyap!” desis Bidadari Angin Timur. Dia berpaling ke samping. Saat
itu tepat di sebelahnya tegak seorang mengenakan pakaian serba kuning. Wajah
dan rambutnya tertutup cadar berwarna kuning pula.
“Siapa kau…. Mengapa senjata
ini ada padamu?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Seperti kataku tadi. Kita tak
punya waktu lama. Lekas simpan senjata ini. Sembunyikan di balik pakaianmu.
Lekas ambil!”
Walau hatinya bimbang tapi
karena, mengenali sekali bahwa senjata itu adalah Kapak Naga Geni 212 milik
Wiro maka Bidadari Angin Timur segera mengambil dan menyimpannya di balik
pakaiannya.
“Sekarang dengar. Di sekitar
tempat ini ada beberapa orang bermaksud jahat. Lihat ke depan, ke arah semak
belukar lebat….”
Bidadari Angin Timur menoleh
ke arah yang dikatakan. Di jurusan itu dia melihat beberapa orang berpakaian
aneh dan mukanya dicat merah, hijau dan hitam. “Mereka adalah orang-orang
Lembah Akhirat. Mereka tengah memata-matai kita. Mereka punya maksud jahat!
Mereka mencari Pedang Naga Suci 212! Bermaksud merampasnya!”
“Lalu apa yang harus kita
lakukan?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Aku tahu kau memiliki gerakan
laksana angin secepat kilat. Kita harus bertindak cepat merampas pedang mustika
itu. Lalu….”
Bidadari Angin Timur terkejut.
“Kau berada di pihak mana sebenarnya? Mengapa kau hendak merampas senjata
orang?!”
“Bukankah kau ingin menolong
Pendekar 212. Bagaimana kalau orang-orang Lembah Akhirat bergerak lebih cepat.
Kita harus mendahului sebelum terlambat. Hanya Pedang Naga Suci 212 yang bisa
menyembuhkan musibah yang menimpa diri orang yang kau cintai itu….”
Berubahlah paras Bidadari
Angin Timur.
“Dengar, selain orang-orang
Lembah Akhirat, ada orang lain yang juga punya niat jahat. Sekarang ikuti apa
yang aku katakan. Aku akan melompat ke arah gadis bernama Puti Andini itu lalu
membelok dan lari ke kanan. Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya mencuri perhatian,
Kau mendatangi si gadis dari arah lain. Kau harus mampu mengambil Pedang Naga
Suci 212 yang disembunyikan di balik kain. Sebelum tengah malam kita bertemu di
barat Telaga Gajahmungkur. Tapi ingat. Jangan dulu bergabung dengan para tokoh!
Kau harus bisa membawa Pendekar 212 ke satu tempat di mana ada dua pohon yang
batang nya tumbuh saling bersilang. Bagaimana caranya tak perlu kubilang.
Terserah akalmu yang panjang. Kau siap?”
Bidadari Angin Timur menatap
mata bening orang bercadar kuning itu. “Pedang Naga Suci 212 bukan senjata
sembarangan. Siapa yang berniat jahat bisa celaka sendiri. Paling tidak
tangannya akan terkelupas sampai kelihatan tulang!”
“Aku tahu kau adalah seorang
perawan suci. Maksud kita mengambil Pedang Naga Suci 212 bukan untuk merampas
atau mencuri. Kita punya niat baik tersembunyi. Menolong seorang kekasih.
Kekasihmu sendiri. Jangan ada keraguan di dalam hati!”
“Baik, aku siap. Tapi ingat
satu hal. Jika kau menipu, lehermu akan kupatahkan lebih dulu!”
Orang bercadar tersenyum di
balik cadarnya. Dengan tangan kanannya dibelainya pipi Bidadari Angin Timur
seraya berkata. “Tidak ada yang paling bahagia di dunia ini selain menolong
orang yang kau cintai! Nan, aku bergerak sekarang! Buang rasa bimbang yang
masih mengambang!”
TAMAT