Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
098 Rahasia Cinta Tua Gila
SATU
Sepasang mata Sabai Nan Rancak
memandang tak berkesip pada orang bercadar yang tegak di hadapannya. Dia seolah
berusaha menembus cadar untuk melihat wajah orang berpakaian serba kuning itu,
untuk mengetahui siapa orang ini adanya.
“Siang telah bergerak menuju
petang. Terima kasih kau telah sudi datang memenuhi undangan.” Si cadar kuning
berkata.
Sabai Nan Rancak memasang
telinganya baik-baik. Sebelumnya dia telah beberapa kali bertemu dengan orang
ini dan telah beberapa kali pula mendengar suaranya. Dalam hati Sabai Nan
Rancak berkata. “Aku masih belum bisa memastikan apakah orang ini lelaki atau
perempuan. Kalau bicara kata-katanya seperti berpantun. Setiap bicara agaknya
dia mengerahkan tenaga dalam untuk menutupi suara aslinya. Namun berat dugaanku
dia seorang perempuan.”
“Waktuku tidak banyak. Ada
beberapa urusan penting menungguku. Jadi kuharap kau segera menjelaskan maksud
tujuan pertemuan ini.” Kata Sabai Nan Rancak setelah tadi berusaha menyimak
suara orang.
“Sebetulnya ada tiga orang
yang kuharapkan datang kemari. Namun orang ke tiga belum menunjukkan diri….”
“Kalau pertemuan ini memang
penting, aku bersedia menunggu sampai matahari tenggelam.”
Orang bercadar dan berpakaian
serba kuning gelengkan kepala. “Yang ditunggu tak bakal datang. Entah apa sebab
penghalang….”
“Kalau begitu percuma aku
datang kemari!” ujar Sabai Nan Rancak dengan nada keras menunjukkan sikapnya
yang mulai tidak sabaran dan cepat naik darah.
“Setiap kedatangan ada
manfaatnya,” jawab si cadar kuning. “Undangan ke tiga tidak datang. Entah apa
sebab penghalang. Terakhir kusirap dia berada di sekitar Telaga Gajahmungkur.
Lalu lenyap seolah masuk ke dalam kubur. Hanya kita bertiga yang bisa
berkumpul. Itu sudah cukup untuk memanjatkan syukur.”
“Kalau memang kita bisa mulai
bicara, harap kau suruh orang yang sembunyi di balik pohon besar itu keluar dan
datang ke tempat ini!” kata Sabai Nan Rancak. Sejak pertama datang nenek sakti
ini memang sudah mengetahui kalau ada orang mendekam di balik pohon besar.
“Saudara di balik pohon harap
kau suka datang ke sini. Agar pertemuan dan pembicaraan dimulai lebih dini!”
kata si cadar kuning pula.
Dari balik pohon terdengar
suara orang mendehem beberapa kali. “Sebetulnya aku malu untuk menemui kalian.
Tapi kupikir jauh lebih memalukan kalau terus-terusan sembunyi di balik pohon
ini!”
Suaranya masih bergema namun
orang yang tadi berada di balik pohon tahu-tahu sudah berada di tempat itu.
Duduk mencangkung seenaknya di gundukan tanah tinggi berumput. Kedua tangannya
ditutupkan di atas wajahnya.
“Iblis Pemalu!” kata Sabai Nan
Rancak setengah berseru karena dia tidak menyangka orang di balik pohon itu
ternyata adalah si pendatang baru dalam rimba persilatan yang memperkenalkan
diri dengan nama atau julukan Iblis Pemalu. Sebelumnya dia telah pernah bertemu
dengan pemuda itu. Terakhir sekali dia malah mengadakan perjalanan bersama
menyeberangi lautan dari pulau Andalas menuju tanah Jawa. Yakni setelah dia
mendapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan milik Datuk Tinggi Raja Di Langit
yang kemudian merubah gelar menjadi Jagal Iblis Makam Setan.
Lalu di sebuah teluk mereka
berpisah. Namun karena ada satu perasaan aneh timbul di dalam hatinya, Sabai
Nan Rancak secara diam-diam kembali ke teluk. Dia mengintai dan sempat
mendengar desah ucapan Iblis Pemalu yang duduk termenung di tepi pantai
menghadap ke laut. Desah yang keluar dari lubuk hati Iblis Pemalu membuat Sabai
Nan Rancak berdebar. Karena ucapan memelas yang sempat didengar Sabai itu
seolah menyatakan adanya hubungan tertentu antara Iblis Pemalu dengan dirinya.
(Baca Episode Utusan Dari Akhirat) iblis Pemalu sendiri tampak tenang-tenang
saja mencangkung di atas gundukan tanah berumput.
Sabai Nan Rancak berpaling
pada orang bercadar di hadapannya. “Karena kau mengundang pemuda ini datang ke
mari, apakah ini satu pertanda bahwa dia juga punya sangkut paut dengan urusan
kita?”
Si cadar kuning mengangguk.
Sabai Nan Rancak kembali
menatap Iblis Pemalu lekat-lekat. Walau tampak tenangtenang saja namun sampai
saat itu Iblis Pemalu terus saja menutupi wajahnya dengan dua telapak tangan.
“Orang mudai Apakah kau mau menurunkan dua tanganmu hingga aku bisa melihat
wajahmu?”
Iblis Pemalu berpaling pada
Sabai Nan Rancak. Di antara sela-sela jarinya sepasang matanya menatap tajam
pada si nenek. Lalu dia menjawab. “Wajahku buruk. Memalukan. Tampangku buruk.
Memalukan! Nah buat apa aku memperlihatkan muka?!”
Walau jengkel mendengar
kata-kata Iblis Pemalu namun Sabai Nan Rancak masih bisa menahan diri. Dia
alihkan pandangannya pada si cadar kuning. Saat itu debaran aneh seperti yang
dirasakannya waktu mendengar desah Iblis Pemalu tempo hari kembali muncul di
dadanya. Maka nenek ini bertanya lagi. “Tadi kau mengatakan bahwa sebenarnya
ada seorang lagi yang diundang datang ke tempat ini. Tapi tidak datang. Kau
bersedia memberi tahu siapa adanya orang itu?”
“Tamu yang diundang tapi tidak
datang. Dia berasal dari tanah seberang. Kukenal dengan nama Puti Andini.
Berwajah secantik puteri. Berjuluk Dewi Payung Tujuh. Memiliki suara semerdu
bulu perindu. Apakah nama dan dirinya berarti sesuatu bagimu?”
Sabai Nan Rancak tersurut dua
langkah. Dia tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya. Wajahnya jelas
berubah. Semua ini terlihat oleh si cadar kuning. Maka segera saja dia berkata.
“Kaki tersurut dua langkah. Wajah berubah serta merta. Apakah ini satu
pertanda. Bahwa kau mengenal dirinya. Atau ada sesuatu yang mendekam di dalam
dada…?”
Tenggorokan Sabai Nan Rancak
tampak turun naik beberapa lama. “Aku tidak akan menjawab sebelum kau lebih
dulu mengatakan siapa dirimu dan apa maksud pertemuan ini sebenarnya!”
“Saling bertanya tapi tak
saling menjawab. Tentu ada pasal penyebab. Kau tak suka menjawab, aku tak mau
berdebat. Siapa diriku pasti akan terjawab. Siapa diri kita pasti akan tersingkap.
Mengapa hidup berteka-teki. Kalau kau suka menjawab aku akan menuruti.”
Sepasang mata Sabai Nan Rancak
tampak membesar dan rahangnya yang tertutup kulit menggembung. Ini satu
pertanda bahwa dia mulai jengkel.
“Orang bercadar, apakah kau
tak bisa bicara wajar. Tidak terus-terusan berpantun atau bersyair yang
terdengar asing di telingaku!”
Wajah di balik cadar
tersenyum. “Manusia dilahirkan menurut kodratnya yang telah ditentukan dan
menjadi bagian dirinya. Lingkungan dan perjalanan hidup mempengaruhi dan
membentuk pribadinya. Menunjukkan keaslian diri pribadi adalah lebih baik dari
pada berpura-pura….”
“Kalau kau berkata begitu,
mengapa kau justru menunjukkan sifat berpura-pura. Tidak mau mengatakan siapa
dirimu sebenarnya.” Bertanya Sabai Nan Rancak dengan suara gusar.
“Aku tidak berpura-pura. Diri
ini tidak bisa mengada-ada. Pada saatnya semua akan terbuka. Tapi apakah pintu
bisa terbuka kalau tak ada kunci pelaksana. Nenek Sabai Nan Rancak, justru
dirimulah yang menjadi kunci pembuka. Apakah kau sudi menerima?”
“Aku manusia hidup! Bukan
benda mati! Bukan sebuah kunci!” Suara Sabai Nan Rancak mengeras. “Kau cari
saja kunci yang lain! Aku merasa menyesal datang memenuhi undanganmu. Urusanku
banyak yang lebih penting!” Habis berkata begitu Sabai Nan Rancak hendak
memutar tubuh. Namun gerakannya tertahan ketika mendengar suara Iblis Pemalu.
“Kalau ada yang mau mendengar
biar badan buruk ingin bicara agar aku tidak malu! Kalau ada yang tidak mau
mendengar biar aku lebih dulu angkat kaki dari sini supaya tidak malu!”
“Apa yang hendak kau
ucapkan?!” tanya Sabai Nan Rancak.
“Aku harap kalian tidak malu
mendengarkan!” jawab Iblis Pemalu. Dua tangannya tetap tak beranjak dari
menutupi wajahnya. “Setinggi langit tak ada yang lebih tinggi dari akal
manusia. Aku tidak malu bilang begitu! Sedalam lautan tidak sedalam rahasia
kehidupan! Aku juga tidak malu berkata begitu. Tapi aku merasa malu sekali
mengatakan yang ini. Kenapa banyak manusia bertinggi hati berendah budi. Kalau
sampai rahasia tidak tersingkap hanya karena bertahan pada keangkuhan pribadi,
jangan salahkan jika umat sedarah sedaging saling berbunuh sebelum kiamat!”
“Iblis Pemalu! Ucapanmu aneh
tapi tajam! Apa maksudmu?!” hardik Sabai Nan Rancak.
“Apa memalukan bagimu kalau
menceritakan apa hubungan dan sangkut paut dirimu dengan gadis bernama Puti
Andini itu? Kalau aku jadimu aku tidak akan merasa malu menerangkan.”
Rahang Sabai Nan Rancak
kembali menggembung.
“Aku diminta datang ke tempat
ini! Tujuan pertemuan ini masih jauh dari jelas. Dia sebagai tuan rumah malah
mengajak aku bicara tak karuan! Menutupi siapa dirinya sendiri. Tapi berusaha
hendak menelanjangi diriku dengan pertanyaan-pertanyaan yang bukanbukan!”
“Tamu yang diundang memang
tidak harus dibuat malu. Tapi tuan rumah yang berniat baik juga kurang pantas
dipermalukan. Apa susahnya menjawab pertanyaannya. Apa itu satu hal yang
memalukan?”
“Aku jauh lebih tua dari
dirinya. Kurasa aku cukup pantas untuk mengetahui siapa dirinya lebih dulu dan
apa tujuan sebenarnya pertemuan ini!” jawab Sabai Nan Rancak.
Iblis Pemalu tertawa pendek.
“Nenek,” katanya. “Bagaimana kau tahu lebih tua dari orang bercadar dan
berpakaian kuning ini? Apa kau pernah melihat wajahnya? Apa kau tidak merasa
malu mengatakan sesuatu yang kau sebenarnya tidak yakin?”
Mulut Sabai Nan Rancak tampak
memencong dan tenggorokannya turun naik Matanya memandang ke wajah yang
tertutup cadar. Dia coba memperhatikan dua tangan orang itu. Tapi terlindung di
balik lengan baju yang panjang menjulai. Dia memandang ke bawah. Dua kaki orang
ini juga tertutup oleh kaki celana yang gombrang menjela tanah. Dia tak bisa
menemukan bukti-bukti bahwa orang berpakaian serba kuning itu lebih tua atau
lebih muda dari dirinya.
“Baik!” Tiba-tiba Sabai Nan
Rancak membuka mulut. “Aku tidak akan memaksanya menerangkan siapa dirinya.
Antara kita berdua adalah sama-sama tamu! Sekarang aku ingin mendengar dari
mulutmu sendiri! Siapa dirimu adanya!”
Saking kagetnya mendengar
pertanyaan si nenek, Iblis Pemalu sampai tertegak dari jongkoknya di atas
gundukan tanah berumput.
*
* *
DUA
Untuk beberapa lamanya Iblis
Pemalu dan Sabai Nan Rancak sama-sama tegak saling melontar pandang. “Ini
sungguh aneh. Sungguh memalukan! Kalian berdua saling berdebat, mengapa aku
yang kena getah! Jadi korban pertanyaan memalukan!” Iblis Pemalu akhirnya buka
suara.
“Jadi seperti manusia bercadar
itu kau juga tidak mau memberi tahu siapa dirimu!”
ujar Sabai Nan Rancak seraya
dongakkan kepala sedikit dan rangkapkan dua tangan di depan dada.
“Bukan aku malu mengatakan
siapa diriku. Bukan aku malu menerangkan asal-usul diriku! Tapi aku tidak mau
mendahului tuan rumah! Aku merasa ini belum saatnya. Aku menduga ada orang lain
yang lebih patut mengatakannya! Orang itu pasti tidak malu menjelaskan
semuanya…. Dia saksi yang punya seribu bukti!”
“Siapa orang yang kau maksud!
Apa yang mau dijelaskannya?!” tanya Sabai Nan Rancak dengan suara keras dan
mata membelalak.
Iblis Pemalu tidak menjawab
pertanyaan si nenek melainkan berpaling pada orang bercadar kuning. Lalu
berkata. “Aku yakin kau pun merasa malu menjelaskan. Karena belum saatnya!”
“Kalian ini bicara apa?!”
Membentak Sabai Nan Rancak. “Aku diminta datang ke tempat ini. Setelah aku
berada di sini kalian bicara tidak karuan! Kalian semua orang-orang gila atau
bagaimana? Mungkin sengaja memancing aku datang ke sini dengan maksud jahat
tersembunyi?! Jangan berani mempermainkan Sabai Nan Rancak. Aku bisa membunuh
kalian semudah aku membalikkan telapak tangan!” Habis berkata begitu si nenek
buka kancing mantel hitamnya satu persatu.
“Aku tahu…. Aku tahu! Aku
malu, sangat malu! Kau dikenal sebagai nenek sakti dari puncak Singgalang!
Malah sekarang kau mengenakan Mantel Sakti. Membekal Mutiara Setan. Walau dua
benda sakti itu bukan milikmu! Aku malu! Aku malu!”
Wajah Sabai Nan Rancak berubah
kelam. Dia bergerak mendekati Iblis Pemalu. Jarijari tangannya terkepal. Namun
orang bercadar cepat menghadang.
“Tidak ada orang yang bicara
tak karuan. Jangan merasa dirimu dipermainkan. Siapa pula yang memancing dengan
maksud jahat tersembunyi. Juga tak ada orang gila di tempat ini!”
“Aku muak mendengar segala
syair dan pantunmu!”
“Aku malu melihat sikapmu!”
Menukas Iblis Pemalu. Lalu dia berpaling pada si cadar kuning. “Jika nenek ini
tidak sabaran dan tidak mau mengerti katakan saja padanya semua yang kau
ketahui tentang dirimu, diriku, dirinya dan diri gadis bernama Puti Andini itu!
Tapi agar aku tidak malu, sebelum kau mengatakan biar aku angkat kaki dulu dari
tempat ini!”
“Iblis Pemalu, tunggu!”
berseru si cadar kuning. “Apapun yang akan aku katakan kau harus tetap di
sini!” Lalu dia berpaling pada Sabai Nan Rancak. “Orang bijaksana pandai
menahan diri. Orang cerdik tahu membaca pikiran. Kalau kau memaksa diri. Maka
kau hanya akan menerima sebagian. Sisanya terpaksa kau telusuri sendiri. Nenek
Sabai Nan Rancak, dalam hidupmu apakah kau pernah punya suami?”
Terkejutlah Sabai Nan Rancak
mendengar pertanyaan yang tidak tersangka-sangka itu. “Pertanyaan gila apa pula
ini?! Urusan pribadiku mengapa kau selidiki!”
“Alam terkembang tapi dunia
seolah kelam. Puluhan tahun rahasia mencekam. Apakah manusia masih tetap hendak
bertahan. Menyimpan segala tanya hati dan ratap perasaan. Pertemuan ini tidak
mengarah diri pribadi. Urusan yang ada menyangkut ikatan diri. Kalau rahasia hendak
diungkap, mengapa tak mau diajak mufakat? Seperti kataku tadi kunci semua
persoalan ini ada di tanganmu. Kalau tak ada sepotong keterangan pun yang
kudapat darimu mana mungkin persoalan bisa diramu….”
Sabai Nan Rancak terdengar
menggerendeng panjang pendek. Dia melirik pada Iblis Pemalu dan kembali ingat
peristiwa di tanjung tempo hari. Kalau tak mau dikatakan curiga, saat itu
sebenarnya si nenek telah menaruh kesan bahwa antara dia dengan iblis Pemalu
ada satu hubungan yang sangat dekat tapi keadaan membuatnya terasa begitu jauh.
Sabai Nan Rancak terdiam beberapa lamanya. Mulutnya tampak berkomat-kamit.
“Baik, aku akan menjawab. Aku
memang pernah punya suami. Tapi manusia itu justru sedang aku cari untuk
dibunuh!”
“Soal bunuh membunuh adalah
soal kedua. Soal pertama ingin kutanyakan apakah suamimu itu berpunya nama?”
Bertanya si cadar kuning.
“Namanya Sukat Tandika!” jawab
Sabai Nan Rancak.
Si cadar berpaling pada Iblis
Pemalu. Saat itu si pemuda juga memandang ke arahnya.
“Aku malu bicara. Tapi aku
harus ikut bertanya. Apakah suamimu itu punya gelar?” Bertanya Iblis Pemalu.
“Jangan sebut bangsat itu
suamiku! Kami tidak punya hubungan apa-apa lagi! Aku benar-benar ingin
membunuhnya!” Berteriak Sabai Nan Rancak.
“Aku mengerti kalau kau
tenggelam dalam perasaan. Namun pertanyaan menunggu jawaban,” kata orang
bercadar pula.
“Bangsat tua itu dikenal
dengan julukan Tua Gila!” Menerangkan Sabai Nan Rancak.
“Dari hubungan kalian sebagai
suami istri apakah kailan berpunya anak?”
“Orang bercadar! Pertanyaanmu
sudah keliwatan. Aku tak mau menjawab!”
“Nek, aku malu melihat
sikapmu. Bagimu apakah memalukan menjawab pertanyaan orang? Berdebat sampai
malam dan sampai pagi lagi tak ada gunanya. Jika urusan mau cepat selesai harap
kau jangan berlaku memalukan. Jawab saja pertanyaan orang itu. Kelak kau nanti
akan tahu apa tujuannya. Semua bukan untuk kebaikan kita saja. Tapi juga
beberapa orang lain yang tidak hadir di tempat ini! Ayo Nek. Bersikaplah
bijaksana. Jangan memalukan begitu!”
Sabai Nan Rancak menyeringai
buruk. “Enak dan pandainya kau bicara! Kau sendiri apa sudah pernah punya
istri? Siapa nama istrimu! Apa kau juga punya anak? Siapa nama anakmu!”
“Aku tidak malu menjawab! Aku
belum punya istri. Jadi tidak mungkin punya anak! Kalau aku belum kawin tapi
punya anak bukankah memalukan?!”
Sabai Nan Rancak tampak
bersungut-sungut mendengar ucapan Iblis Pemalu itu. Dia ingat sesuatu. Waktu di
tepi pantai dulu, sebelum berpisah ada satu perasaan aneh yang membuatnya ingin
memeluk Iblis Pemalu. Tapi orang itu menampik untuk dipeluk. Sepasang mata si
nenek membesar. “Kalau kau tidak punya istri apakah kau punya suami?!”
“Eh…!” Suara Iblis Pemalu
tercekat. Tangan kirinya hampir saja diturunkan saking kaget mendengar
kata-kata si nenek. Namun dia cepat menguasai diri. Setelah tertawa cekikikan
dia berkata. “Sungguh ucapanmu memalukan! Aku seorang laki-laki mana mungkin
punyakan suami! Memangnya aku ini manusia banci? Memalukan! Ha… ha… ha!”
Orang bercadar memberi isyarat
agar Iblis Pemalu hentikan tawanya. Lalu dia berkata pada Sabai Nan Rancak.
“Nenek Sabai, kuharap kau
tidak berkeberatan memberikan jawaban. Dari perkawinanmu dengan Sukat Tandika
alias Tua Gila apakah kau punya anak atau tidak harap jelaskan.”
Si nenek meludah ke tanah.
Mukanya yang keriputan tampak tambah berkerut.
“Menjijikkan! Betapa bodohnya
aku! Aku memang punya anak. Satu. Perempuan. Untung cuma satu!” Sabai Nan
Rancak kembali meludah melampiaskan perasaannya.
“Terima kasih kau mau memberi
tahu. Siapakah nama anakmu itu. Di mana gerangan dia sekarang?”
“Anak itu sudah meninggal.
Mati tak lama setelah dia melahirkan.”
Sepasang mata orang bercadar
menatap tajam pada Sabai Nan Rancak. Lalu dia berkata.
“Malangnya nasibmu. Malangnya
nasib anakmu! Jika benar anakmu sudah berpulang, di mana letak makamnya
gerangan?”
Sabai Nan Rancak tidak segera
menjawab. Dia balas menatap lekat-lekat ke arah wajah orang yang tertutup
cadar. Pandangannya beradu dengan sepasang mata orang itu. Untuk kesekian
kalinya getaran aneh mendebari dada si nenek. “Di mana makam atau kuburnya aku
tak pernah tahu….”
“Nenek Sabai. Kau yakin anakmu
itu benar-benar sudah mati? Seyakin kau melihat hitam di atas putih?”
Sabai Nan Rancak terdiam
sesaat. “Terus terang aku memang tidak pernah mengetahui di mana dia dimakamkan.
Tapi yang jelas di Pulau Andalas.”
“Jawabanmu meluncur tegas.
Seolah tak ada penyesalan atau pun rasa memelas. Bagaimana mungkin seorang ibu
tidak tahu makam anak tercinta?”
Darah Sabai Nan Rancak kembali
naik mendengar ucapan orang. Ini kentara dari apa yang dikatakannya. “Urusan
diriku dengan kematian anakku apa sangkut pautnya dengan dirimu?!”
“Justru di situlah letak kunci
rahasia. Lebih banyak hal nyata yang terungkap lebih cepat rahasia terbuka,”
jawab orang bercadar.
“Kau belum menyebutkan siapa
nama anakmu itu, Nek! Tak usah malu-malu mengatakan.” Iblis Pemalu membuka
mulut.
“Orangnya sudah mati! Perlu
apa diberi tahu!” jawab Sabai Nan Rancak jengkel.
“Harimau bisa mati. Belangnya
tetap tertinggal.
Manusia boleh mati. Rahasia
hidupnya akan terus tertinggal. Terserah orang yang ditinggal. Apakah akan
mencari manfaat. Atau mudarat!”
“Katakan saja Nek. Tak usah
malu! Aku yakin nama anakmu tidak buruk!” kata Iblis Pemalu pula.
Sabai Nan Rancak dongakkah
kepala. Lama dia seolah menatap sesuatu di langit lepas di atas sana.
Perlahan-lahan kepalanya ditundukkan. Kini dia seperti memandangi ujung kakinya
sendiri. Lehernya yang keriput turun naik. Dadanya berdebar menahan gejolak.
Sudah lama sekali dia tidak pernah menyebut nama itu. Kini di saat dia hendak
mengatakan seolah dia hendak memuntahkan batu berapi dari dalam mulutnya.
“Nek, kau mau mengatakan atau
tidak. Hari semakin sore. Jangan malu. Makin cepat kau mengatakan makin lekas
kau terbebas dari tekanan bathin!”
Sabai Nan Rancak palingkan
kepalanya ke arah Iblis Pemalu. “Kau benar…” katanya perlahan. “Tekanan bathin
telah mendera hidupku selama lebih dari enam puluh tahun. Anakku itu bernama
Andam…. Andamsuri….”
Orang bercadar tiba-tiba putar
tubuhnya. Kepalanya tertunduk dan sekujur tubuhnya tampak bergetar. Iblis
Pemalu mendongak ke langit. Dadanya tampak berguncang-guncang. Dari sela-sela
jarinya ada tetesan air mengalir.
“Dia tidak malu menyebutkan
nama anaknya! Orang bercadar agaknya sekarang giliranmu menyingkap tabir dirimu
sendiri!”
“Nama sudah terucap jelas.
Namun perlu bukti tuntas. Nenek Sabai, kami inginkan satu bukti. Bahwa
Andamsuri adalah anakmu pasti….”
Baru saja orang bercadar
mengucapkan kata-kata itu sekonyong-konyong ada suara lain menjawab.
“Tak ada kepastian di dunia
ini! Kecuali maut!”
Lalu sesosok tubuh berkelebat
dan tegak lima langkah di hadapan Sabai Nan Rancak. Orang yang barusan datang
ini keluarkan suara tawa membahana!
*
* *
TIGA
Datuk Tinggi Raja Di Langit!
seru Sabai Nan Rancak dengan suara bergetar lalu bersurut sampai tiga langkah.
“Salah! Gelarku sekarang adalah Jagal Iblis Makam Setan! Ha… ha… ha…!”
Walau Sabai Nan Rancak adalah
orang yang paling terkejut namun Iblis Pemalu dan orang bercadar kuning tak
kalah kaget serta ngerinya.
“Makhluk satu ini pasti muncul
meneruskan urusan waktu di pantai, memalukan!” Membathin Iblis Pemalu.
Si cadar kuning walau tampak
tenang tak bergerak namun hatinya menjadi tak enak.
“Pertemuan telah kuatur lama.
Munculnya makhluk berhala ini akan merusak suasana. Rahasia besar belum sempat
tersingkap. Keadaan bakal bertambah gelap!” Begitu si cadar kuning membathin.
Dia tidak dapat memastikan apakah sosok di depannya ini manusia atau hantu
lembah.
Seperti si cadar kuning, Sabai
Nan Rancak juga sangat gelisah. “Kurang ajar. Bagaimana makhluk celaka ini bisa
muncul di tempat ini!” ujar Sabai Nan Rancak dalam hati. “Urusan besar masih
gelap. Kemunculannya akan membuat perkara jadi kapiran!”
Diam-diam dia menjadi tegang
karena sebelumnya dia telah menyaksikan sendiri keganasan sepasang kaki kakek
sakti yang pernah menjadi momok nomor satu dalam dunia persilatan di Pulau
Andalas itu.
“Makhluk celaka memalukan!
Busuknya seperti lobang kakus!” membathin Iblis Pemalu. Dia tekap mukanya
erat-erat dengan kedua tangannya sedang dua matanya memandang melotot.
Jari-jari kelingking dibengkokkan untuk menutupi lobang hidung. Orang ini
berdiri tidak seperti manusia biasa adanya. Kakinya berada di atas sedang yang
menjejak tanah adalah dua telapak tangannya. Tubuhnya kurus kering, menebar bau
busuk dan terbungkus oleh pakaian penuh robek nyaris hancur. Wajahnya yang
seram dengan dua rongga mata terpuruk, taring dan gigi besar mencuat. Wajahnya
yang cekung di kedua pipi sebagian tersembunyi di balik kelebatan kumis,
janggut, cambang bawuk dan rambut panjang kotor riap-riapan. Yang menambah
kengerian pada sosok orang ini adalah sepasang kakinya. Sepasang kaki itu
sebatas lutut ke bawah, sampai ke ujung jari-jari kaki berwarna putih
menggidikkan karena hanya tinggal tulang tak terlapis daging atau kulit sedikit
pun! Dua tulang kaki ini berbentuk sangat pipih hingga tidak beda dengan
sepasang pedang bermata luar biasa tajam! (Siapa adanya orang ini harap baca
Episode sebelumnya berjudul Jagal Iblis Makam Setan)
“Sabai! Dunia ini terlalu
sempit untuk kita berdua!”. Orang yang mengaku berjuluk Jagal Iblis Makam Setan
berkata dengan suara keras membahana. Setiap mulutnya terbuka, rambut, janggut
serta kumis yang menutupi wajahnya bersibak melambai bergoyanggoyang.
“Karena itu kematian tak
terelakkan menjadi bagianmu! Namun sebelum mampus harap kau segera menanggalkan
Mantel Sakti, menyerahkannya padaku. Juga mengembalikan sekantong Mutiara Setan
milikku! Kau tidak tuli, kau mendengar! Jadi jangan mengumbar berbagai dalih!”
Sabai Nan Rancak tampak tegang
sesaat. Begitu dia bisa menguasai diri maka seringai buruk tersungging di
mulutnya. Dari hidungnya keluar suara mendengus.
“Makhluk busuk
compang-camping! Aku maklum otakmu tidak waras. Jadi tidak salah kalau kau
sampai kesasar dan bicara ngacok di tempat ini!”
Jagal Iblis Makam Setan yang
dulunya adalah salah seorang tokoh silat golongan hitam di Pulau Andalas
dikenal dengan julukan Datuk Tinggi Raja Di Langit tertawa gelakgelak. Sepasang
kakinya yang tinggal tulang memutih digoyang-goyang hingga mengeluarkan suara
angker bersiuran. (Untuk lebih jelas siapa adanya Datuk Tinggi Raja Di Langit,
riwayatnya bisa dibaca dalam serial berjudul Makam Tanpa Nisan)
“Sabai Nan Rancak! Belum
mampus kau sudah jadi setan penasaran yang bicara tak karuan! Tadi aku sudah
bilang jangan berusaha mencari dalih! Lekas kau serahkan barangbarang milikku!
Mantel Sakti dan Mutiara Setan! Atau mungkin kau ingin aku mengambil dua benda
itu setelah kau menjadi mayat tak berguna?!”
Si nenek kembali keluarkan suara
mendengus. “Kau bukan saja bicara melantur! Tapi juga pembohong dan penipu
busuk! Apa kau lupa Mantel Sakti dan Mutiara Setan kau serahkan padaku dengan
ikhlas sebagai ganti balas aku mengeluarkan dirimu hingga bebas dari pendaman
kuburan batu?! Sekarang kau bukan saja mengungkit-ungkit kisah yang sudah basi
tapi juga mengumbar cerita palsu! Aku tidak segan-segan mengembalikan Mantel
Saktimu, tapi mungkin kau tak punya kesempatan. Mantel Sakti ini akan
menghancurkan tubuhmu yang kurus kering sebelum kau sempat menyentuhnya!”
Habis berkata begitu Sabai Nan
Rancak membuat gerakan seperti hendak membuka mantel hitam yang dikenakannya.
“Begitu? Alangkah hebatnya!
Ha… ha… ha!” Jagal Iblis Makam Setan tertawa terkekeh. Kakinya kembali
digoyang-goyangnya. “Aku mau lihat! Aku mau lihat!”
“Benar-benar memalukan! Semua
jangan ada yang berani bergerak!” Tiba-tiba Iblis Pemalu berteriak.
Kepala Jagal Iblis Makam Setan
yang tergantung di antara dua tangannya yang menjejak tanah berpaling. “Hemmm….
Pemuda berotak miring! Kau juga ada di sini! Rupanya sudah terniat dalam otak
bodohmu akan ikut mampus bersama nenek calon bangkai itu!”
“Memalukan! Tidak tahu apa-apa
enak saja bilang aku gila berotak miring! Kau sendiri mungkin lahir kurang hari
hingga hidup kaki ke atas kepala ke bawah! Manusia sepertimu ini biasanya lahir
tanpa biji! Kalau berak pasti dari mulut bukan dari anus! Memalukan sekali!
Hik… hik… hik!”
Merah padam tampang Jagal
Iblis Makam Setan. Dari tenggorokannya keluar jeritan melengking. Tubuhnya melesat
ke udara. Ketika turun lagi ke tanah maka dia berdiri bagaimana wajarnya yakni
dengan dua kaki menginjak tanah! Kini wajahnya terlihat lebih jelas. Seram
angker menggidikkan.
“Pemuda anjing! Kau pasti
terlahir dari bapak iblis ibu setan!” bentak Jagal Iblis Makam Setan.
Iblis Pemalu keluarkan suara
bersiul lalu tertawa gelak-gelak. “Kalau iblis dan setan bisa kawin, sungguh
memalukan! Apakah kau pernah melihat setan dan iblis berhubungan badan?! Hik…
hik… hik! Kalau kau mampu melihat berarti kau bukan manusia! Tapi anak hantu
yang keluar dari pantat setan! Hik… hik… hik!”
“Jahanam! Jaga lehermu!”
Teriak Jagal Iblis Makam Setan. Tubuhnya melesat ke udara. Seperti tadi
kepalanya kembali berada di sebelah bawah dan dua kaki mengapung di udara.
Manusia angker Ini keluarkan satu pekikan dahsyat. Bersamaan dengan itu
tubuhnya melesat ke arah Iblis Pemalu. Dua kakinya laksana gunting raksasa
berkiblat mengeluarkan cahaya menggidikkan. Membuat gerakan memancung. Yang di
arah adalah batang leher Iblis Pemalu. Gerakan serangan ini bukan saja aneh
tetapi luar biasa cepatnya.
“Claak!”
“Claak!”
Sambaran sepasang kaki
mengeluarkan suara seperti gerakan gunting raksasa. Sabai Nan Rancak terkesiap
melihat aneh dan ganasnya serangan Jagal Iblis Makam Setan. Orang bercadar
kuning tersentak kaget. Belum pernah dia melihat ada orang yang mempergunakan
sepasang tulang-tulang kakinya sebagai dua senjata mengerikan begitu rupa.
“Kalau makhluk jahanam ini
tidak dicegah urusan besar bisa sia-sia!” membathin si cadar kuning. Maka dia
segera kebutkan lengan baju kuningnya.
“Wuss!”
Sinar kuning menderu ke arah
Jagal Iblis Makam Setan, menyambar dari samping. Sabai Nan Rancak tidak tinggal
diam. Tenaga dalam sudah disiapkan sejak tadi di tangan kanan.
Begitu melihat orang bergerak
maka dia segera menghantam, lepaskan pukulan sakti Kipas Neraka. Selarik sinar
merah menyambar ganas dan panas. Setengah jalan sinar ini mengembang seperti
kipas hingga ruang serangannya menjadi lebih luas. Selama ini jarang orang bisa
selamat menghadapi pukulan sakti ini.
Iblis Pemalu, orang yang
mendapat serangan langsung dari Jagal Iblis Makam Setan tentu saja tak tinggal
diam. Begitu melihat sepasang kaki yang aneh menggidikkan, keganasan cara
menyerang yang mengeluarkan deru angin keras, pemuda ini segera maklum. Leher
atau bagian tubuhnya yang lain akan tergunting putus dan nyawanya pasti amblasi
“Memalukan! Iblis menyerang
iblis!” seru iblis Pemalu. Kedua kakinya ditekuk. Tubuhnya jatuh punggung di
tanah. Dua kaki tinggal tulang berbentuk sepasang pedang yang menggunting lewat
di atas tubuhnya.
“Claaakk!”
“Craasss!”
“Kraaakkk!”
Semua mata terbelalak.
Iblis Pemalu yang masih
tertelentang di tanah merasakan tengkuknya laksana diguyur es!
Akibat serangannya tidak
menemui sasaran, tubuh Jagal Iblis Makam Setan melesat di atas Iblis Pemalu.
Sepasang kakinya terus menyambar ke arah pohon yang besar batangnya hampir tiga
kali paha manusia.
Dua tulang kaki yang pipih
setajam pedang berkelebat dahsyat dalam gerakan menggunting. Batang pohon putus
rata laksana disambar petir!
Bagian atasnya tumbang dengan
suara menggemuruh! Sabai Nan Rancak dan iblis Pemalu yang sebelumnya sudah
pernah menyaksikan keganasan sepasang kaki Jagal Iblis Makam Setan itu masih
merasa merinding. Apalagi si cadar kuning.
“Memalukan! Pohon tak bersalah
mengapa ditebang!” berteriak Iblis Pemalu. Dia kerahkan tenaga dalamnya ke
punggung. Secara aneh tubuhnya naik dalam keadaan seperti berbaring. Lalu
tiba-tiba kaki kanannya melesat ke atas, menghantam ke lambung Jagal Iblis
Makam Setan. Gerakan pemuda ini luar biasa cepatnya. Jangankan perut manusia,
batu besar pun akan hancur kena hantamannya!
Saat itu Jagal Iblis siap
memutar tubuh untuk melompat turun ke tanah. Namun hal itu tak bisa
dilakukannya. Bukan saja karena dia harus selamatkan diri dari serangan kaki
yang bisa menjebol perutnya. Tapi juga karena di saat yang hampir bersamaan
serangan si cadar kuning dan Sabai Nan Rancak datang hampir berbarengan! Sinar
kuning dan sinar merah menyambar dahsyat dari dua arah!
Jagal Iblis Makam Setan
keluarkan suara meraung seperti anjing melolong. Ujung jarijari kaki kirinya
ditusukkan ke batang pohon. Lalu kaki kanan bergerak menebas dengan cepat.
“Crasss!” Batang pohon putus. Bersamaan dengan itu kaki kiri ikut bergerak
melemparkan potongan batang kayu. Potongan batang kayu melesat ke bawah
menghantam ke arah Iblis Pemalu!
“Gila memalukan!” teriak Iblis
Pemalu ketika melihat potongan batang kayu yang beratnya hampir lima puluh kati
itu jatuh tepat di atas kepalanya!
“Memalukan! Kepalaku hendak
dibikin rengkah!” kembali Iblis Pemalu berteriak.
Sambil melontarkan tubuhnya ke
samping dia hantamkan tangan kanannya ke atas. Tangan kiri terus menutupi
wajah. “Wuttt!”
Satu gulungan sinar putih aneh
melesat ke atas. Luar biasanya pukulan sakti ini bukan memukul untuk membuat
mental atau menghancurkan potongan besar batang pohon. Tapi laksana seutas tali
besar sinar itu menggulung kutungan batang pohon. Iblis Pemalu keluarkan suitan
keras. Tangan kanannya disentakkan. “Wuuttt!” Batang pohon tertarik keras.
Melesat ke samping. Menghantam Jagal Iblis Makam Setan. Di saat yang sama sinar
kuning dan sinar merah pukulan sakti yang dilepaskan si cadar kuning serta
Sabai Nan Rancak menderu.
Jagal Iblis Makam Setan
keluarkan suara seperti anjing melolong. Kedua kaki tulangnya bergerak cepat.
Membabat, menusuk dan menggunting. Suara “claakk… claakk…clakkk terdengar tak
berkeputusan. Dalam waktu singkat sepasang kaki itu telah membuat hampir enam
puluh gerakan! Apa yang terjadi sungguh luar biasa. Batang kayu besar berubah
menjadi potongan-potongan kecil puluhan banyaknya. Bertaburan di udara. Lalu
terdengar suara orang meniup. Puluhan keping batang kayu melanda ke arah Iblis
Pemalu. Bagaimana pun hebat dan cepatnya gerakan pemuda aneh ini tidak mungkin
dia sanggup mengelakkan demikian banyak kepingan kayu yang siap menancapi
tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.
*
* *
EMPAT
Iblis Pemalu tekap wajahnya
kuat-kuat dengan dua telapak tangan. Sepasang matanya melirik ke kiri lalu ke
kanan. Dalam keadaan kritis begitu rupa dia seperti tidak acuh menghadapi
bahaya maut. Tapi pemuda ini sebenarnya sudah memperhitungkan.
“Jagal Iblis! Seranganmu boleh
juga! Tapi sia-sia! Memalukan! Ada dua sahabat menolong diriku! Lihat saja!”
Habis berseru begitu Iblis
Pemalu berjungkir balik di udara. Lalu tubuhnya menukik ke bawah. Saat itulah
sinar kuning serangan si cadar kuning dan cahaya merah pukulan sakit Kipas
Neraka yang dihantamkan Sabai Nan Rancak sampai.
“Wusss!”
“Wusss!”
Sinar kuning dan cahaya merah
beradu dahsyat di udara. Kilatan cahaya api mencuat setinggi lima tombak,
menebar mendatar seputar tiga tombak setelah lebih dahulu mengeluarkan suara
berdentum laksana gunung meletus. Lembah Merpati seolah lenyap ditelan kobaran
api dan kepulan asap. Jagal Iblis Makam Setan melolong keras. Tubuhnya
terhempas ke sebatang pohon lalu terpental sejauh tiga tombak dan jatuh
menyangsrang di serumpunan semak belukar. Sabai Nan Rancak terpental ke udara.
Ketika jatuh ke bawah dia bergerak cepat.
Berusaha mengimbangi diri agar
tidak terhempas. Namun gelegar bentrokan dua kekuatan sakti membuat dia seolah
kehilangan bobot dan akhirnya terbanting ke tanah tak berapa jauh dari tempat
menyangsrangnya Jagal Iblis. Dia cepat bangkit berdiri. “Memalukan! Gila! Betul-betul
memalukan!” teriak pemuda itu berulang kali. Dia berdiri satu tangan masih
menutupi wajah, satu tangan lagi menepuki pantat celana dan punggung baju
hitamnya yang kotor oleh tanah dan debu. Saat itulah baru disadarinya kalau dua
keping pecahan pohon menancap di tubuhnya. Satu di lengan kiri, satu lainnya di
bahu kiri. Iblis Pemalu cepat gerakkan tangan kanan untuk mencabut
kepingan-kepingan kayu itu. Ada bercak darah pada pundak kirinya pertanda
cidera.
Ketika dentuman menggelegar
dan Lembah Merpati dilanda goncangan hebat, Sabai Nan Rancak merasakan sekujur
tubuhnya laksana mau amblas ke dalam tanah. Nenek ini cepat kerahkan tenaga
dalam. Namun tak urung lututnya terlipat. Kedua kakinya laksana dibetot ke
bawah. Tubuhnya jatuh terduduk. Perempuan tua ini berusaha segera bangkit.
Tapi dia kembali jatuh
terduduk. Mukanya tampak merah mengelam. Bukan saja karena marah tapi lebih
dari itu oleh rasa malu yang amat sangat. Tadi dia menyaksikan sendiri walau
cidera namun begitu jatuh Iblis Pemalu mampu dengan cepat bangkit kembali.
Berarti pemuda itu memiliki tingkat kekuatan yang tidak berada di bawahnya.
Lalu saat itu dia juga menyaksikan bagaimana orang bercadar kuning sanggup
bertahan hingga tidak jatuh atau rubuh ke tanah walau sekujur tubuhnya tampak bergetar
dan dia memegangi cadarnya agar tidak terlepas. “Orang berpakaian dan bercadar
kuning itu…” ujar Sabai Nan Rancak dalam hati. “Dia benar-benar luar biasa.
Sanggup bertahan hingga tidak roboh…. aku harus segera mencari tahu siapa dia
sebenarnya! Tapi iblis penghalang satu itu harus kusingkirkan dulu!”
Si nenek berpaling ke arah
semak belukar di atas mana Jagal Iblis Makam Setan terpuruk. Terkejutlah Sabai
Nan Rancak. Saat itu si kakek iblis berpakaian hancur kumal itu telah berdiri
di atas semak belukar. Walau tubuhnya kurus kering namun sulit diterima akal
ada orang bisa tegak seperti yang dilakukannya. “Bangsat ini memiliki ilmu
meringankan tubuh luar biasa. Tidak heran kalau dia mampu pergunakan sepasang
kaki untuk menyerang. Benar-benar berbahaya. Agaknya aku terpaksa mengatur
siasat agar urusan besar bisa diselesaikan. Kalau rahasia itu tidak tersingkap
rasanya aku akan penasaran sampai ke liang kubur….” ‘
Di atas semak belukar Jagal
Iblis Makani Setan umbar tawa mengekeh. “Batang pohon sanggup kutabas. Potongan
batang mampu kucacah jadi puluhan keping! Apakah tubuh-tubuh kalian lebih atos
dan kuat dari pohon?! Ha… ha… ha!”
Saat itu Sabai Nan Rancak
membuat gerakan membuka Mantel Sakti yang dikenakannya. Melihat hal ini si
Jagal Iblis semakin keras tawanya. Sambil menuding dengan tangan kiri ke arah
si nenek, dia berkata.
“Bagus Sabai! Ternyata kau
tidak setolol yang aku duga! Kembalikan Mantel Saktiku secara baik-baik. Juga
sekantong Mutiara Setan! Begitu dua benda sakti itu berada di tanganku aku
anggap habis semua perkara!”
“Aku membuka mantel bukan
untuk menyerahkan padamu! Tapi dengan mantel ini aku akan membunuhmu!” jawab
Sabai Nan Rancak dengan seringai mengejek.
Jagal Iblis Makam Setan
kembali tertawa. “Kalau begitu kau benar-benar dungui Kau tahu tingginya puncak
Singgalang. Dalamnya danau Singkarak! Dan kau hendak menantang semua itu! Ha…
ha… ha…! Hari ini aku untung besar. Membunuhmu dan juga dapatkan kembali dua
senjata sakti milikku!”
Jagal Iblis melolong keras.
Tubuhnya melesat ke udara. Ketika menukik sepasang kakinya berada di sebelah
bawah, menyambar ke arah si nenek.
“Claaakkk…. claakkk… clakk!”
Dua kaki yang pipih laksana pedang membuat gerakan menggunting.
“Tahan!” Tiba-tiba Sabai Nan
Rancak berseru sambil angkat tangan kanannya pertanda bahwa .setiap saat tangan
itu serta merta bisa menghantamkan pukulan sakti Kipas Neraka.
Di udara Jagal Iblis membuat
gerakan berjungkir balik. Di lain kejap dia tahu-tahu sudah berdiri dua langkah
dari hadapan. Sabai Nan Rancak. Dua telapak tangan menjejak tanah sedang
sepasang kaki yang berada di atas menyilang di atas pundak kiri kanan si nenek.
Sekali tulang kaki berbentuk pedang pipih itu membuat gerakan menggunting, maka
tak ampun akan amblaslah leher si nenek terpancung!
Si nenek tegak laksana patung,
tak berani bergerak bahkan mungkin juga tak sanggup bernafas lagi. Mukanya yang
keriputan sepucat kertas. Tangan kanannya memancarkan sinar merah. Tapi dia
tidak membuat gerakan apa-apa untuk melepaskan pukulan Kipas Neraka. Sebabnya jika
gerakannya menghantam didahului oleh lawan maka putuslah lehernya!
Iblis Pemalu goleng-golengkan
kepala. “Aku malui Benar-benar malu! Dua kaki di atas bahu. Satu nyawa siap
melayang!”
Di tempat lain si cadar kuning
walaupun tersentak kaget melihat apa yang terjadi di depan matanya dan telah
menyiapkan pukulan sakti di kedua tangannya namun tak berani membuat gerakan.
Dalam hati dia membathin. “Aku bisa membunuh kakek jahanam itu. Tapi apakah
mungkin selamatkan nyawa nenek satunya itu?”
Jagal Iblis Makam Setan
tertawa panjang lalu keluarkan suara seperti lolongan anjing. Di langit sang
surya mulai menggelincir menuju ufuk tenggelam. Keadaan di lembah redup
digantungi ketegangan.
Tiba-tiba Jagal Iblis hentikan
tawanya. Lalu dari mulutnya keluar bentakan.
“Sabai! Hari ini kau
benar-benar bernasib buruk! Sebelum lehermu kujaga! katakan apa maumu!”
“Aku seorang yang memegang
janji. Bagaimana dirimu!” Si nenek ajukan pertanyaan.
“Aku manusia iblis! Mana
mungkin mengadakan perjanjian dengan manusia jelek sepertimu?! Ha… ha… ha…!”
“Kalau begitu kau sengaja
memilih mampus bersama!” ujar Sabai Nan Rancak dengan suara dan wajah dingin.
“Eh, apa maksudmu?!” hardik
Jagal iblis Makam Setan seraya melirik ke tangan kanan Sabai Nan Rancak yang
saat itu semakin keras memancarkan cahaya merah. “Maksudku silahkan saja
menabas leherku! Tapi apa kau bisa selamat dari pukulan Kipas Neraka di tangan
kananku?! Hik… hik… hik!” Si nenek tertawa cekikikan. Kini Jagal Iblis yang
jadi tercekat. Keningnya mengerenyit. Dagunya bergerak-gerak. Janggut, kumis
dan rambutnya yang terjulai ke tanah bergoyang-goyang.
“Keparat jahanam! Apa kau kira
aku takut mati?!”
“Hik… hik… hik! Kalau begitu
teruskan niatmu menggunting leherku!” Menantang Sabai Nan Rancak. Tangan
kanannya ditarik sejengkal ke belakang. Pertanda nenek ini siap menghantam.
Jagal Iblis Makam Setan
keluarkan suara menggerendeng. Namun diam-diam saat itu dia menjadi bimbang.
Setelah berpikir cepat maka dia berkata.
“Baik! Katakan apa yang ada
dalam benakmu!”
“Aku akan mengembalikan Mantel
Sakti dan sekantong Mutiara Setan padamu. Tapi aku punya syarat…. Bagaimana?”
“Hemmm…. Katakan syaratmu!”
ujar Jagal Iblis, pula.
“Setelah kau menerima dua
benda sakti itu kau tidak boleh mengganggu diriku. Juga dua orang yang ada
bersamaku saat ini….”
“Syarat mudah! Aku terima!”
jawab Jagal Iblis lalu tertawa gelak-gelak.
“Syaratku belum semua
kusebutkan! Jangan tertawa dulu!” ujar Sabai Nan Rancak.
“Hemm…. Kau’ boleh meneruskan.
Tapi kalau syaratmu terlalu banyak jangan harap aku mau menerima!”
“Begitu kau dapatkan Mantel
Sakti dan Mutiara Setan kau harus segera angkat kaki dari tanah Jawa ini.
Kembali ke Pulau Andalas!”
“Syarat gila! Aku tidak bisa
terima! Aku ingin gentayangan dulu cari pengalaman di tanah Jawa ini! Siapa
berahi melarang?!”
“Kalau begitu jangan harap aku
akan serahkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan!” jawab Sabai Nan Rancak.
Jagal Iblis tertawa bergelak.
Dia melirik ke tangan kanan Sabai Nan Rancak. Si nenek merasa dua kaki yang
bersilang di atas pundaknya menekan memberat. Sebelum dia tahu apa yang bakal
dilakukan lawan tiba-tiba tangan kiri Jagal Iblis melesat ke atas. Dengan hanya
berdiri di atas tangan kanan Jagal Iblis cekal pergelangan tangan kanan Sabai
Nan Rancak dengan tangan kirinya hingga tak mungkin bagi si nenek untuk
melancarkan serangan Kipas Neraka.
“Aku siap menjagal lehermu
Sabai! Apa kau sudah ikhlas mati mengenaskan saat ini juga?!”
Wajah tua keriput Sabai Nan
Rancak berubah dan tampak tegang. Pundaknya turun ke bawah. “Bangsat kau Datuk
Tinggi!”
“Gelarku Jagal Iblis Makam
Setan!” bentak si kakek berkaki tulang.
“Persetan siapa pun nama dan
gelarmu! Saat ini aku mengalah. Tapi lain kali jangan harap aku mau memberi
ampun padamu! Sebaiknya kita tidak perlu bertemu’ lagi. Karena begitu aku
melihatmu aku bersumpah akan membunuhmu!”
Jagal Iblis Makam Setan
kembali tertawa bergelak.
“Nenek Sabai! Tindakanmu
memalukan sekali!. Jangan serahkan Mantel dan Mutiara Setan itu!” Berteriak
Iblis Pemalu ketika dilihatnya si nenek menanggalkan Mantel Sakti dan
mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik pakaiannya.
Si cadar kuning ikut tercekat.
“Astaga! Apa yang dilakukannya?! Apa tak ada lagi benak di dalam kepala?!
Memberikan dua senjata itu sama saja menciptakan dua musuh celaka!” Orang ini
segera berlalu. “Sabai! Perbuatanmu salah kaprah! Dunia persilatan akan dilanda
bencana!”
“Aku tak ada pilihan lain!”
jawab Sabai Nan Rancak dengan suara tercekat. Jagal Iblis Makam Setan
menyeringai. “Lemparkan mantel dan kantong kain itu ke tanah, di samping
kiriku!”
Sabai Nan Rancak ikuti
perintah orang. Mantel Sakti dan kantong kain berisi Mutiara Setan
dijatuhkannya ke tanah, satu langkah di samping kiri si kakek
“Aku malu!” teriak Iblis
Pemalu. Lalu palingkan muka, menghadap ke jurusan lain sambil terus menutupi
wajahnya dengan dua telapak tangan. “Percaya pada Iblis! Percaya pada manusia
Setan! Benar-benar memalukan!”
Jagal Iblis pencet lengan
kanan si nenek. Lalu berkata. “Aku masih merasakan aliran tenaga dalam. Tangan
kananmu masih memancarkan sinar merah! Kau setengah hati atau masih berharap
dapat membokongku dengan pukulan Kipas Neraka?”
Si nenek pelototkan matanya.
Jagal Iblis balas membelalak. Akhirnya Sabai Nan Rancak terpaksa hentikan
aliran tenaga dalam ke tangan kanan. Bersamaan dengan itu sinar merah yang
memancar di tangan itu perlahan-lahan meredup dan akhirnya lenyap sama sekali.
“Bagus!” ujar Jagal Iblis.
Perlahan-lahan dia turunkan sepasang kakinya yang diletakkan di atas bahu kiri
kanan si nenek.
Perlahan-lahan Jagal Iblis
turunkan kedua kakinya. Masih mencekal tangan kanan si nenek, dia berjungkir
balik hingga kedua kakinya kini menjejak tanah. Sambil menyeringai dia berkata.
“Kau boleh pergi sekarang Sabai. Tapi aku punya firasat hidupmu tak bakal
lama!”
“Iblis akan kembali ke Iblis.
Setan akan kembali menjadi Setan! Itu bagianmu kelak!” sahut Sabai Nan Rancak
lalu sentakkan tangan kanannya dari cekalan orang. Sabai Nan Rancak membalik
dengan cepat. Dia memberi isyarat pada si cadar kuning dan Iblis Pemalu. “Lekas
ikuti aku!” bisiknya.
Iblis Pemalu sesaat meragu.
Pemuda ini memandang pada si cadar kuning. Orang yang dipandang goyangkan
kepalanya. Ketiga orang itu akhirnya berkelebat meninggalkan Lembah Merpati. Di
satu tempat Sabai Nan Rancak hentikan larinya.
“Aku tak punya waktu lama.
Kita berpisah di sini….”
“Tapi urusan belum selesai!
Rahasia besar masih mengambang. Jangan tinggalkan jurang menghalang. Bicara
dulu agar badan tak sansai….” (sansai = menderita) Berkata si cadar kuning.
“Aku malu! Cadar kuning apakah
kau tidak malu? Nenek satu ini agaknya tak punya malu!”
“Jangan bicara seperti itu!
Aku tahu urusan belum selesai. Rahasia masih mengambang. Aku meminta agar kita
bertemu lagi dalam waktu dekat. Meneruskan pembicaraan! Bagaimana? Aku ingin
jawab kalian. Cepat!”
“Ada apa dengan dirimu
sebenarnya? Kau menyerahkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan begitu saja. Kini
meneruskan bicara pun kau tidak sudi. Sungguh tindakan tidak terpuji….”
“Orang bercadar! Aku ingin
jawabmu. Apa kau mau mengadakan pertemuan lagi atau tidak? Kalau tidak, perduli
setan dengan segala rahasia hidup di antara kita!”
“Kalau itu pintamu! Kita
bertemu lagi dua hari di muka di tempat yang sama….” Berucap si cadar kuning.
“Lembah Merpati?!” tanya Sabai
Nan Rancak.
“Betul sekali. Oi tempat tadi….”
“Tolol sekali! Orang akan
mudah mencari dan menjebak kita di tempat itu!” kata Sabai Nan Rancak pula.
Si cadar kuning gelengkan
kepala. “Itulah rahasia hidup. Seseorang tak akan mencari di tempat yang sama:
Karena itu tidak pernah akan terduga. Siapa yang akan memperhatikan bunga
kuncup?”
Sabai Nan Rancak terdiam. “Kau
benar…” katanya perlahan. Nenek ini tiba-tiba palingkan kepalanya ke kiri. “Dia
datang! Lekas lari berpencar!”
“Jangan membuat malu menyuruh
lari. Dia siapa yang datang?!” Bertanya Iblis Pemalu.
“Jangan banyak tanya! Lari
saja! Sekarang! Cepat!” Tidak sabaran si nenek dorongkan tangannya kiri kanan
hingga si cadar kuning dan Iblis Pemalu terjajar beberapa langkah. Ketiga orang
itu untuk kedua kalinya berkelebat pergi. Namun sekali ini mereka berpencar ke
tiga jurusan.
Baru saja Sabai Nan Rancak,
iblis Pemalu dan si cadar kuning lenyap dari tempat itu muncullah Datuk Tinggi
Raja Di Langit alias Jagal Iblis Makam Setan. Sepasang matanya yang cekung
seperti mau melesat keluar. Rahangnya menggembung- dan pelipisnya
bergerak-gerak.
“Jahanam…. Berani menipuku!”
Si kakek memandang berkeliling. “Sabai! Jangan harap kau bisa kabur jauh! Akan
kucincang tubuhmu dengan kedua kakiku!” Apa yang telah terjadi?
Tak lama setelah Sabai Nan
Rancak, si cadar kuning dan Iblis Pemalu meninggalkan Lembah Merpati, dengan
cepat Jagal Iblis mengambil Mantel Sakti dan kantong berisi senjata rahasia
berupa mutiara hitam yang tadi dicampakkan Sabai Nan Rancak di tanah. Begitu
memegang mantel hitam kakek ini merasakan ada kelainan. Dia sibakkan rambutnya
yang menjulai menutupi wajah lalu memperhatikan mantel hitam itu dengan mata
mendelik. Beberapa kali mantel itu dikembangkan dan dibolak-baliknya.
“Enteng…. Mantelku tidak
seringan ini…” ujar Jagal Iblis. Kembali Mantel Sakti itu dibolak-baliknya lalu
diciumnya berulang kali. Masih kurang percaya dia lalu kerahkan tenaga dalam
dan kibaskan mantel hitam ke arah sebatang pohon. Tidak terjadi apa-apa.
“Keparat jahanam! Mantel
palsu! Aku kena ditipu!” Teriak Jagal Iblis menggeledek.
Mantel hitam yang dipegangnya
dibantingkan ke tanah. Dia keluarkan kantong kain dari balik pakaiannya yang
kumal hancur. Isinya dituangkan ke telapak tangan kanan. Sepasang matanya
mendelik semakin besar. Lalu kembali terdengar kutuk serapahnya. “Bangsat!
Mutiara ini juga palsu!” Sekali dia meremas, butiran-butiran hitam dalam
genggamannya hancur luluh. Benda itu ternyata hanyalah butiran-butiran tanah
diberi lapisan warna hitam berkilat!
*
* *
LIMA
Kita tinggalkan dulu Jagal
Iblis Makam Setan yang berada dalam keadaan marah luar biasa karena ditipu oleh
Sabah Nan Rancak. Kita kembali pada Puti Andini yang berada di dasar Telaga
Gajahmungkur, di satu tempat aneh penuh rahasia bernama Liang Akhirat.
Seperti diceritakan dalam
Episode sebelumnya (Liang Lahat Gajahmungkur) saat itu atas perintah Kiai Gede
Tapa Pamungkas, bocah aneh bernama Naga Kuning terpaksa menyergap Puti Andini
dan melemparkannya ke dalam lobang Liang Lahat. Tentu saja Puti Andini tidak
tinggal diam. Begitu Naga Kuning Berkelebat ke arahnya dia segera menghantam
dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Naga Kuning
merasakan satu dorongan angin keras menahan gerakannya hingga sesaat dia
terpentang dengan tangan terkembang. Puti Andini tidak memberi kesempatan. Dia
terus merangsak ke depan. Tangan kanannya kembali bergerak. Kali ini memukul ke
arah si bocah. Yang diarahnya adalah tangan kanan Naga Kuning yang cidera dan
diikat dengan secarik kain.
Tapi si anak tidak bodoh.
Tubuhnya berkelebat ke samping. Kakinya menjegal ke arah kaki si gadis.
“Blukkk!”
Puti Andini jatuh tertelungkup
ke lantai ruangan. Gadis ini menggeram marah. Dia cepat melompat bangkit. Namun
belum sempat tahu-tahu tengkuk bajunya telah dicekal orang. Dia memukul ke
belakang. Tidak kena. Dia berpaling. Ternyata yang mencekalnya adalah anak
berpakaian hitam itu. Sulit dipercaya, Naga Kuning yang bertubuh kecil itu
sanggup mencekal lalu mengangkat Puti Andini dan menenteng gadis ini menuju
lobang besar.
“Maafkan aku. Aku terpaksa
melemparmu ke dalam Liang Lahat. Aku hanya menjalankan perintah….” Berucap Naga
Kuning setengah berbisik.
“Anak setani Kau mau saja
diperintah berbuat keji. Berarti kau sama jahatnya dengan bangsat tua itu!”
Sembur Puti Andini. Lalu dia memutar badannya, kedua kakinya ditekankan ke
pinggiran Liang Lahat. Salah satu tangan menggapai ke balik punggung Naga
Kuning. .
“Kau mau melemparkan aku ke
dalam Liang Lahat! Silahkan saja! Tapi aku ingin kau ikut bersamaku!”
Naga Kuning terkesiap kaget.
Ketika dia hendak melemparkan si gadis ke dalam Liang Lahat, tangan kanan Puti
Andini menggelung tubuhnya dengan keras. Kalau dia teruskan niatnya melempar
gadis itu niscaya tubuhnya akan ikut amblas masuk ke dalam Liang Lahat! Selagi
anak itu berada dalam keadaan bingung begitu rupa Puti Andini pergunakan tangan
kirinya untuk menggebuk. Jotosan tangan kirinya mendarat telak di perut Naga
Kuning hingga anak ini mengerluarkan suara seperti orang muntah. Tapi anehnya
wajahnya kemudian tampak tersenyum. Lalu terdengar anak ini berbisik. “Ayo
pukul lagi. Hantam tubuhku sejadi-jadinya. Cepat lakukan!”
Puti Andini tidak bisa
berpikir apa maksud Naga Kuning berkata begitu. Dia kemudian memang menghujani
anak ini dengan pukulan tangan kiri. Dua hantaman di kepala. Empat di dada dan
dua lagi di perut. Semua itu dilakukannya bukan karena mendengar kata-kata Naga
Kuning tapi karena takut kalau dirinya benar-benar dilemparkan masuk ke dalam
Liang Lahat dimana tadi dia melihat dua ekor naga raksasa masuk dan menghilang
di dalam lobang itu.
Naga Kuning keluarkan keluhan
panjang. Sepasang matanya membeliak berputarputar. Anak ini terkulai lalu roboh
ke lantai.
“Anak jahat! Silahkan kau
masuk ke dalam lobang lebih dulu!” Puti Andini angkat tubuh Naga Kuning lalu
melangkah mendekati Liang Lahat. Sesaat lagi tubuh Naga Kuning siap
dilemparkannya ke dalam lobang besar itu tiba-tiba satu cahaya menyilaukan
berkiblat. Puti Andini terdorong lima langkah. Tubuh Naga Kuning terlepas, dari
cekalannya. Dia sendiri kemudian jatuh terduduk di lantai ruangan. Belum sempat
bernafas dia dikejutkan oleh melesatnya satu tangan aneh yang sangat panjang.
Tangan ini menjambak rambutnya lalu sekali tangan itu bergerak tubuhnya
terlempar masuk ke dalam Liang Lahat. Puti Andini menjerit setinggi langit.
Cucu Sabai Nan Rancak ini berusaha menggapai pinggiran lobang. Dia berhasil.
Jari-jari tangannya mencengkeram tepi batu Liang Lahat. Namun daya lontar
lemparan tubuhnya kuat sekali. Pinggiran batu Liang Lahat gompal besar. Tak
ampun lagi sosok Puti Andini jatuh masuk ke dalam lobang besar dan gelap.
Sekali lagi terdengar jeritan mengerikan gadis itu menggelegar di seantero
Liang Akhirat.
Sesaat setelah gema jeritan
Puti Andini lenyap ditelan dalamnya Liang Lahat, di atas makam putih sosok Kiai
Gede Tapa Pamungkas rangkapan dua tangan di depan dada, menatap tajam pada anak
yang tergeletak di lantai batu pualam.
“Naga Kuning! Jangan
berpura-pura pingsan! Sikap perbuatanmu akhir-akhir ini sangat mengecewakan
diriku!”
Sosok Naga Kuning tidak
bergerak. Tapi mata kiri anak ini terbuka sedikit, melirik ke arah sosok sang
Kiai yang konon disebut sebagai setengah manusia setengah roh itu. “Kalau kau
tidak mau bangun sendiri mungkin perlu aku meminta bantuan Makhluk Api Liang
Neraka?!”
Begitu selesai berucap
terdengar suara mendesis keras disusul dengan satu letupan. Ruangan yang
tadinya sejuk itu mendadak sontak menjadi sangat panas. Kobaran api aneh
menerangi ruangan. Kobaran api ini membentuk sosok makhluk tinggi besar yang
bergoyang dan menjilat kian kemari. Melihat makhluk api ini kecutlah Naga
Kuning. Anak ini segera bangkit dan duduk bersila sambil rapatkan dua tangan,
menghadap ke arah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Mukanya benjat-benjut akibat
pukulan Puti Andini.
“Maafkan saya Kiai…” kata Naga
Kuning seraya merunduk dalam-dalam.
“Wussss!” Sosok aneh bernama
Makhluk Api Liang Neraka lenyap. Tempat itu kembali terasa sejuk.
“Naga Kuning! Kau sengaja
berpura-pura mengalah! Mengapa kau lakukan itu?!”
“Maafkan saya Kiai. Saya
memang salah. Hati saya mengalahkan pikiran. Sanubari saya mengalahkan
perintah. Saya tidak tega membunuh gadis itu….”
“Siapa yang menyuruhmu
membunuh! Aku hanya memerintahmu melemparkannya ke dalam Liang Lahat!”
“Saya mengerti Kiai. Tapi kita
sama tahu masuk ke dalam Liang Lahat sama saja masuk ke dalam liang kematian.
Lobang itu seolah tidak memiliki dasar. Di dalam sana ditunggui oleh sepasang
naga sakti yang tak ingin diganggu….”
“Apakah kau pernah masuk ke
dalam Liang Lahat hingga kau punya kesimpulan seperti itu?”
“Memang saya belum pernah masuk
Kiai. Tapi sembilan tokoh yang pernah saya lemparkan ke dalam lobang itu atas
perintah Kiai sampai saat ini tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya….”
“Mereka orang-orang tamak
berdosa. Mengapa mereka diambil sebagai perbandingan. Apa jawabmu?!”
“Saya mengaku salah Kiai. Saya
tidak berani menjawab lagi,” ujar Naga Kuning.
“Kau memiliki ilmu Paus Putih.
Yang bisa membuat tubuhmu licin tak sanggup dicekal tak bisa dipegang. Tapi
ketika gadis itu tadi hendak melemparkanmu ke dalam Liang Lahat ilmu itu tidak
kau keluarkan. Kau seolah pasrah dibunuhnya begitu saja….”
“Saya tidak bisa menjawab
Kiai. Saya mengaku salah….”
“Jangan dusta Naga Kuning. Kau
menyembunyikan sesuatu di lubuk hatimu!”
“Saya tidak menyembunyikan
apa-apa Kiai….” “Kau dusta! Jelas kau dusta! Kau menyukai gadis itu? Kau
terpengaruh oleh keputihan tubuhnya yang tersingkap di balik pakaian merahnya
yang cabik….”
“Pikiran saya tidak sampai ke
situ Kiai. Saya tahu siapa diri saya. Saya hanya tidak tega. Saya merasa
kasihan karena sebenarnya gadis itu tidak bersalah. Dia masuk ke tempat
terlarang ini atas perintah kakeknya. Perintah itu disertai pula dengan hasrat
untuk menolong seorang pendekar yang tengah ditimpa musibah. Pendekar mana
konon akan menjadi penyelamat dunia persilatan…. Saya mengaku salah. Saya siap
menerima hukuman….”
“Walau aku tidak percaya tapi
baiklah. Kau menyangkal menyukai gadis itu. Tapi paling tidak berat dugaanku
kau telah memandu gadis itu hingga berhasil masuk ke tempat ini. Menjejakkan
kaki di tempat ini bagi orang luar merupakan satu pantangan besar. Maut
tantangannya. Apalagi kalau dia sampai mengetahui dan mencari Pedang Naga Suci
212!”
Naga Kuning terdiam mendengar
ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu. Dalam hatinya bocah yang sesungguhnya
berusia lebih dari seratus tahun ini berkata. “Kiai tidak mempercayai. Percuma
saja membela diri….” Maka anak ini lantas berucap. “Saya mengaku salah Kiai.
Saya siap menerima hukuman.”
“Kau mengakui kesalahan.
Bagus! Hukuman memang tak bisa kau hindarkan! Lekas kau berdiri dan tegak di
bawah dinding batu setengah lingkaran! Tempelkan tubuhmu bagian belakang ke
dinding batu itu!”
Naga Kuning segera berdiri
lalu melangkah memutari Liang Lahat hingga akhirnya dia tegak membelakangi
dinding batu tinggi setengah lingkaran. Anak ini tempelkan kepala dan badan
serta kakinya ke dinding batu ini. Di hadapannya dilihatnya Kiai Gede Tapa
Pamungkas mengangkat tangan kanan. Selarik sinar putih menyambar. Terdengar
satu letusan keras disertai mengepulnya asap putih. Ketika asap sirna
kelihatanlah tubuh Naga Kuning melesak masuk ke dalam dinding batu seolah
menempel jadi satu.
“Naga Kuning, kau akan tetap
berada di tempat itu sampai ada orang yang menolongmu! Selama seratus tahun tak
ada yang menolong berarti seratus tahun kau bakal menerima nasib malang! Aku
masih berbelas hati. Walau kau kaku seolah berubah jadi batu tapi kau masih
bisa bernafas dan bisa mendengar serta bicara!”
“Saya mengaku salah Kiai.
Maafkan saya. Tapi saya tidak menyangka Kiai akan menjatuhkan hukuman begini
rupa.” kata Naga Kuning dengan suara perlahan dan bernada sedih penuh
penyesalan.
Kiai Gede Tapa Pamungkas
tampaknya tidak terpengaruh oleh ucapan Naga Kuning. Dia angkat tangannya
sekali lagi. Sinar putih kembali berkiblat. Disusul letusan keras. Kali ini tak
ada kepulan asap putih. Tapi ada suara menggemuruh.
“Kiai!” jerit Naga Kuning.
Dinding batu setengah
lingkaran secara aneh bergerak turun memasuki Liang Lahat hingga akhirnya
lenyap bersama tubuh Naga Kuning.
*
* *
ENAM
Puti Andini merasa ngeri
mendengar jeritannya sendiri. Tubuhnya melayang dalam liang sangat gelap. Udara
sepanjang lobang tempatnya melayang jatuh menebar hawa aneh membuat nafasnya
pengap. Gadis ini pegang! kepalanya erat-erat. Dia tidak tahu akan berapa lama
dia melesat jatuh begitu rupa. Namun dasar lobang tak kunjung sampai. Kalaupun
akhirnya dia menyentuh dasar lobang pasti dia tidak akan mengetahui lagi karena
saat itu juga kepalanya akan hancur dan tubuhnya remuk tak karuan!
Sekujur tubuh gadis ini
dibalut hawa dingin. Dia masih terus berteriak sampai suaranya parau dan
tenggorokannya sakit. Beberapa kali dia menggerakkan kaki dan tangan, berusaha
menggapai sesuatu. Namun dia tak bisa memegang apa-apa. Usahanya agar bisa
melayang jatuh dengan kaki ke bawah pun tidak berhasil. Makin jauh masuk ke
dalam Liang Lahat makin tak sanggup gadis ini berpikir lagi. Yang bisa
dilakukannya hanyalah menjerit dan menjerit parau. Pada puncak rasa takutnya
kesadarannya mulai lenyap. Dua tangannya yang diletakkan di atas kepala
terkulai ke bawah.
Dalam keadaan seperti itu dia
sama sekali tidak mengetahui kalau saat itu jauh di sebelah bawah ada satu
titik putih yang lambat laun berubah menjadi cahaya terang. Bersamaan dengan
itu dari bawah melesat hawa dan kabut dingin yang secara aneh menahan sosok
Puti Andini. Kalau sebelumnya sosok gadis itu jatuh sangat deras, kini tubuh
itu seperti mengapung. Masih terus jatuh ke bawah tapi perlahan-lahan. Puti
Andini yang berada dalam keadaan setengah sadar baru ingat dirinya ketika hawa
dingin sekali membuat sekujur tubuhnya bergeletar. Selain itu ada suara “duk…
duk…duk” menghentak aneh membuat badannya ikut tersentak-sentak. Masih dalam
keadaan terbaring, pertama sekali yang dilakukan gadis ini adalah memegang
kepalanya dengan kedua tangan. Lalu dia bangkit mencoba duduk. Ternyata dia
berada di satu tempat ketinggian. Memandang berkeliling dia melihat air.
“Astaga, aku kembali berada
dalam air. Masih bisa bernafas seperti biasa. Berarti ilmu menyelam yang
diberikan nenek sakti itu masih kumiliki…. Kepalaku tidak pecah. Tubuhku tidak
hancur. Berada di mana aku saat ini? Apa masih berada dalam Telaga
Gajahmungkur? Aku masih bisa melihat jernih dalam air. Aku masih bisa bernafas
seperti di tempat terbuka. Aku….”
Ucapan si gadis terhenti
ketika tengkuknya mendadak menjadi dingin. Dalam air di sekelilingnya melayang
belasan jerangkong. Manusia yang telah berubah menjadi tulang belulang ini
sebagian dalam keadaan bersambung utuh. Namun banyak di antaranya telah
tercerai putus. Ada yang tanggal kaki atau tangannya. Ada yang tidak berkepala
lagi. Tengkorak-tengkorak kepala manusia melayang-layang dalam air. Namun yang
paling mengerikan adalah dua mayat yang masih utuh, berada dalam keadaan kaku.
Dua mayat ini adalah yang dilihat Naga Kuning sebelumnya yakni mayat Datuk
Bonar alias Iblis Penghujat Jiwa Dari Utara. Satunya lagi mayat seorang nenek
bernama Nyi Ulan, dikenai dengan julukan Singa Betina Pedataran Bromo. Dalam
Episode Liang Lahat Gajahmungkur dituturkan bahwa dua orang sakti itu berusaha
mencari Pedang Naga Suci 212 namun mereka berhasil dicegat oleh sepasang naga
besar. Ketika mereka melawan, dua naga serta merta membunuh keduanya.
Tak berani memperhatikan dua
sosok mayat itu lebih lama Puti Andini putar kepala ke jurusan lain. Dia
melihat pasir putih menghampar di dasar air. Lalu ada suara “duk-duk duk”
berkepanjangan dan sesuatu yang membuat tubuhnya terlonjak-lonjak. Telapak
tangannya meraba ke bawah. Diusap-usapnya. Terasa sirip-sirip licin
mengeluarkan hawa hangat. Gadis ini menoleh ke kiri lalu memandang ke bawah.
Langsung saja jeritan keras hendak melesat dari mulutnya. Jantungnya seolah
lepas dan nyawanya seperti melayang terbang! Betapakan tidak! Dia baru sadar
kalau saat itu dia duduk di atas perut ular naga besar betina yang sebelumnya dilihatnya
di Liang Akhirat. Binatang ini tergolek melingkar.
Ekornya di pasir sedang
kepalanya jauh di atas menyondak batu-batu hitam runding membentuk
langit-langit aneh. Setiap bernafas perut naga raksasa itu berguncang-guncang
membuat Puti Andini ikut terguncang-guncang. Lalu suara “duk-duk-duk” tak
berkeputusan bukan lain adalah degup jantung sang ular. Binatang aneh ini diam
tak bergerak. Sepasang matanya terpejam. Puti Andini ingin segera melompat dari
atas perut naga itu. Namun ada rasa khawatir kalau gerakannya akan membuat sang
naga yang diperkirakannya tertidur itu menjadi terbangun.
“Celaka…. Apa yang harus aku
lakukan. Cepat “atau lambat binatang aneh ini pasti akan bangun. Begitu dia
melihatku, pasti diriku akan ditelannya bulat-bulat! Tua Gila! Menyesal aku
menuruti perintahmu!”
Si gadis memandang ke samping
kanan. Untuk kedua kalinya dia hampir menjerit kalau dua tangannya tidak cepat
dipergunakan untuk menutupi mulut. Hanya sepuluh langkah di sampingnya
terpentang kepala naga jantan, mendekam di atas gulungan tubuhnya sendiri. Dua
matanya yang merah besar memandang menyorot. Mulutnya terbuka lebar
memperlihatkan lidah bercabang serta gigi dan taring besar mengerikan. Hembusan
nafas binatang ini membuat air bergejolak dan menyambar panas ke arah Puti
Andini.
Kepala naga jantan bergerak.
Sebagian tubuhnya menggeliat. Dari mulut binatang ini menyambar desisan keras.
Membuat air menggelombang. Menghantam Puti Andini hingga gadis ini terpental
dan jatuh ke atas pasir putih. Gelombang air membuat naga betina terusik,
membuka matanya sebentar lalu menggerakkan tubuhnya bagian bawah dan mengangkat
ekornya. Ketika ekor itu diturunkan, tepat menindih tubuh Puti Andini. Ekor
yang beratnya hampir seratus kati itu membuat si gadis tak bisa berkutik. Bagaimana
pun dia berusaha melepaskan diri tetap saja dia tersepit antara pasir putih dan
ekor naga betina!
“Celaka! Apa yang harus aku
lakukan?!” Ekor naga betina itu makin lama makin terasa berat. Puti Andini
mulai megap-megap. Dia kumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih ada. Di sebelah
belakang dua kakinya ditekankan ke pasir. Di depan sepasang tangannya menggaruk
pasir putih. Dia kerahkan tenaga agar bisa meloloskan tubuh dari himpitan ekor
naga betina. Namun sampai sepuluh jari tangannya menggali pasir sampai
membentuk lobang tetap saja gadis ini tak mampu lolos. Sementara itu beberapa
potongan tulang belulang manusia dan sebuah tengkorak melayang di sekitar
kepalanya.
“Pedang Naga Suci 212…. Aku
bukan menemukan senjata sakti itu. Tapi mencari mati sendiri!”
Seolah pasrah Puti Andini
akhirnya hanya geletakkan diri menelungkup di pasir. Saat itulah samar-samar
dia melihat sebuah benda putih tersembul di antara pasir dalam lobang di
sebelah kanan. Ketika disentuh dengan tangan ternyata keras dan licin. Karena mengira
hanya sebuah batu putih biasa Puti Andini tidak acuh. Dia kembali berbaring
sambil terus mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri.
“Kalau kukerahkan tenaga
dalam, lalu menghantam dengan pukulan sakti….Mungkin pukulanku tidak mempan.
Tidak terasa apa-apa. Tapi siapa tahu binatang ini terbangun, menggerakkan
ekornya….” Memikir begitu maka Puti Andini segera alirkan tenaga dalam ke
tangan kanan. Tapi selintas pikiran lain muncul dalam benak gadis ini.
“Kalau ular besar ini
tersentak bangun tapi lantas menjadi marah dan menyerang diriku. Tamatlah
riwayatku….” Puti Andini batalkan niatnya untuk menyerang naga betina. Kembali
dia berbaring tak bergerak. Dua matanya lagi-lagi membentur batu putih di dalam
lobang. “Kalau kuambil batu itu, lalu kulempar ke tubuh naga yang menghimpitku.
Akibatnya mungkin tidak sehebat jika aku menghantam dengan pukulan sakti.
Paling tidak aku harus melakukan sesuatu. Kalau tidak melakukan apa-apa, cepat
atau lambat aku akan menemui ajal di bawah tindihan ekor binatang raksasa
ini….”
Puti Andini ulurkan tangannya.
Ternyata tidak mudah mengambil batu dalam lobang itu. Batu itu seolah bersatu
dengan pasir putih di sekitarnya yang telah membeku. Puti Andini berhenti
menggali ketika dirasakannya tiba-tiba ada hawa sangat dingin keluar dari dalam
lobang.
“Ada yang aneh…” membatin si
gadis. Lalu dia kembali meneruskan menggali.
Mendadak naga jantan yang
sejak tadi memperhatikannya dari kejauhan, menyorotkan pandangan buas. Sepasang
matanya memancarkah sinar merah dan dari mulutnya keluar suara mendesis keras.
Gerakan Puti Andini tertahan. “Binatang itu seperti marah. Tapi tak ada
sambaran angin, tak ada sambaran gelombang….” Si gadis menunggu sesaat lalu
kembali menggali. Untuk mengeluarkan batu dari dasar lobang dia harus menggali
bagian pasir di sekitar batu putih, ini tidak mudah karena pasir itu telah
membeku dan menyatu dengan batu. Si gadis paksakan diri sampai jari-jari
tangannya luka dan berdarah. Namun usahanya tidak sia-sia. Dia akhirnya
berhasil mengambil batu putih itu dari dalam lobang.
“Batu aneh…” ujar Puti Andini
dalam hati seraya memperhatikan benda di tangan kanannya. Dia coba membersihkan
sisa-sisa pasir yang masih melekat pada batu putih itu.
“Batu apa ini…. Bukan kerang
bukan pula karang. Enteng sekali. Mungkin bekas rumah siput besar? Dua sisi
rata. Sisi lainnya bulat membentuk lingkaran…. Ada hawa dingin keluar dari
batu, menjalar masuk ke dalam tanganku….” Puti Andini terus saja membersihkan
batu putih yang besarnya hampir dua kepalan itu.
Tiba-tiba naga jantan yang
sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Puti Andini menggerakkan tubuhnya.
Mulutnya yang besar membuka lebar. Lidahnya menjulur panjang. Di kejauhan Puti
Andini mendengar suara seperti lolongan anjing bersahut-sahutan di malam buta
membuat si gadis tercekat kecut. Lalu, saat itulah naga jantan mendesis keras.
Gulungan tubuhnya terbuka. Kepalanya naik ke atas lalu menyambar ke arah Puti
Andini. Ketika naga jantan mendesis keras, hawa sangat dingin disertai
gelombang air yang dahsyat menghantam ke arah Puti Andini. Gadis ini terpekik.
Tubuhnya terlempar jauh bersamaan dengan terangkatnya ekor ular naga betina
lalu terguling-guling di atas pasir putih. Beberapa jerangkong yang masih utuh
hancur cerai berai.
Batu putih yang tadi
dipegangnya terlepas. Sesaat batu ini terapung mengambang dalam air. Naga
jantan merunduk. Kepalanya menyambar ke arah batu putih. Mulutnya dibuka lebar
lalu menyedot keras. Batu putih yang melayang dalam air langsung tertarik ke
dalam mulut naga jantan itu. Namun terjadi satu hal tidak terduga. Naga betina
yang sejak tadi seperti diam tak bergerak tersentak dari tidurnya akibat
dorongan gelombang air. Begitu dua matanya yang merah membuka pandangannya
langsung membentur batu putih yang melesat tersedot ke arah mulut naga jantan.
Naga betina keluarkan suara menggerang dahsyat. Ekornya disentakkan ke atas.
Laksana petir menyambar ekor itu menghantam ke arah kepala naga jantan. Puti
Andini walau dalam keadaan cidera akibat hantaman gelombang air tadi masih
sempat melihat apa yang terjadi dengan mata membelalak.
*
* *
TUJUH
Hantaman ekor naga betina
menimbulkan gelombang air besar luar biasa, mendera ke arah naga jantan. Sesaat
naga jantan terkesiap kaget lalu balas menghantam dengan satu semburan yang
memancarkan sinar putih dari hidungnya. Tapi gerakannya terlambat karena
gelombang air lebih dulu menghantam kepala dan sebagian tubuhnya. Naga jantan
terpental ke atas. Kepalanya membentur langit-langit berbatu runcing hingga
hancur berkeping-keping. Tanpa perdulikan cidera di kepalanya naga jantan
menukik. Dengan nekad binatang ini kembali hendak menyambar batu putih yang
melayang jatuh ke dasar telaga. Namun lagi-lagi naga betina gerakkan ekornya.
Satu sinar hitam keluar dari ujung ekor lalu menyambar bergulung-gulung ke arah
naga jantan. Yang diserang tidak tinggal diam. Keluarkan suara mendengus. Dua
larik sinar merah melesat dari sepasang matanya.
Naga betina meraung aneh. Dari
tanduk di kepalanya menyembur cairan hijau yang meredam dan memusnahkan
serangan lawan. Naga jantan mengkirik kecut lalu meluncur mundur dan jatuhkan
diri bergelung di pasir putih. Kepalanya masih terpentang tegak namun sinar
merah di kedua matanya telah meredup.
Keanehan yang mengerikan dan
memukau Puti Andini tidak hanya sampai di sana. Naga betina memutar kepala,
memandang berkeliling. Begitu pandangannya membentur batu putih yang melayang
jatuh hampir mencapai dasar telaga, naga betina segera menyambarnya dengan
mulutnya. Batu langsung ditelan! Naga jantan yang menyaksikan kejadian itu
menggeram tapi tidak berbuat apa-apa.
“Batu putih itu…” kata Puti
Andini dalam hati. “Dua naga berkelahi memperebutkannya. Pasti benda itu….”
Si gadis tidak sempat
melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba naga betina meluncur ke arahnya.
Binatang ini menurunkan kepalanya sedatar dasar telaga. Mulutnya terbuka lebar.
Lidahnya yang bercabang diulurkan panjang-panjang.
“Ya Tuhan!” Puti Andini
terpekik. Ketika kepala binatang itu hanya tinggal dua tombak dari hadapannya,
gadis ini seolah baru menyadari kalau ular besar itu hendak menelannya
hidup-hidup. Puti Andini cepat berenang menjauhi, tapi sang naga datang lebih
cepat. Tak ada jalan lain. Tangan kanannya yang sudah dialiri tenaga dalam
segera dipukulkan ke depan. Memang ada kekuatan sakti yang sanggup dilepaskan oleh
cucu Tua Gila dan Sabai Nan Rancak itu. Membuat air telaga menggelombang, pasir
putih bertaburan ke atas dan tulang-tulang serta tengkorak manusia
berpelantingan kian kemari. Termasuk sosok kaku mayat Datuk Bonar dan Nyi Ulan.
Namun ular naga betina sama
sekali tidak bergeming. Malah sebaliknya Puti Andini tersentak kaget ketika dia
sadari tangannya yang tadi memukul ke depan tak bisa ditarik lagi. Karena satu
sedotan dahsyat membuat tangan itu terpentang lurus- laksana kaku dan bersamaan
dengan itu tubuhnya ikut tertarik. Lalu melesat dua benda aneh yang ternyata
adalah lidah ular naga betina yang bercabang dua.
Ketika dua belahan lidah
hendak melibat tubuh Puti Andini tiba-tiba di atas sana terdengar suara
menggemuruh. Sebuah benda meluncur jatuh. Air telaga tersibak laksana dibelah.
Lalu satu dinding batu berbentuk setengah lingkaran dan tinggi belasan tombak
menghunjam ke dasar telaga. Air muncrat sampai ke langit-langit batu runcing.
Pasir putih menggebubu menutupi pemandangan. Udara sangat dingin mencekam.
Ketika air kembali tenang, pasir luruh ke dasar telaga dan pemandangan
perlahan-lahan jernih, terlihat tubuh Puti Andini melayang-layang dalam air,
setengah sadar setengah pingsan. Dalam keadaan seperti itu dia mendengar
seseorang berteriak.
“Puti Andini! Keluarkan ilmu
silat payung tujuh! Andalkan ilmu meringankan tubuh! Kau bisa menyelamatkan
diri dengan ilmu itu!”
Seperti tersentak Puti Andini
angkat kepalanya. Dia masih belum bisa melihat siapa yang berteriak. Tapi dia
kenali suara orang.
“Itu suara bocah berpakaian
hitam yang menceburkan diriku ke dalam Liang Lahat. Dimana dia…. Apa
maksudnya?” Si gadis putar otaknya mencerna teriakan tadi. “Anak itu benar. Aku
bisa memainkan ilmu silat payung tujuh tanpa payung. Tapi apakah aku bisa keluar
dari telaga maut ini?”
Belum sempat dia berpikir
lebih lama tiba-tiba naga betina mendesis lalu tukikkan kepalanya ke bawah.
Puti Andini segera kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan diri. Tubuhnya
melesat ke atas. Kepala naga betina lewat di sampingnya. Mulut yang hendak
menelannya menggembor marah. Puti Andini terpental tiga tombak. Gadis ini
segera berjungkir balik lalu menghampiri kepala naga dari belakang. Secepat
kilat kaki kanannya ditendangkan ke tengkuk naga. Tapi dia mengeluh sendiri.
Kesakitan dan terpelanting karena tubuh naga itu ternyata licin. Sambil
menggeram naga betina cambukkan ekornya. Puti Andini masih sempat mengelak
bahkan kaki kirinya bisa menendang ke pelipis naga. Tapi lagi-lagi tak ada
hasilnya karena kembali kakinya terasa sakit. Tubuhnya terjungkir. Naga betina
kembali menyerbu. Si gadis mainkan jurus-jurus ilmu silat Payung Tujuh.
Tubuhnya melesat kian kemari. Sesaat naga betina seolah tertegun memperhatikan.
Tapi tiba-tiba binatang ini melesat ke atas sambil mengibaskan ekornya. Selagi
Puti Andini terlempar oleh gelombang air telaga akibat hantaman ekor, di
sebelah atas kepala naga betina melesat ke bawah. Kali ini si gadis tidak punya
kesempatan lagi untuk selamatkan diri.
“Puti Andini! Pukul tanduk di
kepala binatang itu!” Kembali si gadis mendengar teriakan orang. Sang dara
berpaling ke kiri. Dia melihat sosok Naga Kuning menempel di bagian bawah
dinding batu setengah lingkaran. Dalam kagetnya gadis ini tidak punya
kesempatan melakukan apa yang dikatakan si anak. Lidah bercabang naga betina
melesat ke depan, melibat tubuh gadis itu. Lalu sekali lidah itu disentakkan ke
belakang maka amblaslah sosok Puti Andini lenyap ke dalam mulut naga!
Naga jantan yang menyaksikan
kejadian itu kembali menggeram dan angkat kepalanya sedikit tapi seolah takut,
tak berani melakukan apa-apa. Naga Kuning pejamkan ke dua matanya. Tidak tega
melihat Puti Andini ditelan hidup-hidup oleh naga betina itu. Hatinya geram dan
sedih tak bisa menolong. Tubuhnya terpendam laksana disemen sama rata ke bagian
bawah dinding Liang Lahat. Seperti diceritakan sebelumnya Kiai Gede Tapa
Pamungkas telah menjatuhkan hukuman terhadap Naga Kuning. Menjebloskan anak itu
ke dalam batu lalu memasukkannya ke dalam Liang Lahat yang ternyata dasarnya
adalah di tempat dimana dua naga raksasa berada.
“Naga betina menelan gadis
itu. Tamatlah riwayatnya. Dia tak akan pernah menemukan Pedang Naga Suci 212.
Pendekar 212 tidak akan dapat disembuhkan. Rimba persilatan akan kejatuhan
bencana besar….” Naga Kuning hendak dongakkan kepalanya ke atas. Tapi tidak
bisa karena bagian belakang kepalanya menempel laksana disemen ke dinding batu
Liang Lahat. Anak ini hanya bisa melirik ke atas dan menggumam jengkel.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas….
Jika memang ini maumu maka apa yang kau inginkan sebagian telah menjadi
kenyataan! Semoga kau merasa puas….”
Baru saja Naga Kuning
mengeluarkan rasa kesalnya dalam hati tiba-tiba laksana dihantam gempa yang
datang dari dasar telaga, tempat itu bergoncang keras. Dinding batu dimana Naga
Kuning dipendam bergetar. Air telaga membentuk gelombang-gelombang besar di
beberapa tempat. Dua ekor naga tegakkan kepala lalu keluarkan suara melolong
aneh.
“Apa yang terjadi!” pikir Naga
Kuning. “Tempat ini seolah siap meledak. Atau mungkin dunia sudah kiamat?”
Di atas sana Naga Kuning
melihat petir menyambar sampai empat kali berturut-turut, itu pertanda Kiai
Gede Tapa Pamungkas tengah marah besar…” ujar Naga Kuning dalam hati. Lalu
samar-samar di sebelah atas dia melihat larikan-larikan air telaga berwarna
kuning. Hidungnya membaui sesuatu.
*
* *
DELAPAN
Tak selang berapa lama setelah
dinding batu setengah lingkaran amblas ke dalam Liang Lahat dan Naga Kuning
yang dipendam menempel ke dinding itu ikut lenyap, Kiai Gede Tapa Pamungkas
masih tegak di atas makam besar. Orang tua yang sulit diduga berapa usianya ini
dan disebut sebagai setengah manusia setengah roh tegak dengan mata terpejam,
kepala mendongak dan tangan rangkap di depan dada.
“Mungkin aku salah berbuat.
Tapi bagaimana pun juga hukum harus ditegakkan. Mungkin hukum itu sendiri satu
kekeliruan. Tapi tidak berbuat sesuatu adalah lebih jahat dari mengaminkan
kesalahan….” Kata-kata itu muncul di lubuk hati sang Kiai.
Kemudian perlahan-lahan Kiai
Gede Tapa Pamungkas gerakkan kedua tangannya ke atas membuat sikap seperti
orang memanjatkan doa. Bersamaan dengan itu sayup-sayup terdengar suara gaungan
aneh. Makin lama makin keras. Kabut putih di liang makam tampak turun ke bawah.
Dua kali secara aneh kilat menyambar keluar dari dalam liang makam. Lalu ada goncangan
keras. Sosok tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas ikut turun, perlahan-lahan masuk ke
dalam liang makam. Begitu kepalanya yang berambut putih lenyap maka didahului
dengan suara menggemuruh, batu besar penutup liang makam yang berada di sebelah
kanan bergeser ke kiri. Sekali lagi petir menyambar keluar. Lalu makam itupun
tertutup. Kabut putih lenyap. Suasana di Liang Akhirat sunyi senyap benar-benar
seperti di pekuburan.
Namun hal itu tidak
berlangsung lama. Sekonyong-konyong ada suara menggemuruh keluar dari perut
bumi. Dasar Telaga Gajahmungkur bergoyang keras. Liang Akhirat bergetar hebat.
Di luar sana air telaga membentuk gelombang-gelombang besar dan menghantam
pintu serta dinding-dinding Liang Akhirat. Beberapa bagian dinding hitam tampak
retak dan air merambas masuk ke dalam ruangan. Makam batu putih di tengah
ruangan bergoyang-goyang. Liang Lahat yang ada di samping makam mengepulkan
asap panas. Satu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Suara gemuruh menambah
ngerinya suasana. Lalu dari celah-celah makam dan batu penutup membersit cahaya
menyilaukan disertai suara menggelegar. Batu makam yang tadi tertutup bergerak
ke kanan. Lalu membuka disertai suara menggaung keras. Kilat menyambar dari
dalam liang makam disusui dengan kepulan asap putih. Lalu melesat sesosok tubuh
yang bukan lain adalah sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Tidak seperti biasanya wajah
orang tua ini tampak sangat pucat. Sikapnya luar biasa gelisah. Sepasang
matanya memandang seputar Liang Akhirat. Lalu dia mengerahkan kesaktian untuk
menembus dinding dan pintu batu, memandang ke Seantero Telaga Gajahmungkur.
Kepalanya seperti disentakkan sewaktu melihat ada bagian air telaga berwarna
kuning di sekitar permukaan.
“Malapetaka besar menimpa
telaga. Bahaya jatuh atas Liang Akhirat dan Liang Lahat! Ada orang menebar air
larangan! Siapa yang punya pekerjaan jahat ini?!” Sang Kiai lalu dongakkan
kepala dan mencium udara sekitarnya dalam-dalam. “Jalan pernafasanku membaui
sesuatu. Tak salah lagi. Yang kucium adalah air larangan!”
Kiai Gede Tapa Pamungkas
kepalkan tangan kanannya. Lalu dihantamkan ke atas. Terjadilah satu hal aneh.
Dari tinju kanan sang Kiai melesat keluar cahaya terang benderang laksana kilat
menyambar. Cahaya tersebut menembus dinding Liang Akhirat tanpa merusaknya sama
sekali. Sampai diluar kilatan petir ini terus melesat menuju permukaan Telaga
Gajahmungkur dan menghantam bagian telaga yang airnya berwarna kekuningan. Di
atas sana air telaga muncrat sampai beberapa tombak. Salah satu bagian dari
tanah tepian telaga laksana meledak, menghamburkan hancuran tanah, bebatuan dan
pohon serta semak belukar.
“Manusia-manusia jahat! Siapa
kalian yang berani menebar air larangan di kawasan kediamanku?!” Kiai Gede Tapa
Pamungkas berseru. Dia jentikkan tangan kirinya. Terdengar suara mendesir.
Pintu goa yang terbuat dari batu bergerak membuka. Kiai Gede langsung melesat
ke luar. Liang -Akhirat, terus berenang. Demikian cepatnya hingga kurang dari
sekejapan mata dia sudah- muncul di permukaan air telaga. Jika ada orang
melihat sang Kiai saat itu maka dia akan merasa aneh. Walau barusan jelas
keluar dari dalam air namun tubuh, pakaian selempang kain putih, rambut,
janggut dan kumisnya sama sekali tidak basah!
Memandang berkeliling dia
tidak melihat seorang pun. Orang tua ini kertakkan rahang. “Aku belum melihat
orangnya. Tapi aku sudah bisa menduga!” Kiai Gede Tapa Pamungkas menyelam
kembali. Dia berenang berputar-putar. Dia tak mencari lama. Di kejauhan di arah
timur dia melihat gerakan-gerakan dalam air. Air telaga tampak berwarna kekuningan.
“Ada dua orang di sebelah
sana. Yang satu bisa kuterka. Sulit kuduga siapa orang ke dua….” Sang Kiai lalu
melesat cepat ke arah dua orang yang berada di telaga sebelah timur itu.
Melihat ada orang mendatangi,
dua orang yang berenang saling memberi isyarat. Lalu keduanya cepat melesat ke
atas. Kiai Gede Tapa Pamungkas segera mengejar. Ketika dia muncul di permukaan
air dua orang tadi dilihatnya tegak di tepi Telaga Gajahmungkur dalam keadaan
basah kuyup. Dua-duanya menyeringai buruk walau jelas keduanya tampak menggigil
kedinginan.
Kiai Gede Tapa Pamungkas
melesat keluar dari dalam air telaga. Sesaat kemudian orang tua ini sudah
berdiri tegak di hadapan dua orang itu. Orang tua ini mencium bau pesing yang
sangat santar menebar dari sosok dua orang yang tegak di hadapannya itu. Cuping
hidungnya sampai kembang kempis karena berusaha menahan nafas dan mengernyit
menahan perutnya yang mendadak menjadi mual.
Melihat keadaan sang Kiai
seperti itu dua orang tadi tertawa cekikikan. Tapi salah seorang dari mereka
yakni nenek-nenek hitam kurus kering yang memegang sebuah kendi tanah berwarna
merah sehabis tertawa cepat-cepat membungkuk memberi penghormatan.
“Sinto Weni! Aku sudah menduga
kalau kau yang punya pekerjaan! Mengapa kau berlaku jahat terhadap aku, gurumu
sendiri?!”
Orang yang ditegur dengan nama
Sinto Weni itu bukan lain adalah nenek sakti dari Gunung Gede, guru Pendekar
212 yang lebih dikenal dengan sebutan Sinto Gendeng. Si nenek rapikan barisan
lima tusuk kundai yang menancap di kulit kepalanya baru menjawab.
“Kiai harap maafkan diri saya.
Saya tidak bermaksud jahat….”
“Di mata dan pikiranmu apa
yang kau lakukan tidak jahat. Tapi di mata orang lain termasuk diriku apa yang
kau lakukan benar-benar satu kejahatan! Kau menebar air larangan yang menjadi
pantangan besar bagi Telaga Gajahmungkur! Kau mengacaukan dan merusak semua
pekerjaan yang telah aku mulai sejak puluhan tahun lalu….”
“Kiai, jangan kau bersalah
duga. Saya….”
“Sinto Weni! Sejak kau memilih
Kapak Naga Geni 212 di puncak Gunung Gede puluhan tahun silam. Sejak kau
melarikan Pedang. Naga Suci 212! Aku sudah tahu kalau kau adalah seorang
berhati jahat dan culas! Serakah dan juga kejam!”
Sinto Gendeng sampai tersurut
mendengar dampratan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu. Dia pukul-pukul kepalanya
sendiri lalu menjawab. “Kiai, terserah kau mau mengatakan saya ini apa. Saya
menerima pasrah. Saya kemari mencari obat untuk murid saya. Pendekar 212 Wiro
Sableng yang terkena musibah….”
“Aku sudah tahu musibah apa
yang menimpa muridmu! Aku juga tahu siapa dirinya adanya! Pemuda bernafsu
kotor! Musibah yang menimpa dirinya sudah lebih dari pantas!”
“Kiai, saya tahu siapa murid
saya. Harap kau jangan menghina dirinya! Apapun perbuatannya, salah atau benar
akan menjadi tanggung jawab saya dunia akhirat!”
“Ucapanmu hanya menyatakan
sifatmu yang congkak!” tukas Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. “Puluhan tahun aku
menunggumu. Berharap agar kau kembali menyerahkan Kapak Naga Geni 212 yang kau
ambil tempo hari. Juga menyerahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!”
*
* *
SEMBILAN
Sinto Gendeng jadi terkesiap
mendengar ucapan sang Kiai. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Saya tidak
membawa Kapak Naga Geni 212. Pedang Naga Suci 212 juga tidak ada pada saya….”
“Kau pandai bicara mencari
dalih!”
“Kiai, saya tidak berdalih.
Kapak Naga Geni 212 tidak ada pada saya. Juga saat ini saya menyirap kabar
senjata itu tidak berada di tangan murid saya. Pedang Naga Suci 212 secara
kurang ajar memang saya ambil waktu puluhan tahun lalu di puncak Gunung Gede itu.
Tapi saya punya alasan melarikan senjata mustika itu. Untuk menghindari dunia
persilatan dari malapetaka besar. Karena kalau pedang mustika sakti waktu itu
sampai jatuh ke tangan Sukat Tandika alias Tua Gila pasti dia akan
mempergunakannya untuk maksud jahat! Lagipula saya melarikan Pedang Naga Suci
212 bukan untuk dipakai sendiri tapi saya sembunyikan di satu tempat. Di dasar
Telaga Gajahmungkur ini! Kelak siapa yang benarbenar berjodoh dengan senjata
itu pasti akan mendapatkannya. Karena mendengar murid saya ditimpa musibah dan
konon pedang itu bisa menjadi obat yang mujarab maka itulah saya kembali ke
tempat ini untuk mencarinya, untuk pengobat Pendekar 212. Bukan untuk maksud
lain….”
“Kau tahu penyakit kutuk yang
menimpa muridmu akan lenyap dengan sendirinya setelah seratus hari…. Mengapa
bersusah payah mencari Pedang Naga Suci 212 yang bukan milikmu?!”
“Syukur Kiai telah mendengar
dan mengetahui musibah yang menimpa murid saya. Kapan akan punahnya musibah
kutukan itu tidak saya ketahui. Sementara itu rimba persilatan saat ini tengah
dilanda mara bahaya besar. Orang-orang Lembah Akhirat gentayangan ke mana-mana
mengadu domba antar sesama tokoh silat golongan putih. Bagaimana kalau celaka
lebih dulu datang menimpa murid saya sebelum seratus hari? Kiai….”
“Cukup! Aku tak perlu
keterangan panjang lebar!” memotong Kiai Gede Tapa Pamungkas. “Aku perintahkan
agar kau segera angkat kaki dari tempat ini! Bawa serta kawanmu kakek-kakek
bermata belok jereng! Berkuping lebar, bertampang seperti jurik ini!” Saking
marahnya sang Kiai tak bisa lagi mengendalikan kata-katanya.
“Kiai, sekali ini mungkin saya
tidak dapat menuruti perintahmu. Saya lebih mementingkan keselamatan muridku si
anak setan itu dari pada diriku sendiri. Saya tidak perduli kau akan memukul
rengkah batok kepala saya. Atau menanggalkan anggota badan saya satu persatu.
Atau mencincang diriku sampai lumat. Murid saya dalam bahaya. Saya wajib
menolongnya. Mengenai kawanku ini terserah padanya apa dia mau pergi atau
tidak….” Sinto Gendeng lalu berpaling pada kakek yang tegak di sampingnya.
“Kakek bermata jereng! Siapa
kau adanya!” Kiai Gede Tapa Pamungkas membentak keras.
Tidak mengira akan dibentak
orang, kakek di sebelah Sinto Gendeng sampai terlompat saking kagetnya.
Wajahnya sesat pucat dan “serrrrr.” Ada cairan kuning hangat mengalir dari
bagian bawah perutnya. Karena dia berdiri dekat sekali ke tepi telaga maka
cairan ini terus mengalir dan masuk ke dalam air.
Di dasar telaga lapat-lapat
terdengar suara menggemuruh. Kiai Gede Tapa Pamungkas menjadi kalap dan hendak
membentak kembali. Tapi Sinto Gendeng mengangkat tangan kirinya dan berkata.
“Kiai, sahabatku ini punya kelainan aneh. Kalau tidur seperti anak kecil, suka
ngompol! Jika dia berada dalam keadaan terlalu tenang maka dia akan beser tanpa
terasa. Kalau dia mendadak kaget kencingnya lebih banyak lagi! Saya harap Kiai
jangan membentaknya. Karena berarti makin banyak air kencingnya yang akan masuk
ke dalam telaga. Dan makin porak-poranda keadaan di bawah sana. Hik… hik… hik…!
Kalau Kiai ingin tahu nama sahabat satu ini dia adalah yang dipanggil orang
dengan sebutan Setan Ngompol! Julukannya aneh dan lucu! Hik… hik… hik!”
“Sinto Gendeng! Kau
mempergunakan air larangan itu untuk mencelakai diriku dan hendak menghancurkan
tempat kediamanku!”
“Maafkan saya Kiai. Kau
menyebutnya air larangan. Kami berdua menyebutnya air kencing. Orang beradab
dan bersopan santun punya bahasa halus menyebutnya air seni! Tapi apapun
namanya tetap bau pesing! Hik… hik… hik!”
“Sinto! Bawa temanmu ini.
Lekas angkat kaki dari sini!”
“Maafkan saya Kiai. Saya baru
pergi kalau sudah mendapatkan Pedang Naga Suci 212 itu….”
“Kau tak bakal menemukannya.
Senjata itu tak ada di sini….”
Sinto Gendeng tertawa lebar.
“Saya tahu di mana beradanya pedang itu Kiai. Karena puluhan tahun yang lalu
saya yang menyembunyikannya di dasar telaga….”
“Keadaan telaga puluhan tahun
lalu telah jauh berbeda saat ini. Pedang sakti itu mungkin sudah tenggelam di
dasar telaga. Mungkin sudah dihanyutkan aliran air ke tempat lain. Kau
membutuhkan waktu lama dan nasib baik untuk bisa menemukannya….”
“Bagaimanapun sulitnya saya
akan tetap mencoba….”
“Sinto Gendeng kau licik dan
jahat. Kau tahu pantangan di tempat ini. Itu sebabnya kau pergunakan air
kencingmu dan mengajak serta kawanmu si Setan Ngompol ini untuk mencemari air
telaga!”
“Maafkan saya Kiai. Saya
terpaksa melakukannya. Mungkin sudah saatnya Kiai kembali ke puncak Gunung
Gede….”
“Aku tidak perlu nasihatmu.
Kau tetap memaksa tidak mau pergi dari tempat ini?”
“Maafkan saya Kiai…” jawab
Sinto Gendeng sambil membungkuk dalam.
“Kalau begitu terpaksa aku
menurunkan tangan kasar, Sebelum kulakukan aku tanya sekali lagi. Kau tetap
tidak mau meninggalkan telaga ini?”
Sinto Gendeng gelengkan
kepalanya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas habis
kesabarannya. Orang tua ini kembangkan lengannya ke samping. Lalu jari-jari
tangannya kiri kanan dijentikkan. Di dasar telaga terdengar suara menggemuruh
keras. Lalu di permukaan telaga berkiblat petir dua kali berturut-turut. Air
telaga bergolak muncrat setinggi belasan tombak. Sesaat kemudian dua sosok
kuning besar mengerikan melesat keluar dari dalam telaga. Yang muncul bukan
lain adalah naga jantan dan naga betina bermata merah dan bertanduk hijau.
Dua Kakek nenek sama-sama
terkejut mundur. Setan Ngompol langsung beser. Sedang Sinto Gendeng menggigil
dan coba menekap perutnya dengan tangan kiri tapi gagal mencegah terkencing.
Begitu cairan ini masuk ke dalam telaga, di dasar telaga terdengar suara
menggemuruh.
Kiai Gede sekali lagi
menjentikkan tangannya kiri kanan. Sepasang naga menggeliat dan keluarkan suara
mendesis. Dua binatang ini siap menerkam ke arah dua orang tua di pinggir
telaga.
“Kiai! Tahan!” Sinto Gendeng
berteriak seraya acungkan tangan kanannya yang memegang kendi tanah warna
merah. Teriakan si nenek membuat kaget si Setan Ngompol hingga kembali kakek
bermata belok ini kucurkan air seni. “Saya ikhlas dihukum dan menemui kematian
di tangan Kiai. Tapi saya tidak ikhlas murid saya menemui ajal karena saya
tidak melakukan apa-apa. Lihat Kiai! Kendi ini penuh berisi air kencing saya
dan air kencing si Setan Ngompol! Dua naga peliharaan Kiai mungkin bisa
membunuh saya. Tapi sebelum nyawa saya putus, saya masih punya kesempatan untuk
melemparkan kendi ini ke dalam telaga. Akibatnya Kiai tahu sendiri!”
Kiai Gede Tapa tersurut dua
langkah begitu mengetahui bahwa isi kendi yang diacungkan muridnya itu adalah
air kencing. Sedikit saja cairan larangan itu mengenai tubuh atau pakaiannya
maka dia akan mengalami cidera yang sulit dibayangkan. Selain itu yang paling
ditakutkan sang Kiai ialah dia tak akan sanggup meneruskan keadaan dirinya
seperti sekarang ini karena kesaktiannya akan menjadi lumpuh.
“Sinto Weni! Kau benar-benar
murid kurang ajar! Murtad!” teriak Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan suara menggelegar.
“Aduh! Aku ngompol lagi!” Si
Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya. Coba bertahan. Tapi sia-sia saja.
Kakek ini kembali terkencing di celana akibat kaget mendengar teriakan sang
Kiai tadi.
Walau darahnya mendidih dan
ingin sekali menghajar Sinto Gendeng namun Kiai Gede maklum dia tak bisa
berbuat apa-apa. Orang tua ini membathin. “Heran, dari mana dia mengetahui
pantangan air larangan itu…. Siapa membocorkan rahasia!”
“Bagaimana Kiai..,?” Sinto
Gendeng bertanya sambil menyeringai.
Kiai Gede Tapa Pamungkas
berusaha menindih amarahnya. Kedua matanya dipejamkan. Tangan kirinya berulang
kali mengusapi dadanya.
“Sinto Weni, dengar baik-baik
apa yang akan kukatakan,” sang Kiai berucap. “Hari ini kau boleh menikmati
kemenanganmu. Tapi hari ini pula pula putus hubungan kita sebagai guru dan
murid!”
“Kiai!” seru Sinto Gendeng
seraya jatuhkan diri berlutut. “Saya menerima salah namun saya harap Kiai mau
mengerti….”.
“Selamat tinggal Sinto Weni.
Mulai saat ini aku tak ingin melihat dirimu lagi! Aku akan meninggalkan Telaga
Gajahmungkur ini. Tapi aku tidak suka begitu mudah bagimu gentayangan di tempat
ini. Sepasang Naga Kembar dan Makhluk Api Liang Neraka akan tetap berjaga-jaga
di tempat ini! Mudah-mudahan kau dan kawanmu itu tidak akan menemui ajal di
tangan mereka!”
Habis berkata begitu Kiai Gede
Tapa Pamungkas jentikkan tangannya kiri kanan. Dua ekor naga besar mendesis
keras lalu selulupkan kepalanya ke dalam air dan lenyap dari pemandangan. Kiai
Gede Tapa tidak menunggu lebih lama. Orang tua ini rangkapkan dua tangan di
depan dada. Perlahan-lahan tubuhnya masuk lurus ke dalam air, kaki lebih dulu,
menyusul badan dan terakhir sekali kepala. Di bekas tempat lenyapnya sang Kiai
untuk beberapa ketika tampak kabut putih mengambang di atas permukaan telaga.
Sinto Gendeng melirik ke arah telaga. Perlahan-lahan nenek ini bangkit berdiri.
Sambil acungkan kendi merah di tangan kanannya dia tertawa cekikikan. Si Setan
Ngompol buru-buru tekap bagian bawah perutnya sambil berusaha menahan tawa.
Tapi sia-sia. Begitu tawanya meledak, di sebelah bawah dia kembali bocor!.
“Dia tertipu! Dia tertipu!
Hik… hik… hik!” Sinto Gendeng tertawa cekikikan sambil acungkan kendi; merah.
“Kiai gurumu itu pasti sudah
mulai pikun! Apa dia tidak bisa membedakan bau pesingnya air kencing dengan bau
wanginya tuak murni? Ha… ha…ha…!” ujar si Setan Ngompol lalu ikut-ikutan
tertawa. Makin keras tawanya makin deras mengucur kencingnya.
“Dia percaya saja waktu
kubilang kendi ini berisi air kencingku dan air kencingmu! Padahal isinya tuak
harum yang aku dapat dari kawanku si Dewa Tuak! Hik… hik.:. hik!”
“Serahkan kendi itu padaku
Sinto! Tenggorokanku jadi kering karena tertawa terus! Kau orang perempuan
jangan banyak-banyak meneguk tuak. Bisa mandul! Ha… ha… ha…ha!”
“Diriku memang sudah mandul
sejak lahir! Hik… hik… hik!” menyahuti Sinto Gendeng dan tertawa gelak-gelak.
Tuak dalam kendi diteguknya satu kali. Walau cuma minum satu teguk namun muka
keriputan Sinto Gendeng langsung menjadi merah dan tubuhnya bergetar sedang
kedua matanya berkedap-kedip.
“Apa kataku!” ujar Setan
Ngompol. “Tuak keras ini minuman lelaki. Bukan minuman nenek-nenek sepertimu.
Untung kau tidak sampai terangsang. Bisa-bisa aku kau tarik ke balik pohon! Ha…
ha… ha! Lekas kau serahkan padaku kendi itu! Aku perlu minum banyak biar bisa
ngompol banyak!”
“Enak saja kau bicara!” kata
Sinto Gendeng merengut. Kendi tanah warna merah diserahkannya pada si kakek.
“Minum sepuasmu! Selamat menenggak tuak wangi! Selamat ngompol! Hik… hik… hik!”
Setan Ngompol dongakkan kepala
lalu mengucurkan tuak dalam kendi ke mulutnya yang dibuka lebar-lebar. “Sialan!
Baru kuteguk sedikit sudah habis!” Memaki Setan Ngompol begitu tuak dalam kendi
habis dan tak ada lagi yang mengucur ke dalam tenggorokannya. Bibir kendi
dijilatinya. Belum puas tiba-tiba kendi tanah itu diremasnya hingga hancur.
Lalu “krak… kruk… krak…. kruk!” Kepingan-kepingan pecahan kendi yang masih
dilekati sisa-sisa tuak itu dimasukkan ke dalam mulut, dikunyah seolah dia
tengah makan kerupuk!
Sinto Gendeng tertawa mengekeh
melihat perbuatan si Setan Ngompol itu. Lalu nenek sakti ini berseru. “Kalian
berempat yang sembunyi lekas unjukkan diri! Urusanku masih panjang! Jangan
membuang waktu!”
Dari balik sebuah batu besar
yang dikelilingi semak belukar terdengar suara kaleng rombeng berkerontang
bising membuat telinga berdenyut sakit. Air di pinggiran telaga tampak beriak
dan membentuk gelombang-gelombang kecil. Sesaat kemudian muncul sosok seorang
kakek berpakaian compang-camping penuh tambalan. Di pundaknya ada sebuah buntalan
butut. Tangan kiri memegang tongkat yang ujungnya patah. Tangan kanan memegang
sebuah kaleng yang digoyang-goyangkan. Sepasang matanya berwarna putih.
“Ah panasnya siang ini! Caping
yang hancur belum kuganti! Sialnya nasib tua bangka ini!”
Kakek buta yang membuat suara
berisik ini adalah Kakek Segala Tahu salah seorang dedengkot rimba persilatan.
Dia keluar dari balik batu digandeng seorang pemuda berpakaian hijau dan
memakai anting-anting emas di salah satu telinganya. Dia bukan lain Panji alias
Datuk Pangeran Rajo Mudo. Di belakang ke dua Orang ini menyusul gadis berwajah
cantik mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya panjang tergerai dan sepasang
matanya yang berwarna biru menambah pesona kecantikan parasnya. Dialah Ratu
Duyung. Lalu di belakang Ratu Duyung sambil garuk-garuk kepala melangkah pemuda
gondrong yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Begitu empat orang tersebut
berada di hadapan Sinto Gendeng dan Setan Ngompol, si nenek segera berkata.
“Aku dan Setan Ngompol akan
menyusup masuk ke dalam telaga. Kuharap kalian berempat tetap menunggu di
sini.” Lalu Sinto Gendeng berpaling pada Ratu Duyung.
“Kami perlu bantuanmu sekali
lagi. Memberikan sirap kekuatan agar bisa berada lama di bawah air. Aku
khawatir sirap yang kau berikan sebelumnya pada kami berdua tidak berlangsung
lama. Bisa-bisa kami kakek nenek jelek ini menemui ajal di dasar telaga!
Hik…hik… hik!”
Seperti diketahui Ratu Duyung
dikenal sebagai salah satu penguasa kawasan laut selatan. Dia memiliki
kemampuan untuk berenang, menyelam atau berada di dalam air laut dalam waktu
tidak terbatas.
“Saya akan lakukan Nek,” jawab
Ratu Duyung. “Tapi daya sirap itu hanya berkekuatan setengah hari. Jadi kau dan
kakek ini paling lama hanya bisa bertahan sampai lewat tengah malam nanti.”
“Itu pun sudah cukup,”
menjawab Setan Ngompol seraya kedip-kedipkan matanya dan usap bagian bawah
perutnya menahan kencing.
Ratu Duyung melangkah
mendekati Sinto Gendeng lalu dari belakang gadis ini peluk si nenek. Matanya
dipejamkan. Dalam hati dia merapal sesuatu. Mulut Sinto Gendeng berkomat-kamit
ketika dia merasakan ada hawa aneh memasuki tubuhnya. Selesai menyirap si nenek
dengan kekuatan yang membuatnya mampu masuk ke dalam air untuk jangka waktu
lama maka Ratu Duyung mendekati Setan Ngompol.
Belum apa-apa kakek berkuping
luar biasa lebar dan bermata jereng ini sudah tertawa cekikikan sambil
memegangi bagian bawah perutnya dengan kedua tangan.
“Aku tak sanggup menahan geli.
Aku tak sanggup menahan kencing…!” katanya, berulang kali. Begitu Ratu Duyung
memeluknya dari belakang kakek ini tertawa keras.
Sekujur tubuhnya bergeletar
dan “Ssrrr…. Ssrrrr.” Pakaiannya basah kuyup di sebelah bawah.
“Aku mencium bau pesing! Siapa
yang beser! Kau Sinto?!” Bertanya Kakek Segala Tahu lalu goyangkan kaleng
rombengnya dua kali.
“Enak saja kau bicara! Bukan
aku! Tapi kakek jelek yang tubuhnya tak punya saringan lagi ini!” jawab Sinto
Gendeng merengut.
Sebelum pakaiannya ikut
terciprat basah Ratu Duyung sudahi pelukannya yang memberi sirap kekuatan pada Setan
Ngompol.
Tiba-tiba Pendekar 212 maju
mendekati Ratu Duyung. “Ratu, aku ingin menemani dua orang tua ini ke dasar
telaga. Harap kau suka memberikan ilmu kuat menyelam itu padaku….”
“Anak setan! Jangan kau kira
aku tidak tahu apa maksudmu!” Sinto Gendeng membentak. “Sebenarnya kau cuma
ingin dipeluk gadis cantik ini, bukan?!”
Wiro garuk-garuk kepala.
“Maksudku bukan begitu Nek. Aku….”
“Kau dan Kakek Segala Tahu
serta pemuda satu ini tetap berada di sini. Berjagajaga!” Berkata Setan
Ngompol.
“Aku tak mungkin berlama-lama
di sini. Aku perlu pergi ke satu tempat menemui seseorang,” ujar Kakek Segala
Tahu. “Tapi sebelum pergi, aku punya penglihatan. Ada baiknya kalian mengajak
serta anak muda bernama Panji ini.”
Sinto Gendeng mengerling pada
Wiro dan Ratu Duyung. Lalu nenek ini mendekati Kakek Segala Tahu dan menarik
tangannya. Agak menjauh dari orang-orang itu Sinto Gendeng berkata. “Apa
maksudmu menyuruh pemuda itu ikut dengan kami. Agar muridku anak setan itu bisa
berdua-dua dengan Ratu Duyung?! Hemmm…. Jangan-jangan kau punya rencana hendak
mengatur jodoh muridku! Apa kau tidak tahu kalau anak setan itu kuinginkan
kawin dengan Anggini, murid Dewa Tuak?”
Kakek Segala Tahu tertawa
lebar. Setelah kerontangkan kalengnya dia berkata. “Aku bukan mak comblang,
tukang menjodohkan orang. Soal jodoh ada di tangan Yang Kuasa. Maumu muridmu
kawin dengan Anggini. Tapi apa mereka suka satu sama lain? Aku bilang aku hanya
melihat sesuatu. Tapi tidak bisa mengatakan panjang lebar pada kalian. Aku cuma
menyarankan agar kalian membawa serta pemuda itu.”
“Sinto sebaiknya turuti
anjurannya, mungkin kita memerlukan bantuan pemuda ini kelak….”
“Jangan dengarkan kata-kata
tua bangka itu. Dia merasa maha segala tahu…. Ayo ikuti aku!”
Tapi mendadak Ratu Duyung
melangkah ke belakang Panji dan memeluk pemuda ini, memberikan sirapan kekuatan
untuk masuk ke dalam air. Selesai menyirap sang Ratu berkata. “Aku tahu kau
punya kekuatan alam untuk berenang dan menyelam lama dan jauh ke dalam laut.
Tapi Telaga Gajahmungkur bukan telaga biasa….”
“Terima kasih Ratu. Kau mau
memberikan kekuatan hebat padaku,” jawab Panji.
“Sebelumnya aku memang telah
masuk ke dalam telaga. Tapi tak sanggup bertahan lama….”
Kakek Segala Tahu kembali
kerontangkan kalengnya lalu berkata pada Sinto Gendeng. “Sinto, aku siap pergi
sekarang. Tapi jangan lupa pesanku tempo hari. Pada bulan purnama empat belas
hari nanti, kita berkumpul lagi di tempat ini!”
Sinto Gendeng menggumam lalu
anggukkan kepala.
“Apakah kau tidak mengundang
diriku serta?” Si Setan Ngompol bertanya.
“Orang sepertimu buat apa
diundang. Hanya akan membuat buruk suasana. Tukang ngompol. Membuat bau pesing
menebar di mana-mana!” jawab Kakek Segala Tahu sambil tersenyum pertanda
sebenarnya dia juga menginginkan orang tua aneh itu ikut hadir pada malam yang
ditentukan.
Si Setan Ngompol tertawa
gelak-gelak hingga kembali dia terkencing. “Orang tidak mengundang. Betapa
jeleknya nasibku. Padahal pada malam bulan purnama justru kencingku banyak
sekali! Ha… ha…ha!”
Kakek Segala Tahu usap-usap
rambutnya yang putih.
“Kalian bertiga tunggu apa
lagi?!” ujar si kakek. Setelah mengguncang kaleng rombengnya dua kali maka dia
pun berkelebat pergi.
Sinto Gendeng sesaat tegak
termangu. Dia melirik pada Ratu Duyung lalu seolah tak perduli lagi nenek ini
melompat masuk ke dalam telaga. Setan Ngompol menyusul. Panji memandang dulu
pada Wiro dan Ratu Duyung baru ikut menceburkan diri ke dalam Telaga
Gajahmungkur.
*
* *
SEPULUH
Sebelum melanjutkan bagaimana
kejadian Puti Andini yang ditelan naga betina raksasa serta apa yang bakal
dilakukan Sinto Gendeng bersama rombongannya di Telaga Gajahmungkur, kita
kembali dulu ke Lembah Merpati.
Di atas sebuah pohon besar
berdaun rindang, tampak menyelinap seorang nenek berambut putih digulung di
atas kepala. Dia mengenakan sebuah mantel berwarna hitam. Sepasang matanya
memandang tak berkesip ke arah lembah di mana saat itu ada seorang lelaki
berusia sekitar 60 tahun yang duduk menjelepok di atas gundukan tanah berumput.
Dia seolah tidak memperdulikan keadaan di Lembah Merpati itu. Tidak perduli
dengan burung-burung merpati yang berterbangan atau hinggap di sekitarnya.
Seolah tidak mendengar suara binatang itu bersahut-sahutan satu sama lain. Dia
hanya melihat sesuatu kekosongan di kejauhan.
Nenek di atas pohon yang bukan
lain adalah Sabai Nan Rancak masih terus memperhatikan lelaki berambut putih
itu. Dalam hati si nenek muncul berbagai tanya dan duga. “Hari perjanjian dan
pertemuan saat ini agaknya bakal tidak beres lagi. Tempat ini telah kedahuluan
didatangi orang. Siapa adanya kakek berambut putih itu. Wajahnya sayu, sikapnya
acuh. Aku melihat dia beberapa kali mengusap matanya yang cekung. Dia seperti
menangis…. Kurasa bukan satu kebetulan dia berada di tempat ini. Mungkin ini
termasuk apa yang diatur orang bercadar kuning itu? Mungkin seseorang yang juga
ada sangkut pautnya dengan rahasia besar kehidupan diriku, Sukat Tandika dan
Iblis Pemalu serta orang bercadar itu? Tapi hemmm…. Aku ingat. Waktu bertemu di
sini dua hari lalu orang bercadar itu mengatakan bahwa orang yang tidak datang
itu adalah Puti Andini, cucuku sendiri.”
Sabai Nan Rancak terus
perhatikan lelaki di lembah. “Hemmm, pakaian hijau berenda benang emas yang
dikenakan orang itu. Aku pernah melihat orang lain mengenakan pakaian serupa
itu. Aku tak bisa mengingat. Otakku penuh dibuncah oleh berbagai persoalan
gila? Apalagi baru saja aku menyirap kabar bahwa Sutan Alam Rajo Di Langit
lenyap dari Gunung Singgalang. Dikabarkan dia tengah menyeberang ke tanah Jawa
Ini. Gerangan apa yang membuatnya datang ke sini. Tentu ada satu perkara besar.
Janganjangan dia pergi ke…. Ah! Makin buncah kepalaku! Lelaki di lembah itu.
Siapa dia adanya.
Daripada merusak rencana
pertemuan dengan Iblis Pemalu dan orang bercadar lebih baik orang ini aku usir
lebih dulu!” Memikir sampai di situ Sabai Nan Rancak segera melayang turun dari
atas pohon dan tegak tiga langkah tepat di hadapan orang tua berambut putih.
Walau ada orang muncul dengan sangat tiba-tiba, apalagi melayang turun dari
atas pohon, membuat burung-burung merpati berterbangan tapi lelaki berpakaian
bagus hijau yang duduk menjelepok di tanah tidak terkejut atau bergerak sedikit
pun. Sepasang matanya masih memandang kosong ke arah kejauhan seolah menembus
sosok tubuh Sabai Nan Rancak yang berdiri di hadapannya. Dari matanya yang
cekung menggelinding, tetesan air mata ke pipinya yang pucat.
“Aku yakin orang ini tidak
buta dan juga tidak tuli! Adalah aneh dia menganggap seolah aku tidak ada di
depannya!” Sabai Nan Rancak merasa heran walau dalam hati dia juga merasa
geram.
“Rambut putih berpakaian
hijau! Siapa kau! Ada keperluan apa berada di Lembah Merpati ini!” Sabai Nan
Rancak membentak dengan suara keras dan garang. Hardikannya ini membuat puluhan
ekor burung merpati yang ada di sekitar situ melompat terkejut lalu terbang ke
udara. Tapi anehnya, orang yang duduk di atas gundukan tanah berumput tetap
saja tidak bergerak, tidak berkesip apalagi membuka mulut memberikan jawaban.
Putuslah kesabaran Sabai Nan Rancak. Nenek ini angkat kaki kanannya, siap untuk
menendang. Yang diarahnya adalah bagian pinggang orang berpakaian hijau. Tapi
setengah jalan tendangannya melesat tiba-tiba orang yang duduk di tanah itu
angkat tangan kirinya. Satu gelombang angin bergetar di udara membuat kaki
kanan Sabai Nan Rancak seolah ditahan satu benda sangat lembut tapi memiliki
kekuatan dahsyat hingga tendangannya tak bisa diteruskan. Perlahan-lahan
kakinya terdorong dan kembali ke tempat semula, tegak mendampingi kaki kiri!
Kini terbelalaklah Sabai Nan
Rancak. Bersamaan dengan rasa terkejutnya maka kecurigaannya bertambah besar.
“Astaga! Orang ini memiliki ilmu kapas putih. Kekuatan yang sanggup meredam
kekerasan secara lembut tanpa menciderai lawan! Dia dari golongan putih. Tapi
jelas dia punya maksud dan tujuan tertentu berada di lembah ini!”
Di hadapannya orang itu
tiba-tiba memasukkan tangan kanannya ke balik pakaian hijaunya yang gombrong.
Ternyata dari balik pakaian itu dia mengeluarkan sebuah tempat sirih terbuat
dari emas yang memantulkan cahaya berkilau-kilau terkena, sinar matahari pagi.
“Dia memiliki tempat sirih
terbuat dari emas. Jangan-jangan orang ini seorang hartawan kaya raya atau
bangsawan terkemuka. Mungkin pula seorang Tumenggung. Tapi mengapa tampaknya
pandir-pandir saja dan seperti kurang ingatan!” Kembali Sabai Nan Rancak
membathin.
Di dalam tempat sirih itu
terdapat tujuh helai daun sirih yang masih segar. Sejumput tembakau yang
menebar bau harum, segumpal kapur putih serta dua bongkah pinang. Dengan tenang
orang ini mengambil dua lembar daun sirih, menjumput secuil tembakau, memecah
pinang dan mengambil secuil kapur lalu mulai meramu sirih. Semua itu
dilakukannya dengan kepala diarahkan ke depan, sepasang mata tetap memandang
kosong dan jauh. Sambil meramu sirih orang ini berkata dengan suara perlahan
tapi sangat jelas sampainya ke telinga Sabai Nan Rancak.
“Hidup penuh teka-teki.
Sengaja aku meninggalkan pulau. Melanggar segala pantangan dan larangan. Hanya
untuk mencari anak yang pergi. Entah masih hidup entah sudah mati. Kalau sudah
mati dimana kuburnya. Kalau masih hidup dimana tersesatnya….”
Orang itu hentikan ucapannya.
Daun sirih dilipatnya dua kali berturut-turut. Kening keriput Sabai Nan Rancak
tampak tambah keriput. Mendadak saja dadanya berdebar dan hatinya jadi penuh
dengan segala tanya.
“Orang tak dikenal. Pulau apa
yang kau tinggalkan. Pantangan dan larangan apa yang kau langgar! Siapa anak
yang kau cari! Harap kau suka menjawab pertanyaanku. Kalau tidak menjawab
terpaksa aku mengusirmu dari sini saat ini juga! Kalau tidak mau pergi, aku
tidak ragu menurunkan tangan keras. Jangan mengira ilmu kapas putih yang kau
miliki bisa kau andalkan terlalu banyak! Aku tahu kelemahan ilmu itu!”
Orang yang duduk menjelepok di
tanah membuat lipatan terakhir pada daun sirih yang diramunya. Selesai meramu
sirih, tempat sirih yang terbuat dari emas itu dimasukkannya kembali ke dalam
pakaian hijaunya yang gombrang. Semula Sabai mengira orang ini akan segera
menyuapkan sirih ke dalam mulut. Ternyata sirih yang sudah dilipat itu
disisipkannya di atas daun telinganya sebelah kiri!
“Orang gila macam apa pula
manusia satu ini! Meramu sirih tapi hanya diselipkan di atas kuping!” membathin
Sabai Nan Rancak. Lalu dia membentak. “Kau belum menjawab pertanyaanku!”
“Orang bertanya aku pantas
menjawab. Karena setiap pertanyaan mustahil tak ada jawabannya. Pulauku adalah
pulau Sipatoka. Pulau yang sudah dilupakan orang. Dilupakan karena tak ada yang
mau mengingat. Pantang dan larangan yang kulanggar adalah pantang dan larangan
seorang pimpinan meninggalkan pulau dan rakyat. Anak yang kucari adalah sang
putera mahkota. Disebut dengan nama Datuk Pangeran Rajo Mudo. Pergi menurut
kehendak sendiri. Terbujuk oleh dorongan darah muda. Padahal dunia penuh
tantangan dan petaka. Padahal ilmu hanya panjang sedepa…”
Sepasang mata Sabai Nan Rancak
mendadak membesar dan memancarkan sinar aneh. Mulutnya terkancing rapat. Tapi
gemuruh di dadanya bertambah keras. Hatinya kembali berkata. Cara bicara orang
ini hampir sama dengari orang bercadar kuning itu. Mungkin sekali ada hubungan
antara mereka satu sama lain? Aku tak pernah mendengar ada pulau bernama
Sipatoka. Apalagi kerajaan Sipatoka. Dulu memang ada seorang bernama Datuk
Sipatoka. Tapi sudah lama mati. Dia mengaku mencari anaknya yang putera
mahkota? Memangnya apakah dia ini seorang raja?!”
“Orang yang tegak di depanku.
Melihat sikap dan cara bicaramu. Mendengar tutur ucapmu serta melihat air
mukamu, kau pastilah seorang pandai bijaksana, luas pengalaman luas
pengetahuan. Apakah kau bisa menolong diriku? Mungkin kau pernah mendengar nama
anakku. Mungkin juga kau tahu di mana dia berada?”
Sabai Nan Rancak menggeleng
perlahan. “Aku tak pernah mendengar nama puteramu itu. Aku juga tidak tahu di
mana dia berada.”
“Ah, sayang…. Sungguh sayang.
Mungkin jiwanya sudah melayang, mungkin aku akan pulang berhampa tangan. Tapi
rasanya lebih baik ikut mati daripada pulang sendirian.” Orang itu menghela
nafas dalam beberapa kali sementara air mata makin banyak jatuh ke pipinya.
“Kau sudah memberikan banyak
keterangan. Tapi satu hai belum kau katakan. Siapa namamu?” Bertanya Sabai Nan
Rancak.
“Aku Rajo Tuo penguasa
Kerajaan Sipatoka. Hanya itu yang bisa kuberitahu padamu….”
“Baik, aku tidak memaksa.
Kalau kau tak mau bicara lagi harap kau suka meninggalkan Lembah Merpati ini,
Dan jangan berani mendekati tempat ini lagi! Silahkan pergi!”
“Ah…. Begini rupanya nasib
diri. Belum dapat apa yang dicari sudah disuruh pergi. Tapi aku tak akan
meninggalkan Lembah Merpati. Agar kau senang biar aku hanya beranjak sedikit
saja dari sini!”
Habis berkata begitu lelaki
berambut putih berpakaian hijau bagus ini perlahan-lahan berdiri. Dia melangkah
ke arah pohon di mana tadi Sabai Nan Rancak berada. Sesaat dia dongakkan kepala
memandang ke atas. Dua kakinya kemudian digeser-geserkan secara aneh ke tanah.
Dari mulutnya melesat suara suitan nyaring. Saat itu juga tubuhnya melesat ke
udara dan sesaat kemudian dia sudah tegak di cabang pohon.
Sabai Nan Rancak yang
memperhatikan apa yang dilakukan orang dalam herannya kembali membathin. “Tadi
waktu dia mengeluarkan ilmu kapas putih menahan tendanganku, dia sama sekali
bukan mengandalkan tenaga dalam. Barusan waktu melesat ke atas pohon dia juga
tidak mengandalkan tenaga dalam atau ilmu meringankan tubuh. Orang ini memiliki
ilmu aneh. ada satu kekuatan gaib dalam dirinya!”
Sabai memandang berkeliling
sebentar. “Heran, mengapa Iblis Pemalu dan orang bercadar itu masih belum
datang?” Lalu kembali dia memandang ke atas pohon.
“Orang di atas pohon. Karena
pohon ini masih dalam kawasan Lembah Merpati dan aku tak suka kau berada di
lembah maka harap kau segera turun dan pergi dari sini!” Sabai Nan Rancak
berteriak.
Mendengar teriakan si nenek,
orang di atas pohon gesek-gesekkan telapak kakinya yang tidak berkasut ke
cabang pohon. Sesaat tubuhnya seolah mumbul ke atas namun di lain kejap tubuh
itu bergerak turun ke bawah. Dia sudah tegak di tanah lembah hanya terpisah
sepuluh langkah dari Sabai Nan Rancak.
“Aneh, ilmu apa yang dimiliki
orang ini. Bisa naik turun seperti itu…” pikir si nenek.
Lalu karena dilihatnya orang masih
belum pergi dari tempat itu maka. dia kembali membentak. “Jangan kau menguji
kesabaranku. Aku tidak ada ganjalan apa-apa untuk mencelakai dirimu! Lekas
angkat kaki dari sini. Atau kau minta kusingkirkan dengan cara mengeluarkan
rohmu lebih dulu dari tubuh!”
Orang yang diancam sepertinya
tidak perduli dan tidak takut dengan ancaman Sabai Nan Rancak. Dia menjawab
dengan suara perlahan dan tenang.
“Walau aku datang dari pulau
terpencil, tapi aku tahu lembah ini adalah tanah Tuhan. Semua milik Tuhan adalah
milik dan diperuntukkan ummatNya juga. Karena itu jangan kau merasa punya hak
untuk mengusir diriku dari sini….”
“Hemmm…. Rupanya kau pandai
juga bicara memakai dalih dan membawa nama Tuhan segala! Apakah Tuhanmu akan
menolongmu jika saat ini aku memecahkan kepalamu?!” Bentak Sabai Nan Rancak.
“Setiap orang wajib mengingat
Tuhan di mana dan dalam keadaan bagaimana pun juga! Karena itu jangan kau
bersikap takabur dan berhati sombong! Kau hendak memecahkan kepalaku Tuhan tak
akan melarang. Tapi apakah kau tahu bahwa Tuhan bisa berang?”
Sabai Nan Rancak yang telah
kehabisan kesabarannya melompat ke depan. Tangan kanannya dipukulkan ke batok
kepala orang. Yang diserang tetap tegak tak bergerak. Malah dia menatap seperti
tadi ke arah si nenek yaitu jauh dan kosong. Melihat sikap orang yang seolah
menganggap enteng diri dan serangannya Sabai Nan Rancak menjadi tambah garang.
Kalau tadi dia hanya mengerahkan sedikit saja tenaga dalamnya maka kini dia
menyalurkan hampir separuh kesaktian yang dimilikinya.
Sejengkal lagi gebukan Sabai
Nan Rancak akan memecahkan kening orang berambut putih itu, tiba-tiba ada satu
gelombang kekuatan aneh keluar dari kepalanya. Membuat tangan kanan si nenek
terpental.
“Jahanam! Ilmu apa yang
dimiliki keparat ini!” maki Sabai dalam hati. Kembali dia menghantam. Kali ini
dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam. Agaknya sekali ini pukulan maut itu
benar-benar akan memecahkan kepala orang dan merenggut nyawanya. Tetapi luar
biasanya orang yang diserang malah dengan tenang mengambil sirih yang terselip
di telinga kirinya lalu memasukkan sirih itu ke mulut dan perlahan-lahan mulai
mengunyah.
“Jahanam kurang ajar! Dia
benar-benar menganggap enteng diriku!” Maki Sabai Nan Rancak. Tangan kanannya
diayun semakin kencang.
Ketika pukulan hanya tinggal
setengah jengkal dari kepala tiba-tiba terdengar pekik Sabai Nan Rancak. Kini
bukan saja tangan kanannya yang terpental tapi tubuhnya ikut sempoyongan.-
Kalau tidak cepat dia mengimbangi diri pasti akan jatuh terhantar di tanah!
“Kekerasan tidak akan
memecahkan persoalan. Mengapa ingin membunuh orang hanya karena merasa seolah
kau menguasai seluruh lembah? Di dunia manusia tidak bisa hidup sendiri. Antara
satu sama lain ada saling ikatan. Mungkin tali persahabatan. Mungkin jalur
ikatan darah. Mungkin juga hubungan budi baik….”
“Jangan bersyair di depanku!”
teriak Sabai Nan Rancak marah sekali. Nenek ini melompat berdiri. Dari jarak
enam langkah dia pukulkan tangan kanannya. Selarik sinar merah berkiblat ke
arah orang berambut putih.
Sekali ini orang yang diserang
tidak bisa setenang tadi lagi. Wajahnya jelas memperlihatkan rasa kejut yang
amat sangat. Pucat pasi. Dari mulutnya terdengar seruan.
“Pukulan sakti Kipas Neraka!”
Orang itu tersurut mundur sampai beberapa langkah.
Agaknya dia menyadari
bagaimanapun tingginya ilmu yang. dimilikinya tak bakal sanggup menghadapi
pukulan Kipas Neraka. Selain itu sebenarnya ada satu hal yang membuat orang ini
tercekat karena adanya satu dugaan berat dalam hatinya membuat dadanya
bergemuruh. Walau terkejut mendengar orang mengetahui dan menyebut nama pukulan
saktinya tapi Sabai Nan Rancak terus saja menghantam. Sebelum larikan sinar
merah angker itu mengembang lebar membentuk kipas tiba-tiba satu seruan keras
menggema di seantero Lembah Merpati.
“Nek! Jangan bunuh orang itu!
Kau bakal malu seumur-umur! Tahan Nek! Biar urusan terang dulu! Jangan
bertindak memalukan!”
Saat itu si nenek sedang geram
setengah mati. Walau dia mengenali suara Iblis Pemalu tapi tetap saja dia
teruskan serangan Kipas Nerakanya. Tiba-tiba dari samping ada satu bayangan
kuning berkelebat. Tubuh Sabai Nan Rancak terdorong. Sinar merah Kipas Neraka
berkiblat tapi kini melesat ke arah langit terbuka, menghantam udara kosong
walau sempat menghancurkan dan membakar cabangcabang pohon yang terserempet.
Sabai Nan Rancak menjerit
keras saking tak dapat menahan luapan amarah yang seolah membakar dirinya. Dia
melompat dan berpaling ke samping sambil siap melancarkan serangan Kipas Neraka
sekali lagi. Tapi ketika dia memandang ke depan hatinya mendadak menjadi kecut.
*
* *
SEBELAS
Lima langkah dari hadapan
Sabai Nan Rancak berlutut di tanah sosok tubuh berpakaian dan bercadar kuning.
Tangan kanannya diulurkan demikian rupa dengan telapak terpentang diarahkan
pada si nenek.
“Pukulan pemunah Kipas
Neraka….” Desis Sabai Nan Rancak. Hatinya kecut karena sebelumnya orang
bercadar itu beberapa kali berhasil meredam pukulan saktinya. Si nenek ingat
pada Mantel Sakti yang dikenakannya. “Kalau dia sanggup menahan pukulan Kipas
Nerakaku, jangan harap dia mampu menghadapi Mantel Sakti ini. Kalau masih belum
mempan akan kuhantam sekalian dengan Mutiara Setan!” Lalu si nenek membuat
gerakan membuka mantel yang dikenakannya.
“Kekerasan tidak bisa mencari
jalan penyelesaian. Membunuh tidak akan mendatangkan keuntungan. Manusia hanya
akan mendapat penyesalan. Urusan besar belum sempat diteruskan. Rahasia belum
sempat disingkapkan. Mengapa tidak mau menahan hati. Padahal bukankah kita
semua ingin mencari keselamatan diri?!”
Sabai Nan Rancak ingin sekali
mendamprat marah. Namun ada rasa mengalah muncul di lubuk hatinya. Dia urungkan
membuka Mantel Sakti. Sesaat dia melirik pada Iblis Pemalu yang tegak di
samping si cadar kuning.
“Kalian telah datang. Apa yang
yang sudah diatur bisa segera dibicarakan. Tapi aku tidak suka manusia satu ini
berada di Lembah Merpati. Jika kau tak ingin aku mengusirnya maka harap kalian
berdua segera melemparkannya ke luar lembah!”
“Memalukan! Itu cara dan
tindakan memalukan! Nenek tua, aku tidak akan melakukan apa yang kau katakan!”
“Perduli setan denganmu!” maki
Sabai Nan Rancak walau dengan suara perlahan.
Dia berpaling pada si cadar
kuning yang saat itu telah tegak dari berlututnya. “Bagaimana dengan kau? Kau
juga tidak mau melakukan apa yang aku katakan?!”
Orang bercadar gelengkan
kepala. “Orang berpakaian hijau yang hendak kau singkirkan itu justru adalah
salah satu orang yang aku minta datang ke Lembah Merpati ini.”
“Tapi bukankah kau dulu
menyebut orang lain itu adalah Dewi Payung Tujuh, Puti Andini…” ujar Sabai Nan
Rancak tidak mengerti.
“Tidak salah. Namun keadaan
berubah. Ada perkembangan baru. Yang perlu diikuti dan dicari tahu….”
“Kepalaku bisa pecah dengan
segala urusan gila penuh teka-teki ini! Katakan siapa adanya orang ini!” ucap
Sabai Nan Rancak hampir berteriak.
“Dia salah satu tokoh penting
dalam urusan kita. Tanpa dia sulit membuka segala rahasia. Kita bersyukur bahwa
dia muncul di tanah Jawa. Seolah ini semua memang kehendak Yang Kuasa. Kami
bertemu tak sengaja satu hari yang lalu dengannya. Sesuai petunjuk maka kami
mengundangnya ke lembah.” Menerangkan orang bercadar.
“Kalau memang kalian yang
menyuruhnya datang ke sini aku tidak akan membuat perkara. Tapi dia sengaja
merahasiakan diri. Itu sebabnya aku menaruh curiga….”
“Nenek, harap kau tidak marah,
kecewa ataupun curiga. Dia bersikap seperti itu karena aku yang meminta. Jangan
sampai salah berkata. Sebelum kami berdua tiba di lembah….”
“Hemmmm….” Si nenek hanya bisa
bergumam mendengar kata-kata si cadar kuning.
“Sesuai perjanjian kita sudah
berkumpul di tempat ini. Apalagi yang ditunggu. Apakah persoalan segera bisa
dibicarakan?”
Si cadar kuning berpaling pada
Iblis Pemalu. Orang ini anggukkan kepalanya. Sepasang matanya yang terlihat di
sela-sela jari dua tangan yang menutupi wajahnya sesaat tampak memancarkan
sinar aneh. Sikapnya tidak dapat menyembunyikan rasa tegang. Orang bercadar
melirik ke arah lelaki berpakaian hijau mengaku bernama Rajo Tuo penguasa pulau
Sipatoka yang nampak tegak dengan sikap tenang walau sebenarnya perasaannya sendiri
saat itu campur aduk sulit dikatakan.
“Iblis Pemalu, apakah kau
sudah siap melakukan apa yang kita rencanakan?” tanya si cadar kuning pada
Iblis Pemalu. “Rahasia besar yang hendak kita ungkapkan jalurnya bermula dari
dirimu. Kalau kau merasa malu maka rahasia akan tetap tertutup awan kelabu….”
Iblis Pemalu anggukkan kepala.
“Kalau kau sudah setuju
bersudi diri harap segera lakukan rencana suci…” kata orang bercadar pula.
Sabai Nan Rancak yang tidak
tahu apa sebenarnya yang telah diatur oleh orang bercadar dan Iblis Pemalu
berseru ketika dilihatnya Iblis Pemalu hendak melangkah ke arah pohon besar
yang dikelilingi semak belukar lebat.
“Tunggu dulu! Mengapa
persoalan tidak dimulai dengan mencari tahu siapa sebenarnya orang berpakaian
hijau yang mengaku seorang raja dari pulau Sipatoka ini!”
“Tidak sulit mengikuti apa
maumu. Tapi kami berdua telah mengatur rencana agar persoalan tidak rincu. Jika
kau tidak sepakat maka rahasia lama akan terungkap….”
Sabai Nan Rancak terdiam
sesaat. Akhirnya dia berkata. “Terserah padamulah. Aku hanya mengikut saja.
Tapi aku ingatkan semua yang ada di tempat ini. Berlakulah jujur, jangan
berbuat culas dan menipu dalam seribu teka-teki hidup ini!”
“Buang rasa curiga. Jauhkan
sikap mendua. Kejujuran adalah sifat budi yang paling tinggi. Kebenaran adalah
kaidah hidup yang paling suci….” Si cadar kuning goyangkan kepalanya ke arah
Iblis Pemalu.
Iblis Pemalu meneruskan
langkahnya menuju ke balik pohon besar dan semak belukar. Saat demi saat
berlalu. Lembah Merpati diselimuti kesunyian. Sesekali terdengar gemerisik
dedaunan yang bergeser oleh tiupan angin. Sesekali terdengar suara menggeru
burung merpati atau suara kepakan binatang itu sewaktu melayang terbang. Orang
berbaju hijau tampak berdiri diam dan tenang. Si cadar kuning memandang ke arah
timur. Berusaha menahan gelora hatinya yang membuat dadanya berdebar keras.
Hanya Sabai Nan Rancak yang kelihatan gelisah. Nenek ini melangkah
mundar-mandir.
Hatinya bicara sendiri. “Apa
yang dilakukan Iblis Pemalu pergi ke balik pohon itu, mendekam di sana
berlama-lama. Aku ingat peristiwa waktu di pantai dulu. Aku seolah merasa….”
Terdengar suara semak belukar
bergemerisik. Sabai Nan Rancak yang pertama sekali memalingkan kepala. Disusul
oleh Rajo Tuo dan si cadar kuning. Dari balik pohon yang dikelilingi semak
belukar lebat melangkah keluar seorang perempuan berusia sekitar lima puluhan.
Sebagian rambutnya yang disanggul di atas kepala berwarna kelabu. Walau berusia
setengah abad tapi wajahnya ayu sekali. Di ujung alisnya sebelah kiri ada
sebuah tahi lalat kecil. Kulitnya kuning langsat. Dia mengenakan pakaian
ringkas warna biru muda. Walau dia melangkah tenang namun dari air mukanya
jelas perempuan ini berusaha menekan perasaan yang menggelora dalam dirinya.
Orang ini melangkah dan berdiri di samping si cadar kuning, menghadap ke arah
Rajo Tuo dan Sabai Nan Rancak. Di tangan kanannya dia memegang buntalan pakaian
hitam lusuh serta segulung benda tipis aneh yang ujungnya ada rambut palsunya;
Orang ini mencampakkan pakaian dan gulungan benda tipis itu ke tanah. Sesaat
Sabai Nan Rancak perhatikan benda itu dengan mata membelalak. Lalu diangkatnya
kepalanya seraya berkata pada si cadar kuning. Suaranya agak bergetar tanda
perasaannya kembali bergejolak.
“Tidak pernah kulihat orang
ini sebelumnya. Apa dia Iblis Pemalu yang tadi…? Jadi selama ini dia melakukan
penyamaran. Berupa seorang pemuda aneh yang selalu menutupi wajah dengan dua
tangan. Ternyata dia adalah seorang perempuan berusia setengah abadi Cadar
kuning lekas kau terangkan siapa orang ini adanya!”
“Puluhan tahun dia hidup dalam
penyamaran. Puluhan tahun dia hidup memendam kegetiran. Puluhan tahun dia
menunjukkan sikap aneh seolah kurang ingatan. Rahasia diri dan perjalanan
hidupnya selanjutnya biar dia sendiri yang memberi keterangan.” Jawab si cadar
kuning seraya berpaling pada orang yang tegak di sampingnya.
Ketika perempuan itu membuka
mulut ternyata suaranya berbeda sekali dengan suara Iblis Pemalu. Sesuai
keadaan dirinya suaranya kini benar-benar terdengar sebagai suara perempuan.
“Maafkan keadaan diriku.
Selama puluhan tahun aku harus hidup bukan sebagai diriku sendiri. Selama
berbulan-bulan aku terpaksa hidup dengan menyandang sifat aneh bahkan tidak
salah kalau dikatakan sebagai orang kurang waras. Hati ini sebenarnya sudah
letih menyamar diri memalsu sikap dan sifat. Namun satu tuntutan besar meminta
aku berlaku seperti itu. Hari ini aku bersyukur pada Tuhan bahwa aku bisa lepas
dari semua penyamaran itu. Sekitar lima puluh tahun lalu aku dilahirkan di kaki
Gunung Singgalang dari rahim seorang perempuan hasil hubungannya dengan seorang
kekasih. Ketika aku keluar dari perut ibu dan muncul di perut bumi, ibuku jatuh
pingsan. Ternyata kemudian di dalam kandungan ibuku masih ada satu bayi lagi,
yakni adik kembarku. Dukun yang menolong melahirkan berjuang mati-matian untuk
dapat mengeluarkan adik kembarku sementara ibuku masih berada dalam keadaan
pingsan…. Mungkin sudah ada yang mengatur bahwa begitu diriku lahir maka aku
akan diserahkan pada seseorang karena konon baik ayah maupun ibuku merasa malu
telah melahirkan seorang anak tanpa jalinan hubungan perkawinan. Tapi ternyata
setelah aku masih ada satu bayi lagi dalam perut ibuku yakni adik kembarku
tadi. Sejak aku masih bayi merah aku sudah dipisahkan dengan adikku oleh satu
riwayat hidup yang mungkin sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa bagi kami
berdua.
Masih belum bernama, dan
mungkin juga wajahku tidak sempat dilihat oleh ibuku sendiri, apalagi ayahku
maka aku dibawa orang ke satu tempat yang sangat jauh, dipelihara Oleh sepasang
suami istri yang hanya punya satu anak lelaki dan sangat menginginkan seorang
anak perempuan. Aku diberi nama Bululani. Adapun anak lelaki kakak angkatku
bernama Bululawang, tujuh tahun lebih tua dariku. Sebagai kakak adik walau
tidak sedarah sedaging kami hidup rukun di bawah naungan kasih sayang orang tua
kami berdua….”
Sampai di situ perempuan
berambut kelabu yang menyamar sebagai Iblis Pemalu dan sebenarnya bernama
Bululani ini hentikan penuturannya. Kedua matanya dipejamkan. Dia berusaha menahan
gejolak dalam dirinya tapi tak dapat. Air mata meleleh keluar dari sudutsudut
matanya yang dipejamkan.
“Perasaan yang keluar disertai
air mata adalah perasaan paling suci dari seorang anak manusia. Tapi jangan
sampai hati naik ke kepala. Jangan sampai perasaan mempengaruhi pikiran.
Kuatkan hatimu Bululani. Teruskan penuturanmu….”
Mendengar ucapan orang
bercadar, Bululani, perempuan berpakaian ringkas biru muda itu seka ke dua
matanya. Sementara itu Sabai Nan Rancak tegak tertunduk. Dalam hati dia berkata.
“Perempuan itu menuturkan riwayat dirinya. Namun rasa-rasanya ada sangkut paut
dengan diriku. Siapa ayah dan ibunya…?”
Si nenek tak sempat berpikir
lebih panjang karena saat itu Bululani telah mulai meneruskan keterangan
menyangkut rahasia dirinya.
*
* *
DUA BELAS
Dalam kehidupan kami, orang
tua kami tidak membedakan antara aku dengan anak kandungnya. Kami diberikan
pendidikan agama yang cukup. Juga berbagai ilmu pengetahuan termasuk ilmu silat
serta kesaktian. Beberapa waktu lalu, dalam usia yang sebenarnya tidak muda
lagi kakakku Bululawang melakukan perjalanan ke berbagai daerah. Malang tak
dapat ditolak, di satu tempat dia tewas menjadi korban pembunuhan. Si pembunuh
seperti kabar yang sampai kepadaku adalah seorang pendekar muda bernama Wiro
Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Untuk menuntut balas aku
bersikeras meninggalkan rumah guna mencari pembunuh kakakku. Kedua orang tua
angkatku melarang. Sebenarnya mereka merasa kasihan padaku karena sampai usiaku
lanjut aku masih belum mendapatkan pasangan hidup. Sesungguhnya banyak pemuda
yang suka padaku, tapi entah mengapa aku seperti tidak berkeinginan untuk
berumah tangga. Walau ayah dan ibuku melarang habis-habisan tapi aku tak bisa
ditahan lagi. Suatu malam secara diam-diam aku meninggalkan rumah. Sebenarnya
ada satu hal yang membuat mengapa aku menjadi nekad. Beberapa bulan sebelum
Bululawang dibunuh, seseorang memberitahu bahwa aku ini sebenarnya adalah anak
pungut atau anak angkat. Jadi bukan anak kandung. Semula ingin kutanyakan
kebenaran hal itu pada kedua orang tuaku. Namun aku takut mereka tersinggung,
atau sedih, atau mungkin juga marah. Maka kebenaran hal itu akhirnya kutanyakan
pada Bululawang. Mula-mula dia mengatakan bahwa hal itu adalah dusta dan fitnah
belaka.
Akari tetapi sebelum dia
pergi, Bululawang sempat bicara denganku. Dia mengatakan bahwa aku memang
adalah anak angkat. Namun orang tuanya tidak menganggap diriku sebagai anak
angkat. Mereka menganggap aku sama dengan Bululawang yaitu sebagai anak kandungnya
sendiri. Bululawang juga berkata begitu. Aku baginya adalah adik kandung
sedarah sedaging yang sangat disayanginya. Begitulah, memang aku ingin
meninggalkan rumah untuk mencari pembunuh Bululawang. Tapi sekaligus aku juga
ingin mencari tahu siapa adanya ke dua orang tuaku. Dimana mereka berada. Apa
masih hidup. Kalau sudah meninggal dimana kubur mereka. Sebelum hal itu jelas,
bagiku merupakan satu rahasia hidup yang sangat menekan batinku. (Mengenai
siapa adanya Bululawang harap, baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia
Paku)
Untuk memudahkan diriku dalam
perjalanan aku menyamar sebagai Iblis Pemalu. Bersikap aneh seolah-olah gila
dan menutupi wajah serta tanganku dengan lapisan kulit. Dalam penyelidikan aku
bertemu dengan beberapa tokoh rimba persilatan. Antaranya Pengiring Mayat Muka
Hijau, seorang nenek bernama Sika Sure Jelantik dan seorang kakek bermata
memberojol besar bernama Datuk Gadang Mentari. Belakangan aku ketahui mereka
bertiga bukanlah orang baik-baik. Pengiring Mayat Muka Hijau adalah tangan
kanan Datuk Lembah Akhirat yang membunuh dan mengadu domba sesama tokoh silat
golongan putih. Datuk Gadang Mentari kudengar kabar adalah kaki tangan seorang
sakti dari Gunung Singgalang yang punya urusan dengan murid Dewa Tuak. Katanya
adiknya yang bernama Datuk Mangkuto Kamang dibunuh oleh Anggini, murid Dewa
Tuak. Belakangan aku ketahui bahwa hal itu hanyalah fitnah orang sakti di
puncak Singgalang itu yang untuk tujuan tertentu sengaja menghasut Datuk Gadang
Mentari agar bentrokan dengan Dewa Tuak.
Lalu mengenai nenek bernama
Sika Sure Jelantik itu, belakangan kuketahui pula bahwa dia adalah salah
seorang kekasih ayahku di masa muda dan malah sampai saat ini berusaha mencari
ayahku .untuk membunuhnya guna melampiaskan dendam kesumatnya. Si nenek itu
kabarnya pernah menyamar jadi seorang dukun dan diam di sebuah pulau kerajaan
bernama Sipatoka….”
Orang berpakaian hijau yang
sejak tadi berdiri tenang mendengar penuturan Iblis Pemalu alias Bululani
tersentak sampai kepalanya terdongak ke atas.
“Perempuan bernama Bululani…”
kata orang itu dengan suara bergetar. “Dukun tua yang kau sebutkan itu apakah
dia yang pernah memakai nama Dukun Sakti Langit Takambang?”
Bululani berpaling ke arah si
baju hijau. Sesaat pandangannya tampak sayu. Lalu perlahan-lahan dia anggukkan
kepala. “Betul Rajo Tuo…. Dukun Sakti Langit Takambang berada di pulaumu.
Menyamar menjadi dukun sakti kepercayaanmu karena sebenarnya dia mengincar
sebuah benda sakti mandraguna….”
“Maksudmu….”
“Rajo Tuo, harap kau tidak
menyebut dulu nama barang itu. Karena akan merusak jalannya penuturan Bululani.
Harap kau bersabar dulu. Agar semua nanti bisa menahan diri.”
Sampai di situ Sabai Nan
Rancak yang sejak tadi berdiam diri membuka mulut.
“Orang bercadar dan kau
perempuan bernama Bululani. Agaknya ada sesuatu yang sengaja kalian rahasiakan
terhadap diriku! Aku tidak suka cara kalian ini!”
“Rahasia di dalam rahasia.
Kalau untuk manfaat bersama. Mengapa tidak ditunda sesaat saja. Agar kita semua
tidak kecewa. Semua akan segera nyata. Masalahnya hanya menunggu waktu yang
tepat saja…” jawab orang bercadar dengan gaya bahasanya yang selalu berpantun.
“Baik! Aku bisa bersabar tapi
tidak terlalu lama.” Jawab Sabai Nan Rancak. “Sekarang aku ingin tahu siapa
nama ayah dan ibu yang melahirkanmu! Harap kau segera menjawab pertanyaanku
Bululani!”
“Ketika aku dibawa pergi, aku
masih bayi. Aku tidak pernah tahu nama ayan dan ibu kandungku. Kedua orang tua
angkatku juga tidak pernah memberitahu. Mungkin mereka juga tidak tahu…”
menjelaskan Bululani.
“Ini adalah aneh,” kata Sabai
Nan Rancak dengan wajah berkerut. “Kalau begitu siapa yang memberitahu semua
cerita yang barusan kau tuturkan itu!”
Bululani memandang ke arah
orang bercadar.
“Biar aku yang menjawab,” kata
si cadar kuning pula. “Apa yang dituturkan Bululani adalah sahih dan benar
adanya. Dia tidak berbohong tidak pula berdusta. Cerita itu didengarnya
langsung dari seorang tokoh sakti di pulau Andalas. Kelak pada saatnya kita
akan menemui orang itu. Tidak akan lama lagi kebenaran rahasia itu akan segera
kita ketahui….”
“Walah!” Sabai Nan Rancak
goleng-goleng kepala. “Bukankah kita berkumpul di sini untuk Mengungkapkan
segala rahasia yang ada. Sekarang mengapa malah menambah rahasia?”
“Harap kau mau bersabar Nek.
Ini adalah atas permintaan tokoh silat sakti dari Andalas itu. Kalau semua
disingkapkan sekarang mungkin banyak hal yang akan terabai. Paling tidak kau
nanti akan menanyakan bukti. Padahal menurut pesan semua kejelasan akan
dikatakan sendiri oleh tokoh itu….”
Sabai Nan Rancak keluarkan
suara seperti menggerendeng. “aku kenal semua tokoh silat di Pulau Andalas.
Katakan saja aku pasti tahu….”
Bululani menggeleng, “Harap
maafmu Nek. Biar aku lanjutkan penuturanku….”
Walau tidak senang tapi Sabai
Nan Rancak diam saja. Maka Bululani meneruskan keterangannya. “Walau aku tahu
Datuk Gadang Mentari, si nenek Sika Sure Jelantik dan Pengiring Mayat Muka
Hijau bukan manusia-manusia baik, tapi aku membutuhkan mereka untuk mencari
keterangan dimana adanya Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah membunuh kakakku
Bululawang. Di satu lembah batu kami akhirnya menemukan pemuda itu yang
kebetulan berada bersama Anggini, gadis yang tengah dicari-cari Datuk Gadang
Mentari.
Tapi justru saat itu pula aku
mendapat penjelasan bahwa sesungguhnya kakakku Bululawang menemui ajal karena
ada sangkut paut dengan kejahatan yang dilakukan oleh Dewi Ular. Dikatakan
bahwa kakakku menemui ajal di tangan seorang pemuda bernama Sandaka berjuluk
Manusia Paku. Sebelum persoalan menjadi lebih jelas suasana di lembah batu kacau
balau karena seorang pemuda bernama Panji yang jadi lawan Pendekar 212
melarikan sebuah kain berisi peta penunjuk tempat disembunyikannya Pedang Naga
Suci 212.
Sementara rimba persilatan
bertambah kacau akibat lenyapnya banyak tokoh silat golongan putih yang
ternyata diculik dan dibawa ke Lembah Akhirat, aku beberapa kali bertemu dengan
orang bercadar kuning ini. Semula aku menganggapnya sebagai musuh yang punya
maksud jahat. Namun dalam beberapa pertemuan aku melihat dia banyak tahu
tentang riwayatku. Maka diam-diam aku juga menyelidiki. Pada pertemuan terakhir
kami berdua menyadari bahwa sesungguhnya antara kami berdua ada hubungan darah
yang sangat dekat. Mungkin dia adalah adik kembarku yang selama puluhan tahun
tak pernah kutemukan. Kukatakan mungkin karena kebenaran hal ini harus
dibuktikan dengan petunjuk oleh tokoh silat utama dari Pulau Andalas itu….”
“Hemm…” Sabai Nan Rancak
bergumam. “Orang bercadar, jadi kau sebenarnya adalah seorang perempuan yang
selama ini bersembunyi dibalik baju dan cadar kuningmu.
Usiamu tentu sama dengan usia
Bululani. Sekitar setengah abad….” Si nenek berpaling pada Bululani lalu
berkata. “Jika kau sudah tahu orang bercadar ini adalah saudara kembarmu,
apakah kau sudah tahu siapa namanya?”
“Dia belum mau memberi tahu,”
jawab Bululani.
“Berarti dia melakukan
kecurangan. Sengaja menyembunyikan sesuatu!” tukas Sabai Nan Rancak. Nenek satu
ini kembali menjadi geram.
“Aku tidak melakukan
kecurangan. Tidak pula menyembunyikan sesuatu. Aku hanya menunda keterangan.
Sesuai petunjuk tokoh yang memberitahu. Biar kejelasan terucap keluar dari
mulut orang bukan dariku. Karena diri ini juga tersangkut dalam rahasia yang
satu.”
Saking kesalnya Sabai Nan
Rancak bantingkan kaki kanannya ke tanah hingga Lembah Merpati terasa bergetar.
Burung-burung beterbangan dan di tanah yang bekas dihantam bantingan kaki tadi
kelihatan satu lobang besar. Walau kesal kelihatan namun Sabai Nan Rancak
diam-diam merasa lega juga. Tadi dia menduga bahwa jangan-jangan ibu Iblis
Pemalu atau Bululani adalah dirinya sendiri. Tapi setelah mengetahui bahwa
perempuan itu melahirkan sepasang bayi kembar sedang dia hanya melahirkan
seorang bayi saja, maka berarti bukan dirinya yang dimaksudkan dalam penuturan
Bululani.
“Orang berbaju hijau sekarang
giliranmu!”
Si baju hijau yang tegak
sambil mengunyah sirih terkejut mendengar kata-kata Bululani itu.
“Giliranku apa? Apa maksudmu?”
Dia balik bertanya.
“Rajo Tuo,” kini si cadar
kuning yang bicara. “Orang yang mengaku saudara kembarku ini telah menceritakan
riwayat dirinya. Sekarang giliranmu untuk menuturkan riwayat dirimu. Bukankah
kau meninggalkan tempat kediamanmu karena mencari puteramu? Harap kau
menuturkan mulai dari perkawinanmu dengan ibu anakmu itu. Siapa nama istrimu
dan bagaimana kau sampai berada di tempat ini….”
Orang berbaju hijau sesaat
hanya tegak berdiam diri. Lalu dia menyembur mengeluarkan sirih yang
dikunyahnya.
“Aku sudah menceritakan
padamu. Sudah menceritakan semua.”
“Padaku, tapi tidak pada nenek
ini. Dan hanya sedikit pada saudaraku ini.”
Orang itu memandang dulu pada
Sabai Nan Rancak. Lalu dia mulai dengan penuturannya.
“Aku kawin ketika berusia dua
puluh enam tahun dan istriku delapan belas. Aku tidak tahu asal-usul istriku.
Jangankan diriku, istriku sendiri boleh dikatakan tidak tahu siapa ayah ibunya.
Menurut dia ibunya meninggalkan dirinya sejak dia masih kecil. Dia dipelihara
oleh satu keluarga miskin yang tak punya anak. Mereka tinggal di satu gubuk
kecil, terpencil di kaki gunung Singgalang. Setahun setelah kawin istriku melahirkan
seorang bayi perempuan. Keadaannya yang sakit-sakitan ditambah
ketidakmampuannya merawat anak yang masih kecil membuat aku menjadi marah. Dia
lalu minggat meninggalkan diriku. Sampai saat ini aku tidak pernah mendengar
kabar tentang dirinya. Apa masih hidup atau sudah meninggal….”
Orang bercadar melirik pada
Sabai Nan Rancak. Dilihatnya si nenek tegak tak bergerak. Kepalanya tertunduk
memandangi rerumputan yang tumbuh di tempat itu.
“Rajo Tuo,” menegur orang
bercadar. “Bagian terakhir dari ceritamu adalah palsu dan dusta! Aku pernah
mengatakan hal itu padamu dalam pertemuan kita sebelumnya. Mengapa kau masih
berani bicara dusta?”
Wajah Rajo Tuo tampak berubah.
Orang ini sesaat menatap jauh ke depan. Lalu tenggorokannya turun naik dan
suara sesenggukan keluar dari mulutnya. !
“Semua salahku…. Semua memang
salahku…” katanya setengah meratap sambil menutup wajahnya.
“Pertemuan ini bukan untuk
mendengar ratap tangismu! Harap kau suka bicara mengulang cerita. Hanya
kejujuran yang akan membebaskan diri dari tekanan bathin yang menghimpit
dirimu!” ujar orang bercadar memperingatkan.
Rajo Tuo hapus air matanya.
Dia coba menguatkan hati. Lalu mengulangi kembali sebagian ceritanya tadi.
*
* *
TIGA BELAS
Maafkan diriku…. Tadi memang
ada ceritaku yang tidak benar. Aku terlalu takut menghadapi hukuman Tuhan.
Namun agaknya aku tak mungkin lari dari kenyataan. Aku juga mengerti bahwa
hanya dengan kenyataanlah rahasia besar yang menyangkut diri kita semua bisa
diungkapkan. Tadi aku ceritakan setelah melahirkan istriku selalu
sakit-sakitan. Dia memang sakit tapi bukan sakit jasmani melainkan lebih banyak
akibat tekanan bathin karena ulahku. Aku sering meninggalkannya. Terkadang
sampai berbulan-bulan. Perbuatanku yang semena-mena itu kulakukan karena aku
telah terpikat pada seorang gadis yang diam di sebuah pulau, bernama pulau
Sipatoka. Si gadis adalah puteri penguasa pulau yang telah menganggap pulau itu
sebagai satu kerajaan kecil. Suatu saat penguasa pulau itu jatuh sakit. Sebelum
meninggal dia minta aku mengawini puterinya, sekaligus menyerahkan tahta
kerajaan Sipatoka padaku. Sejak aku kawin dan tinggal di pulau aku tak pernah
menjenguk anak istriku. Satu ketika aku mengutus seseorang untuk pergi ke kaki
Singgalang guna menyelidiki keadaan anak istriku. Ternyata gubuk kediaman
mereka kosong. Menurut satu-satunya tetangga ada seorang bernama Malin, mengaku
sebagai suruhan, suatu hari datang lalu membawa pergi anak istriku. Aku masih
berusaha terus menyelidiki dan mencari orang bernama Malin itu. Tapi di Andalas
ada ratusan orang bernama Malin. Anak dan istriku tak pernah kutemukan lagi
sampai saat ini…. Tak bisa kupastikan apa mereka masih hidup atau sudah
meninggal. Kalau anakku itu masih hidup tentu dia sekarang telah menjadi
seorang gadis. Aku kemudian mengarang cerita bahwa istriku telah meninggal
dunia karena sakit-sakitan. Ah… aku menyesal. Perbuatan di masa muda hanya
menimbulkan derita sengsara di masa tua…. Bagaimana aku menebus segala dosa.”
Orang berbaju hijau itu tundukkan kepala dengan wajah amat sedih.
“Ceritamu sudah benar, tapi
ada yang belum kau jelaskan. Sebagai seorang Rajo Tua dari kerajaan pulau
Sipatoka kau tentunya punya nama. Istrimu tentu juga punya nama dan anak kalian
juga tentu punya nama…. Mengapa tidak kau jelaskan siapa-siapa nama mereka?”
Rajo Tuo angkat kepalanya
sedikit. Sejurus dia menatap pada orang bercadar lalu melirik pada si nenek.
Ada getaran-getaran aneh tiba-tiba dirasakan lelaki berusia 60 tahun ini. “Aku
tidak tahu…” katanya dengan suara tersendat. “Apakah anakku itu masih memakai
nama yang pernah aku berikan padanya….” Rajo Tuo geleng-gelengkan kepala.
Mulutnya kembali terkancing. Air mata membasahi pipinya yang cekung.
“Jangan rahasia disimpan di
dalam hati. Sebutkan nama agar kami semua tahu. Tak ada lagi gunanya segala
sembunyi. Ini saat paling baik untuk memberitahu.”
“Aku…. Aku memberi nama anak
itu Puti Andini….”
Sabai Nan Rancak memekik
keras. Mukanya yang penuh keriput kelihatan seputih kertas. Dadanya berguncang
hebat. Sepasang kakinya tersurut sampai tiga langkah. Tibatiba nenek ini
melompat ke hadapan Rajo Tuo. Membuat lelaki ini kini yang jadi tersurut saking
kagetnya.
“Kau mengatakan anakmu itu
bernama Puti Andini! Jangan kau berani bicara dusta!” teriak Sabai Nan Rancak.
“Aku…. Aku tidak bicara dusta.
Puti Andini memang nama yang kuberikan pada anakku sebelum dia dan ibunya
kutinggal pergi!” jawab Rajo Tuo.
“Aku punya seorang cucu
perempuan yang juga bernama Puti Andini! Apa ini satu kebetulan nama sama.
Atau…. Kubunuh kau jika berani mengarang cerita dusta!”
“Nenek, siapa kau ini
sebenarnya hingga marah begini rupa terhadapku?” tanya Rajo Tuo dengan wajah
yang kini juga menjadi pucat.
“Nenek, harap kau bisa menahan
diri dan perasaan. Biar Rajo Tuo menyelesaikan ceritanya….”
“Tidak!” teriak Sabai Nan
Rancak. “Aku harus tahu siapa namamu! Aku harus tahu siapa gelarmu!”
Rajo Tuo tak mau menjawab
melainkan memandang pada Iblis Pemalu alias Bululani, lalu pada orang bercadar.
“Rajo Tuo, penuhi
permintaannya. Katakan namamu…” kata orang bercadar pula.
“Namaku Sidi Kuniang….” Rajo
Tuo mengatakan namanya.
“Sidi Kuniang…” mengulang
Sabai Nan Rancak dalam hati. “Tak aku kenal nama itu. Tak pernah kudengar nama
ini!” Si nenek berpaling pada orang bercadar lantas berkata, “Aku tak kenal
orang ini. Tak pernah mendengar namanya!”
“Rajo Tuo, orang tak kenal
namamu. Mengapa tidak memberi tahu siapa gelarmu?” Berkata si cadar kuning.
“Orang tuaku memberi aku gelar
Datuk Paduko Intan…” kata orang berbaju hijau dengan suara perlahan. Namun
ucapan itu datangnya di telinga Sabai Nan Rancak laksana petir menyambar.
Dia menjerit keras. Dari
celah-celah antara kepala dan topi berkeluk yang dikenakannya kelihatan kepulan
asap pertanda dapat dibayangkan bagaimana marahnya si nenek.
“Manusia jahanam! Laknat
terkutuk! Jadi kau rupanya! Pembunuh anakku! Penyengsara cucuku! Memang sudah
lama kau kucari untuk kujadikan bangkai! Mampus kau sekarang juga!”
Habis membentak begitu rupa
Sabai Nan Rancak angkat kedua tangannya. Karena dia mengalirkan seluruh tenaga
dalam dan hawa sakti yang dimilikinya maka dua lengannya berubah menjadi merah.
Si nenek jelas siap untuk menghantam dengan pukulan maut Kipas Neraka. Dua
pukulan sekaligus!
“Nenek siapa kau adanya!” seru
Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dengan wajah ketakutan dan melangkah mundur
menjauhi si nenek.
“Siapa aku nanti bisa kau
tanyakan di neraka!” jawab Sabai Nan Rancak. Dua lengannya ditarik ke belakang.
“Nek! Tahan! Jangan bunuh
dia!” teriak Iblis Pemalu alias Bululani yang kini cara bicaranya tidak lagi
seperti dulu yakni selalu menyebut-nyebut malu atau memalukan. Kedua wajahnya
pun tidak lagi ditutupnya dengan dua telapak tangan.
“Tunggu!” teriak orang
bercadar. Dia cepat berkelebat ke hadapan Sabai Nan Rancak.
“Jangan cepat turuti tangan.
Tanpa alasan….”
“Aku punya sejuta alasan untuk
membunuhnya! Dia adalah menantu yang tak pantas Kusebut sebagai menantu.
Manusia laknat terkutuk! Menyia-nyiakan anakku, menyengsarakan cucuku!”
“Kalau kau ingin membunuhnya
itu soal gampang. Apalagi kalau kau punya alasan segudang. Tapi kejelasan perlu
diungkap. Apa benar dia si menantu laknat….”
“Apa ada sepuluh Datuk Paduko
Intan di dunia ini?!” sahut Sabai Nan Rancak pula.
“Aku yakin seribu yakin inilah
Datuk Paduko Intan manusia yang telah mencelakai anak cucuku!”
“Harap kau suka bersabar
barang sedikit. Agar perbuatan keliru tidak membawa sesal penyakit. Biar aku
tanyakan beberapa hal padanya. Kalau dia menjawab tanpa dusta. Maka semua akan
jelas dan nyata….” Si cadar kuning memegang lengan Sabai Nan Rancak.
Semula si nenek hendak
menyentakkan tangannya yang dipegang malah hendak mendorong si cadar kuning
dengan tangannya yang lain. Namun dia tercekat ketika melihat sepasang mata
bening orang bercadar basah oleh air mata. Gerakannya ditahannya dan dia hanya
mengikut saja ketika dibawa ke samping menjauhi Rajo Tuo Datuk Paduko Intan.
“Kita berada di sini bukan
untuk saling membunuh. Menyingkap rahasia hidup adalah lebih utama dari
kematian. Jangan memecah buluh. Kalau miangnya akan meracun tubuh!”
Setelah yakin bahwa Sabai Nan
Rancak tidak akan menyerang maka si cadar kuning berpaling pada orang
berpakaian hijau. “Rajo Tuo Datuk Paduko Intan….” Suara si cadar kuning
terdengar aneh di telinga Sabai Nan Rancak. Tidak lagi seperti suaranya
sebelumnya.
“Agar jelas bagi kami semua.
Agar tidak ada yang salah langkah. Harap kau sudi bicara. Katakan siapa nama
istrimu. Juga apakah kau masih ingat siapa nama mertuamu baik yang lelaki
ataupun yang perempuan….”
“Sudah kukatakan aku tidak
tahu nama kedua mertuaku….”
Si cadar kuning gelengkan
kepala. “Tidak Rajo Tuo. Aku yakin kau tahu siapa nama kedua mertuamu. Bukankah
kau pernah ditemui oleh seseorang yang datang membawa sebuah benda. Benda itu
harus kau sampaikan pada…. Aku yakin kau tahu tapi kau masih berusaha
menyembunyikan. Aku tak tahu apa kau punya tujuan….”
Rajo Tuo Datuk Paduko Intan
kerenyitkan kening dan usap-usap dagunya sesaat. Lama orang ini terdiam sebelum
akhirnya dia berkata. “Orang yang datang menemuiku membawa sebuah benda dalam
satu kotak perak. Katanya benda itu harus aku serahkan pada ibu mendiang
istriku. Dia memang mengatakan siapa ibu mertuaku itu. Seorang nenek bernama
Sabai Nan Rancak. Aku juga diberitahu bahwa Sabai Nan Rancak tengah mencari
suaminya, ayah istriku, yang diketahuinya bergelar Tua Gila. Katanya lagi Sabai
Nan Rancak mencari Tua Gila untuk membunuh si kakek karena dendam kesumat
urusan cinta di masa muda!”
“Apa kataku! Apa kataku!”
teriak Sabai Nan Rancak dengan tubuh tampak seperti menggigil dan mata
membeliak seolah mau melompat keluar dari rongganya. “Memang dia jahanamnya!
Memang manusia satu ini laknatnya! Aku tidak akan pernah mengakuinya sebagai
menantu! Keparat!”
Si cadar kuning angkat kedua
tangannya. “Nek, aku masih ingin kau menunjukkan kesabaran. Masih ada beberapa
hal perlu kejelasan…. Rajo Tuo Datuk Paduko Intan, kau tahu siapa nenek
bermantel hitam yang tegak di hadapanmu ini?”
“A… aku tidak tahu. Tapi kini
aku bisa menduga….”
“Apa dugaanmu Rajo Tuo?” Yang
bertanya adalah Bululani.
“Mungkin dia…dia adalah Sabai
Nan Rancak, ibu istriku, ibu mertuaku!”
“Bukan mungkin! Tapi aku
memang adalah Sabai Nan Rancak! Dan jangan kau berani menyebut diriku sebagai
ibu mertuamu! Jahanam keparat!”
“Rajo Tuo, satu hal lagi harus
kau terangkan. Siapa nama istrimu gerangan…. Kalau kau tidak tahu namanya.
Tidak pula menyebutkannya. Maka semua . ceritamu tadi hanya dusta belaka!”
“Andam Suri. Namanya Andam
Suri….” Rajo Tuo Datuk Paduko Intan lalu tutup wajahnya dengan dua tangan.
Tenggorokannya turun naik. Tubuhnya berguncang-guncang tanda dia berusaha keras
untuk menahan tangis.
“Manusia jahanam! Kau bukan
saja busuk jahat. Tapi juga pengecut! Kau berpurapura menangis agar orang
berhiba hati. Apapun yang terjadi aku tetap akan membunuhmu! Orang bercadar
harap kau lekas menyingkir!”
“Nenek Sabai, tunggu dulu!
Sebagian rahasia memang sudah tersingkap. Tapi harus ada bukti agar dapat
menentukan sikap!” kata si cadar kuning pula.
“Pertanyaanku pada orang ini
belum selesai. Datuk Paduko Intan, kalau Andam Suri benar istrimu, apakah kau
tahu atau mungkin pernah menyirap kabar dimana dia berada saat ini?”
Yang ditanya turunkan tangan.
Wajahnya tampak kuyu sedih. Lalu dia gelengkan kepala. “Aku tidak tahu di mana
dia berada. Kalau memang masih hidup aku ingin sekali menemuinya dan bersujud
minta ampun….”
“Minta ampun! Huh! Alangkah
enaknya!” hardik Sabat Nan Rancak. Dia maju dua langkah tapi cepat dihalangi si
cadar kuning.
“Nek, setiap manusia tidak
terlepas dari kesalahan. Ukuran hukum atas diri seseorang tidak hanya ditakar
dari dosa dan kesalahannya belaka. Mungkin ada alasan mengapa dia berbuat
begitu. Mungkin ada rangkaian kejadian yang memaksa dirinya melakukan sesuatu.
Kita semua harus bertindak bijaksana. Sekali lagi aku meminta. Rahasia memang
sudah tersingkap. Tapi bukti perlu dilihat….”
“Bukti apa lagi?!” bentak
Sabai Nan Rancak dengan mata membelalak.
“Bukti itu akan kita dapat dan
ketahui pada hari empat belas bulan purnama mendatang….”
“Aku ada urusan pada saat
itu….”
“Hemmm…. Apakah terpikir
olehmu bahwa urusanmu ada sangkut pautnya dengan urusan kita semua. Bukankah
seorang sakti berjuluk Kakek Segala Tahu yang memintamu untuk datang ke satu
tempat pada bulan purnama empat belas hari?”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
tanya Sabai Nan Rancak.
“Banyak yang kau tahu. Tapi
masih lebih banyak yang aku tidak tahu. Karena itu kita akan bertemu lagi pada
hari empat belas malam mendatang. Semua bukti harus dicocokkan. Kalau semua
bukti tepat. Maka akan gampang menyelesaikan silang sengketa lantai terjungkat.
Bisakah aku mengharapkan kesabaranmu lagi Nek? Menunggu sampai hari empat
belas, malam bulan purnama penuh?”
“Rasa-rasanya aku sudah tidak
bisa menunggu. Tak ada lagi kesabaran dalam diriku! Tapi sekali ini aku
terpaksa mengalah…” kata Sabai Nan Rancak dengan suara datar.
“Orang mengalah bukan berarti
kalah. Orang mengalah bukan berarti mencari susah. Orang mengalah justru
menunjukkan budi luhur dan tinggi. Orang mengalah justru akan mencapai
kemenangan pribadi…. aku sangat berterima kasih….”
“Kau boleh saja berkata
begitu! Tapi aku punya beberapa pertanyaan untuk Raja geblek ini!”
“Silahkan kau bertanya….”
“Paduko Intan! Kau menuturkan
ada orang datang padamu membawa sebuah kotak perak. Orang itu meminta agar kau
menyerahkan kotak tersebut pada seorang nenek bernama Sabai Nan Rancak, yaitu
diriku sendiri! Kau tahu apa isi kotak perak itu?”
“Sebuah kalung perak sakti
bermata hijau bernama Kalung Permata Kejora….”
“Di mana kau simpan kalung itu
sekarang?!” tanya Sabai Nan Rancak geregetan.
“Kuserahkan pada seseorang….”
“Kau serahkan pada
seseorang?!” ujar si nenek dengan mata melotot. “Siapa orangnya?”
“Seorang sahabat bernama Wiro
Sableng,” jawab Rajo Tuo Datuk Paduko Intan.
(Seperti dituturkan dalam
Episode pertama Tua Gila Dari Andalas kalung sakti itu diserahkan Datuk Paduko
Intan pada Tua Gila untuk diserahkan pada Sabai Nah Rancak. Ketika Datuk Paduko
Intan menanyakan namanya, seenaknya saja Tua Gila memberitahu bahwa namanya
adalah Wiro Sableng)
Sabai Nan Rancak sampai
terlonjak mendengar jawaban Datuk Paduko Intan itu.
“Manusia celaka! Kau
benar-benar jahanam! Kalung itu kau serahkan pada musuh besar yang harus
kubunuh!” Sabai Nan Rancak melangkah mondar-mandir sambil merepet tak karuan
dan banting-banting kaki.
“Kalian semua dengar! Aku
harus pergi dari sini! Dan kau!” Si nenek menunjuk tepat-tepat pada Datuk
Paduko Intan. “Aku tidak ingin melihat tampangmu lagi! Sekali kau muncul di
hadapanku amblas nyawamu!”
“Nek, kau mau ke mana?” tanya
Bululani.
“Lama-lama di sini aku bisa
mati berdiri!” jawab Sabai Nan Rancak. “Jangan harap aku akan memenuhi,
permintaan kalian datang pada pertemuan di Telaga Gajahmungkur pada hari empat
belas malam bulan purnama!”
“Nek, jalan yang kau lalui
hanya tinggal beberapa depa. Rahasia sudah terungkap hampir semua. Justru hari
empat belas malam bulan purnama adalah saat paling menentukan. Apa salahnya kau
menyempatkan diri mencari kebaikan….”
“Mencari kebaikan? Buktinya
saat ini aku menemui seribu satu macam perkara jahanam! Jangan harap aku akan
datang!”
“Nenek Sabai, aku khawatir kau
akan menyesal. Bukankah kau sangat ingin menyingkap tabir di mana beradanya
anakmu Andam Suri? Bukankah kau ingin mendapatkan Kalung Permata Kejora?
Bukankah banyak hal lagi yang sebenarnya ingin kau ketahui…?”
“Kalian semua orang-orang
gila. Urusan yang kalian hadapkan padaku sama gilanya dengan diri kalian!”
“Kalau kau ingin pergi dan tak
mau datang ke tempat pertemuan bagi kami tidak menjadi apa. Tapi kau akan
sangat kecewa. Apalagi kelak orang mungkin akan menyalahkan dirimu. Karena
semua urusan ini terjadi akibat ulahmu….”
“Manusia bercadar! Jaga
mulutmu!” teriak Sabai Nan Rancak marah.
“Benar apa yang dikatakan
orang. Sejak muda kau lebih mendahulukan hati daripada pikiran. Kau menghujat
kesalahan orang tanpa menyadari kesalahan sendiri. Bukankah karena menuruti
hawa amarah dan perasaan hati sendiri lima puluh tahun lalu kau sampai tega
meninggalkan bayi yang kau lahirkan. Bayi yang masih merah! Bahkan kau tak
pernah tahu kalau kau punya anak kembar! Kau hanya tahu bahwa anakmu hanya
seorang yakni Andam Suri! Sampai saat ini kau seolah patung tak punya perasaan,
tak punya hati tak punya pikiran. Apa kau tidak sadar kalau perempuan bernama
Bululani yang tegak di hadapanmu ini adalah salah satu dari dua anakmu? Anak
kandung darah dagingmu! Tapi kau bertindak acuh seolah dia hanyalah batu!
Binatang masih mempunyai rasa kasih sayang terhadap anaknya. Apakah kau lebih
nista dari binatang?! Kau hanya pandai melihat kesalahan orang lain! Tapi buta
mengukur kesalahan sendiri! Apa kau pernah sadar apa yang telah kau lakukan
setelah kau meninggalkan bayimu? Kau hanya mempermomok Tua Gila pada semua
orang. Kau sendiri tidak sadar dengan segala perbuatanmu! Kau telah mengotori
Gunung Singgalang dengan segala tingkah lakumu! Dalam lupa dirimu kau sampai
tidak tahu kalau dirimu telah diperalat orang untuk ikut mengadu domba antara
sesama tokoh golongan putih! Membunuh orang-orang tak bersalah! Jangan merasa
dirimu sebagai malaikat yang hendak membersihkan rimba persilatan. Kau jauh
lebih kotor dari Tua Gila!”
“Orang bercadar, apa
maksudmu…?” tanya Sabai Nan Rancak dengan suara bergetar dan muka putih seperti
kain kafan.
“Tanyakan pada dirimu sendiri.
Karena jawabnya ada dalam lubuk hatimu sendiri!” jawab orang bercadar. Lalu dia
memberi isyarat pada Bululani. Sekali berkelebat kedua orang itu lenyap dari
tempat itu. Sabai Nan Rancak merasakan tubuhnya lemas. Lututnya gontai. Nenek
ini jatuh terduduk. Air mata meluncur deras di kedua pipinya. Dia memandang ke
samping. Ternyata Datuk Paduko Intan juga tak ada lagi di tempat itu.
“Ya Tuhan, apa sebenarnya yang
tengah terjadi dengan diri tua rapuh ini…?” kata Sabai Nan Rancak seraya
gulingkan diri lalu menelungkup di atas rerumputan. Suara tangisnya tenggelam
seolah ditelan tanah.
Tiba-tiba dia bangkit
terduduk. Memandang ke arah lenyapnya orang bercadar kuning. “Aku membuat satu
kesalahan besar. Mengapa aku tidak menanyakan siapa sebenarnya orang berpakaian
dan bercadar kuning itu….” Si nenek pukul-pukul keningnya sendiri. Lalu kembali
dia berbaring menelungkup dan menangis sejadi-jadinya.
“Tuhan…” kata suara hatinya
meratap. “Kalau memang aku ini salah jalan. Kalau memang aku ini orang berdosa,
turunkanlah kutuk dan hukumanmu! Hancurkan tubuh tua tak berguna ini!”
*
* *
EMPAT BELAS
Sabai Nan Rancak tidak tahu
berapa lama dia menangis menelungkup di rumput seperti itu. Dia baru hentikan
tangis, usap kedua matanya ketika dia menyadari bahwa dia tidak lagi seorang
diri di Lembah Merpati itu. Si nenek cepat bangkit dan duduk. Hanya tiga
langkah di hadapannya dilihatnya duduk seorang kakek berkepala botak,
berpakaian putih lusuh. Kakek ini memandang ke arahnya dengan pandangan dan
sinar mata sayu.
“Aneh, walau aku tadi
tenggelam dalam perasaan mengapa aku sampai tidak mendengar suara langkah
kakinya mendatangi. Dia tahu-tahu muncul seolah burung yang melayang terbang
lalu hinggap tanpa suara! Aku tak kenal si botak ini. Agaknya dia memiliki
kepandaian tinggi.”
“Apakah kehadiranku
mengejutkan dirimu?” Kakek botak menegur. Dia tersenyum walau senyuman ini
tidak dapat memupus air mukanya yang sayu.
“Kau bukan saja mengejutkan!
Tapi juga kurang ajar! Berani mendekati perempuan di tempat sepi seperti ini.
Padahal kita tidak saling kenal!”
Kakek botak bermuka sayu
kembali tersenyum. “Lembah ini memang sepi dan indah sekali. Itu sebabnya aku
tertarik datang ke sini. Tapi aku lebih tertarik setelah melihat dirimu yang
tergolek di rumput, menangis sedih dalam keadaan menelungkup. Memang hanya kita
berdua di tempat ini dan kita tidak saling kenal. Tapi apakah ada dan masihkah
tua bangka seperti kita ini mau melakukan yang bukan-bukan walau hanya kita
berdua saja yang ada di tempat ini? Maafkan kalau aku telah mengejutkan dirimu.
Di tempat sepi begini berteman adalah lebih baik daripada seorang diri. Walau
tidak tahu pangkal sebabnya tapi aku ikut hiba mendengar tangismu tadi. Nenek
bertopi seperti tanduk kuda, menurut penglihatanku kau pasti datang dari jauh,
dari tanah seberang. Jauh-jauh datang ke sini lalu menangis ini adalah satu hal
yang ingin aku ketahui….”
“Hemmmm…. Ternyata selain
kurang ajar kau juga lancangi” semprot Sabai Nan Rancak.
“Lancang bagaimana maksudmu
Nek?”
“Kita tidak saling kenali Kau
datang diam-diam secara kurang ajar. Kini hendak mencampuri urusan orang!
Bukankah itu namanya lancang?!”
Si kakek usap-usap kepalanya
yang botak. “Menurutmu lancang. Tapi menurutku lain lagi. Karena maksudku
bertanya hanyalah dengan niat menolong semata. Siapa tahu, walau tidak kenal
aku bisa membantu melepaskan dirimu dari kesedihan yang tengah kau hadapi….”
“Sedih? Siapa bilang aku
sedih?!”
“Orang menangis biasanya
karena sedih, Bukankah begitu?” ujar si kakek pula.
“Tidak selamanya!”
“Ah, bagaimana kau bisa
berkata begitu?”
“Karena aku menangis bukan
sebab musabab sedih. Aku menangis karena ingin mati! Kau tadi bilang ingin
menolongku! Nah bisakah kau membantuku! Membunuh diri tua bangka keropos ini
sampai mati?!”
Kakek botak ternganga lalu
geleng-gelengkan kepala. “Kau ini ada-ada saja Nek. Tapi kau tahu, aku suka
berbincang-bincang dengan orang seperti m u ini. Mungkin kita bisa membagi
pengalaman….”
“Sayang, aku justru tidak suka
bicara denganmu! Apalagi membagi pengalaman!” kata Sabai Nan Rancak.
“Kalau begitu dengan berat
hati aku terpaksa pergi meminta diri. Namun sebelum pergi maukah kau mendengar
beberapa bait nyanyianku…?”
“Ah, rupanya kau adalah
seorang kakek pengamen. Maaf saja. Bicaramu saja suaramu tidak enak, apalagi
menyanyi!”
Si kakek botak tertawa lebar.
“Suaraku memang tidak sedap didengar. Jangankan manusia, tikus pun akan lari
mendengar suaraku. Tapi jangan suara yang jadi jaminan. Cobalah kau simak
bait-bait dalam nyanyianku. Mungkin bisa sedikit memberi kelegaan di lubuk
hatimu….”
Lalu tanpa perduli apakah
orang suka atau tidak si kakek dongakkan kepala memandang ke langit di atas
Lembah Merpati dan mulai melantunkan nyanyiannya.
Jauh berjalan banyak nan
dilihat
Lama hidup banyak nan dirasa
Salah jalan bisa tersesat
Salah hidup bisa celaka
Lama hidup banyak nan dirasa
Segala suka segala duka
Kalau duka berlebihan dari
suka
Pertanda diri akan binasa
Salah jalan bisa tersesat
Mengapa tidak kembali ke
pangkal jalan
Salah hidup bisa celaka
Mengapa tidak mencari letaknya
salah
“Tua bangka botak gila! Aku
tak suka mendengar nyanyianmu! Lekas menyingkir dari hadapanku!” membentak
Sabai Nan Rancak.
Tapi seolah tidak mendengar
ucapan orang, kakek botak terus saja menyanyi.
Kalau dendam membakar hati
Kalau dendam membakar pikiran
Kasih indah di masa muda
seolah api
Membakar asmara menjadi ajang
kematian
Apakah itu maunya manusia?
Kalau hati berselimut dendam
Kalau darah dibakar amarah
Lautan cinta menjadi padang
maut
Padang asmara menjadi neraka
kematian
Bisakah kesalahan ditumpahkan
pada hanya satu insan?
Tidakkah ada lagi kasih sayang
di hati manusia
Tidakkah ada lagi seberkas cahaya
kenangan indah
Tidakkah ada lagi kenangan
indahnya asmara di hati insan
Apakah hidup hanya dibatasi
garis bara api antara
yang benar dan yang salah
Antara yang sengsara dan yang
sesat
Kalau kematian memang sudah
menjadi niat
Kalau malaikat maut memang
sudah terpanggil
Lalu manusia bertindak sebagai
pencabut nyawa diri
sendiri dan nyawa orang lain
Alangkah sedihnya nasib dunia
Tangis dan air mata bukan lagi
penyejuk hati
Ratap minta pengampunan bukan
lagi pelebur amarah
Desah kesedihan tidak lagi
dorongan untuk menanyai diri sendiri
Manusia hanya bisa melihat
jauh pada diri orang lain
Seolah tidak mampu melihat
dekat pada diri sendiri
Manusia ingin melihat
kegelapan
Padahal dalam dirinya ada
cahaya terang
Mengkaji lubuk hati
Sama hikmahnya dengan
menyingkap rahasia diri
Datanglah dendam, Datanglah
salah sangka
Datanglah maut, Datanglah
kematian
Dekap tubuh tua penuh dosa
erat-erat dalam
pelukanmu yang paling ganas
Kematian datangnya hanya
sekejap
Sengsara tetap berbekas sampai
kiamat
Apakah manusia lupa bahwa
Tuhan selalu membuka pintu tobat?
Orang tua berkepala botak itu
batuk-batuk beberapa kali. Dia seperti tercekik.
“Ah suaraku memang tidak sedap
didengar! Aku jadi malu sendiri! Maafkan kelakuanku yang tidak mengenakkan. Aku
minta diri….” Kakek ini membungkuk lalu putar tubuhnya.
“Tunggu!” seru Sabai Nan
Rancak. Sepasang matanya memperhatikan orang di hadapannya mulai dari kepala
sampai ke kaki.
“Siapa kau sebenarnya…?” tanya
si nenek.
“Kau tak suka padaku. Perlu
apa tahu namaku…?”
“Nyanyianmu itu…. Apa maksudmu
dengan nyanyian tadi?”
“Ah, nyanyian hanya sekedar
paduan kata-kata yang dikeluarkan secara berirama. Kalau suaraku tidak sedap
harap maafkan. Kalau aku hanya mengganggumu harap maafkan. Kalau bait-bait
dalam nyanyianku menyinggung perasaanmu aku juga minta maaf beribu maaf.”
“Tidak bisa! Aku ingin tanya!
Tahu apa kau tentang diriku?!”
“Seperti katamu bukankah kita
sebelumnya tidak saling kenal? Jadi apa yang bisa kukatakan tentang dirimu?
Sekali lagi harap maafkan diriku!”
Kakek botak itu kembali
membungkuk. Lalu berkelebat ke arah lembah sebelah barat.
Sabai Nan Rancak tegak
termangu-mangu. Dari mulutnya meluncur kata-kata. “Suaranya tidak sama.
Wajahnya tidak serupa. Tapi mengapa hatiku menaruh syak wasangka…? Ah sudahlah!
Lebih baik aku juga pergi dari sini! Tapi aku mau pergi ke mana…?”
Sabai Nan Rancak memandang
berkeliling. Saat itu hanya berada seorang diri di Lembah Merpati yang sunyi
dia merasa betapa sepi dan terpencilnya dirinya di dunia ini. Tak terasa air
mata meluncur jatuh ke atas pipinya yang keriput. Tiba-tiba saja si nenek
teringat pada cucunya. “Puti Andini… di mana kau berada Nak….” Si nenek
memandang lagi berkeliling. Dia menarik nafas berulang kali. “Aku harus mencari
cucuku itu….”
TAMAT