-------------------------------
----------------------------
018 Pendekar Pedang Akhirat
1
Mungkin ini adalah malam yang
paling mengerikan bagi Wiro Sableng selama dia menginjakkan kaki dalam rimba
persilatan Tiongkok. Segala sesuatunya gelap, hitam memekat. Hujan turun dengan
lebat, angin bertiup dingin mengeluarkan suara aneh tiada hentinya.
Sekalisekali guntur menggeledek dan di kejauhan terkadang terdengar suara
lolongan liar serigala hutan.
Dalam keadaan basah kuyup Wiro
berusaha mencari perlindungan. Saat itu dia berada di lereng sebuah bukit gundul,
sekitar 100 lie dari tembok besar.
"Hujan gila!" memaki
Wiro. Dia lari terus. Dalam kepekatan itu di kejauhan dilihatnya satu bayangan
hitam sebuah bangunan. Dia tak dapat memastikan bangunan apa adanya itu, namun
Wiro segera menuju ke sana. Sesaat kemudian, bila dia sampai ke tempat tersebut
ternyata klenteng yang sudah tidak terpakai lagi, Wiro mendekam di bawah atap
klenteng yang miring. Hawa
dingin baginya bukan apa-apa
tetapi perut yang kosong keroncongan betul-betul merupakan siksaan.
Sekilas kilat menyambar. Bumi
sekejapan terang lalu gelap lagi. Ketika sekali lagi kilat berkiblat tibatiba
sepasang mata Wiro yang tajam melihat sebuah batu empat persegi yang tebalnya
hampir tiga jengkal, lebar dua meter dan panjang tiga meter. Batu ini menutupi hampir
separuh dari bagian depan klenteng itu.
Meskipun dia tak mengerti
mengapa batu itu sampai berada di tempat tersebut, dan kelihatannya di sana,
semula Wiro tak mau ambil perduli. Namun ketika sekali lagi pula kilat
menyambar menerangi tempat itu. Tepat di atas batu besar itu menggeletak sebuah
tengkorak kepala manusia. Sepasang matanya yang merupakan dua buah lobang
besar, memandang menyorot mengerikan pada Wiro sedang mulutnya seolah-olah
melontarkan seringai maut ke arah pendekar ini. Pada batu besar itu, tepat di
bawah tengkorak tadi, terdapat tulisan yang agaknya dibuat dengan darah
berbunyi: Liang Se-thian (Liang Akhirat).
"Gila betul! Apa-apaan
ini?" membatin Wiro. Meskipun bulu kuduknya agak merinding juga, namun dia
melangkah maju mendekati batu besar itu.
Tangannya diulurkan menjamah
tengkorak. Batok tulang kepala itu terasa dingin. Jari-jari tangan Wiro Sableng
bergetar. Wiro garuk-garuk kepala dengan tangan kiri. Tangan kanannya kemudian
mengangkat tengkorak tersebut. Maksudnya hendak ditelitinya. Namun mendadak
sontak kelihatan dua larik sinar hijau yang busuk membersit dari sepasang
rongga mata yang seram dari tengkorak, menyambar ke muka Wiro. Dari warna dan
baunya sinar tersebut Wiro serta merta dapat memastikan bahwa sinar ini mengandung
semacam racun yang amat jahat. Sebenarnya dengan memiliki Kapak Naga Geni 212
yang dapat memusnahkan segala macam racun itu, Wiro Sableng tak usah kawatir.
Akan tetapi saking kagetnya, pemuda ini secepat kilat meloncat sambil memaki
membantingkan tengkorak itu hingga hancur berkeping-keping.
Secara tak sengaja tengkorak
yang dibantingkan Wiro membentur sebuah tombol kecil yang terletak di saiah
satu sudut batu besar. Dan belum lagi pemuda ini habis kejutnya tiba-tiba pula
batu besar di hadapannya bergeser ke samping. Sebuah lobang gelap terbentang
dan dari lobang ini tiba-tiba sekali melesat sesosok bayangan disertai
mengumbarnya suara tertawa bekakakan yang amat dahsyat.
Angin kelebatan bayangan tadi
demikian hebatnya hingga membuat Pendekar 212 Wiro Sableng terhuyung-huyung ke
samping, Wiro cepat berpaling.
Sesosok tubuh yang berpakaian
compang camping kurus kering tiada beda dengan jerangkong hidup dan di bawah
rambutnya yang panjang awut-awutan terdapat wajahnya yang menyeramkan macam
iblis ganas. Dia masih terus mengumbar tertawanya yang seram menggetarkan itu.
Sedang sepasang matanya yang cekung memandang tidak berkedip pada Pendekar 212.
Wiro Sableng tetapkan hati
mengusir rasa ngeri dan berseru, "Siapa kau?! Manusia apa bangsa setan
pelayangan!"
Orang yang ditanya tidak
menjawab. Malah dia mendongak dan kembali menghamburkan suara tertawanya yang
lantang menyeramkan. Dia tertawa sepuas-puasnya. Dan bila tawanya itu berhenti
tibatiba dia membuka mulut.
‘"Tiga tahun dipendam
tidak membuat aku mati! Tiga tahun disekap tidak membuat aku mampus! Tiga tahun
dikubur tidak menjadikan aku modar! Betapa tingginya kekuasaan Thian!"
Wiro yang tak mengerti makna
kata-kata orang aneh itu jadi garuk-garuk kepala. Siapakah adanya manusia yang
ada di depannya itu, kalau dia memang manusia? Apakah dia telah terkurung atau
dipendam dalam liang batu itu selama tiga tahun? Tanpa makan dan minum tapi toh
bisa hidup." Hanya satu hal yang dapat dipastikan oleh Wiro yakni orang
bermuka hampir seperti muka tengkorak itu memiliki ilmu yang tinggi. Ini
terbukti dengan angin kelebatannya waktu keluar dari liang tadi, yang telah
membuat Wiro Sableng terhuyung!
"Budak! Kau
kemarilah!" Tiba-tiba orang itu berseru dan melambaikan tangannya ke arah
Wiro.
Aneh! Seolah-olah ada satu
kekuatan gaib yang menariknya, Wiro kemudian melangkah ke hadapan orang itu.
Dia memperhatikan pendekar kita dengan matanya yang cekung seram.
"Heh, kau orang asing?
Bukan orang sini! Tapi sudah, aku tak perduli! Katakan siapa namamu!"
Wiro sebutkan namanya.
"Locianpwe sendiri
siapakah kalau siauwte boleh tanya?"
"Saat ini kau belum layak
mengetahui siapa diriku. Tapi budak, ketahuilah. Kau telah menyelamatkanku.
"Ujarnya mengatakan. "hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa
mati. Membawa mati budi itulah yang aku tidak sudi. Karena kau telah selamatkan
jiwaku dari liang neraka keparat ini maka aku akan memberikan tiga jurus ilmu
pedang!"
Wiro Sableng jadi kaget.
"Locianpwe…"
katanya. "Aku tak merasa menolongmu, apalagi menyelamatkan jiwamu?"
"Tidak merasa…?"
Orang aneh bermuka dan bertubuh tengkorak itu kembali tertawa gelak-gelak.
"Kau telah menggeser batu besar itu hingga kini aku bebas. Tiga tahun
lamanya aku disekap di liang jadah ini! Kalau tidak ada kau mungkin sampai mati
aku akan mendekam terus di situ! Bukankah itu berarti kau telah menyelamatkan
diriku? Menolong jiwaku!?"
"Kurasa semua itu terjadi
dengan tidak Sengaja. Hari hujan dan aku tersesat kemari…."
"Sengaja atau tidak tapi
tetap kau adalah tuan penolongku, budak! Nah sekarang kau bersiap-siaplah untuk
menerima tiga jurus ilmu pedang dariku!"
"Aku tanya dulu,
Locianpwe!" memotong Wiro.
"Tanya apa?"
"Tiga tahun dipendam di
dalam liang batu ini, bagaimana Locianpwe masih bisa hidup?"
"Bukan cuma masih bisa
hidup, malah menambah ilmu kesaktianku."
"Ah, itu hebat sekali!
Tapi cobalah Locianpwe terangkan bagaimana hal itu bisa terjadi. Manusia biasa
tak bakal bisa terus hidup. Kecuali kalau Locianpwe ini sebangsa jin…!"
Sesaat orang tua bermuka
tengkorak itu mendelik dan mimiknya seperti hendak menelan Wiro bulat-bulat.
Tapi sesaat kemudian kembali suara tertawanya yang dahsyat terdengar.
"Terhadap orang yang
telah menolong jiwaku tiada beda seolah-olah aku telah meminjam nyawamu
sendiri. Karenanya apa pun yang kau bilang aku tak akan marah!"
"Ah, kau terlalu
berlebih-lebihan, Locianpwe…"
"Mungkin… mungkin.
Sekarang bersiaplah untuk menerima pelajaran ilmu dariku. Tapi…" Orang itu
sejenak berpikir-pikir.
"Sebelum pelajaran ilmu
pedang, sebaiknya lebih dulu kuberikan sepertiga iwekangku padamu!"
"Locianpwe, sebenarnya
untuk satu pertolongan yang tidak sengaja itu aku tidak meminta balas jasa
apa…."
"Perduli apa, toh aku
memberikannya dengan sukarela."
"Walaupun begitu aku
tetap tak layak menerimanya."
"Sudahlah, jangan banyak
mulut. Lekas duduk bersila dan hadapkan punggungmu padaku. Aku akan buka jalan
darah tay hwi hiat di bagian tubuhmu itu!"
Wiro tak bisa berbuat apa-apa
selain mengikuti dan duduk bersila. Si muka tengkorak kemudian berlutut di
belakang Wiro dan letakkan kedua telapak tangannya pada punggung pemuda ini.
Sesaat kemudian Wiro merasakan punggungnya menjadi hangat. Hawa hangat itu
terus mengalir menembus kulit dan daging di punggungnya, mengalir ke seluruh
pembuluh darahnya. Sekira seperempat jam kemudian dengan butiran-butiran
keringat di kening dan pakaiannya yang compang-camping basah kuyup, si orang
tua itu buka kedua matanya dan berdiri. Dia menghela nafas lega.
"Berdirilah!"
Ketika berdiri Wiro merasakan
betapa tubuhnya kini terasa amat mantap dan enteng. Sebagai seorang pendekar
sakti mandraguna sebelumnya Wiro Sableng telah memiliki iwekang (tenaga dalam)
yang amat tinggi. Ini ditambah pula dengan sepertiga bagian tenaga dalam baru
dari seorang sakti misterius itu, dengan sendirinya dapat dibayangkan bagaimana
hebat dan luar biasanya tenaga dalam yang sekarang dimiliki oleh Pendekar 212
Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu.
"Sekarang kau perhatikan
baik-baik. Aku akan mainkan tiga jurus ilmu pedang yang dahsyat. Sesudah itu
kau menirukannya."
Orang sakti aneh itu
rentangkan kedua kakinya. "Ini jurus pertama. Bernama Cip hian-jay-hong
(Tibatiba muncul pelangi). Perhatikan baik-baik!" Kemudian, "Jurus
kedua Lo han Ciang-yau (Malaikat Menundukkan Siluman)" Setelah itu,
"Dan ini jurus terakhir kunamai: Kui-gok-sin-ki atau Setan Meratap
Malaikat Menangis! Nah sekarang kumainkan sekali lagi satu persatu dan kau
menirukannya."
Wiro manggut-manggut sambil
garuk-garuk kepala dan sepasang matanya memperhatikan dengan teliti. Bila orang
tua tak dikenal ini selesai memainkan jurus pertama yang disebut
"Tiba-tiba Muncul Pelangi" maka Wiro pun menirukannya. Demikian
seterusnya.
Si orang tua tertawa lebar dan
usap-usap janggutnya yang panjang acak-acakan. "Budak, ternyata kau
memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan meskipun tampangmu tolol tapi otakmu
cerdas. Hanya dua kali melihat, kau sudah dapat menirukan masing-masing jurus
ilmu pedang tadi tanpa salah sedikitpun! Dan dalam gelapnya cuaca begini, kau
betul-betul hebatl Asal kau rajin melatih diri, pasti kau tak akan dapat
dirubuhkan oleh jago pedang dari negeri mana punl"
Wiro garuk-garuk kepala.
"Nah, untuk sementara
segala hutang budi kurasa sudah terbayar. Cuma hutang nyawa yang masih belum
impas. Di lain hari kelak aku akan datang membayarnya berikut bunganya. Selamat
tinggal budak…. "
"Locianpwe, tunggu!"
Wiro berseru cepat.
"Ada apa pula,
budak?!"
"Sudilah Locianpwe
mengatakan siapa adanya manusia jahat yang telah mencelakakan dan memendam
Locianpwe dalam liang batu itui"
"Memangnya kenapa,
budak?"
"Aku akan mencarinya guna
membalaskan sakit hati Locianpwe sebagai tanda terima kasih atas budi baik yang
Locianpwe berikan hari ini padakul"
Si orang tua tertawa
gelak-gelak. "Budak, ternyata kau seorang yang punya hati polos, budi
luhur dan tahu peradatan. Tapi ketahuilah, soal dendam kesumat dengan orang
yang telah menjebloskan diriku dalam liang akhirat ini biarlah tetap menjadi
urusanku dan tanggung jawabku!"
"Satu pertanyaan lagi,
Locianpwe," kata Wiro. Tapi astaga! Padahal kata-kata terakhir orang itu
masih ternigiang di telinga Wiro, tapi sosok tubuhnya sendiri sudah berkelebat
lenyap dari hadapannya. Tadi dia hendak menanyakan bagaimana selama tiga tahun
terpendam di liang batu itu si orang tua masih bisa hidup. Tapi yang hendak
ditanya sudah melesat pergi. Wiro melangkah mendekati lobang batu itu. Gelap.
Dia berlutut dan meluruskan tangannya meraba-raba. Aneh, dinding liang itu
dirasakannya basah dan berlapis semacam benda lembut. Ketika dikorek dan
diteliti ternyata adalah sejenis lumut yang dapat dimakan.
"Hemm…" menggumam
Wiro. Kini dia mengerti. Liang batu tersebut ditumbuhi oleh lumut dan lumut
inilah yang menjadi satu-satunya makanan yang menjadi pengisi perut orang
misterius tadi selama tiga tahun dipendam di situ!
Perlahan-lahan Wiro berdiri.
Di luar hujan telah mulai reda. Tiba-tiba sepasang telinga Wiro yang tajam
mendengar suara berdesir, di belakangnya lima pisau terbang menderu ke arah
lima bagian tubuh pendekar ini. Tahu bahaya mengancam secepat kilat Wiro
jatuhkan diri dan berguling ke sudut ruang ini. Lima pisau melabrak dinding,
sebuah menancap, empat lainnya jatuh berkerontangan di lantai.
"Pembokong pengecut! Coba
perlihatkan tampangmu!" teriak Wiro marah.
Dua sosok tubuh kemudian
melesat masuk ke ruangan itu.
***
Kapak Maut Naga Geni 2122
DUA orang yang barusan melesat
masuk itu bertampang garang dan seram. Rambut merah panjang awut-awutan, kumis
dan janggut berangasan. Mereka mengenakan jubah hitam. Pada leher masingmasing
tergantung sebuah kalung emas yang mata kalungnya merupakan kepala seekor
harimau tengah mengangakan mulutnya.
"Aku tidak kenal siapa
kalian! Sama sekali tidak ada permusuhan di antara kita. Kenapa kalian
menyerangku?" Wiro menghardik.
Kedua orang itu tidak
menjawab. Yang satu melangkah mendekati liang batu dan memandang tajam ke
dalam. Sesaat kemudian dia berpaling pada kawannya dan dengan paras berubah
kaget dia berseru, "Liang batu ini kosong!"
"Hah?!" sang kawan
tampaknya juga kaget sekali dan dengan satu gerakan kilat tahu-tahu sudah
berada di tepi lobang batu. Memandang ke bawah dilihatnya liang batu itu
benar-benar kosong.
"Pasti bangsat inilah
yang telah melepaskannya!"
Sesaat kedua orang itu
memandang melotot pada Wiro. Salah seorang dari mereka mendengus, dan buka
mulut, "Mengaku! Bukankah kau yang telah menggeser batu besar ini dan
melepaskan orang yang dipendam di dalamnya?!"
Wiro Sableng paling benci pada
manusia-manusia yang kasar dan galak serta memandang rendah orang lain seenak
perutnya. Apalagi barusan kedua orang tak dikenal itu telah membokongnya dengan
satu serangan maut. Maka pemuda ini pun menjawab.
"Datang dengan baik, berkata
dengan baik, bertanya dengan baik itulah peradatan dunia kangouw!"
"Kurang ajar! Budak hina
dina macammu ini hendak memberi kuliah pada kami? Apakah tidak melihat gunung
Thay-san di depan mata?!"
Sebenarnya Wiro telah jengkel
melihat dua manusia-manusia di hadapannya itu. Namun ditindasnya rasa jengkel
itu dan sebelum dia menghajar mereka, ingin terlebih dahulu hendak
dipermainkannya. Dia garuk-garuk kepala, mendelikkan mata dan kerenyitkan
kening lalu memandang berkeliling celingukan.
"Gunung Thay-san, katamu
heh! Aku tak mellihatnyal Kau tentu sudah keblinger sobat! Gunung Thay-san jauh
dari sini. Ribuan lie, mana aku bisa melihat? Apalagi malam gelap gulita
begini!"
"Bangsat gila! Berani kau
mempermainkan Siang-mo-kiam! Kepalamu menggelinding detik ini juga!"
Habis membentak begitu, tak
tahu kapan dia mencabut pedang, tiba-tiba saja sinar putih bertabur di depan
hidung Wiro Sableng. Untung saja pendekar ini waspada dan buru-buru menyurut
tiga langkah.
Kalau tidak niscaya lehernya
tersambar putus dan kepalanya benar-benar dibikin menggelinding oleh pedang
lawan.
"Siang mo-kiam? Sepasang
Pedang Iblis?! Hem, tampang kalian memang pantas disebut iblis kesiangan!"
Di hadapan Wiro kini kedua
orang berjubah hitam itu masing-masing telah mencekal sepasang pedang perak.
Keduanya berputar-putar mengelilingi Wiro. Tiba-tiba salah seorang dari mereka
berteriak nyaring dan detik itu juga empat bilah pedang berkiblat bersuitan
menggempur empat bagian tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng!
Wiro jadi terkesima. Memandang
berkeliling dia tak dapat lagi melihat kedua musuhnya. Di sekitarnya kini hanya
terlihat gulungan-gulungan sinar putih yang membuntal-buntal menyelubungi
dirinya. Tak satu jalan keluar pun tampak, sedang buntalan gulungan-gulungan
sinar pedang musuh detik demi detik semakin menyempit. Pakaian dan rambut Wiro
sampai berkibar-kibar oleh kerasnya deru angin sambaran empat pedang lawanl
"Hebat!" mengagumi
Wiro dalam hati. Seumur hidupnya baru hari itu dia melihat ilmu pedang yang
demikian luar biasanya.
Pendekar ini bersuit nyaring
dan lepaskan satu pukulan sakti. Segulung angin menerpa ke depan memapasi sinar
pedang yang bergulung-gulung.
Terdengar dua seruan tertahan
dan kedua penyerang merasakan tubuh mereka terdorong, pedang masing-masing
menyibak tak karuan. Mau tak mau keduanya cepat mundur. Namun serentak kemudian
mereka menyerang kembali. Dan kali ini permainan pedang mereka berubah amat
ganas hingga dalam waktu singkat terdengar "bret… bret…!" Dua bagian
pakaian putih Pendekar 212 kena dirobek!
Wiro menggerung marah. Dia
bersult nyaring dan lepaskan pukulan sakti bernama "Benteng Topan Melanda
Samudera". Dia cuma kerahkan sepertiga bagian tenaga dalamnya, tetapi
karena tadi sebelumnya dia telah menerima tambahan iwekang dari si orang tua misterius
maka kini daya kekuatan tenaga dalam itu hebatnya bukan main.
Siang-mo-kiam terpental hampir
setengah tombak.
Memikir sampai di situ maka
Wiro kerahkan ginkangnya yang tinggi dan berkelebat lenyap. Sebelum kedua musuh
tahu di mana dia berada tahu-tahu salah seorang dari mereka merasakan pedang di
tangan kirinya terbetot lepas! Dan di lain kejap bila dia memandang ke depan
dilihatnya Wiro telah berdiri dengan dua kaki terpentang dan pedang melintang
di depan dada!
Saking kagetnya, kedua orang
itu sesaat jadi kesima. Betapa tidak. Selama 20 tahun malang melintang dalam
dunia kangouw belum ada satu lawan pun yang mampu berbuat demikian terhadap
sepasang Pedang Iblis. Jangankan untuk merampas pedang, lolos dari kepungan
empat bilah senjata maut itu pun tiada yang sanggup. Hari ini Sepasang Pedang
Iblis atau Siang-mokiam betul-betul dibuat
mendelik mata masingmasing.
"Orang asing, siapakah
kau sebenarnya?!"
Wiro ganda tertawa.
"Kalian berlututlah minta
ampun di depanku, baru aku kasih tahu nama tuan besarmu ini!"
Wajah kedua orang itu tegang
membesi. Mata mereka laksana dikobari api, saking marahnya. Penghinaan begini
rupa tak pernah mereka terima sebelumnya.
"Anjing liar! Lekas
sebutkan namamul Siang-mokiam tak pernah membunuh musuh yang tak bernama!"
Kembali Wiro perdengarkan
suara tertawa. Kali ini bernada mengejek.
"Jika kau tidak mau kasih
tahu nama tidak apa. Berarti kau bakal mati dengan penasaran! Sekarang beri
tahu cepat ke mana perginya orang yang dipendam di dalam liang sini?!"
"Katakan dulu apa sangkut
paut kalian dengan dia?!" balik bertanya Wiro.
"Budak keparat ini
terlalu banyak bacot! Lebih bagus kita bereskan saja cepat-cepat dan bawa
kepalanya ke hadapan Dewi sebagai pertanggungan jawab!" Habis berkata
begitu salah seorang dari dua manusia berjubah itu mendahului menyerang, tapi
kawannya pun kemudian menyusul pula dalam satu gerakan kilat. Kini hanya tiga
pedang yang datang menggempur, tapi kehebatannya tetap tiada kepalang dan
sedikit saja Wiro lengah pastilah akan terkutung-kutung bagian tubuhnya!
Di lain pihak Wiro memang
sudah tunggu dan mengharapkan serangan ini. Tiga pedang bertaburan di depan
matanya. Dengan tenang Wiro mainkan jurus pertama ilmu pedang yang baru
diterimanya yakni "Cip-hian jay hong" atau "Tibatiba Muncul
Pelangi". Pedang perak di tangannya bersuit ke udara menimbulkan sinar
berkilauan hampir selebar satu tombak dan melengkung!
"Jurus Tiba-tiba Muncul
Pelangi!" salah seorang dari Siang-mo-kiam berseru kaget dan melompat
mundur.
Tapi "tring… tring!"
Pedang kedua orang mental
patah ke udara. Yang satu terhuyung sambil pegangi dadanya yang koyak besar.
Lalu tergelimpang mandi darah. Kawannya mengerang terduduk di pojok kiri
ruangan sambil pegang lengan kirinya yang buntung dan berkucuran darah!
Sesaat Wiro sendiri jadi
melotot, tak percaya akan apa yang dilihatnya. Dia barusan telah memainkan
jurus pertama dari ilmu pedang aneh yang dipelajarinya, bahkan jurus pertama
itu pun belum rampung keseluruhannya dan tahu-tahu kedua lawannya telah roboh
demikian rupa!
Melihat kawannya mati si jubah
hitam yang lengan kirinya buntung menggembor marah. Mukanya ganas sekali.
"Keparat! Ada hubungan
apa kau dengan Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun?!"
"Aku mana tahu segala
macam akhiratl Sebaiknya nanti saja kau lihat sendiri bagaimana keadaan di
akhirat itu!"
"Setan! Jika kau bukan
muridnya tua bangka Long-sam-kun itu tak nanti kau memiliki ilmu pedang itu!
Tapi jangan kira aku takut padamu! Hari ini aku mengadu jiwa denganmu! Nyawa
kawanku harus kau bayar dengan nyawa anjingmu!"
Orang itu melompat. Meskipun
lengannya luka parah, buntung dan masih mengucurkan darah serta cuma memegang
satu pedang di tangan kanan, namtjn masih saja serangan yang dilancarkannya itu
hebat berbahaya.
Wiro berkelebat ke samping dan
siap membalas kembali dengan ilmu pedang yang baru dikuasainya, namun
tiba-tiba serangan itu ditariknya kembali. Dia tak ingin musuh kedua ini
menemui kematian pula. Lebih penting bila dia bisa mendapatkan keterangan
mengapa mereka begitu bernafsu menginginkan jiwanya dan siapakah sebenarnya
Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun itu, apakah orang tua yang dipendam dalam
liang batu dan ditolongnya itu?
Pada saat tebasan pedang lawan
lewat, Wiro kirimkan satu serangan susupan ke arah iga musuh. Namun ini cuma
satu tipuan saja, karena begitu lawan berkelit dan hendak membacok ganas, Wiro
sudah selundupkan kaki kanannya. Tendangannya tepat menghantam pinggul orang
itu dan membuat musuh terpekik melintir dan pedangnya lepas dari genggaman.
Selagi dia terhuyung-huyung,
Wiro jambak rambutnya yang merah dengan tangan kiri.
"Katakan, siapa yang
menyuruhmu inginkan jiwaku?!"
"Tidak ada yang
menyuruhl"
"Keparat, jangan dusta!
Jika kau tak mau bicara…." Wiro Sableng pelintir kepala orang itu hingga
dia merintih kesakitan. "Kau masih ingin hidup?"
"Percuma saja. Kau sudah
bunuh kawanku.
Dan kalaupun aku hidup tiada
gunanya."
"Kenapa tiada guna?"
"Pemimpinku akan
menghukumku dengan kematian juga!"
"Hem… sekarang kau
nyerocos sendiri. Ayo katakan siapa pemimpin kalian!" sentak Wiro.
"Baik, aku akan bicara.
Tapi lepaskan dulu jambakanmul" jawab orang itu.
Wiro lalu lepaskan jambakannya
pada rambut musuh. Namun baru saja jambakan dilepaskan, tibatiba sekali, di
luar dugaan Wiro, orang itu angkat tangan kanannya dan "brak!" Dia
berjibaku.
Kepalanya dipukul sendiri
hingga rengkah! Nyawanya putus detik itu juga!
"Keparat, aku kena
ditipu! Manusla tolol! Diberi hidup inginkan mampus!"
Wiro bantingkan pedang perak
ke lantai. Setelah merenung sejenak dia mendekati mayat Siang-mokiam dan
menanggalkan kalung emas berkepala harimau itu dari leher keduanya.
***
Kapak Maut Naga Geni 2123
WIRO SABLENG Sableng lenggang
kangkung memasuki kota Khay-hong tanpa memperdulikan orang yang
memperhatikannya. Di hadapan sebuah kedai kecil dia berhenti. Masuk ke sana
didapatinya sudah ada beberapa orang tamu asyik makan bubur ayam dan meneguk
teh hangat. Wiro mengambil tempat duduk dan sebagaimana biasa pandangan mata
orang kemudian tertuju penuh perhatian padanya. Selesai mengisi perut Wiro
bermaksud untuk melanjutkan perjalanan. Dia ingin buru-buru mencari tahu siapa
adanya kedua orang berkalung emas yang semalam berniat membunuhnya di bekas
reruntuhan klenteng. Karenanya, setelah membayar harga makanan dan minuman,
segera dikeluarkannya kalung harimau emas dan diperlihatkannya pada pemilik
kedai.
"Lopek, mungkin kau
mengetahui sesuatu yang berhubungan dengan kalung ini…?"
Sesaat matanya melihat kalung
harimau emas yang digoyang-goyangkan Wiro di tangan kanannya, paras pemilik kedai
serta merta berubah pucat pasi. Tetamu lain yang juga ada di kedai itu
kelihatan menjadi ketakutan, beberapa di antaranya segera menyingkir.
"He…?" Wiro tentu
saja menjadi heran.
Di hadapannya pemilik kedai
jatuhkan diri berlutut dan menjura berulang kali.
"Mohon dimaafkan aku si
orang tolol ini yang tidak mengetahui gunung Thay-san di depan mata."
"Lagi-lagi gunung
Thay-san!" menggerutu Wiro di dalam hati.
"Ampunilah selembar
jiwaku yang tiada berharga ini karena aku sebelumnya tidak mengetahui kalau
tayhiap adalah anggota dari Hun-tiong Houw mo yang termasyur itu."
Habis berkata demikian pemilik
kedai itu lantas keruk sakunya, mengeluarkan beberapa tail perak yang barusan
diterimanya dari Wiro dan mengembalikannya pada pemuda itu seraya berkata,
"Harap tayhiap sudi menerimanya kembali. Untuk segala hidangan yang tak
seberapa itu masakan aku berani meminta bayaran pada tayhiap. Kehadiran tayhiap
di sini sesungguhnya satu kehormatan besar bagiku…."
"Eh, lopek. Jadi aku ini
tak usah membayar…?"
"Betul… betul…."
Wiro garuk-garuk kepala dan
memasukkan kembali beberapa tail perak itu ke dalam pakaiannya. Diam-diam dia
semakin heran.
"Jika sekiranya tayhiap
ingin anggur atau arak yang baik untuk di perjalanan, aku segera akan
menyediakannya…."
"Tak usah… tak
usah," kata Wiro pula seraya geleng-geleng kepala. Sebenarnya Wiro ingin
menanyakan apa yang dinamakan Hun-tiong Houw-mo (Siluman Harimau Dari Hun
Tiong) itu. Siapa pemimpinnya dan di mana letak markasnya. Di samping itu
apakah kalung harimau tersebut merupakan tanda bagi setiap anggota Hun-tiong
Houw-mo. Namun tentu saja saat ini dia menjadi kebingungan karena si pemilik
kedai telah menganggapnya sebagai salah seorang anggota dari Hun-tiong Houw-mo.
Tampaknya nama Hun-tiong Houw-mo begitu ditakuti di Khay-hong. Dan ini berarti
Hun-tiong Houwmo bukanlah sesuatu yang baik. Setelah merenung sejenak akhirnya
sambil garuk-garuk kepala Wiro putar tubuh dan tinggalkan kedai itu. Kalung
emas dimasukkannya kembali ke dalam pakaiannya.
Pada saat dia keluar dari
kedai, matahari telah mulai naik. Wiro memandang berkeliling di mans kira-kira
dia bisa mendapatkan keterangan tentang spa yang dinamakan Hun-tiong Hauw-mo
itu. Di ujung jalan sebelah kanan dilihatnya dua orang pemuda berjalan kaki ke
arahnya Wiro menunggu sampai kedua orang pemuda itu sampai ke dekatnya. Namun
tiba-tiba dari ujung lain sebelah kiri terdengar gemeletak roda gerobak yang
ditingkah oleh derap kaki-kaki kuda berisik sekali.
Wiro berpaling ke kiri! Sebuah
gerobak yang ditarik oleh dua ekor kuda besar lewat dengan cepatnya. Di sebelah
depan duduk dua orang lelaki bermuka bengis. Di bagian belakang yang terbuka
duduk pula dua lelaki yang juga bermuka ganas.
Masing-masing memanggul golok
besar pada punggungnya. Di atas gerobak terdapat sebuah peti mati berwarna
hitam.
Di belakang gerobak ini
mengikuti seorang lelaki separuh bays berpakaian ungu. Di balik pinggang
pakaiannya tersembul gagang sebilah senjata. Orang ini menunggang seekor kuda
coklat. Sebenarnya tak ada yang menarik perhatian Wiro atas lewatnya rombongan
pembawa peti mati ini, jika saja sepasang matanya yang tajam tidak melihat
seuntai kalung emas berkepala harimau yang tergantung pada leher penunggang
kuda coklat itu.
Wiro memandang berkeliling. Di
seberang jaIan sana dilihatnya tertambat seekor kuda putih di depan sebuah toko
kecil. Tanpa pikir panjang lagi Wiro segera lari ke seberang jalan, membuka
ikatan kuda pada tiang lalu melompat ke punggung binatang ini. Baru saja dia
menarik tali kekang kuda tibatiba dari toko keluarlah seorang dara berbaju
merah. Parasnya yang jelita serta merta berubah marah.
"Pencuri kuda kurang
ajar! Berhentilah jika tidak kepingin mampus!"
Namun mana Wiro mau perduli.
Menoleh pun tidak. Niatnya sudah bulat untuk mengejar rombongan pembawa peti
mati tadi dengan cepat.
Melihat teriakannya tidak
diacuhkan, dara baju merah tadi keruk saku pakaiannya dan sesaat kemudian dua
puluh jarum beracun berwarna hijau melesat menyebar, hampir tak kelihatan
saking cepatnya, menderu ke arah 20 jalan darah di tubuh Wiro Sableng.
Di antara kerasnya derap kaki
kuda putih yang sedang dipacunya itu, Wiro mendengar suara bersiuran di
belakang punggungnya yang disertal sambaran angin halus. Sebelumnya dia sudah
mendengar bentakan seorang perempuan. Semua itu sudah jelas menunjukkan bahwa
dia tengah diserang dengan piauw secara ganas.
Tingkat kepandaian murid Eyang
Sinto Gendeng yang tengah merantau di negeri orang itu seperti diketahui sudah
mencapal tingkat tinggi. Karenanya meskipun diserang dari belakang demikian
rupa, cukup tanpa menoleh dia lambaikan tangan melepas pukulan "Angin
Puyuh".
20 piauw beracun yang
dilemparkan dara berbaju merah serta merta mental dan luruh ke tanah. Sang dara
kaget bukan kepalang. Dia menggembor marah dan melompat sampai tiga tombak ke
depan untuk mengejar Wiro. Namun tentu saja dia tak dapat mengejar kuda besar
yang larinya cepat luar biasa itu. Baru saja dia membuat lompatan, Wiro dan
kuda putihnya sudah lenyap di balik tikungan jalan. Dara ini mengomel setengah
mati. Namun apakah yang bisa dibuatnya…?
Setelah menempuh jarak lebih
dari 80 lie, rombongan yang dibuntuti oleh Wiro Sableng berhenti di sebuah
telaga kecil. Sebenarnya Wiro sudah gatal untuk buru-buru turun tangan terhadap
rombongan tersebut. Pertama untuk menyelidiki apa sebenarnya rahasia yang ada
di balik kalung emas berkepala harimau itu. Apa dan siapa sebenarnya Hun-tiong
Hauw-mo itu dan di mana markasnya. Apa tujuan komplotan Siluman Harimau
tersebut jika memang dia merupakan satu komplotan. Lalu apa sangkut pautnya
dengan tua renta aneh yang secara tak sengaja telah ditolongnya ke luar dari
Hang akhirat malam tadi. Namun karena memikir mungkin sekali rombongan pembawa
peti mati itu tengah menuju ke markas Hun-tiong Hauw-mo maka Wiro mempersabar
diri dan terus melakukan penguntitan secara diam-diam.
Memperhatikan peti mati di
atas gerobak dari tempat persembunyiannya di balik semak-semak, Wiro jadi
berpikir-pikir kembali. Apakah peti mati itu kosong atau ada isinya? Jika
kosong apa gunanya dibawa demikian jauh. Kalaupun untuk penguburan jenazah,
adalah terlalu mencapaikan diri harus memesan peti mati dari tempat yang amat
jauh. Sebaliknya jika dalam peti mati itu memang ada jenazahnya, kenapa
rombongan membawanya dengan amat tergesa-gesa? Tidak lazim sama sekali mayat
diangkut begitu sembrono, di atas gerobak yang dipacu kencang terus menerus,
apalagi jalan demikian buruknya.
Sementara orang-orang dalam
rombongan itu beristirahat sambil meneguk arak, Wiro Sableng cuma bisa leletkan
lidah membasahi bibir.
Tak lama kemudian rombongan
itu dilihatnya bersiap-siap hendak berangkat kembali. Dan kembali pula Wiro
bersama kuda curiannya mengikuti orang-orang itu.
Beberapa jam kemudian di ufuk
barat sang surya telah mulai merosot ke titik tenggelamnya. Warnanya yang tadi
putih menyilaukan dan terik kini kelihatan menjadi redup kemerah-merahan. Pada
saat itulah rombongan pembawa peti mati memasuki kota Ci-bun. Mereka langsung
menuju sebuah hotel. Dua orang jongos keluar menyambut kedatangan mereka. Namun
keduanya serta merta tersurut langkah ke belakang dan pucat pasi wajah
masing-masing. Mata mereka mendelik memandang kalung kepala harimau yang
tergantung pada leher penunggang kuda berpakaian ungu. Seolah-olah kedua jongos
hotel ini telah melihat setan kepala sepuluh yang mengerikan!
Orang yang dipandang dengan
mimik ketakutan itu kelihatan menyeringai. Dia membuka mulut dan bicara dengan
nada keras. "Untuk malam ini semua kamar hotel kami sewa. Ini hadiah dua
tail perak untuk kalian. Tapi ingat! Awas jika kalian berani memberikan satu
kamar saja buat siapa pun!"
Habis berkata demikian lelaki
baju ungu lantas lemparkan dua tail perak pada kedua jongos. Meskipun tadi
ketakutan setengah mati, namun diberi uang dua jongos hotel itu ulurkan tangan
menyambut.
"Loya, apakah peti mati
ini perlu diturunkan juga?" salah seorang dari empat lelaki bertampang
bengis yang mengawal gerobak bermuatan peti mati bertanya begitu lelaki
berpakaian serba ungu loncat turun dari atas kuda.
Yang ditanya menjawab sambil
memandang sekeliling halaman hotel. "Gotong ke kamar tidurku. Kau dan tiga
kawanmu harus berjaga-jaga di luar kamar. Perjalanan kita masih cukup jauh dan
aku tidak ingin terjadi kesulitan mendadak."
"Perintahmu akan kami
jalankan, Loya. Dan kau tak usah kawatir soal keamanan peti mati itu. Serahkan
saja kepada kami Empat Golok Kematian…."
Orang itu kemudian putar tubuh
dan bersama tiga kawannya dia menggotong peti mati ke kamar yang disediakan
jongos hotel untuk lelaki berbaju ungu. Empat Golok Kematian adalah empat
perampok berkepandaian tinggi yang sering malang melintang di daerah barat.
Rata-rata memiliki tenaga dalam yang besar. Namun dari cara mereka mengangkat
peti mati tersebut kentara sekali bahwa peti tersebut amat berat. Apakah
sebenarnya isinya? Bahkan Empat Golok Kematian sendiri pun tidak mengetahui.
Mereka cuma dibayar untuk mengawal gerobak tersebut ke satu tempat yang mereka
tidak tahu. Sepanjang perjalanan antara mereka saling bisik-bisik menduga-duga
apa isi peti misterius tersebut. Hendak menanyakan pada lelaki baju ungu mereka
tidak berani. Mereka tahu betul salah-salah mulut dan tingkah bukan mustahil
nyawa mereka imbalannya. Meskipun mereka berjumlah lebih banyak dan rata-rata
berkepandaian tinggi, namun terhadap si baju ungu berkalung harimau itu mereka
laksana kelinci dengan singa!
Setelah peti mati dimasukkan
ke dalam kamarriya, lelaki berpakaian ungu lantas kunci pintu dan jendela
kamar, memeriksa keadaan tempat itu lalu duduk bersila di lantai. Di luar kamar
Empat Golok Kematian berjaga-jaga sedang di pintu halaman dua jongos hotel
tegak pula melakukan penjagaan.
Seekor kelelawar menggelepar
di puncak sebuah pohon, ketika dua jongos yang mengawal di pintu halaman hotel
melihat seorang penunggang kuda putih mendatangi. Acuh tak acuh orang ini
hendak masuk melewati pintu halaman begitu saja. Kedua jongos serta merta
menahannya.
"Bukankah bangunan di
dalam halaman ini sebuah rumah penginapan," penunggang kuda putih
bertanya. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu hari sudah gelap. Dua
jongos hotel tidak begitu jelas melihat wajah penunggang kuda putih. Namun dari
logat bicaranya kentara sekali kalau orang itu adalah orang asing.
"Betul dugaanmu cuwi.
Tapi harap dimaafkan. Jika kau bermaksud bermalam di sini ketahuilah semua
kamar hotel telah penuh."
"Penuh? Tak satu pun yang
ketinggalan?"
"Tak satu pun!"
"Tapi barusan kalau aku
tak salah lihat serombongan yang terdiri dari lima orang telah datang kemari.
Masakan untuk mereka berlima ada, untuk aku yang sendiri tidak ada!"
"Mereka… mereka memborong
semua kamar dalam hotel ini. Harap cuwi mau cari rumah penginapan yang
lain."
"Tubuhku letih, perutku
lapar. Aku perlu buru-buru istirahat. Harap kalian beri jalan!"
"Kami sudah bilang semua
kamar penuh. Harap cuwi mengerti dan jangan kelewat memaksa?"
"Aku bisa tidur di
dapur!"
"Itu tidak mungkin!"
"Kenapa tidak
mungkin?" sentak Wiro lantas gebrak kudanya dan menerobos masuk ke dalam
halaman. Kedua jongos hotel cepat memburu. Satu menahan tali kekang kuda putih,
satu lagi menarik ekor binatang itu.
Wiro jadi jengkel. Jelas sudah
ada apa-apa yang tak semestinya. "Kalian minta digebuk!" desis
pendekar ini lalu melompat turun dan hadiahkan masing-masing satu tamparan pada
kedua jongos tersebut.
Karena tamparan cukup keras,
kedua jongos itu melolong kesakitan dan rubuh ke tanah. Wiro putar tubuh untuk
melangkah ke pintu depan hotel. Baru maju dua tindak, sesosok bayangan hitam
berkelebat. Satu bentakan terdengar, "Bangsat rendah dari mana yang berani
mengacau di sini?!"
***
Kapak Maut Naga Geni 2124
BERPALING ke kiri Wiro Sableng
melihat seorang lelaki berpakaian hitam, bertubuh tegap dan punya tampang
garang, berdiri mencekal sebilah golok besar.
"Siapa kau?" sentak
orang ini yang bukan lain adalah seorang dari Empat Golok Kematian. Dia melirik
pada dua jongos hotel yang melingkar merintih-rintih di tanah.
"Ah, kau lebih sopan
sedikit dari dua kurcaci konyol in!," jawab Wiro pula.
"Aku datang ke mari untuk
menyewa kamar dan menginap."
"Semua kamar sudah penuh.
Kami memakalinya semua!" jawab orang itu.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Jika sudah tahu lekas
angkat kaki dari sini!"
"Yang aku belum
tahu…" kata Wiro pula anteng-anteng, "Kalian cuma berlima sedang
hotel ini punya hampir sepuluh kamar. Masakan penuh semua!"
"Rupanya kau perlu diajar
tahu dengan ini!" orang ketiga dari Empat Golok Kematian itu jadi naik
darah dan babatkan goloknya kepada Wiro Sableng. Senjata ini besar berat dan
menimbulkan suara bersiuran. Wiro segera maklum kalau manusia di hadapannya ini
tidak sama dengan jongos hotel tadi. Cepat dia meluncur mengelit. Ujung golok
lewat satu jengkal dari dadanya.
Melihat serangannya tidak
membawa hasil, orang itu menggembor marah dan membacok sebat. Tapi lagi-lagi
serangannya hanya mengenai tempat kosong.
"Bangsat, jika kau punya
kepandaian keluarkan senjata!" dia membentak.
Kemudian dia hanya mendengar
suara orang tertawa perlahan dan memandang ke depan, Wiro Sableng dilihatnya
tak ada lagi di tempat. Belum habis kagetnya tiba-tiba "duk!" Satu
jotosan menghantam punggungnya. Empat Golok kematian mengeluh dan tersungkur ke
depan. Dia coba mengimbangi tubuh tapi satu totokan membuat dia tak bisa
bergerak ataupun buka suara! Dalam hatinya orang ketiga dari Empat Golok
Kematian ini memaki dan penasaran setengah mati. Seumur hidupnya baru sekarang
dia dipecundangi lawan semuda itul Siapakah adanya pemuda asing yang lihay ini?
Wiro melangkah mendekati
bangunan hotel. Pintu depan tidak dikunci. Dia langsung melangkah masuk. Tapi
baru masuk dua tindak, tiga senjata dilihatnya berkelebat ke arahnya. Satu
menyambar ke dada, satu membabat ke muka dan satu lagi menusuk ke arah pintu.
Ganas sekali serangan tiga
senjata itu. Kalau saja Wiro tidak lekas melompat ke belakang niscaya tubuhnya
akan mandi darah dan nyawanya akan putus!
Baru saja Wiro menginjakkan
kaki di serambi depan hotel, tiga sosok tubuh masing-masing mencekal golok
telah mengurungnya. Melihat kepada tampang dan pakaian mereka Wiro segera
maklum kalau tiga manusia ini pastilah kambrat-kambrat yang satu tadi.
Saat itu bagian serambi depan
hotel tiada berpenerangan. Dalam suasana gelap begitu tiga orang tersebut
kembali menggempur Wiro. Serangan tiga golok mereka bukan sembarangan dan Wiro
harus berhati-hati.
"Aku heran, ke mana kawan
kita yang seorang," berbisik salah seorang Empat Golok Kematian pada teman
di sebelahnya.
"Jangan-jangan sudah
terjadi apa-apa atas dirinya."
Menduga sampai di situ ketiga
orang tersebut kemudian putar golok masing-masing dengan sebat. Sampai seat itu
Wiro masih mengandalkan tangan kosong dan ginkangnya. Namun serangan tiga golok
makin lama makin gencar dan kurungan ketiga lawan itu semakin rapat.
"Ilmu golok kalian hebat
sekalit Tahan dulu! Aku mau bicara." Wiro tiba-tiba berseru.
Tapi ketiga orang tersebut
tidak mau hentikan serangan. Mereka menduga kawan mereka yang seorang telah
celaka di tangan pemuda tak dikenal itu, karenanya mereka berkeputusan untuk
membunuh Wiro.
"Bagusnya kau sebutkan
siapa nama dan clarl mana kau datang agar kau tidak mampus penasaran,"
salah seorang dari Empat Golok Kematian berseru dan goloknya bersiut-siut
mengirim serangan yang tidak berkeputusan.
"Kalau mengandalkan
tangan kosong terus menerus aku bisa mati konyol!" kata Wiro dalam hati.
Sebaliknya untuk mengeluarkan kapak saktinya saat itu dirasanya masih belum
pada tempatnya. Karenanya ketika mengelakkan satu bacokan dan dua tusukan golok
ketiga lawannya, dengan menjambret, patah sebatang cabang pohon yang panjangnya
lebih dari satu meter dan besarnya selingkaran lengan.
Melihat lompatan yang barusan
dibuat oleh Wiro, yang demikian gesit serta ringan sekali, ketiga lawannya
diam-diam merasa kaget juga. Semakin jelas bagi mereka bahwa orang asing
berambut gondrong itu bukan manusia sembarangan. Namun sebagai jago-jago yang
memiliki ilmu silat tinggi serta pengalaman luas di dunia persilatan, tentu
saja mereka tidak merasa jerih. Sebaliknya tiga manusia ini kembali menyerbu
disertai dengan bentakan-bentakan dahsyat.
Semula Wiro Sableng akan
sambut tiga serangan itu dengan jurus "Kipas Saku Menerpa Hujan",
yakni salah satu jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari gurunya Eyang Sinto
Gendeng. Namun saat itu selintas pikiran timbul dalam benaknya. Waktu
menghadapi Siang-mo kiam tempo hari dia telah mengeluarkan jurus pertama dari
ilmu pedang yang diterima dari manusia aneh berjuluk Pendekar Pedang Akhirat.
Hasilnya luar biasa, membuat Siang-mo kiam atau Sepasang Pedang Iblis mandi
darah. Kini bukankah ada baiknya kalau dia mencoba pula jurus kedua dari ilmu
silat aneh tersebut? Yaitu jurus pedang yang disebut Lo han Ciang-yau atau
Malaikat Menundukkan Siluman.
Begitulah, sewaktu tiga golok
besar berkiblat untuk membantainya, Wiro lantas putar cabang di tangannya dalam
jurus ilmu pedang tadi. Tiga lawannya tiba-tiba melihat sesuatu menghitam di
depan mereka yang disertai dengan suara bersiur yang berat. Hanya sepasang
cabang kayu masakan sanggup menghadapi tiga golok besar, demikian ketiga orang
dari Empat Golok Kematian itu berpendapat serta memandang rendah lawan. Namun
apa yang terjadi kemudian betul-betul mereka tidak menduga.
Pertama sekali anggota Empat
Golok Kematian yang di ujung kanan terpelanting hampir satu tombak, melingkar
di tanah dengan kepala pecah kena hantaman cabang kayu di tangan Wiro. Dia mati
tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Empat Golok Kematian yang
berada di tengah masih sempat mengeluarkan suara keluhan pendek sewaktu dadanya
kena dihantam cabang kayu, lalu jatuh tergelimpang di tanah, megap-megap
seketika, mengeluh sekali lagi dan mati.
Yang ketiga masih untung
karena hanya tulang lengannya saja yang remuk dan goloknya mental ke atas.
Orang ini tanpa tunggu lebih lama segera putar badan dan ambil langkah seribu.
Sementara itu di dalam hotel
sewaktu terjadi keributan…
Lelaki separuh baya yang
berpakaian serba ungu dan berada dalam salah satu kamar hotel di mana Juga
terletak peti mati hitam, itu menjadi kaget ketika di luar didengarnya suara
ribut-ribut orang berkelahi. Setelah mengunci pintu dan jendela kamar itu serta
memadamkan lampu minyak, dengan satu gerakan yang lihay dia melompat ke atas
panglari. Dari sini dia membuka genteng kamar dan di lain saat dia sudah berada
di atas atap hotel.
Siapakah sebenarnya orang ini.
Dia bernama Tio Ki-pi, seorang tokoh silat dari propinsi Ciat kang yang dikenal
dengan julukan Thian-liong-pan atau si Ruyung Naga selama delapan tahun lebih
dia dikenal sebagai seorang pendekar gagah golongan putlh yang telah banyak
jasanya dalam menolong manusia-manusia lemah dan tertindas. Namun sejak
beberapa bulan belakangan ini Tio Ki-pi telah tersesat dan menempuh jalan
salah, ikut bersekutu dengan satu komplotan manusia jahat.
Di dalam gelapnya malam, dari
atas atap hotel, Tio Ki-pi dapat melihat tiga dari Empat Golok Kematian tengah
mengeroyok seorang tak dikenal tak berapa jauh dari situ menggeletak sesosok
tubuh yang tak dapat tidak pastilah anggota Empat Golok Kematian yang telah
kena dipreteli lawan. Di bagian lain dari halaman itu dua orang jongos hotel
tampak melingkar di tanah.
Segala sesuatunya kemudian
begitu cepat terjadi. Sehingga belum sempat Tio Ki-pi berbuat sesuatu,
berturut-turut terdengarlah suara bergedebukan, suara keluhan dan jeritan dua
dari Empat Golok Kematian, dilihatnya menggeletak di tanah sedang yang ketiga
lari pontang-panting sambil menjerit kesakitan.
Sepasang alis mata Tio Ki-pi
naik ke atas. Sesaat mukanya kelihatan tegang. Siapakah adanya orang di bawah
sana yang demikian lihay dan mengandalkan kepandaiannya untuk melakukan
pembunuhan begitu rupa? Sejenak jago silat dari Ciat kang ini berpikir.
Kemudian laksana seekor burung walet dia melayang turun dari atas atap hotel
dan menjejakkan kakinya ditanah tanpa menimbulkan suara barang sedikit pun.
"Orang asing dari manakah
yang telah menunjukkan keganasan di sini? Harap beritahukan nama dan
gelar!"
Wiro kaget dan cepat
berpaling. Jika sampal sepasang telinga tidak jelas menangkap kedatangan orang
ini jelas dia memiliki ilmu yang lihay.
"Ah, kiranya kau…!"
kata Wiro begitu dia melihat si baju ungu.
"Kau kenal aku?!"
Tio Ki-pi menghardik. "Cuma kenal tampang. Siapa kau adanya aku masih
belum tahu…" jawab Wiro sambil nyengir. "Manusia-manusia itu tiada
permusuhan dengan kau. Kenapa kau turun tangan sekejam itu?" Pendekar 212
garuk-garuk kepalanya lantas menjawab, "Mereka mencari urusan yang tak
karuan. Masakan aku mau menginap di hotel ini mereka bilang semua kamar penuh.
Brengsek! Lagi pula, kalau melihat tampang-tampangnya, yang dua ini serta yang
tadi lari itu tampaknya bukan manusia baik-baik."
"Mereka adalah Empat
Golok Kematian pembantu-pembantuku!"
"Pembantu-pembantumu…?
Ah!" Wiro gelenggeleng kepala.
"Orang asing. Dari
gerak-gerik cecongormu, aku yakin juga kau bukan manusia baik-baik.
Kedatanganmu kemari membawa satu maksud yang tersembunyi. Mengapa!"
Wiro tertawa. Kembali
tangannya menggarukgaruk kepalanya. "Kau betul. Jika aku boleh tanya,
apakah isi peti mati yang ada di dalam hotel itu hingga pembawaannya dikawal
ketat demikian rupa bahkan sampai-sampai dua manusia tolol itu mau pasrahkan
jiwa mereka?"
Tio Ki-pi berusaha melenyapkan
perubahan air muka kekagetan atas pertanyaan Wiro yang tidak diduganya itu.
"Oh, kiranya peti mati
itulah yang menjadi perhatianmu? Apakah itu menjadi urusanmu?!"
"Tentu saja bukan. Tapi
kalau semua itu ada sangkut pautnya dengan kalung emas kepala harimau yang kau
pakai maka itu lain pula ceritanya!"
"He, tahukah kau apa
artinya kalung kepala harimau ini?" tanya Tio Ki-pi seraya pegang kalung
yang tergantung di lehernya.
Dari balik pakaiannya, Wiro
Sableng keluarkan salah satu kalung kepala harimau emas yang diambilnya dari
Siang mo Kiam. Seraya menimbang-nimbang benda itu dia berkata, "Kalungmu
tiada beda dengan kalungku. Bukankah begitu?"
Tio Ki-pi melengak kaget.
Sepasang matanya membeliak besar. "Apakah… apakah kau juga anggota
komplotan Hun-tiong Hauw-mo?"
"Kalau sudah tahu kenapa
masih bertanya?" jawab Wiro keren sambil mendongak ke langit.
Tio Ki-pi memandangi si rambut
gondrong ini dari kepala sampai ke kaki. Hatinya meragu melihat potongan Wiro.
Ditambah pula dengan keganasan yang dilakukannya terhadap Empat Golok Kematian.
Jika dia anggota Hun-tiong Houw-mo kenapa melabrak kawan sendiri? Tapi jika dia
bukan anggota komplotan itu di mana Tio Ki-pi merupakan pula salah seorang
anggotanya, mengapa pemuda itu bisa memiliki kalung emas kepala harimau
itu?"
"Sobat, jika kau orang
sendiri, kenapa membuat keonaran melakukan pembunuhan pada orang-orang yang
kubayar untuk mengawal kereta?" Tio Ki-pi ajukan pertanyaan.
"Kau tidak tahu orang
bagaimana sebenarnya Empat Golok iCematian," jawab Wiro, pula.
"Pimpinan telah menyuruhku secara diam-diam untuk mengikuti perjalananmu.
Ternyata Empat Golok Kematian mempunyai rencana busuk. Dia hendak membunuhmu
secara membokong kemudian melarikan apa yang terdapat dalam peti mati
itu!"
Tio Ki-pi seorang yang sudah
berpengalaman dan tak mau lekas percaya pada orang lain.
"Jika betul pimpinan kita
telah menyuruhmu, coba kau beri tahu dari mana kami berangkat dan ke mana
tujuan kami?"
"Soal itu kau tak perlu
memancingku. Sebaiknya kita masuk ke dalam dan istirahat. Besok pagi-pagi buta
harus sudah melanjutkan perjalanan."
Acuh tak acuh Wiro kemudian
melangkah menuju pintu hotel. Tapi Tio Ki-pi cepat memotong jalannya dan
menahan pada Wiro dengan tangan kiri. Cara Tio Ki-pi menahan gerakan Wiro
kelihatannya lembut perlahan saja namun memiliki tenaga yang sanggup menahan
dorongan 200 kati! Tahu kalau orang hendak menjajaki kepandaiannya, tak sungkan
Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan mendorongkan dadanya ke depan. Akibatnya Tio
Ki-pi terhuyung sampai tiga langkah ke belakang. Kagetnya jagoan dari Ciat kang
ini bukan kepalang. "Ah, tingkat tenaga dalamnya lebih tinggi
dariku," katanya membathin. Kemudian dia terbatuk-batuk beberapa kali.
"Sobat, ketahuilah tugas
yang diberikan oleh pimpinan padamu merupakan satu tugas yang berat dan penuh
tanggung jawab. Dunia persilatan penuh dengan orang-orang jahat dan penipu
licik. Karenanya jika kau betul anggota Hun-tiong Houw-mo harap kau sudi
mengucapkan sumpah perkumpulan kita!"
Menyadari kalau dia tak bakal
bisa mengucapkan segala macam sumpah komplotan tersebut maka Wiro tiba-tiba
berpura marah dan menghardik, "Rupanya kau tidak pandang sebelah mata
kepadaku? Berani kau menguji diriku?"
Diam-diam Tio Ki-pi yakin kini
kalau orang asing berambut gondrong di depannya itu bukanlah anggota Hun-tiong
Houw-mo karena setiap anggota jika bertemu tapi sebelumnya belum saling kenal,
diharuskan untuk menguji kebenaran keanggotaannya dengan mengucapkan sumpah
perkumpulan. Namun untuk bertindak gegabah pada orang yang disadarinya lebih
tinggi kepandaiannya, Tio Ki-pi tentu saja tidak mau.
"Harap sicu maafkan. Aku
bukan memandang rendah terhadapmu. Semua ini adalah demi keselamatan dan
pengamanan tugas!"
Wiro kertakkan rahang.
"Menyingkirlah,"
perintahnya. "Kelak akan kumintakan pada pimpinan agar keanggotaanmu dalam
Hun-tiong Houw-mo dicabut dan atas kekurangajaranmu ini kau harus menerima
hukuman."
Tio Ki-pi tertawa bergelak.
"Manusia tolol, jangan
kira aku akan termakan oleh tipu busukmu! Kau bukan anggota Hun-tiong Houw-mo!
Selembar nyawamu tak mungkin kubiarkan terus petantang-petenteng!"
Habis berkata begitu Tio Ki-pi
yang bergelar Thian liong pian atau Ruyung Naga ini lantas menggembor. Kedua
lututnya menekuk. Tiba-tiba tangan kanannya dipukulkan ke depan. Satu larikan
besar angin panas menggebu ke arah Wiro Sableng.
Wiro membentak marah dan balas
hantamkan tangan kanannya ke muka, lepaskan pukulan sakti bernama,
"Benteng Topan Melanda Samudera" dengan mengandalkan sepertiga bagian
tenaga dalamnya.
Meskipun pukulan itu membuat
Tio Ki-pi mencelat hampir sejauh satu setengah tombak namun Wiro sendiri
terhuyung-huyung. Tubuhnya laksana terpanggang hingga dia buru-buru harus
melompat selamatkan diri.
Tio Ki-pi bukan alang kepalang
kagetnya. Barusan dia telah melepaskan pukulan saktinya yang terhebat dan
bernama Ngo-lu gui san atau Lima Petir Membelah Gunung dengan mengerahkan tiga
perempat tenaga dalamnya. Selama ini boleh dikatakan tak seorang lawan pun
sanggup bertahan terhadap pukulan sakti itu. Namun nyatanya musuh di hadapannya
itu masih sanggup selamatkan diri!
Di lain pihak Wiro sendiri tak
urung tersentak kaget pula karena ketika memperhatikan pakaiannya, baju serta
celananya, kelihatan kehitam-hitaman. Hangus!
Kedua orang itu sesaat saling
baku pandang untuk kemudian sama-sama bergerak meneruskan baku hantam itu!
Dalam waktu singkat kedua
orang itu telah bertempur enam jurus. Dalam gelapnya malam hanya bayang-bayang
pakaian mereka saja yang kelihatan. Salah seorang dari Empat Golok Kematian
yang masih hidup yakni yang tadi ditotok oleh Wiro dan masih tertegun itu tidak
hentinya menaruh kekaguman, melupakan sendiri nasib dirinya yang tiada berdaya
saat itu.
Tingkat pengalaman dan ilmu
mengentengi tubuh dari Tio Ki-pi alias Thian liong-pian tak dapat disangsikan
lagi ketinggiannya. Gerakannya gesit enteng. Serangannya mematikan sedangkan
tiputipuannya betul-betul maut. Namun menghadapi Wiro Sableng dia betul dibuat
jadi gemas penasaran. Semua serangan dan tipu-tipuan lihaynya tidak menemui
sasaran, yang amat menjengkelkan ialah karena dilihatnya lawan menghadapinya
dengan sikap cengar-cengir mengejek.
Tio Ki-pi membentak nyaring.
Ilmu silatnya mendadak berubah dan tubuhnya kini hanya laksana angin yang
menyambar-nyambar kian kemari.
Diam-diam Wiro merasa kagum
juga melihat kehebatan si baju ungu anggota Hun-tiong Houw-mo ini. Serta merta
dia percepat pula gerakannya hingga kini mereka hanya laksana bayang-bayang
yang saling berkelebatan kian ke mari dan sebentar-sebentar lenyap dari
pemandangan karena saking cepatnya gerakan keduanya.
"Sobat jaga dadamu!"
Wiro berseru. Secepat kilat tangan kanannya memukul ke depan dalam gerakan yang
dinamakan "Kilat Menyambar Puncak Gunung".
Tentu saja Tio Ki-pi tidak mau
menerima pukulan tersebut mentah-mentah. Dengan membentak dahsyat jago silat
dari Ciatkang ini meningkatkan tubuh, pergunakan salah satu kakinya untuk
menjejak tanah sehingga dalam keadaan miring itu tubuhnya tersurut tiga langkah
ke belakang dan di lain kejap dia sudah maju pula sambil selusupkan satu
tendangan kilat ke perut lawan!
Jurus yang dilancarkan oleh
Tio Ki-pi tadi bernama Hek-hou-wat-sim atau Macan Hitam Menggerak Hati dan
merupakan salah satu jurus yang hebat dalam ilmu silatnya. Sekali tendangannya
mampir di perut lawan pastilah akan bobol serta merenggut nyawa. Namun yang
dihadapi Tio Ki-pi saat itu bukanlah lawan dari tingkatan kurcaci rendah tolol,
sekalipun bertampang goblok macam anak-anak!
Serangan kedua yang
dilancarkan Wiro disertai teriakan peringatan tadi tak lebih hanyalah sebuah
tipuan belaka. Begitu lawan bergerak mundur dan kembali menyerang, murid Eyang
Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini serta merta susulkan serangan berikutnya
yang bernama "Di balik Gunung Memukul Halilintar".
Ketika tendangannya melesat ke
depan, Tio Ki-pi mendadak kehilangan lawan, serangannya mengenai tempat kosong.
Kemudian sebelum dia berkesempatan mengetahui di mana Wiro berada tahu-tahu
satu hantaman keras sudah melabrak punggungnya dari belakang. Demikian kerasnya
hingga jago dari propinsi Ciatkang itu mencelat tiga tombak, terguling-guling
di tanah. Tapi hebatnya dia cepat kembali berdiri. Buru-buru Tio Ki-pi
mengambil sebutir pil. Setelah telan benda itu dan pejamkan mata serta atur
jalan darah dan pernapasan, Tio Ki-pi lantas rasakan tubuhnya segar kembali
meskipun dadanya agak sesak.
"Bangsat! Hari ini aku
mengadu jiwa denganmu!" Tio Ki-pi menggembor marah lantas keluarkan
senjata dari balik jubah ungunya. Senjata ini adalah sebuah ruyung berbentuk
kepala naga terbuat dari baja putih. Di beberapa bagian dihiasi dengan
duri-duri beracun. Sekali seseorang kena dihantam senjata yang beratnya hampir
lima puluh kati ini tak ampun lagi pasti akan mati dalam keadaan tubuh atau
kepala hancur! Dengan memiliki senjata inilah selama bertahun-tahun berkelana
di dunia persilatan Tio Ki-pi sampai mendapat julukan si Ruyung Naga (Thian
liong pian). Meskipun malam gelap pekat namun ruyung baja putih kelihatan
berkilat di tangan Tio Ki-pi.
Sesaat Tio Ki-pi melontarkan
pandangan bengis pada lawannya. Lalu tanpa banyak bicara lagi orang ini
kiblatkan senjatanya.
"Wutt!"
Satu gelombang angin yang amat
deras menerpa Wiro Sableng ketika ruyung baja itu membabat di depannya.
Tubuhnya tergontai-gontai limbung.
Selagi dia berusaha mengimbangi
diri, secepat kilat ruyung kembali membabat, Wiro cepat menyingkir namun angin
yang keluar dari senjata lawan masih sanggup membuatnya terjajar dan tersandar
ke gerobak yang berada di halaman itu.
"Sekarang
mampuslah!" teriak Tio Ki-pi bernafsu dan susul dengan hantaman ruyung
untuk ketiga kalinya.
"Sialan, ganas dan hebat
sekali permainan ruyung kunyuk ini!" maki Wiro dalam hati. Dia jatuhkan
diri seraya mendorong dengan kedua tangannya ke arah dada serta perut lawan.
Hantaman ruyung baja mengenai gerobak
di belakang Wiro. Kendaraan ini hancur berkepingkeping. Sebaliknya Tio Ki-pi
akibat dorongan Wiro tadi terpelariting sampai tiga tombak. Dada dan perutnya
seperti dipilin. Tanpa memperdulikan rasa sakit dengan nekad dan kalap Tio
Ki-pi kembali menyerbu. Ruyung naganya bersiuran di udara berputar-putar
laksana titiran dan mengurung Wiro Sableng dari seluruh jurusan!
Diam-diam Wiro jadi mengeluh
dan keluarkan keringat dingin ketika setelah tiga jurus dia dikepung oleh
serangan ruyung lawan ternyata dia tak bisa keluar dari kepungan itu sekalipun
dia telah kerahkan ilmu mengentengi tubuh dan segala kegesitannya. Sebaliknya
kurungan sambaransambaran ruyung semakin ganas dan tambah rapat. Sekujur
tubuhnya laksana ditindih oleh dinding yang keras gerakannya makin lama makin
lamban!
Tio Ki-pi yang melihat
bagaimana lawan sudah tak berdaya tertawa panjang dan mengejek.
"Sekarang kau baru tahu
siapa adanya Tio Ki-pi yang berjuluk Thian liong pian ini!" Sekali dia
gerakkan tangan kanannya maka ruyung baja digenggamannya meluncur menghantam
deras ke arah batok kepala Wiro Sableng!
Tiba-tiba sekali satu sinar
putih kelihatan bertabur dibarengi dengan menderunya suara macam seribu tawon
mengamuk. Sekejap kemudian terdengar suara berdentang yang keras dan memerciknya
bunga api. Memperhatikan senjata mustikanya yang somplak, nyalinya kini
betul-betul menjadi lumer. Memandang ke depan dilihatnya lawan memegang sebilah
senjata berbentuk aneh dan baru sekali itu disaksikannya. Senjata itu bukan
lain adalah Kapak Naga Geni 212, yakni sebatang kapak bermata dua, gagangnya
terbuat dari gading dan memancarkan sinar kemilau menyilaukan!
Tio Ki-pi mengeluh, kenapa
dalam menjalankan tugas penuh tanggung jawab itu dia musti menemui lawan yang
begini tangguh. Untuk melanjutkan perkelahian berarti konyol sendiri. Tapi tak
mungkin pula baginya untuk kabur dari situ dengan meninggalkan peti mati yang
ada di dalam kamar hotel. Lelaki ini jadi bingung sendiri. Namun dalam
bingungnya masih ada sekelumit pikiran cerdik dalam otaknya.
Tio Ki-pi tiba-tiba menjura
dan sambil tersenyum dia berkata, "Hari ini benar-benar aku Tio Ki-pi
manusia tak berguna ini mendapat pelajaran dari seorang yang rupanya tokoh
persilatan berkepandaian tinggi. Aku menghaturkan hormat dan karena belum mengenal
siapa adanya tayhiap harap sudilah memberi tahu nama dan gelaran."
"Nama dan gelarku tak
perlu dipersoalkan. Yang jelas aku adalah anggota kepercayaan dari pimpinan
Hun-tiong Houw-mo…."
"Tadi pun tayhiap sudah
menerangkan…."
"Nah, kalau sudah tahu kenapa
masih banyak tanya?" sentak Wiro. Sepasang matanya mengawasi waspada
karena mungkin manusia di depannya itu akan melakukan serangan licik secara
tiba-tiba.
"Maksudku cuma akan
meminta petunjuk lebih lanjut dari tayhiap. Jika tayhiap betul-betul mendapat
tugas mendampingiku dari pimpinan perkumpulan, baiklah kita lupakan segala apa
yang barusan terjadi. Mari kita masuk ke hotel, untuk bicara lebih
lanjut."
"Kunyuk ini mulutnya jadi
begitu manis dan sikapnya jadi baik sekali. Aku harus hati-hati," membatin
Wiro. Dia tetap tegak di tempatnya.
Tio Ki-pi yang sudah maju dua
tindak berpaling, "Tunggu apa lagi? Apakah tayhiap tidak percaya padaku?
Bukankah jika tayhiap mau kau dapat membunuhku dengan mudah seperti membalikkan
telapak tangan saja?!"
Wiro merenung sejenak.
"Tadi tayhiap bilang
ingin mengetahui isi peti mati itu…" kata Tio Ki-pi pula.
Akhirnya setelah menyimpan
Kapak Naga Geni 212 di balik pinggangnya, Wiro melangkah juga mengikuti Tio
Ki-pi. Mereka memasuki hotel dari pintu depan. Tio Ki-pi membuka pintu
lebar-lebar, begitu sampai di dalam dia mempersilahkan Wiro masuk. Baru saja
Wiro berada di bawah pintu tiba-tiba Tio Ki-pi dengan cepat bantingkan daun
pintu keras-keras dan terus menekannya dengan tangan kiri hingga Wiro Sableng
tergencet antara ujung daun pintu dan tonggak pintu!
Wiro tahu bahaya apa yang
mengancamnya dalam keadaan begitu rupa. Lebih-lebih ketika dilihatnya Tio
Ki-pi menggerakkan tangan kanan mencabut ruyung bajanya. Meskipun senjata itu
sudah semplak, namun kalau sampai kena dihantam tetap saja Wiro akan menemui
kematian!
"Bangsat licik!"’
teriak Wiro marah sementara ruyung baja dilihatnya sudah tergenggam di tangan
lawan, Wiro kerahkan tenaga dalam dan segala kekuatannya untuk melepaskan diri
dari gencetan pintu. Tangan kirinya yang berada di sebelah dalam pintu tampak
memutih. Dia membentak garang dan hantamkan tangan kiri memapasi pukulan deras
ruyung naga lawan.
Pendekar 212 Wiro Sableng
ternyata telah lepaskan pukulan "Sinar Matahari" yang terkenal
kedahsyatannya itu.
Daun pintu dan tiangnya pecah
berantakan. Tio Ki-pi sendiri meraung kesakitan. Tubuhnya terpental dan
tersandar ke dinding ruangan depan hotel. Tangannya sebatas lengan hitam hangus
sedang ruyung bajanya menggelinding di lantai.
Senjata ini kelihatan merah
laksana digarang di atas api dan perlahan-lahan meleleh menghitam.
"Sekarang pergilah kau ke
akherat, anjing busuk!" sentak Wiro dan lepaskan lagi pukulan Sinar
Matahari. Namun dia kalah cepat. Sinar pukulannya hanya melabrak musnah dinding
ruangan sementara musuh dengan sebat telah lebih dulu melompat melabrak jendela
terus kabur dan lenyap di kegelapan malam, Wiro mengomel setengah mati dan
melompat hendak mengejar. Namun kemudian dia ingat akan peti mati yang tentunya
berada dalam satu kamar di hotel itu. Maka dia pun putar langkah dan mulai
memeriksa kamar demi kamar.
Di salah satu kamar di tingkat
bawah hotel akhirnya ditemukannya jugs peti mati itu, menghitam dan misterius
dalam kegelapan. Karena di situ dilihatnya ada lampu minyak maka Wiro segera
menyalakannya. Kamar itu kini menjadi terang. Wiro melangkah mendekati peti
mati hitam. Setelah meneliti benda itu beberapa lamanya maka dia mulai membuka
pasak-pasak sekeliling peti itu.
Setelah pasak ditanggalkan
masih ada enam buah sekerup yang harus dibuka. Untuk ini Wiro pergunakan kapak
saktinya mendongket sekerup tersebut.
Perlahan-lahan dan hati-hati
karena tak mus:ahil benda itu dipasang alat rahasia, di atas mula-mula
kelihatan tumpukan jerami kering. Hati-hati pula Wiro menyibakkan jerami ini.
Di bawah jerami tampak tumpukan batu-batu bata merah. Seluruh jerami
disibakkan. Diperiksa sampai ke dasar ternyata peti mati itu cuma batu bata
melulu, lain tidak!
"Sial dangkalan!
Apa-apaan ini," Wiro menggerutu sendirian. Dia betul-betul tak mengerti.
Dia melangkah memutari peti mati itu sambil tiada henti menggaruk-garuk kepala.
Kalau cuma sebuah peti mati yang berisi batu-batu bata melulu, apa perlunya
sampai dikawal oleh seorang tokoh silat seperti Tio Ki-pi dan Empat Golok
Kematian? Bahkan sampai dua dari mereka mau mengorbankan jiwa hanya karena peti
mati sialan itu? Wiro jadi tak habis pikir. Digeledahnya seluruh kamar itu
namun tak menemukan apa-apa yang bisa memberi petunjuk.
Tiba-tiba Wiro ingat pada
salah seorang dari Empat Golok Kematian yang masih tertotok kaku di luar sana.
Segera ditinggalkannya kamar itu. Tapi sampai di luar ternyata manusia yang
satu ini sudah lenyap. Kembali Wiro menggerutu seorang diri.
"Kalau tidak si Tio Ki-pi
itu, pasti kawannya yang satu yang telah melepaskan totokannya lalu kabur
sama-sama!" Wiro menduga dalam hati. Akhirnya dalam bingungnya pendekar
ini melompat ke atas kuda putih yang dicurinya dari depan sebuah toko di kota
Khay-hong lalu tinggalkan tempat tersebut.
Kira-kira sejauh 20 lie memacu
kuda putih itu, sepasang telinga tajam Pendekar 212 lapat-lapat menangkap suara
beradunya senjata. Dihentikannya kudanya dan setelah memastikan dari arah mana
datangnya suara itu, Wiro turun dari kuda dan lari menuju sumber suara. Suara
beradunya senjata kini diiringi pula dengan suara gelak tertawa dua orang
lelaki yang ditimpali pula oleh suara bentakanbentakan marah seorang
perempuan.
"Manusia-manusia bangsat
hina dina. Kalian harus bayar kekurangajaran kalian dengan nyawa masing-masing!
Mampuslah!"
Terdengar suara robekannya
kain yang disusul oleh pekik perempuan. Wiro terjang semak belukar di depannya.
Begitu sampai di balik semak-semak diiihatnya dua orang teiaki tengah
mengeroyok se-orang dara berpakaian merah. Salah seorang dari lelaki itu, yang
bersenjatakan golok besar dengan kelihayannya pergunakan ujung senjatanya untuk
merobek-robek pakaian sang gadis hingga tubuhnya yang berkulit putih halus
kelihatan tersingkap di mana-mana. Leiaki bergolok besar itu bukan lain adalah
orang kedua dari Empat Golok Kematian yang sebelumnya telah ditotok oleh Wiro.
Sedang lelaki yang satu lagi bukan lain adalah Tio Ki-pi alias Thian liong
pian!
"Ha… ha! Tiada disangka
malam-malam buta begini setelah ditimpa nasib sial tahu-tahu dapat rejeki
begini besar," kata Empat Golok Kematian penuh nafsu sedang Tio Ki-pi
terus mendesak dengan tangan kirinya tiada henti menjamahi dada dan bagian
bawah perut sang dara baju merah yang berada dalam keadaan tak berdaya itu.
Lelaki ini sama sekali tidak mempergunakan tangan kanannya karena ternyata
tangan kanan itu sampai sebatas siku telah buntung dan ini menimbulkan tanda
tanya dalam hati Wiro, apakah yang telah dilakukan manusia tersebut?
"Bangsatl Kalau tidak
dapat mencincang tubuhmu lebih baik aku bunuh diri," sang dara baju merah
membentak marah ketika lagi-lagi tangan kiri Tio Ki-pi menjamah bagian bawah
perutnya secara kurang ajar, sedang Tio Ki-pi dan Empat Golok Kematian sendiri
cuma ganda tertawa.
"Malam-malam buta begini
apa pula yang terjadi di tempat ini?!" pikir Wiro.
Gadis jelita berpakaian merah
itu putar pedangnya dengan sebat. Namun sesaat kemudian… "trang!"
Golok besar orang kedua dari Empat Golok Kematian berhasil memukul mental
pedang si nona. Dan saat itu juga kedua lelaki itu bersirebut cepat menubruk tubuh
yang molek itu dengan penuh nafsu.
"Manusia-manusia haram
jadah ini memang sudah saatnya diberi petunjuk jalan ke neraka!" kertak
Wiro Sableng dengan marah. Didahului oleh satu bentakan keras dia berkelebat ke
depan.
***
Kapak Maut Naga Geni 2125
SEBELUM menuturkan jalannya
perkelahian antara Wiro dengan Tio Ki-pi serta anggota Empat Golok Kematian
yang hendak melampiaskan nafsu bejat terhadap gadis berpakaian merah, marilah
kita ikuti dulu bagaimana kedua manusia brengsek itu sampai berada di tempat
tersebut dan secara berbarengan mengeroyok sang dara.
Sehabis terkena pukulan
"Sinar Matahari" yang dahsyat dari Wiro Sableng.
Tio Ki-pi lantas kabur dari
hotel. Begitu sampai di halaman luar dilihatnya orang kedua dari Empat Golok
Kematian tegak seperti patung di bawah sebatang pohon. Sebagai orang yang sudah
berpengalaman Tio Ki-pi tahu apa yang terjadi dengan orang bayarannya itu.
Segera dilepaskan totokan yang mempengaruhi Empat Golok Kematian lantas
melanjutkan melarikan diri.
Bagi Empat Golok Kematian
begitu bebas darI totokan tak ada hal lain yang dilakukannya dari pada ikut
kabur menyusul Tio Ki-pi.
Kira-kira lari sejauh sepuluh
lie, Tio Ki-pi berhenti, nafasnya mengengah-engah. Pemandangannya berkunang.
Dia berpegangan pada pohon supaya tidak jatuh.
"Ada apa?" tanya
Empat Golok Kematian seraya memegang pundak Tio Ki-pi. Begitu telapak tangannya
menyentuh pundak lelaki itu detik itu pula disentakkannya kembali saking
kagetnya.
Pundak Tio Ki-pi dirasakannya
laksana bara!
"Loya, tubuhmu panas
sekalil"
"Aku keracunan,"
desis Tio Ki-pi seraya mengangkat tangan kanannya yang hitam hangus akibat
keserempet pukulan "Sinar Matahari" sewaktu terjadi perkelahian
dengan Wiro di hotel tadi. Perlahanlahan dia duduk bersila di tanah.
"Kelihatannya racun yang
amat berbahaya," berkata Empat Golok Kematian.
Tio Ki-pi tidak menyahut.
Setelah menelan beberapa butir pil penolak dan pemusnah racun, jago silat dari
Ciatkang ini meramkan mata, atur jalan darah serta alirkan tenaga dalamnya ke
tangan kanan. Beberapa menit berlalu. Tubuh dan wajah Tio Ki-pi telah basah
oleh keringat. Namun hawa panas pada tubuhnya tidak berkurang. Pucat pasilah
kini wajah anggota Hun-tiong Houw-mo ini.
"Tak ada jalan
lain," desisnya seraya membuka kedua mata dan menotok jalan darah pada
bahu kanannya di empat bagian. Kemudian dia berpaling pada Empat Golok Kematian
dan berkata, "Pinjamkan aku golokmu."
Empat Golok Kematian maklum
apa yang hendak dilakukan Tio Ki-pi. Memang cuma itulah satusatunya jalan
untuk menyelamatkan nyawa. Goloknya dicabut dari sarung dan diserahkan pada Tio
Kipi. Dengan menggigit bibir, Tio Ki-pi lantas tebaskan senjata itu ke tangan
kanannya. Sekali tebas saja putuslah lengan kanannya yang keracunan pukulan
sakti Wiro Sableng itu. Darah mengucur kemudian berhenti.
"Apa yang kita lakukan
sekarang, Loya?" bertanya Empat Golok Kematian setelah beberapa lama
berdiam diri.
Tio Ki-pi sendiri sebenarnya
juga tidak tahu apa yang akan diperbuatnya saat itu. Untuk pergi ke markas
Hun-tiong Houw-mo dan melapor apa yang telah terjadi pada pimpinan perkumpulan
itu sama saja dengan mengantarkan nyawa. Sebaliknya untuk kembali ke hotel dan
menyelamatkan isi peti dia tidak pula punya nyali karena sudah barang tentu
Wiro masih ada di sana.
Tiba-tiba Tio Ki-pi ingat pada
seorang kenalan baiknya yang berdiam kira-kira 10 lie dari tempat itu. Sang
kenalan adalah salah seorang anak murid Kun lun pay yang kini hidup sebagai
guru silat di Siu Kan. Dengan meminta bantuan tokoh tersebut beserta lusinan
anak muridnya masakan dia tidak dapat menghajar Wiro dan sekaligus
menyelamatkan peti mati tersebut. Memikir sampai di situ Tio Ki-pi mendapat
semangat dan harapan besar. Dia segera berdiri.
Saat itu orang kedua dari
Empat Golok Kematian berkata, "Loya, jika memang segala sesuatunya sudah
dianggap selesai maka kuharap aku dapat menerima bayaran sebagaimana yang sudah
ditetapkan. Aku tidak meminta semuanya, setengah pun jadilah."
Tio Ki-pi melotot dan
membentak, "Saat ini bukan tempatnya untuk bicarakan soal uang! Masih
hidup sudah lebih dari untung! Ayo kau ikut aku ke Siu Kan!"
Sebenarnya orang kedua Empat
Golok Kematian ini sudah tak punya minat lagi untuk berurusan dengan Tio Ki-pi.
Apalagi mengingat dua saudaranya sudah mati sedang yang satu lagi kabur entah
ke mana. Namun untuk bentrokan dengan Tio Ki-pi sekalipun manusia ini telah
cacat, Empat Golok Kematian musti pikir dua kali. Dalam pada itu Tio Ki-pi
kembali membentak dengan kata-kata, "Apakah kau tidak ingin membalaskan
sakit hati kematian dua saudaramu?!"
Tanpa menunggu jawaban orang
di hadapannya itu karena dia tahu bahwa Empat Golok Kematian akan mengikutinya
Tio Ki-pi berkelebat meninggalkan tempat tersebut. Udara malam terasa dingin.
Kegelapan semakin memekat. Kedua orang tersebut laksana hantu yang gentayangan
di malam buta. Belum sampai menempuh jarak 10 lie, Tio Ki-pi yang
berpendengaran lebih tajam dari Empat Golok Kematian tiba-tiba hentikan lari,
lalu berlindung di balik sebuah pohon besar sambil memberi isyarat pada Empat
Golok Kematian.
"Ada apa?" bertanya
Empat Golok Kematian.
"Seseorang mendatangi
dari jurusan depan," sahut Tio Ki-pi seraya siapkan pukulan sakti di
tangan kanannya. Hati-hati. "Bukan tidak mungkin si rambut gondrong yang
di hotel itu!"
Beberapa detik menunggu
muncullah orang yang datang dari arah depan itu. Meskipun malam gelap namun
karena jarak mereka cukup dekat, baik Tio Ki-pi maupun Empat Golok Kematian
segera dapat mengenali bahwa orang yang ada di hadapan mereka adalah seorang
nona jelita berpakaian merah. Di balik punggungnya menyembul ujung gagang
pedang.
Melihat kenyataan bahwa yang
muncul adalah seorang gadis berparas cantik, Tio Ki-pi dan Empat Golok Kematian
jadi saling pandang dan saling maklum jalan pikiran serta perasaan
masing-masing.
"Di tempat sepi dan
malam-malam begini Loya. Siapa yang bakal tahu. Asal saja Loya tidak
menyerakahinya sendirian…" bisik Empat Golok Kematian.
Tio Ki-pi alias Thian
liong-pian menyeringai. Dia memberi isyrat lalu berseru, "Nonaku manis,
malam-malam begini tengah menuju ke manakah?"
"Bukankah akan lebih baik
jika aku ikut menemanimu?" menimpali Empat Golok Kematian.
Keduanya kemudian tertawa
gelak-gelak.
Sang nona, begitu mendengar
teguran kurang ajar tersebut bukan kepalang kagetnya. Tapi dia juga marah.
"Siapa kalian? Bangsa
hantu apa dedemit yang minta dihajar?"
Tio Ki-pi dan pembantunya
kembali tertawa gelak-gelak.
"Nonaku yang cantik,
jangan terlalu galak dan lekas marah. Kami berdua sudah barang tentu manusia
biasa seperti kau. Jika kau kepingin kenal maka aku adalah Hoa seng, orang
kedua dari Empat Golok Kematian. Sedang ini Loyaku bernama Tio Ki-pi bergelar
Thian liong pian…. "
Sang dara tidak pernah
mendengar nama Empat Golok Kematian dan juga Tio Ki-pi atau Thian liong pian.
Meskipun memiliki ilmu silat yang lumayan tingginya namun karena jarang
mengembara maka si nona kurang begitu kenal akan nama-nama tokoh silat dalam
dunia kangouw, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Dan karena
dia seorang yang bersifat berani bahkan kadang-kadang suka nekad, kembali dia
menghardik. "Tampaknya kalian bukan bangsa manusia baik-baik. Lekas
menyingkir jika tidak ingin merasakan gebukanku!"
"Ah… ah… ah! Kataku juga
jangan kelewat galak, nona. Coba perkenalkan dulu siapa kau adanya. Ke mana
tujuanmu. Nanti kami berdua pasti bersedia mengantarkan kau…" yang bicara
ini adalah Hoa seng orang kedua dari Empat Golok Kematian. Dan sehabis berkata
demikian enak saja tangan kanannya mencuil dagu sang dara. Tentu saja nona baju
merah ini bukan kepalang marahnya. Cepat laksana kilat tamparannya melayang
menghantam muka Hoa seng dan sesaat membuat laki-laki kurang ajar ini menjadi
berkunang-kunang pemandangannya.
"Seumur hidup baru kali
ini aku ditampar perempuan. Tapi tak apa. Lumayan juga oleh seorang nona cantik
macammu," kata Hoa seng pula sambil cengar-cengir, meringis dan tiba-tiba
dilompatinya dara baju merah itu, berusaha merangkulnya dengan bernafsu. Namun
saat itu juga si nona sudah menghantamkan tinjunya kepada Hoa seng, membuat
lelaki ini terjajar beberapa langkah ke belakang.
"Hati-hati, sobat. Dia
galak dan punya kepandaian silat yang bisa membuatmu konyol," kata Tio
Ki-pi menyeletuk dan tahu-tahu tangan kirinya sudah mampir menjamah dada sang
nona.
Kini gadis berbaju merah itu
jadi meluap amarahnya. "Sret!" Dia cabut pedang dan begitu senjata
ini keluar dari sarangnya, satu babatan dikirirrikannya ke batang leher tokoh
silat propinsi Ciat kang itu.
Serangan sang nona yang
demikian ganas pastilah akan membuat putus leher dan menggelindingnya kepala
Tio Ki-pi bilamana orang ini terlambat sedikit saja mengelak. Namun di mata Tio
Ki-pi, serangan ini hanya disambut dengan tawa mengejek. Sekali dia bergerak,
ujung pedang lewat dua jengkal di samping kepalanya!
Melihat serangannya gagal,
nona berbaju merah jadi semakin meluap amarahnya.
Tio Ki-pi jadi kaget dan
tersurut beberapa langkah. Tidak disangka kalau sang nona memiliki kepandaian
begitu rupa. Hendak disambutinya dengan pukulan sakti dia merasa bimbang karena
dia tak ingin mencelakai gadis kepada siapa dia ingin melampiaskan nafsu
bejatnya. Sesaat dia layani serangan lawan dengan bergerak gesit kian kemari
sambil sekali-sekali menyerang dengan tangan kosong. Namun agaknya sang nona
tak mau memberi kesempatan dan dengan cerdik dia sengaja mengirimkan
seranganserangan dari jurusan kanan sehingga Tio Ki-pi yang tangan kanannya
buntung menjadi cukup kewalahan. Lelaki ini segera berikan isyarat pada
Hoa-seng dan bekas anggota Empat Golok Kematian ini segera memasuki kalangan
pertempuran setelah lebih dulu cabut golok kanannya.
Betapa pun lihaynya ilmu
pedang yang dimainkan oleh gadis berpakaian merah namun dikeroyok dua begitu
rupa jurus demi jurus dia jadi terdesak. Bahkan kedua lawannya dengan seenaknya
mempermainkannya. Hoa seng pergunakan goloknya untuk merobek pakaian gadis itu
sedang Tio Ki-pi dengan kurang ajar tiada hentinya menjamahi bagian-bagian
tubuh tertentu dari si nona dan pada puncaknya Hoa seng berhasil memukul mental
pedang lawannya. Dalam keadaan tak bersenjata gadis itu tentu saja betul-betul
tak berdaya lagi. Kesempatan ini memang yang diharapkan oleh Tio Ki-pi serta
Hoa seng. Serta merta keduanya menubruk gadis itu, siap untuk melampiaskan
nafsu bejat masingmasing. Dan justru pada saat itu pula lah Wiro Sableng yang
sampai di tempat kejadian itu, Wiro kertakkan rahang.
"Bangsat rendah! Kalian
bedua memang layak mampus detik ini juga!"
Setelah membentak begitu rupa
secepat kilat dia menerjang ke depan.
Tio Ki-pi seorang lihay yang
berpendengaran tajam dan berotak cerdik. Dia laksana mendengar halilintar ketika
mengenal suara Wiro Sableng. Saat itu dia tengah berguling-guling di tanah
sambil merangkuli tubuh nona berpakaian merah. Meski nafsunya sudah meluap-luap
namun lebih penting cari selamat. Secepat kilat dia melompat satu jotosan
menyambar hanya beberapa milimeter saja clad kepalanya. Di lain ketika Tio
Ki-pi sudah merapat ke balik pohon besar. Wiro lepaskan satu pukulan sakti.
"Krak!" Pohon itu patah dan tumbang tapi Tio Ki-pi lenyap.
Lain halnya dengan Hoa seng.
Meskipun dia juga dikagetkan oleh suara bentakan Wiro namun dia bertindak agak
ayal. Baru saja dia putar kepala, mendadak sontak satu kepalan sudah menderu ke
arah mukanya. Hoa seng hanya sempat keluarkan seruan pendek karena sedetik
kemudian "prak!" Mukanya hancur, kepalanya rengkah. Otak dan darah
berhamburan! Tamatlah riwayat orang kedua dari Empat Golok Kematian ini.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia
amat penasaran karena untuk kedua kalinya Tio Ki-pi anggota komplotan Hun-tiong
Houw-mo yang misterius itu masih bisa melarikan diri. Dengan sebal dia balikkan
tubuh. Tapi baru saja memutar tubuh tahu-tahu ujung sebilah pedang sudah
menempel di tenggorokannya. Tentu saja pendekar kita jadi melengak kaget.
Memandang ke depan ternyata sang nona yang barusan ditolongnya itulah yang
telah menodongnya dengan ujung pedang tersebut!
"Heh, apa-apaan
ini…!" ujar Wiro membeliak. Tapi sekali ini dia bukan membeliak kaget
melainkan membeliak bergetar menyaksikan sepasang payudara sang nona yang putih
membuntal padat, bersembul di robekan-robekan bajunya!
***
Kapak Maut Naga Geni 2126
DARA berpakaian merah
melintangkan lengan kirinya di atas dada untuk menutupi auratnya yang terbuka
karena bajunya yang robek-robek besar.
"Pencuri! Jangan kira aku
akan minta terima kasih padamu karena kau telah menolong jiwa dan menyelamatkan
kehormatanku. Lekas katakan di mana si Putih!"
"Si Putih…? Si Putih
apamu?!"
"Setan! Jangan pura-pura
tolot! Si Putih kudaku! Kau telah mencurinya sewaktu kutambatkan di depart toko
di Khay-hong! Katakan cepat di mana binatang itu!"
"Ah…!" Wiro ingat
kini dan tertawa lebar.
"Jangan cengar-cengir tak
karuanl Kalau kuda kesayanganku sampai cedera sedikit saja, apalagi kau jual,
jangan harap nyawamu akan selamat! Di mana binatang itu?!"
"Sabar Nona, sabar.
Jangan terlalu galak. Mari kita bicara baik-baik."
"Dengan seorang maling
tengik macammu tak perlu bicara baik-baik?" jawab si nona dan ujung
pedangnya masih menempel pada kulit leher Wiro Sableng. Meskipun mengatakan
pemuda gondrong itu sebagai pencuri tengik namun sang dara sesungguhnya sudah
mengetahui kelihayan Wiro.
Pertama sewaktu dia menangkis
musnah serangan senjata rahasianya di kota Khay-hong tadi pagi. Kedua ketika
barusan dia menggebuk kepala Hoa seng hingga konyol hanya dalam sekejapan mata
saja! Di samping marah pada dasarnya dia agak jeri juga pada pemuda itu. Karena
itulah dia tak mau ambil risiko dan tetap menodong Wiro dengan ujung pedangnya.
"Aku memang mungkin
bangsa maling tengik, pencuri picisan," kata Wiro sambil senyum dan
garuk-garuk kepalanya. "Namun percayalah Nona, aku mencuri kudamu karena
terpaksa…."
"Jangan bicara panjang
lebar!" sentak sang dara.
Wiro ganda tertawa.
"Jika kau bunuh aku,
kudamu tak bakal ketemu lagi. Nah sekarang kau dengarlah dulu. Pertama aku pun
tidak butuh ucapan terima kasih darimu. Aku berada di sini bukan untuk
menolongmu, nona. Tapi karena memang mengejar dua bangsat itu, cuma sayang satu
masih bisa lolos…." Habis berkata begitu Wiro lantas keluarkan kalung emas
kepala harimau. "Coba kau perhatikan kalung ini. Tanda dari komplotan yang
menamakan diri Hun-tiong Houw-mo. Manusia yang barusan kabur adalah anggota
komplotan tersebut."
Nona di hadapan Wiro mendelik
kaget. "Aku tak percaya! Mungkin kau sendiri yang jadi anggota
perserikatan dajal itu!"
Wiro geleng-geleng kepala.
"Sudahlah, susah bicara denganmu. Jika kau cari kudamu, itu di sana di
belakang semak belukar…." tak perduli Wiro kemudian putar tubuhnya hendak
meninggalkan sang dara. Justru si nona bergerak cepat dan ajukan pertanyaan.
"Kau mau ke mana?!"
"Eh…?" Wiro garuk-garuk
kepala. "Aneh, kenapa kau tanya begitu?"
"Dengar! Komplotan
Hun-tiong Houw-mo telah membunuh kakak lelakiku…."
"Yang aku dengar,"
memotong Wiro. "… bukan hanya saudaramu saja yang jadi korban, tapi
banyak. Belasan gadis-gadis kabarnya diculik, entah untuk dijadikan apa. Apakah
kau kepingin diculik juga oleh komplotan itu!"
"Jangan bicara ngaco
belokl" sentak sang dara jengkel. "Kalau kau mau bekerja sama
denganku, aku tahu sedikit tentang komplotan itu…."
"Siapa sudi bekerjasama
dengan dara segalakmu? Lagi pula kau punya kepandaian apa?!" Wiro sengaja
mengejek hingga si Nona jadi penasaran banting-banting kaki. Tangan kanannya
bergerak dan putuslah dua kancing baju Wiro Sableng.
"Ah… boleh juga ilmu
pedangmu, Nona. Tapi aku sudah saksikan sendiri tadi. Menghadapi dua pengeroyok
itu kau tak mampu berbuat apa-apa. Sekarang kau mau pinjam tanganku untuk
membantumu menuntut balas kematian kakakmu pada komplotan Hun-tiong Houw-mo
karena kau sadar tak bakalan mampu melakukannya sendiri. Sungguh cerdik otakmu,
nona. Tapi tak usah ya…?!"
Dara itu gigit bibirnya.
Sepasang matanya berapi-api. Rahangnya menggembung. Tanpa bilang apaapa lagi
dia putar tubuh dan melompat ke balik semak-semak. Begitu dilihatnya kuda
putihnya segera saja dia menaiki binatang ini dan meninggalkan tempat itu
dengan cepat. Sampai suara rintik kaki kuda putih lenyap di kejauhan barulah
Wiro berlalu pula dari situ.
***
Larinya Tio Ki-pi setelah
lolos dari lubang jarum kematian untuk kedua kalinya dari tangan Pendekar 212
Wiro Sableng tak bedanya seperti orang lari dikejar setan kepala tujuh! Hampir
20 lie dia lari terus menerus tanpa memperdulikan ke mana arah tujuannya.
Pakaian ungunya robek-robek tersangkut semak-semak. Ketika nafasnya megap-megap
dan lidahnya terjulur keluar barulah lelaki ini hentikan larinya. Ternyata dia
berada di satu daerah berbukit-bukit yang penuh ditumbuhi pohon-pohon kapas.
Lapat-lapat didengarnya suara air yang jatuh memercik menimpa batu. Dia
melangkah tertatihtatih ke jurusan itu. Ditemuinya sebuah sungai dan air
terjun kecil. Tio Ki-pi mencelupkan muka dan kepalanya dalam air yang dingin
itu,
kemudian meneguk air sungai
sepuas hatinya. Tubuhnya dibaringkan di tebing sungai. Memandang ke langit dia
melihat susunan bintang-bintang yang menunjukkan bahwa tak lama lagi malam akan
digantikan dengan pagi. Karena terlalu letih Tio Ki-pi akhirnya tertidur pulas
berselimutkan udara malam yang dingin.
Tio Ki-pi terbangun oleh
silaunya sinar matahari pagi yang jatuh menimpa wajahnya. Sambil mengucak-ucak
mata dia duduk. Ketika hendak membasuh mukanya dengan air sungai tiba-tiba
kakinya menginjak sehelai kertas. Ternyata kertas itu bukan kertas biasa,
melainkan sepucuk surat yang ditujukan kepadanya.
Tio Ki-pi.
Hari ini juga kau harus segera
kembali ke markas.
Tertanda
Hun-tiong Houw-mo
Surat itu ditulis dengan tinta
merah dan tangan kiri Tio Ki-pi jelas kelihatan gemetaran memegangnya. Dia
tahu apa artinya kembali ke markas itu. Hukuman telah menunggunya yang bakal
dijatuhkan oleh pemimpin komplotan. Jika dia melarikan diri, akan sanggupkah
dia untuk melenyapkan diri selamalamanya? Tapi dari pada mengantar diri
mentah-mentah ke markas komplotan, lebih mending kabur. Jika dia sampai di satu
daerah yang ratusan lie jauhnya masakan ketua Hun-tiong Houw-mo dan anggota-anggotanya
akan tahu kalau dia berada di situ?!
Memikir demikian maka Tio
Ki-pi lekas-lekas cuci muka dan mulutnya lalu melanjutkan perjalanan menuju ke
timur, menjauhi markas Hun-tiong Houw-mo yang terletak di sebelah barat. Selama
dalam perjalanan itu Tio Ki-pi senantiasa merasa tak enak. Nalurinya mengatakan
bahwa ada seseorang yang terus menerus menguntitnya. Dia tak dapat memastikan
siapa, namun yang jelas sang penguntit bukanlah Wiro Sableng. Karena jika benar
Wiro pastilah pemuda itu siang-siang sudah melabraknya.
Kadang-kadang Tio Ki-pi
hentikan perjalanannya dan mengambil jalan memutardengan maksud hendak
mengetahui siapa adanya penguntit tersebut. Namun tak seorang pun dilihatnya.
Sekali-kali jika dia sedang berlari kencang, dia menoleh ke belakang. Tetap
saja dia tak menampak siapasiapa. Diamdiam jagoan dari propinsi Ciat kang ini
menjadi mengkirik juga. Dia baru merasa lega sedikit ketika memasuki sebuah
kota kecil. Karena perutnya lapar langsung saja dia masuk ke dalam sebuah
warung makanan. Tatkala pelayan datang menghidangkan pesanannya, sepasang mata
Tio Ki-pi membeliak menyaksikan segulung kertas yang menancap di atas tumpukan
nasi panas dalam mangkok.
Diambilnya gulungan kertas
itu. Begitu dibuka tampaklah serentetan tulisan yang berbunyi:
Tio Ki-pi.
Apa kau kira kau bisa
melarikan diri mencari selamat?!
Segera kembali ke markas atau
kau akan mati dengan tubuh tercincang detik ini juga!
Atas nama Ketua,
Hun-tiong Houw-mo
Tengkuk Tio Ki-pi dingin
laksana diguyur air es. Mukanya sepucat kertas.
"Siapa yang meletakkan
kertas itu di sini?" bertanya Tio Ki-pi pada pelayan yang membawa
hidangan.
Pelayan itu geleng-geleng
kepala. "Percayalah Loya, saya hampir tak melihat siapa-siapa pun yang
menancapkan kertas itu. Waktu dari dapur benda itu belum ada…."
Pastilah seorang lihay, amat
lihay yang telah melakukannya. Kalau tidak masakan si pelayan sampai tidak
mengetahui, demikian Tio Ki-pi membatin. Semakin gelisah dia. Dia memandang
seputar ruangan. Di sudut sana duduk seorang lelaki muda berpakaian petani. Di
bagian lain seorang kakek berkumis putih. Tak ada orang lain yang
mencurigakannya. Tak mungkin pula kedua orang itu yang telah menancapkan
gulungan surat dalam nasi.
Karena seleranya boleh
dikatakan saat itu sudah tak ada lagi untuk makan, Tio Ki-pi lantas berdiri.
Membayar harga makanan dan keluar dari warung. Di depan warung dia memandang
berkeliling. Segala sesuatunya kelihatan biasa dan tenang-tenang saja. Lelaki
ini mengeluh dalam hati.
"Tak ada jalan lain.
Terpaksa kembali ke markas. Mudah-mudahan saja ketua mau memberi ampun…."
Maka Tio Ki-pi kembali
melanjutkan perjalanan. Kali ini menuju ke sebelah barat, ke jurusan di mana
terletak markas komplotan Hun-tiong Houwmo.
***
Kapak Maut Naga Geni 2127
PADA malam gelap ketika Tio
Ki-pi dan Empat Golok Kematian mengawal gerobak misterius itu, hampir bersamaan
waktunya, di sebuah jalan buruk kira-kira 50 lie di selatan Khay-hong terlihat
pula sebuah gerobak yang ditarik oleh dua ekor kuda hitam, dipacu cepat ke
jurusan utara. Satu-satunya orang di atas gerobak ini adalah kusirnya sendiri.
Adalah satu hal yang luar biasa begitu kita mengetahui bahwa kusir gerobak itu
nyatanya adalah seorang nenek berambut putih berpakaian rombeng penuh tambalan.
Di bagian belakang gerobak terdapat timbunan jerami kering.
Meskipun kuda-kuda penarik
gerobak itu telah lari kencang sekali, namun si nenek masih saja terus mendera
punggung binatang-binatang ini dengan cambuknya sehingga kedua kuda tersebut
lari laksana dikejar setan.
Di sebelah depan kini
kelihatan daerah pegunungan yang menghitam dalam kegelapan malam. Inilah yang
dikenal dengan nama Hun-tiongsan. Memasuki daerah pegunungan yang di sanasini
terdapat jurang batu dalam dan terjal, si nenek bukannya memperlambat lari
gerobak, malah seperti orang kesetanan kembali dia mencambuk kuda-kuda penarik
gerobak itu!
Siapakah adanya nenek-nenek
yang demikian hebat dan berani luar biasa mengemudikan gerobak di jalan buruk
berbahaya dan dalam gelap gulitanya malam begitu rupa? Untuk mengetahuinya mari
kita ikuti saja ke mana tujuan tua bangka misterius ini.
Kira-kira dua kali peminuman
teh si nenek sampai ke puncak Hun-tiong-san. Sebuah tembok menjulang hampir
sepuluh tombak tingginya. Bagian atasnya ditancapi dengan tombak-tombak besi.
Di salah satu bagian dari tembok ini terdapat sebuah pintu gerbang bercat
kuning yang pada kiri kanannya ada dua buah arca harimau tengah mendekam
terbuat dari emas murni! Meskipun belum diketahui bangunan atau apa yang ada di
belakang tembok tinggi tersebut namun sudah dapat diduga kiranya puncak
Hun-tiong-san inilah markas Huntiong Houw-mo atau Siluman Harimau Dari Gunung
Hun- tiong!
Si nenek berambut putih
hentikan gerobaknya di depan pintu gerbang kuning. Dengan gerakan cepat dan
enteng dia melompat turun, lalu bergerak mendekati arca harimau emas di sebelah
kiri. Salah satu jari tangannya dipergunakan hendak menekan mata arca harimau
emas yang sebelah kanan. Namun sebelum itu dilakukannya tiba-tiba didengarnya
suara bersiur dan ketika memandang berkeliling si nenek jadi melengak. Tiga
orang kakek-kakek berpakaian paderi dilihatnya tahu-tahu sudah mengurungnya.
"Paderi dari mana yang
malam-malam buta begini masih gentayangan di luaran?!" si nenek membentak
bengis. Sepasang matanya menyorot galak.
Paderi yang di tengah yang
berambut panjang sedang dua kawannya sama-sama berkepala gundul menyeringai dan
keluarkan suara tertawa. Suara tertawanya ini perlahan saja, tetapi si nenek
rambut putih merasakan seolah-olah ada satu kekuatan gaib yang mendorong
dadanya hingga jika saja tidak lekas-lekas teguhkan kuda-kuda kedua kakinya
pastilah dia akan terhuyung-huyung beberapa langkah.
"Heh, paderi sialan ini
nyatanya memiliki tenaga dalam yang bisa disalurkan lewat suara!"
membathin nenek rambut putih dan melirik pada dua paderi lainnya sambil
menimbang-nimbang sampai setinggi mana pula kehebatan yang dua ini.
Paderi berambut panjang
mendongak ke langit, keluarkan sebuah buli-buli kecil berisi anggur dan gluk…
gluk… gluk. Setelah meneguk minuman itu tiga kali berturut-turut dan menyimpan
buli-buli kembali di balik jubahnya, dengan masih mendongak dia membuka mulut,
berkata, "Ada ujar-ujar yang mengatakan hutang budi bayar budi hutang
nyawa dibayar nyawa!"
"Heh! Kalian ini
paderi-paderi gila dari mana sampai kesasar kemari?! Tahukah kalian apa artinya
jika ada orang-orang luar yang berani menginjakkan kaki di puncak Hun-tiong-san
ini?!"
Paderi rambut gondrong kembali
tertawa sementara kedua kawannya tampak tidak sabaran.
"Kami datang kemari bukan
untuk mencari segala tahu. Tapi guna menagih hutang nyawa! Beberapa waktu yang
lalu kau telah membunuh seorang paderi dari Siauw Lim-si secara kejam tanpa
sebab lantaran. Karenanya pantas hari ini kau mempertanggungjawabkannya!"
Nenek rambut putih mendongak
dan tertawa panjang. Sambil berkacak pinggang dia berkata, "Di puncak
Hun-tiong-san ini ada suatu ketentuan. Siapa-siapa orang luar yang berani naik
kemari berarti mampus! Bisa datang tak bisa pulang!"
"Segala macam aturan bisa
saja dibuatl Tapi yang kami perlukan adalah nyawa busukmu!" menyahuti
paderi botak di sebelah kanan. Namanya Tek Bun.
Si nenek rambut putih kembali
mengumbar suara tertawa. "Nyali kalian sungguh besar. Apakah kalian akan
maju berbarengan atau sendiri-sendiri?"
"Bagi manusia laknat
macam kau mengapa harus memakai segala macam aturan?!" sentak paderi
rambut gondrong. Namanya Hoa keng.
"Hem… bagus! Dengan
demikian aku tak membutuhkan waktu lama untuk menyingkirkan kalianbertiga.
Memang sudah lama juga puncak Hun-tiong-san ini tidak dibasuh dengan darah paderi
tengik macam kalian…!"
"Hun-tiong-san!"
paderi botak yang di sebelah kiri dan bernama Tek Nyo. "Sudah lama kami
mendengar nama keji Hun-tiong Houw-mo. Hari ini agaknya sudah layak nama itu
dikubur untuk selama-lamanya. Dan kau warga komplotan terkutuk itu yang bakal
mampus duluan!"
"Paderi keparat! Jangan
kelewat takabur! Makan jariku ini!" Berteriak si nenek rambut putih dan
jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima larik sinar hijau berkiblat.
"Ilmu Jari Kelabang
Hijau!" teriak paderi Tek Bun kaget. "…. Lekas menyingkir!"
Tapi peringatannya itu
terlambat.
Di sampingnya terdengar
jeritan paderi Tek Nyo. Berpaling ke samping kelihatan paderi Tek Nyo
terbanting ke tanah. Sebagian tubuhnya menjadi hijau gelap sedang kepalanya
hancur. Otak dan darah berhamburan!
"Dan ini untuk kalian
berdua!" seru si nenek rambut putih seraya jentikkan lagi-lagi jari tangan
kanannya. Kembali lima larik sinar hijau menderu ke arah dua paderi dari Siauw
Lim-si. Tapi sekali ini serangan itu tidak menemui sasarannya bahkan mendapat
sambutan perlawanan yang hebat.
Begitu melihat lima larik
sinar hijau datang menyerang, paderi Hoa Keng melompat ke samping seraya
kebutkan lengan jubahnya. Selarik angin deras mendorong tubuh si nenek, membuat
dia terhuyung beberapa langkah sedang bagian dari serangan ilmu jari kelabang
hijaunya terdorong ke samping.
Di lain bagian begitu melihat
serangan, paderi gondrong Tek Bun keluarkan buli-buli anggurnya, teguk tiga
kali berturut-turut kemudian menyemburkan minuman ini ke depan. Meskipun cuma
anggur namun disemburkan dengan kekuatan tenaga dalam yang ampuh maka serangan
benda cair itu amat berbahaya. Sebagian dari ilmu jari kelabang hijau bukan
saja musnah malah semburan anggur itu terus menerobos dan menerpa tubuh si
nenek rambut putih! Perempuan tua ini melengak kaget menyaksikan bagaimana
pakaian rombengnya menjadi bolong seperti disundut rokok, kulit tubuhnya
menggerayang ngilu, namun untung saja dia mempunyai semacam ilmu kebal hingga
dia tidak menderita luka.
Baik paderi Hoa Keng maupun
Tek Bun diamdiam merasa kaget menyaksikan bagaimana semburan anggur yang
mengenai lawan hanya sanggup merobek pakaiannya saja. Maka berbisiklah paderi
Tek Bun pada kawannya yang ternyata lebih tua. "Hoa Keng-twako, kita harus
hati-hati. Tampaknya lawan bukan dari tingkat sembarangan!" Habis berbisik
begitu Tek Bun berikan isyarat dan kedua paderi clad Siauw Lim-si ini kemudian
menyerbu pula serentak dengan hebatnya.
Nenek rambut putih rupanya
sudah rnengukur pula tingkat kepandaian lawan yang dua ini. Sejak dulu
paderi-paderi dari Siauw Lim-si memang terkenal kehebatannya. Karenanya dalam
menghadapi dua lawan tangguh itu si nenek keluarkan jurus-jurus terhebat dari
ilmu silat. "Siluman Harimau" yang dipelajarinya dari Ketua Hun-tiong
Houw-mo.
Serangan dua paderi Siauw
Lim-si menggebu-gebu tiada olah-olah hebatnya. Setelah berkelebatan cepat
selama dua jurus di mana masingmasing pihak banyak dapat intai mengintai
kelemahan dan kelengahan musuh, di jurus ketiga si nenek rambut putih membuka
serangan dengan keluarkan jurus yang bernama Liong hun houw-hong atau
"Awan Naga Angin Harimau".
Dua paderi melihat seolah-olah
udara malam yang gelap semakin pekat menghitam dan serentak dengan itu
terdengar lawan keluarkan suara macam harimau menggereng, dan menyusul satu
serangan yang membawa angin laksana tiupan badai!
Untuk menghadapi serangan
dahsyat ini yang membuat tubuh dua paderi jadi tergontai-gontai paderi Tek Bun
sambut dengan jurus cian-bun-ki long atau "Menolak Serigala di Depan
Pintu" sedang paderi Hoa Keng menggebrak dengan jurus Po hun kian jit atau
"Menyibak Awan Memandang Matahari".
Kecamuk pertempuran di jurus
yang ketiga itu bukan kepalang. Tanah serasa bergetar. Masingmasing lawan
sama-sama merasa tertekan dan kemudian terlempar sampai satu tombak!
"Tiada nyana dua paderi
keparat ini memiliki ilmu yang tangguh!" kata hati nenek rambut putih.
Baru saja dia membatin begitu tiba-tiba si nenek mendengar suara mengiang di
kedua telinganya. "Putih! Kau harus dapat melenyapkan dua paderi Siauw Lim-si
itu dalam tiga jurus. Jika tidak berhasil kau bakal terima hukuman potong salah
satu anggota tubuhmu!"
Suara yang mengiang itu
datangnya dari arah belakang tembok tinggi dan dilakukan oleh Ketua Komplotan
Hun-tiong Houw-mo. Pada masa itu di dunia kangouw hanya terdapat beberapa orang
tokoh yang memiliki ilmu mengirimkan suara dari jarak jauh seperti itu. Dari
sini saja sudah dapat dibayangkan bagaimana tingginya tingkat kepandaian Ketua
Hun-tiong Houw mo dan di samping itu juga kentara sekali bagaimana pula
kebengisannya terhadap anak buahnya sendiri!
Nenek rambut putih yang
dipanggil dengan sebutan si Putih menjadi dingin tengkuknya mendengar perintah
pemimpinnya itu. Sambil berkelebatan kian kemari dia berpikir, "Bagaimana
aku dapat membunuh dua paderi ini hanya dalam tempo tiga jurus saja? Sulit!
Keduanya memiliki kepandaian yang tinggi…."
Dalam pada itu kembali paderi
Tek Bun dan Hoa Keng melancarkan serangan-serangan berbahaya, mendesak nenek
rambut putih ke dekat pintu gerbang warna kuning.
"Baiknya aku hadapi
mereka dengan jurus hun in toan-san, lalu jurus jit gwat-bu kong kemudian baru
kususul dengan serangan ilmu jari kelabang hijau. Jika ini tidak membawa hasil,
celakalah. Biar aku terima nasib," demikian nenek rambut putih membatin.
Rupanya jurus-jurus silat yang hendak dikeluarkannya itu adalah ilmu simpanan
yang paling hebat. Satu jurus berlalu tanpa si nenek mempunyai kesempatan
untuk mulai menyerang karena dua paderi menyerbunya dengan amat hebat.
Jurus berikutnya, didahului
dengan bentakan menggeledek nenek itu keluarkan jurus hun-in toan-san (Awan
Melintang Memutus Bukit). Kehebatan jurus ini segera terlihat karena bagaimana
pun dua paderi Siauw Lim-si memburu lawannya namun di antara mereka tetap saja
terdapat jarak tertentu yang memisah hingga setiap serangan yang dilancarkan
tidak pernah sampai. Selagi dua paderi itu merasa heran campur penasaran, si
nenek keluarkan jurus berikutnya yaitu jit-gwat-bu-kong atau "Matahari dan
Rembulan Tidak Bersinar".
Paderi Tek Bun dan kawannya tiba-tiba
merasakan tempat sekelilingnya menjadi amat gelap dan mereka tak dapat melihat
di mana musuh mereka berada. Selagi keduanya kebingungan begitu rupa tahu-tahuj
lima larik sinar hijau berkiblat di depan mata, demikian cepatnya hingga dua
paderi ini tidak sempat menyelamatkan nyawa masing-masing. Mereka cuma sanggup
berteriak. "Ilmu Jari Kelabang Hijau!" Dan sedetik kemudian keduanya
roboh ke tanah, mati dengan kepala hancur dan hangus hijau!
Nenek rambut putih menghela
nafas lega. Dia membalikkan tubuh, mendekati arca harimau emas di pintu gerbang
sebelah kiri. Ketika mata sebelah kanan dari harimau ini ditekan maka pintu
gerbang kuning pun terbuka. Si nenek lompat ke atas gerobak dan membedal
binatang penarik gerobak itu masuk melewati pintu gerbang. Begitu gerobak masuk
pintu gerbang kuning menutup dengan sendirinya.
Di belakang tembok tinggi di
puncak Hun tiong-san itu ternyata terdapat sebuah bangunan besar yang
keseluruhannya dilapisi emas hingga meskipun malam hari bangunan yang seperti
istana itu kelihatan memancarkan sinar berkilau yang amat menakjubkan. Di
mana-mana terdapat arca berbentuk kepala harimau.
Dua orang berpakaian putih
menyambut kedatangan si nenek dan langsung membawa gerobak ke bagian belakang
bangunan emas sedang nenek rambut putih sendiri masuk ke dalam gedung besar
lewat pintu depan.
Di sebuah ruangan yang amat
bagus, di atas satu kursi emas duduklah seorang gadis berparas amat jelita. Dia
mengenakan pakaian sutera warna merah. Seuntai kalung emas kepala harimau
tergantung di lehernya. Di atas kepalanya yang berambut hitam terdapat sebentuk
mahkota emas yang ditaburi intan berlian. Meskipun wajahnya cantik rupawan,
namun sepasang matanya kentara sekali membersitkan sinar kebengisan yang
menggidikkan. Manusia inilah, yang menjadi Kepala Komplotan Hun-tiong Houw-mo
yang selama beberapa bulan terakhir ini telah menebar anak-anak buahnya di
seluruh pelosok untuk menimbulkan kekacauan, melakukan perampokan dan
pembunuhan serta penculikan hingga menggegerkan dunia kangouw.
Di sekeliling Ketua Hun-tiong
Houw-mo berdiri beberapa orang gadis yang kesemuanya berparas cantik pula,
masing-masing mengenakan pakaian sutera warna ungu, biru dan kuning.
Nenek rambut putih menjura di
hadapan Ketua Hun-tiong Houw-mo. "Dewi tugas telah kuselesaikan. Harap
petunjuk dari Dewi lebih tanjut."
Ketua Hun-tiong Houw-mo yang
dipanggil dengan sebutan "Dewi" itu anggukkan kepalanya sedikit.
"Betulkan dulu pakaian
dan tampangmu, baru bicara!" sang Dewi membuka mulut. Suaranya tinggi
angkuh.
Nenek rambut putih tanggalkan
pakaiannya yang kotor compang camping, tarik rambut palsunya yang berwarna
putih talu membuka topeng tipis yang menutupi wajahnya.
Ternyata dia adalah seorang
gadis berparas cantik sekali, berambut panjang hitam yang digulung dan mengenakan
pakaian sutera warna putih! Di lehernya tergantung kalung emas kepala harimau!
***
Kapak Maut Naga Geni 2128
DI ANTARA pembantu-pembantu
utama Ketua Hun-tiong Houw-mo yang kesemuanya adalah daradara berparas jelita
maka dara berpakaian putih inilah yang paling cantik dan mendatangkan sedikit
rasa iri dalam diri yang lain-lainnya.
Setelah memandang wajah gadis
itu seketika maka bertanyalah Dewi Hun-tiong Houw-mo, "Koankoan, apakah
dalam perjalanan kau ada bertemu dengan Tio Ki-pi?"
"Tidak satu pun di antara
mereka kutemui, Dewi," jawab si Putih Koan-koan.
Baru saja dia menjawab
demikian tiba-tiba dari luar terdengar seseorang berseru, "Dewi, aku Tio
Ki-pi datang menghadap!"
Sesaat kemudian masuklah Tio
Ki-pi alias Thian liong-plan. Dia menjura di hadapan Ketua Huntiong Houw-mo
yang duduk di kursinya dan memandang tajam pada tangan kanan Tio Ki-pi yang
kini kelihatan buntung.
"Dewi," kata Tio
Ki-pi kemudian sambil berlutut jatuhkan diri, "Mohon maafmu karena aku
tidak berhasil menyelamatkan gerobak itu. Bahkan Empat Golok Kematian yang
kusewa untuk membantu mengawal, tiga di antaranya telah menemui aja!!"
"Sejak semula aku sudah
tahu kalau kau tidak mampu mengamankan dan menjalankan tugas. Masih untung aku
berlaku cerdik, menyuruh Si Hitam ling-ling untuk membawa gerobak asli yang
berisi emas rampokan milik Kaisar Boan. Kalau kuserahkan tanggung jawab padamu,
pasti ludaslah semua emas itu!"
"Ja… jadi Dewi sudah
mengetahui semua…?" tanya Tio Ki-pi dengan suara gemetar dan muka seputih
kain kafan.
Ketua Hun-tiong Houw-mo
menyeringai. Matanya kelihatan berapi-api. "Aku sudah menerima laporan
lengkap tentang tindak tanduk kegagalanmu! Ling-ling, keluarlah kemari!"
Sebuah pintu terbuka. Seorang
kakek berkumis putih melangkah masuk dan menjura di hadapan Dew! Hun-tiong
Houw-mo. Sepasang mata Tio Ki-pi terbelalak. Jika dia tidak salah kakek ini
adalah yang pernah dilihatnya tempo hari di rumah makan di sebuah kota kecil di
mana dia kemudian menerima sepucuk surat panggilan dari Ketua Hun-tiong Houw-mo
yang ditancapkan di mangkuk nasi!
"Jadi… kiranya dia….
Celakalah aku!" keluh Tio Ki-pi.
Kakek berkumis putih
tanggalkan pakaian luarnya dan tarik topeng tipis yang menutupi wajahnya.
Nyatanya kini dia adalah seorang dara rupawan yang mengenakan pakaian sutera
hitam, salah satu pembantu Dewi Siluman Harimau. Dari Hun-tiong!
"Tio Ki-pi, tahukah kau
apa kesalahanmu?!"
Tio Ki-pi menyembah-nyembah
dan seperti anak kecil dia merengek menangis: "Dewi aku yang hina ini
mohon pengampunanmu. Semua terjadi di luar kemampuanku…."
Ketua Hun-tiong Houw-mo cuma
ganda tertawa. "Pertama kau telah gagal menjalankan tugas untuk membawa
gerobak itu ke sini, sekalipun itu hanyalah gerobak yang bukan berisi emas
karena yang asli telah kuperintahkan pada Koan-koen untuk membawanya kemari.
Kesalahan kedua setelah menemui kegagalan kau berniat untuk melarikan diri tapi
rencanamu itu diketahui oleh si Hitam Ling-ling. Pembantuku ini telah memberi
surat peringatan agar kau kembali, ke markas dengan segera. Namun kau tidak acuhkan
malah nekad hendak terus lari. Itu kesalahanmu yang ketiga!"
"Dewi, betapa pun juga
kasihanilah selembar nyawaku ini. Jika saja kau mau memberikan tugas baru
untukku pasti akan kulakukan dengan berhasil."
"Bagaimana kalau tugas
baru itu adalah menyuruh kau membunuh dirimu sendiri…?"
Tio Ki-pi merasakan nyawanya
seolah-olah sudah terbang saja saat itu. Apakah kau masih merasa pantas
mengenakan kalung kepala harimau lambang tertinggi dari Hun-tiong Houw-mo
itu?" ketua Komplotan membentak.
Tio Ki-pi buru-buru membuka
kalung emas kepala harimau yang tergantung di lehernya, kalung pertanda sebagai
komplotan Hun-tiong nouw-mo. Benda ini kemudian diletakkannya di hadapan sang
Dewi.
"Kesalahanmu terlalu
besar untuk diampuni Tio Ki-pi," berkata Dewi Siluman Harimau dari Gunung
Hun-tiong itu. Tampangnya menjadi bengis total dan pandangan matanya
membersitkan maut. Dia bertepuk tiga kali dan berseru, "Seret dia ke kamar
penyiksaan. Gantung kaki ke atas kepala di atas tong bara menyala!"
"Dewi!" seru Tio Ki-pi
seraya berlutut dan menggerung. Namun saat itu tiga orang pembantu sang Dewi
yang juga merupakan murid-murid berkepandaian tinggi sudah melompat ke muka,
mengurung Tio Ki-pi.
Dalam takutnya yang sudah
sampai pada puncaknya dan dalam keadaan tidak berdaya untuk selamatkan diri,
Tio Ki-pi menjadi nekad. Lari tidak mungkin, minta pengampunan juga tidak bisa.
Dari pada mati disiksa lebih dulu, lebih baik menyabung nyawa. Dan kebencian
serta kemarahan yang meluap bekas tokoh utama dari propinsi Ciat kang ini
tertumpah keseluruhannya pada Dewi Siluman Harimau yang duduk dengan mimik
bengis di atas kursi kebesarannya.
"Dewi atas semua
kesalahan aku rela menerima hukuman," kata Tio Ki-pi dengan suara bergetar
sambil maju beberapa tindak mendekati Ketua Hun-tiong Houw-mo itu. Diam-diam
dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri, "Namun sebelum aku
menjalani hukuman itu ada satu rahasia besar yang kurasa perlu kuterangkan
padamu…."
Kening Ketua Hun-tiong Houw-mo
mengerenyit.
"Rahasia apa? Katakan lekas!"
"Begini, Dewi…" kata
Tio Ki-pi pula dan dia maju lagi dua langkah. Jaraknya dengan Ketua Komplotan
Siluman Harimau itu hanya terpisah setengah tombak kini. "Di puncak
Hun-tiong-san ini…." Tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa, dengan mempergunakan
jurus yang dinamakan Teng miaou kin thian atau "Kucing Sakti Terkam
Tikus", Tio Ki-pi lancarkan satu hantaman dahsyat dengan tangan kirinya.
Para pembantu Ketua Hun-tiong
Houw-mo berseru kaget namun Ketuanya sendiri kelihatan tenang-tenang saja di
kursinya. Sesaat lagi pukulan sakti itu akan menghancur-leburkan sang Dewi,
gadis cantik ini dengan senyum maut bermain di bibir angkat tangan kanannya.
"Naik!" seru Ketua
Hun-tiong Houw-mo. Dan hebat sekali, angin pukulan Tio Ki-pi tadi terdorong
penuh sedang tubuh Tio Ki-pi sendiri tiba-tiba terangkat ke udara sampai dua
tombak. Dan ketika sang Dewi memukulkan telapak tangannya ke pegangan kursi,
maka jatuhlah tubuh Tio Ki-pi ke lantai dengan keras. Kepalanya pecah, otak
berantakan, darah menghambur!
Beberapa pelayan mengangkat
mayat Tio Kipi, yang lainnya membersihkan lantai. Kemudian Ketua Hun-tiong
Houw-mo memandang berkeliling pada murid-muridnya yang berjumlah lima orang
itu,
"Aku mendapat firasat
bahwa kita sekarang ini berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan kalau tak
mau dikatakan berbahaya. Pertama orang-orang Kaisar Boan sudah barang tentu
menyelidiki perampokan segerobak emas yang kits lakukan itu. Lambat laut
bagaimanapun juga pasti mereka akan mengetahui bahwa kitalah yang telah
melakukannya. Kita tak perlu takut akan serbuan balatentara Boan kemari karena
kita mempunyai banyak senjata rahasia. Namun jika Kaisar Boan meminjam tangan
orang-orang kangouw, kita akan cukup direpotkan oleh mereka. Hal kedua adalah
munculnya seorang pemuda asing sebagaimana yang diterangkan oleh si Hitam
Ling-ling dan si Putih Koan-koan. Dapat dipastikan bahwa pemuda itulah yang
bernama Wiro Sableng, yang telah menghancurkan Empat Golok Kematian dan
mencelakai Tio Ki-pi. Mata-mata kita selanjutnya memberi tahu bahwa pemuda itu
kini tengah mencari tahu di mana letaknya markas kita. Hal ketiga yang paling
berbahaya ialah lenyapnya Pendekar Pedang Akhirat Long Sam Kun dari penjara
Liang Akhirat dan matinya Siang-mo-kiam. Saat ini mungkin dia belum tahu letak
markas kita. Tapi cepat atau lambat dia pasti akan mengetahui juga!"
Dewi Ketua Hun-tiong Houw-mo
itu diam sejenak. Kemudian melanjutkan kata-katanya, "Karenanya, sebelum
tiga hal itu menjadi kenyataan yang berbahaya, ada beberapa tugas yang harus
kalian lakukan! Pertama, kau Ling-ling harus menambah dan menebar sejumlah
mata-mata untuk memperhatikan gerak-gerik pasukan Kaisar. Kemudian kau si Biru
Bwe Bwe mencari tahu di mana adanya Pendekar Pedang Akhirat Long Sam kun. Kau
si Ungu Lan-Lan dan si Kuning Ni-nio mendapat tugas membuat alat-alat rahasia
baru di sekitar puncak Hun-tiong san ini. Tugas terakhir pada si Putih
Koan-koan ialah membunuh pemuda asing yang bernama Wiro Sableng itu. Untuk itu
kau harus berangkat saat ini juga, yang lain-lain tunggu pemberitahuanku lebih
lanjut!"
Dara berpakaian sutera putih
bernama Koan-koan menjura dan meninggalkan tempat itu dengan cepat.
***
Kapak Maut Naga Geni 2129
SAMBIL bersiul-siul membawakan
lagu tak menentu Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah lenggang kangkung. Kadang-kadang
sesungging senyum muncul di ujung bibirnya. Saat itu bukan dia tidak tahu kalau
sudah sejak tadi ada seseorang yang mengikutinya dari belakang dalam jarak
tertentu. Namun pura-pura tak tahu dia jalan terus memasuki rimba belantara di
kaki bukit yang menurut keadaannya mungkin belum pernah didatangi manusia
sebelumnya.
Di satu tempat tiba-tiba
laksana seekor burung, dengan gesit dan tanpa suara sama sekali dia melompat ke
sebuah cabang pohon yang tingginya hampir tiga tombak. Di sini dia mendekam di
balik rerumputan daun dan menunggu. Tak lama kemudian di bawah sana dilihatnya
ranting-ranting dan semak-semak bersibakan dan sesosok tubuh menyeruak mencari
jalan.
Pendekar kita tersenyum. Dia
memang sudah menduga dari semula. Orang yang mengikutinya itu ternyata adalah
gadis cantik yang tempo hari dicuri kudanya. Cuma sedikit yang menimbulkan
tanda tanya dalam hati Wiro di mana gadis itu meninggalkan kudanya dan dari
mana pula dia mendapat pesalin pengganti pakaian merahnya yang dulu
robek-robek. Tepat ketika sang dara yang kini berpakaian putih ringkas dan
rambut digulung di atas kepala sampai di bawah pohon.
Wiro melayang turun hingga si
nona menjadi kaget.
"Ah, sungguh menyenangkan
dapat bertemu denganmu kembali, Nona. Kurasa kau pun demikian pula bukan?"
Wiro menegur sambil garuk-garuk kepala dan cengar-cengir.
"Siapa sudi bertemu
dengan kau!" sang dara melengos.
"Eh, kalau tak sudi
ketemu kenapa dari pagi tadi kau diam-diam mengikuti? Bukankah itu maksudnya
pingin ketemu…?"
Si Nona tadi merah wajahnya
karena jengah.
"Nah, sekarang ringkas
saja, Nona. Kenapa kau mengikutiku?"
"Aku tak mengikutimu,
hanya kebetulan saja kita satu jurusan dan kau di sebelah depan."
"Begitu? Baiklah.
Sekarang kau silahkan jalan di sebelah depan dan aku di belakang!"
Nona itu kelihatan geregetan
sekali mendengar kata dan melihat tingkah Wiro. "Dengar," katanya
serius. "Kau dan aku mempunyai kepentingan yang sama. Kita sama menuju
gunung Hun-tiong di mana markas komplotan Hun-tiong Houw-mo berada. Kau tak
tahu jalan dan aku butuh bantuan. Sekali lagi kutawarkan bagaimana kalau kita
kerja sama?"
Wiro merenung sejenak lalu
tersenyum.
"Aku kurang begitu
percaya padamu. Sebelumnya kau hendak menebas batang leherku. ingat?"
"Itu… itu karena kau
telah mencuri kuda kesayanganku dan… dan…."
"Sudahlah, Nona, kalau
kau kepingin jalan sama-sama denganku aku tak keberatan. Tapi sesampainya di
Hun-tiong san kita urus persoalan sendiri-sendiri…."
"Aku belum pernah bertemu
laki-laki sesombongmu!" desis nona itu.
"Aku belum pernah bertemu
gadis secantikmu!" jawab Wiro pula dan membuat si nona jadi betulbetul
kepingin menggebuk pemuda itu.
"Kau… kau terlalu…"
kata gadis itu perlahan dan menggigit bibirnya keras-keras agar air matanya
jangan sampai keluar karena rasa kesal yang amat sangat itu.
Wiro jadi kasihan juga melihat
gadis itu.
"Sudahlah, aku tadi cuma
bergurau. Bagaimana persoalannya sampai saudara laki-lakimu dibunuh oleh
komplotan Hun-tiong Houw-mo?"
"Suatu hari dia diculik
oleh anggota komplotan itu, hendak dipersembahkan pada Ketua Hun-tiong Houw-mo
yang kabarnya seorang gadis berparas jelita tetapi mempunyai nafsu terkutuk
luar biasa dan suka menyimpan pemuda-pemuda gagah di markasnya. Jika dia sudah
bosan, pemuda-pemuda itu dibunuhnya satu persatu dan cari yang lain…."
"Jadi Ketua Hun-tiong
Houw-mo itu adalah seorang gadis, seorang perempuan?"
Sang dara mengangguk.
"Seorang gadis cantik dan
berkepandaian tinggi luar biasa."
"Aneh…" Ujar Wiro.
"Apa yang aneh?"
"Jika dia berkepandaian
tinggi dan banyak tokoh-tokoh persilatan yang jatuh di tangannya sedangkan
usianya demikian muda, sejak umur berapa dia sudah menguasai ilmu silat dan
kesaktian?"
"Aku pun tidak
mengerti," menyahut si nona. "Kira-kira sebulan sesudah saudaraku
diculik, mayatnya ditemukan dalam keadaan rusak di pinggiran kota…."
"Bagaimana kau tahu bahwa
komplotan Hun-tiong Houw-mo yang membunuhnya?!" tanya Wiro pula.
"Ada piauw kepala harimau
dari emas menancap di keningnya."
Wiro manggut-manggut.
"Bagaimana
sekarang?" si nona ajukan pertanyaan.
"Apa yang
bagaimana?"
"Kau masih tak mau
bekerja sama denganku?"
"Apa yang kau ketahui
tentang Hun-tiong Houw-mo?" balik bertanya Wiro.
"Pertama aku tahu jalan
terpendek ke puncak Hun-tiong san tanpa diketahui oleh penghuni markas
komplotan itu."
"Tapi kabarnya markas
komplotan itu dipagari dengan tembok luar biasa tingginya sedang di pelbagai
tempat penuh dengan senjata rahasia!"
"Itu adalah persoalan
kedua," jawab si nona. "Semasa kecil aku sering diajak kakek guruku
ke puncak Hun-tiong san. Waktu itulah kutemui sebuah terowongan rahasia yang
jika diikuti akan sampai di salah satu bagian dalam halaman markas Hun-tiong
Houw-mo…."
"Ah, itu bagus
sekali!" ujar Wiro. "Lantas apa lagi yang kau ketahui…."
"Di samping Ketua
Hun-tiong Houw-mo yang terkenal sakti itu, di sana terdapat juga beberapa orang
pembantunya yang terdiri dari gadis-gadis cantik dan rata-rata berkepandaian
tinggi!"
"Lain hal…?"
"Tak ada lagi yang
kuketahui."
Wiro usap-usap dagunya.
"Kau belum menerangkan siapa namamu, Nona."
Kembali paras sang dara
menjadi merah. Tapi dia menyahut juga. "Panggit aku Pek Lan…."
"Pek Lan…? Ha, kalau tak
salah itu artinya Anggrek Putih! Nama yang bagus! Nah sekarang
mari kita sama-sama lanjutkan
perjalanan…. "
"Kau silahkan jalan duluan,"
kata Pek Lan pula. "Eh, bagaimana ini? Katanya bekerja sama, jalan
sama-sama tidak mau…!"
"Jalan saja duluan, aku
tunjukkan arah dari belakang. Sekeluarnya dari rimba ini, puncak Hun-tiongsan
akan segera terlihat!"
Wiro tarik nafas panjang dan geleng-geleng
kepala. Akhirnya dia melangkah juga. Pek Lan mengikutinya sejauh lima belas
langkah di belakang.
Ketika hampir akan keluar dari
hutan belantara itu tiba-tiba Wiro tersentak kaget menyaksikan pemandangan
beberapa langkah di hadapannya. Seorang nenek-nenek tak dikenal, berambut putih
berpakaian compang-camping duduk menjelepok di tanah. Di tangannya ada sepotong
ranting kering. Dengan ranting ini dia menggurat-gurat tanah.
Gerakan tangannya acuh tak
acuh dan tampaknya perlahan saja namun guratan yang terlihat di tanah demikian
dalamnya tanpa mempergunakan tenaga dalam yang tinggi tak bakal seseorang mampu
melakukan hal itu.
Wiro sudah mengetahui baik di
tanah airnya maupun di Tiongkok, orang-orang atau tokoh persilatan itu banyak
yang bersifat aneh. Karenanya dia sudah menduga kalau nenek tak dikenal ini pun
tentu salah seorang dari tokoh-tokoh golongan aneh itu. Maka menjuralah dia
dengan penuh hormat dan menegur dengan lembut.
"Nenek tua rambut putih,
maafkan siauwte mengganggu ketentramanmu. Sudilah nenek memberi jalan sedikit
agar aku dapat melanjutkan perjalanan."
Sementara itu Pek Lan yang
mengikutinya, dari belakang, begitu melihat ada orang lain di depan, cepat
hentikan langkah, menyelinap ke balik semak belukar dan menghilang.
Anehnya, ditegur oleh Wiro si
nenek seolaholah tak mendengar dan terus saja menggurat-gurat tanah dengan
ujung ranting kering. Memikir kalau-kalau pendengaran si nenek kurang baik maka
Wiro menegur lagi. Kali ini dengan suara lebih keras.
Si nenek tiba-tiba angkat
kepalanya. Kelihatan jelas kini wajah yang mengeriput. Di lain pihak Wiro
melihat bagaimana sepasang mata si nenek bening bercahaya, bukan seperti mata
seorang yang sudah lanjut usia. Si nenek sendiri begitu matanya membentur wajah
Wiro, hatinya tercekat dan dalam hati dia membatin, "Ah… tak kusangka
kalau yang harus kubunuh ini seorang pemuda asing berparas gagah meskipun
tindak tanduknya macam orang tolol dan lucu…. " Kemudian nenek ini
cepat-cepat tundukkan kepalanya kembali. Pandangan mata Wiro Sableng membuat
hatinya bergetar.
"Nenek, beri jalan
padaku…. " Wiro berkata lagi.
Tiba-tiba si nenek melompat.
Mimiknya jadi bengis dan dia membentak garang. "Bangsat, kapan aku kawin
dengan kakekmu kau panggil aku nenek!"
Mendengar ini Wiro hendak meledak
tawanya. Tapi batal karena sambil membentak dilihatnya si nenek tusukkan
ranting kering di tangannya ke arah dada Wiro. Meskipun cuma sepotong ranting
kering namun bisa mendatangkan maut karena dialiri tenaga dalam yang hebat.
Wiro berkelit ke samping dan menghantam dengan tangan kanannya.
"Buk!"
Pukulan tepi telapak tangannya
tepat mengenai lengan si nenek. Ranting terlepas mental dan si nenek menggigit
bibir menahan sakit. Wiro sendiri merasakan tangannya seperti kesemutan.
Diam-diam pendekar ini kaget juga dan mulai berlaku lebih hati-hati.
"Aku tiada permusuhan
denganmu Nenek, kenapa kau menyerangku?"
"Mulutmu terlalu kurang
ajar. Orang sepertimu pantas dilenyapkan!"
"Eh, bukankah kau yang
duluan bicara segala macam kawin dengan kakekku. Kau yang buktinya bermulut
usil, Nek!"
Si nenek yang bukan lain
adalah si Putih Koan-koan sebenarnya merasa geli juga mendengar ucapan Wiro
itu, namun berhubung dia mendapat tugas dari ketuanya untuk membunuh pemuda
asing ini, maka itu tak dapat ditawar-tawar lagi. Dia tahu kalau pemuda itu
dikabarkan memiliki kepandaian tinggi dan telah sanggup membunuh Siang Mo Kiam,
dua anggota komplotan Hun-tiong Houw-mo yang berkepandaian tinggi. Karenanya
dalam serangan kedua dia sengaja keluarkan jurus hun-in toan-san (Awan
Melintang Mernutus Bukit) yakni jurus pertama yang sebelumnya telah mengantar
kematian dua paderi Siauw lim-si berkepandaian tinggi itu.
Wiro kaget ketika melihat
bagaimana seolah-olah lawan dipisahkan oleh satu jarak gaib yang tak bisa
dicapainya padahal si nenek kelihatan dekat saja di depan matanya.
"Ah, nyatanya
kepandaiannya cuma rendah saja," kata nenek rambut putih alias Koan-koan
begitu melihat jurus yang dikeluarkannya itu membuat lawan tidak berdaya.
Segera dia keluarkan jurus kedua yakni "Matahari Dan Rembulan Tidak
Bersinar" atau jit-gwat-bu-kong.
Ketika menghadapi jurus aneh
yang pertama tadi Wiro memang terkesiap namun itu bukanlah berarti dia menjadi
tak berdaya seperti yang disangka oleh Koan-koan. Secepat kilat tangan kanannya
mendorong ke depan melancarkan pukulan sakti bernama "Benteng Topan
Melanda Samudera".
Setiup angin bertiup dengan
dahsyat seolah bumi ditiup badai. Kini Koan-koanlah yang menjadi kaget. Bukan
saja dia tak mendapat kesempatan untuk mengeluarkan jurus "jit gwat-bu-kong"
tetapi jurus "hun-in-toan-san"nya pun dilabrak musnah sedang dirinya
sendiri terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Melihat lawan nyatanya
memiliki kepandaian tinggi, tidak serendah yang diduganya, Koan-koan menjadi
marah dan naik pitam. Baginya jika menghadapi lawan seperti ini hanya ada satu
pilihan, dia yang bakal konyol atau lawan yang akan meregang nyawa. Karenanya
Koan-koan tanpa tunggu lebih lama lagi segera keluarkan kesaktiannya yang
paling tinggi yaitu "Ilmu Jari Kelabang Hijau".
Ketika Pek Lan yang mengintip
di balik belukarmelihat si nenek rambut putih jentikkan lima jarinya yang
disusul dengan berkiblatnya lima larik sinar hijau yang menggidikkan maka dara
itu tersentak kaget dan berseru memperingati Wiro. "Saudara, awas! Itu
pukulan Ilmu Jari Kelabang Hijau yang ganasl Lekas menyingkir!"
Wiro tertegun mendengar
peringatan itu sedang Koan-koan sendiri terheran-heran karena tak menyangka
kalau ada orang ketiga di tempat itu.
Karena belum tahu sampai di
mana kehebatan Ilmu Jari Kelabang Hijau, Wiro turuti juga peringatan Pek Lan,
menyingkir dua langkah ke samping dan menghantam dengan pukulan "Angin
Puyuh", tapi apa lacur, pukulan sakti yang dialiri setengah bagian tenaga
dalamnya itu ternyata punah dilabrak sinar hijau pukulan lawan. Di lain kejap
sinar hijau terus menyambar ke arah Wiro.
Pek Lan menjerit kaget,
"Celaka!" dan dia sendiri tidak punya kemampuan untuk menolong Wiro.
Meskipun demikian dia cabut pedangnya dan menyerang ke arah Koan-koan seraya
membentak garang.
"Nenek keparat, jadi kau
adalah salah seorang dari pembantu ketua Hun-tiong Houw-mo terkutuk itu! Jangan
coba mungkir sekalipun kau bisa menyamar jadi setan! Hanya orang-orang dari
Hun-tiong san yang memiliki ilmu laknat itu!"
Koan-koan sendiri sebenarnya
mengeluh dan menyesal dalam hatinya telah lepaskan pukulan
Ilmu Jari Kelabang Hitam yang
ganas yang dilihatnya telah membuat si pemuda tak berdaya dan bakal meregang
nyawa. Pada dasarnya dia tak ingin membunuh pemuda yang menarik hatinya ini.
Namun untuk menarik pukulan tersebut sudah kasip dan dalam pada itu satu
serangan pedang dari seorang gadis cantik tak dikenalnya datang pula dari
samping, membuat dia terpaksa berkelit, selamatkan batang lehernya.
Melihat pukulan tangkisannya
musnah Wiro kaget sekali dan sebelum sinar hijau melabrak kepalanya pendekar
ini hantamkan tangan kirinya ke atas. Selarik sinar putih menyilaukan berkelit
ganas dan terdengarlah suara berdentum!
Nenek rambut putih atau
Koan-koan mencelat mental sampai tiga tombak. Dengan jungkir balik susah payah
baru dia bisa berdiri di atas kedua kakinya. Dadanya terasa sakit dan jari-jari
tangannya seperti hendak putus. Wajahnya sepucat kain kafan. Sedang di depannya
Wiro Sableng dilihatnya berdiri tegak dengan kaki melesak ke tanah sampai
sedalam sepertiga jengkal. Di bagian lain beradunya dua pukulan sakti itu telah
membuat Pek Lan terbanting ke samping dan jatuh duduk di tanah. Tapi gadis ini
cepat bangun kembali. Pungut pedangnya dan kembali menyerbu Koan-koan.
"Bangsat dari Hun-tiong
san! Kau harus tebus nyawa kakakku dengan nyawa anjingmu!" Pedangnya
berkelebat. Tapi saat itu Koan-koan yang sudah maklum tidak bakal sanggup
menghadapi Wiro sudah putar langkah dan hendak kabur. Cuma sayang Wiro lebih
cepat menghadangnya.
"Nenek manis, kau mau
merat ke mana? Makan dulu jariku ini."
Sekali totok saja nenek rambut
putih alias Koan-koan tertegun jadi patung, tak bisa bergerak lagi!
"Hem, sekarang
mampuslah!" seru Pek Lan. Pedangnya turun laksana kilat. Koan-koan hanya
bisa pejamkan mata terima nasib.
"Pek Lan tahan
dulu!" Wiro tiba-tiba berseru dan memegang lengan Pek Lan.
Gadis ini coba berontak.
"Apa-apaan kau! Bangsat ini adalah musuh besarku, yang telah membunuh
kakakku! Musuh besar setiap orang-orang golongan putihl Kenapa kau cegah aku
membunuhnya?"
"Sabar dulu Pek Lan. Dari
dia kita bisa mengorek beberapa keterangan penting…. "
"Aku tak butuh segala
macam keterangan! Aku butuh nyawanya!" sentak Pek Lan.
"Itu bisa kau lakukan
nanti. Tapi aku pun mempunyai kepentingan sendiri," tukas Wiro pula. Dia
berpaling pada si nenek rambut putih dan bertanya, "Betul kau anggota
Hun-tiong Houw-mo?"
"Terlu apa itu ditanya
!agi! Lihat aku akan buktikan sendiri!" kata Pek Lan dan dengan kedua
tangannya dirobeknya pakaian luar Koan-koan. Kini kelihatan pakaiannya sebelah
dalam, pakaian ringkas warna putih sedang di lehernya tergantung kalung emas
kepala harimau. "Dan ini tampang iblis ini yang asli!" seru Pek Lan
selanjutnya seraya menanggalkan topeng tipis dari wajah Koan-koan, Wiro sampai
ternganga bengong waktu menyaksikan wajah di balik topeng nenek-nenek buruk
keriput tadi ternyata adalah paras yang demikian jelitanya!
"Nona, aku tak mengerti.
Kau demikian cantik. Kenapa menyia-nyiakan hidup dengan masuk menjadi anggota
Hun-tiong Houw-mo?"
Ditegur oleh Wiro selembut
itu, Koan-koan jadi sesenggukan dan tak dapat lagi menahan air matanya.
"Eh, kenapa jadi
menangis?" tanya Wiro.
"Awas, jangan sampai kita
termakan tipunya!" ujar Pek Lan tetap bernafsu.
Wiro bertanya sekali lagi.
Sekali ini Koan-koan membuka mulut memberi keterangan dengan terisak-isak,
"Aku dan juga empat kawanku yang lain tak pernah menginginkan untuk hidup
sebagai murid Ketua Hun-tiong Houw-mo. Kami semua terpaksa. Diculik beberapa
tahun yang silam dan tak mungkin lagi keluar dari genggaman Ketua kami kecuali
kalau kami ingin buru-buru mati!"
"Bangsat! Kau pandai main
sandiwara! Toh kau yang menculik dan membunuh kakakku!?"
"Apakah kakakmu itu masih
muda…?" tanya Koan-koan dengan pandangan rawan.
"Ya."
"Orang-orang muda
ditangani sendiri oleh Ketua kami. Dia yang menyuruh culik kemudian dia pula
yang membunuhnya bila telah bosan. Aku dan kawan-kawan hanya menjalankan tugas
secara terpaksa karena kami tak punya daya."
"Kenapa tidak melarikan
diri?!" bertanya Wiro.
"Tak ada gunanya. Kami
akan segera tertangkap dan disiksa seumur-umur…."
"Apakah kau punya niat
untuk kembali ke jalan yang benar?" Wiro tanya lagi.
"Aku dan juga kawan-kawan
selalu mengharapkan hal itu. Namun sampai saat ini kesempatan itu belum ada. Kalaupun
ada tokoh golongan putih tentu siang-siang sudah membunuh kami. Padahal mereka
banyak yang tidak tahu kehidupan kami yang boleh dikatakan tersiksa batin
sepanjang hari…."
"Siapakah namamu
Nona?"
Koan-koan menerangkan namanya.
"Dengar, jika kami berdua
membebaskan kau saat ini…."
"Siapa sudi melepaskan
dial" Pek Lan nyerobot.
Wiro memberi isyarat agar
gadis itu diam.
"Rupanya kau sudah
tertarik pada kecantikannya Wiro! Kau akan ditipunya dan kelak akan
dibunuhnya!"
Wiro tak perdulikan kata-kata
Pek Lan. "Dengar Koan-koan," katanya. "Segala apa yang terjadi
antara kita bisa dilupakan, dan kami berdua mengampuni dirimu. Tapi dengan
syarat kau harus membantu kami. Dan kelak mengajak pula kawan-kawanmu kembali
ke jalan yang benar. Bertobat dan hidup secara baik-baik."
Koan-koan tertawa rawan.
"Seolah-olah mimpi ini semua bagiku," katanya. Lalu, "Kau belum
tahu siapa Ketua Hun tiong Houw-mo. Jika kau bermaksud hendak memusnahkannya
itu adalah satu kesiasiaan belaka…"
"Kita harus coba dan kau
musti membantu. Menghadapi kita beramai-ramai masakan dia bisa menang…?"
Koan-koan menghela nafas
dalam. "Baiklah, aku berjanji. Tapi apakah kau percaya pada diriku?"
Wiro memandang sepasang mata
sang dara. Dan pandangan keduanya saling bertemu. "Aku percaya
padamu!" kata Wiro lalu lepaskan totokan Koan-koan.
Begitu Wiro tepaskan totokan
Koan-koan, Pek Lan kontan berkata, "Mulai saat ini aku tak mau kenal lagi
padamu, Wiro! Kau dengan urusanmu dan aku dengan urusanku!"
"Pek Lan, kau mau ke
mana?" seru Wiro. Namun gadis yang keras hati itu sudah berkelebat pergi.
Wiro cuma geleng-geleng kepala.
"Adatnya keras…"
kata Wiro.
"Kekasihmu…?"
bertanya Koan-koan.
Wiro berpaiing. Sepasang mata
mereka kembali saling bertemu. Koan-koan merasakan dadanya berdebar dan
perlahan-lahan tundukkan wajahnya. Wiro gelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Kuharap kau betul-betul
dapat dipercaya dan tidak menipuku," berkata Wiro.
Koan-koan angkat wajahnya yang
jetita. "Asalkan kau bersungguh hati membawaku ke jalan yang benar, kau
suruh apa pun aku pasti akan melakukan."
"Apakah kau akan lakukan
jika aku meminta kau menciumku saat ini?" kata Wiro pula bergurau. Tapi di
luar dugaan Koan-koan melompat ke muka, memeluk pemuda itu dan mencium sang
pendekar pada kedua pipinya.
"Aku sudah
buktikan!" kata Koan-koan pula meski wajahnya bersemu merah.
Wiro usap-usap kedua pipinya.
"Aku tadi cuma bergurau. Tapi tak apa…. Ini pertama kali seorang gadis
menciumku lebih dahulu. Terima kasih untuk ciumanmu itu…"
"Di lain hari aku akan memberikan
lebih dari…!" kata Koan-koan dengan setulus hatinya. Entah mengapa dia
demikian terpikat pada si gondrong yang baru beberapa saat saja dikenalnya itu.
"Aku akan lebih berterima
kasih," jawab Wiro pula. "Nah, sekarang mari kita atur siasat."
***
Kapak Maut Naga Geni 21210
KEADAAN terowongan rahasia
seperti yang diketahui Pek Lan di masa kanak-kanaknya ternyata kini sudah jauh
berubah sejak puncak Hun-tiong-san dipergunakan sebagai markas oleh komplotan
Huntiong Houw-mo. Perubahan-perubahan ini telah menyesatkan Pek Lan dan tanpa
diketahuinya beberapa kali dia telah menyentuh alat-alat rahasia di dalam
terowongan itu.
Melihat adanya tanda dari
alat-alat rahasia, Dewi Siluman Harimau segera memberi perintah pada dua orang
murid atau pembantunya yakni si Ungu Lan-lan dan si Biru Bwe-bwe. Meskipun Pek
Lan memiliki ilmu pedang yang tidak rendah, namun menghadapi kedua gadis
tangguh itu, dengan hanya mempergunakan tangan kosong dalam tempo dua jurus dia
sudah kena diringkus dan dihadapkan pada Dewi Siuman Harimau.
"Nona, parasmu cantik dan
keberanianmu patut dipuji untuk bernyali masuk ke sarang kematian ini. Siapakah
namamu dan bagaimana kau bisa tahu terowongan rahasia di bawah tanah
itu?!" Ketua Hun-tiong Houw-mo ajukan pertanyaan.
Pek Lan yang memang seorang
gadis pemberani, apalagi dihantui dendam kesumat kematian saudaranya tegak
berkacak pinggang diapit dan diawasi oleh si Biru Bwe-bwe dan si Ungu Lan-lan.
Ditanya bukannya dia menjawab,
malah balas bertanya dengan sikap congkak nada sinis,
"Hemm.., jadi inilah
Ketua Hun-tiong Houw-mo yang dipanggil dengan sebutan Dewi itu?" Pek Lan
kemudian tertawa panjang. "Tampangmu juga cantik. Cuma sayang hatimu lebih
busuk dari comberan dan kejahatanmu lebih ganas dari iblis."
"Dewi! Biar kurobek mulut
gadis kurang ajar ini!" teriak si Hitam Ling-ling.
Ketua Hun-tiong Houw-mo
lambaikan tangan dan berkata, "Nyalinya cukup mengagumkan Ling-ling. Dan
potongan tubuhnya menunjukkan bakat silat yang bagus. Kau ada harapan untuk
kujadikan murid serta pembantuku seperti nona-nona yang lain ini."
Pek Lan keluarkan suara
mendengus dari hidung. "Aku datang kemari bukan untuk menghambakan diri
pada iblis macammu ini!"
"Lantas, apa perlumu
datang kemari dan lewat terowongan rahasia segala?"
"Untuk mencincangmu. Kau
bertanggung jawab atas penculikan dan kematian kakak laki-lakiku."
"Apakah kakakmu yang
bernama Oel Siong Ang itu…? Ah, dia sungguh cakap dan amat pandai melayaniku di
atas tempat tidurt"
"Perempuan cabul!
Mampuslah!" teriak Pek Lan marah sekali dan melompat ke muka hendak
kirimkan tendangan ke kepala Ketua Hun-tiong Houw-mo. Namun maksudnya ini tidak
kesampaian karena Ling-ling dan Lan-Ian cepat mencegahnya.
"Dewi, sebaiknya gadis
binal ini buru-buru saja disingkirkan. Kalau tidak bisa bikin berabe…!"
berkata Bwe-bwe.
"Menyingkirkannya soal
mudah, muridku. Tapi bagaimana pendapatmu kalau mukanya kita cincang hingga
wajahnya yang cantik menjadi lebih buruk dan seram dari muka setan sehingga
seumur-umur tak satu pemuda pun ingin mendekatinya…."
"Perempuan gila!"
sentak Pek Lan. "Jika kau punya nyali mari kita bertempur sampai seribu
jurus!"
"Gadis sundel!" si
Hitam Ling-ling, memaki. "Kau andalkan apakah berani bicara sombong
terhadap Ketua kami? Membunuhmu jauh lebih mudah dari pada membalikkan telapak
tangan!"
"Hitam dan Biru! Seret
dia ke kamar penyiksaan!" Dewi Siluman Harimau berteriak. Namun sebelum
kedua muridnya melakukan hat itu tiba-tiba dari luar berkelebat satu bayangan
putih dan tahutahu si Putih Koan-koan sudah tegak di ruangan itu. Di bahunya
dia memanggul sesosok tubuh pemuda berpakaian putih. Begitu melihat pemuda ini
Pek Lan keluarkan seruan tertahan. Si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar
212 Wiro Sableng! Saat itu Koan-koan telah mengenakan kembali pakaian
samarannya dan topeng tipisnya. Dia meletakkan sosok tubuh Wiro di lantai,
menjura di hadapan sang Ketua dan berkata, "Dewi, tugas telah kujalankan,
cuma mohon dimaafkan agak menyimpang sedikit dari yang diperintahkan. Semula
Dewi menugaskan agar aku membunuh pemuda ini, namun ketika melihat dia memiliki
paras yang cukup gagah maka dalam perkelahian aku cuma menotoknya lalu
membawanya kemari dengan harapan siapa tahu Dewi berkenan padanya!"
Ketua Hun-tiong Houw-mo
kerenyitkan kening. Sepasang alis matanya naik ke atas. Dia bangkit dari kursi
emas dan melangkah mendekati sosok tubuh Wlro. Dongan ujung kakinya yang
dibungkus dengan kasut sutera merah dia membalikkan kepala Wiro untuk dapat
menilai wajah pemuda itu lebih jelas. Ternyata tampang Wiro memang membuat dia
terpikat.
"Ah… aku memang belum
pernah dapat pemuda asing. Kelihatannya dia kuat sekali!" Sang Dewi
tertawa dikulum dan meneguk ludahnya beberapa kali lalu dengan gembira
menepuk-nepuk bahu Koankoan yang saat itu sudah menanggalkan pakaian luar
serta topeng tipisnya. "Kau memang muridku yang bijaksana dan banyak
berjasa. Panjang pikiran dan tahu bagaimana kesenangan guru serta Ketuamu ini!
Bagus sekali Koan-koan, bagus sekali. Kau gotonglah dia ke kamar tidurku
sekarang juga…."
Baru saja sang Dewi berkata
demikian tiba-tiba hampir tak kelihatan sepasang tangan Wiro bergerak laksana
kilat menangkap salah satu kaki Ketua Hun-tiong Houw-mo itu. Di lain kejap
terdengar satu bentakan dan tubuh sang Dewi mencelat mental ke udara! Semua
orang terkejut bukan kepalang.
Ketua Hun-tiong Houw-mo
kelihatan jungkir balik tiga kali di udara kemudian tegak di lantai kembali.
Wajahnya merah laksana bara. Sepasang matanya berapi-api, menatap pada Pendekar
212 Wiro Sableng yang berdiri di samping Koan-koan sambil satu tangan tolak
pinggang, tangan lain garuk kepala dan tertawa gelak-gelak.
"Tiada dinyana ketua
Hun-tiong Houw-mo begini cantiknya dan pandai main akrobat pula!" kata
Wiro masih terus tertawa-tawa.
"Jadah! Koan-koan kau
berani menipuku! Kau telah bersekongkol untuk mengkhianatiku hah?!" Ketua
Hun-tiong Houw-mo meluap amarahnya bukan kepalang. Dia berpaling dan berteriak,
"Ringkus murid murtad itu! Aku akan hadapi bangsat bernama Wiro Sableng
ini!"
Melihat kawan-kawan atau
saudara seperguruannya hendak bergerak, Koan-koan cepat berseru,
"Saudara-saudaraku tunggu dulu! Bukankah kita sudah sejak lama tersiksa
hidup di puncak Hun-tiong san ini? Bukankah kita sejak lama ingin meninggalkan
tempat celaka ini dan menempuh hidup di dunia luar secara wajar dan baik? Bukankah
kita sering menyadari bahwa apa yang kita lakukan dan diperintahkan oleh Dewi
semua bertentangan dengan hati kecil kita dan perikemanusiaan? Apakah akan kita
rusakkan lebih jauh hidup kita yang cuma sekali ini di dunia? Hari inilah saat
yang kita tunggutunggu untuk mendapat kehidupan bebas yang kits rindukan. Hari
ini kebenaran akan menghancurkan malapetaka yang bersumber di puncak Hun-tiong
san ini! Mari, ikutlah bersamaku untuk kembali pada hidup yang benar dan keluar
dari azab neraka ini!"
Mendengar kata-kata Koan-koan
yang penuh semangat itu, empat saudara seperguruannya jadi bimbang. Melihat ini
marahlah Ketua Hun-tiong Houw-mo. Dia berteriak, "Lekas bunuh murid murtad
Itu. Kalau tidak kalian berempat akan mendapat hukuman berat!"
Empat murid sang Ketua semakin
bingung.
"Kesempatan ini hanya
sekali, saudara-saudaraku! Kalau sampai luput, kalian akan celaka sampai di
liang kubur!" berseru Koan-koan.
"Aku si geblek yang
bernama Wiro Sableng ini akan membantu kalian!" Wiro pentang mulut.
"Aku juga!" teriak
Pek Lan.
"Murid jadah! Kau layak
mampus duluanl" Kemarahan Ketua Hun-tiong Houw-mo tak terkendalikan lagi.
Sekaligus dia jentikkan lima jari tangan kanannya yang sudah dialiri seluruh
tenaga dalam yang ada ke arah Koan-koan. Gadis ini berseru tegang dan secepat
kilat menyingkir. Dalam pada itu Wiro telah lepaskan pukulan Sinar Matahari
yang membuat istana emas itu laksana dilabrak geledek. Satu dentuman terdengar.
Semua orang yang ada di sini terpental ke samping sedang salah satu dinding
ruangan yang terbuat dari emas meleleh dan berlobang besar!
Ketua Hun-tiong Houw-mo kaget
bukan kepalang. Ternyata pemuda asing itu memiliki tenaga dalam yang tidak
berada di bawahnya. Namun dia sama sekali tidak gentar. Dengan satu lengkingan
nyaring dahsyat dia menerjang ke depan. Begitu cepatnya dia berkelebat hingga
hanya bayangan , merah
pakaiannya saja yang
kelihatan.
"Buk!"
Satu jotosan melabrak dada
Wiro Sableng, Pendekar ini terpental sampai satu tombak. Darah kental kelihatan
meleleh di sebelah bibirnya. Melihat ini Koan-koan jadi bergeming. Jika sampai
Wiro kalah oleh Ketuanya pastilah dia bakal celaka pula. Dia melirik pada
saudara-saudaranya. Sampai saat itu mereka masih tertegun dalam kebimbangan.
Melihat serangannya berhasil
Ketua Hun-tiong Houw-mo kembali melabrak ke depan, sosok tubuhnya tak
kelihatan. Kali ini Wiro bertindak gesit karena ternyata lawan memiliki ilmu
yang disebut Pek-pian-mo-ing atau Seratus Bayangan Iblis! Hal ini diketahui
Wiro dari Koan-koan. Untung saja dia telah mendapat tambahan kekuatan tenaga
dalam dan ginkang dari orang tua misterius yang berjuluk Pendekar Pedang
Akhirat Long Sam Kun itu, kalau tidak pastilah dia bakal celaka. Mengingat si
orang tua tersebut, setelah menelan sebutir obat, Wiro segera hadapi musuhnya
dengan jurus silat yang pernah dipelajari dari kakek itu yakni jurus yang
bernama "Cip-hian-jay-hong" atau "Tiba-tiba Muncul
Pelangi".
Ketua Hun-tiong Houw-mo itu
tersurut saking kagetnya ketika menyaksikan lawannya keluarkan jurus tersebut
bahkan kemudian mendesaknya dengan jurus yang dikenalnya bernama "Lo
han-cianyau" atau "Malaikat Menundukkan Siluman".
"Bedebah!" seru
Ketua Hun-tiong Houw-mo seraya menyambut dengan jurus "Pit bun ki
khek" atau "Menutup pintu Menolak Tetamu", meskipun dia tahu
jurus tersebut tak mungkin sanggup menangkis serangan lawan. "Ada sangkut
paut apa kau dengan Pendekar Pedang Akhirat?! Ayo lekas jawab!"
"Ini jawabanku!"
kata Wiro pula dan mainkan jurus terakhir setelah dua jurus pertama sanggup
menghantam Ketua Hun-tiong Houw-mo yang tangguh itu. Jurus ketiga ini bernama
"Kui gok-sin ki" atau "Setan Meratap Malaekat Menangis".
Sang Dewi merasakan pemandangannya tertutup dan sebelum dia sempat menjauhkan
diri, dua buah pukulan telah menghantam di tubuhnya, membuatnya tak ampun terguling-guling
di lantai tapi hebatnya segera pula bangkit berdiri meskipun dengan
terhuyung-huyung dan muka pucat yang menandakan dia terluka di dalam.
Dewi Siluman Harimau itu
tiba-tiba berteriak garang. Kedua tangannya bergerak ke pinggang dan sesudah
itu hampir tak kelihatan kapan dia melemparkannya, sepuluh piauw emas beracun
berbentuk kepala harimau meluncur pesat ke arah Wiro.
Dari Koan-koan Wiro sudah
mengetahui kehebatan senjata rahasia ini, jangankan sampai menancap di tubuh,
sedikit saja kulit sampai keno diserempet pastilah korbannya akan meregang
nyawa. Karenanya tanpa tunggu lebih lama Wiro segera lepaskan pukulan
"Dewa Topan Menggusur Gunung" .
Kehebatan pukulan ini membuat
geger. Bukan saja ke sepuluh piauw emas beracun mencelat mental tapi sebagian
langit-langit gedung dan sebagian dinding amblas sedang lebih ke atas lagi atap
bangunan ambruk, salah satu tiang besar patah. Gedung yang berlapiskan emas itu
bergetar dahsyat laksana diguncang gempa. Koan-koan, Pek Lan, dan murid-murid
Dewi Siluman jatuh berkaparan di lantai sedang Wiro dan sang Dewi sendiri
tergontai-gontai untuk beberapa lamanya. Wajah sang Dewi sepucat kertas kini.
Jika pemuda asing itu tidak lekas dapat dibunuhnya pasti dia bakal celaka
pikirnya. Maka diputuskannyalah untuk mengeluarkan ilmu simpanannya yang
terakhir yakni ilmu siluman atau ilmu sihir (hoatsut) yang selama ini tak satu
orang pun sanggup menandingnya.
Koan-koan, begitu melihat
mulut gurunya berkomat-kamit dan sepasang matanya laksana dikobari nyala api,
dengan ilmu menyusupkan suara segera memberi peringatan, "Awas, dia akan
segera mengeluarkan ilmu sihir silumannya! Hati-hati!"
Mendengar ini Wiro segera
cabut Kapak Naga Geni 212. Namun sebelum dia sempat mempergunakan, di depan
sana Ketua Hun-tiong Houw-mo sudah membentak, "Naik!"
Wiro merasakan kedua telapak
kakinya tidak lagi menginjak lantai. Tubuhnya perlahan-lahan naik ke atas.
Dengan sekuat tenaga dia coba bertahan. Satu pukulan sakti yakni pukulan
"Sinar Matahari" dilepaskan ke arah lawan kemudian menyusul dia
kiblatkan senjatanya. Namun dua serangannya itu hanya mengenai tempat kosong
dan merusak gedung yang bagus itu sedang lawannya sendiri sudah lenyap dari
hadapannya.
Ketika Wiro berpaling ke kiri,
segulung asap membuntal ke arahnya. Sedetik kemudian asap itu berobah menjadi
satu makhluk raksasa, badan manusia berbulu sedang kepala harimau bertampang
ganas dengan taring-taring luar biasa besarnya. Binatang ini menggereng.
Bangunan itu terasa bergetar. Koan-koan serta gadis-gadis lainnya sama-sama menjauhkan
diri dengan perasaan ngeri.
"Pemuda itu tak akan
sanggup memusnahkan ilmu siluman dari Ketua…" bisik si Hitam Ling-ling
dengan menggigil.
"Rampas kapak itu!"
Dewi Siluman Harimau memberi perintah pada makhluk sihirnya. Makhluk ini
kembali menggereng dan sekali dia bergerak
Kapak Naga Geni 212 di tangan
Wiro sudah kena dirampas. Wiro memukul dengan pukulan "Segulung Ombak
Menerpa Karang", namun pukulan itu seolah-olah lewat di tempat kosong,
tidak menimbulkan apa-apa pada diri manusia raksasa kepala harimau. Wiro
keluarkan keringat dingin. "Celaka sekarang mampuslah aku!" keluh
pendekar ini.
Dan kembali terdengar Ketua
Hun-tiong Houwmo memberikan perintah, "Bunuh dia dengan kapak itu."
Makhluk sihiran itu menggereng
dan mengangkat tangan kanannya yang memegang kapak tinggitinggi. Wiro melompat
selamatkan diri seraya lepaskan pukulan "Sinar Matahari", tapi tak
mempan dan dalam pada itu tangan kiri raksasa kepala harimau itu telah
mencengkeram pundaknya hingga dia tak bisa berkutik lagi.
Ketua Hun-tiong Houw-mo
tertawa meninggi. "Bunuh," teriaknya.
Kapak Naga Geni 212 membacok
turun ke arah batok kepala Wiro Sableng.
"Celaka, betul-betul aku
mampus juga akhirnya…. " Wiro cuma bisa membathin demikian dan tutupkan
mata siap menerima kematian dengan tabah.
Justru di saat yang amat
kritis itu terdengar satu suara berseru, "Siok Eng! Ilmu menakuti
anak-anak apakah yang kau keluarkan ini!"
Selarik sinar biru yang dingin
melesat dari atas reruntuhan atap. Makhluk kepala harimau menggereng. Kapak Naga
Geni 212 lepas dari tangannya dan detik itu pula sosok tubuhnya lenyap punah!
Jika ada orang yang paling
kaget di tempat itu, maka manusianya adalah Ketua Hun-tiong Houwmo sendiri
yang tadi dipanggil dengan nama aslinya yaitu Siok Eng!
Wiro juga kaget dan buka
sepasang matanya lebar-lebar. Sesosok tubuh kurus kering macam jerangkong
dilihatnya melayang turun dari panglari dan segera dikenalinya. Pemuda ini
kontan berteriak: "Locianpwe!"
***
Kapak Maut Naga Geni 21211
TERNYATA orang yang barusan
melompat dari atas langit-langit ruangan bukan lain adalah kakekkakek sakti
bertubuh kurus kering macam jerangkong yang tempo hari secara kebetulan pernah
ditolong oleh Wiro dari ruangan batu di mana dia disekap. Dia yang dikenal
dengan Pendekar Pedang Akhirat Long Sam Kun.
Melihat munculnya si kakek di
tempat itu, kaget Dewi Siluman bukan kepalang. Dia sudah tahu kalau kakek itu
terlepas dari penjara batu di mana dia disekap selama bertahun-tahun. Namun
adalah tidak diduganya sama sekali kalau dia akan muncul di situ demikian
cepatnya!
Di lain pihak si kakek tertawa
gelak-gelak lalu berpaling pada Wiro, "Budak, tidak dinyana bukan kalau
hari ini aku telah dapat membalas hutang nyawa tempo hari terhadapmu?"
Wiro cepat menjura dan
menghaturkan terima kasih. Dia hendak mengatakan sesuatu namun saat itu
Pendekar Pedang Akhirat telah berpaling pada Ketua Hun-tiong Houw-mo.
"Siok Eng! Dosa
kejahatanmu telah lewat takaran! Hari ini kau harus mempertanggungjawabkan
semua itu!"
Meskipun saat itu Ketua
Hun-tiong Houw-mo boleh dikatakan sudah pecah nyalinya namun dengan tetap
angkuh dia bertolak pinggang dan mendamprat!
"Pengemis gila dari mana
yang kesasar kemari! Lekas angkat kaki dari istanaku. Kalau tidak kubikin
berhamburan benakmu!"
Long Sam Kun cuma ganda
tertawa mendengar kata-kata itu. "Kini semua jelas bagiku, Siok Eng! Tiga
tahun yang lalu kau sengaja menipuku dan menjebloskan diriku ke dalam liang
penjara batu. Dengan berbuat demikian kau merasa tak ada lagi yang menghalangi
dirimu berbuat kejahatan seenak perutmu, mendirikan komplotan Hun-tiong Houw-mo
dengan maksud membunuh musnah tokohtokoh persilatan hingga kau bisa merajai
dunia kangouw! Kau lupa Siok Eng! Kejahatan tak akan pernah menang dari
kebenaran!"
"Tua bangka edan! Namaku
bukan Siok Eng! Lekas minggat dari sini atau…."
Pendekar Pedang Akhirat
tertawa bergelak. "Kau tak mau kupanggil dengan nama aslimu itu?! Kau
hendak menipu dirimu sendiri? Cukup sejak dari muda kau menipuku dengan kasih
sayang palsu dan penyelewengan. Hari ini jangan harap kau bisa berbuat lebih
banyak!" Orang tua bertubuh jerangkong itu maju satu langkah. "Sudah
saatnya kau memperlihatkan tampangmu yang asli, Siok Eng!"
Habis berkata demikian Long
Sam Kun menyerbu ke depan. Tubuhnya lenyap. Ketua Hun-tiong Houw-mo membentak
garang dan lepaskan sekaligus pukulan Ilmu Jari Kelabang Hijau dengan kedua
belah tangannya. Sepuluh larik sinar hijau menyambar ke arah tubuh Long Sam
Kun. Justru di saat itu pula terlihat satu cahaya merah menebas dan punahlah
serangan Ketua Hun-tiong Houw-mo. Juga pada detik yang bersamaan terdengar
pekik sang Ketua dan gelak berderai Pendekar Pedang Akhirat!
"Nah sekarang semua orang
bisa melihat tampangmu yang asli! Selama ini kau telah menipu dirimu sendiri
dan orang lain!"
Memandang pada Ketua Hun-tiong
Houw-mo itu, baik Wiro maupun lima murid-muridnya bukan kepalang terkejut
mereka. Wajah gadis jelita yang selama ini mereka lihat ternyata hanyalah
sebuah topeng tipis belaka yang barusan telah direnggutkan oleh Pendekar Pedang
Akhirat Long Sam Kun. Kini wajah sang ketua yang asli hanyalah wajah peot
cekung penuh kerut dari seorang nenek-nenek yang berusia sekitar 80 tahun!
Long Sam Kun masih terus
mengumbar tertawanya sambil melintangkan pedang merah tipis di depan dada.
"Siok Eng! Kau juga punya
pedang seperti yang kupegang ini. Lekas keluarkan dan aku beri kau kesempatan
untuk membela diri."
"Koko…" tiba-tiba
membersit ucapan itu dari sela bibir Ketua Hun-tiong Houw-mo. Sepasang matanya
berkaca-kaca dan perlahan-lahan dia berlutut di hadapan Long Sam Kun.
Sesaat hati kakek ini jadi
tergetar juga. Namun cepat dia mendongak, menguatkan hatinya dan membentak,
"Ini bukan panggung sandiwara, Siok Eng! Kalau kau tak mau kuberi
kesempatan untuk membela diri, kau bakal lebih menyesal sampai ke pintu gerbang
kematianmu yang terkutuk! Jangan mengemis cinta dan belas kasihan terhadapku!
Apa kau tidak punya malu?!"
Ucapan itu membuat wajah Siok
Eng alias Ketua Hun-tiong Houw-mo menjadi gelap. Tiba-tiba dia melompat
berdiri. Dari balik pakaian sutera merahnya nenek ini cabut sebilah pedang
merah yang bentuknya persis sama dengan pedang yang digenggam oleh Long Sam
Kun!
"Bagus, kau telah
menentukan kematianmu secara lebih rnenyenangkan!"
"Tua bangka keparatl
Jangan terlalu takabur. Kepalamu akan menggelinding lebih dulu!" teriak
Siok Eng marah. Dia menerkam ke depan. Pedangnya bersuit. Segulung sinar merah
menebas ganas ke arah Long Sam Kun dalam jurus yang dinamakan hun-tin-coan-san
atau Awang Melintang Memutus Bukit. Ini merupakan satu jurus dari ilmu pedang
naga kencana yang dimiliki oleh Siok Eng. Kehebatannya luar biasa. Namun di
mata si tua bangka Long Sam Kun itu bukan apa-apa. Dia segera sambut dengan
jurus ilmu pedangnya yang sejak 20 tahun silam telah menggegerkan dunia kangouw
di Tiongkok yakni jurus pertama dari ilmu pedang akhirat yang bernama
"Tiba-tiba Muncul Pelangi" (Cip hian jay hong).
Wiro yang saat itu tegak
sambil memegang Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga segala kemungkinan jadi
geleng-geleng kepala. Dia telah diberi pelajaran jurus ilmu pedang itu oleh
Long Sam Kun dan bahkan telah pernah mencobanya sendiri menghadapi, musuh-musuh
tangguh. Tapi jurus "Tiba-tiba Muncul Pelangi" yang dimainkan si
kakek boleh dikatakan hampir enam kali lebih hebat dari yang dikuasainya. Mau
tak mau pendekar ini jadi leletkan lidah saking kagum!
Siok Eng sudah tahu kehebatan
ilmu pedang orang yang pernah menjadi kekasihnya, tetapi kemudian dikhianatinya
itu bahkan dipenjarakannya di liang batu. Adalah tak bisa dipercayai olehnya
kalau setelah tiga tahun mendekam dalam penjara batu tahu-tahu ilmu pedang si
kakek kini semakin dahsyat! Karenanya dalam jurus kedua Siok Eng segera
lancarkan serangan dengan gerakan yang dinamakan Hek-houw wat sim atau Harimau
Hitam Mengorek Hati yang kemudian disusul dengan gerakan ganas bernama
Sin-liong-pok cui atau Naga Sakti Menyambar Air.
Pendekar Pedang Akhirat tetap
tenang-tenang saja dan dengan satu gerakan yang sebat, setelah mengelakkan
kedua serangan itu dia mainkan jurus kelima dari ilmu pedangnya yang disebut Tiang-hongkoan
jit atau "Pelangi Menutup Matahari".
"Trang!"
Pedang merah di tangan Siok
Eng terlepas mental dan sebelum senjata ini jatuh ke lantai, ujung pedang di
tangan Long Sam Kun telah menusuk dada Siok Eng, tembus sampai ke punggung
Ketua Komplotan Hun-tiong Houw-mo ini cuma keluarkan seruan pendek dan mati
dengan mata membeliak. Long Sam Kun tarik pedangnya dan tubuh Siok Eng lantas
roboh ke lantai. Orang tua itu menarik nafas dalam, membungkuk mengambil pedang
Siok Eng lalu memandang pada Wiro dan gadis-gadis yang ada di situ.
Sekali lagi dia menarik nafas
dalam lalu berkata, "Ini satu pelajaran bagi kalian. Ada kalanya cinta itu
harus dikorbankan untuk suatu kebenaran. Mudah-mudahan kalian tidak mengalami
nasib sepahit diriku ini!" Habis berkata begitu Pendekar Pedang Akhirat
Long Sam Kun balikkan tubuh.
"Locianpwe, tunggu
dulu…." Wiro cepat memanggil.
"Ah, budak kau masih
seperti dulu saja. Seialu banyak cerewet. Sudah, kau atur saja nona-nona manis
itu. Aku percaya kau akan bakal bisa membawa mereka ke jalan yang benar, keluar
dari neraka dunia di puncak Hun-tiong san!"
Si muka jerangkong itu
tersenyum kedipkan matanya pada Wiro dan berkelebat pergi. Pendekar Kapak Maut
212 geleng-geleng kepala dan garuk-garuk rambutnya. "Ah, benar-benar di
luar langit masih ada langit lagi…" katanya dalam hati dan seenaknya
tangan kirinya kemudian sudah melingkar di pinggang si Putih Koan-koan.
TAMAT