Setelah Hong Beng mengeluarkan ilmu-ilmu silat dari Pulau Es, Kun Tek
terkejut dan terdesak. Dia tidak mengenal ilmu silat itu, hanya merasa
betapa ilmu silat lawannya itu makin lama semakin kuat. Karena maklum
betapa lihainya lawan, Cu Kun Tek yang kini menjadi penasaran dan marah
sekali, langsung mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang yang
mengeluarkan sinar berkilauan dan hawa yang menyeramkan.
Begitu dia mengelebatkan pedang itu, segera terdengar suara mengaum keras yang amat mengejutkan hati Hong Beng. Pemuda ini segera tahu bahwa lawannya memiliki sebatang pedang pusaka yang amat ampuh. Dia tidak merasa jeri, akan tetapi bersikap hati-hati sekali.
"Tahan senjata...!" Terdengar bentakan halus dan tiba-tiba saja muncullah Bi Lan di situ.
Melihat gadis yang sesungguhnya menjadi penyebab perkelahian mereka, dua orang pemuda itu menjadi terkejut. Muka mereka berubah merah dan keduanya tidak tahu harus berkata apa.
Bi Lan berdiri di antara mereka, memandang ke kanan kiri, bergantian, lalu menatap wajah Kun Tek. Dipandang seperti itu, Kun Tek menjadi gugup dan untuk menenangkan perasaannya yang bingung, dia kemudian menyarungkan kembali pedang pusakanya dan disimpannya ke dalam buntalan pakaiannya.
"Kun Tek, apa artinya semua ini? Baru sebentar saja kau kutinggalkan, tahu-tahu sudah berkelahi mati-matian!" Bi Lan menegur.
"Bukan aku yang mencari permusuhan, akan tetapi dia ini datang-datang seperti orang gila menuduh aku yang bukan-bukan dan menyerangku. Tentu saja aku membela diri, tidak sudi mati konyol dalam serangan tangan yang keji."
Bi Lan menghadapi Hong Beng yang menunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah. "Dan apa pula artinya perbuatanmu ini, Hong Beng? Datang-datang engkau menyerang Kun Tek, padahal engkau sendiri sudah tahu bahwa dia bukan orang jahat ketika dia membantu keluarga mempelai yang diganggu oleh Phoa Wan-gwe? Apa maksudmu?"
"Bi Lan, aku... aku melihat betapa dia tidak sopan ketika mengobatimu... dan aku... aku tidak tahan. Dia terlalu kurang ajar, maka setelah engkau pergi, aku segera keluar dan menyerangnya."
Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tak senang kepada Hong Beng. Pertama, bahwa Hong Beng diam-diam telah mengintai mereka, dan kedua, ia menganggap Hong Beng hendak mencampuri urusan pribadinya!
"Hong Beng, engkau sungguh lancang tangan. Aku tidak minta perlindunganmu, dan Kun Tek ini sama sekali tidak kurang ajar, melainkan mengobati pinggangku dan apa yang dilakukannya itu atas persetujuanku. Apa sangkut-pautnya dengan dirimu?"
Melihat betapa gadis yang dicintanya itu marah-marah dan memarahinya di depan pemuda lain itu, Hong Beng semakin menundukkan mukanya. Hatinya terasa seperti disayat-sayat dan dia pun sadar bahwa tindakannya tadi sebenarnya terburu nafsu, terdorong oleh cemburu yang berkobar-kobar.
"Bi Lan, memang seharusnya aku tahu diri... saudara Kun Tek, kau maafkanlah aku. Selamat tinggal!" Hong Beng lalu melompat dan berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu supaya tidak tampak oleh mereka bahwa kedua matanya menjadi panas dan basah.
Kun Tek memandang kagum. "Hebat, dia seorang pemuda yang hebat, ilmu silatnya luar biasa, jauh lebih tinggi dariku dan lihat betapa hebat ginkang-nya ketika dia lari."
"Tentu saja, dia adalah murid keluarga para pendekar Pulau Es."
"Ahhh...!" Kun Tek terbelalak dan mengangguk-angguk, "Pantas saja tadi pukulannya mengandung tenaga panas seperti api. Pernah aku mendengar dari ayah tentang dua ilmu sinkang amat hebat dari Pulau Es yang disebut Hwi-yang Sinkang yang panas sekali dan Swat-im Sinkang yang dingin sekali. Sayang aku tidak sempat berkenalan lebih baik dengan dia. Akan tetapi, kenapa dia bersikap begitu aneh dan menyerangku seperti orang gila saja?"
"Karena cemburu."
"Cemburu?"
"Dia mencintaku akan tetapi aku menolaknya. Agaknya dia cemburu ketika melihat cara engkau mengobati pinggangku tadi."
"Ahhhh...!" Muka pemuda itu menjadi merah. Hening sejenak, dalam suasana yang sunyi menegangkan.
"Kun Tek, aku kembali untuk bertanya kepadamu apakah engkau mengenal orang yang sedang kucari."
"Siapakah dia?" bertanya Kun Tek, merasa lega bahwa percakapan beralih sehingga suasana menegangkan tadi pun terputus.
"Julukannya Suling Naga, Pendekar Suling Naga!"
"Suling Naga...?" Sepasang mata Kun Tek terbelalak. "Tentu saja aku mengenalnya! Bukankah namanya Sim Houw?"
"Mungkin, aku tidak tahu, hanya julukannya Pendekar Suling Naga. Tahukah engkau di mana dia dan di mana aku dapat bertemu dengannya?"
"Bi Lan, ada urusan apakah engkau mencari Pendekar Suling Naga Sim Houw?"
Kembali Bi Lan mengerutkan alisnya. "Urusan pribadi. Kalau engkau tahu, katakan saja di mana aku dapat bertemu dengan dia."
"Dia seorang pendekar perantau, Bi Lan, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi menurut ayah, pendekar itu suka berkelana dan bertapa di sekitar puncak Tai-hang-san."
"Terima kasih, Kun Tek dan selamat tinggal."
"Nanti dulu, Bi Lan!"
"Ada apa lagi?"
"Baru saja engkau menyelamatkan diriku dari tangan Hong Beng dan aku sungguh merasa menyesal sekali dengan peristiwa yang terjadi dengan dia. Dia seorang murid keluarga Pulau Es dan sahabat baikmu..."
"Aku tadi dongkol padanya. Dia terlalu cemburu, ada hak apa dia mencampuri urusan pribadiku? Dia cemburu tanpa alasan! Engkau dan aku adalah dua sahabat baik, dan engkau mengobati aku dengan hati jujur dan bersih. Tidak ada alasan baginya untuk mencemburuimu."
Kun Tek menarik napas panjang. "Dia tak bersalah, Bi Lan, dan memang ada alasannya maka dia mencemburui aku."
"Heiii? Apa maksudmu?"
"Maksudku, dia beralasan untuk cemburu karena… memang sesungguhnya akupun... jatuh cinta padamu, Bi Lan."
"Ehh...?"
Ingin Bi Lan tertawa gembira. Inilah saat yang dinanti-nanti. Memang ia sudah berusaha untuk menjatuhkan Kun Tek. Saat meninggalkan pemuda itu pun termasuk siasatnya, akan tetapi tak pernah disangkanya ia akan berhasil secepat dan semudah itu.
"Mana mungkin? Kita baru semalam berkenalan, Kun Tek!"
"Mengenalmu satu malam bagiku seperti telah mengenalmu bertahun-tahun, Bi Lan."
"Tapi... tapi bagaimana engkau bisa begini yakin?"
"Ketika kita bercakap-cakap, ketika kita makan bersama, ketika aku mengobatimu, lalu ketika engkau pergi meninggalkan aku. Perasaanku takkan menipuku, Bi Lan. Ketika engkau pergi, aku merasa begitu hampa dan berduka, aku takut kehilangan engkau, dan sekarang pun aku takut kehilangan engkau karena aku cinta padamu, Bi Lan."
Bi Lan memandang tajam. "Yakin benarkah engkau, Kun Tek? Ingat, aku hanya seorang perempuan dari darah daging belaka, tidak lemah lembut dan tidak baik budi, tidak pula cantik lahir batin, banyak cacat celanya!"
"Aku yakin sepenuh hatiku, Bi Lan. Aku cinta padamu, terasa benar dalam hatiku."
Kini Bi Lan tersenyum, senyum sinis dan mengejek. "Hemm... hemmm... lalu ke mana larinya perempuan khayalmu itu, Kun Tek?"
Pemuda itu terbelalak. "Perempuan khayal...?"
"Ya, lupakah engkau bahwa engkau tak akan pernah jatuh cinta kecuali kepada seorang perempuan yang seperti dalam khayalanmu itu, yang tanpa cacat cela dan segalanya itu? Bagaimana engkau sekarang, hanya dalam waktu sehari saja, sudah melupakan perempuan khayalmu itu dan mengatakan jatuh cinta padaku?"
Kun Tek teringat dan dia merasa terpukul sekali. "Aku telah bodoh selama ini, Bi Lan. Perempuan seperti yang kukhayalkan itu tidak ada di dunia ini, bukan dari darah daging, tidak mungkin ada wanita tanpa cacat cela dan..."
"Cukup! Engkau memang tolol, bodoh, dan sombong. Aku tidak sudi... aku tidak dapat menerima cintamu. Engkau cintailah saja wanita khayalanmu yang bukan dari darah daging, dan tidak akan dapat menolakmu. Selamat tinggal!" Dan dengan cepat Bi Lan pergi dan berlari cepat.
Kun Tek menjadi bengong. Dia menjadi bingung, tidak mengerti kesalahan apa yang telah dilakukannya kepada Bi Lan yang menyebabkan gadis itu nampaknya demikian marah kepadanya. Dia tidak berani melakukan pengejaran karena hal itu tentu akan membuat Bi Lan semakin marah. Dia hanya duduk terlongong termenung, tenggelam dalam lamunan. Dia mengingat kembali segala percakapannya tadi dengan Bi Lan, juga percakapan mereka kemarin. Setelah kini dia bisa menenangkan pikirannya, nampaklah dengan jelas semua kesalahannya.
"Aku memang tolol, bodoh dan sombong. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Bi Lan tadi," bisiknya duka.
Kini nampaklah olehnya betapa sikapnya dan kata-katanya merupakan kebodohan demi kebodohan yang tidak ketulungan lagi. Mula-mula dia menggambarkan bahwa dia tidak akan jatuh cinta kecuali kepada seorang wanita seperti yang digambarkannya itu dan tentu saja ucapan seperti ini di depan seorang gadis menyinggung perasaan dan harga diri gadis itu.
Kemudian dalam pengakuan cintanya, dengan amat tolol dia mengatakan bahwa wanita tanpa cacad itu TIDAK ADA, dengan demikian kembali dia telah menyinggung perasaan wanita yang dicintanya, karena dengan ucapan itu seolah-olah dia sudah mengatakan bahwa Bi Lan tidaklah seperti wanita khayalnya itu, bahwa Bi Lan penuh cacat cela. Sungguh amat tolol! Hatinya sekarang merasa berduka sekali. merasa betapa keadaan sekelilingnya tanpa Bi Lan nampak sunyi mati, segala sesuatu nampak kurang menarik lagi.
Beginilah kalau cinta asmara sudah menyerang orang dan membuat orang itu menjadi korban kegagalan. Yang datang kemudian hanyalah kekecewaan yang melenyapkan gairah hidup sehingga hidup ini nampak amat buruk. Semua ini karena perasaan iba diri yang menikam perasaan. Merasa diri paling celaka karena idam-idaman hatinya terbang melayang meninggalkannya.
Sementara itu, Bi Lan berlari dengan cepat sekali. Tanpa tujuan tertentu, asal dapat meninggalkan Kun Tek secepatnya. Hatinya terasa panas bukan main. Tadinya ia ingin mempermainkan Kun Tek untuk memberi ‘hajaran’ kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, yang seolah-olah menganggap di dunia ini tidak ada wanita yang pantas untuk dirinya, pantas menjadi jodohnya! Kemudian, ia berhasil menggerakkan hati dan kejantanan Kun Tek yang membuat pemuda itu bertekuk lutut dan menyatakan cinta kepadanya.
Tadinya ia hendak mentertawakannya, merasa girang sebab berhasil memberi hajaran. Eh, tidak tahunya kembali pemuda itu mengeluarkan kata-kata yang amat menyinggung perasaannya. Katanya bahwa wanita tanpa cacad itu tidak ada! Padahal ia baru saja menyatakan cinta kepadanya. Bukankah hal itu sama saja dengan membandingkan ia dengan perempuan khayal itu? Perempuan khayal itu yang paling hebat dan ternyata perempuan seperti itu tidak ada! Dan ia sendiri? Dengan demikian ia bukan perempuan yang paling baik bagi Kun Tek. Sombong! Pemuda tolol dan sombong!
Agaknya lari cepat sampai mengeluarkan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya membuat kemarahan Bi Lan mereda pula. Hati yang panas mulai dingin dan ia lalu menghentikan larinya dan duduk di lereng sebuah bukit karena ketika lari tadi tanpa disadarinya ia menanjak sebuah bukit. Pantas saja keringatnya bercucuran, tak tahunya tempat ia berlari tadi menanjak terus.
Lereng bukit itu sunyi sekali dan ia pun duduk di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Sejuk sekali tempat itu dan angin semilir mengusir kegerahan. Dengan sehelai sapu tangan diusapnya keringat dari leher dan mukanya, kemudian ia duduk termenung, membayangkan hal-hal yang baru saja terjadi.
Ada tiga orang pria berturut-turut menyatakan cinta kepadanya! Pertama adalah Bhok Gun, yang ke dua Gu Hong Beng dan ke tiga adalah Cu Kun Tek. Tanpa disadarinya, ia membanding-bandingkan tiga orang pria itu, dan melamunkan kalau ia menjadi jodoh seorang di antaranya.
Bhok Gun yang tertua di antara mereka, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, seorang pria yang sudah matang dan banyak pengalamannya. Bhok Gun berwajah tampan dan nampak makin menarik karena dia pesolek dan pandai merias diri. Ilmu silatnya juga lihai karena sebagai cucu murid Pek-bin Lo-sian, dia mewarisi ilmu yang satu sumber dengan ilmu-ilmu yang dimiliki oleh Sam Kwi.
Akan tetapi pria ini mata keranjang, bahkan cabul dan gila perempuan. Juga memiliki sifat-sifat jahat dan curang. Menjadi isteri seorang pria macam Bhok Gun ini memang bisa saja berenang dalam lautan kemewahan, akan tetapi hatinya tentu akan selalu dirongrong karena pria ini takkan berhenti mengejar wanita-wanita lain.
Rayuan-rayuan mautnya itu semua hanyalah palsu belaka, hanya untuk menundukkan wanita yang sebentar lagi akan dicampakkannya begitu saja kalau dia sudah merasa bosan! Tidak, ia tidak akan sudi menjadi jodoh pria macam itu. Apa lagi perkenalannya dengan Bhok Gun itu hanya melalui suci-nya yang menjadi kekasih Bhok Gun.
Masih muak kalau dia mengingat kembali apa yang didengarnya dan dilihatnya antara Bi-kwi dan Bhok Gun, kemuakan yang membuat wajahnya memerah dan jantungnya berdebar aneh. Bagaimana pun juga, Bi Lan sudah mulai dewasa! Belum pernah Bhok Gun melakukan sesuatu yang baik baginya. Tidak, ia tidak sudi menjadi jodoh Bhok Gun.
Lain lagi halnya dengan dua orang pemuda lainnya dan kini diam-diam ia membanding-bandingkan antara Hong Beng dan Kun Tek. Kedua orang pemuda itu, Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek, keduanya sama muda, sama gagah perkasa, sama pendekar dan keduanya pernah menyelamatkannya dari bahaya yang bahkan mungkin lebih hebat dan mengerikan dari pada maut sendiri! Ia sukar membayangkan betapa akan jadinya dengan dirinya kalau tidak ada Hong Beng dan Kun Tek. Tentu sudah dua kali terjatuh ke tangan Bhok Gun jahanam itu.
Gu Hong Beng sudah dikenalnya dengan baik. Ia seorang pemuda yatim piatu yang nasibnya hampir sama dengan nasibnya sendiri. Wajahnya cukup menarik walau pun pemuda ini amat sederhana dengan pakaiannya yang serba biru, seperti seorang petani saja, atau seorang buruh biasa. Akan tetapi kepandaiannya hebat karena pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es!
Sayang wataknya terlalu pendiam dan bahkan agak pemalu walau pun budi bahasanya halus. Akan tetapi dia sangat pencemburu, seperti yang sudah dibuktikan ketika dia menyerang Kun Tek hanya karena melihat Kun Tek meraba kulit pinggangnya yang tanpa ditutup kain, yang memang disengajanya untuk ‘menjatuhkan’ Kun Tek sebagai penghajaran! Padahal, sentuhan itu hanya dilakukan oleh Kun Tek untuk mengobatinya, dan hal itu sudah membuat Hong Beng cemburu dan menyerang Kun Tek!
Ahh, ia takkan merasa berbahagia hidup sebagai isteri orang pencemburu seperti itu, yang tidak mempunyai rasa humor sedikit pun dalam hidup. Sama saja dengan memiliki suami patung hidup, betapa pun lihainya dalam ilmu silat!
Bagaimana dengan Kun Tek? Pemuda yang gagah perkasa, tinggi besar dan biar pun mukanya berkulit agak kehitaman, namun dia ganteng dan gagah perkasa. Sayang, selain juga tidak banyak bicara, kalau bicara amat tajam dan galak, juga agak terlalu tinggi menghargai diri sendiri sehingga ada kecondongan kepada sifat sombong dan besar kepala. Tidak, ia pun takkan berbahagia bersuamikan Kun Tek.
Sampai lama gadis itu bengong saja, sampai akhirnya teringat akan nasibnya sendiri. Sebetulnya, dia sendiri tidak mempunyai persoalan, tidak mempunyai musuh karena semua pembunuh orang tuanya sudah dibasmi habis oleh Sam Kwi. Akan tetapi, kalau tadinya ia berhutang budi kepada Sam Kwi, kini budi itu dioper oleh Bi-kwi, suci-nya yang telah menyelamatkannya dan membebaskannya dari bencana diperkosa oleh Sam Kwi.
Dan ia sudah berjanji kepada suci-nya itu untuk merampas Suling Naga dan kelak kalau sempat ia akan membantu pula suci-nya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan dengan Suling Naga di tangannya! Pusaka yang kini menjadi milik Pendekar Suling Naga Sim Houw itu sudah dia ketahui di mana harus dicarinya. Dari Kun Tek ia sudah mendengar bahwa Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw itu kadang-kadang berkeliaran di sekitar puncak Pegunungan Tai-hang-san.
Persoalan merampas pusaka untuk membalas budi suci-nya seperti pernah ia janjikan, sekarang telah mulai nampak jalan keluarnya. Akan tetapi sebelum pusaka itu dapat direbutnya, muncul persoalan baru. Pedang Ban-tok-kiam, yang oleh subo-nya hanya dipinjamkan kepadanya, sekarang dirampas orang! Dan perampasnya adalah seorang pendeta Lama yang demikian lihai!
Dengan dibantu Hong Beng saja dia tidak mampu merampas kembali, apa lagi kalau harus menghadapinya sendiri. Akan tetapi, apa pun resikonya, ia harus bisa merampas kembali Ban-tok-kiam. Ia akan ke Tai-hang-san lebih dulu, akan mencari pendekar Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan merampas kembali pedang pusaka itu! Ia akan membujuk pendekar itu untuk mengalah dan menyerahkan kembali pedang itu yang memang menjadi hak dari keturunan Sam Kwi, karena pendekar itu merampasnya atau menerimanya dari Pek-bin Lo-sian, susiok (paman guru) dari Sam Kwi.
Berangkatlah dara yang tabah itu seorang diri dan karena memang pada dasarnya ia berwatak gembira jenaka, maka begitu ia bangkit dan melangkah pergi, semua pikiran mengenai masalah-masalah yang menyulitkan itu pun sudah ditinggalkannya! Ia akan mencari Pendekar Suling Naga dan tentang bagaimana nanti selanjutnya, terserah saja pada keadaan. Ia tidak mau berpusing-pusing tentang hal yang belum terjadi!
Keadaan batin seperti yang dimiliki Bi Lan ini membuat dia dapat menikmati hidup. Kehidupan menjadi indah karena apa yang dilihatnya senantiasa baru. Kebanyakan dari kita tidak mau hidup seperti itu. Kita tergantung kepada hal-hal yang lalu, terikat kepada hal-hal yang akan datang seperti yang kita harap-harapkan.
Kita terluka parah oleh masa lalu dan kita terbuai oleh masa depan yang kita namakan cita-cita. Karena terluka oleh masa lalu, selalu mengingat-ingat masa lalu, maka wajah kita menjadi selalu muram dan seolah-olah selalu diliputi awan gelap. Dan karena kita selalu mengejar-ngejar cita-cita atau yang kita namakan pula kemajuan, yang bukan lain hanyalah keinginan-keinginan yang diharapkan akan terjadi di masa depan, keinginan akan suatu keadaan yang lebih menyenangkan, maka kita terombang-ambing antara masa lalu dan masa depan sehingga kita lupa bahwa HIDUP adalah SEKARANG, saat ini!
Hidup adalah saat demi saat ini. Yang lalu sudah mati, tak perlu diingat lagi, walau pun dari pengalaman-pengalaman masa yang lalu dapat membuat kita lebih waspada dalam menghadapi segala peristiwa hidup. Masa depan adalah khayal. Lebih baik bekerja keras dari pada melamunkan masa depan yang baik. Suatu keadaan yang baik tidak hanya dapat terjadi karena direncanakan atau dilamunkan, melainkan BEKERJA.
Dan bekerja adalah sekarang ini. Hidup adalah sekarang ini. Bahagia adalah sekarang ini! Kalau pikiran kita berhenti berceloteh, berhenti mengoceh mengenai kenangan masa lalu dan harapan masa depan, maka batin kita menjadi tenang dan mata kita menjadi waspada sekali terhadap SAAT INI, yaitu terhadap HIDUP ini. Kita dapat menikmati hidup ini hanya setiap saat sekarang, bukan besok atau lusa. Mengapa pusing-pusing tentang besok atau lusa kalau nanti mungkin saja kita mati?
Ada orang tua yang menasehati anak-anaknya agar sekarang bersusah payah dahulu dan bersenang-senang kemudian? Apa maksudnya ini? Apakah anak-anak kita harus sengsara dulu sekarang ini dan dengan bersusah payah, bersengsara sekarang ini lalu kelak akan senang dan bahagia? Betapa malangnya anak yang disuruh begitu.
Mungkin dia menurut, lalu bersusah payah setengah mati sampai dewasa, kemudian oleh suatu sebab dia mati. Dengan demikian berarti bahwa sejak kanak-kanak sampai matinya, hidupnya hanya diisi oleh jerih payah dan susah payah, tidak pernah diberi kesempatan untuk bersenang atau bersuka!
Orang tua yang bijaksana dan benar-benar mencinta anak-anaknya pasti akan memberi kebebasan pada mereka, membiarkan mereka tumbuh subur, hanya tinggal memupuk dan mungkin meluruskan kalau tumbuhnya bengkok, akan tetapi memberi kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk berbahagia. SEKARANG! Bukan besok atau kelak kalau sudah tua.
Bukan berarti lalu membiarkan mereka bebas semau gue, gila-gilaan, atau bukan berarti lalu acuh terhadap mereka. Sama sekali tidak. Cinta kasih menimbulkan perhatian yang serius, namun tidak mengikat, tidak membelenggu. Kebahagiaan tidak mungkin didapat tanpa kebebasan!
Dalam keadaan gembira dan merasa bahagia karena sama sekali tak ada kotoran yang mengeruhkan batinnya, pikirannya kosong sehingga dapat menerima segala keindahan yang terbentang di depan matanya, segala suara yang tertangkap oleh telinganya dan segala keharuman tanah dan tumbuh-tumbuhan yang tercium oleh hidungnya, Bi Lan melanjutkan perjalanannya menuju ke Tai-hang-san, perjalanan yang amat jauh melalui pegunungan, hutan-hutan serta banyak kota dan dusun…..
Begitu dia mengelebatkan pedang itu, segera terdengar suara mengaum keras yang amat mengejutkan hati Hong Beng. Pemuda ini segera tahu bahwa lawannya memiliki sebatang pedang pusaka yang amat ampuh. Dia tidak merasa jeri, akan tetapi bersikap hati-hati sekali.
"Tahan senjata...!" Terdengar bentakan halus dan tiba-tiba saja muncullah Bi Lan di situ.
Melihat gadis yang sesungguhnya menjadi penyebab perkelahian mereka, dua orang pemuda itu menjadi terkejut. Muka mereka berubah merah dan keduanya tidak tahu harus berkata apa.
Bi Lan berdiri di antara mereka, memandang ke kanan kiri, bergantian, lalu menatap wajah Kun Tek. Dipandang seperti itu, Kun Tek menjadi gugup dan untuk menenangkan perasaannya yang bingung, dia kemudian menyarungkan kembali pedang pusakanya dan disimpannya ke dalam buntalan pakaiannya.
"Kun Tek, apa artinya semua ini? Baru sebentar saja kau kutinggalkan, tahu-tahu sudah berkelahi mati-matian!" Bi Lan menegur.
"Bukan aku yang mencari permusuhan, akan tetapi dia ini datang-datang seperti orang gila menuduh aku yang bukan-bukan dan menyerangku. Tentu saja aku membela diri, tidak sudi mati konyol dalam serangan tangan yang keji."
Bi Lan menghadapi Hong Beng yang menunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah. "Dan apa pula artinya perbuatanmu ini, Hong Beng? Datang-datang engkau menyerang Kun Tek, padahal engkau sendiri sudah tahu bahwa dia bukan orang jahat ketika dia membantu keluarga mempelai yang diganggu oleh Phoa Wan-gwe? Apa maksudmu?"
"Bi Lan, aku... aku melihat betapa dia tidak sopan ketika mengobatimu... dan aku... aku tidak tahan. Dia terlalu kurang ajar, maka setelah engkau pergi, aku segera keluar dan menyerangnya."
Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tak senang kepada Hong Beng. Pertama, bahwa Hong Beng diam-diam telah mengintai mereka, dan kedua, ia menganggap Hong Beng hendak mencampuri urusan pribadinya!
"Hong Beng, engkau sungguh lancang tangan. Aku tidak minta perlindunganmu, dan Kun Tek ini sama sekali tidak kurang ajar, melainkan mengobati pinggangku dan apa yang dilakukannya itu atas persetujuanku. Apa sangkut-pautnya dengan dirimu?"
Melihat betapa gadis yang dicintanya itu marah-marah dan memarahinya di depan pemuda lain itu, Hong Beng semakin menundukkan mukanya. Hatinya terasa seperti disayat-sayat dan dia pun sadar bahwa tindakannya tadi sebenarnya terburu nafsu, terdorong oleh cemburu yang berkobar-kobar.
"Bi Lan, memang seharusnya aku tahu diri... saudara Kun Tek, kau maafkanlah aku. Selamat tinggal!" Hong Beng lalu melompat dan berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu supaya tidak tampak oleh mereka bahwa kedua matanya menjadi panas dan basah.
Kun Tek memandang kagum. "Hebat, dia seorang pemuda yang hebat, ilmu silatnya luar biasa, jauh lebih tinggi dariku dan lihat betapa hebat ginkang-nya ketika dia lari."
"Tentu saja, dia adalah murid keluarga para pendekar Pulau Es."
"Ahhh...!" Kun Tek terbelalak dan mengangguk-angguk, "Pantas saja tadi pukulannya mengandung tenaga panas seperti api. Pernah aku mendengar dari ayah tentang dua ilmu sinkang amat hebat dari Pulau Es yang disebut Hwi-yang Sinkang yang panas sekali dan Swat-im Sinkang yang dingin sekali. Sayang aku tidak sempat berkenalan lebih baik dengan dia. Akan tetapi, kenapa dia bersikap begitu aneh dan menyerangku seperti orang gila saja?"
"Karena cemburu."
"Cemburu?"
"Dia mencintaku akan tetapi aku menolaknya. Agaknya dia cemburu ketika melihat cara engkau mengobati pinggangku tadi."
"Ahhhh...!" Muka pemuda itu menjadi merah. Hening sejenak, dalam suasana yang sunyi menegangkan.
"Kun Tek, aku kembali untuk bertanya kepadamu apakah engkau mengenal orang yang sedang kucari."
"Siapakah dia?" bertanya Kun Tek, merasa lega bahwa percakapan beralih sehingga suasana menegangkan tadi pun terputus.
"Julukannya Suling Naga, Pendekar Suling Naga!"
"Suling Naga...?" Sepasang mata Kun Tek terbelalak. "Tentu saja aku mengenalnya! Bukankah namanya Sim Houw?"
"Mungkin, aku tidak tahu, hanya julukannya Pendekar Suling Naga. Tahukah engkau di mana dia dan di mana aku dapat bertemu dengannya?"
"Bi Lan, ada urusan apakah engkau mencari Pendekar Suling Naga Sim Houw?"
Kembali Bi Lan mengerutkan alisnya. "Urusan pribadi. Kalau engkau tahu, katakan saja di mana aku dapat bertemu dengan dia."
"Dia seorang pendekar perantau, Bi Lan, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi menurut ayah, pendekar itu suka berkelana dan bertapa di sekitar puncak Tai-hang-san."
"Terima kasih, Kun Tek dan selamat tinggal."
"Nanti dulu, Bi Lan!"
"Ada apa lagi?"
"Baru saja engkau menyelamatkan diriku dari tangan Hong Beng dan aku sungguh merasa menyesal sekali dengan peristiwa yang terjadi dengan dia. Dia seorang murid keluarga Pulau Es dan sahabat baikmu..."
"Aku tadi dongkol padanya. Dia terlalu cemburu, ada hak apa dia mencampuri urusan pribadiku? Dia cemburu tanpa alasan! Engkau dan aku adalah dua sahabat baik, dan engkau mengobati aku dengan hati jujur dan bersih. Tidak ada alasan baginya untuk mencemburuimu."
Kun Tek menarik napas panjang. "Dia tak bersalah, Bi Lan, dan memang ada alasannya maka dia mencemburui aku."
"Heiii? Apa maksudmu?"
"Maksudku, dia beralasan untuk cemburu karena… memang sesungguhnya akupun... jatuh cinta padamu, Bi Lan."
"Ehh...?"
Ingin Bi Lan tertawa gembira. Inilah saat yang dinanti-nanti. Memang ia sudah berusaha untuk menjatuhkan Kun Tek. Saat meninggalkan pemuda itu pun termasuk siasatnya, akan tetapi tak pernah disangkanya ia akan berhasil secepat dan semudah itu.
"Mana mungkin? Kita baru semalam berkenalan, Kun Tek!"
"Mengenalmu satu malam bagiku seperti telah mengenalmu bertahun-tahun, Bi Lan."
"Tapi... tapi bagaimana engkau bisa begini yakin?"
"Ketika kita bercakap-cakap, ketika kita makan bersama, ketika aku mengobatimu, lalu ketika engkau pergi meninggalkan aku. Perasaanku takkan menipuku, Bi Lan. Ketika engkau pergi, aku merasa begitu hampa dan berduka, aku takut kehilangan engkau, dan sekarang pun aku takut kehilangan engkau karena aku cinta padamu, Bi Lan."
Bi Lan memandang tajam. "Yakin benarkah engkau, Kun Tek? Ingat, aku hanya seorang perempuan dari darah daging belaka, tidak lemah lembut dan tidak baik budi, tidak pula cantik lahir batin, banyak cacat celanya!"
"Aku yakin sepenuh hatiku, Bi Lan. Aku cinta padamu, terasa benar dalam hatiku."
Kini Bi Lan tersenyum, senyum sinis dan mengejek. "Hemm... hemmm... lalu ke mana larinya perempuan khayalmu itu, Kun Tek?"
Pemuda itu terbelalak. "Perempuan khayal...?"
"Ya, lupakah engkau bahwa engkau tak akan pernah jatuh cinta kecuali kepada seorang perempuan yang seperti dalam khayalanmu itu, yang tanpa cacat cela dan segalanya itu? Bagaimana engkau sekarang, hanya dalam waktu sehari saja, sudah melupakan perempuan khayalmu itu dan mengatakan jatuh cinta padaku?"
Kun Tek teringat dan dia merasa terpukul sekali. "Aku telah bodoh selama ini, Bi Lan. Perempuan seperti yang kukhayalkan itu tidak ada di dunia ini, bukan dari darah daging, tidak mungkin ada wanita tanpa cacat cela dan..."
"Cukup! Engkau memang tolol, bodoh, dan sombong. Aku tidak sudi... aku tidak dapat menerima cintamu. Engkau cintailah saja wanita khayalanmu yang bukan dari darah daging, dan tidak akan dapat menolakmu. Selamat tinggal!" Dan dengan cepat Bi Lan pergi dan berlari cepat.
Kun Tek menjadi bengong. Dia menjadi bingung, tidak mengerti kesalahan apa yang telah dilakukannya kepada Bi Lan yang menyebabkan gadis itu nampaknya demikian marah kepadanya. Dia tidak berani melakukan pengejaran karena hal itu tentu akan membuat Bi Lan semakin marah. Dia hanya duduk terlongong termenung, tenggelam dalam lamunan. Dia mengingat kembali segala percakapannya tadi dengan Bi Lan, juga percakapan mereka kemarin. Setelah kini dia bisa menenangkan pikirannya, nampaklah dengan jelas semua kesalahannya.
"Aku memang tolol, bodoh dan sombong. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Bi Lan tadi," bisiknya duka.
Kini nampaklah olehnya betapa sikapnya dan kata-katanya merupakan kebodohan demi kebodohan yang tidak ketulungan lagi. Mula-mula dia menggambarkan bahwa dia tidak akan jatuh cinta kecuali kepada seorang wanita seperti yang digambarkannya itu dan tentu saja ucapan seperti ini di depan seorang gadis menyinggung perasaan dan harga diri gadis itu.
Kemudian dalam pengakuan cintanya, dengan amat tolol dia mengatakan bahwa wanita tanpa cacad itu TIDAK ADA, dengan demikian kembali dia telah menyinggung perasaan wanita yang dicintanya, karena dengan ucapan itu seolah-olah dia sudah mengatakan bahwa Bi Lan tidaklah seperti wanita khayalnya itu, bahwa Bi Lan penuh cacat cela. Sungguh amat tolol! Hatinya sekarang merasa berduka sekali. merasa betapa keadaan sekelilingnya tanpa Bi Lan nampak sunyi mati, segala sesuatu nampak kurang menarik lagi.
Beginilah kalau cinta asmara sudah menyerang orang dan membuat orang itu menjadi korban kegagalan. Yang datang kemudian hanyalah kekecewaan yang melenyapkan gairah hidup sehingga hidup ini nampak amat buruk. Semua ini karena perasaan iba diri yang menikam perasaan. Merasa diri paling celaka karena idam-idaman hatinya terbang melayang meninggalkannya.
Sementara itu, Bi Lan berlari dengan cepat sekali. Tanpa tujuan tertentu, asal dapat meninggalkan Kun Tek secepatnya. Hatinya terasa panas bukan main. Tadinya ia ingin mempermainkan Kun Tek untuk memberi ‘hajaran’ kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, yang seolah-olah menganggap di dunia ini tidak ada wanita yang pantas untuk dirinya, pantas menjadi jodohnya! Kemudian, ia berhasil menggerakkan hati dan kejantanan Kun Tek yang membuat pemuda itu bertekuk lutut dan menyatakan cinta kepadanya.
Tadinya ia hendak mentertawakannya, merasa girang sebab berhasil memberi hajaran. Eh, tidak tahunya kembali pemuda itu mengeluarkan kata-kata yang amat menyinggung perasaannya. Katanya bahwa wanita tanpa cacad itu tidak ada! Padahal ia baru saja menyatakan cinta kepadanya. Bukankah hal itu sama saja dengan membandingkan ia dengan perempuan khayal itu? Perempuan khayal itu yang paling hebat dan ternyata perempuan seperti itu tidak ada! Dan ia sendiri? Dengan demikian ia bukan perempuan yang paling baik bagi Kun Tek. Sombong! Pemuda tolol dan sombong!
Agaknya lari cepat sampai mengeluarkan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya membuat kemarahan Bi Lan mereda pula. Hati yang panas mulai dingin dan ia lalu menghentikan larinya dan duduk di lereng sebuah bukit karena ketika lari tadi tanpa disadarinya ia menanjak sebuah bukit. Pantas saja keringatnya bercucuran, tak tahunya tempat ia berlari tadi menanjak terus.
Lereng bukit itu sunyi sekali dan ia pun duduk di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Sejuk sekali tempat itu dan angin semilir mengusir kegerahan. Dengan sehelai sapu tangan diusapnya keringat dari leher dan mukanya, kemudian ia duduk termenung, membayangkan hal-hal yang baru saja terjadi.
Ada tiga orang pria berturut-turut menyatakan cinta kepadanya! Pertama adalah Bhok Gun, yang ke dua Gu Hong Beng dan ke tiga adalah Cu Kun Tek. Tanpa disadarinya, ia membanding-bandingkan tiga orang pria itu, dan melamunkan kalau ia menjadi jodoh seorang di antaranya.
Bhok Gun yang tertua di antara mereka, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, seorang pria yang sudah matang dan banyak pengalamannya. Bhok Gun berwajah tampan dan nampak makin menarik karena dia pesolek dan pandai merias diri. Ilmu silatnya juga lihai karena sebagai cucu murid Pek-bin Lo-sian, dia mewarisi ilmu yang satu sumber dengan ilmu-ilmu yang dimiliki oleh Sam Kwi.
Akan tetapi pria ini mata keranjang, bahkan cabul dan gila perempuan. Juga memiliki sifat-sifat jahat dan curang. Menjadi isteri seorang pria macam Bhok Gun ini memang bisa saja berenang dalam lautan kemewahan, akan tetapi hatinya tentu akan selalu dirongrong karena pria ini takkan berhenti mengejar wanita-wanita lain.
Rayuan-rayuan mautnya itu semua hanyalah palsu belaka, hanya untuk menundukkan wanita yang sebentar lagi akan dicampakkannya begitu saja kalau dia sudah merasa bosan! Tidak, ia tidak akan sudi menjadi jodoh pria macam itu. Apa lagi perkenalannya dengan Bhok Gun itu hanya melalui suci-nya yang menjadi kekasih Bhok Gun.
Masih muak kalau dia mengingat kembali apa yang didengarnya dan dilihatnya antara Bi-kwi dan Bhok Gun, kemuakan yang membuat wajahnya memerah dan jantungnya berdebar aneh. Bagaimana pun juga, Bi Lan sudah mulai dewasa! Belum pernah Bhok Gun melakukan sesuatu yang baik baginya. Tidak, ia tidak sudi menjadi jodoh Bhok Gun.
Lain lagi halnya dengan dua orang pemuda lainnya dan kini diam-diam ia membanding-bandingkan antara Hong Beng dan Kun Tek. Kedua orang pemuda itu, Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek, keduanya sama muda, sama gagah perkasa, sama pendekar dan keduanya pernah menyelamatkannya dari bahaya yang bahkan mungkin lebih hebat dan mengerikan dari pada maut sendiri! Ia sukar membayangkan betapa akan jadinya dengan dirinya kalau tidak ada Hong Beng dan Kun Tek. Tentu sudah dua kali terjatuh ke tangan Bhok Gun jahanam itu.
Gu Hong Beng sudah dikenalnya dengan baik. Ia seorang pemuda yatim piatu yang nasibnya hampir sama dengan nasibnya sendiri. Wajahnya cukup menarik walau pun pemuda ini amat sederhana dengan pakaiannya yang serba biru, seperti seorang petani saja, atau seorang buruh biasa. Akan tetapi kepandaiannya hebat karena pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es!
Sayang wataknya terlalu pendiam dan bahkan agak pemalu walau pun budi bahasanya halus. Akan tetapi dia sangat pencemburu, seperti yang sudah dibuktikan ketika dia menyerang Kun Tek hanya karena melihat Kun Tek meraba kulit pinggangnya yang tanpa ditutup kain, yang memang disengajanya untuk ‘menjatuhkan’ Kun Tek sebagai penghajaran! Padahal, sentuhan itu hanya dilakukan oleh Kun Tek untuk mengobatinya, dan hal itu sudah membuat Hong Beng cemburu dan menyerang Kun Tek!
Ahh, ia takkan merasa berbahagia hidup sebagai isteri orang pencemburu seperti itu, yang tidak mempunyai rasa humor sedikit pun dalam hidup. Sama saja dengan memiliki suami patung hidup, betapa pun lihainya dalam ilmu silat!
Bagaimana dengan Kun Tek? Pemuda yang gagah perkasa, tinggi besar dan biar pun mukanya berkulit agak kehitaman, namun dia ganteng dan gagah perkasa. Sayang, selain juga tidak banyak bicara, kalau bicara amat tajam dan galak, juga agak terlalu tinggi menghargai diri sendiri sehingga ada kecondongan kepada sifat sombong dan besar kepala. Tidak, ia pun takkan berbahagia bersuamikan Kun Tek.
Sampai lama gadis itu bengong saja, sampai akhirnya teringat akan nasibnya sendiri. Sebetulnya, dia sendiri tidak mempunyai persoalan, tidak mempunyai musuh karena semua pembunuh orang tuanya sudah dibasmi habis oleh Sam Kwi. Akan tetapi, kalau tadinya ia berhutang budi kepada Sam Kwi, kini budi itu dioper oleh Bi-kwi, suci-nya yang telah menyelamatkannya dan membebaskannya dari bencana diperkosa oleh Sam Kwi.
Dan ia sudah berjanji kepada suci-nya itu untuk merampas Suling Naga dan kelak kalau sempat ia akan membantu pula suci-nya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan dengan Suling Naga di tangannya! Pusaka yang kini menjadi milik Pendekar Suling Naga Sim Houw itu sudah dia ketahui di mana harus dicarinya. Dari Kun Tek ia sudah mendengar bahwa Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw itu kadang-kadang berkeliaran di sekitar puncak Pegunungan Tai-hang-san.
Persoalan merampas pusaka untuk membalas budi suci-nya seperti pernah ia janjikan, sekarang telah mulai nampak jalan keluarnya. Akan tetapi sebelum pusaka itu dapat direbutnya, muncul persoalan baru. Pedang Ban-tok-kiam, yang oleh subo-nya hanya dipinjamkan kepadanya, sekarang dirampas orang! Dan perampasnya adalah seorang pendeta Lama yang demikian lihai!
Dengan dibantu Hong Beng saja dia tidak mampu merampas kembali, apa lagi kalau harus menghadapinya sendiri. Akan tetapi, apa pun resikonya, ia harus bisa merampas kembali Ban-tok-kiam. Ia akan ke Tai-hang-san lebih dulu, akan mencari pendekar Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan merampas kembali pedang pusaka itu! Ia akan membujuk pendekar itu untuk mengalah dan menyerahkan kembali pedang itu yang memang menjadi hak dari keturunan Sam Kwi, karena pendekar itu merampasnya atau menerimanya dari Pek-bin Lo-sian, susiok (paman guru) dari Sam Kwi.
Berangkatlah dara yang tabah itu seorang diri dan karena memang pada dasarnya ia berwatak gembira jenaka, maka begitu ia bangkit dan melangkah pergi, semua pikiran mengenai masalah-masalah yang menyulitkan itu pun sudah ditinggalkannya! Ia akan mencari Pendekar Suling Naga dan tentang bagaimana nanti selanjutnya, terserah saja pada keadaan. Ia tidak mau berpusing-pusing tentang hal yang belum terjadi!
Keadaan batin seperti yang dimiliki Bi Lan ini membuat dia dapat menikmati hidup. Kehidupan menjadi indah karena apa yang dilihatnya senantiasa baru. Kebanyakan dari kita tidak mau hidup seperti itu. Kita tergantung kepada hal-hal yang lalu, terikat kepada hal-hal yang akan datang seperti yang kita harap-harapkan.
Kita terluka parah oleh masa lalu dan kita terbuai oleh masa depan yang kita namakan cita-cita. Karena terluka oleh masa lalu, selalu mengingat-ingat masa lalu, maka wajah kita menjadi selalu muram dan seolah-olah selalu diliputi awan gelap. Dan karena kita selalu mengejar-ngejar cita-cita atau yang kita namakan pula kemajuan, yang bukan lain hanyalah keinginan-keinginan yang diharapkan akan terjadi di masa depan, keinginan akan suatu keadaan yang lebih menyenangkan, maka kita terombang-ambing antara masa lalu dan masa depan sehingga kita lupa bahwa HIDUP adalah SEKARANG, saat ini!
Hidup adalah saat demi saat ini. Yang lalu sudah mati, tak perlu diingat lagi, walau pun dari pengalaman-pengalaman masa yang lalu dapat membuat kita lebih waspada dalam menghadapi segala peristiwa hidup. Masa depan adalah khayal. Lebih baik bekerja keras dari pada melamunkan masa depan yang baik. Suatu keadaan yang baik tidak hanya dapat terjadi karena direncanakan atau dilamunkan, melainkan BEKERJA.
Dan bekerja adalah sekarang ini. Hidup adalah sekarang ini. Bahagia adalah sekarang ini! Kalau pikiran kita berhenti berceloteh, berhenti mengoceh mengenai kenangan masa lalu dan harapan masa depan, maka batin kita menjadi tenang dan mata kita menjadi waspada sekali terhadap SAAT INI, yaitu terhadap HIDUP ini. Kita dapat menikmati hidup ini hanya setiap saat sekarang, bukan besok atau lusa. Mengapa pusing-pusing tentang besok atau lusa kalau nanti mungkin saja kita mati?
Ada orang tua yang menasehati anak-anaknya agar sekarang bersusah payah dahulu dan bersenang-senang kemudian? Apa maksudnya ini? Apakah anak-anak kita harus sengsara dulu sekarang ini dan dengan bersusah payah, bersengsara sekarang ini lalu kelak akan senang dan bahagia? Betapa malangnya anak yang disuruh begitu.
Mungkin dia menurut, lalu bersusah payah setengah mati sampai dewasa, kemudian oleh suatu sebab dia mati. Dengan demikian berarti bahwa sejak kanak-kanak sampai matinya, hidupnya hanya diisi oleh jerih payah dan susah payah, tidak pernah diberi kesempatan untuk bersenang atau bersuka!
Orang tua yang bijaksana dan benar-benar mencinta anak-anaknya pasti akan memberi kebebasan pada mereka, membiarkan mereka tumbuh subur, hanya tinggal memupuk dan mungkin meluruskan kalau tumbuhnya bengkok, akan tetapi memberi kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk berbahagia. SEKARANG! Bukan besok atau kelak kalau sudah tua.
Bukan berarti lalu membiarkan mereka bebas semau gue, gila-gilaan, atau bukan berarti lalu acuh terhadap mereka. Sama sekali tidak. Cinta kasih menimbulkan perhatian yang serius, namun tidak mengikat, tidak membelenggu. Kebahagiaan tidak mungkin didapat tanpa kebebasan!
Dalam keadaan gembira dan merasa bahagia karena sama sekali tak ada kotoran yang mengeruhkan batinnya, pikirannya kosong sehingga dapat menerima segala keindahan yang terbentang di depan matanya, segala suara yang tertangkap oleh telinganya dan segala keharuman tanah dan tumbuh-tumbuhan yang tercium oleh hidungnya, Bi Lan melanjutkan perjalanannya menuju ke Tai-hang-san, perjalanan yang amat jauh melalui pegunungan, hutan-hutan serta banyak kota dan dusun…..
********************
Dusun Hong-cun merupakan sebuah dusun yang sangat makmur di luar kota Cin-an. Kemakmurannya, berbeda dengan dusun-dusun lain yang tanahnya gersang, adalah karena letaknya di lembah Huang-ho. Memang, setahun sekali hampir selalu daerah ini mengalami banjir dari luapan air Sungai Huang-ho. Namun pada musim-musim lainnya, tanah di situ amat suburnya dan menghasilkan panen yang cukup bagi penduduknya.
Ada sebuah rumah besar sederhana yang dikenal bukan hanya oleh seluruh penduduk dusun Hong-cun, bahkan dikenal oleh semua orang di kota Cin-an. Rumah ini adalah rumah keluarga Suma Ceng Liong! Para pembaca tentu belum lupa akan nama ini, Suma Ceng Liong. Baru melihat nama marganya saja, orang akan dapat menduga bahwa ini adalah keturunan keluarga para pendekar Pulau Es.
Suma Ceng Liong adalah putera dari mendiang Suma Kian Bu. Dia cucu langsung dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, jadi masih ada darah bangsawan dari neneknya. Namun, seperti semua keturunan para pendekar Pulau Es, tidak ada seorang pun yang menonjolkan keturunan bangsawan ini dan Suma Ceng Liong juga hidup sebagai petani biasa saja di dusun Hong-cun.
Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, Suma Ceng Liong mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari Pulau Es, bahkan ia pernah digembleng selama bertahun-tahun oleh seorang Raja Iblis, yaitu Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa lihainya pendekar yang kini sudah berusia tiga puluh dua tahun itu.
Seperti kita ketahui, kurang lebih tiga belas tahun yang lalu Suma Ceng Liong menikah dengan seorang gadis pujaan hatinya yang bernama Kam Bi Eng. Isterinya ini pun, yang usianya sama dengan dia, bukan orang sembarangan. Ia puteri pendekar sakti Kam Hong yang terkenal pula dengan julukannya Suling Emas. Sebagai puteri pendekar sakti, tentu saja Kam Bi Eng ini juga merupakan seorang pendekar wanita gemblengan yang sukar dicari tandingannya.
Setelah setahun menikah, suami isteri ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Lian, lengkapnya Suma Lian. Lian berarti bunga teratai dan nama ini diberikan oleh karena ketika mengandung, ibunya bermimpi menerima setangkai bunga teratai dari seorang bidadari yang dapat terbang dan bersayap!
Pada waktu itu, Suma Lian telah berusia dua belas tahun, seorang gadis cilik yang mungil, akan tetapi ia mewarisi watak ayah ibunya yang lincah, jenaka, nakal dan juga galak! Akan tetapi di balik watak yang kadang-kadang suka mempermainkan dan menggoda lain orang itu terdapat suatu sifat kegagahan yang diwarisi pula dari ayah ibunya.
Biar pun baru berusia dua belas tahun, Suma Lian akan dapat mencak-mencak saking marahnya dan akan berubah menjadi harimau betina kalau ia melihat ketidak adilan terjadi. Dan ia mudah menaruh hati iba kepada sesama hidup yang menderita. Ibunya pernah marah-marah karena ketika masih kecil, baru berusia delapan tahun, Suma Lian pernah mencuri gandum dan beras dari gudang kemudian membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin.
Padahal yang diambilnya itu adalah simpanan keluarga mereka sendiri. Untuk menolong orang-orang miskin, ia bahkan berani mencuri gandum keluarga sendiri. Nakal memang, akan tetapi dasarnya adalah karena ia merasa iba melihat mereka yang menderita dan ia berani mengorbankan diri dimaki-maki ibunya demi kebahagiaan orang-orang lain.
Di samping ayah, ibu dan anak ini, di dalam rumah gedung sederhana itu tinggal pula seorang nenek yang usianya sudah enam puluh enam tahun. Ia juga bukan nenek sembarangan, karena nenek itu adalah Teng Siang In, ibunda dari Suma Ceng Liong! Setelah suaminya (Suma Kian Bu) meninggal dunia dan menjadi janda, Teng Siang In mencurahkan kasih sayangnya kepada Suma Lian, kadang-kadang malah memanjakan cucu itu.
Dusun Hong-cun terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho dan tidak begitu jauh lagi dari Peking atau kota raja yang terletak di sebelah utara kota Cin-an. Karena tanah di lembah itu menghasilkan sayur-mayur yang baik, juga rempah-rempah, dan ikan yang cukup banyak, maka tentu saja keadaannya menjadi makmur dan ramai. Boleh dibilang hampir semua orang dari selatan yang hendak pergi ke kota raja melalui Cin-an, akan lewat dulu di dusun Hong-cun ini.
Semenjak neneknya tinggal di rumah itu, Suma Lian memperoleh guru ke tiga! Nenek ini tidak mau kalah oleh putera dan mantunya dalam mendidik gadis cilik itu berlatih ilmu silat! Bahkan nenek ini sudah mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silatnya yang paling berbahaya bagi lawan, yaitu Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh). Akan tetapi Suma Ceng Liong yang maklum betapa ibunya sangat sayang kepada Suma Lian, berpesan kepada ibunya agar nenek itu jangan mengajarkan ilmunya yang lain, yaitu ilmu sihir!
"Terlalu berbahaya ilmu itu bagi perkembangan jiwanya, ibu. Kecuali kelak kalau dia sudah dewasa," demikian pesannya kepada ibunya.
"Ayaaaa... kau ini anak-anak tahu apa, Ibumu tentu sudah tahu dan akan mengatur sebaik-baiknya," jawab nenek itu dan diam-diam Suma Ceng Liong mendongkol.
Ibunya ini galak dan keras kepala, dan agaknya masih saja menganggap dia yang sudah berusia tiga puluh dua tahun itu sebagai kanak-kanak saja. Akan tetapi Ceng Liong seorang anak yang berbakti dan patuh, tidak membantah lagi.
Suatu hari, pagi-pagi sekali sudah terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan suara nenek dan cucunya itu ketika mereka berlatih di kebun belakang. Memang nenek Teng Siang In ini lebih suka melatih cucunya di kebun belakang dari pada di ruangan latihan silat yang tertutup. Di kebun lebih sehat dan baik, katanya, karena di tempat udara terbuka.
Suma Lian yang berusia dua belas tahun itu dilatih berloncatan dan berjungkir balik ke depan, ke belakang, ke kanan atau ke kiri, akan tetapi bukan hanya berjungkir balik sembarangan saja, melainkan jungkir balik sambil menendang. Itulah gerakan-gerakan pertama untuk dapat menguasai ilmu tendangan Soan-hong-twi yang amat sukar dilatih, akan tetapi sekali orang sudah menguasainya, maka tubuhnya akan dapat mengirim tendangan dalam posisi bagaimana pun juga. Kaki lebih panjang dari lengan, maka jika ilmu tendangan dikuasai dengan baik, akan berbahayalah bagi lawan.
Bentakan-bentakan itu dikeluarkan oleh si nenek untuk memberi petunjuk
dan teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Suma Lian itu memang
seharusnya demikian. Gerakan-gerakan itu menggunakan banyak tenaga dari
otot-otot bagian perut sehingga perlu dikeluarkan teriakan-teriakan itu
untuk mengatur khi (hawa dalam tubuh) yang selain menciptakan tenaga
dalam, juga melindungi isi perut.
"Gerakan memantul ke belakang tadi keliru. Kepalamu jangan kau angkat, melainkan didongakkan dan dilempar ke belakang hingga memudahkan tubuhmu berjungkir balik ke belakang karena gerakan itu menambah daya luncur dan menambah lengkungan tubuh!"
Nenek itu lalu memberi contoh beberapa kali dan ternyata tubuh nenek yang usianya sudah enam puluh enam tahun itu masih gesit dan lincah membuat gerakan sukar itu.
Pada saat itu, di tepi dusun Hong-cun nampak seorang kakek tinggi besar. Wajahnya menyeramkan karena penuh dengan rambut, membuat muka kakek itu nampak seperti muka singa. Akan tetapi karena kepalanya gundul dan dia memakai jubah pendeta Lama, keseraman wajahnya itu tertutup, bahkan menimbulkan rasa hormat dalam hati orang-orang yang berjumpa dengannya. Ketika itu, kakek ini menyapa seorang pejalan kaki, seorang setengah tua dengan suara yang halus akan tetapi agak kaku, tanda bahwa dia datang dari daerah barat.
"Selamat pagi, saudara. Semoga Sang Buddha selalu memberkahi anda. Maukah anda menolong saya dan memberi tahukan di kuil atau rumah mana kiranya saya dapat beristirahat untuk melemaskan tubuh dan mendapatkan sekedar semangkuk bubur dan seteguk air?"
Orang yang ditanya itu merasa senang sekali. Pagi-pagi sudah memperoleh doa restu seorang pendeta, sungguh mujur dia! Maka dengan hormat dia memberi hormat dan menjawab, "Lo-suhu, di dusun ini tidak ada kuil besar, yang ada hanya sebuah kuil kecil untuk pendeta-pendeta wanita. Akan tetapi kalau lo-suhu mendatangi rumah keluarga pendekar Suma, tentu lo-suhu akan disambut dengan baik. Keluarga Suma terkenal suka menolong orang, apa lagi seorang suci seperti lo-suhu."
"Omitohud...! Suma...? Mungkinkah dia Suma Han? Si Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?" gumamnya dan matanya yang lebar terbelalak.
Orang itu tersenyum. "Saya hanya tahu bahwa nama pendekar itu Suma Ceng Liong dan memang kabarnya dia itu keluarga pendekar Pulau Es."
"Omitohud, semoga Sang Buddha memberkahi anda untuk kedua kalinya! Terima kasih! Di mana rumah keluarga Suma itu?"
"Tak jauh dari sini. Harap lo-suhu jalan saja lurus kalau melihat sebuah rumah gedung kuno di tepi jalan sebelah kanan, bercat kuning, itulah rumah mereka. Tak salah lagi karena tidak ada lagi rumah sebesar itu di dusun ini."
Pendeta Lama itu lalu menjura dan pergi. Siapakah dia yang mengenal Suma Han, Pendekar Super Sakti Pulau Es? Sebetulnya mengenal sih tidak, akan tetapi sebagai seorang bertingkat tinggi di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar keluarga Pulau Es.
Pendeta Lama ini bukan lain adalah Sai-cu Lama, pendeta pelarian dari Tibet yang kini menuju ke kota raja karena diam-diam sudah melakukan hubungan dengan pembesar tinggi Hou Seng di kota raja yang sedang merajalela di istana sebagai kekasih kaisar! Hubungan ini melalui seorang kenalan lamanya yang bernama Kim Hwa Nio-nio yang sekarang telah menjadi pembantu pembesar Hou Seng itu.
Mendengar bahwa di dusun kecil itu terdapat keluarga Pulau Es, tentu saja hatinya tertarik sekali. Dengan langkah lebar dia lalu mencari rumah gedung besar kuno itu dan dapat menemukannya dengan mudah. Niatnya hanya hendak berkenalan dan melihat sendiri keadaaan keluarga yang terkenal di dunia persilatan itu, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian Suma Ceng Liong itu, di samping ingin membuktikan apakah benar mereka itu demikian budiman suka menolong orang.
Akan tetapi, ketika dia sampai di pekarangan depan, lapat-lapat telinganya mendengar bentakan-bentakan yang menunjukkan bahwa orang yang mengeluarkan bentakan itu memiliki khikang yang tinggi. Dia mengerahkan perhatiannya dan tahulah dia bahwa di kebun belakang rumah itu ada orang-orang yang sedang berlatih silat karena dia mendengar juga teriakan-teriakaan seorang anak perempuan yang nyaring sekali.
Niatnya untuk mengetuk pintu dibatalkan dan dengan berindap-indap dia lalu berjalan menuju ke kebun belakang lewat samping rumah. Kalau pun ada orang di atas jalan depan rumah itu, takkan menaruh curiga sama sekali melihat seorang kakek berpakaian pendeta berkepala gundul berjalan di samping rumah itu menuju ke belakang.
Rumah itu adalah rumah keluarga pendekar dan sudah sering menerima kunjungan orang-orang aneh. Bahkan nenek yang tinggal di situ, bagi orang umum juga sudah merupakan seorang yang berwatak aneh sekali.
Pada saat Sai-cu Lama mengintai ke dalam kebun dan melihat Suma Lian, sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong karena kagumnya. Anak perempuan itu hebat, pikirnya! Tepat seperti yang selama ini dicarinya.
Sahabatnya di kota raja, Kim Hwa Nio-nio, berpesan padanya bahwa majikan mereka, yaitu calon perdana menteri Hou Seng yang menjadi ‘kekasih’ kaisar itu, suka sekali akan anak-anak perempuan yang mungil, yang berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun. Dan anak perempuan ini sungguh memenuhi syarat.
Usianya tentu baru dua belas atau tiga belas tahun, dan mempunyai wajah yang cantik manis. Kalau dibawanya dan dipersembahkannya sebagai ‘oleh-oleh’ kedatangannya, tentu akan menyenangkan hati pembesar Hou Seng. Andai kata pembesar itu tidak mau, lebih kebetulan lagi. Anak perempuan itu tepat untuk dirinya sendiri. Bukan, sama sekali bukan untuk menjadi mangsa nafsu birahinya seperti yang akan dilakukan oleh pembesar Hou Seng itu, melainkan untuk dijadikan muridnya.
Sudah lama dia mendambakan seorang calon murid yang baik dan anak perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa. Anak sekecil itu sudah pandai menirukan gaya si nenek dalam ilmu tendangan yang demikian sulitnya. Apa lagi kalau diingat bahwa anak ini keturunan adalah keluarga Pulau Es. Sungguh cocok menjadi muridnya dan tidak akan memalukan.
Dia akan bangga jika diketahui orang kelak bahwa muridnya adalah keturunan keluarga Pulau Es. Bukankah dahulu nama besar Hek-i Mo-ong juga terangkat naik karena dia mempunyai murid keturunan keluarga Pulau Es? Pernah dia melihat anak yang menjadi murid Hek-i Mo-ong itu. Kalau tidak salah, namanya pakai Liong begitu.
Tiba-tiba dia terbelalak. Suma Ceng Liong, demikianlah nama pemilik rumah ini. Apakah bukan Suma Ceng Liong ini yang dulu pernah menjadi murid Hek-i Mo-ong? Dia masih muda ketika itu dan ia mendengar betapa nama besar Hek-i Mo-ong semakin menjulang tinggi.
Kalau benar demikian, tentu anak ini ada hubungannya dengan Suma Ceng Liong. Mungkin puterinya! Wah, betapa bangga hatinya kalau sampai puteri Suma Ceng Liong menjadi muridnya! Dan kalau pembesar Hou Seng mau, pembesar itu pun tentu akan merasa bangga dapat memperoleh anak perempuan dari keluarga besar itu!
Pada saat itu, kembali nenek Teng Siang In memberi petunjuk. "Untuk dapat melakukan tendangan jurus ke tiga yang datangnya dari atas, engkau harus menendangkan kaki kiri lebih dulu ke arah muka lawan sambil mengayun tubuhmu. Kalau tendangan itu bisa tertangkis, tenaga tangkisannya dapat kau sambut dan kau pinjam untuk melayangkan tendangan susulan dengan kaki kanan. Delapan bagian dari sepuluh tendangan ke dua itu pasti berhasil. Kalau dielakkan tendangan pertama, tubuhmu langsung mencelat ke atas terbawa tenaga tendangan dan ketika meluncur ke atas itulah engkau jungkir balik tiga kali agar cukup tinggi. Dari atas lalu engkau meluncur turun dengan kedua kaki bergantian menotok ke ubun-ubun dan ke tengkuk."
"Wah, gerakan itu amat sukar, nek!" Suma Lian yang sudah mulai lelah itu mengeluh.
Nenek itu bertolak pinggang dan memandang cucunya dengan marah. Ia menyayang dan memanjakan Suma Lian, akan tetapi dalam hal melatih ilmu silat, ia memang keras sekali.
"Apa? Baru sebegitu saja engkau mengeluh. Ingatlah, engkau ini Suma Lian, jangan merendahkan dan membikin malu nama keluarga Suma dengan keluhan! Keluarga kita tak pernah mengeluh menghadapi kesukaran yang bagaimana pun juga! Tahu?"
Memang sudah menjadi watak Suma Lian, kalau dihadapi dengan kekerasan, ia pun memperlihatkan sikap keras. Ia hanya memandang wajah neneknya dengan mata tajam menentang dan mulut cemberut!
Melihat sikap cucunya ini, hati nenek itu menjadi luluh. Ia sendiri dulu terkenal sebagai seorang wanita yang keras hati dan keras kepala, juga kekerasan hatinya itu menurun kepada Suma Ceng Liong. Agaknya sekarang diwarisi pula oleh cucunya ini. Nenek itu teringat bahwa menghadapi Suma Lian dengan kekerasan sama saja dengan mencari lawan! Ia lalu tersenyum dan merangkul cucunya.
"Cucuku yang manis, ilmu silat keluarga kita tidaklah mudah untuk melatihnya, harus tekun dan untuk itu kadang-kadang nenekmu ini harus menggunakan gemblengan keras kepadamu. Mengertikah engkau?"
Melihat senyum neneknya, kekerasan hati Suma Lian juga sudah luluh. "Aku mengerti, nek. Akan tetapi aku tadi pun tidak mengeluh, hanya mengatakan yang sebenarnya bahwa gerakan itu amat sukar. Cobalah beri contoh lagi kepadaku, nek."
"Baik, kau lihat baik-baik, cucuku!"
Dengan teriakan melengking nenek itu lalu menendangkan kaki kirinya ke depan, dan tubuhnya terus melayang ke udara karena tendangan itu tidak ada yang menyambut, seperti dielakkan lawan dan tubuh itu membuat jungkir balik ke atas sampai lima kali, hal yang sungguh sukar untuk dilakukan. Kemudian, bagaikan seekor burung garuda yang turun menyambar korbannya, tubuh itu meluncur ke bawah dan kedua kakinya bergerak melakukan tendangan-tendangan beruntun ke arah ubun-ubun dan tengkuk lawan yang tidak ada!
"Nah, sudah jelaskah sekarang, Suma Lian? Heiii, di mana engkau...?" Nenek itu tidak melihat cucunya di tempat tadi dan tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang yang tinggi besar meloncat keluar dari pagar tembok.
Dengan hati penuh kecurigaan karena setelah memandang ke sekeliling ia tidak melihat cucunya, nenek itu lalu melakukan pengejaran dan mengerahkan seluruh kepandaian ilmu ginkang-nya yang membuat tubuhnya meluncur cepat sekali seperti terbang saja, keluar dari kebun itu meloncati pagar tombok.
Ternyata bayangan itu sudah jauh dan menuju ke luar dusun! Maklumlah nenek Teng Siang In bahwa si tinggi besar yang dari belakang mengenakan jubah lebar itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Hatinya menjadi semakin curiga dan gelisah, jangan-jangan orang itu tadi ketika ia melakukan gerakan silat untuk memberi contoh kepada cucunya, telah turun tangan menangkap dan menculik cucunya.
Mungkin saja hal itu terjadi karena ketika tubuhnya meluncur dan berjungkir balik lima kali di udara, banyak kesempatan terbuka bagi orang yang berilmu tinggi untuk menculik cucunya. Ia pun mempercepat larinya, akan tetapi sampai ia jauh meninggalkan dusun, jarak antara ia dan orang itu masih sama saja. Ia belum juga berhasil menyusul kakek itu. Kini ia dapat menduga bahwa orang yang lari cepat di depan itu adalah seorang kakek gundul tinggi besar yang berjubah, agaknya seorang hwesio.
Memang tepat dugaan nenek Teng Siang In. Ketika ia meloncat tinggi tadi, Sai-cu Lama mempergunakan kesempatan itu untuk melayang dan menyambar tubuh Suma Lian sambil menotok anak itu pada tengkuknya, membuat anak itu lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara! Dan dia pun terus melompat dan melarikan diri karena dia maklum bahwa nenek itu tentu seorang keluarga Pulau Es yang lihai sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, akan tetapi tiap kali dia menoleh, nenek itu tetap berada di belakangnya melakukan pengejaran, tak pernah tertinggal jauh!
Hal ini membuat hati Sai-cu Lama menjadi penasaran dan timbullah keinginannya untuk menguji kepandaian nenek itu. Tidak mungkin dia kalah oleh seorang nenek, walau pun nenek itu keluarga pendekar Pulau Es sekali pun! Dia lalu menggunakan tali jubahnya untuk mengikat tubuh Suma Lian di atas punggungnya sambil menanti datangnya nenek itu yang berlari cepat mengejarnya.
Akhirnya mereka berhadapan dan saling pandang penuh perhatian. Hati nenek Teng Siang In merasa lega melihat betapa cucunya yang terikat di punggung pendeta itu dalam keadaan sehat walau pun tak mampu bergerak atau bersuara, agaknya tertotok jalan darahnya.
Dapat dibayangkan betapa marahnya nenek Teng Siang In yang berwatak galak dan keras itu. Sepasang matanya mencorong memandang wajah kakek itu dengan teliti seperti hendak mengenal siapa adanya manusia yang berani sekali menculik cucunya begitu saja di bawah hidungnya! Hal itu dianggapnya sebagai suatu tantangan yang kurang ajar sekali.....
"Gerakan memantul ke belakang tadi keliru. Kepalamu jangan kau angkat, melainkan didongakkan dan dilempar ke belakang hingga memudahkan tubuhmu berjungkir balik ke belakang karena gerakan itu menambah daya luncur dan menambah lengkungan tubuh!"
Nenek itu lalu memberi contoh beberapa kali dan ternyata tubuh nenek yang usianya sudah enam puluh enam tahun itu masih gesit dan lincah membuat gerakan sukar itu.
Pada saat itu, di tepi dusun Hong-cun nampak seorang kakek tinggi besar. Wajahnya menyeramkan karena penuh dengan rambut, membuat muka kakek itu nampak seperti muka singa. Akan tetapi karena kepalanya gundul dan dia memakai jubah pendeta Lama, keseraman wajahnya itu tertutup, bahkan menimbulkan rasa hormat dalam hati orang-orang yang berjumpa dengannya. Ketika itu, kakek ini menyapa seorang pejalan kaki, seorang setengah tua dengan suara yang halus akan tetapi agak kaku, tanda bahwa dia datang dari daerah barat.
"Selamat pagi, saudara. Semoga Sang Buddha selalu memberkahi anda. Maukah anda menolong saya dan memberi tahukan di kuil atau rumah mana kiranya saya dapat beristirahat untuk melemaskan tubuh dan mendapatkan sekedar semangkuk bubur dan seteguk air?"
Orang yang ditanya itu merasa senang sekali. Pagi-pagi sudah memperoleh doa restu seorang pendeta, sungguh mujur dia! Maka dengan hormat dia memberi hormat dan menjawab, "Lo-suhu, di dusun ini tidak ada kuil besar, yang ada hanya sebuah kuil kecil untuk pendeta-pendeta wanita. Akan tetapi kalau lo-suhu mendatangi rumah keluarga pendekar Suma, tentu lo-suhu akan disambut dengan baik. Keluarga Suma terkenal suka menolong orang, apa lagi seorang suci seperti lo-suhu."
"Omitohud...! Suma...? Mungkinkah dia Suma Han? Si Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?" gumamnya dan matanya yang lebar terbelalak.
Orang itu tersenyum. "Saya hanya tahu bahwa nama pendekar itu Suma Ceng Liong dan memang kabarnya dia itu keluarga pendekar Pulau Es."
"Omitohud, semoga Sang Buddha memberkahi anda untuk kedua kalinya! Terima kasih! Di mana rumah keluarga Suma itu?"
"Tak jauh dari sini. Harap lo-suhu jalan saja lurus kalau melihat sebuah rumah gedung kuno di tepi jalan sebelah kanan, bercat kuning, itulah rumah mereka. Tak salah lagi karena tidak ada lagi rumah sebesar itu di dusun ini."
Pendeta Lama itu lalu menjura dan pergi. Siapakah dia yang mengenal Suma Han, Pendekar Super Sakti Pulau Es? Sebetulnya mengenal sih tidak, akan tetapi sebagai seorang bertingkat tinggi di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar keluarga Pulau Es.
Pendeta Lama ini bukan lain adalah Sai-cu Lama, pendeta pelarian dari Tibet yang kini menuju ke kota raja karena diam-diam sudah melakukan hubungan dengan pembesar tinggi Hou Seng di kota raja yang sedang merajalela di istana sebagai kekasih kaisar! Hubungan ini melalui seorang kenalan lamanya yang bernama Kim Hwa Nio-nio yang sekarang telah menjadi pembantu pembesar Hou Seng itu.
Mendengar bahwa di dusun kecil itu terdapat keluarga Pulau Es, tentu saja hatinya tertarik sekali. Dengan langkah lebar dia lalu mencari rumah gedung besar kuno itu dan dapat menemukannya dengan mudah. Niatnya hanya hendak berkenalan dan melihat sendiri keadaaan keluarga yang terkenal di dunia persilatan itu, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian Suma Ceng Liong itu, di samping ingin membuktikan apakah benar mereka itu demikian budiman suka menolong orang.
Akan tetapi, ketika dia sampai di pekarangan depan, lapat-lapat telinganya mendengar bentakan-bentakan yang menunjukkan bahwa orang yang mengeluarkan bentakan itu memiliki khikang yang tinggi. Dia mengerahkan perhatiannya dan tahulah dia bahwa di kebun belakang rumah itu ada orang-orang yang sedang berlatih silat karena dia mendengar juga teriakan-teriakaan seorang anak perempuan yang nyaring sekali.
Niatnya untuk mengetuk pintu dibatalkan dan dengan berindap-indap dia lalu berjalan menuju ke kebun belakang lewat samping rumah. Kalau pun ada orang di atas jalan depan rumah itu, takkan menaruh curiga sama sekali melihat seorang kakek berpakaian pendeta berkepala gundul berjalan di samping rumah itu menuju ke belakang.
Rumah itu adalah rumah keluarga pendekar dan sudah sering menerima kunjungan orang-orang aneh. Bahkan nenek yang tinggal di situ, bagi orang umum juga sudah merupakan seorang yang berwatak aneh sekali.
Pada saat Sai-cu Lama mengintai ke dalam kebun dan melihat Suma Lian, sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong karena kagumnya. Anak perempuan itu hebat, pikirnya! Tepat seperti yang selama ini dicarinya.
Sahabatnya di kota raja, Kim Hwa Nio-nio, berpesan padanya bahwa majikan mereka, yaitu calon perdana menteri Hou Seng yang menjadi ‘kekasih’ kaisar itu, suka sekali akan anak-anak perempuan yang mungil, yang berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun. Dan anak perempuan ini sungguh memenuhi syarat.
Usianya tentu baru dua belas atau tiga belas tahun, dan mempunyai wajah yang cantik manis. Kalau dibawanya dan dipersembahkannya sebagai ‘oleh-oleh’ kedatangannya, tentu akan menyenangkan hati pembesar Hou Seng. Andai kata pembesar itu tidak mau, lebih kebetulan lagi. Anak perempuan itu tepat untuk dirinya sendiri. Bukan, sama sekali bukan untuk menjadi mangsa nafsu birahinya seperti yang akan dilakukan oleh pembesar Hou Seng itu, melainkan untuk dijadikan muridnya.
Sudah lama dia mendambakan seorang calon murid yang baik dan anak perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa. Anak sekecil itu sudah pandai menirukan gaya si nenek dalam ilmu tendangan yang demikian sulitnya. Apa lagi kalau diingat bahwa anak ini keturunan adalah keluarga Pulau Es. Sungguh cocok menjadi muridnya dan tidak akan memalukan.
Dia akan bangga jika diketahui orang kelak bahwa muridnya adalah keturunan keluarga Pulau Es. Bukankah dahulu nama besar Hek-i Mo-ong juga terangkat naik karena dia mempunyai murid keturunan keluarga Pulau Es? Pernah dia melihat anak yang menjadi murid Hek-i Mo-ong itu. Kalau tidak salah, namanya pakai Liong begitu.
Tiba-tiba dia terbelalak. Suma Ceng Liong, demikianlah nama pemilik rumah ini. Apakah bukan Suma Ceng Liong ini yang dulu pernah menjadi murid Hek-i Mo-ong? Dia masih muda ketika itu dan ia mendengar betapa nama besar Hek-i Mo-ong semakin menjulang tinggi.
Kalau benar demikian, tentu anak ini ada hubungannya dengan Suma Ceng Liong. Mungkin puterinya! Wah, betapa bangga hatinya kalau sampai puteri Suma Ceng Liong menjadi muridnya! Dan kalau pembesar Hou Seng mau, pembesar itu pun tentu akan merasa bangga dapat memperoleh anak perempuan dari keluarga besar itu!
Pada saat itu, kembali nenek Teng Siang In memberi petunjuk. "Untuk dapat melakukan tendangan jurus ke tiga yang datangnya dari atas, engkau harus menendangkan kaki kiri lebih dulu ke arah muka lawan sambil mengayun tubuhmu. Kalau tendangan itu bisa tertangkis, tenaga tangkisannya dapat kau sambut dan kau pinjam untuk melayangkan tendangan susulan dengan kaki kanan. Delapan bagian dari sepuluh tendangan ke dua itu pasti berhasil. Kalau dielakkan tendangan pertama, tubuhmu langsung mencelat ke atas terbawa tenaga tendangan dan ketika meluncur ke atas itulah engkau jungkir balik tiga kali agar cukup tinggi. Dari atas lalu engkau meluncur turun dengan kedua kaki bergantian menotok ke ubun-ubun dan ke tengkuk."
"Wah, gerakan itu amat sukar, nek!" Suma Lian yang sudah mulai lelah itu mengeluh.
Nenek itu bertolak pinggang dan memandang cucunya dengan marah. Ia menyayang dan memanjakan Suma Lian, akan tetapi dalam hal melatih ilmu silat, ia memang keras sekali.
"Apa? Baru sebegitu saja engkau mengeluh. Ingatlah, engkau ini Suma Lian, jangan merendahkan dan membikin malu nama keluarga Suma dengan keluhan! Keluarga kita tak pernah mengeluh menghadapi kesukaran yang bagaimana pun juga! Tahu?"
Memang sudah menjadi watak Suma Lian, kalau dihadapi dengan kekerasan, ia pun memperlihatkan sikap keras. Ia hanya memandang wajah neneknya dengan mata tajam menentang dan mulut cemberut!
Melihat sikap cucunya ini, hati nenek itu menjadi luluh. Ia sendiri dulu terkenal sebagai seorang wanita yang keras hati dan keras kepala, juga kekerasan hatinya itu menurun kepada Suma Ceng Liong. Agaknya sekarang diwarisi pula oleh cucunya ini. Nenek itu teringat bahwa menghadapi Suma Lian dengan kekerasan sama saja dengan mencari lawan! Ia lalu tersenyum dan merangkul cucunya.
"Cucuku yang manis, ilmu silat keluarga kita tidaklah mudah untuk melatihnya, harus tekun dan untuk itu kadang-kadang nenekmu ini harus menggunakan gemblengan keras kepadamu. Mengertikah engkau?"
Melihat senyum neneknya, kekerasan hati Suma Lian juga sudah luluh. "Aku mengerti, nek. Akan tetapi aku tadi pun tidak mengeluh, hanya mengatakan yang sebenarnya bahwa gerakan itu amat sukar. Cobalah beri contoh lagi kepadaku, nek."
"Baik, kau lihat baik-baik, cucuku!"
Dengan teriakan melengking nenek itu lalu menendangkan kaki kirinya ke depan, dan tubuhnya terus melayang ke udara karena tendangan itu tidak ada yang menyambut, seperti dielakkan lawan dan tubuh itu membuat jungkir balik ke atas sampai lima kali, hal yang sungguh sukar untuk dilakukan. Kemudian, bagaikan seekor burung garuda yang turun menyambar korbannya, tubuh itu meluncur ke bawah dan kedua kakinya bergerak melakukan tendangan-tendangan beruntun ke arah ubun-ubun dan tengkuk lawan yang tidak ada!
"Nah, sudah jelaskah sekarang, Suma Lian? Heiii, di mana engkau...?" Nenek itu tidak melihat cucunya di tempat tadi dan tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang yang tinggi besar meloncat keluar dari pagar tembok.
Dengan hati penuh kecurigaan karena setelah memandang ke sekeliling ia tidak melihat cucunya, nenek itu lalu melakukan pengejaran dan mengerahkan seluruh kepandaian ilmu ginkang-nya yang membuat tubuhnya meluncur cepat sekali seperti terbang saja, keluar dari kebun itu meloncati pagar tombok.
Ternyata bayangan itu sudah jauh dan menuju ke luar dusun! Maklumlah nenek Teng Siang In bahwa si tinggi besar yang dari belakang mengenakan jubah lebar itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Hatinya menjadi semakin curiga dan gelisah, jangan-jangan orang itu tadi ketika ia melakukan gerakan silat untuk memberi contoh kepada cucunya, telah turun tangan menangkap dan menculik cucunya.
Mungkin saja hal itu terjadi karena ketika tubuhnya meluncur dan berjungkir balik lima kali di udara, banyak kesempatan terbuka bagi orang yang berilmu tinggi untuk menculik cucunya. Ia pun mempercepat larinya, akan tetapi sampai ia jauh meninggalkan dusun, jarak antara ia dan orang itu masih sama saja. Ia belum juga berhasil menyusul kakek itu. Kini ia dapat menduga bahwa orang yang lari cepat di depan itu adalah seorang kakek gundul tinggi besar yang berjubah, agaknya seorang hwesio.
Memang tepat dugaan nenek Teng Siang In. Ketika ia meloncat tinggi tadi, Sai-cu Lama mempergunakan kesempatan itu untuk melayang dan menyambar tubuh Suma Lian sambil menotok anak itu pada tengkuknya, membuat anak itu lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara! Dan dia pun terus melompat dan melarikan diri karena dia maklum bahwa nenek itu tentu seorang keluarga Pulau Es yang lihai sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, akan tetapi tiap kali dia menoleh, nenek itu tetap berada di belakangnya melakukan pengejaran, tak pernah tertinggal jauh!
Hal ini membuat hati Sai-cu Lama menjadi penasaran dan timbullah keinginannya untuk menguji kepandaian nenek itu. Tidak mungkin dia kalah oleh seorang nenek, walau pun nenek itu keluarga pendekar Pulau Es sekali pun! Dia lalu menggunakan tali jubahnya untuk mengikat tubuh Suma Lian di atas punggungnya sambil menanti datangnya nenek itu yang berlari cepat mengejarnya.
Akhirnya mereka berhadapan dan saling pandang penuh perhatian. Hati nenek Teng Siang In merasa lega melihat betapa cucunya yang terikat di punggung pendeta itu dalam keadaan sehat walau pun tak mampu bergerak atau bersuara, agaknya tertotok jalan darahnya.
Dapat dibayangkan betapa marahnya nenek Teng Siang In yang berwatak galak dan keras itu. Sepasang matanya mencorong memandang wajah kakek itu dengan teliti seperti hendak mengenal siapa adanya manusia yang berani sekali menculik cucunya begitu saja di bawah hidungnya! Hal itu dianggapnya sebagai suatu tantangan yang kurang ajar sekali.....
Dengan sepasang matanya yang masih awas ia memandang penuh ketelitian
dan akhirnya ia yakin bahwa selamanya ia belum pernah bertemu dengan
pendeta Lama yang berusia enam puluhan tahun, tinggi besar berperut
gendut, berkepala gundul akan tetapi mukanya menyeramkan seperti muka
seekor singa itu.
Setelah puas meneliti, ia lalu membentak, "Sebelum aku turun tangan membunuhmu, katakan dulu siapa engkau ini dan mengapa berani menculik cucuku!"
"Omitohud...!" Sai-cu Lama sejak tadi memandang nenek itu dengan mata terbelalak penuh pesona.
Bukan main wanita ini, pikirnya. Biar pun sudah nenek-nenek, akan tetapi tubuhnya masih begitu langsing dan padat, dan wajahnya masih saja membayangkan kecantikan walau pun rambutnya sudah banyak yang memutih. Seorang wanita cantik yang gagah!
"Omitohud apa! Orang semacam engkau ini hanya pakaiannya saja pendeta, hanya kepalanya saja gundul, akan tetapi watakmu persis seperti mukamu yang menyeramkan dan penuh kekejaman itu. Hayo, jawab siapa engkau ini sebelum kau mampus tanpa nama!"
"Omitohud... belum pernah pinceng (aku) menemui yang sehebat ini. Kau malah lebih hebat dari cucumu ini, sayang sudah tua."
"Keparat jahanam, engkau memang ingin mampus tanpa nama!" bentak Teng Siang In.
Ia sudah menerjang dengan hebatnya. Terjangan nenek ini memang dahsyat, karena ia telah mengirim pukulan yang disambung tendangan bertubi-tubi, tendangan-tendangan dengan ujung kaki, hanya menggunakan sedikit saja tenaga, akan tetapi penuh tenaga sinkang dan ujung sepatunya itu, keduanya berputar-putar menuju ke arah tiga belas jalan darah terpenting dari tubuh depan Sai-cu Lama!
Bukan main kagetnya Sai-cu Lama menghadapi serangan sedahsyat itu. Dia sampai mengeluarkan teriakan kaget ketika menangkis dan mengelak sambil terhuyung ke belakang. Dia tak berani membalikkan tubuh karena maklum bahwa nenek itu memang sengaja menyerangnya dengan demikian cepat dan dahsyat, sehingga sekali saja dia memutar tubuh, tentu anak yang sudah digendongnya itu akan terampas kembali! Maka dia terpaksa menangkis sambil berloncatan mundur dan terhuyung-huyung. Kagetlah kakek ini. Nenek itu sungguh sama sekali tak boleh dipandang ringan.
"Haiiittttt...!"
Tiba-tiba dia berteriak. Tangan kanannya mendorong ke depan penuh dengan tenaga sinkang yang amat kuat. Memang, satu di antara keampuhan kakek gendut ini adalah tenaga sinkang-nya yang mampu menyerang orang dari jarak jauh. Tenaga sinkang yang dibarengi dengan tenaga hitam dari Tibet. Dari telapak tangannya itu, selain menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat, juga nampak uap hitam mengepul dan menyambar ke arah muka Teng Siang In.
Akan tetapi nenek itu tertawa. "Heh-heh-heh, pendeta palsu, aku akan menghilang dari depanmu dan menghancurkan kepalamu!"
Nenek itu menggerakkan tangannya dan tiba-tiba lenyap dari pandangan mata Sai-cu Lama! Kakek ini tentu saja kaget bukan main. Cepat dia mencabut Ban-tok-kiam dan memutar pedang itu dengan tangan kanannya, melindungi tubuhnya dengan sinar pedang yang bergulung-gulung membentuk benteng menyelimuti dirinya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan ilmu sihir nenek itu.
Dan mulai nampaklah nenek itu dari sebelah kiri, siap untuk menghantam kepalanya, akan tetapi terhalang oleh sinar pedangnya. Untung dia mempunyai Ban-tok-kiam yang belum lama ini dirampasnya dari gadis itu. Kalau tidak, jangan-jangan hari ini adalah hari ajalnya karena kalau tadi nenek itu benar-benar menghantam kepalanya sebelum dia dapat melihatnya, sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya.
"Omitohud, kiranya engkau siluman betina...!" bentak Sai-cu Lama dengan marah dan dia sama sekali tidak berani memandang rendah lagi, cepat mengirim serangan dengan tusukan Ban-tok-kiam ke arah dada nenek itu.
Nenek Teng Siang In meloncat jauh ke belakang sambil berjungkir balik dan dia pun terbelalak melihat pedang itu.
"Ban-tok-kiam...! Bagaimana bisa jatuh ke tanganmu? Siapakah engkau ini, pendeta Lama busuk?" bentaknya dengan terheran-heran.
Tentu saja ia mengenal Ban-tok-kiam, senjata pedang pusaka yang amat terkenal itu, milik isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Kenapa tiba-tiba saja berada dalam tangan hwesio ini dan apa hubungan pendeta Lama ini dengan nenek Wan Ceng, isteri dari pendekar Kao Kok Cu di Istana Gurun Pasir?
"Ha-ha-ha, anggap saja pinceng adalah Giam-lo-ong (Raja Akhirat) yang datang untuk mencabut nyawamu, nenek cantik!" kata Sai-cu Lama dan dia memutar Ban-tok-kiam lagi, lalu menerjang maju dengan dahsyatnya.
Nenek Teng Siang In tak pernah membawa senjatanya. Ilmu silatnya cukup tinggi dan ditambah ilmu sihirnya, tanpa senjata pun ia dapat melindungi dirinya dengan baik. Akan tetapi sekarang ia bertemu dengan seorang lawan tangguh. Maka cepat ia menyambar sebatang ranting, lantas berteriak sambil memutar rantingnya, "Lihat baik-baik jimatku Naga Terbang ini!"
Kembali Sai-cu Lama terbelalak ngeri melihat betapa tiba-tiba saja nenek itu memegang seekor naga pada ujung ekornya dan naga itu beterbangan hendak menyambar dirinya.
"Omitohud...!" Kakek itu berseru.
Kembali dia melindungi dirinya dengan Ban-tok-kiam yang dipakai melindungi tubuhnya. Sambil mengerahkan tenaga dia pun mengumpulkan kekuatan batinnya dan lambat laun tampaklah olehnya bahwa nenek itu hanya menyerang dengan setangkai ranting pohon yang sama sekali tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedangnya.
"Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau ini hanya tukang sulap yang biasa menjual obat di pasar..."
Akan tetapi terpaksa dia menghentikan ejekannya dan mengelak cepat ketika tiba-tiba nenek itu menusukkan ujung rantingnya ke arah kerongkongannya disusul serangkaian tendangan yang mengarah kedua kakinya. Cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam ke bawah dan terpaksa nenek itu mundur lagi.
Nenek Teng Siang In mulai khawatir. Lawan ini terlalu tangguh, tak bisa ditundukkannya dengan ilmu sihir, dan terutama sekali pedang Ban-tok-kiam ini membuatnya menjadi repot. Pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan di tangan seorang sakti seperti pendeta Lama itu, baru sinar pedang itu saja sudah dapat membunuh lawan karena pedang itu mengandung racun-racun yang amat jahat, sesuai dengan namanya, yaitu Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun)!
Menyesallah ia mengapa tadi di kebun ia tidak berteriak. Kalau sekarang ada puteranya dan mantunya, tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkan kakek ini. Akan tetapi, nenek Teng Siang In sejak mudanya bukan merupakan orang yang mudah menyerah. Dengan gigih ia mempertahankan diri dan beberapa kali dapat menyelamatkan dirinya melalui ilmu sihirnya.
Sementara itu, Sai-cu Lama sendiri masih bisa menyelamatkan diri karena di tangannya terdapat Ban-tok-kiam yang benar-benar amat ampuh itu. Dan karena memang Sai-cu Lama merupakan seorang ahli silat kelas tinggi yang juga mempelajari ilmu hitam, maka dia pun memiliki kekuatan batin yang mampu menangkis serangan-serangan ilmu sihir dari nenek itu. Akan tetapi, andai kata tidak ada Ban-tok-kiam di tangannya, belum tentu kalau nenek itu terdesak walau pun ilmu silatnya kalah tinggi karena ilmu sihirnya benar-benar membuat Sai-cu Lama kadang-kadang kebingungan.
"Lumpuhlah kau! Kedua kakimu lemas dan lumpuh, hayo berlutut di depan nenekmu!" bentakan-bentakan semacam ini membuat Sai-cu Lama kebingungan karena dia benar-benar merasa kakinya seperti akan lumpuh!
Kalau saja dia tidak memutar pedang Ban-tok-kiam, tentu dengan mudah dia terkena serangan ranting yang di tangan nenek itu bisa berubah lihai sekali. Kemudian, dengan pengerahan tenaga batinnya, dia mampu mempertebal diri, atau setidaknya tidak begitu hebat terpengaruh oleh bentakan-bentakan nenek itu.
"Ha-ha-ha, nenek siluman, sebentar lagi engkau akan mampus. Sekali saja tubuhmu tergores Ban-tok-kiam, selaksa racun akan mengalir dalam darahmu dan engkau akan mampus dengan muka hitam, mata melotot dan mulut ternganga. Ha-ha, engkau akan benar-benar menjadi setan karena tubuhmu akan hangus semua!"
"Jahanam busuk lepaskan cucuku!" dengan nekat nenek Teng Siang In maju lagi.
Ia menyerang dengan ilmu tendangannya yang sakti. Dengan Soan-hong-twi, tubuhnya seperti berpusing dan kakinya seperti berubah menjadi puluhan banyaknya, menendang dari sana-sini mengarah pada bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja ia juga membahayakan diri sendiri karena yang diserangnya adalah seorang yang sakti seperti Sai-cu Lama yang memang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Bahkan ketika kakek itu tiba-tiba menghadapi tendangan dari samping, secara mendadak dia memutar tubuh dan memberikan punggungnya untuk menangkis tendangan!
"Ayaaaa!" Nenek Teng Siang In menjerit karena terkejut.
Tendangannya itu kini menuju ke arah kepala cucunya sendiri! Tentu saja hal itu tidak dikehendaki oleh nenek itu. Dalam keadaan yang begitu berbahaya bagi keselamatan cucunya, ia masih mampu melempar diri ke kanan, menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan. Akan tetapi sebelum ia melompat berdiri, tiba-tiba ia merasa pahanya perih dan panas dan ketika kembali ia meloncat ke belakang dan melihat, ia terkejut sekali karena celananya robek sedikit dan berdarah. Sementara itu, lawannya berdiri sambil mengacungkan pedangnya dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, sekarang racun sudah mulai memasuki tubuhmu, nenek cantik! Engkau akan mampus!"
Nenek Teng Siang In terkejut, cepat ia melihat pahanya dan memang benar, pahanya telah terluka. Ia maklum bahwa sukar menyelamatkan nyawanya lagi. Akan tetapi yang penting bukanlah nyawanya, melainkan keselamatan cucunya. Maka dengan nekat, tanpa mempedulikan kenyataan bahwa dirinya telah terluka oleh Ban tok-kiam, nenek Teng Siang In menubruk lagi dan menyerang dengan tendangan-tendangan, pukulan-pukulan dan cakaran-cakaran maut.
Melihat kenekatan ini, Sai-cu Lama kagum juga. Kalau saja nenek ini masih muda, tentu dia sendiri akan sayang membunuhnya, lebih baik diambil sebagai isteri atau murid atau pembantu! Akan tetapi, dia harus cepat menghabisi nenek ini agar dapat cepat pergi karena kalau sampai keluarga pendekar Suma mengetahui dan dapat menyusul ke sini, dia akan celaka. Ngeri juga dia membayangkan kelihaian mereka. Baru nenek ini saja begitu tangguh, apa lagi para pendekarnya yang masih muda.
Tetapi, baru saja dia memutar pedang hendak memperhebat desakannya, tiba-tiba saja berkelebat bayangan biru dan sebuah tendangan yang mengeluarkan angin pukulan berat telah menyambar ke arah punggung Sai-cu Lama. Akan tetapi kakek ini dapat menghindarkan dirinya dan membabat dengan Ban-tok-kiam sehingga si baju biru yang tadi bermaksud merampas anak perempuan di punggung kakek itu terpaksa menarik kembali tangannya. Ternyata pemuda itu adalah Gu Hong Beng!
Seperti telah kita ketahui pada waktu kakek Sai-Cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan, Hong Beng juga melihatnya bahkan sempat ikut mengeroyok kakek yang tangguh itu. Kemudian setelah cintanya ditolak oleh Bi Lan, apa lagi sesudah menerima teguran keras dari Bi Lan karena cemburunya terhadap Kun Tek, dengan hati sedih dia lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja untuk memenuhi perintah gurunya, yaitu melakukan penyelidikan tentang pembesar bernama Hou Seng yang konon merajalela di istana dan membuat kaisar yang semakin tua itu menjadi seperti boneka.
Sesuai dengan petunjuk suhu-nya, dia lalu pergi mencari keluarga Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dan kebetulan sekali di tengah perjalanan, dia melihat perkelahian itu. Hong Beng tidak mengenal siapa nenek itu, tidak mengenal pula anak perempuan yang nampak lemas terikat di punggung si kakek iblis Sai-cu Lama yang sudah dikenalnya.
Melihat keadaan nenek itu yang sudah terluka pahanya akan tetapi masih dengan mati-matian berusaha merampas anak perempuan itu, tanpa tanya lagi Hong Beng tentu saja segera berpihak kepada si nenek yang tak dikenalnya. Dia tahu bahwa Sai-cu Lama amat jahat, maka tentu lawannya bukan orang jahat. Apa lagi nenek itu terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya, maka sekali turun tangan dia sudah bermaksud merampas anak perempuan itu. Sayang usahanya gagal karena memang Sai-cu Lama hebat sekali kepandaiannya.
Teng Sian In semenjak mudanya berwatak angkuh. Apa lagi ia tahu bahwa kepandaian Lama yang kini menjadi lawannya itu hebat bukan main. Ia tidak ingin ada orang yang membantunya untuk kemudian mati konyol. Ia tidak mau ada orang yang mati karena membantunya.
"Orang muda, aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah sebelum mati konyol oleh jahanam busuk ini!" teriaknya dan ia masih menyerang dengan tendangan-tendangan ampuhnya.
"Sai-cu Lama ini masih ada urusan dengan aku juga, nek!" kata Hong Beng.
Dia pun sudah menyerang lagi dan kini bersilat dengan Ilmu Hong-in Bun-hoat! Biar pun dia bertangan kosong, namun kedua tangannya itu bergerak-gerak aneh, seperti orang menulis di udara, akan tetapi setiap ‘coretan’ merupakan serangan yang amat ampuh dan mendatangkan hawa dingin seperti es!
Bukan hanya Sai-cu Lama yang terkejut melihat hebatnya serangan pemuda ini, akan tetapi nenek Teng Siang In terkejut dan girang, juga heran "Hong-in Bun-hoat! Kau murid siapa?" tanyanya sambil membentak dan menyerang lagi.
"Guru saya bernama Suma Ciang Bun..."
"Aihh! Dia keponakanku! Mari kita hancurkan pendeta palsu ini dan rampas kembali cucuku!"
Mendengar seruan nenek ini, bukan main girang rasa hati Hong Beng, akan tetapi selain girang juga dia marah kepada kakek pendeta Lama itu. Nenek ini masih bibi dari gurunya! Kalau begitu tentu nenek ini ibu dari Suma Ceng Liong!
"Baik...!" Dan dia pun kini cepat mengerahkan tenaga sinkang yang dilatihnya dari gurunya, tenaga sinkang yang bersumber dari Swat-im Sinkang dan Hwi-yang Sinkang, dua tenaga yang mengandung hawa dingin seperti salju dan panas seperti api.
Akan tetapi, dia belum dapat menyatukan dua unsur tenaga sinkang ini, bahkan gurunya sendiri belum mencapai tingkat itu. Dia hanya dapat mempergunakan salah satu saja, yang panas atau yang dingin. Namun, itu pun sudah hebat karena dia sudah menguasai hampir setengah bagian dari kedua ilmu pengerahan tenaga sakti itu! Apa lagi dia sudah menguasai beberapa ilmu asli dari Pulau Es dan kini dia mengubah gerakannya dan bersilat dengan Ilmu Silat Siang-mo Kun-hoat.
Ilmu ini aslinya adalah ilmu pedang dari Pulau Es yang bernama Siang-mo Kiam-sut dan mempergunakan sepasang pedang. Akan tetapi oleh Suma Ciang Bun, berdasarkan gerakan-gerakan ilmu pedang ini, dia mengajarkan ilmu silat tangan kosong kepada muridnya itu yang diberi nama Siang-mo Kun-hoat (Ilmu Silat Sepasang Iblis). Bukan sepasang pedang yang dipergunakan, melainkan sepasang kaki dan tangan.
Dia mempergunakan ilmu silat ini yang sifatnya lebih keras dan agresip dibandingkan Hong-in Bun-hoat yang halus. Dan benar saja, setelah memainkan ilmu silat ini, dibantu pula oleh nenek Teng Siang In yang masih menyerang dengan tendangan-tendangan mautnya, Sai-cu Lama langsung terdesak mundur!
Hong Beng seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa selama pedang yang ampuh dan mengandung racun berbahaya itu masih berada di tangan Sai-cu Lama, maka akan sukarlah bagi dia dan nenek itu untuk dapat merampas kembali cucu perempuan nenek itu. Dan kini nampak betapa nenek itu sudah berkurang kecepatannya, agaknya racun dari luka itu sudah mulai menyerangnya.
Hong Beng juga pernah mempelajari penggunaan jarum-jarum halus sebagai senjata rahasia. Memang jarum halus berbau harum merupakan senjata rahasia gurunya yang amat lihai. Akan tetapi Hong Beng tidak suka menyimpan senjata rahasia seperti itu. Selain sifatnya tidak cocok dengan kejantanannya, karena merupakan jarum yang biasa dipakai wanita, juga dia berjiwa pendekar, tidak enak rasa hatinya kalau menggunakan senjata gelap dalam perkelahian.
Sekarang dia merasa bahwa penggunaan senjata rahasia amat penting, bukan untuk merobohkan lawan yang pasti terlalu tangguh untuk diserang dengan senjata rahasia itu, melainkan untuk membebaskan cucu perempuan nenek itu dari pengaruh totokan. Dia percaya bahwa biar pun usianya baru kurang lebih dua belas tahun, sebagai anak keturunan pendekar Pulau Es, anak itu tentu juga pandai silat. Dan kalau ia berhasil dibebaskan, dengan kedua tangan bebas dan berada di punggung kakek itu, siapa tahu anak perempuan itu dapat membantu banyak!
Pikiran inilah yang membuat Hong Beng melakukan serangan dengan tendangan kedua kaki sambil bergulingan. Namanya saja Ilmu Sepasang Iblis, tentu saja kadang-kadang kasar sekali dan bergulingan. Saat bergulingan inilah Hong Beng sudah mencengkeram kerikil-kerikil tanpa diketahui lawan.
Mereka berdua masih berusaha mendesak terus. Tiba-tiba, setelah melihat kesempatan baik, kedua tangan Hong Beng lalu bergerak-gerak ke depan menyambitkan batu-batu kerikil kecil ke arah Suma Lian di punggung kakek itu.
Sai-cu Lama melihat ini dan hampir dia tertawa melihat sambitan-sambitan batu kerikil. Selain batu-batu itu tidak akan melukai tubuhnya yang kebal, juga sambitan-sambitan itu menyeleweng dari sasaran, menuju ke belakang tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa dua di antara batu-batu kecil itu dengan tepat mengenai jalan darah di tengkuk dan pundak Suma Lian dan gadis cilik ini kini sudah mampu bergerak lagi.
Suma Lian juga seorang anak yang cerdik bukan main. Walau pun seketika ia dapat bergerak dan mengeluarkan suara, namun ia diam-diam saja, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara. Akan tetapi jari-jari tangannya merayap ke arah rambutnya dan dari situ, jari-jari tangan itu mengambil sebuah jepit penusuk rambut terbuat dari emas yang berujung runcing! Ia lalu berpikir-pikir.
Pernah ia mempelajari anatomi dari ayahnya, letak-letak otot dan jalan darah, tetapi ia belum mempelajari bagian-bagian mana dari tubuh belakang yang paling lemah. Karena itu, ia hanya berpikir bahwa tengkuk yang gemuk itu tentu merupakan pusat dan akan melumpuhkan kakek iblis ini kalau ia dapat menusukkan benda itu dengan tepat. Ia lalu memandang tengkuk yang terbuka itu. Penuh daging dan gajih, seperti punuk babi! Ihh, hampir saja bergidik karena jijik.
Akan tetapi sasaran itu yang paling mudah, tinggal mengangkat dan menusukkan benda runcing itu saja. Ia lalu mengangkat tangan kanannya yang sudah memegang benda itu. Hal ini tidak diketahui oleh Sai-cu Lama. Dalam keadaan biasa, tentu pendeta ini akan mengetahuinya, akan tetapi pada saat itu, pemuda berpakaian serba biru itu mendesak dan menyerangnya seperti orang kesetanan, sedangkan nenek itu, yang sudah mulai lemah itu, tiba-tiba berteriak, "Sai-cu Lama, kau lihat baik-baik jimatku!"
Dan nenek ini menggerak-gerakkan tangannya. Usaha kedua orang ini tentu saja untuk membantu Suma Lian. Keduanya sudah melihat betapa gadis cilik itu telah mengangkat tangan. Dengan sepasang mata tak pernah terlepas dari tengkuk yang gemuk itu, Suma Lian tiba-tiba menusukkan benda runcing itu pada tengkuk yang gendut.
"Crottt...!"
"Aduhhhh...!"
Kedua tangan Suma Lian tiba-tiba menjadi lemas dan ia tidak mampu lagi menusuk terus, karena ketika benda itu menembus kulit gajih dan daging, darah muncrat-muncrat dan anak perempuan itu merasa jijik akan tetapi juga timbul rasa kasihan dan tidak tega! Bagaimana mungkin ia terus menusukkan benda runcing ke dalam tengkuk gendut itu, yang mirip dengan perut orok? Hampir ia pingsan ketika darah itu muncrat dan sebagian mengenai pipinya, sehingga ia terkulai kembali tanpa dapat menghindar ketika tangan kanan kakek itu menggunakan gagang pedang mengetuk kepalanya. Cukup keras untuk membuat gadis cilik itu roboh pingsan!
Sai-cu Lama telah terluka. Walau pun tidak terlalu dalam, namun dia semakin khawatir. Gadis cilik ini saja demikian lihai. Kalau datang seorang lagi saja, dia tentu akan celaka! Maka dia cepat memutar Ban-tok-kiam sedemikian rupa sehingga dua orang lawannya terpaksa berloncatan ke belakang. Kesempatan ini digunakan olehnya untuk meloncat jauh ke belakang lalu melarikan diri secepatnya!
Hong Beng berseru marah, "Kakek jahat, kau hendak lari ke mana?" Dia meloncat dan hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara lemah, "...jangan... kejar..."
Dia menoleh dan melihat nenek itu terguling roboh! Teringatlah Hong Beng bahwa nenek itu sudah terluka parah. Maka dia pun cepat meloncat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh nenek itu.
"Bagaimana baiknya, locianpwe...?" tanyanya, bingung.
"Aku...keadaanku...payah...lekas bawa aku pulang... kita laporkan hal ini... kepada... Ceng Liong..." Ia menuding ke barat dan terkulai, pingsan.
Hong Beng cepat memondong tubuh nenek itu dan berlari menuju ke barat seperti yang ditudingkan oleh nenek itu. Dia pun tadi sudah mendapat keterangan bahwa jurusan itu menuju ke dusun Hong-cun.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Suma Ceng Liong dan isterinya ketika mereka melihat seorang pemuda berpakaian serba biru memondong tubuh nenek Teng Siang In yang pingsan. Tadinya mereka yang tidak melihat anak mereka dan nenek itu mengira bahwa nenek itu mengajak cucunya berjalan-jalan seperti biasa, atau bermain ke suatu tempat.
Sedikit pun mereka tidak pernah merasa khawatir kalau anak perempuan mereka pergi bersama neneknya. Akan tetapi sekarang, tahu-tahu nenek itu pulang dalam pondongan seorang pemuda serta dalam keadaan pingsan dan tidak nampak Suma Lian bersama mereka!
"Apa yang terjadi dengan ibu?" Suma Ceng Liong berseru dan terkejut melihat betapa wajah ibunya sudah biru menghitam.
"Di mana anakku, Suma Lian? Di mana ia...?"
Melihat kebingungan suami isteri itu, Hong Beng dapat memakluminya. Begitu melihat munculnya suami isteri itu, dia sudah merasa kagum sekali. Suma Ceng Liong memang gagah perkasa, tepat seperti yang diceritakan suhu-nya kepadanya.
Seorang pria berusia sekitar tiga puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dengan muka lonjong dan dagu meruncing, mulutnya seperti selalu tersenyum, wajahnya cerah dan sinar matanya begitu tajam seperti mencorong. Menurut keterangan suhu-nya, susiok (paman guru) ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari suhu-nya.
Juga isteri susiok-nya itu menurut gurunya, mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali karena dia mewarisi ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)! Dan dalam usia yang sebaya suaminya bibi guru itu nampak masih amat cantik menarik seperti seorang gadis saja! Selain cantik, juga sepasang matanya amat tajam dan sikapnya gesit dan gagah sekali. Akan tetapi, saat itu suami isteri yang hebat ini sedang dalam keadaan gelisah dan Hong Beng tidak mau membuang banyak waktu lagi.
"Saya melihat nenek ini bertanding dengan seorang pendeta Lama, kurang lebih lima li disebelah timur dusun ini dan seorang anak perempuan terikat di punggung pendeta itu. Nenek ini terluka dan saya berusaha membantunya, akan tetapi kami tidak berhasil dan kakek pendeta itu sudah melarikan diri membawa anak perempuan di punggungnya..."
"Cukup! bentak Kam Bi Eng, "ke arah mana larinya kakek yang menculik anakku itu?"
"Dari sini ke timur, setelah lima li ada hutan kecil, dia lari ke arah utara," jawab Hong Beng. Dan tiba-tiba saja wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ!
Suma Ceng Liong juga akan lari, akan tetapi teringat akan ibunya dan dia berdiri bingung. Dia cepat berjongkok dan memeriksa keadaan ibunya. Alisnya berkerut dan dua titik air mata membasahi matanya. Pendekar ini lalu bangkit berdiri.
"Siapa kau?"
Hong Beng menjatuhkan diri berlutut. "Susiok, nama saya Gu Hong Beng dan teecu adalah murid dari suhu Suma Ciang Bun. Teecu diutus menyelidiki keadaan pembesar Hou Seng di kota raja akan tetapi oleh suhu disuruh singgah dulu di sini untuk minta keterangan dan nasehat dari Susiok."
"Hemm, kau jaga dulu ibuku ini. Ia sudah... tak mungkin dapat ditolong lagi. Tahukah engkau dengan apa pahanya itu dilukai?"
"Dengan Ban-tok-kiam."
"Ban-tok-kiam? Bagaimana kau bisa tahu... ah, sudahlah, nanti saja bercerita. Kau jaga ibuku dan aku akan mengejar kakek iblis itu!" Dan tubuhnya berkelebat lenyap pula dari depan Hong Beng.
Pemuda ini semakin kagum dan dia pun memondong tubuh nenek itu, dibawanya ke dalam sebuah kamar menurut petunjuk seorang pelayan yang tadi mendengarkan percakapan mereka dan percaya kepada pemuda ini yang mengaku murid keponakan majikannya. Gu Hong Beng menunggui tubuh nenek itu.
Wajah nenek itu biru kehitaman dan menakutkan sekali, matanya melotot dan mulutnya terbuka. Napasnya masih belum terhenti, namun terengah-engah dan tinggal satu-satu, tubuhnya panas seperti dibakar api. Dia mengingat-ingat pelajaran tentang pengobatan yang pernah dipelajarinya dari gurunya, dan dirabanya pergelangan tangan kiri nenek itu, kemudian yang kanan. Denyut jantungnya lemah sekali di bagian kiri, akan tetapi di lengan kanan itu tidak ada denyut sama sekali.
Dia pun tahu bahwa nenek ini sukar sekali ditolong, kecuali kalau ada obat dewa. Andai kata nenek ini masih dapat ditolong, tidak mungkin pendekar Suma Ceng Liong akan meninggalkannya begitu saja untuk mengejar penculik anaknya. Tentu lebih dahulu dia akan menolong dan mengobati ibunya.
Tiba-tiba timbul pikiran Hong Beng untuk membantu nenek itu agar jalan darahnya lebih cepat dan biar pun hal itu bukan merupakan pertolongan terhadap nyawa nenek itu, namun mungkin saja dapat membuat nenek itu sadar, walau pun hanya untuk beberapa detik lamanya. Siapa tahu, nenek ini hendak meninggalkan pesan. Kasihan orang yang mau mati tidak sempat meninggalkan pesan apa-apa. Dengan hati-hati sekali, dengan tenaga yang dikendalikannya baik-baik, ia lalu menotok beberapa jalan darah di pundak, tengkuk dan punggung, dan mengurut lengan kanan.
Harapannya terkabul. Tak lama kemudian, mata yang terbelalak itu bergerak-gerak dan memandang dengan wajar padanya tanpa menoleh. Hong Beng mendekatkan mukanya karena melihat bibir itu bergerak-gerak. Nenek itu berbisik-bisik.
"Kau... berjanjilah untuk mentaati perintahku..."
Bukan main nenek ini, pikir Hong Beng. Sudah menghadapi maut, masih keras hati dan minta dia mentaati perintahnya! Dia mengangguk-angguk, menghormati pesan seorang di ambang pintu kematian.
"Saya berjanji untuk mentaati, nek."
"...ber... bersumpah!"
Hong Beng terbelalak, akan tetapi tidak berani menolak. Kembali dia mengangguk dan berkata, "Saya bersumpah, nek!"
Wajah yang sudah menghitam itu nampak tenang, mulut yang sudah membiru bibirnya itu tersenyum menyeramkan jadinya! "Bagus! Kelak kau... kau harus menjadi suami Suma Lian..."
Hampir saja Hong Beng terlonjak kaget dan dia cepat membantah, "Akan tetapi, nek! Nenek... ah, nenek...ini tidak bisa... nek...!" Percuma saja dia berteriak-teriak karena nenek itu sudah tak bernapas lagi!
Pelayan yang berada di luar kamar mendengar teriakan-teriakan Hong Beng lalu masuk dan segera terdengar jerit tangis pelayan perempuan itu yang menarik perhatian para tetangga. Tak lama kemudian, terdengar tangis kaum wanita yang menjadi tetangga nenek itu. Sudah menjadi suatu kelajiman, bahwa pada setiap kematian, tentu terdengar tangis wanita. Agaknya kalau tidak terdengar tangis wanita akan menjadi aneh sekali tentu!
Tak seorang pun mempedulikan Hong Beng yang duduk di ruang luar sambil bengong terlongong. Kadang-kadang dia menarik napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepala seperti hendak membantah sesuatu, lalu nampak menyesal sekali seperti orang mau menangis. Dia memang merasa menyesal bukan main.
Bagaimana nenek aneh itu meninggalkan pesan seperti itu kepadanya? Dan dia sudah berjanji, bersumpah malah! Bersumpah untuk mentaati perintahnya. Siapa tahu perintah terakhir itu begitu gila? Bagaimana mungkin dia harus menjadi calon suami... siapa lagi nama anak perempuan yang menjadi cucunya itu? Suma Lian, benar, Suma Lian. Mana mungkin ini?
Suma Lian adalah puteri tunggal Suma Ceng Liong. Sedangkan dia? Hanya anak yatim piatu, hanya keturunan tukang kayu sederhana. Seorang pemuda yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Ayah tidak, ibu tidak, uang sepeser pun tidak, rumah tidak dan keluarga pun tidak! Untuk menjadi bujang Suma Lian saja agaknya masih belum tentu diterima, apa lagi menjadi suami!
Dan siapa berani memberi tahukan pesan itu kepada keluarga susiok-nya? Biar sampai mati dia tidak akan berani! Dia tahu tentu akan ditolak, dan mungkin dia tidak dipercaya dan disangkanya dia bikin-bikin saja. Alangkah akan malunya, dan dia akan merasa terhina sekali. Tidak, dia tidak akan bercerita kepada siapa pun juga! Akan tetapi, dia sudah bersumpah untuk mentaati pesan terakhir yang berupa perintah itu!
"Hayaaaa... nenek aneh, kenapa sih engkau meninggalkan pesan yang begitu aneh dan gila? Engkau menambahkan beban pada pundakku, membuat kehidupan ini menjadi semakin berat rasanya..."
Baru saja dia dilanda duka karena penolakan cinta dan sekarang dia dihadapkan pada persoalan yang jauh lebih rumit lagi. Kalau persoalan mengenai diri Bi Lan, dianggapnya sudah selesai. Cintanya ditolak dan habis perkara! Dia akan menderita atau tidak adalah urusannya sendiri, tidak ada lagi hubungan dan sangkut pautnya dengan orang lain.
Akan tetapi urusan pesan nenek itu? Celaka! Begitu banyaknya orang akan tersangkut. Bukan hanya diri Suma Lian langsung yang terkena pesan itu, akan tetapi juga dia berhadapan dengan ayah ibu anak perempuan itu, dan gurunya sendiri tentu akan ikut terbawa akibat buruknya, dan salah-salah seluruh keluarga Pendekar Pulau Es akan memusuhinya karena menganggap dia menghina keluarga itu!
Akan tetapi, kalau dia diam saja karena pesan terakhir itu hanya diketahui oleh dia dan nenek itu sendiri, selama hidupnya akan ada perasaan bersalah di dalam hatinya. Selama hidupnya! Karena dia sudah berani bersumpah di depan seorang nenek yang hampir mati dan tidak menetapi janjinya, tidak memenuhi sumpahnya. Dan untuk itu, selama hidupnya dia tentu akan tersiksa oleh batin sendiri.
"Celaka, mengapa nasibku begini aneh dan buruk?" dan hampir saja Hong Beng menangis kalau saja saat itu tidak datang suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.
Mereka pulang dengan tangan kosong dan dengan muka sedikit pucat mengandung kegelisahan hati. Mereka melihat Hong Beng duduk di ruangan depan, akan tetapi melihat banyaknya tetangga dan tangis para wanita, suami isteri itu tidak mempedulikan Hong Beng dan mereka segera lari ke dalam rumah.
Tangis di dalam rumah itu menjadi semakin riuh dengan kedatangan suami isteri itu. Para tamu wanita itu, para tetangga, harus memperlihatkan keprihatinan dan kesedihan mereka di depan tuan dan nyonya rumah. Itu namanya sopan santun. Dan seorang saja menangis, tanpa diperintah lagi yang lain pun turut menangis. Otomatis air mata pun bercucuran! Namanya juga perempuan!
Makin berat rasa hati Hong Beng. Kedatangannya seolah-olah membawa bencana pada keluarga pendekar Suma ini! Melihat betapa suami isteri itu pulang dengan tangan kosong, tahulah dia bahwa mereka kehilangan jejak Sai-cu Lama! Dan dialah pembawa berita buruk tentang diculiknya anak mereka dan bahkan membawa ibu pendekar itu dalam keadaan sekarat. Dan kini, bagaimana mungkin dia, si pembawa berita buruk, si pendatang pembawa sial, akan pernah berani membuka rahasia pesan terakhir nenek itu?
Akan tetapi, ada berita baik yang dapat disampaikannya kepada mereka, yaitu ke mana larinya Sai-cu Lama. Dia tahu hal ini! Bukankah Tiong Ki Hwesio pernah mengatakan bahwa kalau hendak mencari Sai-cu Lama, harus mencarinya di istana kota raja? Wah, sedikitnya dia akan berjasa kalau memberi tahukan hal itu.
Hong Beng sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya, hendak berlari masuk, tetapi pikirannya melarangnya. Mengapa harus memberi tahukan mereka? Biarlah dia sendiri yang akan mengejar ke kota raja. Dia sendiri yang akan menolong anak perempuan itu!
Ya, dia harus menolong Suma Lian, bukan memperisterinya seperti yang dipesankan oleh nenek aneh itu! Kalau dia dapat menyelamatkan Suma Lian, baru dia membuka rahasia itu hanya dengan maksud menyampaikan pesan terakhir, bukan bermaksud menuntut haknya! Tidak, dia tidak akan menuntut haknya, dia tidak akan memaksa Suma Lian menjadi jodohnya.
Sekali saja berhubungan hati dengan wanita sudah cukuplah. Dia sudah jera. Sakitnya bukan alang kepalang kalau cintanya ditolak! Dia tidak mau mengalaminya untuk ke dua kalinya. Biarlah, dia tidak akan membiarkan hatinya jatuh lagi, tidak akan membiarkan dirinya jatuh cinta kepada seorang wanita. Pula, wanita mana sih yang sudi menjadi calon isteri seorang pemuda yang miskin, yatim piatu, tidak punya apa-apa, bahkan memiliki kepandaian pun tidak ada gunanya?
Buktinya, kepandaiannya itu tak mampu menyelamatkan nenek itu, tak dapat merampas Suma Lian. Dia hanya akan mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuannya, bahkan seluruh hidupnya, untuk melaksanakan perintah suhu-nya, dan sekarang ditambah lagi, untuk mencari dan menyelamatkan Suma Lian. Untung bahwa dua tugas hidup yang sudah ditentukannya sendiri itu semua terletak di kota raja.
Dia akan pergi sekarang juga, untuk melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama. Dia tahu betapa tangguhnya pendeta Lama itu, dan belum tentu dia akan berhasil. Akan tetapi, kalau perlu dia akan berkorban nyawa untuk dua tugas itu! Didatanginya seorang pelayan yang berada di luar dan dia berkata lirih,
"Paman, tolong nanti engkau beri tahukan kepada tuan dan nyonya rumah kalau mereka menanyakan aku, bahwa aku pergi untuk mencari nona Suma Lian." Tanpa menanti jawaban, dia lalu pergi meninggalkan rumah duka itu yang mulai dibanjiri tangis yang datang berlayat.
Kenapa kita selalu menyambut kelahiran dengan tawa dan mengantar kematian dengan tangis? Kenapa dalam urusan hidup dan mati kita pun masih menggunakan perhitungan rugi untung? Merasa beruntung karena memperoleh warga baru dan merasa rugi atau kehilangan kalau ditinggal mati seorang anggota keluarga? Kalau bukan karena merasa rugi atau kehilangan, lalu mengapa menangisi seorang yang mati?
Hanya ada dua jawaban yang akan kita dapat kalau kita bertanya kepada mereka yang menangisi kematian, yang berduka kalau ada seseorang anggota keluarga meninggal dunia. Jawaban itu tentu, pertama: Karena mencinta yang mati dan merasa kehilangan maka mereka berduka. Jawaban ke dua adalah: Karena merasa iba kepada yang mati maka mereka menangis. Akan tetapi, benarkah jawaban itu? Benarkah kita menangis karena kita mencinta si mati? Dan benarkah kita merasa iba kepada si mati maka kita menangis?
Jawaban ke dua itu jelas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kita dapat merasa kasihan, dapat merasa iba kepada si mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana keadaan orang yang mati itu? Sakitkah? Jelas tidak merasa sakit lagi. Menderitakah dia yang mati? Jelas bahwa kita tidak tahu, akan tetapi mana bisa orang menderita kalau dia tidak merasakan apa-apa lagi?
Jadi, merasa iba kepada si mati adalah suatu alasan yang palsu. Yang jelas, bukan iba kepada dia yang mati, melainkan iba kepada dirinya sendiri karena ditinggalkan. Coba dengarkan kalau kita menangisi orang yang mati. Bagaimana keluh kesah dan ratap tangisnya?
Kita mengatakan betapa teganya si mati itu meninggalkan kita! Kita mengatakan lalu bagaimana dengan kita ini setelah ditinggalkan untuk selamanya? Bukankah semua itu menunjukkan bahwa kita ini sebenarnya terlalu mementingkan diri sendiri, bukan iba kepada si mati melainkan iba kepada diri sendiri?
Kemudian jawaban yang pertama tadi. Kita mencinta si mati dan merasa kehilangan ditinggalkan, maka berduka. Benarkah kita mencinta si mati kalau kematiannya kita buat sedih? Bukankah kesedihan muncul karena adanya ikatan kita kepada si mati? Ikatan inilah yang menimbulkan duka. Ikatan batin. Bukan hanya kepada orang lain, melainkan juga ikatan kepada benda, kepada milik. Sekali yang mengikat batin itu hilang, kita akan berduka dan merasa kehilangan.
Cinta bukan berarti belenggu ikatan batin. Cinta seperti itu hanya akan menimbulkan cemburu, iri hati, bahkan dapat mengubah cinta menjadi kebencian, karena cinta yang membelenggu batin hanyalah nafsu belaka. Nafsu yang mendatangkan kesenangan pada diri kita, pada perasaan kita, itulah yang membelenggu, yang membuat kita tidak mau kehilangan dan ingin selamanya merangkul yang menyenangkan itu. Inilah cinta kita yang sesungguhnya hanyalah nafsu belaka.
Cinta membuat kita INGIN MELIHAT YANG DICINTA ITU BERBAHAGIA! Dan yakinkah kita bahwa dia akan lebih berbahagia kalau masih hidup? Ada yang ketika hidupnya sakit parah sampai bertahun-tahun, setelah mati ditangisi, katanya karena sayang dan cinta! Nah, banyak lika-likunya tentang kata ‘cinta’ ini kalau kita mau menyelidiki dan membuka mata meneliti perasaan diri kita sendiri yang selalu ringan mulut mengaku ‘cinta’.
Keluarga Suma tidak dapat berlama-lama menahan peti jenazah nenek Teng Siang In, bahkan tidak sempat menanti kedatangan para keluarga yang tinggal jauh dari situ, karena mereka ingin cepat-cepat mengubur peti jenazah itu agar mereka dapat cepat pergi mencari puteri mereka yang lenyap dibawa lari. Mereka berdua merasa terkejut dan menyesal sekali melihat bahwa Hong Beng telah pergi tanpa pamit kepada mereka, hanya meninggalkan pesan kepada seorang pelayan bahwa pemuda itu pergi untuk mencari Suma Lian.
Mereka merasa sangat menyesal mengapa tadi saking duka hati mereka tertimpa dua kemalangan secara berbareng, yaitu terculiknya Suma Lian dan matinya nenek Teng Siang In, mereka tidak memperhatikan lagi pemuda itu. Mereka sangat memerlukan pemuda itu yang tidak sempat bercerita sejelasnya tentang kakek yang melarikan Suma Lian. Mereka berdua tidak tahu siapa kakek pendeta itu, siapa namanya dan dari mana datangnya.
Walau pun pemuda itu sendiri pun belum tentu tahu, namun setidaknya pemuda itu dapat menceritakan bagaimana bentuk dan rupa kakek itu dan tentang Ban-tok-kiam yang tiba-tiba saja berada di tangan kakek yang membunuh nenek Teng Siang In dan menculik Suma Lian.
Pedang Ban-tok-kiam adalah Pedang pusaka milik nenek Wan Ceng isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak mungkin kalau pendeta itu suruhan mereka. Sungguh tidak mungkin! Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa pedang Ban-tok-kiam itu dicuri dari tangan nenek Wan Ceng oleh kakek penculik Suma Lian itu, mengingat betapa lihainya kakek itu sehingga nenek Teng Siang In juga terluka dan tewas di tangannya.
Tidak ada lain jalan, ke sanalah mereka pergi. Ke Istana Gurun Pasir, tempat tinggal suami isteri sakti itu, di luar Tembok Besar, jauh di utara. Mereka harus menyelidiki dulu tentang Ban-tok-kiam dan mungkin dari sana mereka akan mendengar siapa adanya kakek yang tiba-tiba saja memusuhi keluarga mereka itu.
Setelah penguburan selesai, dengan pakaian berkabung suami isteri ini pun segera meninggalkan rumah, berangkat menuju ke utara.....
Setelah puas meneliti, ia lalu membentak, "Sebelum aku turun tangan membunuhmu, katakan dulu siapa engkau ini dan mengapa berani menculik cucuku!"
"Omitohud...!" Sai-cu Lama sejak tadi memandang nenek itu dengan mata terbelalak penuh pesona.
Bukan main wanita ini, pikirnya. Biar pun sudah nenek-nenek, akan tetapi tubuhnya masih begitu langsing dan padat, dan wajahnya masih saja membayangkan kecantikan walau pun rambutnya sudah banyak yang memutih. Seorang wanita cantik yang gagah!
"Omitohud apa! Orang semacam engkau ini hanya pakaiannya saja pendeta, hanya kepalanya saja gundul, akan tetapi watakmu persis seperti mukamu yang menyeramkan dan penuh kekejaman itu. Hayo, jawab siapa engkau ini sebelum kau mampus tanpa nama!"
"Omitohud... belum pernah pinceng (aku) menemui yang sehebat ini. Kau malah lebih hebat dari cucumu ini, sayang sudah tua."
"Keparat jahanam, engkau memang ingin mampus tanpa nama!" bentak Teng Siang In.
Ia sudah menerjang dengan hebatnya. Terjangan nenek ini memang dahsyat, karena ia telah mengirim pukulan yang disambung tendangan bertubi-tubi, tendangan-tendangan dengan ujung kaki, hanya menggunakan sedikit saja tenaga, akan tetapi penuh tenaga sinkang dan ujung sepatunya itu, keduanya berputar-putar menuju ke arah tiga belas jalan darah terpenting dari tubuh depan Sai-cu Lama!
Bukan main kagetnya Sai-cu Lama menghadapi serangan sedahsyat itu. Dia sampai mengeluarkan teriakan kaget ketika menangkis dan mengelak sambil terhuyung ke belakang. Dia tak berani membalikkan tubuh karena maklum bahwa nenek itu memang sengaja menyerangnya dengan demikian cepat dan dahsyat, sehingga sekali saja dia memutar tubuh, tentu anak yang sudah digendongnya itu akan terampas kembali! Maka dia terpaksa menangkis sambil berloncatan mundur dan terhuyung-huyung. Kagetlah kakek ini. Nenek itu sungguh sama sekali tak boleh dipandang ringan.
"Haiiittttt...!"
Tiba-tiba dia berteriak. Tangan kanannya mendorong ke depan penuh dengan tenaga sinkang yang amat kuat. Memang, satu di antara keampuhan kakek gendut ini adalah tenaga sinkang-nya yang mampu menyerang orang dari jarak jauh. Tenaga sinkang yang dibarengi dengan tenaga hitam dari Tibet. Dari telapak tangannya itu, selain menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat, juga nampak uap hitam mengepul dan menyambar ke arah muka Teng Siang In.
Akan tetapi nenek itu tertawa. "Heh-heh-heh, pendeta palsu, aku akan menghilang dari depanmu dan menghancurkan kepalamu!"
Nenek itu menggerakkan tangannya dan tiba-tiba lenyap dari pandangan mata Sai-cu Lama! Kakek ini tentu saja kaget bukan main. Cepat dia mencabut Ban-tok-kiam dan memutar pedang itu dengan tangan kanannya, melindungi tubuhnya dengan sinar pedang yang bergulung-gulung membentuk benteng menyelimuti dirinya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan ilmu sihir nenek itu.
Dan mulai nampaklah nenek itu dari sebelah kiri, siap untuk menghantam kepalanya, akan tetapi terhalang oleh sinar pedangnya. Untung dia mempunyai Ban-tok-kiam yang belum lama ini dirampasnya dari gadis itu. Kalau tidak, jangan-jangan hari ini adalah hari ajalnya karena kalau tadi nenek itu benar-benar menghantam kepalanya sebelum dia dapat melihatnya, sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya.
"Omitohud, kiranya engkau siluman betina...!" bentak Sai-cu Lama dengan marah dan dia sama sekali tidak berani memandang rendah lagi, cepat mengirim serangan dengan tusukan Ban-tok-kiam ke arah dada nenek itu.
Nenek Teng Siang In meloncat jauh ke belakang sambil berjungkir balik dan dia pun terbelalak melihat pedang itu.
"Ban-tok-kiam...! Bagaimana bisa jatuh ke tanganmu? Siapakah engkau ini, pendeta Lama busuk?" bentaknya dengan terheran-heran.
Tentu saja ia mengenal Ban-tok-kiam, senjata pedang pusaka yang amat terkenal itu, milik isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Kenapa tiba-tiba saja berada dalam tangan hwesio ini dan apa hubungan pendeta Lama ini dengan nenek Wan Ceng, isteri dari pendekar Kao Kok Cu di Istana Gurun Pasir?
"Ha-ha-ha, anggap saja pinceng adalah Giam-lo-ong (Raja Akhirat) yang datang untuk mencabut nyawamu, nenek cantik!" kata Sai-cu Lama dan dia memutar Ban-tok-kiam lagi, lalu menerjang maju dengan dahsyatnya.
Nenek Teng Siang In tak pernah membawa senjatanya. Ilmu silatnya cukup tinggi dan ditambah ilmu sihirnya, tanpa senjata pun ia dapat melindungi dirinya dengan baik. Akan tetapi sekarang ia bertemu dengan seorang lawan tangguh. Maka cepat ia menyambar sebatang ranting, lantas berteriak sambil memutar rantingnya, "Lihat baik-baik jimatku Naga Terbang ini!"
Kembali Sai-cu Lama terbelalak ngeri melihat betapa tiba-tiba saja nenek itu memegang seekor naga pada ujung ekornya dan naga itu beterbangan hendak menyambar dirinya.
"Omitohud...!" Kakek itu berseru.
Kembali dia melindungi dirinya dengan Ban-tok-kiam yang dipakai melindungi tubuhnya. Sambil mengerahkan tenaga dia pun mengumpulkan kekuatan batinnya dan lambat laun tampaklah olehnya bahwa nenek itu hanya menyerang dengan setangkai ranting pohon yang sama sekali tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedangnya.
"Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau ini hanya tukang sulap yang biasa menjual obat di pasar..."
Akan tetapi terpaksa dia menghentikan ejekannya dan mengelak cepat ketika tiba-tiba nenek itu menusukkan ujung rantingnya ke arah kerongkongannya disusul serangkaian tendangan yang mengarah kedua kakinya. Cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam ke bawah dan terpaksa nenek itu mundur lagi.
Nenek Teng Siang In mulai khawatir. Lawan ini terlalu tangguh, tak bisa ditundukkannya dengan ilmu sihir, dan terutama sekali pedang Ban-tok-kiam ini membuatnya menjadi repot. Pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan di tangan seorang sakti seperti pendeta Lama itu, baru sinar pedang itu saja sudah dapat membunuh lawan karena pedang itu mengandung racun-racun yang amat jahat, sesuai dengan namanya, yaitu Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun)!
Menyesallah ia mengapa tadi di kebun ia tidak berteriak. Kalau sekarang ada puteranya dan mantunya, tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkan kakek ini. Akan tetapi, nenek Teng Siang In sejak mudanya bukan merupakan orang yang mudah menyerah. Dengan gigih ia mempertahankan diri dan beberapa kali dapat menyelamatkan dirinya melalui ilmu sihirnya.
Sementara itu, Sai-cu Lama sendiri masih bisa menyelamatkan diri karena di tangannya terdapat Ban-tok-kiam yang benar-benar amat ampuh itu. Dan karena memang Sai-cu Lama merupakan seorang ahli silat kelas tinggi yang juga mempelajari ilmu hitam, maka dia pun memiliki kekuatan batin yang mampu menangkis serangan-serangan ilmu sihir dari nenek itu. Akan tetapi, andai kata tidak ada Ban-tok-kiam di tangannya, belum tentu kalau nenek itu terdesak walau pun ilmu silatnya kalah tinggi karena ilmu sihirnya benar-benar membuat Sai-cu Lama kadang-kadang kebingungan.
"Lumpuhlah kau! Kedua kakimu lemas dan lumpuh, hayo berlutut di depan nenekmu!" bentakan-bentakan semacam ini membuat Sai-cu Lama kebingungan karena dia benar-benar merasa kakinya seperti akan lumpuh!
Kalau saja dia tidak memutar pedang Ban-tok-kiam, tentu dengan mudah dia terkena serangan ranting yang di tangan nenek itu bisa berubah lihai sekali. Kemudian, dengan pengerahan tenaga batinnya, dia mampu mempertebal diri, atau setidaknya tidak begitu hebat terpengaruh oleh bentakan-bentakan nenek itu.
"Ha-ha-ha, nenek siluman, sebentar lagi engkau akan mampus. Sekali saja tubuhmu tergores Ban-tok-kiam, selaksa racun akan mengalir dalam darahmu dan engkau akan mampus dengan muka hitam, mata melotot dan mulut ternganga. Ha-ha, engkau akan benar-benar menjadi setan karena tubuhmu akan hangus semua!"
"Jahanam busuk lepaskan cucuku!" dengan nekat nenek Teng Siang In maju lagi.
Ia menyerang dengan ilmu tendangannya yang sakti. Dengan Soan-hong-twi, tubuhnya seperti berpusing dan kakinya seperti berubah menjadi puluhan banyaknya, menendang dari sana-sini mengarah pada bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja ia juga membahayakan diri sendiri karena yang diserangnya adalah seorang yang sakti seperti Sai-cu Lama yang memang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Bahkan ketika kakek itu tiba-tiba menghadapi tendangan dari samping, secara mendadak dia memutar tubuh dan memberikan punggungnya untuk menangkis tendangan!
"Ayaaaa!" Nenek Teng Siang In menjerit karena terkejut.
Tendangannya itu kini menuju ke arah kepala cucunya sendiri! Tentu saja hal itu tidak dikehendaki oleh nenek itu. Dalam keadaan yang begitu berbahaya bagi keselamatan cucunya, ia masih mampu melempar diri ke kanan, menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan. Akan tetapi sebelum ia melompat berdiri, tiba-tiba ia merasa pahanya perih dan panas dan ketika kembali ia meloncat ke belakang dan melihat, ia terkejut sekali karena celananya robek sedikit dan berdarah. Sementara itu, lawannya berdiri sambil mengacungkan pedangnya dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, sekarang racun sudah mulai memasuki tubuhmu, nenek cantik! Engkau akan mampus!"
Nenek Teng Siang In terkejut, cepat ia melihat pahanya dan memang benar, pahanya telah terluka. Ia maklum bahwa sukar menyelamatkan nyawanya lagi. Akan tetapi yang penting bukanlah nyawanya, melainkan keselamatan cucunya. Maka dengan nekat, tanpa mempedulikan kenyataan bahwa dirinya telah terluka oleh Ban tok-kiam, nenek Teng Siang In menubruk lagi dan menyerang dengan tendangan-tendangan, pukulan-pukulan dan cakaran-cakaran maut.
Melihat kenekatan ini, Sai-cu Lama kagum juga. Kalau saja nenek ini masih muda, tentu dia sendiri akan sayang membunuhnya, lebih baik diambil sebagai isteri atau murid atau pembantu! Akan tetapi, dia harus cepat menghabisi nenek ini agar dapat cepat pergi karena kalau sampai keluarga pendekar Suma mengetahui dan dapat menyusul ke sini, dia akan celaka. Ngeri juga dia membayangkan kelihaian mereka. Baru nenek ini saja begitu tangguh, apa lagi para pendekarnya yang masih muda.
Tetapi, baru saja dia memutar pedang hendak memperhebat desakannya, tiba-tiba saja berkelebat bayangan biru dan sebuah tendangan yang mengeluarkan angin pukulan berat telah menyambar ke arah punggung Sai-cu Lama. Akan tetapi kakek ini dapat menghindarkan dirinya dan membabat dengan Ban-tok-kiam sehingga si baju biru yang tadi bermaksud merampas anak perempuan di punggung kakek itu terpaksa menarik kembali tangannya. Ternyata pemuda itu adalah Gu Hong Beng!
Seperti telah kita ketahui pada waktu kakek Sai-Cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan, Hong Beng juga melihatnya bahkan sempat ikut mengeroyok kakek yang tangguh itu. Kemudian setelah cintanya ditolak oleh Bi Lan, apa lagi sesudah menerima teguran keras dari Bi Lan karena cemburunya terhadap Kun Tek, dengan hati sedih dia lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja untuk memenuhi perintah gurunya, yaitu melakukan penyelidikan tentang pembesar bernama Hou Seng yang konon merajalela di istana dan membuat kaisar yang semakin tua itu menjadi seperti boneka.
Sesuai dengan petunjuk suhu-nya, dia lalu pergi mencari keluarga Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dan kebetulan sekali di tengah perjalanan, dia melihat perkelahian itu. Hong Beng tidak mengenal siapa nenek itu, tidak mengenal pula anak perempuan yang nampak lemas terikat di punggung si kakek iblis Sai-cu Lama yang sudah dikenalnya.
Melihat keadaan nenek itu yang sudah terluka pahanya akan tetapi masih dengan mati-matian berusaha merampas anak perempuan itu, tanpa tanya lagi Hong Beng tentu saja segera berpihak kepada si nenek yang tak dikenalnya. Dia tahu bahwa Sai-cu Lama amat jahat, maka tentu lawannya bukan orang jahat. Apa lagi nenek itu terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya, maka sekali turun tangan dia sudah bermaksud merampas anak perempuan itu. Sayang usahanya gagal karena memang Sai-cu Lama hebat sekali kepandaiannya.
Teng Sian In semenjak mudanya berwatak angkuh. Apa lagi ia tahu bahwa kepandaian Lama yang kini menjadi lawannya itu hebat bukan main. Ia tidak ingin ada orang yang membantunya untuk kemudian mati konyol. Ia tidak mau ada orang yang mati karena membantunya.
"Orang muda, aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah sebelum mati konyol oleh jahanam busuk ini!" teriaknya dan ia masih menyerang dengan tendangan-tendangan ampuhnya.
"Sai-cu Lama ini masih ada urusan dengan aku juga, nek!" kata Hong Beng.
Dia pun sudah menyerang lagi dan kini bersilat dengan Ilmu Hong-in Bun-hoat! Biar pun dia bertangan kosong, namun kedua tangannya itu bergerak-gerak aneh, seperti orang menulis di udara, akan tetapi setiap ‘coretan’ merupakan serangan yang amat ampuh dan mendatangkan hawa dingin seperti es!
Bukan hanya Sai-cu Lama yang terkejut melihat hebatnya serangan pemuda ini, akan tetapi nenek Teng Siang In terkejut dan girang, juga heran "Hong-in Bun-hoat! Kau murid siapa?" tanyanya sambil membentak dan menyerang lagi.
"Guru saya bernama Suma Ciang Bun..."
"Aihh! Dia keponakanku! Mari kita hancurkan pendeta palsu ini dan rampas kembali cucuku!"
Mendengar seruan nenek ini, bukan main girang rasa hati Hong Beng, akan tetapi selain girang juga dia marah kepada kakek pendeta Lama itu. Nenek ini masih bibi dari gurunya! Kalau begitu tentu nenek ini ibu dari Suma Ceng Liong!
"Baik...!" Dan dia pun kini cepat mengerahkan tenaga sinkang yang dilatihnya dari gurunya, tenaga sinkang yang bersumber dari Swat-im Sinkang dan Hwi-yang Sinkang, dua tenaga yang mengandung hawa dingin seperti salju dan panas seperti api.
Akan tetapi, dia belum dapat menyatukan dua unsur tenaga sinkang ini, bahkan gurunya sendiri belum mencapai tingkat itu. Dia hanya dapat mempergunakan salah satu saja, yang panas atau yang dingin. Namun, itu pun sudah hebat karena dia sudah menguasai hampir setengah bagian dari kedua ilmu pengerahan tenaga sakti itu! Apa lagi dia sudah menguasai beberapa ilmu asli dari Pulau Es dan kini dia mengubah gerakannya dan bersilat dengan Ilmu Silat Siang-mo Kun-hoat.
Ilmu ini aslinya adalah ilmu pedang dari Pulau Es yang bernama Siang-mo Kiam-sut dan mempergunakan sepasang pedang. Akan tetapi oleh Suma Ciang Bun, berdasarkan gerakan-gerakan ilmu pedang ini, dia mengajarkan ilmu silat tangan kosong kepada muridnya itu yang diberi nama Siang-mo Kun-hoat (Ilmu Silat Sepasang Iblis). Bukan sepasang pedang yang dipergunakan, melainkan sepasang kaki dan tangan.
Dia mempergunakan ilmu silat ini yang sifatnya lebih keras dan agresip dibandingkan Hong-in Bun-hoat yang halus. Dan benar saja, setelah memainkan ilmu silat ini, dibantu pula oleh nenek Teng Siang In yang masih menyerang dengan tendangan-tendangan mautnya, Sai-cu Lama langsung terdesak mundur!
Hong Beng seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa selama pedang yang ampuh dan mengandung racun berbahaya itu masih berada di tangan Sai-cu Lama, maka akan sukarlah bagi dia dan nenek itu untuk dapat merampas kembali cucu perempuan nenek itu. Dan kini nampak betapa nenek itu sudah berkurang kecepatannya, agaknya racun dari luka itu sudah mulai menyerangnya.
Hong Beng juga pernah mempelajari penggunaan jarum-jarum halus sebagai senjata rahasia. Memang jarum halus berbau harum merupakan senjata rahasia gurunya yang amat lihai. Akan tetapi Hong Beng tidak suka menyimpan senjata rahasia seperti itu. Selain sifatnya tidak cocok dengan kejantanannya, karena merupakan jarum yang biasa dipakai wanita, juga dia berjiwa pendekar, tidak enak rasa hatinya kalau menggunakan senjata gelap dalam perkelahian.
Sekarang dia merasa bahwa penggunaan senjata rahasia amat penting, bukan untuk merobohkan lawan yang pasti terlalu tangguh untuk diserang dengan senjata rahasia itu, melainkan untuk membebaskan cucu perempuan nenek itu dari pengaruh totokan. Dia percaya bahwa biar pun usianya baru kurang lebih dua belas tahun, sebagai anak keturunan pendekar Pulau Es, anak itu tentu juga pandai silat. Dan kalau ia berhasil dibebaskan, dengan kedua tangan bebas dan berada di punggung kakek itu, siapa tahu anak perempuan itu dapat membantu banyak!
Pikiran inilah yang membuat Hong Beng melakukan serangan dengan tendangan kedua kaki sambil bergulingan. Namanya saja Ilmu Sepasang Iblis, tentu saja kadang-kadang kasar sekali dan bergulingan. Saat bergulingan inilah Hong Beng sudah mencengkeram kerikil-kerikil tanpa diketahui lawan.
Mereka berdua masih berusaha mendesak terus. Tiba-tiba, setelah melihat kesempatan baik, kedua tangan Hong Beng lalu bergerak-gerak ke depan menyambitkan batu-batu kerikil kecil ke arah Suma Lian di punggung kakek itu.
Sai-cu Lama melihat ini dan hampir dia tertawa melihat sambitan-sambitan batu kerikil. Selain batu-batu itu tidak akan melukai tubuhnya yang kebal, juga sambitan-sambitan itu menyeleweng dari sasaran, menuju ke belakang tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa dua di antara batu-batu kecil itu dengan tepat mengenai jalan darah di tengkuk dan pundak Suma Lian dan gadis cilik ini kini sudah mampu bergerak lagi.
Suma Lian juga seorang anak yang cerdik bukan main. Walau pun seketika ia dapat bergerak dan mengeluarkan suara, namun ia diam-diam saja, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara. Akan tetapi jari-jari tangannya merayap ke arah rambutnya dan dari situ, jari-jari tangan itu mengambil sebuah jepit penusuk rambut terbuat dari emas yang berujung runcing! Ia lalu berpikir-pikir.
Pernah ia mempelajari anatomi dari ayahnya, letak-letak otot dan jalan darah, tetapi ia belum mempelajari bagian-bagian mana dari tubuh belakang yang paling lemah. Karena itu, ia hanya berpikir bahwa tengkuk yang gemuk itu tentu merupakan pusat dan akan melumpuhkan kakek iblis ini kalau ia dapat menusukkan benda itu dengan tepat. Ia lalu memandang tengkuk yang terbuka itu. Penuh daging dan gajih, seperti punuk babi! Ihh, hampir saja bergidik karena jijik.
Akan tetapi sasaran itu yang paling mudah, tinggal mengangkat dan menusukkan benda runcing itu saja. Ia lalu mengangkat tangan kanannya yang sudah memegang benda itu. Hal ini tidak diketahui oleh Sai-cu Lama. Dalam keadaan biasa, tentu pendeta ini akan mengetahuinya, akan tetapi pada saat itu, pemuda berpakaian serba biru itu mendesak dan menyerangnya seperti orang kesetanan, sedangkan nenek itu, yang sudah mulai lemah itu, tiba-tiba berteriak, "Sai-cu Lama, kau lihat baik-baik jimatku!"
Dan nenek ini menggerak-gerakkan tangannya. Usaha kedua orang ini tentu saja untuk membantu Suma Lian. Keduanya sudah melihat betapa gadis cilik itu telah mengangkat tangan. Dengan sepasang mata tak pernah terlepas dari tengkuk yang gemuk itu, Suma Lian tiba-tiba menusukkan benda runcing itu pada tengkuk yang gendut.
"Crottt...!"
"Aduhhhh...!"
Kedua tangan Suma Lian tiba-tiba menjadi lemas dan ia tidak mampu lagi menusuk terus, karena ketika benda itu menembus kulit gajih dan daging, darah muncrat-muncrat dan anak perempuan itu merasa jijik akan tetapi juga timbul rasa kasihan dan tidak tega! Bagaimana mungkin ia terus menusukkan benda runcing ke dalam tengkuk gendut itu, yang mirip dengan perut orok? Hampir ia pingsan ketika darah itu muncrat dan sebagian mengenai pipinya, sehingga ia terkulai kembali tanpa dapat menghindar ketika tangan kanan kakek itu menggunakan gagang pedang mengetuk kepalanya. Cukup keras untuk membuat gadis cilik itu roboh pingsan!
Sai-cu Lama telah terluka. Walau pun tidak terlalu dalam, namun dia semakin khawatir. Gadis cilik ini saja demikian lihai. Kalau datang seorang lagi saja, dia tentu akan celaka! Maka dia cepat memutar Ban-tok-kiam sedemikian rupa sehingga dua orang lawannya terpaksa berloncatan ke belakang. Kesempatan ini digunakan olehnya untuk meloncat jauh ke belakang lalu melarikan diri secepatnya!
Hong Beng berseru marah, "Kakek jahat, kau hendak lari ke mana?" Dia meloncat dan hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara lemah, "...jangan... kejar..."
Dia menoleh dan melihat nenek itu terguling roboh! Teringatlah Hong Beng bahwa nenek itu sudah terluka parah. Maka dia pun cepat meloncat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh nenek itu.
"Bagaimana baiknya, locianpwe...?" tanyanya, bingung.
"Aku...keadaanku...payah...lekas bawa aku pulang... kita laporkan hal ini... kepada... Ceng Liong..." Ia menuding ke barat dan terkulai, pingsan.
Hong Beng cepat memondong tubuh nenek itu dan berlari menuju ke barat seperti yang ditudingkan oleh nenek itu. Dia pun tadi sudah mendapat keterangan bahwa jurusan itu menuju ke dusun Hong-cun.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Suma Ceng Liong dan isterinya ketika mereka melihat seorang pemuda berpakaian serba biru memondong tubuh nenek Teng Siang In yang pingsan. Tadinya mereka yang tidak melihat anak mereka dan nenek itu mengira bahwa nenek itu mengajak cucunya berjalan-jalan seperti biasa, atau bermain ke suatu tempat.
Sedikit pun mereka tidak pernah merasa khawatir kalau anak perempuan mereka pergi bersama neneknya. Akan tetapi sekarang, tahu-tahu nenek itu pulang dalam pondongan seorang pemuda serta dalam keadaan pingsan dan tidak nampak Suma Lian bersama mereka!
"Apa yang terjadi dengan ibu?" Suma Ceng Liong berseru dan terkejut melihat betapa wajah ibunya sudah biru menghitam.
"Di mana anakku, Suma Lian? Di mana ia...?"
Melihat kebingungan suami isteri itu, Hong Beng dapat memakluminya. Begitu melihat munculnya suami isteri itu, dia sudah merasa kagum sekali. Suma Ceng Liong memang gagah perkasa, tepat seperti yang diceritakan suhu-nya kepadanya.
Seorang pria berusia sekitar tiga puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dengan muka lonjong dan dagu meruncing, mulutnya seperti selalu tersenyum, wajahnya cerah dan sinar matanya begitu tajam seperti mencorong. Menurut keterangan suhu-nya, susiok (paman guru) ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari suhu-nya.
Juga isteri susiok-nya itu menurut gurunya, mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali karena dia mewarisi ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)! Dan dalam usia yang sebaya suaminya bibi guru itu nampak masih amat cantik menarik seperti seorang gadis saja! Selain cantik, juga sepasang matanya amat tajam dan sikapnya gesit dan gagah sekali. Akan tetapi, saat itu suami isteri yang hebat ini sedang dalam keadaan gelisah dan Hong Beng tidak mau membuang banyak waktu lagi.
"Saya melihat nenek ini bertanding dengan seorang pendeta Lama, kurang lebih lima li disebelah timur dusun ini dan seorang anak perempuan terikat di punggung pendeta itu. Nenek ini terluka dan saya berusaha membantunya, akan tetapi kami tidak berhasil dan kakek pendeta itu sudah melarikan diri membawa anak perempuan di punggungnya..."
"Cukup! bentak Kam Bi Eng, "ke arah mana larinya kakek yang menculik anakku itu?"
"Dari sini ke timur, setelah lima li ada hutan kecil, dia lari ke arah utara," jawab Hong Beng. Dan tiba-tiba saja wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ!
Suma Ceng Liong juga akan lari, akan tetapi teringat akan ibunya dan dia berdiri bingung. Dia cepat berjongkok dan memeriksa keadaan ibunya. Alisnya berkerut dan dua titik air mata membasahi matanya. Pendekar ini lalu bangkit berdiri.
"Siapa kau?"
Hong Beng menjatuhkan diri berlutut. "Susiok, nama saya Gu Hong Beng dan teecu adalah murid dari suhu Suma Ciang Bun. Teecu diutus menyelidiki keadaan pembesar Hou Seng di kota raja akan tetapi oleh suhu disuruh singgah dulu di sini untuk minta keterangan dan nasehat dari Susiok."
"Hemm, kau jaga dulu ibuku ini. Ia sudah... tak mungkin dapat ditolong lagi. Tahukah engkau dengan apa pahanya itu dilukai?"
"Dengan Ban-tok-kiam."
"Ban-tok-kiam? Bagaimana kau bisa tahu... ah, sudahlah, nanti saja bercerita. Kau jaga ibuku dan aku akan mengejar kakek iblis itu!" Dan tubuhnya berkelebat lenyap pula dari depan Hong Beng.
Pemuda ini semakin kagum dan dia pun memondong tubuh nenek itu, dibawanya ke dalam sebuah kamar menurut petunjuk seorang pelayan yang tadi mendengarkan percakapan mereka dan percaya kepada pemuda ini yang mengaku murid keponakan majikannya. Gu Hong Beng menunggui tubuh nenek itu.
Wajah nenek itu biru kehitaman dan menakutkan sekali, matanya melotot dan mulutnya terbuka. Napasnya masih belum terhenti, namun terengah-engah dan tinggal satu-satu, tubuhnya panas seperti dibakar api. Dia mengingat-ingat pelajaran tentang pengobatan yang pernah dipelajarinya dari gurunya, dan dirabanya pergelangan tangan kiri nenek itu, kemudian yang kanan. Denyut jantungnya lemah sekali di bagian kiri, akan tetapi di lengan kanan itu tidak ada denyut sama sekali.
Dia pun tahu bahwa nenek ini sukar sekali ditolong, kecuali kalau ada obat dewa. Andai kata nenek ini masih dapat ditolong, tidak mungkin pendekar Suma Ceng Liong akan meninggalkannya begitu saja untuk mengejar penculik anaknya. Tentu lebih dahulu dia akan menolong dan mengobati ibunya.
Tiba-tiba timbul pikiran Hong Beng untuk membantu nenek itu agar jalan darahnya lebih cepat dan biar pun hal itu bukan merupakan pertolongan terhadap nyawa nenek itu, namun mungkin saja dapat membuat nenek itu sadar, walau pun hanya untuk beberapa detik lamanya. Siapa tahu, nenek ini hendak meninggalkan pesan. Kasihan orang yang mau mati tidak sempat meninggalkan pesan apa-apa. Dengan hati-hati sekali, dengan tenaga yang dikendalikannya baik-baik, ia lalu menotok beberapa jalan darah di pundak, tengkuk dan punggung, dan mengurut lengan kanan.
Harapannya terkabul. Tak lama kemudian, mata yang terbelalak itu bergerak-gerak dan memandang dengan wajar padanya tanpa menoleh. Hong Beng mendekatkan mukanya karena melihat bibir itu bergerak-gerak. Nenek itu berbisik-bisik.
"Kau... berjanjilah untuk mentaati perintahku..."
Bukan main nenek ini, pikir Hong Beng. Sudah menghadapi maut, masih keras hati dan minta dia mentaati perintahnya! Dia mengangguk-angguk, menghormati pesan seorang di ambang pintu kematian.
"Saya berjanji untuk mentaati, nek."
"...ber... bersumpah!"
Hong Beng terbelalak, akan tetapi tidak berani menolak. Kembali dia mengangguk dan berkata, "Saya bersumpah, nek!"
Wajah yang sudah menghitam itu nampak tenang, mulut yang sudah membiru bibirnya itu tersenyum menyeramkan jadinya! "Bagus! Kelak kau... kau harus menjadi suami Suma Lian..."
Hampir saja Hong Beng terlonjak kaget dan dia cepat membantah, "Akan tetapi, nek! Nenek... ah, nenek...ini tidak bisa... nek...!" Percuma saja dia berteriak-teriak karena nenek itu sudah tak bernapas lagi!
Pelayan yang berada di luar kamar mendengar teriakan-teriakan Hong Beng lalu masuk dan segera terdengar jerit tangis pelayan perempuan itu yang menarik perhatian para tetangga. Tak lama kemudian, terdengar tangis kaum wanita yang menjadi tetangga nenek itu. Sudah menjadi suatu kelajiman, bahwa pada setiap kematian, tentu terdengar tangis wanita. Agaknya kalau tidak terdengar tangis wanita akan menjadi aneh sekali tentu!
Tak seorang pun mempedulikan Hong Beng yang duduk di ruang luar sambil bengong terlongong. Kadang-kadang dia menarik napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepala seperti hendak membantah sesuatu, lalu nampak menyesal sekali seperti orang mau menangis. Dia memang merasa menyesal bukan main.
Bagaimana nenek aneh itu meninggalkan pesan seperti itu kepadanya? Dan dia sudah berjanji, bersumpah malah! Bersumpah untuk mentaati perintahnya. Siapa tahu perintah terakhir itu begitu gila? Bagaimana mungkin dia harus menjadi calon suami... siapa lagi nama anak perempuan yang menjadi cucunya itu? Suma Lian, benar, Suma Lian. Mana mungkin ini?
Suma Lian adalah puteri tunggal Suma Ceng Liong. Sedangkan dia? Hanya anak yatim piatu, hanya keturunan tukang kayu sederhana. Seorang pemuda yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Ayah tidak, ibu tidak, uang sepeser pun tidak, rumah tidak dan keluarga pun tidak! Untuk menjadi bujang Suma Lian saja agaknya masih belum tentu diterima, apa lagi menjadi suami!
Dan siapa berani memberi tahukan pesan itu kepada keluarga susiok-nya? Biar sampai mati dia tidak akan berani! Dia tahu tentu akan ditolak, dan mungkin dia tidak dipercaya dan disangkanya dia bikin-bikin saja. Alangkah akan malunya, dan dia akan merasa terhina sekali. Tidak, dia tidak akan bercerita kepada siapa pun juga! Akan tetapi, dia sudah bersumpah untuk mentaati pesan terakhir yang berupa perintah itu!
"Hayaaaa... nenek aneh, kenapa sih engkau meninggalkan pesan yang begitu aneh dan gila? Engkau menambahkan beban pada pundakku, membuat kehidupan ini menjadi semakin berat rasanya..."
Baru saja dia dilanda duka karena penolakan cinta dan sekarang dia dihadapkan pada persoalan yang jauh lebih rumit lagi. Kalau persoalan mengenai diri Bi Lan, dianggapnya sudah selesai. Cintanya ditolak dan habis perkara! Dia akan menderita atau tidak adalah urusannya sendiri, tidak ada lagi hubungan dan sangkut pautnya dengan orang lain.
Akan tetapi urusan pesan nenek itu? Celaka! Begitu banyaknya orang akan tersangkut. Bukan hanya diri Suma Lian langsung yang terkena pesan itu, akan tetapi juga dia berhadapan dengan ayah ibu anak perempuan itu, dan gurunya sendiri tentu akan ikut terbawa akibat buruknya, dan salah-salah seluruh keluarga Pendekar Pulau Es akan memusuhinya karena menganggap dia menghina keluarga itu!
Akan tetapi, kalau dia diam saja karena pesan terakhir itu hanya diketahui oleh dia dan nenek itu sendiri, selama hidupnya akan ada perasaan bersalah di dalam hatinya. Selama hidupnya! Karena dia sudah berani bersumpah di depan seorang nenek yang hampir mati dan tidak menetapi janjinya, tidak memenuhi sumpahnya. Dan untuk itu, selama hidupnya dia tentu akan tersiksa oleh batin sendiri.
"Celaka, mengapa nasibku begini aneh dan buruk?" dan hampir saja Hong Beng menangis kalau saja saat itu tidak datang suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.
Mereka pulang dengan tangan kosong dan dengan muka sedikit pucat mengandung kegelisahan hati. Mereka melihat Hong Beng duduk di ruangan depan, akan tetapi melihat banyaknya tetangga dan tangis para wanita, suami isteri itu tidak mempedulikan Hong Beng dan mereka segera lari ke dalam rumah.
Tangis di dalam rumah itu menjadi semakin riuh dengan kedatangan suami isteri itu. Para tamu wanita itu, para tetangga, harus memperlihatkan keprihatinan dan kesedihan mereka di depan tuan dan nyonya rumah. Itu namanya sopan santun. Dan seorang saja menangis, tanpa diperintah lagi yang lain pun turut menangis. Otomatis air mata pun bercucuran! Namanya juga perempuan!
Makin berat rasa hati Hong Beng. Kedatangannya seolah-olah membawa bencana pada keluarga pendekar Suma ini! Melihat betapa suami isteri itu pulang dengan tangan kosong, tahulah dia bahwa mereka kehilangan jejak Sai-cu Lama! Dan dialah pembawa berita buruk tentang diculiknya anak mereka dan bahkan membawa ibu pendekar itu dalam keadaan sekarat. Dan kini, bagaimana mungkin dia, si pembawa berita buruk, si pendatang pembawa sial, akan pernah berani membuka rahasia pesan terakhir nenek itu?
Akan tetapi, ada berita baik yang dapat disampaikannya kepada mereka, yaitu ke mana larinya Sai-cu Lama. Dia tahu hal ini! Bukankah Tiong Ki Hwesio pernah mengatakan bahwa kalau hendak mencari Sai-cu Lama, harus mencarinya di istana kota raja? Wah, sedikitnya dia akan berjasa kalau memberi tahukan hal itu.
Hong Beng sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya, hendak berlari masuk, tetapi pikirannya melarangnya. Mengapa harus memberi tahukan mereka? Biarlah dia sendiri yang akan mengejar ke kota raja. Dia sendiri yang akan menolong anak perempuan itu!
Ya, dia harus menolong Suma Lian, bukan memperisterinya seperti yang dipesankan oleh nenek aneh itu! Kalau dia dapat menyelamatkan Suma Lian, baru dia membuka rahasia itu hanya dengan maksud menyampaikan pesan terakhir, bukan bermaksud menuntut haknya! Tidak, dia tidak akan menuntut haknya, dia tidak akan memaksa Suma Lian menjadi jodohnya.
Sekali saja berhubungan hati dengan wanita sudah cukuplah. Dia sudah jera. Sakitnya bukan alang kepalang kalau cintanya ditolak! Dia tidak mau mengalaminya untuk ke dua kalinya. Biarlah, dia tidak akan membiarkan hatinya jatuh lagi, tidak akan membiarkan dirinya jatuh cinta kepada seorang wanita. Pula, wanita mana sih yang sudi menjadi calon isteri seorang pemuda yang miskin, yatim piatu, tidak punya apa-apa, bahkan memiliki kepandaian pun tidak ada gunanya?
Buktinya, kepandaiannya itu tak mampu menyelamatkan nenek itu, tak dapat merampas Suma Lian. Dia hanya akan mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuannya, bahkan seluruh hidupnya, untuk melaksanakan perintah suhu-nya, dan sekarang ditambah lagi, untuk mencari dan menyelamatkan Suma Lian. Untung bahwa dua tugas hidup yang sudah ditentukannya sendiri itu semua terletak di kota raja.
Dia akan pergi sekarang juga, untuk melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama. Dia tahu betapa tangguhnya pendeta Lama itu, dan belum tentu dia akan berhasil. Akan tetapi, kalau perlu dia akan berkorban nyawa untuk dua tugas itu! Didatanginya seorang pelayan yang berada di luar dan dia berkata lirih,
"Paman, tolong nanti engkau beri tahukan kepada tuan dan nyonya rumah kalau mereka menanyakan aku, bahwa aku pergi untuk mencari nona Suma Lian." Tanpa menanti jawaban, dia lalu pergi meninggalkan rumah duka itu yang mulai dibanjiri tangis yang datang berlayat.
Kenapa kita selalu menyambut kelahiran dengan tawa dan mengantar kematian dengan tangis? Kenapa dalam urusan hidup dan mati kita pun masih menggunakan perhitungan rugi untung? Merasa beruntung karena memperoleh warga baru dan merasa rugi atau kehilangan kalau ditinggal mati seorang anggota keluarga? Kalau bukan karena merasa rugi atau kehilangan, lalu mengapa menangisi seorang yang mati?
Hanya ada dua jawaban yang akan kita dapat kalau kita bertanya kepada mereka yang menangisi kematian, yang berduka kalau ada seseorang anggota keluarga meninggal dunia. Jawaban itu tentu, pertama: Karena mencinta yang mati dan merasa kehilangan maka mereka berduka. Jawaban ke dua adalah: Karena merasa iba kepada yang mati maka mereka menangis. Akan tetapi, benarkah jawaban itu? Benarkah kita menangis karena kita mencinta si mati? Dan benarkah kita merasa iba kepada si mati maka kita menangis?
Jawaban ke dua itu jelas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kita dapat merasa kasihan, dapat merasa iba kepada si mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana keadaan orang yang mati itu? Sakitkah? Jelas tidak merasa sakit lagi. Menderitakah dia yang mati? Jelas bahwa kita tidak tahu, akan tetapi mana bisa orang menderita kalau dia tidak merasakan apa-apa lagi?
Jadi, merasa iba kepada si mati adalah suatu alasan yang palsu. Yang jelas, bukan iba kepada dia yang mati, melainkan iba kepada dirinya sendiri karena ditinggalkan. Coba dengarkan kalau kita menangisi orang yang mati. Bagaimana keluh kesah dan ratap tangisnya?
Kita mengatakan betapa teganya si mati itu meninggalkan kita! Kita mengatakan lalu bagaimana dengan kita ini setelah ditinggalkan untuk selamanya? Bukankah semua itu menunjukkan bahwa kita ini sebenarnya terlalu mementingkan diri sendiri, bukan iba kepada si mati melainkan iba kepada diri sendiri?
Kemudian jawaban yang pertama tadi. Kita mencinta si mati dan merasa kehilangan ditinggalkan, maka berduka. Benarkah kita mencinta si mati kalau kematiannya kita buat sedih? Bukankah kesedihan muncul karena adanya ikatan kita kepada si mati? Ikatan inilah yang menimbulkan duka. Ikatan batin. Bukan hanya kepada orang lain, melainkan juga ikatan kepada benda, kepada milik. Sekali yang mengikat batin itu hilang, kita akan berduka dan merasa kehilangan.
Cinta bukan berarti belenggu ikatan batin. Cinta seperti itu hanya akan menimbulkan cemburu, iri hati, bahkan dapat mengubah cinta menjadi kebencian, karena cinta yang membelenggu batin hanyalah nafsu belaka. Nafsu yang mendatangkan kesenangan pada diri kita, pada perasaan kita, itulah yang membelenggu, yang membuat kita tidak mau kehilangan dan ingin selamanya merangkul yang menyenangkan itu. Inilah cinta kita yang sesungguhnya hanyalah nafsu belaka.
Cinta membuat kita INGIN MELIHAT YANG DICINTA ITU BERBAHAGIA! Dan yakinkah kita bahwa dia akan lebih berbahagia kalau masih hidup? Ada yang ketika hidupnya sakit parah sampai bertahun-tahun, setelah mati ditangisi, katanya karena sayang dan cinta! Nah, banyak lika-likunya tentang kata ‘cinta’ ini kalau kita mau menyelidiki dan membuka mata meneliti perasaan diri kita sendiri yang selalu ringan mulut mengaku ‘cinta’.
Keluarga Suma tidak dapat berlama-lama menahan peti jenazah nenek Teng Siang In, bahkan tidak sempat menanti kedatangan para keluarga yang tinggal jauh dari situ, karena mereka ingin cepat-cepat mengubur peti jenazah itu agar mereka dapat cepat pergi mencari puteri mereka yang lenyap dibawa lari. Mereka berdua merasa terkejut dan menyesal sekali melihat bahwa Hong Beng telah pergi tanpa pamit kepada mereka, hanya meninggalkan pesan kepada seorang pelayan bahwa pemuda itu pergi untuk mencari Suma Lian.
Mereka merasa sangat menyesal mengapa tadi saking duka hati mereka tertimpa dua kemalangan secara berbareng, yaitu terculiknya Suma Lian dan matinya nenek Teng Siang In, mereka tidak memperhatikan lagi pemuda itu. Mereka sangat memerlukan pemuda itu yang tidak sempat bercerita sejelasnya tentang kakek yang melarikan Suma Lian. Mereka berdua tidak tahu siapa kakek pendeta itu, siapa namanya dan dari mana datangnya.
Walau pun pemuda itu sendiri pun belum tentu tahu, namun setidaknya pemuda itu dapat menceritakan bagaimana bentuk dan rupa kakek itu dan tentang Ban-tok-kiam yang tiba-tiba saja berada di tangan kakek yang membunuh nenek Teng Siang In dan menculik Suma Lian.
Pedang Ban-tok-kiam adalah Pedang pusaka milik nenek Wan Ceng isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak mungkin kalau pendeta itu suruhan mereka. Sungguh tidak mungkin! Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa pedang Ban-tok-kiam itu dicuri dari tangan nenek Wan Ceng oleh kakek penculik Suma Lian itu, mengingat betapa lihainya kakek itu sehingga nenek Teng Siang In juga terluka dan tewas di tangannya.
Tidak ada lain jalan, ke sanalah mereka pergi. Ke Istana Gurun Pasir, tempat tinggal suami isteri sakti itu, di luar Tembok Besar, jauh di utara. Mereka harus menyelidiki dulu tentang Ban-tok-kiam dan mungkin dari sana mereka akan mendengar siapa adanya kakek yang tiba-tiba saja memusuhi keluarga mereka itu.
Setelah penguburan selesai, dengan pakaian berkabung suami isteri ini pun segera meninggalkan rumah, berangkat menuju ke utara.....
********************
Pegunungan Tai-hang-san terkenal sebagai pegunungan yang indah, memanjang dari selatan ke utara. Di pegunungan itu terdapat banyak puncak-puncaknya yang selain amat indah pemandangan alamnya, juga amat sulit didaki orang karena untuk mencapai puncak, orang harus menuruni jurang dan memanjat tebing-tebing yang amat curam. Bahkan para pemburu pun jarang berani mendekati puncak-puncak yang berbahaya itu, melainkan mencari binatang buruan di sekitar lereng pegunungan di mana terdapat banyak hutan-hutan yang luas.
Pegunungan ini terletak di tepi daerah pegunungan yang memenuhi sebagian besar daratan Cina, di tepi timur sehingga dari puncak-puncaknya, nampaklah bagian timur yang datar dan rendah, penuh dengan sungai-sungai besar yang mengalir dari barat dan utara yang penuh dengan pegunungan itu. Tetapi kalau dari puncak Tai-hang-san orang memandang ke utara, selatan dan terutama barat, maka yang nampak hanya pegunungan belaka, dan daerah-daerah tandus yang tinggi.
Karena di bagian timurnya datar dan tidak terhalang gunung, pemandangan matahari terbit di puncak Tai-hang-san amat indahnya. Matahari terbit pagi sekali karena tidak terhalang apa-apa. Ketika pagi hari nampak matahari seperti muncul dari tanah yang merupakan garis di kejauhan sepanjang mata memandang, dan nampak bola merah itu menyembul perlahan-lahan, besar dan merah darah, makin lama makin tinggi sampai mata tidak kuat memandang lagi karena semakin tinggi bola merah itu naik, semakin kuat cahayanya. Warna merah pun berganti keemasan, lalu jika sudah berubah seperti warna perak, matahari itu sudah naik tinggi.
Tapi, ketika bola itu masih berwarna merah darah, pemandangan alam di atas puncak sukar dilukiskan dengan kata-kata. Pokoknya, indah yang mengandung sesuatu yang dapat mendatangkan perasaan damai penuh ketenangan di dalam hati, mendatangkan perasaan takjub dan hening, menggugah kesadaran betapa diri kita ini kecil dan sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kebesaran alam. Menyadarkan batin bahwa kita ini merupakan sebagian kecil saja dari alam, yang ikut berputar dalam arus kekuasaan alam yang sudah mengatur segala-galanya secara sempurna.
Betapa kita ini merupakan mahluk yang hanya dapat hidup karena adanya semua yang nampak dan tidak nampak di alam ini. Cahaya matahari, udara, bumi, pohon-pohonan, air. Semua sudah teratur sedemikian sempurna, saling kait-mengait, saling mematikan, saling menghidupkan, tidak boleh kurang satu pun juga, sesuai dengan hukum alam.
Sayang bahwa kesadaran ini hanya kadang-kadang saja memasuki batin kita, dan sebagian besar dari waktu kita terisi oleh pikiran yang menciptakan sang aku, sehingga bayangan aku inilah yang paling besar, paling penting, dan harus dipaling dahulukan!
Padahal, tanpa perlu pergi ke puncak gunung seperti puncak Tai-hang-san sekali pun, dengan meneliti tubuh kita sendiri, kita akan menemukan keajaiban-keajaiban itu, akan menemukan kekuasaan alam yang bekerja dengan sempurna pada diri kita, karena keadaan diri kita tiada ubahnya dengan keadaan alam!
Lihatlah, rambut kita yang tak dapat kita hitung banyaknya itu, bulu-bulu di tubuh kita, satu demi satu hidup sendiri-sendiri tanpa kita kuasai, ada yang panjang ada yang pendek ada yang rontok ada yang tumbuh lagi. Garis-garis kulit kita, lekuk dan lengkung tubuh kita, badan kita seluruhnya, isi kepala dan perut, otak kita, semua tumbuh sendiri-sendiri tanpa dapat diatur oleh sang aku! Jantung kita berdenyut setiap saat, baik kita sedang sadar mau pun tidak, seolah-olah hidup tersendiri.
Lalu apa sesungguhnya kemampuan sang aku yang begitu kita agung-agungkan? Dan bukankah sang aku itu hanya ciptaan pikiran kita saja yang selalu mengejar hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan yang pernah kita alami?
Di mana ada pengejaran kesenangan maka aku menjadi-jadi pentingnya. Segala jenis nafsu mengaku menjadi sang aku. Dan begitu ada pengejaran kepentingan diri untuk kesenangan, mulailah di antara kita saling bertumbukan, saling berebut kesenangan yang kita beri nama kebenaran dan sebagainya yang muluk-muluk. Bahkan perang pun terjadi di antara bangsa karena cetusan keinginan untuk mengejar kesenangan masing-masing itulah, mengejar kepentingan diri pribadi.....
"Mengapa... apa...?" tanyanya bingung oleh karena gadis itu kembali telah memandang kepadanya dengan mata melotot marah.
"Mengapa engkau tidak membunuhku atau setidaknya merobohkan aku? Padahal jelas bahwa kedatanganku ini untuk merampas Liong-siauw-kiam? Ehh, engkau... engkau... bukan sebangsa jai-hwa-cat, ya?"
Kembali Sim Houw menjadi gemas dan ingin menampar mulut itu kalau saja yang bicara orang lain.
"Kenapa kau bertanya begitu?" balasnya, tentu saja dia mendongkol karena jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) adalah kejahatan yang paling dibencinya.
"Karena sudah banyak sekali kulihat orang-orang yang ilmunya tinggi, bersikap baik kepada wanita hanya untuk maksud-maksud tertentu yang rendah dan hina. Tetapi... tetapi... ahhh, engkau tentu bukan orang macam mereka itu. Aku percaya padamu, maafkan pertanyaanku tadi, ya?"
Ucapan yang disertai senyum ini sekaligus menghapus bersih kedongkolan hati Sim Houw. "Sekarang ceritakan tentang dirimu dan tentang hubunganmu dengan keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir."
"Sam Kwi bukan saja guru-guruku, tetapi juga penolongku dan penyelamat nyawaku. Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku dan ayah ibuku meninggalkan kampung halaman kami di selatan untuk lari mengungsi karena ada perang pemberontakan dan serbuan dari orang-orang Birma. Di tengah perjalanan, kami dihadang pasukan orang Birma. Ayah ibuku tewas dan aku hampir celaka. Kalau tidak ada Sam Kwi yang tiba-tiba muncul, tentu aku mengalami nasib seperti ibuku, diperkosa oleh mereka sampai mati."
Gadis itu memejamkan kedua matanya untuk mengusir pemandangan tentang ibu dan ayahnya itu yang membayang dalam ingatannya. Diam-diam Sim Houw merasa terharu sekali dan juga kasihan. Pantas gadis ini memiliki watak yang aneh. Begitu kecil sudah mengalami musibah yang demikian hebat.
"Nah, semenjak itulah aku menjadi murid Sam Kwi setelah mereka bertiga membunuh semua anggota pasukan Birma itu. Aku berhutang budi dan mereka baik sekali padaku. Akan tetapi suci-ku Bi-kwi, tidak baik kepadaku. Ia yang mewakili Sam Kwi melatihku, akan tetapi latihan-latihan itu diselewengkan sehingga aku keracunan dan hampir tewas kalau tidak pada suatu hari, di dalam hutan, aku bertemu dengan suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir itu. Merekalah yang mengobatiku sampai sembuh dan mengajarkan ilmu-ilmu silat sampai setahun lamanya."
Sim Houw mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan semakin kagum. Sejak berusia sepuluh tahun gadis ini menjadi murid Sam Kwi, akan tetapi tidak tumbuh dewasa menjadi seperti Bi-kwi, hal itu sungguh mengagumkan, tanda bahwa memang gadis ini memiliki dasar watak yang baik dan kuat.
"Lalu bagaimana engkau sampai bisa hutang budi juga kepada Bi-kwi, padahal ia yang hampir mencelakaimu dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang sengaja disesatkan itu?"
"Bi-kwi bertempur denganmu dan kalah, lalu Sam Kwi bertapa selama satu tahun untuk menciptakan ilmu silat baru yang hebat untuk kami dapat menghadapimu..."
"Ahh, ilmu silat yang hebat tadi? Bukan main, memang Sam Kwi lihai..."
"Itulah Ilmu Sam Kwi Cap-sha-ciang. Setelah mereka berhasil menciptakan ilmu baru itu, mereka mengajarkannya kepada aku dan Bi-kwi, lalu kami berdua menerima tugas untuk mencarimu dan merampas Liong-siauw-kiam. Sam Kwi lalu mengadakan pesta makan minum untuk mengucapkan selamat jalan kepada kami dan dalam kesempatan itu, aku dibikin mabok, ditawan oleh Sam Kwi untuk diperkosa..."
"Ahhh...! Betapa kejinya!" Sim Houw hampir meloncat saking marah dan kagetnya.
"Hal seperti itu biasa saja bagi mereka. Bi-kwi juga sudah mereka perlakukan demikian sehingga selalu menjadi murid juga menjadi kekasih mereka. Aku tidak sudi melayani mereka. Mereka bermaksud menundukkan aku seperti Bi-kwi, akan tetapi aku tidak mau. Mereka mengancam akan memperkosa, dan ketika itulah Bi-kwi turun tangan, membebaskan aku dan kami melarikan diri. Akan tetapi aku lalu harus membuat janji dan sumpah bahwa aku akan membantunya mendapatkan kembali Liongsiauw-kiam."
Sim Houw mengangguk-angguk dan tertarik sekali. Diam-diam dia semakin kagum kepada Bi Lan. Gadis ini sudah pernah hampir tewas oleh Bi-kwi, akan tetapi sekali ditolong, ia bersumpah membalas budi itu dan sekali bersumpah ia akan melaksanakan walau bertaruh nyawa. Sukar mencari seorang gadis berhati baja seperti ini, juga yang bernasib malang sekali terjatuh ke dalam lingkungan kaum sesat.
"Kemudian bagaimana?"
Dengan singkat Bi Lan lalu menceritakan perjalanannya dengan Bi-kwi sampai ia hampir pula menjadi korban dan hampir diperkosa oleh Bhok Gun, cucu murid Pek-bin Lo-sian. "Karena dua kali mengalami peristiwa seperti itu, hampir diperkosa oleh Sam Kwi yang mula-mula baik kepadaku, kemudian oleh Bhok Gun yang bekerja sama dengan suci, maka tadi aku teringat dan terkejut karena jangan-jangan engkau juga seorang seperti mereka itu!"
"Hemmm, tidak semua orang jahat, nona. Akan tetapi, engkau belum menceritakan sesuatu yang paling penting padaku."
"Apa itu?"
"Namamu!"
Bi Lan tertawa. Ketawanya juga bebas, tanpa menutupi mulut karena kadang-kadang ia lupa akan sedikit pelajaran tentang sopan santun yang pernah ia terima dari nenek Wan Ceng. Ia memang merupakan seekor kuda betina yang tadinya liar, atau setangkai bunga mawar hutan yang tidak pernah terawat dengan baik, walau pun hal itu tidak mengurangi keindahan dan keharumannya.
"Aku lupa dan engkau tidak menanyakan sih! Namaku Can Bi Lan, mendiang ayah bernama Can Kiong, seorang petani biasa dari Yunan."
"Dan sekarang, adik Bi Lan, boleh aku menyebut adik kepadamu, bukan?"
"Tentu saja, dan aku akan menyebut toako (kakak besar) kepadamu. Tidak pantas menyebut paman karena usiamu hanya sebaya dengan Bhok Gun yang masih terhitung suheng dariku. Sim-toako, nah, itulah sebutanku untukmu. Kau tadi hendak bicara apa?"
"Begini Lan-moi (adik Lan), bagaimana pula engkau bisa tahu bahwa aku berada di Pegunungan Tai-hang-san dan bisa menemukan aku di sini?"
"Aku bertemu dengan seorang pemuda bernama Cu Kun Tek. Dialah yang memberi tahu kepadaku bahwa mungkin aku bisa menemukanmu di Pegunungan Tai-hang-san."
"Cu Kun Tek?" Sim Houw berseru girang. "Wah, dia itu masih terhitung pamanku!"
"Apa? Bagaimana ini? Dia masih begitu muda, sebaya denganku, mana bisa menjadi pamanmu?"
"Ayahnya yang bernama Cu Kang Bu adalah paman mendiang ibuku. Bukankah dengan demikian Cu Kun Tek adalah pamanku? Tentu dia sudah dewasa sekarang. Aku tidak bertemu dengan dia semenjak aku mengunjungi lembah keluarga Cu dan di sanalah aku bertemu dengan kakek Pek-bin Lo-sian. Jadi engkau bertemu dengan Kun Tek? Bagaimana dapat berkenalan dengan dia?"
"Dia penolongku, ketika aku memasuki perangkap Bhok Gun. Tiba-tiba ketika aku dalam keadaan luka dikeroyok oleh Bhok Gun dan kawan-kawannya, muncul Kun Tek yang mengamuk sehingga kami berdua berhasil lolos dari kepungan. Kami berkenalan dan dialah yang memberi tahu aku bahwa engkau mungkin berada di sini."
Tentu saja hati Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Kun Tek yang dulu baru berusia dua belas tahun itu sekarang sudah menjadi seorang pendekar yang boleh dibanggakan! Pantas menjadi keturunan keluarga Cu yang gagah perkasa dan pantas pula menjadi pemilik Koai-liong Po-kiam!
Dia merasa amat gembira bahwa dia telah mengembalikan pedang pusaka itu kepada keluarga Cu. Dengan demikian, terhapuslah sudah semua rasa tidak enak yang pernah ada antara keluarga Cu dan keluarga Kam, yaitu Pendekar Suling Emas yang menjadi gurunya.
Tiba-tiba Bi Lan bangkit berdiri. "Sudah terlalu banyak kita ngobrol dan terlalu lama aku disini. Sekarang, seperti janji dan sumpahmu tadi, serahkan Liong-siauw-kiam kepadaku untuk kuberikan kepada suci." Ia menengadahkan tangan kanannya yang diulur untuk menerima pemberian pedang.
"Nanti dulu, Lan-moi. Aku tidak akan menarik kembali janjiku. Akan tetapi engkau tahu betapa berbahayanya kalau pusaka seperti ini menjadi milik seorang jahat seperti Bi-kwi atau Sam Kwi. Tentu seperti harimau buas yang tumbuh sayap."
"Jadi kau tidak mau memberikan?" Bi Lan mengerutkan alisnya, mulai marah.
"Nanti dulu, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Aku akan menyerahkannya kepadamu, akan tetapi aku pun akan ikut menyaksikan ketika engkau menyerahkannya kepada suci-mu. Dan ketika itu, setelah engkau menyerahkan pedang berarti engkau… engkau…"
Bi Lan berpikir sejenak lalu mengangguk-angguk. "Aku mengerti. Memang aku pun tidak suka kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan suci. Ia amat jahat dan tentu ia akan menjadi semakin jahat kalau mempunyai pusaka yang dapat diandalkan. Baik, mari kita serahkan pusaka itu kepada suci dan kau boleh merampasnya kembali dari tangannya, terserah."
"Di mana dia sekarang?"
"Menurut rencana mereka, yaitu suci dan Bhok Gun, mereka akan pergi ke kota raja untuk bekerja membantu guru Bhok Gun yang sudah berada di kota raja pula."
"Di kota raja?"
"Ya, di istana kaisar. Guru Bhok Gun itu sudah mengabdi kepada seorang pembesar bernama Hou Seng, dan mereka akan bergabung ke sana untuk mencari kedudukan. Kebetulan sekali aku pun harus pergi ke kota raja untuk mencari orang yang sudah merampas Ban-tok-kiam dari tanganku."
"Ahh, kau tadi pernah bercerita tentang Ban-tok-kiam. Siapa yang merampasnya?"
“Menurut keterangan seorang hwesio bernama Tiong Khi Hwesio, perampas yang amat lihai itu berjuluk Sai-cu Lama dan pendeta Lama itu tentu berada di kota raja, karena kabarnya pendeta Lama itu pun bersekongkol dengan persekutuan di kota raja. Aku harus merampasnya kembali, betapa pun lihai Lama itu, karena Ban-tok-kiam hanya dipinjamkan saja kepadaku oleh subo di Istana Gurun Pasir."
"Aih, begitu banyak masalah yang kau hadapi, Lan-moi. Biarlah aku akan membantumu kelak mendapatkan kembali Ban-tok-kiam. Pedang pusaka itu harus kembali kepada pemiliknya, majikan Istana Gurun Pasir."
"Terima kasih, toako. Kau baik sekali!" kata Bi Lan dengan hati girang.
Hari itu juga mereka turun dari puncak itu setelah Sim Houw mengajak Bi Lan makan lebih dulu di tempat tinggalnya, sebuah gubuk darurat di puncak itu. Sim Houw masih menyimpan bahan makanan dan Bi Lan dengan girang lalu memasak dan mereka berdua makan dulu sebelum meninggalkan puncak.
Sedikit ucapan dari Bi Lan pada waktu mereka makan bersama, membuat hati Sim Houw merasa terharu, akan tetapi anehnya, juga mendatangkan rasa duka walau pun hanya tipis saja perasaan duka ini. Kata-kata itu adalah, "Sim-toako, aku merasa seolah-olah engkau ini benar-benar kakakku sendiri! Betapa bahagianya hatiku kalau mempunyai seorang kakak seperti engkau yang selalu membimbing dan membantuku!"
Kedukaan tipis yang menyelubungi hati Sim Houw itu timbul karena dia sendiri sudah tahu akan keadaan hati sendiri. Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini! Untuk kedua kalinya dalam hidupnya dia jatuh cinta. Pertama kali kepada Kam Bi Eng dan dia gagal karena cintanya bertepuk tangan sebelah. Kam Bi Eng mencinta Suma Ceng Liong yang kini sudah menjadi suaminya. Dan sekarang dia jatuh cinta kepada Bi Lan.
Akan tetapi, usianya sudah tiga puluh tiga tahun sedangkan Bi Lan baru berusia paling banyak delapan belas tahun. Sekarang saja gadis itu sudah mengatakan bahwa dia dianggap sebagai kakak! Apakah mungkin gadis ini kelak dapat membalas cintanya? Ataukah dia harus mengalami lagi nasib seperti cinta pertamanya, mengulang kembali kegagalan cintanya? Dia hanya menarik napas panjang dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan…..
"Mengapa engkau tidak membunuhku atau setidaknya merobohkan aku? Padahal jelas bahwa kedatanganku ini untuk merampas Liong-siauw-kiam? Ehh, engkau... engkau... bukan sebangsa jai-hwa-cat, ya?"
Kembali Sim Houw menjadi gemas dan ingin menampar mulut itu kalau saja yang bicara orang lain.
"Kenapa kau bertanya begitu?" balasnya, tentu saja dia mendongkol karena jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) adalah kejahatan yang paling dibencinya.
"Karena sudah banyak sekali kulihat orang-orang yang ilmunya tinggi, bersikap baik kepada wanita hanya untuk maksud-maksud tertentu yang rendah dan hina. Tetapi... tetapi... ahhh, engkau tentu bukan orang macam mereka itu. Aku percaya padamu, maafkan pertanyaanku tadi, ya?"
Ucapan yang disertai senyum ini sekaligus menghapus bersih kedongkolan hati Sim Houw. "Sekarang ceritakan tentang dirimu dan tentang hubunganmu dengan keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir."
"Sam Kwi bukan saja guru-guruku, tetapi juga penolongku dan penyelamat nyawaku. Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku dan ayah ibuku meninggalkan kampung halaman kami di selatan untuk lari mengungsi karena ada perang pemberontakan dan serbuan dari orang-orang Birma. Di tengah perjalanan, kami dihadang pasukan orang Birma. Ayah ibuku tewas dan aku hampir celaka. Kalau tidak ada Sam Kwi yang tiba-tiba muncul, tentu aku mengalami nasib seperti ibuku, diperkosa oleh mereka sampai mati."
Gadis itu memejamkan kedua matanya untuk mengusir pemandangan tentang ibu dan ayahnya itu yang membayang dalam ingatannya. Diam-diam Sim Houw merasa terharu sekali dan juga kasihan. Pantas gadis ini memiliki watak yang aneh. Begitu kecil sudah mengalami musibah yang demikian hebat.
"Nah, semenjak itulah aku menjadi murid Sam Kwi setelah mereka bertiga membunuh semua anggota pasukan Birma itu. Aku berhutang budi dan mereka baik sekali padaku. Akan tetapi suci-ku Bi-kwi, tidak baik kepadaku. Ia yang mewakili Sam Kwi melatihku, akan tetapi latihan-latihan itu diselewengkan sehingga aku keracunan dan hampir tewas kalau tidak pada suatu hari, di dalam hutan, aku bertemu dengan suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir itu. Merekalah yang mengobatiku sampai sembuh dan mengajarkan ilmu-ilmu silat sampai setahun lamanya."
Sim Houw mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan semakin kagum. Sejak berusia sepuluh tahun gadis ini menjadi murid Sam Kwi, akan tetapi tidak tumbuh dewasa menjadi seperti Bi-kwi, hal itu sungguh mengagumkan, tanda bahwa memang gadis ini memiliki dasar watak yang baik dan kuat.
"Lalu bagaimana engkau sampai bisa hutang budi juga kepada Bi-kwi, padahal ia yang hampir mencelakaimu dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang sengaja disesatkan itu?"
"Bi-kwi bertempur denganmu dan kalah, lalu Sam Kwi bertapa selama satu tahun untuk menciptakan ilmu silat baru yang hebat untuk kami dapat menghadapimu..."
"Ahh, ilmu silat yang hebat tadi? Bukan main, memang Sam Kwi lihai..."
"Itulah Ilmu Sam Kwi Cap-sha-ciang. Setelah mereka berhasil menciptakan ilmu baru itu, mereka mengajarkannya kepada aku dan Bi-kwi, lalu kami berdua menerima tugas untuk mencarimu dan merampas Liong-siauw-kiam. Sam Kwi lalu mengadakan pesta makan minum untuk mengucapkan selamat jalan kepada kami dan dalam kesempatan itu, aku dibikin mabok, ditawan oleh Sam Kwi untuk diperkosa..."
"Ahhh...! Betapa kejinya!" Sim Houw hampir meloncat saking marah dan kagetnya.
"Hal seperti itu biasa saja bagi mereka. Bi-kwi juga sudah mereka perlakukan demikian sehingga selalu menjadi murid juga menjadi kekasih mereka. Aku tidak sudi melayani mereka. Mereka bermaksud menundukkan aku seperti Bi-kwi, akan tetapi aku tidak mau. Mereka mengancam akan memperkosa, dan ketika itulah Bi-kwi turun tangan, membebaskan aku dan kami melarikan diri. Akan tetapi aku lalu harus membuat janji dan sumpah bahwa aku akan membantunya mendapatkan kembali Liongsiauw-kiam."
Sim Houw mengangguk-angguk dan tertarik sekali. Diam-diam dia semakin kagum kepada Bi Lan. Gadis ini sudah pernah hampir tewas oleh Bi-kwi, akan tetapi sekali ditolong, ia bersumpah membalas budi itu dan sekali bersumpah ia akan melaksanakan walau bertaruh nyawa. Sukar mencari seorang gadis berhati baja seperti ini, juga yang bernasib malang sekali terjatuh ke dalam lingkungan kaum sesat.
"Kemudian bagaimana?"
Dengan singkat Bi Lan lalu menceritakan perjalanannya dengan Bi-kwi sampai ia hampir pula menjadi korban dan hampir diperkosa oleh Bhok Gun, cucu murid Pek-bin Lo-sian. "Karena dua kali mengalami peristiwa seperti itu, hampir diperkosa oleh Sam Kwi yang mula-mula baik kepadaku, kemudian oleh Bhok Gun yang bekerja sama dengan suci, maka tadi aku teringat dan terkejut karena jangan-jangan engkau juga seorang seperti mereka itu!"
"Hemmm, tidak semua orang jahat, nona. Akan tetapi, engkau belum menceritakan sesuatu yang paling penting padaku."
"Apa itu?"
"Namamu!"
Bi Lan tertawa. Ketawanya juga bebas, tanpa menutupi mulut karena kadang-kadang ia lupa akan sedikit pelajaran tentang sopan santun yang pernah ia terima dari nenek Wan Ceng. Ia memang merupakan seekor kuda betina yang tadinya liar, atau setangkai bunga mawar hutan yang tidak pernah terawat dengan baik, walau pun hal itu tidak mengurangi keindahan dan keharumannya.
"Aku lupa dan engkau tidak menanyakan sih! Namaku Can Bi Lan, mendiang ayah bernama Can Kiong, seorang petani biasa dari Yunan."
"Dan sekarang, adik Bi Lan, boleh aku menyebut adik kepadamu, bukan?"
"Tentu saja, dan aku akan menyebut toako (kakak besar) kepadamu. Tidak pantas menyebut paman karena usiamu hanya sebaya dengan Bhok Gun yang masih terhitung suheng dariku. Sim-toako, nah, itulah sebutanku untukmu. Kau tadi hendak bicara apa?"
"Begini Lan-moi (adik Lan), bagaimana pula engkau bisa tahu bahwa aku berada di Pegunungan Tai-hang-san dan bisa menemukan aku di sini?"
"Aku bertemu dengan seorang pemuda bernama Cu Kun Tek. Dialah yang memberi tahu kepadaku bahwa mungkin aku bisa menemukanmu di Pegunungan Tai-hang-san."
"Cu Kun Tek?" Sim Houw berseru girang. "Wah, dia itu masih terhitung pamanku!"
"Apa? Bagaimana ini? Dia masih begitu muda, sebaya denganku, mana bisa menjadi pamanmu?"
"Ayahnya yang bernama Cu Kang Bu adalah paman mendiang ibuku. Bukankah dengan demikian Cu Kun Tek adalah pamanku? Tentu dia sudah dewasa sekarang. Aku tidak bertemu dengan dia semenjak aku mengunjungi lembah keluarga Cu dan di sanalah aku bertemu dengan kakek Pek-bin Lo-sian. Jadi engkau bertemu dengan Kun Tek? Bagaimana dapat berkenalan dengan dia?"
"Dia penolongku, ketika aku memasuki perangkap Bhok Gun. Tiba-tiba ketika aku dalam keadaan luka dikeroyok oleh Bhok Gun dan kawan-kawannya, muncul Kun Tek yang mengamuk sehingga kami berdua berhasil lolos dari kepungan. Kami berkenalan dan dialah yang memberi tahu aku bahwa engkau mungkin berada di sini."
Tentu saja hati Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Kun Tek yang dulu baru berusia dua belas tahun itu sekarang sudah menjadi seorang pendekar yang boleh dibanggakan! Pantas menjadi keturunan keluarga Cu yang gagah perkasa dan pantas pula menjadi pemilik Koai-liong Po-kiam!
Dia merasa amat gembira bahwa dia telah mengembalikan pedang pusaka itu kepada keluarga Cu. Dengan demikian, terhapuslah sudah semua rasa tidak enak yang pernah ada antara keluarga Cu dan keluarga Kam, yaitu Pendekar Suling Emas yang menjadi gurunya.
Tiba-tiba Bi Lan bangkit berdiri. "Sudah terlalu banyak kita ngobrol dan terlalu lama aku disini. Sekarang, seperti janji dan sumpahmu tadi, serahkan Liong-siauw-kiam kepadaku untuk kuberikan kepada suci." Ia menengadahkan tangan kanannya yang diulur untuk menerima pemberian pedang.
"Nanti dulu, Lan-moi. Aku tidak akan menarik kembali janjiku. Akan tetapi engkau tahu betapa berbahayanya kalau pusaka seperti ini menjadi milik seorang jahat seperti Bi-kwi atau Sam Kwi. Tentu seperti harimau buas yang tumbuh sayap."
"Jadi kau tidak mau memberikan?" Bi Lan mengerutkan alisnya, mulai marah.
"Nanti dulu, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Aku akan menyerahkannya kepadamu, akan tetapi aku pun akan ikut menyaksikan ketika engkau menyerahkannya kepada suci-mu. Dan ketika itu, setelah engkau menyerahkan pedang berarti engkau… engkau…"
Bi Lan berpikir sejenak lalu mengangguk-angguk. "Aku mengerti. Memang aku pun tidak suka kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan suci. Ia amat jahat dan tentu ia akan menjadi semakin jahat kalau mempunyai pusaka yang dapat diandalkan. Baik, mari kita serahkan pusaka itu kepada suci dan kau boleh merampasnya kembali dari tangannya, terserah."
"Di mana dia sekarang?"
"Menurut rencana mereka, yaitu suci dan Bhok Gun, mereka akan pergi ke kota raja untuk bekerja membantu guru Bhok Gun yang sudah berada di kota raja pula."
"Di kota raja?"
"Ya, di istana kaisar. Guru Bhok Gun itu sudah mengabdi kepada seorang pembesar bernama Hou Seng, dan mereka akan bergabung ke sana untuk mencari kedudukan. Kebetulan sekali aku pun harus pergi ke kota raja untuk mencari orang yang sudah merampas Ban-tok-kiam dari tanganku."
"Ahh, kau tadi pernah bercerita tentang Ban-tok-kiam. Siapa yang merampasnya?"
“Menurut keterangan seorang hwesio bernama Tiong Khi Hwesio, perampas yang amat lihai itu berjuluk Sai-cu Lama dan pendeta Lama itu tentu berada di kota raja, karena kabarnya pendeta Lama itu pun bersekongkol dengan persekutuan di kota raja. Aku harus merampasnya kembali, betapa pun lihai Lama itu, karena Ban-tok-kiam hanya dipinjamkan saja kepadaku oleh subo di Istana Gurun Pasir."
"Aih, begitu banyak masalah yang kau hadapi, Lan-moi. Biarlah aku akan membantumu kelak mendapatkan kembali Ban-tok-kiam. Pedang pusaka itu harus kembali kepada pemiliknya, majikan Istana Gurun Pasir."
"Terima kasih, toako. Kau baik sekali!" kata Bi Lan dengan hati girang.
Hari itu juga mereka turun dari puncak itu setelah Sim Houw mengajak Bi Lan makan lebih dulu di tempat tinggalnya, sebuah gubuk darurat di puncak itu. Sim Houw masih menyimpan bahan makanan dan Bi Lan dengan girang lalu memasak dan mereka berdua makan dulu sebelum meninggalkan puncak.
Sedikit ucapan dari Bi Lan pada waktu mereka makan bersama, membuat hati Sim Houw merasa terharu, akan tetapi anehnya, juga mendatangkan rasa duka walau pun hanya tipis saja perasaan duka ini. Kata-kata itu adalah, "Sim-toako, aku merasa seolah-olah engkau ini benar-benar kakakku sendiri! Betapa bahagianya hatiku kalau mempunyai seorang kakak seperti engkau yang selalu membimbing dan membantuku!"
Kedukaan tipis yang menyelubungi hati Sim Houw itu timbul karena dia sendiri sudah tahu akan keadaan hati sendiri. Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini! Untuk kedua kalinya dalam hidupnya dia jatuh cinta. Pertama kali kepada Kam Bi Eng dan dia gagal karena cintanya bertepuk tangan sebelah. Kam Bi Eng mencinta Suma Ceng Liong yang kini sudah menjadi suaminya. Dan sekarang dia jatuh cinta kepada Bi Lan.
Akan tetapi, usianya sudah tiga puluh tiga tahun sedangkan Bi Lan baru berusia paling banyak delapan belas tahun. Sekarang saja gadis itu sudah mengatakan bahwa dia dianggap sebagai kakak! Apakah mungkin gadis ini kelak dapat membalas cintanya? Ataukah dia harus mengalami lagi nasib seperti cinta pertamanya, mengulang kembali kegagalan cintanya? Dia hanya menarik napas panjang dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan…..
********************
Ternyata kedua orang itu tidak usah mencari terlalu jauh sampai ke kota raja untuk menyerahkan pedang Liong-siauw-kiam kepada Bi-kwi! Pada saat mereka berdua, Sim Houw dan Bi Lan, berjalan perlahan-lahan menuruni pegunungan itu sambil bercakap-cakap gembira karena kelincahan Bi Lan mendatangkan suasana yang amat gembira dalam hati Sim Houw, dan mereka tiba di kaki puncak, di lereng bawah, mendadak saja Bi-kwi muncul di depan mereka bersama Bhok Gun dan dua puluh orang lebih anggota Ang-i Mo-pang yang berpakaian serba merah!
Kiranya Bi-kwi dan Bhok Gun, setelah yang terakhir ini gagal menangkap Bi Lan karena pertolongan Cu Kun Tek, dapat mengikuti jejak Bi Lan yang menuju ke Tai-hang-san dan diam-diam mereka mengikuti terus. Ketika dalam penyelidikan mereka kepada para penduduk dusun mereka tahu bahwa Pendekar Suling Naga berada di puncak yang kini didaki oleh Bi Lan, mereka lalu bersembunyi dan hendak menanti kembalinya Bi Lan.
Kalau Bi Lan berhasil merampas pedang pusaka itu, mereka tinggal memintanya dan merampas dari tangan Bi Lan kalau gadis ini tidak menyerahkannya. Atau kalau Bi Lan gagal, mereka akan mengajak Bi Lan membantu mereka menyerbu ke puncak. Bi-kwi yakin bahwa bagaimana pun juga, Bi Lan yang keras hati tidak akan mau melanggar janjinya dan tentu akan mau membantunya merampas pedang pusaka itu.
Karena itu, betapa kaget dan heran akan tetapi juga girang rasa hati mereka ketika pada siang hari itu, mereka melihat Bi Lan turun dari puncak bersama sang pendekar yang dicari-cari! Akan tetapi dalam suasana yang demikian akrab, berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap.
Bi-kwi dan Bhok Gun tidak khawatir jika Bi Lan akan membantu Pendekar Suling Naga, karena Bi Lan terikat oleh sumpahnya untuk membantu merampas kembali pedang itu! Dan dengan bantuan Bi Lan, bahkan tanpa bantuannya pun, mereka berdua yakin bahwa mereka akan mampu mengalahkan Sim Houw, apa lagi di situ ada dua puluh orang lebih anak buah mereka.
"Suci...!" Bi Lan berseru heran. "Engkau di sini...?" Dan alisnya berkerut ketika ia melihat Bhok Gun dan anak buahnya berada pula di situ.
Bi-kwi tersenyum mengejek. "Aha, sumoi-ku yang manis. Kau kira aku begitu bodoh, membiarkan engkau sendirian menemui si Pendekar Suling Naga? Kiranya dia malah telah memikat hatimu sehingga engkau sudah lupa akan tugasmu merampas pusaka itu, malah kini menjadi pacarnya. Hemm, kulihat kau mulai pandai berpacaran..."
"Bi-kwi, tutup mulutmu yang kotor!" Sim Houw membentak marah.
"Ha-ha-ha, siapa yang kotor? Sumoi, agaknya adik kecil kita itu belajar asmara dari Pendekar Suling Naga, ha-ha!" Bhok Gun juga tertawa, padahal di dalam hatinya dia merasa panas melihat betapa Bi Lan yang dirindukannya itu nampak demikian akrab dengan Sim Houw.
"Bhok Gun, Sim-toako bukanlah laki-laki hina dina dan rendah kotor macam kamu!" Bi Lan tiba-tiba membentak dan memandang dengan sinar mata berapi-api. "Jangan kalian ini manusia-manusia cabul menuduh orang-orang lain serupa saja dengan kalian yang tak tahu malu!"
"Cukup, Siauw-kwi!" kini Bi-kwi mulai mempergunakan pengaruhnya sebagai pelatih dan suci. "Bagaimana dengan janjimu dahulu ketika aku membebaskanmu dari Sam Kwi? Engkau dahulu sudah berjanji akan membantuku sampai berhasil mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam dan membantu aku merebut kedudukan jagoan nomor satu di dunia persilatan!"
"Aku hanya berjanji akan merampaskan kembali Liong-siauw-kiam, dan tentang merebut kedudukan jagoan nomor satu itu, kalau memang kebetulan aku menyaksikan tentu aku membantumu. Aku tidak akan mengingkari janji. Lihat, Liong siauw-kiam sudah berada di tanganku!"
Gadis itu menyingkap bajunya dan memang benar, Liong-siauw-kiam dengan sarung pedangnya telah terselip di ikat pinggangnya. Memang pedang ini diserahkan oleh Sim Houw kepadanya pada waktu mereka hendak berangkat tadi, untuk penjagaan kalau sewaktu-waktu Bi-kwi muncul.
Melihat betapa pedang pusaka itu benar-benar telah berada pada Bi Lan, Bi-kwi dan Bhok Gun saling pandang dan mereka nampak terkejut dan heran. Akan tetapi Bi-kwi menjadi girang sekali.
"Bagus sekali, sumoi! Kiranya engkau memang telah memenuhi janjimu. Lekas berikan Liong-siauw-kiam itu kepadaku, adikku!" Suaranya menjadi manis sekali, dan ia sudah mengulurkan tangan.
"Nanti dulu, suci. Aku akan menyerahkan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini padamu, akan tetapi dengan demikian berarti aku sudah terbebas dari ikatan janjiku kepadamu! Aku tidak akan hutang budi apa-apa lagi darimu dan kalau pedang ini sudah kuberikan kepadamu, berarti tidak ada ikatan apa-apa lagi antara kita. Berarti bahwa janji dan sumpahku telah kupenuhi dan kelak engkau tidak berhak untuk menekan aku lagi berdasarkan janji sumpah yang sudah kupenuhi dengan penyerahan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini. Benarkah begitu?"
"Benar, dan mana pedang itu? Ke sinikan!" kata Bi-kwi tak sabar lagi.
"Katakan dulu bahwa kalau engkau sudah menerima pedang ini dariku, maka aku sudah tidak terikat dengan janji apa-apa lagi!" kata Bi Lan sambil mencabut sarung pedang itu dari ikat pinggangnya, akan tetapi belum mau menyerahkannya.
"Baik. Kalau pedang itu sudah kuterima, engkau tidak terikat janji apa-apa lagi. Nah, berikan Liong-siauw-kiam itu padaku."
Bi Lan menanti dua detik dan seperti telah direncanakan oleh Sim Houw, tiada tanda apa-apa dari Sim Houw. Hal ini berarti bahwa dia sudah boleh menyerahkan pedang itu kepada suci-nya. Menurut rencana itu, kalau belum tiba saatnya menyerahkan pedang, Sim Houw tentu akan mengatakan sesuatu. Akan tetapi Sim Houw kini diam saja, hal ini merupakan isyarat dari Sim Houw bahwa pedang itu sudah boleh diberikan kepada Bi-kwi.
"Nah, terimalah ini sebagai pembayaran janji dan sumpahku kepadamu dan aku sudah bebas dari ikatan apa pun dengan dirimu," katanya sambil mengulurkan tangan yang memegang pedang dengan sarungnya itu tanpa melangkah ke depan.
Dengan demikian, terpaksa Bi-kwi yang melangkah ke depan dan ia menerima pedang itu dari tangan sumoi-nya. Sebagai seorang yang cerdik dan ahli silat yang lihai, cara mengambil pedang itu dari tangan sumoi-nya dilakukan seperti orang merampas.
Disambarnya pedang itu dan begitu sudah berada di tangannya, ia cepat melompat ke belakang. Hal ini untuk menghindarkan kalau-kalau sumoi-nya bertindak curang dan menyerangnya pada saat ia menerima pedang. Akan tetapi ia tetap kalah cepat, atau memang sama sekali tidak mengira bahwa pada saat ia menerima pedang, tubuh Sim Houw sudah meluncur ke depan.
"Sumoi, awas...!" teriak Bhok Gun yang melihat gerakan Sim Houw dan dia pun sudah meloncat ke depan.
Bi-kwi terkejut sekali ketika tiba-tiba tubuh Sim Houw, bagaikan seekor garuda terbang menyambar ke bawah, tangan kanan mencengkeram ke atas ubun-ubun kepalanya sedangkan tangan kiri menyambar ke arah pedang! Serangan itu hebat bukan main dan kalau ia terlambat sedikit saja melindungi tubuhnya, tentu kepalanya menjadi sasaran. Jangankan sampai dicengkeram, terkena totokan satu kali pada ubun-ubun kepalanya, ia akan mati konyol!
Cepat Bi-kwi membuang diri ke belakang sambil menangkis pukulan itu, kakinya sambil membuang diri menendang ke depan. Akan tetapi, betapa pun cepat reaksi gerakannya, tetap saja tiba-tiba ia merasa lengan kanannya lumpuh dan tahu-tahu pedang itu telah terampas oleh Sim Houw.
"Bukkkk...!"
Pada saat itu, hantaman Bhok Gun tiba menimpa punggung Sim Houw. Dalam usaha membantu sumoi-nya tadi, Bhok Gun sudah mengerahkan tenaganya dan memukul punggung Sim Houw.
Sim Houw maklum akan serangan ini, tetapi dia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada usahanya merampas kembali Liong-siauw-kiam karena kalau sekali serangan itu dia gagal, akan semakin sukarlah untuk mendapatkan kembali pusakanya itu. Maka, sambil melanjutkan usahanya merampas pedang, dia menerima saja hantaman pada punggungnya itu sambil menggunakan sebagian dari sinkang-nya saja untuk melindungi punggung.
Terkena hantaman yang amat kuat itu, tubuh Sim Houw terpelanting dan bergulingan sampai jauh, akan tetapi pedang Liong-siauw-kiam sudah berada kembali ke tangannya. Dengan kemarahan meluap Bi-kwi dan Bhok Gun mengejar dan mereka berdua sudah menyerang dengan bertubi-tubi untuk merampas kembali pedang itu.
Bhok Gun mempergunakan pedangnya, dan Bi-kwi sudah mengeluarkan Ilmu Silat Sam Kwi cap-sha-ciang yang hebat itu. Baru saja Sim Houw yang terkena hantaman tadi meloncat berdiri dan dari mulutnya mengalir darah segar sebagai bukti bahwa pukulan tadi telah melukainya sebelah dalam tubuh atau setidaknya membuat sebelah dalam tubuhnya terguncang, kini dia sudah diserang lagi dengan dahsyatnya.
Dia mengelak dari sambaran pedang Bhok Gun, namun sebuah tamparan dengan jurus Ilmu silat Cap-sha-ciang yang ampuh itu kembali membuatnya terpaksa melempar diri dan bergulingan. Tetapi sambil bergulingan dia mencabut pedang Liong-siauw-kiam dan begitu dia meloncat bangun dan memutar pedangnya, terdengar suara berkerintingan dan beberapa belas buah paku beracun yang disambitkan Bhok Gun berjatuhan akibat tertangkis oleh sinar pedang.
Setelah pedang Liong-siauw-kiam berada di tangannya, kini Sim Houw menghadapi mereka berdua dan terdengarlah bunyi senjatanya itu yang melengking-lengking seperti suling ditiup, akan tetapi mengandung ketajaman pedang pusaka yang sakti, bahkan sinar pedang itu saja bersama suaranya sudah mampu membuat lawan menjadi repot. Terjadilah perkelahian mati-matian.
Tanpa diperintah lagi, dua puluh lebih anak buah Bhok Gun itu sudah mengurung arena perkelahian itu dengan senjata golok atau pedang di tangan. Melihat ini, sejak tadi Bi Lan sudah memperhatikan.
"Siauw-kwi, hayo kau bantu kami!" bentak Bi-kwi dengan suara penuh wibawa kepada adik seperguruannya itu.
Akan tetapi dengan tenang Bi Lan menjawab, "Bi-kwi, ingat bahwa sejak kau terima pedang itu, di antara kita sudah tidak terdapat ikatan apa-apa!" Berkata demikian, gadis ini lalu menerjang maju dan menyerang dua puluh lebih anak buah Bhok Gun itu!
"Kau pengkhianat...!" Bhok Gun berteriak marah ketika melihat betapa dua orang anak buahnya roboh terguling oleh serangan Bi Lan yang segera dikeroyok oleh semua anak buah itu.
"Bukan pengkhianat macam engkau yang curang!" balas Bi Lan dan gadis ini dengan enaknya membagi-bagi pukulan dan tendangan kepada dua puluh lebih pengeroyok yang bukan merupakan tandingan yang berat baginya.
"Celaka! Kita tertipu...!" Tiba-tiba Bi-kwi berseru. "Mereka sudah merencanakan ini...!"
Menghadapi lawan seperti Sim Houw, walau pun mengeroyok dua, sama sekali tidak boleh membagi perhatian. Begitu Bi-kwi berteriak demikian sambil sedikit melirik ke arah sumoi-nya, sinar pedang Suling Naga menyambar dibarengi lengkingan mengerikan. Ia menangkis dengan lengannya, akan tetapi ternyata ujung suling pedang itu berkelebat ke atas. Terdengar kain robek disusul jerit tertahan Bi-kwi yang terluka pada pundaknya!
Melihat betapa Bi-kwi terluka dan anak buahnya kocar-kacir diamuk Bi Lan, Bhok Gun menjadi gugup dan dia pun berseru nyaring "Mari kita pergi...!"
Betapa mendongkol rasa hatinya, terpaksa Bi-kwi menuruti nasehat suheng-nya itu dan bersama Bhok Gun, ia pun meloncat dan melarikan diri, diikuti terpincang-pincang oleh dua puluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang saling menopang kawan yang terluka. Bi Lan berdiri sambil bertolak pinggang, tertawa terbahak-bahak melihat mereka. Sim Houw juga tersenyum, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan cepat dia duduk bersila, sambil memejamkan kedua matanya.
Melihat kawannya itu diam saja dengan tiba-tiba lalu duduk bersila, Bi Lan teringat bahwa Sim Houw tadi terkena pukulan Bhok Gun pada punggungnya sampai mulutnya mengeluarkan darah. Ia cepat mendekati pemuda itu dan melihat betapa Sim Houw mengatur pernapasan untuk mengumpulkan hawa murni mengobati lukanya sendiri, ia pun lalu duduk agak menjauh. Ingin sekali ia membantu pemuda itu dengan penyaluran tenaganya, akan tetapi ia tidak berani melakukannya dan tidak mau mengganggu Sim Houw yang sedang semedhi. Ia kagum bukan main kepada pemuda itu.
Tadi ia melihat cara Sim Houw merampas kembali pedang pusaka dan karena itu ia pun melihat bahwa Sim Houw sengaja membiarkan punggungnya terpukul karena pemuda itu memaksa diri harus dapat merampas pedang itu dalam satu serangan, dan ternyata usahanya itu pun berhasil dengan baik! Ia percaya bahwa pendekar itu sudah membuat perhitungan dengan masak sehingga pukulan yang mengenai punggung itu, walau pun mengguncang hebat dan menimbulkan luka dalam sampai memuntahkan sedikit darah, namun tentu tidak berbahaya.
Buktinya, dalam keadaan terluka tadi Sim Houw telah mampu mendesak dan melukai pundak Bi-kwi, biar pun suci-nya tadi mempergunakan Ilmu Cap-sha-kun dan Bhok Gun yang tingkat kepandaiannya sama dengan Bi-kwi mempergunakan pedangnya. Bahkan membuat kedua orang itu kemudian terpaksa melarikan diri!
Sambil menunggui Sim Houw yang sedang mengobati luka dalam di tubuhnya, Bi Lan kini mulai memperhatikan pria itu. Bukan pemuda remaja lagi, melainkan seorang laki-laki, seorang jantan yang berwatak lemah lembut dan sederhana, tak pernah tinggi hati dan tidak suka berlagak walau pun jelas bahwa ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan namanya terkenal sebagai seorang pendekar sakti.
Seorang yang pada wajahnya membayangkan bekas kedukaan yang membuat dirinya menjadi pendiam dan lebih suka menyendiri di tempat-tempat sunyi. Dan tiba-tiba saja hatinya merasa kasihan sekali. Laki-laki yang baik budi ini, agaknya juga tidak memiliki siapa pun di dunia ini, seperti dirinya.
Ah, mengapa ia mendadak saja termenung? Mengapa membiarkan pikiran dikelabukan awan yang hanya akan membuatnya bersedih? Wataknya yang gembira dan jenaka sudah sejak lama terlatih untuk mengatasi segala duka. Bahkan ketika ia menderita sakit keracunan yang membuatnya seperti orang gila, hanya sebentar saja ia menangis, kemudian ia sudah bergembira kembali, dengan alam, dengan sekitarnya.
Ia pun sudah melenyapkan kesedihan yang tadi terseret oleh rasa kasihan yang timbul terhadap Sim Houw dan kini wajahnya sudah berseri kembali. Tugas pertama sudah dilaksanakannya dengan baik. Ia sudah berhasil menemukan kembali Liong-siauw-kiam dan membebaskan dirinya dari ikatan janjinya terhadap Bi-kwi. Budi kebaikan Sam Kwi telah lunas ketika Sam Kwi hampir saja memperkosa dirinya. Budi kebaikan itu telah ditebus dengan perbuatan mereka yang hina itu.
Ia tidak akan mendendam sakit hati atas perbuatan Sam Kwi yang terakhir terhadap dirinya, biarlah perbuatan itu sebagai pembayar semua budi mereka terhadap dirinya sejak dia bertemu dengan mereka. Kemudian, dia pun tidak lagi berhutang budi kepada Bi-kwi karena sudah ditebusnya dengan menyerahkan Liong-siauw-kiam tadi. Soal dia tidak mampu mempertahankan pusaka itu ketika dirampas kembali oleh Sim Houw, itu adalah masalah Bi-kwi sendiri dan dia tidak perlu mencampurinya.
Kini tinggal satu tugas lagi. Mencari Ban-tok-kiam! Dan Sim Houw telah berjanji untuk membantunya. Ia percaya kepada pria ini. Ia merasa aman, merasa begitu pasti akan berhasil karena ada Sim Houw di sampingnya. Bahkan ia hampir merasa yakin, begitu besar percayanya kepada sahabat barunya ini, bahwa ia akan mampu mendapatkan kembali Ban-tok-kiam untuk bisa dikembalikan kepada subo-nya di Istana Gurun Pasir. Setelah berhasil, ia akan mengunjungi suhu dan subo-nya itu di sana!
"Lan moi, kau sedang melamun apa?" tiba-tiba Bi Lan menoleh dan dia melihat Sim Houw sedang memandang kepadanya. Wajah Sim Houw sudah nampak segar, tanda bahwa pria itu sudah sehat kembali. "Kau tersenyum-senyum seorang diri."
"Sim-toako, bagaimana dengan lukamu? Sudah sembuhkah?" Ia cepat menghampiri ketika Sim Houw bangkit berdiri.
Sim Houw meraba-raba dadanya dan mengangguk. "Pukulan orang itu amat kuat, hal yang sama sekali tidak kusangka. Dia amat lihai. Dia itukah yang bernama Bhok Gun itu, cucu murid dari mendiang Pek-bin Lo-sian?"
"Benar, tetapi tak perlu kau memuji-mujinya. Buktinya, dia dan suci yang mengeroyok engkau dalam keadaan sudah terluka pun tidak mampu menang, malah mereka lari seperti dua ekor tikus dipotong ekornya."
Sim Houw tersenyum. Dia sudah sering mendengar orang mengambil perumpamaan ‘anjing dipukul’, akan tetapi baru sekarang mendengar orang membuat perumpamaan dua orang lari seperti tikus-tikus dipotong ekornya. "Adik Lan, apakah engkau pernah melihat tikus dipotong ekornya lalu melarikan diri?"
"Belum, akan tetapi bisa kubayangkan. Kalau tidak percaya, coba saja tangkap tikus, potong ekornya lalu dilepaskan. Lihat apakah dia tidak akan lari secepatnya karena ketakutan!"
Setelah keduanya ketawa, Sim Houw lalu bertanya, "Lan-moi, orang she Bhok itu murid siapakah? Biar pun aku pernah bertemu dan menerima pusaka dari mendiang Pek-bin Lo-sian, akan tetapi aku tidak tahu siapa muridnya. Apakah engkau pernah mendengar dari suci-mu siapa gurunya itu?"
Bi Lan menggelengkan kepalanya. "Tidak, Sim-toako, aku pun tidak pernah tahu atau mendengar siapa gurunya. Hanya dari percakapan antara mereka aku tahu bahwa Bhok Gun mengajak anak buahnya untuk pergi ke kota raja, bergabung dengan gurunya untuk mengabdi kepada pembesar yang bernama Hou Seng itu."
Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja, karena seperti yang pernah dijanjikan oleh Sim Houw, mereka akan menyelidiki tentang Sai-cu Lama yang merampas Ban-tok-kiam di kota raja. Setelah terjadi peristiwa pengeroyokan itu di antara kedua orang ini terjadi hubungan yang semakin akrab.
Biar pun ketika dikeroyok oleh Bi-kwi dan Bhok Gun, Sim Houw tidak membutuhkan bantuan Bi Lan, akan tetapi maju dan mengamuknya Bi Lan terhadap dua puluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang mengepung tempat itu menimbulkan kepercayaan baru dalam hati Sim Houw terhadap Bi Lan. Ternyata dan terbuktilah dari pertempuran ini bahwa Bi Lan berwatak baik dan bersih, berjiwa pendekar dan menentang kejahatan walau pun ia mengaku murid Sam Kwi.
Sebaliknya, Bi Lan semakin suka dan percaya kepada Sim Houw karena di sepanjang perjalanan, Sim Houw tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar. Selalu sopan, ramah, bahkan memandang kepadanya dengan sinar mata yang begitu lembut.
Dia merasa suka bercakap-cakap dengan pria yang dari percakapannya saja sudah diketahui mempunyai pengetahuan luas itu. Dan kalau ada waktu, Sim Houw selalu memberi petunjuk-petunjuk kepadanya tentang cara-cara menghimpun tenaga sinkang, mengumpulkan hawa murni dengan cara yang benar. Ia yang hanya mendapat tuntunan selama setahun dari suami isteri Istana Gurun Pasir, kini dapat melihat dengan lebih jelas perbedaan antara latihan yang benar dan latihan-latihan dari kaum sesat sehingga perlahan-lahan ia kini dapat mengusir sisa-sisa tenaga sesat yang didapatnya ketika ia berlatih di bawah ajaran Sam Kwi dan Bi-kwi.
Sudah dua pekan lebih mereka meninggalkan Tai-hang-san dan pada suatu sore, di luar kota Thian-cin, tiba-tiba hujan lebat turun dari atas yang sejak siang tadi telah dipenuhi awan mendung. Terpaksa Sim Houw mengajak Bi Lan untuk berlari dan mencari tempat yang baik untuk berlindung dari serangan air hujan.
Sim Houw ingat bahwa tak jauh dari situ, di luar sebuah hutan, terdapat sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Biar pun kuil itu sudah tua dan rusak, namun atapnya masih ada dan dapat dipakai untuk meneduh. Di dalam perantauannya, pernah dia beberapa kali bermalam di kuil tua itu, maka kini dia mengajak Bi Lan lari ke tempat itu.
Mereka akhirnya tiba di kuil itu dan berlarian masuk dengan tubuh basah. Betapa pun pandainya kedua orang ini, mereka tetap saja basah kuyup ketika berlari-larian tadi, tak mungkin dapat menghindar dari siraman air hujan. Namun keduanya merasa gembira, tertawa-tawa ketika memasuki kuil, seperti dua orang anak kecil yang habis bermain di bawah siraman air hujan.
Berbahagialah orang-orang yang masih bisa bergembira ria sehabis kehujanan, karena itu merupakan pertanda bahwa tubuh dan batinnya masih sehat. Sebaliknya, orang yang tertimpa air hujan sedikit saja lalu sakit, dia seorang yang lemah dan mereka yang mengeluh dan jengkel karena kehujanan, berarti batin mereka yang lemah. Orang yang dapat merasakan kembali kegembiraan kanak-kanak, dia seorang beruntung.
Sambil tertawa-tawa Bi Lan memeras rambutnya yang panjang, yang basah kuyup. Sim Houw juga melakukan hal yang sama. Memang, hal yang paling mengganggu kalau kehujanan kalau rambut panjang basah kuyup. Air akan terus mengalir dan menetes dari kumpulan air hujan yang diserap oleh rambut.
Setelah memeras rambut dan ujung-ujung pakaiannya, Sim Houw lalu mengumpulkan kayu kering yang banyak terdapat di dalam kuil itu, sisa dari mereka yang pernah bermalam di situ dan dibantu oleh Bi Lan, dia membuat api unggun. Buntalan berisi pakaian yang basah lalu diperas dan dipanaskan dekat api unggun agar cepat kering.
Bi Lan sendiri lalu memeriksa tempat itu, selagi Sim Houw sibuk mengeringkan pakaian di dekat api unggun. Kuil itu dahulunya merupakan sebuah kuil yang cukup besar dan agaknya bekas terbakar sehingga sebagian besar bangunan samping dan belakang, tempat dulu merupakan kamar-kamar para pendeta, juga dapur dan lain-lain bagian, sudah runtuh. Kini yang tinggal hanya ruangan sembahyang di luar dan beberapa ruang sebelah dalam, yang masih tertutup atap walau pun bocor di sana-sini.
Lantainya cukup bersih, oleh karena di tempat ini sering juga ada orang-orang yang kemalaman di jalan atau mungkin kehujanan seperti yang mereka alami sore hari ini. Ada pula jerami-jerami kering bertumpuk di sudut, tentu untuk alas tidur di lantai karena lantainya tentu dingin sekali kalau malam, apa lagi kalau hujan. Setelah memeriksa tempat itu dan ternyata hanya mereka berdua yang sore hari itu meneduh di tempat itu dari serangan hujan, Bi Lan kembali ke depan dan duduk pula dekat api unggun agar pakaian dan rambutnya lekas kering.
Setelah ada pakaian yang dibentangkan dekat api dan sudah kering lebih dulu, Bi Lan kemudian membawa satu stel pakaiannya ke bagian belakang dalam kuil itu yang gelap, terhalang dinding dan ia pun berganti pakaian. Setelah ia selesai, lalu Sim Houw juga berganti pakaian, lalu mereka berdua duduk kembali dekat api. Enak setelah berganti pakaian kering dan terkena hawa panas api unggun, membuat tubuh terasa hangat. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lan tertawa.
"Kenapa kau tertawa?"
"Hi-hi-hik, apakah kau tidak mendengar apa yang kudengar?"
"Apa itu?"
"Engkau memang terlalu sopan. Kokok ayam dalam perut kita!"
Sim Houw tersenyum. Gadis ini sungguh polos. Akan tetapi, tidak seharusnyakah kita semua bersikap demikian? Demikian pikirnya.
Segala peraturan sopan santun yang kita buat sendiri demi ‘kehormatan’ sudah sedemikian berlebih-lebihan sehingga mencetak kita menjadi manusia-manusia palsu, munafik-munafik besar yang selalu berbeda lahir dengan batinnya, kepura-puraan yang hanya menguntungkan perasaan si aku yang menganggap diri agung dan terhormat, akan tetapi kadang-kadang merugikan bagi diri sendiri mau pun orang lain. Betapa sering kali kita lebih mengutamakan si aku yang hanya angan-angan belaka ini, demi nama baik dan demi kehormatan si aku, biarlah badan ini menderita! Aneh memang, bodoh memang, akan tetapi kenyataannya demikianlah.
Sampai di jaman ini pun kita semua menjadi hamba dari pada pengagungan si aku ini. Lihat saja di kanan kiri, lihat saja pada diri kita sendiri. Sepasang kaki kita menjerit dan mengeluh oleh sempitnya sepatu yang menekan demi untuk kehormatan! Peluh kita bercucuran oleh gerah dan panasnya pakaian ‘sopan’ demi untuk kehormatan! Perut kita kalau perlu kita tekan dan kelaparan demi untuk kehormatan. Mulut kita dipaksa senyum-senyum walau hati sedang berduka demi untuk kehormatan dan masih banyak lagi contoh-contoh yang membuat kita kadang-kadang menjadi heran sendiri karena kelakuan kita, demi kehormatan itu, seperti tidak normal lagi.
Si aku yang gila kehormatan ini membuat kita menjadi manusia-manusia yang gila atau tidak normal lagi! Sopan santun dan tata-susila memang perlu bagi kita manusia yang hidup bermasyarakat, namun tata-susila dan sopan-santun ini kita adakan bersama demi menjaga perasaan orang lain, agar tidak menyinggung dan untuk pelaksanaan dari pengertian kita tentang kesopanan dengan menggunakan akal budi. Akan tetapi kalau sudah menjurus ke arah kecondongan mencari pujian, lalu menjadi berlebih-lebihan bahkan tidak praktis lagi!
"Sayang roti keringku yang tinggal sedikit sudah habis karena terkena air hujan," kata Sim Houw. "Akan tetapi kalau hujan berhenti, kita dapat pergi ke kota Thian-cin, dan kita membeli makanan di sana."
Akan tetapi hujan tak juga mau berhenti sampai malam tiba! Sim Houw melihat betapa gadis itu, walau pun tidak bicara lagi tentang lapar dan makanan, akan tetapi semakin menderita akibat menahan lapar. Hawa yang nyaman karena dingin dilawan kehangatan api unggun memang membuat perut menjadi lapar sekali, lebih lagi karena baru saja mereka tadi mengeluarkan banyak tenaga untuk berkelahi. Perut mereka membutuhkan isi, akan tetapi dari mana bisa didapatkan makanan? Kuil itu berada di ujung hutan dan tempat itu sunyi, jauh dari rumah orang.
Tiba-tiba Sim Houw bangkit dari tempat duduknya di dekat api unggun. "Kau di sini sebentar, Lan-moi, aku akan pergi mencari bahan makan untuk kita."
"Tapi, hujan masih begitu lebat di luar dan gelap pula!" Bi Lan membantah. "Kau akan kehujanan dan basah kuyup lagi. Pula, ke mana mencari bahan makanan malam malam hujan begini?"
Sim Houw tersenyum. "Kau tunggu sajalah. Pakaianku sudah kering semua, nanti dapat berganti lagi. Pula, bukankah sejak jaman nenek moyang kita dahulu, kaum pria yang bertugas mencari bahan makanan untuk kita yang kelaparan? Nah, aku pergi sebentar!" Sim Houw berkelebat dan lenyap dari situ.
Bi Lan tak mau menganggur. Ia menambahkan kayu pada api unggun, lalu dengan teliti ia mencari-cari di sekitar kuil yang bocor di sana-sini itu dan menemukan dua buah panci butut, akan tetapi belum bocor. Lumayan, pikirnya dan dengan dua panci itu, ia menadah air hujan yang langsung turun dari langit sehingga dua buah panci itu dapat menampung air yang jernih.
Siapa tahu kalau-kalau nanti Sim-toako benar-benar bisa memperoleh bahan makanan, pikirnya. Tanpa panci tempat masak, lalu bagaimana? Dan mereka juga membutuhkan air minum, dan air hujan itu cukup bersih.
Tidak lama kemudian muncullah Sim Houw dari luar kuil, menggendong seekor kijang muda yang telah mati! Tubuh dan rambutnya basah kuyup, juga pakaiannya amat kotor terkena lumpur, akan tetapi dia tersenyum lebar dengan wajah gembira sekali. Dia lalu menurunkan kijang itu dari pundaknya dan memeras rambutnya.
"Wah, bagaimana kau bisa mendapatkan... ehhh, lekas kau tukar pakaian dulu, toako, kau basah semua dan pakaianmu kotor. Jangan-jangan kau bisa masuk angin!" kata Bi Lan dengan girang tetapi juga khawatir, lupa bahwa orang yang memliki kepandaian seperti Sim Houw tentu memiliki pula kesehatan yang baik dan daya tahan yang jauh lebih kuat dari pada orang-orang biasa.
Akan tetapi Sim Houw menurut, menyambar satu stel pakaian kering dan berlari ke belakang. Ketika dia kembali dengan pakaian yang kering dan rambutnya sudah diperas dari air hujan, dia melihat bahwa dengan menggunakan kedua tangannya, Bi Lan sudah mulai menguliti kijang itu menarik dan merobeknya begitu saja!
"Lan-moi, kita pergunakan alat, jangan hanya dengan tangan begitu. Bagaimana kau akan memotong-motong dagingnya?"
"Aku tidak punya pisau..."
"Suling ini dapat dipakai sebagai pedang dan..."
"Hushh, jangan pandang rendah benda pusaka, toako. Sudahlah, kita kuliti binatang ini, kita patahkan saja keempat kakinya dan kita panggang pahanya. Kita tidak mungkin dapat memasaknya karena tidak ada bumbu."
"Wah, sayang, bumbu-bumbuku juga habis dalam buntalan pakaian oleh air hujan. Tapi tunggu, dahulu aku pernah menyimpan sisa garam di ujung sana. Tanpa garam, akan seperti apa rasanya?"
Dia pun mencari-cari dan akhirnya dengan girang menemukan garam itu yang berada dalam sebuah poci kecil sehingga masih bersih dan utuh. Sibuklah kedua orang itu kini memanggang empat buah paha kijang yang sudah digarami dan tak lama kemudian, terciumlah bau sedap yang membuat perut mereka terasa semakin lapar!
Habislah daging paha kijang yang empat buah banyaknya itu oleh mereka, ditambah minum air hujan yang telah dimasak sampai mendidih. Dan seperti biasa, perut kenyang mendatangkan kantuk! Mulailah mereka bekerja untuk membuat tempat tidur dengan menumpuk jerami kering di lantai.
"Kau tidurlah, Lan-moi, biar aku duduk di sini. Engkau terlalu lelah dan malam ini kita tidak mungkin dapat mencari tempat bermalam lain lagi. Hujan masih terus turun. Kau tidurlah."
"Dan kau, Sim-toako?"
"Aku sudah terbiasa beristirahat sambil duduk, dan aku juga perlu mengulang kembali pengobatan dalam tubuhku."
Kepercayaan Bi Lan terhadap Sim Houw sudah demikian mendalam sehingga biar pun mereka hanya berdua saja malam itu di satu ruangan, di tempat yang gelap dan sunyi, namun tidak ada sedikit pun kekhawatiran di dalam hatinya. Bahkan membayangkan yang bukan-bukan saja sama sekali tidak pernah memasuki benaknya. Maka segera ia dapat tidur dengan pulasnya, rebah miring meringkuk karena terasa hawa dingin yang dihembus angin dari luar.....
Diam-diam Sim Houw yang duduk dekat api unggun memandang kepadanya. Ada
rasa haru yang besar sekali dan mendalam di dasar hatinya melihat gadis
itu tidur meringkuk dengan bibir tersenyum, begitu pasrah, begitu lemah
dan tak berdaya. Seorang gadis yatim piatu, seperti dia, seorang gadis
yang secara aneh muncul dalam kehidupannya.
Sama sekali tak pernah dia menyangka bahwa dalam hidupnya, dia akan berduaan dengan seorang gadis seperti pada malam hari ini. Melakukan perjalanan bersama, kehujanan bersama, makan berdua dan kini dia memandangi gadis yang tidur pulas itu.
Timbul rasa kasihan di hatinya melihat Bi Lan meringkuk, menekuk kaki dan menjepit tangan di antara pahanya. Dia mempunyai sebuah baju mantel yang lebar dan yang kini sudah kering. Diambilnya mantel itu dan diselimutkannya pada tubuh Bi Lan, menutupi tubuh dari leher sampai ke kaki. Dia melakukannya begitu hati-hati dan perlahan-lahan agar tidak membangunkan Bi Lan dari tidurnya yang nyenyak.
Akan tetapi, tubuh yang terlatih sejak kecil itu amat peka terhadap sentuhan dari luar dan urat syaraf tubuh itu selalu dalam keadaan siap terhadap bahaya dari luar sehingga dalam tidur sekali pun, agaknya syaraf-syaraf itu tetap bersiap siaga. Maka begitu merasa tubuhnya tersentuh kain, walau pun tadinya tidak berprasangka yang bukan-bukan, sentuhan ini cukup membuat Bi Lan sadar dari tidurnya.
Akan tetapi, ia segera memejamkan matanya kembali dan pura-pura masih pulas ketika ia melihat bahwa yang menyentuh tubuhnya itu adalah hamparan baju mantel yang diselimutkan oleh Sim Houw di atas tubuhnya. Diam-diam gadis ini merasa berterima kasih dan senyumnya bertambah manis ketika ia terseret penuh oleh kepulasan…..
Sama sekali tak pernah dia menyangka bahwa dalam hidupnya, dia akan berduaan dengan seorang gadis seperti pada malam hari ini. Melakukan perjalanan bersama, kehujanan bersama, makan berdua dan kini dia memandangi gadis yang tidur pulas itu.
Timbul rasa kasihan di hatinya melihat Bi Lan meringkuk, menekuk kaki dan menjepit tangan di antara pahanya. Dia mempunyai sebuah baju mantel yang lebar dan yang kini sudah kering. Diambilnya mantel itu dan diselimutkannya pada tubuh Bi Lan, menutupi tubuh dari leher sampai ke kaki. Dia melakukannya begitu hati-hati dan perlahan-lahan agar tidak membangunkan Bi Lan dari tidurnya yang nyenyak.
Akan tetapi, tubuh yang terlatih sejak kecil itu amat peka terhadap sentuhan dari luar dan urat syaraf tubuh itu selalu dalam keadaan siap terhadap bahaya dari luar sehingga dalam tidur sekali pun, agaknya syaraf-syaraf itu tetap bersiap siaga. Maka begitu merasa tubuhnya tersentuh kain, walau pun tadinya tidak berprasangka yang bukan-bukan, sentuhan ini cukup membuat Bi Lan sadar dari tidurnya.
Akan tetapi, ia segera memejamkan matanya kembali dan pura-pura masih pulas ketika ia melihat bahwa yang menyentuh tubuhnya itu adalah hamparan baju mantel yang diselimutkan oleh Sim Houw di atas tubuhnya. Diam-diam gadis ini merasa berterima kasih dan senyumnya bertambah manis ketika ia terseret penuh oleh kepulasan…..
********************
Di jaman para kaisar masih berkuasa, para pembesar yang bertugas mencatat sejarah, selalu hanya mencatat yang baik-baik saja tentang kaisar dan keluarganya. Kalau ada catatan sejarah yang memburukkan seorang penguasa, maka catatan itu sudah pasti dilakukan oleh pihak yang membencinya. Oleh karena itu, maka sukarlah dipercaya kebenaran catatan sejarah di dunia ini.
Seperti catatan sejarah tentang pembangunan dan tentang kebesaran kerajaan Mancu yang semakin berkembang. Akan tetapi sejarah tak mencatat betapa banyaknya korban jatuh dari pihak mereka yang menentang kaisar, baik karena urusan pribadi mau pun karena kebangkitan mereka yang merasa dijajah dan ingin menumbangkan kekuasaan Mancu.
Kalau dia sudah dinilai, setiap orang manusia, baik dia kaisar sekali pun, tentu memiliki dua macam sifat yang berlawanan, yaitu baik dan buruk, kelebihan dan kekurangannya, tentu saja bergantung kepada pendapat si penilai berdasarkan rasa suka atau tidak suka dari si penilai sendiri. Demikian pula Kaisar Kian Liong. Pada masa itu, dialah orang yang paling tinggi kedudukannya, yang paling berkuasa sehingga memburukkan namanya merupakan suatu pemberontakan dan dosa besar, dan orang yang berani melakukannya dapat saja dipenggal lehernya sebagai hukumannya. Oleh karena itu, catatan riwayat dan sejarahnya hanya yang baik-baik saja.
Betapa pun juga, orang tak mungkin menyimpan rahasia untuk selamanya. Akhirnya membocor keluar juga dari istana segala perilaku kaisar itu yang dianggap tidak patut. Di antaranya adalah hubungan kaisar di masa tuanya itu dengan Hou Seng yang tampan, yang kini semakin tinggi saja kedudukannya dan semakin besar kekuasaannya. Bahkan di luar sudah terdengar bisik-bisik bahwa Hou Seng inilah orangnya yang akan diangkat menjadi Perdana Menteri dalam waktu dekat.
Dan bisik bisik atau desas-desus ini memang tidak merupakan kabar bohong begitu saja. Bukan saja Hou Seng menjadi ‘kekasih’ kaisar, akan tetapi bahkan dia telah dapat mempengaruhi kaisar hingga semua urusan dalam istana sudah dipercayakan padanya. Sekarang dialah yang menjadi orang ke dua setelah kaisar di istana itu, bahkan semua pelaksanaan peraturan dan lain-lain berada di tangannya dan kaisar hanya mendengar dan percaya akan laporan kekasih ini saja.
Ambisi merupakan racun yang sekali mencengkeram batin kita, tidak mudah untuk dilepaskan lagi. Ambisi adalah kemurkaan, seperti binatang babi, makin diberi makan, semakin kelaparan saja. Makin banyak yang didapat, semakin bertambah keinginan hati yang dicengkeram ambisi.
Demikian pula dengan Hou Seng. Dia tadinya hanya seorang tukang pikul tandu kaisar. Setelah dia diangkat menjadi kekasih kaisar dan menjadi ‘penasehat’ kaisar, berarti dia sudah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Namun, dia masih jauh dari pada puas karena dia melihat kemungkinan-kemungkinan bahwa dia akan lebih besar lagi.
Dan untuk mencapai ambisi atau cita-citanya itu, dia tidak hanya dapat mengandalkan kepercayaan kaisar kepadanya. Terlalu banyak musuhnya yang ingin melihat dia jatuh kembali ke bawah. Banyak menteri-menteri yang tak suka kepadanya, bahkan ada yang secara halus berani memperingatkan kaisar tentang bahayanya kalau terlalu percaya kepada seseorang dan menyerahkan segala kekuasaan di tangan Hou Seng mengenai urusan dalam istana.
Hou Seng semakin cerdik dan mulai memperkuat diri. Bukan hanya dengan cara makin menempel kaisar, tetapi juga diam-diam dia mengumpulkan tenaga-tenaga yang boleh diandalkan, selain untuk mengawal dan melindungi dirinya, juga untuk melaksanakan perintah-perintah dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Beberapa orang musuhnya sudah dilenyapkan, tewas secara aneh. Tentu saja tidak aneh bagi Hou Seng. Dia telah memelihara orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kekejaman seperti iblis. Tentu saja dengan bayaran yang sangat tinggi, memberi kemewahan dan memenuhi permintaan apa saja dari orang-orang sakti itu. Juga memberi janji bahwa jika dia dapat menjadi Perdana Menteri, apa lagi kalau kelak dapat menjadi kaisar, dia tidak akan melupakan para pembantu itu dan tentu akan memberi kedudukan tinggi kepada mereka!
Pada suatu malam, dengan pengawalan ketat, Hou Seng keluar dari istana menuju ke sebuah rumah tidak jauh dari kompleks istana. Rumah ini merupakan sebuah gedung yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan nampak terjaga oleh penjaga-penjaga yang berpakaian seragam. Rumah peristirahatan ini adalah milik Hou Seng, satu di antara banyak rumah yang dimilikinya. Dia sendiri tinggal di sebuah gedung seperti istana saja mewahnya, bersama isterinya!
Benar, Hou Seng telah beristeri. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong merasa risi juga akibat banyaknya menteri yang menyindirkan hubungannya dengan Hou Seng, dan untuk menutupi atau sekedar mengurangi santernya desas-desus, dia memerintahkan kepada Hou Seng untuk menikah dengan seorang wanita dayang pilihan dari istana.
Tentu saja Hou Seng menerima perintah ini dengan hati senang. Bayangkan saja, selain memperoleh kekayaan dan kehormatan, juga dia memperoleh seorang isteri yang cantik ‘hadiah’ dari kaisar sendiri. Dengan adanya isteri, tentu dia dapat memelihara banyak selir dan kini tak perlu lagi dia bersembunyi-sembunyi kalau dia menginginkan seorang wanita. Pernikahannya itu telah berlangsung tiga tahun yang lalu dan kini dia telah mendapatkan beberapa orang anak dari isterinya dan selir-selirnya.
Kereta yang ditumpangi Hou Seng memasuki halaman rumah setelah pintu gerbangnya dibuka oleh para penjaga. Pintu gerbang lalu ditutup kembali dan nampak seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, berwajah tampan dan cerdik, bermuka halus seperti muka perempuan. Itulah Hou Seng, dengan pakaiannya yang gemerlapan. Dia seorang laki-laki pesolek, mukanya dirias dan pakaiannya mewah!
Kiranya di dalam keretanya itu bersembunyi dua orang wanita berusia kurang lebih tiga puluhan tahun, cantik dan bertubuh ramping serta gesit. Mereka ini adalah dua orang pengawal pribadi yang dapat menjadi apanya pun juga. Menjadi selir, juga pelayan atau pengawal yang melindungi keselamatannya.
Kedua orang wanita ini adalah ahli-ahli silat yang pandai dan sengaja dipilih oleh Hou Seng, bukan hanya karena kecantikan mereka semata, tetapi terutama sekali karena ketangguhan mereka melindungi keselamatannya. Oleh karena itu, dua orang pengawal pribadi ini tidak pernah meninggalkannya, ke mana pun dia pergi. Ketika Hou Seng turun dari kereta, dua orang wanita ini turun sebelum dan sesudahnya, menjaga dari depan belakang atau kanan kiri penuh kewaspadaan.
Dari pintu depan yang terbuka dari rumah gedung itu muncullah seorang nenek yang kalau orang melihatnya di tempat yang tidak begitu terang tentu akan mengiranya seorang wanita yang masih belum tua benar. Padahal nenek ini usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun!
Selain gerak-geriknya masih gesit dan sikapnya yang genit, juga mukanya memakai lapisan bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi, di samping penghitam alisnya yang sudah habis bulunya itu. Pakaiannya juga mewah dan nenek pesolek ini memegang sebatang kebutan yang gagangnya terbuat dari emas dan bulunya yang putih lemas itu tidak boleh dipandang ringan.
Itu bukan kebutan biasa pengusir lalat, melainkan sebuah senjata yang amat ampuh karena bulu-bulu kebutan itu terbuat dari bulu seekor monyet putih yang hanya terdapat di daerah Himalaya bagian barat. Menurut dongeng, monyet putih di daerah itu memiliki bulu yang amat kuat sehingga tahan bacokan, membuat monyet itu kebal! Entah benar tidaknya dongeng itu, akan tetapi yang jelas, kebutan di tangan nenek ini pun selain mampu untuk membunuh orang, juga dapat menangkis segala macam senjata tajam yang bagaimana ampuh pun tanpa putus sedikit pun.
Begitu bertemu dengan nenek yang tubuhnya masih nampak ramping dan wajahnya cantik karena dirias itu, Hou Seng memberi hormat berbareng dengan nenek itu yang juga menjura dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil memegangi kebutannya yang bulunya menjuntai ke bawah dengan lemasnya.
Nampaknya seorang nenek-nenek yang tidak berdaya saja. Akan tetapi, Hou Seng yang merupakan orang kedua setelah kaisar di dalam istana, kelihatan begitu menghormati nenek ini. Apa lagi dua orang pengawal pribadinya itu jelas memperlihatkan sikap jeri sekali ketika mereka memandang kepada nenek itu dan mengerling ke arah kebutan berbulu putih bergagang emas itu. Dalam hati mereka selalu timbul pertanyaan berapa ribu nyawa sudah yang dipaksa meninggalkan badannya oleh kebutan nenek itu, setiap kali mereka bertemu dengan Kim Hwa Nionio, demikian nama nenek itu.
Kim Hwa Nionio telah menjadi pembantu utama dari Hou Taijin (Pembesar Hou) dan memperoleh kepercayaan dari kekasih kaisar ini karena Kim Hwa Nionio telah berulang kali membuktikan kesetiaannya. Sudah ada enam orang pembesar rendahan dan dua orang pembesar tingkat menteri yang tiba-tiba saja tewas, begitu pada kemarin harinya Kim Hwa Nionio menerima perintah dari Hou Taijin untuk melenyapkannya!
Selain itu, juga Kim Hwa Nionio yang mengatur penjagaan atau pengawal-pengawal rahasia dari Hou Taijin. Pengawal-pengawal ini adalah orang-orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Nionio untuk melakukan penjagaan secara rahasia. Dan kini Kim Hwa Nionio menerima tugas yang lebih penting lagi, ialah mengumpulkan dan mengundang tenaga-tenaga yang tangguh dari para tokoh dunia hitam untuk memperkuat kedudukan Hou Taijin.
Siapakah Kim Hwa Nionio? Nenek yang sudah tua akan tetapi masih suka mengejar kesenangan melalui kekuasaan di kota raja ini adalah guru dari Bhok Gun! Nenek ini pernah menjadi murid merangkap kekasih dari mendiang Pek-bin Lo-sian. Akan tetapi setelah ia berhasil menguras semua ilmu dari Pek-bin Lo-sian, Kim Hwa Nionio lalu meninggalkan gurunya yang suka bertapa itu untuk bertualang di kota-kota besar dan mengumbar nafsunya dengan pria-pria yang lebih muda dan tampan, yang dipilih dan disukainya.
Dengan kepandaiannya yang hebat, ia dapat memaksa setiap pria yang dipilihnya untuk melayaninya. Setiap penolakan tentu mengakibatkan pria itu tewas oleh menyambarnya bulu-bulu kebutan itu. Bahkan setiap kekecewaan dari pria yang melayaninya juga harus ditebus dengan nyawanya. Dalam hal kejahatan dan kekejamannya, Kim Hwa Nionio tidak kalah oleh tiga orang datuk sesat yang masih bersumber dari satu perguruan dengannya, yaitu Sam Kwi.
Setelah usianya mulai tua, Kim Hwa Nionio memilih Bhok Gun untuk menjadi muridnya, dan hanya pemuda inilah yang mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya. Akan tetapi, setelah usianya kurang lebih tujuh puluh tahun, ia sudah mulai kehilangan kesenangan-kesenangan masa mudanya dan kini satu-satunya kesenangan yang dikejarnya adalah kedudukan dari kekuasaan. Karena itulah ia pergi ke kota raja dan mendengar akan kelihaian Hou Taijin yang berhasil menguasai kaisar, ia lalu melakukan pendekatan dan akhirnya, melihat kehebatan ilmu nenek ini, ia berhasil menjadi pembantu utama Hou Seng atau Hou Taijin.
"Selamat malam, Taijin," nenek itu berkata dan suaranya terdengar halus, "dan silakan masuk."
Pembesar yang mempunyai sepasang mata lincah membayangkan kecerdikannya itu mengangguk dan langsung bertanya, "Benarkah yang datang Lama itu?" Dia mencari-cari dengan pandang matanya. "Begitu mendengar berita yang dikirim oleh locianpwe, aku langsung saja ke sini, ingin bertemu dan berkenalan sendiri."
Kim Hwa Nionio mengangguk. "Bijaksana sekali tindakan Taijin, karena memang akan menimbulkan kecurigaan kalau dia yang belum dikenal ini yang menghadap kepada Taijin. Sekarang pun dia sudah siap menghadap kalau menerima perintah Taijin."
"Baik, locianpwe, minta kepada losuhu itu untuk menemui aku di ruangan tamu."
Hou Taijin lalu diiringkan dua orang pengawalnya menuju ke ruang tamu, sedangkan Kim Hwa Nionio lalu mengundurkan diri untuk memberi tahu kepada tamunya. Ketika Kim Hwa Nionio bersama tamunya pergi ke ruangan, di situ telah menanti Hou Taijin bersama dua orang pengawal pribadi yang tak pernah berpisah darinya. Dua orang wanita cantik itu kini berdiri seperti patung di kanan kirinya, agak di belakang tubuh pembesar itu.
Para pengawal, tidak kurang dari dua belas orang, berjaga di dalam ruangan itu pula, berdiri dengan sikap hormat, sedangkan beberapa orang pengawal lagi mondar-mandir di luar ruangan ini. Mereka adalah pengawal-pengawal yang tidak mengenakan pakaian seragam dan yang selalu membayangi ke mana pun Hou Seng pergi.
Pengawal-pengawal inilah anak buah Kim Hwa Nionio dan karena mereka semua yang berpakaian preman itu mempunyai kartu pengenal yang dibubuhi cap dari Hou Taijin sendiri, maka para penjaga tempat-tempat yang sedang dikunjungi Hou Taijin selalu membiarkan mereka menyelinap masuk. Pendeknya, pengawalan yang dilakukan untuk menjaga keselamatan Hoa Taijin ini tidak kalah ketatnya dengan pengawalan atas diri kaisar sendiri.
Hou Taijin adalah seorang yang cerdik dan pandai menggunakan orang. Melihat bahwa tamu yang datang bersama Kim Hwa Nionio itu seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, kepalanya gundul dan jubahnya lebar dengan kotak-kotak berwarna merah kuning, mukanya begitu menyeramkan seperti muka seekor singa, dengan cambang bauk yang warnanya kekuning-kuningan, matanya terbelalak mengandung sinar mata tajam, dia tahu bahwa tamu ini memang bukan orang sembarangan, seperti yang telah dikatakan oleh Kim Hwa Nionio kepadanya.
Dia tahu siapa kakek ini, ialah seorang pendeta Lama dari Tibet yang juga mempunyai niat memberontak terhadap penguasa-penguasa lama di Tibet. Cocok sekali kalau orang ini bisa menjadi pembantunya bersama Kim Hwa Nionio, pikirnya. Dan agaknya makin mudah pula memasukkan seorang pendeta ke dalam istana, dengan alasan sebagai penasehat kebatinan, pengusir roh jahat, pengajar agama dan sebagainya, seperti yang dilakukan terhadap Kim Hwa Nionio yang juga olehnya diperkenalkan kepada kaisar sebagai seorang pertapa wanita dari Pegunungan Himalaya yang sakti.
Setelah pendeta Lama dan Kim Hwa Nionio itu tiba di dekat meja, Hou Taijin bangkit berdiri untuk menyambut dan pendeta yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu segera memberi hormat, merangkapkan kedua tangan depan dada sambil berkata dengan suara seperti berdoa, "Omitohud semoga Hou Taijin mendapat berkah usia panjang dan rejeki yang berlimpah-limpah!"
Hou Seng tersenyum. "Selamat datang, losuhu dan silakan duduk. Silakan, locianpwe."
Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio mengambil tempat duduk setelah nenek itu dengan isyarat tangannya menyuruh anak buahnya untuk keluar dari ruang itu. Para pengawal segera pergi dan hanya berjaga di luar ruangan tamu itu dengan ketatnya. Yang berada di ruang tamu kini hanyalah Hou Taijin bersama dua orang selir yang mengawalnya, Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama.
"Hou Taijin, pinceng (saya) adalah Sai-cu Lama dari Tibet. Saya memenuhi undangan Kim Hwa Nionio yang telah pinceng kenal baik untuk menghadap taijin. Harap maafkan kelancangan pinceng."
Hou Seng tertawa bergelak. Hatinya senang sekali mendengar seorang kakek yang menurut Kim Hwa Nionio amat sakti ini merendahkan diri. "Ahh, tidak ada yang perlu dimaafkan karena memang saya yang minta kepada locianpwe Kim Hwa Nionio untuk mengundang losuhu. Losuhu telah melakukan perjalanan yang melelahkan dan amat jauh, untuk menyambut kedatangan losuhu, saya akan mengadakan perjamuan kecil sebagai ucapan selamat datang."
Hou Taijin mengangguk kepada Kim Hwa Nionio, memberi tanda bahwa perjamuan itu boleh dimulai. "Kita dapat bercakap-cakap setelah makan minum."
"Maafkan pinceng, taijin. Sebelum itu, pinceng juga ingin mempersembahkan sesuatu kepada taijin. Seorang gadis remaja berusia dua belas tahun yang cantik jelita sekali, yang kebetulan pinceng temukan di dalam perjalanan pinceng."
Hou Seng mengerutkan alisnya. Betapa pun juga pernyataan pendeta Lama itu agak menyinggung kehormatannya. Pendeta ini berani mengatakan akan mempersembahkan seorang gadis remaja yang ditemukannya begitu saja di tengah perjalanan?
Persembahan seperti itu merendahkan martabatnya, betapa cantik pun gadis itu, dan tidak patut untuk di ketengahkan dalam pertemuan dan perkenalan pertama sebagai suatu persembahan kehormatan.
Agaknya Kim Hwa Nionio melihat ketidak senangan hati majikannya. Iapun cepat-cepat berkata, "Hendaknya paduka maklumi bahwa gadis remaja yang dibawa oleh rekan saya Sai-cu Lama itu bukan gadis biasa, melainkan derajatnya jauh lebih tinggi dari pada seluruh wanita yang telah paduka miliki. Ia itu adalah keturunan keluarga para pendekar Pulau Es yang terkenal itu!"
"Ahhh...!" Wajah pembesar itu berseri bangga dan matanya terbelalak. "Bukan main kalau begitu! Lekas bawa ke sini, saya ingin melihatnya!"
Kim Hwa Nionio memberi isyarat dengan tepuk tangan lima kali. Tidak lama kemudian pintu sebelah kanan ruangan tamu itu terbuka dan masuklah dua orang pengawal bertubuh tinggi besar. Di antara mereka terdapat Suma Lian, yang mereka pegang pada pangkal lengannya dari kanan kiri dan mereka jinjing. Kaki dan tangan gadis cilik itu terbelenggu!
Jelaslah bahwa Suma Lian tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi sepasang matanya hidup, bersinar penuh keangkuhan dan kemarahan, berdiri tegak ia ketika dilepas oleh kedua orang yang segera memberi hormat lalu meninggalkan lagi ruangan itu dan menutupkan pintunya dari luar. Pandang mata gadis cilik itu ditujukan kepada Sai-cu Lama dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian.
Seperti kita ketahui, ketika Sai-cu Lama kewalahan juga karena sambil menggendong gadis cilik itu dia menghadapi pengeroyokan nenek Teng Siang In yang masih nekat walau pun sudah terluka dan Hong Beng, pemuda ini berhasil membebaskan totokan dari tubuh Sama Lian dengan sambitan kerikil.
Dan setelah terbebas dari totokan, diam-diam Suma Lian mengambil tusuk konde atau hiasan rambutnya yang runcing dan menancapkan benda kecil itu di tengkuk Sai-cu Lama. Kalau saja ia tidak merasa ngeri melihat muncratnya darah dari tengkuk itu sehingga mengakibatkan tangannya lemas, tentu tusukannya itu akan lebih dalam lagi dan andai kata tidak sampai menewaskan kakek itu pun tentu akan mengakibatkan luka yang cukup berat.
Sai-cu Lama terkejut, kesakitan dan berhasil menampar gadis itu pingsan, kemudian melarikan diri sambil tetap membawa tubuh Suma Lian dan tengkuk yang bercucuran darah! Dia tahu bahwa kalau sampai keluarga Suma mengetahui tentu dia akan dikejar dan beratlah rasanya menghadapi mereka tanpa bantuan.
Dia berlari terus dengan cepat, akan tetapi dia cerdik. Setelah keluar dari pintu gerbang utama, dia lalu mengitari tembok dusun menuju ke selatan, kemudian membelok ke timur memasuki hutan lebat. Jejaknya hilang dan suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng melakukan pengejaran ke utara terus karena ada yang melihat pendeta itu lari keluar dari pintu gerbang utara.
Luka di tengkuknya hanya mengeluarkan darah, namun tidak berbahaya. Ketika dia memeriksa benda yang menancap di tengkuknya, dia terkejut. Benda itu tentu akan dapat menancap lebih dalam lagi, pikirnya. Akan tetapi kenapa tidak? Padahal, seorang gadis biar pun baru berusia dua belas tahun seperti anak ini, tentu mampu menusuk lebih kuat. Mengapa gadis cilik ini tidak menusuknya lebih kuat? Pikiran ini membuat kemarahannya berkurang terhadap Suma Lian.
Ia menurunkan tubuh Suma Lian, lalu demi keamanan, membelenggu kaki tangan gadis itu dengan tali pengikat yang kuat. Baru dia menotoknya beberapa kali dan membuatnya sadar kembali. Begitu sadar, Suma Lian meronta, akan tetapi tak mampu melepaskan ikatan kaki tangannya dan ia hanya memandang dengan mata melotot.
"Kau manusia busuk, manusia jahat!" bentaknya.
Sai-cu Lama tertawa. "Ha-ha-ha, anak baik. Jika aku manusia busuk dan jahat, kenapa engkau tak jadi membunuhku? Kenapa tusukanmu pada tengkukku itu hanya setengah tenaga saja, tidak sungguh-sungguh?" katanya sambil mengeluarkan obat bubuk dan menempelkan obat itu kepada luka kecil di tengkuknya yang segera mengering.
"Padahal, benda ini runcing dan keras, dengan sedikit tenaga saja tengkukku pasti bisa ditembus!" katanya dan sekali menggerakkan tangan, perlahan-lahan dia menusukkan tusuk sanggul itu ke dalam sebatang pohon. Benda kecil itu langsung amblas sampai tak nampak lagi!
"Huh, sayang aku menjadi tidak sampai hati melihat darah muncrat, dan aku merasa malu harus berbuat curang. Kalau tidak, engkau tentu sudah mati dan aku terbebas!" kata Suma Lian, sekarang baru merasa menyesal mengapa ia tadi tidak menggunakan seluruh tenaganya dan mengeraskan hatinya saja.
"Ha-ha-ha, sudah kuduga! Engkau seorang gadis manis yang baik hati. Ha-ha-ha, dan karena itulah engkau sampai sekarang masih hidup. Jika engkau menusuk lebih keras, sebelum mati tentu tamparanku akan meremukkan kepalamu tadi. Dan sekarang pun, karena kebaikan hatimu itu, aku tidak akan membunuhmu, tidak, aku malah membuat engkau hidup mulia. Mari...!" Dengan tangan kirinya dia menyambar tubuh gadis cilik itu dan dipanggulnya lalu dibawa lari.
"Lepaskan aku! Lepaskan...!" Suma Lian meronta dan menjerit, akan tetapi pendeta Lama itu menggunakan jari tangan menekan tengkuknya dan dia pun tidak mampu lagi mengeluarkan suara.
Demikianlah, Sai-cu Lama membawa Suma Lian ke kota raja. Di dalam perjalanan itu, dia menyembunyikan tubuh yang sudah dibelenggu dan ditotoknya itu ke dalam sebuah kantung kain yang diberi lubang-lubang untuk pernapasan gadis itu, dan sekali-sekali, dia harus memaksa gadis itu untuk makan, dengan membuka mulut gadis itu dan menuangkan bubur ke dalam perutnya. Tanpa paksaan, Suma Lian yang keras hati itu tidak mau makan atau minum!
Setelah tiba di gedung tempat tinggal Hou Taijin yang menjadi sarang Kim Hwa Nionio yang menghubunginya, Sai-cu Lama disambut dengan girang oleh Kim Hwa Nionio, apa lagi saat temannya itu memberi tahukan bahwa gadis cilik yang ditawannya adalah keturunan para pendekar Pulau Es. Para datuk sesat memang selalu memusuhi para pendekar, terutama sekali keturunan keluarga Pulau Es sejak dahulu, semenjak nenek moyang mereka, telah menjadi musuh besar yang harus selalu ditentang.
"Bagus, tentu Hou Taijin akan suka sekali!" serunya. "Atau kalau tidak, hemmm... anak ini bertulang baik, bagaimana kalau ia menjadi muridku saja?"
"Ha-ha-ha, sungguh serupa benar jalan pikiran kita," kata Sai-cu Lama. "Aku pun sudah mempunyai pikiran demikian. Amat bangga kalau kita dapat memiliki murid keturunan para pendekar Pulau Es, kita didik sedemikian rupa sehingga kelak dia menjadi tokoh dari golongan kita yang memusuhi para pendekar. Ha-ha-ha!"
"Bagus! Aku pun ingin terbawa namaku dalam jasa itu. Bagaimana kalau kita didik anak itu bersama-sama?"
"Omitohud, usia tuamu sama sekali tidak menghilangkan kecerdikanmu, seperti tidak pula melenyapkan kecantikanmu, Kim Hwa Nionio!" Sai-cu Lama memuji.
Keduanya lalu membuat persiapan untuk memberi laporan kepada Hou Taijin bahwa tamu dari Tibet yang diundang telah tiba. Dan seperti kita ketahui, Hou Taijin demikian girang mendengar ini sehingga dia datang sendiri demi untuk menemui tamu itu dan mengenalnya sendiri karena oleh Kim Hwa Nionio sudah diceritakan bahwa tamu yang berjuluk Sai-cu Lama dari Tibet ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan tidak kalah oleh Kim Hwa Nionio sendiri, demikian kata nenek itu.
"Omitohud..., anak baik, engkau sedang menghadap Hou Taijin, harus berlutut memberi hormat!" kata Sai-cu Lama.
Akan tetapi Suma Lian tetap berdiri dengan mata melotot, sedikit pun tidak takut dan ketika ia memandang kepada orang berpakaian mewah yang duduk di depan pendeta Lama itu, matanya memandang penuh selidik. Mata anak ini demikian tajam sehingga hati pembesar itu merasa kecut juga. Akan tetapi pada saat itu, seorang di antara dua orang selir yang menjadi pengawalnya itu berbisik dekat telinganya.
"Taijin harus bersikap baik kepadanya, dan suruh membebaskan ikatan kaki tangannya, agar ia mudah dijinakkan."
Hou Taijin mengangguk-angguk, kemudian sambil memandang kepada gadis cilik itu, ia berkata, "Losuhu, kasihan sekali puteri kecil ini dibelenggu. Harap lepaskan belenggu kaki tangannya!"
"Taijin, biar pun masih kecil, ia sudah lihai dan berbahaya, juga liar seperti seekor kuda binal!"
"Sai-cu Lama, perintah Taijin harus kita laksanakan tanpa membantah." Tiba-tiba Kim Hwa Nionio memperingatkan temannya yang belum tahu akan watak Hou Taijin yang tidak mau dibantah.
Mendengar ini, Sai-cu Lama mengangguk dan cepat dia menghampiri Suma Lian yang berdiri tegak. Untuk mendemonstrasikan kelihaiannya, dengan jari-jari tangan, ringan sekali gerakannya dia membikin putus semua tali, seolah-olah tali-tali itu hanya sehelai benang saja!
"Adik yang baik, ke sinilah dan jangan takut. Kami tidak akan menyusahkanmu lagi," berkata Hou Seng.
Memang orang ini pandai sekali bersandiwara. Dan mendengar suaranya yang lemah lembut, serta melihat wajahnya yang kini memperlihatkan kesungguhan dan keramahan, Suma Lian mulai percaya bahwa orang itu tentu memiliki niat yang baik terhadap dirinya.
Ia memang tidak mendengarkan apa yang dipercakapkan oleh Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio bahwa dirinya akan diberikan kepada pembesar Hou Seng untuk dijadikan selir! Maka, mengingat bahwa ia berhadapan dengan seorang pembesar di kota raja, seperti yang didengarnya tadi dari para pengawal bahwa ia akan dihadapkan kepada seorang pembesar istana kota raja, ia lalu menjatuhkan diri berlutut.
Memang selain belajar ilmu silat tinggi, Suma Lian diajar tentang ilmu baca tulis, juga tentang kesopanan sehingga ia mampu bersikap semestinya ketika berhadapan dengan seorang pembesar, apa lagi jika mengingat bahwa pembesar ini bersikap baik, bahkan telah menolongnya dari belenggu.
"Taijin, harap paduka suka mengirim saya untuk kembali ke rumah orang tua saya, atau membiarkan saya pergi dari sini. Dan untuk budi ini saya Suma Lian tidak akan pernah melupakanmu."
Kembali terdengar bisik-bisik dari seorang selir di belakangnya. Hou Seng mengangguk-angguk lagi. "Nona Suma Lian, membiarkan engkau pergi seorang diri sungguh amat berbahaya. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa atas dirimu? Berarti aku harus ikut bertanggung jawab. Sai-cu Lama telah menyerahkan engkau kepadaku, berarti akulah yang sekarang melindungimu. Jangan khawatir, sekali waktu pasti aku akan mengantar engkau kembali ke tempat tinggalmu, akan tetapi sementara ini, selagi aku masih sibuk, biarlah engkau tinggal di sini bersama Kim Hwa Nionio. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan memberontak atau mencoba untuk melarikan diri."
Suma Lian adalah seorang anak yang cerdik. Jika tadi ia memperlihatkan sikap marah, itu adalah karena Sai-cu Lama selalu bersikap keras kepadanya dan ia membenci pendeta yang menculiknya itu. Sekarang ia melihat bahwa tidak ada pilihan lain baginya kecuali mentaati perintah pembesar ini, kalau ia tidak ingin diperlakukan kasar lagi.
Ia mengerti bahwa ia menjadi semacam tahanan. Akan tetapi jauh lebih baik tertahan dalam keadaan bebas dari pada dibelenggu terus atau disekap terus di dalam kamar tahanan. Dalam keadaan bebas, tentu akan banyak kesempatan terbuka baginya untuk melarikan diri!
"Baiklah Taijin, saya berjanji tidak akan memberontak dan terima kasih atas kebaikan Taijin."
"Locianpwe," berkata Hou Taijin dengan suara halus kepada Kim Hwa Nionio, "harap locianpwe atur dan serahkan adik ini kepada para pengasuh lebih dulu, sediakan kamar yang baik, pakaian yang cukup dan makan yang enak, setelah itu kami masih menanti locianpwe di sini untuk mengadakan perundingan lebih lanjut."
"Baik, Taijin." Kim Hwa Nionio lalu menggandeng tangan Suma Lian. "Nah, kalau sejak kemarin engkau tidak memberontak, tentu kami sudah memperlakukan engkau dengan baik. Marilah, anak manis."
Kalau saja Sai-cu Lama yang menggandengnya, biar pun kini ia tidak memberontak lagi, Suma Lian tentu tidak akan mau. Akan tetapi ia tidak membenci nenek ini walau pun ia juga tidak menyukainya, dan ia pun menurut saja ketika digandeng dan hendak diajak keluar dari ruangan itu.
Setelah menyerahkan Suma Lian kepada para pembantunya agar anak itu memperoleh rawatan yang baik dan sekali-kali tidak boleh diperlakukan kasar, akan tetapi diam-diam Kim Hwa Nionio memerintahkan anak buahnya untuk mengamati anak itu baik-baik dan menjaganya supaya ia tidak sampai melarikan diri dari situ, nenek itu lalu kembali ke ruangan tamu.
"Locianpwe berdua, kami menerima dengan gembira anak keluarga Suma itu, tetapi untuk sementara saya titipkan dahulu ia di sini. Terutama locianpwe Kim Hwa Nionio harap dapat menjaganya baik-baik karena sekali waktu tentu ia akan kubawa ke istana. Jangan sampai ia kekurangan sesuatu dan jangan sampai melarikan diri. Akan tetapi, harap rahasiakan tempat persembunyiannya dari orang luar. Mengertikah, locianpwe?"
Kim Hwa Nionio mengangguk-angguk. "Baik Taijin. Saya sendiri yang akan menjaga anak itu."
Wajah pembesar itu nampak lega dan dia pun berkata gembira. "Sekarang, harap keluarkan hidangan dan hiburan untuk menjamu Losuhu dari Tibet sebagai sambutan selamat datang dari kami."
Kim Hwa Nionio bertepuk tangan beberapa kali sebagai perintah dan pintu pun terbuka. Beberapa orang pelayan, laki-laki dan wanita, kesemuanya muda-muda dan berpakaian bersih, yang pria tampan dan wanita cantik, masuk dengan sikap gesit dan terlatih baik. Mereka kemudian mengatur masakan-masakan di atas meja dan bagaikan sekumpulan burung dara delapan orang pelayan ini pulang pergi mengambil masakan-masakan dari dapur dan ruangan itu pun menjadi sedap baunya oleh uap masakan-masakan yang masih panas itu.
Rombongan ini disusul oleh rombongan tari dan nyanyi yang terdiri dari dua orang wanita dan empat orang laki-laki. Mereka mengenakan pakaian seniman yang beraneka warna sambil membawa alat-alat musik mereka. Muka mereka, baik yang laki-laki mau pun yang perempuan, dirias dengan bedak tebal dan gincu hingga hampir menyerupai kedok-kedok.
"Taijin, rombongan seni ini sengaja saya undang dari kota raja," kata Kim Hwa Nionio memperkenalkan enam orang itu.
Hou Sen mengangguk-angguk. "Bagus, bagus, kalau permainan kalian malam ini amat memuaskan, tentu kami akan memberi hadiah yang besar."
Enam orang itu berlutut menghadap pembesar itu, tetapi sebelum mereka menjawab, dari pintu yang terbuka itu menerobos masuk sepuluh orang pengawal anak buah Kim Hwa Nionio dan muka mereka memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang hebat telah terjadi. Melihat mereka masuk begitu saja tanpa dipanggil, berkerut sepasang alis Kim Hwa Nionio.
"Kalian ada laporan apa?" bentaknya marah.
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan menjadi komandan regu itu, melangkah maju dan dengan sikap gugup dia menuding ke arah enam orang seniman yang masih berlutut di situ. "Mereka... mereka ini... palsu! Mereka membunuh enam orang rombongan seniman dari kota raja dan mereka menyamar..."
"Apa...?" Hou Taijin membentak dan dengan wajah berubah pucat memandang kepada enam orang seniman palsu itu. "Siapa kalian dan mau apa datang ke sini?"
"Mau membunuh kau laki-laki cabul!" Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak dan serentak dua orang wanita dan empat orang laki-laki itu sudah mencabut keluar pedang masing-masing yang tadi disembunyikan bersama alat-alat musik dan pakaian!
Akan tetapi, belasan orang pengawal sudah mengepung mereka itu sehingga mereka tidak dapat menyerang Hou Seng yang oleh Kim Hwa Nionio lalu dibawa ke pinggir dan dilindunginya. Sedangkan Sai-cu Lama hanya memandang dengan sikap tenang saja, malah dia menyambar seguci arak dan mulai minum-minum melihat betapa belasan orang pengawal itu mulai mengeroyok enam orang musuh untuk menangkap mereka, hidup atau mati.
Akan tetapi, ternyata enam orang itu lihai sekali ilmu pedang mereka sehingga dalam beberapa gebrakan saja, enam orang pengawal sudah roboh tertusuk atau terbacok pedang! Hal ini membuat Hou Taijin menjadi ketakutan, akan tetapi Kim Hwa Nionio menenangkannya.
"Jangan khawatir, Taijin, ada saya di sini," kemudian ia berkata kepada Sai-cu Lama. "Lama, apakah engkau masih mau enak-enak minum arak saja sekarang? Taijin sudah tak sabar lagi untuk melihat kemampuanmu!"
Sai-cu Lama lalu bangkit dan menghampiri arena perkelahian, kemudian dari mulutnya menyemburkan arak yang menderas bagaikan hujan. Akan tetapi yang membuat semua orang yang sedang bertempur itu, baik para pengawal mau pun enam orang penyerbu, terpaksa mundur adalah karena mereka tidak dapat membuka mata terhadap serangan percikan arak yang begitu kuat dan seperti dapat menusuk kulit muka!
"Para pengawal, mundurlah dan bawa pergi teman-temanmu yang terluka keluar dari sini, agar gerakan pinceng tidak terhalang!" kata kakek gendut itu tenang-tenang saja.
Para pengawal lalu menolong enam orang kawan mereka yang terluka, membawa mereka keluar dari ruangan tamu yang amat luas itu. Kini kakek itu menghampiri enam orang seniman yang ternyata adalah orang-orang yang datang untuk membunuh Hou Taijin.
"Kalian sudah bosan hidup dan datang hanya untuk mengantar nyawa. Hayo berlutut agar pinceng dapat membunuh kalian tanpa menyiksa lagi."
Tentu saja enam orang itu menjadi marah. Dengan semburan arak tadi pun mereka sudah tahu bahwa pendeta gendut ini lihai sekali. Akan tetapi karena mereka berenam dan mereka juga berada di dalam sarang musuh, mereka menjadi nekat dan serentak mereka maju menyerang Sai-cu Lama yang berdiri menantang. Enam batang pedang dengan gerakan cepat sekali meluncur atau melayang ke arah tubuh gendut itu dari segala jurusan.
Enam orang itu jelas bukan orang sembarangan karena sekali bentrok saja mereka masing-masing telah mampu merobohkan seorang pengeroyok dengan pedang mereka. Permainan pedang mereka cukup cepat dan kuat. Akan tetapi, yang mereka serang saat itu adaiah Sai-cu Lama, orang yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi dari mereka.
Dari gerakan mereka tadi saja Sai-cu Lama sudah tahu bahwa enam orang itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat. Kalau dia menghendaki, dalam beberapa gebrakan saja dia mampu untuk merobohkan enam orang lawannya.
Akan tetapi, di situ terdapat Hou Seng, pembesar yang berkuasa di istana itu dan dia ingin memperlihatkan kepandaiannya. Maka, begitu melihat datangnya tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan, ia sengaja memperlihatkan kekebalannya. Dengan kedua lengan tangan telanjang, ia menangkisi semua serangan itu, bahkan tusukan sebatang pedang dari belakang dan bacokan pedang dari kiri yang mengenai punggung dan lehernya, dia sengaja diamkan saja tanpa ditangkis.
Terdengar suara bak-bik-buk dan semua senjata itu terpental begitu terkena tangkisan lengannya mau pun yang mengenai punggung dan lehernya, tanpa sedikit pun melukai kulitnya, kecuali merobek bajunya di bagian punggung!
Tentu saja Hou Seng kagum bukan main, sebaliknya enam orang penyerang itu terkejut setengah mati. Tak mereka sangka bahwa di situ hadir seorang pendeta Lama yang demikian lihainya. Akan tetapi, untuk melarikan diri sama sekali tidak mungkin karena tempat itu dijaga oleh banyak sekali pengawal. Mereka menjadi nekat dan sekarang menyerang kembali dengan pedang mereka, hanya kini menujukan serangan mereka ke arah bagian-bagian tubuh yang kiranya tidak dapat dilindungi kekebalan, terutama di bagian mata.
Menghadapi serangan ini, Sai-cu Lama tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalian ini kumpulan tikus-tikus kecil berani bermain gila di depan seekor harimau!"
Kaki tangannya bergerak dengan aneh sambil dibarengi bentakan-bentakannya yang melumpuhkan dan dalam waktu singkat saja lima dari enam orang penyerbu itu telah roboh tewas. Dan yang ke enam, yang wanita dan usianya sekitar tiga puluh tahun, berwajah cantik, sudah ditangkapnya! Wanita itu terpaksa melepaskan pedangnya dan kini tertotok roboh tak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya lumpuh.
"Ha-ha-ha, apakah Hou Taijin ingin melihat bagaimana macamnya orang ini di balik pakaiannya?"
Dan sekali tangannya bergerak, terdengar kain robek dan pakaian bagian depan dari wanita itu telah dirobek lepas! Nampak tubuhnya yang lumayan mulusnya, dan wanita itu hanya mampu merintih namun tidak mampu bergerak untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bagian depannya itu.
"Nanti dulu, jangan bunuh orang ini. Kita harus tahu siapa yaag menyuruh mereka!" Tiba-tiba Hou Taijin berseru keras.
Dalam keadaan seperti itu, mana dia tertarik melihat tubuh wanita telanjang? Lagi pula, wanita itu sudah terlalu tua untuknya. Bagi pembesar istana ini, usia wanita lewat lima belas tahun sudah terlalu tua!
Mendengar ini, Sai-cu Lama mengangguk-angguk dan tertawa, dia maklum apa yang dikehendaki oleh Hou Taijin. "He-heh-heh, tikus betina, kau sudah mendengar sendiri ucapan Hou Taijin. Hayo katakan, siapa yang mengutus kalian berusaha membunuh Hou Taijin? Hayo cepat katakan, jika tidak aku akan mengerat tubuhmu sepotong demi sepotong, tidak sampai kau mati, tetapi akan membuat engkau hidup sebagai seorang yang tanpa batang hidung, tanpa daun telinga, tanpa jari tangan dan kaki!"
Wanita itu memang maklum bahwa ia sudah tidak berdaya. Mendengar ancaman itu, ia bergidik. Dia tidak dapat membayangkan betapa ngeri dan sengsaranya dibiarkan hidup dalam keadaan cacad seperti itu. Lebih baik dibunuh saja! Dan ia pun tahu bahwa seorang sakti dan kejam seperti pendeta Lama ini tentu akan memenuhi gertakannya tadi. Maka, dengan lirih dan suara gemetar ia pun membuat pengakuan.
"Yang mengutus kami adalah... adalah... Pangeran Cui..."
"Apa? Pangeran Cui yang mana? Yang tua atau yang muda?"
"Pangeran... Cui muda..."
"Keparat!" bentak Hou Seng sambil memukulkan kepalan tangan kanan ke atas telapak tangan kirinya sendiri. Wajahnya berubah merah dan dia marah sekali.
Pangeran Cui muda itu adalah seorang pangeran yang menjadi keponakan kaisar, dan termasuk seorang di antara mereka yang tidak suka kepadanya. Meski di dalam sebuah pesta yang diadakan pangeran muda Cui pernah menghinanya dengan sindiran dengan bercerita tentang kehidupannya sebagai selir pria kaisar, namun dia menahan dirinya.
Pangeran muda Cui itu bukan merupakan lawan yang membahayakan kedudukannya, karena itu tiada artinya memperbesar permusuhan dengannya, tidak menguntungkan. Akan tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa agaknya pangeran muda itu demikian benci kepadanya sehingga diam-diam mengutus enam orang jagoan untuk membunuhnya!
"Losuhu, jika losuhu bisa membawa kepala pangeran Cui muda kepadaku, barulah aku percaya akan kesetiaan losuhu kepadaku!" Setelah berkata demikian, dengan tergesa-gesa Hou Seng meninggalkan rumah itu, pulang ke rumah sendiri dengan keretanya, dikawal dengan ketat oleh anak buah Kim Hwa Nionio.
"Celaka, di mana anak setan itu?" Tiba-tiba Kim Hwa Nionio berteriak.
Ia telah kehilangan Suma Lian! Tadi, ketika ia melindungi Hou Taijin, ia lupa kepada anak perempuan itu. Kini, setelah Hou Seng pergi, baru ia teringat akan Suma Lian dan setelah mengatur anak buahnya untuk mengawal Hou Seng dengan ketat, ia kemudian mencari dan memaki-maki karena kehilangan anak perempuan itu.
"Ia, takkan mampu lari jauh, Nionio. Sebaiknya engkau membantuku, apa yang harus kulakukan dengan perempuan ini dan bagaimana aku dapat memenuhi permintaan Hou Taijin tadi!? kata Sai-cu Lama sambil memandang kepada wanita yang masih terlentang di atas lantai itu. "Kubunuh saja dia ini?" Dia menuding ke arah tubuh wanita itu.
"Enam orang anak buahku terluka oleh mereka. Lemparkan ia untuk enam orang anak buahku yang terluka. Kemudian kita rundingkan mengenai perintah tadi. Biar kubawa sendiri perempuan ini!" Kim Hwa Nionio lalu menjambak rambut yang terlepas dari sanggulnya itu, sekali renggut saja tubuh yang lemas itu bangkit berdiri dan Kim Hwa Nionio membentak penuh ancaman, "Hayo katakan siapa nama pemimpin rombongan kalian dan yang mana dia?”
Perempuan yang sudah sangat ketakutan itu hanya bisa memandang dengan sepasang matanya yang terbelalak ketakutan ke arah seorang di antara mereka yang berjenggot panjang dan bertubuh tinggi kurus dan yang sudah menggeletak dengan nyawa putus. "Dia... dialah pemimpin dan toako kami, bernama...Ban Leng..."
"Nah, Sai-cu Lama, lekas kau ambil kepalanya dan bawa dalam bungkusan. Aku akan mengantar dulu perempuan ini!"
Kim Hwa Nionio pergi sambil menyeret perempuan itu. Dia menengok enam orang anak buahnya yang tadi terluka oleh pedang dan ia melemparkan perempuan itu di antara mereka yang masih rebah. "Nih, untuk obat jerih payah kalian!"
Lalu ia meninggalkan perempuan itu di dalam kamar. Telinganya masih menangkap jerit rintih perempuan itu di antara suara ketawa orang-orangnya, dan dia pun tersenyum sadis. Sadissss.....