Anak rajawali Jilid 37
Telapak tangan Ko Tie
diletakkan pada telapak tangan si kakek tua, kemudian kakek tua itu mengerahkan
sin-kangnya.
Tenaga dalam kakek tua
meluncur keluar dari telapak tangannya, mengalir masuk ke dalam telapak tangan
Ko Tie.
Dikala itu Ko Tie merasakan
segulungan hawa yang hangat memasuki telapak tangannya.
Mendadak sekali Ko Tie
merasakan kepalanya pusing, dadanya seperti mau meledak, karena hawa panas yang
memasuki telapak tangan itu seperti juga mengaduk-aduk dada dan perutnya, yang
seperti juga jungkir balik.
Dengan mengeluarkan suara
jeritan yang nyaring, tampak Ko Tie tidak sadarkan diri. Pingsan.
Kam Lian Cu kaget tidak
terkira, dia segera menghampiri menjerit pada si kakek: “Kau….. kau..... kau
telah mencelakainya!” teriaknya
Kakek tua itu menggelengkan
kepalanya.
“Tenang, dia tidak akan
mengalami sesuatu apapun juga......!” kata kakek tua itu.
“Dia hanya tidak kuat menerima
tekanan hawa murni dariku!”
Kam Lian Cu mengangguk.
“Kalau begitu..... kalau
begitu dia akan dapat disembuhkan?!” tanyanya.
“Ya.....!” mengangguk kakek
tua itu.
Segera juga kakek itu telah
mengerahkan tenaga dalamnya lagi, mengempos hawa murninya.
Ko Tie dalam keadaan pingsan
tidak sadarkan diri, tapi hawa murni yang dikirim oleh kakek tua itu telah
menorobos masuk ke dalam tubuhnya lewat telapak tangannya.
Malah hawa murni itu telah
menerjang beberapa jalan darah di dalam tubuh Ko Tie, yang semula telah
tersumbat.
Dengan terbukanya beberapa
jalan darah yang tadi tersumbat itu, Ko Tie segera tersadar dari pingsannya.
Tapi begitu dia membuka
matanya, dia menjerit lagi, dan jatuh pingsan pula.
Hal ini disebabkan begitu Ko
Tie membuka matanya, segera dia merasakan kesakitan yang hebat pada dada
perutnya, seperti juga di dalam perutnya itu terdapat sesuatu yang telah
membuat isi perutnya diremas-remas.
Sedangkan Kam Lian Cu tambah
bimbang dan kuatir.
“Apakah..... apakah dia tidak
akan celaka oleh perbuatanmu ini?!” tanya si gadis.
Kam Lian Cu bertanya begitu,
karena dia kuatir, kalau-kalau memang nanti Ko Tie jadi terbiasa karena cara
pengobatan si kakek yang tidak benar.
Sedangkan Kakek itu telah
menggelengkan kepalanya tanpa menyahuti, dia mengerahkan terus tenaga dalamnya.
Lewat lagi setengah jam,
segera juga tampak dari sekujur tubuh Ko Tie menitik butir-butir keringat yang
deras sekali.
Dan tidak lama lagi, Ko Tie
telah tersadar dari pingsannya, dia telah mengeluarkan suara seruan. Tapi
sekarang dia tidak menderita kesakitan yang hebat seperti tadi.
Dia juga tidak menderita
kesakitan yang membuatnya pingsan. Dia hanya merasakan sekujur tubuhnya lemas,
dan panas bukan main, karena hawa sin-kang yang dikirim oleh si kakek tua.
Kakek tua itu pun
memperlihatkan sikap gembira, wajahnya berseri-seri, karena dia mengetahui
usahanya itu telah berhasil.
“Jika dia telah berhasil
diselamatkan, selanjutnya cuma memberikan pertolongan agar lweekang yang telah
dimilikinya itu tidak lenyap dan punah!
Kam Lian Cu mengangguk,
diam-diam dia girang juga melihat Ko Tie dapat diobati oleh kakek tua itu.
Ko Tie sendiri merasakan
semakin lama hawa panas di dalam tubuhnya semakin meningkat, dan akhirnya dia
merasakan sesuatu di lehernya.
“Uwahhh!” Dia telah
memuntahkan gumpalan darah yang telah menghitam.
“Selamat!” berseru kakek tua
itu, setelah si pemuda memuntahkan gumpalan darah itu.
Dan kakek itu menyudahi
pengiriman sin-kangnya.
Kam Lian Cu mecoleh kepada Ko
Tie, katanya dengan suara ragu-ragu berkuatir sekali.
“Apakah keadaanmu, jauh lebih
baik?!”
Ko Tie mengangguk lemah.
“Ya…… tapi aku merasakan
sekujur tubuhku sangat lemas sekali......!”
Kam Lian Cu memaksakan diri
buat tersenyum untuk menghibur si pemuda.
“Dalam seminggu keadaanmu akan
pulih sebagaimana biasa……!” katanya.
Waktu itu si kakek telah
berkata kepada Kam Lian Cu: “Dan sekarang kau! Kau harus ikut aku dulu ke
tempatku…… nanti aku akan melanjutkan pula mengobati pemuda itu.
Kam Lian Cu gugup bukan main.
“Tidak! Aku tidak mau!”
katanya sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali.
“Tidak mau? Bukankah tadi
engkau telah berjanji, jika aku mengobati pemuda itu, maka kau bersedia menjadi
isteri puteraku?!” tanya si kakek, matanya memandang bengis sekali.
Kam Lian Cu jadi tambah
bimbang, dia menyahutinya: “Kau sendiri yang berjanji bahwa engkau akan
mengobati pemuda itu sampai sembuh...... Sekarang dia belum sembuh, bagaimana
mungkin kita bisa meninggalkannya?
“Kalau memang kita
meninggalkannya, niscaya dia akan mengalami sesuatu yang tidak diinginkan di
tempat ini, kalau memang kita meninggalkannya seorang diri. Jika ada bahaya yang
mengancamnya tentu dia tidak bisa menghadapinya, karena dalam keadaan terluka
parah seperti itu……!”
“Jadi……!” bola mata kakek tua
itu terbuka lebar-lebar.
“Ya, aku menginginkan kau
mengobati pemuda ini sampai benar-benar sembuh, barulah itu akan ikut bersama
kau untuk pergi ke tempatmu buat menikah dengan puteramu!”
Muka kakek tua itu berobah,
tapi dia tampak jadi ragu-ragu. Akhirnya dia mengangguk.
“Baiklah mari kita obati dia
sampai sembuh, tapi setelah itu engkau tidak boleh mengajukan alasan-alasan
lainnya lagi!” katanya.
Kim Lian Cu cuma mengangguk.
Begitulah, kakek tua tersebut,
yang aneh dan tampaknya agak sinting, berusaha mengobati Ko Tie.
Selama itu Kam Lian Cu selalu
gelisah, karena dia tidak mengetahui bagaimana nasibnya selanjutnya.
Tapi yang nembuat dia
terhibur, dia melihat kian lama kesehatan Ko Tie memang mengalami kemajuan. Ko
Tie telah mulai sehat menjelang pada hari ke tiga.
◄Y►
Selama kakek tua yang aneh itu
mengobati Ko Tie, selalu pula Kam Lian Cu diganggu oleh kera berbulu kuning
itu, yang berusaha mendekati si gadis dengan mengeluarkan suara yang aneh
sekali seperti suara mendesis, seperti suara mengerang.
Kam Lian Cu setiap kali
didekati oleh kera bulu kuning yang setinggi manusia itu, selalu jadi jijik.
Jika memang dia tidak memikirkan keselamatan Ko Tie dan takut kalau kakek tua
itu jadi marah, tentu Kam Lian Cu sudah menikam mati kera itu.
Terlebih lagi dia teringat
betapa kera ini telah berusaha untuk memperkosanya. Dan jika teringat akan hal
itu, maka dia selalu bermaksud membunuh kera tersebut.
“Tapi jika aku membunuhnya
kelak pun masih belum terlambat,” berpikir Kam Lian Cu akhirnya. “Jika memang
aku terpaksa akhirnya harus menjadi isteri putera kakek tua keparat ini, maka
di waktu itu akan membunuh kera ini pun masih belum lagi terlambat!”
Karena berpikir begitu, hati
Kam Lian Cu jadi lebih tenang. Dan diapun telah berusaha untuk mengendalikan
diri. Setiap kali didekati kera bulu kuning itu, dia selalu menyingkir tidak
melakukan reaksi apa-apa, dia hanya mendekati si kakek tua.
Dan kalau sampai tangan kera
bulu kuning itu jail, memegang-megang tubuhnya, dia membentaknya minta kepada
kakek tua itu agar mengusir kera itu dan tidak akan mengganggunya.
Sedangkan kakek tua tersebut
hanya tertawa-tawa dan menganggapnya lucu. Tapi selalu juga dia menuruti
permintaan Kam Lian Cu, dia selalu mengusir kera itu.
Kera itu pergi dengan
penasaran, sikapnya memperlihatkan bahwa dia tidak puas. Hal ini disebabkan
kera itu memang sangat ingin sekali dekat selalu dengan Kam Lian Cu.
Dia pun memang begitu bernafsu
berahi pada gadis ini, sikapnya seperti seorang pemuda yang tengah tergila-gila
pada seorang gadis cantik.
Pada hari ke enam, tampak Ko
Tie jauh lebih sehat. Sekarang dia telah dapat menggerakkan sepasang tangan dan
kakinya dengan leluasa.
Bukan main girangnya Kam Lian
Cu. Dia mengharap Ko Tie memang benar-benar dapat diselamatkannya.
Ko Tie pada malam hari ke lima
telah bersilat. Dia merasakan gerakannya cukup gesit.
Hanya saja, justeru di waktu
itu, dia bersilat dengan tenaga yang terus kosong, karena dia belum bisa
menyalurkan kekuatan tenaga lweekangnya.
Segera dia mengetahui, bahwa
tenaga lweekangnya terancam akan musnah.
Tapi kakek tua itu yang
melihat si pemuda termenung, dia bilang: “Kau jangan kuatir, setelah seminggu
kekuatanmu akan pulih kembali sebagaimana biasa! Tapi ingat jangan
sekali-sekali kau berusaha untuk menjadi lawanku dan memusuhiku, sehingga aku
terpaksa turun tangan buat memusnahkan lagi kepandaianmu itu!”
Waktu berkata begitu, sikap
kakek tua itu sungguh-sungguh, matanya juga memancarkan sinar yang tajam
sekali.
“Ada lagi syaratnya!” kata
kakek tua tersebut. “Jika memang telah sembuh dari lukamu, pada hari ke
delapan, di mana lweekangmu telah pulih kembali, maka harus meninggalkan tempat
ini! Aku tidak mau melihat tampangmu lebih lama lagi!”
Ko Tie tidak menyahuti, dia
hanya mengangguk saja. Dan dia berusaha untuk menyalurkan pernapasannya, dia
mengempos sin-kangnya. Tetap saja hawa murninya itu tidak dapat
dikendalikannya.
Karena itu, dia hanya dapat
menghela napas, dia kuatir kalau-kalau kakek tua itu gagal dengan janjinya,
bahwa dia akan pulih dengan sin-kang yang utuh.
Namun pada hari ketujuhnya,
justeru setelah seminggu ia diobati oleh kakek tua tersebut, dia merasakan
sin-kangnya mulai dapat dikendalikan. Pernapasannya telah dapat disalurkan
dengan lancar, sin-kangnya juga sudah dapat dikerahkan kepada Tan-tian.
Dengan dapatnya hawa murni itu
dikerahkan kepada Tan-tiannya, berarti Ko Tie telah sembuh seluruhnya.
Sekarang yang tinggal cumalah
beristirahat selama beberapa hari lagi, untuk memulihkan kesehatannya
benar-benar, dan sembuhlah Ko Tie.
Tapi justeru di waktu itu,
pada sore harinya, kakek tua itu telah berkata: “Sekarang kau telah sembuh,
karena itu, kuingatkan kepadamu, mulai besok aku sudah tidak mau melihat
tampangmu lagi! Kau sudah harus angkat kaki meninggalkan tempat ini!”
Ko Tie mengangguk.
“Baik, aku memang akan
melanjutkan perjalananku! Terima kasih atas pertolongan yang diberikan oleh
kau, Locianpwe!”
“Aku tidak mengharapkan terima
kasihmu, aku cuma mengharapkan setelah kau sembuh seperti sekarang, engkau
tidak menimbulkan kesulitan buatku!”
Muka Ko Tie berobah merah.
Di dalam hatinya dia memang
tengah memikirkan, Setelah sin-kangnya kumpul, dan ia sembuh, maka dia akan
menghadapi kakek tua itu untuk mencegah kakek itu memaksa Kam Lian Cu menjadi
mantunya. Maka dia telah berusaha untuk mempercepat mengerahkan sin-kangnya.
Dan Ko Tie berpikir, setelah
lewat satu hari lagi, di waktu itu tentunya dia telah leluasa untuk mengerahkan
sin-kangnya, sehingga dia dengan leluasa akan dapat mempergunakan
kepandaiannya, buat menghadapi kakek tua itu.
Justeru di saat itu si kakek
tua telah berkata dengan suara yang mengandung nada mengejek dan juga seperti
telah mengetahui isi hatinya, membuat Ko Tie jadi jengah juga.
Sebagai seorang yang selalu
tegak pada aliran putih..... yaitu jalan pek-to, maka dia tentu saja
menghormati kebaikan dan membenci kejahatan. Sekarang dia telah diselamatkan
jiwanya oleh kakek tua itu, karenanya dia sangat berterima kasih sekali pada
kakek tua tersebut.
Dan jika memang dia bermaksud
hendak menolongi Kam Lian Cu, maka dia harus menentang kakek tua itu, berarti
dia melakukan kebaikan dibalas dengan kejahatan. Inilah yang membuat hati Ko Tie
jadi bimbang dan tidak bisa segera mengambil keputusan.
Kam Lian Cu pun girang melihat
Ko Tie telah sembuh. Waktu si kakek tua dan kera bulu kuning berada di tempat
yang terpisah cukup jauh, maka si gadis telah berkata: “Malam ini kita akan
berusaha melarikan diri dari mereka!”
Ko Tie mengangguk ragu-ragu.
Waktu itu, tampak kakek tua
tersebut telah melangkah menghampiri, dia bilang kepada Kam Lian Cu.
“Mari sekarang kita melakukan
perjalanan, untuk dapat tiba di tempatku lebih cepat lagi! Kukira kawanmu itu
telah sembuh, dan besok dia bisa melakukan perjalanan meninggalkan tempat ini,
kau sudah tidak perlu menguatirkan keadaannya!!”
Hati Kam Lian Cu tercekat.
“Tidak!” katanya. “Aku ingin
menantikan sampai kawanku ini pergi dulu dari tempat ini, sehingga membuktikan
bahwa dia benar-benar telah sembuh.......!”
“Hemmm!” mendengus kakek tua
itu. “Kau terlalu mencari-cari alasan saja......!”
“Tapi aku telah berjanji
padamu, bahwa aku akan menuruti keinginanmu, asalkan kawanku jadi benar-benar
dapat disembuhkannya! Sekarang dia telah sembuh, tapi dia belum lagi sembuh
keseluruhannya. Dan jika dia telah bisa meninggalkan tempat ini, berarti dia
benar-benar telah sembuh!”
Kakek tua itu itu tidak mau
membantah dan berdebat dengan si gadis. Ia mengangguk dan mengajak si kera bulu
kuning buat tidur di atas sebatang pohon, nyenyak sekali tampaknya tidur
mereka.
“Hemmm, tampaknya tak mudah
kita melarikan diri dari mereka..... karena kakek tua itu walaupun dia
tertidur, tokh dia memiliki ilmu tinggi dan pendengaran yang sangat tajam
sekali! Karena itu, jika memang kita ingin melarikan diri, maka kita harus
menantikan menjelang tengah malam.....!” bisik Ko Tie kepada Kam Lian Cu,
dengan suara yang perlahan sekali.
Kam Lian Cu mengangguk.
Sedangkan Ko Tie untuk melihat
apakah tenaga dalamnya telah pulih, ia mengambil sebongkah batu yang dikepalnya
dalam cengkeraman tangan kanannya. Iapun kemudian mengerahkan tenaga dalamnya.
Seketika terdengar suara yang
perlahan sekali, ternyata batu dalam kepalannya itu telah menjadi remuk dan
hancur menjadi bubuk, dengan demikian telah membuat Ko Tie girang bukan main,
karena lweekangnya memang telah pulih sebagaimana biasa dan dia dapat
mempergunakannya dengan sebaik mungkin.
Kam Lian Cu melirik.
“Aku telah berhasil!” bisik Ko
Tie kemudian dengan suara yang perlahan.
Kam Lian Cu juga girang.
“Jika demikian kita berdua
tentu akan dapat menghadapi kakek keparat itu......!” kata Kam Lian Cu.
Ko Tie mengangguk.
“Ya, kukira jika kita maju
berdua, kakek tua itu masih dapat kita hadapi!”
“Tapi….?!” Kam Lian Cu tampak
ragu-ragu.
Ko Tie jadi heran.
“Kenapa?!” tanyanya.
“Kakek tua itu memiliki
kepandaian yang sangat tinggi sekali dan sukar juga kita menghadapinya,
terlebih lagi mengingat kau baru saja sembuh dari lukamu! Kalau kau
mengeluarkan tenaga berlebihan untuk menghadapinya, niscaya akan menyebabkan
lukamu itu akan kambuh kembali……!”
Ko Tie juga menyadari apa yang
dikatakan oleh Kam Lian Cu memang benar. Jika kelak ia menghadapi kakek tua
yang lihay itu, dan mempergunakan tenaga yang berlebihan, niscaya akan membuat
dia akan terlalu memaksakan mempergunakan tenaganya itu. Dan ini akan merugikan
dirinya, di samping itu kemungkinan dirinya akan kembali pula terluka di dalam.
Melihat Ko Tie tidak
menyahuti, hanya berdiam diri saja, Kam Lian Cu mengawasinya ia melibat pemuda
jadi tampak muram, tentunya ada sesuatu yang menyusahkan hatinya.
“Kenapa?!” tanya si gadis
perlahan.
“Benar juga apa yang kau
katakan, nona Kam……!” kata Ko Tie. “Memang dilihat demikian, sulit kita menghadapi
kakek tua itu walaupun kita maju serentak berdua……!”
Kam Lian Cu menghela napas.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa dingin.
“Walaupun kalian melatih diri
selama duapuluh tahun lagi, jangan harap kalian bisa menghadapi diriku!”
terdengar suara kakek baju kuning itu.
Tercekat hati Ko Tie dan Kam
Lian Cu.
Rupanya pembicaraan mereka,
walaupun hanya bisik-bisik belaka, telah diketahui oleh kakek tua tersebut.
Maka Ko Tie dan Kam Lian Cu akhirnya hanya berdiam diri sambil saling pandang.
Memang tidak mudah buat mereka
berdua menghadapi kakek tua tersebut. Dan hal ini mereka menyadarinya.
Akan tetapi, juga Ko Tie tidak
akan membiarkan Kam Lian Cu dibawa oleh kakek tua itu, yang katanya ingin
mengawinkan gadis itu dengan puteranya.
Demikian juga halnya dengan
Kam Lian Cu, tentu si gadis lebih baik mati dari pada dipaksakan seperti itu
oleh si kakek tua, karena putera si kakek pun ia tidak mengetahui bagaimana
rupa dan bentuknya.
Dengan melihat keadaan si
kakek seperti itu, maka Kam Lian Cu telah bisa membayangkannya, bahwa putera
dari kakek tersebut juga bukankah seorang yang tampan.
Di samping itu, yang
dikuatirkan oleh Kam Lian Cu dan Ko Tie kalau-kalau putera si kakek itu yang
sempat datang ke tempat ini, berarti mereka akan menghadapi kesulitan yang
lebih besar, karena memang putera si kakek niscaya memiliki kepandaian yang
tinggi sekali.
Sedang Ko Tie dan Kam Lian Cu
bengong saling pandang tanpa berkata apa-apa lagi, karena pendengaran si kakek
tua yang memang sangat tajam itu, maka ia pun rupanya telah memasang telinga
bukannya tidur, membuat Kam Lian Cu dan Ko Tie sempit sekali memiliki
kesempatan untuk dapat melarikan diri.
Di samping itu Kam Lian Cu pun
menyadari, bahwa jika kakek tua itu bermaksud membawanya dengan cara paksa,
tentu dia tidak akan berdaya mengadakan perlawanan.
Bisa saja kakek tua itu
menotoknya dan membawanya pergi dalam keadaan dia tidak berdaya seperti itu.
Sedangkan Ko Tie walaupun
berkepandaian tinggi, tetapi dia baru saja sembuh dari lukanya, jika sampai dia
mengerahkan tenaga dalamnya terlalu berlebihan, niscaya akan membuat dia
terancam bahaya yang tidak kecil.
Malah kepandaian kakek tua itu
juga setinggi dan selihay Oey Yok Su. Bagaimana mungkin Ko Tie bisa
menghadapinya. Karena itu, segera juga Kam Lian Cu menangis.
Tampaknya gadis ini memang
sangat bingung sekali.
Ko Tie melihat si gadis
menangis, segera menghiburnya, katanya: “Kau jangan bersusah hati, walaupun
bagaimana aku akan membelamu, nona Kam……!”
“Tapi..... tapi dia terlalu
lihay.....!” menangis Kam Lian Cu.
Ko Tie menghela napas.
Ia menyadari apa yang
dikatakan oleh Kam Lian Cu memang benar, yaitu kepandaian kakek tua itu sangat
lihay, tapi iapun bersedia buat mengadu jiwa guna melindungi si gadis.
Dalam hal ini, Ko Tie juga
tengah memperhitungkan, dengan cara apa dia bisa melawan dan menghadapi kakek
tua itu. Maka sekali lagi Ko Tie telah mengambil sebungkah batu, dia
meremasnya, sehingga batu itu kembali remuk dan menjadi hancur seperti juga
bubuk.
Di saat itulah tampak si kakek
melompat turun dari atas pohon, katanya dingin: “Hemm, lwekangmu belum lagi
pulih keseluruhannya, jika sampai kau mengeluarkan dan mempergunakan tenaga
yang berlebihan, niscaya akan membuat kau terluka di dalam yang lebih parah
lagi!”
Muka Ko Tie berobah, sedangkan
Kam Lian Cu memandang kuatir sekali.
Yang di kuatirkan Kim Lian Cu
dari Ko Tie, kakek tua itu merobah pikiran dan menyerang mereka.
Tapi Ko Tie diam-diam telah
memusatkan tenaga dalamnya, dia telah berwaspada dan bersiap sedia, karena
walaupun ia menyadari kakek tua itu memiliki kepandaian tinggi, tokh buat
belasan jurus dia masih bisa menghadapinya.
Dia ingin berusaha, untuk
dapat menghadapi kakek tua itu, di mana dia akan berusaha mengerahkan seluruh
kepandaiannya dan juga tenaganya. Di waktu dia menghadapi kakek tua tersebut,
dia akan berusaha membujuk si gadis agar melarikan diri.
Jika memang Kam Lian Cu
melarikan diri, tentunya kakek tua itu akan berusaha buat mengejarnya, dia akan
meninggalkan Ko Tie. Tapi Ko Tie akan melibatnya terus, sehingga kakek tua itu
tidak leluasa mengejarnya.
Di saat-saat seperti itu, si
gadis she Kam tentunya sudah melarikan diri jauh sekali.
Ko Tie pun akan dapat
melarikan diri dengan melepaskan si kakek mengejar Kam Lian Cu, sedangkan Kam
Lian Cu niscaya akan dapat mengatur sedemikian rupa, agar dia tidak
meninggalkan jejak buat si kakek.
Karena berpikir begitu, Ko Tie
diam-diam telah memusatkan tenaga dalamnya pada ke dua tangannya.
Tapi kakek baju kuning itu
sama sekali tidak menyerangnya, dia tertawa terkekeh dan kembali ke tempatnya,
tubuhnya melesat dan rebah di cabang pohon dekat kera bulu kuning itu.
Ko Tie menghela napas lega.
Segera juga Ko Tie pun
menceritakan kepada Kam Lian Cu tentang rencananya agar si gadis melarikan diri
dengan segera begitu dia menghadang si kakek.
Tapi Kam Lian Cu menggeleng.
Dengan suara yang sangat
perlahan karena kuatir kakek tua itu dapat mendengar percakapan mereka seperti
tadi, Kam Lian Cu bilang: “Tidak...... tidak mau aku mengorbankan dirimu demi
keselamatanku…….!”
Ko Tie tersenyum.
“Tapi kakek tua itu niscaya
akan bertempur setengah hati denganku. Begitu dia melihat engkau melarikan
diri, tentu dia tidak bisa mencurahkan seluruh perhatinnya kepada pertempuran
itu, dia niscaya akan berusaha mengejarmu.
“Sedangkan engkau dapat
melarikan diri jauh sekali, karena aku akan melibatnya terus, juga aku tidak
akan terlalu berat menghadapi kakek tua itu, karena dia niscaya jadi panik dan
akan segera tergesa-gesa berusaha mengejar dirimu.....!”
Mendengar keterangan yang
diberikan Ko Tie, Kam Lian Cu diam termenung sejenak.
Namun akhirnya ia mengangguk
mengerti, karena ia pun berpikir sama seperti Ko Tie
“Ya…… baiklah! Sebelumnya aku
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadamu.....!” kata si gadis dengan
suara mengandung perasaan terima kasih sekali kepada si pemuda.
Mereka saling pandang, dan
hati mereka saling berbisik lewat sinar mata mereka. Karena walaupun mereka
tidak mengucapkan sepatah perkataan pun juga, tokh kenyataaanya mereka itu
telah mengetahui akan isi hati masing-masing lewat sinar mata mereka.
Ko Tie malah telah mengulurkan
tangannya dia menggenggam tangan si gadis, menggenggamnya mesra dan lembut
sekali, meremasnya perlahan-lahan.
Memang si gadis cantik sekali.
Ia malah lebih cantik dari Giok Hoa.
Ko Tie di waktu itu teringat
kepada Giok Hoa, yang lincah dan juga adatnya menarik sekali. Tapi Kam Lian Cu
justeru memiliki sifat yang berbeda dengan Giok Hoa.
Jika Giok Hoa bagaikan bunga
Botan, maka Kam Lian Cu bagaikan bunga Pek-lian, teratai yang lembut, halus dan
juga mesra sekali, yang masing-masing memiliki perbedaan antara Giok Hoa dengan
Kam Lian Cu, karena satu dengan yang lainnya memiliki kelebihan dan
kekurangannya.
Waktu itu terdengar kakek baju
kuning telah mendehem, rupanya ia mengetahui perasaan muda-mudi itu.
Muka Kam Lian Cu berobah jadi
merah, dia segera menarik tangannya. Ko Tie juga merasakan pipinya panas sekali
karena malu.
Keadaan di tempat itu sunyi
sekali.
“Lebih baik-baik kita berusaha
sekarang, kau mencoba melarikan diri, dan aku yang akan menghadangnya……!” bisik
Ko Tie perlahan.
“Jika kera bulu kuning itu
mengejar dan merintangiku, bukankah aku tidak dapat melarikan diri lebih cepat
dari apa yang direncanakan?!” tanya Kam Lian Cu.
Ko Tie diam.
Mereka jadi berpikir keras
sekali.
Dalam keheningan di malam hari
seperti itu, mendadak terdengar suara pekik yang aneh dari tengah-tengah
angkasa. Suara pekik itu nyaring sekali.
Ko Tie jadi girang bukan main.
Dia mengenali suara itu, tapi ia tidak yakin dengan dugaannya.
“Apakah benar dia?!” pikir Ko
Tie di dalam hatinya. “Tidak mungkin….. mungkin jupa hanya kebetulan saja
suaranya yang sama.....!”
Kembali terdengar suara pekik
dan menggeleparnya sayap yang sangat kuat, menderu-deru.
Kakek baju kuning itu melompat
turun dari cabang pohon karena dia heran dan terkejut. Dia mengawasi ke atas,
untuk melibat sesuatu yang besar dan tengah terbang melayang-layang di tengah
udara.
Ko Tie bersiul nyaring.
Dia sengaja bersiul begitu
untuk mencoba saja, apakah benar suara pekik itu berasal dari burung rajawali
peliharaan Giok Hoa! Dia memang kenal dengan burung itu, suaranyapun dikenal
baik-baik olehnya.
Selama bersama-sama Giok Hoa
dulu di puncak gunung, iapun selalu bermain dengan burung rajawali yang luar
biasa itu. Cuma saja Ko Tie tidak yakin bahwa burung itu bisa muncul di sini.
Namun apa yang diragukannya
itu akhirnya buyar, karena memang begitu dia bersiul suara pekik itu menyahuti
semakin keras dan suara menggeleparnya sayap yang menimbulkan angin
menderu-deru kuat sekali terdengar.
Ko Tie jadi girang.
“Binatang apa itu?!” tanya Kam
Lian Cu dengan sikap yang berkuatir.
“Burung rajawali..... aku
kenal baik dengannya, dan ia pun jinak sekali, bisa di perintah……!” kata Ko Tie
memberitahukannya. “Jika memang benar Pek-jie, maka kita akan tertolong......
karena dia akan dapat membantu kita.....!”
Kam Lian Cu memandang heran.
Sedangkan Ko Tie bersiul lagi tiga kali. Dia bersiul dengan meniru suara yang
biasa Giok Hoa siulkan buat memanggil burung rajawali itu.
Sesosok bayangan yang besar
telah meluncur turun dari atas angkasa. Dan hinggap tepat di samping Ko Tie.
Benar saja, itulah burung
rajawali peliharaan Giok Hoa. Burung itu tampak girang bertemu dengan Ko Tie,
dia menggesek-gesekkan kepalanya pada lengan Ko Tie.
Kakek baju kuning itu
memandang dengan mata terbeliak lebar-lebar. Dia heran melihat burung rajawali
yang demikian besar dan tampak kuat dan gagah. Yang membuat dia lebih heran
justeru burung rajawali itu seperti menurut sekali pada Ko Tie, yang bisa
memanggilnya dengan siulan belaka.
Ko Tie waktu itu tertawa
perlahan, dia bilang: “Hemmm, sekarang kau telah datang buat membantu! Nah nona
Kam, kau bisa naik ke atas punggungnya, Pek-jie akan membawamu pergi terbang ke
tengah udara!”
Kakek baju kuning itu kaget,
dia melompat menghampiri.
“Kau…… kalian ingin melarikan
diri?!” tegurnya dengan suara yang dingin dan mengandung kemarahan.
Ko Tie baru saja menyahuti,
Pek-jie yang melihat sikap mengancam dari kakek baju kuning itu, telah
mengibaskan sayap kanannya, gerakannya tidak di sangka-sangka dan di luar
dugaan. Juga dari sayapnya itu mengeluarkan suara berkesiuran angin yang sangat
dahsyat menerjang kepada kakek baju kuning itu.
Kakek baju kuning tersebut
tengah melompat maju buat mendekati Ko Tie, tapi mendadak sekali dia merasakan
serangkum angin yang sangat kuat mendorong dirinya.
Kakek itu kaget dan heran.
Namun dia cepat sekali telah merangkapkan ke dua tangannya, dan mendorong.
Kakek tua itu rupanya tidak
memandang sebelah mata terhadap sampokan sayap burung rajawali itu, karena dia
yakin, begitu dia mendorong dengan kekuatan tenaga dalamnya, berapa kuatnya
tenaga burung itu sekalipun, tentunya dia akan terdorong terpental.
Namun burung rajawali itu
tetap saja berdiri tepat di tempatnya. Benturan tenaga yang terjadi membuat
kakek baju kuning itu yang kaget, karena tubuhnya tergetar dan dia hampir saja
terhuyung mundur, kalau saja dia tidak cepat-cepat mengerahkan tenaga dalamnya
pada kakinya. Kemudian si kakek telah mendorongkan telapak tangannya pula
dengan mengerahkan sin-kangnya lebih kuat.
Kali ini sayap burung rajawali
tersebut telah terdorong, dan burung itu terpekik, dia segera membarengi buat
terbang ke tengah udara.
Sedangkan kakek baju kuning
ini segera mengetahui bahwa burung rajawali putih yang tubuhnya sangat besar
itu bukanlah burung rajawali sembarangan. Iapun bersikap lebih hati-hati.
Ko Tie waktu itu telah
mengambil keputusan yang cepat sekali.
“Nona Kam, cepat kau lari……!”
berseru Ko Tie dengan suara yang nyaring, tubuhnya segera membarengi melompat
ke dekat kakek baju kuning itu.
Kam Lian Cu bimbang sejenak,
dia kemudian memutar tubuhnya, berlari dengan cepat sekali. Dia pikir, tentunya
dengan ada burung rajawali itu, Ko Tie akan dapat menghadapi kakek tua baju
kuning lebih baik lagi.
Malah kemungkinan nanti Ko Tie
akan dapat duduk di punggung rajawali itu, terbang ke tengah udara sehingga
dapat meloloskan diri dari kakek baju kuning itu.
Dengan mengerahkan ginkangnya,
ilmu meringankan tubuhnya, Kam Lian Cu berlari cepat sekali.
Kakek baju kuning itu
berjingkrak karena kagetnya melihat si gadis hendak melarikan diri.
“Hei, mau ke mana kau?!”
teriak kakek baju kuning itu bengis sekali. Tubuhnya juga melesat dan ia
bermaksud mengejar.
Tapi belum lagi dia bergerak,
dari arah belakangnya telah menyambar serangkum angin yang kuat sekali.
Itulah serangan yang dilakukan
oleh Ko Tie.
Waktu si gadis she Kam melesat
buat memelarikan diri, Ko Tie memang telah mengerahkan tenaga dalamnya.
Dan waktu dia melihat kakek
itu hendak mengejar Kam Lian Cu, tanpa membuang-buang waktu lagi segera juga ia
melompat dam menghantam dengan sebagian besar lweekangnya.
Hantamannya itu memang
dahsyat, dan kakek ini mengetahuinya dengan merasakan berkesiuran angin
serangan itu. Ia tidak berani menyambutinya.
Segera juga dia berhenti dan
membatalkan maksudnya untuk mengejar Kam Lian Cu. Dengan segera ia
menangkisnya.
“Dukk!” Ko Tie merasakan
tangannya seperti akan patah oleh tangkisan yang dilakukan kakek itu.
Namun Ko Tie nekad,
mati-matian dia menahan rasa sakit itu dan menghantam lagi dengan kekuatan
sepenuhnya, dia ingin berusaha mencegah kakek itu mengejar Kam Lian Cu.
Kakek tua itu mendongkol bukan
main, karena dia mengerti bahwa Ko Tie bermaksud hendak membendungnya dan
melibatnya agar dia tidak memiliki kesempatan mengejar si gadis.
Segera juga dia menangkis
lagi, sekali ini dengan kekuatan yang jauh lebih hebat. Dan iapun kemudian
membarengi dengan menyerang pula.
Ko Tie kaget. Waktu tangkisan
ke dua saling bentur dengan serangannya, dia merasakan tenaga kakek tua itu
kuat sekali, tulang pergelangan tangannya semakin sakit. Dia belum lagi bisa
melompat mundur menjauhi diri, dirinya telah dihantam begitu kuat oleh kakek
tua tersebut.
Terpaksa Ko Tie mengempos
seluruh kekuatannya, karena dia bermaksud menangkisnya.
Cuma saja Ko Tie menyadari,
kali ini tentu dia tidak akan berhasil membendung kekuatan tenaga dalam si
kakek.
“Bukkk……!” tangan mereka
saling bentur lagi. Ko Tie menggigit bibirnya. Dia merasakan tangannya seperti
semper tidak dapat digunakan lagi untuk menyerang, sulit untuk diangkat dan
juga sakitnya luar biasa, bagaikan tidak memiliki tenaga lagi.
Ko Tie bingung, jika memang
dia tidak berhasil melibat kakek tersebut, niscaya akan membuat kakek itu dapat
mengejar Kam Lian Cu. Hanya saja, cepat sekali dia bersiul. Burung rajawali itu
pun rupanya mengerti apa tugasnya.
Dengan disertai pekikannya
yang nyaring, burung rajawali itu telah menerjang kepada si kakek.
Kuat sekali sampokan ke dua
sayapnya.
Kakek tua itu kaget dan juga
sangat murka sekali. Dia berseru nyaring dan telah menghantam berulang kali
dengan ke dua tangannya.
Dia pun berkelit mengelakkan
diri ke sana ke mari. Apa yang dilakukannya itu benar-benar sangat cepat
sekali, namun burung rajawali itu pun cukup tangguh.
Yang membuat kakek itu
bertambah heran, dia melibat burung rajawali itu bergerak seperti juga dengan
mempergunakan jurus-jurus ilmu silat, karena tampaknya burung rajawali itu
bagaikan mengerti ilmu silat.
Maka untuk sesaat lamanya
kakek tua itu dapat dilibat oleh si burung rajawali.
Jika memang menghadapi burung
rajawali biasa saja, tentu dengan cepat dan mudah kakek tua itu akan dapat
merubuhkannya.
Hanya saja sayangnya, justeru
burung rajawali itu memiliki keluar biasaan dari burung rajawali lainnya.
Selain pandai berkelit ke sana ke mari, setiap sampokan dari sepasang sayapnya
seperti juga serangan tangan seorang ahli silat yang berbahaya, belum lagi
disebabkan tenaga burung rajawali itu yang memang sangat kuat sekali.
Dikala itu terlihat kakek tua
itu tambah gusar, berulang kali dia membentak bengis sambil menyerang dengan
tenaga dalam yang bisa mematikan.
Burung rajawali itu memang
terdesak, namun dia patuh terhadap perintah Ko Tie, dia terus juga melibat
kakek tua itu, menerjang dengan segala kehebatannya.
Kera bulu kuning mengeluarkan
pekikannya, dia berlari untuk mengejar Kam Lian Cu.
Tapi kera itu tidak bisa
berbuat banyak. Dia berlari baru beberapa tombak, di hadapannya telah
menghadang Ko Tie, yang membarengi tanpa membentak atau juga mengeluarkan suara
lainnya, telah menghantamnya.
Ko Tie memukul dengan tangan
kirinya, karena tangan kanannya yang tadi saling bentur dengan tangan si kakek
menjadi seperti semper tidak memiliki kekuatan tenaga lagi, tapi tangan kirinya
itu pun tidak kalah hebatnya karena dia menghantam dengan disertai kekuatan
lweekangnya.
Walaupun kera bulu kuning itu
memiliki ilmu silat yang rupanya diajarkan oleh si kakek tua itu, dan juga
sangat gesit, tokh dia tidak bisa menghindarkan diri dari hantaman tangan kiri
Ko Tie, yang mengenai telak sekali dadanya.
Dengan diiringi pekik
kesakitan dan kaget, kera itu terjungkal bergulingan di tanah.
Ko Tie tidak memberikan
kesempatan kera itu bernapas, ia melompat ke tempat kera tersebut, sambil
menghantam dengan tangan kirinya pula.
Kera itu telah merasakan
betapa kuatnya serangan Ko Tie, sehingga dadanya kena dihantam telak dan dia
menderita kesakitan, begitu bangun, tidak berani menghadapi Ko Tie, dia telah
memutar tubuhnya, berlari ke sana ke mari.
Ko Tie tersenyum puas. Dengan
demikian, berarti Kam Lian Cu akan dapat melarikan diri dengan leluasa.
Di waktu itu, burung rajawali
yang menghadapi si kakek menghadapi kesulitan.
Serangan si kakek luar biasa
sekali. Ia duduk bersimpuh di tanah. Ke dua tangannya itu saja yang bergerak ke
sana ke mari!
Setiap hantaman tangannya
mengandung kekuatan yang dahsyat sehingga burung rajawali itu tidak berani
mendekatinya. Bahkan akhirnya burung rajawali itu telah terbang berputar-putar
di atas si kakek sekali-kali dia menerjang turun, menukik dengan ke dua
cakarnya siap mencengkeram.
Tapi memang kakek itu hebat,
dengan cara bertempurnya seperti itu dia bisa menghadapi rajawali tersebut,
malah suatu kali, waktu burung rajawali itu menukik turun, kakek tersebut telah
menantikan dengan mata terpentang lebar-lebar.
Dia tidak menyerang dulu, dia
menantikan sampai burung rajawali itu menukik dekat sekali, dan sayap burung
itu tengah meluncur akan mengibas kepadanya. Setelah jaraknya terpisah tidak
begitu jauh, segera juga kakek tua tersebut menghantamkan tangannya kepada
sayap burung rajawali tersebut!
“Bukkk!” telak sekali hantaman
itu mengenai burung rajawali itu, pada sayapnya, sehingga burung rajawali itu
memekik kesakitan dan terbang tinggi sekali. Sayapnya itu ternyata kena di
hantam sangat hebat, sampai beberapa helai bulu sayapnya telah rontok dan
terbang jatuh ke tanah.
Ko Tie kaget tidak terkira
melihat burung rajawali sakti yang biasanya sangat tangguh, menghadapi kakek
itu, telah dibuat tak berdaya.
Burung rajawali itu, yang
menderita kesakitan karena sayapnya telah patah, hanya mengeluarkan suara pekik
yang nyaring berulang kali, terbang di udara tanpa berani menukik turun lagi.
Ko Tie segera melompat ke
dekat kakek tua itu, dia menghantam dengan tangan kirinya. Apa yang dilakukan
Ko Tie sangat nekad sekali, karena dia seperti juga sudah tidak memikirkan lagi
keselamatan dirinya, dia menghantam dengan sepenuh tenaganya.
Kakek tua itu tertawa dingin,
tangan kanannya telah menangkis.
“Dukk, dukk.....!” Tubuh Ko
Tie terpental dan bergulingan di tanah.
Seketika Ko Tie merasakan
dadanya sakit sekali ketika dia merangkak bangun!
Kakek tua itu telah melompat
berdiri, dia menggerakkan tangannya menyentil sebutir batu.
Batu itu menghantam telak
sekali jalan darah Hu-hiang-hiat si pemuda. Seketika Ko Tie merasakan sekujur
tubuhnya lemas tidak hertenaga, mendatangkan rasa sakit yang bukan main,
bagaikan tubuhnya dikoyak-koyak dan juga seluruh isi tubuhnya, perut dan
dadanya, seperti menjadi hancur.
Dengan mengeluarkan suara
keluhan, seketika dia pingsan tidak sadarkan diri..... Dia tidak tahu lagi apa
yang terjadi.
Tadi memang dia tidak sanggup
mengelakkan diri dari lontaran batu sentilan kakek tua itu, karena memang dia
tidak dapat menggerakkan tubuhnya dengan lincah, dadanya tengah sakit. Terlebih
lagi setelah ia tertotok seperti itu, membuatnya benar-benar jadi tidak berdaya
dan pingsan tidak ingat orang.......!
Kakek tua itu segera juga
menepuk tangannya. Kera bulu kuning berlari menghampirinya.
Bersama dengan binatang
peliharaannya, segera kakek tua itu melarikan diri..... untuk mengejar Kam Lian
Cu, karena dianggapnya bahwa sebelum burung rajawali itu sempat untuk menyerang
nekad kepadanya, lebih baik dia melarikan diri dan mengejar Kam Lian Cu. Kera
bulu kuning berlari-lari di belakangnya, mengikuti sambil berulang kali
mengeluarkan suara pekiknya yang sangat nyaring.
Burung rajawali itu tidak
mengejar si kakek karena dia menyaksikan bagaimana Ko Tie telah rubuh di tanah
dan kemudian diam tidak bergerak, pingsan. Segera juga burung rajawali itu
telah meluncur turun, hinggap di samping Ko Tie, sambil mengeluarkan suara
pekik yang perlahan, seperti juga tengah merintih sedih.
Burung rajawali itu tidak
berdaya untuk menyembuhkan Ko Tie, juga dia tidak berhasil untuk menyadari Ko
Tie dari pingsannya. Dia hanya diam disamping pemuda itu dengan berulang kali
mengeluarkan suara pekik yang lirih, ikut menyatakan tengah bersusah hati atas
kemalangan pemuda ini.
Tiauw-jie sebetulnya tengah
berusaha mencari majikannya, yaitu Giok Hoa. Setiap kali dia terbang
berkeliling di suatu tempat, dia mengeluarkan suara pekiknya dengan harapan
bahwa majikannya akan mendengarnya. Siapa tahu, justeru dia bertemu dengan Ko
Tie dan justeru mengalami, peristiwa seperti ini…….!”
Ko Tie masih rebah pingsan di tempatnya,
dalam keadaan tertotok dan juga terluka di dalam, karena tadi dia telah
mempergunakan tenaga yang melebihi takaran, juga memang dia baru saja sembuh.
Begitu tenaga dalamnya dikerahkan melewati takaran, membuat peredaran darahnya
bergolak, pernapasannya jadi seperti tersumbat, dan akhirnya luka di dalam itu
telah bergolak kembali. Dia terluka yang tidak ringan.
Itulah sebabnya mengapa
totokan kakek tua baju kuning itu sempat telah membuatnya pingsan tidak
sadarkan diri akibat penderitaan sakit yang luar biasa hebatnya yang membuat
dia seperti juga merasakan tubuhnya bagaikan dikoyak-koyak……
◄Y►
Siapakah kakek tua baju kuning
itu, yang kepandaiannya sangat lihay dan setingkat dengan kepandaian Oey Yok
Su? Dengan melihat kepandaiannya itu saja, kita sudah menduganya bahwa kakek
baju kuning itu bukanlah orang sembarangan. Dia setingkat dalam kedudukannya
dengan Oey Yok Su dan tokoh sakti dalam rimba persilatan yang lainnya.
Hanya saja, dulu-dulu mengapa
dia tidak pernah muncul memperlihatkan diri? Mengapa waktu Lima Jago Luar Biasa
memperebutkan gelar jago nomor satu, dia tidak pernah menampakkan diri, dan
tidak pernah tersiar berita tentang dirinya.
Padahal Oey Yok Su memiliki
pengalaman sangat luas pun tidak kenal padanya, hanya kagum buat kepandaiannya
yang memang sangat tinggi dan tidak berada di bawah kepandaiannya.
Sekarang diapun bermaksud
untuk mengambil Kam Lian Cu sebagai mantunya, dia telah bentrok dengan Oey Yok
Su, dan membuat Ko Tie tidak berdaya, padahal kepandaian Ko Tie pun tidaklah
rendah. Lalu membuat burung rajawali itupun tidak berdaya untuk mencegah
keinginannya buat mengejar Kam Lian Cu.
Sesungguhnya, dia seorang jago
yang memiliki kepandaian benar-benar sangat hebat. Dia hanya saja, tidak pernah
mau memperlihatkan diri di dalam rimba persilatan.
Perihal perebutan gelar
sebagai Jago nomor satu oleh Lima Jago luar Biasa, memang telah didengarnya.
Namun dia tidak tertarik buat mengambil bagian.
Dia hidup sebagai manusia
biasa, hanya setiap hari, setiap waktu, setiap menit, dia lebih mementingkan
berlatih diri. Tidak terlalu mengherankan jika ia bisa memiliki kepandaian yang
begitu tinggi. Karena tidak ada waktu yang luang dan disia-siakan begitu saja.
Diapun kini telah menjadi
seorang tokoh rimba persilatan yang sulit dicari tandingannya.
Sedangkan Oey Yok Su yang
memiliki kepandaian sudah mencapai tingkat paling sempurna, telah tidak berdaya
buat merubuhkannya, hanya saja kakek tua itu belaka yang mengakui bahwa
kepandaiannya berada di bawah kepandaian Oey Yok Su, tapi sesungguhnya,
walaupun mereka bertempur beberapa hari lamanya, belum tentu Oey Yok Su bisa
merubuhkannya.
Orang tua itu she Bun dan
bernama Siang Cuan. Dia sejak muda memang senang sekali akan ilmu silat, dan
juga telah melatih diri.
Ayahnya seorang hartawan kaya
raya. Tapi ketika orang tuanya mati, dan harta warisan jatuh ke tangannya, ia
mempergunakan uangnya buat mengundang puluhan orang guru silat, yang melatihnya
dengan sepenuh perhatian. Kemudian dengan uangnya itu ia juga telah berkelana
mencari-cari guru yang pandai.
Memang setiap kali ia
mempelajari ilmu silat, ia berhasil mempelajarinya dengan mudah sekali, karena
ia selain sangat cerdas pun memang memiliki bakat yang sangat baik sehingga
setiap ilmu silat yang diajarkan kepadanya selalu dapat dicernakannya dengan
cepat.
Namun sejauh itu Bun Siang
Cuan tidak juga puas dengan hasil yang telah di capainya. Ia terus juga mencari
guru-guru pandai, sampai akhirnya ia mendatangi Siauw-lim-sie.
Tapi ia ditolak karena
Hong-thio Siauw-lim-sie beranggapan seorang seperti Bun Siang Cuan yang begitu
besar keinginannya buat mempelajari ilmu silat, dan juga diwaktu itu telah
memiliki berbagai macam ilmu silat yang campur aduk, merupakan “bahan” yang
tidak baik buat dididik Siauw-lim-sie.
Permintaannya ditolaknya,
walaupun Bun Siang Cuan berulang kali telah datang buat memohon agar dirinya
diterima menjadi murid Siauw-lim-sie.
Akhirnya Bun Siang Cuan
bersakit hati karena tolakan Siauw-lim-sie. Iapun bertekad walaupun bagaimana
dia harus mempelajari ilmu silat yang tinggi, guna membuktikan kelak kepada
Siauw-lim-sie, bahwa ia sesungguhnya merupakan murid yang baik sekali buat
dididik.
Di waktu itu, ia telah
berlatih dengan tekun. Tekadnya semakin kuat untuk memperoleh kepandaian yang
tinggi.
Kemajuan yang dicapai oleh Bun
Siang Cuan memang pesat sekali. Dia telah berhasil untuk memupuk ilmunya, yang
dari berbagai dan campur aduk itu menjadi semacam ilmu yang berkombinasi,
membuat diapun tidak mudah untuk dirubuhkan oleh lawan yang berkepandaian
tanggung-tanggung. Malah cukup banyak jago-jago rimba persilatan yang punya
nama di dalam kalangan Kang-ouw telah dirubuhkannya.
Hanya saja, disebabkan
nafsunya yang begitu besar untuk dapat merubuhkan orang rimba persilatan
sebanyak mungkin, disamping untuk mempelajari ilmu silat Bun Siang Cuan pun
jadi memiliki musuh yang tidak sedikit, membuatnya sering dikejar-kejar oleh
jago-jago Kang-ouw ternama.
Untuk menghadapi jago-jago
ternama itu jelas Bun Siang Cuan belum lagi memiliki kemampuan, sehingga dia
telah melarikan diri ke berbagai tempat.
Di samping itu, tekadnya untuk
mempelajari ilmu silat semakin kuat. Dia baru mengerti, betapa pentingnya ilmu
silat, karena dengan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tentu dia perlu
jeri lagi kepada jago-jago rimba persilatan.
Dikala dia melarikan diri ke
perbatasan Sin-kiang, ia bertemu dengan seorang tua, yang ternyata merupakan
seorang tokoh sakti Tibet. Hanya saja jago tua yang aneh itu tidak mau
memberitahukan namanya, dia cuma menurunkan ilmu silatnya tanpa bersedia Bun
Siang Cuan memanggilnya sebagai guru.
Dengan demikian telah membuat
Bun Siang Cuan memperoleh kepandaian yang beberapa lipat lebih tinggi dari
sebelumnya. Hatinya jadi besar dan dia pun segera juga kembali ke daratan
Tiong-goan.
Dia mencari musuh-musuhnya.
Dia berhasil merubuhkan beberapa orang di- antara mereka.
Hanya sebagian lagi dari
musuh-musuhnya itu bekerja sama dan melakukan pengejaran padanya. Dikeroyok
oleh jago-jago yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu membuat Bun Siang
Cuan tidak berdaya lagi dan dia melarikan diri pula.
Karenanya, dia bermaksud
menyingkir dari Tiong-goan, buat pergi ke Tibet, dengan harapan di sana tentu
dia bisa bertemu dengan orang-orang pandai seperti gurunya.
Sepuluh tahun ia berada di
Tibet, memang cukup banyak orang pandai di sana yang menurunkan kepandaian
kepadanya! Tapi ketika ia kembali ke daratan Tionggoan, ternyata kepandaiannya
itu tidak berarti apa-apa.
Hal ini membuat dia berduka,
karena musuh-musuhnya juga semakin maju dengan kepandaian mereka.
Bun Siang Cuan segera berpikir
bahwa ia harus benar-benar memperoleh semacam ilmu yang hebat, barulah dia bisa
memiliki kepandaian yang tidak tertandingkan.
Waktu ia menyingkirkan diri
lagi ke Nepal, ia berkenalan dengan seorang gadis. Mereka jatuh cinta dan
menikah.
Ternyata ayah gadis itu,
seorang kakek tua, merupakan seorang jago terpendam dari Nepal yang sudah
siang-siang menyimpan pedang dan mengasingkan diri. Mengetahui mantunya senang
mempelajari ilmu silat, dia mengajari lagi, membuat kepandaian Bun Siang Cuan
memperoleh kemajuan lagi.
“Tapi ilmu silat tidak ada
batasnya, sampai kapanpun kau mempelajarinya, tidak mungkin hanya engkau
seorang diri yang memiliki kepandaian tinggi, sebab banyak juga orang lain yang
mati-matian mempelajari ilmu silat……!
“Aku memiliki sejilid kitab
ilmu silat kuno yang belum pernah kupelajari. Jika memang kau menginginkannya,
aku akan menghadiahkannya kepadamu. Usiamu masih muda, kau boleh
mempelajarinya.....
“Tapi ada ancaman pada kitab
itu, jika seseorang yang tidak kuat mempelajari isi kitab itu, jika umpamanya
orang itu melatihnya salah dan tersesat, orang itu akan sinting dan gila.....
Karenanya jika memang engkau merasa belum memiliki kepandaian dan kesangggupan
buat mempelajari isi kitab itu, kau jangan mempelajarinya dulu……!”
Begitulah pesan mertua Bun
Siang Cuan sebelum meninggal dunia karena sakitnya yang berat.
Bukan kepalang girangnya Bu
Siang Cuan menerima kitab pusaka tersebut.
Diapun segera mulai
mempelajari.
Baru mempelajari beberapa
jurus saja, kepandaiannya sudah mengalami kemajuan yang hebat dan menakjubkan,
seperti langit dengan bumi dibandingkan dengan kepandaiannya di waktu yang
lalu.
Semangat Bun Siang Cuan
terbangun, dia mati-matian mempelajari kitab itu.
Kepandaiannya menjadi luar
biasa. Cuma saja, dia jadi melupakan isterinya, yang membuat isterinya jadi
berduka dilanda kesepian, karena Bun Siang Cuan lebih sering mengurung diri
buat mempelajari ilmu silatnya.
Tidak jarang sampai setengah
tahun Bun Siang Cuan tidak menyentuh isterinya.
Dengan demikian
berangsur-angsur isterinya menjadi merana dan akhirnya jatuh sakit ketika ia
dalam keadaan mengandung muda.
Bukan main berdukanya Bun
Siang Cuan. Dia dapat dua pilihan menyudahi dulu latihannya pada ilmu silat di
kitab pusaka itu atau memang dia kehilangan isteri dan calon anaknya.
Tapi desakan jiwanya yang
ingin memperoleh ilmu silat yang tinggi demikian kuat. Dia hanya sempat lima
hari menghentikan latihannya, setelah itu ia giat lagi berlatih ilmu silatnya.
Isterinya kecewa bukan main,
sehingga akhirnya dia menderita sakit yang semakin parah, yang membuatnya
meninggal dunia.
Bukan main kaget dan
berdukanya Bun Siang Cuan, dia menangis menggerung-gerung sampai beberapa hari
lamanya. Dan ia menyesali, sekarang biarpun ia memiliki kepandaian yang sangat
tinggi, tokh percuma saja. Dia telah kehilangan orang yang disayanginya, juga
kehilangan calon anaknya.
Demikian berdukanya, sehingga
selama beberapa tahun dia berkelana dan tidak pernah melatih diri.
Akhirnya, karena terlalu
memikirkan calon anaknya yang lenyap dengan kematian isterinya akibat kurangnya
perhatiannya, Bun Siang Cuan bermaksud mengambil seorang anak. Dia tidak ingin
menikah lagi, cuma saja dia pun tidak tahu anak siapa yang pantas diambil
sebagai anaknya.
Pada suatu hari, ketika ia
berjalan-jalan di sebuah hutan, dia melihat kera yang tengah melahirkan. Kera
itu agak luar biasa, berbulu kuning. Dan di lihatnya anak kera itupun bersih
sekali. Maka segera tanpa dipikir panjang, dia menculik anak kera itu, kemudian
dianggap sebagai anaknya!
Sejak saat itu, Bun Siang Cuan
dengan “Anaknya” yang diberi nama Kim Go (Monyet Emas) itu, berdiam di dalam
hutan yang sepi dan terpencil. Dia melatih ilmu silatnya terus dengan giat dan
tidak pernah menampakkan diri di dalam rimba persilatan.
Demikian juga kepada Kim Go
telah diturunkan pelajaran ilmu silat. Sayangnya Kim Go hanya seekor monyet
yang tidak bisa menerima dengan baik dan sempurna akan ilmu silat yang
diajarkan Bun Siang Cuan.
Begitulah, tanpa dirasa
puluhan tahun telah lewat. Dan selama itu Bun Siang Cuan tidak pernah
menampakkan diri di dunia persilatan. Usianya telah lanjut, rambutnya semua
telah berobah putih dan Kim Go pun telah berusia puluhan tahun.
Mengenai monyet berbulu kuning
itu, dia memang sejenis monyet yang memiliki usia panjang dan juga hidup dengan
sikap dan kelakuan seperti manusia. Dia memang merupakan monyet yang sangat
aneh sekali, sehingga biarpun berusia puluhan tahun, dia masih tampak kuat dan
sehat.
Begitulah ayah dan “Anak”
telah hidup dengan tenteram di hutan itu.
Sampai akhirnya, timbul juga
keinginan di hati Bun Siang Cuan untuk melihat-lihat keadaan di dunia luar.
Dia mengajak “Anaknya” untuk
meninggalkan hutan itu. Dia lalu mendengar perihal Oey Yok Su berlima dengan
Ong Tiong Yang, Auwyang Hong, It Teng Taysu dan Ang Cit Kong, yang selalu
bertanding untuk memperebutkan gelar siapa yang tertinggi kepandaiannya.
Hati Bun Siang Cuan telah
tawar, dia tidak berselera untuk ikut mencampuri urusan tersebut.
Karena itu, dia telah hidup
menyendiri lagi. Puluhan tahun telah lewat lagi, dia hidup dalam suasana yang
sepi dan terasing bersama Kim Go.
Sampai akhirnya siapa sangka,
dia bersama Kim Go telah bertemu dengan Oey Yok Su.
Mengetahui orang yang
dijumpainya adalah Oey Yok Su, segera juga kumat lagi penyakit-penyakit
lamanya. Ia ingin mencoba kepandaian yang telah dipelajarinya dari kitab pusaka
yang diterimanya dari mertuanya. Ternyata kepandaiannya memang tinggi, karena
Oey Yok Su tidak mudah buat merubuhkannya.
Dan semua peristiwa yang terjadi
telah diikuti oleh anda sekalian di bagian depan.
Sekarang mari kita ikuti Bun
Siang Cuan yang tengah mengejar Kam Lian Cu. Dia berlari begitu pesat, tubuhnya
seperti terbang, dan juga kera bulu kuning itu, telah mengikutinya dengan sama
cepatnya.
Kam Lian Cu telah melarikan
diri dengan sekuat tenaganya mengerahkan ginkangnya, dia bermaksud untuk pergi
sejauh mungkin, agar lolos dari tangan Bun Siang Cuan.
Tapi siapa sangka, belum lagi
dia berlari terlalu jauh, dia telah melihat Bun Siang Cuan yang tengah
mengejarnya, berlari-lari bersama si monyet bulu kuning itu.
Bukan main kagetnya Kam Lian
Cu.
Semula ia menduga Ko Tie
dengan dibantu oleh burung rajawali itu, tentu akan dapat menghadapi Bun Siang
Cuan.
Siapa tahu, justeru kini Bun
Siang Cuan tengah berlari-lari mengejarnya, juga di belakang Bun Siang Cuan
tampak si kera bulu kuning yang dibenci oleh si gadis.
Mati-matian dia berusaha
berlari lebih cepat lagi, untuk dapat menyingkirkan diri.
Tapi dia ternyata tidak bisa
melepaskan diri dari kejaran Bun Siang Cuan, karena beberapa saat kemudian Bun
Siang Cuan telah berhasil mengejarnya dan hanya terpisah beberapa tombak lagi.
“Berhenti, atau aku akan turun
tangan mencelakai kau……!” bentak Bun Siang Cuan.
Tapi Kam Lian Cu mana mau
berhenti berlari, dia terus juga mengerahkan gin-kangnya buat berlari semakin
cepat.
Bun Siang Cuan rupanya jadi
mendongkol, dia menggerakkan tangan kanannya. Seketika serangkum angin
menyerang Kam Lian Cu, menotok jalan darahnya.
Si gadis yang tengah
mati-matian berlari mempergunakan seluruh tenaganya, jadi kaget waktu merasakan
tubuhnya jadi lemas tidak bertenaga, dan dia terjungkel rubuh bergulingan di
tanah.
Waktu Kam Lian Cu menyadari
apa yang terjadi, Bun Siang Cuan bersama Kim Go, kera bulu kuning itu, telah
berdiri di sampingnya. Kera itu menyeringai seperti seorang pemuda yang
bernafsu birahi terhadap seorang gadis cantik jelita.
Dikala itu tampak Bun Siang
Cuan tertawa bergelak-gelak.
“Walaupun bagaimana kau tidak
mungkin bisa terlepas dari tanganku……!” katanya kemudian. “Hemmm, walaupun
bagaimana engkau harus menjadi mantuku, harus menikah dengan puteraku......!”
Si gadis she Kam jadi
mengeluh, tapi dia benar-benar tidak berdaya.
“Bebaskan aku, aku akan
menuruti semua keinginanmu baik-baik!” kata Kam Lian Cu kemudian.
Si kakek she Bun menggelengkan
kepalanya.
“Tidak!” katanya sambil
menyeringai. “Kau tentu akan menimbulkan kesulitan lagi.....!”
Setelah berkata begitu, Bun
Siang Cuan membungkukkan tubuhnya, dia mengepit tubuh si gadis, dan berlari-lari
meninggalkan tempat itu.
Kera bulu kuning telah
mengikuti di belakangnya sampai mengeluarkan suara pekikan, pekik kegirangan.
Di waktu itu, tampak Bun Siang
Cuan telah berlari pesat sekali, karena dia ingin cepat-cepat tiba di tempat
kediamannya, di hutan yang sepi itu.
Tidak lama kemudian tibalah
dia di dalam hutan tempat tinggalnya, di depan sebuah goa yang cukup dalam.
Bun Siang Cuan telah
melemparkan tubuh si gadis ke dalam goa sampai tubuh si gadis terguling-guling.
“Baik-baiklah kau beristirahat
di situ, mantuku!” katanya kemudian dengan suara yang tawar.
“Tunggu dulu!” teriak Kam Lian
Cu ketika melihat kakek itu hendak meninggalkannya..... Dia kuatir nanti ši
kera bulu kuning mengganggunya lagi.
“Apa?!” tanya Bun Siang Cuan.
“Bebaskan aku, aku tidak akan
melarikan diri! Sebagai calon mantumu, apakah pantas aku diperlakukan seperti
ini?!” kata Kam Lian Cu.
Kakek tua she Bun itu
termenung sejenak tampaknya dia tengah berpikir keras.
Namun akhirnya dia mengangguk.
“Baiklah…..!” katanya. “Jika
memang demikian, kau berjanji memang tidak akan melarikan diri, aku bersedia
untuk membebaskan dirimu! Tapi ingat, jika sekali lagi kau mencoba untuk
melarikan diri, niscaya kelak aku sulit mempercayai perkataanmu lagi dan aku
akan menotok terus kau sampai tidak berdaya!”
Si gadis berdiam saja.
Bun Siang Cuan menghampiri dan
membebaskan totokannya, sehingga Kam Lian Cu bisa menggerakkan tangan dan
tubuhnya. Dia duduk.
“Kau tunggu di sini, aku ingin
mengambil makanan buat kau!” kata Bun Siang Cuan.
Kam Lian Cu cuma mengangguk
saja, karena dia memang tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
Sedangkan Bun Siang Cuan telah
meninggalkan tempat itu, kera bulu kuning telah mengawasi Kam Lian Cu dengan
sorot mata yang tajam berdiri di luar goa.
Kam Lian Cu ngeri kalau saja
kera itu menerjang masuk dan hendak memperkosanya. Namun dia tentu akan dapat
memberikan perlawanan karena kera itu tidaklah terlalu lihay baginya, juga dia
tidak dalam keadaan tertotok.
Kera bulu kuning itu, rupanya
memang tahu penyakit, karena dia tidak berusaha memasuki goa itu. Dia
menyadarinya, jika memang dia berusaha menerjang juga memasuki goa itu, niscaya
akan dihajar oleh si gadis. Sedangkan kepandaiannya memang tidak dapat
menandingi gadis itu, di mana selain dia pernah dilukai oleh Kim Lian Cu, juga
dia pernah dihajar oleh gadis itu sampai tidak berdaya.
Kera itu cuma mengawasi Kam
Lian Cu dengan sorot mata yang meagandung nafsu berahi yang kuat sekali……
Tidak lama kemudian Bun Siang
Cuan telah tiba di tempat itu lagi, dia membawa beberapa macam buah-buahan.
Diberikannya kepada Kam Lian
Cu. “Kau makanlah, untuk menyegarkan dirimu!” katanya kemudian.
Kam Lian Cu mengawasi bimbang,
namun akhirnya dia menerima juga pemberian itu. Dia memakannya perlahan-lahan.
Kim Go juga memakan beberapa
buah yang di bawa Bun Siang Cuan. Dia masih tetap mengawasi si gadis dengan
mata yang memancarkan sinar mengandung berahi.
Waktu itu Kam Lian Cu
teringat, segera tanyanya: “Mana puteramu.....?!”
Si kakek tertawa.
“Nanti aku akan beritahukan……!”
katanya sambil melirik kepada Kim Go.
Bun Siang Cuan tiba-tiba saja
merasa malu, buat memberitahukan kepada Kam Lian Cu, bahwa yang disebut
puteranya adalah Kim Go, kera bulu kuning itu.....
Kam Lian Cu heran melihat
sikap si kakek tua itu, dia memakan terus buah-buahan itu.
Sampai akhirnya kakek tua itu
bilang:
“Sekarang kukira telah tiba
waktunya aku memberitahukan kepadamu, bahwa puteraku itu, sesungguhnya memang
buruk tubuhnya, tapi hatinya memang sangat baik, maka jika telah kuperkenalkan
kalian, kau harus memperlakukannya baik-baik!”
Kam Lian Cu tertawa dingin. Si
gadis telah berpikir, jika memang putera kakek itu kelak telah diperkenalkan
dia merupakan seorang laki-laki yang kasar, dia lebih baik bunuh diri saja.
Sedangkan kakek tua itu telah
berkata lagi: “Kau mau mengetahuinya sekarang? Mau kenal calon suamimu?”
Kam Lian Cu mengangguk saja.
Si kakek tampak ragu-ragu.
“Aku..... aku.......!” katanya
penuh kebimbangan.
Kam Lian Cu tambah heran
melihat sikap kakek tua itu, segera juga dia menduga, pasti ada sesuatu yang
hebat pada diri puteranya itu.
“Kenapa?” tanya Kam Lian Cu.
Kakek tua itu masih juga
ragu-ragu.
“Sebetulnya…… sebetulnya……!”
kata kakek itu kemudian.
“Sebetulnya kenapa?!!”
Kakek tua itu masih ragu-ragu.
“Jika memang aku
memperkenalkannya, apakah engkau tidak akan mencela puteraku itu. Karena kau
harus mengerti, jika kau mengeluarkan kata-kata yang melukai hatiku, aku akan
membunuhmu.....!” kata kakek tua tersebut.
Kam Lian Cu cuma mendengus
saja.
Melihat si gadis tidak
menyahuti, kakek tua itu bertanya lagi: “Apakah sekarang saja kau ingin
diperkenalkan dengan anakku itu?!”
Kam Lian Cu cuma mengangguk.
“Inilah anakku…… Kim Go!” kata
si kakek kemudian sambil menunjuk kepada kera bulu kuning itu, yang tampaknya
jadi malu-malu dan menunduk.
Sedangkan Kim Go waktu itu
juga terus dengan sikapnya seperti itu, dan berbeda dengan Kam Lian Cu, yang
melihat kakek tua itu menunjuk kepada Kim Go, seketika dia telah memandang
dengan mata terpentang lebar-lebar. Seakan juga Kam Lian Cu tidak mempercayai
apa yang didengarnya.
“Itu..... itu anakmu?!” kata
Kam Lian Cu kemudian setelah bersadar, suaranya tak lancar!
Si kakek jadi tegang
sendirinya, dia mengangguk.
“Ya..... memang dialah
puteraku, namanya Kim Go.”
Muka Kam Lian Cu berobah merah
karena marah bukan main! Dia hendak dikawinkan dengan seekor monyet? Dianggap
apakah dia sebenarnya oleh kakek tua itu?
Dan akhirnya Kam Lian Cu
tertawa bergelak-gelak.
“Kau mungkin telah sinting?
Mana mungkin aku hendak dikawinkan dengan seekor kera?” kata si gadis kemudian
dengan suara yang nyaring, di antara kemarahan dan isak tangis yang ditahannya,
karena Kam Lian Cu merasakan, itulah suatu penghinaan yang luar biasa hebatnya
buat dia.
Muka kakek tua itu berobah.
“Kau?” tampaknya dia marah
sekali, “Jangan kau sekali-sekali menghina Kim Go!”
“Hemmm, aku lebih baik mati
dari pada harus kawin dengan seekor kera.....!” kata Kam Lian Cu dengan suara
yang nyaring.
Muka Bun Siang Cuan berobah
dia mengawasi tajam kapada Kam Lian Cu.
“Kau.....kau mengatakan lebih
baik engkau mati dari pada menikah dengan anakku?” tanya Bun Siang Cuan dengan
suara yang bengis.
Kam Lian Cu serasa ingin
menjerit menangis sejadi-jadinya, karena benar-benar dia merasa terhina sekali,
di mana dia akan dinikahkan dengan seekor kera.
Tapi dia mengetahui bahwa dia
dalam keadaan tidak berdaya, karena ia tidak mungkin bisa menghadapi kakek tua
itu.
Maka dari itu, Kam Lian Cu
sudah tidak berhasil menahan hatinya, kesedihannya dan kemarahannya, dia
menangis sejadi-jadinya. Diapun berpikir, paling tidak jika memang kakek tua
itu marah, maka dia akan dibunuh. Akhirnya karena terlalu sedih, dia jatuh
pingsan.......
◄Y►
Kini mari kita melihat dulu
keadaan Ko Tie, yang rebah dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri. Di
sampingnya tampak rajawali yang setia itu berdiam dengan sekali-kali
memperdengarkan suaranya yang lirih.
Rupanya rajawali tersebut juga
sangat prihatin dengan keadaan Ko Tie, yang diketahuinya merupakan kawan baik
dari majikannya, yaitu Giok Hoa.
Di waktu itu Ko Tie masih
dalam keadaan pingsan, mukanya pucat pias.
Sedangkan waktu beredar terus,
keadaan di tempat itu telah terang oleh sinar matahari fajar, yang memancarkan
sinarnya sehingga membuat tempat itu jadi hangat.
Ko Tie masih juga belum sadar
dari pingsannya, membuat rajawali itu tambah bingung. Sedangkan sayap kanan
dari burung rajawali itu masih juga patah dan mendatangkan rasa sakit yang
tidak sedikit buat rajawali itu.
Namun karena memikirkan
keselamatan Ko Tie, telah membuat rajawali itu seperti juga sudah tidak
merasakan lagi perasaan sakit pada sayapnya, pada ujung tulang sayapnya itu,
yang patah akibat hantaman tangan Bun Siang Cuan.
Waktu itu perlahan-lahan Ko
Tie telah bergerak dan mengeluarkan suara keluhan. Matanya juga bergerak-gerak
pelupuknya, dan kemudian terbuka.
Namun begitu dia membuka
matanya dan tersadar, Ko Tie menggerakkan tubuhnya, segera ia mengeluarkan
suara jeritan. Dia rebah kembali dengan mengeluarkan suara keluhan.
Rupanya waktu Ko Tie hendak
berusaha bangun, dadanya dirasakan sakit bukan main.
Akibat totokan yang dilakukan
oleh Bun Siang Cuan, telah membuat peredaran darahnya tidak lancar. Itu pun
karena dia dapat menggerakkan tubuhnya karena totokan itu telah punah
sendirinya dan lewatnya sang waktu.
Sedangkan burung rajawali
tersebut seketika melihat Ko Tie telah bergerak dan tersadar dari pingsannya,
jadi sangat girang. Dia mengeluarkan pekik yang cukup nyaring.
Mendengar pekik burung
rajawali itu, Ko Tie menoleh dan melirik melihat burung raja wali itu.
Dia tersenyum, karena hatinya
terhibur juga bahwa rajawali itu masih berada di dekatnya. Dan ia segera
bersiul, memberitahukan kepada burung itu, bahwa dia dalam keadaan terluka yang
cukup parah.
Burung rajawali itu seperti
juga mengerti arti siulan itu, dia mengeluarkan suara pekik yang lirih dan
perlahan sekali, mengangguk-anggukan kepalanya.
Di waktu itu tampak Ko Tie
telah berusaha untuk bangun lagi. Namun sekali lagi dia mengeluh, karena begitu
dia menggerakkan tubuhnya, seketika ia merasakan tubuhnya pada sakit, serasa
tulang-tulangnya hendak bercopotan, dada dan isi perutnya seperti terbalik,
sehingga dia gagal buat bangun, dan tetap saja rebah di tempatnya itu.
Burung rajawali itu telah
menggesek-gesekkan kepalanya ke dada Ko Tie, seakan juga memang burung rajawali
itu hendak menghiburnya.
Sedangkan Ko Tie berpikir
keras.
Dia telah melihat keadaan di
tempat itu sepi sekali. Jika memang ia rebah terus di situ dalam keadaan tidak
terdaya, di samping memang lukanya akan semakin parah, juga akan membuat dia
mati kelaparan. Burung rajawali iapun tidak mungkin dapat melakukan sesuatu
buat menolonginya.
Dikala itu burung rajawali
tersebut berusaha menggerak-gerakkan sayapnya buat terbang. Tapi dirasakan
sayap kanannya itu sakit bukan main setiap kali dia menggerakkannya.
Ko Tie hanya bisa mengawasi
saja.
Diam-diam pemuda ini
memikirkan dan menguatirkan sekali keselamatan Kam Lian Cu.
Entah bagaimana nasib si
gadis, karena dia tidak mengetahui apakah Kam Lian Cu dapat melarikan diri dari
kejaran si kakek Bun Siang Cuan, atau memang dia gagal dan kena dibekuk oleh
kakek tersebut. Karena itu, hati Ko Tie pun jadi tidak tenang.