Nyo Ko lantas masuk ke ruangan dalam serta menutup pintu,
lalu ia berbaring disamping Siao-liong-li, diam2 ia sedang mengingat2 muka si
pengemis gemuk tadi seperti sudah pernah dikenalnya, cuma di mana, seketika tak
teringat.
Kedua pengemis gemuk kurus itu menyangka Nyo Ko benar2
seorang pemburu miskin, maka mereka tidak menaruh perhatian padanya, sembari
makan daging rusa panggang mereka lantas mulai mengobrol Si pengemis kurus
berkata: "Melihat api yang berkobar di Cong-lam-san itu, agaknya sudah
berhasil."
dimana tiba pasukan Mongol disitu lantas ditaklukkan
hanya sekawanan Tosu Coan-cin-kau saja apa artinya lagi?" ujar si pengemis
gemuk dengan tertawa.
"Tapi beberapa hari yang lalu Kim-lun Hoat-ong dan
begundalnya telah pulang dengan mengalami kekalahan yang mengenaskan,"
kata si kurus.
"Itupun baik, biar Sri Baginda tahu bahwa untuk
menduduki tanah air bangsa Han ini juga diperlukan tenaga bangsa Han sendiri,
kalau melulu mengandalkan orang Mongol dan orang asing lainnya jelas tidak
jadi."
Sampai di sini, tiba2 Nyo Ko teringat pada si gemuk ini
juga pernah dilihatnya dalam pertemuan besar kaum ksatria dahulu, cuma waktu
itu si gemuk ini memakai mantel kulit dan berdandan sebagai orang Mongol serta
selalu ber-bisik2 di samping Kim-lun Hoat-ong, jelas inilah orangnya. Diam2 ia
merasa gemas, pikirnya:
"Apa yang mereka bicarakan melulu urusan
pengkhianatan belaka, kebetulan kepergok olehku, tidak dapat kuampuni
mereka."
Kiranya pengemis gemuk ini adalah satu di su-tay-tianglo
(empat tertua) dalam Kay-pang, yaitu Peng-tiangIo. perbuatannya memang khianat
sudah lama dia menyerah kepada pihak Mongol.
Begitulah terdengar si pengemis kurus sedang berkata
pula: "Peng-tianglo, sekali ini apabila Kay-pang aliran selatan jadi
didirikan, entah pangkat apa akan kau dapat dari raja Mongol?"
"Raja menjanjikan pangkat "panglima besar
wilayah selatan" padaku," jawab Peng-tianglo. "Akan tetapi
seperti kata pribahasa kita, mengemis tiga tahun lebih bebas daripada jadi raja
tiga hari. Kaum pengemis seperti kita masakah ingin menjadi pembesar
segala?"
Walaupun demikian katanya, namun dan balik ruangan sana
Nyo Ko dapat menangkap nada ucapannya yang penuh ambisi dan harapan itu.
"Wah, untuk itu terimalah lebih dulu ucapan selamat
dariku," kata si kurus.
"Selama beberapa tahun terakhir ini, jasamu juga
tidak kecil, kelak tentu kau juga akan mendapat bagian yang sesuai."
"Soal kedudukan tidak berani kuharapkan cuma engkau
pernah menjanjikan Liap hun-tay-hoat (ilmu pengikat sukma, serupa hipnotisme
sekarang), bilakah baru engkau akan mengajarkannya kepadaku?"
"Nanti kalau Kay-pang selatan sudah berdiri dengan
resmi, setelah aku menjadi Pangcu dan begitu ada waktu luang segera akan
kuajarkan padamu."
"Kukira setelah engkau menjadi Paagcu serta diangkat
menjadi panglima, pekerjaanmu tentu semakin banyak dan sibuk, mana ada waktu
luang?"
"Ah, masakah kau tidak percaya padaku," ujar
Peng-tianglo dengan tertawa.
Si kurus tidak bicara lagi, hanya hidungnya mendengus
pelahan, tampaknya dia masih ragu.
Diam2 Nyo Ko membatin: "seluruh dunia hanya ada satu
organisasi Kay-pang tanpa membedakan utara dan selatan, untuk apa dia mau
mendirikan Kay-pang aliran selatan segala, ini pasti permainan gila orang
Mongol."
Terdengar Peng-tianglo sedang berkata pula dengan
tertawa: "Setelah berkeliling, hendaklah kau menyebarkan perintah si setan
tua she Ang, katakan utara dan selatan teralang dan sukar mengadakan kontak,
maka utara dan selatan perlu dipisahkan menjadi dua."
"Dan anggota bagian selatan dengan sendirinya berada
di bawah pimpinanmu" kata si kurus dengan dingin.
"Juga tidak perlu begitu, biarlah kita mengangkat
dulu Kan-tianglo sebagai ketua, usianya lebih tua, anak muridnya juga banyak,
orang lain tentu tidak curiga, Nanti kalau dia sudah kupengaruhi dengan
Liap-hun-tay-hoat, tentu dia akan menyerahkan kedudukannya padaku, tatkala mana
segalanya akan menjadi beres dengan sendirinya."
"sebenarnya Ang-lopangcu sudah lama wafat, kalau
kusiarkan lagi perintah palsu beliau, mungkin akan lebih menimbulkan curiga
orang, Melulu mengandalkan Holo palsu ini rasanya sukar mendustai orang terus
menerus, kalau kepungan terhadap Siang-yang sudah mereda dan Ui-pangcu datang
mengusut persoalan ini, wah, biarpun jiwaku pakai serep juga akan melayang
semuanya."
"Hahaha!" Peng tianglo tertawa, "Asal kau
bertindak secara cepat, maka urusan juga akan cepat beres, mengenai perempuan
hina she Ui itu, kini dia terkepung di kota, jiwanya pasti sukar
tertolong"
Sampai di sini barulah Nyo Ko mengetahui duduknya
perkara, kiranya Holo merah itu adalah tiruan, lantaran tiada orang yang
menyaksikan meninggalnya Ang Jit-kong, mereka berdua lantas membawa Holo palsu
itu untuk mempengaruhi murid2 Kay pang, karena seruan yang mereka sebarkan itu
mengenai tugas suci kaum pahlawan, demi negara dan bangsa, sebab itulah anggota
Kay-pang tidak menaruh curiga.
Kalau semua anggauta sudah percaya penuh barulah
Peng-tianglo itu akan berusaha mendirikan aliran cabang untuk memecah belah
Kay-pang, itu organisasi terbesar pada jaman itu.
Meski Nyo Ko hanya berkumpul beberapa hari saja dengan
Ang Jit-kong, tapi dia benar2 kagum dan hormat terhadap sifat ksatria tokoh tua
itu, pikirnya: "Ang-locianpwe sedemikian perkasa, nama baiknya sesudah
meninggal tidak boleh dirusak oleh kaum tikus celurut begini."
Apalagi iapun teringat kepada keganasan pasukan Mongol
yang dilihatnya di sepanjang jalan, maka diam2 ia bertekat akan membunuh
kedua-jahanam ini.
Begitulah terdengar si pengemis kurus tadi sedang berkata
pula: "Peng-tianglo, barang yang sudah kau janjikan, kapan2 juga harus kau
berikan, cuma kulihat engkau rada2 lain di mulut lain di hati."
"Habis kau mau apa?" tanya Peng-tianglo dengan
tak senang.
"Aku berani apa?" jawab si kurus, "Hanya
aku ini memang penakut, selanjutnya aku tak berani lagi menyiarkan perintah
palsu Ang-pangcu."
Diam2 Nyo Ko anggap ucapan si kurus itu benar2 goblok,
barangkali ingin mampus, makanya berani berkata begitu.
Terdengar Peng-tianglo lantas bergelak tertawa katanya:
"Baiklah, urusan ini dapat kita rundingkan lagi, jangan kau sangsi."
Setelah berhenti sejenak, kemudian si kurus berkata pula:
"Sisa daging rusa ini tidak kenyang kita makan, biar kupergi mencari
buruan lain."- Habis itu ia lantas membawa busur dan anak panah dan
melangkah keluar.
Segera Nyo Ko mengintip dari sela2 dinding papan,
dilihatnya begitu si kurus pergi, Peng-tiango itu juga lantas berbangkit dan
mclolos belati serta mendengarkan gerak-gerik kawannya dari balik pintu,
setelah mendengar suara tindakan si kurus sudah pergi jauh, dengan ber jengket2
iapun menyelinap keluar.
Dengan tertawa Nyo Ko membisiki Siao-liong-li:
"jelas kedua jahanam ini akan saling bunuh, kebetulan bagiku, dapat ku
irit tenaga, Ku-lihat si gemuk itu jauh lebih lihay dan sikurus bukan
tandingannya.
"Paling baik kalau keduanya tidak datang kembali
semua dan gubuk ini akan tenang dan tenteram tak terganggu," ujar Siao
-liong li.
Nyo Ko mengiakan, Mendadak ia mendesis pula dengan suara
tertahan: "Dengarkan suara tindakan orang." - Terdengar ada orang
berjalan dengan ber-jinjit2 di lereng sebelah barat terus memutar ke belakang
gubuk.
"Agaknya si kurus tadi menyusup kembali hendak
menyergap si gemuk," bisik Nyo Ko pula dengan tersenyum. Segera ia menolak
daun jendela dan melompat keluar dengan enteng tanpa mengeluarkan suara
sedikitpun.
Benar juga dilihatnya si pengemis kurus sedang mengintip
di antara sela2 dinding. Rupanya ia menjadi ragu2 karena tidak menemukan
bayangan si gemuk.
Pada saat itulah Nyo-Ko telah berada di belakangnya dan
mendadak mengikik tawa
Sudah tentu si kurus kaget, cepat ia berpaling dengan air
muka ketakutan karena menyangka Peng tianglo yang berada di belakangnya, tapi
si Nyo Ko lantas berkata dengan tertawa: "Jangan takut, jangan
takut!" Berbareng itu cepat sekali ia menutuk tiga Hiat-to penting di
bagian dada, iga dan kaki orang, lalu ia menjinjing tubuh si kurus ke depan
gubuk.
Ia memandang sekelilingnya yang sunyi dan salju belaka,
itu, tiba2 timbul sifat kanak2nya, serunya: "Liongji, lekas kemari,
bantulah aku membikin orang2an salju,"- Habis itu ia terus mengeduk salju
yang memenuhi bumi itu dan diurukkan pada tubuh si pengemis kurus.
Siao-liong-li lantas keluar dari gubuk dan membantunya,
dengan tertawa cekakak dan cekikik Nyo Ko dan Siao-liong-li benar2 seperti anak
kecil saja, hanya sebentar seluruh badan pengemis kurus itu sudah penuh diuruki
salju.
Selain sepasang biji mata saja yang masih dapat bergerak,
kini pengemis kurus itu telah berubah menjadi orang salju yang gemuk laksana
"gajah bengkak", malahan pada punggungnya masih menggendong Holo
besar yang juga berlapiskan bunga salju.
"Hahaha, kakek kurus kering ini hanya sekejap saja
telah berubah menjadi gemuk dan putih," kata Nyo Ko sambil tertawa.
"Dan kakek aslinya memang gemuk dan putih itu nanti
akan kau permak menjadi apa?" ujar Siao-liong-ii dengan riang.
Belum lagi Nyo Ko menjawab, terdengarlah Iangkah orang
dari jauh. cepat anak muda itu mendesis: "Ssssst, si gemuk sudah kembali,
lekas kita sembunyi dulu."
Cepat mereka masuk lagi ke dalam rumah dan merapatkan
pintu kamar, Siao liong-li sengaja menggoyangkan Kwe Yang agar anak itu
menangis, tapi niatnya tiada berhenti menimangnya agar lekas tidur.
Selama hidupnya tidak pernah Siao-liong-li berdusta dan
berbuat munafik, perbuatan yang aneh dan licik ini malahan belum terbayang
olehnya, soalnya dia melihat Nyo Ko suka berbuat begitu, maka iapun ikut ramai2
saja.
Dalam pada itu Peng-tianglo telah kembali, sepanjang
jalan ia mengikuti jejak kaki, dilihatnya jejak kaki si kurus itu memutar balik
dan sembunyi di kiri belakang rumah, maka iapun mengikuti jejak itu ke
belakang, lalu sampai pula di depan rumah.
Dari sela2 dinding Nyo Ko dan Siao-liong-li dapat melihat
si gemuk sedang mengintip ke dalam rumah dengan menggenggam belati dan siap
siaga. Meski pengemis kurus yang diuruki salju itu merasa kedinginan setengah
mati, tapi dia masih sadar, di lihatnya Peng-tianglo justeru berada
disampingnya, tapi sedikitpun pengemis gemuk itu tidak menyadari hal ini, asal
si kurus ayun tangannya ke bawah pasti dapat membinasakan si gemuk, celakanya
tiga tempat Hiat-to si kurus tertutuk dan takbisa berkutik.
Tampaknya Peng-tianglo sangat heran ketika mengetahui si
kurus tidak berada di dalam rumah, ia lantas mendorong pintu dan sedang
memikirkan ke mana perginya pengemis kurus itu, pada saat itulah tiba2
terdengar suara orang berjalan mendatangi. Muka Peng-tianglo tampak berkerut
lalu sembunyi di balik pintu untuk menanti pulangnya si kurus.
Siao-liong-li dan Nyo Ko juga sangat heran, jelas
pengemis kurus itu sudah menjadi orang salju, mengapa ada orang datang pula?
Baru mereka berpikir, segera terdengar bahwa yang datang itu seluruhnya dua
orang, jelas adalah pendatang baru dan bukan si kurus.
Karena Peng-tianglo itu bertujuan jahat dan bertekad akan
membinasakan si kurus, pula daya pendengarannya memang kalah tajam daripada Nyo
Ko dan Siao-liong~li, maka dia tidak mendengarnya dan baru tahu dugaannya
meleset dan setelah kedua pendatang itu sudah berada di depan rumah..
"0-mi-to-hud: (Adhi Budaya)!" terdengar seorang
di antaranya mereka menyebut Budha, "Karena kehujanan salju, kami mohon
Sicu suka memberi mondok semalam di sini."
Peng-tianglo lantas menyelinap keluar, dilihatnya di
tanah salju sana berdiri dua Hwesio tua, seorang alis jenggotnya sudah putih,
wajahnya welas asih, seorang lagi jenggot hitam kaku dan memakai jubah hitam,
walaupun di musim dingin, namun pakaian kedua pendeta itu sangat tipis.
Selagi Peng-tianglo melengak dan belum menjawab, tahu2
Nyo Ko sudah keluar dan berseru: "Silakan masuk, Toa hwesio! Orang dalam
perjalanan memangnya membawa rumah sendiri?"
Pada saat itu juga mendadak Peng-tianglo melihat Holo
besar dipungguhg si pengemis kurus yang telah berubah orang salju gemuk itu, ia
terkejut dan heran melihat keadaan kawannya yang aneh itu. Waktu ia menoleh
pada Nyo Ko, dilihatnya anak muda ini bersikap biasa saja seperti tidak
mengetahui sesuatu.
Dalam pada itu Nyo Ko telah menyilakan kedua Hwesio tua
itu ke dalam rumah, dari gerak-gerik kedua Hwesio itu ia yakin mereka pasti
bukan sembarangan pendeta agama Budha, terlebih Hwesio jubah hitam yang
berwajah bengis dan bersorot mata aneh itu, ia menjadi sangsi jangan2 adalah
orang segolongan Peng-tianglo.
"Silakan tinggal saja di sini, Toahwesio," kata
Nyo Ko kemudian, "cuma orang gunung miskin seperti kami ini tiada alat
perlengkapan tidur segala" Eh, kalian suka makan daging panggang
tidak?"
Padahal dia tahu umumnya kaum Budha tidak makan barang
berjiwa, Maka cepat si Hwesio alis putih telah menjawab: "Ampun, ampun!
Kami sendiri membawa sekedar rangsum kering, Sicu tidak perlu repo2"
"Baiklah, kalau begitu," kata Nyo Ko, lalu
iapun masuk ke kamarnya dan membisiki Siao-liong li: "Kedua Hwesio tua ini
tampaknya adalah tokoh yang sangat tangguh, sebentar kita harus dua lawan tiga.
Siao-liong-li mengernyitkan keningnya, katanya dengan
suara tertahan. "Orang jahat di dunia ini sungguh banyak sekali, orang
ingin hidup tenang di pegunungan sunyi begini juga tetap terganggu,"
Nyo Ko coba mengintip gerak-gerik kedua Hwesio tua,
dilihatnya si Hwesio alis putih mengeluarkan empat potong kue tawar, dua potong
diberikan si Hwesio baju hitam, ia sendiri makan dua biji.
Dari wajah dan sikap Hwesio alis putih itu Nyo Ko percaya
pendeta itu pasti tinggi ibadat agamanya, cuma di dunia ini juga tidak kurang
manusia jahat berwajah alim, contoh di depan mata juga ada, yaitu Peng-tianglo,
bukankah sikapnya juga ramah tamah dan wajahnya selalu ber~seri2, tapi hatinya
ternyata busuk. Yang aneh adalah Hwesio jubah hitam itu, mengapa sinar matanya
begitu bengis buas.
Tengah berpikir, se-konyong2 terdengar suara gemerinctng,
si Hwesio jubah hitam mendadak mengeluarkan dua potong benda ke-hitam2an
terbuat dari besi.
Tadinya Peng-tianglo duduk dibangku, mendadak ia melompat
bangun sambil siap melolos senjata, Tapi Hwesio jubah hitam tidak
menggubris-nya, "krek-krek", benda hitam itu telah digembol pada
kakinya sendiri, kiranya benda itu adalah sepasang belenggu besi. sepasang
belenggu lagi lantas dipasang pula pada kedua tangan sendiri.
Tentu saja Nyo Ko dan Peng-tianglo sangat heran dan tidak
dapat menerka apa maksud dan artinya perbuatan Hwesio itu membelenggu kaki dan
tangan sendiri Tapi dengan demikian rasa was-was mereka juga lantas berkurang
beberapa bagian.
Paderi alis putih tampaknya menaruh perhatian kepada
kawannya, dengan suara pelahan ia bertanya: "Apakah hari ini
waktunya?"
"Sepanjang jalan Tecu sudah merasakan gelagat tidak
enak", bisa jadi hari ini," jawab si Hwesio jubah hitam, mendadak ia
terus berlutut, kedua tangan terangkap di depan dada serta berdo'a:
"Mo-hon pertolongan Budha- yang maha welas asih."
Habis berucap begitu, Hwesio baju hitam itu lantas
menunduk dari meringkukkan tubuhnya tanpa bergerak, Selang sejenak, tubuh
bagian atas rada gemetar, napasnya mulai ter-engah2, makin lama makin ngos2an,
sampai akhirnya suara napasnya menjadi seperti raungan kerbau yang sekarat,
sampai rumah papan itu bergetar oleh suara raungannya dan bunga salju di atas
atap sama rontok.
Tidak hanya Peng-tianglo saja yang terkejut dan
kebat-kebit hatinya, tapi Nyo Ko dan Siao-liong-li juga saling pandang dengan bingung,
mereka tidak tahu apa yang dilakukan Hwesio baju hitam itu, dari suara
raungannya itu tampaknya dia sedang menderita siksaan yang maha hebat.
Tadinya Nyo Ko berprasangka buruk terhadap Hwesio baju
hitam itu, sekarang mau tak-mau timbul rasa kasihannya. pikirnya: "Entah
penyakit aneh apa yang dideritanya, mengapa Hwesio alis putih tidak ambil
pusing, bahkan anggap tidak tahu dan tidak lihat suara napasnya yang keras
itu?"
Selang sebentar pula, suara napas Hwesio baju hitam
semakin memburu, dengan pelahan Hwesio alis putih berkatalah "Tidak
seharusnya diperbuatnya tapi telah diperbuatnya, seharusnya diperbuat malah
tidak diperbuatnya, terbakar oleh mengamuk nya api penyesalan terjerumuslah ke
jalan sesat di-jelmaan mendatangi...."
Kalimat sabda Budha itu diucapkan Hwesio itu dengan
pelahan, tapi ternyata dapat terdengar dengan jelas di tengah suara napas
Hwesio baju hitam yang gemuruh, Nyo Ko terkejut akan Lwekang si Hwesio tua yang
hebat itu, rasanya di jaman ini jarang ada bandingannya.
Terdengar Hwesio alis putih meneruskan membaca weda Budha
"Kalau orang berdosa mau menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi
meresahkannya, dengan begitu hatipun tenteram, tidak perlu lagi memikirkannya
pula, jangan karena rasa penyesalannya itu, tidak melakukan apa2 yang
seharusnya dilakukannya, kejahatan2 yang sudah diperbuatnya, tidak mungkin
ditariknya kembali."
Lambat laun napas Hwesio baju hitam menjadi pelahan dan
akhirnya berhenti, sambil berenung iapun menggumam: "Kalau orang berdosa
mau -menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi meresahkannya. Suhu, Tecu
menyadari macam perbuatan di masa lalu itu berdosa, Tecu sangat menyesal dan
hampir tak dapat mengatasi perasaan berdosa sendiri ini. Yang Tecu pikirkan
adalah: kejahatan yang sudah diperbuatnya, tidak dapat ditarik kembali Karena
itu hati Tecu tidak jadi tenang dan gembira, bagaimana sebaiknya ini?"
"Berbuat salah dan mau menyesalinya, biasanya sukar
terjadi," ujar Hwesio alis putih, "Manusia bukan Nabi, manabisa tanpa
berbuat salah. Berbuat salah dan mau memperbaikinya, itulah yang maha
muIia."
Sampai di sini mendadak Nyo Ko teringat kepada namanya
sendiri, yakni "Ko" (salah), menurut ibunya dia juga mempunyai nama
alias "Kay-ci" (perbaikilah), jadi persis seperti apa yang diucapkan
Hwesio alis pulih tadi, ia menjadi ragu apakah pendeta tua ini adalah seorang
maha sakti yang sengaja datang buat membuka pikirannya? Mau-tak-mau timbul rasa
kagum dan hormatnya kepaaa pendeta yang ucapannya penuh filsafat hidup ini.
Terdengar Hwesio baju hitam berkata pula: "Akar
kejahatan Tecu sukar dilenyapkan sepuluh tahun yang lalu. Tecu sudah lama
mengikuti ajaran Suhu dan tetap terjadi menewaskan jiwa tiga orang, sekarang
darah Tecu terasa bergolak dan sukar diatasi mungkin sekali Tecu akan berbuat
dosa pula, Untuk ini mohon welas asih Suhu, sukalah potong saja kedua tangan
Tecu ini."
"Syahdu! Syahdu! Biarpun kudapat potong ke dua
tanganmu, tapi pikiran jahat dalam hatimu harus kau babat sendiri. Kalau
pikiran jahat belum lenyap, meski kaki dan tanganmu putus juga percuma saja,
Coba dengarkan, akan kuceritakan sebuah kisah "lnduk menjangan dan si
pemburu, bagimu."
"Tecu siap mendengarkan," jawab si baju hitam
sambil duduk bersila, Di balik ruangan sana Nyo Ko dan Siao-liong-Ii juga
lantas duduk tenang ikut mendengarkan cerita pendeta itu.
"Ada seekor induk menjangan dengan dua ekor anak
menjangan," demikian Hwesio alis putih mulai berkisah. "Malang bagi
induk menjangan itu karena tertangkap oleh seorang pemburu, Pemburu akan
membunuh induk menjangan, dengan sangat induk menjangan minta dikasihani
katanya: "Aku mempunyai dua anak, masih kecil dan lemah, belum mahir
mencari makan dan minum. Mohon di beri kelonggaran sementara waktu agar dapat
mengajarkan cara mencari makan bagi anakku, habis itu pasti kudatang kembali
untuk menyerahkan diri" - pemburu tidak mengidzinkan, Induk menjangan
memohon pula dengan memelas, akhirnya hati pemburu terharu dan meluluskannya,
induk menjangan menemukan kedua anaknya dan saling bermesraan dengan girang dan
sedih pula induk menjangan menceritakan nasibnya yang malang dan berharap kedua
anaknya menjaga diri.
Sudah tentu anak menjangan yang masih kecil itu tidak
paham maksud sang induk. Lalu induk menjangan membawa kedua anaknya ke tempat
yang banyak rumput dan sumber air, setelah memberi petunjuk cara2 mencari hidup
lain, dengan berlinang air mata kemudian induk menjangan lantas mohon
diri."
Mendengar sampai disini, Siao-liong-li jadi teringat
kepada jiwa sendiri yang sudah dekat ajalnya, tanpa terasa iapun mencucurkan
air mata, walaupun tahu cerita Hwesio itu cuma dongeng belaka, tapi cinta kasih
ibu dan anak dalam cerita itu sangat mengharukan hati Nyo Ko.
Dalam pada itu Hwesio alis putih sedang melanjutkan
ceritanya: "Sehabis memberi pesan, induk menjangan lantas melangkah pergi.
Kedua anak menjangan lantas menangis sedih dan terus mengikutinya dari
belakang, walaupun kecil dan lemah, larinya lambat dan jatuh bangun, namun
tetap tidak mau berpisah dengan sang induk. induk menjangan lantas berhenti dan
menoleh, katanya:
"O, anakku, janganlah kalian ikut, kalau dilihat
pemburu itu, tentu jiwa kita akan tamat semuanya, ibu rela mati, cuma kalian
yang masih kecil dan lemah, Di dunia ini menang tiada suatu yang abadi, setelah
berkumpul akhirnya juga akan berpisah. Nasibku yang jelek sehingga membikin
kalian kehilangan ibu sejak kecil." - Habis berkata ia terus berlari ke
tempat si pemburu.
Kedua anak menjangan sangat menginginkan kasih sang
induk, tanpa gentar kepada panah si pemburu merekapun mencari sampai di sana.
Melihat induk menjangan menepati janji dan rela untuk mati, kejujuran dan
kesetiaannya sukar dibandingi manusia.
Dilihatnya pula antara induk dan anak menjangan itu
merasa berduka dan berat untuk berpisah, si pemburu merasa tidak tega dan
akhirnya membebaskan induk menjangan."
Habis mendengar cerita itu, air mata bercucuran memenuhi
muka si Hwesio jubah hitam, katanya: "Menjangan saja mengutamakan janji,
induknya baik hati dan anaknya berbakti, betapapun Tecu tak dapat meniru
mereka."
"Asal timbul perasaan kasih, seketika napsu membunuh
akan lenyap," kata Hwesio alis putih sembari memandang sekejap ke arah
Peng-tianglo.
Dengan sujud Hwesio baju hitam mengiakan Lalu Hwesio alis
putih berkata pula: "Jika ingin menebus kesalahan, jalan satu2 nya adalah
berbuat amal. Dari menyesali perbuatan yang seharusnya dilakukan di masa lalu,
ada lebih baik selanjutnya lebih banyak berbuat sesuatu yang harus
dikerjakan."
Habis ini ia menghela napas pelahan dan menambahkan pula:
"Sekalipun aku sendiri selama ini juga banyak berbuat kesalahan." -
Lalu ia memejamkan kan mata seperti orang semedi.
Setelah mendengarkan cerita sang guru, Hwesio baju hitam
seperti mulai sadar, tapi gejolak perasaannya selalu sukar diatasi. Waktu ia
mengangkat kepalanya, dilihatnya Peng-tianglo sedang memandangnya dengan
tersenyum simpul, kedua matanya menyorotkan cahaya yang sangat tajam dan kuat.
Hwesio baju hitam terkesiap, ia merasa pernah bertemu
dengan orang ini, terasa pula sorot mata orang menimbulkan perasaan sangat
tidak enak, cepat ia berpaling ke arah lain, tapi hanya sejenak kembali ia
menoleh ke sana.
"Wah, lebat sekali salju yang turun ini," kata
Peng tianglo dengan tertawa.
"Ya, ya, lebat sekali," jawab Hwesio baju
hitam.
"Marilah kita pergi melihat pemandangan hujan salju
ini," kata Peng-tianglo pula sambil membuka pintu.
"Baiklah, kita pergi melihat pemandangan hujan
salju," jawab si Hwesio sambil berbangkit dan berdiri di luar pintu di
samping Peng-tianglo.
Dari balik dinding Nyo Ko juga merasakan sorot mata
Peng-tianglo yang aneh itu, samar2 ia merasakan sesuatu alamat yang tidak enak.
"Ucapan gurumu sangat tepat, membunuh orang sekali2
jangan, tapi seluruh tubuhmu penuh tenaga yang me luap2, kalau tidak bergebrak
dengan orang rasanya tidak tahan, begitu bukan?" demikian Peng-tianglo
berkata pula dengan tertawa.
Secara samar2 si Hwesio baju hitam mengiakan, Lalu
Peng-tianglo berkata pula: "Boleh coba kau hantam orang salju ini, pukul
saja, kan tidak berdosa."
Hwesio baju hitam memandang orang salju itu dan
mengangkat tangannya, hasratnya ingin sekali melancarkan pukulannya.
Sementara itu tubuh si pengemis kurus itu sudah teruruk
lagi oleh bunga salju yang bertebaran sejak tadi, maka kedua matanya juga
tertutup oleh salju.
"HayoIah, pukul saja dengan kedua tanganmu, hantam
orang salju ini! Pukul, hayo pukul!" demikian Peng-tiangIo menganjurkan
pula, suaranya halus, tapi penuh daya memikat.
"Baik, akan kupukul." kata si Hwesio baju hitam
sambil mengumpulkan tenaga pada tangannya.
Si Hwesio alis putih mengangkat kepala dan menghela napas
panjang, dengan pelahan ia menggumam: "Sekali napsu membunuh timbul,
seketika terjadi mala petaka,"
Segera terdengar suara "blang" yang keras,
kedua tangan Hek-ih-ceng (Hwesio baju hitam) menghantam sekaligus. salju
berhamburan dan terdengar jeritan pengemis kurus. Rupanya Hiat-to yang tertutup
tergetar buka terkena pukulan Hek-ih-ceng" jeritan itu sangat ngeri dan
menyeramkan dan berkumandang hingga jauh menggema angkasa pegunungan itu.
Siao~liong-li juga bersuara kaget dan memegangi tangan Nyo
Ko dengan erat.
"Ha, di dalam salju ada orang!" teriak
Hek-ih-ceng kaget
Cepat Pek-bi-ceng (Hwesio alis putih) berlari keluar dan
memeriksa keadaan sang korban, ternyata pengemis kurus itu sudah binasa terkena
pukulan tangan besi yang maha sakti si Hek-ih-ceng" seketika Hwesio baju
hitam ini melongo dengan bingung, sedangkan Peng tianglo berlagak kaget dan
berseru: "He, benar2 aneh, untuk apakah orang ini sembunyi didalam
gundukan salju? Eh, mengapa dia membawa senjata?"
Meski dengan Liap-hun~ tay~hoatnya dia berhasil
mempengaruhi Hek-ih-ceng membinasakan si pengemis kurus, sudah tentu ia sangat
senang, tapi iapun merasa heran pula mengapa si kurus sanggup bertahan tanpa
bergerak bersembunyi di dalam gundukan salju dan tidak mendengar suaraku menyuruh
orang menghantamnya?
"Suhu... Suhu!" dengan melongo bingung
ber-ulang2 Hek-ih-ceng memanggil sang guru.
"Karma! karma!" ucap Pek~bi~ceng, "Orang
ini tidak dibunuh olehmu, tapi juga kau yang membunuhnya."
Hek-ih-ceng mendekap di atas tanah salju dan bertanya
dengan suara gemetar: "Tecu tidak paham artinya."
"Kau mengira hanya orang salju belaka dan hatimu
tiada bermaksud mencelakai orang," kata Pek-bi-ceng. "Tapi tenaga
pukulanmu maha dahsyat waktu melancarkan serangan, masakah sama sekali tiada pikiranmu
hendak membunuh orang!"
"Sesungguhnya Tecu memang berkehendak membunuh
orang" jawab Hek-ih-ceng.
Pek-bi-ceng lantas memandangi Peng-tianglo hingga sekian
lama, sorot matanya halus penuh welas asih, Tapi hanya sekali pandang saja,
Liap-hun tay-hoat yang menggetar sukma orang, ilmu andalan Peng tianglo itu
lantas sirna tanpa bekas.
Mendadak Hek-ih ceng berteriak: "He... kau... kau
adalah Tianglo di Kay-pang dahulu itu, ya, ya, betul ingatlah aku
sekarang!"
Seketika wajah asli Peng-tianglo timbul dari balik
sikapnya yang selalu ramah tamah dan tersenyum simpul itu, air mukanya lantas
penuh rasa bertentangan batin, katanya: "Ah, engkau adalah Kiu-pangcu dari
Tiat-ciang-pang, mengapa engkau menjadi Hwesio?"
Kiranya Hwesio baju hitam ini memang betul ialah Kiu Jian
yim, ketua Tiat-ciang-pang. Setelah terjadi pertandingan di puncak Hoa-san
dahulu, dia telah menyadari segala dosanya di masa lampau dan mengangkat
It-teng Taysu sebagai guru, iapun menjadi Hwesio.
Dan Pek-bi-ceng atau Hwesio alis putih ini bukan lain
daripada It-teng Taysu, namanya sejajar dengan Ong Tiang-yang, Ui Yok-sui.
Auyang Hong dan Ang Jit-kong itu.
Sesudah menerima agama Budha, Kiu Jian yim mendapatkan
nama agama sebagai Cu-in. Dengan giat dia mempelajari agamanya dan telah memperoleh
kemajuan pesat. Cuma dahulu dia sudah terlalu banyak berdosa, akar kejahatannya
sukar dibasmi seluruhnya, kalau kutemukan daya pikat yang kuat dari luar,
terkadang dia masih suka umbar kemurkaannya dan mencelakai orang, sebab itulah
dia telah membuat dua pasang belenggu besi, apabila pikirannya sedang judek, ia
lantas membelenggu kaki tangan sendiri untuk mengekang tindak jahatnya.
Suatu hari lt-teng Taysu menerima berita minta tolong
dari muridnya, yaitu Cu Cu-liu, maka dari negeri Tayli It-teng Taysu lantas
membawa Cu-in berangkat ke Coat-ceng-kok.
Tak terduga di pegunungan sunyi ini mereka bertemu dengan
Peng-tianglo dan tanpa sengaja Cu-in telah membunuh satu orang pula.
Sejak menjadi Hwesio, selama belasan tahun baru pertama
kali ini ia membunuh orang meski ada juga pelanggaran yang diperbuatnya,
seketika hatinya menjadi bimbang, ia merasa latihannya selama belasan tahun
telah hanyut ke laut seluruhnya. Dengan pelahan ia menoleh dan memandang
Peng-tianglo dengan mata berapi.
It-teng Taysu tahu saatnya sangat gawat, kalau mengalangi
dia dengan kekerasan, tentu pikiran jahatnya akan semakin menumpuk dan pada
suatu hari pasti akan meluap laksana air bah yang tidak terbendungkan.
Hanya dengan jalan menimbulkan rasa welas-asih kepada
sesamanya barulah pikiran-jahatnya dapat dilenyapkan dan menuju ke jalan yang
bersih.
Begitulah sambil berdiri di samping Cu-in, pelahan-
It-teng Taysu menyebut:"
"O-mi to-hud!" -Sampai hampir ratusan kali ia
menyebut nama Budha barulah sorot mata Cu-in mulai meninggalkan tubuh
Peng-tianglo, lalu berduduk di tanah dan napasnya ter-engah2 pula.
Sudah sejak dulu Peng-tianglo tahu ilmu silat Kiu
Jian-yim maha hebat, tapi kalau ia dapat dipengaruhi dengan Liap-hun-tay-hoat,
maka dapatlah dia peralat sesukanya.
Siapa tahu kemana sinar mata It-teng Taysu menyorot,
seketika perasaannya seperti tertekan oleh sesuatu yang maha berat dan sukar
mengeluarkan ilmunya.
Maklumlah, Liap-hun-tay-hoat itu kira2 serupa dengan
sebangsa ilmu bipnotis atau telepati pada jaman kini, dengan kekuatan batin
untuk mengendalikan pihak lawan, kalau kekuatan batin lebih kuat daripada
dirinya, maka ilmu itu takkan berhasil sama sekali.
Dalam hal ini pikiran It-teng ternyata lebih kuat
daripada Peng-tianglo sehingga sukar dipengaruhinya.
Kini Peng-tianglo sudah menginsyafi keadaannya yang
berbahaya. ia pikir Hwesio tua yang senantiasa menganjurkan orang berbuat bajik
ini semoga dapat mempengaruhi Kiu Jian-yim. Kalau dirinya melarikan diri
sekarang, betapapun pasti sukar lolos dari kejaran Kiu Jian yim yang Ginkangnya
terkenal maha hebat.
Terpaksa ia meringkik di pojok rumah dengan hati
kebat-kebit, pandangannya sekejap saja-tidak berani meninggalkan gerak-gerik
Kiu Jian-yim.
Tidak lama kemudian suara napas Cu-in semakin memburu
pula, tiba2 ia berseru: "Suhu, pembawaanku memang orang jahat, Thian tidak
berkenan menerima penyesalanku, meski aku tidak sengaja membunuh orang,
akhirnya mencelakai juga jiwa orang. Aku tidak mau menjadi Hwesio lagi."
"Ampun! Ampun Akan kuceritakan pula sebuah kisah
padamu," kata It- teng.
Mendadak Cu~in berteriak dengan suara keras:
"Kisah apa lagi? Sudah belasan tahun kau menipu
diriku, aku tak percaya lagi padamu." ~ Krak-krek, tahu2 belenggu pada
kaki dan tangannya itu retak dan terlepas.
Dengan suara halus It-teng berkata pula: "Jika
perbuatan yang sudah terlanjur terjadi tidak perlu dirisaukan, jangan kau
sesalkan lagi."
Namun Cu-in lantas berbangkit ia meng-geleng2 kepada
It-teng, habis itu ia memutar tubuh dan menghantamkan kedua tangannya,
"blam", tahu2 tubuh Peng-tianglo mencelat dan menumbuk dinding gubuk
terus melayang keluar.
Di bawah pukulan telapak tangan besi yang maha dahsyat
itu jelas otot tulangnya pasti hancur, biarpun jiwanya rangkap sepuluh juga
pasti tamat riwayatnya.
Nyo Ko dan Siao-liong-li juga kaget mendengar suara
gedubrakan yang keras itu, cepat mereka memburu keluar dari ruangan dalam,
terlihat kedua tangan Cu-in terangkat ke atas, dengan sorot mata bengis ia
membentak mereka berdua: "Apa yang kalian pandang? Satu tidak berbuat, dua
tidak berhenti (artinya kalau sudah telanjur berbuat, ya sekalian kerjakan
saja), hari ini sengaja kuIanggar pantangan membunuh," Habis berkata,
tenaga yang sudah terkumpul pada kedua tangannya segera akan dihantamkan.
Dengan tenang It-teng Taysu melangkah maju dan mengadang
di depan Nyo Ko berdua, di situ ia berduduk dan mcngucap Budha, air mukanya
kereng, katanya: "Belum jauh kau tersesat, masih sempat kembali jika kau
mau. Cu-in, apakah benar2 kau ingin terjerumus ke alam yang tak tertolong pula."
Wajah Cu-in sebentar merah sebentar pucar kusut sekali
pikirannya, terjadilah pertentangan batin antara baik dari jahat. Rupanya
pikiran jahatnya akhirnya berkobar lebih hebat, mendadak sebelah tangannya
menghantam ke arah It-teng taysu.
Dengan satu tangan terangkat di depan dada It-teng
menahan serangan itu dengan tubuh rada tergeliat.
"Bagus, jadi kau benar2 ingin memusuhi aku?"
teriak Cu-in dengan gusar, menyusul tangan kiri lantas menghantam pula.
!t-teng tetap" menangkis saja dan tidak balas
menyerang. Dengari gusar Cu-in lantas mendamperat: "Hm, nntuk apa kau
mengalah? Hayolah membalas! Mengapa kau tidak balas seranganku? Huh apanya yang
hebat antara kalian Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak~kay dan Tiong-sin-thong
segala? Belum tentu kalian mampu menandingi telapak tangan besi orang she Kiu
ini, Hayolah balas, kalau kau tidak balas menyerang, jangan kau penasaran jika
jiwamu melayang percuma."
Meski pikiran Cu-in dalam keadaan kacau tapi ucapannya
itu juga tidak salah, ilmu pukulan telapak tangan besinya boleh dikatakan
mempunyai keunggulannya sendiri dibandingkan lt-yang-ci yang menjadi andalan
It-teng Taysu itu.
Dalam hal ajaran agama memang It-teng jauh lebih daripada
cukup untuk menjadi guru Cu-in, tapi bicara tentang ilmu silat, kalau bertempur
sekuat tenaga mungkin It teng lebih unggul setingkat, tapi kalau melulu di
hantam tanpa membalas, lama2 juga pasti akan terluka parah sekalipun jiwanya
tidak melayang.
Akan tetapi It teng sudah bertekad lebih suka
mengorbankan diri untuk menolong orang lain, lebih suka binasa kena pukulan
tangan besi itu daripada balas menyerang dengan harapan Cu-in akhirnya dapat
diinsafkan, jadinya sekarang mereka tidak lagi bertanding iimu silat atau
tenaga dalam, tapi lebih tepat dikatakan pertarungan antara pikiran bajik dan
pikiran jahat.
Nyo Ko dan Siao-liong li menyaksikan pukulan sakti Cu-in
itu terus menerus dilontarkan ke arah It-teng, sampai pada pukulan ke-14,
tertumpas lah darah segar dari mulut It-teng.
"Apakah kau tetap tidak mau membalas?," bentak
Cu-in melengak demi melihat darah yang mengucur dari mulut It teng itu.
Dengan tersenyum It-teng menjawab: "Untuk apa aku
membalas? Apa gunanya jika kukalahkan kau? Apa pula paedahnya kalau kau
kaIahkan diriku? Yang paling sukar adalah mengalahkan dirinya sendiri,
mengekang perasaannya sendiri."
Cu-in tampak tertegun dan bergumam: "Mengalahkan
dirinya sendiri, mengekang perasaan sendiri inilah yang sukar?"
Beberapa kalimat ucapan It-teng itu laksana bunyi geledek
yang menggetar hati Nyo Ko. Pikirnya: "Untuk mengalahkan kehendak diri
sendiri dan mengekang hasrat buruk sendiri memang jauh lebih sukar daripada
mengalahkan musuh yang tangguh."
Ucapan pendeta agung ini benar2 sangat tepat dan
bernilai.
Dalam pada itu dilihatnya kedua tangan Cu-in berhenti
sejenak di atas, habis itu terus menghantam pula ke depan. "Brak",
tubuh It-teng terhuyung, darah segar kembali tersembur keluar, jenggotnya yang
putih dan jubahnya sama berlepotan darah...
Dari caranya menerima serangan lawan serta daya tahannya,
Nyo Ko tahu ilmu silat It-teng asebenarnya terlebih tinggi daripada Hek-ih-ceng
itu, tapi kalau melulu terima pukulan saja, biarpun tubuh terbuat dari besi
juga akhirnya akan meleyot.
Kini Nyo Ko luar biasa kagum dan hormatnya kepada It-teng
Taysu, ia tahu It-teng sengaja mengorbankan diri untuk menginsafkan orang
jahat, tapi iapun tak dapat menyaksikan orang baik seperti lt teng tewas begitu
saja, karena itulah ia lantas mengangkat pedangnya dan mengitar ke samping
It-teng, waktu Cu-in melancarkan pukulan lagi, "sret", iapun
membarengi dengan tusukan pedang.
Guncangan angin pukulan yang dahsyat itu menumbuk angin
pukulan Cu-in, tubuh kedua orang sama tergetar.
Cu-in bersuara heran, tak tersangka olehnya bahwa di
pegunungan sunyi ini ada seorang pemburu muda yang memiliki ilmu silat setinggi
ini. It-teng memandang Nyo Ko sekejap, hatinya juga heran luar biasa.
"Siapa kau? Apa kehendakmu?" bentak Cu-in
dengan bengis.
"Gurumu memberi nasihat secara baik2, mengapa Taysu
tidak mau sadar?" jawab Nyo Ko. "Tidak mau menerima nasihat sudah
keliru, malahan kau membalas kebaikan dengan kebencian dan melancarkan pukulan
keji kepada gurumu. Manusia macam demikian bukankah jauh lebih rendah daripada
binatang?"
Dengan gusar Cu-in membentak: "Apakah kaupun orang
Kay-pang? Begundal si Tianglo konyol tadi?"
"Kedua orang ini memang orang busuk Kay-pang"
jawab Nyo Ko dengan tertawa, "Bahwa Taysu telah membinasakan mereka,
menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan, mengapa engkau merasa
menyesal?"
Untuk sejenak Cu-in melengak, lalu menggumam:
"Menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan... menumpas kejahatan
sama dengan berbuat kebajikan..."
Setelah mengikuti percakapan It-teng dan Cu-in tadi,
lapat2 Nyo Ko sudah paham isi hati mereka yakni lantaran Cu-in merasa menyesal
sehingga timbul rasa benci, dari benci lantas timbul pikiran jahat.
Maka ia lantas berkata pula: "Kedua orang itu adalah
anggota khianat Kay-pang, yang berkomplot dengan pihak musuh dan bermaksud
menjual tanah air kita kepada bangsa lain, sekarang Taysu membunuh mereka, ini
adalah pahala yang maha besar. Kalau kedua orang ini tidak mati, entah betapa
orang baik2 akan menjadi korban kejahatan mereka"
Cu^in merasa ucapan Nyo Ko itu sangat tepat, pelahan2 ia
menurunkan tangannya yang siap menghantam itu. Tapi segera teringat olehnya
dahulu dirinya juga pernah bekerja bagi kerajaan Kim dan pernah membantu bangsa
asing itu menjajah negerinya sendiri, jadi ucapan Nyo Ko itu tiada ubahnya
seperti mencaci maki kesalahannya itu, mendadak pukulannya dilancarkan ke arah
Nyo Ko sambil membentak: "Kau mengaco-balo apa, binatang cilik?"
Tadinya Nyo Ko menyangka ucapannya tadi telah
membangunkan hati nurani Cu-in, siapa duga mendadak orang malah melancarkan
serangan maut, serangan yang cepat lagi keji itu dalam sekejap saja sudah
sampai di depan dadanya, dalam keadaan gawat ia tidak sempat menangkisnya,
terpaksa ia ikuti daya pukulan musuh dan melompat mundur,
"blang-blang" dinding papan rumah ambrol dan tubuh Nyo Ko mencelat
keluar rumah.
lt-teng Taysu terkejut, pikirnya: "Apakah pemuda ini
akan binasa begitu saja? tampaknya ilmu silatnya juga tidak rendah."
Pada saat lain, mendadak api unggun yang berkobar di
dalam rumah itu menyurut gelap, lubang dinding yang ambrol itu dihembus angin
keras, tahu2 Nyo Ko melayang masuk lagi sambil menusukkan pedangnya ke arah
Cu-in dengan membentak: "Baik, hari ini boleh kita coba2 ukur
tenaga."
Rupanya Nyo Ko tadi dapat mundur lebih cepat daripada
tenaga pukulan musuh, dengan menumbuk ambrol dinding rumah, dapatlah ia
terhindar dari pukulan maut itu. Kini pedangnya menusuk lurus ke depan kekuatan
yang dahsyat dan sukar di tahan. Cu-in memukulkan tangannya agar tenaga pukulan
dapat mengguncang pergi daya tusuk Nyo Ko itu.
Tak disangkanya bahwa ilmu pedang Nyo Ko ini adalah
ajaran Tokko Kiu-pay yang tiada tandingnya, apalagi sudah digembleng di tengah
air bah serta tambahan tenaga dari buah merah dibantu pula oleh rajawali sakti,
kini ilmu pedang yang dikuasi Nyo Ko sudah tiada ubahnya seperti kesaktian
Tokko Kiu-pay dahulu, maka telaga pukulan Cu-in itu hampir tiada artinya bagi
Hyo Ko, pedang anak muda itu masih tetap menyelonong ke depan.
Keruan Cu-in kaget, cepat mengelak agar tubuhnya tidak
tertembus.
Setelah bergebrak barulah sama2 mengetahui ilmu silat
pihak lawan memang sangat lihay dan tidak berani lagi meremehkan musuh, It teng
ter-heran2 menyaksikan semua itu, ia pikir usia anak muda ini paling2 baru
Iikuran, tapi ternyata mampu menandingi ilmu pukulan tangan besi Kiu Jian-yim
yang pernah menggetarkan dunia kangouw di masa lampau, malahan gaya ilmu pedang
anak muda ini tidak diketahui berasal dari aliran mana meskipun pengalaman
sendiri tergolong sangat luas, lebih2 pedangnya yang hitam berat itu jelas
merupakan senjata yang aneh pola.
Bahkan Siao-liong-li yang cantik molek itu mengikuti
pertarungan itu di samping dengan tenang2 saja, diam2 iapun yakin nona ini
pasti juga tokoh yang lain daripada yang lain, Ketika ia mengawasi lebih
teliti, dilihatnya diantara dahi si nona samar2 bersemu hitam, tanpa terasa ia
bersuara kaget.
Siao-liong-li tersenyum melihat sikap It-teng Taysu itu,
katanya: "Oh, kau sudah tahu?"
Dalam pada itu pertarungan Nyo Ko lebih beruntung dalam
hal senjata sebaliknya Cu-in lebih banyak sebuah lengan, jadinya seimbang.
Terdengai pula suara "blang", papan kayu jebol sebuah, menyusul
"krek" sekali, tiang rumah patah sebuah, padahal luas rumah itu sudah
kecil bangunan kurang kukuh pula, betapapun tidak mungkin digunakan sebagai
arena pertarungan dua tokoh kelas wahid, ke mana serangan mereka tiba, di situ
papan kayu bertebaran, akhirnya terdengarlah suara gemuruh, sebuah tiang patah
lagi serentak atap rumah lantas ambruk.
Cepat Siao-liong-li pondong Kwe Yang dan menerobos keluar
melalui jendela, Di luar salju masih turun dengan lebatnya dengan angin yang menderu,
Nyo Ko dan Cu-in telah mengobrak-abrik kedua rumah gubuk itu secara mentah2 dan
pertandingan tetap berlangsung dengan sengitnya di bawah badai salju.
Sudah belasan tahun Cu-in tidak pernah bertempur sesengit
ini dengan orang, saking bersemangat nya pukulan telapak besinya yang dahsyat
itu disertai pula dengan raungan yang keras. Sampai ratusan jurus, tenaga
pedang pusaka Nyo Ko itu ternyata semakin berat, karena usia Cu-in memang sudah
lanjut, lambat-laun ia merasa kewalahan untuk menahannya.
Ketika Nyo Ko menusuk lagi dari depan, Cu-in, lantas
menggeser ke samping. Tapi pedang Nyo Ko lantas menyapu sehingga menimbulkan
angin keras dengan hamburan salju menyambar ke muka Cu-in. Karena matanya
tertutup bunga salju, cepat Cu-in mengusap mukanya. Pada saat itulah pedang Nyo
Ko terus memutar dari atas dan menempel di atas pundak Cu-in.
Seketika Cu in merasa seperti ditindihi oleh benda yang
beribu kati beratnya dan tidak sanggup berdiri tegak, ia jatuh telentang, Ujung
pedang Nyo Ko terus mengancam di dada lawan, biarpun ujung pedang itu tidak
tajam, tapi beratnya tak terperikan sehingga Cu-in merasa sesak napas.
Pada saat demikian sekilas terbayang "mati"
dalam benak Cu-in. Sejak dia menjadi gembong Tiat-ciang-pang dan malang
melintang di dunia Kangouw, selamanya dia hanya membunuh dan mencelakai orang,
jarang sekali mengalami kekalahan, biarpun pernah dikalahkan Ciu Pek-thong dan
lari ke wilayah barat, akhirnya dia juga dapat menggertak lari si Anak Tua
Nakal itu, sekarang ia merasakan ajalnya sudah dekat pintu gerbang neraka,
inilah belum pernah dialaminya selama hidup, mau-tak-mau timbul rasa
penyesalannya, kalau tamat begini saja riwayatnya, ia merasakan segala dosa
yang pernah diperbuatnya menjadi tak bisa ditebus lagi.
Selama ini kuliah It-teng Taysu tidak dapat membuka
pikirannya yang gelap, kini ancaman pedang Nyo Ko ternyata merupakan bunyi
guntur yang dapat memecahkan segala persoalan dan seketika membuatnya teringat,
ternyata begini mengenaskan kalau dibunuh orang, jika begitu orang2 yang pernah
kubunuh dahulu tentu juga mengenaskan seperti ini.
Diam2 It-teng sangat kagum menyaksikan Nyo Ko akhirnya
dapat menaklukkan Cu-in, segera ia melangkah maju, jarinya menyelentik pelahan
pada batang pedang, seketika Nyo Ko merasa lengan kiri kesemutan, pedang lantas
bergetar ke samping, serentak Cu-in melompat bangun dan menjura kepada It-teng
sambil berseru. "Suhu, dosa Tecu pantas dihukum mati!"
It-teng tersenyum dan meraba punggungnya, katanya:
"Tidaklah mudah kau dapat menginsafl segalanya, kau harus berterima kasih
kepada anak muda ini."
Tadinya Nyo Ko juga sudah sangsi kalau Hwe-sio tua
beralis putih ini adalah It-teng Taysu, setelah pedangnya terselentik ke
saraping, tanpa sangsi lagi akan dugaannya, sebab soal tenaga jari sakti pada
jaman ini selain Ui Yok-su hanya It-yang-ci saja yang dapat mengimbanginya dan
tokoh nomor satu It-yang-ci tiada lain adalah It-teng Taysu, segera iapun
menyembah dan berkata:
"Tecu Nyo Ko memberi salam hormat kepada
Taysu." - Dilihatnya pula Cu-in mendekatinya dan menjura padanya.
Cepat ia membalas hormat dan berkata: "Wah, mana
kuberani terima penghormatan sebesar ini, Locian-pwe," Lalu ia tuding
Siao-liong-li dan menambahkan pula: "lni adalah isteriku she Liong,
Eh,liong-ji, lekas memberi hormat kepada Taysu."
Dengan ber-gegas2 Siao-libng-li melangkah maju dengan
memondong Kwe Yang serta memberi hormat.
"Kedua rumah ini sungguh malang sehingga kitapun
tiada tempat berduduk untuk ber-bincang2" kata It-teng dengan tertawa.
"Tadi pikiran Tecu menjadi gelap dan hilang akal,
apakah luka Suhu berbahaya?" tanya Cu-in.
"Kau sendiri apakah sudah sehat?" tanya It-teng
sambil tersenyum.
Cu-in merasa sangat menyesal dan tidak tahu apa yang
harus diucapkan, ia coba menegakkan tiang rumah gubuk itu, dinding papan
dibetulkan sehingga sekedarnya sebuah gubuk dapat didirikan kembali sekadar
tempat bernaung, sementara itu Nyo Ko juga menceritakan pengalamannya
berkenalan dengan Bu Sam-kong dan Cu Cu-liu serta terkena racun di
Coat-ceng-kok, lalu Paderi Hindu dan Cu Cu-liu berusaha mencarikan obat
baginya.
"Kedatangan kami berdua ini justeru hendak pergi ke
Coat-ceng-kok," tutur It-teng Taysu, "Apakah kau tahu hubungan Cu-in
Hwesio ini dengan penguasa wanita Coat-ceng-kok itu?"
Karena beberapa kali mendengar Peng-tianglo dan Cu-in
menyebut "Kiu-pangcu", maka Nyo Ko lantas bertanya: "Apakah
asalnya Cu-in Taysu she Kiu, yaitu Kiu-pangcu dari Tiat-ciang-pang
dahulu?" - Ketika dilihatnya Cu-in mengangguk pelahan, lalu ia berkata
pula padanya: "Jika kegitu penguasa wanita Coat ceng-kok itu adalah adik
perempuanmu."
"Benar," jawab Cu in, "apakah adik
perempuanku baik2 saja?"
Nyo Ko merasa sukar untuk menjawabnya.
Kaki dan tangan Kiu Jian-jio telah dibikin cacat oleh
sang suami, jadi bagaimanapun tak dapat dikatakan "baik."
Melihat anak muda itu ragu2 menjawabnya, Cu-in berkata
pula: "Adik perempuanku itu suka menuruti adatnya sendiri, kalau dia
mengalami sesuatu juga tidak perlu diherankan."
"Adikmu hanya cacat tangan dan kaki saja, badannya
sih sehat2 saja," kata Nyo Ko.
Cu-in menghela napas, katanya: "Selang sekian tahun,
semua sudah tua..., biasanya dia cuma akur dengan Toako kami saja..."
sampai disini ia lantas ter-mangu2 mengenang masa lampau
It-teng Taysu tahu pikiran Cu-in belum bersih dari urusan
kehidupan manusia, kalau tadi dia menyesal dan insaf adalah karena menghadapi
detik antara mati dan hidup, maka pikiran jahatnya mendadak lantas Ienyap,
padahal pikiran jahat dalam benaknya belum hilang sampai akarnya, kelak kalau
terpengaruh lagi daya kuat dari luar mungkin penyakitnya akan kambuh lagi dan
sukarlah dibayangkan apakah kelak mampu mengatasinya atau tidak.
Melihat It-teng memandangi Cu-in dengan sorot mata yang
kasihan, tiba2 Nyo Ko merasa tindakannya tadi bisa jadi malah membikin urusan
semakin runyam, maka ia lantas bertanya: "Taysu, tindakanku yang bodoh
tadi apakah salah, mohon Taysu memberi petunjuk."
"Hati orang sukar dijajaki, seumpama aku dihantam
mati olehnya juga belum tentu dia akan sadar dan mungkin malah kejeblos lebih
dalam," jawab It-teng. "Yang jelas kau telah menyelamatkan jiwaku,
mana bisa salah? Sungguh aku sangat berterima kasih padamu."
Lalu dia berpaling jkepada Siao-liong-Ii dan berianya:
"Cara bagaimana nyonya ini terkena racun?"
Mendengar pertanyaan itu, seketika Nyo Ko rSeperti
melihat setitik sinar harapan dalam kegelapan, cepat ia menjawab: "Dia
terluka dan waktu itu sedang berusaha dengan penyembuhan melancarkan urat nadi,
tak terduga pada saat yang gawat itu mendadak terserang rahasia berbisa, Apakah
Taysu sudi menaruh belas kasihan dan menolong jiwanya?"
Habis berkata tanpa terasa ia berlutut lagi di hadapan
It-teng Taysu.
It-teng membangunkan anak muda itu dan berkata:
"Cara bagaimana penyembuhan dengan melancarkan urat nadi itu
dilakukan?"
"Dia mengerahkan tenaga dalam secara terbalik
berbaring di dipan kemala dingin serta ditambah bantuanku," tutur Nyo Ko
serta menceritakan secara ringkas apa saja yang telah dilakukannya.
Maka pahamlah It-teng, ber~ulang2 ia menyatakan rasa
herannya, ia coba memegang nadi pergelangan tangan Siao-liong-li, lalu
kelihatan sedih tanpa membeli keterangan.
Dengan ter-mangu2 Nyo Ko juga memandangi It-teng dengan
penuh harapan dari mulut Hwesio agung itu akan bercetus ucapan: "Dapat
ditolong", sedangkan pandangan Siao-liong-li terarahkan kepada Nyo Ko,
sudah sejak mula tak terpikir olehnya bahwa jiwanya dapat bertahan sampai
sekarang, maka ia coba menghibur Nyo Ko yang kelihatan menanggung sedih tak
terkatakan itu:
"Ko-ji, hidup atau mati sudah ditakdirkan mana bisa
dimohon secara paksa, untuk ini hendaklah kau dapat berpikir panjang dan jangan
terlalu merisaukannya."
Baru pertama kali ini It-teng Taysu mendengar
Siao-liong~li buka suara, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa perempuan muda
seperti ini dapat bicara seterang itu, biasanya setiap orang pasti cemas dan
sedih menghadapi persoalan mati hidup sendiri, tapi ucapan Siao-liong-li tadi
se-akan2 seorang alim yang sudah tinggi ibadatnya, mati seakan2 pulang saja.
Diam2 It-teng memuji sepasang muda-mudi ini sungguh
manusia luar biasa, yang lelaki sangat hebat ilmu silatnya, yang perempuan
memiliki ketinggian batin yang tiada bandingannya, Cuma sayang, karena racunnya
sudah merasuk terlalu dalam, aku sendiripun terluka dan tak dapat menggunakan
ilmu jari sakti It-yang-ci. Setelah berpikir sejenak, lalu ia berkata:
"Meski usia kalian berdua masih muda, tapi sudah memiliki kebatinan yang
tinggi, biarlah kukatakan terus terang saja...."
Mendengar sampai di sini, hati Nyo Ko serasa tertekan,
kedua tanganpun terasa dingin.
"Racun dalam tubuh nyonya memang sudah
mendalam," demikian It-teng menyambung, "kalau saja aku tidak
terluka, dapat kubantu menyetop bekerjanya racun dengan lt-yang ci, habis itu
berusaha mencarikan obat mujarab baginya, tapi sekarang ya, untung Lwekang
nyonya sudah terlatih amat tinggi, akan kuberi lagi satu biji obat ini, setelah
diminum dapat di jamin selama tujuh hari tujuh malam takkan terjadi alangan
apapun, Kita segera berangkat pula ke Coatceng-kok untuk mencari Suteku".
"Benar." seru Nyo Ko sambil berdiri.
"Memang kepandaian mengobati keracunan rahib sakti Hindu itu maha hebat,
beliau pasti mempunyai cara pengobatannya."
"Andaikan Suteku juga tidak mampu menolongnya, maka
anggaplah memang sudah takdir" kata It-teng. "Di dunia ini banyak
anak2 yang belum lama dilahirkan sudah lantas mati pula, sedangkan nyonya sudah
menikah barulah mengalami kejadian ini sehingga tidak dapat dikatakan pendek
umur."
Selesai berkata, lt-teng lantas termenung karena teringat
kepada anak yang dilahirkan selirnya yaitu Lau-kwi hui, hasil hubungan gelap
selir itu dengan Ciu Pek-thong, akibat dendam dan cemburu dirinya dan berkeras
tidak mau mengobati anak itu dengan It-yang-ci, akhirnya bocah itupun meninggal
sedangkan orang yang menyerang anak itu bukan lain daripada Cu-in Hwesio ini.
Dahulu It-teng juga tidak tahu bahwa Cu-in memukul anak
itu, baru diketahui setelah Kiu Jian-yim alias Cu-in itu mengangkat dia sebagai
gurunya serta mengaku semua dosa yang pernah diperbuatnya. Namun satu katapun
It-teng tidak menyesali Cu-in, cuma dalam lubuk hatinya tidak urung timbul
semacam perasaan bahwa nasib jelek sendiri adakah karena gara2 perbuatan Cu-in
itu.
Begitulah dengan mata terbelalak Nyo Ko memandangi
It-teng Taysu, pikirnya: "Dapat tidak mengobati Liong-ji belum bisa
dipastikan, tapi mengapa engkau sama sekali tidak menghibur sepatah
katapun"
Dalam pada itu Siao-liong-li hanya tersenyum tawar saja
dan mengiakan setiap ucapan It-teng Taysu, Tiba2 It teng mengeluarkan sebutir
telur ayam dan diserahkan kepada Siao-liong-li, katanya: "Coba katakan,
ada ayam lebih dulu atau telur ada lebih dulu."
Ini memang teka-teki yang belum terpecahkan, Nyo Ko
menjadi heran dalam keadaan begini si Hwesio tua ini sempat bertanya soal yang
tidak penting ini.
Siao-liong-li lantas menerima telur ayam itu, ketika
diperiksa ternyata bukan telur ayam biasa melainkan tiruan terbuat dari
porselen, baik warna maupun besarnya serupa dengan telur asli. Setelah berpikir
sejenak Siao-liong-li lantas tahu maksud orang, katanya: "Telur menetaskan
ayam, ayam besar bertelur, kalau ada lahir tentu juga ada mati."
Segera ia pencet telur itu dan tertampaklah satu biji
obat warna kuning di dalamnya mirip kuning telur.
"Lekas diminum," kata lt-eng, taysu.
Tanpa pikir Siao-Hong-ii terus memasukkam obat itu ke
mulut, ia tahu obat itu pasti sangat berharga.
Esok paginya hujan salju masih belum mereda.
~m :-
Nyo Ko pikir jarak dari sini ke Coat-ceng-kok tidak
dekat, meski It-teng Taysu menyatakan obatnya dapat mempertahankan jiwa
Siao-liong li selama tujuh hari tujuh malam, untuk mencapai lembah itu masih
harus menempuh perjalanan secepatnya baru dapat tiba tepat pada waktunya. Maka
ia lantas berkata: "Taysu, apakah lukamu sendiri tidak beralangan?"
Sebenarnya luka It-teng cukup parah, tapi demi menolong
sang Sute, Cn Cu-liu serta Siao-liong-li yang takdapat di-tunda2 lagi, segera
ia menyatakan tidak beralangan dan mendahului berangkat, sekali melesat tahu2
sudah beberapa meter jauhnya
Cepat Nyo Ko bertiga mengikut kencang dari belakang
Setelah minum obat tadi, Siao-liong-ii merasa bagian perutnya terasa hangat,
semangat terbangkit, ia melancarkan Ginkangnya dan sekaligus sudah melampaui di
depan It-teng Taysu.
Cu-in terkejut, tak disangkanya bahwa nona cantik molek
begini juga memiliki ilmu silat setinggi ini. Semalam melulu menghadapi Nyo Ko
saja dirinya sudah kalah, apalagi kalau perempuan muda inipun ikut maju, jelas
dirinya pasti kalah terlebih cepat. Tiba2 timbul rasa ingin menangnya, segera
"tancap gas" dan menguber cepat ke depan.
Yang seorang adalah ahli waris Ko-bong pay dengan
Ginkangnya yang tiada bandingannya di dunia ini, seorang lagi adalah jago tua
yang pernah termasyhur dengan julukan "Tiat-ciang-cui-siang-hui"
(telapak tangan besi mengapung di atas air) yang menggambarkan betapa hebat
ilmu pukulannya seru kecepatan berlarinya.
Hanya sekejap saja kedua orang sudah saling uber menguber
di kejauhan dan sejenak pula hanya tampak dua titik hitam saja di tanah salju
sana.
Kuatir pikiran jahat Cu-in mendadak timbul lagi dan
mencelakai Siao liong-li, cepat Nyo Ko mengejar ke sana. Ginkangnya sebenarnya
bukan tandingan kedua orang itu, tapi dia miliki tenaga dalam yang kuat, dengan
sendirinya tenaga kakinya juga lain daripada yang lain, semula jaraknya dengan
kedua orang itu sangat jauh, tapi setelah sekian lamanya, bayangan kedua orang
di depan itu muIai nampak dan semakin jelas kelihatan.
Selagi Nyo Ko asyik mengejar, tiba2 terdengar It-teng
menegur di belakang: "Hebat benar tenaga dalammu, siapakah gurumu,
bolehkah kuketahui."
Nyo Ko terkejut, dia mengejar kedua orang didepan itu
tanpa menoIeh, disangkanya It-teng- sudah jauh ditinggalkan di belakang, siapa
tahu tanpa besuara Hwesio tua itu tetap mengintil rapat di belakangnya.
Segera ia mengendurkan langkah dan jalan berjajar dengan
paderi itu, jawabnya: "Kepandaianku ini adalah ajaran isteriku."
"Tapi tampaknya isterimu toh tidak lebih hebat
daripadamu?" ujar It-teng heran.
"Entah mengapa selama beberapa bulan terakhir ini
tenagaku mendadak bertambah kuat luar biasa, Cayhe sendiri tidak tahu
apa-sebabnya."
"Apakah kau makan suatu obat penambah tenaga?
seperti Jinsom atau Lengci dan sebagainya?"
Nyo Ko. menggeleng, Tapi tiba2 teringat sesuatu olehnya,
cepat katanya pula: "Wanpwe pernah makan beberapa puluh biji buah warna
merah segar, habis makan buah2an itu tenaga lantas-banyak bertambah, entah
buahan itu ada sangkut-pautnya atau tidak dalam hal ini?"
"Buah merah segar? Apakah besarnya hampir sama jeruk
nipis, rasanya manis dan tanpa biji?"
"Benar, buah itu memang tiada terdapat biji Wanpwe
merasa heran, kalau buah tidak berbiji lalu cara bagaimana membibitnya?"
"Barimana kaudapat buah itu?" tanya It-teng.
"Tecu diberi oleh seekor burung rajawali
raksasa," jawab Nyo Ko.
"Wah, sungguh suatu penemuan yang sukar dicari. Buah
merah segar itu namanya Cu-koh (buah merah), jauh lebih sukar dicari dan
bernilai daripada Jinsom dan Lengci yang paling bagus. Cu-koh itu niscaya
tumbuh di lereng2 gunung yang sukar di jangkau manusia, biasanya berbuah
beberapa puluh tahun sekali, bisa jadi ratusan tahun juga tidak pernah berbuah
sekalipun. Agaknya rajawali raksasa itu benar2 rajawali sakti."
"Ya, memang rajawali sakti!" tukas Nyo Ko.
iapun berpikir kalau rajawali itu dapat diminta mencarikan beberapa biji buah
merah itu untuk Liong-ji, tentu akan besar manfaatnya bagi kesehatannya. Tapi
menurut keterangan Taysu ini, katanya buah merah itu bisa jadi ratusan tahun
juga tidak pernah berbuah sekali, entah kesempatan mendapatkan buab merah itu
kelak masih terluka atau tidak?
Begitulah sambil bicara kaki merekapun tidak lemah berhenti,
beberapa lama kemudian, jarak mereka dengan Siao-liong-li dan Cu-in sudah
bertambah dekat, It-teng dan Nyo Ko saling pandang dengan tersenyum.
Rupanya Ginkang mereka memang tidak sehebat Siao-liong-Ii
dan Cu-in, tapi dalam hal lomba lari jarak jauh, kepastian terakhir terletak
pada tenaga dalam dan bukan bergantung kepada Ginkang, Ginkang hebat tak
didukung oleh tenaga dalam yang tahan lama, akhirnya pasti mengendur larinya.
Di antara kedua orang yang berlomba di bagian depan
itupun ada perbedaan, Siao-Iiong-li tampak ketinggalan beberapa meter pula di
belakang. Agaknya soal kekuatan Siao-liong-li juga kalah sedikit daripada Cu
in.
Tengah berlari dan setelah melintasi sebuah tanjakan,
tiba2 Nyo Ko menuding ke depan dan berkata kepada It-teng: "He, aneh,
mengapa di depan sana ada tiga orang?"
Benar juga, tidak jauh di belakang Siao liong-li ternyata
ada seorang pula yang ikut berlari dengan cepat. sekilas pandang saja Nyo Ko
lantas merasakan Ginkang orang ketiga ini tidak di bawah Siao-liong-li dan
Cu-in, malahan orang ketiga ini tampak memanggul sesuatu benda yang amat besar,
seperti sebuah peti, namun langkahnya tetap gesit dan cepat, jaraknya selalu
beberapa meter saja di belakang Siao-Iiong-li.
It-teng Taysu juga heran, sama sekali di luar dugaannya
bahwa di pegunungan sunyi ini ber-turut2 bertemu dengan orang kosen, semalam
bertemu dengan sepasang suami isteri muda yang hebat, sekarang orang yang ikut
berlari di depan itu jelas adalah seorang kakek.
Sementara itu Siao-liong-li yang ketinggalan di belakang
Cu-in itu semakin menjauh jaraknya, ketika didengarnya di belakang ada suara
langkah orang, disangkanya Nyo Ko yang telah menyusul tiba, maka ia lantas
berkata: "Ko-ji, Ginkang Toa-hwesio ini teramat hebat, aku tidak sanggup
menandingi dia, coba saja kan menyusulnya."
Tiba2 orang di belakangnya itu tertawa dan berkata:
"Silakan kau mengaso dahulu di atas petiku ini, setelah tenagamu pulih,
tentu kau akan melampaui Hwesio itu,"
Merasa suara orang bukan Nyo Ko, cepat Siao liong-li
mcnoleh, dilihatnya seorang tua berjenggot dan berambut putih, siapa lagi kalau
bukan Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, si Anak Tua Nakal, Dengan tertawa simpatik
orang tua itu sambil menunjuk peti yang dipangguInya itu "Sini, mari sini,
naik ke atas peti ini!"
Peti itu adalah barang Tiong-yang-kiong, mungkin tempat
menyimpan kitab Coan-cin-kau, untuk menyelamatkannya dari amukan api, maka Ciu
Pek thong telah menggondolnya lari.
Selagi Siao-liong-li tersenyum dan belum menjawab atas
tawaran orang tua itu, mendadak Ciu pek thong menyelinap maju ke depan
Siao~liong-li, sekali tangannya menolak pinggang si nona dengan enteng,
Siao-liong-li di dukungnya ke atas peti yang di pangguInya itu. Gerakannya
sangat cepat, caranya aneh pula, sebelum Siao-liong-ii menghindar atau menolak,
tahu2 ia sudah diangkat ke atas peti. Mau-tak mau Siao-liong-li memuji betapa
hebat ilmu silat Coan-cin-pay yang memang mempunyai keunggulan sendiri itu,
bahwa para Tosu di Tiong-yang kiong itu tidak mampu menandingi dirinya hanya
karena mereka belum menguasai sampai puncaknya ilmu silat perguruan mereka.
Sementara itu Nyo Ko dan It-teng juga sudah mengenali Ciu
Pek-thong adanya. Hanya Cu-in saja yang kuatir disusul Siao-liong-li, ia masih
ngebut ke depan tanpa menyadari di belakangnya telah bertambah seorang lagi.
Dengan langkah cepat dan mantap Ciu Pek-thong terus
mengintil di belakang Cu-in, dengan suara tertahan ia membisiki Siao-Iiong-li:
"Sebentar lagi langkahnya pasti akan lamban."
"Dari mana kau tahu?" tanya Siao-Iong-li dengan
tertawa.
"Aku pernah berlomba lari dengan dia, dari Tionggoan
kami udak mengudak sampai di wilayah barat dan dari sana memutar balik lagi ke
Tionggoan, berpuluh ribu li kami telah berlari, tentu saja kutahu
kemampuannya," tutur Ciu Pek-thong dengan tersenyum.
Duduk diatas peti itu, Siao-liong-li merasa sangat anteng
dan setabil melebihi naik kuda, dengan suara pelahan ia tanya dengan tertawa:
"Lo-wan-tong, untuk apa kau membantu aku?"
"Siapa yang tidak suka membantu nona cantik seperti
kau ini, kaupun tidak nakal dan centil seperti si Ui Yong," jawab Ciu Pek
thong. "Malahan kaupun tidak pernah marah biarpun aku telah mencuri
madumu."
Begitulah mereka berlari dengan Siao-liong-li membonceng
di panggul Ciu Pek-thong, benar juga, tidak lama kemudian lambat laun langkah
Cu-in mulai mengendur. Pada saat itulah Ciu Pek-thong lantas berkata:
"Pergilah!" - Berbareng pundaknya terus menyembul dan tubuuh
Siao-liong-li lantas melayang jauh ke depan.
Karena cukup istirahat begitu mulai lari lagi, hanya
sejenak saja Siao-liong-li sudah dapat melampaui Cu-in, setelah itu ia sengaja
menoleh dan tersenyum. Keruan Cu-in terkejut, lekas2 ia "tancap gas"
pula dan ngebut sekuatnya.
Namun Ginkang kedua orang memangnya selisih tidak jauh,
kini yang seorang sudah cukup beristirahat, yang lain sejak tadi ber-lari2
tanpa berhenti, maka jarak kedua orang makin lama makin menyolok dan sukar lagi
bagi Cu-in untuk menyusuInya.
Selama ini Cu-in sangat bangga akan dua macam
kepandaiannya yang khas dan merasa tiada tandingannya di dunia ini, tapi dalam
sehari semalam saja ilmu pukulannya telah dikalahkan Nyo Ko, kini Ginkangnya
dikalahkan pula oleh Siao-liong-li, seketika ia lantas lesu dan patah semangat,
kedua kakinya terasa lemas se-akan2 tidak mau menurut perintah lagi Diam2 ia
berkuatir apakah ajalnya sudah dekat sehingga nona jelita begitu saja mampu
menyusulnya?
Semalam napsu jahatnya memuncak dan melukai sang guru,
sehabis itu hatinya tidak tenteram, kini dia tak sanggup lagi menyusul
Siao-liong-li meski sudah mengerahkan segenap tenaganya, keruan pikirannya
semakin kacau dan merasa segala urusan di dunia ini sama sekali sukar
dibayangkan.
Kejadian Ciu Pek-thong membantu Siao-liong-li itu dapat
dilihat dengan jelas oleh Nyo Ko yang mengintil di belakang, ia tertarik juga
oleh perbuatan jahil si Anak Tua Nakal, segera ia percepat pula langkahnya
mendekati Ciu Pek-thong serta menegur dengan tertawa: "Terima kasih
banyak2, Ciu-locianpwe"
"Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengan si tua
Kiu Jian-yim ini, mengapa semakin tua semakin konyol sehingga akhirnya cukur
rambutnya hingga kelimis dan menjadi Hwesio."
"Dia telah mengangkat It-teng Taysu sebagai guru,
masakah engkau tidak tahu?", tutur Nyo Ko sambil menuding ke belakang.
Ciu Pek-thong terkejut, serunya: "He, apakah
Toan-hongya juga datang?"
Waktu ia menoleh dan melihat bayangan It-teng, cepat ia
berseru pula: "Wah, tidak enak, paling selamat angkat langkah seribu saja.
Habis ini mendadak ia berlari menjurus ke samping terus menyusup ke dalam
pepohonan yang rimbun.
Nyo Ko sendiri tidak tahu apa itu "Toan Hongya"
(raja she Toan) yang diucap Ciu Pek-thong itu, dilihatnya dalam sekejap saja
Anak Tua Nakal itu sudah menghilang tanpa bekas, diam-diam ia merasa tindak
tanduk orang tua itu sungguh aneh dan jarang ada bandingannya.
Melihat Ciu Pek~ thong telah kabur menjauhi dirinya, It
teng lantas mendekati Nyo Ko, dilihatnya Cu-in lesu dan Iemas, sikapnya semula
yang bersemangat dan tangkas mendadak hilang dan entah ke mana, maka dengan
suara halus ia coba menghiburnya: "Masakah jalan pikiranmu masih belum
terbuka menghadapi soal kalah dan menang begini?"
Cu-in melenggong bingung. It-teng berkata puIa:
"Setiap kehendak tentu ada kelemahannya dengan kepandaianmu yang tinggi,
kalau saja engkau tidak berkeras ingin menang, masakah kau tidak mengetahui
bahwa di belakangmu telah bertambah seorang penguntit?"
Sampai di sini, tiba2 terdengar Siao-Iiong-Ii berseru di
depan sana :"He, lekas kemari, lihatlah ini..
Cepat Nyo Ko bertiga menyusul kesana, tertampak
Siao-liong-li menunjuk pada sebatang pohon, kulit batang pohon itu terkupas,
sebagian terlukis sebuah ujung panah yang mengarah ke utara, di bawah panah ada
tisi kan beberapa huruf kecil yang berbunyi: "Arah ke Coat-ceng-kok."
Huruf2 itu dicocok dengan jarum dan bersemu ke-hitam2an.
Agaknya huruf2 ini dicocok dengan jarum berbisa Li Bok-chiu," kata Nyo Ko.
"Benar," jawab Siao-Iiong-li. "Tapi Suciku
selamanya tidak pernah ke Coat-ceng-kok, dia tidak mengenal jalanan ke
sana."
Nyo Ko termenung sejenak, lalu berkata pula.
"Kwe-hujin dan nona Kwo masih menyimpan Pek-pok-gin-ciam bekas milik Li
Bok-chiu. Paman Bu tahu jalanan ke Coat-ceng-kok, mungkin tulisan ini dibuat
oleh rombongan mereka."
"Untuk ditujukan kepada siapa petunjuk ini?"
tanya Siao Iiong-li.
"Muridku she Cu itu banyak tipu akalnya, dia
terkurung di sana dan sempat mengirim berita mohon bantuan padaku, bisa jadi
Sam-thong juga mengetahui aku akan datang ke sini," kata It-teng Taysu.
Begitulah mereka berempat lantas mempercepat perjalanan
mereka, lima hari pertama mereka dapat berjalan dengan cepat, tapi pagi hati
keenam luka It-teng tenyata bertambah parah dan mulai tidak tahan berjalan..
Segera Cu-in berjongkok dan memaksa menggendong It-teng
Taysu, dengan begitu mereka melanjutkan perjalanan tanpa terhenti Lewat lohor,
sampailah rombongan mereka di mulut lembah Coat ceng kok itu.
"Apakah kita perlu memberitahukan kedatangan kita
agar adikmu menyambut kedatangan Taysu," tanya Nyo Ko kepada Cu-in.
Belum lagi Cu-in menjawab tiba2 terdengar di tengah
lembah sana sayup2 ada suara beradunya senjata. Kuatir akan keselamatan adik
perempuan nya itu yang mungkin sudah bergebrak dengan Bu Sam-thong dan lain2,
cepat Cu-in berkata:" Marilah kita masuk saja langsung ke sana untuk
mencegah pertarungan mereka, "
Be-ramai2 mereka lantas berlari ke arah datangnya suara
itu. Sesudah dekat, terlihat beberapa orang berseragam hijau dengan senjata
terhunus sedang berjaga di luar semak2 pohon sana dan suara beradunya senjata
berkumandang dari dalam pepohonan yang rimbun itu, sedangkan orang2 yang bertempur
tidak kelihatan sama sekali.
Melihat kedatangan musuh lagi, orang2 berbaju bijau itu.
berteriak-teriak sambil menyingkir ke sayap kanan dan kiri dengan maksud hendak
mendesak musuh ke tengah pepohonan. Tapi sesudah berhadapan, mereka mengenali
Siao-liong-li dan Nyo Ko, serentak mereka merandek dengan melenggong.
Salah seorang yang menjadi kepala rombongan orang2
berbaju hijau itu lantas menegur Nyo Ko.
"Cubo (majikan perempuan - Cukong majikan Ielaki)
menugaskan Nyo-kongcu ke Siangyang, apakah tugas itu sudah berhasil dengan
baik?"
Sudah tentu tugas yang dimaksudkan itu adalah membunuh
Kwe Cing dan Ui Yong, Nyo Ko tidak menjawab sebaliknya malah bertanya:
"Siapa yang sedang bertempur itu?"
Orang itu tidak menjawab, tapi melirik dengan sangsi, karena
tidak tahu kedatangan Nyo Ko ini adalah kawan atau lawan.
"Kedatanganku ini tidak bermaksud buruk," jawab
Nyo Ko tersenyum, "apakah Kongsun-hujin baik2 saja, begitu pula nona
Kongsun?"
Hilanglah rasa waswas orang berbaju hijau itu mendengar
jawaban Nyo Ko itu, katanya kemudian: "Terima kasih, Cubo dan nona baik2
semuanya."
Cu-in bergirang mendengar adik perempuannnya baik2 saja.
Orang berbaju hijau tadi bertanya pula: "Dan
siapakah kedua Toa-hwesio ini? Apakah sehaluan dengan keempat perempuan di dalam
hutan itu?
"Keempat perempuan? siapakah mereka?" tanya Nyo
Ko....
"Keempat perempuan itu telah menyerbu dalam doa
jurusan, Cubo memberi perintah agar mereka diusir, tapi mereka membangkang dan
sekarang telah dipancing ke dalam lingkaran bunga cinta, di luar dugaan, begitu
keempat perempuan itu saling, bertemu, mereka lantas saling labrak malah,"
demikian keterangan orang itu.
Nyo Ko terkejut mendengar keempat perempuaa itu terkurung
di tengah lingkaran bunga cinta, seketika iapun tidak tahu siapakah keempat
perempuan yang dikatakan itu. Kalau Ui Yong, Kwe Hu, Wanyan Peng dan Yalu Yan,
mengapa mereka berempat saling labrak? Karena itulah ia lantas berkata:
"Jika tidak keberatan, tolong, perlihatkan padaku, kalau kukenal mereka,
boleh jadi dapat kulerai mereka untuk ber-sama2 menghadap Kokcu."
Orang berbaju hijau itu yakin keempat perempuan yang
sudah terkurung di tengah tetumbuhan bunga cinta itu pasti sukar meloloskan
diri, maka ia tak menolak permintaan Nyo Ko, segera ia membawa Nyo Ko berempat
ke dalam hutan, Maka tertampaklah di suatu tanah yang rendah yang penuh
dilingkari bunga2 yang indah permai ada empat perempuan yang terbagi dalam dua
partai sedang bertempur dengan sengit.
Menyaksikan keadaan pertarungan keempat orang itu,
serentak Nyo Ko dan Siao-liong-li terkejut bahkan Siao-liong-li sampai berseru
kuatif. Kiranya tempat di mana keempat perempuan itu bertempur adalah sebuah
tanah rumput seluas tiga empat meter persegi yang sekitarnya penuh dipagari
bunga cinta yang berduri itu, pagar bunga cinta yang mengitari tanah rumput
dibagian tengah itu rata2 melebar sampai belasan meter jauhnya, biarpun orang
yang memiliki Ginkang maha tinggal dunia ini juga tidak mampu ke luar dari
pagar bunga cinta itu dengan sekali lompat, bahkan dua kali lompatan juga
sukar.
It-teng Taysu dan Cu-in tidak begitu heran menyaksikan
keadaan itu karena mereka tidak tahu betapa lihaynya bunga cinta itu, tapi Nyo
Ko dan Siao-liong-li sudah merasakan siksaan bunga itu, maka begitu melihat
mereka lantas berkuatir bagi keempat perempuan itu,
"Kiranya Suci adanya," kata Siao-liong-li
kemudian. "Dia datang terlebih dulu dari pada kita"
Kiranya dua di antara keempat perempuan itu memang Li
Bok-chiu dan muridnya, yaitu Ang Leng-po. Mereka sama2 bersenjatakan pedang,
mungkin setelah kebutnya patah di dalam kuburan kuno Li Bok-chiu belum sempat
membuat kebut baru, sedangkan ke dua perempuan yang menjadi lawan mereka
masing2 menggunakan senjata Liu yap-to (golok panjang: sempit) dan seorang lagi
memegang sebangsa seruling, potongan tubuh keduanya sama2 langsing, langkah
mereka cepat dan gesit, tampaknya ilmu silat mereka juga tidak lemah walaupun
jelas bukan tandingan Li Bok-chiu.
"Kiranya kedua saudara misan inilah,"
demikianlah Nyo Ko membatin setelah mengenali kedua orang yang bukan lain
daripada Thia Eng dan Liok Bu-siang.
Bertempur di tengah arena yang cuma tiga-empat meter
luasnya memerlukan kecermatan yang luar biasa, sedikitpun tidak boleh salah
langkah, dengan demikian bagi yang lemah ilmu silatnya menjadi rada kerepotan.
Untungnya Li Bok-chiu kurang leluasa menggunakan
pedangnya yang bukan senjatanya se-hari2, sedangkan Thia Eng sejak mendapatkan
didikan langsung dari Ui Yok-su, sebagian kepandaiannya yang bagus itu juga
telah diajarkan kepada Liok Bu-siang, selama beberapa bulan ini mereka sudah
maju pesat, ditambah lagi Ang Leng-po merasa kasihan pada Bu-siang yang pernah
belajar bersama di bawah pimpinan Li Bok-chiu, ia tidak tega melancarkan
serangan maut, karena itulah Bu-siang dan Thia Eng masih sanggup bertahan meski
keadaan mereka sudah mulai payah.
"Tanpa sebab apa2 mengapa mereka berempat bisa
menerobos ke tengah pagar bunga cinta itu dan bertempur di situ?" tanya
Nyo Ko kepada orang berbaju hijau.
Orang itu sangat bangga dan bercerita dengan pongahnya:
"lnilah perangkap rahasia yang diatur oleh Kongsun-kokcu, sekali mata2
musuh menyusup ke tengah pagar bunga cinta itu, begitu kami tutup jalan
masuknya, maka semua jalan menjadi buntu dan tak mungkin bisa keluar
lagi."
"Apakah mereka sudah terkena racun bunga cinta
itu?" tanya Nyo Ko kuatir,
"Seumpama belum kena, kukira cuma soal waktu saja,
sebentar lagi," kata orang itu,
Nyo Ko menjadi heran cara bagaimana orang2 ini mampu
memancing atau memaksa Li Bok-chiu ke dalam pagar bunga cinta itu. Akhirnya ia
ingat, pasti orang2 berbaju hijau ini telah menggunakan barisan berpisau yang
lihay itu. ia menjadi kuatir kalau Thia Eng dan Bu-siang juga kena racun bunga
cinta, maka di dunia ini tiada obat lagi yang dapat menyembuhkan mereka.
Dengan suara lantang ia lantas berseru: "Thia-cici
dan Liok-cici, ini-ku diriku Nyo Ko berada di sini. Kalian harus hati2 terhadap
bunga2 berduri di sekitar kalian itu, tidak kepalang lihaynya racun bunga itu,
awas jangan sampai tertusuk !"
Li Bok-chiu yang cerdik itu sejak mula sudah menduga
pasti ada sesuatu pada bunga cinta itu, kalau musuh mengurung mereka dengan
tumbuh2an berduri itu tentu ada sebabnya, maka diam2 ia teIah membisiki Ang
Leng--po agar ber-hati2 dan sebisanya menjauhi bunga berduri itu.
Thia Eng dan Liok Bu siang juga bukan nona bodoh, tentu
saja merekapun melihat keadaan yang tidak beres itu, sebab itulah mereka
bertempur dengan waspada dan menghindari sentuhan pada tetumbuhan itu. Kini
demi mendengar peringatan Nyo Ko, di antara keempit orang itu dua orang merasa
terkejut dan dua orang bergirang, tapi merekapun bertambah was-was terhadap
tetumbuhan di sekitar mereka itu, pertarungan merekapun bertambah sengit
mencari selamat sendiri.
Bahwasanya Thia Eng din Liok Bu-siang bertempur demi
menuntut balas kematian keluarga mereka, maka mereka sudah tidak memikirkan
kelamaan sendiri asalkan dapat membinasakan musuh. sebaliknya Li Bok-chiu
berhasrat harus membunuh kedua "nona" itu agar dapat digunakan
sebagai batu loncatan untuk melompat dari kepungan pagar bunga cinta itu.
Kedatangan Siao liong-li dan Nyo Ko sebenarnya telah
membikin Li Bok-chiu menjadi kuatir, untunglah mereka teralang oleh pagar bunga
cinta dan tidak dapat memberi bantuan. Segera ia membentak: "Leng-po,
lekas menyerang jika kau tidak ingin lekas mati di sini"
Sejak kecil Ang-Leng-po sangat takut kepada sang guru,
cepat ia mengiakan dan pedangnya lantas menusuk ke arah Thia Eng. Tekanan
kepada Liok Bu-siang menjadi kendur, tapi Thia Eng lantas terancam bahaya.
Ketika Thia Eng angkat serulingnya menangkis serangan Ang
Leng po dari belakang itu, mendadak secepat kilat pedang Li Bok-chiu juga
menyerang ke tenggorokannya. Dengan sendirinya Bu-sing tidak tinggal diam,
segera goloknya menangkis. Namun Li Bok-chiu telah angkat pedangnya berbareng
sebelah kakinya kena memegang pergelangan tangan Bu-siang sehingga goloknya
terlepas dari pegangan dan jatuh ke tengah bunga cinta. Menyusul itu pedang Li
Bok Chiu bergerak pula, ber-turut2 dia, menusuk tiga kali sehingga Thia Eng
tidak mampu menangkisnya dan terpaksa mundur ke belakang, kalau dia mundur lagi
selangkah tentu akan menginjak bunga berduri itu.
"Awas, Eng-ci, jangan mundur lagi!" seru
Bu-siang kuatir.
"Tidak mundur boleh maju saja!." jengek Li
Bok-cniu sambil melangkah mundur satu tindak.
Thia Eng tahu, orang pasti tidak bermaksud baik, tapi
tempat berdirinya itu memang sangat berbahaya, maka tanpa pikir ia lantas
melangkah maju.
"Hm, berani amat kau !" jengek Li Bok-chiu
pula, pedangnya bergerak, serentak sinar pedangnya mengurung rapat tubuh Thia
Eng bagian atas.
Dari jauh Nyo Ko dapat menyaksikan permainan ilmu pedang
Li Bok chiu yang lihay itu, kalau tidak memaharai gaya serangan itu, kebanyakan
orang tentu akan berusaha melindungi tubuh sendiri bagian atas, karena itu
bagian perut menjadi tak terjaga dan pasti akan terserang. Tanpa ayal lagi Nyo
Ko-lantas pungut sepotong batu kecil dan mendadak diselentikkan.
Begitu cepat batu itu meluncur ke depan mengarah Li
Bok~chiu yang tinggal satunya itu. Pada saat itu pula ujung pedang Li Bok-chiu
juga sedang menyerang bagian perut Thia Eng. Ketika tiba2 mendapat serangan
batu, kalau serangan pada Thia Eng diteruskan dan dapat membinasakan gadis itu,
namun mata sendiri juga sukar diselamatkan Terpaksa ia menarik kembali
pedangnya untuk menyampuk batu itu, "trang", batu itu tersampuk jauh.
Sambitan batu Nyo Ko itu adalah ilmu jari sakti ajaran Ui
Yok-su, cuma belum sempurna dilatihnya, maka dia hanya dapat menggunakannya
untuk menggertak musuh dan menolong teman, Untung sejak sebelah mata Li
Bok-chiu buta, sisa mata satu2nya itu selalu dijaganya dengan baik, kalau tidak
mungkin dia berani mengambil risiko membinasakan Thia Eeng lebih dulu, habis
itu baru berusaha menundukkan kepala untuk menghindari sambitan batu.
Kalau serangan itu dilakukan oleh Ui Yok-su tentu batu
itu akan menggetar jatuh pedang Li Bok-chiu atau sedikitnya membuat pedang itu
terpental walaupun tidak sehebat Ui Yok-su, namun sedikit-ilmu ajarannya itu
juga telah berhasil menyelamatkan jiwa murid kesayangannya.
Setelah lolos dari renggutan sang maut, wajah Thia Eng
yang memang putih itu menjadi semakin pucat, Melihat itu, segera Li Bok-chiu
membentak: "Awas, datang lagi!" pedangnya bergerak, serangan seperti
tadi kembali dilancarkan pula.
Thia Eng sudah mendapatkan pengalaman tadi dan ia tahu
sasaran musuh adalah bagian perutnya, maka serulingnya lebih diutarnakan
melindungi bagian tubuh tersebut.
Di luar dugaan, serangan Li Bok-chiu ternyata beraneka
macam perubahannya ujung pedangnya benar2 menusuk pula ke perut Thia Eng, tapi
berbareng iapun menubruk maju, jarinya berhasil menutuk
"Giok-tong-hiat" di dada nona itu, ketika Thia Eng melenggong, segera
kaki Li Bok chiu menyapu pula hingga Liok Bu-siang didepak jatuh, menyusul
ujung kakinya menendang pula Hiat-to di bagian dengkul Thia Eng.
Beberapa gerakan itu berlangsung dengan cepat luar biasa,
dalam sekajap saja Thia Eng dan Liok Bu-siang kena dirobohkan semua, meski Nyo
Ko hendak menolongnya juga tidak keburu lagi.
"Suhu!" seru Ang Leng-po kuatir.
Tapi Li Bok-chiu lantas cengkeram punggung Thia Eng dan
di lempar kesana menyusut Bu siang juga dilemparkannya sambil berkata:
"Leng-po, cepat lompat keluar dengan menginjak tubuh mereka
berdua...." belum habis ucapannya, mendadak Nyo Ko melompat maju dan
sempat menangkap tubuh Thia Eng sebelum nona itu terjatuh ke tengah bunga
cinta". Habis itu lantas melompat maju lagi.
Meski Hiat-to bagian dada dan kaki tertutuk, tapi kedua
tangan Thia Eng masih dapat bergerak, segera ia merangkul Liok Bu-siang yang
saat itu sedang melayang ke arahnya itu sambil berseru: "Nyo-toako,
engkau..." seketika darah bergolak dalam dalam dadanya, memangnya dia
sudah jatuh cinta pada Nyo Ko, kini pemuda itu menerjang ke tengah bunga cinta
itu untuk menoIongnya tanpa memikirkan keselamatan sendiri, sungguh ia menjadi
sangat terharu dan terima kasih tak terhingga.
Rupanya waktu melihat Thia Eng dan Liok Bu~siang
dilemparkan Li Bok-chiu ke tengah semak2 bunga cinta, semula Nyo Ko dapat
meraba maksud keji Li Bok-chiu yang hendak menggunakan kedua nona itu sebagai batu
loncatan untuk keluar dari kepungan pagar bunga cinta itu, maka tanpa pikir ia
terus menerjang maju untuk menolong kedua nona itu.
Setelah berhasil menangkap tubuh kedua orang itu, cepat
ia melompat mundur menurunkan mereka.
Kaki Thia Eng tertutuk sehingga tidak dapat berdiri,
cepat Siao-liong-li membukakan Hiat-to yang tertutuk itu....Ketiga nona sama
memandangi Nyo Ko, tertampak kaki celananya sudah robek terkena duri, kakinya
juga berlumuran darah, entah berapa banyak duri bunga berbisa itu telah melukainya.
Thia Eng mengembeng air mata dan tidak sanggup membuka suara, Liok Bu-siang
juga cemas dan berkata: "Mestinya engkau.... tidak perlu menolong diriku
mengapa... mengapa engkau bertindak begini ?"
Dengan tertawa Nyo Ko menjawab "memangnya aku sudah
terkena racun bunga itu", kalau tercocok lagi duri bunga itu juga tidak
ada bedanya."
Sudah tentu semua orang tahu banyak dan sedikit terkena
racun bunga itu besar perbedaannya.
Ucapannya itu jelas hanya untuk menghibur ketiga nona ini
saja.
Tiba2 Liok Bu-siang-berseru pula: "He, Tolol, ken...
kenapa lengan kananmu? Mengapa buntung?"
Siao-liong-li tidak kenal Thia Eng dan Bu-siang, tapi
melihat mereka cantik manis, dalam hatinya sudah timbul rasa suka, apalagi
melihat mereka sangat memperhatikan Nyo Ko, sekejap saja ia sudah anggap mereka
sebagai teman karib.
Dengan tersenyum ia lantas bertanya: "Mengapa engkau
memanggilnya tolol? sama sekali dia tidaklah tolol"
"Ah, maaf, karena sudah terbiasa memanggilnya
begitu, seketika aku lupa," jawab Bu-siang ia saling pandang sekejap
dengan Thia Eng, lalu bertanya: "Cici ini apakah..."
"lalah...." belum selesai Nyo Ko menerangkan
cepat Thia Eng menyambung: "Tentunya Siao-liong-li cianpwe bukan?"
"Ya, memang sudah kuduga, sungguh cantik laksana
bidadari," demikian Bu-siang menambahi.
Rasa cemburu pasti ada pada setiap orang, apalagi
perempuan Dahulu, ketika melihat Nyo Ko sangat mencintai Siao-liong-li,
betapapun timbul rasai cemburu dalam hati Thia Eng dan Bu-siang, tapi sekarang
setelah bertemu, makin dipandang makia terasa Siao-liong-li memang cantik molek
dan sederhana, lain daripada yang lain tanpa terasa timbul pikiran rendah
dirinya, keduanya sama membatin: "Memang diriku tak dapat dibandingkan
dia."
Bu siang yang berwatak tidak sabaran itu segera bertanya
pula:"He, Nyo-toako, sebab apakah lenganmu itu terkutung? Apalah lukanya
sudah sembuh?"
"Sudah lama sembuh, "jawab Nyo Ko. "Putus
karena dikutungkan orang."
"Keparat!" omel Bu-siang. "Bangsat manakah
yang pantas mampus itu? Tentu dia menggunakan akal licik dan keji, bukan?,
Apakah perbuatan iblis perempuan yang jahat itu?"
Tiba2 suara seseorang mendengus di belakangnya: "Hm,
apakah tidak rendah caramu memaki di luar tahu orangnya?"
Bu-siang dan Thia Eng terkejut, cepat mereka berpaling,
terlihatlah yang bicara itu adalah seorang nona cantik, siapa lagi kalau bukan
Kwe Hu. Dengan tangan memegang garan pedang air muka Kwe Hu tampak marah, di
sebelahnya berdiri pula beberapa orang, baik lelaki maupun perempuan.
Dengan heran Bu-siang lantas menjawab: "He, kan
bukan kau yang kumaki, yang kumaki adalah bangsat keparat yg membuntungi lengan
Nyo-toako."
"Sret", mendadak Kwe Hu melolos pedangnya
sebagian dan berkata pula dengan gusar: "Akulah yang mengutungkan
lengannya. Aku sudah minta maaf padanya, akupun sudnh kenyang didamperat ayah
ibuku, tapi kalian masih memaki aku secara keji di belakangku..." sampai
di sini matanya menjadi memberambang merah penuh rasa penasaran
Kiranya rombongan Bu Sam-thong, Kwe Hu, Yalu Ce dan kedua
saudara Bu kemudian bergabung kembali dengan Ui Yong serta Wanyan Peng dan Yalu
Yan, lalu mereka lantas menuju ke Coat-ceng-j kok, karena Bu Sam-thong sudah
tahu jalannya maka rombongan mereka tiba lebih dini setengah hari daripada
rombongan It-teng dan Nyo Ko, cuma rombongan Ui Yong lebih dulu berusaha
mencari paderi Hindu dan Cu Cu-Iiu, tapi tidak ketemu, maka banyak waktu yang
terbuang secara sia2.
Mengenai beradanya Li Bok-chiu dan Ang Leng-po di
Coat-ceng-kok, begitu pula Thia Eng dan Liok Bu-siang, keadaan mereka
sebaliknya ber-beda2. Li Bok-chiu berdua datang ke situ tanpa sengaja karena
mereka mengikuti tanda2 petunjuk jalan yang ditinggalkan Bu Sam-thong,
sedangkan kedatangan Thia Eng berdua adalah karena terpancing oleh kejahilan
Ciu Pek-thong.
BegituIah Ui Yong, Bu Sam-thong dan lain2 lantas memberi
hormat kepada It-teng Taysu, lalu diperkenalkan pula kepada lain2nya. Thia Eng
belum pernah bertemu dengan kakak seperguruannya seperti Ui Yong ini, namun
namanya sudah lama didengarnya serta dikaguminya, maka dengan sangat hormat ia
lantas menyembah kepada Ui Yong sambil memanggil "Suci!"
Dari Nyo Ko memang Ui Yong sudah mendengar bahwa akhir2
ini ayahnya telah menerima lagi seorang murid perempuan, kini melihat sang
Sumoay ini cukup cantik, ia menjadi menyukainya dan bertanya tentang keadaan
ayahnya.
Sementara itu beberapa orang berbaju hijau tadi lantas
kabur melaporkan kedatangan musuh itu kepada Kiu Jian-jio.
Kwe Hu dan Liok Bu-siang masih saling melotot, meski
tidak berkelahi, tapi sama2 merasa benci. Apa lagi dari ibunya Kwe Hu disuruh
memberi hormat serta memanggil "Susiok" kepada Thia Eng, tentu saja
ia kurang senang, suara panggilan nya juga sangat kaku.
Sedang Nyo Ko dan Siao~liong-li bergandengan tangan
berdiri rada jauh, melihat Kwe Yang dalam pondongan Siao-liong-li itu, ia
lantas berkata: "Liong-ji kembalikan saja, anak ini pada ibunya."
Siao-liong li setuju, ia menciumi dulu pipi mungil anak
bayi itu, lalu mendekati Ui Yong dan berkatal "Kwe hujin, terimalah anakmu
ini."
Dengan girang Ui Yong menerimanya. Sejak dilahirkan baru
sekarang Kwe Yang berada dalam pangkuan sang ibu, sungguh rasa girang Ui Yong
sukar dilukiskan.
"Nona Kwe," dengan suara lantang Nyo Ko berkata
kepada Kwe Hu, "itu dia, adikmu dalam keadaan sehat walafiat tanpa kurang,
sesuatu apapun sama sekali aku tidak menggunakannya untuk menukar obat
bagiku."
"lbuku datang dengan sendirinya kau tidak
berani," jawab Kwe Hu dengan gusar, "Kalau kau tidak bermaksud
begitu, untuk apa kau membawa lari adikku ke sini?"
Kalau menurut watak Nyo Ko biasanya tentu kontan dia
balas mengejeknya, tapi beberapa bulan terakhir ini dia telah banyak mengalami
gemblengan lahir batin, pertengkaran mulut begitu, sudah tidak menarik baginya,
maka ia hanya tersenyum tawar saja, lalu menyingkir dengan menggandeng tangan
Siao-Iiong li.
Bu-siang memandang sekejap kearah Kwe Yang lalu berkata
kepada Thia Eng: "inilah puteri bungsu Sucimu? Semoga setelah dia besar
kelak tidak terlalu galak dan warok!"
Sudah tentu Kwe Hu dapat merasakan ucapan yang
menyindirnya itu, segera ia menanggapi: "Adik-ku akan galak dan warok atau
tidak, sangkut paut apa dengan kau? Apa maksud ucapanmu ini?"
"Aku tidak bicara dengan kau," jawab Bu-siang.
"Orang jahat dan galak, setiap orang di dunia ini boleh ikut urus, mengapa
tiada sangkut paut denganku."
Jiwa Bu-siang pernah diselamatkan Nyo Ko dalam lubuk hati
nona itu hanya anak muda itulah yang selalu dipikirkan olehnya, misalnya waktu
sama2 terancam bahaya, Bu-siang rela menyerahkan setengah potong saputangan
wasiat kepadanya, itulah pertanda dia rela mengorbankan jiwa sendiri, demi
keselamatan Nyo Ko.
Kini mendengar anak muda itu dikutungi oleh Kwe Hu, tentu
saja ia ikut sakit hati dan gusar pula. Wataknya memang tidak sabaran seperti
Thia Eng, meski di depan orang banyak iapun tidak dapat menahan perasaannya
itu.
Begitulah dengan murka Kwe Hu lantas balas mendamprat:
"Keparat! Kau perempuan pincang..."
"Hu-ji! jangan kurang ajar!" bentak Ui Yong
cepat.
Pada saat itulah tiba2 terdengar suara orang menjerit di
sebelah sana, semua orang lantas memandang ke sana, tertampaklah di tengah
lingkaran semak2 bunga cinta itu Li Bok-chiu mengangkat tubuh Ang Leng-po,
jeritan itu adalah suara Ang Leng-po yang ketakutan itu.
Rupanya It-teng, Ui Yong, Thia Eng dan lain2 asyik
bercengkerama sehingga melupakan Li Bok-chiu dan muridnya itu.
"Celaka, Suhu hendak menggunakan Suci sebagai batu
loncatan!" seru Bu-siang kuatir. Sejak kecil dia tinggal bersama Li
Bokchiu, maka ia cukup kenal watak sang guru yang keji dan ganas itu, Biarpun
Ang Leng-po merupakan jatuhnya orang yang paling dekat dengan dia, tapi kalau
terancam bahaya, sang guru itu tidak segan2 menerbitkan jiwa muridnya demi
keselamatannya sendiri
Selagi semua crang melengak kaget, tertampak Li Bok-chiu
sedang melemparkan Ang Leng-po ke semak2 bunga cinta yang berduri itu, menyusul
ia sendiri lantas melompat ke sana, sekali kakinya menutul tubuh Leng-po.
serentak dia melompat pula sekuatnya ke depan sambil tangan menarik Ang Leng-po
dan dilemparkan lagi, lalu digunakan lagi sebagai batu loncatan, dengan begitu
tiga kali lompatan saja dia akan dapat keluar dari kurungan semak2 bunga itu.
Dia juga kuatir akan dicegat Ui Yong dan rornbongannya, maka arah yang dia
ambil adalah berlawanan dengan tempat berdiri rombongan Ui Yong itu.
Di luar dugaan, ketika untuk kedua kalinya dia hendak
melompat lagi ke depan, mendadak Ang Leng-po berteriak keras2 dan ikut melompat
juga ke atas terus merangkul erat2 paha kiri Li Bok-chiu seketika tubuh Li
Bok-chiu tertarik ke bawah, dalam keadaan terapung tiada jalan lain bagi Li
Bok-chiu kecuali mengayun kakinya yang lain, "bluk", dengan keras
dada Ang Lengpo tertendang isi perutnya tergetar hancur dan binasa seketika.
Namun begitu tangan Ang Leng-po masih merangkul
se-kencang2nya sehingga kedua orang sama terbanting jatuh ke semak2 bunga,
walaupun tempatnya hanya dua-tiga kaki saja dari tepi semak2 namun selisih
jarak sekian itu pun telah membikin Li Bok-chiu ikut merasakan siksaan be-ribu2
duri bunga yang berbisa itu.
Perubahan itu mula2 sama sekali tak terduga oleh siapapun
dan berakhir secara mengerikan pula, semua orang menyaksikan dengan melongo dan
berdebar.
Dalam pada itu Li Bok-chiu telah berjongkok dan mementang
tangan Ang Leng-po yang masih merangkul erat pada kakinya itu, dilihatnya
muridnya itu sudah mati, namun matanya tetap melotot penuh benci dan dendam.
Li Bok-chiu tahu dirinya telah keracunan bunga berduri
itu, untuk itu harus mencari obat penawarnya di lembah ini. Selagi dia hendak
melangkah pergi, tiba2 terdengar Ui Yong berseru padanya: "Li-cici, coba
kemari, ingin kukatakan sesuatu padamu."..
Dengan rada sangsi Li Bok-chiu mendekati Ui Yong, lalu
bertanya: "Ada apa?" Diam2 ia berharap maksud Ui Yong memanggilnya
itu hendak memberi obat atau paling tidak akan memberi petunjuk ke mana harus
mencari obat penawar.
Maka berkatalah Ui Yong, "Untuk keluar dari kurungan
semak2 bunga itu sebenarnya kau tidak perlu mengorbankan jiwa muridmu."
"Hm, jadi kau hendak mengguruiku?" jengek Li
Bok chiu.
"Mana aku berani," jawab Ui Yong dengan
tertawa, "Aku cuma ingin mengajarkan sesuatu akal padamu, mestinya cukup
kau menggali tanah dan membungkusnya dengan bajumu menjadi dua karung, lalu
dilemparkan ke semak2 bunga itu, bukankah akan merupakan batu loncatan yang
sangat bagus? Kan kau dapat keluar dengan baik dan jiwa muridmu juga tidak
perlu melayang."
Muka Li Bok-cbio menjadi merah dan lain saat berubah
pucat pula penuh rasa menyesal. Apa yang diucapkan Ui Yong itu sebenarnya tidak
sulit dilakukan soalnya dia terburu napsu dan tidak memikirkannya tadi sehingga
satunya orang yang paling dekat telah menjadi korban dan ia sendiripun belum
terhindar dari bencana, Maka dengan gemas ia menjawab: "Sudah tertambat
kalau dibicarakan sekarang!"
"Ya, memang benar sudah terlambat." ujar Ui
Yong, "Padahal terkena racun bunga itu atau tidak bagimu tiada
bedanya."
Dengan gusar Li Bok~chiu mendelik pada Ui Yong karena
tidak paham apa arti ucapan itu.
Sebenarnya sudah terang kau terkena racun patah hatimu,
akibatnya kau berbuat sesuka hatimu, mencelakai orang lain dan bikin susah
sendiri puIa, sampai saat ini memang sudah sangat tertambat bagimu," kata
Ui Yong dengan gegetun.
Serentak timbul pula rasa angkuh Li Bok-chiu, jawabnya:
" jiwa muridku itu akulah yang menyelamatkannya, kalau aku tidak
membesarkan dia, mungkin sejak dulu dia sudah mati, jadi dia hidup dariku dan
mati pula bagiku, ini kan maha adil."
"Setiap orang tentu terlahir dari ibu dan ayah,
sekalipun ayah-ibu juga takkan membunuh putra~ putri sendiri, apalagi orang
luar ?" kata Ui Yong.
Segera Bu Siu-bun melangkah maju dengan pedang terhunus
dan membentakt "Li Bok-chiu kejahatanmu sudah kelewat takaran, ajal mu
sudah sampai sekarang, maka terima saja kematianmu dan tidak perlu banyak
bacot."
Menyusul Bu Tun-si, Bu Sam-thong serta Yalu Ce, Yalu Yan,
Wanyan Peng dan Kwe Hu berenam serentak juga mendesak maju dari kanan dan kiri.
Sorot mata Li Bok-chiu menyapu sekeliling tawarnya itu,
jelas semua orang penuh rasa benci padanya, ia pikir melulu seorang Ui Yong
saja tukar dilawan apa lagi masih ada Nyo Ko dan Siao~liong-li. Dilihatnya Liok
Bu-siang dan Thia Eng juga lantas melangkah maju dengan senjata masing2.
"Orang she Li, secara keji kau telah membunuh
segenap keluargaku, kalau sekarang hanya jiwamu sendiri saja yang membayar
utangmu itu kan masih terlalu murah bagimu?" seru Liok Bu~siang.
"Kalau bicara kejahatanmu melulu caramu membunuh Ang-suci barusan,
kematianmu saja tidak cukup untuk menebas dosamu."
Dalam keadaan demikian ternyata Kwe Hu masih sempat
melirik pada Liok Bu-siang dan mengejeknya: "Hm, itulah perbuatan gurumu
yang baik itu!,"
Bu-siang balas melotot, jawabnya: "Segala perbuatan
harus di tanggung sendiri dosanya, yang benar jangan kau meniru
tingkah-lakunya."
Li Bok-chiu berseru: "Siausumoay, apakah sama sekali
kau tidak memikirkan hubungan baik saudara seperguruan lagi?"
Selama hidupnya malang melintang di dunia Kangouw tampa
kenal belas kasihan kepada siapa-pun, sekarang dia sendiri malah memohon
kebaikan hati Siao liong-li, nyata karena dia merasa terdesak dan keadaan
sangat gawat bagi nya, selain itu mau-tak-mau hatinya merasa menyesal juga
setelah membinasakan Ang Leng-po tadi sehingga membuatnya patah semangat.
Selagi Siao-liong-li hendak menjawab, tiba2 Nyo-Ko
menanggapi dengan suara lantang: "Kau telah mengkhianati perguruan dan
membunuh murid sendiri, masakah kau masih berani bicara tentang seperguruan
segala?"
"Baik"!" seru Li Bok-chtu sambil menghela
napas, pedangnya bergerak dan menambahkan pula:
"Nah, majulah kalian semuanya, semakin banyak
semakin baik."
Tanpa bicara lagi kedua Bu cilik lantas menusuk dengan
pedang mereka, menyusul Liok Bu-siang dan Thia Eng menubruk maju dari samping
kiri.
"Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain2 juga tidak mau
ketinggalan, serentak mereka menyerang.
Mereka telah saksikan Li Bok-chiu membinasakan muridnya
dengan keji, maka mereka sama benci dan murka, sebab itulah serangan mereka
sama sekali tidak kenal ampun lagi. Bahkan orang alim seperti It-teng Taysu
juga merasa iblis perenv fmt,ti ittf mcraang pantas dimakan daripada hidupnya
akan mencelakai orang lain pula, Terdengarlah suara gemerantang beradunya
senjata, betapapun tinggi kepandaian Li Bok-chiu juga tidak mampu menghadapi
kerubutan orang banyak dan tampak nya sekejap saja tubuhnya pasti akan
dicincang oleh berbagai senjata itu.
Pada saat itulah mendadak Li Bok-chiu menngayun tangan
kirinya sambil menggertak: "Awas senjata rahasia!"
Setiap orang cukup kenal betapa lihaynya
Peng-pok-gin-ciam, jarum berbisa andalan Li Bok-chiu itu, karena itu serentak
mereka terkesiap, Pada saat itu, tahu2 Li Bok-chiu telah melompat ke atas untuk
kemudian turun kembali dibalik semak2 bunga cinta sana. Dalam kaget dan
gusarnya, semua orang sama berteriak kuwatir pula.
Rupanya dalam keadaan kepepet, Li Bok-chiu lantas ingat
bahwa dirinya telan tercocok oleh duri bunga cinta itu, kalau duri itu berbisa,
biarpun tercocok lebih banyak lagi juga sama saja, jadinya masuk kembalinya dia
ke tengah semak2 bunga itu juga tak terduga oleh orang cerdik seperti Ui Yong
dan Nyo Ko.
Terlihat Li Bok-chiu lantas menyusuri semak2 bunga itu
dan menerobos ke pepohonan.
"Marilah kita kejar!" seru Siu-bun sambil
mendahului berlari ke sana, namun jalanan di tengah hutan itu ternyata
ber~liku2, hanya belasan tombak jauhnya dia sudah berhadapan dengan jalan
simpang tiga sehingga dia bingung ke arah mana harus ditelusurinya.
Selagi sangsi, tiba2 dari depan sana muncul lima gadis
jelita berbaju hijau dan orang yang paling depan membawa sebuah keranjang
bunga, empat kawannya yang ikut di belakang membawa pedang. Gadis yang berada di
depan itu lantas bertanya "Kokcu menanyakan kedatangan kalian, ini entah
ada keperluan apa?"
Dari jauh Nyo Ko lantas, mengenali gadis itu, cepat ia
berseru: "He, nona Kongsun, inilah kami yang datang!"
Kiranya gadis jelita itu adalah Kongsun Lik-oh.. Begitu
mendengar suara Nyo Ko seketika sikapnya lantas berubah, dengan tingkah cepat
ia mendekat anak muda itu dan raenyapa: "Ah, kiranya Nyo- toako sudah
kembali, tentu engkau telah berhasil dengan baik? Marilah lekas menjumpai
ibu!"
"Nona Kongsun, marilah kuperkenalkan beberapa
Cianpwe ini," kata Nyo Ko, lalu ia perkenalkan It-teng Taysu, Cu in dan Ui
Yong.
Kongsun Lik-oh tidak tahu bahwa Hwesio baju hitam di
depannya ini adalah Kuku (paman adik Ibu) sendiri, ia hanya memberi hormat
sekadarnya dan tidak menaruh perhatian apa2, Tapi ketika mendengar Nyo Ko
menyebut Ui Yong sebagai nyonya Kwe, segera ia tahu inilah musuh besar Sang ibu
yang ingin dibunuhnya itu, ternyata Nyo Ko tidak membunuhnya, bahkan membawanya
ke sana, mau-tak-mau ia menjadi ragu dan curiga tanpa terasa ia mundur dua tiga
tindak dan tidak memberi hormat lagi, lalu berkata: "Ibuku menyilakan para
tamu keruangao tamu untuk minum."
Setelah semua orang dibawa ke ruangan besar, tertampak
Kiu Jian-jio berduduk di kursi di tengah lapangan itu, dan berkata:
"Perempuan loyo dan cacad tidak dapat menyambut tetamu secara wajar, harap
dimaafkan."
Dalam ingatan Cu-in, adik perempuannya yang menikah
dengan Kongsun Ci dahulu itu adalah sedang nona jelita berusia 18 tahun, siapa
tahu sekarang vang dihadapinya ternyata adalah seorang nenek buruk rupa dan
sudah botak. Terkenang pada kisah-hidup masa lampau, seketika pikiran Cu~in
menjadi kacau.
Melihat sorot mata muridnya tiba2 berubah aneh, It Teng
menjadi kuatir. Sudah banyak It-teng menuntun orang ke jalan yang baik, hanya
muridnya inilah yang sukar diinsafkan dari kejahatannya? di masa lalu, soalnya
ilmu silat Cu-in teramat tinggi, dahulu adalah seorang pemimpin besar suatu
organisasi terkenal, seorang tokoh dunia persilatan dan disegani, maklumlah kalau
lebih sulit memperbaiki wataknya itu daripada orang biasa.
Apalagi sekarang dia menjelajah Kangouw lagi, setiap
langkah selalu menimbulkan kenangan masa lampaunya dan sukar menahan gejolak
perasaannya.
Kiu Jian-jio menjadi ter-heran2, melihat Nyo Ko muncul
lagi dalam keadaan sehat walafiat setelah lewat waktu yang ditentukan dan
datang kembali, tadinya dia menyangka anakmuda itu sudah mampus oleh racun
bunga cinta yang jahat itu.
"Kiranya kau belum mampus?" demikian ia tanya.
"Aku sudah minum obat penawar racun dan sudah
sembuh," jawab Nyo Ko dengan tertawa..
Mau- tak mau Kiu Jian-jio menjadi sangat heran di dunia
ini ternyata ada obat penawar lain yang dapat menyembuhkan racun ..bunga cinta
ini, tapi mendadak pikirannya tergerak, segera ia mendengus: "Hm, kau
tidak perlu berdusta. Kalau kau mendapatkan obat penawar yang mujarab, untuk
apa Hwesio Hindu dan orang she Cu itu menyelinap ke sini?"
"Kiu cianpwe." kata Nyo Ko, "dimanakah kau
menyekap paderi Hindu dan Cu locianpwe Sudilah engkau membebaskan mereka
saja."
"Hm, tangkap harimau gampang, melepaskan nya
sulit..." jengek Kiu Jian-jio.
Ucapan juga beralasan. Maklumlah anggauta badannya cacat,
bahwa paderi Hmdo dan Cu Cu-liul ditawannya adalah berkat pesawat rahasia
yang-teratur di Coat-eeng kok ini. Kalau ke dua tawanan itu dibebaskan paderi
Hindu itu tidak menjadi soal karena tidak mahir ilmusilat, tapi Cu Cu-liu tentu
sakit hati dan akan menuntut balas, padahal tiada seorangpun anak murid
Coat-ceng-kok ini mampu menandingi Cu Cu-liu yang lihay ini.
Nyo Ko pikir kalau nenek itu sudah bicara langsung dengan
kakak kandungnya mengingat hubungan baik sesama saudara, mungkin segala urusan
dapat diselesaikan dengan baik, Maka dengan tersenyum. ia berkata pula:
"Kiu-cianpwe, harap kau, melihat yang jelas, siapakah yang kubawa ke sini
ini? Tentu engkau akan kegirangan jika mengenalinya."
Namun mereka kakak beradik sudah berpisah berpuluh tahun,
kini Cu-in telah memakai jubah paderi pula, walaupun Kiu jian jio sudah tahu
sang kakak telah menjadi Hwesio, tapi dalam ingatannya kakaknya itu adalah
seorang pemuda yang gagah perkasa, seketika mana dia dapat mengenali paderi tua
berjubah hitam ini.
Hanya dari Kongsun Lik-oh telah didapatkan laporan bahwa
Ui Yong juga datang, maka sorot matanya memandang tiap orang dan akhirnya
mendelik pada Ui Yong.
"Bagus! inilah Ui Yong bukan? Kau yang membunuh
Toakoku?" tiba2 ia berkata dengan mengertak gigi penuh rasa dendam.
Nyo Ko terkejut, tujuannya hendak mempertemukan mereka
kakak beradik, tapi Kiu jian-jio ternyata mengenali musuhnya lebih dulu, cepat
ia menyela: "Kiu-locianpwe, persoalan ini ditunda saja dulu, lihatlah lagi
siapa ini yang datang!"
"Memangnya Kwe Cing juga datang" bentak Kiu
Jian-jio. "Bagus! Bagus! Mana dia?" Lalu dia memandang Bu Sam-thong
dan mengamati Yalu Ce pula, ia merasa yang seorang terlalu tua dan yang lain
masih muda, semuanya tidak memper Kwe Cing, ia menjadi bingung dan berusaha
menemukan Kwe Cing diantara orang banyak.
Se-konyong2 sinar matanya kebentrok pandang dengan Cu-in,
seketika hati masing2 juga lantas tersentuh, Cu-in terus melompat maju sambil
berseru: "Sam-moay (adik ketiga)!"
Kiu Jian-jio juga berteriak "Jiko (kakak
kedua)!" serentak keduanya lantas terdiam dan sukar mengutarakan perasaan
masing2.
Sejenak barulah Kiu Jian-jio bertanya: "Jiko,
mengapa engkau menjadi Hwesio?"
"Kaki tanganmu mengapa cacat, Sammoay?" jawab
Cu-in.
"terjebak oleh akal keji bangsat Kongsun Ci
itu." tutur Kiu Jian-jio.
"Kongsun Ci siapa?" Cu-in menegas. "O,
apakah Moaytiang (adik ipar) maksudmu? Dimana dia sekarang?"
"Tidak perlu lagi kau menyebutnya Moaytiang
segala!" kata Kiu jian-jio dengan gregetan: "Keparat itu hakekatnya
adalah manusia berhati binatang dia telah mencelakai dan menyiksa diriku hingga
demikian ini."
Cu-in tak dapat menahan rasa murkanya, teriaknya:
"Ke mana perginya jahanam itu? Akan kucincang dia hingga hancur lebur
untuk melampiaskan dendammu."
"Meski aku terperangkap, untung tidak mati,
sedangkan Toako kita malah sudah tewas," kata Kiu Jian-jio dengan dingin.
"Ya," jawab Cu-in dengan muram.
"Dan, mengapa kau diam saja?" bentak Kiu
Jian-jio mendadak, "Percuma kau memiliki Ilmu silat setinggi itu, mengapa
sampai sekarang tidak menuntut belas bagi Toako kita, di maoa letak ke-Itmknmn
kepada saudara tendiri?"
Cu-in melengak kaget dan bergumam: "Menuntut balas
bagi Toako"
Saat ini juga perempuan hina Ui Yong juga berada di sini,
lekas kau bunuh dia, habis itu cari lagi Kwe Cing dan binasakan dia,"
bentak Kiu Jian jio pula.
Dengan bingung Cu-in memandang Ui Yong, sorot matanya
tiba2 berubah aneh, Cepat It-teng mendekatinya dan berkata dengan suara halus:
"Cu-in, Cut-keh"-lang (orang yang sudah meninggalkan rumah) mana
boleh timbul lagi pikiran membunuh? Apalagi kematian kakakmu juga akibat
perbuatan sendiri dan tidak bisa menyalahkan orang."
Cu-in menunduk, setelah termenung sejenak lalu berkata:
"Ucapan Suhu memang benar, Sam~moay, sakit hati ini tidak dapat
dibalas."
Mendadak Kiu Jian-jio mendamperat It-teng dengan melotot
"Hweshio tua suka mengaco-belo. Jiko, keluarga Kiu kita terkenal gagah
perwira, Toako kita dibunuh orang dan kau tinggal diam, lalu terhitung ksatria
macam apakah kau ini?"
Pikiran Cu-in menjadi kacau, ia bergumam puIa:
"Terhitung ksatria macam apa diriku?"
"Ya, begitulah!" seru Kiu Jian jio pula.
"Dahulu kau malang melintang di dunia Kangouw, betapa disegani namamu
sebagai Tiat-ciang-cui-siang-biau, tak tersangka setelah usiamu lanjut, kau
telah berubah menjadi pengecut. Kiu Jian-yim, dengarkan perkataanku ini, kalau
kau tidak menuntut balas bagi Toako, maka kaupun jangan mengakui diriku sebagai
adikmu."
Melihat semakin hebat desakan Kiu Jian-yim diam2 semua
orang mengakui kelihayan nenek botak itu...
Dahulu Ui Yong pernah merasakan sekali pukulan Kiu
Jian-yim yang kini bernama Cu-in Hwesio itu, untung dia ditolong lt-teng Taysu
sehingga lolos dari renggutan elmaut, dengan sendirinya ia cukup kenal betapa
lihaynya bekas ketua Tiat ciang pang itu. Maka sejak tadi ia sudah
memperhitungkan beberapa jalan cara menyelamatkan diri apabila musuh menyerang
mendadak.
Ternyata Kwe Hu tidak dapat menahan perasaannya lagi,
segera ia berteriak: "Ayah-ibuku hanya tidak ingin banyak urusan,
memangnya kau kira beliau2 itu takut pada nenek reyot macam mu ini. Kalau
banyak cingcong lagi, jangan kau salahkah nonamu ini jika kubertindak kasar
padamu."
Mestinya Ui Yong hendak mencegah sikap Kwe Hu itu, tapi
lantas terpikir olehnya bahwa tindakan puterinya itu paling tidak akan
memencarkan perhatian Cu-in yang hampir terpengaruh hasutan Kiu Jian-jio itu.
Melihat sang ibu tidak mencegahnya, Kwe Hu lantas berseru
pula: "Setidaknya kami ini kan tamu, kau tidak nyambut secara hormat tapi
malah bersikap kurang sopan, hm, malahan kau berani membual tentang keluarga
ksatria segala?"
Dengan dingin Kiu Jian-jio memandang Kwe Hu bertanya:
"Kau inikah puterinya Kwe Cing dan Ui Yong."
"Benar," jawak Kwe Hu.-"Kalau mampu, kau
sendiri boleh turun tangan untuk menuntut balas, kakakmu sudah menjadi Hwesio,
mana boleh timbul lagi pikiran yang tidak senonoh?"
Seperti bergumam Kiu Jian-jio berkata: "Bagus, jadi
kau ini putrinya Kwe Cing dan Ui Yong... kau puterinya Kwe Cing dan..."
belum lagi selesai ucapannya, se-konyong2 "berrrr", satu biji kurma
tersembur dari mulutnya dan menyembur ke-batok kepala Kwe Hu dengan cepat dan
tepat.
Sudah tentu semua orang tidak menyangka bahwa selagi
nenek botak itu bicara mendadak bila mengeluarkan senjata rahasia dengan
mulutnya. Karena tidak ter-duga2, dan lagi ilmu menyembur biji kurma itu memang
kepandaian khasnya yang maha sakti, bahkan tokoh macam Kongsun Ci juga kena
dibutakan sebelah matanya, apa lagi sekarang Kwe Hu, jangankan hendak
menangkis, ingin menghindarpun tak sempat terpikir olehnya.
Diantara para hadirin itu hanya Nyo Ko dan Siao-liong li
saja yang tahu kepandaian khas Kiu Jian-jio itu, tapi dasar pikiran Siao liong
li sederhana dan polos, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa si nenek bisa
mendadak menyerang orang.
Hanya Nyo Ko saja yang senantiasa waspada, pandangannya
tidak pernah bergeser dari wajah Kiu Jian-jio, begitu melihat bibirnya
bergerak, segera pula dia melompat maju, secepat kilat ia lolos pedang
dipinggang Kwe Hu terus disampukkan, "Trang" menyusul terdengar pula
suara "creng", biji kurma tersampok jatuh, tapi pedang itu juga patah
menjadi dua terbentur biji kurma itu.
Keruan semua orang menjerit kaget, saking terkejutnya
bahkan muka Ui Yong dan Kwe Hu menjadi pucat.
Diam2 Ui Yong mawas diri: "Sudah kuduga dia pasti
mempunyai cara keji, tapi sama sekali tidak menduga bahwa anggauta badannya
tanpa bergerak sedikitpun, tahu2 dia dapat melancarkan serangan senjata rahasia
sekeji itu,"
Kiu Jian-jio mendelik kepada Nyo Ko, tak diduganya bahwa
anak muda itu berani menolong si Kwe Hu, segera ia mendjengeknya: "Tadi
kau terkena racun bunga cinta lagi, biarpun sekarang belum bekerja racunnya,
rasanya kaupun takkan tahan lebih lama dari pada tiga hari saja, Kini obat yang
ada cuma bersisa setengah biji yang dapat menolong jiwamu, masakah kau tidak
percaya?"
Waktu menolong Kwe Hu, dalam sekejap itu tentu tak sempat
terpikirkan hal itu dalam benak Nyo Ko, kini mendengar ucapan Kiu Jian-jio itu,
seketika ia menjadi lemas, ia lantas memberi hormat dan menjawab:
"Kiu-locianpwe, Wanpwe sendiri tidak bersalah apapun padamu, kalau kau
sudi memberi obat, sungguh kebaikan mana takkan kulupakan selamanya."
"Ya, dapatnya kumelihat dunia ini lagi boleh
dikatakan berkat pertolonganmu," jawab Kiu Jian-jio. "Tapi aku si
nenek Kiu ini pada asasnya kalau sakit hati pasti menuntut balas dan kalau
utang ini belum tentu kubalas, Kau telah berjanji akan mengambil kepala Kwe
Cing dan Ui Yong kesini. untuk itulah akan kuberikan obat padamu. Siapa duga
janji tidak kau tepati, sebaliknya kau malah menyelamatkan musuhku, lalu apa
yang perlu dikatakan tegi?"
"Melihat urusan bisa runyam, cepat Kongsun Lik~oh
ikut bicara: "Mak, dendam Kuku kan tiada sangkut-pautnya dengan Nyo-toako,
Harap engkau suka... suka menaruh belas kasihan."
"Tapi separuh obat ini hanya akan kuberikan kepada
menantuku dan takkan kuberikan begitu saja kepada orang luar," jawab Kiu
Jian jio.
Keruan Kongsun Lik-oh menjadi malu dan gelisah, mukanya
berubah merah.
Setelah ber-uIang2 ditolong Nyo Ko, baru sekarang Kwe Hu
percaya bahwa jiwa Nyo Ko sesungguhnya memang luhur dan sama sekali tiada
maksud memperalat adik perempuannya untuk menukar obat.
Teringat kepada tindakan sendiri yang beberapa kali
membikin celaka anak muda itu, sebaliknya orang selalu membalas sakit hati
dengan kebaikan, mau-tak-mau Kwe Hu menjadi menyesali dirinya sendiri dan
berterima kasih pula kepada anak muda itu.
Segera ia berseru: "Nyo-toako, segala perbuatan
siaumoay diwaktu yang lalu memang salah semua, mohon engkau suka memberi
maaf."
Nyo Ko hanya tersenyum saja, senyuman getir. Pikirnya:
"Mengaku salah dan minta maaf adalah paling gampang, tapi tahukah kau
betapa aku dan Liong-ji telah menderita akibat perbuatanmu itu?"
Dalam pada itu dilihatnya Kiu Jian-jio sedang melotot
padanya, jelas kalau dirinya tidak menyanggupi untuk menikahi putrinya, tentu
si nenek takkan memberi setengah biji obat penolong jiwa itu, kalau suasana
begini berlangsung terus, yang serba susah tentulah Kongsun Lik-oh dan
Siao-liong-li.
Maka dengan lantang dan tegas ia lantas berkata:
"Aku sudah memperistri nona Liong ini, sekalipun Nyo Ko harus mati, mana
boleh kujadi manusia yang tidak berbudi dan tidak setia?"
Habis berkata ia lantas putar tubuh dan berjalan pergi
sambil menggandeng tangan Siao-liong-li, pikirnya biarkan mereka ribut disini,
kesempatan ini akan kugunakan untuk menolong paderi Hindu dan paman Cu.
Ucapan Nyo Ko itu tidak saja membikin melengak Kiu
Jian-jio, bahkan hati Thia Eng, Liok Bu-siang, Kongsun Lik oh dan lain2 juga
tergetar.
"Hm, hagus, bagus! jika kau ingin mampus, pedulikan
apa dengan aku?" jengek Kiu Jian-jio, lalu ia berpaling dan berkata kepada
Cu-in: "Jiko, kabarnya Ui Yong adalah ketua Kay-pang? jadi Tiat-ciang-pang
kita tidak berani melawannya?"
"Tiat-ciang-pang?" Cu in menegas, "Ah,
sudah lama bubar, masakah kau sebut Tiat ciang pang lagi"
"O, pantas, pantas!" kata Kiu Jian-jio.
"Lantaran kau sudah tidak punya sandaran, makanya nyalimu menjadi
kecil."
Begitulah Kiu Jian-jio terus berusaha menghasut sedangkan
Kongsun Lik-oh tidak lagi mendengarkan perkataan sang ibu, pandangannya
mengikuti langkah Nyo Ko yang sedang berjalan keluar itu. Mendadak ia berlari
maju dan berteriak: "Nyo Ko, kau manusia yang tidak setia dan tak berbudi,
anggaplah mataku ini yang buta."
Nyo Ko tertegun bingung, ia heran nona yang biasanya
sabar dan pendiam itu mengapa sekarang kehilangan akal sehatnya? Apakah karena mendengar
pernikahanku dengan Liong-ji, lalu dia menjadi putus asa dan murka? Dengan rasa
menyesal ia lantas berpaling dan berkata: "Nona Kongsun..."
Mendadak Kongsun Lik-oh memaki: "Bangsat keparat,
akan kubikin kau datang mudah dan pergi sukar..." meski mulutnya memaki,
tapi air mukanya ternyata ramah tamah dan ber-ulangi mengedip mata memberi
isyarat.
Melihat itu Nyo Ko tahu pasti ada sebab2-nya, segera
iapun balas membentak: "Memangnya aku kenapa? Betapapun Coat-ceng-kokmu
ini takkan mampu mempersulit diriku."
Dia menghadap ke dalam sehingga dapat diIihat Kiu
Jian-jio dengan jelas, maka sama sekali ia tidak berani memperlihatkan air muka
yang mencurigakan.
Kongsun Lik-oh lantas memaki pula: "Bangsat cilik,
betapa benciku padamu, ingin kupotong, kau menjadi dua dan mengorek keluar
hatimu..."
Mendadak mulutnya menyemprot, sebuah biji kurma terus
manyamber ke arah Nyo Ko.
Sebelumnya Nyo Ko sudah bersiap, segera ia menangkap
benda kecil itu dan mendengus: "Hm, lekas kau kembali sana dan takkan
kuganggu kau, hanya sedikit kepandaianmu ini kau kira dapat menahan
diriku?"
Kembali Kongsun Lik-oh mengedipi pula agar anak muda itu
lekas pergi, habis itu mendadak ia menutupi mukanya sendiri sambil menjerit:
"Oh, ibu! Dia... dia menghina anak!" Segera ia berlari balik ke arah
sang ibu sambil menangis, cintanya hanya bertepuk sebelah tangan",
impiannya telah buyar, dengan sendirinya rasa dukanya itu benar2 timbul dari
lubuk hatinya dan bakan pura2
MeIihat air mata puterinya ber-linang2, Kiu Jian-jio
lantas membentak: "Anak Oh, apa2an kau ini? jiwa bocah itu sendiri takkan
tahan beberapa hari saja, mengapa kau menangis baginya?"
Kougsun Lik-oh terus mendekap di atas lutut sang ibu dan
menangis dengan sedihnya. Sandiwara nona Kongsun ini ternyata dapat mengelabui
semua orang terkecuali Ui Yong, diam2 nyonya cerdik itu merasa geli. Pikirnya:
"Rupanya dia pura2 benci dan memaki Nyo Ko agar ibunya tidak curiga,
dengan begitu dia akan mencari kesempatan untuk mencuri obat. Sungguh tidak
nyana bocah Nyo Ko ini selalu menimbulkan kisah cinta di mana2 sehingga nona
cantik sebanyak ini sama ter-gila2 padanya." Berpikir sampai di sini,
tanpa terasa ia memandang ke arah Thia Eng dan Liok Bu-siang.
Setelah menangkap biji kurma yang disemburkan Kongsun
Lik-oh tadi, segera Nyo Ko melangkah pergi bersama dengan Siao-liong li sambil
merenungkan ucapan Kongsun Lik-oh tadi yang aneh itu, seketika ia tidak paham
apa maksudnya.
Siao-liong-li juga melihat air muka dan isyarat Konsun
Lik-oh, ia tahu sikap nona itu cuma pura2 saja, segera ia membisiki Nyo Ko:
"Ko-ji, dia pura2 marah padamu, mungkin supaya ibunya tidak curiga agar
memudahkan dia mencuri obat."
"Semoga begitulah hendaknya," jawab Nyo Ko.
Setelah kedua orang membelok ke sana, melihat sekitarnya tiada orang lain,
cepat Nyo Ko memeriksa biji kurma yang digenggamnya itu. Ternyata bukan biji
kurma melainkan biji kanah, waktu di pencet, biji kanah itu lantas pecah
menjadi dua.
Kiranya di dalamnya tersimpan secarik kertas kecil,
"Haha, ucapan nona Kongsun itu ternyata mengandung teka-teki,"-ujar
Siao-liong-li dengan tertawa. "Dia bilang: "ingin kupotong kau
menjadi dua dan mengorek keluar hatimu segala, kiranya demikian artinya."
Cepat Nyo Ko membentang Kertas itu dan di-baca bersama,
ternyata di situ tertulis : "Setengah biji obat itu tersimpan rapi oleh
ibu, tentu akan kuupayakan untuk mencarinya dan kuserahkan padamu, paderi Hindu
dan Cu-cianpwe terkurung di Hwe-wan-sit (kamar panggang)", lalu di samping
tulisan itu terlukis sebuah seketsa peta yang menunjukkan tempat yang dimaksud.
Nyo Ko sangat girang, segera ia berkata: "Marilah
kita lekas pergi ke sana, kebetulan tiada orang yang akan merintangi
kita."
Coat-ceng-kok itu sangat luas dan dikitari bukit, selama
turun temurun leluhur Kongsun Ci telah membangun lembah ini dengan berbagai
macam pesawat rahasia yang mujijat, sampai di tangan Kongsun Ci dan Kiu
Jian-jio bahkan telah banyak diperbaiki dan ditambah lagi dengan jalanan yang
ber-liku2 dan sukar diterobos.
Namun Nyo Ko dan Siao~liong~Ii dapat menggunakan Ginkang
mereka menuju ke tempat tujuan menurut petunjuk Kongsun Lik-oh dalam petanya
itu. Tidak lama sampailah mereka di suatu tempat yang rindang oleh belasan
pohon raksasa, di bawah rumpun pohon itu adalah sebuah omprongan besar, yaitu
bangunan yang bisa digunakan membakar genting dan bata, menuruI peta Kongsun
Lik-oh, di tempat inilah paderi Hindu dan Cu Cu liu terkurung.
Dengan ragu2 Nyo Ko minta Siao liong-li menunggu saja di
luar, ia sendiri lantas menerobos ke dalam omprongan itu. Tapi baru melangkah
masuk pintu omprongan yang sempit itu, serentak hawa panas menyerang mukanya
disusul dengan suara bentakan orang: "Siapa itu?"
"Kokcu memerintahkan agar tawanan dibawa ke
sana," jawab Nyo Ko.
Orang itu lantas muncul dari balik dinding bata sana dan
menegur-dengan heran: "He, Kau?"
Nyo Ko melihat orang berseragam hijau, segera ia menjawab
pula : "Ya, Kokcu menyuruh aku membawa Hwesio dan orang she Cu ini."
Murid Coat-ceng-kok itu tahu Nyo Ko pernah menolong jiwa
sang Kokcu sekarang, hubungan Lik-oh dengan dia juga sangat erat, besar
kemungkinan anak muda ini kelak akan menggantikan sebagai Kokcu baru, maka ia
tidak berani bersikap kasar, dengan hormat ia bertanya pula: "Tapi... tapi
adakah tanda perintah Kokcu?"
Tanpa menjawab Nyo Ko hanya berkata: "Ada, bawa aku
melihat mereka dahuIu!"-Orang itu mengiakan dan Nyo Ko dibawa masuk ke
dalam.
Setelah memutar ke sebelah dinding sana, hawa panas
semakin hebat, terlihat dua kuli sedang mengangkat kayu bakar, sekarang lagi
musim dingin, tapi kedua orang itu telanjang tubuh bagian atasnya sebuah celana
pendek saja yang dipakainya, sedangkan keringat bercucuran di sekujur badan
mereka.
Tempo hari waktu mula2 Nyo Ko datang ke Coat-ceng-kok ini
dia pernah bertanding Lwekang Kim lun Hoat-ong, Nimo Singh dan lain2 di kamar
berapi itu, ntaka tahulah dia tentu Cu Cu-liu dan paderi Hindu itu juga sedang
di-siksa dengan api oleh Kiu Jian-jio.
Orang berbaju hijau itu menggeser sebuah batu dan
tertampaklah sebuah lubang, Ketika Nyo Ko mengintip ke sana, dilihatnya di
bagian dalam sana adalah sebuah kamar batu seluas tiga meter persegi, Cu Cu~1iu
sedang duduk menghadap dinding dan lagi meng-gores2 dinding batu dengan jari
telunjuk, agaknya sedang berlatih seni tulisnya yang terkenal indah itu.
sedangkan paderi Hindu itu berbaring di lantai, entah masih hidup atau sudah
mati.
"Cu-toasiok, kudatang menolong kau." seru Nyo
Ko.
Cu Cu-Iiu menoleh dan berkata dengan tertawa: "Aha,
ada kawan datang dari jauh, dapatlah, aku bergembira sekarang!"
Diam2 Nyo Ko kagum atas kesabaran Cu Cu-liu itu, padahal
sudah tertahan sekian tama di situ. Scgera ia bertanya: "Apakah paderi
sakti sedang tidur?"
Dia mengajukan pertanyaan ini dengan hati berdebar,
soalnya mati-hidup Siao-liong-li besar hubungannya dengap keadaan paderi asing
itu.
Cu Cu-liu tidak lantas menjawab, selang sejenak barulah
ia menghela napas dan berkata: "Meski Susiok tidak mahir ilmu silat, tapi
kepandaiannya menahan dingin dan melawan panas takdapat kutandingi, cuma
beliau..."
Sampai di sini, tiba2 Nyo Ko merasa diri belakang ada
angin berkesiur, jelas ada orang sedang menyerangnya. Tanpa menoleh, sikutnya
terus menyodok ke belakang, tapi sebelum menyentuh tubuh musuh, tahu2 angin menyamber
lewat disamping telinga dan orang itupun menjerit terus jatuh terguling.
Kiranya dari lubang balik jendela batu itu Cu Cu-liu
dapat melihat apa yang akan terjadi, sekenanya ia comot sepotong kerikil terus
disambitkan dengan tenaga jari sakti It yang ci dan tepat mengenai Hiat-to
penyergap itu.
Waktu Nyo Ko membalik tubuh, dilihatnya yang menggeletak
di situ adalah seorang murid berbau hijau yang tidak di-kenalnya, sedangkan
orang yang membawanya masuk ke situ itu tampak meringkuk di pojok sana dengan
ketakutan.
"Lekas membuka pintu dan membebaskan mereka
keluar." bentak Nyo Ko.
"He, mana kuncinya!" jawab orang itu dengan
heran, "Katanya engkau diutus oleh Kokcu, betul tentu beliau akan
menyerahkan kuncinya padamu."
Nyo Ko menjadi tidak sabar, bentaknya: "Minggir
sana"-
Segera ia angkat pedang wasiatnya, sekali tusuk,
"blang", dinding tebalnya satu bata itu lantas tembus suatu lubang
besar, Orang berbaju hijau itu menjerit kaget. Ber- ulang2 Nyo Ko menusuk tiga
kali dengan pedangnya dan membabat dua kali secara menyilang, segera lubang
tadi bertambah lebar sehingga cukup di terobos oleh tubuh manusia.
Menyaksikan betapa sakti cara Nyo Ko mem-bobol dinding
batu itu, kejut Cu Cu-liu sungguh luar biasa melebihi orang berbaju hijau itu,
Dia didesak oleh barisan jaring berkait yang dikerahkan Kiu Jian-jio itu
sehingga terjebak ke dalam rumah garangan ini. Siang dan malam di tempat
tahanan dia telah berusaha membebaskan diri dengan It-yang-ci yang sakti.
Dengan jarinya yang kuat itu dia telah meng-korek2 celah2
batu, tujuannya kalau celah2 batu itu sudah mulai melebar, lalu dapatlah
melolos batu dinding dan dapat melarikan diri.
Tapi dinding itu, dibangun dengan balok batu raksasa dan
sukar digoyangkan dengan tenaga manusia, kini menyaksikan beberapa kali ayun
pedangnya segera Nyo Ko dapat membobolnya, betapa lihay tenaga saktinya sungguh
tak pernah dilihatnya.
Tanpa terasa ia berseru memuji kesaktian Nyo Ko. Segera
pula dia angkat tubuh paderi Hindu dan dikeluarkan melalui lubang dinding.
Cepat Nyo Ko menariknya keluar, waktu ia pegang lengan
paderi itu dan terasa rada hangat, hatinya menjadi lega, apalagi kemudian
diketahui paderi itupun masih bernapas dengan baik.
Setelah Cu Cu-liu menerobos keluar, lalu berkata:
"Susiok hanya pingsan saja, rasanya tidak beralangan,"
"Mungkin beliau tidak tahan hawa panas, lekas
mencari hawa segar diluar sana," ajak Nyo Ko sambiI membawa paderi Hindu
itu keluar.
Siao-liong-li sedang menunggu dengan gelisah, ketika
melihat Nyo Ko bertiga keluar, dengan girang ia lantas memapak maju.
"Supaya cepat siuman akan kucarikan air untuk cuci
muka paderi sakti," kata Nyo Ko.
"Tidak, Susiok pingsan karena kena racun bunnga
cinta." tutur Cu Cu-liu.
Nyo Ko dan Siao-Iiong-li sangat heran dan tanya
berbareng: "Mengapa bisa begitu?"
Dengan menghela napas Cu Cu-liu menutur: "Menurut
cerita Susiok, katanya bunga cinta begitu sudah lenyap dari bumi negeri
Thian-tiok (Hindu) dan entah cara bagaimana tersebar ke daerah Tionggoan sini,
kalau tersebar lebih luas lagi tentu akan mendatangkan bencana besar, dahulu di
negeri Thian-tiok bunga ini juga telah menimbulkan korban yang tidak sedikit.
Selama hidup Susiok mempelajari ilmu penyembuhan racun,
tapi kadar bunga ini teramat aneh, ketika masuk ke lembah ini beliau sudah tahu
sukar mendapatkan obatnya yang mujarab, yang diharapkan hanya mencari suatu
resep cara pengobatannya saja. Dengan tubuh Susiok sendiri untuk mencoba racun
bunga ini untuk mengetahui betapa kadar racunnya, dengan begitu akan dibuat
obat penawarnya."
"Kata Budha: kalau aku tidak masuk neraka, siapa
yang akan masuk neraka? Demi menyelamatkan sesamanya, paderi sakti rela
menghadapi bahaya sendiri sungguh harus dipuji dan sangat mengagumkan,"
demikian kata Nyo Ko, "Dan entah sampai kapan kiranya paderi sakti dapat
siuman kembali?"
"Susiok telah mencocok tubuh sendiri dengan duri
bunga itu, katanya kalau perhitungannya tidak meleset, setelah tiga hari tiga
malam tentu beliau dapat siuman kembali dan sampai kini sudah hampir genap dua
hari," tutur Cu-liu.
Nyo Ko saling pandang dengan Siao-liong-li, kata mereka:
"Paderi ini harus pingsan tiga-hari tiga-malam, jelas dia keracunan sangat
berat. Untungnya kadar racun bunga ini bekerja menurut keadaan orangnya, jika
timbul napsu birahi, akan bekerja dengan sangat lihay.
Paderi Hindu yang alim dan suci ini menganggap segala apa
di dunia ini hanya kosong belaka, melulu ini saja beliau jelas di atas orang
biasa."
Sejenak kemudian Siao-liang-li bertanya "Kalian
mendapatkan bunga jahat itu?"
"Setelah kami terkurung di sini, kemudian datang
seorang nona jelita menjenguk kami."
"Apakah nona yang berperawakan langsing, bermuka
putih dan pada ujung mulut ada sebuak andeng2 kecil?" Siao-liong li
menegas.
"Betul," jawab Cu Cu-liu.
Siao-liong~li tersenyum kepada Nyo Ko, lalu berkata pula
kepada Cu Cu-liu: "Nona itu adalah puteri Kokcu sini, nona Kongsun Lik-oh,
ketika mendengar kalian berdua datang mencari obat demi Nyo Ko, tentu saja dia
melayani kalian dengan istimewa, kecuali tidak berani membebaskan kalian,
apapun yang kalian minta tentu akan diturutinya."
"Memang benar," ujar Cu Cu-liu, "kettka
susiok minta dia membawakan tangkai bunga cinta dan kumohon dia bantu
menyiarkan berita minta bantuan kepada Suhu, semuanya telah dia laksanakan
dengan baik, Caranya dia memanggang kami di tempat ini juga dikurangi apinya
sehingga kami dapat bertahan sampai sekarang, Sering kutanya siapa dia, tapi
dia tak mau menjelaskan, tak tersangka dia adalah puteri sang Kokcu."
"Malahan bisanya kami menemukan kalian di sini juga
atas petunjuk nona itu," tutur Siao-Iiong-li.
"Gurumu It-teng Taysu juga sudah datang,"
demikian Nyo Ko menambahkan.
"Aha, lekas kita keluar," seru Cu Cu-liu
kegirangan.
"Tiba2 Nyo Ko mengerut kening dan berkata pula:
"pula Cu-in Hwesio juga ikut datang, dalang urusan ini mungkin ada
kesulitan."
"Kalau Cu-in Suheng juga datang kan lebih
baik?" ujar Cu-liu heran. "Pertemuan kembali mereka kakak beradik,
sedikitnya Kiu-kokcu akan memikirkan hubungan baik persaudaraan mereka."
Nyo Ko lantas menceritakan keadaan Cu-in yang kurang
waras itu serta cara bagaimana Kiu Jian-jio telah menghasut sang kakak.
"Jika Kwe hujin juga sudah berada di sini, maka
segala urusan tentu akan beres," ujar Cu Cu-liu, "Kwe-hujin pintar
dan cerdik, ditambah lagi Suhuku serta kelihayan Nyo-heng, betapapun besarnya
persoalan juga tidak perlu dikuatirkan lagi. Yang kupikirkan sekarang justeru
kesehatan Susiok."
Nyo Ko juga merasa paderi Hindu itu perlu diselamatkan
lebih dulu, maka ia lantas mengusulkan. "Marilah kita mencari dulu suatu
tempat yang aman untuk menyegarkan pikiran paderi sakti. Biarlah kita menjagai
dia."
"Tapi mana ada tempat yang aman?" ujar Cu-liu
sambil berpikir, ia merasa setiap tempat di Coat-ceng-kok ini sama aneh dan
berbahayanya. Tiba2 hatinya tergerak dan berkata pula: "Kukira tetap
berada di sini saja."
Nyo Ko melengak, tapi segera ia paham maksud orang,
katanya dengan tertawa. "Ucapan Cu-toasiok memang sangat tepat. Tempat ini
tampaknya berbahaya, tapi sebenarnya adalah tempat yang paling aman di lembah
ini, asalkan kita tawan kedua orang berbaju hijau ini agar tidak membocorkan
kejadian di sini, maka bereslah segala urusan."
"Urusan ini tidak sulit," kata Cu Cu-Iiu dengan
tertawa sambil menutukkan jarinya dari jauh lalu ia pondong paderi Hindu itu
dan berkata pula. "Tinggal di rumah omprongan ini tentu aman dan tenteram
bagiku, Nyo heng berdua lebih baik pergi lagi ke sana untuk membantu guruku
apabila perlu."
Teringat kepada keadaan lt-teng Taysu yang masih terluka,
sedangkan sifat baik-buruk Cu in sukar diraba, kalau dirinya menunggui paderi
Hindu itu rasanya terlalu mementingkan dirinya sendiri. Sekarang Cu Cu-liu
telah membawa paderi itu ke dalam rumah garangan itu, segera iapun mengajak
Siao-liong-li kembali ke tempat semula.
Sementara itu di ruangan besar Coat ceng-kok sudah lain
lagi suasananya. Ber-ulang2 Kiu-Jian-jio berusaha memancing dan menghasut sang
kakak, nadanya semakin keras dan mendesak . It-teng Taysu diam saja dan
menyerahkan kepada keputusan Cu-in sendiri sedangkan Cu-in tampak bingung,
sebentar ia pandang adik perempuannya, lain saat dipandangnya sang guru,
kemudian memandang pula kepada Ui Yong.
Yang satu adalah saudara sekandung sendiri, seorang lagi
adalah gurunya yang berbudi, sementara itu yang seorang lain lagi adalah musuh
pembunuh kakaknya, seketika pikirannya menjadi kacau dan terjadi pertentangan
batin yang hebat.
Menyaksikan sikap Cu-in yang aneh, sebentar bimbang dan
lain saat beringas itu, diam2 Liok Bu-siang menjadi kuatir, Dilihatnya Nyo Ko
sejak tadi keluar dan sampai sekian lama belum kembali, pelahan ia lantas
menarik tangan Thia Eng dan diajak keluar.
"Piauci, ke mana perginya si Tolol itu?" tanya
Bu-siang sesudah di luar.
Tapi Thia Eng tidak menjawabnya melainkan berkata:
"Dia terkena racun bunga yang jahat, entah bagaimana keadaannya?"
"Ya," Bu-siang ikut kuatir juga, Mendadak ia
menambahkan: "Sungguh tidak nyana akhirnya dia dan gurunya..."
"Tapi nona Liong itu memang cantik molek, orangnya
juga baik, hanya gadis seperti dia setimpal menjadi jodoh Nyo-toako," ujar
Thia Eng dengan muram.
"Darimana engkau mengetahui nona Liong itu orang
baik? Bicara dengan dia saja kau belum pernah" kata Bu-siang.
Tiba2 suara seorang perempuan menjengek di belakangnya:
"Hm, kakinya kan tidak pincang, dengan sendirinya dia orang baik,"
Cepat Bu-siang membalik tubuh sambil melolos goloknya,
dilihatnya yang bicara itu adalah Kwe Hu. Melihat Bu-siang melolos golok,
segera Kwe Hu juga melolos pedang yang tergantung di pinggang Yalu Ce yang
berdiri di sampingnya, dengan mata melotot ia menantang: "Hm, kau ingin
bergerak dengan aku?"
Mendadak Bu-siang berkata dengan tertawa,: "Hihi,
mengapa kau tidak menggunakan pedangnya sendiri?"
Perlu diketahui bahwa sejak kakinya cacat, Bu-siang
sangat menyesal terhadap cirinya sendiri itu, orang lainpun tiada yang pernah
menyinggung dihadapannya, sekarang dia bertengkar dengan Kwe Hu dan beberapa
kali nona itu selalu menyindir kakinya yang pincang itu, tentu saja ia sangat
gusar, maka kontan ia balas menyindir pedang Kwe Hu yang dipatahkan oleh
semprotan biji kurma Kiu Jian jio.
Kwe Hu menjadi gusar juga, balasnya: "Biar pun
dengan pedang pinjaman juga dapat kulabrak kau," Habis berkata pedangnya
terus diobat-abitkan hingga mengeluarkan suara mendengung.
"Nah, tidak tahu tua atau muda, rupanya anak
keluarga Kwe memang tidak kenal sopan santun dan menghormati orang tua,"
jengek Bu-siang "Baik, biar ku-ajar adat padamu agar kau mengerti cara
bagaimana harus menghormati orang tua."
"Huh, memangnya kau ini orang tua macam apa?"
omel Kwe Hu dengan mendongkol.
"Haha, sungguh bocah yang tidak tahu adat!"
Bu-siang meng-olok2 dengan tertawa, "Piauciku adalah Susiokmu, kalau kau
tidak memanggil tante padaku juga harus memanggil bibi, Kalau tidak percaya
boleh kau tanya Piauciku ini." -Lalu iapun menuding Thia Eng,
Ketika Thia Eng bertemu dengan Ui Yong, memang betul Kwe
Hu juga mendengar ibunya menyebut nona itu sebagai Sumoay, namun dalam hati ia
merasa penasaran dan anggap sang kakek agak keterlaluan masakah sembarangan
memungut seorang murid muda belia begitu, apalagi dilihatnya usia Thia Eng
sebaya dengan dirinya, rasanya juga tidak mempunyai kepandaian yang berarti.
Kini dia di-olok2 Liok Bu-siang, dengan gemas ia lantas
menjawab "Hm, memangnya siapa yang berani menjamin tulen atau palsu,
Gwakong ( kakek luar ) termashur, siapa yang tidak kenal nama beliau dan
tentunya juga, banyak manusia yang tidak tahu malu pengin mengaku sebagai
anak-cucu murid beliau."
Walaupun pembawaan Thia Eng berbudi halus dan pendiam,
mau-tak mau ia merasa keki juga mendengar ucapan Kwe Hu itu, namun saat ini
perhatiannya hanya tertuju kepada keselamatan Nyo Ko, ia tidak ingin bertengkar
mengenai urusan tetek bengek itu, segera ia berkata: "Piaumoay, marilah
kita pergi mencari Nyo toako saja."
Bu-siang mengangguk, katanya pula kepada Kwe Hu:
"Nah, kau dengar sendiri bukan ? Dia menyebut diriku sebagai Piaumoay!
Memang nama Kwe-tayhiap dan Ui-pangcu juga termashur di seluruh jagat, tentunya
juga tidak sedikit manusia tidak tahu malu yang ingin menjadi - putera-putri
beliau2 itu"
Habis ini ia sengaja mencibir, lalu melangkah pergi-
Sejenak Kwe Hu melengak, ia tidak paham siapakah yang ingin mengaku sebagai
putera-puteri ayah-bundanya? Tapi segera ia dapat menangkap ucapan Liok
Bu-siang itu, jelas secara tidak langsung orang hendak memaki dia sebagai anak
haram, menganggap dia bukan anak kandung ayah-ibunya.
Sesungguhnya ucapan Bu-siang inipun rada keji, sedangkan
watak Kwe Hu juga memang pemberang, begitu mengetahui arti ucapan Bu-siang itu,
ia tidak tahan lagi, segera ia memburu maju, tanpa bicara pedangnya terus
menusuk ke punggung lawan.
Mendengar angin tajam menyamber dari belakang cepat
Bu-siang memutar goloknya menangkis "trang", lengan terasa kesemutan.
"Hm, kau berani memaki aku anak liar?" bentak
Kwe Hu murka, kembali ia menyerang secara ber-tubi2.
Sambil menangkis Liok Bu-siang menjengek pula: "Hm,
Kwe-tayhiap adalah orang yang berbudi luhur, Ui-pangcu adalah puteri kesayangan
Tho-hoa-tocu, mereka betapa tinggi budi pekerti beliau itu."
"Memangnya perlu kau jelaskan pula? Tidak perlu kau
memuji ayah-bundaku untuk membaiki aku" dengus Kwe Hu, disangkanya
Bu-siang memuji ayah-ibunya dengan setulus hati, maka daya serangannya menjadi
rada kendur.
Tak tahunya Bu-siang lantas menyambung pula: "Tapi
bagaimana dengan kau sendiri? Huh, kau telah membuntungi lengan Nyo toako,
tanpa cari keterangan lebih dulu lantas memfitnah orang, tindak tanduk cara
begini mana ada kemiripan dengan kepribadian Kwe tayhiap dan Ui-pangcu,
betapapun orang harus merasa sangsi."
"Sangsi apa2" tanya Kwe Hu.
"Hm, boleh kau pikir sendiri, buat apa tanya?"
jengek Bu-siang ketus.
Pertengkaran kedua nona itu disaksikan Yalu Ce, ia tahu
watak Kwe Hu lebih lugu dan tidak secerdik Bu~siang, kalau adu mulut pasti
kalah maka ia lantas menyela: "Nona Kwe, jangan bicara lebih banyak lagi
dengan dia."
Dalam marahnya Kwe Hu ternyata tidak paham maksud anak
muda itu, ia menjawab. "Kau jangan ikut campur, aku justeru ingin tanya
dia lebih jelas."
Bu-siang juga melotot kepada Yalu Ce dan taerkata;
"Huh, kelak baru kau tahu rasa."
Muka Yalu Ce menjadi merah, ia tahu arti ucapan Bu-siang
itu, jelas si nona dapat melihat dia telah jatuh cinta kepada Kwe Hu, maka
Bu-siang sengaja ber olok2, maksudnya jika mendapat isteri yang galak dan warok
begitu kelak pasti akan banyak mendatangkan kesukaran bagimu.
Melihat air muka Yalu Ce mendadak berubah merah, Kwe Hu
menjadi curiga dan bertanya: "Apakah kau juga menyangsikan aku ini bukan
anak kandung ayah-ibuku?"
"Tidak, tidak," cepat Yalu Ce menjawab,
"Marilah kita pergi saja, jangan urus dia."
Tapi Bu-siang lantas menanggapi "Sudah tentu dia
sangsi, kalau tidak mengapa dia mengajak kau pergi?"
"Muka Kwe Hu menjadi merah padam, tangan memegang
pedang, tapi takdapat mendebatnya."
Yalu Ce kuatir si nona salah paham, terpaksa ia bicara
lebih gamblang, katanya: "Cara bicara nona ini tajam dan menusuk perasaan,
kalau mau ber-tanding boleh bertanding saja, tapi jangan banyak omong."
"Nah, tahu tidak kau? Maksudnya kau tidak pintar
omong dan bodoh bicara, semakin banyak bicara semakin memalukan saja,"
sela Bu-siang pula.
Dalam hati Kwe Hu sekarang memang sudah timbul perasaan
aneh terhadap Yalu Ce, anak gadis yang baru merasakan madu nya cinta selalu
timbul perasaan kuatir dan cemas, setiap ucapan orang lain yang menyangkut sang
kekasih, walaupun tidak beralasan sama sekali, tentu akan dipikirkannya secara
boIak-balik serta dimamah dan dirasakannya.
Apa-lagi sejak kecil Kwe Hu selalu dimanjakan orang tua,
kedua teman ciliknya, yaitu kedua saudara Bu juga sangat penurut padanya,
kecuali Nyo Ko yang terkadang suka melawannya, hampir tak pernah dia bertengkar
dengan siapapun, kini mendadak dia menghadapi seorang lawan yang pintar putar
lidah, seketika dia terdesak di bawah angin, ia tahu kalau bicara lagi tentu
dirinya akan lebih banyak pula di olok2, dengan gusar dia lantas memaki:
"Perempuan dingklang, kalau sebelah kakimu tidak kubacok pincang pula,
biarlah aku tidak she Kwe."
"Hm, tidak perlu kau membacok kakiku juga kau tidak
she Kwe lagi, memangnya siapa tahu kau ini she Li atau she Ong," jawab
Bu-siang. Secara tidak langsung ia selalu memaki Kwe Hu sebagai "anak
haram".
Keruan Kwe Hu tidak tahan lagi, segera ia melancarkan
serangan dan terjadilah pertarungan sengit.
Kepandaian yang diajarkan Kwe Cing dan Ui Yong kepada
kesayangannya ini adalah ilmu pilihan kelas wahid, cuma ilmu silat yang hebat
ini harus dimulai dengan memupuk dasar dan latihan yang tekun, sedangkan bakat
pembawaan Kwe Hu justeru lebih banyak menuruni sang ayah dari pada sang ibu,
sebab itulah kemajuan ilmu silat yang dilatihnya agak lamban, banyak jurus2
serangan lihay belum dapat digunakannya dengan baik.
Walaupun begitu toh Liok Bu-siang tetap bukan
tandingannya, ditambah lagi sebelah kakinya pincang, gerak gerik nya tidak
leluasa, sedangKan Kwe Hu menyerang dengan beringas, pedangnya selalu mengincar
bagian bawah dan ingin menusuk lagi kaki sebelah lawan,
Diam2 Thia Eng mengernyitkan kening menyaksikan
pertarungan mereka, pikirnya: "Meski cara ber-olok2 Piaumoay agak tajam,
tapi nona Kwe ini juga terlalu garang, pantas lengan Nyo-toako tertabas buntung
olehnya, Kalau berlangsung lebih lama lagi mungkin sekali kaki Piaumoay juga
sukar diselamatkan."
Dilihatnya Bii-siang terus terdesak mundur dan Kwe Hu
menyerang semakin gencar, "bret" tiba2 gaun Bu-siang terobek,menyusul
dia menjerit pelahan dan mundur dengan sempoyongan dan muka pucat Kwe Hu terus
melangkah maju, kakinya lantas menyapu, dia sengaja hendak membikin Bu-siang
terjungkal untuk melampiaskan rasa gemasnya.
Terpaksa Thia Eng bertindak melihat keadaan itu, ia
melompat maju mengadang di depan Kwe Hu dan berseru. "Harap berhenti, nona
Kwe!"
Waktu Kwe Hu angkat pedangnya dan tertampak ada setitik
darah, tahulah dia kaki Bu-siang telah dilukainya, dengan ber-seri2 ia lantas
tuding nona itu dan berolok: "Nah, nonamu sengaja memberi ajaran padamu
agar selanjutnya kau jangan sembarangan mengoceh!"
Padahal Bu-siang adalah nona yang berwatak keras, kepala
batu, tidak takut kepada apapun juga, Li Bok-chiu yang begitu kejam juga tidak
membuatnya jera, malahan dia berani kabur dengan mencuri kitab pusaka sang guru
itu. sekarang meski dikalahkan Kwe Hu dan darah merembes membasahi gaunnya
namun ia tidak menjadi jeri, sebaliknya ia tambah marah dan berteriak:
"Huh, hanya pedangmu saja mampu menyumbat mulut
orang seluruh jagat?" ia tahu Kwe Hu suka membanggakan ayah-ibunya, maka
ia sengaja meng-olok2nya sebagai "anak haram" dan bukan puteri
kandung kedua orang tuanya itu.
"Kau mengoceh apa lagi?" bentak Kwe Hu dengan
gusar sambil melarikan maju dan pedangnya disurung pula ke depan dada orang.
Thia Eng berdiri di tengah mereka, melihat ujung pedang
menyeleweng tiba, segera ia gunakan jarinya menahan batang pedang Kwe Hu itu
terus didorong pelahan ke samping sambil melerai: "Piau-moay, nona Kwe,
kita berada di tempat berbahaya, janganlah kita cecok urusan tidak berarti
ini."
Kwe Hu terkejut dan gusar karena pedangnya, didorong ke
samping dengan enteng oleh tangan Thia Eng. segera ia membentak: "Hm, kau
hendak membela dia bukan? Baiklah kalian boleh maju bersama, aku tidak takut
biarpun satu lawan dua. Hayolah lolos senjatamu!"
Habis berkata ujung pedangnya terus mengacung ke dada
Thia Eng dan menantikan lawan melolos seruling kemala yang terselip di pinggang
itu.
Namun Thia Eng tersenyum hambar saja, kata-nya: "Aku
melerai perkelahian kalian, masakah aku sendiri ikut bertengkar? Yalu-heng,
hendaklah kaupun melerai nona Kwe."
"Benar, nona Kwe," ucap Yalu Ce. "Kita
berada di wilayah musuh, kita harus waspada dan hati2."
"Bagus, kau tidak bantu diriku, sebaliknya kau membela
orang lain," seru Kwe Hu dengan mendongkol ia lihat Thia Eng cukup cantik
dan manis, tiba2 timbul pikirannya jangan2 anak muda itu menyukai nona itu.
Sedikitpun Yalu Ce tidak dapat menangkap jalan pikiran
Kwe Hu itu, ia menyambung ucapannya tadi: "Cu-in Hwesio itu rada aneh
sikapnya, lekas kita ke sana untuk melihat ibumu."
Namun Liok Bu-siang teramat cerdik dan pintar, sepatah
kata dan sedikit tingkah Kwe Hu saja segera dapat diterka isi hati seterusnya
itu, cepat ia berkata puIa: "Hah Piauciku jauh lebih cantik daripadamu,
pribadinya juga halus budinya, ilmu silatnya juga lebih tinggi, hendaklah kau
berhati-hati sedikit!"
Setiap kalimat Bu-siang itu cukup menusuk perasaan Kwe
Hu, keruan ia menjadi murka, tapi ia lantas pikirnya: "Aku harus ber-hati2
apa?"
"Huh, kecuali aku orang tolol, kalau tidak masakah
aku tidak memilih Piauciku dan sebaliknya menyukai kau," jengek Bu-siang.
Ucapan ini jauh dari jelas dan gamblang, tentu saja Kwe
Hu tidak tahan lagi, begitu pedangnya bergerak, segera ia menusuk ke iga
Bu-siang dengan mengitar ke samping Thia Eng.
Diam2 Thia Eng mengerut kening melihat serangan Kwe Hu
yang ganas itu, ia pikir sekalipun ucapan Piaumoay itu menyinggung perasaanmu,
betapapun kita kan bukan musuh, mengapa tanpa kenal ampun kau melancarkan
serangan mematikan sekeji ini?
Secepat kilat Thia Eng menghimpun tenaga pada jarinya,
begitu pedang Kwe Hu menyelinap lewat dan sebelum mencapai sasarannya, secepat
kilat ia terus menyelentik, "creng", kontan pedang Kwe Hu terlepas
dan jatuh ke tanah.
Selentikan Thia Eng itu adalah ilmu jari sakti ajaran Ui
Yok-su, karena kekuatan Thia Eng cuma setingkat dengan Kwe Hu, maka cara
menyelentik-nya itu dilakukannya secara mendadak, begitu pedang orang terlepas,
langkah selanjutnya juga sudah diperhitungkan o!ehnya, segera melangkah maju,
pedang itu diinjak, seruling kemala terus dikeluarkan di Hiat-to di tubuh Kwe
Hu.
Karena didahului orang, keadaan Kwe Hu menjadi serba
salah, kalau berjongkok untuk rebut pedang, beberapa Hiat to itu pasti akan
bertutuk, sebaliknya kalau melompat mundur untuk menghindar, maka pedang itu
berarti dirampas lawan. Karena kurang pengalaman Kwe Hu- menjadi serba runyam,
mukanya menjadi merah dan tidak tahu, apa yang harus dilakukan.
"Hai, nona itu, mengapa kau menginjak pe-dangku?"
tiba2 Yalu Ce membentak, berbareng ia terus menubruk maju hendak mencengkeram
seruling orang.
Naraun Thia Eng sempat menyurutkan tangannya, ia membalik
tubuh dan menarik Bu-siang terus diajak pergi.
Cepat Kwe Hu jemput kembali pedangnya dan berteriak :
"Nanti dulu! Marilah kita bertanding dengan baik!"
"Haha, masih mau bertanding " sebelum Bu-siang
meng-olok2 lebih lanjut, cepat sekali Thia Eng telah menyeretnya melompat ke
depan, hanya sekejap mereka sudah berada jauh di sana,
Yalu Ce segera menghibur Kwe Hu, katanya : "Nona
Kwe, hanya kebetulan saja dia berhasil, sebenarnya kalah menang kalian belum
jelas."
"Memangnya," kata Kwe Hu dengan penasaran
"tadi pedangku sedang mengincar si pincang, mendadak dia turun tangan,
Tampaknya dia ramah tamah, ternyata bertindak secara licik."
Yalu Ce mengiakan saja, wataknya jujur, tidak biasa
menyanjung puji orang, katanya: "Kepandaian nona Thia itu tidak lemah,
lain kali kalau bergebrak lagi hendaklah kau jangan meremehkan dia,"
Kwe Hu kurang senang mendengar pujian Yalu Ce kepada Thia
Eng itu, tanpa pikir ia bertanya : "Kau bilang ilmu silatnya bagus?"
"Ya," jawab Yalu Ce.
"Baiklah, kalau begitu jangan kau hiraukan diriku
lagi dan berbaik saja dengan dia," kata Kwe Hu dengan gusar sambil
melengos.
"He, maksudku agar kau jangan meremehkan dia, supaya
kau hati2, itu tandanya kubela kau atau membantu dia?" cepat Yalu Ce
menjelaskan.
Kwe Hu pikir arti ucapan anak muda itu memang benar
membela dirinya, maka rianglah hatinya.
Segera Yalu Ce berkata pula. "Malah tadi akupun
bantu kau merebut kembali pedangmu, masakah kau masih marah padaku?"
"Ya, marah padamu!" omel Kwe Hu sambil
berpaling kembali, namun dengan tertawa gembira.
Yalu Ce menjadi girang juga, Pada saat itulah dari
ruangan pendopo sana berkumandang suara orang me-raung2 disertai suara nyaring
benturan senjata.
"Ai, lekas kita melihat ke sana!" seru Kwe Hu.
Tadi dia merasa sebal oleh ocehan Kiu Jian-jio mengenai
kejadian di masa talu, ia tidak tahu bahwa setiap kata nenek itu mengandung
ancaman bahaya maut bagi ibunya, maka ia lantas mengeluyur keluar dan tanpa
sebab telah bertengkar dengan Bu-siang dan Thia Eng, kini ia menjadi kuatir
bagi sang ibu demi mendengar suara ribut itu, cepat ia berlari kembali ke sana.
Begitu dia masuk, dilihatnya It-tcng Taysu lagi berduduk
di tengah ruangan, tangan me-raba2 tasbih dan mulut mengucap Budha, air mukanya
agung dan welas-asih, sedangkan Cu-in Hwesio sedang ber-lari2 mengitari ruangan
besar itu sambil mengeluarkan suara raungan buas, belenggu pada tangannya sudah
terbetot putus dan saling bentur dengan suara gemerincing.
Kiu Jian-jio kelihatan duduk ditempatnya tadi dengan
wajah membesi, mukanya memang buruk, kini menjadi tambah bengis dan menakutkan
sementara itu Ui Yong, Bu Sam-thong dan lain2 berada di pojok sana sambil
mengawal gerak-gerik Cu-in.
Setelah ber-lari2 sekian lama, dahi Cu-in tampak
berkeringat ubun2nya mengepulkan uap putih tipis dan makin lama makin tebal,
lari Cu-in itupun semakin cepat.
Mendadak It-teng Taysu membentak lantang: "Cu-in,
wahai, Cu-in! sampai kini apakah kau masih belum menyadari perbedaan antara
bajik dan jahat?"
Cu-in tampak melengak, uap putih di atas kepalanya
mendadak lenyap, tubuhnya tergeliat, lalu jatuh terjungkal.
"Anak Oh, lekas bangunkan Kuku!" bentak Kiu
Jian-jio.
Buru2 Kongsun Lik-oh berlari maju untuk membangunkan sang
paman, Ketika Cu-in membuka mata, dilihatnya wajah si nona hanya belasan senti
di depan matanya, samar2 terlihat alis yang lentik dan mulut yang mungil, wajah
yang cantik molek itu mirip benar dengan adik perempuannya dahulu, Tiba2 ia
berseru: "Sammoay, berada di manakah aku ini?"
"Kuku! Kuku! Aku Lik-oh!" ucap Lik-oh.
"Kuku? Siapa Kukumu?" - demikian Cu-in
berguman, "Kau memanggil siapa?"
"Jiko, dia adalah puteri adikmu!" teriak Kiu
Jian-jio, "dia minta kau membawanya menemui Kuku tertua."
Cu-in terkejut mendadak, katanya: "O, Kuku tertua?
Kakakku? Ah, kau tak dapat melihatnya lagi, dia sudah terjatuh hancur lebur ke
jurang Tiat~ ciang hong."
Teringat kepada kejadian masa Ialu, seketika mukanya
menjadi beringas, ia melompat bangun, Ui Yong ditudingnya dan membentak:
"Ui Yong, kau yang membunuh Toakoku, Kau... kau harus mengganti
jiwanya!"
Setelah masuk lagi ke ruangan situ. Kwe Hu berdiri di
samping sang ibu dan memondong adik perempuannya. ketika mendadak melihat Cu-in
mencaci-maki ibunya secara bengis, dia orang pertama yang tidak tahan, segera
ia melangkah maju beberapa tindak dan balas mendamperat: "Kau jangan kasar
kepada ibuku Hwesio, nonamu ini takkan membiarkan kau main gila."
Kiu Jian-jio lantas menjengek: "Hm, berani benar
anak perempuan ini..."
"Siapa kau?" segera Cu-in bertanya.
"Sudah kukatakan sejak tadi, apa kau tuli?W jawab,
Kwe Hu. "Kwe-tayhiap adalah ayahku, Ui pangcu ialah ibuku."
"Hm, jadi Kwe Cing dan Ui Yong malah sudah mempunyai
dua anak," teriak Cu-in dengan beringas.
Melihat nadanya berubah buas, Ui Yong menjadi kuatir,
cepat ia menyuruh Kwe Hu mundur Akan tetapi Kwe Hu mengira Cu-in gentar kepada
ibunya terbukti sejak tadi tidak berani menyerang maka tanpa pikir ia malah
melangkah maju dan mengejek: "Huh, kalau kau mampu bolehlah lekas kau
menuntut balas, kalau tidak becus, sebaiknya kau tutup mulut saja!"
"Bagus ucapanmu, kalau mampu bolehlah lekas menuntut
balas!" bentak Cu-in dengan suara menggelegar sehingga cangkir sama
bergetar di atas meja.
Sama sekali Kwe Hu tidak menyangka seorang Hwesio dapat
mengeluarkan suara sekeras itu, ia menjadi terkejut dan kebingungan Pada saat
itulah telapak tangan kiri Cu-in telah memukul, tangan kanan juga lantas
mencengkeram sekaligus. Dua rangkum tenaga maha dahyat terus membanjir tiba,
pikir Kwu Hu hendak menghindari akan tetapi sudah kasip.
Tanpa berjanji Ui Yong, Bu Sam-thong dan Yalu Ce bertiga
melompat maju berbareng, pandangan mereka-cukup tajam, mereka tahu cengkeraman
tangan kanan Cu-in itu tampaknya ganas, tapi tidak selihay pukulan tangan
tangan kiri yang mematikan ttu, Sebab itulah tangan mereka memapak bersama,
"blang", tiga arus tenaga dahsyat menyentak tangan kiri Cu-in.
Terdengar Cu-in bersuara tertahan dan tetap berdiri di
tempatnya, sebaliknya Ui Yong bertiga tergetar mundur beberapa langkah,
Kekuatan Yalu Ce paling cetek, dia tergentak mundur paling jauh, berikutnya
adalah Ui Yong.
Sebelum berdiri tegak kembali dia mengawasi puterinya lebih
dulu, dilihatnya Kwe Yang cilik sudah dicengkeram oleh Cu-in, sedangkan Kwe Hu
berdiri mematung, rupanya Saking kagetnya hingga lupa menghindar.
Ui Yong menjadi kuatir kalau2 Kwa Hu dilukai, tenaga
pukulan lawan, Cepat ia melompat maju pula dan menarik mundur anak gadisnya itu
sembari mengeluarkan pentung penggebuk anjing tmtuk bela diri, sekali pentung
pusakanya itu sudah siap, betapapun dahsyat tenaga pukulan Cu-in juga takkan
melukainya lagi.
Sebenarnya Kwe Hu tidak terluka sedikitpun, cuma pikirannya
menjadi kacau, dia baru sempat menjerit kaget setelah bersandar di tubuh sang
ibu, sementara kedua saudara Bu, Yalu Yan, Wanyan Peng dan lainnya segera
meloIos senjata juga ketika melihat Cu-in akhirnya melancarkan serangan.
Be-ramai2 anak buah Kiu Jian-jio juga menyebar dan siap
siaga, asalkan sang Kokcu memberi aba-2, serentak merekapun akan menyerbu.
Hanya It - teng Taysu saja yang tetap duduk bersila di tengah ruangan dan
anggap tidak mendengar dan tidak melihat apa yang terjadi di sekitarnya, dia
tetap mengucapkan doa, meski tidak keras suaranya, namun cukup jelas terdengar
Mendadak Cu-in mengangkat tinggi2 Kwe Yang cilik dan
berteriak: "lnilah puteri Kwe Cing dan Ui Yong, setelah kubunuh anak ini
barulah kubinasakan kedua orang tuanya."
Dengan girang Kiu Jian-jio menanggapi "Bagus, Jiko
yang baik, dengan begitulah engkau baru benar2 ketua Tiat-ciang-pang yang tiada
bandingannya."
Dalam keadaan demikian, jangankan seorang-pun yang hadir
ini mampu mengalahkan Cu-in, sekalipun ada yang berkepandaian lebih tinggi dari
dia juga akan mati kutu dan sukar menyelamatkan Kwe Yang kecil dari tangan
orang yang sudah kalap itu.
"Nyo toako! Nyo-toako! Di mana engkau? Lekas kemari
menolong adikku!" se-konyong2 Kwe Hu berseru. Menghadapi bahaya begini tiba2
dia ingat kepada Nyo Ko.
Maklumlah, beberapa kali Kwe Hu mengalami kesukaran dan
tiap kali Nyo Ko yang berhasil menyelamatkan dia di luar dugaannya, kini
adiknya terancam dan tampaknya tiada seorangpun yang mampu bertindak, secara
otomatis lantas timbul harapannya agar Nyo Ko datang menolongnya.
Akan tetapi saat itu Nyo Ko sedang bergandengan tangan
dengan Siao-Iiong-li menikmati pemandangan senja indah pegunungan ini, sama
sekali tak terpikir olehnya di ruangan besar sekarang sedang timbul adegan yang
mendebarkan itu.
Begitulah dengan tangan kanan mengangkat Kwe Yang ke atas
dan tangan kiri siap membela diri, Cu-in mengejek seruan Kwe Hu tadi:
"Huh, Nyo Ko apa? siapakah Nyo Ko itu? Saat ini biar-pun Tang-sia Se-tok,
Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong datang ke sini sekaligus paling-2 juga
jiwaku Kiu Jian-yim saja yang dapat diganggunya, tapi jangan harap akan dapat
menolong anak dara cilik ini."
Pelahan It~teng mengangkat kepalanya dan menatap Cu-in,
terlihat kedua matanya merah membara penuh napsu membunuhi segera ia berkata:
"Cu-in kau hendak menuntut balas pada orang, kalau orangpun hendak
menuntut balas padamu, lalu bagai mana?"
"Siapa yang berani boleh coba maju!" bentak
Cu-in.
Sementara hari sudah dekat magrib, cuaca mulai remang2
dan air muka Cu-in juga semakin seram tampaknya.
Pada saat itulah mendadak Ui Yong bergelak tawa, suara
tawanya mendadak meninggi dan lain saat merendah laksana suara tawa orang gila.
Begitu seram suara tertawanya hingga membikin orang merinding.
"lbu!" seru Kwe Hu kuatir. Bu Sam-thong, Yalu
Ce dan lain2 juga serentak memanggil "Kwe-hujin!"
Semua orang kuatir jangan-2 karena memikirkan anaknya
berada dalam cengkeraman musuh, mendadak pikiran Ui Yong menjadi tidak waras.
Terlihat Ui Yong membuang pentung bambu, lalu melangkah
maju dengan rambut terurai serawutan, suara tawanya melengking tajam dan
menyeramkan, berbeda sama sekali daripada sikapnya yang ramah se hari-2
"lbu!" seru Kwe Hu sambil menarik lengan Ui
Yong. Tapi sekali mengibas, kontan Kwe Hu terpelanting jatuh, habis itu Ui Yong
terus pentang kedua tangan hendak merangkul tubuh Cu in dengan ter-bahak2.
Kejadian ini juga sama sekali diluar dugaan Kiu Jian-jio,
ia mengawasi tingkah laku Ui Yong itu dengan mata mendelik dan sangsi.
"Jangan kuatir Kwe-hujin, kita pasti dapat merampas
kembali puterimu," seru Bu Sam-thong.
Namun Ui Yong tidak menggubrisnya, kedua tangan tetap
terpentang sembari melototi Cu-in, katanya: "Lekas kau cekik mati anak
itu! Cekik lehernya yang keras, jangan kendur!"
Wajah Cu-in tampak pucat sebagai mayat, sambil merangkul
Kwe Yang dalam pangkuannya, Cu~in berkata dengan tergagap: "Sia...siapa
kau?"
Mendadak Ui Yong tertawa ter-kekeh2 terus menubruk maju.
Meski tangan kiri Cu in sudah bersiap namun sebegitu jauh tidak berani me-nyerang,
ia hanya menggeser kesamping menghindari tubrukan Ui Yong itu, lalu ia tanya
pula: Kau... kau siapa?"
"Apakah kau sudah lupa semuanya?" jawab Ui Yong
dengan suara seram, "Malam itu di atas istana kerajaan Tayli kau memegang
seorang anak... ya, ya, seperti inilah kau memegangnya, bocah itu kau siksa
hingga setengah mati, akhirnya jiwanya sukar tertolong pula, dan aku... aku
adalah ibu bocah itu, Nah, lekas kau mencekik mampus dia, lekas, kenapa tidak
lekas kau lakukan?"
Mendengar sampai di sini, sekujur badan Cu-in lantas
menggigil peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu mendadak terbayang olehnya,
Tatkala itu dia sengaja melukai putera Lau-kuihui, yaitu selir kesayangan
Lam-ie (raja di selatan) Toan Hong-ya, yang kini berjuluk It-teng Taysu, tujuannya
supaya Toan Hong-ya mau mengorbankan tenaga dalamnya yang dipupuk selama
berpuluh tahun itu untuk menyelamatkan jiwa anaknya (yang sebenarnya adalah
hasil hubungan gelap antara Lau-kuihui alias Eng Koh dengan Ciu Pek- thong, si
Anak Tua Nakal), namun Toan Hong ya tega benar tidak mau mengobati anak itu
sehingga anak itu akhirnya meninggal.
Kemudian beberapa kali Eng Koh bertemu dengan Cu-in dan
secara kalap melabraknya, kalau perlu siap untuk gugur bersama. Dalam keadaan
begitu, biarpun ilmu silat Cu-in jauh lebih tinggi daripada Eng Koh juga merasa
jeri, maklumlah, merasa berdosa, maka tidak berani melawan dan lebih suka kabur
saja.
Ui Yong tahu itulah kelemahan terbesar selama hidup
Cu-in, dilihatnya cara Cu-in mengawasi Kwe Yang mirip benar kejadian dahulu,
maka dia menjatuhkan taruhan terakhir dengan sengaja menyerukan Cu-in mencekik
mati Kwe Yang saja.
Tentu saja Bu Sam-thong, Yalu Ce dan Iain2 tidak tahu
maksud tujuan Ui Yong, mereka menyangka ketua Kay-pang itu mendadak gila
sehingga ucapannya tidak karuan juntrungannya. Padahal tindakan Ui Yong ini
sesungguhnya teramat cerdik dan berani, biarpun kaum lelaki juga belum tentu
sanggup bertindak demikian. Dia telah mengetahui benar kelemahan musuh, inilah
kecerdikannya, iapun berani menyuruh orang mencekik anaknya, inilah
keberaniannya yang luar biasa.
Begitulah seketika Cu-in menjadi ragu2 dipandangnya Ui
Yong, lalu memandang pula ke arah It-tcng Taysu, kemudian mengamat-amati anak
yang dipegangnya itu. Se-konyong2 ia tidak mampu menahan rasa penyesalannya
sendiri, tiba2 ia berteriak: "Mati, sudah mati! Ai, anak baik2 begini
telah kucekik mati."
Pelahan ia mendekati Ui Yong dan menyodorkan bayi itu
sambil berkata pula. "Akulah yang membikin mati anak ini, boleh kau
membinasakan diriku sebagai pengganti jiwanya."
Girang Ui Yong tak terhingga, segera ia hendak menerima
kembali anaknya, mendadak terdengar It-teng membentak: "Balas membalas,
tuntut menuntut, sampai kapan berakhirnya? Golok jagal di tangan, kapan akan
kau lemparkan ?"
Cu-in terkejut, pegangannya jadi kendur, Kwe Yang terus
terjatuh ke lantai, Namun Ui Yong cukup cekatan sebelum badan anak bayi itu
menyentuh lantai, sebelah kakinya tahu2 sudah diayunkan dan tepat mengenai
tubuh Kwe Yang hingga mencelat ke sana, berbareng itu Ui Yong lantas berteriak
dan ter-kekeh2: "Ah, anak ini telah dibunuh olehmu. Bagus, bagus
sekali!"
Padahal tendangannya tadi tampaknya agak keras, namun
sesungguhnya cuma punggung kakinya saja yang menjungkit pelahan di punggung
,anak itu terus ditolak ke sana dengan enteng. ia tahu keselamatan anak bayi
itu bergantung dalam sedetik itu saja, kalau dia berjongkok menyamber anak itu,
bisa jadi pikiran Cu-in mendadak berubah lagi dan meraih kembali si Kwe Yang
cilik.
Tubuh Kwe Yang mencelat dengan anteng ke arah Yalu Ce,
maka dengan tepat anak muda itu dapat menangkapnya, dilihatnya sepasang biji
mata Kwe Yang yang hitam itu terbelalak, mulut terbuka hendak menangis,
keadaannya segar bugar tanpa cidera apapun.
Yalu Ce paham sebabnya Ui Yong sengaja mengirim Kwe Yang
ke arahnya itu adalah karena watak Kwe Hu suka gegabah, maka sang ibu tidak
berani menyuruh menerima bayi itu. Cepat Yalu Ce lantas mendekap mulut Kwe Yang
untuk mencegah tangisnya, berbareng iapun ber-teriak2: "Wah, anak ini
telah dibinasakan Hwesio ini!"
Muka Cu-in pucat seperti mayat, seketika dia sadar dan
bebas, ia memberi hormat kepada lt-teng dan berkata: "Terima kasih banyak2
atas bantuan Suhu!"
It-teng membalas hormat dan menjawab: "Selamatlah
engkau telah mencapai kesempurnaan!"
Kedua orang berhadapan dengan tertawa, lalu Cu-in
melangkah pergi. Cepat Kiu Jian-jio berseru:
"He, Jiko, kembali..."
Cu-in menoleh dan berkata "Kau suruh aku kembali,
aku justeru hendak menyuruh kau kembali juga." Habis itu ia lantas
bertindak pergi tanpa berpaling lagi.
"Bagus, bagus!" ber-ulang2 It-teng menyatakan
syukurnya, lalu ia mengundurkan diri ke sudut ruangan dan duduk semadi tanpa
bicara lagi.
Ui Yong mengikat kembali rambutnya yang kusut tadi, dari
Yalu Ce ia terima kembali si Kwe Yang cilik. Cepat Kwe Hu merangkul sang ibu,
serunya dengan kejut2 girang: "O, kukira ibu benar-benar telah kurang
waras!"
Kemudian Ui Yong mendekati It-teng Taycu dan memberi
hormat, katanya: "Taysu, karena kepepet sehingga Siautit terpaksa
mengungkat kejadian masa lampau, mohon Taysu sudi memaafkan."
"Yong ji, Yong-ji. kau benar2 Khong Bengnya kaum
wanita," ujar It-teng dengan tersenyum.
Di antara hadirin itu hanya Bu Sam-thong saja yang lapat2
mengetahui kejadian dahulu, orang lain sama melongo heran karena tidak tahu apa
yang dimaksudkan percakapan It-teng dan Ui Yong.
Bahwa akhirnya menjadi begini, hal inipun di luar dugaan
Kiu Jian-jio, ia tahu sekali kakaknya sudah pergi, selanjutnya jelas sukar
bertemu lagi, Melihat bayangan Cu-in sudah lenyap, perasaannya menjadi pilu,
tapi terasa bimbang dan menyesal pula ketika ingat ucapan Cu-in sebelum pergi
tadi:
"Kau suruh aku kembali, justeru akupun hendak
menyuruh kau kembali." Jelas ucapan itu bernada memberi nasehat agar lekas
menahan diri dan kembali ke jalan yang baik.
Akan tetapi rasa menyesal itu hanya sekilas saja lantas
lenyap, dengan angkuh ia lantas berkata: "Silakan kalian duduk saja
disini, aku tidak dapat menemani lama2."
"Nanti dulu!" seru Ui Yong tiba2,
"Kunjungan kami ini adalah untuk memohon Coat-ceng-tan."
Kiu Jian-jio lantas mengangguk kepada mu-rid-murid
berseragam hijau di sebelahnya, serentak anak murid seragam hijau itu bersuit,
dari setiap sudut lantas muncul empat orang berseragam hijau dengan membawa
jaring ikan berkait dan meng-adang jalan ke luar semua orang.
Dalam pada itu empat pelayan lantas angkat kursi yang
diduduki Kiu Jian-jio dan dibawa masuk ke ruangan dalam. Melibat kelihayan
barisan jaring berkait itu, diam2 Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain2 sama terkejut
mereka menjadi bingung pula cara bagaimana membobol barisan jaring musuh itu.
Karena sedikit ragu itulah, tahu2 pintu depan dan
belakang ruangan pendopo itu berkeriutan dan merapat, semua orang berseragam
hijau lantas menyelinap ke luar lebih dulu.
Cepat kedua saudara Bu cilik menerjang keluar dengan
pedang terhunus, akan tetapi sudah terlambat "blang", pintu telah
merapat, kedua batang pedang Bu Tun-si dan Bu Siu-bun yang sempat diselipkan ke
tengah daun pintu itu patah seketika terjepit Tampaknya daun pintu besar itu
terbuat dari baja yang kuat.
"Tidak perlu kuatir" cepat Ui Yong mendesis.
"Untuk keluar dari sini tidaklah sulit, cuma kita harus memikirkan suatu
akal cara bagaimana membobol barisan jaring musuh yang berkait itu dan cara
bagaimana mencuri obat untuk menyelamatkan kawan kita."
Sementara itu Kongsun Lik-oh juga ikut sang ibu masuk ke
ruangan dalam, di situ ia bertanya tindakan apa pula yang akan dilakukan
ibunya, Kiu Jian-jio sendiri merasa sulit dengan perginya sang kakak, namun
musuh pembunuh kakak kini berada di depan matanya, betapapun ia tidak dapat
tinggal diam.
Maka setelah berpikir, kemudian ia berkata kepada Lik-oh:
"Coba kau pergi ke sana, awasi apa yang dilakukan Nyo Ko dan ketiga anak
dara itu."
Perintah sang ibu sesuai benar dengan keinginan Lik-oh,
segera ia mengangguk dan berlari ke rumah garangan itu. Sampai di tengah jalan,
tiba2 didengarnya ada suara orang bicara di depan sana, jelas itulah suaranya
Nyo Ko, menyusul terdengar suara jawaban Siao-liong-li dan lapat2 seperti
menyebut "nona Kongsun."
Waktu itu hari sudah gelap, cepat Lik-oh menyelinap ke
semak pohon, ia ingin tahu apa yang sedang dibicarakan kedua muda-mudi itu
mengenai dirinya.
Dengan langkah pelahan ia lantas merunduk maju,
dilihatnya Nyo Ko dan Siao-liong li berdiri berendeng di sana, terdengar Nyo Ko
lagi berkata:
"Kau bilang kita harus berterima kasih kepada nona
Kongsun, kukira memang betul, Semoga paderi sakti ini lekas siuman, permusuhan
ini selekasnya dapat diakhiri sisa racun dapat dibasmi seluruhnya, bukankah
bagus begitu?... Aduuh!" jeritan mengaduh secara mendadak ini membikin.
Lik-oh kaget karena tidak diketahui apa yang mengakibatkan Nyo Ko menjerit. ia
coba mengintip dari tempat sembunyinya, samar2 dilihatnya Nyo Ko tergeletak di
tanah dan Siao-liong-li sedang memegangi lengannya.
Bagian punggung Nyo Ko seperti berkejang dan tampaknya
sangat sakit Terdengar Siao-liong-li bertanya padanya: "Apakah racun bunga
cinta kambuh lagi?"
"Iy.. .. iyaa . . .." sahut Nyo Ko dengan gigi
berkeretukan.
"Pedih hati Kongsun Lik- oh dan kasihan pula melihat
penderitaan Nyo Ko itu, pikirnya: "Dia sudah minum separoh Coat-ceng tan,
kalau separoh-nya dimakan lagi tentu racunnya akan punah, separoh obat yang
tersisa itu betapapun harus ku-mintakan kepada ibu."
Selang sejenak, pelahan Nyo Ko berbangkit dan menghela
napas panjang.
"Ko-ji, kumatnya penyakitmu semakin kerap dan
jaraknya juga semakin pendek, malahan kelihatan juga tambah parah." kata
Siao-liong-li. "Padahal harus sehari lagi barulah paderi Hindu itu akan
siuman, seumpama dia dapat meracik obat penawarnya rasanya juga tidak.... tidak
mengurangi penderitaanmu ini."
Sebenarnya dia hendak mengatakan "juga tidak keburu
lagi menolong kau", tapi akhirnya ia ubah ucapannya itu.
Dengan tersenyum getir Nyo Ko menjawab "Nenek
Kongsun itu sangat kepala batu, obat penawarnya juga tersimpan dengan rapat,
kalau dia tidak suka-rela mau memberikan obatnya padaku, biarpun senjata
mengancam di lehernya juga belum tentu dia mau menyerah dan memberikan
obatnya."
"Aku mempunyai akal," ujar Siao-liong-li.
Nyo Ko sudah dapat meraba jalan pikiran isterinya itu,
katanya: "Liong-ji, jangan lagi kau mengemukakan kehendakmu ini. Kita
suami-isteri saling mencintai dengan segenap jiwa raga, kita akan bersyukur
kalau kita dapat hidup sampai kakek-kakek dan nenek2, kalau tidak dapat, ya
anggaplah memang sudah takdir, di antara kita berdua sekali2 tidak boleh
diselingi dengan orang ketiga."
Dengan suara terguguk Siao-Iiong li berkata:
"Tapi... tapi nona Kongsun itu kulihat pribadinya
sangat baik, hendaklah kau menurut perkataanku."
Tergerak hati Kongsun Lik-oh mendengar percakapan mereka
itu, ia tahu Siao-liong-li sedang menganjurkan Nyo Ko menikahi dirinya untuk
mendapatkan obat penawar.
Segera terdengar Nyo Ko berseru lantang: "Liong ji,
nona Kongsun itu memang orang baik. sesungguhnya di dunia ini memang banyak
nona2 yang baik, Misalnya itu nona Thia Eng, nona Liok Bu-siang, semuanya juga
gadis yang baik budi dari setia kawan. Namun kita berdua sudah saling cinta
mencintai mana boleh timbul lagi pikiran lain.
Umpamanya kau sendiri, jika ada seorang lelaki yang
sanggup menyembuhkan racun dalam tubuhmu dengan syarat kau harus menjadi
istrinya, apakah kau juga mau?"
"Aku kan perempuan, sudah tentu lain soal-nya,"
jawab Siao-liong-li.
"Hah, orang lain berat lelaki dan enteng perempuan,
aku Nyo Ko justeru berat perempuan dan enteng lelaki," kata Nyo Ko dengan
tertawa.
Sampai di sini, tiba2 terdengar suara kresekan di semak
pohon sana, cepat Nyo Ko berseru: "Siapa itu?" Lik-oh tahu jejaknya
telah diketahui orang, baru saja mau menjawab, tiba2 suara seorang lain
menjawab: "Aku, ToloI!"
Menyusul Liok Bu siang dan Thia Eng lantas muncul dari
semak2 pohon sana. Kiranya tidak cuma Kongsun Lik-oh saja yang mengintip di
situ, Bu-siang dan Thia Eng juga berada di dekatan sana, Kesempatan itu segera
digunakan Lik-oh untuk menyingkir pikirannya lantas bergolak juga tak menentu:
"Jangankan berbanding nona Liong, meskipun nona2 Liok dan Thia saja juga
sukar bagiku untuk menandinginya, baik ilmu silat maupun lahiriah, apalagi
bicara mengenai hubungan baiknya dengan Nyo-kongcu.
Sejak kenal Nyo Ko, tanpa kuasa Kongsun Lik-oh kesemsem
kepada pemuda itu, meski sejak mula iapun mengetahui Nyo Ko sangat mencintai
Siao~liong-li, tapi selalu diharapkannya semoga dapat bertemu sekali lagi
dengan dia, sebab itulah ia terus menanti di Coat-ceng-kok, kini setelah
mendengar percakapan mereka, ia menjadi lebih tahu bahwa cinta dirinya cuma
bertepuk sebelah tangan saja dan tidak mungkin terkabul
Kedua orang tuanya adalah manusia2 yang culas dan sukar
bergaul dengan orang luar, sebab itulah sejak kecil Kongsun Lik-oh menjadi
sangat pendiam dan tersiksa batin, kini hancur pula segala harapannya, ia
bertekad takkan hidup lagi, dengan langkah limbung ia lantas berjalan ke sana.
Dengan pikiran melayang, jalannya menjadi tanpa arah
tujuan dan tidak menyadari dirinya berada di mana, cuma dia cukup apal jalanan
sekitar situ, maka biarpun di malam gelap juga tidak sampai terperosot ke
jurang atau jatuh-ke sungai, suatu suara se-akan2 mengiang dalam benaknya:
"Aku tak ingin hidup lagi, aku tidak ingin hidup
lagi!"
Begitulah ia terus berjalan tanpa tujuan, entah sudah
berapa Iama, tiba2 didengarnya dibalik dinding karang sebelah sana sayup2 ada
suara orang sedang bicara. Waktu ia memperhatikan keadaan setempat lebih cermat
ia terkejut.
Kiranya dalam keadaan ling-lung, tanpa terasa ia teIah
berada di suatu tempat di sebelah barat lembah yang jarang dikunjungi manusia.
Waktu ia menengadah tertampak sebuah puncak gunung menjulang tinggi di depan itulah
Coat-ceng-hong (puncak putus tinta) yang sangat curam di lembah ini.
Pada pinggang Coat-ceng-hong itu adalah suatu tebing yang
menyerupai dinding dan entah-sejak kapan ada orang mengukir tiga huruf besar di
situ, bunyinya "Toan-jong-kah" (tebing putus usus), tebing itu halus
licin dan selalu dikelilingi awan dan kabut, sekalipun burung juga sukar
hinggap di puncak gunung itu.
Di bawah puncak gunung itu adalah jurang yang tak
terperikan dalamnya dengan tumbuhan yang lebat walaupun pemandangan alam di
situ sangat indah permai, namun karena curamnya dan mungkin akan terjerumus ke
dalam jurang jika kurang hati2, maka penduduk setempat jarang yang datang ke
situ, sekalipun anak buah Kongsun Ci yang memiliki ilmu silat tinggi juga
jarang menginjak tempat itu. Tapi sekarang ternyata ada orang bicara disitu,
entah siapa gerangannya?
Selain ingin mati saja memangnya Kongsun Lik-oh tidak
mempunyai kehendak lain lagi, Tapi sekarang timbul rasa ingin tahunya, segera
ia menempel di belakang batu karang dan coba mendengarkan dengan cermat.
Tapi setelah mengenali suara orang yang bicara, hatinya
lantas berdebar Kiranya pembicara itu ialah ayahnya.
Meski ayahnya berbuat salah terhadap ibunya dan juga
tidak sayang padanya, namun ibunya sudah membutakan sebelah mata ayahnya dengan
sempritan biji kurma serta telah mengusirnya pergi dari Coat-ceng-kok,
betapapun Lik,-oh masih menaruh belas kasihan seorang anak terhadap ayahnya, ia
menjadi heran setelah mendengar suara sang ayah, ternyata ayahnya tidak
meninggalkan Coat~ceng~ kok melainkan masih sembunyi di tempat yang jarang
didatangi manusia.
Terdengar ayahnya sedang betkata: "Matamu diciderai
oleh si bangsat cilik Nyo Ko, mataku juga buta juga boleh dikatakan akibat
perbuatan bangsat cilik itu, jadi kita boleh dikatakan se... senasib dan
setanggungan, hehehe!" Meski ia terkekeh, namun orang yang diajak bicara
itu ternyata tidak menanggapinya.
Lik-oh menjadi heran siapakah gerangan yang diajak bicara
sang ayah itu? seketika iapun tidak ingin siapakah yang matanya pernah
diciderai Nyo Ko, sedangkan nada ucapan sang ayah kedengaran rada2 bangor,
apakah lawan bicaranya itu adalah seorang perempuan?
Di dengar nya Kongsun Ci berkata pula: "Kita bertemu
di sini juga boleh dikatakan ada jodoh, bukan saja senasib dan setanggungan".
bahkan juga... juga sama2 bermata... bermata..."
"Huh, kau mentertawakan aku ini buruk rupa
bukan?" tiba2 seorang perempuan mendamperat.
"O,walah, janganlah kau marah, bukan begitu
maksudku." jawab Kongsun Ci cepat "Aku justru sangat senang bertemu
dengan kau."
"Aku telah terluka oleh bunga cinta dan kau sama
sekali tidak menghiraukan, malahan kau menggodai diriku saja," omel pula
perempuan itu.
Baru sekarang Kongsun Lik-oh ingat siapa orang ini,
Kiranya adalah Li Bok-chiu, iapun heran bahwa mata Li Bok-chiu katanya juga
diciderai oleh Nyo Ko.
Memang betul lawan bicara Kongsun Ci itu ialah Li
Bok-chiu, dia terkena racun bunga cinta dan ingin mendapatkan obat penawarnya,
tapi jalanan di Coat-ceng-kok berliku-liku dan ruwet, dia kesasar kian kemari
dan akhirnya sampai di tebing curam itu dan kebetulan mempergoki Kongsun Ci
juga sembunyi disitu.
Dengan sembunyi disitu Kongsun Ci sedang menunggu
kesempatan agar dapat membunuh Kiu Jian-jio untuk merebut kembali kedudukan
Kokcu, sedangkan kedatangan Li Bok-chiu ke situ hanya kebetulan.
Keduanya pernah bergebrak dan sama2 tahu lihaynya
masing2, maka pertemuan ini lantas menimbulkan pikiran yang sama pula akan
bergabung untuk tujuan bersama, setelah bicara sebentar ternyata kedua orang
merasa cocok satu sama lain.
Usia Li Bok-chiu sebenarnya tidak muda lagi, tapi sejak
kecil dia berlatih Lwekang sehingga wajahnya masih halus dan cantik. Kongsun Ci
telah gagal mengawini Siao-liong-li, kemudian gagal pula menculik Wanyan Peng,
kini bertemu dengan Li Bok-chiu, kembali timbul pikirannya:
"Setelah kubunuh perempuan jahat she Kiu itu,
biarlah kunikahi nona ini saja, Baik wajahnya maupun ilmu silatnya adalah kelas
pilihan, meski buta sebelah, tapi sangat setimpal menjadi jodohku."
Tak tahunya bahwa jiwa Li Bok-chiu yang jahat itu
ternyata juga disertai cinta yang suci, sebabnya dia banyak berbuat kejahatan
juga akibat gagalnya percintaan. Kini didengarnya cara bicara Kongsun Ci
semakin tidak senonoh, diam2 ia menjadi marah. Tapi mengingat masih perlu mendapatkan
obat penawar, terpaksa ia melayani percakapan orang sekadarnya.
Begitulah Kongsun Ci lantas berkata pula: "Aku
adalah Kokcu di sini, cara membuat obat penawar bunga cinta tiada diketahui
orang lain kecuali diriku ini. Cuma membuatnya memerlukan waktu, air di tempat
jauh tak dapat memadamkan api di dekat sini. Untung obat itu masih tersisa satu
biji di tempat kediamanku, tapi sekarang dikangkangi perempuan jahat itu,
terpaksa kita harus membinasakan dia, habis itu apapun juga adalah milikmu."
Kalimat ucapannya yang terakhir itu mengandung makna
berganda, artinya tidak cuma obat penawarnya saja akan Kuberikan padamu, bahkan
kedudukan nyonya rumah Coat-ceng-kok inipun akan menjadi bagianmu.
Bahwa di dunia ini hanya Kongsun Ci sendiri saja yang
tahu cara membuat obat penawar, hal ini memang tidak salah, Bahkan resep obat
itu hanya dari ayah diturunkan kepada anak dan tak mungkin diajarkan kepada
orang luar, sekalipun Kiu Jian-jio juga tidak tahu tentang resep obat itu, dia
menyangka obat itu adalah simpanan dari leluhur keluarga Kongsun dan tidak tahu
kalau Kongsun Ci masih menyimpan resepnya, sebaliknya mengenai sisa obat yang
tinggal setengah biji pada Kiu Jian-jio itu Kongsun Ci juga tidak tahu,
disangkanya masih satu biji.
Begitulah Li Bok-chiu menjadi ragu2, katanya kemudian:
"Jika begitu kan percuma saja omonganmu ini. Obat penawar berada di tangan
isterimu dan isteri mu telah menjadi musuhmu, umpamanya tidak sulit bagimu
untuk membunuhnya tapi cara bagaimana kau dapat memperoleh obatnya?"
Kongsun Ci terdiam sejenak, lalu berkata:
"Li-sumoay, baru kenal kita lantas cocok, demi menolongmu biar mati bagiku
juga tidak sayang"
"Wah, aku harus berterima kasih padamu," ujar
Li Bok-chiu hambar.
"Aku mempunyai akal untuk rebut obat dari tangan
perempuan jahat itu," kata Kongsun Ci pula. "Cuma ku harap engkau
menyanggupi suatu permintaanku."
Dengan tegas Li Bok-chiu menjawab: "Selama
mengembara kian kemari di Kangouw, belum pernah kuterima ancaman orang dengan
persyaratan apapun juga tidak menjadi soal. Aku Li Bok-chiu bukanlah manusia
yang sudi mohon belas kasihan orang lain."
"Ah, Li-sumoay salah memahami maksudku." cepat
Kongsun Ci menjelaskan "maksudku hanya sekedar berbuat sesuatu bagimu,
mana aku berani mengancam segala, Cuma untuk rebut obat itu rasanya harus
mengorbankan jiwa puteri kandungku sebab itulah mungkin ucapanku menjadi rada
kaku."
Tergetar hati Kongsun Lik-oh mendengar kalimat
"harus mengorbankan jiwa puteri kandungku!"
Li Bok-chiu juga merasa heran, ia menegas:
"Memangnya obat penawar itu berada di tangan puterimu?"
"Tidak, biarlah kukatakan terus terang padamu,"
jawab Kongsun Ci "Watak perempuan jahat itu teramat keras dan pemberang,
obat penawar itu tentu disimpannya di tempat yang dirahasiakan untuk memaksa
dia menyerahkan obatnya jelas sukar, jalan satu2nya harus dipancing dengan
akal. Terhadap siapapun dia tidak kenalampun, hanya puteri satunya itu masih
dapat mempengaruhi pikirannya.
Maka nanti akan kupancing puteriku si Lik-oh kesini dan
mendadak kau menawannya serta dilemparkan ke semak2 bunga cinta. Dengan begitu
terpaksa perempuan jahat itu harus mengeluarkan obat untuk menolong jiwa
puterinya, kesempatan itu lantas kita gunakan untuk rebut obatnya."
Sejenak kemudian ia menambahkan pula: "Cuma sayang
obat ku hanya sisa satu biji saja, kalau sudah diberikan padamu berarti jiwa
puteriku itupun takkan tertolong." ~ Berkata sampai di sini tiba2 suaranya
menjadi parau dan mengucurkan air mata.
"Demi menyelamatkan jiwaku harus mengorbankan
puterimu, kukira urusan ini batalkan saja" kata Li Bok-chiu.
"Tidak, tidak, meski aku sayang mengorbankan dia,
tapi aku lebih2 berat kehilangan kau," kata Kongsun Ci cepat.
Li Bok-chiu terdiam, ia merasa selain cara yang di
usulkan Kongsun Ci ini memang tiada jalan lain lagi.
"Kita tunggu saja di sini, lewat tengah malam nanti
akan kupanggil puteriku keluar, betapapun pintarnya tentu dia takkan menduga
akan tipu muslihat ayahnya ini," kata Kongsun Ci pula.
Percakapan mereka itu dengan jelas dapat didengar oleh
Kongsun Lik-oh, makin mendengar makin takut hatinya. Tempo hari Kongsun Ci
telah menjebloskan dia dan Nyo Ko ke kolam buaya, maka dia sudah tahu sang ayah
sama sekali tidak mempunyai kasih sayang kepada puterinya sendiri, sekarang
secara licik malah berkomplot dengan seorang perempuan yang baru dikenalnya
untuk mencelakai puterinya sendiri, betapa keji hatinya sungguh melebihi
binatang.
Memangnya Lik-oh sudah putus asa dan tidak ingin hidup
lagi, tapi demi mendengar muslihat keji yang sedang direncanakan kedua orang
itu, dengan sendirinya timbul pikirannya untuk melarikan diri. Untunglah
sekitarnya batu karang belaka, pelahan2 ia lantas melangkah mundur di bawah
aling-batu karang sesudah agak jauh barulah ia mempercepat tindakannya.
Sesudah jauh meninggalkan Coat-ceng hong, ia tahu tidak
lama lagi ayahnya akan datang mencarinya, maka ia tak berani pulang ke
kamarnya, duduk dengan sedih di atas batu karang, bulan sabit mengintip di
tengah cakrawala, angin malam meniup sepoi2, ia merasa hampa dan hdup ini sama
sekali tidak ada artinya, Gumamya sendiri:
"Memangnya aku tidak ingin hidup lagi, mengapa
engkau merencanakan akal keji itu untuk mencelakai diriku? Baiklah, jika kau
ingin membunuh diriku boleh bunuh saja. Tapi aneh juga buat apa aku melarikan
diri?"
Se-konyong2 terkilas suatu pikiran dalam benak nya :
"Meski keji sekali rencana ayah ini, tapi akalnya ini juga sangat bagus,
Aku memang sudah bertekad akan membunuh dri, mengapa tidak kugunakan akal ini
untuk menipu obat dari tangan ibu untuk menyelamatkan jiwa Nyo-toako? jika mereka
suami-isteri dapat diselamatkan dan hidup bahagia betapapun mereka pasti akan
berterima kasih kepadaku si nona yang mencintai dia dengan setulus hati dan
bernasib malang ini."
Berpikir sampai di sini ia menjadi girang dan berduka
pula, tapi semangatnya lantas terbangkit, ia coba memandang sekelilingnya untuk
mengetahui lebih jelas dirinya berada di mana, lalu ia melangkah menuju ke
kamar tidur sang ibu.
Ketika lewat di semak2 bunga cinta, dengan hati2 ia
memetik dua tangkai besar bunga itu dan di-bungkus dengan ikat pinggang agar
duri bunga cinta tidak mencocok tangannya. Setiba di luar kamar ibunya dengan
suara pelahan ia memanggil : "lbu, apakah engkau sudah tidur?"
"Ada urusan apa, anak Oh?" jawab Kiu Jian-jio
di dalam kamarnya.
"lbu, o, ibu, aku... aku telah luka tercocok duri
bunga cinta," seru Lik-oh dengan suara tergagap sambil merangkul tangkai
bunga yang dibawanya itu.
Tanpa ampun lagi beribu2 duri bunga itu tercocok ke dalam
kulit dagingnya. Keruan sakitnya tidak kepalang, sekuatnya dia bertahan dan
melepaskan ikat pinggang yang membungkus tangkai bunga itu, lalu memanggil
lagi: "O, ibu! Ibu!"
Kiu Jian-jio terkejut mendengar suara keluhan Lik-oh itu,
cepat ia menyuruh pelayan membuka kamar dan memayang Lik-oh ke dalam.
"Ditubuhku masih ada duri bunga, kalian jangan
mendekat," seru Lik-oh.
Kedua pelayan menjadi kaget dan membiarkan Lik-oh masuk
sendiri ke dalam kamar Kiu Jian-jio terkejut juga melihat wajah Lik-oh yang
pucat, badan gemetar dan dua tangkai bunga bergantungan di dadanya, cepat ia
tanyai "Kenapa kau?",
"Ayah... ayah..." seru Lik-oh terputus-putus,
ia tahu sinar mata sang ibu sangat lihay maka ia menunduk dan tak berani beradu
pandang.
"Kau masih memanggilnya ayah? Memangnya kenapa
bangsat tua itu?" kata Kiu Jian~jio dengan gusar.
"Dia .dia..."
"Coba angkat kepalamu," bentak Kiu Jian-jio.
Waktu Lik-oh angkat kepalanya dan melihat sorot mata
ibunya yang kereng itu, tanpa terasa ia bergidik. Katanya dengan tergagap:
"Tanpa sengaja kupergoki....kupergoki dia sedang bicara dengan....dengan
To-koh cantik yang siang tadi mengacau ke sini itu, kudengar...
kudengar..." sampai di sini ia menjadi ragu2 untuk meneruskan, maklumlah
dia tak pernah berdusta, kuatir isi hatinya diketahui sang ibu, kembali ia
menunduk lagi.
"Apa yang dibicarakan mereka?" Kiu Jian-jio
menegas dengan tak sabar.
"Katanya mereka se.... senasib dan setanggungan,
sama2...sama2 bermata satu dan... dan sebab itupun matanya buta sebelah.
Mereka... mereka sama memaki ibu sebagai... sebagai perempuan jahat dan macam2
lagi, sungguh anak sangat... sangat gemas." sampai di sini ia lantas
menangis terguguk.
"Jangan menangis," kata Kiu Jian jio dengar
gregetan." Kemudian apa lagi yang mereka katakan?"
"Tanpa sengaja anak menerbitkan suara sedikit dan
diketahui mereka," tutur LiK-oh lebih lanjut "To-koh.... To-koh itu
lantas menangkap diriku dan didorong ke semak bunga cinta."
Merasa suara Lik-oh itu rada kurang mantap, segera Kio
Jian-jio membentak: "Tidak benar, kau berdusta? sesungguhnya bagaimana?
jangan kau membohongi aku."
Lik-oh berkeringat dingin, cepat ia menjawab: "Anak
tidak berdusta, bukankah tubuhku ini ter-cocok oleh dini bunga?"
"Nada ucapanmu tidak tepat, sejak kecil kaupun
begini bicaranya dan tak dapat berdusta, masakah ibumu tidak kenal watakmu?"
Seketika tergerak pikiran Lik-oh, dengan nekat ia berkata
pula: "Ya ibu, memang benar aku telah berdusta padamu, Yang betul ayahlah
yang mendorong diriku ke semak2 bunga, dia marah padaku, katanya aku mengeloni
engkau, membantu kau melawan dia. Katanya aku lebih condong kepada ibu dan
tidak sayang kepada ayah."
Sebenarnya kata2 ini hanya karangan Lik-oh sendiri, namun
Kiu Jian-jio sudah kadung sangat benci pada suaminya, ucapan Lik-oh itu masuk
diakal atau tidak bukan soal baginya, yang penting adalah hal ini dengan jitu
mengenai lubuk hatinya. cepat ia pegang tangan anak perempuannya dan
menghiburnya: "Jangan susah anak Oh, biarlah ibu nanti melayani bangsat
tua itu dan pasti akan melampiaskan dendam kita ini."
Lalu ia menyuruh pe layan mengambilkan gunting dan
capitan untuk membuang tangkai bunga serta mengeluarkan duri2 kecil yang masih
melekat di tubuh Lik-oh itu.
"lbu, anak sekali ini pasti takkan hidup Iagi."
kata Lik-oh dengan menangis sedih.
"Jangan." ujar Kiu Jian-jio, "Kita masih
menyimpan setengah biji Coat-ceng-tan dan untung belum diberikan kepada bangsat
cilik she Nyo yang tidak berbudi itu, setelah kau minum setengah biji obat ini,
meski racun bunga tak dapat ditawarkan seluruhnya, asalkan selanjutnya kau
mendampingi ibumu dengan prihatin dan tidak gubris lelaki busuk manapun juga,
jangan sekali2 memikirkan mereka, maka selamanya kaupun takkan menderita
apa2"
Kiu Jian-jio sudah sakit hati kepada suaminya, Nyo Ko
juga tidak mau menjadi menantunya, sebab itulah dia membenci setiap lelaki,
kalau puterinya tidak menikah selama hidup akan kebetulan baginya malah.
Lik oh mengerut kening dan tidak menanggapi Maka Kiu
Jian-jio lantas bertanya pula: "Sekarang bangsat tua dan To-koh itu berada
di mana?"
"Waktu anak merangkak keluar dari semak bunga, lalu
lari ke sini tanpa menoleh, bisa jadi mereka masih berada di sana," kata
Lik-oh.
Diam2 Kiu Jian-jio memperkirakan Kongsun Ci pasti akan
dalang merebut Coat-ceng-kok setelah mendapatkan - bala bantuan Li Bok-chiu.
Anak murid di lembah ini sebagian besar juga orang
kepercayaannya, kalau keadaan mendesak mungkin anak muridnya akan berpihak pula
kepada Kong-sun Ci, sedangkan dirinya sendiri lumpuh, yang lihay dan diandalkan
cuma senjata rahasianya melulu, yakni biji kurma.
Akan tetapi kalau Kongsun Ci sudah siap siaga, mungkin
semprotan biji kurma sukar lagi melukai dia, kalau dia membawa perisai, malahan
senjata rahasia sendiri akan mati kutu dan tak dapat berbuat apapun juga.
Melihat ibunya termenung dengan sinar mata berkilau, Lik
oh menyangka orang itu sedang me-nimbang ucapannya tadi benar atau tidak,
kuatir ditanyai pula sehingga rahasianya terbongkar maka selain dirinya akan
tersiksa, usahanya untuk Nyo Ko juga akan sia2 belaka. Teringat kepada Nyo Ko,
seketika dadanya menjadi sakit, racun bunga cinta lantas bekerja, tanpa terasa
ia menjerit.
Cepat Kiu Jian-jio membelai rambutnya dan berkata:
"Baiklah, mari kita pergi mengambil Coat~ ceng tan." - Segera ia
tepuk tangan, empat pelayan lantas menggotongnya dengan kursi keluar kamar.
Sejak perginya Nyo Ko, selama itu Lik-oh ingin sekali
mengetahui di mana ibunya menyimpan setengah biji Coat-ceng tan. Menurut
dugaannya ibunya yang lumpuh dan tidak leluasa gerak-geriknya itu tentu tidak
mungkin menyimpan obat itu di tempat2 yang sukar didatangi besar kemungkinan
disimpan di dalam rumah.
Cuma menurut pengamatan-nya selama belasan hari ini,
rasanya semua tempat sudah pernah ditelitinya dan ternyata tiada sesuatu tanda
yang dapat ditemukan Maka ia menjadi heran ketika mendengar ibunya memerintahkan
pelayan membawanya ke ruangan pendopo.
Padahal ruangan besar itu adalah tempat yang terbuka dan
sukar menyembunyikan sesuatu, apalagi sekarang musuh tangguh sama berkumpul di
sana dan tujuan merekapun justeru ingin mendapatkan setengah obat biji itu,
apakah mungkin obat itu sengaja ditaruh di depan mata musuh dan membiarkan
mereka mengambilnya begitu saja?
Sementara itu pintu muka- belakang ruangan pendopo itu
tertutup rapat dan dijaga oleh anak murid berseragam hijau dengan jaring
berkait, melihat datangnya Kiu Jian-jio, serentak mereka memberi hormat.
Murid yang menjadi pemimpin barisan lantas berkata:
"Musuh tidak kelihatan bergerak, agaknya mereka sudah mati kutu dan segera
dapat ditawan."
Kiu Jian-jio mendengus saja dan anggap ucapan anak buahnya
itu terlalu gegabah, musuh2 tangguh yang terkurung di dalam ruangan itu adalah
tokoh2 kelas tinggi, mana mungkin mereka menyerah begitu saja untuk ditawan.
Segera ia memerintahkan pintu dibuka, ber-bondong2 rombongan Kiu Jian-jio
lantas masuk ke dalam dilindungi dengan dua barisan jaring berkait di
kanan-kiri, Terlihatlah It-teng Taysu, Ui Yong, Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain2
sama berduduk di pojok ruangan sana sedang bersemadi.
Setelah, kursinya diturunkan Kiu Jian-jio berseru.
"Kecuali Ui Yong dan anak2nya bertiga, yang lain takkan kuusut
kesalahannya mereka yang telah berani menerobos ke lembah ini. Nah, kalian
boleh pergi saja."
"Kiu-kokcu," kata Ui Yong dengan tersenyum.
"Engkau sendiri sedang terancam bencana, engkau tidak lekas mencari jalan untuk
menyelamatkan diri, tapi malah beromong besar, sungguh lucu."
Kiu Jian-jio terkesiap, ia heran darimana Ui Yong
mengetahui dirinya sedang terancam bahaya? Apakah bangsat tua itu sudah pulang
lagi ke sini dan diketahui olehnya? Namun dia tenang2 saja dan menjawab:
"Ada bencana atau ada rejeki sukarlah diketahui sebelum tiba saatnya,
Apalagi diriku sudah cacat begini. kenapa aku harus takut kepada bencana apapun
juga?"
Padahal Ui Yong tidak tahu tentang halnya Kongsun Ci,
hanya dari gerak - gerik dan air muka Kiu Jian-jio dapat dilihatnya ada sesuatu
urusan genting yang sedang dihadapinya, maka ia menduga di lembah ini pasti
sedang terjadi keributan apa2.
Bantahan Kiu Jian-jio itu semakin memperkuat dugaan itu,
segera ia berkata pula: "Kiu-kokcu, kakakmu meninggal karena terperosot
sendiri ke jurang ketika dia menunggang rajawali piaraanku dan sama sekali
bukan aku yang membunuhnya, Kalau kau tetap dendam mengenai soal ini, baiklah
aku akan menerima batas dendammu, silakan kau menimpuk diriku dengan tiga biji
kurma dan sama sekali aku takkan menghindar. Cuma setelah seranganmu nanti,
apakah aku akan mati atau tetap hidup, kau harus berjanji akan memberikan obat
penawar untuk menyembuhkan Nyo Ko. jika beruntung aku tidak mati,maka bereslah
segala urusan, andaikan mati, maka kawan2 yang hadir di sini juga takkan
menyesal dan dendam, mereka tetap akan membantu kau mengatasi kesukaranmu untuk
menghadapi musuh dari dalam. Nah, bagaimana usulku ini, kau terima atau
tidak?"
Syarat yang dikemukakan Ui Yong ini boleh dikatakan
sangat menguntungkan Kiu Jian jio. Maklumlah, selain senjata rahasia biji kurma
yang diandalkan itu, sesungguhnya Kiu Jian-jio tidak mempunyai kemampuan lain
untuk menghadapi musuh, sedangkan "musuh dari dalam" yang dikatakan
Ui Yong lebih2 kena di hatinya. Maka ia lantas menjawab "Sebagai ketua
Kay-pang. tentu ucapanmu dapat dipercaya, jadi kau rela kuserang dengan tiga
biji kurma tanpa mengelak dan menghindar serta tidak akan menangkisnya dengan
senjata, begitu bukan?"
Belum lagi Ui Yong menjawab, cepat Kwe Hu menyela:
"lbuku cuma menyatakan takkan mengelak dan menghindar tapi tidak
mengatakan takkan menangkis dengan senjata."
Namun Ui Yong lantas menyambung dengan tersenyum:
"Agar Kiu-kokcu dapat melampiaskan rasa dendamnya, biarlah akupun takkan
menangkis dengan senjata." .
"Mana boleh jadi, ibu!" seru Kwe Hu. Rupa-nya
dia benar2 telah merasakan betapa lihaynya semprotan biji kurma nenek itu
ketika pedangnya disemprot patah tadi. Kalau ibunya benar2 tidak mengelak dan
tidak menghindar tubuhnya yang terdiri dari kulit-daging itu masa sanggup
menahannya.
Namun Ui Yong menganggap Nyo Ko besar jasanya bagi
keluarga Kwe, kini anak muda itu keracunan dan sukar disembuhkan, kalau tidak
berdaya agar nenek she Kiu ini menyerahkan obat penawarnya, selama hidup
keluarga Kwe berarti tetap utang budi kepada Nyo Ko.
Sudah tentu biji kurma si nenek ini senjata rahasia maha
lihay di dunia ini, jelas sangat berbahaya jika membiarkan tubuh sendiri
diserang tiga kali, sedikit meleng saja jiwa pasti melayang, Tapi kalau tidak
menyerempet bahaya, cara bagaimana nenek ini mau memberikan obatnya?
Perlu diketahui bahwa ketika Ui Yong mengemukakan usulnya
itu sebelumnya dia sudah menimbang dengan masak2 keadaan Kiu Jian-jio serta
sifat2nya, selain harus melenyapkan dendam kesumat nenek itu, diberi janji lagi
akan bantu dia mengatasi ancaman bahaya dari dalam, sedangkan serangan tiga
biji kurma adalah ilmu khas satu2nya yang bisa digunakannya membinasakan lawan,
sekalipun Kiu Jian-jio sendiri juga tidak dapat mengemukakan cara yang lebih
baik daripada usul Ui Yong ini.
Tapi dasar Kiu jian-jio memang suka curiga, ia merasa
tawaran Ui Yong ini teramat menguntungkan pihaknya dan rasanya tidak masuk
akal, maka dengan suara parau ia menegas: "Kau adalah musuhku, tapi kau
kuserang dengan tiga biji kurma, sebenarnya tipu muslihat apa dibalik usulmu
ini?"
Ui Yong sengaja mendekati dan membisiki: "Di sini
banyak orang, mungkin tidak sedikit orang yang bermaksud jahat padamu,
betapapun kau harus ber-jaga2."
Tanpa terasa Kiu Jian-jio mengerling anak buahnya, ia
pikir orang2 ini memang sebagian besar adalah orangnya tua bangka Kongsun Ci
dan harus waspada terhadap kemungkinan. Karena itu iapun mengangguk atas
bisikan Ui Yong itu.
Lalu Ui Yong mendesis lagi: "Sebentar lagi lawanmu
pasti akan turun tangan, aku sendiripun menyadari berada di tempat yang
berbahaya, karena itu sengketa kita harus cepat diselesaikan tak perduli diriku
akan mati atau hidup yang terang nanti be ramai2 kita dapat menghadapi musuh
bersama. Selain itu si Nyo Ko telah banyak menanam budi padaku, sekalipun
jiwaku melayang baginya juga harus kudapatkan Coat-ceng-tan. Orang hidup harus
tahu membalas budi, kalau tidak, lalu apa bedanya antara manusia dan
binatang?"
Habis berkata ia terus melangkah mundur kembali dan
mengawasi gerak-gerik Kiu Jian-jio.
Betapapun tipis budi Kiu Jian jio, namun ucapan Nyo Ko
tentang "manusia yang tidak tahu balas budi tiada bedanya seperti
binatang" mau-tak-mau menyentuh juga hati nuraninya, pikirnya:
"Memang benar juga, kalau saja aku tidak ditolong si Nyo Ko itu, saat ini
aku pasti masih terasing dan tersiksa di kolam buaya di bawah tanah itu.
Tapi pikiran itu hanya timbul sekilas saja lantas lenyap
pula, serentak timbul lagi pikiran jahatnya, katanya dengan dingin: "Hm,
betapapun kau putar lidah juga takkan mampu mempengaruhi hati nenekmu yang yang
sekeras baja ini. Hayolah mulai kau menyingkir duIu, dia harus rasakan tiga
biji buah kurmaku."
"Baiklah, akan kuterima seranganmu tiga kali,
matipun aku tidak menyesal," kata Ui Yong sambil menggeser ke tengah
ruangan dan berjarak sepuluh meter dari Kiu Jian-jio? "Nah, silahkan
mulai!"
Meski Bu Sam-thong dan lain2 cukup kenal kepintaran Ui
Yong banyak tipu akalnya, tapi betapa lihaynya senjata rahasia Kiu Jian-jio
juga telah mereka saksikan sendiri. Kini tanpa senjata Ui Yong hanya berdiri
menunggu serangan saja betapa hal ini membuat mereka ikut kebat~kebit.
Yang paling kuatir adalah Kwe Hu, ia coba menarik lengan
baju sang ibu dan membisikinya: "lbu, kita cari suatu tempat sepi dan
engkau dapat memakai kaos kutang duri landak yang kupakai ini, dengan demikian
tentu takkan takut lagi kepada senjata rahasia musuh."
"Jangan kuatir, boleh kau saksikan kelihayan ibumu
nanti," ujar Ui Yong dengan tersenyum.
"Awas...." mendadak Kiu Jian-jio membentak
belum lenyap suaranya, secepat kilat satu biji kurma telah menyamber ke perut
Ui Yong.
Biji buah kurma itu sangat kecil, akan tetapi daya
sambernya begitu keras dan membawa suara mendenging. Kontan Ui Yong menjerit
satu kali sambil memegangi perutnya dan setengah menungging.
Keruan Bu Sam-thong, Kwe Hu dan lain2nya terkejut,
sebelum mereka sempat bertindak, suara mendenging berbangkit puIa, biji kurma
kedua telah menyamber ke dada Ui Yong, Kembali Ui Yong menjerit dan mundur
beberapa tindak dengan terhuyung se-akan2 roboh.
Melihat Ui Yong benar2 menepati janji dan tidak berkelit
serta menghindar kedua biji kurma yang disemburkan juga tepat mengenai bagian
mematikan di tubuh sasarannya, begitu keras tenaga semprotan biji kurma itu,
biasanya batu karang keras juga dapat ditembusnya, apalagi cuma tubuh manusia,
Namun Ui Yong hanya sempoyongan saja meski jelas sudah terluka, tampaknya sekuatnya
ingin bertahan agar mampu diserang lagi satu kali.
Diam2 Kiu Jian-jio terkesiap, baru sekarang dia mengakui
Ui Yong yang tampaknya lemah gemulai itu ternyata memiliki kepandaian sejati
dan benar2 seorang tokoh persilatan terkemuka. Namun iapun bergirang melihat
sasarannya sudah terkena dua biji buah kurma dan jiwanya pasti suka
dipertahankan itu berarti sakit hati kematian kakaknya akan terbalas.
Segera biji buah kurma ketiga tersembur lagi dari
mulutnya, Sekali ini yang diarah adalah tenggorokan Ui Yong, asalkan kena
sasarannya, seketika musuh itu akan binasa.
Bahwa perut dan dada Ui Yong jelas sudah biji buah kurma
yang disemprotkan Kiu Jian-jio itu apakah benar Ui Yong yang pintar dan cerdik
itu, akan dilukai begitu taja? Rupanya persoalannya tidak begitu sederhana,
sebelumnya Ui Yong sudah mempunyai daya upaya ketika menyatakan siap di terang
tiga kali dengan biji kurma, Kiranya diam2 Ui Yong telah menyembunyikan pedang
patah Kwe Hu itu di dalam lengan bajunya, ketika biji kurma musuh tiba, sedikit
angkat lengannya dapatlah ia menutupi tempat yang diarah biji kurma dengan
ujung pedang patah.
Cuma untuk melenyapkan suara benturan, maka ia sengaja
menjerit agar orang lain tidak memperhatikan suara benturan biji kurma dan
pedang patah. Ternyata akal Ui Yong benar2 dapat mengelabui Kiu Jian-jio,
bahkan juga Bu Sam-thong dan lain2. Tapi sebabnya Ui Yong tidak sampai terluka
sesungguhnya juga sebagian besar berkat kepandaian ilmu silatnya di samping
sebagian kemujurannya.
Cuma dia sengaja berlagak terluka parah, dengan demikian
dapat mengurangi rasa gusar Kiu Jian-jio di samping menjaga kehormatannya
sebagai Kokcu. Tapi sekarang biji kurma ketiga itu menyamber tenggorokannya,
kalau angkat lengan baju dan menangisnya dengan kutungan pedang yang tersembunyi
di balik lengan baju itu tentu rahasianya ini akan diketahui Kiu Jian-jio dan
itu berarti dirinya telah melanggar janji.
Dalam keadaan kepepet, terpaksa ia menyerempet bahaya,
kedua dengkul sedikit bertekuk sehingga biji kurma yang menyambar. tiba itu tepat
tertuju mulutnya, Sekuatnya Ui Yong menghimpun tenaga murni di dalam perut,
sekali mulutnya terbuka, segera ia mendahului menyemburkan hawa murni, ia tahu
samberan biji kurma lawan yang hebat itu juga bergantung pada hawa murni yang
disemburkan Kiu Jian-jio itu, kalau hawa lawan hawa, jarak musuh lebih jauh dan
dirinya lebih dekat, hal ini sangat menguntungkan pihaknya, sekalipun biji
kurma itu tidak disembur jatuh sedikitnya juga akan mengurangi daya luncurnya.
Tak tahunya selama ber-tahun2 Kiu Jian-jio terkurung di
gua bawah tanah, karena kelumpuhan anggota badan, setiap hari dia cuma berlatih
ilmu menyembur biji kurma itu tanpa terganggu urusan lain, maka daya bidiknya
menjadi kuat luar biasa, sedangkan Ui Yong sudah cukup banyak melahirkan, mesti
melayani suami dan mendidik murid, dengan sendirinya kekuatannya tidak sehebat
Kiu Jian-jio itu. Sebab itulah ketika hawa murni disemburkan daya luncur biji
kurma itu memang teralang sedikit hingga rada lambat, namun kekuatan
menyambernya masih tetap dahsyat.
Keruan Ui Yong terkesiap, dalam pada itu Biji kurma itu
sudah menyambar tiba di depan bibirnya, dalam detik yang menentukan ini,tiada
jalan lain terpaksa ia membuka mulut, biji kurma itu digigit-nya mentah2. Tentu
saja giginya tergetar kesakitan dan tergetar mundur dua- tiga tindak.
Kalau tadi dia berpura2 tergetar mundur, sekali ini dia
benar tergetar mundur karena daya luncur senjata rahasia yang dahsyat itu.
Untung juga dia dapat bertindak menurut keadaan dan cepat luar biasa, kalau
tidak beberapa giginya pasti akan rontok tergetar oleh biji kurma yang lihay
itu.
Semua orang sama menjerit, serentak merekapun merubung
maju. Ketika Ui Yong mendongak, "berr", biji kurma yang digigitnya
itu disemprotkan ke atas dan menancap di belandar, lalu katanya dengan
mengernyit kening: "Kiu-kokcu, setelah menerima tiga kali seranganmu ini,
jiwaku sudah mendekat ajalnya, hendak lah kau menepati janji dan memberi
obatnya."
Kiu Jian-jio juga kaget melihat Ui Yong mampu mengigit
biji kurmanya yang menyamber dengan dahsyat itu. ia melirik Lik-oh dan
membatin:
"Anakku sendiri terkena racun bunga cinta itu,
jangankan si Nyo Ko menolak mengawini anakku, sekalipun dia menjadi menantuku
juga setengah biji obat ini takkan kuberikan padanya."
Padahal dengan jelas kedua biji buah kurma yang
disemburkan itu tepat mengenai tubuh Ui Yong, mengapa dia tidak roboh. Namun
janji sudah diberikan dan didengar orang banyak, betapa dirinya tidak boleh
ingkar janji, Tapi segera ia mendapat akal, katanya: "Kwe-hujin, meski
kita berdua sama2 perempuan, tapi setiap tindakan, kita harus dapat dipercaya
sebagaimana kaum lelaki. Kau telah menerima tiga kali seranganku, sungguh aku
sangat kagum, obat akan kuberikan padamu, cuma sebentar nanti aku ada urusan
lagi, mohon kalian suka memberi bantuan."
Kwe Hu menyangka ibunya benar2 terkena senjata rahasia
orang, segera ia berteriak: " jika ibuku terluka, be-rama2 kami pasti akan
melabrak kau." ~ Habis ini ia terus, bertanya pada ibunya:
"Bagaimana, tubuh ibu yang terkena serangan itu?"
Ui Yong tidak menjawab, sebaliknya ia berkata kepada Kiu
Jian-jio: "Ucapan anak muda, hendaknya Kokcu jangan hiraukan. Betapapun
siaumoay pasti akan pegang janji dan tentu akan membantu Kokcu menghalau musuh,
sekarang mohon memberikan obatnya."
Suara Ui Yong itu nyaring dan bertenaga, sama sekali
tidak menyerupai orang yang terluka dalam, maka legalah hati Bu Sam-thong dan
lain2, Hal ini juga dapat dilihat Kiu Jian-jio, ia menjadi ragu2, pikirnya:
"Dia memiliki kemampuan sehebat ini, andaikan aku hendak ingkar janji juga
tidak mudah, terpaksa harus kuhadapi dengan muslihat."
"Baiklah," demikian kata Kiu Jian-jio kemudian.
Lalu ia berpaling dan memanggil puterinya: "Anak Oh, coba sini, ingin
kukatakan sesuatu."
Selama hidup Ui Yong sudah banyak menghadapi manusia2
licik dan licin, sorot mata Kiu Jian-jio yang bertingkah itu tentu saja tak
terlolos dari pengamatannya, ia tahu orang pasti tidak mau menyerahkan obatnya
begitu saja, cuma cara bagaimana orang akan memberi alasan, seketika ia belum
dapat menerkanya.
Didengarnya Kiu Jian-jio sedang berkata kepada Lik-Oh:
"Coba buka ubin di depan sana, ubin kelima dihitung mulai dari depanku
ini."
Lik-Oh sangat heran, apakah mungkin Coat-ceng-tan itu
disembunyikan di bawah ubin? Ui Yong lantas paham urusannya dan diam2 memuji
kecerdikan Kiu Jian-jio, Betapa berharganya Coat-ceng-tan itu sudah jelas
karena tidak sedikit orang yang sedang diincarnya.
Kalau obat itu disembunyikan di tempat yang setiap hari
didatangi orang, hal ini justeru takkan terduga oleh siapapun juga, selain itu
obat yang tersimpan di bawah ubin ini pastilah obat tulen, tidak mungkin Kiu
Jian-jio menyembunyikan obat palsu di situ sebab sebelumnya takkan diketahui
bahwa persoalannya akan berkembang seperti sekarang ini, kalau Kiu Jian-jio
menyuruh orang mengambil obat ke kamarnya, betapapun Ui Yong sukar memastikan
apakah obat itu memang tulen atau palsu. Tapi sekarang obat itu dikeluarkan di
depan orang banyak, maka ketulenan obat itu tidak perlu disangsikan lagi.
Begitulah setelah menghitung sampai ubin kelima, Lik-oh
lantas mengeluarkan sebilah belati dan menyungkil ubin tersebut, dibawah ubin
hanya pasir campur kapur belaka dan tiada sesuatu tanda yang aneh.
"Tempat penyimpanan obat itu sangat dirahasiakan dan
tidak boleh diketahui orang luar, anak Oh, coba kemari, ingin kubisiki kau, K
kata Kiu Jian-jio pula.
Segera Ui Yong mengetahui akal bulus Kiu Jian-jio itu,
tentu ada sesuatu muslihat yang akan diaturnya, Segera ia berlagak menjerit
sakit sambil menungging, ia pura2 kesakitan agar mengurangi kewaspadaan Kiu
Jian-jio, dengan begitu akan mudah meraba maksud tujuannya yang sesungguhnya.
Tak terduga bahwa Kiu Jian-jio juga sudah memikirkan hal
ini, ia sengaja membisiki Lik-oh, dengan suara lirih, biarpun Ui Yong mengikuti
dengan penuh perhatian juga cuma terdengar kata2, "Coat-ceng-tan itu
berada di bawah ubin", selain itu tiada terdengar apa2 lagi.
Tentu saja kata2 yang didengarnya itu tidak mengherankan
dia karena sebelumnya sudah diketahui tempat penyimpanan obat itu, cuma sesudah
kalimat itu, lalu bibir Kiu Jian jio hanya kelihatan bergerak sedikit, suaranya
teramat lirih dan tidak terdengar Tertampak Lik-oh mengernyitkan kening dan
ber-ulang2 mengangguk.
Selagi gelisah menghadapi detik yang gawat ini"
tiba2 terdengar It-teng Taysu berseru: "Coba ke sini, Yong-ji, ingin
kuperiksa keadaan lukamu?"
Waktu Ui Yong berpaling, dilihatnya It-teng berduduk di
pojok sana dengan wajah penuh prihatin ia pikir setelah paderi agung itu
memegang nadinya tentu akan tahu dirinya sama sekali tidak terluka Segera ia
mendekat ke sana dan mengulurkan tangannya.
Sambil memegang nadi Ui Yong, pelahan It-teng Taysu
menyebut "O-mi-to-hud .... kata si nenek O-mi to-hud .... bahwa di situ
ada dua botol... O-mi-to-hud botol sebelah timur berisi obat tulen... O mi-to-hud...
botol sebelah barat berisi obat palsu dan O mi-to-hud... ia suruh puterinya
mengambil obat palsu untukmu... 0-mi-to-hud" Waktu menyebut 0-mi-to-hud
suaranya sengaja dikeraskan, tapi ketika mengatakan soal obat itu suaranya
sengaja dilirihkan hingga hampir tak terdengar. Betapa cerdiknya Ui Yong,
begitu mendengar kalimat "kata si nenck" segera ia paham maksudnya.
Rupanya Lwekang It-teng Taysu sudah mencapai tingkatan
tertinggi mata telinganya jauh lebih tajam daripada orang lain, Maka kata2 Kiu
Jian- jio yang dibisikkan kepada puterinya itu dapat diikuti It-teng Taysu
dengan jelas, ia tahu obat itu menyangkut keselamatan jiwa Nyo Ko, maka lantas
diberitahukannya kepada Ui Yong.
Sudah tentu Kiu Jian-jio tidak menduga bahwa rahasianya
itu dapat diketahui oleh lawan, disangkanya Hwesio tua itu benar2 lagi
memeriksa keadaan- luka Ui Yong.
Dalam pada itu, setelah mendengarkan pesan sang ibu,
kemudian Kongsun Lik-oh mulai mengeruk tanah di bawah ubin yang dicungkilnya
tadi, benar saja tangannya menyentuh dua buah botol kecil di situ, Diam2 sedih
perasaannya, ia sudah bertekad akan mengambil obat yang tulen untuk menolong
Nyo Ko, hanya usahanya yang baik ini entah diketahui tidak oleh anak muda itu.
Segera ia keluarkan botol obat yang sebelah kanan dan berseru.
"lnilah Coat-ceng-tan, ibu!" Karena dia yang merogoh tanah di bawah
ubin itu maka hanya dia sendiri yang tahu bahwa yang di ambilnya itu adalah
botol sebelah kanan yang berisi obat tulen, sedangkan Kiu Jian-jio dan Ui Yong
mengira botol yang dikeluarkan itu adalah botol sebelah kiri.
Baik botol yang berisi obat tulen maupun botol yang
berisi obat palsu berbentuk dan berwarna putih porselen sama, setengah biji
obat yang terisi itu juga serupa, kalau Kiu Jian-jio tidak mencobanya dengan
lidah juga sukar membedakan tulen atau palsu.
Menurut keyakinan Kiu Jian-jio, betapapun Kongsun Lik-oh
pasti akan mengeluarkan botol berisi obat palsu untuk Nyo Ko dan obat tulen
akan ditinggalkan untuk menyelamatkan dirinya senditi. Karena jiwanya yang
jahat, ia nilai orang lain seperti dirinya sendiri, Sama sekali tak dipahaminya
bahwa di dunia ini ada orang yang rela mengorbankan diri sendiri untuk menolong
orang lain.
"Berikan obat itu kepada Kwe-hujin," demikian
kata Kiu-jian-jio.
Kongsun Lik-oh mengiakan sambil mendekati Ui Yong. Lebih
dulu Ui Yong memberi hormat kepada Kiu-Jian-jio dan mengucapkan terima kasih.
Di dalam hati ia pikir setelah mengetahui tempat obat tulen itu disimpan, tentu
tidak sukar untuk mencurinya nanti.
Selagi dia hendak menerima botol obat dari Lik-oh,
se-konyong2 atap rumah berbangkit suara gemuruh disertai hamburan debu pasir,
seketika atap rumah berlubang dan dari atas udara melompat turun seorang,
serentak botol obat yang dipegang Kongsun Lik-oh terus direbutnya.
"Ayah!" Lik-oh menjerit kaget laksana orang
melihat hantu di siang bolong.
Melihat perubahan air muka Kongsun Lik-oh yang kaget dan
cemas itu, Ui Yong menjadi terkesiap pikirnya: "Jelas obat yang direbut
Kongsun Ci itu adalah palsu, mengapa ini perlu merasa cemas?"
Pada saat itulah pintu gerbang ruangan pendopo itupun
bergemuruh didobrak orang sehingga api lilin ikut bergetar dan menambah
seramnya suasana, setelah terdengar lagi suara "blang-blang" dua
kaii, palang pintu mendadak patah dan terpental hingga merusak dua buah bangku
porselen, menyusul daun pintu lantas terbentang dan masuklah seorang lelaki dan
3 perempuan.
Yang lelaki adalah Nyo Ko dan yang perempuan adalah
Siao-Iiong-li, Thia Eng dan Liok Bu-siang.
"Nyo-toato, .". ." tanpa terasa Lik-oh
berseru menyongsong kedatangan Nyo Ko, tapi segera ia merasa kurang pantas
tindakannya itu dan urung bicara lebih lanjut, langkahnya juga lantas berhenti.
Sejak tadi Ui Yong- terus memperhatikan sikap dan mimik
wajah Kongsun Lik-oh, dari tatapan si nona terhadap Nyo Ko yang penuh rasa
cinta serta kuatir itu, segera hati Ui Vong tergerak, pahamlah dia duduknya
perkara, Pikirnya: "Ai, sudah menjadi ibu tiga anak masakah belum kupahami
perasaan anak gadis, ibu nona Kongsun itu menyuruh dia memberikan obat palsu
kepadaku, tapi dia kesemsem pada Ko ji, maka obat yang dia serahkan ini adalah
obat tulen, Jadi obat yang baru direbut si tua bangka Kongsun Ci itu adalah
Coat-ceng tan asli, tentu saja nona itu sangat cemas dan bingung"
Kiranya waktu Nyo Ko dan Siao-liong-li hendak kembali ke
ruangan pendopo, mendadak mereka bertemu dengan Thia Eng dan Liok Bu-siang.
Melihat Thia Eng yang manis itu sangat lemah Iembut, Siao-liong-li menjadi
sangat suka padanya,segera mereka terlibat dalam percakapan yang mengasyikkan,
sedangkan Liok Bu-siang lantas ngobrol dengan Nyo Ko tentang pertarungannya
dengan Kwe Hu tadi serta bercerita cara bagaimana dia telah meng-olok2 Kwe Hu
dan Thia Eng telah mengalahkannya.
Sifat Liok Bu-siang periang dan lincah, sejak kenal Nyo
Ko, walaupun diam2 benih cintanya ber-semi, tapi mulutnya selalu menyebut Nyo
Ko sebagai "si Tolol" sebaliknya Nyo Ko juga suka berkelakar, iapun
tetap menggoda Bu-siang dengan sebutan "bini cilik", Mereka mengobrol
dengan gembira, sedangkan Siao-liong-li dan Thia Eng yang memang pendiam hanya
bicara sebentar saja lantas kehabisan bahan cerita.
"Nyo toako, bagaimana keadaanmu sekarang?" sela
Thia Eng suatu ketika.
"O, tidak apa2," jawab Nyo Ko. "Kwe-hujin
banyak tipu akalnya, tentu beliau dapat mencarikan obat mujarab bagiku. Yang kukuatirkan
justeru adalah lukanya."
Sambil berkata iapun menuding Siao-liong-li..
Thia Eng dan Bu-siang sama terkejut dan tanya berbareng:
"He, jadi Liong cici juga terluka? Mengapa kami tidak melihat sesuatu
tanda apa2"
"Ah, tidak apa2," ujar SiaoIiong-li dengan
tersenyum, "Dengan tenaga dalam kutahan kadar racunnya agar tidak bekerta,
dalam beberapa hari saja kukira tidak beralangan."
"Racun apakah? Memangnya juga racun bunga cinta-
itu?" tanya Bu~siang.
"Bukan," jawab Siao iiong-li, "racun
Peng~pok-gin-ciam Li-suciku."
"O, kiranya perbuatan si iblis Li Bok-chiu
lagi," kata Bu-siang. "Nyo-toako, bukankah engkau pernah membaca
kitab pusakanya mengenai lima macam racun paling jahat itu? Biarpun lihay racun
jarumnya kan tidak sulit untuk disembuhkan?"
Nyo Ko menghela napas, katanya: "Tapi kadar racun
jarum itu sudah meresap ke ulu hati dan sukar disembuhkan dengan pengobatan
biasa." Lalu iapun menceritakan cara bagaimana dia sedang mengobati
Siao-liong-li dan mendadak Kwe Hu datang dan keliru menyerangnya dengan jarum
berbisa itu.
Dengan gemas Bu siang menghantam batu dengan telapak
tangannya dan berseru: "Kembali perbuatan anak she Kwe yang sok menang
sendiri itu, Piauci, betapapun kita harus bikin perhitungan dengan dia,
Memangnya kenapa kalau ayah-ibunya adalah pendekar besar jaman kini?"
"Urusan inipun tak dapat menyalahkan dia, malahan
berbeda dengan terbuntungnya lengannya," kata Siao-1iong-1i. "Nanti
kalau paderi sakti Thian-tiok itu sudah mendusin, beliau pasti mampu mengobati
diriku."
"He, siapakah paderi Thian-tiok yang kau maksud?
Mengapa mesti menunggu dia mendusin? Apakah dia sedang tidur?" tanya
Bu-siang heran.
"Ya, katakanlah dia sedang "tidur, harus tidur
tiga hari tiga malam," ujar Nyo Ko dengan ter-senyum, ia kuatir rahasia
paderi Thian-tiok yang menggunakan tubuh sendiri sebagai kelinci percobaan
untuk menyelidiki kadar racun bunga cinta didengar musuh, maka ia pikir urusan
ini belum perlu diceritakan kepada Bu-siang.
Pada saat itulah tiba2 dari kejauhan sana ada suara
tindakan orang. Cepat Nyo Ko mendesis: "Ssst, jangan bersuara ada orang
datang-"
Ucapan Nyo Ko sangat lirih, tapi orang di kejauhan itu
agaknya juga sangat tajam pendengarannya, seketika langkahnya juga berhenti
Selang sejenak barulah terdengar pula suara tindaknya, cuma sekarang telah
berubah arah, yang dituju adalah tempat sembunyi paderi Thian-tiok dan Cu
Cu-Iiu itu.
"Wah, celakai Musuh hendak merunduk Cu susiok
berdua," kata Siao-liong-li dengan suara tertahan.
"Ssst, jangan bersuara!" desis Nyo Ko.
"Coba kita kuntit dia."
Pada saat itu juga tiba2 semak2 pohon di belakang mereka
ada suara kresekan pelahan, agaknya ada orang lagi sembunyi di situ.
"Di mana2 ada tikus dan celurut!" ujar Bu-siang
sambil pungut sepotong batu kecil terus disambitkan ke tempat suara
herkeresekan itu. Tak terduga batu yang jatuh ke tengah2 semak pohon itu
ternyata tidak menerbitkan suara, jelas karena ditangkap orang dengan tangan.
"Piauci, coba kita periksa siapa yang sembunyi di
situ?" ajak Bu-siang.
Sementara itu Nyo Ko dan Siao liong-li berdua sudah jauh
berlari ke sana, cepat Thia Eng menarik Bu-siang dan mendesis: "Marilah
ikuti Nyo-toako saja, jalanan di sini sangat ruwet, jangan sampai kita
terpencar."
Segera Bu-siang percepat langkahnya sambil berbisik:
"Yang sembunyi di semak2 sana jangan2 Li Bok-cbiu."
"Dari mana kau tahu?" tanya Thia Eng.
"Sejak kecil ku tinggal bersama dia, kukenal
bau-nya," tutur Bu-siang.
Thia Eng terkejut dan melangkah terlebih cepat, ia tahu
mereka berdua sama sekali bukan tandingan Li Bok chiu, namun iblis itu sudah
keracunan duri bunga cinta, diharap saja ajalnya sudah dekat.
Kaki Bu-siang pincang sebelah, kepandaian larinya jauh
dibandingkan sang Piauci, berkat bantuan Thia Eng barulah ia dapat menyusul di
belakang Nyo Ko dan Siao-liong-Ii. Di bawah cahaya bulan sabit yang remang2,
tampaknya Nya Ko berdua sedang menguntit seorang.
Orang itu berjalan melingkar ke sana dan membelok ke
situ, agaknya sangat apal jalanan di Coat-ceng-kok ini. Setelah berputar
beberapa kali, mendadak orang itu lenyap entah kemana.
Nyo Ko berdua lantas berhenti dan menunggu Thia Eng dan
Bu-siang, sesudah dekat, anak muda itu memberitahu: "Kongsun Ci telah
pulang lagi ke sini, entah muslihat keji apa yang hendak dilakukannya?"
Thia Eng berdua belum pernah kenal Kongsun Ci, maka tidak
tahu seluk beluk orang, sedangkan pikiran Siao-liong-Ii polos dan sederhana,
dengan sendirinya iapun tidak dapat menerka apa maksud tujuan manusia licin
macam Kongsun Ci.
Setelah berpikir sejcnak, kemudian Nyo Ko berkata pula:
"Entah bagaimana Kwe-hujin dan It-teng Taysu sedang menghadapi Hwesio gila
itu, marilah kita ke sana melihatnya."
Begitulah mereka lantas mencari jalan kembali ke pendopo
itu, kira2 belasan tombak, di luar pen-dopo, tiba2 terlibat bayangan orang
berkelebat di atas wuwungan, menyusul itu terdengarlah suara gemuruh yang
keras, Kongsun Ci telah membobol atap rumah dan melompat ke bawah.
"Celaka!" keluh Nyo Ko, ia kuatir di bawah
lubang atap yang bobol itu oleh Kongsun Ci telah dipasang jaring berkait untuk
memancing dirinya masuk ke situ. Karena itulah ia lantas keluarkan
Hian-tiat-pokiam dan membobol pintu pendopo dan menerjang masuk.
Begitu berada di dalam, dilihatnya tangan kiri Kongsun Ci
sudah memegang sebuah botol porselen kecil, tangan lain memutar golok menghadapi
kerubutan orang dengan sikap jumawa, rupanya Kongsun Ci bergirang telah
berhasil merebut Coat ceng-tan, kerubutan orang banyak itu dianggapnya soal
kecil, andaikan kewalahan juga dia yakin mampu melarikan diri.
Tapi sebelum ia angkat kaki, mendadak dilihatnya Nyo Ko
membobol pintu dan menerjang masuk, betapa lihaynya sungguh jauh berbeda dari
pada ketika saling bergebrak sebulan yang lalu, ia tidak berani menghadapi anak
muda itu, segera ia meloncat ke atas deagan maksud menerobos keluar melalui lubang
atap yang diboboinya tadi, ia pikir urusan paling penting sekarang adalah
mengantar Coatceng-tan kepada Li Bok-chiu, soal membunuh Kiu Jian-jio dan rebut
kembali Coat-ceng-kok adalah urusan lain hari dan tidak perlu ter-gesa2.
Namun baru tubuhnya mengapung ke atas, tahu2 Ui Yong
telah menyamber pentung bambunya yang dibuangnya tadi terus ikut meloncat ke
atas, sekali pentungnya berputar, segera ia sabet kedua kaki orang.
Kiu Jian-jio juga tidak tinggal diam.
"Bangsat!" bentaknya murka, "ser-ser", susul menyusul dua
biji buah kurma juga lantas disemburkan mengarah perut Kongsun Ci.
Waktu Kongsun Ci melompat ke atas iapun sudah menduga
bekas isterinya itu pasti akan menyerangnya, maka cepat goloknya menyampuk
jatuh satu biji buah kurma itu dan daya loncatnya itu tetap mengapung ke atas,
dalam pada itu dilihatnya biji buah kurma kedua sudah menyamber tiba pula,
sedangkan goloknya sudah disampukkan dan belum sempat ditarik kembali untuk
menangkis lagi.
Sebagian besar kepandaian Kongsun Ci adalah ajaran Kiu
Jian-jio, apa lagi sebelah matanya belum lama dibutakan istrinya itu, tentu
saja ia terkejut melihat serangan tiba pula. Dalam keadaan kepepet, agar
perutnya tidak beriubang, terpaksa ia miringkan tubuh dan membiarkan pahanya
tersambit biji kurma itu jika memang sukar dihindari pula.
Tak terduga cara Kiu Jian-jio menyemburkan biji kurmanya
ini selain membawa gaya yang indah juga amat keji tujuannya, tampaknya biji
kurma itu menuju Kongsun Ci, tapi ketika sudah dekat mendadak biji kurma itu
berganti haluan dan menyambar ke arah Ui Yong malah.
Sudah tentu siapapun tidak menyangka senjata rahasia yang
sudah jelas menyambar ke arah Kong-sun Ci itu mendadak bisa berubah sasaran,
sampai orang yang maha cerdik seperti Ui Yong juga sama sekali tidak
menduganya, ketika tahu apa yang terjadi dan ingin mengelak. namun sudah
terlambat.
Untung juga Ui Yong dapat memberi reaksi yang cepat,
waktu itu iapun teiapung di udara, maka se-kuatnya ia bikin berat tubuhnya dan
anjlok secepatnya ke bawah, namun tidak urung biji kurma itupun menancap di
bahu kanannya.
Meski berhasil mengelakkan tempat yang mematikan namun
kekuatan sambitan Kiu Jian-jio sungguh dahsyat, Ui Yong merasakan sekujur
badannya tergetar, tangan menjadi lemas, pentung bambu itupun jatuh ke lantai.
Sejak dia menjabat ketua Kaypang dan menerima pentung
penggebuk anjing itu dari Ang Jit-kong, walaupun tidak setiap pertempuran
dimenangkan olehnya, tapi pentung itu sampai terlepas dari cekalan boleh
dikatakan baru pertama kali ini terjadi
Melihat Ui Yong rada sempoyongan seperti terluka, Bu
Sam-thong, Kwe Hu dan lain2 menyangka dia sengaja berbuat demikian, maka tidak
menjadi kuatir seperti tadi waktu dia pura2 terluka, Namun Nyo Ko dapat
menyaksikan apa yang terjadi se-sungguhnya, cepat ia memburu maju dan mengambilkan
pentung bambu dan diserahkan kembali kepada Ui Yong berbareng pedangnya yang
berat itu terus menabas ke kiri dengan membawa samberan angin yang dahsyat
Belum lagi Kongsun Ci sempat menggunakan goloknya, lebih dulu ia telah tergetar
mundur tiga tindak.
Keruan Kongsun Ci terkejut, tak terpikir olehnya bahwa
selang sebulan lebih saja bocah she Nyo ini sudah buntung sebelah tangannya,
namun ilmu silatnya ternyata bertambah sepesat ini, Waktu ia melirik ke sana,
dilihatnya air muka Kiu Jian-jio putih pucat, jelas bekas isterinya itupun
melengak kaget melihat ilmu silat Nyo Ko yang hebat itu.
Sementara itu Kongsun Lik-oh berdiri diantara ayah dan
ibu nya, biasanya dia sangat takut kepada sang ayah, selamanya dia tak berani
membantah sepatah-kata, tapi sejak mendengar percakapan sang ayah dengan Li
Bok-chiu di puncak gunung itu, diam2 ia merasa sakit hati, ia pikir betapapun
buasnya binatang juga tidak makan anaknya sendiri, tapi sang ayah ternyata
sampai hati mencelakai puterinya sendiri demi seorang perempuan yang baru
dikenalnya, terang tiada lagi perasaan kasih sayang seorang ayah kepada
anaknya.
Mengingat dirinya sudah bertekad untuk mati, rasa
takutnya seketika lenyap, segera ia mendekati Kongsun Ci selangkah dan berseru:
"Ayah, dahulu kau telah membikin cacat dan menjebloskan dia ke gua di
bawah tanah, kekejian itu jarang ada bandingannya di dunia ini. Malam ini di
Coat-ceng~hong sana engkau telah bicara apa dengan Li Bok chiu?"
Kongsun Ci terkesiap, dia bicara dengan Li Bok-chiu di
tempat terpencil dan sunyi sepi, sama sekali tak tersangka ada orang dapat
mendengarnya. Biarpun dia orang yang keji dan kejam, tapi merencanakan
kejahatan terhadap puterinya betapapun membuatnya kikuk, apalagi Lik-oh
membongkar rahasianya itu di depan umum, keruan air mukanya berubah, ia
menjawab dengan tergagap: "Aku... aku tidak bicara apa2"
"Engkau hendak mencelakai puterinya sendiri untuk
membaiki seorang yang baru kau kenal," kata Lik-oh hambar, "Sebagai
puterimu, kalau engkau menghendaki kematianku sebenarnya juga tak kan kulawan.
Tapi Coat-ceng-tan yang kau- ambil itu sudah dijanjikan ibu akan diberikan
padaku, sekarang kembalikan saja padaku."
Berbareng ia melangkah maju dan menyodorkan tangannya.
Cepat Kongsun Ci menarik tangan dan memasukkan botol kecil
itu ke dalam bajunya, lalu menjengek "Hm, kalian ibu dan anak lebih suka
membela orang luar, yang satu durhaka kepada suami, yang lain mengkhianati ayah
sendiri, semuanya bukan manusia baik2, biarlah sekarang takkan kurecoki kalian,
kelak kalau datang ganjaran setimpal barulah kalian tahu rasa."
Habis berkata, begitu golok dan pedangnya saling bentur
dan mengeluarkan suara mendengung, segera ia menerjang keluar dengan langkah
Iebar.
Nyo Ko tidak paham seIuk beluk damperatan Kongsun Lik-oh
kepada ayahnya tadi, tapi segera ia mengadang kepergian Kongsun Ci, lalu
berkata kepada Lik-oh: "Nona Kongsun, aku ingin bertanya sesuatu
padamu."
Mendengar ucapan anak muda ilu, serentak timbul rasa duka
dan sesal diri dalam benak Kongsun Lik-oh, pikirnya: "Soal usahaku dengan
matian mengambilkan obat baginya se kali2 jangan sampai diketahui olehnya.
Kelak namanya akan termashur di dunia ini dan pasti takkan ingat lagi kepada
perempuan macam diriku yang bernasib malang ini, buat apa membikin dia menyesal
atas tindakanku ini?" - Maka dengan suara pelahan ia menjawab:
"Apa yang hendak ditanyakan Nyo toako?"
"Baru saja kau mengatakan ayahmu hendak mencelakai
kau demi membaiki seorang perempuan yang baru dikenalnya, siapakah gerangan
perempuan itu? Mengapa bisa terjadi begitu, sudikah kau menjelaskan?" kata
Nyo Ko.
"Perempuan itu ialah Li Bok-chiu, mengenai duduk
perkaranya..." Lik-oh merandek, lalu menyambung: "Meski aku
diperlakukan secara begini oleh ayah, betapapun dia adalah ayahku sendiri,
urusan ini tidak pantas kuceritakan..."
"Anak Oh, hayo bicaralah!" mendadak Kiu Jian
jio berteriak. "Kalau berani berbuat, mengapa kau tidak berani
bicara?"
Lik-oh menggeleng dan berkata pula dengan suara lemah:
"Nyo-toako. setengah biji Coat-ceng-tan itu berada di botol yang drebut
ayahku itu. O, aku... aku adalah anak yang tidak berbakti pada orang tua."
Sampai di sini ia tidak tahan lagi, ia membalik tubuh
sambil menangis dan berjari ke arah Kiu Jian-jio seraya beiseru: "O,
ibu!"
"
Ucapan "aku adalah anak tidak berbakti ke pada orang
tua" bagi pendengaran Kiu Jian-jio se-akan2 Lik-oh merasa berani
membangkang dan me--lawan sang ayah, padahal yang dimaksud Lik-oh sesungguhnya
ada'ah karena dia tidak taat kepada perintah sang ibu.
Semua orang dapat dikelabuhi oleh ucapan Lik-oh itu,
hanya Ui Yong seorang saja yang paham arti sesungguhnya.
Dalam pada itu diam2 Kongsun Ci bersyukur bahwa Ui Yong
telah kena serangan biji kurma Kiu Jian-jio, ia berharap kedua pihak akan
terjadi pertarungan sengit dengan begitu dirinya dapat menarik keuntungan dan
sempat pula meloloskan diri.
Dengan berlagak tertawa ia lantas berseru: "Bagus,
bagus! Tidak percuma ayah sayang kepadamu, puteriku sayang! Kau dan ibumu jaga
saja di situ, kita harus melabrak semua orang yang berani menerobos ke Coat-ceng-kok
kita ini, seorangpun tidak boleh kabur." Habis berkata mendadak ia
menerjang ke arah Ui Yong yang bersandar pada kursi itu.
Cepat Kwe Hu mengacungkan pedangnya untuk membela sang
ibu, Yalu Ce berdiri di sampingnya, pedangnya telah dipinjamkan kepada Kwe Hu,
segera ia menyerang dari samping dengan bertangan kosong.
Kongsun Ci melirik sekejap dan membatin:
"Buset, sudah bosan hidup barangkali bocah ini,
berani menempur aku dengan bertangan kosong?" Sekali goloknya menabas, ia
desak mundur Yalu Ce, berbareng itu pedangnya yang lentik berwarna hitam itu
terus menusuk tenggorokan Kwe Hu.
Tanpa pikir Kwe Hu menangkis dengan pedangnya.
"Awas, anak Hu!" seru Ui Yong kuatir, Maka terdengarlah suara
"creng" sekali, pedang Kwe Hu terkutung, malahan pedang Kongsun Ci
itu tidak latas berhenti melainkan terus memotong ke leher Kwe Hu.
Ui Yong menjadi cemas, ia tahu sampai di mana kepandaian
puterinya itu, menghadapi detik berbahaya begini percumalah tipu akal yang
dimilikinya, sama sekali ia tak berdaya menolongnya.
Pada saat itulah se-konyong2 Liok Bu-siang berteriak:
"Tangkis dengan tangan kanan!"
Karena jiwanya terancam, serangan musuh begitu cepat
datangnya dan sukar mengelak, Kwe Hu tidak sempat membedakan lagi suara siapa
yang berteriak padanya itu, tanpa terasa ia menurut dan angkat lengan untuk
menangkis serangan maut itu.
"Piaumoay, mengapa kau..." bentak Thia Eng.
Ia tahu Bu-siang benci pada Kwe Hu telah membuntungi
lengan Nyo Ko, maka sekarang ia sengaja membingungkan Kwe Hu agar menangkis serangan
Kongsun Ci dengan lengan agar sebelah lengannya juga terbuntung.
Thia Eng berbudi halus, meski iapun sedih oleh buntungnya
lengan Nyo Ko dan menganggap perbuatan Kwe Hu keterlaluan, tapi sama sekali tak
pernah timbul pikirannya agar Kwe Hu menebus dosanya dengan sebelah lengannya.
Sebab itulah ia merasa maksud tujuan seruan Bu-siang tadi
terlalu kejam dan cepat berseru mence-gahnya. Namun sudah terlambat, pedang
Kongsun Ci sud^h menyamber ke lengan Kwe Hu.
"Cret",lengan baju Kwe Hu tergores robek
pan-jang, berbareng itu iapun tergetar sempoyongan dan jatuh kesamping, Tapi
aneh juga, lengannya ternyata tidak tertabas putus, bahkan darahpun tidak
mengucur. Karuan Thia Eng dan Bu-siang melongo heran, bahkan Kiu Jian jio dan
Kongsun Ci juga terperanjat.
Segera pula Kwe Hu dapat berdiri tegak lagi, ia sangat
berterima kasih kepada Liok Bu-siang.
Dasarnya dia memang seorang nona yang berpikir secara
sederhana, ia mengira seruan Bu-siang tadi bermaksud baik untuk menolongnya
maka tanpa pikir ia berkata: "Terima kasih atat petunjuk Cici, cuma
darimana engkau tahu..."
Nyo Ko pernah tinggal di Tho-hoa-to, ia tahu Ui Yong
mempunyai jaket pusaka "Nui-wi-kah" (jaket duri landak) yang tidak
mempan ditabas senjata tajam, maka ia tahu bisanya Kwe Hu menyelamatkan
lengannya adalah berkat jaket pusakanya, ia dengar nona itu bertanya
"darimana engkau -tahu...." dan seterusnya tentu adalah "aku
memakai jaket pusaka?", jika kata2 itu diucapkan berarti rahasia jaket
pusaka itu akan diketahui Kongsun Ci.
Padahal saat itu kelihatan Kongsun Ci dan Kiu Jian jio
saling pandang sekejap dengan heran dan terperanjat Maka cepat ia berkata:
"Hehe, Kong-sun-siansing, masakah kau tidak kenal nona kita ini?"
Sudah tentu Kongsun Ci sudah diberitahu sekadarnya oleh
Li Bok-chiu mengenai orang2 yang menyatroni Coat-ceng-kok ini, meski sudah tahu
siapa Kwe Hu, tapi ia tidak mau kalah pamor, dengan dingin ia sengaja menjawab:
"Huh, anak dara sekecil itu mana kutahu dia siapa?"
"Nona kita ini adalah puteri kesayangan Kwe Cing,
Kwe-thayhiap, cucu perempuan Tho-hoa-tocu Ui Yok-su, dia memiliki ilmu
kekebalan khas ajaran keluarganya yang tidak mempan dibacok segala macam
senjata tajam, pedangmu yang mirip besi tua itu tentu saja tidak dapat melukai
dia."
"Huh, tadi aku tidak menyerang sungguh2, memangnya
kau kira aku tidak mampu melukai dia?" jawab Kongsun Ci dengan gusar,
berbareng pedangnya yang hitam itu disendalnya pelahan hingga mengeluarkan
suara mendengung.
Setelah lolos dari serangan maut musuh, diam2 ia
berterima kasih kepada Bu-siang, ia pikir untung Liok-cici ini memperingatkan,
kalau tidak mungkin jiwaku sudah melayang, tampaknya hati Liok-cici ini
sebenarnya baik walaupun kata2nya tajam dan suka menyindir
Dilihatnya Kongsun Ci sedang menjawab ucapan Nyo Ko tadi
dan bersikap meremehkan dirinya, secara timbul lagi kecerobohannya, pikirnya:
"Jika aku tidak takut kepada senjatanya, asal kuterjang dan serang dia,
jelas aku pasti akan menang dan tiada kalahnya, mengapa aka tidak melakukan hal
ini?"
Karena pikiran itu, segera ia berseru kepada Bu Siu-bun:
"Kakak Bu cilik, harap pinjamkan pedangmu padaku, tua bangka Kongsun ini
tidak percaya ilmu sakti keluarga Tho.hoa-to, biarlah ku-perlihatkan sedikit
padanya."
Tanpa bicara Bu Siu-bun menyodorkan pedangnya dan
diterima Kwe Hu. Nona itu memutar pedangnya satu kali lalu berkata: "Nah,
si tua Kongsun, silakan maju!"
Melihat lagaknya yang men-tang2 tanpa gentar sedikitpun,
sungguh mirip benar jagoan tulen yang menghadapi anak kecil saja.
Sudah tentu Kongsun Ci dapat menilai anak dara ini hanya
dari gerakan pedangnya saja, segera ia membentak: "Baik, akan kubelajar
kenal lagi dengan kepandaianmu." Berbareng goloknya terus membacok ke muka
lawan.
Cepat Kwe Hu mengelak dan balas menusuk dengan pedangnya,
Tapi pedang hitam Kongsun Ci mendadak melingkar tiba dan menyabet pedang Kwe
Hu.
Sudah tentu Kwe Hu tidak berani mengadu sen-jata, cepat
ia tarik kembali pedangnya, Mendadak Kongsun Ci memegang golok dan pedang di
tangan kanan, sedangkan tangan kiri terus menghantam.
Diam2 Kwe Hu bergirang, ia pikir kalau tangan orang
menggablok duri landak jaket pusaka-kanya itu, maka celakalah musuh. Tapi
kuatir tenaga pukulan musuh terlalu lihay, bisa jadi ia sendiripun akan terluka
dalam, maka ia sedikit miringkan tubuh untuk mengelakkan sebagian tenaga
pukulan musuh dan membiarkan pukulan itu tetap-mengenai tubuhnya.
Di luar dugaan, belum pukulan Kongsun Ci itu mencapai
sasarannya, mendadak ia melompat mundur sambil berteriak: "Budak hina,
menyerang orang secara menggelap."
Tentu saja Kwe Hu bingung, katanya: "Sama sekali aku
tidak melukai kau!" ia menjadi heran apakah jaket pusakanya begitu lihay,
belum tangan musuh menyentuhnya sudah dapat dilukainya?
Ia tidak tahu bahwa sebenarnya itulah akal licik Kongsun
Ci, maka ia sengaja pura2 terluka dan melompat mundur dengan sempoyongan terus
berlari ke ruangan belakang, Rupanya dalam waktu yang singkat itu ia sudah
memperhitungkan keadaan pihak lawan, di depan sana adalah Nyo Ko, Ui Yong dan
lain2 serta si paderi tua beralis putih, maka dia sengaja meloloskan diri
melalui pintu belakang.
Saat itu Kongsun Lik-oh berdiri di sebelah ibu-nya.
Melihat Kongsun Ci akan kabur dengan membawa obat, cepat ia memburu maju sambil
berteriak: "Tunggu dulu, ayah!"
Pada saat itulah mendengar suara mendenging, dua biji buah
kurma juga telah menyamber ke arah Kongsun Ci. Rupanya Kiu Jian-jio kuatir
senjata rahasianya itu salah mengenai puterinya sendiri, maka semburan biji
buah kurma itu ditinggikan sedikit dan mengarah belakang kepala Kongsun Ci.
Namun gesit sekali Kongsun Ci menunduk kepala sehingga
kedua biji kurma itu menyamber lewat dan menancap di dinding,
"Minggir!" bentaknya sembari menerjang ke depan.
"Tinggalkan Coat-ceng-tan..." belum habis
ucapan Koagsun Lik-oh, tahu2 Kongsun Ci sudah menubruk tiba, sekali pegang
segera urat nadi pergelangan tangan gadis itu kena dicengkeramnya, menyusul
tubuh berputar, Lik-oh digunakan sebagai tameng di depan, lalu Kongsun Ci
membentak "Perempuan bejat, apakah kau ingin mengadu jiwa? Baiklah kita
gugur bersama semuanya!"
sebenarnya biji kurma Kiu Jian-jiu sudah akan disemburkan
lagi, ketika mendadak nampak keadaan berubah dan untuk menahan semprotan juga
tidak keburu lagi, terpaksa ia miringkan kepala dan menyemburkan senjata
rahasianya itu kesamping.
Dalam keadaan terpaksa begitu, yang diharapkan Kiu
Jian-jio asalkan biji kurma itu tidak tersemprot ke arah anak perempuan, sama
sekali tidak terpikir siapa yang menjadi sasarannya lagi, Maka terdengarlah
suara jeritan dua kali, dua anak murid berseragam hijau menggeletak binasa
dengan kepala pecah dan yang lain dada berlubang.
Kongsun Ci menyadari kalau ingin merebut kembali
Coat-Ceng-kok, selain memerlukan bantuan Li Bok-chiu juga anak buahnya harus
dipuiihkan dulu kesetiaannya, Apa yang terjadi sekarang jelas adalah kesempatan
baik untuk menarik simpatik anak buahnya itu, segera ia berseru:
"Perempuan jahat, kau tega membunuh anak muridku, pasti akan kubinasakan
kau,"
Karena bicara dan sedikit merandek inilah tahu2 Nyo Ko
telah mengadang jalan larinya.
"Kongsun siansing, urusan kita perlu diselesaikan
dahulu, jangan ter-buru2 pergi." kata Nyo Ko.
Kongsun Ci mengangkat tubuh Lik-oh ke atas, katanya
dengan menyeringai "Kau berani merintangi aku?" Segera ia ber-putar2
dengan tungkak kaki sehingga makin mendekati Nyo Ko.
Karena Kongsun Ci berputar dengan mengangkat tubuh
Lik-oh, kalau Nyo Ko merintanginya atau Kiu Jian-jio menyerang lagi dengan biji
kurma, tentu yang akan terluka adalah Kongsun Lik-oh. Dengan sendirinya Nyo Ko
tidak berani sembarangan bertindak,, betapapun ia tidak mau mengorbanknn jiwa
nona itu demi merebut obat bagi kepentingannya sendiri.
Dalam pada itu Kongsun Ci telah menggeser maju lagi
dengan memutar tubuh Kongsun Lik-oh, terpaksa Nyo Ko menyingkir ke samping.
Sama sekali Lik-oh takbisa berkutik berada dalam
cengkeraman sang ayah, waktu memutar ke sini dan tiba2 dilihatnya Nyo Ko
menyingkir memberi jalan bagi ayahnya dengan mata yang penuh prihatin baginya,
hati Lik-oh tergetar, pikirnya:
"Demi keselamatanku ternyata dia rela mengorbankan
obat yang dapat menyembuhkan dia itu."
Walaupun kaki dan tangannya takbisa bergerak namun kepala
dan lehernya dapat berputar, mendadak ia menjerit tertahan: "O,
Nyo-toako!"
Tiba2 batok kepalanya ditumbukkan ke ujung pedang hitam
yang dipegang Kongsun Ci itu. Pedang itu sangat tajam, karuan tanpa ampun jiwa
Kongsun Lik-oh melayang, tewas di tangan ayahnya sendiri.
"Haya!" teriak Nyo Ko kaget, namun sudah kasip
meski bermaksud menubruk maju untuk menolong.
Kongsun Ci juga terkejut dan hati terasa pedih sedikit,
namun iapun tahu keadaan sangat berbahaya baginya, segera pihak lawan pasti
akan menggempur nya dengan mati2an. Didengarnya suara orang menggeram gusar,
tiga biji buah kurma secepat kilat telah menyamber tiba.
Tanpa pikir ia lemparkan mayat puterinya ke belakang
sehingga ketiga biji kurma itu seluruhnya mengenai tubuh Lik-oh yang sudah tak
bernyawa itu.
Menyaksikan kekejaman Kongsun Ci itu, semua orang sangat
murka dan benci padanya, serentak mereka melolos senjata dan segera hendak
mengerubut maju.
Cepat Kongsun Ci berseru: "Wahai para anak murid!
perempuan jahat itu bersekongkol dengan orang luar dan hendak membunuh segenap
penghuni Coat-ceng-kok kita ini. Hayolah lekas maju dengan barisan jaring
berkait kalian!"
Sejak kecil anak muridnya itu memujanya seperti malaikat
dewata, Soalnya tempo hari Kongsun Ci terpaksa melarikan diri setelah sebelah
matanya di butakan oleh Kiu Jian-jio.
Dalam keadaan kosong pimpinan, terpaksa mereka tunduk
kepada perintah Kiu Jian-jio. Kini seruan Kongsun Ci telah membangkitkan
kembali ketaatan mereka, serentak mereka merubung maju dengan membentangkan
jaring berkait.
Setiap j'aring itu lebarnya enam-lima meter dan penuh
kaitan dan piiau kecil yang tajam, Biarpun kepandaian Bu Sam-tbong, Yalu Ce dan
lain2 cukup tinggi juga tidak tahu cara bagaimana menghadapinya. Apabila jaring
itu mengurung rapat, bukan mustahil tubuh mereka akan babak belur, Ta-pi karena
kepungan barisan jaring itu, Kiu Jian-jio sendiripun terkurung di tengah.
Segera ia ber-teriak2 "jangan tunduk pada ocehan
bangsat tua itu, para anak murid, lekas berhenti, lekas kalian mundur!"
Akan tetapi para anak murid berseragam itu anggap tidak
mendengar. Bahkan Kongsun Ci terus membentak lagi memberi perintah cara
bagaimana barisan jaring itu harus bekerja, Anak buahnya ternyata mengikuti
perintahnya dan mendesak maju dengan jaring terbentang.
Bahu kanan Ui Yong terluka, terpaksa ia gunakan tangan
kiri untuk merogoh segenggam jarum terus ditawurkan, berpuluh jarum lantas
menyambar ke sebelah sana. walaupun tenaga tangan kirinya tidak sekuat tangan
kanan, tapi jaraknya cukup dekat pula, jumlah jarum cukup banyak, sedikitnya
beberapa orang berseragam hijau akan terluka, dan kalau barisan jaring itu
kebobolan segera mereka dapat menerjang keluar.
Tak tahunya di atas jaring ikan itu banyak terikat batu
semberani kecil yang bisa digunakan untuk menyedot senjata rahasia musuh. Maka
terdengarlah suara gemerincing nyaring, berpuluh jarum Ui Yong serta paku
lembut yang disemburkan Kiu Jian-jio sama lengket pada jaring ikan.
"Celaka!" keluh Ui Yong. Segera ia membentak
pula: "Anak Hu, jaga kepalamu dengan pedang dan terjang maju bobolkan
jaring musuh" Di antara rombongannya hanya Kwe Hu saja yang memakai jaket
pusaka dan tidak takut dilukai kaitan tajam di atas jaring itu, maka Ui Yong
menyerukan puterinya itu menerjang musuh.
Tanpa pikir Kwe Hu memutar pedangnya dan menerjang ke
sebelah kanan, Empat orang berseragam hijau membentang jaring terus dilemparkan
ke-arahnya, Tapi begitu pisau kecil dan kaitan diatas jaring itu mengenai tubuh
Kwe Hu, kaitan jaring itu terpental balik.
Tapi ber-turut2 barisan jaring itu lantas menubruk maju
lagi dari kanan-kiri, jika kepungan barisan jaring itu makin mendesak,
betapapun sukar bagi Kwe Hu untuk membobolnya sekalipun dia memakai jaket
pusaka yang kebal senjata tajam.
Melihat keadaan berbahaya, Nyo Ko tidak tinggal diam,
segera ia putar pedangnya yang maha berat itu sekali tebas, kontan sebuah
jaring musuh terobek menjadi dua, keempat orang ini terbentang di-pegangi empat
orang di kanan kiri.. seketika ke-empat orang itu jatuh terjungkal. Suasana
menjadi kacau, mendadak dari luar ruangan pendopo itu berlari masuk dua orang
kejar mengejar.
Semua orang sama terkesiap demi nampak yang muncul-ini
adalah Li Bok-chiu dan Cu Cu-liu.
Kiranya Li Bok-chiu telah lama menunggu di puncak Coat
ceng-hong dan belum nampak Kongsun Ci kembali dengan obat yang dijanjikan itu,
diam2 ia mendongkol dan menyangka Kongsun Ci telah menipunya, Akhirnya ia turun
dari puncak gunung itu dan mencari jalan kembali ke Coat-ceng-kok tempat Kiu
Jian-jio dengan tujuan mencari kesempatan untuk merebut obat penawar racun
bunga cinta menurut cerita Kongsun Ci itu.
Karena tidak apal jalanan di situ, akhirnya Li Bok-chiu
kesasar lagi ke tempat yang penuh tumbuh bunga cinta yang melukainya itu. Pada
saat itulah tiba2 didenganiya ada suara orang berjalan mendatangi, Cepat ia
sembunyi di baiik batu karang di samping semak2 bunga itu.
Ia coba mengintip diri tempat sembunyinya, dilihatnya
kedua orang itu yang satu berdandan sebagai sastrawan dan yang lain adalah
Hwesio negeri asing. Kiranya mereka itu adalah Cu Cu-liu dan paderi Hindu.
Tadinya Cu Cu-liu menunggui paman gurunya yang belum
siuman itu di rumah garangan, Sesudah siuman kembali, paderi Hindu itu lantas
mengajak Cu Cu-liu ke tempat bertumbuhnya bunga cinta untuk menyelidiki lebih
lanjut.
Setiba di semak2 bunga itu, paderi Hindu itu lantas
berjongkok dan mulai meraba dan meneliti rumput di sekitar dan di bawah bunga
cinta itu.
Maklumlah, barang yang satu biasanya menjadi penangkal
barang yang Iain. Tempat di mana ular berbisa berkeliaran, di situ pasti tumbuh
obat bunga cinta itu juga pasti tumbuh di bawah atau di sekitar bunga itu.
Sudah tentu tak diketahuinya bahwa Li Bok-chiu justeru
sembunyi di balik batu karang sana, ketika nampak paderi itu me-runduk2 semakin
mendekat tanpa bicara lagi Li Bok-chiu lantas menyerangnya dengan sebuah jarum
berbisa.
Orang lain saja sukar untuk mengelak serangan menggelap
Li Bok-chiu itu, apalagi paderi Hindu itu tidak mahir ilmu silat, kontan saja
jarum itu menancap di dadanya dan binasa.
Cu Cu-liu mendengar suara mendesis pelahan itu, lalu
paman gurunya menggeletak tak bergerak lagi segera ia tahu apa yang terjadi.
Hanya tak diketahuinya bahwa paderi Hindu sudah mati, tanpa pikir ia memburu
maju untuk menolongnya.
Kesempatan baik itu tidak sia2kan Li Bok-chiu, mendadak
ia menubruk keluar dari tempat sembunyinya dan pedang terus menusuk punggung Cu
Cu-liu, karena tidak menyangka musuh justeru sembunyi di belakang batu, sukar bagi
Cu Cu-liu untuk menghindari sergapan itu, sebisanya dia miringkan tubuh, karena
itu ujung pedang Li Bok-chiu hanya melukai bahunya saja dan tidak parah.
Segera Cu Cu-liu menggeser ke samping dan membalik,
kontan ia balas menutuk dengan It-yang-ci. Li Bok-chiu pernah merasakan
It-yang-ci yang di mainkan Bu Sam-thong, sekarang ilmu jari sakti. Cu Cu-liu
ini ternyata lebih lihay, diam2 Li Bok-chiu terkesiap dan tidak berani gegabah.
Setelah bergebrak beberapa jurus, Cu Cu-liu melihat sang
Susiok yang menggeletak itu sama sekali tidak bergerak, cepat ia berseru:
"Susiok! Susiok!"
Tapi sang paman guru tetap tidak menjawab. "Hehe,
jika kau ingin jawabannya, boleh kau ikut ke akhirat saja!" ejek Li
Bok-chiu sambil menyerang lagi lebih gencar, ia pikir kalau lawan berduka
karena paman gurunya sudah mati, tentu pikirannya akan kacau dan mudahlah
dikalahkan.
Tak tahunya rasa duka Cu Cu-liu itu justeru menambah
sakit hatinya kepada musuh, serangannya malah bertambah lihay tanpa kendur
sedikitpun.
Di bawah cahaya bulan sabit yang remang itu Li Bok-chiu
melihat wajah Cu Cu-liu berubah beringas, matanya membara, serangannya tambah
kalap se-akan2 tidak segan untuk gugur bersama bila perlu, diam2 Li Bok-chiu
menjadi takut sendiri, setelah bergebrak lagi beberapa jurus, mendadak ia
membalik tubuh terus angkat langkah seribu alias kabur.
Cepat Cu Cu-liu memeriksa keadaan sang Susiok, ternyata
sudah tidak bernapas lagi, sekali bersiul penuh duka, segera ia mengudak kearah
Li Bok-chiu dan begitulah susul menyusul mereka telah masuk ke ruangan pendopo.
"Susiok telah terbunuh oleh iblis ini, Suhu!"
seru Cu Cu-liu begitu melihat It-teng Taysu.
Melihat datangnya Li Bok-chiu, Kongsun Ci kaget dan
girang, segera ia berseru: "Ke sini saja Li-sumoay!" Berbareng iapun
menyongsong ke sana.
Meski terluka, namun pikiran Ui Yong cukup jernih,
melihat sikap Kongsun Ci itu segera ia dapat menerka hubungannya dengan Li
Bok-chiu, cepat ia berseru: "Ko-ji, pisahkan kedua iblis itu, jangan
sampai mereka bergabung!"
Namun Nyo Ko sudah putus asa demi mendengar berita
kematian paderi Hindu itu, kini semuanya tak berarti lagi baginya, sisa
Coat-ceng-tan itu telah diambil Kongsun Ci atau bukan sama sekali tak terpikir
lagi olehnya. Maka seruan Ui Yong itu hanya disambut dengan tersenyum dan tidak
ikut turun tangan.
Cepat Yalu Ci jemput setengah jaring yang dirobek oleh
pedang Nyo Ko tadi dan berseru: "Bu-suheng, cepat pegang ujung sana!"
Beramai Bu Tun-si, Wanyan Peng dan Yalu Yan lantas
memegangi ujung jaring itu dan menghadang di antara Li Bok-chiu Kongsun Ci itu
tidak berhasil mengurung musuh, kini malah berbalik kena diperalat oleh musuh
untuk merintangi dia sendiri benar2 senjata makan tuan.
Sementara itu, suasana di ruangan itu menjadi gaduh,
karena scbagaian jaringnya bobol, anak buah Kongsun Ci menjadi kacau,
kesempatan itu segera digunakan Kiu Jian-jio untuk menyemburkan senjata
rahaHanya, maka terdengarlah jeritan dan teriakan di sana sini, ber-turut2 lima
enam orang telah roboh binasa, barisan jaring juga lantas kacau balau dan
buyar.
Dengan gusar Kongsun Ci ayun goloknya membacok Yalu Yan,
namun Thia Eng lantas mendahului menutuknva dengan seruling kumalanya. Terpaksa
Kongsun Ci menarik kembali goloknya, diam2 ia terkejut oleh keiihayan Thia Eng
itu. Ber-turut2 ia menusuk dua kali dengan pedangnya dan semuanya dapat
dipatahkan Thia Eng pula.
Cepat Bu-siang putar golok sabitnya mengerubut maju,
Percumalah Kongsun Ci menerjang kian kemari, maksudnya hendak bergabung dengan
Li Bok-chiu selalu dirintangi beberapa anak muda itu, malahan terkadang ia
harus waspada terhadap semburan senjata rahasia Kiu Jian-jio. ia pikir agar
bisa bergabung dengan leluasa harus terjang dulu keluar rumah sana.
Maka sambil memutar senjatanya ia lantas berseru:
"Li-suamoay, terjang keluar saja, kita bertemu lagi di tempat tadi!"
Berbareng kedua orang lantas bersuit dan melompat kekanan dan kiri, melayang
lewat di samping Nyo Ko dan Siao-liong-li terus menerobos keluar rumah.
Kalau Nyo Ko dan Siao-liong-li mau turun tangan, tentu
kedua orang itu dapat dicegah Tapi tangan kiri Nyo Ko menggenggam kencang
tangan kanan Siao-liong-li sambil melangkah keluar dengan pelahan, meski tahu
jelas Kongsun Ci dan Li Bok-chiu lewat di sebelah mereka juga tidak ambil
pusing.
Cepat Ui Yong berseru: "Cegat Kongsun Ci itu,
Liong-sumoay, Coar-ceng-tan berada padanya!"
Siao-liong-li terkejut, ia pikir kalau paderi Hindu itu
sudah mati, maka racun dalam tubuh Ko-ji hanya dapat ditolong dengan sisa
Coat-ceng-tan itu. Segera ia melepaskan gandengan tangan Nyo Ko dan memburu ke sana.
"Biarkan saja, Liong-ji!" seru Nyo Ko.
"Mana boleh dibiarkan dia pergi?" ujar
Siao-liong li.
Melihat Siao-liong-li tetap mengejar dengan cepat
terpaksa Nyo Ko menyusulnya.
Kongsun Ci dan Li Bok-chiu lari ke jurusan yang
berlawanan, maka semua orang juga mengejar dengan terbagi dua rombongan.
Siao-liong-li, Nyo Ko, Thia Eng dan Liok Bu-siang berempat mengejar Kongsun Ci,
sedangkan Bu Sam-thong dan kedua Bu cilik, Cu Cu-liu dan Wanyan Peng berlima
mengudak Li Bok-chiu.
Yalu Ce, Yalu Yan dan Kwe Hu tinggal di sana mendampingi
Ui Yong untuk mengawasi Kiu Jian-jio agar tidak melakukan kekejaman lain.
Di antara rombongan Bu Sam-thong itu, ilmu silat Cu
Cu-liu terhitung paling tinggi, tapi bahunya terluka, setelah ber-lari2 sekian
lama, akhirnya ia merasa tidak tahan, waktu semua orang berhenti dan memandang
Cu Cu-liu, sedikit merandek saja bayangan Li Bok-chiu lantas tak kelihatan
lagi.
"Kalau iblis itu sampai lolos, sungguh kita berdosa
terhadap Susiok," ujar Cu Cu-liu dengan gregetan, Mereka terus mencari
kian kemari di semak2 pohon dan batu karang, tapi jejak Li Bok-chiu tetap
menghiIang.
"Tadi Kongsun Ci berseru padanya agar bertemu lagi
di tempat semuIa," kata Cu-liu. "Kita tidak tahu tempat mana yang
dimaksudkan, tapi asalkan kita mengikuti Kongsun Ci, akhirnya iblis perempuan
ini pasti akan ditemukan di sana."
"Benar ucapan Sute," ujar Bu Sam-thong,
"Marilah kita lekas menguntit Kongsun Ci saja."
Begitulah mereka lantas putar balik ke arah larinya
Kongsun Ci tadi. Tidak lama, benarlah di depan sana terdengar suara teriakan
dan bentakan orang, Bu Sam-thong memayang Cu Cu-liu agar dapat berlari lebih
cepat Namun suara bentakan dan teriakan itu sebentar mendekat lain saat menjauh
lagi, sekejap kemudian lantas lenyap dan keadaan sunyi senyap pula.
Ribut semalam suntuk, sementara itu fajar sudah hampir
menyingsing, cuaca sudah remang2. Tiba2 terlihat di depan ada jalan simpang
empat, mereka menjadi bingung jurusan mana yang harus dituju?
Mata Wanyan Peng lebih celi, tiba2 ia tuding sebatang
pohon kecil di tepi jalan yang kedua sana dan berseru: "He, Cu cianpwe,
coba lihat, batang pohon itu, baru saja dibacok orang."
"Benar," seru Cu-liu dengan girang,
"Marilah kita coba mengambil jalan ini."
Cepat mereka berlari ke sana. sesudah membelok kian kemari,
kemudian terlihat pula batang pohon di tepi jalan ada lagi bekas bacokan serupa
pohon tadi. semangat mereka terbangkit, mereka menyusur ke sana lebih cepat,
pepohonan di tepi jalan makin lama makin lebat, jalanan juga semakin rusak dan
sukar ditempuh. untunglah pada setiap belokan atau lintasan jalan selalu ada
tanda2 bacokan golok di atas pohon atau di tanah.
Kiranya tanda2 bacokan itu adalah perbuatan Liok Bu-siang
atas perintah Thia Eng. Kedua nona itu mengikuti Nyo Ko dan Siao-liong-li
mengejar Kongsun Ci, karena sasarannya itu lari berputar kian kemari secara
menyesatkan kuatir ke-sasar, maka Thia Eng suruh Bu-siang meninggalkan tanda
sepanjang jalan. Tak terduga tanda2 itu akhirnya menjadi petunjuk jalan bagi
rombongan Cu Cu-liu.
Begitulah setelah ber-lari2 sekian lama, hari pun sudah
terang, namun pepohonan lebat di sekitar mereka menambah suasana jadi suram.
jalanan menanjak dan terjal, terpaksa mereka melambatkan langkah.
Tengah berjalan, tiba2 terdengar suara orang tertawa
panjang di bagian atas, suaranya melengking tajam laksana burung hantu,
serentak mereka berhenti dan menengadah, tertampaklah di suatu tebing yang
curam di depan sana berdiri seorang sedang mendongak sambil tertawa, Siapa lagi
dia kalau bukan Kongsun Ci.
Di bawah tebing curam itu adalah jurang yang tak terkira
dalamnya, di atasnya adalah puncak gunung yaag menjulang tinggi menembus awan.
Melihat keadaan Kongsun Ci yang menyerupai orang gila
itu, diam2 Cu Cu-liu berkuatir: "Kalau dia terpeleset dan jatuh ke jurang,
mampusnya sih tidak perlu disayangkan, tapi Coat-ceng-tan yang dibawanya itu
akan ikut lenyap juga." Segera ia memburu ke sana secepat terbang.
Setelah membelok suatu tikungan, dilihatnya Nyo Ko,
Siao-liong-li, Thia Eng dan Liok Bu-siang berempat sudah berdiri di tepi tebing
sana dan sedang menengadah memandangi Kongsun Ci.
Melihat datangnya Cu Cu-liu, dengan suara pelahan
Siao-liong li lantas berkata: "Cu-toasiok, lekas engkau mencari akal untuk
memancing dia turun."
Cu Cu-liu coba mengamat-amati keadaan sekitar situ,
dilihatnya tempat berdiri Kongsun Ci itu hanya dihubungkan oleh sebatang balok
batu yang lebarnya tidak lebih dari 30 senti, jembatan dan tebing gunung sana
penuh berlumut hijau, berdiri sendirian di sana saja tak bisa bergerak dengan
leluasa, apalagi kalau dua orang berdesakan di sana.
Maka selain memancing turun Kongsun Ci rasanya memang
tiada jalan lain. Tapi Kongsun Ci adalah manusia licin dan licik, manabisa dia
diakali? persoalan ini benar2 rumit.
Teringat kepada budi kebaikan Nyo Ko yang telah
menyelamatkan jiwa kedua anaknya yang sekarang mati-hidup Nyo Ko sangat
bergantung pada obat yang berada di tangan Kongsun Ci, ia merasa sekarang
inilah saatnya baginya untuk membalas budi Nyo Ko, segera ia menyingsing lengan
baju dan berkata: "Biar kupergi kesana untuk menyeretnya ke sini."
Tapi baru saja ia melangkah, tiba2 bayangan orang
berkelebat tahu2 Thia Eng sudah mendahului di depannya dan berkata: "Aku
saja yang ke-sana!" Cepat sekali ia terus melangkah ke jembatan batu yang
sempit itu.
Akan tetapi cepatnya Thia Eng ternyata masih kalah cepat
daripada Nyo Ko, tiba2 Thia Eng merasa pinggangnya mengencang, Nyo Ko telah
membelit pinggangnya dengan lengan baju yang kosong itu serta ditariknya
kembali Malahan terdengar Nyo Ko membisik di telinganya: "Apa artinya
diriku ini, kenapa engkau perlu berbuat begini?"
Wajah Thia Eng menjadi merah dan seketika tidak sanggup
bicara, Pada saat itulah suara Siao-liong-li berkata: "Tolong pinjam
sebentar pedangmu!"
Mendadak sesosok bayangan melayang lewat di samping Bu
Tun~si dan Wanyan Peng dan tahu2 pedang mereka sudah di lolos orang, Gerakan
itu sungguh secepat kilat, ketika Bu Tun-si dan Wanyan Peng melengak bingung
sementara itu Siao-liong-li sudah melayang ke atas jembatan batu dan mendekati
Kongsun Ci.
Terkejut juga Kongsun Ci melihat Siao-liong~li berani
mendekat ke tempat berbahaya itu, Segera ia melangkah maju dan mengadang di
ujung jembatan batu sebelum Siao-Iiong-li menyeberang ke tempatnya, Bentaknya:
"Apakah kau ingin mampus?"
Sambil menghunus sepasang pedang, Siao-liong-li berdoa di
dalam hati semoga berhasil merebut kembali Coat-ceng-tan dan matipun ia rela,
Dengan suara lembut ia lantas berkata: "Kongsun-siansing, engkau pernah
menyelamatkan jiwaku, lantaran perempuan yang bernasib malang seperti diriku
ini kau telah ikut menderita, sungguh aku sangat menyesal dan sedih.
Kedatanganku sekarang sama sekali tidak ingin mengadu jiwa dengan kau.
"Habis kau mau apa?" tanya Kongcun Ci.
"Kumohon engkau suka memberi obat untuk menolong
suamiku, obat itu tidak berguna bagimu, kalau suka dihadiahkan padaku, sungguh
takkan kulupakan budi kebaikanmu," tutur Siao-liong-li.
"Lekas kembali, Liong ji!" demikian Nyo Ko
berseru di seberang sana, "Setengah biji obat itu takkan menolong jiwa
kita berdua, apa gunanya kau memintanya?"
Melihat perawakan Siao liong-li yang cantik dan lemah
gemulai menggiurkan mana Li Bok-chiu dapat menandinginya biarpun cuma tiga
bagiannya, matanya yang tinggal satu mengincar dengan terkesima, tiba2 timbul
lagi pikiran jahat Kongsun Ci, ia tanyai "Kau panggil bocah she Nyo itu
suamiku?"
"Ya, kan dia sudah menikah dengan aku," jawab
Siao-liong-li.
"Asalkan kau menyanggupi suatu permintaanku, segera
obat ini kuberikan," kata Kongsun Ci.
Melihat sorot mata tunggal orang yang licin itu, segera
Siao-liong-Ii tahu maksudnya, katanya sambil menggeleng: "Aku sudah
bersuami, mana boleh kunikahi kau lagi? Kongsun-siansing, kau tetap kesemsem
padaku, namun aku sudah ada yang punya, terpaksa mengecewakan maksud
baikmu."
Mata Kongsun Ci yang aneh itu mendelik, bentaknya:
"Jika begitu lekas kau mundur ke sana. Kalau kau tetap memusuhi aku,
terpaksa aku tidak kenal ampun lagi."
"Kan sia2 belaka perkenalan kita ini jika sampai
kita bergebrak dan bermusuhan?" ujar Siao-liong-li suaranya sangat halus,
dalam hati ia benar2 masih merasa utang budi kepada Kongsun Ci.
"Hm," jengek Kongsun Ci, "aku justeru
ingin menyaksikan bocah she Nyo itu merintih-rintih karena racun dalam tubuhnya
masih bekerja, ingin melihat dia sekarat menghadapi elmaut, ingin tahu betapa
cantiknya isteri setia seperti kau ini akhirnya menjadi janda muda belia yang
berkabung."
Makin bicara makin keji kata2nya dengan menyeringai dan
mengertak gigi.
Siao liong-li menyambut dengan tersenyum pedih, jawabnya:
"Coba dengarkan kau, bukankah dia sedang memanggilku kembali ke sana?
Begitu kasih sayangnya padaku, betapapun dia tak menghiraukan apakah racun
dalam tubuhnya akan kumat atau tidak."
Benar juga terdengar Nyo Ko sedang berseru, katanya:
"Liong-ji, lekas kembali sini, buat apa banyak bicara dengan orang macam
begitu? Kalau saja jembatan batu itu tidak terlalu sempit dan sukar dipijak dua
orang, tentu sejak tadi ia sudah berlari ke sana dan menarik kembali isterinya.
Jarak Kongson Ci dengan Siao-liong- li saat itu hanya satu-dua
meter saja, asalkan melangkah maju setindak saja sudah dapat meraihnya. Cuma
tempatnya teramat berbahaya, bila nona itu sedikit meronta saja, maka kedua
orang pasti akan tergelincir bersama ke dalam jurang dan hancur lebur.
Kongsun Ci menjadi serba susah, kalau tidak menawan
Siao-liong li sebagai sandera, lalu cara bagaimana dirinya dapat lolos dari
tebing yang buntu ini.
Di lihatnya di pihak lawan hanya Nyo Ko seorang saja yang
lihay, kalau dirinya menerjang mati2 an mungkin anak muda itupun takdapat
mengalanginya, paling baik kalau Siao-liong-li mau mundur sesuai seruan Nyo Ko
itu, lalu dirinya ikut menyeberang ke sana dan menawannya, kemudian bergabung
dengan Li Bok-chiu.
Setelah ambil keputusan demtkian, segera Kongsun Ci
membentur pedang dan goloknya hingga menerbitkan suara mendering, bentaknya:
"Lekas mundur!" Berbareng pedangnya terus menusuk
Di luar dugaannya, sejak Siao-liong-li belajar ilmu
berkelahi dua tangan dengan dua cara dari Ciu Pek-thong itu, kepandaiannya
serentak bertambah satu kali lipat, kalaupun tubuh mengidap racun tenaga
dalamnya banyak berkurang, tapi betapa hebat Giok-li-kiam-hoat yang
dimainkannya dengan kedua tangan sekaligus manabisa ditandingi golok dan pedang
Kongsun Ci.
Dalam sekejap saja sepasang pedang yang diputar Siao
liong-li itu telah berubah menjadi dua gulung sinar putih, kalau kiri bertahan,
yang kanan segera menyerang dan begitu seterusnya secara bergantian Keruan
Kongsun Ci menjadi kelabakan dan terdesak.
Makin lama makin heran dan gelisah hati Kongsun Ci, diam2
ia menyesal, kalau tadi mengetahui orang telah berhasil meyakinkan ilmu pedang
selihay ini, tentu dia takkan bergebrak dengannya. Masih untung baginya karena
Siao-liong-li tidak bermaksud membunuhnya, maka untuk sekian lama Kongsun Ci
masih sanggup bertahan.
Begitulah mereka terus bertempur dengan sengitnya di
tebing yang curam itu, tidak lama It-teng Taysu, Ui Yong, Kwe Hu, Yalu Ce dan
Yalu Yari juga dan sama terperanjat menyaksikan pertarungan sengit mereka di
tempat yang berbahaya itu.
Kwe Hu berkata kepada Yalu Ce: "Lekas kita maju
membantunya, sendirian mana Liong-cici mampu mengalahkan dia?"
Biarpun watak Kwe Hu rada sembrono dan sejak kecil selalu
dimanjakan sang ibu, tapi pada dasarnya sebenarnya berhati bajik. Ketika
menyaksikan keadaan Siao-liong li sangat berbahaya, ia sendiripun pernah
bergebrak dengan Kongsun Ci dan diketahuinya kepandaian kakek bermata satu itu
sangat lihay, bahkan ibunya juga bukan tandingannya, apalagi sekarang
Siao-liong li menempurnya sendirian. Tapi Yalu Ce mengatakan jembatan batu itu
tak muat lagi orang lain, hal inipun memang nyata.
Saking cemasnya terpaksa ia berseru "Lekas mencari
akal untuk membantu Liong-cici ibu!"
Padahal tanpa seruannya itu, setiap orang juga berharap
bisa membantu Siao-liong li meninggalkan tempat berbahaya itu, tapi apa daya,
andai kata bisa terbang ke sana juga tiada tempat untuk berpijak.
Terdengar suara bentakan Kongsun Ci golok dan pedangnya
menyerang serabutan, kedua pedang Siao liong-li menyamber kian kemari dengan
lemasnya seperti kekurangan tenaga, kalau berlangsung, lama tampaknya dia pasti
akan celaka di tangan Kongsun Ci, Hanya Nyo Ko, Ui Yong dan It-teng Taysu saja
yang dapat melihat dengan jelas bahwa sesungguhnya Siao-liong-li yang lebih
unggul.
Sejenak puIa, dapatlah Ui Yong melihat cara bertempur
Siao-liong-li itu ternyata adalah ilmu berkelahi dengan dua tangan dan dua
cara. Kepandaian ini di seluruh jagat tiada orang ketiga yang paham selain Ciu
Pek-tong dan Kwe Cing, maka jelas kepandaian Siao liong-li ini pasti ajaran Ciu
Pek-thong.
Dilihatnya Kungfu yang dimainkan Kongsun Ci sesungguhnya
teramat lihay, sedangkan Siao-liong-li habis luka berat dan keracunan, tenaga
dalamnya banyak susut, meski jurus serangannya lebih unggul namun dalam waktu
ratusan jurus juga sukar menundukkan Kongsun Ci.
Tiba2 teringat satu akal oleh Ui Yong, segera ia berkata:
"Ko-ji, kau dan aku berbareng bicara pada Kongsun Ci, kau mengertak dan
me-nakut2i dia, sebaliknya aku membuatnya gembira, supaya dia lengah dan
perhatiannya terpencar."
Habis itu ia lantas mendahului berteriak: "Hai,
Kongsun-siansing, ini kabar baik bagimu, perempuan jahat Kiu Jian-jio itu sudah
kubunuh tadi!"
Tergetar juga hati Kongsun Ci mendengar ucapan itu, ia
menjadi ragu2, setengah percaya setengah sangsi.
Segera Nyo Ko ikut berseru: "Kongsun Ci, Li Bok-chiu
menganggap kau ingkar janji karena tidak membawakan obat yang kau sanggupkan
padanya, maka ia telah datang hendak membikin perhitungan dengan kau."
"Tidak, tidak!" cepat Ui Yong menambahkan,
"Kata Li Bok-chiu, asalkan kau mampu menyembuhkan racun dalam tubuhnya,
maka dia rela menjadi isterimu"
"Ah, mustahil kami mau tinggal diam?" seiu Nyo
Ko pula, "Kami pasti akan berusaha menggagalkan angan2mu, kalau kau
tertangkap kami, akan kami siksa kau juga dengan duri bunga cinta itu supaya
kau juga tahu rasa."
"Persengketaan kita dapat didamaikan, tidak perlu
kau kuatir, bagaimana kalau sekarang juga kita mulai berunding?" seru Ui
Yong,
"He, celaka! Pelayanmu yang kau bunuh dahulu itu
telah menjadi hantu dan muncul hendak menagih jiwa padamu!" teriak Nyo Ko.
"Nah, nah, itu dia! Awas Dia berdiri tepat di belakangmu, wah, kukunya
panjang2 dan tampaknya kau akan diterkamnya"
Begituiah Ui Yong dan Nyo Ko berseru secara bergantian
ucapan mereka sebentar membikin takut hati Kongsun Ci dan lain saat membuatnya
senang.
Sudah tentu Siao-Iiong-li juga dapat mendengar semua
perkataan itu, cuma lantaran urusannya tidak menyangkut kepentingannya, pula
dia dapat membagi pikirannya, dan dilaksanakan dengan dua tangan, serangannya
sedikitpun tidak menjadi kendur sebaliknya Kongsun Ci memang sudah terdesak di
bawah angin, karena pengacauan ucapan Nyo Ko dan Ui Yong itu, pikirannya
semakin kacau.
Akhirnya ia menjadi gemas dan membentak: "Kalian
mengoceh apa? Lekas tutup mulut!"
"He, awas, Kongsun Ci!" seru Nyo Ko pula,
"Siapa itu nona yang berambut semerawut di belakang itu? Lidahnya menjulur
panjang, mukanya penuh darah. Ah, dia hendak mencengkeram lehermu, awasi Wah,
celaka!"
Meski Kongsun ^Ci tahu anak muda itu sengaja hendak
mengacaukan pikirannya, tapi teriakan2 ngeri itu membuatnya merinding juga dan
tanpa terasa ia melirik sekejap ke belakang Kesempatan itu tidak di-sia-2kan
Siao-Iiongli, pedangnya menyamber tiba, dengan tepat pergelangan tangan kiri
Kongsun Ci tertusuk.
Dengan sendirinya pegangan Kongsun Ci menjadi kendur,
golok emasnya mencelat jatuh ke jurang, sampai lama sekali barulah- terdengar
kumandang suara pelahan, sanu.. seperti suara kecebur dalam air, agaknya di
bawah jurang itu adalah sebuah kolajn atau sungai.
Semua orang saling pandang dengan melongo, begitu lama
golok itu terjatuh ke bawah barulah menerbitkan suara, maka betapa dalamnya
jurang itu sungguh sukar diukur.
Begitu kehilangan goloknya, jangankan menyerang lagi,
untuk bertahan saja sukar bagi Kongsun Ci. sebaliknya serangan Siaoliong-li
semakin lancar dan gencar, ber-turut2 ia menusuk lagi empat kali ke kanan dan
ke kiri, tubuh Kongsun Ci tergeliat, pedang hitamnya kembali terjatuh lagi ke
jurang dan mati kutulah dia.
Sambil mengancam dada dan perut lawan dengan sepasang
pedangnya, Siao-Iiong-li lantas ber-kata: "Kongsun-siansing, silakan kau
menyerahkan Coat-ceng-tan dan jiwamu takkan kuganggu."
"Tapi bagaimana dengan orang2 -itu?" tanya
Kongsun Ci dengan suara gemetar
"Kujamin takkan membikin susah kau," jawab
Siao-liong-li.
Dalam keadaan demikian yang dipikir Kongsun Ci hanya
menyelamatkan jiwa belaka, segera ia mengeluarkan botol kecil itu dan
disodorkan.
Sambil tetap mengancam dada lawan dengan sebelah
pedangnya, tangan Siao~liong~Ii yang lain menerima botol itu dengan perasaan
girang dan pedih pula, pikirnya: "Meski aku sendiri takdapat hidup lama,
akhirnya Coat-ceng-tan ini dapat kurampas untuk menolong Ko-ji." - Segera
ia berlari balik ke seberang sini.
Meski sebelumnya Bu Sam-thong, Cu Cu-liu dan lain2 sudah
tahu ilmu silat Siao-liong-li sangat lihay, tapi sama sekali tidak menduga dia
memiliki kepandaian sesakti ini, dapat sekaligus memainkan dua pedang dengan
dua cara yang berlainan.
Mereka pernah mendengar bahwa Ciu Pek-thong dan Kwe Cing
mahir memainkan dua cara bertempur yang berbeda dengan kedua tangan, tapi
mereka cuma mendengar saja dan belum pernah menyaksikan sendiri sekarang mereka
dapat melihat betapa lihay kepandaian Siao-liong-li itu, mereka menjadi kagum
tak terhingga.
Tentu saja Yalu Ce, Yalu Yan, Thia Eng, Kwe Hu dan lain2
juga tidak kepalang kagumnya menyaksikan betapa lihay ilmu silat Siao-liong-li
itu, padahal usianya sebaya dengan mereka, malahan kelihatan lemah gemulai,
kalau tidak menyaksikan sendiri tentu orang takkan percaya.
Sementara itu dengan gaya indah laksana bidadari turun
dari kahyangan Siao-liong li telah mc layang balik dari jembatan batu sana,
serentak semua orang bersorak gembira dan memuji. Cepat Nyo Ko memburu maju dan
memegangi tangan sang isteri, Semua orang juga lantas merubungnya untuk
bertanya.
Cepat Siao-liong-Ii membuka botol porselen itu dan
menuang keluar setengah butir pil, katanya dengan tersenyum simpul: "Koji,
obat ini tulen bukan?"
Tapi Nyo Ko memandang obat itu dengan tak acuh, jawabnya:
"Memang tulen, Liong ji, bagaimana keadaanmu? Mengapa kau begini pucat?
Coba kau mengatur pernapasanmu"
Namun Siao-liong-li tetap tersenyum saja, Ke-tika berlari
balik tadi memang sudah dirasakannya darah terasa bergolak dalam rongga
dadanya, rasanya muak dan ingin muntah, tapi sekuatnya ia telah bertahan, ia
tahu racun yang diidapnya itu terlalu dalam, untunglah dia telah berhasil
merebut setengah biji Coat ceng tan, lebih dari itu tak terpikir lagi olehnya.
Sambil menggenggam tangan Siao-liong-li yang terasa
semakin dingin, dengan cemas Nyo Ko ber-tanya: "He, Liong-ji, bagaimana
perasaanmu?"
"Ah, tak apa2, lekas kau minum obat ini," ujar
Siao-liong-ii.
"Liong-ji," kata Nyo Ko dengan suara gemetar,
"setengah biji obat ini sukar menyelamatkan jiwa dua orang, untuk apa
lagi? O, Liong-ji, masakah kau belum tahu perasaanku? jika engkau mati, masakah
aku dapat hidup sendirian?"
Berkata sampai di sini, rasa dukanya tak tertahan,
mendadak ia rampas botol beserta obatnya terus dilemparkan ternyata setengah
biji obat, satu2nya obat yang dapat menyembuhkan racun yang diidapnya itu telah
dibuangnya ke jurang yang tak terhingga dalamnya itu..
Kejadian ini benar2 di luar dugaan siapapun juga semua
orang melengak dan segera sama berseru kaget.
Siao-liong-li tahu Nyo Ko bertekad akan sehidup dan
semati dengan dia, hatinya menjadi pedih, duka tercampur terima kasih pula.
sehabis bertempur sengit dan racun dalam tubuhnya mulai bekerja, ia tidak tahan
lagi, ia tergeliat terus jatuh pingsan dalam pelukan Nyo Ko.
Kedua saudara Bu, Kwe Hu, Wanvan Peng dan anak2 muda iain
tidak paham duduknya perkara, be-ramai2 mereka bertanya dan membicarakan
kejadian ini.
Mendadak Bu Sam thong membentak: "Li Bok-chiu,
sekali ini jangan kau harap dapat lolos lagi!"
Serentak iapun memburu ke lereng gunung sebelah sana.
Waktu semua orang memandang ke sana, terlihat Kongsun Ci
sedang berlari secepat terbang dengan Ginkangnya yang tinggi, di tanjakan
lereng gunung sana tiba2 berkumandang suara tertawa orang tua, menyusul seorang
muncul dengan memanggul sebuah peti besar, kiranya adalah Lo-wan-tong Ciu
Pek-thong,si Anak Tua Nakal.
"He, Lo-wan-tong, lekas giring To-koh jubah kuning
itu ke sini!" seru Ui Yong.
"Baik boleh kalian saksikan kepandaian
Lo-wan-tong!" seru Ciu Pek-thong sambil membuka tutup peti, kedua
tangannya ber-gerak2, seketika segerombolan tawon madu menyamber keluar terus
menerjang ke arah Li Bok-chiu.
Ketika pasukan Mongol membumi-hanguskan Cong-lam-san,
kawanan Tosu dari Coan cin-kau sempat meninggalkan gunung dengan membawa kitab
agama dan benda2 berharga lain, tapi yang dibawa Cui Pek-thong adalah sebuah
peti yang berisi sekawanan tawon putih piaraan Siao-liong-li dahulu.
Biarpun sifatnya jenaka dan tingkah- lakunya ugal2an tapi
bakat Ciu Pek-thong sebenarnya sangat pintar, tanpa kenal lelah ia terus
mempelajari cara memimpin kawanan tawon putih itu, akhirnya dia berhasil juga
menemukan kuncinya. Sekarang ia diminta Ui Yong menggiring Li Bok-chiu,
kebetulan baginya untuk pamer kepandaian yang baru berhasil dipelajarinya itu.
Begitulah Kongsun Ci menjadi kaget melihat kawanan tawon
itu, ia tidak berani lagi mendekati Li Bok-chiu melainkan terus menyelusup ke
semak2 sebelah sana.
Li Bok-chiu juga kelabakan melihat terjangan kawanan
tawon itu, terpaksa ia berlari ke sini mengikuti jalanan pegunungan itu, segera
Bu Sam-thong didahului kedua puteranya serta Liok Bu siang dan Thia Eng memapak
dengan senjata terhunus.
Tiba2 Yalu Ce berteriak: "Lihay benar engkau Suhu!
Lekas engkau simpan kembali kawanan tawon itu ke dalam kandang!"
Segera Ciu Pek-thong ber-kaok2 ingin menggiring kembali
kawanan tawon itu ke dalam peti, tapi di tengah ribut2, mana kawanan tawon mau
menuruti perintahnya? Sambil tetap men-dengung2 gerombolan tawon putih itu
tetap mengejar ke arah Li Bok~chiu.
Kuatir Li Bok-chiu kabur lagi, tanpa menghiraukan
sengatan tawon, segera Bu Sam-thong mengudak ke sana.
"Liong-ji. Liongji!" Nyo Ko merangkul
Siao-liong-li dan memanggilnya pelahan.
Siao-liong-li membuka matanya sedikit2, telinganya
mendengar suara mendengung tawon hingga rasanya seperti sudah berada di
kediaman lama di Cong-lam-san, hatinya menjadi girang dan bertanya:
"Apakah kita sudah berada di rumah?" Tapi setelah tenangkan diri baru
ingat apa yang terjadi tadi.
Segera ia bersiul pelahan beberapa kali, lalu membentak
pula beberapa kali, seketika kawanan tawon putih itu ber-putar2 di sekeliling
Li-Bok chiu dan tidak terbang serabutan lagi, "Suci." katanya,
"selama hidupmu telah banyak dosa, apakah sekarang kau tidak menyesal?"
Wajah Li Bok-chiu pucat seperti mayat, jawabnya:
"Mana itu Coat-ceng-tan?"
Siao-liong-li tersenyum pedih, katanyaj "Coat ceng
tan itu sudah terlempar ke dalam jurang, Mengapa kau membunuh paderi Hindu itu?
Kalau dia tidak mati, bisa jadi jiwaku dan jiwa Ko-ji dapat tertolong, bahkan
kaupun dapat diselamatkan."
Mendelong perasaan Li Bok-chiu, ia tahu Sumoay nya ini
selamanya tidak suka omong ko-song. Diam2 ia merasa menyesal bahwa jarumnya
telah menewaskan paderi Hindu itu sehingga dirinya sendiri juga ikut celaka.
Sementara itu Bu Sam-thong dan lain2 sudah merubung maju,
sedangkan Ciu Pek-thong masih sibuk ber-teriak2 dan berjingkrakan ingin
memanggil kawanan tawon.
"Kakek Ciu, begini caranya," seru
Siao-liong-li, lalu ia bersiut dan membentak seperti tadi.
Ciu Pek-thong menirukan bersuit dan membentak, benar juga
be-ribu2 tawon putih itu lantas terbang menyusul kembali ke dalam peti, Karuan
ia sangat girang, serunya: "Terima kasih nona Liong."
"Saudara Pek-thong, sudah lama tak berjumpa, kau
ternyata sehat2 saja seperti dulu" dengan tersenyum It-teng Taysu menyapa.
Untuk sejenak Ciu Pek-thong melengak karena tak
disangkanya It-teng Taysu juga berada di situ, cepat ia menutup peti dan
berkata: "Ya, aku sehat, kaupun sehat, semua juga sehat!" Habis ini
ia panggul petinya terus mengeluyur pergi tanpa berpaling lagi.
Melihat keadaan sekelilingnya, Li Bok-chiu menyadari
kedudukannya yang suiit, melulu Ui Yong, Nyo Ko dan Siao-liong-li salah seorang
saja sukar dilawan, apalagi sekarang kalau main kerubut ia menjadi nekat,
teriaknya: "Hm, percuma kalian menganggap diri sebagai kaum pendekar,
tahunya, hehe, kalianpun suka main keroyok, Siausumoay, sebagai anak murid
Ko-bong-pay, betapapun aku tidak boleh mati di tangan orang luar, Nah, silakan
kau maju saja!" Sembari berkata ia terus menyodorkan gagang pedang ke
depan dan ujung pedang mengarah ke dadanya sendiri
Namun Siao-liong-li hanya menggeleng, kata-nya:
"Urusan sudah terlanjur begini, untuk apa kubunuh kau?"
"Li Bok-chiu," bentak Sam-thong mendadak
"Sekarang ingin kutanya kau, jenazah Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun telah
kau bawa ke mana?"
Mendengar nama Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun tiba2 di
sebut, tubuh Li Bok-chiu menjadi gemetar, mukanya ber kerut2, lalu menjawab:
"Sudah kubakar menjadi abu. Abu tulang yang seorang kutebarkan di puncak
Hoa-san, abu tulang yang Iain kubuang ke lautan timur, supaya mereka berdua
takkan menjelma kembali dan tak pernah berkumpul lagi."
Melihat cara mengucap Li Bok-chiu yang gregetan dan penuh
dendam itu, diam2 semua orang terkesiap dan gegetun.
Segera Bu-siang berkata: "Liong-cici adalah orang
baik dan tidak tega membunuh kau, tapi segenap keluargaku telah kaubunuh semua,
hanya tersisa aku saja seorang, hari ini aku harus menuntut balas, Piauci,
hayolah kita maju!"
"Kau membunuh ibuku, betapapun kami tak dapat
mengampuni kau," seru kedua saudara Bu.
"Orang yang tewas di bawah kebut dan jarumku tak
terhitung banyaknya, jika semuanya ingin menuntut balas padaku, darimana aku
mempunyai nyawa cadangan sebanyak itu? Bagaimanapun juga jiwaku cuma
satu," ujar Li Bok-chiu tak acuh.
"Jika begitu kemurahan bagimu," seru Bu-siang
dan Siu Bun berbareng dan segera menubruk maju dengan senjata masing2.
Mendadak Li Bok-chiu angkat pedangnya,
"pletak", tahu2 pedang itu bergetar patah, sambil tersenyum mengejek
Li Bok-chiu bersikap menghina dan berdiri diam tanpa melawan, ia tunggu
serangan kedua anak muda itu dan tamatlah riwayatnya.
Pada saat itulah mendadak di sebelah timur sana ada asap
tebal mengepul dan api berkobar dengan hebatnya.
"Hah, perkampungan sana terbakar!" seru Ui
Yong.
"Tunda dulu membunuhnya, selamatkan jenazah Susiok
lebih penting," kata Cu Cu-liu sambil melompat maju, sekaligus ia tutuk
tiga Hiat-to penting di tubuh Li Bok-chiu agar tidak dapat kabur lagi.
"Juga jenazah nona Kongsun," demikian Thia Eng
menambahkan.
Semua orang membenarkan dan be-ramai2 mereka lantas
berlari ke arah datangnya tadi. Kedua saudara Bu cilik menggiring Li Bok-chiu,
sedang Nyo Ko, Siao-Iiong-li, Ui Yong dan It-teng Taysu menyusul dari belakang
dengan pelahan.
Walaupun masih cukup jauh dari perkampungan kediaman
Kongsun Ci itu, hawa panas sudah menyerang dengan ganasnya, terdengar suara
jeritan dan teriakan ngeri disertai suara gemuruh ambruknya atap dan belandar
rumah.
"Keparat Kongsun Ci itu benar2 terlalu jahat, nona
Liong seharusnya membinasakan dia saja," ujar Bu Sam-thong.
"Api ini besar kemungkinan bukan dikobarkan oleh
Kongsun Ci kukira perbuatan nenek gundul Kiu-jian jio itu," kata Cu
Cu-liu.
"Kiu Jian-jio katamu?" Bu Sarn-thong melengong
bingung, "Untuk apa dia membakar kediaman sendiri yang sukar dibangun
ini?"
Sembari berlari ke depan Cu Cu-liu menjawab:
"Sebagian besar anak murid Kongsun Ci tidak tunduk padanya, sekalipun kita
membunuh Kongsun Ci juga nenek gundul itu takdapat berdiam aman tenteram di
sini, kulihat nenek itu berjiwa sempit dan..." tengah berkata sampailah
mereka di dekat semak2 bunga cinta yang rada jauh dari kobaran api itu.
Terlihat jenazah paderi Hindu itu masih menggeletak di
sana dengan wajah tersenyum simpul seperti orang hidup, agaknya sebelum ajalnya
paderi itu menemukan sesuatu yang membuatnya kegirangan.
"Tampaknya Susiok mendadak meninggal sehingga sama
sekali tidak menderita," ujar Bu Sam-thong.
Cu Cu-liu berpikir sejenak, lalu berkata, "Waktu itu
Susiok sedang mencari rumput yang dapat memunahkan racun bunga cinta."
Sementara itu Ui Yong dan It-teng Taysu juga sudah
menyusul tiba, demi mendengar ucapan Cu Cu-liu itu, Ui Yong lantas memeriksa
sekitar jenazah paderi Hindu itu, tapi tidak menemukan sesuatu yang aneh, ia
coba meraba baju paderi itu dan tetap tiada menemukan sesuatu benda.
"Apakah susiokmu tidak meninggalkan sesuatu
pesan?" tanyanya kepada Cu liu.
"Tidak," jawab Cu-Jiu, "Kami keluar dari
rumah omprongan itu dan tidak menyangka akan disergap musuh secara
mendadak."
Tiba2 Ui Yong melihat air muka paderi Hindu yang mengulum
senyum itu, pikirannya tergerak cepat ia memeriksa tangan paderi itu
Terlihat-lah kedua jari tangan kanannya memegangi setangkai kecil rumput warna
ungu, pelahan Ui Yong mementang jarinya dan rumput kecil itu diambil-nya, lalu
bertanya: "Rumput apakah ini?"
Cu-liu menggeleng karena tidak tahu, Ui Yong coba
mengendus rumput itu, terasa bau busuk dan memuakkan.
"Awas, Kwe-hujin, itulah Toan-jong-jau (rumput
perantas usus) dan mengandung racun hebat," cepat It-teng berseru.
Ui Yong melengak dan sangat kecewa oleh keterangan itu.
Dalam pada itu kedua saudara Bu juga sudah tiba
menggiring Li Bok-chiu, mendengar rumput beracun itu, Siu-bun lantas berkata
kepada Ui Yong: "Sunio (ibu guru), suruh iblis maha jahat ini makan rumput
itu saja."
"Ai, anak kecil jangan berpikiran buruk
begitu," ujar It-teng.
"Cosuyaya (kakek guru), terhadap manusia jahat
begini mengapa engkau juga kasihan padanya?" ujar Siu-bun.
Sementara itu pepohonan di sebelah sana juga sudah
terjilat api dan menerbitkan suara pletak pletok yang keras, hawa panas juga
semakin hebat, Cepat Ui Yong berkata: "Marilah kita mundur ke atas bukit
bukit di sebelah timur sana." Be-ramai2 mereka lantas lari ke lereng bukit
sana, terlihatlah bangunan yang ber-deret2 itu dalam waktu singkat telah musnah
ditelan lautan api.
Karena Hiat-to tertutuk, meski dapat berjalan, tapi ilmu
silat Li Bok-chiu tak dapat digunakan sama sekali, diam2 ia mengerahkan tenaga
dalam, maksudnya hendak melancarkan Hiat-to yang ter-tutuk itu dan dapat
meloloskan diri jika penjagaan agak lengah. Tak terduga begitu ia mengerahkan
tenaga, seketika dada dan perutnya kesakitan ke-ras, tak tahan lagi ia
menjerit.
Rupanya racun bunga cinta yang mengeram dalam tubuhnya
itu semula terbendung oleh tenaga murninya sehingga belum dapat bekerja, kini
tenaga murninya digunakan menembus Hiat-to yang tertutuk sehingga tenaganya
terpencar, racun lantas bekerja dengan ganasnya.
Dalam keadaan dada dan perut kesakitan hebat, dari jauh
dilihatnya Nyo Ko dan Siao-liong-li berjalan mendatangi, yang satu pemuda cakap
ganteng, yang lain nona cantik molek, pandangannya seketika menjadi kabur,
samar2 kedua muda-mudi yang dilihatnya se-akan2 Liok Tian-goan yang dirindukan
nya selama hidup ini beserta isterinya, yaitu Ho Wan-kun, tanpa terasa ia terus
berteriak:
"Tian goan, kejam benar kau! Dalam keadaan begini
kau tega benar menemui aku?"
Karena rangsangan cintanya itu, makin hebat racun bunga
yang menyiksanya itu hingga sekujur badan gemetar, kulit daging mukanya
ber-kerut2 kejang, Melihat sikapnya yang menakutkan seperti orang gila itu,
tanpa terasa semua orang melangkah mundur.
Selamanya Li Bok-chiu berwatak angkuh dan tak pernah mau
tunduk kepada orang lain, sekarang hatinya pedih dan tubuhnya menderita, saking
tak tahan ia ber-teriak2: "Aduh, sakiti Tolong! Lekas tolong!"
"Sebenarnya Susiokku dapat menolong kau, namun kau
telah membunuhnya." kata Cu Cu-liu sambil menunjuk jenazah paderi Hindu.
Sambil mengertak gigi Li Bok-chiu menjawab: "Benar,
memang akulah yang membinasakan dia, Setiap manusia di dunia ini, baik atau
buruk pasti akan kubunuh, Aku akan mati, ya, aku akan mati! Untuk apa kalian
hidup? Aku ingin mati bersama kalian."
Saking tak tahan sakitnya, mendadak ia menubruk ke ujung
pedang yang dipegang Bu Tun-si.
Setiap hari Bu Tun-si berusaha menuntut balas dan ingin
membunuh musuh besar ini, tapi sekarang mendadak musuh menubruk ke ujung
pedang-nya, ia menjadi terkejut malah dan tanpa terasa ia menarik kembali
pedangnya Karena itu Li Bok~chiu telah menubruk tempat kosong, ia tergelincir
ke bawah bukit terus terguling ke tengah lautan api.
Semua orang sama menjerit kaget, dari atas mereka dapat
melihat sekejap saja Li Bok-chiu telah terbungkus oleh kobaran api, namun dia
justeru merangkak bangun dan berdiri tegak tanpa bergerak lagi dan sama sekali
tidak menghiraukan tubuhnya yang terbakar itu.
Teringat hubungan saudara seperguruan Siao-liong-li
merasa tidak tega, ia berseru : "Suci, lekas lari keluar, lekas!"
Namun Li Bok-chiu tetap berdiri tegak di tengah api yang
ber-kobar2 itu, dalam waktu singkat tubuhnya berubah menjadi sepotong tunggak
hitam dan akhirnya roboh. Siao-Iiong-Ii memegangi lengan Nyo Ko sambil menutupi
mukanya seru meneteskan air mata.
Melihat nasib Li Bok-chiu yang berakhir secara
mengenaskan ini, biarpun Thia Eng dan Liok Bu-siaog tidak pernah melupakan
sakit hati terbunuhnya ayah-bunda mereka serta segenap anggota keluarga,
sekarang dendam itu sudah terbalas, namun sedikitpun mereka tidak bergembira
menyaksikan kematian Li Bok-chiu itu.
Ui Yong memondong Kwe Yang, teringat kepada kejahatan
yang pernah diperbuat Li Bok-chiu itu, ternyata iblis itu juga pernah berbuat
suatu kebaikan, yakni merawat Kwe Yang cilik selama beberapa hari. Ui Yong
lantas pegang kedua tangan Kwe Yang dan memberi hormat ke arah api sebagai
tanda terima kasih kepada Li Bok-chiu.
Semula Nyo Ko bermaksud menyelamatkan juga jenazah
Kongsun Lik-oh, tapi api kelihatan berkobar dengan hebatnya, segenap bangunan
sudah tenggelam di tengah lautan api sehingga tak berdaya lagi, diam2 Nyo Ko
merasa sedih, ia menghela napas panjang sambil memandang kobaran api dengan
kesima.
Pada saat itulah se-konyong- di atas gunung sebelah
timur-laut sana ada suara tertawa melengking aneh laksana bunyi burung hantu,
suaranya menusuk telinga walaupun berkumandang dari jarak yang cukup jauh,
dapat dibayangkan tenaga dalam orang sesungguhnya sangat hebat.
"ltulah suara Kiu Jian-jio!" kata Nyo Ko.
"Mengapa dia bisa berada di puncak gunung sana?"
Tergerak hati Siao-liong-li, katanya: "Coba kita ke
sana untuk menanyai dia apakah masih menyimpan Coat-ceng-tan.
"Liong-ji, masakah sampai sekarang kau masih
memikirkan hal ini?" ujar Nyo Ko dengan tersenyum getir.
Maksud kedatangan Ui Yong, Bu Sam-tkong, Thia Eng dan
lain2 ke Coat-ceng-kok ini memang untuk mencarikan obat bagi Nyo Ko, maka
mereka sama menyetujui usul Siao~liong-li itu, mereka pikir kalau dari Kiu
Jian-jio bisa dimintakan Coat-ceng-tan lagi pasti Nyo Ko akan dipaksa
meminumnya dan takkan membiarkan anak muda itu membuang obatnya lagi secara
sia2.
Karena pikiran mereka sama, berbareng mereka lantas
berseru: "Marilah kita pergi ke sana," - Segera Bu Sam-thong dan
kedua puteranya serta Yalu Ce dan Wanyan Peng lantas mendahului berlari ke
sana.
Nyo Ko menghela napas dan menggeleng kepala, pikirnya:
"Apa gunanya usaha kalian ini kecuali kalian dapat mencarikan obat mujijat
yang mampu menghidupkan jiwa kami suami-isteri sekagus,"
Sejak tadi Thia Eng hanya memandangi Nyo Ko dengan diam2
saja, kini mendadak berkata: "Nyo-toako, janganlah engkau mengecewakan
maksud baik orang banyak, Marilah kita juga pergi ke sana?"
Selama ini Thia Eng sangat baik pada Nyo Ko, dalam hati
anak muda inipun sangat berterima kasih, walaupun cintanya sudah dicurahkan
kepada Siao-liong-li seorang dan tidak mungkin bergeser lagi, tapi terhadap
nona yang berpribadi halus budi ini biasanya ia sangat menghormatnya.
Sejak kenal Nyo Ko juga Thia Eng tidak pernah memohon
sesuatu padanya, kini mendadak mengutarakan kata2 itu, betapapun Nyo Ko sukar
menolaknya, terpaksa ia mengangguk dan berkata:
"Baiklah, coba kita lihat nenek itu main gila
apalagi di puncak gunung sana,"
Begitulah be-ramai2 mereka lantas berlari ke atas gunung
menurut arah datangnya suara tertawa Kiu Jian-jio. Nyo Ko sudah pernah melihat
pepohonan di atas gunung ini, jelas inilah tempat yang pernah dilaluinya ketika
dia dan Kongsun Lik~ oh serta Kiu Jian-jio lolos dari gua di bawah tanah itu.
sekarang pemandangan alam masih tetap begitu, namun Kongsun Lik-oh sudah tidak
ada, dirinya sendiri juga tidak lama lagi tinggal di dunia fana ini, teringat
semua itu, ia menjadi terharu.
Kira2 beberapa ratus meter di bawah puncak gunung itu,
dapatlah rombongan mereka melihat jelas Kiu Jian-jio sendirian duduk di suatu
kursi dan sedang tertawa menengadah seperti orang gila.
"Dia tertawa sendirian di situ, mungkin otaknya
kurang waras," ujar Bu-siang.
"Kita jangan mendekati dia," kata Ui Yong
"Orang ini sangat kejam dan keji, kita harus waspada kalau2 dia mengatur
tipu muslihat untuk menjebak kita, Kukira dia tidak gila sungguhan."
Karena jeri terhadap senjata rahasia nenek gundul yang
lihay itu, mereka berhenti di kejauhan. Segera Ui Yong hendak bersuara menegur,
tapi tiba2 terlihat seorang muncul dari balik karang di depan sana, siapa lagi
dia kalau bukan Kongsun Ci.
Mendadak Kongsun Ci menanggalkan jubahnya terus diputar
dan dikebaskan hingga lurus dan mengencang, begitu indah dan kuat gerakannya,
sungguh lihay luar biasa.
Diam2 semua orang memuji kehebatan tenaga dalam Kongsun
Ci itu, Terdengar dia menyeringai dan membentak: "Hm, nenek jahat dan
keji, apimu sekaligus kau telah memusnahkan perkampunganku yang dibangun
leluhur kami, hari ini jiwamu tidak mungkin dapat lolos dari tanganku!"
Berbareng ia terus berlari ke arah Kiu-Jian-jio sambil memutar jubahnya.
"Serrr!" terdengar suara mendesir keras satu
kali, dari mulut K iu Jian-jio tersembur satu biji buah kurma ke arah Kongsun
Ci. Suara desiran itu berkumandang dari puncak gunung, jarak sambaran senjata
rahasia itupun cukup jauh, sebab itulah suaranya menjadi lebih nyaring dan
tajam.
Kelihatan Kongsun Ci mengebaskan jubahnya seketika pula
buah kurma itu kena dilibatnya, Tadinya Kongsun Ci tidak yakin jubahnya mampu
menahan senjata rahasia lihay itu, soalnya dia teramat murka, pula melihat Kiu
Jian-jio duduk sendirian di puncak gunung tanpa bala bantuan ia pikir itulah
kesempatan bagus untuk membinasakan bekas isterinya itu.
Sebab itulah dengan menyerempet bahaya ia terus menerjang
ke situ, apalagi setelah jelas senjata rahasia isterinya itu tak-dapat
melukainya, segera ia menerjang lebih cepat lagi ke depan.
Melihat Kongsun Ci sudah dekat, Kiu Jian-jio tampak
ketakutan dan ber teriak2: "Wah, celakai Tolong! Tolong!"
"Nenek itu hendak dibunuhnya, ibu," kata Kwe Hu
kepada Ui Yong.
Ui Yong merasa tidak paham, sebab jelas dilihatnya Kiu
Jian-jio itu waras dan segar bugar, mengapa sengaja bergelak tertawa dan
memancing kedatangan bekas sang suami itu?
Dalam pada itu Kiu Jian jio telah menyemprotkan dua biji
paku buah kurma lagi, karena jaraknya sudah dekat, daya samberan senjata
rahasia itu jadi lebih keras, Cepat Kongsun Ci putar jubahnya untuk menghalau.
Tapi mendadak ia menjerit satu kali, tubuhnya terus
menghilang kejeblos ke bawah tanah dan Kiu Jian jio lantas bergelak tertawa
pula.
Tapi suara tertawanya cuma terdengar "haha..."
dua kali saja, sekejap itu dari bawah tanah menyamber keluar kain panjang yang
melibat kaki kursi yang diduduki Kiu Jian-jio itu sehingga kursi dan orangnya
ikut terseret ke dalam tanah.
Suara tertawa Kiu Jian jio mendadak berubah menjadi
jeritan melengking tercampur teriakan ngeri Kongsun Ci berkumandang dari bawah
tanah. Suara itu berkumandang sampai lama untuk kemudian mendadak lenyap,
keadaan menjadi sunyi kembali.
Dari kejauhan semua orang dapat menyaksikan dan mendengar
kejadian itu dengan jelas, mereka saling pandang karena tidak paham sebab
musababnya, hanya Nyo Ko saja yang tahu jelas seluk-beluk kedua suami isteri
itu.
Segera mereka berlari ke atas puncak, tertampaklah empat
pelayan perempuan menggeletak tak bernyawa di situ, di samping ada sebuah
lubang besar, waktu mereka melongok ke bawah, keadaan gelap guita dan tidak
kelihatan apapun.
Kiranya Kiu Jian-jio yang pernah tersiksa cukup lama di
gua bawah tanah itu kadung teramat sakit hati dan benci kepada Kongsun Ci,
lebih dulu ia bakar habis perkampungannya keluarga Kongsun yang bersejarah
be-ratus2 tahun itu, kemudian ia menyuruh empat pelayan menggotongnya ke puncak
gunung. Melalui lubang gua di puncak inilah tempo hari waktu dia diselamatkan
dari gua bawah tanah oleh Nyo Ko dan Kongsun Lik-oh.
Ia memerintahkan pelayan2 itu mengumpulkan ranting2 kayu,
rumput kering dan sebagainya untuk menutupi lubang gua, lalu pelayan2 itu
dibinasakannya. Kemudian ia sengaja bergelak tertawa untuk memancing kedatangan
Konsun Ci. ia menyemprotkan paku buah kurma serta menjerit minta tolong, semua
ini cuma pura2 saja agar Kongsun Ci tidak curiga.
Kongsun Ci tidak tahu bahwa di puncak gunung terpencil
ini ada lubang gua sedalam itu, tanpa pikir ia menerjang ke arah Kiu jian-jio
dan akhirnya kejeblos, Tapi pada detik terakhir itu ia masih berusaha mencari
hidup, sekuatnya ia ayunkan jubahnya untuk membelit kaki kursi Kiu Jian-jio
agar dia dapat meloncat ke atas lagi, siapa tahu sekali tarik justeru kedua
orang sama2 terjerumus ke bawah malah.
Ber-puluh2 meter dalamnya lubang di bawah tanah itu,
keruan tubuh sepasang suami-isteri itu hancur lebur menjadi bakso dan saling
lengket tak terpisahkan lagi, Tak terkira semasa hidupnya pasangan yang saling
dendam dan benci itu akhirnya mati berbareng pada hari dan detik yang sama,
terkubur pada tempat dan liang yang sama pula.
Setelah Nyo Ko menceritakan seluk-beluk kehidupan Kongsun
Ci dan Kiu Jian-jio, semua orang sama menghela napas gegetun, Yalu Ce dan anak2
muda lain lantas menggali suatu liang untuk mengubur keempat pelayan itu,
Melihat api masih berkobar dengan hebatnya di lembah sana dan jelas tiada
tempat tinggal lagi di situ, apalagi setelah menyaksikan korban sebanyak ini,
semua orang sama berharap selekasnya dapat meninggalkan Coat~ ceng-kok itu,
"Penyakit adik Nyo Ko masih perlu disembuhkan kita
harus lekas mencarikan tabib sakti untuk mengobati dia," ujar Cu Cu-liu.
Semua orang membenarkan usul itu. Tapi Ui Yong telah
berkata: "Tidak, hari ini kita belum boleh berangkat."
"Apa Kwe hujin ada usul lain?" tanya Cu Cu-liu
.
Ui Yong mengerut kening, jawabnya. "Bahuku terluka
dan terasa kesakitan Kuharap malam ini kalian sudi tinggal lagi di sini, kita
berangkat besok saja."
Bahwa kesehatan Ui Yong terganggu dengan sendirinya semua
orang menurut untuk bermalam di situ. Be-ramai2 mereka lantas pergi mencari gua
dan tempat meneduh lain dan sebagainya.
Siao-liong-li dan Nyo Ko lantas hendak melangkah pergi,
Tiba- Ui Yong berseru: "Liong-moaymoay, coba kemari, ingin kubicarakan
sesuatu padamu." Lalu ia menyerahkan Kwe Yang kepada Kwe Hu dan mendekati
Siao-liong-li, katanya pula kepada Nyo Ko dengan tersenyum.
"Jangan kuatir, Ko- ji, dia sudah menikah dengan
kau, tak kan kuhasut dia minta cerai padamu."
Nyo Ko tersenyum, jawabnya: "Boleh saja kau coba
menghasutnya" Dalam hati ia sangat heran apakah yang hendak dibicarakan
sang bibi dengan Siao-liong-li. Terlihat mereka menuju ke sana lalu berduduk di
bawah sebatang pohon besar, Meski penuh rasa ingin tahu, namun tidak enak untuk
mendekati mereka. Segera terpikir pula olehnya: ""Apakah Liong-ji
pasti takkan merahasiakan pada-ku, sebentar juga dia akan memberitahukan apa
yang dikatakan bibi Kwe itu."
Setelah berduduk di bawah pohon sana, Ui Yong lantas
berkata: "Adik Liong, sungguh aku sangat menyesal puteriku yang ceroboh
dan sembrono itu telah banyak membikin susah kau dan Ko-ji."
"Ah, tidak apa2" ujar Siao-liong-li dengan
tersenyum. Tapi dalam hati ia pikir dengan sebuah jarum berbisa puterimu telah
mencelakai aku hingga tak bisa disembuhkan lagi, sekalipun kau menyesal seribu
kali juga tiada gunanya.
Ui Yong tambah melihat kemuraman Siao~liong-li, ia belum
lagi tahu bahwa sebuah jarum yang disambitkan Kwe Hu itu sesungguhnya telah
menamatkan riwayat Siao-liong-li. Disangkanya racun jarum itu tidaklah sukar
disembuhkan seperti dahulu Bu Sam-thong, Nyo Ko dan lain2 juga pernah terkena
jarum berbisa itu dan semuanya dapat di-sembuhkan, ia tidak tahu bahwa tatkala
mana Siao-liong-li sedang memutar balik jalan darahnya menurut ajaran Nyo Ko
sehingga keadaannya sama sekali berbeda ketika terkena jarum berbisa itu.
Tapi karena waktu itu Ui Yong sendiri tidak ikut masuk ke
kuburan kuno itu, maka ia tidak tahu duduknya perkara, segera ia berkata pula:
"Ada sesuatu yang ingin kumintakan penjelasanmu, Dengan susah payah adik
berhasil rebut Coat ceng-tan, tapi Ko-ji tidak mau meminumnya, bahkan dibuang
ke jurang, Apakah sebabnya dia berbuat begitu?"
Siao-liong-li menghela napas pelahan, ia tahu betapa
cintanya Nyo Ko padanya dan tidak mau hidup sendiri, tapi urusan sudah kadung
beg'ni, buat apa dibicarakan lagi sehingga menimbulkan gara2 pula? Maka ia
lantas menjawab: "Mungkin sifatnya memang aneh."
"Ko-ji adalah seorang yang berperasaan dan berbudi,
mungkin ia melihat nona Kongsun rela mengorbankan jiwa sendiri demi mendapatkan
obat itu, maka iapun tidak tega dan tidak ingin minum obat itu untuk membalas
kebaikan nona cantik itu, Adik Liong, jalan pikiran Ko-ji itu harus dipuji,
namun orang mati tak dapat hidup kembali, pendiriannya yang kepala batu itu
justeru malah berlawanan dengan tujuan pengorbanan nona Kongsun."
Siao-liong li mengangguk dan tidak mau menanggapi.
Lalu Ui Yong beikata pula: "Padahal dengan mati2an
adik Liong menempur Kongsun Ci di tebing curam itu kan juga tidak menghiraukan
mati~ hidupnya sendiri? Di dun'a ini Ko-ji hanya menurut pada perkataanmu,
kuharap engkau suka menasehati dia agar berpikir panjang."
"Seumpama dia mau menurut perkataanku di dunia ini
mana ada Coat-ceng-tan lagi?" ujar Siao-Hong-li dengan pilu.
"Meski Coat-ceng-tan tidak ada lagi, namun racun di
dalam tubuhnya bisa jadi dapat disembuhkan yang sulit adalah karena dia tidak
mau minum obat," kata Ui Yong.
Siao-liong-li terkejut girang, cepat ia berdiri dan
bertanya: "Setiap orang suka-memuji Kwe-hujin banyak tipu akalnya,
nyatanya memang tidak omong kosong, jadi engkau maksudkan ada. ada obat lain
yang dapat menyembuhkan Ko-ji?"
Ui Yong memegangi tangan Siao-liong-li, katanya:
"Duduklah,kau." . Lalu ia mengeluarkan setangkai kecil rumput warna
ungu dan berkata puIa: "lni namanya Toan-jong cau, Sebelum menghembuskan
napasnya, paderi Hindu itu memegangi rumput kecil ini, Dari Cu-susiok kudengar
waktu itu mereka sedang mencari obat penawar racun bunga cinta dan mendadak
disergap hingga binasa oleh jarum berbisa Li Bok-chiu. Bukankah engkau melihat
air muka paderi itu menguIum senyum meski orangnya sudah meninggalkan? Kuyakin
waktu itu beliau sedang bergirang karena berhasil menemukan rumput ini, Guruku
Ang Cit-kong juga pernah bercerita padaku, katanya di mana ular berbisa suka
berkeliaran di situ pula pasti ada tumbuh obatnya yang dapat memunahkan racun
ular, begitu pula dengan makhluk2 berbisa lainnya, itulah hukum alam, sedangkan
Toan-jong-cau ini kebetulan ditemukan di bawah semak2 bunga cinta, meski rumput
ini terkenal berbisa, namun setelah kurenungkan ber-ulang2, kuyakm dengan
rumput ini dapat digunakan sebagai obat racun menyerang racun, jadi rumput ini
adalah obat anti racun bunga cinta itu."
Uraian Ui Yong ini membuat Siao-liong-li manggut2
ber-ulang2.
Kemudian Ui Yong menyambung pula: "Sudah tentu minum
rumput berbisa ini harus menyerempet bahaya, tapi mau apa lagi? Toh tiada obat
lain yang dapat menolongnya, betapapun kita harus mencobanya, Menurut
pikiranku, besar kemungkinan khasiat rumput ini dapat menyembuhkan dia."
Siao-Iiong li tahu Ui Yong memang pintar dan banyak tipu
dayanya, jika dia berkata secara begitu meyakinkan, maka urusannya pasti tidak
salah, apalagi memang tiada jalan lain kecuali itu. Setelah membulatkan tekad,
lalu ia menjawab: "Baiklah, akan kuminta dia minum obat ini,"
Segera Ui Yong mengeluarkan lagi segenggam Toan jong-cau
dan diserahkan pada Siao-Iiong-li katanya: "Sepanjang jalan kupetik
sebanyak ini, kukira sudah cukup. Untuk permulaan boleh kau suruh dia makan
sedikit saja, suruh dia mengerahkan hawa murni untuk melindungi jantung, lihat
dulu bagaimana kerjanya rumput ini, kemudian barulah ditambah atau dikurangi
jumlah rumput yang harus dimakan."
Siao-liong-li simpan rumput itu dan menyembah kepada Ui
Yong, katanya dengan suara rada tersendat: "Kwe-hujin, selama hidup Ko-ji
kenyang duka derita, tindak-tanduknya memang rada kepala batu, tapi sudilah
engkau suka menjaganya dengan baik,"
Cepit Ui Yong membangunkan Siao-liong-li, katanya dengan
tertawa: "Kau yang menjaganya akan berpuluh kali lebih baik daripadaku
Kelak kalau kepungan musuh atas Siangyang sudah reda, biarlah kita berkunjung
ke Tho-hoa-to dan istirahat untuk beberapa lamanya di sana."
Betapapun pintarnya Ui Yong juga tidak menyangka bahwa
jiwa Siao liong li tinggal tidak lama lagi, ucapannya tentang menjaga Nyo Ko
benar2 permohonannya dengan setulus hati, waktu ia berpaling, dilihatnya Nyo Ko
berdiri jauh di sana sedang memandangi Siao-liong-li walaupun apa yang mereka
bicarakan sama sekali tak dapat didengarnya.
Sementara itu semua orang telah mengatur tempat bermalam
masing-2, ada yang menemukan gua, ada yang di bawah pohon.
Melihal Ui Yong sudah pergi setelah bicara, Nyo Ko lantas
mendekati Siao liong-li. Dengan tersenyum Siao-Iiong-li berdiri memapaknya dan
berkata: "Setelah kita menyaksikan kejadian mengenaskan tadi, hari kita
sendiri juga bersisa tidak banyak lagi, Ko ji, kini urusan orang lain sama
sekali takkan kita urus, Marilah kau mengawani aku ber-jalan2,"
"Benar, akupun berpikir demikian," jawab Nyo Ko
Kedua orang lantas bergandengan tangan dan berjalan
melintasi lereng sana Tidak lama kelihatanlah sepasang muda-mudi duduk
berdampingan di atas batu asyik bicara dengan pelahan, kiranya mereka adalah Bu
Tun-si dan Yalu Yan, Nyo Ko tersenyum saja dan mempercepat langkah melewati
kedua anak muda itu.
Belum lagi jauh, tiba2 di tengah semak2 pohon sana ada
suara ngikik tawa orang, Wanyan Peng kelihatan berlari keluar dan di
belakangnya mengejar seorang sambil berseru: "Hayo, hendak lari ke mana
kau?"
Kepergok oleh Nyo Ko dan Siao liong-Ii, air muka Wanyan
Peng menjadi merah dan menyapi: "Nyo-toako dan Liong-cici" Cepat pula
ia berlari masuk ke hutan sana, menyusul Bu Siu-bun lantas muncul dari semak2
pohon sana terus mengejar ke dalam hutan.
"O, dunia, apakah cinta itu" demikian Nyo Ko
berguman pelahan, Sejenak kemudian iapun berkata: "Belum lama berselang
kedua saudara Bu itu saling labrak mati2-an demi memperebutkan nona Kwe, tapi
hanya sekejap saja cinta kedua anak muda itu sudah berganti sasaran. Ada orang
yang selama hidupnya cuma mencintai seorang, tapi juga ada orang yang sukar
diketahui cintanya murni atau palsu, O, dunia, apakah cinta itu? pertanyaan ini
memang pantas dikemukakan."
Sejak tadi Siao-liong-li hanya menunduk termenung dan
tidak bersuara, Keduanya berjalan pelahan hingga di kaki gunung, Waktu
menengadah, sang surya di waktu senja sedang memancarkan sinarnya yang
cemerlang, salju di puncak gunung kemilauan oleh cahaya matahari menambah
keindahan alam yang sukar dilukiskan.
Teringat kepada hidup mereka yang bersisa tidak lama
lagi, kedua orang menjadi tambah kesemsem kepada pemandangan permai itu.
Siao-liong li ter-mangu2 sekian lama, tiba2 ia berkata:
"Ko~ji, konon orang mati akan menuju ke akhirat, apakah benar ada akhirat
dan rajanya?"
"Semoga begitu hendaknya, kalau tiada akhirat, ke
mana kita akan menuju dan tentu takkan berkumpul dan bertemu lagi," ujar
Nyo Ko.
Siao-liong-li sudah biasa mengekang perasaan sendiri, walaupun
sedih, namun nada ucapannya tetap tenang dan biasa saja, sebaliknya Nyo Ko
tidak tahan lagi, ia berpaling ke sana dan meneteskan air mata.
"Ah, soal akhirat masih tanda tanya, kalau bisa
terhindar dari mati, tentunya lebih baik tidak mati saja," kata
Siao-liong-li sambil menghela napas. "Eh, Ko-ji, lihatlah alangkah
indahnya bunga itu!"
Nyo Ko memandang ke arah yang ditunjuk, tertampak di tepi
jalan sana tumbuh setangkai bunga warna merah tua, kelopak bunganya lebar
sehingga hampir sebesar mangkuk, bentuknya seperti bunga mawar dan juga mirip
bunga peoni.
"Sungguh jarang ada bunga semacam ini, entah apa
namanya bunga yang mekar di musim dingin ini? Biarlah kuberi nama Liong-li-hoa
(bunga puteri Liong) saja," kata Nyo Ko sambil mendekati dan memetik bunga
itu serta menyuntingkan-nya di belakang telinga Siao-liong-li.
"Terima kasih, sudah kau hadiahi bunga bagus, diberi
nama bagus pula," kata Siao-liong li dengan tertawa.
Mereka melanjutkan perjalanan sejenak pula, kemudian
mereka berduduk di suatu tanah berumput.
"Apakah kau masih ingat pada waktu kau menyembah dan
mengangkat guru padaku dahulu?" tanya Siao-liong li tiba2.
"Tentu saja ingat," jawab Nyo Ko.
"Kau pernah bersumpah bahwa selama hidupmu kau akan
tunduk pada perkataanku, apapun yang kukatakan takkan kau bantah, sekarang aku
telah menjadi isterimu, menurut pendapatmu sepantasnya aku harus "setelah
menikah tunduk kepada suami" atau kau yang harus "tetap tunduk kepada
perintah guru"?"
"Ah, apapun yang kau katakan, itu pula yang kukerjakan,"
jawab Nyo Ko dengan tertawa "Perintah guru tak berani kubantah, perintah
isteri lebih2 tak berani kubangkang."
"Bagus, asal kau ingat saja," kata
Siao-liong-li.
Mereka duduk bersandar di tanah berumput itu, pemandangan
sekeliling indah permai sehingha rasanya berat untuk berpisah.. Dari jauh
mereka dengar suara Bu Sam-thong memanggil mereka ber-santap, Mereka saling
pandang dengan tersenyum dan sama2 berpendapat untuk apa bersantap dengan
meninggalkan pemandangan indah yang sukar dicari ini?
Sementara itu hari sudah mulai gelap, mereka sudah
teramat lelah sehari semalam, apalagi merekapun sama2 terluka, selang tak lama,
tanpa terasa mereka sama tertidur.
Sampai tengah malam, layap-layap Nyo Ko memanggil:
"Apakah kau kedinginan, Liong-ji!" - Bcrbareng ia hendak merangkul
nya, siapa tahu rangkulannya telah merangkul tempat kosong.
Keruan ia terkejut dan cepat membuka mata, ternyata
Siao-liong-li sudah menghilang entah ke mana. Segera ia melompat bangun, ia
memandang sekitarnya, bulan sabit menghias di angkasa menyinari bumi, suasana
sunyi senyap, mana ada bayangan Siao-liong-li?
Nyo Ko ber-lari2 ke atas gunung sambil berteriak2:
"Liong ji! Liong-ji!"" -seketika suaranya bergema, kata2
"Liong-ji" itu berkumandang dari lembah pegunungan, namun tetap tiada
jawaban Siao-liong~li.
"Ke mana perginya?" tidak kepalang cemasnya Nyo
Ko. ia tidak menguatirkan Siao~liong-li dicelakai binatang buas, sebab
diketahuinya di pegunungan ini tiada sesuatu binatang buas yang menakutkan,
andaikan ada juga takdapat mengganggu Siao-liong-li, Jika ketemu musuh tangguh,
mustahil dirinya tidak mengetahuinya mengingat mereka berdua tidur
berdampingan.
Karena teriakan Nyo Ko inilah, serentak It-teng Taysu, Ui
Yong, Cu Cu-liu dan lain2 terjaga bangun. Ketika mendengar Siao-liong li
menghilang entah ke mana, tentu saja semua orang merasa heran, be-ramai2 mereka
lantas ikut mencari di segenap pelosok lembah pegunungan itu, namun tetap tidak
ditemukan jejak.
"Tentu dia sengaja tinggal pergi sehingga aku sama
sekali tidak mengetahuinya," demikian pikir Nyo Ko, "Tapi mengapa dia
pergi begitu saja tanpa pamit? Hal ini pasti ada sangkut-pautnya dengan
pembicaraannya dengan bibi Kwe siang tadi, Ketika itu dia tampak sedih dan
mengajak aku ke sini, tentu juga disebabkan setelah berbicara dengan bibi
Kwe."
Karena pikiran ini, segera ia tanya Ui Yong dengan suara
keras: "Kwe-pekbo, apa yang kau bicarakan dengan Liong-ji siang
tadi?"
Ui Yong sendiri tidak habis mengerti mengapa mendadak
Siao-liong li menghilang, ia lihat urat hijau di dahi Nyo Ko sama menonjol,
cara bicaranya rada kasar, segera ia tahu gelagat tidak enak, cepat ia
menjawab: "Kuminta dia agar suka membujuk kau minum Toan-jong-cau itu agar
racun dalam tubuhmu bisa dipunahkan."
Tanpa pikir Nyo Ko berteriak pula: "Jika dia tak
dapat hidup larna lagi, untuk apa aku hidup sendirian di dunia ini?"
"Jangan kuatir, Ko ji," Ui Yong berusaha
menghibur "Seketika nona Liong entah pergi ke mana, tapi mengingat ilmu
silatnya yang maha tinggi kukira dia takkan beralangan apapun, masakah kau
bilang dia tak dapat hidup lama lagi?"
Saking cemasnya Nyo Ko takdapat menguasai perasaannya
Jagi, teriaknya gemas: "Puteri kesayanganmu telah menyarangkan jarum
berbisa di tubuhnya, ketika itu dia sedang mengatur jalan darah secara terbalik
untuk menyembuhkan lukanya, maka racun jarum itu telah terserot seluruhnya ke
jantungnya, dalam keadaan begitu mana dia dapat hidup lama lagi, dia kan bukan
dewa?"
Tentu saja Ui Yong tidak pernah menyangka akan kejadian
itu, Meski dia mendengar dari Kwe Hu bahwa Nyo Ko dan Siao-liong li telah
keliru dilukainya dengan jarum berbisa di kuburan kuno itu, tapi ia pikir Nyo
Ko berdua adalah ahli waris Ko-bong-pay, suatu aliran der:gan Li Bokchiu, tentu
mereka memiliki obat penawar perguruannya untuk menyembuhkannya, sekarang
mendengar ucapan Nyo Ko ini, seketika mukanya menjadi pucat terkejut.
Cepat sekali Ui Yong menggunakan otaknya, segera terpikir
olehnya: "Kiranya Ko-ji tidak mau minum Coat-ceng-tan itu adalah karena
jiwa isteri nya sudah pasti takkan tahan lama lagi, makanya dia tidak ingin
hidup sendiri. Lantas ke mana perginya nona Liong sekarang?" ia memandang
ke puncak gunung yang bergua dan telah menelan bulat2 Kiu Jian-jio dan Kongsun
Ci itu, tanpa terasa ia merinding sendiri.
Tanpa berkedip Nyo Ko memandangi Ui Yong, dengan
sendirinya iapun dapat meraba jalan pikiran nyonya cerdik yang gemetar
memandangi puncak gunung sana, seketika ia kuatir dan gusar, kata-nya:
"Sudah jelas jiwanya sukar dipertahankan lantas kau membujuk dia agar
membunuh diri untuk menyelamatkan jiwaku, begitu bukan? Mungkin kau mengira
tindakanmu ini ada baiknya bagiku, tapi aku... aku O, betapa benciku
padamu..."
Sampai di sini dadanya menjadi sesak, ia terus roboh
pingsan.
Cepat It-teng menurut gitok anak muda itu sejeuak,
pelahan2 Nyo Ko siuman kembali, Ui Yong lantas berkata: "Aku hanya
membujuk dia supaya menyelamatkan jiwamu dan sekali tidak meminta . dia bunuh
diri. Kalau kau tidak percaya ya terserah padamu!"
Semua, orang saling pandang dengan bingung,
Tiba2 Thia Eng berkata: "Lekas kita membuat tali
panjang dari kulit pohon, biar kuturun ke dalam gua sana untuk mencannya,
barangkali... barangkali Liong-cici tergelincir..."
"Ya, betapapun kita harus mencarinya hingga jelas
persoalannya," ujar Ui Yong.
Segera mereka bekerja keras mengupas kulit pohon untuk
dipintal menjadi tali besar, orang banyak tenaga kuat, tidak lama tali yang
ratusan meter panjangnya sudah jadi, Be-ramai2 para anak muda itu mengajukan
diri untuk menyelidiki gua di bawah tanah itu.
"Biarlah aku sendiri yang turun ke sana," kata
Nyo Ko.
Semua orang memandang Ui Yong untuk menunggu
keputusannya, Ui Yong tahu dirinya dicurigai Nyo Ko, kalau keinginan anak muda
itu dicegah pasti juga takkan digugu, sebaliknya kalau dibiarkan turun ke
bawah, mungkin Siao liong-li betul terjatuh dan meninggal di sana, maka
pastilah anak muda itu takkan mau naik lagi di sini.
Selagi Ui Yong ragu2, tiba2 Thia Eng berkata pula dengan
iklas: "Nyo-toako, aku saja yang turun ke sana. Dapatkah engkau
mempercayaiku?"
Selain Siao-liong-li, hanya Thia Eng saja yang paling
digugu oleh Nyo Ko. Apalagi ia sendiripun sedih dan bingung, kaki tangan terasa
lemas, terpaksa ia mengangguk setuju.
Segera Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain2 yang bertenaga
kuat memegangi tali panjang itu untuk menurunkan Thia Eng ke dalam gua bawah
tanah itu. Karena lubang gua di bawah tanah itu terletak dipuncak bukit, maka
dalamnya gua juga sama tingginya dengan puncak itu. Tali panjang itu terus di
ulur hingga tertinggal beberapa meter saja barulah Thia Eng mencapai tanah.
Be-ramai2 semua orang berdiri mengelilingi lubang gua itu
dan tiada seorangpun yang bicara.
Ui Yong hanya saling pandang dengan Cu Cu-liu, apa yang
mereka pikir adalah sama, yakni kalau Siao-liong-li benar2 meninggal di bawah
sana, pasti Nyo Ko akan terjun juga ke dalam gua, hal ini harus di cegah
sebisanya.
Begitulah dengan perasaan cemas dan gelisah semua orang
memandangi lubang gua itu dan menantikan berita yang akan dibawa oleh Thia Eng.
Sekian lama mereka menunggu dengan tidak sabar dan Thia
Eng masih belum nampak memberi tanda untuk naik kembali ke atas.
Tidak lama kemudian, tiba2 tali yang dipegang Bu
Sam-thong itu ber goyang2 beberapa kali, Kwe Hu dan lain2 lantas berteriak:
"Lekas kerek dia ke atas!"
Be-ramai2 mereka lantas menarik sekuatnya sehingga Thia
Eng dapat di kerek ke atas. Sebelum keluar dari lubang gua itu Thia Eng sudah
berteriak2 :"Tidak ada, tidak ada Liong-cici di bawah sana!"
Semua orang menjadi girang dan menghela napas lega,
sejenak kemudian Thia Eng menongol keluar dari lubang gua, lalu berkata pula:
"Nyo-toako, sudah kuperiksa dengan teliti, di bawah sana hanya ada mayat
Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio yang sudah hancur dan tiada terdapat benda
lain."
"Kita sudah mencari rata segenap pelosok dan tidak
menemukannya, kukira nona Liong saat ini pasti sudah meninggalkan lembah
ini," kata Cu Cu-liu setelah berpikir sejenak.
Tiba2 Bu-siang berseru: "He, masih ada suatu tempat
yang belum kita longok, bisa jadi Liong-cici sedang berusaha menemukan
Coat-ceng tan yang terbuang..."
Tidak sampai habis ucapan Bu-siang, hati Nyo Ko tergetar
dan segera ia berlari ke tebing curam kemarin itu, sembari berlari iapun
ber-teriak2: "Liong-ji! Liong ji!"
Setiba di tebing itu, tertampak kabut membungkus
permukaan jurang, awan mengapung di udara, kicau burung saja tak terdengar
apalagi bayangan manusia.
Nyo Ko pikir Siao-Iiong-li adalah orang yang berhati
polos dan lugu, apapun yang dia pikir pasti dikatakan padaku. Ketika berbaring
di tanah rumput itu dia hanya mengatakan agar aku ingat saja sumpahku akan
patuh pada perkataannya, Sudah tentu aku tidak pernah membantah kehendaknya,
mengapa perlu ditegaskan lagi? Namun dia kan tidak pernah memberi pesan apa2
padaku?"
Begitulah ia menengadah dan bergumam pelan.
"Liong ji, O, Liong-ji, ke manakah kau sesungguhnya?
sebenarnya kau ingin mematuhi perkataanku tentang apa?" - ia memandang ke
tebing di depan sana, samar2 tertampak bayangan nona berbaju putih dengan bunga
merah tersunting di sanggulnya, bayangannya yang mengambang itu seperti saling
bertempur melawan Kongsun Ci.
"Liong-ji!" Nyo Ko berteriak lagi, tapi setelah
diperhatikan lagi, mana ada bayangan Siao-liong-ii, hanya bunga salju belaka
yang bertebaran tertiup angin, tapi bunga merah yang dipetiknya kemarin itu
memang benar berada di bawah tebing sana.
Nyo Ko menjadi heran, padahal waktu Siao-liong-li
menempur Kongsun Ci di situ kemarin belum ada bunga merah itu. Tebing hanya
batu karang belaka tanpa tetumbuhan apapun, mengapa ada bunga di situ? Kalau
bunga itu jatuh ke situ tertiup angin, manabisa terjadi secara kebetulan
begitu?
Segera ia tarik napas panjang dan berlari ke tebing sana
melalui jembatan batu yang sempit itu. Sesudah dekat, seketika hatinya tergetar
hebat, jelas bunga itu adalah merah yang dipetiknya untuk Siao~liong-li itu,
kelopak bunga kelihatan sudah layu dan dapat dikenalnya dengan jelas waktu itu
ia sendiri memberi nama "Liong-li-hoa" untuk bunga merah ini. Kalau
bunga ini terjatuh di sini, maki Siao-liong-ii pasti juga pernah datang ke
sini.
Ia jemput bunga itu, dilihatnya dibawah bunga ada satu
bungkusan kertas, cepat ia membuka bungkusan itu, kiranya isinya adalah
setangkai rumput warna ungu, yaitu Toan-jong-cau yang tumbul di bawah semak2
bunga cinta itu.
Hati Nyo Ko ber-debar2 keras, ia coba meneliti kertas
pembungkus rumput itu, namun tiada sesuatu tulisan apa2.
"Nyo-toako!" terdengar Bu-siang memanggil di
seberang, "apa yang kau lakukan di sana?"
Waktu Nyo Ko menoleh, tiba2 terlihat di dinding tebing
terukir dua baris huruf dengan ujung pedang, huruf yang satu baris lebih besar
dan tertulis: "16 tahun lagi berjumpa pula di sini, cinta murni suami
isteri, jangan sekali2 ingkar janji"
Sedang baris huruf yang lebih kecil tertulis:
"Dengan sangat Siao-liong-li menyampaikan pesan ke pada suamiku Nyo Ko agar
menjaga diri baik2 dan harus berusaha berkumpul kembali"
Nyo Ko memandangi dua baris tulisan itu dengan
ter-mangu2, seketika ia tidak paham apa maksud Siao-liong li. Pikirnya:
"Dia berjanji padaku untuk berjumpa pula di sini 16 tahun kemudian, lalu
ke mana perginya sekarang? Dia mengidap racun jahat dan sukar disembuhkan
mungkin sepuluh hari atau setengah bulan saja tak tahan, mana bisa dia
mengadakan janji bertemu 16 tahun lagi? sudah jelas dia mengetahui
Coat-ceng-tan yang dapat menyelamatkan jiwaku telah kubuang ke jurang, manabisa
pula dia menunggu aku sampai 16 tahun lamanya?"
Begitulah makin dipikir makin ruwet sehingga tubuhnya
menjadi sempoyongan. Melihat keadaan Nyo Ko yang linglung itu, semua orang
menjadi kuatir kalau anak muda itu tergelincir ke dalam jurang, Tapi untuk
menyeberang ke sana dan membujuknya juga sulit karena jembatan itu sangat
sempit, kalau mendadak dia menjadi kalap, ilmu silatnya sedemikian tinggi pula,
lalu siapa yang mampu mengatasinya dan pasti akan ikut kejeblos ke jurang.
Ui Yong mengerut kening, katanya kemudian kepada Thia
Eng: "Sumoay, tampaknya dia masih mau menurut perkataanmu."
"Baiklah, coba kupergi ke sana," jawab Thia Eng
dan segera melompat ke atas jembatan batu dan melangkah ke sana.
Mendengar suara tindakan orang dari belakang, segera Nyo
Ko membentak: "Siapapun tak boleh ke sini!" Cepat iapun membalik
tubuh dengan mata mendelik.
"Akulah, Nyo-toako!" seru Tbia Eng dengan suara
lembut "Aku ingin membantu kau mencari Liong-cici dan tiada maksud
lain."
Sejenak Nyo Ko mengawasi Thia Eng dengan termenung,
kemudian sorot matanya mulai berubah halus.
Thia Eng melangkah maju dan bertanya: "Apakah bunga
merah ini tinggalan Liong-cici?"
"Ya," Nyo Ko menjawab. "Mengapa harus 16
tahun? Mengapa?"
Sudah tentu Thia Eng tidak paham apa yang dikatakan Nyo
Ko itu, setelah berada di seberang-dapatlah ia membaca tulisan yang terukir di
dinding tebing itu, iapun merasa heran. Katanya kemudian: "Kwe-hujin
banyak tipu dayanya, caranya memecahkan persoalan juga sangat jitu, marilah
kita kembali ke sana dan tanya beliau, tentu akan mendapatkan keterangan yang
memuaskan,"
"Benar," ujar Nyo Ko. "Awas, jembatan itu
sangat licin, kau harus hati2!" Segera ia mendahului melompat ke seberang
sana serta menceritakan kedua baris tulisan itu kepada Ui Yong,
Uhtuk sekian lamanya Ui Yong merenungkan arti tulisan
itu, tiba2 matanya bercahaya dan ber-keplok tangan, katanya dengan tertawa:
"Wah, selamat, Ko-ji, selamat!"
Kejut dan girang Nyo Ko, cepat ia bertanya:
"Maksudmu maksudmu itu berita baik?"
"Ya, tentu saja," jawab Ui Yong, "Rupanya
adik Liong telah bertemu dengan Lam-hay Sin-ni (Rahib sakti dari lautan
selatan), sungguh penemuan yang sukar di cari."
"Lam-hay Sin-ni?" Nyo Ko mengulang nama ini
dengan bingung, "Siapakah dia?"
"Lam-hay Sin-ni adalah nabi besar agama Buddha jaman
kini," tutur Ui Yong, "Agama beliau sukar dijajaki, tingkatannya
bahkan jauh lebih tinggi daripada It-teng Taysu ini. Lantaran dia jarang ke
Tionggoan sini, maka tokoh dunia persilatan jarang yang kenal namanya, Dahulu
ayahku pernah bertemu satu kali dengan beliau dan beruntung mendapat ajaran
sejurus ilmu pukulan dari beliau. Yah 16, 32. 48, ya benar, kejadian itu sudah
48 tahun yang lalu."
Nyo Ko merasa sangsi "48 tahun yang lalu? "ia
menegas.
"Benar," jawab Ui Yong, "Usia Sin-ni itu
mungkin kini sudah dekat seabad, Menurut cerita ayahku, tiap 16 tahun sekali ia
datang ke Tionggoan ini. Celakalah orang jahat yang kepergok olehnya, Tapi
beruntunglah orang baik yang berjumpa dengan beliau, Nona cantik seperti adik
Liong itu pasti sangat disukai oleh Sin-ni dan bisa jadi telah menerimanya
sebagai murid dan dibawa ke Lamhay."
"Setiap 16 th. satu kali?" Nyo Ko menggumam,
tiba2 ia berpaling kepada It-teng Taysu dan berta-nya: "Apakah betul
begitu, Taysu?"
Belum lagi It-teng menjavvab, cepat Ui Yong menimbrung:
"Meski agamanya tinggi, tapi tabiat Sin-ni ini rada aneh. Apakah Taysu
juga pernah bertemu dengan beliau?"
"O, sayang, belum pernah kulihat dia," jawab
It-teng singkat.
"Benar2 orang tua yang agak kurang bijaksana,"
kata Ui Youg pula. "Masakah orang muda yang baru bersuami isteri
diharuskan berpisah 16 tahun lamanya, bukankah terlalu kejam? Padahal ilmu
silat adik Liong sudah begitu tinggi, kalau belajar lagi 16 tahun, memangnya
supaya dia dapat mengatasi dan menundukkan sang suami? Hahaha!"
"Ah kukira bukan begitu, Kwe-pekbo," kata Nyo
Ko.
"Bagaimana?" tanya Ui Yong,
Nyo Ko lantas mengulangi bercerita tentang Siao-liong-li
yang sedang mengadakan penyembuhan luka dalam sendiri dan mendadak terkena jarum
berbisa yang disambitkan Kwe Hu sehingga racun terseret ke jantung, akhirnya ia
berkata: "Jika benar Liong-ji mendapatkan perhatian Sin-ni, maka dalam 16
tahun ini Sin-ni pasti akan menggunakan kesaktiannya untuk menguras racun yang
berkumpul dalam tubuh Liong-ji. Tadinya kukira... ku kira dia pasti takdapat
disembuhkan lagi."
"Tentang secara semberono anak Hu mencelakai adik
Liong juga baru kudengar dari adik Liong semalam," tutur Ui Yong.
"Ko-ji, apa yang kau duga barusan ini memang masuk diakal. Kukira untuk
menyembuhkan adik Liong memang sukar dilakukan dalam waktu singkat biarpun
Sin-ni memiliki obat mujarab. Maka kita berharap saja semoga Sin-ni tiba2
menaruh belas kasihan dan dapat mengirim kembali adik Liong padamu sebelum
waktu yang ditentukan."
Selamanya Nyo Ko belum penuh mendengar tokoh sakti
bernama "Lam hay Sin-ni" segala, hatinya menjadi ragu2, hendak tidak
percaya, namun bunga ditemukannya dan tulisan juga terukir jelas, semua itu
adalah bukti nyata yang tak dapat di-bantah, jika Siao-liong-li mengalami
sesuatu, mengapa dia menjanjikan pertemuan 16 tahun kelak?
Setelah berpikir sejenak, tiba2 ia tanya Ui Yong:
"Kwe-pekbo, darimana engkau mengetahui Liong-ji dibawa pergi Lam-hay
Sin-ni? Sebab apa pula dia tidak menuliskan kejadian yang sebenarnya agar aku
tidak berkuatir baginya?"
"KesimpuIanku ini kutarik dari kalimat "16
tahun lagi" itu," tutur Ui Yong, "Kutahu setiap 16 tahun sekali
Lam-hay Sin-ni pasti datang ke Tionggoan sini, kecuali dia rasanya tiada orang
kosen lain yang mempunyai kebiasaan aneh begitu. It-teng Taysu, apakah engkau
teringat ada oran kosen lain pula?"
It-teng menggeleng dan menyatakan tidak ada. Maka Ui Yong
berkata pula: "Malahan Nikoh sakti itupun sungkan namanya di-sebut2 orang,
dengan sendirinya dia tidak mengizinkan adik Liong menulis namanya di atas
batu, Cuma sayang Toan-jong-cau ini entah dapat menawarkan racun dalam tubuh
atau tidak, jika, . . .jika tidak, ai, 16 tahun kemudian adik Liong akan pulang
dan bila tidak dapat bertemu lagi dengan kau, mungkin iapun tidak ingin hidup
lagi."
Air mata Nyo Ko ber-linang2 di kelopak matanya sehingga
pandangannya menjadi samar2. lapat2 seperti dilihatnya ada bayangan putih di
seberang sana, se-akan2 16 tahun sudah lalu dan Siao liong li sedang mencarinya
di situ, tapi tidak bertemu sehingga sangat kecewa dan berduka.
Angin dingin meniup membuat Nyo Ko ter-gigil, segera ia
berkata dengan tegas: "Kwe-pekbo, biarlah kupergi ke Lam-hay untuk mencari
Liong-ji, entah Sin-ni berdiam di mana?"
"Ko ji," jawab Ui Yong, "janganlah kau
berpikir begitu, Tay ti-to yang menjadi pulau kediaman Lam-hay Sin-ni itu mana
boleh diinjak orang luar. Bahkan setiap lelaki yang berani mendekati pulau itu
akibatnya pasti akan binasa. Dahulu ayahku telah mendapat anugerah beliau, tapi
ayah juga belum pernah berkunjung ke sana. Kalau adik Liong sudah diterima oleh
Sin-ni, janji bertemu 16 tahun kelak dengan cepat akan lalu, mengapa engkau
mesti ter-gesa2 mencarinya?"
Dengan mata membelalak Nyo Ko menatap tajam Ui Yong dan
menegas: "Ucapan Kwe- pekbo ini sesungguhnya betul atau tidak?"
"Terserah kau mau percaya atau tidak," jawab Ui
Yong. "Boleh coba kau memeriksa lagi ukiran tulisan di dinding sana, kalau
bukan tulisan tangan adik Liong, maka apa yang kukatakan mungkin juga tidak
betul."
"Gaya tulisan itu memang betul tulisan tangan
Liong-ji," ujar Nyo Ko. "Setiap kali menulis huruf Nyo, pada titik
kanan itu selalu dia tarik agak panjang, hal ini tidak mungkin dipalsukan
orang."
"Bagus jika begitu," seru Ui Yong sambil
keplok, "Terus terang kukatakan, aku sendiripun merasa kejadian ini
teramat kebetulan dan semula akupun mencurigai Cu-toako yang sengaja mengatur
sandiwara ini untuk mengelabuhi kau."
Nyo Ko termenung sejenak, katanya kemudian: "Baiklah
aku akan coba2 minum Toan-jong-cau jni, jika tidak berhasil, 16 tahun yang akan
datang tolong Kwe-pekbo memberitahukan kejadian ini kepada isteriku yang
bernasib buruk itu." Lalu ia berpaling dan tanya Cu Cu-liu:
"Cu-toasiok, bagaimana caranya minum obat rnmput ini?"
Cu Cu liu sendiri hanya tahu Toan-jong-cau itu mengandung
racun yang keras, bagaimana caranya menggunakan racunnya untuk mengobati racun
belum pernah di dengannya. Terpaksa ia bertanya kepada lt teng: "Suhu,
soal ini harus minta petunjuk engkau."
It-teng Taysu segera menggunakan It-yang-ci dan menutuk
empat Hiat-to di bagian2 yang menyangkut ulu hati, serentak Nyo Ko merasakan
hawa hangat menyalur ke dada, rasa sesak tadi lantas longgar.
"Karena racun bunga cinta ini berhubungan dengan
hati dan perasaan, maka waktu Toan-jong-cau menawarkan racunnya pasti juga akan
menyerang bagian hati, sebab itulah kututuk empat Hiat-to untuk melindungi urat
nadi jantung hati, sekarang kau boleh coba minum satu tangkai dulu rumput
rantas usus itu," demikian kata It-teng.
Nyo Ko lantas mengucapkan terima kasih. Waktu dia
mendengar paderi Hindu itu dibinasakan Li Bok-chiu, ia merasa putus harapanlah
usaha menyembuhkan Siao liong-li, maka ia sendiripun bertekad akan mati saja
bersama sang isteri sekarang dia dijanjikan bertemu lagi 16 tahun kemudian, segera
hasrat ingin hidupnya berkobar kembali cepat ia mengeluarkan setangkai
Toan~jong-cau atau rumput rantas usus itu terus dikunyahnya, ia merasa pahitnya
luar biasa melebihi bratawali.
Tapi baik airnya maupun ampasnya Nyo Ko telan mentah2.
Kalau sebelum ini dia tidak ingin hidup sendirian tanpa Siao-Iiong-li, sekarang
dia justeru kuatir akan mati lebih dulu sehingga 16 tahun kemudian
Siao-liong-li takdapat menemukan dia di puncak gunung ini.
Ia lantas duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam
untuk melindungi urat nadi jantung hati, selang tak lama, mendadak perutnya
mulas, menyusul itu lantas kesakitan seperti di-iris2 dan laksana dicocok
be-ribu2 jarum sekaligus, Tapi ia bertahan sekuatnya tanpa merintih sedikitpun
selang tak lama rasa sakit itu hampir merata di seluruh badan, ruas tulang
seakan2 terlepas semuanya.
Rasa sakit itu berlangsung hingga lama, kemudian mulai
berkurang dan cuma bagian perut saja yang masih mulas, mendadak ia menumpahkan
darah warna merah segar seperti darah orang sehat.
Thia Eng dan Bu-siang sama menjerit kaget melihat anak
muda itu tumpah darah. Tapi It-teng tampak bergirang malah dan menggumam
pelahan: Wah Sute, meski sudah wafat engkau tetap meninggalkan pahala."
Serentak Nyo Ko melompat bangun dan berseru: "Jiwaku
ini adalah pertolongan paderi Thian -tiok, It teng Taysu dan Kwe-pekbo
bertiga."
"He, apakah kadar racun dalam tubuhmu sudah punah
seluruhnya?" tanya Bu-siang dengan girang.
"Mana bisa begitu cepat?" ujar Nyo Ko.
"Cuma sekarang sudah jelas kemanjuran obat ini, asalkan setiap hari minum
satu tangkai tentu kadar racun akan semakin berkurang pula setiap hari."
"Tapi kalau tak dapat diketahui kapan berhasilnya
racun dalam tubuhnya, jika engkau masih terus makan rumput rantas usus itu,
jangan2 isi perutmu nanti ikut hancur semua?" kata Bu-siang.
"Hal ini tentu dapat kurasakan sendiri," kata
Nyo Ko. "Jika kadar racun belum bersih, bila timbul... timbul rasa
cintaku, segera dadaku akan kesakitan."
"Semoga engkau jangan banyak pikir dulu," ujar
Bu-siang.
Sejak tadi Kwe Hu hanya mendengarkan saja, mendadak ia
menimbrung: "Hm, yang dipikirkan Nyo-toako tentulah Liong-cici, masakah
dia memikirkan dirimu?"
Cepat Ui Yong membentaknya: "Kau mengoceh apa, anak
Hu!"
Muka Bu-siang menjadi merah. Malahan Kwe Hu terus menambahkan
lagi: "16 tahun lagi Liong-cici pasti akan pulang, sebaiknya kau jangan
sembarang mimpi."
Bu-siang tidak tahan lagi, "sret", mendadak ia
melolos goloknya terus membentak sambil menuding Kwe Hu: "Jika bukan
gara2mu, masakah Nyo-toaku sampai terpisah selama 16 tahun dengan Liong-cici?
Coba renungkan, betapa hebat kau membikin susah Nyo-toako?"
Segera Kwe Hu hendak membantah, tapi Ui Yong lantas
membentaknya: "Hu-ji, jika kau bersikap kurang adat lagi kepada orang,
lekas kau pulang saja ke Tho-hoa-to dan sekali2 jangan kembali ke
Siangyang."
Kwe Hu tidak berani bersuara lagi, ia hanya mendelik
belaka kepada Liok Bu-siang.
Nyo Ko menghela napas panjang, katanya kepada Bu-siang:
"Kejadian itu memang juga sangat kebetulan dan nona Kwe sendiri juga tidak
sengaja hendak mencelakai Liong-ji. Maka urusan ini selanjutnya tidak usah
diungkat lagi, adik Liok."
Mendengar dirinya dipanggil "adik", sebaliknya
anak muda itu menyebut Kwe Hu sebagai "nona," jelas sekali bedanya
antara orang sendiri dan orang luar. Hati Bu-siang menjadi girang, segera ia
masukkan golok ke sarungnya sambil mencibir pada Kwe Hu.
"Nyo-sicu telah makan Toan-jong-cau tanpa terganggu
apapun, tampaknya rumput ini memang mujarab untuk menawarkan racun bunga cinta
ini." kata It~teng kemudian, "Cuma sebaiknya jangan diminum terus
menerus, bolehlah tujuh hari kemudian baru minum untuk kedua kalinya."
Nyo Ko memberi hormat dan menerima saran itu.
Melihat hari sudah terang benderang, Ui Yong lantas
berkata: "Sudah cukup Iama kita meninggalkan Siangyang, entah bagaimana
situasi di sana, aku menjadi sangat kuatir dan sebentar juga akan berangkat
pulang, Ko-ji kaupun ikut pulang saja ke sana, paman Kwe tentu sangat kangen
padamu."
"Aku tinggal di sini saja untuk menunggu... menunggu
dia," jawab Nyo Ko.
"He, kau hendak menunggu dia selama 16 ta-hun di
sini?" tanya Kwe Hu heran.
"Entahlah," jawab Nyo Ko. "Rasanya akupun
tidak tahu harus pergi ke mana?"
"Baiklah, boleh juga kau menunggu dulu sepuluh hari
atau setengah bulan lagi di sini," ujar Ui Yong, "Andaikata adik
Liong benar2 tiada kabar beritanya, hendaklah segera kau datang ke Siangyang
saja."
Nyo Ko memandang tebing curam di seberang sana dengan
ter-mangu2 tanpa menjawabnya lagi, Semua orang lantas mohon diri kepada Nyo Ko
untuk berangkat Melihat Liok Bu-siang tiada tanda2 mau ikut pergi, Kwe Hu tidak
tahan dan bertanya: "He, Liok Bu-siang, apakah kau hendak tinggal di sini
menemani Nyo-toako?"
"Peduli apa dengan kau?" semprot Bu-siang
dengan muka merah.
Tiba2 Thia Eng berkata: "Nyo-toako belum sehat,
biarlah aku dan Piaumoay merawatnya beberapa hari lagi di sini."
Ui Yong tahu Sumoay cilik ini wataknya lembut di luar dan
keras di dalam, jika puterinya sampai membikin sakit hati dia, kelak pasti akan
banyak mendatangkan kesukaran, Maka cepat ia melototi Kwe Hu agar jangan banyak
bicara lagi. Lalu berkata:" Ko-ji mendapatkan perawatan Sumoay, tentu
takkan beralangan apapun, Nanti kalau sudah sembuh hendaklah kalian bertiga
datang ke Siangyang."
Begitulah Nyo Ko, Thia Eng dan Liok Bu-siang memandangi
kepergian It-teng Taysu, Ui Yong dan rombongannya hingga makin jauh dan
akhirnya menghilang di balik pepohonan sana.
Api yang berkobar semalaman kini sudah mulai padam, Nyo
Ko lantas berkata: "Kedua adik, ada suatu pikiranku yang kurang pantas,
jika kukatakan hendaklah kalian jangan marah."
"Katakan saja, siapa akan marah padamu?" ujar
Bu-siang.
"Sejak berkenalan, rasanya kita bertiga sangat cocok
satu sama lain," tutur Nyo Ko, "Aku sendiri tidak mempunyai saudara,
maka kuingin mengikat persaudaraan angkat dengan kalian berdua, selanjutnya
kita benar2 menjadi kakak beradik seperti saudara sekandung Entah bagaimana
pendapat kalian dengan usulku ini?"
Pilu rasa hati Thia Eng, ia tahu cinta Nyo Ko kepada
Siao-liong-li tidak pernah buyar, lantaran ada janji bertemu 16 tahun lagi,
maka dia mengajak mengangkat saudara agar hubungan mereka tidak menjadi kikuk.
Kelihatan Bu-siang menunduk dengan mengembeng air mata, cepat ia berkata:
"Jika begitu kehendak Toako, tentu saja kami setuju, Mempunyai Toako
sebaik engkau, apalagi yang kami harapkan?"
Bu-siang lantas membubut tiga tangkai rumput dan
ditancapkan di tanah serta berkata: "Di sini tidak ada Hiosoa (dupa
sembayang), biarlah kita menggunakan rumput sebagai gantioya." ia berkata
dengan tersenyum, tapi kemudian suaranya menjadi ter sendat2 dan sebelum Nyo Ko
menjawab ia sudah mendahului berlutut dan memberi hormat.
Cepat Nyo Ko dan Thia Eng ikut berlutut dan saling
memberi hormat delapan kali sebagai tanda pengikatan kakak beradik secara
resmi.
Kata Nyo Ko kemudian: "Jimoay dan Sammoay, barang
yang paling jahat di dunia ini kukira tak lebih dari pada pohon bunga cinta
ini. Bagaimana kalau kita membabatnya hingga akarnya supaya hancur dan lenyap
seluruhnya?"
Tanpa pikir Thia Eng dan Bu-siang menyatakan setuju.
Be-ramai2 mereka lantas mencari cangkul dan sekop di perkampungan yang sudah
menjadi tumpukan puing, dengan bersemangat mereka terus membabati dan
mendongkel setiap pohon bunga cinta yang mereka lihat.
Karena tumbuhan bunga itu cukup banyak, pula berduri,
mereka harus hati2 bekerja, setelah sibuk enam hari barulah tumbuhan berbisa
itu dibasmi habis. Sejak itu tumbuhan aneh yang membikin celaka manusia itupun
tak pernah bersemi pula dan lenyap dari permukaan bumi ini.
Besoknya pagi2 Bu-siang sudah memberi setangkai rumput
rantas usus kepada Nyo Ko dan ber-kata: "Toako, hari ini kau harus minum
lagi rumput berbisa ini."
Karena sudah berpengalaman tujuh hari yang lalu, Nyo Ko
tahu rumput rantas usus itu berbisa, tapi dirinya mampu bertahan, maka begitu
dia minum sebatang rumput itu segera ia mengerahkan tenaga dalam. Karena
sekarang kadar racun dalam tubuhnya sudah berkurang, rasa sakitnya juga ti -dak
sehebat tempo hari lagi. Selang agak lama, ia muntahkan darah segar puIa, lalu
hilanglah rasa sakitnya.
Nyo Ko berdiri coba melemaskan kaki dan tangannya,
dilihatnya Thia Eng dan Bu-siang ikut bergirang bagi kemajuan penyakitnya itu.
Pikirnya: "Kedua adik angkat ini sungguh baik sekali pada-ku, cuma sayang
aku tidak dapat membalas kebaikan mereka." Setelah berpikir pula sejenak,
timbul lagi pikirannya: "Jimoay mempunyai guru kosen, asal berlatih lebih
lania lagi tentu dia akan mencapai tokoh tingkatan atas. sedangkan nasib
Sammoay jelas kurang beruntung dari pada Jimoay."
Karena itulah ia lantas berkata kepada Bu-siang:
"Sammoay, gurumu dan guruku adalah saudara seperguruan, jadi kita berdua
sebenarnya masih sesama saudara seperguruan juga, ilmu silat tertinggi dari
Ko-bong-pay kita tercantum semua di dalam Giok-li-sim-keng, sedangkan kitab itu
telah direbut Li Bok-chiu dan ikut terkubur di lautan api. Untung aku masih
ingat isi kitab itu, daripada iseng biarlah kuajarkan sedikit ilmu silat
perguruan kita itu, bagaimana pikiranmu?"
Tentu saja Bu-siang kegirangan, jawabnya: "Terima
kasih, Toako, lain kali kalau ketemu Kwe Hu tentu aku tidak takut dia bertindak
kasar lagi padaku."
Nyo Ko tersenyum, segera ia mulai menuturkan permulaan
dari ajaran Giok-li-sim-keng beserta-kunci2nya, dimulai dari yang cetek dan
kemudian mendalam. Kemudian ia memberi pesan pula: "Hendaklah kau apalkan
dulu kunci2nya, waktu latihan bila perlu boleh minta bantuan jimoay, di lembah
ini sangat tenang, sungguh suatu tempat latihan yang baik."
Begitulah selama beberapa hari Bu- siang tekun
mengapalkan ajaran Nyo Ko itu, memangnya ilmu yang pernah dipelajarinya adalah
aliran Ko-bongpay, dengan sendirinya mudah baginya untuk menerima dan
memahaminya. jika ada bagian2 sulit yang sukar dipecahkan, Nyo Ko menyuruh
Bu-siang mengapalkan saja untuk diulangi lagi lain hari. Dengan begitu selama
hampir sebulan dapatlah Bu-siang mengingat seluruh isi Giok-li-sim-keng di luar
kepala.
Suatu hari, pagi2 dia dan Thia Eng sudah menyiapkan
sarapan, tapi ditunggu sampai lama sekali tidak nampak munculnya Nyo Ko. Mereka
lantas mendatangi gua tempat tinggal Nyo Ko, terlihat di tanah sana tertulis
huruf2 besar yang berbunyi "Berpisan untuk sementara, biarlah bertemu lagi
kelak. Hubungan baik kakak beradik tetap kekal dan abadi."
Bu-siang melonggong dan bergumam: "Akhir-nya dia. .
. dia telah pergi." ia ber-lari2 ke puncak gunung dan memandang jauh ke
selatan.
Thia Eng segera menyusulnya, mereka memandang jauh ke
sana, tapi yang kelihatan hanya awan mengambang diudara, pepohonan menghijau
permai, mana ada bayangan Nyo Ko?
Dengan rasa pilu Bu-siang berkata dengan ter-guguk2:
"Jici, kau kira dia... dia pergi ke mana? Apakah kelak kita dapat... dapat
berjumpa pula dengan dia?"
"Sammoay," jawab Thia Eng, "lihatlah
gumpalan awan itu yang bergerombol menjadi satu untuk kemudian terpancar lagi.
Hidup manusia juga begitu, buat apa kau merasa susah?" Meski begitu
ucapannya, tapi dalam hati sendiri iapun bersedih.
Kiranya selama hampir sebulan Nyo Ko merasa sudah cukup
mengajarkan isi Giok-li~sim-keng kepada Bu-siang. tapi selama itu tiada kabar
berita Siao-Iiong-li, ia tahu menunggu lagi lebih lama juga tiada gunanya, Maka
ia lantas meninggalkan tulisan di tanah dan pergi, ia pikir kalau pulang
Cong-lam-san, tentu akan menambah rasa duka, maka seorang diri ia lantas
mengembara di Kangouw.
Dengan cepat beberapa bulan telah lalu, dari musim dingin
telah datang musim semi, suatu hari ia sampai di dekat Siangyang, dilihatnya
bangunan di tepi jalan yang dahulu dibakar oleh pasukan Mongol kini sudah
banyak yang dibangun kembali dalam bentuk rumah2 gubuk, walaupun tidak
se-makmur dahulu, namun penduduk sudah mulai ramai lagi, agaknya selama ini
pasukan Mongol tidak pernah menyerbu lagi ke sini.
Walaupun Nyo Ko juga terkenang kepada Kwe Cing, tapi ia
tidak ingin bertemu lagi dengan Kwe Hu, maka ia sungkan mampir ke Siangyang,
pikirnya: "Sudah lama berpisah dengan Tiau-heng (kakak rajawali), biarlah
aku menjenguknya ke sana. Segera ia mencari jalan menuju ke arah, lembah
pegunungan dahulu itu.
Hampir seharian, akhirnya dekatlah dia dengan tempat
pengasingan Tok-ko Kiu-pay dahulu. Segera ia bersuit panjang sembari berjalan
ke depan, tidak lama kemudian di lereng bukit di depan sana berkumandang suara
kaokan burung.
Waktu Nyo Ko memandang ke sana, terlihatlah rajawali
sakti itu mendekam di bawah pohon besar, kedua cakarnya mencengkeram seekor
macan tutul. Berada dalam cengkeraman cakar rajawali yang hebat itu, sama
sekali macan tutul itu tak bisa berkutik dan hanya mengeluarkan suara raungan
belaka.
Melihat kedatangan Nyo Ko, rajawali itu lantas melepaskan
macan tutul itu, keruan cepat sekali binatang buas- itu memberosot ke semak2
pohon dengan mencawat ekor. Segera Nyo Ko merangkul leher rajawali itu dengan
mesra dan gembira.
Mereka, seorang manusia dan seekor burung, lantas kembali
ke gua itu. Teringat pengalaman sendiri selama beberapa bulan yang penuh duka
derita itu, sayang rajawali tidak dapat bicara diajaknya berbincang sekedar
pelipur lara.
BegituIah selama beberapa hari Nyo Ko berdiam saja di
lembah pegunungan sunyi itu bersama rajawali sakti, Suatu hari, saking isengnya
Nyo Ko mendatangi pula tebing tempat makam pedang Tokko Kiu-pang itu.
Hian-tiat-pokian, itu pedang yang maha berat yang
diambilnya dari sini, sudah dibuangnya di Coat-ceng-kok, segera ia melompat
lagi ke atas tebing itu dan membaca kembali tulisan yang terukir di batu
kuburan pedang kayu yang sudah lapuk itu dan berbunyi "Sesudah berusia 40
tahun, sungkan membawa senjata lagi, setiap benda dapat kugunakan sebagai
pedang. Sejak itu latihanku semakin sempurna dan mendekati tingkatan tanpa
melebihi memakai pedang",
Nyo Ko coba merenungkan maksud tulisan itu, jgikirnya:
"Waktu aku membawa Hian-tiat-pokiam, boleh dikatakan hampir tiada
tandingannya di seluruh jagat Tapi menurut pesan tinggalan Tok-koj Kiu~pay ini
jelas pedang kayu lebih hebat daripada waktu dia menggunakan Hian-tiat-pokiam
itu, masa lahan akhirnya tanpa menggunakan pedang menjadi lebih lihay daripada
memakai pedang kayu, Kalau Liong~ji berjanji akan bertemu lagi 16 tahun kelak
selama belasan tahun ini biarlah kugunakan untuk mempelajari dan meyakini ilmu
pedang kayu melebihi pedang berat dan akhirnya tanpa pedang melebihi
menggunakan pedang kayu sesuai ajaran Tok ko Kiu-pay.
BegituIah ia lantas memotong setangkai kayu dan dibikin
menyerupai pedang, ia pikin "Hian tiat-pokiam itu beratnya hampir 70 kati,
bahwa pedang kayu yang enteng ini dapat mengungkulinya hanya ada dua jalan.
Kebangunan ilmu pedang, dengan cepat mengalahkan kelambanan, Cara lain adalah
menang kuat tenaga dalam, dengan keras mengatasi kelemahan."
BegituIah sejak itu iapun memupuk Lwekang dan meyakinkan
ilmu pedang, setiap habis hujan deras ia lantas menggembleng diri di bawah air
terjun untuk menambah kekuatan serangannya, Tanpa terasa musim berganti musim
dan kembali datang lagi musim dingin, perpisahannya dengan Siao-liong-li sudah
hampir setahun.
Nyo Ko merasa kemajuan tenaga dalam dan ilmu pedangnya
selama setahun ini sangat lambat, mau-tak-mau ia menjadi kesal, Dalam pada itu
bunga salju sudah mulai bertebaran Tiba2 rajawali itu berkaok kegirangan dan melompat
ke tanah lapang pesta pentang sayap sehingga membangkitkan angin teras, bunga
salju tersapu berhamburan.
Tergerak hati Nyo Ko melihat kelakuan burung itu,
pikirnya: "Musim semi tiada air bah, kalau ku latih ilmu pedang di tanah
bersalju, rasanya juga suatu cara yang bagus."
Sementara itu dilihatnya si rajawali masih terus
menyabet-nyabetkan kedua sayapnya sehingga membawa tenaga semakin keras,
biarpun hujan salju lebat, namun tiada sepotong bunga salju yang jatuh di atas
badannya. semangat Nyo Ko terangsang juga, segera ia pegang pedang kayu dan
dimainkan juga di bawah hujan salju, berbareng lengan laju tangan kanan juga
dikebaskan, setiap ada bunga salju yang melayang turun, segera ia menyambutnya
dengan angin putaran pedang atau tenaga kebasan lengan baju, Dengan begitu
tanpa terasa hampir setengah hari telah berlalu, ia merasa tenaga dari pedang
kayu dan lengan bajunya telah bertambah banyak sekali.
Hujan salju itu terus berlangsung hingga tiga hari
lamanya, setiap hari Nyo Ko selalu menari pedang di bawah hujan salju itu
bersama si rajawali sakti, Sampai petang hari ketiga, salju turun semakin
lebat, selagi Nyo Ko mencurahkan segenap perhatiannya pada pedang kayu untuk
menggempur bunga salju, mendadak sebelah sayap rajawali itu di sabetkan ke arahnya.
Karena tidak ber-jaga2, hampir saja Nyo Ko tersabet, cepat ia melompat minggir
sehingga sabetan itu dapat dihindari walaupun begitu dahinya sudah ketetesan
dua biji bunga salju.
Segera teringat olehnya dahulu rajawali sakti ini juga
pernah main gempuran denganku di atas tebing itu sehingga ilmu pedangku maju
pesat, sekarang jelas rajawali ini mengajak latihan bersama lagi.
Karena itu ia lantas putar pedang kayu dan balas menusuk
satu kali, tapi lantas terdengar suara "krak" sekali, begitu kebentur
sayap rajawali, seketika pedang kayu itu patah, Rajawali itupun tidak menyerang
lagi, tapi berdiri tegak dan mengeluarkan suara ber-cicit2, sikapnya se-akan2
sedang mengomeli kecerobohan si Nyo Ko.
Diam2 Nyo Ko merenungkan cara bagaimana harus menghadapi rajawali
sakti itu, pikirnya: "Jika, kugunakan pedang kayu melawan tenagamu yang
maha kuat, jalan satu2nya hanya mengelak dan menghindar, lalu balas menyerang
pada setiap ada peluang,"
Setelah menentukan siasat itu, segera ia membuat lagi
sebatang pedang kayu, lalu mulai menempur si rajawali pula di tanah salju itu,
Sekali ini dia mampu bertahan hingga belasan gebrakan barulah pedang kayu
terpatah.
BegituIah ia terus berlatih dengan tekun tanpa berhenti
diam2 Nyo Ko sangat berterima kasih kepada si rajawali sakti yang telah menjadi
teman berlatihnya tanpa mengenal lelah serta penuh disiplin itu, Pikirnya:
"Kalau aku tidak berhasil meyakinkan ilmu pedang kayu ini tentu akan
mengecewakan harapan Tiau-heng ini. Apalagi kesempatan bagus yang sukar dicari
ini mana boleh ku-sia2-kan pula?"
Dengan tekad itulah, meski dalam mimpi juga dia
mengeraskan otak memikirkan gerak-gerik setiap jurus serangan, cara bagaimana
menyerang dan mengelak serta cara bagaimana memperkuat tenaga,
Karena kegiatan, latihan ilmu silatnya, rasa rindunya
kepada Siao-liong-li menjadi rada berkurang sementara itu racun bunga cinta
dalam tubuhnya sudah punah seluruh nya, tenaga dalamnya bertambah kuat, badan
juga tampak sehat, kelesuan dan wajahnya yang pucat2 kurus dahulu kinipun sudah
tidak kentara lagi.
Hawa semakin dingin, saju turun tiada henti2~nya, sudah
genap setahun perpisahannya dengan Siao-liong-li. Berkatalah Nyo Ko kepada
rajawali sakti itu: "O, Tiau-heng, biarlah kita berpisah untuk sementara,
kuingin pergi dulu ke Coat-ceng-kok." Lalu dengan membawa pedang kayu ia
meninggalkan pegunungan itu.
Dengan rasa berat rajawali itu mengikuti di belakang Nyo
Ko, setiba dipersimpangan jalan Nyo Ko memberi hormat untuk mohon diri, lalu
hendak melangkah pergi ke arah utara, Tak terduga mendadak rajawali itu
menggigit ujung bajunya dan menyeretnya menuju ke selatan.
Tentu saja Kyo Ko heran, sayangnya di antara dia dan
rajawali itu tidak saling mengerti bahasa masing2. Tapi ia tahu burung itu
sangat cerdik dan tiada ubahnya seperti manusia, maka tanpa rewel lagi ia
lantas mengikutinya ke arah selatan, Melihat Nyo Ko menuruti kehendaknya,
rajawali itu tidak menggigit lagi ujung bajunya dan membiarkannya jalan sendiri
Tapi kelihatan Nyo Ko ragu2 dan hendak memutar balik, segera ia meng-gendoli lagi
ujung bajunya.
Nyo Ko pikir kalau rajawali sakti ini ngotot mengajaknya
ke selatan, tentu ada maksud tujuan tertentu Maka iapun membatalkan niatnya ke
Coat~ ceng-kok dan ikut burung itu terus ke selatan. Tiba2 hati Nyo Ko
tergerak, pikirnya: "Burung ini sangat pintar, jangan2 dia memberi
petunjuk jalan padaku ke lautan selatan untuk menemui Liong ji?"
Teringat kepada Siao-liong-li, seketika ia bersemangat,
segera ia melangkah lebar dan ikut rajawali itu berlari cepat ke tenggara,
Tiada sebulan kemudian sampai mereka di pantai laut, Nyo Ko berdiri di atas
batu karang dan memandang jauh ke lautan bebas sana, tertampak ombak
men-dam-par2 dengan hebatnya, sedih dan girang bercampur, aduk dalam benaknya.
Selang tak lama, terdengar suara gemuruh di kejauhan
seperti bunyi guntur meru, Karena waktu kecilnya dahulu ia pernah tinggal di
Tho hoa-to, ia tahu itulah suara gelombang laut pasang, setiap hari antara
lohor dan tengah malam air laut tentu pasang dua kali. Kini sang surya sedang
memancarkan sinarnya di tengah cakrawala, tentu tiba waktunya laut naik pasang.
Suara gemuruh air pasang itu makin lama makin keras dan
berkumandang laksana be-ribu2 ekor kuda berderap serentak, Tertampaklah, dari
jauh selarik garis putih menerjang ke arah pantai, suara gemuruh itu jauh lebih
hebat daripada bunyi geledek dan samberan kilat. Menyaksikan kedahsyatan alam
itu, tanpa terasa air muka Nyo Ko berubah pucat.
Hanya sekejap mata saja gelombang air pasang sudah
menerjang tiba dan mendampar ke batu karang tempat berdiri Nyo Ko. Cepat ia
melompat ke belakang, tapi mendadak punggungnya seperti di tubruk oleh suatu
tenaga yang maha dahsyat, tanpa kuasa tubuhnya yang terapung di udara itu
kecemplung ke laut, jatuh di tengah gelombang laut yang ber~gulung2, mulutnya
terasa asin, tanpa kuasa ia telah minum dua ceguk air laut.
Ia menyadari keadaannya yang berbahaya, syukur ia sudah
pernah di gembleng di bawah gerujukan air bah, maka sekuatnya ia tancapkan kaki
di dasar laut dengan "Jian-kin tui", ilmu membikin berat tubuh.
Di permukaan air laut berombak, bergemuruh dengan
hebatnya, tapi di dasar laut jauh lebih tenang.
Setelah merenungkan sejenak ia paham maksud rajawali itu
mengajaknya ke pantai laut ini yakni agar dia berlatih pedang di tengah
damparan gelombang laut itu.
Segera ia meloncat ke permukaan air, tapi segera segulung
ombak laksana bukit menghantam kepalanya puIa. Tiada jalan lain, terpaksa ia
menarik napas panjang2, lalu selulup lagi menghindar ke dasar laut.
Begitulah ber-ulang2 Nyo Ko timbul dan selulup lagi
ketika air laut mulai pasang surut sementara itu Nyo Ko sudah lelah, muka juga
pucat namun ia bertambah semangat, tengah malam waktu pasang naik lagi, kembali
ia membawa pedang kayu dan menceburkan diri ketengah amukan ombak samudera yang
hebat itu, ia putar pedangnya di dalam air, terasa berat sekali karena damparan
ombak yang membukit itu, jika terasa payah dan tidak mampu bertahan, cepat ia
menyelam ke dasar laut untuk menghindar.
Ia terus berlatih secara begitu dua kali sehari, tidak
sampai sebulan ia merasa tenaga dalamnya bertambah banyak, jika pedang kayu
diputar di daratan sayup-2 menerbitkan suara seperti ombak mendampar. Setiap
kalau berlatih dengan rajawali itu, kini burung itu tak berani lagi menyambut
serangannya dari depan, Suatu kali saking semangatnya Nyo Ko menusukkan pedang
kayunya dengan sepenuh tenaga, Rajawali itu berkaok karena kaget dan melompat
ke samping.
Karena tidak keburu menahan tenaga serangan-nya, pedang
kayu itu menabas batang pohon di samping, pedang itu patah, batang pohon juga
terkutung menjadi dua. Nyo Ko melenggong sambil memegangi kutungan pedang kayu
itu, pikirnya: "Pedang kayu ini adalah benda lemah, tapi dapat mengutungi
pohon, sudah tentu karena tenaga seranganku yang hebat Kalau nanti pohon patah
dan pedang tidak patah, itulah baru mendekati ilmu sakti yang dicapai
Tokko-Iocianpwe dahulu."
Musim semi berlalu, musim rontok tiba, sang tempo lewat
dengan cepatnya, setiap hari Nyo Ko terus berlatih pedang di tengah gelombang
laut tanpa mengenai lelah dan membedakan musim, Suara gemuruh yang dterbitkan
pedangnya setiap kali ia menyerang menjadi semakin keras, sampai akhirnya
telinga serasa pekak tergetar. Tapi setelah beberapa bulan lagi, suara
pedangnya mulai berkurang dan akhirnya lenyap tanpa suara lagi.
Ia berlatih lagi beberapa bulan, ternyata suara pedang
kembali mendengung pula. BegituIah terjadi perubahan sampai tujuh kali,
akhirnya dapatlah ia menguasai pedangnya, ingin berbunyi lantas mengeluarkan
suara, ingin tak bersuara lantas tanpa suara.
Ketika mencapai tingkatan setinggi ini, hitung punya
hitung ternyata sudah enam tahun lamanya dia berdiam di pantai laut itu. Kini
dengan pedang terhunus dapatlah Nyo Ko bergerak bebas di tengah gelombang laut
yang dahsyat itu, kekuatan yang timbul dari gerakan pedangnya sudah mampu
menyampuk ombak laut yang mendampar dari depan.
Meski hidup terpencil di pantai laut dan selama itu tak
pernah bergebrak dengan jago silat, namun tenaga si rajawali sakti yang luar
biasa itu sudah tidak mampu menahan dua-tiga kali gebrakan pedang kayunya lagi,
baru sekarang dia memahami perasaan Tokko Kiu-pay yang tidak pernah menemukan
tandingan itu, waktu usianya sudah lanjut, pantaslah Tokko Kiu-pay bertambah
terharu dan kesepian karena tiada seorangpun yang sanggup melawan ilmu
pedangnya, akhirnya orang dan ilmu pedangnya terkubur semua di lembah sunyi
itu.
Terpikir oleh Nyo Ko. "Jika Tiau-heng dahulu tidak
menyaksikan sendiri cara Tokko-locianpwe meyakinkan ilmu pedangnya yang maha
sakti itu, mana bisa Tiau-heng mengajarkan lagi ilmu sakti ini padaku? walaupun
kusebut burung Tiau heng tapi sesungguhnya dia adalah guruku, Bicara tentang
umur, entah sudah berapa puluh tahun atau mungkin sudah ratusan tahun usianya,
jadi umpama aku menyebut dia kakek atau buyut rasanya juga pantas."
Begitulah sembari berlatih ilmu pedang di pantai Iaut,
iapun tiada hentinya mencari kabar berita tentang Nikoh sakti yang berdiam di
lautan selatan sana. Namun selama beberapa tahun itu ternyata tiada seorangpun
pelaut atau pedagang seberang yang ditanyai itu dapat memberi keterangan
sesuatu.
Lambat laun iapun putus harapan, ia pikir kalau belum
tiba waktunya 16 tahun tentu sulit untuk bertemu lagi dengan Siao-liong-li.
Pada suatu hari, hujan rintik2, angin meniup keras timbul
sesuatu perasaan Nyo Ko, segera ia membawa pedang kayu dan pakai mantel,
bersama si rajawali sakti ditinggalkanlah pantai laut itu dan mulai mengembara
menjelajahi setiap pelosok daerah Tionggoan dan terutama daerah Kanglam yang
terkenal indah permai itu
* * *
Sang tempo berlaku dengan cepat beberapa tahun telah
lampau pula. Waktu itu adalah tahun pertama kaisar Song-li-cong yang bertahta
di kerajaan Song Selatan dan terhitung tahun ke sembilan kaisar Goan-hian-cong
(dinasti Yuan) dari kerajaan Mongol atau lebih terkenal dengan Kubilai Khan.
Ketika itu baru permulaan musim semi, pada Hong-Jeng-toh,
sebuah kota tambangan di tepi utara Hong-ho (Sungai Kuning) tertampak sangat
ramai dengan suara orang diseling ringkik kuda dan gemuruh roda kereta.
Rupanya selama beberapa hari ini cuaca berubah2 tidak
menentu, terkadang dingin dan kemudian suhu menjadi hangat, mula2 air sungai
Kuning itu sudah cair, tapi sejak semalam turun salju dengan lebatnya sehingga
air sungai membeku lagi, sebab itulah kapal tambangan tidak dapat berjalan,
keretapun tidak berani menyeberangi permukaan sungai yang beku itu.
Sebab itulah banyak saudagar yang hendak menyeberang ke
selatan sama tertahan di kota tambangan kecil ini. Meski di Hong-leng toh ini
juga ada beberapa buah rumah penginapan, tapi karena pendatang dari utara masih
tak ter-putus2nya, tiada setengah hari semua rumah penginapan sudah penuh
sehingga banyak tetamu yang tidak mendapatkan pondokan dan tidak sedikit timbul
ribut mulut antara tamu dan pemilik hotel.
Hotel yang paling besar di kota itu bernama "An toh
Io-ttam" artinya hotel selamat menyeberang, Lantaran halaman hotel ini dan
kamarnya terlebih luas daripada hotel lainnya. maka tetamu yang tidak
mendapatkan tempat pondokan lantas membanjiri An-toh-lo-tiam ini dan karena
itulah suasana menjadi ramai dan berjubel menyebabkan kesibukan pengurus hotel,
banyak kamar yang mestinya buat dua orang terpaksa diisi tiga orang, bahkan
masih kelebihan belasan tamu yang tidak mendapatkan kamar, terpaksa duduk
berkerumun saja di ruangan tengah, pelayan menyingkirkan meja kursi dan membuat
api unggun di tengah2 ruangan untuk menghangatkan badan tetamu.
Menyaksikan bunga salju yang beterbangan dengan lebatnya
di luar, para tetamu sama bersedih karena besok merekapun belum tentu dapat
melanjutkan perjalanan.
Cuaca mulai gelap, tapi hujan salju semakin lebat tiba-2
terdengar suara derapan kaki kuda, tiga penunggang kuda mendatang secepat
terbang dan terhenti di depan An-toh- lo-tiam. "Kembali ada tamu
lagi!" gumam seorang tamu yang berduduk di tepi api unggun.
Benar juga lantas terdengar suara seorang perempuan
berseru: "He, pengurus berikan dua kamar kelas satu!"
Kuasa hotel menjawab dengan mengering tawa: "Maaf,
sudah sejak pagi kamar hotel kami terhuni penuh, sama sekali tiada kamar kosong
lagi."
"Boleh satu kamar saja," ujar perempuan tadi.
"Be ribu2 maaf, nyonya, sungguh sudah penuh semua," jawab pengurus
hotel.
Tiba2 perempuan itu ayunkan cambuknya ke udara hingga
menerbitkan suara "tarrrrr" sekali, lalu mengomel: "Omong
kosong! Memangnya kau tak bisa menyuruh orang mengalah sebuah kamar? Biar
kutambahi sewanya." sembari bicara ia terus menerobos ke dalam hotel.
Pandangan para tamu sama terbeliak melihat perempuan itu,
Usianya kira2 lebih 30 tahun, matanya jeli pipinya merah, mukanya cantik,
perawakannya montok, berjaket kulit warna biru, bagian leher baju berlapiskan
kulit berbulu halus, dan badannya sangat perlente.
Di belakang nyonya muda itu mengikut seorang lelaki dan
seorang perempuan lagi, keduanya masih remaja, usianya antara 16-17, yang
lelaki beralis tebal dan bermata besar, sikapnya kasar2 gagah, sebaliknya
perempuan muda itu sangat cantik.
Ke-duanya sama memakai jaket satin hijau pupus, leher si
anak dara memakai sebuah kalung mutiara, setiap biji mutiara itu sebesar jari
dan bercahaya.
Para tamu sama terpengaruh oleh lagak lagu ketiga tamu
baru, orang2 yang tadinya sedang bicara sama berhenti dan memandangi ketiga
orang ini. Dengan sigap pelayan hotel lantas memberi hormat dan menjelaskan
kepada si nyonya muda: "Lihatlah, nyonya, para tamu inipun tidak
mendapatkan kamar. jika kalian tidak merasa kotor, silakan ikut duduk di sini
sekedar menghangatkan badan dan lewatkan malam ini, besok kalau air sungai
tambah keras membeku mungkin sudah cukup kuat untuk diseberangi."
Tampaknya nyonya muda itu tidak sabar, tapi keadaan
memang begitu, terpaksa ia hanya mengerut kening dan tidak bersuara pula.
Seorang perempuan setengah baya yang ikut duduk
mengelilingi api unggun lantas berkata: "Silakan duduk di sini, nyonya,
hangatkan badan dulu, hawa sungguh dingin."
"Terima kasih," jawab nyonya cantik itu Segera
tamu lelaki yang duduk di samping perempuan setengah umur itu lantas bergeser
untuk memberi tempat kepada si nyonya muda.
Duduk tidak lama, pelayan lantas mengantarkan daharan
yang dipesan, ada daging ada ayam, arakpun tersedia, Nyonya muda itu sangat
kuat minum arak, semangkok demi semangkok ditenggaknya hingga habis, lelaki
muda itupun mengiringi minum, hanya si anak dara cantik itu saja setitikpun
tidak minum arak.
Dari sapa menjaga mereka dapat diketahui bahwa mereka
adalah kakak beradik, Usia pemuda itu tampaknya lebih tua daripada si anak
dara, tapi ternyata memanggilnya "Cici",
Habis makan semua orang berkerumun pula di sekitar api
unggun, Suara angin yang menderu2 di luar membuyarkan rasa kantuk semua orang.
"Cuaca begini sungguh membikin susah orang,"
demikian seorang lelaki berkata dengan logat daerah Soasay, "sebentar
hujan salju, sebentar membeku jadi es, lain saat mencair lagi, Thian benar2
ingin menyiksa orang."
"Sebaiknya kau jangan mengomeli Thian dan Te (langit
dan bumi)," ujar seorang lelaki pendek dengan logat Ouw-pak. "Adalah
untung kita masih dapat menghangatkan badan dengan api dan makan enak di sini,
Coba kalau kau pernah berdiam di kota terkepung Siangyang, kukira tempat yang
paling sengsara di dunia ini juga akan berubah menjadi sorga bagimu."
Mendengar "kota terkepung Siangyang", nyonya
cantik tadi memandang sekejap kepada kedua saudaranya.
Lalu terdengar seorang tamu yang bcrlogat Kwitung
bertanya: "Numpang tanya saudara, bagaimana keadaan di kota Simgyang yang
terkepung itu?"
"Keganasan orang MongoI kiranya sudah kalian dengar
dan tidak perlu kujelaskan lagi," tutur tamu Ouwpak tadi, "Tahun itu
pasukan Mongol menyerang Siangyang secara besar2an, panglima yang menjaga kota
itu Lu-tayjin adalah manusia yang tidak berguna, syukurluh Kwe-tayhiap dan
isterinya telah membantu dengan sepenuh tenaga."
Mendengar nama Kwe-tayhiap dan isterinya disebut, tampak
airmuka nyonya cantik tadi berubah riang pula.
Sementara itu tamu berlogat Ouwpak tadi sedang menyambung
ceritanya: "Beratus ribu penduduk siangyang juga bersatu padu menghadapi
musuh dan bertahan dengan mati2an, seperti diriku ini, aku hanya pedagang
gerobak surungan, tapi akupun ikut berjuang dengan mengangkut pasir dan
mengangkat batu untuk memperkokoh benteng kota, lihat ini, codet pada mukaku
ini adalah bekas luka kena panah orang Mongol."
Waktu semua orang mengawasi, benar juga terlihat pipi
kirinya ada bekas luka panah sebesar gobang, Tanpa terasa semua orang sama
menaruh hormat padanya.
"Negeri Song kita sedemikian luas dengan penduduknya
begini banyak, kalau setiap orang berjiwa patriot seperti saudara, hah, biarpun
Tartar Mongol lebih ganas sepuluh kali lipat juga takkan mampu menginjak tanah
air kita," demikian kata si orang Kwitang dengan bersemangat.
"Tepat!" ujar si orang Ouwpak, "Lihatlah,
sudah belasan tahun pasukan Mongol menggempur Siangyang, tapi selama ini selalu
gagal, sebaliknya tempat2 lain selalu dibobolnya dengan mudah.
Kabarnya belasan negeri di benua barat sana juga sudah
ditumpas oleh orang Mongol, sedangkan Siangyang kita masih tetap berdiri dengan
tegaknya, walau-pun raja mongoI Kubilai sendiri yang memimpin penggempuran juga
tetap tidak berhasil."
"Ya, kalau saja Siangyang jatuh, tentu sudah lama
tanah air Song Raya kita sudah lama dicaplok orang Mongol," kata orang
Kwitang,
Begitu semua orang penuh semangat bicara tentang
pertahanan Siangyang, orang Ouwpak itu telah menjunjung Kwe Cing dan Ui Yong
setinggi langit se-akan2 malaikat dewata dan semua orang juga tiada hentinya
memberi pujian.
Tiba2 seorang tamu berlogat Sucoan ikut bicara dengan
gegetun: "Sesungguhnya pembesar yang menjaga benteng di-mana-2 juga ada,
soalnya pemerintah kerajaan tidak dapat membedakan antara yang baik dan jahat,
seringkali kaum dorna justeru menikmati segala kejayaannya, sedangkan pembesar
setia malahan mati penasaran Seperti Gak Hui pujaan kita yang sudah almarhum
itu tidak perlu dibicarakan, sekarang saja di daerah Sucoan kami sudah ada
beberapa pembesar pembela rakyat telah menjadi kaum dorna."
"Hei pembesar siapakah itu mohon penjelasan,"
tanya orang Ouwpak tadi.
"Sudah belasan tahun juga pasukan Mongol menggempur
wilayah Sucoan, berkat perlawanan Sia Kay yang bijaksana itu, segenap rakyat
jelata di Sucoan sama tunduk di bawah pimpinannya dan memujanya se-akan2 Budha
penolong," demikian tutur si orang Sucoan.
"Siapa tahu raja kita yang berkuasa sekarang telah
mempercayai laporan si dorna ~Ting Tay-coan. katanya Sia-tayjin menyalah
gunakan kekuasaan dan membangkang perintah pusat, maka perlu diambil tindakan
dan dikirimlah racun untuk memaksa Sia-tayjin membunuh diri lalu kedudukannya
diganti seorang pembesar tak becus yang menjadi komplotan kaum dorna itu.
Ketika kemudian pasukan Mongol menyerbu tiba pula, hanya
sekejap saja Sucoan lantas jatuh, pihak kerajaan tidak menyesali dirinya
sendiri yang salah membunuh pembesar baik, sebaiknya malah menuduh panglima
tentara Ong Wi-tiong Ciangkun yang bertahan mati2-an itu bersekongkol dengan
musuh dan menangkapnya bersama segenap anggota keluarganya ke ibukota, di sana
Ong-ciangkun telah dihukum penggal kepala." Bicara sampai di sini suaranya
menjadi rada tersendat
Semua orang sama menghela napas terharu mendengar kisah
sedih, orang Kwetang tadi berkata dengan gusar "Hancurnya negara selalu
menjadi korban kaum dorna begitu, Kabarnya kerajaan selatan sekarang ada tiga
ekor anjing dan pembesar dorna Ting Tay-coan itu adalah salah seekor di
antaranya."
Seorang pemuda berwajah putih yang sejak tadi hanya
mendengarkan saja kini mendadak menimbrung: "Benar, kaum dorna kerajaan
selatan dikepalai Ting Tay-coan, Tan Tay-hong dan Oh Tay-jiang. Karena nama
mereka sama2 memakai "Tay", maka orang2 di Lim~an (ibukota Song
Selatan) menambahkan nama mereka itu dengan satu coretan sehingga menjadi
"Khian" (anjing) dan mereka bertiga dianggap tiga ekor anjing."
Sampai di sini, semua orang sama tertawa puas.
Orang Sucoan tadi lantas bertanya: "Dari logat
saudara cilik ini, tampaknya engkau orang dari Lim-an?"
"Benar," jawab si pemuda.
"Jika begitu, waktu Ong Wi-tiong Ciangkun menjalani
hukuman mati, apakah saudara juga mengetahuinya?"
"Ya, malahan ikut menyaksikan sendiri," jawab
pemuda itu. "Menghadapi ajalnya Ong ciangkun tanpa gentar, dengan gagah
berani beliau malah mencaci Ting Tay-coan dan Tan Tay-hong sebagai pembesar
dorna penjual negara dan bangsa, Bahkan terjadi pula sesuatu yang aneh."
"Kejadian aneh apa?" tanya orang banyak.
"Yang memfitnah Ong-ciangkun jelas adalah Tan
Tay-hong", tutur si pemuda, "Waktu menuju kelapangan hukuman, di
tengah jalan Ong-ciang-kun berteriak-teriak dan mencaci maki Tan Tay-hong,
katanya setelah mati pasti akan mengadu kepada Giam lo-ong untuk merenggut
nyawa dorna she Tan itu.
Anehnya tiga hari sesudah Ong ciang-kun menjalani
hukuman, Tan Tay-hong itu benar2 mati mendadak di rumahnya dan kepalanya telah
dipenggal dan tergantung tinggi di menara lonceng di pintu gerbang timur Lim
an.
Begitu tinggi menara itu, jangankan manusia, monyet
sekalipun sukar merambat ke sana, Coba pikir, jika bukan Giam lo-ong yang
merenggut jiwa menteri dorna itu, perbuatan siapa lagi, peristiwa itu diketahui
setiap penduduk Lim-an dan sekali2 bukan dongeng belaka."
Semua orang sama bersuara mengatakan heran mereka. Orang
Sucoan itu berkata: "Kejadian itu memang bukan dongengan, cuma yang
membunuh Tan Tay-hong itn bukanlah Giam-!o-ong melainkan perbuatan seorang
ksatria sejati."
"Di rumah menteri doma itu tidak sedikit
pengawalnya, penjagaan tentu sangat ketat, orang biasanya manabisa membunuhnya,
bahkan menggantung kepalanya di tempat setinggi itu, apa memangnya orang itu
bersayap?" si pemuda sambil menggeleng.
"Di dunia ini tidak kurang orang kosen, jika aku
tidak menyaksikan sendiri menang juga tidak percaya," kata orang Sucoan
itu.
"Kau menyaksikan sendiri memanjat ke tempat setinggi
itu? Cara bagaimana kau dapat menyaksikan nya?" tanya si pemuda.
Orang Sucoan itu ragu2 sejenak, akhirnya ia menutur pula:
"Ong-ciangkun mempunyai seorang anak lelaki yang berhasil kabur waktu
keluarganya ditangkap. Demi membabat sampai akar2nya kawanan dorna telah
mengirim begundalnya menguber mencari putera Ong-ciangkun itu.
Meski putera Ong-ciangkun juga mahir ilmu silat, namun
dia cuma sendirian dan tidak mampu melawan orang banyak, ketika dia dikejar dan
hampir tertangkap tiba2 datang seorang penolong yang berhasil mengocar-
kacirkan pasukan pengejar itu.
Lalu putera Ong-ciangkun itu menuturkan apa yang terjadi
atas keluarganya, Tentu saja Tayhiap (pendekar besar) yang menolongnya itu
tidak tinggal diam dan menyusul ke Lim-an dengan maksud hendak menolong
Ong-ciangkun, tapi sayang, beliau terlambat satu hari, Ong-ciangkun sudah
dipenggal kepalanya.
Dalam gusarnya Tayhiap itu lantas mendatangi kediaman Tan
Tay-hong serta memotong kepalanya, Meski menara lonceng itu sangat tinggi dan
sukar dicapai manusia, namun bukan soal bagi Tayhiap itu, hanya sekali loncat
saja dapatlah beliau naik ke situ."
"Siapakah Tayhiap itu? Bagaimana bentuknya?"
tanya si orang Kwitang.
"Aku tidak tahu nama pendekar besar itu, yang jelas
dia tidak mempunyai lengan kanan, wajahnya cakap, sikapnya gagah, dia selalu
membawa seekor burung raksasa yang berbentuk aneh dan buruk."
Belum habis ceritanya, seorang laki2 lain lantas
menanggapi "Betul, itulah "Sin-tiau-hiap" yang termashur di
dunia Kangouw."
"Ya, pendekar besar itu suka membantu yang lemah dan
menolong yang miskin, tapi selamanya tidak mau menyebutkan namanya
sendiri," tutur laki2 itu, "Karena dia selalu membawa burung yang
aneh itu, kawan2 Kangouw lantas memberi nama julukan
"Sin-tiau-tay-hiap" (pendekar besar rajawali sakti) padanya, Tapi beliau
mengatakan arti "Tay-hiap" terlalu berat baginya, maka tidak berani
menerima, terpaksa orang hanya menyebutnya "Sin-tiau-hiap" saja.
padahal berdasarkan tindak perbuatannya yang luhur budi itu, sebutan Tayhiap
juga pantas diterima olehnya, Kalau dia takdapat disebut pendekar besar, lalu
siapa lagi?"
"Huh, di sini Tayhiap, di sana juga Tayhiap, kan
bisa kebanjiran Tayhiap nanti," tiba2 si nyonya cantik tadi menimbrung.
"Ah, kenapa nyonya ini bilang begitu?"
bantah-orang Sucoan itu dengan tegas. "Meski urusan Kangouw kurang
kupahami, tapi demi menolong Ong-ciangkun, Sin-tiau-tayhiap itu telah berangkat
dari Hopak ke Lim-an, selama empat hari empat malam tanpa berhenti padahal
beliau tidak pernah kenal siapa Ong-ciangkun, hanya karena kasihan padanya
panglima yang difitnah menteri dorna itu, maka beliau telah bertindak tanpa
menghiraukan bahaya sendiri. Coba, perbuatan begitu apakah tidak pantas disebut
Tayhiap?"
Nyonya cantik itu mendengus dan baru hendak mendebat,
tiba2 anak dara disampingnya me-nyela: "Cici, perbuatan kesatria yang
terpuji itu kan tidak salah kalau diberi gelaran Tayhiap?"
Suara anak dara itu sangat nyaring dan merdu, enak
didengar, segar rasanya bagi pendengaran setiap orang.
Nyonya cantik tadi lantas mengomeli adiknya: "Huh,
kau tahu apa?" Lalu ia berpaling kepada orang Sucoan tadi dan berkata
pula: "Darimana kau dapat mengetahui sejelas itu? Bukankah kaupun
mendengar dari obrolan orang di tepi jalan atau berita angin di dunia Kangouw?
Huh, sembilan bagian pasti takdapat dipercaya."
Orang Sucoan itu termenung sejenak, akhirnya ia berkata
dengan sungguh: "Aku she Ong, Ong Wi-tiong Ciangkun itu adalah ayahku
almarhum. jiwaku sendiri diselamatkan oleh Sin-tiau-tayhiap. walaupun saat ini
diriku menjadi buronan pemerintah, tapi soalnya menyangkut nama baik tuan
penolongku, terpaksa kujelaskan asal usul diriku ini."
Semua orang melengak mendengar ucapan orang Sucoan ini,
serentak orang Kwitang tadi mengacungkan ibu-jarinya dan berseru:
"Ong-ciangkun cilik, kau memang seorang laki2 sejati, Kalau di sini ada
manusia rendah yang berani melaporkan dirimu kepada yang berwajib, biarlah kita
be-ramai2 menghadaprnya."
Maka bergemuruhlah orang banyak menyatakan setuju,
Terpaksa nyonya cantik tadi tidak dapat membantah pula.
Dalam pada itu si anak dara jelita tadi sedang ter-mangu2
memandangi salju yang bertebaran di luar itu sambil bergumam pelahan:
"Sin-tiau tayhiap, Sin-tiau-tayhiap " mendadak ia berpaling kepada si
orang Sucoan dan bertanya: "Ong-toako, kalau Sin-tiau-tayhiap itu
mempunyai kepandaian setinggi itu, sebab apa pula sebelah lengannya
buntung?"
Air muka si nyonya muda tampak berubah demi mendengar
persoalan lengan buntung Sin-tiau-tayhiap disinggung bibirnya tampak ber-gerak2
ingin bicara, tapi urung.
Si orang Sucoan she Ong itu menjawab sambil menggeleng:
"Entah, nama asli Sin-tiau-tayhiap saja takdapat kuketahui, seluk-beluk
pribadi beliau tentu saja lebih2 tidak tahu,
"Tentu saja kau tidak tahu," jengek si nyonya
muda.
Tiba2 si pemuda Lim-an berkata pu!a: "Tentang
menteri dorna Ting Tay-coan itu, sekarang mukanya mendadak berubah hijau gosong
dalam semalam, tentu kejadian ini karena hukuman Allah."
"Aneh, mengapa dalam semalam mukanya berubah menjadi
gosong?" tanya si orang Kwitang,
"Memang aneh, karena kulit mukanya berubah mendadak,
sekarang penduduk Lim-an memberi nama Ting Je-bwe (Ting si kulit hijau)
padanya," tutur pemuda Lim-an. "Asalnya kulit muka Ting Tay-coan itu
putih mulus, maklum, hidupnya mewah dan makannya enak Tapi semalaman mendadak
kulit mukanya berubah jadi hijau gosong, biarpun sudah diobati oleh tabib
paling pandai juga takdapat menghilangkan warna kulitnya yang lucu itu, Konon
Sri Baginda pernah menanyakan hal ini, tapi menteri dorna itu malah melapor,
katanya lantaran sibuk mengurusi pekerjaan sehingga beberapa malam tidak tidur,
maka kulit mukanya menjadi hijau. Akan tetapi setiap penduduk Lim-an sama
anggap perubahan kulit muka menteri dorna itu adalah karena kutukan
Allah."
"Sungguh aneh kejadian itu," ujar si orang
Kwitang,
"Hahaha!" mendadak si lelaki kekar tadi bergelak
tertawa dan bersemi "Ketahuilah bahwa kejadian itupun atas tindakan
Sin-tiau-tayhiap. sungguh menyenangkan sungguh menarik."
"He, bagaimana bisa jadi perbuatan Sin-tiau~ tayhiap
lagi?" tanya semua orang.
Laki2 kekar itu hanya bergelak tawa saja dan tidak
bercerita lebih lanjut, tampaknya ia sengaja tahan harga, ingin jual mahal.
Lantaran ingin tahu duduk perkaranya lebih jelas, si
orang Kwitang lantas memanggil pelayan agar membawakan dua kati arak Ko-tiang
yang enak untuk lelaki kekar itu, setelah dicekoki arak, semangat orang itu
lantas terbangkit, segera ia bercerita lagi:
"Tentang peristiwa ini, bukan aku sengaja membual,
tapi aku sendiri ikut berjasa, Malam hari itu Sin-tiau-hiap tiba2 datang ke
Lim-an dan suruh kupimpin para kawan meringkus semua opas yang dinas jaga di
kantor walikota, seragam mereka dicopot dan disuruh pakai para kawan.
Kami merasa tertarik dan juga heran entah apa yang akan
dilakukan Sin-tiau-hiap, tapi kami yakin permainan menarik pasti sedang menanti
maka segala perintah beliau selalu kami laksanakan. Kira2 lewat tengah malam,
Sin-tiau-hiap tiba di kantor walikota, beliau sendiri lantas memakai jubah
kebesaran walikota dan duduk di meja sidang, sekali palu diketok, beliau lantas
membentak
"Bawa hadir menteri berdosa Ting Tay-coan!" -
Sampai di sini ia lantas angkat mangkuk arak dan menenggaknya hingga habis.
"Tatkala mana saudara kerja apa di Lim-an
sana?" tanya si orang Kwitang.
"Kerja apa?" lelaki itu menegas dengan mata
mendelik "Memangnya apa lagi? Minum arak pakai mangkuk besar, makan daging
enak, bagi rejeki dengan timbangan, itulah kerjaku, berusaha tanpa pakai
modal."
Orang Kwitang itu terkejut dan tidak berani bertanya
pula, ia tahu apa artinya berusaha tanpa pakai modal itu. Yakni merampok,
membegal dan sebagainya.
Orang itu lantas bercerita pula: "Aku melenggong
ketika mendengar nama Ting Tay-coan disebut, bukankah pembesar anjing ini
adalah perdana menteri sekarang, mengapa Sin-tiau-hiap dapat menyeretnya ke
sini?
Terdengar palu diketok lagi, dua petugas benar2 mengiring
seorang ke depan sidang, mungkin saking ketakutan, orang itu menjadi gemetar,
ingin berlutut, tapi enggan pula. Seorang kawan lantas mendepak belakang
dengkulnya hingga dia jatuh bertekuk lutut. Haha, sungguh lucu dan mcnarik. Sin
tiau-hiap lantas menanyai dia:
"Ting Tay-coan, apakah kau mengetahui dosamu?"
Ting Tay- coan menjawab: "Tidak tahu."
Sin-tay-hiap membentak: "Kau korupsi dan main
kekuasaan, memfitnah dan membunuh menteri setia serta membikin sengsara rakyat,
bersekongkol dengan negara musuh, semua perbuatanmu yang jahat lekas kau
mengakui."
Ting Tay-coan menjawab: "Engkau ini siapa? Berani
menculik pembesar negeri, apakah kau tidak tahu undang-undang kerajaan?"
Sin-tiau-hiap menjadi marah dan membentak pula:
"Hah, kau juga tahu undang-undang segala? Bagus, hayo anak buah, rangket
dia 40 kali lebih dulu!"
Memangnya setiap orang sangat benci kepada menteri dorna
ini, kini diperintahkan merangketnya, keruan mereka sangat bersemangat cara
merangketnya juga diperkeras, tentu saja menteri dorna itu ber-kaok2 minta
ampun dan jatuh pingsan beberapa kali, ia tidak berani kepala batu lagi, apa
yang ditanya Sin-tiau-hiap lantas diakuinya semua.
Sin-tiau hiap lantas menyuruhnya menulis sendiri
pengakuan dosanya, jika dia ragu2 menulisnya, segera Sin tiau hiap menyuruh
menggebuk pantatnya lagi atau menempeleng dia."
Si anak dara cantik tadi mengikik tawa senang, desisnya:
"Hihi, sungguh menarik!"
Laki2 itu menenggak habis pula semangkok arak, katanya
dengan tertawa: "Ya, memang sangat menarik, Rupanya Ting Tay-coan itu
sangat ketakutan, apalagi Sin tiau hiap ber-ulang2 mendesak agar cepat
menulisnya, kalau sedikit merandek segera para kawan disuruh menggebuknya,
akhirnya Ting Tay coan sampai terkencing2 dan ter-berak2.
Untung baginya, tidak lama fajarpun menyingsing dan di
luar kantor walikota itu sudah ramai dengan petugas yang datang dinas pagi,
malahan menyusul ada pasukan yang datang pula, mungkin kebocoran berita dan ada
orang yang melapor Sin-tiau-hiap menjadi gusar dan berteriak: "Penggal
saja kepalanya!"
Kutahu Sin-tiau-hiap tidak suka sembarangan membunuh
orang, tapi kulolos juga golokku terus kuayunkan ke batang leher Ting Tay-coan,
ketika golok terangkat ke atas telah ku-putar sekali, lalu dengan tepat
mengetuk kuduk Ting Tay-coan, kontan saji menteri dorna itu roboh terguh'ng,
tapi tidak mati melainkan jatuh pingsan.
Rupanya yang mengenai adalah punggung golok yang tidak
tajam, tapi sudah cukup membuatnya ketakutan setengah mati. Sin-tiau-hiap
bergelar tertawa dan suruh kami mengundurkan diri melalui pintu belakang agar
tidak kebentrok dengan pasukan pemerintah.
Konon besoknya Sin-tiau hiap telah mengirim sendiri
pengakuan dosa Ting Tay coan itu kepada si tua kaisar, tapi entah ocehan apa
Ting Tay-coan telah membuat si kaisar tetap percaya penuh padanya dan tetap
menyuruhnya menjabat perdana menteri hingga sekarang."
"Kalau saja Sri Baginda tidak ngawur dan lemah,
tentu kaum dorna takkan berkuasa, tampaknya tanah air kita yang jaya ini sukar
dipertahankan lagi." ujar Ong ciangkun cilik.
"Ya, kecuali Sin-tiau hiap yang menjadi perdana
menteri barulah pasukan musuh dapat dikalahkan dan dunia inipun aman,"
kata lelaki tadi.
"Huh, dia sesuai menjadi perdana menteri?"
tiba2 si nyonya cantik menyeletuk.
Laki2 tadi menjadi gusar dan menjawab: "Dia tidak
sesuai, memangnya kau yang sesuai?"
Nyonya cantik itu naik pitam dan membentak "Kau ini
kutu macam apa, berani kasar padaku?" - Dilihatnya laki2 itu sedang
memegang sepotong besi pengaduk api dan lagi menyurung kayu bakar ke orggokan
api unggun agar berkobar lebih keras, sekenanya ia jemput sepotong kayu dan
menyeruk ke besi pengaduk api itu.
Seketika tangan lelaki itu tergetar kesemutan,
"trang", pengaduk api itu jatuh ke lantai dan memercikkan lelatu dari
unggun api itu sehingga beberapa jenggotnya terbakar hangus.
Semua orang berteriak kaget, waktu mereka memandang besi
pengaduk itu, ternyata sudah bengkok. Biarpun watak lelaki tadi rada
berangasan, tapi demi melihat kelihayan si nyonya cantik, ia menjadi mengkeret
dan tidak berani bersuara lagi, bahkan arakpun lupa diminum lagi.
Si anak dara cantik lantas ikut bicara: "Cici, orang
sedang bercerita tentang Sin-tiau-hiap yang baik budi itu, mengapa kau seperti
tidak suka mendengarkan nya?" Lalu ia berpaling pada lelaki tadi dan
berkata dengan tersenyum manis: "Toasiok, jangan kau marah ya!"
Sebenarnya laki2 tua itu sangat mendongkol tapi karena
senyuman manis anak dara ini, seketika api amarahnya sirna tanpa bekas, iapun
membalasnya dengan tertawa, mestinya ingin mengucapkan beberapa patah kata
rendah hati, tapi urung, "Toasiok," demikian si anak dara berkata
pula. "silahkan engkau berkisah pula mengenai Sin-tiau-hiap itu. Apakah
engkau kenal dia?"
Laki2 itu memandang sekejap ke arah si nyonya cantik dan
ragu2 untuk bicara.
Anak dara itu lantas berkata: "Silahkan bercerita
saja, asalkan engkau tidak membikin marah Ciciku tentu takkan terjadi apa2.
Cara bagaimana engkau kenal Sin-tiau-hiap? Beberapa umurnya kira2? Apakah
burungnya rajawali itu sangat bagus?" tanpa menunggu jawaban lelaki itu,
ia berpaling kepada si nyonya muda dan bertanya: "Cici, entah bagaimana
kalau rajawalinya itu dibandingkan dengan sepasang rajawali kita?"
"Dibandingkan sepasang rajawali kita?" tukas si
nyonya muda, "Hah, di dunia ini mana ada burung lain yang dapat menandingi
kedua rajawali kita itu?"
"Ah, juga belum tentu," ujar si anak dara,
"Ayah sering mengatakan kita bahwa orang belajar silat harus tahu bahwa di
atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai,
sekali2 tidak boleh bangga dan puas. Kalau manusia saja begitu, kukira burung
yang lebih daripada rajawali kita itu pasti juga ada."
"Huh, anak kecil tahu apa?" Omel si nyonya
wuda, "Waktu berangkat, ayah ibu menyuruh kau menurut pada perkataanku,
apakah kau sudah lupa?"
"Menurut ya menurut, tapi kan kudu tahu apa yang kau
katakan itu betul atau tidak?" jawab si anak dara. "Eh, adik, coba
katakan, ucapanku yang betul atau ucapan Cici yang betul?"
Pemuda di samping anak dara itu ragu-2 sejenak, kemudian
menjawab: "Entahlah, aku tidak tahu. Yang jelas ayah bilang kita harus
menurut perkataan Taci dan suruh kau jangan adu mulut dengan Taci."
"Nah, benar tidak?" kata si nyonya muda dengan
senang.
Tapi si anak dara juga tidak marah meski adiknya
mengeloni sang Taci. dengan tertawa ia berkata: "Ah, adik memang tidak
paham apa2" -Lalu ia berpaling dan tanya laki2 kekar tadi: Toasiok,
silakan kau bercerita lagi tentang Sin-tiau-hiap."
Lelaki itu menjawab: "Baik, jika nona senang
mendengarkan, tentu akan kuceritakan. Meski kepandaian orang she Song ini
rendah, paling tidak akupun seorang Iaki2, satu bilang satu dua ya bilang dua.
sepatah katapun tidak berdusta, Tapi kalau nona tidak percaya, ya lebih baik
tidak kuceritakan saja."
"Mana aku tidak percaya? Lekas engkau bercerita
lagi," kata si anak dara sambil mengangkat poci arak dan menuangkan satu
mangkok lagi bagi orang itu, malahan ia terus memanggil pelayan: "He,
pelayan, tambah lagi sepuluh kati arak dan 20 kati daging rebus, Taciku menjamu
para paman dan bibi ini minum arak sekadar menolak hawa dingin."
Pelayan mengiakan dan berteriak menyampaikan pesanan itu,
Semua orang sama tertawa gembira dan mengucapkan terima kasih kepada si anak
dara. Tidak lama, tiga pelayan lantas mengantarkan arak dan daging yang
dipesan.
Tapi si nyonya cantik tadi menjadi tidak senang, katanya
dengan cemberut: "Hm, umpama aku ingin menjamu tamu juga takkan menjamu
orang yang suka mengaco belo ini. He, pelayan, rekening arak dan daging itu
tidak boleh diperhitungkan padaku."
Si pelayan melengak bingung, ia pandang si nyonya cantik
sebentar, lalu pandang si anak dara lagi.
Anak dara cantik itu lantas mengambil tusuk kondai
emasnya dan disodorkan kepada pelayan, katanya: "lni tusuk kondai dari
emas murni, sedikitnya bernilai beberapa puluh tahil perak, Nah, tukarkan saja
bagiku, Lalu bawakan lagi sepuluh kati arak dan 20 kati daging kambing rebus.
"
Nyonya cantik tadi menjadi marah, omelnya: "Jimoay,
Kau sengaja membikin keki aku, bukan? Melulu mutiara yang terbingkai di tusuk
kondai itu saja bernilai beberapa ratus tahil perak, tapi benda berharga begitu
sembarangan kau berikan untuk mentraktir minum arak sembarangan orang. Nanti
kalau pulang dan ditanyakan ibu, coba cara bagaimana kau akan menjawab?"
Anak dara itu melelet lidah, lalu berkata dengan tertawa:
"Akan kukatakan hilang di tengah jalan, sudah kucari tapi tidak
ketemu."
"Huh, masakah aku mau berdusta bagimu?""
omel si nyonya muda.
Si anak dara lantas mendahului menyupit sepotong daging
rebus dan dimakan, lalu berkata: "Nah, barang sudah dimakan masakah boleh
dikembalikan? Eh. hayolah para paman dan mamak, jangan sungkan-2, silakan minum
dan makan!"
Melihat kedua kakak beradik itu beradu mulut, semua orang
merasa tertarik, mereka sama menyukai si anak dara yang polos ke-kanak 2an,
maka dalam hati mereka memihak si anak dara. Rupanya si nyonya muda cantik itu
mendongkol ia terus memejamkan mata dan menutupi telinganya.
"Nah, Song toasiok, Taciku sudah tidur silakan kau
bercerita lagi, tentu takkan mengganggunya," kata si anak dara dengan
tertawa.
"Bilakah aku tidur?" semprot si nyonya muda
dengan marah.
"Ah, bagus, tentunya engkau menjadi lebih tak
terganggu," jawab si anak dara dengan tertawa.
Dengan suara keras si nyonya muda lantas ber-kata;
"Yang-ji, dengarkan kataku, jika kau selalu ngotot dengan aku, besuk aku
takkan berangkat bersama kau."
"Ah, tak jadi soal, aku brrangkat bersama Samte
(adik ketiga)," ujar si nona cilik.
"Tidak, Samte akan ikut aku," kata si nyonya.
""Eh, Samte, kau akan berangkat bersama
siapa?" tanya anak dara itu.
Anak muda tadi menjadi serba susah, kalau membantu sang
Taci, tentu Jici kurang senang, jika mengeloni Jici, sang Taci yang akan marah,
Dengan tergagap2 kemudian ia menjawab: "Kata ibu, kita bertiga harus
selalu bersamak tak boleh terpencar."
"Nah, betul tidak? Kalau Taci tidak membawa serta
diriku, nanti kalau pulang dan ditanyai ibu, tentu Taci tak bebas dari tanggung
jawab," jawab si nona cilik dengan tertawa.
Dengan mendongkol si nyonya menjawab: "Tahu kau selalu
bandel begini, dulu waktu kau masih kecil dan diculik orang jahat, tentu aku
tidak perlu berkuatir dan ikut mencari kau."
Mendengar begitu, nona cilik itu menjadi lunak hatinya,
ia terus merangkul bahu sang Taci dan memohon: "O, Taci yang baik, jangan marah
ya! Anggaplah aku yang salah."
Si nyonya muda sengaja bermuka merengut dan tidak
menggubris.
"Jika Taci tidak mau tertawa, akan ku-kitik2
kau," kata si anak dara.
Tapi nyonya muda itu malah melengos ke sana. Mendadak
anak dara itu menggunakan tangan kanan untuk mengelitik ketiak sang Taci dari
belakang, Tanpa menoleh nyonya muda itu menggunakan siku kiri untuk menyikut ke
belakang, Tapi tangan kiri si anak dara sempat menangkap sang Taci dan tangan
lain tetap hendak mengelitik. segera si nyonya muda sedikit memutar tubuh dan
sikutnya menyodok untuk memaksa si anak dara menarik kembali tangannya,
keduanya bergerak dengan lemah gemulai dan bergaya menarik.
Hanya sekejap saja keduanya sudah saling gebrak beberapa
jurus, Si anak dara tetap tidak mampu mengelitik sang Taci, si nyonya muda juga
tidak dapa menangkap tangan adiknya.
"Kepandaian bagus!" tiba2 seorang berseru
tertahan di pojok ruangan sana.
Kedua kakak beradik serentak berhenti dan memandang ke
pojok sana, tertampak seorang duduk meringkuk menjadi satu gulungan, kepala
terbenam di antara kedua lututnya, agaknya sedari tidur nyenyak, Sejak duduk di
tepi api unggun kedua kakak beradik itu sudah melihat cara orang tidur
meringkuk begitu tanpa bergerak sedikitpun orang lain tidak dapat melihat cara
bagaimana kedua kakak beradik itu bercanda. Agaknya suara sorakan itu bukan
dilakukan olehnya.
Tiba2 si pemuda berkata, "Taci dan Jici, ayah sudah
pesan agar kita jangan sembarangan memperlihatkan kungfu kita."
"Ah, sok kemaki!" si anak dara berseloroh.
"Tapi benar juga kau." -Lalu dia berpaling
kepada lelaki kekar tadi: "Maaf, Song toasiok, kami kakak beradik ribut
sendiri sehingga lupa mendengar ceritamu Hayolah lekas mulai!"
LcIaki she Song itu menjawab: "Tapi sekali2 aku
bukan mendongeng, apa yang kuceritakan ini adalah kisah nyata."
"Tentu saja cerita Song-toasiok adalah kejadian
nyata," ujar si anak dara dengan tertawa.
Lelaki itu menenggak dulu araknya, lalu berkata
"Sudah kuminum dan makan suguhan nona, andaikan tidak bercerita juga rikuh
rasanya, Kalau saja semalam duitku tidak amblas di meja dadu, tentu akan kujamu
kembali engkau nona manis ini, memangnya panggilan Toasiok ber-ulang2 hanya
panggilan percuma saja? -Eh, bicara tentang perkenalanku dengan Sin-tiau-hiap,
kejadiannya hampir sama dengan pengalaman Ong-ciangkun cilik ini, jiwaku juga
telah diselamatkan oleh Sin-tiau-hiap. Cuma sekali ini beliau tidak menggunakan
kekerasan melainkan dibeli dengan uang."
"Sungguh aneh, masakah dia membeli kau dengan
uang?" si anak dara menegas, "Memangnya berapa sih harganya satu kilo
dirimu ini?"
Lelaki itu ter-bahak2, katanya: "Hahaha, daging
orang macamku yang berbau tengik ini ternyata jauh lebih mahal daripada daging
sampi maupun babi, Tahukah kau berapa Sin-tiau-hiap menghargai diriku ini? Hah,
4000 tahil perak, tidak kurang. Begini kejadiannya: Lima tahun yang lalu ketika
membela sesuatu urusan di Celam, Soatang, aku telah membunuh mati seorang
bicokok setempat bunuh orang ganti nyawa, bukan soal bagiku.
Pada suatu hari aku harus menjalani hukuman mati, yang
mendongkolkan aku adalah aku diharuskan mati berbarengan dengan seorang buaya
darat setempat yang maha jahat.
Sungguh brengsek, masakah seorang laki2 sejati macamku
harus mati di tempat yang sama dengan seorang penjahat? Wah, betapapun aku
sangat penasaran."
"Tak terduga, selang beberapa hari, buaya darat itu
telah menyogok walikotanya sehingga tuduhan menculik orang, memeras, membuka
rumah perjudian dan rumah pelacuran, semuanya ditumpukkan atas diriku dan buaya
darat itu telah dibebaskan.
Dari kepala penjara kudengar bahwa buaya darat itu lelah
menyogok dua ribu tahil perak kepada walikota sehingga semua kesalahannya
ditambahkan seluruhnya atas namaku.
Katanya toh sama saja, suatu pelanggaran dihukum mati,
sepuluh pelanggaran juga dihukum mati, daripada mati dua orang biarlah mati
satu orang saja "
"Keruan aku merasa difitnah dan sangat penasaran aku
ber-teriak2 mencaci maki pembesar durjana itu, Tapi apa dayaku ? Lewat beberapa
hari lagi aku dibawa ke sidang, sungguh aneh bin ajaib, tahu2 buaya darat itu
dihadapkan sidang pula bersamaku.
Kontan saja aku mengumpat habis2an. Tapi pembesar korup
itu lantas berkata dengan ter-tawa: "He, Song Ngo, tidak perlu kau mencak2
begitu, persoalannya sudah kuselidiki dengan jelas bahwa kau memang tidak
bersalah, Bicokot itu bukan dibunuh olehmu, tapi dia pembunuhnya!" sembari
bicara ditudingnya pula buaya darat tadi, lalu akupun dibebaskan.
Tentu saja aku meng-garuk2 kepalaku yang tidak gatal ini,
sudah jelas akulah yang membunuh bicokot itu, mengapa sekarang kesalahan ini
ditimpakan kepada orang lain?"
"Hihi, sungguh pembesar yang konyol dan
linglung," ujar si anak dara dengan mengikik tawa.
"Mana dia linglung," ujar lelaki she Song itu.
"Setiba di rumah, ibuku memberitahukan padaku bahwa
ketika aku diputus hukuman mati, ibu menangis setiap hari di jalan raya, suatu
hari kebetulan dilihat Sin-tiau-hiap dan ditanya sebab musababnya, Beliau
menyatakan sedang ada urusan penting dan takdapat membereskan perkara itu, ibu
di beri uang empat ribu tahil perak untuk menebus diriku.
Selang tiga bulan kemudian, tersiarlah berita yang
menggegerkan, katanya bapak walikota marah2 lantaran habis kecurian delapan
ribu tahil perak, Kuyakin kejadian itu pasti perbuatan Sin-tiau~hiap. kami tak
berani tinggal lagi di tempat asal dan terpaksa pindah ke Lim-an.
Lewat setahun lagi kudengar ada seorang tuan bertangan
buntung sebelah bersama seekor burung raksasa selalu berada di pantai laut dan
memandangi ombak samudera dengan ter-mangu2, Cepat kuburu ke sana dan dapatlah
menemui beliau, disitulah dapat ku-aturkan terima kasih padanya."
"Apa yang kau terima kasihkan?" tiba2 si nyonya
muda menyela, "dia mengeluarkan empat ribu tahil perak dan masuk delapan
ribu tahil perak, jadi masih untung empat ribu tahil bersih. Memangnya orang
she Nyo itu mau berbuat sesuatu yang membuatnya rugi?"
"She Nyo? Sin-tiau-hiap itu she Nyo maksud-mu?"
tanya si anak dara.
"Entah, siapa yang bilang dia she Nyo?" jawab
si nyonya muda.
"Jelas baru saja Taci menyebutnya she Nyo," kata
anak dara itu.
"Ah, kau sendiri yang salah dengar," bantah si
nyonya.
"Baiklah, tak perlu kuribut dengan kau," ujar
si anak dara. "Seumpama betul Sin-tiau-hiap untung bersih empat ribu tahil
perak pasti juga akan dipergunakan untuk membantu kaum miskin dan menolong
orang sengsara."
Serentak semua orang bersorak merauji: "Bagus!
Memang tepat ucapan nona!"
"Eh, Song-toasiok, Sin-tiau-hiap itu memandangi
ombak laut? Apakah dia sedang menunggu sesuatu di sana ?" tanya si anak
dara pula.
"Entahlah, akupun tidak tahu," jawab lelaki She
Ong sambil menggeleng.
Si anak dara mengambil dua potong kayu bakar dan
dilemparkan ke gundukan api unggun, iapun ter-menung2 memandangi api yang
berkobar itu, kemudian ia menggumam pelahan: "Meski Sin-tiau-hiap suka menolong
orang lain, bisa jadi ia sendiripun menyimpan sesuatu persoalan pelik, Sebab
apakah dia termenung memandangi laut? Ya, sebab apakah memandangi laut dengan
ter~mangu2?",
Seorang wanita setengah umur yang duduk di sudut kiri
sana tiba2 menyeletuk "Aku mempunyai seorang adik misan dan beruntung
dapat bertemu dengan Sin-tiau hiap yang sedang memandangi laut dengan
ter-mangu2 itu, karena heran, adik misan pernah tanya beliau, menurut
keterangan Sin-tiau-hiap, katanya isterinya berada di seberang lautan sana dan
takdapat berjumpa."
"Ahhh!" semua orang sama bersuara heran.
"Kiranya Sin-tiau-hiap juga punya isteri," kata
si anak dara cantik, "Entah sebab apakah isterinya berada di seberang
lautan sana, Dia memiliki kepandaian setinggi itu, mengapa dia tidak
menyeberang ke sana untuk mencari isterinya?""
"Adik misanku juga pernah tanya begitu
padanya," tutur si wanita setengah umur tadi, "Tapi beliau menjawab
bahwa lautan seluas itu. entah ke mana baru dapat menemukannya?"
"Ai, kupikir tokoh demikian pasti seorang yang
berbudi dan berperasaan halus, ternyata memang benar," kata si anak dara
dengan menghela napas pelahan. Lalu ia tanya pula: "Adik misanmu tentu
sangat cantik bukan? Diam2 dia menyukai Sin~ tiau-hiap. betul tidak?"
"Hus! Jimoay, kau bicara yang aneh2 lagi!"
bentak si nyonya cantik tadi.
Tapi wanita setengah umur itu lantas berkata: "Ya,
adik misanku memang tergolong cantik. Sin-tiau-hiap telah menyelamatkan jiwa
ibunya dan membunuh ayahnya Apakah diam2 adik misan menyukai Sin-tiau-hiap
sukar diketahui orang lain-Cuma sekarang dia sudah menikah dengan seorang
petani yang baik, Sin-tiau-hiap telah memberi sejumlah uang, penghidupannya
cukup lumayan."
"Sin-tiau-Hap menyelamatkan jiwa ibunya, membunuh
ayahnya sungguh kejadian aneh, aku menjadi rada sangsi apakah betul bisa
terjadi begitu?" ujar si anak dara tadi.
"Kenapa mesti sangsi?" kata sang Taci, si
nyonya cantik, "watak orang itu memang aneh dan sebentar2 berubah, kalau
senang dia menolong jiwa orang, kalau tidak suka lantas dia membunuh, Yu,
memang sudah begitu sejak kecilnya."
"Sudah begitu sejak kecilnya? Taci tahu
darimana?" tanya si anak dara.
"Tentu saja kutahu." jawab si nyonya muda., Dan
meski telah ditanya dan didesak lagi oleh si anak dara, tetap dia tidak mau
menjelaskan.
"Baiklah, kau tak mau bercerita ya sudahlah,
memangnya siapa pingin tahu?" kata si anak dara dengan rada mendongkol
"Rasanya seumpama kau mau bercerita juga cuma membual belaka." Lalu
ia berpaling kepada si wanita setengah umur dan berkata pula: "En, Toasoh,
maukah kau bercerita mengenai pengalaman adik misanmu?"
"Baiklah, akan kuceritakan," jawab wanita itu.
"Usiaku dengan adik misan sebaya, rumah adik berada
di Holam, Tahun itu orang Mongol telah menyerbu sampai di wilayah sana dan
Kohtio (paman) telah diculik pasukan musuh untuk dijadikan kuli kerja paksa,
Bibi membawa adik misan mencari paman ke utara dengan cara minta2 sepanjang
jalan. Susah payah juga perjalanan mereka itu, terutama jika diingat bahwa
wajah bibi dan adik tidaklah jelek, tentu banyak mendatangkan kesuIitan. Sebab
itulah bibi dan adik telah memoles muka dengan hangus agar tidak merangsang
pikiran orang jahat"
"Mengapa muka mereka dibeji hangus menjadi tidak
merangsang orang jahat?" tanya si anak dara.
Karena pertanyaan ini, sebagian orang2 itu, terutama kaum
lelakinya, sama tertawa geli.
"Jimoay!" omel si nyonya muda, "kalau
tidak tahu, hendaklah jangan sembarangan bertanya, Nona sebesar ini hanya
menimbulkan tawa orang saja!"
"Justeru lantaran aku tidak tahu, makanya aku tanya,
kalau sudah tahu buat apa tanya," gerundel si anak dara.
"Ah, urusan kurang pantas diceritakan itu lebih baik
nona tidak paham saja," ujar wanita setengah umur tadi. "Selama empat
tahun bibi dan adik misan menjelajahi Mongol dan kemudian sampai ke Soasay, akhirnya
dapatlah paman diketemukan menjadi budak di bawah seorang Mongol ber-pangkat
Jian-hou-tiang (kepala Seribu Jiwa), Jian-hou-tiang itu sangat jahat ketika
paman diketemukan kebetulan bibi menyaksikan sebelah kakinya baru saja dipukul
patah oleh orang Mongol itu.
Tentu saja bibi sangat berduka dan memohon suaminya
dibebaskan Orang Mongol itu bersedia melepaskan paman apabila ditebus dengan
seribu tahil perak, sebab katanya dia beli paman dengan harga seratus tahil
sedangkan sepuluh tahil saja bibi tidak punya darimana seribu tahil perak itu
diperoleh? Setelah putus asa dan menghadapi jalan buntu, bibi menjadi nekat,
terjunlah dia ke dunia gelap, bersama adik misan dan ia sendiri dijual ke Ca
bo-keng (rumah pelacuran)"
Karena tidak tahu apa artinya "Ca bo-keng" si
anak dara cantik itu hendak bertanya lagi, tapi karena tadi pertanyaannya telah
menimbulkan tertawa orang, tiba2 ia urungkan maksudnya bertanya.
Terdengar wanita setengah baya itu melanjutkan ceritanya:
"Begitulah bibi dan adik misan hidup menderita setengah tahun, sedikit2
mereka sudah ada tabungan, tapi untuk mencukupi seribu tahil perak sungguh
tidak mudah. untunglah para tetamu mengetahui cita2 luhur ibu beranak yang
ingin menolong suami itu, maka waktu memberi uang sengaja dilebihkan daripada
tarip umum.
Dengan susah payah dan kenyang hina derita, pada malaman
tahun baru dapatlah mereka menabung cukup seribu tahil perak, Dengan riang
gembira mereka membawa uang tabungan itu ke rumah Jian-hou-tiang untuk
diserahkan sebagai harga tebus paman, mereka pikir malam itu juga antara suami
isteri dan anak dapat berkumpul kembali sehingga dapat merayakan tahun baru
dengan gembira."
Sampai di smi, si anak dara ikut bergembira juga bagi ibu
beranak yang beruntung itu. Tapi si wanita setengah baya lantas berkata:
"Namun kenyataan ternyata berlainan daripada harapan, setelah menerima
seribu tahil perak, Jian hou-tiang itu memang benar mengeluarkan paman untuk
bertemu bibi dan adik, tapi ketika mereka bertiga menghadap Jian-hou tiang itu
untuk mohon diri, tiba2 timbul lagi pikiran jahat pada orang MongoI itu karena
melihat adik misan ku yang cantik itu, katanya:
"Bagus sekali kalian mau menebus budak ini, nah,
boleh serahkan uang tebusannya! - Keruan bibi terkejut, padahal seribu tahil
perak itu sejak tadi sudah diserahkan kepada kasir Jian-hou tiang itu, mengapa
sekarang menagih lagi? Namun Jian-kou-tiang itu tidak mau terima alasan bibi,
dengan marah ia malah membentak: "Huh, masakah seorang berpangkat seperti
aku ini sudi anglap duit -kaum budak? Kalian sengaja hendak mencemarkan nama
baikku ya?"
Tentu saja bibi menjadi takut dan berduka pula, tanpa
tahan lagi ia menangis ter gerung2 di tempat.
"Jian-hou tiang itu lantas berkata -, "Baik!ah,
mengingat malam ini adalah malaman tahun baru, biarlah kuberi kesempatan
berkumpul kalian suami-isteri. Tapi budak ini mungkin akan kabur, maka sebagai
jaminan anak gadis kalian harus ditinggalkan di sini."
Sudah tentu bibi tahu maksud busuknya dan tidak dapat
menerima kehendak orang, Segera Jian-hou-tiang itu mem-bentak2 gusar dan
memerintahkan anak buahnya mengusir bibi dan paman."
"Karena tidak tega meninggalkan anak perempuannya,
bibi menangis sesambatan di depan rumah Jian-hou-tiang itu. Walaupun setiap
orang mengetahui kesusahan bibi, namun di bawah kekuasaan orang Mongol,
membunuh seorang Han ibarat kan memites seekor semut, siapa yang berani membela
keadilan? Tapi yang paling celaka adalah pamanku, dia malah bilang:
"Kalau tuan besar Jian-hou-tiang penujui anak gadis
kita, inilah rejeki yang sukar dicari bagi orang lain, kenapa kau malah
menangis?" Rupanya paman sudah terlalu lama menjadi budak sehingga jiwa
raganya sampai tulang sungsum-nya benar2 sudah berbau budak.
Kemudian iapun menanyakan bibi darimana mendapatkan
seribu tahil perak untuk menebusnya. Semula bibi tidak mau menjelaskan, karena
didesak, akhirnya diceritakan juga. Tak tahunya paman menjadi marah dan menuduh
bibi telah mencemarkan nama baiknya, katanya perempuan yang tidak dapat menjaga
kepribadian dan suka melacurkan diri, bibi dianggapnya terlalu hina dina.
Segera paman membuat suratce-rai dan menceraikan bibi."
Sampai di sini, semua orang sama menggerutu dan
menganggap nasib bibinya itu sungguh malang dan pamannya itu terlalu kejam.
"Bibi menjadi putus asa," demikian tutur wanita
lebih lanjut, "diam2 beliau pergi ke hutan dan hendak menggantung diri
dengan tali pinggangnya, Untung Sin-tiau-hiap kebetulan lewat dan dapat
menyelamatkan jiwanya, setelah mengetahui duduknya perkara. Sin-tiau-hiap
sangat gusar, malam itu juga beliau masuk ke tempat Jian-hou-tiang itu dan
melihat adik misan sedang dipaksa untuk menuruti kehendaknya, celakanya paman
juga di situ dan malah membujuk agar adik misan menuruti saja.
Kontan Sin-tiau-hiap memukul mati pamanku itu dan
menyeret Jian-hou-tiang itu dan melemparkan ke sungai, adik misan juga ditolong
keluar. Begitulah kisahnya Sin-tiau-hiap menyelamatkan bibi dan membunuh
pamanku. Menurut Sin-tiau-hiap, selama hidupnya paling benci kepada manusia
yang tak berbudi dan tak berperasaan, apalagi rela diperbudak musuh segala,
paman telah melanggar pantangan Sin tiau hiap itu, maka tanpa sungkan2 lantas
dibunuhnya."
Saking kesemsemnya mendengar cerita menarik itu. tanpa
terasa anak dara cilik itu lantas mengangkat mangkok arak dan minum seceguk.
"Ah, pedas!" katanya sambil meringis, Karena
tidak biasa minum arak, seceguk saja telah membuat mukanya menjadi merah
sehingga makin menambah kecantikannya. Dengan pelahan ia berkata pula:
"Kalian beruntung sudah pernah melihat Sin-tiau-hiap, jika akupun dapat
berjumpa dan bicara sejenak dengan dia, andaikan umurku harus berkurang tiga
tahun juga aku rela."
"Jimoay, kenapa kau sembarangan percaya kepada
obrolan orang?" seru si nyonya cantik. "llmu silat orang itu memang
tinggi, tapi kalau dibandingkan ayah masih terlalu jauh, padahal orang itupun
sudah pernah kau lihat, malahan dia pernah memondong kau."
Air muka si anak dara menjadi merah jengah, semprotnya:
"Cis, mengapa Taci juga sembarangan omong, siapa mau percaya?"
"Kalau tidak percaya, setelah pulang nanti boleh kau
tanya ayah dan ibu," kata si nyonya cantik.
"Apa yang dikatakan Sin-tiau-hiap itu sebenarnya she
Nyo bernama Ko, waktu kecilnya juga pernah tinggal di Tho-hoa-to kita,
Lengannya yang buntung itu justeru... justeru... Waktu kau baru lahir dia sudah
lantas memondong kau-"
Kiranya nyonya cantik ini bukan lain daripada Kwe Hu dan
anak dara itu adalah Kwe Yang, sedang pemuda itu adalah adik kembar Kwe Yang,
Kwe Boh-lo.
Ketiga kakak beradik ini disuruh ayah-bundanya ke Cinyang
untuk mengundang Khu Ju-ki, itu tokoh tertinggi Coan-cin-kau pada masa itu,
untuk memimpin Eng-hiong-tay-hwe (pertemuan besar para pahlawan) yang akan
diadakan di Siang-yang. Hari itu mereka bertiga baru pulang dari Cin-yang,
setiba di tempat penyeberangan ini merekapun teralang oleh cuaca yang buruk dan
masuk ke hotel itu sehingga dapat mendengarkan cerita orang2 tadi mengenai
Sin-tiau-hiap, si pendekar sakti rajawali alias Nyo Ko itu.
Dengan cepat 16 tahun berlalu dan sementara itu Kwe Hu
sudah menikah dengan Yalu Ce, Kwe Yang dan Kwe Boh-lo juga sudah besar.
Kwe Yang ber-seri2 mendengar ucapan Kwe Hu tadi, ia
bergumam sendiri: "Begitu aku lahir sudah pernah dipondong olehnya."
ia berpaling dan tanya sang Taci: "Cici bilang waktu kecilnya
Sin-tiau-hiap pernah tinggal di Tho-hoa-to kita, mengapa belum pernah kudengar
hal ini dari ayah dan ibu?"
"Kau tahu apa?" sahut Kwe Hu. "Masih
banyak soal lain yang tidak diceritakan padamu oleh ayah ibu."
Kiranya tentang buntungnya Nyo Ko serta keracunannya
Siao-Iiong li, karena semua itu akibat tindakan Kwe Hu yang ceroboh, setiap
kali kejadian itu disinggung selalu menimbulkan amarah Kwe Cing, meski Kwe Hu
sudah dewasa dan sudah menikah, tetap Kwe Cing mendamperatnya tanpa kenal
ampun.
Sebab itulah setiap anggota keluarga tidak suka menyinggung
lagi selama beberapa tahun ini sehingga Kwe Yang dan Kwe Boh-lo tidak pernah
mendengar orang bercerita kisah si Nyo Ko.
"lika begitu, kan dia mempunyai hubungan erat dengan
keluarga kita, mengapa selama ini dia tak pernah datang ke rumah kita?"
kata Kwe Yang. "Ah, pada Eng-hiong-thay-hwe yang akan diadakan di
Siangyang tangggal 15 bulan tiga nanti Sin-tiau-hiap itu pasti akan
hadir."
"Tindak tanduk orang itu sangat aneh dan wataknya
juga angkuh, belum tentu dia mau datang," ujar Kwe Hu.
"Cici, kita harus berusaha mencari jalan untuk
menyampaikan kartu undangan padanya," kata Kwe Yang. Lalu ia berpaling
kepada lelaki kekar tadi: "Song-toasiok, dapatkah kau menyampaikan surat
kepada Sin-tiau-hiap?"
Orang she Song itu menggeleng dan menjawab:
"Sin-tiau-hiap menjelajahi seluruh jagat, jejaknya
sukar diketemukan untuk mencarinya tidaklah mudah."
Kwe Yang sangat kecewa, dia benar2 sangat tertarik oleh
kisah keluhuran budi dan kepahlawanan Sin-tiau-hiap, sungguh ia ingin bisa
bertemu dengan pendekar rajawali sakti itu, ia merasa gegetun bahwa
Sin-tiau-hiap yang dikaguminya itu tak dapat hadir pada Eng-hiong-thay-hwe
nanti.
Katanya kemudian sambil menghela napas: "Ai, orang
yang hadir nanti belum tentu semuanya ksatria sejati, sebaliknya ksatria sejati
belum tentu mau hadir ke sana."
"Bluk", mendadak terdengar suara gedebuk yang
keras, seorang mendadak melompat berdiri dari pojok ruangan sana, rupanya orang
yang sejak tadi tidur meringkuk itulah. Segera semua orang merasa ada suara
gemuruh laksana bunyi guruh, kiranya orang itu sedang berkata.
"Apa sulitnya jika nona ingin menemui Sin-tiau-hiap,
biarlah malam ini juga akan kubawa kau untuk menjumpai beliau."
Memangnya semua orang terkaget oleh suara orang yang
gemuruh keras itu, apalagi setelah melihat jelas bentuk tubuh dan wajahnya,
semua orang tampak heran. Kiranya perawakan orang itu tidak lebih dari satu
meter, tubuhnya juga kurus kecil namun kepalanya yang besar, telapak tangannya
dan telapak kakinya ternyata jauh lebih besar dari pada orang biasa.
Sejak tadi dia meringkuk di pojok ruangan sehingga tidak
diperhatikan oleh siapapun juga, siapa tahu begitu dia berdiri ternyata
bentuknya begini aneh dan lucu.
Dengan girang Kwe Yang lantas menanggapi ajakan orang
aneh itu: "Bagus jika engkau mau membawaku ke sana, cuma selamanya aku
tidak kenal Sin tiau-hiap, entah beliau mau menemui aku atau tidak?"
"Tapi kalau malam nanti kau tidak menemui dia,
selanjutnya mungkin kau takkan dapat melihat dia lagi," kata orang cebol
itu dengan suaranya yang mengguruh.
"Sebab apa?" tanya Kwe Yang heran. Kwe Hu
lantas berdiri dan tanya si cebol: "Mohon tanya siapakah namamu yang
terhormat?"
"Hehehe!"
"orang pendek itu ter-kekek2, katanya "Orang
buruk rupa macamku ini masakah di dunia ini ada keduanya? Kalau kau tidak kenal
diriku, pulang saja tanya kepada ayah-ibumu."
Pada saat itulah sayup2 terdengar suara seruan
berkumandang dari jauh: "Komplotan setan dari Se-san, sepuluh sudah datang
sembilan. Wahai Hong thian-fui, kau tidak datang sekarang, mau tunggu sampai kapan?"
Suara sayup2 itu seperti terputus lalu bersambung pula,
lirih dan seram kedengarannya, tapi sekata demi sekata dapat terdengar dengan
jelas.
Si cebol melongo sejenak, mendadak ia menggertak keras2,
debu pasir lantas berhamburan disertai percikan pecahan batu dan genting. Semua
orang sama memejamkan mata dan waktu membuka mata lagi ternyata si cebol sudah
menghilang entah ke mana.
Semua orang terkejut, waktu menengadah, tertampak atap
rumah telah berlubang besar, Kiranya orang cebol itu menerjang keluar dengan
menjebol atap.
"Lihay benar orang itu, cici," kata Kwe Boh-lo.
Kwe Hu sudah cukup berpengalaman dan banyak tokoh
persilatan yang dikenalnya, tapi betapa lihay kepala si cebol ini belum pernah
dia dengar dari ayah-ibunya, seketika iapun melenggong dan tak dapat menanggapi
ucapan adiknya itu.
Kwe Yang lantas nyeletuk: "Di antara guru2 yang
pernah mengajar ayah juga ada seorang pendek bernama Ma-ong-sin Han Pok-ki.
Sam-te sembarangan menyebut orang sebagai si cebol, kalau didengar ayah tentu
beliau akan marah. Kau harus menyebutnya sebagai Locianpwe."
Belum lagi Kwe Boh-lo menjawab, tiba2 terdengar pula
suara "blang" yang keras, seketika debu pasir bertebaran Iagi,
malahan muka beberapa orang terkena cipratan batu kerikil dan menjerit kesakitan.
Di tengah suara ribut itulah tahu2 terlihat si cebol tadi
sudah berdiri pula di tengah ruangan, dinding sebelah timur sana telah bobol
suatu lubang setinggi tatu meteran dan lebarnya lebih setengah meter. Kiranya
orang cebol ini menerjang masuk dengan menjebol dinding.
Ilmu silat Kwe Hu sekarang sudah tentu jauh lebih tinggi
daripada belasan tahun yang lalu, tapi tidak urung iapun terkejut melihat
kelihayan Nge-kang (kekuatan luar) si cebol, cepat ia melompat maju mengadang
di depan kedua adiknya untuk menjaga kalau2 si cebol mendadak menyerang.
Orang cebol itu menjulurkan kepalanya yang sebesar
gentong itu dan melongok ke belakang Kwe Hu, katanya kepada Kwe Yang: "Eh,
nona cilik, kalau kau ingin bertemu dengan Sin-tiau-hiap, marilah ikut padaku."
"Baiklah!" jawab Kwe Yang tanpa pikir,
"Hayo Taci dan Samte, kita pergi bersama."
"Ah, untuk apa menemui dia? Kau jangan pergi,
apalagi kita belum pernah kenal tuan ini," ujar Kwe Hu.
"Kupergi sebentar dan segera kembali, kalian tunggu
saja di sini," kata Kwe Yang.
Mendadak orang she Song tadi berbangkit dan berseru:
"Nona cilik, sekali2 kau jangan pergi. Orang ini... orang ini adalah tokoh
gerombolan setan dari Se-san, jika kau ikut pergi, besar, . . besar kemungkinan
akan celakai
"Hehehe, kau juga tahu gerombolan setan dari
Se-san?" si cebol mengekek tawa, "Maksudmu kami adalah orang
jahat?"
Habis itu sebelah tangannya mendadak menyodok ke depan,
belum tangannya menyentuh tubuh Song Ngo, tahu2 tubuh Song Ngo sudah tergetar
mundur dan menumbuk dinding, seketika mukanya pucat, kedua kaki lemas dan
terkulai ke lantai, kepalanya bergelantungan lemas di depan dada, entah sudah
mati atau masih hidup.
Kwe Hu menjadi gusar, walaupun tahu kepandaian si cebol
lebih tinggi juga tidak boleh kena digertak hingga diam saja, segera ia
berteriak: "Engkan silakan pergi saja, Adikku masih kecil, mana boleh
mengikuti kau kian kemari di tengah malam buta?"
Pada saat itu pula suara sayup2 terputus2 tadi
berkumandang pula: "Gerombolan setan dari Se-san sepuluh sudah datang
sembilan, Hong-thian-lui, wahai Hong-thian-lui, arwahmu tidak muncul, orang
sudah Iama menunggu!"
Suara itu kedengaran sangat jauh, tiba2 seperti sangat
dekat dan mengiang di kanan-kiri sehingga membuat merinding orang.
Kwe Yang sudah bertekad harus bertemu dengan
Sin-tiau-hiap sekalipun nanti akan kepergok setan iblis, maka segera ia
menjawab: "Baiklah, Cian-pwe, bawalah aku!"
Berbareng ia terus melompat ke sana dan menerobos keluar
melalui lubang dinding yang dibobol si cebol tadi.
"He, kau!" seru Kwe Hu sambil meraih tangan
sang adik, tapi luput, cepat iapun melompat ke sana hendak mengejar keluar
melalui lubang dinding.
Siapa tahu baru saja tubuhnya hendak menerobos keluar,
mendadak lubang dinding itu menghilang. Untung kepandaian Kwe Hu kini sudah
cukup sempurna dan dapat mengendalikan tubuh sendiri sesuka hati, cepat ia
anjiok ke bawah sehingga daya terobosnya tadi dihentikan seketika, begitu
kakinya menyentuh lantai, ternyata dirinya tepat berdiri di depan dinding,
jaraknya cuma belasan senti saja. Waktu ia dapat melihat jelas, hampir saja ia
menjerit kaget.
Ternyata tubuh si cebol tadi dengan tepat terisi di
lubang dinding itu, kepalanya yang besar dan bahunya yang lebar itu persis
seperti dicetak pada dinding itu. Kwe Hu berdiri berhadapan dengan makhluk aneh
bermuka buruk itu, malahan tadi mukanya hampir mencium muka si cebol, keruan
saja ia terkejut, cepat ia melompat mundur lagi
Segera terasalah angin dingin meniup, dinding itu kembali
berlubang bentuk tubuh manusia cebol lagi, tapi si cebol sendiri sudah
menghilang.
"Jimoay, kembali!" seru Kwe Hu sambil menerobos
keluar, didengarnya suara tertawa keras di kejauhan, mana ada bayangan si Kwe
Yang cilik?
Rupanya setelah si cebol menggertak mundur Kwe Hu, segera
pula ia melompat keluar dan mendekati Kwe Yang, katanya: "Bagus, nona
cilik sungguh pembrani!"
Segera ia pegang tangan Kwe Yang dan diajak melompat ke
depan, sekali lompat dua-tiga meter jauhnya, jangan dikira orang cebol itu
kakinya cekak, lompatannya ternyata sangat jauh dan cepat lagi, yang digunakan
ternyata adalah Ginkang yang lain daripada yang lain, seperti katak saja ia
terus melompat2 ke depan, biarpun membawa serta Kwe Yang, namun gerak-geriknya
tetap sangat lincah dan enteng.
Tangan Kwe Yang yang digenggam si cebol itu rasanya
seperti dijepit oleh tanggam sehingga terasa sakit, hatinya menjadi berdebar
kuatir, entah dirinya hendak dibawa ke mana oleh orang cebol ini?
Sejak kecil Kwe Yang langsung mendapat didikan dari Kwe
Cing dan Ui Yong, dasarnya anak dara itu pintar dan cerdik, semula ia masih
sanggup mengikuti lompatan orang cebol itu, tapi lama2 ia menjadi lelah dan
perlu ditarik dan diangkat baru dia dapat sama naik dan sama turun dengan si
cebol.
Setelah berlompatan begitu beberapa li jauhnya, tiba2
dari balik bukit sana ada orang tertawa dan berkata dengan suara halus:
"Hai, Hong-thian-lui, mengapa kau datang terlambat? Eb, malahan kau
membawa anak dara secantik itu!"
"Nona cilik ini adalah puteri Kwe Cing dan ingin
melihat Sin-tiau-hiap, maka aku membawanya kemari," kata si cebol.
"Puteri Kwe Cing?" orang tadi menegas dengan
melengak.
Dari bukit sana suara seorang lagi berkata: "Sudah
lewat tengah malam, lekas berangkat!" Menyusul mana terdengarlah suara
derapan kuda lari yang riuh, dari balik bukit lantas muncul belasan ekor kuda.
Sementara itu salju masih terus turun dengan lebatnya,
dari pantulan cahaya salju itu dapatlah Kwe Yang melihat belasan ekor kuda itu
seluruhnya ada sembilan penunggang kuda yang berlainan bangun tubuh masing2,
ada yang tinggi dan ada yang pendek, ada lelaki dan juga ada perempuan,
sebagian besar kuda itu tanpa penunggang malah.
Si cebol tadi mendekat ke sana dan menuntun dua ekor
kuda, seekor diserahkannya kepada Kwe Yang, ia sendiri menunggang seekor, lalu
membentak: "Hayo berangkat!" Sekali bersuit, ber-bondong2 belasan
ekor kuda itu terus membedal cepat ke arah barat laut.
Dari bentuk tubuh kesembilan orang itu Kwe Yang melihat
jelas dua di antaranya adalah perempuan, yang satu kelihatan sudah tua renta,
seorang lagi berpakaian merah membara sehingga sangat menyolok di tanah salju
yang putih bersih itu.
Wajah ketujuh orang lainnya tidak jelas, hanya perawakan
seorang di antaranya sangat tinggi kurus sehingga mirip tiang bendera
terpancang di atas pelana kuda.
Rombongan mereka terus mengaburkan kuda dengan cepat,
setelah belasan li mereka lantas berganti kuda tunggangan agar kuda yang
pertama dapat mengaso.
Diam2 Kwe Yang membatin: "Dari suara sayup2 yang
terdengar tadi katanya gerombolan setan Se-san sepuluh sudah datang sembilan,
kini termasuk si cebol tadi jumlah mereka memang sepuluh, Tampaknya mereka
inilah yang disebut gerombolan setan dari Se-san.
Menurut Song-toa siok tadi, katanya besar bahayanya jika
aku ikut mereka dan si cebol terus hantam paman Song itu hingga sekarat,
kelihatannya orang2 ini sangat kejam.
Tapi orang cebol itu mengatakan hendak membawaku menemui
Sin-thay-hiap, agaknya ucapannya juga tidak dusta, Kalau mereka kenal
Sin-tiau-hiap, kukira mereka pasti bukan orang jahat."
Dalam sekejap saja belasan li sudah berlalu pula, orang
yang paling depan mendadak bersuara dan belasan ekor kuda itu serentak berhenti
Orang di depan itu lantas melarikan kudanya ke suatu tempat yang tinggi, lalu
memutar balik,
Kwe Yang menjadi terkejut dan geli pula melihat wajahnya.
Kiranya orang ini juga seorang cebol, tubuh yang berada di atas kuda tidak
lebih daripada setengah meter, tapi jenggotnya yang panjang itu ada satu
meteran sehingga melambai ke bawah perut kuda, mukanya berkeriput kedua alis
terkerut seperti orang yang selalu bersedih.
"Dari sini ke To-ma-peng tidak lebih 30 li
saja," terdengar orang tua itu berkata, "konon ilmu silat
Sin-tiau-hiap itu sangat tinggi, sebaiknya kita berunding dahulu agar
gerombolan setan dari Se-san tidak kehilangan pamor."
"Silakan Toako memberi petunjuk saja," ujar si
perempuan tua tadi.
"Apakah kita harus bertempur secara bergiliran
dengan ia atau mengerubutnya sekaligus?" tanya orang tua cebol berjenggot
panjang itu.
Kwe Yang terkejut pula, dari nada pembicaraan orang2 ini jelas
mereka hendak memusuhi Sin-tiau -hiap.
Terdengar perempuan tua tadi berkata: "Sebenarnya
Sin-tiau-hiap itu memang mempunyai kepandaian sejati atau cuma bernama kosong
belaka? Dalam hal ini, Jit-te, hanya kau yang pernah berjumpa dengan dia, coba
kau memberi keterangan sekedarnya!"
Seorang laki2 tinggi besar lantas berkata: "Meski
pernah kulihat dia, tapi aku tidak sampai bergebrak dengan dia kukira....
kukira dia memang rada2...".
"Jit-ko," tiba2 perempuan berpakaian merah ikut
bicara, "sebab apa kau sampai bermusuhan dengan Sin-tiau-hiap, hendaklah
kau jelaskan lebih dulu agar nanti kalau bertarung juga kita sudah mempunyai
pegangan."
"Gerombolan setan dari Se-san selamanya
sehidup-semati, kalau Sin-tiau-hiap itu sudah mengeluruk ke sini, apakah kita
harus mengkeret dan menyingkir?"
Lelaki yang bertubuh tinggi kurus seperti lidi itu
berkata: "Siapa yang bilang menyingkir? Andaikan Kiu-moay (adik
kesembilan) tidak tanya juga, aku ingin tahu apa sebabnya kau bermusuhan dengan
dia, soalnya kita kan tidak merasa bersalah dan mengapa dia sesumbar hendak
mengusir gerombolan setan Se-san keluar wilayah Soasay ini?"
"lni, coba lihat, dia telah memotong sepasang daun
telingaku, kalau sakit hati ini tidak dibalas, lalu persaudaraan apalagi
diantara kita?" teriak lelaki besar tadi dengan gusar, berbareng ia terus
menarik kopiahnya sehingga kelihatan kedua sisi kepalanya itu halus licin tanpa
kuping.
Kesembilan orang yang lain dari "Gerombolan setan
Se-san" itu menjadi gusar, beberapa diantaranya lantas mengumpat, ada yang
berjingkrak murka dan menyatakan hendak melabrak Sin-tiau-hiap dengan
mati-matian.
"Jit-ko," si perempuan baju merah berkata pula,
"sebab apa dia memotong daun telingamu? Apa kesalahanmu? Tentunya kau
menggoda wanita keluarga baik2 lagi, bukan?"
Seorang yang berwajah selalu tertawa berkata dengan
gusar: "Sekalipun Jit-ko memang menggoda wanita keluarga baik2 juga tidak
perlu diurusi orang lain."
Wajah orang ini sangat aneh, meski sedang gusar toh air
mukanya yang tertawa itu tidak menjadi berubah. Waktu Kwe Yang mengamati lebih
teliti, kiranya bibir orang itu menjengkit ke atas, kedua matanya kecil, maka
biarpun sedang sedih atau menangis juga tampaknya sedang tertawa riang.
Lelaki tadi menjawab: "Tidak, tidak! Soalnya waktu
itu isteriku bercekcok dengan keempat gundikku mengenai urusan tetek-bengek,
dari ribut mulut akhirnya saling cakar2an dan main pisau segala,
KebetuLan apa yang disebut Sin-tiau-hiap itu lalu, dasar
orang itu memang suka ikut campur urusan orang lain, dia berusaha melerai
pertengkaran itu.
Sungguh brengsek, gundikku yang ketiga itu tersenyum
padanya.
"O, tahulah aku, Jit-ko lantas cemburu, bukan?"
tukas si perempuan berbaju merah.
"Cemburu gimana? Soalnya aku tidak ingin urusan
rumah-tanggaku dicampur-tangani orang luar," kata lelaki itu, "Sekali
jotos tiga gigi gundikku itu kurontokkan, lalu si buntung sialan itu lantas
kusuruh enyah."
Sampai di sini, Kwe Yang takdapat menahan rasa
dongkolnya, segera ia menanggapi: "He, maksudnya kan baik, mengapa kau
berlaku kasar padanya? jelas dalam urusan ini kau yang salah."
Semua orang berpaling memandang anak dara, itu, sama
sekali mereka tidak menduga nona secilik itu berani ikut bicara.
Lelaki itu menjadi rnarah dan membentak.
"Sialan! kau anak sekecil ini juga berani menggurui
aku? Go-ko, anak dara ini apamu?"
"Dia ingin melihat Sin-tiau-hiap dan aku membawanya
ke sana, urusan lain aku tidak peduli," jawab si cebol kepala besar tadi.
"Baik, jika begitu akan kuajar adat padanya,"
kata lelaki kekar itu, tarrrr, segera cambuknya menyabet kepala Kwe Yang,
Cepat Kwe Yang menangkis dengan cambuknya sehingga kedua
cambuk terlibat menjadi satu. Waktu lelaki itu membetot sekuatnya, seketika Kwe
Yang merasa ditarik oleh suatu tenaga yang dahsyat dan terpaksa melepaskan
pegangannya. setelah berhasil merampas cambuk Kwe Yang, segera cambuk lelaki
tadi hendak disabetkan lagi.
Syukur si cebol berjenggot panjang tadi lantas berseru:
"Jit-te, kita harus cepat berangkat, untuk apa mengurusi seorang anak
kecil?"
Lelaki itu merandek, cambuk yang sudah terangkat ke atas
itu tidak jadi dihantamkan. Si kakek jenggot panjang lantas menjengek:
"Hm, gerombolan setan dari Se-san adalah tokoh yang tidak gentar pada
langit dan takut pada bumi, betapapun nyaring tersohornya Kwe Cing dan Ui Yong
juga tak dapat menggertak kami. he, anak dara, jika kau berani banyak omong
lagi segera kami sembelih kau."
Lalu dia berpaling dan berkata pula, "Jit te, lelaki
sejati berani berbuat berani tanggung jawab, kalau jatuh harus cepat merangkak
bangun, Jenggot ku yang panjang ini dahulu juga pernah dipotong orang, Kedua
kupingmu itu cara bagaimana dipotong orang?"
"Ketika kusuruh Sin-tiau-hiap itu enyah, dia juga
tidak membantah. ia malah tertawa saja terus melangkah pergi," demikian
tutur lelaki kekar tadi, "Sungguh sialan, tiba2 gundikku yang keempat
berteriak2 dan menangis, katanya dia kupaksa menjadi gundik dan hidup tersiksa,
kini dianiaya pula oleh isteri tua, mendengar itu mendadak Sin-tiau-hiap
memutar balik dan tanya padaku: "Apakah benar perkataannya itu?"
"Dengan mendongkol kujawab: "Kalau betul mau
apa dan kalau tidak betul lantas bagaimana? Aku berjuluk Sat-sin-kui (setan
elmaut), selamanya membunuh orang tanpa kenal ampun, tahu tidak kau?"
Dengan kurang senang dia berkata: "Jika kau suka
padanya, mengapa sudah kawini dia lalu mengambil lagi perempuan lain? Kalau
tidak suka padanya, mengapa tadinya kau menikahi dia?"
"Aku bergelak tertawa dan berkata: "Semula
memang suka padanya, sesudah bosan lantas tidak suka lagi, Lelaki mempunyai
tiga isteri atau empat gundik adalah kejadian biasa, kenapa mesti heran?
Hahaha, malahan aku hendak mengambil tiga gundik lagi."
Dia lantas mengomel "Jika manusia tak berbudi dan
tidak setia macam kau bertambah banyak lagi di dunia ini, bukankah semua
perempuan di dunia ini akan kecewa terhadap kaum lelaki?" -
Habis berkata mendadak ia menubruk maju dan melolos
belatiku, sekaligus kedua kupingku dipotong, lalu belati mengancam di depan
dadaku dan membentak " Akan kukorek hatimu, ingin kulihat warna apakah
hatimu ini!"
Tentu saja aku mati kutu... untunglah isteri dan para
gundikku itu lantas berlutut dan memohonkan ampun padanya, malahan gundik
ketiga dan keempat itu menangis me-raung2. Hm, sungguh memalukan, benar2
memalukan Aku menjadi gusar dan berteriak:
"Lekas kau turun tangani jika kau membunuh aku,
arwah gerombolan setan Se-san pasti senantiasa akan mengisari kau."
Dia mengerut kening dan berkata kepada perempuan2ku itu:
"Manusia tak berbudi begini, masakah kalian malah mintakan ampun
baginya?"
Perempuan2ku itu tidak msnjawab melainkan terus
menyembah, Dia lantas berkata pula: "Baiklah! sekarang kuam-puni kau. Tapi
akupun tidak gentar terhadap gerombolan setan dari Se-san itu. Pada akhir bulan
ini akan kunantikan kalian di To-mo-peng, boleh kau undang seluruh gerombolan
itu untuk menemui aku di sana. Kalau tidak berani datang, sekaligus kalian
harus enyah dari wilayah Soasay dan tak oleh kembali ke sini selamanya."
Selesai lelaki kekar itu menutur, semua orang sama
terdiam. selang sebentar barulah perempuan tua tadi bertanya: "Senjata apa
yang digunakannya? Dari aliran manakah ilmu silatnya?"
"Lengan buntung sebelah, dia tidak memakai senjata
apa2," tutur si lelaki tadi, "Mengenai aliran ilmu silatnya,
tampaknya... tampaknya sukar diketahui."
Perempuan tua tadi berkata pula: "Toako, sekali
gebrak saja orang itu lantas membikin jit-te tak bisa berkutik. tentu
kepandaiannya sangat lihay, Kita harus mengerubutnya saja, Toako menghadapi
dari depan, biarlah aku dan Go-te menyerang dari samping, dengan tiga lawan satu
masakah kita kalah? sebaiknya kita harus menyerang dengan cepat sekaligus
membinasakan dia."
Kakek jenggot panjing merenung sejenak, katanya kemudian:
"Nama Sin-tiau-hiap itu sangat termashyur, pertarungan nanti sungguh luar
biasa, Biarlah kita mengerubutnya secara ber-ramai2 dan mengerahkan segenap
tenaga dan senjata yang kita punyai.
Selama gerombolan kita bersatu belum melabrak orang
dengan maju sepuluh orang sekaligus dan baru sekarang terjadi untuk pertama
kali ini, kalau sudah begitu kita masih belum dapat membinasakan dia, maka
biarlah kita bersepuluh ini dari setan bayangan menjadi setan sungguhan
saja."
Tiba2 si kakek cebol kepala besar tadi ikut bicara:
"Toako, kita bersepuluh mengeroyok dia seorang, kalau menang rasanya juga
kurang terhormat, jika tersiar juga akan ditertawakan orang2 Kangouw."
"Bila Sin-tiau-hiap itu dapat kita bunuh, kecuali
anak dara ini kukira tiada orang lain lagi yang tahu," ujar si nenek tadi.
Baru selesai uca-pannya, dengan pelahan iapun mengangkat tangannya.
Cepat si cebol kepala besar mengadang di depan Kwe Yang
sambil mengebaskan lengan baju-nya, menyusul dari lengan bajunya dicabutnya
sebuah jarum lembut, katanya:
"Jici, aku yang membawa anak dara ini kemari,
janganlah mencelakai dia." Lalu ia berpaling dan berkata kepada Kwe Yang.
"Nona Kwe, jika kau ingin melihat Sin~tiau-hiap, kejadian malam ini jangan
sekali2 kau ceritakan kepada orang lain, Kalau tidak, boleh kau pulang sekarang
saja."
Ngeri dan gusar pula Kwe Yang, ia pikir nenek itu sungguh
amat keji, kalau bukan paman cebol itu menoIongnya, mungkin dirinya sudah
binasa tertusuk oleh jarum yang lembut dan tanpa suara itu. Segera iapun
menjawab "Baiklah, takkan kuceritakan kepada siapapun juga. "
Lalu ditambahkannya: "Kalian bersepuluh, masakah
Sin~tiau-hiap sendiri tidak mempunyai pembantu?"
Si cebol kepala besar bergelak tertawa, katanya:
"Sudah belasan tahun Sin-tiau-hiap itu berkecimpung di Kangouw dan tak
pernah terdengar dia membawa pembantu, yang ada cuma seekor rajawali yang
senantiasa mendampingi dia."
Habis berkata, "tarrr!" cambuknya menggeletar
di udara dan membentak: "Hayolah berangkat!"
Setelah berlari sekian jauhnya, orang cebol itu berkata
pula kepada Kwe Yang: "Sebentar kalau sudah saling gebrak, jangan sekali2
kau menjauhi aku."
Kwe Yang mengangguk ia tahu gerombolan setan dari Se-san
ini ada sebagian sangat jahat dan tidak kenal ampun, bisa jadi mendadak dirinya
diserang dan si cebol kepala besar ini tidak sempat menolongnya.
Diam2 iapun berkuatir bagi Sin tiau-hiap yang akan
dikerubut kesembilan orang ini, betapapun tinggi kepandaian pendekar rajawali
sakti itu apakah sanggup satu lawan sepuIuh? ia pikir kalau ayah- ibunya berada
di sini tentu segalanya akan beres, beliau2 pasti takkan tinggal diam saja
menyaksikan pertarungan yang tidak adil ini.
Tengah mereka melarikan kuda dengan cepat, tiba2 dari
dalam hutan di depan yang gelap gulita sana berkumandang suara auman harimau,
beberapa ekor kuda sama berjingkrak kaget dan takut. ada yang terus berdiri
diam dan ada yang malah terus putar haluan hendak kabur.
Si jangkung tadi segera mengayun cambuknya beberapa kali
dan mendahului menerjang kedalam hutan. Si nenek juga mengomeli kudanya:
"Binatang tak berguna, memangnya takut dicaplok kucing liar begitu?
"- - Be-ramai2 mereka terus menghalau kawanan kuda mereka dan ikut
menerobos ke dalam hutan.
Setelah membedal lagi beberapa puluh meter jauhnya, tiba2
seseorang membentak di depan: "Siapa itu berani terobosan di
Bii-iiu-san-ceng malam2 begini?"
serentak Gerombolan setan Se san itu menahan kuda mereka,
tertampaklah seorang mengadang di tengah jalan, kedua sisinya masing2 mendekam
seekor harimau loreng. Mendengar suara raungan harimau yang kereng itu, kembali
kawanan kuda ber-jingkrak ketakutan.
Setelah menguasai kembali kudanya, si kakek cebol jenggot
panjang lantas memberi hormat dan berkata "GeromboIan Setan Se-san
kebetulan lewat di sini dan tidak sempat berkunjung harap suka memaafkan."
Orang yang menghadang di depan itu menjawab: "O,
kalian inikah Gerombolan Setan dari Se-san? jadi saudara ini Tiang-si-kui
(setan jenggot panjang) Hoan-ya (tuan Hoao)?"
"Betul" jawab si kakek jenggot panjang,
"Ada urusan penting kami harus menuju To-ma-peng, kembalinya nanti kami
akan mampir untuk mohon maaf lagi."
Rupanya iapun tahu orang Ban-siu-san-ceng (perkampungan
berlaksa binatang) sukar dilawan, pula mereka sekarang harus mencurahkan
segenap perhatian untuk menghadapi Sin-tiau-hiap, maka bicaranya sangatlah
rendah hati.
"Coba kalian menunggu sebentar," kata orang
itu, lalu ia berteriak: "Toako, inilah Gerombolan Setan Se-san yang hendak
pergi ke To-ma-peng katanya kembalinya nanti akan datang untuk minta
maaf."
Kawanan "Setan" itu merasa kurang senang
mendengar ucapannya itu mereka mengatakan kembalinya nanti akan mampir untuk
minta maaf, kata2 ini tidak lebih hanya sebagai basa-basi saja, masakah
dianggapnya Gerombolan Setan Se-san benar2 gentar kepada pihak
Ban-siu-san-ceng?
Maka terdengarlah suara seorang menjawab dengan lagak
tuan besar di dalam hutan: "Minta maaf sih tidak perlu, suruh mereka pergi
dengan mengitar hutan saja."
Serentak kawanan setan-- itu menjadi gusar, si jangkung
tadi lantas mendengus: "Hm, selamanya Gerombolan Setan Se-san kalau
berjalan tidak pernah main mengitari"
Habis berkata segera ia melarikan kudanya terus menerjang
ke depan.
Tapi sehati orang yang mengadang itu memberi aba2,
serentak kedua harimau di sampingnya terus menubruk maju. Karena kaget dan
takut, kuda si jangkung berjingkrak berdiri. Tampaknya si jangkung sangat
menguasai kuda tunggangannya, sambil tetap menempel di atas pelana,
"sret", cepat kedua tangannya mengeluarkan senjatanya yang berbentuk
sepasang tumbak pendek dan kontan menikam ke arah kedua ekor harimau.
Harimau yang sebelah kiri cepat melompat minggir,
sedangkan cakar harimau sebelah kanan sempat merobek perut kuda si jangkung,
tapi binatang buasnya itupun meraung keras, rupanya juga terluka oleh tikaman
tumbak.
Segera si jangkung melompat turun dan membentak
"HayoIah keluarkan senjatamu!" Berba-reng ia terus pasang kuda2 dan
siap tempur.
Orang di depan sana menjengek: "Hm, kau berani
melukai kucing piaraanku, andaikan sekarang kau mau mengitar hutan juga tidak
kuidzinkan lagi Bu-siang-kui (setan gentayangan), tinggalkan saja
tumbakmu!"
Si jangkung melengak juga karena julukannya dengan tepat
disebut lawan, jawabnya: "siapakah kau? Selama ini Ban--siu-san-ceng
berada di Se keng, mengapa sekarang pindah ke sini? Kau ingin kutinggalkan
tumbakku, hah, memangnya begitu gampang?"
"Kediaman Ban siu-san-ceng memang berada di Se-keng,
tapi kalau kami ingin pindah tempatkan tidak perlu lapor dulu kepada kawanan
setan macam kalian toh?" ujar orang itu.
"Bahwa Toako kami suruh kalian lewat mengitar hutan
sudah cukup ramah, soalnya Samko kami sedang sakit dan tidak suka diganggu
orang, kau tahu tidak?"
Berkata sampai di sini, mendadak tangan kirinya meraih ke
depan, tahu- gagang tumbak yang dekat dengan ujung tumbak si Bu-siang-kui kena
dipegang olehnya.
Sama sekali Bu siang-kui tidak menduga gerakan tangan
lawan sedemikian cepatnya, cepat ia menarik sekuatnya, Tapi orang itupun
membetot dan ditekuk pula sehingga terdengar "pletak" dua
kali.sepasang tumbak pendek itu patah semua.
Padahal tumbak2 itu terbuat dari besi, karena tenaga
kedua orang sama kerasnya hingga tumbak itu tak dapat menahan tenaga tarikan
mereka dan akhirnya patah.
Kejadian ini membuat Gerombolan Setan Se-san melengak. Si
kakek jenggot panjang yang berjuluk "Setan jengot panjang" lantas
berkata: "Rupanya saudara inilah Pat jiu-sian-kau (kera sakti bertangan
delapan) Apakah Kim kah-say-ong (raja singa bersisik emas) kurang sehat? Saat
ini kami ada urusan lain, biarlah kita bertemu lagi di sini besok pada saat
yang sama."
Kiranya Ban-siu-san-ceng itu dipimpin oleh lima
bersaudara, Toako atau kakak tertua Pek-hia san-kun ( raja gunung dahi putih )
Su Pek-wi, Jiko atau kakak kedua Koan-kian-cu (si bumbung perak ) Su Tiong
beng, Samko ( kakak ketiga ) Kim-kah-say-ong Su Siokkang, Suko ( kakak ke-empat
) Tay-lik-sin ( malaikat bertenaga raksasa ) Su ki-kiang dan saudara yang
terkecil ialah Pat-jiu-sian-kau Su Beng-ciat ini.
Turun temurun keluarga Bu itu hidup sebagai penjinak
binatang, sampai di tangan kelima bersaudara ini bahkan tambah maju kepandaian
mereka, bukan saja cara menjinakkan binatang terlebih lihay, bahkan dari gerak
gerik setiap binatang buas yang mereka lihat setiap hari itu dipelajari dan
dipahami menjadi gerakan ilmu silat yang khas, jadi binatang2 buas se-akan2
menjadi guru kelima bersaudara itu sehingga jadilah mereka memiliki ilmu silat
yang tinggi.
Waktu Su Siok kang, yaitu kakak ketiga yang berjuluk
Kim-kah-say-ong itu berumur 20-an, suatu hari ketika sedang berburu, secara
kebetulan dia bertemu dengan orang kosen dan berhasil meyakinkan pula Lwekang
yang tinggi, sepulangnya di rumah ia mengajarkan Lwekang itu pula kepada
saudara2nya.
Begitulah semakin banyak mereka memiara binatang buas
semakin tinggi pula ilmu silat yang mereka yakinkan Nama Ban-siu-san ceng juga
mulai terkenal di dunia Kanguow, maka orang- Bu-lim telah memberikan julukan
kepada kelima bersaudara ha sebagai "Hou-pa-say jio-kau" (harimau,
macan tutul, smga, gajah dan kera). Di antara mereka berlima Kim kah say-ong.
si singa berbaju emas, terkenal paling lihay.
Maka Tiang-si-kui merasa lega demi mendengar Su Siok-kang
sedang sakit, betapapun lihaynya musuh juga kawanan "Setan" mereka
tidak gentar, apalagi sekarang pihak lawan berkurang tokoh utama-nya, maka ia
lantas menetapkan malam besok untuk pertarungan yang menentukan.
"Baik," segera Pak-jiu-sian-kau Su Beng-ciat
menjawab "besok malam kami bersaudara akan menunggu kalian di sini."
Habis berkata, sekali tangan bergerak, "pIok-plok", kedua potong
tumbak patah yang dirampasnya tadi menyamber dan menancap batang pohon di
sebelah Tiang-si-kui.
Diam2 Tiang Si-kui terkesiap dan heran mengapa pihak lawan
tetap tidak memperbolehkan mereka lewat menerobos hutan, ada pekerjaan apa
kelima saudara Su itu di sini? Segera ia memberi salam: "Baiklah kami
mohon diri!"
Kedua kakinya mengempit kencang, segera ia melarikan
kudanya ke depan.
"He, tunggu dulu!" kembali Su Beng-ciat
berteriak mencegah, "Toako kami menyuruh kalian lewat mengitar hutan,
apakah kalian tidak berkuping atau memang tuli?"
Tiang-si-kui menahan kudanya dan baru mau menjawab,
terdengarlah di kanan kiri depan sana dua orang tertawa ter-bahak2, menyusul
asap tebal lantas mengepul, dua orang berteriak berbarengi
"Main gila apa di dalam hutan? Mana Gerombolan Setan
Se-san dapat dikelabui?"
Rupanya secara diam2 Song-bun-kui dan Siau-bin-kui, setan
sialan dan setan muka ketawa, yaitu setan ke-8 dan ke-10 menurut urut2an
mereka, telah memutar ke belakang sana untuk menyalakan api ketika Su Beng-ciat
sedang bicara dengan Tiang si kui.
Tapi baru saja api mulai berkobar, menyusul lantas
terdengar Song~bun-kui dan Siau~bin-kui menjerit kaget dan berlari kembali
seperti memergoki sesuatu makhluk yang mengerikan.
"Ada apa?" janya Tiang-si-kui.
"Macan! Harimau! ada seratus, dua ratus
ekor..." seru Song-bun-kui:
Su Beng-ciat kelihatan sangat murka melihat api mulai
menjilat pepohonan, ia berteriak sekeras-nya: "Toako, Jiko, yang penting
padamkan api duiu, biarkan gerombolan setan ini pergi saja, masakah kelak kita
takdapat menemukan mereka?"
Pada saat itulah se-konyong2 pandangan semua orang serasa
bureng, seekor binatang sebesar anjing kecil mendadak menerobos keluar dari
hutan dan sekejap saja sudah kabur ke sana. Tubuh binatang itu tidak besar,
tapi keempat kakinya sangat panjang warna bulunya putih mulus, hanya bagian
ekor saja berwarna hitam, bentuknya mirip kucing dan mem-per anjing.
"Hm, Kau-twe-Ieng-fccu kabur!" seru Su
Beng-ciat dan segera ia mengidak ke sana. Suara teriakannya itu penuh mengunjuk
rasa kaget, cemas dan kuatir.
Mendadak pula terdengar pula suara raungan yang keras di
dalam hutan, suara raungan yang menyerupai raungan harimau dan mirip pula auman
singa, malahan seperti suara teriakan orang namun suara manusia seyogianya
tidak sekeras dan senyaring itu.
Terdengar suara raungan itu, diam2 Kwe Yang rada
merinding. Setelah suara raungan itu, serentak be-ratus2 binatang buas juga
lantas mengaum di segenap penjuru, suara singa, harimau, macan tutul, serigala,
gajah, kera, gorila dan entah binatang buas apalagi dan sukar dibedakan.
Menyusul terdengarlah suara gemuruh, be-ratus2, bahkan
be-ribu2 binatang buas itu ber-bondong2 lari keluar hutan,
Seorang lantas berseru: "Toako ke sebelah timur,
Ji-ko sebelah barat, Site (adik keempat) ke tenggara..." jelas ada suara
orang ini sama dengan suara raungan tadi.
Sekilas Kwe Yang melihat beberapa sosok bayangan orang
berkelebat keluar hutan lebat itu, walaupun tahu bahaya, tapi ia tak dapat
menahan rasa ingin tahunya, cepat iapun melarikan kudanya menyusul keluar
hutan.
Cepat si cebol kepala besar yang berjuluk Toa-thau-kui
(setao kepala besar) tadi berteriak: "He, nona Kwe, jangan pergi!"
Segera iapun keprak kudanya menyusulnya.
Begitu berada di luar hutan, seketika Kwe Yang
menyaksikan pemandangan aneh. Dilihatnya lima orang sama2 memimpin segerombolan
binatang sedang mengurung ke bagian tengah di tanah datar yang berselimutkan
salju itu, tampaknya kawanan binatang buas itu sudah terlatih, mereka tidak
saling cakar dan bertengkar sendiri, tapi kesana kemari, cara lari mereka
sangat teratur.
Kwe Yang merasa takut tapi juga sangat tertarik untuk
menonton, Dilihatnya lingkaran kelima barisan binatang buas itu semakin menciut
sehingga di tengah2 kelihatan sebuah bundaran, tapi mendadak sesosok bayangan
putih berkelebat, binatang kecil yang menyerupai anjing tadi lari menerobos
keluar dari kepungan binatang buas, secepat angin binatang kecil itu melayang
lewat di depan Kwe Yang.
"Kiu-bwe-leng-hou! Di sana, lari ke sana!"
terdengar kelima bersaudara she Su itu ber- teriak2, menyusul gerombolan
binatang buas itu lantas menerjang tiba seperti gugur gunung dahsyatnya.
Cepat Kwe Yang menarik kudanya menyingkir ke pinggir,
tapi kuda itu menjadi ketakutan melihat binatang buas sebanyak itu, saking
takutnya hingga kaki lemas terus jatuh mendeprok. Keruan Kwe Yang terkejut,
kalau gerombolan binatang itu menerjang ke arahnya, tentu tubuhnya akan ter-injak2
hancur lebur.
Lekas2 ia melompat turun dari pelana kudanya dan berlari
ke samping sana. Terendus olehnya bau amis, kawanan binatang buas itu terus
mengalir lewat di sebelahnya laksana air bah dan sejenak saja sudah menjauh.
Sementara itu Gerombolan Setan Se-san juga sudah berada
di luar hutan, si kakek jenggot panjang berkata: "Betapapun tinggi
kepandaian keluarga Su juga kita tidak gentar, hanya kawanan binatang itulah
yang sukar dihalau. Malam ini kita tidak perlu cari perkara lagi, kita harus piara
tenaga untuk menghadapi Sin-tiau-hiap. Marilah kita berangkat!"
Si nenek juga berkata: "Ya, malam ini kita bunuh
Sin-tiau-hiap, besok kita pesta panggang daging harimau dan singa!" -
Habis itu ia terus menarik kudanya dan hendak meneruskan perjalanan dengan
mengitari hutan.
Pada saat itulah mendadak suara raungan binatang buas
tadi terdengar gemuruh pula, gerombolan binatang itu datang lagi dari berbagai
arah.
Sekali ini suara raungan bnatang itu tidak begitu buas,
larinya juga tidak cepat Namun Tiang-si-kui menjadi kuatir, katanya:
"CeIaka! Lekas kita pergi!"
Namun sudah terlambat, di sekeliling mereka terkepung,
Cepat Tiang-si kui bersuit, sepuluh orang lantas melompat turun dan berdiri
pada lima sudut dengan senjata terhunus menantikan serangan musuh.
"Nona Kwe," kata Toa-thau-kui, si setan kepala
btsar, "lekas pulang saja kau, tidak perlu ikut menyerempet bahaya di
sini."
"Tapi mana Sin-tiau-hiap? Kau sudah berjanji akan
membawaku untuk menemuinya," kata Kwe Yang.
"Apakah kau tidak melihat binatang buas sebanyak
ini?" ujar Toa-thau-kui dengan mengernyitkan kening.
"Bicaralah secara baik2 dengan majikan gerombolan
binatang itu, katakan kalian ada janji dengan Sin-tiau hiap dan tiada waktu
tertahan lama di sini," ujar Kwe Yang.
"Hm, Gerombolan Setan Se-san tidak pernah bicara
secara baik2 dengan siapapun juga," kata Toa-thau-kui.
Tengah bicara, sementara itu kelima bersaudara Su itu
sudah muncul. Mereka sama memakai jubah kulit binatang, sesudah berhadapan
dengan Gerombolan Setan, tetap Su Beag-ciat yang menjadi juru bicara, katanya:
"Selamanya Ban-siu-san ceng tidak pernah bermusuhan dengan Kawanan Setan,
mengapa kalian membakar hutan dan menghalau lari Kiu-bwe-leng-hou (rase cerdik
berekor sembilan)?"
Dari nada ucapan orang, Kwe Yang merasakan orang she Su
itu sangat gusar dan gemas sekali Pikirnya: "walaupun binatang kecil tadi
sangat menyenangkan tapi tampaknya juga tiada sesuatu yang istimewa, mengapa
mesti marah2 begitu rupa? jelas binatang itu cuma punya sebuah ekor, mengapa
disebut rase berekor sembilan?"
Maka terdengar perempuan yang berpakaian serba merah dari
pihak Gerombolan Setan menjawab: "Peristiwa ini awal mulanya adalah gara2
tindakan kalian sendiri, selamanya Ban-siu-san-ceng berdiam di wilayah Sa-keng,
mengapa mendadak muncul di daerah Soasay sini dan di tengah malam buta melarang
orang lain lewat di jalan umum ini. Sikap kalian yang tidak se-mena2 ini
masakah kalian malah menyalahkan pihak lain?"
"Persoalan sekarang ini tidak perlu dibicarakan
pokoknya tiada seorangpun di antara kalian dapat hidup lagi," mendadak
Pek-hia-san-kun Su Pek-wi membentak. Sekali mengaum murka, dengan bertangan
kosong ia terus menubruk ke arah Tiang-si-kui, kedua telapak tangannya
tergenggam laksana cakar harimau segera mencengkeram, begitu hebat dan dahsyat,
sekalipun harimau benar2 juga tidak seganas itu.
Cepat Tiang-si-kui melangkah mundur terus menggeser,
"serrr", senjatanya yang panjang terus menyapu pinggang lawan. Tanpa
menghindar, cakar harimau Su Pek-wi lantas mencengkeram ujung senjata lawan,
kiranya senjata Tiang-sin-kui itu adalah sebatang tongkat baja yang besar dan
berat.
Belum lagi cengkeraman Su Pek-wi itu mengencang, mendadak
tangan terasa panas, cepat ia lepaskan kembali tangannya sambil disampuk ke
sam-ping. Untung dia dapat bergerak dengan cepat sehingga dadanya terhindar
dari sodokan tongkat.
Diam2 Su Pek-wi terkesiap, baru sekarang ia tahu
Gerombolan Setan Se-san itu memang bukan orang sembarangan pantas nama mereka
akhir2 ini semakin menanjak, ia tidak berani gegabah lagi "creng",
segera iapun mengeluarkan senjatanya, yakni Hoa-thau-kau (kaitan dengan ujung
berukir kepala harimau), sepasang kaitan baja itu beratnya ada 30 kati dan
merupakan senjata yang tajam dan lihay.
Begitulah dua larik sinar kuning berkelebat kaitan itu
lantas menempur sengit tongkat baja si Setan jenggot panjang.
Sementara itu Kaan-kian-cu Su Tiong-beng dengan
senjatanya yang berupa sepasang bumbung atau pipa perak juga telah melabrak Jui
beng-kui setan pencabut nyawa, yang bersenjatakan golok dan tombak si
Song-bun-kui.
Sedangkan Tay-lik-sin Su Ki-kiang juga menempur Tiau-si
kui (setan gantung) yaitu si nenek, yang bersenjatakan seutas tali panjang lagi
lemas sehingga sukar diraba, ia hanya meraung2 murka saja dan sukar
mengembangkan tenaga raksasa yang dimilikinya.
Di sebelah sana Pat-jiu-sian-kau Su Beng ciat juga
menghadapi Toa thau-kui, si Setan Kepala Besar" dengan senjatanya yang
berwujut godam persegi delapan.
Su Beng-ciat bersenjata sepasang Boan koan-pit, potlot
baja berujung runcing, serangannya hebat, tenaganya kuat, Toa-thiiu kui rada
kewalahan cepat Siau-yau-kui, Setan Cantik, yaitu perempuan berbaju serba
merah, segera menubruk maju membantunya dengan senjata golok.
Di tanah salju itu terjadilah pertarungan sengit sepuluh
orang terbagilah menjadi empat partai, bunga salju bertebaran. namun
pertempuran belum dapat menentukan kalah dan menang.
Pihak Gerombolan Setan masih ada empat orang belum ikut
turun tangan, sebalnya pihak lawan hanya Kim-Kah-say ong saja yang belum
bergerak. Terlihat dia bersandar pada tubuh seekor singa jantan tampaknya
menderita sesuatu penyakit lemas lunglai.
Melihat situasi pertarungan ini, jelas pihak Gerombolan
Setan lebih untung karena berjumlah lebih banyak, tapi kalau persaudaraan Su
itu berseru memberi komando, seketika kawanan binatang buas itu pasti akan
menerjang dan Gerombolan Setan itu pasti akan celaka.
Siau-bian kui, si setan muka tertawa juga merasa kebat
kebit menyaksikan kawanan binatang buas yang siap menunggu perintah itu, ia
pikir sebentar harus menggunakan kabut racun untuk merobohkan sebagian binatang
itu baru dapat menerjang keluar kepungan.
Sementara itu pertarungan sengit sudah berlangsung sekian
lama, Tiang- si-kui dan Su Pek- wi tetap sama kuatnya, Tiau si-kui, si nenek
dapat memainkan talinya yang panjang itu dengan cara yang aneh dan ujung tali
selalu berubah menjadi lingkaran jiratan, kalau Su Ki-kiang meleng, mungkin
lehernya bisa terjirat. Tapi karena dia memiliki tenaga raksasa, mau tak-mau
Tiau-si-kui juga rada jeri.
Toa-lhau-kui dan Siau-kui bahu-membahu menghadapi Su
Beng-ciat, mereka dapat bekerja sama dengan baik, Tapi gerak serangan Su Beng
ciat cepat lagi aneh, mereka terus berputar, terdengar suara Toa-thau-kui
meng-guruh2, sedangkan si Setan cantik tertawa ngikik, tujuan mereka
memancarkan perhatian musuh, namun Su Beng ciat anggap tidak mendengar dan
menempur mereka dengan sengit.
Di sebelah sana Ji Beng-kui dan Song-bun-kui ternyata
tidak mampu menandingi pipa perak Su Tiong-beng, Pipa perak yang digunakan
sebagai senjata itu lebih pendek daripada toya dan kosong bagian tengah, gaya
serangannya juga aneh.
Suatu ketika Song-bun-kui menusuk dengan tumbaknya, tapi
Su Tiong-beng justeru mengincar ujung tumbak lawan dan pipanya juga ditusukkan
kedepan, pipa itu terus menyelongsong ke bawah sehingga gagang tumbak terkunci
di dalam pipa.
Keruan Song-bun-kui terkejut dan cepat menarik tumbak
kirinya itu, tumbak terus diputar untuk menjaga diri.
Melihat kawannya terancam bahaya, cepat To-ceh-kui, si
Setan Penagih Utang, menubruk untuk membantu, senjatanya yang berbentuk
sepotong pelat besi segera memotong ke pipa Su Tiong heng.
Kiranya senjata To-ceh-kui itu terdiri dari lima potong
pelat besi sehingga berbentuk buku utang-piutang sesuai namanya sebagai tukang
tagih utang, Tepi pelat besi itu tajam sehingga merupakan sejenis senjata aneh
dan lihay.
Sebenarnya GeromboIan Setan Se san itu masing2 mempunyai
nama asli sendiri2, tapi sejak nama "Gerombolan Setan Se-san"
terkenal di dunia Kangouw, mereka lantas membuang nama aslinya dan menggunakan
julukan Setan sebagai tanda pengenal.
Apalagi tindak tanduk dan bentuk tubuh dan wajah mereka
bersepuIuh memang juga aneh dan ber-beda2. Misalnya si To-ceh kui, Setan
penagih utang, dia menggunakan senjata lima helai pelat besi sehingga
menyerupai buku utang piutang, soalnya dia memang juga pendendam, sakit hati
sekecil apapun juga pasti akan dituntut-balasnya, tiada seorangpun dapat lolos
jika pernah menyakiti hatinya.
Sebab itulah dia diberi julukan setan tukang tagih utang.
Tapi dia malah senang dengan nama poyokan itu, senjata pelat besi di ubahnya
menjadi seperti halaman buku, tipis dengan tepinya sangat tajam, bahkan pelat
besi itu diukir nama musuhnya dengan kesalahannya, kalau sakit hati itu sudah
dibereskan barulah nama musuh itu dicoret.
Pipa perak adalah senjata aneh, tapi buku besi itu
terlebih aneh, lima halaman besi itu saling bergesek dan mengeluarkan tuara
nyaring, Dengan bertiga setan menempur Su Tiong beng barulah ke adaan mereka
rada mendingan.
Kwe Yang terus mengikuti pertempuran itu di samping,
dilihatnya cuaca sudah mulai remang2 fajar sudah hampir tiba, tapi pertarungan
itu masih berlangsung dengan sengitnya, ia pikir janji pertemuan kesepuluh
setan itu dengan Sin-tiau-hiap sudah lewat waktunya, mungkin tidak sabar
menunggu dan pendekar sakti itu sudah pergi sendiri, ia menjadi gelisah dan
kecewa karena maksudnya melihat Sin-tiau-hiap tak tersampai, untuk melerai
pertempuran orang2 itupun ia tak mampu.
Dilihatnya kawanan binatang buas itu sama mendekam di
tanah dalam suatu tingkatan yang rapat, seumpama Gerombolan Setan itu dapat
membinasakan kelima saudara Su juga sukar menerjang keluar kepungan kawanan
binatang buas itu.
Keadaan demikian juga disadari oleh GeromboIan Setan itu.
Maka si nenek, yaitu setan gantung, berhasrat menangkap Tay-lik-sin Su Ki-Kiang
dengan tali jiratannya yang panjang itu. asalkan lawan berhasil ditawan tentu
dapat digunakan sebagai sandera untuk memaksa Su- si hengte (saudara keluarga
Su) membubarkan kepungan binatang buasnya.
Namun kepandaian Su Ki kiang sendiri lebih tinggi
daripada Tiau-si kui si setan gantung, hanya saja senjata tali memang aneh dan
sukar dilayani, makanya kedudukan mereka menjadi sama kuat, tapi untuk
menangkapnya jelas tidaklah mudah.
Siau-bian-kui, si setan muka tertawa tahu keadaan sangat
berbahaya, ia pikir tiada jalan lain terpaksa harus menggunakan akal licik.
Segera ia berseru: "Jici, biar kubantu kau!" Segera ia melolos
senjatanya dan menerjang ke arah Su Ki-kiang.
Su Ki-kiang tidak gentar ketambahan seorang lawan,
"Bagus!" serunya menyambut terjangan musuh, berbareng senjatanya gada
baja terus mengepruk kepala orang.
Cepat Siau-bian-kui mengegos sambil menangkis dengan
sepasang ruyung "Prak, krek", senjata saling beradu dan kedua ruyung
seketika patah. Tapi dari bagian yang patah itu lantas mengepul asap putih
kemerahan Su Ki-kiang melengak, langkahnya rada sempoyongan terus roboh
terjungkal.
Tanpa ayal tali jirat si setan gantung terus di-lempar ke
depan dan tepat menjirat kedua kaki musuh.
Kiranya gagang ruyung Siau bin-kui itu kopong dan
tersimpan bubuk racun, pada gagang ruyung-nya terpasang pesawat rahasia, sekali
ditekan segera bubuk racun akan tersembur untuk mencelakai musuh.
Tapi tenaga Su Ki-kiang teramat besar, sekali hantam ia
patahkan ruyung lawan. Tapi meski senjatanya patah tetap Siau-bin-kui dan Tiau
si kui berhasil menawan Su Ki kiang.
"He, he! Apa2an kalian ini? Merobohkan lawan dengan
cara licik, terhitung orang gagah macam apa?" seru Kwe Yang.
Melihat saudaranya tertawan musuh, Su Pek-wi, Su
Tiong-beng dnn Su Beng-ciat juga terkejut dan murka, Tapi apa daya, mereka
sendiri terlibat dalam pertempuran dan sukar memberi bantuan.
Kwe Yang sendiri sebenarnya tidak membela manapun, cuma
dilihatnya cara Siau bian-kui merobohkan Su Ki-kiang itu kurang
"sportip", maka dia berseru mencelanya.
Pada saat itu juga tiba2 terdengar suara rating-an di
sebelah sana, terlihat Kim kah-say-ong Su Siok-kang berbangkit pelahan, lalu
membentak dengan suara berat: "Lepaskan saudaraku!"
Su Ki-kiang tidak sadarkan diri, Tiau-si kui meringkusnya
dengan tali, bahkan menambahkan beberapa kali tutukan pada Hiat-to yang penting
agar takdapat berkutik bila nanti sudah siuman, ia menjawab: "Silakan kau
menyingkirkan kawanan binatang ini dan memberi jalan, segera kami membebaskan
saudaramu."
Dilihatnya kedua mata Su Siok kang cekung, mukanya pucat,
jalannya sempoyongan, jelas sedang sakit parah, maka kawanan setan itu tidak
merasa gentar.
simpatik Kwe Yarg beroda pada Su Siok-kang, melihat orang
dalam keadaan sakit toh tetap hendak menolong saudaranya, cepat ia berseru.
"He engkau sakit, jangan ikut bertempur."
Su Siok-kang mengangguk padanya dan mengucapkan terima
kasih, tapi langkahnya tidak berhenti, ia masih terus mendekati Su Ki-kiang
yang menggeletak teringkus musuh itu.
Siau-bian kui mengedipi Tiau-si-kui, kedua orang lantas
menubruk dari kanan dan liri, mereka hendak menangkap sekaligus lawan yang
tampaknya sakit tebese ini. Begitu sudah dekat, keempat tangan mereka terus
mencengkeram.
Tapi mendadak Su Siok-kiang meraung seperti singa, tangan
kirinya menabok pundak Tiau-si-kui dan tangan kanan menyodok dada Siau-bin-kui,
seketika kedua "setan" itu merasa ditekan oleh suatu tenaga maha
dahsyat, langkah mereka menjadi terhuyung dan hampir saja terperosot jatuh.
Cepat mereka melompat mundur, untunglah Su Siok-kiang
tidak mengejar maju, Keruan mereka saling pandang dengan kaget dan sama
berkeringat dingin, sama sekali tak mereka duga bahwa orang yang tampaknya
sakit tebese itu ternyata sedemikian lihaynya.
Su Siok-kiang lantas melepaskan Hiat-to saudaranya yang
tertutuk itu, sekali tarik, tali Tiau-si-kui yang meringkus Su Ki-kiangitu
lantas putus menjadi beberapa potong. Namun Su Ki-kiang belum lagi sadar karena
dia kena asap beracun.
Sambil mengerut kening Su Siok-kang membentak
"Berikan obat penawarnya!"
"Bubarkan dulu kepungan binatang buas kalian dan
segera kuberikan obat penawar," jawab Siau-bin-kui.
Su Siok-kiang mendengus, lalu melangkah ke arah
Siau-bin-kui dengan sempoyongan.
Siau-bin kui tidak berani melawannya, cepat ia mengelak
ke samping. Rupanya karena sakit sehingga gerak-geriknya tidak leluasa, namun
Su Siok -kang masih terus melangkah ke arah Siau-bin-kui.
Sudah tentu sisa keempat "setan" yang masih
menganggur itu tidak tinggal diam, segera mereka mengerubut maju, Siau-hin-kui
juga lantas memutar balik untuk ikut mengeroyok. Gerak serangan Su Siok-kang
sangat lamban, tapi tenaga pukulannya amat kuat, kelima setan itu mengepungnya
di tengah sambil melancarkan serangan dengan golok dan tumbak, namun tidak
berani terlalu mendekat
Diam2 Kwe Yang menaruh kasihan kepada Su Ki-kiang yang
dirobohkan lawan dengan akal licik dan belum sadar itu, segera ia mencomot
sepotong salju dan di-usap2kan di dahi Su Ki-kiang, lalu secomot kecil bunga
salju dijejalkan ke mulutnya.
Rupanya asap racun tadi takdapat bertahan terlalu lama,
Su Ki-kiang sendiri sehat dan kuat, begitu kepala terasa dingin dan mulut
dicekoki es batu, segera pikirannya jernih kembali, pelahan ia lantas merangkak
bangun dan mengucek-ucek matanya, ia menjadi murka demi melihat kakak ketiganya
dikerubut lima orang, ia berteriak: "Mundur dulu, Samko!" Berbareng
ia terus menubruk maju dan merangkul pinggang Siau-bin-kui.
Di sebelah Iain Su Pek-wi yang sedang menempur sengit
Tiang-si-kui itu menjadi girang melihat Su Ki-kiang sudah siuman kembali,
segera ia bersuit panjang, serentak kawanan binatang buas yang sejak tadi hanya
mendekam di atas tanah itu berdiri semua demi mendengar suitan itu dan
ber-siap2 hendak menubruk musuh.
Ketika Su Pek-wi menggertak lagi dengan suara keras,
serentak kawanan binatang itupun mengaum buas,
Meski GoromboIan Setan Se-san itu sudah banyak
berpengalaman di medan pertempuran, tapi menyaksikan suasana yang mengerikan
ini mau-tak-mau mereka menjadi kuatir, Benar saja, belum lenyap suara raungan
kawanan binatang itu, di sana sini berbagai jenis binatang buas sudah lantas
menerjang maju dan menerkam ke sepuluh "setan" itu.
Kwe Yang menjerit kaget dengan muka pucat.
Syukur Su Siok-kang lantas menyadari keadaan anak dara
itu, cepat ia mendorong seekor harimau yang sedang menubruk ke arah Kwe Yang,
menyusul ia tanggalkan kopiah kulit sendiri dan dipasang di kepala anak dara.
Agaknya kawanan binatang buas itu sudah ter-latih, begitu
melihat Kwe Yang memakai kopiah kulit, mereka tidak menubruknya lagi melainkan
terus membelok ke sana dan menyerang Gerombolan Setan.
Macam2 binatang buas, ada harimau, singa, serigala, makan
tutul, gorila, beruang dan sebagainya serentak menerjang ke sepuluh Setan itu,
namun Gerombolan Setan itu juga bertahan mati2an belasan ekor binatang buas
itupun dapat mereka binasakan.
Tapi lantaran Su-si-hengte terus memberi aba2 di samping
sana, pula jumlah binatang buas itu teramat banyak, hanya sekejap saja
Gerombolan Setan itu sudah terluka semua, baju robek dan darah mengucur,
tampaknya dalam waktu singkat mereka pasti akan dilalap habis oleh kawanan
binatang buas itu.
Ketika itu Kwe Yang melihat tiga ekor singa jantan sedang
mengkerubuti Toa-thau-kui, si Setan Kepala besar, godam besar yang merupakan
senjata andalannya itu sudah terjatuh, lengan kanannya tergigit seekor singa
dan tak dilepaskan.
Hanya tangan kiri saja yang masih terus menghantam
serabutan dan sekadar bertahan mati2-an terhadap terkaman kedua ekor singa yang
lain.
Teringat oleh Kwe Yang bahwa Toa-thau kui itulah yang
membawanya ke sini, sekarang orang terancam bahaya, ia menjadi tidak tega,
tanpa pikir ia lantas menanggalkan kopiah kulit yang dipakainya itu serta
dilemparkan ke atas kepala Toa-thau-kui, Kopiah kecil di atas kepala besar,
tentunya menggelikan rampaknya, bahkan kopiah itu ber-goyang2 hendak jatuh ke
bawah.
Rupanya di waktu melatih kawanan binatang itu kelima
saudara Su itu selalu memakai kopiah kulit, serentak ketiga ekor singa itu
tidak menubruk dan menggigitnya lagi dan terus menyingkir pergi.
Dalam pada itu Kwe Yang sendiri telah terkepung oleh
empat ekor macan tutul, Keruan ia, ketakutan dan men-jerit2.
Saat itu Su Siok-kang sedang berusaha merampas tongkat
baja si Tiang-si-kui agar tongkat itu tidak banyak mengambil korban kawanan
binatang buas, Demi mendengar jeritan Kwe Yang ia menoleh dan terkejut, tapi
jaraknya dengan anak dara itu agak jauh dan sukar memberi pertolongan.
Aneh juga, begitu keempat ekor macan tutul itu mendekati
Kwe Yang, mereka tidak menerkam dan mencakamya, sebaliknya seperti anjing
piaraan saja mereka mengitari Kwe Yang sambil mengendusnya disertai
meng-gesek2kan tubuhnya pada anak dara itu, tampaknya seperti sudah kenal
dengan akrab sekali.
Kwe Yang sebenarnya sudah ketakutan dan pasrah nasib, ia
menjadi terkesiap ketika melihat macan tutul itu tidak bermaksud jahat padanya,
segera ia teringat kepada cerita ibu dan kakaknya bahwa waktu bayinya dahulu
dirinya pernah menetek pada induk harimau tutul, agaknya keempat macan tutul
itu mencium bau aneh pada tubuhnya tehingga menganggapnya sebagai kaum
sejenisnya.
Dengan takut2 girang Kwe Yang lantas berjongkok dan
merangkul leher dua ekor macan tutul, dua ekor yang lain lantas menjilati
tangannya dan mukanya. Keruan Kwe Yang merasa kerih dan tertawa terkikik.
Selama menjadi pelatih dan penjinak binatang buas, belum
pernah kelima saudara Su itu menyaksikan adegan aneh itu, keruan mereka melongo
heran.
Meski Toa-thau-kui sendiri dapat terhindar dari bahaya
berkat kopiah kulit, tapi melihat kesembilan saudara angkatnya sukar lolos dari
renggutan elmaut, betapapun ia takdapat mencari selamat sendiri, Tanpa pikir ia
terus memegang kopiah kulit dan dilemparkan kepada Siau-kui, si perempuan
berbaju serba merah, sambil berseru: "Kiu-moay, pakailah kopiah ini dan
lekas menyelamatkan diri!"
Siau-kui menangkap kopiah itu dan dilemparkan kepada
Tiang-si kui, serunya: "Toako, engkau saja menerjang keluar dahulu, kelak
berusaha lagi menuntut balas bagi kita!"
Tapi Tiang-si-kui juga lantas melangsir kopiah itu kepada
Siau bin-kui sembari berteriak: "Capte (adik kesepuluh), menuntut balas
biarpun sepuluh tahun lagi juga belum kasip, Engkau saja lekas lari, kakakmu
ini sudah cukup umur dan sudah bosan hidup!" Ternyata di antara mereka
sangat setia satu sama lain, siapapun tiiak mau meninggalkan kawannya untuk
menyelamatkan diri sendiri.
Karena dikerubuti lima ekor serigala Siau-bin-kui tidak
sempat mengoper kopiahnya kepada saudara yang lain, sedangkan serigala terkenal
rakus dan buas, sekali merasakan darah, betapapun tidak mau tinggal pergi,
meski Siai-"nn-kui memegang kopiah itu, serigala2 itu masih belum mau
meninggal kan mangsanya itu.
Tentu saja Siao-bin-kui mencaci maki dengan gusar, namun
wajahnya tetap tersenyum simpul.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara suitan nyaring
di atas, seorang berseru lantang: "Gerombolan Setan Se-san ingkar janji,
aku menunggu semalaman secara sia2, kiranya kalian sedang ribut dengan kawanan
binatang di sini!"
Girang sekali Kwe Yang mendengar ucapan itu, pikirnya:
"Aha, Sin-tiau-hiap sudah datang" Waktu ia mendongak, terlihat
seorang berduduk di atas dahan pohon, di sebelahnya menangkring pula seekor
rajawali besar dan buruk rupa.
Orang itu memakai jubah panjang warna putih, lengan baju
kanan terselip pada ikat pinggang, nyata memang buntung lengannya, Waktu
memandang wajahnya, seketika Kwe Yang bergidik, air mukanya ternyata pucat kaku
seperti mayat, hakikatnya bukan air muka manusia hidup.
Banyak juga orang bermuka buruk dan menakutkan, misalnya
para Gerombolan Setan Se-san itu juga semuanya berwajahj penjahat, tapi tidak
seburuk dan menyeramkan seperti ini.
Sebelum ini dalam hati kecil Kwe Yang membayangkan wajah
Sin-tiau-hiap itu pasti cakap ganteng, kini ia menjadi sangat kecewa melihat
kejelekan mukanya itu, Tanpa terasa ia memandang sekejap lagi padanya, terlihat
sorot matanya memancarkan sinar tajam. Sinar mata tajam itu sekilas mengerling
ke arahnya dan tiba-2 terhenti sejenak seperti rada menimbulkan rasa herannya.
Tanpa terasa wajah Kwe Yang menjadi merah jengah dan
tanpa kuasa menunduk malu, samar2 ia merasa sang Sin-tiau-hiap toh tidak
terlalu buruk.
Sin tiau-hiap dihadapan Kwe Yang ini memang betul Nyo Ko
adanya, Selama 16 Tahun ini dia menunggu dengan menderita akan bertemu kembali
dengan Siao-liong-li, ia telah berkelana ke segenap penjuru dan memberikan
darma baktinya bagi sesamanya, karena dia selalu ditemani rajawali sakti itu,
maka didapatkanlah nama julukan "Sin-tiau-hiap".
Ia merasa berdosa waktu mukanya telah banyak digilai anak
perempuan seperti Kongsun Lik-oh lelah binasa demi menolong jiwanya, Thia Eng
dan Liok Bu siang hidup merana karena patah hati ia pikir kalau mukanya buruk,
tentu takkan menarik perhatian anak perempuan itu. Sebab itulah sekarang ia
memakai kedok muka pemberian Ui Yok-su dahuIu untuk menutupi wajah aslinya.
Malam ini dia mestinya ada janji bertemu dengan
Gerombolan Setan Se-san di Te-ma-peng, tapi pihak lawan ternyata ingkar janji
dan tidak datang, sebab itulah ia lantas mencarinya malah dan kebetulan dilihatnya
apa yang terjadi di hutan ini.
Jiwa kesepuluh setan itu sebenarnya sudah terancam di
tengah kerubutan kawanan binatang buas sebanyak itu, kini mendadak Nyo Ko
membuka suara pula sehingga bertambah lagi satu musuh tangguh bagi mereka,
keruan mereka menjadi putus asa dan yakin sekali ini jiwa mereka pasti akan
melayang semuanya.
Dalam pada itu terdengar Nyo Ko berkata pula dengan suara
lantang: "Beberapa saudara ini mungkin adalah Su-si hengte dari Ban-siu
san-ceng? Silakan kalian berhenti dulu dan dengarkanlah perkataanku."
"Kami memang she Su," jawab Su Pek-wi,
"Dan siapakah tuan?" Tapi segera ia menambahkan "Ah, maaf
agaknya tuan inilah Sin-tiau-hiap?"
"Terima kasih, memang betul Cayhe adanya,"
sahut Nyo Ko. "Harap kalian lekas menghentikan amukan kawanan binatang
buas itu, kaiau terlambat sebentar lagi mungkin para setan gadungan ini akan
berubah menjadi setan sungguhan."
"Ya, biar jadi setan sungguhan barulah kami bicara
denganmu," ujar Su Pek wi.
Nyo Ko mengernyitkan kening, katanya: "Tapi Gerombolan
Setan itu sudah ada janji pertemuan denganku lebih dulu, kalau binatang kalian
membinasakan mereka. lalu kepada siapa aku harus bicara lagi?"
Mendengar ucapan Nyo Ko mulai kasar, Su Pek wi menjengek,
ia malah memberi aba2 agar kawanan binatang menyerang lebih ganas,
"Kalau kau sudah tahu aku ini Sin-tiau-hiap, mengapa
kau tidak ambil pusing kepada perkataanku?" bentak Nyo Ko.
"Memangnya kalau Sin-tiau hiap lantas
bagaimana?" jawab Su Pek-wi dengan tertawa, "Kalau mampu boleh kau
menghentikan serangan kawanan binatang kami ini,"
"Baik," kata Nyo Ko. "Marilah, Tiau-heng,
kita turun!"
Habis berkata, bersama rajawali raksasa itu mereka lantas
melompat ke bawah. sebelum Nyo Ko dan rajawali itu menyentuh tanah, kawanan
binatang sudah lantas meraung dan menubruk maju, Tapi sekali sayap rajawali itu
menyabet ke kanan dan menyampuk ke kiri, kontan beberapa ekor binatang yang
lebih kecil seperti serigala dan sebagainya lantas berjungkal, Seekor singa dan
seekor harimau mengaum murka dm menubruk tiba, kembali sayap rajawali menyabet,
bukan main kekuatannya, singa dan harimau itu sama terguling dan tak mampu
mendekati lagi.
Menyusul sayap yang lain menyabet pula, kontan kepala
seekor macan tutul hancur berantakan. Melihat kesaktian rajawali itu, kawanan binatang
buas yang lain menjadi ketakutan dan tak berani menyerang pula, semuanya
mendekam di kejauhan sambil mengeluarkan suara menggereng.
Su Pek-wi menjadi gusar, segera iu memapaki Nyo Ko,
tangannya seperti cakar macan itu terus mencengkeram ke dada lawacu Namun Nyo
Ko telah sedikit mengebas lengan baju kanan yang kopong itu, "bluk",
dengan tepat kedua pergelangan tangan Su Pck-wi tersabet dan menimbulkan rasa
sakit tidak kepalang seperti dipotong pisau, tanpa tertahan ia menjerit.
Dengan langkah tertahan Su Siok-kang mendekati Nyo Ko,
kedua tangannya menyodok lurus ke depan.
"Bagus!" sambut Nyo Ko sambil tersenyum dan
menjulurkan telapak tangan kiri untuk memapak serangan lawan, ia hanya
menggunakan tiga bagian tenaganya saja.
Maklumlah, selama belasan tahun dia menggembleng diri di
tengah amukan ombak sanudera, kalau dia mengeluarkan tenaga penuh, jangankan
tubuh manusia, sekalipun batang pohon dan dinding tembok juga akan runtuh
dihantamnya.
Namun Su Siok kiang juga pernah mendapat ajaran orang koscn,
tenaga dalamnya juga lain daripada yang lain, begitu beradu tangan, tubuhnya
tergeliat, tapi tidak tergerar mundur.
"Awas!" seru Nyo Ko memperingatkan sambil
mengerahkan tenaga.
Seketika pandangan Su Siok-kang menjadi gelap dan
mengeluh jiwanya sekali ini pasti melayang.
Untung pada saat gawat itulah tiba2 Nyo Ko berkata:
"Ah, kau sedang sakit!" -- Berbareng itu tenaga yang maha dahsyat
seketika hilang sirna.
Lolos dari renggutan elmaut, Su Siok-kang menjadi
melenggong dan tak dapat berkata apa2.
Su Pek wi, Su Tiong beng dan lain2 mengira Su Siok-kang
terluka dan tak bisa bergerak, mereka menjadi cemas dan gusar, serentak mereka
menerjang Nyo Ko. Tepat pada waktu yang sama seekor harimau juga menubruk dari
sebelah sana. Tapi sekali meraih, dapatlah Nyo Ko mencengkeram leher raja hutan
itu, binatang buas ini lantas digunakan sebagai senjata untuk menangkis
serangan pipa perak Su Tiong-beng dan gada baju Su Ki-kiang. sedangkan cakar
macan malah terus mencakar muka Su Pek-wi dan Su Beng-ciat.
Belasan tahun yang lalu Nyo Ko sudah pernah menggunakan
pedang yang beratnya lebih 70 kati, sekarang memegangi tubuh harimau yang
besar, beratnya paling2 juga cuma seratusan kati, maka enteng saja baginya.
Karena lehernya terpegang, harimau itu menjadi rnurka dan
tidak kenal lagi sang majikan, cakarnya terus menggaruk dan mulutnya menggigit,
Dalam keadaan demikian Su Pek-wi dan Su Beng-ciat menjadi kelabakan juga meski
biasanya selalu berkawan dengan binatang buas.
Menyaksikan pertarungan itu, Kwe Yang bersorak gembira,
teriaknya. "Hebat sekali Sin~tiau-hiap!" Nah, kalian mengaku kalah
tidak, Su-keh-hengte?"
Nyo Ko memandang sekejap pada anak dara itu, ia tidak
tahu siapakah Kwe Yang ini, anehnya anak dara itu berkawan dengan macan tutul,
tapi sekarang mengolok dan mengejek kelima saudara Su pula.
Sementara itu Su Siok-kang telah mengatur pernapasannya
dan terasa lancar tanpa gangguan apapun, ia tahu Sin-tiau-hiap ini sengaja
bermurah hati dan tidak ingin melukainya tadi, diam2 iapun mengakui kalau
berdasarkan kepandaian sejati biarpun mereka berlima mengerubutnya sekaligus
juga bukan tandingannya.
Saat itu kelihatan keempat saudaranya sedang mengerubuti
Nyo Ko, segera ia berseru: "Para kakak dan adik, lekas berhenti, kita
harus tahu diri."
Mendengar itu, Koan-kian-cu Su Tiong-beng mendahului
menarik kembali pipanya dan melompat mundur sedangkan Tay-Iik-sin Su Kt-kiang
adalah orang yang lebih sembrono, ia anggap sepele seruan saudaranya itu.
"Tahu diri apa? Rasakan dulu gadaku ini!"
demikian ia pikir, segera kedua tangan memegang gada terus. mengepruk kepala
Nyo Ko dengan gaya "Ki-siang-kay-san" atau gajah raksasa menggugur
gunung, jurus ini ditirunya dari cara gajah menggunakan belalainya menghantam
sesuatu benda, pukulan dahsyatnya dapatlah dibayangkan.
Namun Nyo Ko juga tidak menghindar ia lenparkan harimau
yang dipegangnya itu, tangan kiri terus membalik ke atas, sekali meraih
dapatlah ujung gada belalai gajah lawan ditangkapnya, kata-nya: "Marilah
kita coba-2 tenaga siapa lebih kuat?" Sekuatnya Su Ki-kiang berusaha
menekan ke bawah, tapi gada itu berhenti di atas kepala Nyo Ko dan tidak dapat
menurun lagi.
"Berhenti, Site! jangan kurang adat!" seru Su
Siok-kang pula.
Sekuatnya Su Ki-kiang lantas membetot dengan maksud
hendak menarik kembali gadanya, namun gada itu seperti mclengket saja di tangan
Nyo Ko, sedikitpun tak bisa bergerak, Ber-ulang2 Su Ki-kiang membetot dan tetap
tidak berhasil.
Nyo Ko merasa tenaga tarikan lawan sangat kuat, pikirnya,
"Kalau tidak kuperlihatkan tenaga sakti, orang dogol ini tentu tidak mau
takluk."
Mendadak ia mengerahkan tenaga dan dipelintir ke atas,
tapi Su Ki-kiang tetap memegangi gadanya sekuat-kuatnya, keruan gada yang
menyerupai belalai gajah itu lantas bengkok.
"Bagus!" bentak Nyo Ko terus ditekuk balik ke
bawah, karena ditekuk ke atas dan ke bawah, gada itu tidak tahan,
"pletak", patah menjadi dua, Tangan Su Ki-kiang tergetar hingga lecet
berdarah. Tapi dia benar2 kuat dan kepala batu, gada patah itu masih
dipegangnya dengan kencang.
Nyo Ko bergelak tawa sambil membuang bagian gada patah
yang dirampasnya itu, kontan setengah gada itu ambles ke dalam tanah bersalju
itu, padahal tebal salju tiada satu kaki, sedangkan gada patah itu panjangnya
lebih tiga kaki, namun menghilang tanpa bekas ke dalam tanah, betapa hebat
tenaga sakti Nyo Ko sungguh sangat mengejutkan.
Dilihatnya Su Siok-kang, Su Beng-ciat dan lain2 sedang
membentak2 menghentikan serangan kawanan binatang buas, tapi sekali kawanan
binatang itu mengamuk dan melihat darah, sukarlah untuk dikendalikan begitu
saja.
Cepat Nyo Ko memberi tanda kepada Kwe Yang agar nona
cilik itu menutup telinganya dengan tangan, walaupun tidak tahu apa tujuannya
tapi Kwe Yang menurut saja, segera ia mendekap rapat kedua kupingnya. Segera
Nyo Ko berteriak dengan keras, begitu nyaring suaranya hingga seperti bunyi
guntur yang menggelegar.
Meski telinganya sudah ditutupi, tergetar juga jantung
Kwe Yang hingga ber-debar2 dan rada pening, untung sejak kecil Lwe-kangnya
tertumpuk cukup kuat sehingga suara Nyo Ko itu tidak sampai membuatnya roboh.
Suara Nyo Ko itu masih terus menggelegar hingga lama
sekali, air muka semua orang sama berubah, kawanan binatang buas juga sama
roboh, menyusul Gerombolan Setan Se-xan dan Su-si-hengte juga terguling, hanya
tersisa belasan ekor gajah serta Su Siok-kang dan Kwe Yang saja yang masih
tetap berdiri, sedangkan si rajawali sakti tampak berdiri dengan bersitegang
leher, kelihatannya sangat umuk, sombong.
Melihat Su Siok-kang sanggup berdiri, Nyo Ko pikir tenaga
dalam orang sakit ini juga hebat, tapi kalau suaranya dikeraskan lagi sedikit
sehingga Su Siok-kang dirobohkan, mungkin dia akan terluka dalam dengan parah,
Maka ia lantas menghentikan suara suitannya.
Selang tak lama, semua orang dan kawanan binatang itu
baru dapat berdiri kembali, tapi sebagian binatang kecil sebangsa serigala dan
sebagainya ada yang pingsan dan belum sadar kembali malahan di mana2 banyak
terdapat kotoran binatang, rupanya saking ketakutan, kawanan binatang itu
banyak yang ter-kencing2 dan ter-berak2.
Dan begitu bangun, kawanan binatang itu terus lari ke
dalam hutan dengan mencawat ekor tanpa menunggu lagi komando Su si-hengte.
Sudah tentu Su-si-hengte dan gerombolan Se-tan Se-san itu
tidak pernah menyaksikan perbawa sehebat ini. Mereka sama berdiri kesima dan
tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Maka berkatalah Nyo Ko: "Maaf jika Cayhe telah
mengganggu soalnya Cayhe ada janji dengan Gerombolan Setan Se-san, terpaksa
harus kuhentikan pertarungan kedua pihak ini, nanti kalau persoalan Cayhe sudah
selesai, bolehlah silakan melanjutkan pertikaian kalian ini dan pihak manapun
Cayhe takkan membantu selain menonton saja di samping."
Lalu dia berpaling kepada Sat-sin-kui, si setan elmaut:
"Nah, bagaimana kalian? ingin satu persatu bergiliran menempur aku atau
sepuluh orang maju bersama sekaligus?"
Karena pengaruh suitan Nyo Ko tadi, sampai sekarang
perasaan Sat-sin-kui belum lagi tenang, seketika ia tak dapat menjawab
pertanyaan Nyo Ko:
Segera Tiang-si-kui membeli hormat dan ber-kata:
"Sin-tiau-tayhiap, kepandaianmu dengan kami bedanya seperti langit dan
bumi, mana Gerombolan Setan Se-san berani bermusuhan lagi dengan engkau? jiwa
kami tadi telah diselamatkan olehmu, selanjutnya engkau ada perintah apapun
pasti akan kami laksanakan. Jika engkau suruh kami harus keluar dari wilayah
Soasay ini, maka segera kami akan pergi, sedetikpun tak berani tertahan di
sini."
Dari bentuk tubuh serta jenggotnya yang panjang itu sejak
tadi Nyo Ko merasa kakek cebol ini seperti pernah dikenalnya, setelah mendengar
suaranya, segera ia bertanya, "Bukankah kau ini she Hoan bernama
It-ong?"
Kiranya Tiang-si-kui ini memang betul adalah Hoan It-ong,
yaitu murid tertua Kongsun Ci di Coat-ceng-kok, setelah jiwanya diampuni Nyo
Ko, dia lantas mengasingkan diri, sepuluh tahun kemudian baru berkecimpung pula
di dunia Kang-ouw, berkat kepandaiannya yang lumayan itulah dia berhasil
mengepalai Gerombolan Setan Se-san.
Dulu Nyo Ko dikenalnya sebagai pemuda yang cakap dan
berkepandaian tinggi, kini tangan Nyo Ko buntung sebelah, pakai kedok lagi,
dengan sendirinya Hoan It-ong pangling padanya.
"Ya, hamba memang Hoan It-ong adanya dan siap
menerima pesan Sin-tiau-tayhiap." demikian jawab Tiang-si-kui dengan
munduk2.
Nyo Ko tersenyum, katanya: "Jika kalian mau tunduk
pada perkataanku, maka kalian juga tidak perlu keluar dari wilayah Soasay,
Sat-sin-kui, cukuplah asalkan kau membebaskan saja keempat gundikmu itu."
Sat-sin-kui mengiakan setelah terdiam sejenak, katanya:
"Jika keempat perempuan hina itu tidak mau angkat kaki, biar kuhalau
mereka dengan pentung."
Nyo Ko jadi melengak malah, teringat olehnya ketika
kelima isteri dan gundik Sat-siu-kui sama menyembah padanya dan mintakan ampun
bagi sang suami, sikap mereka yang sungguh2 itu tampaknya memang setia dan
mencintai suaminya, kalau perempuan2 itu mau ikut dia, sekarang dia malah
diharuskan mengusir keempat gundiknya itu, bisa jadi tindakan ini malah akan
melukai hati mereka.
Maka dengan tertawa Nyo Ko lantas menambahkan "Usir
sih tidak perlu, Kalau mereka ingin pergi, maka kau tidak boleh menahan mereka,
sebaliknya kalau mereka suka ikut kau, ya. apa mau dikatakan lagi? Tapi kau
bilang mau ambil lagi empat orang gundik, apakah betul ucapanmu ini?"
"Ah, persoalan perempuan itu sudah membikin repot
Sin-tiau-tayhiap, malahan jiwa para saudaraku ini hampir ikut melayang, masakah
hamba beradi ambil isteri lagi, Andaikan berani, rasanya Toako kami ini juga
takkan mengidzinkan."
Serentak "Setan" yang lain tertawa geli
mendengar ucapan Sat-sin-kui itu.
"Baiklah, sekarang urusanku sudah selesai, kalian
boleh mulai bertempur lagi," kata Nyo Ko, lalu ia mundur ke sana bersama
rajawali sakti dan membiarkan Su-si-hengte dan Gerombolan Setan itu bertarung
lagi.
Segera Hoan It-ong melangkah maju dan berkata kepada Su
Pek-wi: "Gerombolan Setan Se-san sudah sama babak belur, biarkan sementara
ini kami mohon diri saja, Kami hanya ingin tahu selanjutnya Ban-siu-san-ceng
tetap bercokol di sini atau akan kembali ke Se-keng? Harap dijelaskan supaya
kelak kami dapat menemukan alamat kalian secara tepat."
Dari nada ucapan itu, Su Pek-wi paham kelak orang
bermaksud mencarinya untuk menuntut balas, maka dengan angkuh iapun menjawab:
"Kami akan menanti kedatangan kalian di Se-keng saja, Jika Samte kami
akhirnya... akhirnya takkan disembuhkan maka tanpa kunjungan kalian juga kami
berempat saudara akan mendahului berkunjung kepada kalian."
Hoan It-ong melengak, katanya: "Memangnya Su~samko
sedang sakit, apa sangkut-paut sakitnya dengan kami, untuk ini mohon diberi
penjelasan?"
Su Pek-wi menjadi murka, dengan muka merah padam ia berteriak:
"Samte..."
Belum lanjut ucapannya, tiba2 Su Siok-kang menghela napas
panjang dan menyela: "Toako, urusan ini tidak perlu disebut lagi, Kukira
Gerombolan Setan Se-san juga tidak sengaja, mungkin sudah ditakdirkan nasibku
harus begini, maka tidak perlu banyak mengikat permusuhan lagi."
"Baik!" seru Su Pek-wi dengan menahan
amarahnya, lalu dia memberi salam kepada Hoan liong dan berkata. "Selama
gunung tetap menghijau dan air tetap mengalir, kelak kita pasti bertemu
lagi." Kemudian dia berpaling dan bertanya kepada Nyo Ko:
"Sin-tiau-tayhiap. kami bersaudara terjungkal di tanganmu, sungguh kami
merasa sangat kagum. Rasanya meski kami berlatih lagi 20 tahun juga tetap bukan
tandinganmu, sengketa ini jelas kami tidak berharap dapat membalasnya, kamipun
tidak berani lagi bertemu dengan engkau, pokoknya ke mana engkau datang di sana
pula kami lantas mendahului menyingkir."
"Ah, ucapan Su-toako teramat berlebihan," ujar
Nyo Ko- dengan tertawa.
"Hayolah, kita berangkat" kata Su Pek- wi
sambil mendekati Su Siok-kang. ia memapah saudaranya yang sakit itu dan diajak
pergi,
Hoan It-ong merasa ucapan Su Pek-wi itu banyak yang sukar
dipahami, cepat ia berseru pula: "Tunggu dulu, Su-toako. Tadi Su-samko
mengatakan tindakan kami tidak disengaja, Padahal seingat kami kecuali
terobosan di tempat kediaman kalian ini, rasanya tiada pernah berbuat kesalahan
lain. Apabila memang benar kami telah berbuat sesuatu kesalahan di luar sadar
kami, sedangkan kepala dipenggal saja Gerombolan Setan Se-san tidak gentar,
apalagi menyembah dan mohon maaf kepada kalian bersaudara?"
Su Pek-wi tadi sudah menyaksikan cara Gerombolan Setan
Se-san itu saling melempar kopiah kulit milik Su Siok-kang tadi dan tiada
satupun yang ingin menyelamatkan diri sendiri, rata2 adalah ksatria yang tidak
takut mati, hal ini tidak perlu disangsikan lagi.
Maka dengan rasa pedih ia menjawab "Kalian telah
menyebabkan larinya Kiu-bwe-leng-hou sehingga luka dalam Samte kami tak dapat
diobati lagi, sekalipun kau menyembah seratus kali atau seribu kali kepada kami
juga tiada gunanya."
Hoan It-ong terkejut baru teringat olehnya tadi kelima
saudara Su memimpin kawanan binatang menguber seekor binatang kecil mirip
kucing dan anjing, kiranya itu yang disebut Kiu-bwe-leng-hou (rase atau musang
cerdik berekor sembilan), masakah binatang kecil mempunyai kegunaan yang sangat
penting?
Tiba2 Sat-sin-kui menimbrung: "Memangnya untuk apa
sih rase kecil itu? Tapi kalau binatang kecil itu menyangkut kesehatan
Su-samko, maka marilah kita be-ramai2 memburu dan menangkapnya lagi. Hanya
seekor rase kecil begitu apa sih artinya?"
"Apa artinya, katamu hm?" teriak SuKi-kiang,
"kalau kau mampu menangkap rase kecil itu, biarlah nanti aku menyembah
seratus kali, bahkan seribu kali padamu juga kurela."
Hoan It-ong terkesiap, pikirnya: "Keluarga Su ini
terkenal mahir menjinakkan binatang, rasanya di dunia ini tiada yang lebih
pandai daripada mereka, kalau mereka menyatakan betapa sulitnya menangkap rase
itu, lalu siapa lagi yang sanggup?" - Berpikir sampai di sini, tanpa terasa
ia memandang Nyo Ko.
Kwe Yang tidak tahan, segera ia menyelutuk: "Sejak
tadi kalian hanya bicara saja, mengapa kalian tidak mohon bantuan
Sin-tiau-hiap?"
Su Tiong-beng terhitung paling banyak tipu akalnya, dia
adalah motor penggerak di antara kelima saudara Su itu, ia pikir ilmu silat
Sin-tiau--hiap ini memang sukar diukur, bisa jadi beliau mau memberi
pertolongan.
Maka ia lantas berkata: "Ah-, nona cilik tahu apa?
Kukira selain malaikat dewata yang turun ke bumi ini tiada seorang lagi yang
sanggup menangkap Kiu-bwe-long-hou itu."
Nyo Ko hanya tersenyum saja, ia tahu orang sengaja hendak
memancing reaksinya, namun dia tidak menanggapinya.
"Sesungguhnya rase kecil itu mempunyai kemujijatan
apa? Coba ceritakan" kata Kwe Yang.
Su Tiong-beng menghela napas sedih, katanya kemudian
"Akhir tahun yang lalu, karena membela keadilan di daerah Hengciu, samte
kami telah bergebrak dengan orang, tapi pihak lawan memakai akal licik sehingga
Samte kami kena diselomoti musuh dan terluka parah."
"Aneh, Su-samsiok ini jelas sangat tinggi
kepandaiannya siapa lagi yang begitu lihay dan mampu melukainya?" ujar Kwe
Yang heran.
"Ah, nona memuji sedikit kepandaianku yang tak
berarti ini, bukankah akan ditertawai Sin-tiau-hiap?" kata Su Siok-kang
dengan suara lemah.
Kwe Yang melirik Nyo Ko sekejap katanya:
"Dia! Sudah tentu dia di luar hitungan. Yang
kumaksud adalah orang lain."
"Yang melukai Samte kami adalah seorang
Mongol," tutur Su Tiong-beng lebih lanjut, "namanya Hotu kalau tidak
salah, Konon dia adalah murid Kim-lun Hoat-ong, Koksu kerajaan Mongol."
Tiba2 Kwe Yang berkata kepada Nyo Ko:
"Sin-tiau-hiap, kumohon engkau suka pergi mencari pangeran Mongol itu dan
memberi ajaran setimpal padanya untuk membalaskan sakit hati Su-sam~siok ini
"
"Untuk ini kami tak berani membikin repot Sin-tiau
hiap," kata Su Tiong-beng, "Asalkan luka Samte kami sudah sembuh,
kami akan mencari dia dan pasti dapat menuntut balas, Hanya saja Lwe-kang kami
ini lain daripada yang lain, luka yang diderita Samte kami ini sangat sukar
disembuhkan untuk ini harus minum darah, segar Kiu-bwe-leng-hou itu."
"Ah, kiranya demikian," Kwe Yang dan Gerombolan
Setan Se-san sama bersuara.
"Rase kecil itu adalah binatang yang sangat jarang,
makhluk yang amat cerdik," tutur Su Tiong-beng pula, "Sudah lebih
setahun kami bersaudara mencari ke mana2 dan baru kami kutemukan jejaknya di
daerah Cinlam. Tempat sembunyi rase itupun sangat aneh, yaitu di tengah sebuah
kolam lumpur yang sangat luas yang terletak kurang lebih 30 li dari sini."
"Kolam lumpur besar? Maksudmu Hek-liong-tam (tambak
naga hitam)?" Sat-sin-kui menegas dengan heran.
"BetuI," sahut Su Tiong-beng. "Kalian
sudah lama berdiam di sini, tentu juga mengetahui bahwa beberapa li sekeliling
Hek-liong-tam itu hanya lumpur belaka, manusia maupun khewan sukar berdiam di
tempat seperti itu, tapi rase kecil ilu justeru bersarang di sana. Dengan susah
payah akhirnya kami berhasil memancingnya ke tengah hutan ini."
"Ah, pantas kalian marah dan melarang kami memasuki
hutan ini," kata Sat-sin-kui menyadari kejadian tadi.
"Begitulah," kata Su Tiong-beng pula,
"Bahwasanya kedatangan kami ke sini adalah tamu, betapapun kasarnya juga
tidak pantas kami mengangkangi tempat orang lain, soalnya cuma terpaksa saja,
Harus dimaklumi bahwa rase itu sangat gesit dan cepat larinya, sekejap saja
lantas menghilang, hal ini telah kalian saksikan tadi.
Karena itulah kami mengerahkan segenap binatang buas
piaraan kami dan mengepung rapat hutan itu, tampaknya dengan segera rase itu
dapat kami tangkap, siapa tahu kalian justeru membakar hutan sehingga kawanan
binatang sama terkejut dan memberi kesempatan lo!osnya rase itu.
Memalukan juga jika diceritakan meski kami sudah berusaha
sepenuh tenaga tetap tidak mampu menangkapnya, Namun luka Samte kami semakin
hari semakin berat, kami menjadi sedih sehingga tindak-tanduk kamipun menjadi
berangasan, untuk ini hendaklah kalian maklumi" Habis berkata ia terus
memberi hormat se-keliling, tapi pandangannya justeru menatap Nyo Ko.
"Urusan ini adalah karena kecerobohan kami dan
Gerombolan Setan kami sekali lagi minta maaf." kata Hoan It-ong.
"Tentang rase itu entah dengan cara bagaimana Su-toako berlima telah
memancingnya ke sini? Mengapa cara itu tidak dapat digunakan lagi
sekarang?"
"Sifat rase adalah suka curiga disamping cerdik,
sukar sekali hendak menjebaknya, apalagi Kiu-bwe-leng-hou ini, jauh lebih
cerdik dan licin daripada rase biasa," demikian tutur Su Tiong-beng.
"Kami-telah mengorbankan ribuan ekor ayam jantan,
dalam jarak setiap tombak jauhnya kami- panggang seekor dan ber- turut2 kami
pancing dia dengan bau sedap ayam panggang, kami tidak mengusiknya dan
membiarkan dia makan, setelah setiap hari berhasil makan ayam panggang tanpa
gangguan, sampai dua-tiga bulan lamanya barulah curiga rase itu mulai
berkurang.
Habis itu barulah kami pancing dia ke hutan ini, Tapi
sekali ini dia telah mengalami kaget luar biasa, biarpun seratus tahun lagi
juga tidak mau tertipu pula."
"Ya, memang betul sulit," kata Hoan It-ong.
"Tapi kalau kita langsung masuk ke Hek liong-tam dan menangkapnya, apakah
tidak bisa?"
"Seluas beberapa li Hek-liong-tam itu hanya lumpur
belaka yang beberapa meter dalamnya, betapapun tinggi Ginkangmu juga sukar
berpinjak di atas lumpur," tutup Su Tiong- beng. "Juga perahu, rakit
atau getek dan sebagainya sukar berjalan di sana. Namun tubuh Kiu-bwe-leng-hou
itu sangat kecil dan enteng, telapak kakinya tebal lagi, larinya juga cepat,
maka dia mampu meluncur di permukaan lumpur itu dengan cepat."
Kwe Yang tiba2 ingat kedua rajawali di rumah, mereka
kakak beradik sering naik rajawali itu dan dibawa terbang ke udara, Kini
dilihatnya rajawali sakti jauh lebih besar daripada rajawali di rumahnya,
blakan mustahil dua orang juga dapat dibawanya terbang Maka dengan tertawa ia
berkata "Sin-tiau-hiap, asalkan engkau sudi membantur kuyakin pasti ada
jalannya."
Nyo Ko tersenyum, jawabnya: "Su-si-hangte adalah
ahli penjinak binatang kalau mereka angkat tangan tak berdaya, maka apa yang
dapat ku lakukan seumpama aku ingin membantu?"
Mendengar nada ucapan orang, ternyata bersedia menolong,
urusan ini menyangkut mati-hidup saudaranya, maka tanpa pikir lagi Su
Tiong-btng, lantas bertekuk lutut di depan Nyo Ko dan me-mohon:
"Sin-tiau-tayhiap, jiwa adik kami hanya menanti ajal, mohon engkau kasihan
padanya."
Sorot mata mengerling sekilas ke muka Kwe Yang, katanya
kemudran: "Kau bilang aku pasti dapat menolongnya, coba kuingin
tahu-bagaimana pendapat adik cilik ini."
"Asalkan engkau naik rajawali raksasa itu, bukankah
lantas dapat terbang masuk ke Hek-liong-tam?" jawab Kwe Yang.
"Hahaha! Menarik juga saranmu ini," kata Nyo Ko
sambil tertawa.. "Tapi Tiau.-heng kita berlainan dengan burung umumnya,
karena tubuhnya teramat berat, maka sejak kecil beliau tidak dapat terbang,
Sekali sabet sayapnya mampu membinasakan singa atau harimau, tapi justeru tidak
dapat digunakan untuk terbang."
Sementara itu, kecuali Su Siok-kang saja, ke-empat
saudara she Su itu sudah sama berlutut di depan Nyo Ko. Segera Nyo Ko
membangunkan mereka dan berkata: "Apa boleh buat, biarlah kukerjakan
sekuat tenagaku, cuma kalau tidak berhasil ya kalian jangan menyesali"
Su-si-hengte menjadi girang, mereka pikir nama pendekar
besar itu termashur, sekali dia sudah menyanggupi pastilah akan
dilaksanakannya. Kalau beliau juga gagal, terpaksa pasrah nasib saja.
Begitulah Su Pek-wi menyembah beberapa kali pula dan
berkata: "Jika demikian, silakan Tayhiap dan para saudara dari Se-san
mengaso dulu ke tempat kediaman kami untuk berunding lebih lanjut."
"Urusan ini berpangkal kesalahan kami, sudah tentu
kami siap menerima tugas apapun," kata Hoan It-ong.
"Ah, tak perlu begitu," ujar Su Pek-wi,
"Tidak berkelahi takkan kenal kalau kalian tidak menoIak, marilah mulai
sekarang kita berkawan."
Dari pertarungan tadi masing2 sudah sama tahu kelihayan
pihak lawan, memangnya kedua pihak tidak ada permusuhan apa2, soalnya cuma
bertengkar mulut saja lalu berkelahi, maka setelah bera-mah tamah sejenak,
kedua pihak lantas seperti kenalan lama saja dan bersahabat baik.
"Sekarang juga biarlah kupergi ke Hek-Iiong--tam,
apakah berhasil atau tidak pasti aku akan kembali lagi ke sini," kata Nyo
Ko tiba2.
Walaupun GeromboIan Setan Su-si hengte ingin mencurahkan
tenaga, namun mereka tidak mendengar Nyo Ko menghendaki pembantu, terpaksa
mereka diam saja dan tidak berani mencalonkan diri, setelah memberi salam
kepada para hadirin, lalu Nyo Ko melangkah pergi.
Maksud kedatangan Kwe Yang ini ialah ingin melihat
Sin-tiau-hiap, kini tokoh tersebut sudah dilihatnya, meski berwajah jelek, tapi
ilmu silatnya mengejutkan, suka membantu yang lemah dan menolong yang susah,
nyata memang setimpal mendapatkan sebutan "Tayhiap", jadi tujuan
kedatangannya ini tidaklah percuma, Tapi demi teringat Sin-tiau hiap akan pergi
menangkap Kiu-hwe-leng-hou,"
Caranya pasti sangat menarik, dasar anak muda, rasa ingin
tahunya telah menggelitik lubuk hatinya, tanpa terasa iapun melangkah ke sana
mengintil di belakang Nyo Ko.
Melihat itu, segera Toa-thau-kui bermaksud memanggilnya
kembali tapi lantas terpikir olehnya: "Dia bertekad ingin menemui Sin
tiau-hiap, tentu ada sesuatu hendak dikatakan padanya."
Sedangkan Su si-hengte tdak tahu asal usul Kwe Yang,
dengan sendirinya merekapun tidak dapat ikut campur urusan nona cilik itu.
Kwe Yang terus mengintil di belakang Nyo Ko, jaraknya
kira2 belasan meter, yang dituju hanya ingin tahu cara bagaimana pendekar besar
itu menangkap rase, Dilihatnya jalan Nyo Ko makin lama semakin cepat, rajawali
raksasa itu jalan berjajar dengan dia dengan langkah lebar, cepatnya ternyata
tidak kalah dengan kuda lari. Hanya sekejap saja Kwe Yang sudah jauh tertinggal
di belakang.
Sekuatnya Kwe Yang mengeluaikan Ginkang ajaran ibunya,
tampaknya Nyo Ko berlenggang seenaknya, tapi jaraknya ternyata semakin jauh,
tak lama- kemudian bayangan Nyo Ko dan si rajawali raksasa itu telah mengecil
menjadi dua titik hitam saja.
Kwe Yang menjadi cemas, serunya. "Hei, tunggu!"
Karena sedikit meleng, mendadak ia ter-peleset tanah salju yang licin dan jatuh
terduduk, Ya malu ya gelisah, maka menangislah dia.
Tiba2 sebuah suara yang halus mendenging di tepi
telinganya: "Kenapa menangis? Siapa yang nakal?"
Waktu Kwe Yang mendongak, ternyata Nyo Ko adanya, entah
mengapa dia dapat putar balik secepat ini. Kejut dan girang pula si nona,
segera iapun merasa likat dan cepat menunduk, ia bermaksud mengambil saputangan
untuk mengusap air mata, tapi karena berlari2 tadi, saputangan ternyata sudah
hilang.
"lnikah yang kau cari?" tanya Nyo Ko tiba2
sambil menyodorkan sebuah saputangan.
Segera Kwe Yang mengenali saputangan yang ujungnya
bersulam setangkai bunga kecil itu adalah miliknya sendiri Mendadak ia menjawab
pertanyaan Nyo Ko tadi: "Ya, kau inilah yang nakal"
"He, bilakah aku nakal?" ujar Nyo Ko heran.
"Kau telah merampas saputanganku, apakah perbuatan
ini tidak nakal?"
"Saputanganmu jatuh di sana, dengan maksud baik
kupungut dan mengembalikannya padamu, masakah kau tuduh aku merampasnya
darimu?" kata Nyo Ko dengan tertawa.
"Aku berada di belakangmu, andaikan benar
saputanganku jatuh, cara bagaimana pula kau me-mungutnya? Hm, jelas kau
mencolongnya dariku," kata Kwe Yang.
Padahal sejak tadi Nyo Ko sudah tahu Kwe Yang mengintil
di belakangnya, dia sengaja percepat langkahnya untuk menjajal Ginkang si nona,
ia merasa meski usia nona cilik ini masih sangat muda, tapi ilmu silatnya sudah
mempunyai dasar yang kuat dan jelas mendapatkan ajaran tokoh ternama.
Maka begitu mengetahui Kwe Yang terpeleset jatuh, cepat
ia meluncur balik. Dilihatnya sebuah saputangan jatuh tidak jauh di sebelah
sana, segera ia memungutnya. Cuma gerakannya teramat gesit, pergi datang
secepat terbang, walaupun berada di depan, tapi dapat memungut saputangan yang
jatuh di bagian belakang, hal ini memang tidak masuk diakal.
Dengan tersenyum Nyo Ko lantas tanya: "Kau she apa
dan siapa namamu? siapa pula gurumu? Mengapa kau mengikuti aku?"
"She dan namamu yang terhormat harap diberitahukan
lebih dulu padaku baru nanti akupun memberitahukan namaku," jawab Kwe
Yang.
Selama belasan tahun ini Nyo Ko selalu menutupi wajah
aslinya bagi umum, dengan sendirinya juga tidak suka memberitahukan namanya
sendiri pada seorang nona cilik yang tidak dikenaInya. Maka katanya: "Nona
cilik ini sangat aneh, kalau kau tidak mau menerangkan ya sudahlah,
Saputa-nganmu kukembalikan."
Habis berbicara, dengan pelahan tangannya mcngebas,
saputangan itu lantas mekar merata dan mengembang di udara terus melayang
enteng ke depan Kwe Yang.
Kwe Yang sangat teriank, cepat ia tangkap saputangan itu
dan berkata: "Sia-tiau-hiap, ilmu kepandaian apakah ini? Maukah kau
mengajarkan padaku?"
Melihat si nona yang lincah ke kanak2an, sama sekali
tidak takut kepada wajahnya yang seram, tiba2 timbul pikiran Nyo Ko untuk coba
menakut2inya, mendadak ia lantas membentak bengis: "Berani benar kau,
mengapa kau tidak takut padaku, hm? Akan kuhantam kaul" Berbareng ia
melangkah maju dan berlagak hendak menyerang.
Kwe Yang terkejut, tapi cepat iapun mengikik tawa,
katanya: "Mana aku takut, jika betul kau ingin mencelakai aku, masakah kau
sendiri mau mengatakan lebih dulu? Sin- tiau- tayhiap terkenal berbudi dan baik
hati, mana mungkin mencelakai seorang anak perempuan kecil seperti diriku
ini?"
Di dunia ini tiada seorangpun yang tidak suka dipuji,
apakah mendengar orang memujinya dengan setulus hati, meski Nyo Ko tidak suka
disanjung puji orang, tapi mendengar ucapan Kwe Yang benar2 mengaguminya itu,
mau-tak-mau ia tersenyum dan berkata: "Kau baru kenal diriku darimana
mengetahui aku takkan mencelakai kau?"
"Meski sebelumnya aku tidak kenal kau, tapi semalam
kudengar orang banyak bercerita mengenai tindak-tandukmu yang terpuji. Maka di
dalam hati aku bertekad ingin melihat tokoh ksatria besar ini, sebab itulah aku
lantas ikut Toa-thau-kui ke sini untuk menemui engkau."
"Ah, aku ini terhitung ksatria apa?" ujar Nyo
Ko sambil menggeleng, "Dan setelah bertemu kini, kau pasti kecewa
bukan?"
"Tidak, tidak!" jawab Kwe Yang cepat "Jika
engkau bukan pahlawan dan kesatria besar, siapa lagi yang dapat dianggap
pahlawan lagi?" - Habis berkaca demikian, segera ia merasa tidak pantas
kalau ayahnya sendiri tidak disebut pula, maka cepat ia menambahkan.
"Sudah tentu, selain engkau, di dunia ini juga masih
ada beberapa pahlawan dan ksatria besar lagi, tapi engkau adalah satu
diantaranya."
Diam2 Nyo Ko pikir anak dara sekecil ini masakah tahu
tokoh2 dunia segala, dengan tersenyum ia lantas bertanya: "Coba katakan,
siapa2 yang kau anggap pahlawan dan ksatria besar?"
Karena nada ucapan orang terasa meremehkan dirinya, tiba2
terpikir sesuatu, oleh Kwe Yang, katanya: "Akan kukatakan, kalau tepat,
engkau harus berjanji akan membawa serta diriku pergi menangkap
Kiu-bwe-leng-hou, jadi?""
"Baiklah, coba katakan," jawab Nyo Ko,
"Nah, ada seorang pahlawan yang bertahan di kota
Siangyang, gagah perkasa tanpa menghiraukan keselamatan scndiri, sekuat tenaga
melawan serbuan pasukan mongol, membela negara dan melindungi rakyat, Tokoh demikian
terhitung pahlawan atau tidak?"
"Bagus!" ujar Nyo Ko sambil mengacungkan ibu
jarinya, "Yang kau maksud ialah Kwe Cing, Kwe-tayhiap. jelas beliau
terhitung pahlawan besar."
"Ada lagi seorang pahlawan wanita, beliau senantiasa
membantu sang suami mempertahankan Siangyang, tipu akalnya tiada bandingannya,
dia terhitung pahlawan besar atau tidak?"
"O, maksudmu Kwe-hujin Ui Yong? Ya, beliau juga
terhitung pahlawan."
"Masih ada seorang pahlawan tua, beliau mahir ilmu
falak dan macam2 ilmu gaib, baik ilmu silat maupun sastra jarang ada
bandingannya, Beliau dapat dianggap pahlawan besar tidak?"
"ltulah Tho-hoa-tocu Ui Yok-su, beliau adalah
angkatan tua di dunia persilatan dan adalah tokoh kekagumanku."
"Ada lagi satu, pahlawan beliau memimpin kawanan orang
jembel, menumpas orang lalim dan menyerbu musuh, membela negara dan rakyat
tanpa kenal lelah, dia terhitung pahlawan besar tidak?"
"Maksudmu Loh-pangcu, Loh Yu-kah. ilmu silat orang
ini tidak menonjol dan juga tiada sesuatu tindakannya yang luar biasa, tapi
mengingat semangat perjuangannya membela negara dan rakyat serta menumpas
penjahat dan menyerbu musuh, dapatlah dia dianggap tokoh kelas satu."
Kwe Yang pikir Sin-tiau-tayhiap sendiri sedemikian
hebatnya, sudah tentu penilaiannya terhadap orang lain juga tinggi, kalau
kukatakan lagi mungkin akan dibantah olehnya. Apalagi selain ayah-ibu, kakek
dan paman Loh, rasanya juga tiada tokoh lain yang dapat ditonjolkan.
Melihat air muka si nona mengunjuk rasa ragu2 untuk
bicara pula, Nyo Ko lantai berkata: "Asalkan kau dapat menyebut lagi
seorang pahlawan lain dan tepat, segera kubawa kau ke Hek-liong-tam untuk
menangkap Kiu-bwe-leng-bou."
ia pikir nama paman dan bibi Kwe serta Ui-tocu dan
Loh-pangcu sangat terkenal di dunia Kangouw, maka tidaklah heran jika nona
cilik ini dapat menyebut nama mereka.
Segera Kwe Yang bermaksud menyebut kakak iparnya, yaitu
Yalu Ce, tapi rasanya kurang cocok untuk dianggap sebagai "pahlawan
besar" meski ilmu silatnya cukup tinggi, Selagi serba susah, tiba2 timbul
kecerdikannya, cepatlah ia berkata: "Baik, ada seorang lagi, beliau suka
membantu kaum lernah, menolong yang sengsara, setiap orang selalu memuji~ nya,
itulah dia Sin-tiau-tayhiapl Nah, kalau beliau tak dapat dianggap sebagai
pahlawan besar, jelas.kau sendiri yang bohong."
Nyo Ko bergelak tertawa, katanya: "Ha ha, cara
bicara nona cilik sungguh lucu."
"Jadi tidak kau membawaku ke Hek-liong-tam?"
tanya Kwe Yang.
"Karena kau sudah mengatakan diriku ini pahlawan
besar, maka pahlawan besar tidak boleh mungkir janji pada seorang nona cilik,
Marilah kita berangkat!"
Senang sekali hati Kwe Yang, segera tangan kanannya
menggandeng tangan kiri Nyo Ko. Sejak kecil dia berkawan dengan para ksatria di
Siangyang dan semua menganggap dia sebagai adik kecil, maka sekarang saking
senangnya iapun anggap Nyo Ko sebagai kenalan lama.
Nyo Ko sendiri menjadi rikuh, ia merasa tangan si nona
lunak dan halus, kalau dia melepaskan pegangan Kwe Yang, rasanya kurang sopan,
ia coba melirik nona cilik ini, terlihat dia me-loncat2 kegirangan dan sama
sekali tiada pikiran Iain.
Dengan tersenyum dia lantas menuding ke arah utara:
"Hek-liong-tam terletak tidak jauh di sana." Dengan alasan menuding
inilah dia dapat menarik tangannya dari pegangan Kwe Yang.
Kiranya Nyo Ko merasa waktu mudanya sudah terlalu banyak
membikin anak perempuan tergila2 padanya, tapi sejak matinya Kongsun Lik-oh dan
menghilangnya Siao-liong-li, diam2 ia sangat menyesalkan tindakannya di masa
lampau, selama belasan tahun ini ia menjadi sangat alim sehingga tangan anak perempuan
kecil seperti Kwe Yang ini juga enggan disentuhnya lagi.
Sama sekali Kwe Yang tidak merasakan perubahan pikiran
Nyo Ko itu, dia jalan berjajar dengan Nyo Ko, ketika melihat muka rajawali
sakti itu sangat jelek, tapi tubuhnya kekar, tanpa pikir ia tepuk punggungnya
sebagai tanda simpatik.
Sejak kecil dia sudah biasa bermain dengan sepasang
rajawali di rumahnya itu, siapa tahu rajawali ini ternyata tidak suka ditepuk,
mendadak sayapnya terbentang, "bret", tangan Kwe Yang didorong pergi.
Keruan Kwe Yang menjerit kaget, Dengan tertawa Nyo Ko
lantas berkata: "Jangan marah, Tiau-heng! Buat apa mengurusi anak
kecil?"
Kwe Yang me-lelet2 lidah dan menyingkir ke sisi Nyo Ko
yang lain dan tak berani berdekatan dengan si rajawali sakti lagi, ia tidak
tahu bahwa sepasang rajawali di rumahnya itu termasuk burung piaraan, sedangkan
hubungan rajawali sakti ini dengan Nyo Ko boleh dikatakan setengah guru dan
setengah kawan, kalau bicara tentang usia bahkan terhitung angkatan tua, jelas
tidak sama kedudukan.
Begitulah mereka terus ke Hek-liong-tam. Tempat itu
sangat mudah dikenali, beberapa ii sekeliling sama sekali tiada tetumbuhan
sebenarnya Hek-liong-tam itu adalah sebuah danau, mungkin karena sumber airnya
kering, lama2 dasar danau mendangkal sehingga akhirnya berubah menjadi tambak
besar dengan lumpur melulu
Tidak lama kemudian Nyo Ko dan Kwe Yang sudah berada di
tepi tambak, sejauh mata memandang, suasana sepi senyap dan menyeramkan. Hanya
di tengah2 tambak sana kelihatan tertimbun seongokan kayu dan rumput kering.
Bisa jadi tempat sembunyi Kiu-bwe-leng-hou adalah di bawah onggokan kayu dan
rumput kering itu.
Nyo Ko ambil sepotong tangkai kayu dan dilemparkan ke
tengah tambak, tangkai kayu itu mula2 melintang di atas salju, tapi tidak lama
kemudian kelihatan mulai ambles ke bawah, meski tenggelam-nya sangat pelahan,
tapi berjalan terus tanpa berhenti, sedikit demi sedikit dan akhirnya timbunan
salju di kedua sisinya merapat sehingga tangkai kayu itu teruruk hilang tanpa
bekas.
Tidak kepalang kejut Kvve Yang, tangkai kayu seenteng itu
saja amblas ke dalam lumpur, lalu cara bagaimana manusia dapat berpijak di
sana? Dengan melenggong ia pandang Nyo Ko dan ingin tahu orang mempunyai tipu
daya apa?
Sejenak Nyo Ko berpikir, lalu ia cari lagi dua potong
tangkai kayu yang agak licin, masing2 panjangnya satu meteran, tangkai kayu itu
lantas diikat di bawah telapak kaki, Lalu katanya: "Akan kucoba, entah
bisa tidak?"
Habis berkata, segera tubuhnya melayang ke tengah tambak,
secepat anak panah melesat dari busurnya ia terus meluncur di permukaan salju
yang menutupi tambak itu. Dengan melenggak-lenggok ke sana dan ke sini, sama
sekali dia tidak berhenti sedetikpun, ia terus meluncur sekeliling tambak,
seperti orang main ski jaman kini, kemudian dia meluncur balik ke tempat
semula.
"Kepandaian hebat, kecakapan luar biasa!" sorak
Kwe Yang memuji
Dari sorot mata Kwe Yang yang, penuh rasa kagum itu, Nyo
Ko tahu nona itu sangat berharap dapat ikut menangkap rase ke tengah tambak,
tapi nona itu menyadari tak memiliki kepandaian Ginkang setinggi itu. Maka Nyo
Ko lantas berkata dengan tertawa "Aku sudah berjanji padamu akan membawa
kau ke Hek liong-tam untuk menangkap Kiu-bwe leng hou. Soalnya kau berani
tidak?"
"Aku tidak memiliki kepandaian setinggi kau, biarpun
berani juga percuma," sahut Kwe Yang sambil menghela napas pelahan.
Nyo Ko tersenyum dan tidak menanggapi pu-la, ia mencari
lagi dua potong kayu yang lebih pendek sedikit daripada miliknya tadi dan
disodorkan pada si nona, katanya: "lkatlah di bawah telapak kakimu!"
Gugup dan girang pula Kwe Yang, ia menurut dan mengikat
kencang kedua potong kayu itu di bawah telapak kakinya.
"Tubuhnya mendoyong sedikit ke depan, kaki jangan
menggunakan tenaga, biarkan saja mengimbangi" pesan Nyo Ko. Lalu tangan
kirinya memegangi tangan kanan Kwe Yang terus berseru tertahan
"Awas!"
Sekali angkat dan tarik, tanpa kuasa tubuh Kwe Yang terus
melayang dan meluncur ke tengah tambak, Semula dia rada gugup dan takut2, tapi
setelah meluncur beberapa meter jauhnya, terasa badan enteng dan melayang
seperti terbang, kaki tanpa merasa mengeluarkan tenaga sedikitpun ia menjadi
cekikik senang, rasanya lebih enak daripada terbang menumpang rajawali di
rumah.
Sesudah main ski sekian lama mengelilingi tombak itu
tiba2 Nyo Ko berseru heran "He?"
"Ada apa?" tanya Kwe Yang, "Apakah kau
melihat rase kecil itu?""
"Bukan," jawab Nyo Ko. "Kukira di tengah
tambak sana ada penghuninya!"
Kwe Yang menjadi heran juga, katanya: "Di tempat
begini mana mungkin dihuni orang?"
"Akupun tidak paham," kata Nyo Ko. "Tampaknya
susunan onggokan kayu dan rumput kering ini ada kelainan dan bukan barang yang
tumbuh sendiri."
Sementara itu mereka sudah dekat dengan onggokan kayu dan
rumput itu, Kwe Yang coba mengamati dengan teliti, lalu berkata: "Ya,
memang benar. sebelah timur diatur dalam hitungan Bok (kayu), sebelah selatan
menurut Hwe (api), bagian tengah menurut Tho (bumi) dan utara adalah Sui
(air)."
Rupanya sejak kecil Kwe Yang juga ikut belajar hitungan
Im yang-ngo-heng, yaitu falsafat Tiong-hoa kuno mengenai unsur2 laki-perempuan
di jagat raya ini. walaupun belum banyak yang dipahami-nya, tapi dasarnya
memang pintar, maka apa yang dapat diketahuinya jauh lebih banyak daripada
kakaknya, yaitu Kwe Hu.
Sifat Kwe Yang serba ingin tahu, macam jalan pikirannya dan
tindak-tanduknya acapkali di luar dugaan orang, kelakuannya itu rada2 mirip
dengan sang kakek luar, yaitu Ui Yok-su, sebab itulah di rumah dia diberi
julukan "Siau Tang sia" atau si Tang-sia kecil.
Misalnya tindakannya menukar tusuk kundai untuk menjamu
orang2 yang baru dikenalnya dan ikut Toa-thau-kui yang menakutkan itu hanya
karena ingin melihat Sin tiau hiap, kemudian ikut lagi Sin-tiau-hiap yang baru
dikenalnya pergi menangkap rase, keberanian ini jeias sangat berbeda daripada
Ui Yong dan Kwe Hu dahulu.
Begitulah Nyo Ko menjadi heran mendengar nona cilik ini
dapat menyebut bentuk bangunan onggokan kayu-rumput itu, ia coba bertanyar
"Darimana kau tahu bentuk Im yang-ngo-heng itu? Siapa yang mengajarkan
kau?"
"Kubaca dari buku, entah tepat atau tidak
ucapanku," jawab Kwe Yung dengan tertawa, "Kulihat pengaturan
kayu-rumput itupun tiada sesuatu yang luar biasa, agaknya juga bukan orang
kosen yang hebat."
"Ya, anehnya cara bagaimana orang itu dapat tinggal
di atas lumpur dan tidak tenggelam ke bawah?" kata Nyo Ko. Segera ia
berseru lantang: "Sa-habat di tengah Hek liong-tam, ini ada tamu
datang!"
Selang sekian lama, keadaan tetap sunyi tanpa sesuatu
suara, Nyo Ko berseru sekali lagi dan tetap tiada jawaban orang.
Tampaknya orang sengaja menumpuk onggokan kayu rumput di
sini dan tidak dihuni di sini, marilah kita melihatnya ke sana," kata Nyo
Ko sambil meluncur ke tempat onggokan rumput itu.
Se-kunyong2 kaki Kwe Yang merasa berpijak pada tempat
yang keras, agaknya tanah datar di bawah mereka. Rupanya Nyo Ko sudah
mengetahui lebih dulu, dengan tertawa ia berkata: "Tidak mengherankan
kiranya di tengah tambak ini ada sebuah pulau kecil."
Baru habis ucapannya, mendadak bayangan putih berkelebat
dari bawah onggokan itu menerobos keluar dua ekor binatang kecil, ternyata
sepasang "Kiu bwe-leng~hou yang dicarinya itu. yang seekor terus lari ke
timur dan yang lain kabur ke selatan dengan cepat luar biasa.
"Kau tunggu di sini nona cilik dan jangan
sembarangan bergerak," pesan Nyo Ko. Habis itu ia terus meluncur dan
menguber rase sebelah timur.
Kini ia tidak perlu menjaga Kwe Yang lagi sehingga dapat
mengeluarkan segenap Ginkangnya untuk meluncur, sungguh cepatnya melebihi
burung terbang.
Akan tetapi lari rase itupun cepat dan gesit luar biasa,
seperti angin saja binatang kecil itu lantas memutar balik dan menyamber lewat
di samping Kwe Yang, Tapi Nyo Ko terus membayanginya, sekali lengan bajunya
mengebas tampaknya rase kecil itu pasti akan tersampuk jatuh, tak terduga
binatang itu benar2 sangat cerdik, mendadak ia meloncat ke atas dan
berjumpalitan di udara, dengan demikian sabetan lengan baju Nyo Ko itu menjadi
luput.
Ber-ulang2 Kwe Yang menyatakan: "Sayang!
Sayang!"
Begitulah satu orang dan satu hewan terus uber menguber
di atas salju, Kwe Yang sangat senang menyaksikan tontonan menarik itu. ber
ulang2 ia berseru memberi semangat kepada Nyo Ko agar mengudak lebih kencang.
Dalam pada itu rase yang lain juga terus berlari kian
kemari. terkadang sengaja mendekati Nyo Ko. Tapi Nyo Ko tahu binatang kecil itu
sengaja mengacau untuk membelokkan perhatiannya, maka dia tidak ambil pusing,
yang diudak melulu rase yang satu itu, ia sengaja hendak berlomba lari dengan
rase itu agar binatang kecil itu akhirnya kehabisan tenaga.
Tak tahunya rase yang kecil itu ternyata memiliki tenaga
yang besar, rupanya iapun tahu sedang menghadapi bencana, maka larinya seperti
kesurupan setan tanpa ada tanda2 lelah.
Semakin lari semakin bersemangat Nyo Ko, ketika
dilihatnya rase yang lain ingin menolong kawannya dan mendekat lagi untuk mengacau,
diam2 ia mengomel akan kenakalan binatang kecil itu. sekenanya ia meraup
segenggam salju dan di remas hingga keras menyerupai batu, habis itu terus
ditimpukkan dan tepat mengenai kepala rase pengacau itu, kontan binatang itu
roboh terjungkal tapi ber-guling-2 beberapa kali rase itu terus berdiri lagi
dan lari masuk onggokan kayu rumput tadi dan tidak berani keluar lagi. Rupanya
Nyo Ko tidak bermaksud membinasakan rase itu, maka timpukannya tidak keras.
Sebenarnya dengan cara yang sama Nyo Ko dapat merobohkan
dan menawan rase yang diu-daknya ini, tapi dia sengaja hendak balapan lari,
katanya, "Rase cilik, kalau kurobohkan kau dengan batu salju, matipun kau
penasaran, Seorang lelaki sejati harus bertindak secara ksatria, jika aku tidak
mampu menyusul kau, maka jiwamu biar kuampuni."
Segera ia "tancap gas" dan meluncur lebih
kencang, tahu2 dia sudah berada di depan si rase dan mendadak tangannya meraih
untuk menangkapnya. Keruan rase itu terkejut dan melompat ke kanan. Namun Nyo
Ko sudah siap, lengan bajunya terus mengebas sehingga rase itu tergulung,
tangan kanan lantas pegang kuduk rase itu dan diangkat ke atas, saking
gembiranya ia bergelak tertawa.
Tapi belum lenyap suara tawanya, tiba2 dilihatnya rase
itu menjadi kaku tanpa bergerak lagi ternyata sudah mati. "Wah,
celaka!" keluh Nyo Ko. "Mungkin tenaga kebasanku terlalu keras,
rupanya binatang ini sedemikian lemah dan tidak tahan. Entah rase mati dapat
digunakan menyembuhkan luka si Su-losam atau tidak?"
Dengan menjinjing rase mati itu ia meluncur kembali ke
samping Kwe Yang dan berkata: "Ra-se ini sudah mati, mungkin tak berguna
lagi, kita harus menangkap pula rase yang satunya itu."
Berbareng iapun melemparkan rase mati itu ke tanah, tapi
iapun tahu sifat rase sangat licik, bisa jadi pura2 mati, maka diam2 iapun
sudah bersiap bila rase itu bergerak, segera akan digulungnya kembali dengan
lengan baju. Namun rase itu ternyata tidak bergerak sedikitpun tampaknya memang
sudah mati betul2.
"Menyenangkan juga bentuk rase kecil ini, matinya
mungkin karena terlalu lelah di-uber2," ujar Kwe Yang. Lalu ia jemput
sepotong kayu dan berkata pula: "Biar kuhalau rase lain itu supaya ke
luar, engkau jaga saja di sini."
Kwe Yang lantas memdekati onggokan kayu rumput itu.
Kemudian dihantamkan ke onggokan kayu itu, tapi sekali pukul, untuk menghantam
kedua kalinya ternyata tidak mampu lagi, sungguh aneh, seperti melengkat saja
kayu yang dipegang Kwe Yang itu tak dapat ditarik kembali, Keruan Kwe Yang
berseru kaget dan berusaha membetot sekuatnya, namun tangkai kayu itu malah
terlepas dan jatuh ke dalam onggokan kayu dan rumput kering itu.
Menyusul mana, mendadak onggokan kayu-rumput itu tersiak
dan tahu2 menerobos keluar seorang nenek beruban dengan muka penuh keriput dan
pakaiannya compang-camping.
Dengan bengis nenek itu memandangi Kwe Yang dan tangkai
kayu yang dirampasnya itu diangkat dengan lagak hendak memukul si nona.
Kwe Yang terkejut dan cepat melompat mundur ke samping
Nyo Ko. pada saat itulah rase yang menggeletak di tanah itu mendadak melompat
ke atas dan masuk pelukan si nenek, sepasang matanya yang bundar kecil
ber-kilat2 memandangi Nyo Ko, ternyata binatang kecil itu memang benar2 cuma
pura2 mati saja.
Melihat itu Nyo Ko menjadi mendongkol dan geli pula,
pikirnya: "Sekali ini aku ternyata dikalahkan seekor hewan kecil ini,
tampaknya rase kecil ini adalah piaraan nenek ini, Entah siapakah gerangannya
nenek ini, rasanya di dunia Kangouw tak pernah terdengar ada seorang tokoh
macam begini. Rasanya akan sulit jika menghendaki rase kecil itu."
Segera Nyo Ko memberi hormat dan menya-pa: "Maaf
kelancangan Wanpwe masuk ke sini tanpa permisi."
Nenek itu memandangi tangkai kayu di telapak kaki Nyo Ko
berdua, wajahnya menampilkan rasa kejut dan heran, namun hanya sekilas saja
perasaan itu lantas menghilang, ia melambaikan tangannya dan berkata:
"Orang tua mengasingkan diri di tempat terpencil ini dan tidak suka
menemui tamu, kalian boleh pergi saja!" suaranya lembut, tapi menyeramkan
kedengarannya, di antara mata-alisnya juga menampilkan rasa yang benci kepada
sesamanya.
Meski wajah nenek itu kelihatannya serarn, tapi raut
mukanya bersih, waktu mudanya jelas seorang wanita cantik, sungguh ia tidak
ingat tokoh Kangouw siapakah nenek ini. Segera ia memberi hormat pula dan
berkata: "Cayhe mempunyai seorang kawan terluka parah dan harus
disembuhkan dengan darah Kiu-bwe-leng-hou, maka- mohon locianpwe sudi memberi
bantuan."
"Hahahaha, haha, heheheeee!" mendadak nenek itu
ter-bahak2 sambil menengadah, sampai lama sekali ia terkakah dan terkekeh, tapi
suara tawanya itu ternyata penuh mengandung rasa pedih dan boleh Sesudah
tertawa sekian latna barulah ia berkata:
"Terluka parah dan harus menolongnya, hm? Bagus,
tapi mengapa anakku terluka parah dan orang lain sama sekali tidak sudi
menolongnya?"
Nyo Ko terkejut, jawabnya: "Entah siapakah putera
Locianpwe? Apakah sekarang masih keburu ditolong?"
Kembali nenek itu ter-bahak2, katanya: "Apakah masih
keburu ditolong? Dia sudah mati berpuluh tahun, mungkin tulang belulangnya juga
sudah menjadi abu, masakah kau bertanya apakah masih keburu ditolong
segala?"
Nyo Ko tahu si nenek jadi terkenang kepada kejadian masa
lampau sehingga merangsang emosinya, maka ia tidak berani bertanya pula,
terpaksa berkata pula: "Memang tidak pantas kami datang begini saja untuk
memohon bantuan rase kecil ini, sudah tentu kami tidak ingin menerimanya dengan
cuma2, apabila Locianpwe menghendaki sesuatu, asalkan tenagaku mampu
mengerjakannya, pasti akan kulaksanakannya dengan baik,"
Nenek itu mengerling sekejap ke arah Kwe Yang, lalu
berkata: "Perempuan tua berdiam terpencil di kolam lumpur ini tanpa sanak
tanpa kadang, hanya sepasang rase inilah teman hidupku Boleh juga jika kau
ingin mengambilnya, tapi nona itu harus ditinggalkan di sini untuk mengawani
aku selama sepuluh tahun."
Nyo Ko mengerut kening, belum lagi menja-wab, tiba2 Kwe
Yang mendahului berkata dengan tertawa: "Di sini hanya lumpur melulu,
kurasa tidak enak hidup di sini, Kalau engkau merasa kesepian, marilah tinggal
saja di rumahku, apakah kau ingin tinggal selama sepuluh tahun, ayah-ibuku
pasti akan menghormati engkau sebagai kaum locianpwe Lebih baik begitu
bukan?"
Tiba2 nenek itu menarik muka dan mendamperat:
"Ayah-ibumu itu orang apa? Memangnya begitu saja aku dapat diundang ke
sana?"
Watak Kwe Yang memang periang dan sabar, sekalipun orang
lain bersikap kasar juga dihadapinya dengan tertawa saja dan jarang marah.
Kalau ucapan si nenek yang menyinggung kehormatan Kwe Cing dan Ui Yong ini
didengar Kwe Hu, pasti seketika akan menjadi pertengkaran. Tapi Kwe Yang hanya
tersenyum saja dan meleletkan lidahnya pada Nyo Ko, lalu tidak bersuara pula.
Betapapun Nyo Ko memuji keramahan nona cilik ini,
sedikitpun tidak menimbulkan kesukaran baginya, maka ia balas mengangguk kepada
Kwe Yang sebagai tanda memuji, lalu berpaling dan berkata kepada si nenek:
"Bahwasanya Locianpwe menyukai adik cilik ini, sebenarnya ini adalah
kesempatan bagus yang sukar dicari, cuma sebelum mendapat idzin ayah-bundanya,
betapapun Cayhe tak berani mengambil keputusan sendiri."
"Siapa ayah-ibunya? Kau sendiri siapa?" tanya
si nenek dengan bengis.
Nyo Ko menjadi gelagapan dan takdapat menjawab tapi Kwe
Yang lantas menanggapinya: "Ayah ibuku adalah orang kampung, biar
kukatakan juga Locianpwe tidak kenal, sedangkan dia ini. dia, dia adalah
Toakokoku!"
Sembari berkata nona itupun memandang kejaran Nyo Ko.
Kebetulan saat itu Nyo Ko juga memandang padanya, sorot mata kedua orang
kebentrok. Tapi Nyo Ko memakai kedok, air mukanya kaku tanpa emosi, hanya sorot
matanya jelas menunjukkan rasa akrab yang menghangatkan perasaan.
Tergerak hati Kwe Yang, terpikir olehnya: "Jika
benar aku mempunyai seorang toakoko(ka-kak tertua) seperti ini, tentu dia akan
menjaga dan membantu diriku, pasti tidak rewel dan selalu mengomeli aku seperti
kakak Hu. gini salah, gitu salah, ini dilarang, itu tidak boleh." Berpikir
sampai disini, air mukanya lantas penuh rasa hormat dan kagum kepada Nyo Ko.
Didengarnya Nyo Ko lantas berkata: "Ya, adik ku yang
kecil ini tidak tahu urusan, maka kubawa dia keluar cari pengalaman Ketika
dilihatnya Kiu-bwe-leng-hou ini sangat aneh dan menarik, dia tahu pasti
binatang piaraan oaang kosen angkatan tua, sebab itulah dia minta Wanpwe
membawanya berkunjung ke sini dan sungguh beruntung sekali dapat bertemu dengan
Locianpwe."
"Hm kalian menguber dan memukuli rase piaraanku,
apakah begini caranya kalian menghormati kaum Cianpwe?" jengek nenek itu,
"Hayo, lekas enyah dari sini dan selamanya jangan menemui aku lagi!"
Habis itu kedua tangannya terus mengebas ke depan, tangan
yang satu mendorong ke arah Nyo Ko dan tangan lain mendorong Kwe Yang.
Jarak mereka ada dua-tiga meter jauhnya, sodokan tangan
nenek itu jelas tak dapat mencapai tubuh Nyo Ko berdua, tapi tenaga pukulannya
ternyata keras dan keji, serentak Kwe Yang merasakan angin dingin menyampuk tiba.
Tapi lengan baju Nyo Ko sempat bergerak sehingga angin
pukulan si nenek dapat dipatahkan, sebaliknya tenaga pukulan yang ditujukan
kepadanya itu sama sekali tidak dielakkannya.
Sebenarnya nenek itupun tidak bermaksud mencelakai Nyo Ko
berdua, ia hanya ingin mengusir mereka saja. sebab itulah hanya separoh
tenaganya saja yang digunakan. Tapi dilihatnya kedua orang itu ternyala tidak
bergeming sama sekali, mau-tak mau ia terkejut dan gusar pula.
Segera ia himpun tenaga, kembali kedua tangan menyodok ke
depan dengan lebih kuat, kini ia tidak pedulikan lagi mati- hidup pihak lawan.
Ketika merasakan angin pukulan nenek itu menyamber tiba,
dada Kwe Yang terasa sesak, namun lengan baju Nyo Ko mengebas lagi sehingga
serangan si nenek di patahkan pula, ia tahu Nyo Ko dan nenek itu sedang mengadu
tenaga dalam, tampaknya si nenek menjadi beringas dan menakutkan sebaliknya Nyo
Ko berdiri tenang2 saja, jelas berada di atas angin alias lebih unggul.
Se-konyong2 si nenek berkelebat maju, gerakannya sungguh
cepat luar biasa, "BIang" dengan tepat dan keras kedua tangannya
menghantam dada Nyo Ko. Sekali menyerang segera nenek itu melompat mundur pula
tanpa memberi kesempatan Nyo Ko untuk balas menyerang.
Keruan Kwe Yang terkejut, cepat ia menarik tangan Nyo Ko
dan bertanya: "Ap.... apakah engkau terluka?"
Si nenek lantas berteriak bengis: "Dia sudah terkena
pukulanku "Han-im-cian" (tenaga panas dingin), ajalnya takkan lebih
lama daripada satu hari saja, dia menerima ganjarannya karena perbuatannya
sendiri dan takdapat menyalahkan orang lain."
Dengan ilmu silat Nyo Ko 15 tahun yang lalu saja tak
dapat ditandingi oleh si nenek, apalagi sekarang luar-dalamnya sudah
tergembleng sedemikian sempurna, betapapun lihaynya tenaga pukulan si nenek
juga takdapat melukainya.
Soalnya Nyo Ko tiada permusuhan apapun dengan si nenek
kedatangannya ini juga ingin memohon barang kesayangan orang tua itu, maka dia
sengaja membiarkan si nenek menyerang tiga kali tanpa balas menyerang.
Selama likuran tahun nenek itu giat berlatih ilmu pukulan
"Han im cian" dan sekaligus sudah dapat menghancurkan 17 potong bata
dalam keadaan luar utuh dan dalam remuk, tapi kini jelas Nyo Ko terkena
pukulannya dengan telak, ia yakin orang pasti akan remuk isi perutnya, tapi
lawan justeru tetap berdiri tenang dan tertawa seperti tidak terjadi sesuatu,
ia pikir bocah ini benar2 kepala batu, sudah dekat ajal masih berlagak gagah,
segera ia berkata:
"Mumpung belum roboh binasa, lekas kau pergi membawa
anak dara ini dan jangan sampai mampus ditengah tambakku ini."
Nyo Ko mendongak dan berseru lantang. "Hahaha,
rupanya sudah lama Locianpwe menyepi di tempat terpencil begini, tentunya
Locianpwe tak dapat membayangkan betapa kemajuan ilmu silat di dunia ini."
Habis berkata ia sengaja bergelak tertawa, suara tertawanya nyaring keras
menggelegar dengan tenaga dalam yang kuat.
Mendengar suara Nyo Ko itu, si nenek tahu orang ternyata
tidak mengalami luka sedikitpun, seketika mukanya menjadi pucat, tubuhnya
sempoyongan baru sekarang ia menyadari bahwa Nyo Ko sengaja membiarkan diserang
tiga kali, kalau bicara kepandaian sejati, jelaslah dirinya bukan tandingannya.
Tiba2 si nenek angkat rase kecil dalam pelukannya itu,
lalu ia bersuit, rase yang lain juga lantas menerobos keluar dari onggokan
rumput dan melompat ke dalam pangkuan si nenek, Lalu ia ber-kata:
"Kepandaianmu memang hebat, sungguh aku sangat kagum. Tapi kalau engkau
ingin merebut rase ini secara kekerasan, hm, jangan kau harap. Asalkan kau
melangkah maju setindak, seketika ku cekik mati kedua ekor rase ini agar kau
datang dan pergi dengan bertangan hampa."
Melihat sikap dan ucapan si nenek yang tegas dan pasti
itu, Nyo Ko tahu watak orang tua itu sangat keras dan kaku, biarpun mati juga
tidak mau menyerah. Mau-tak-mau ia menjadi serba susah, kalau mendadak menubruk
maju dan menutuk Hiat-to si nenek, lalu merebut rase, rasanya si nenek bisa
membunuh diri saking gusarnya, jika demikian jadinya, maka biarpun Su Siok kang
dapat diselamatkan tapi harus korbankan jiwa orang lain.
Selagi Nyo Ko merasa ragu2, tiba2 dari jauh sana
berkumandang suara orang menyebut: "0mi tohud!" Menyusul orang itu
berkata: "Loceng (paderi tua) It-teng mohon berjumpa, sudilah kiranya Eng
koh menemuinya!"
Kwe Yang memandang sekeliling tambak, tapi tidak tampak
seorangpun padahal suara orang itu tidak begitu keras, jelas datang dari tempat
dekat saja, namun sekitar situ jelas tiada tempat bersembunyi, lalu berada di
manakah orang yang bersuara itu?"
Dia pernah mendengar cerita dari ibunya bahwa Ii-teng
Taysu adalah tokoh angkatan tua, pernah menolong jiwa ibunya, juga terhitung
kakek guru kedua saudara Bu, hanya selama ini paderi sakti itu belum pernah
dilihatnya. Kini tiba2 didengarnya ada orang menyebut "lt-teng",
tentu saja ia terkejut dan bergirang.
Nyo Ko juga sangat gembira mendengar suara It-teng, ia
tahu yang digunakan it-teng Taysu adalah Lwekang maha sakti, yaitu ilmu
menyiarkan gelombang suara dari tempat beberapa li jauhnya, semakin tinggi
Lwekangnya, semakin halus pula suaranya sehingga mirip orang bicara dari dekat
saja.
Kagum sekali mendengar suara It-teng Taysu yang luar
biasa itu, betapapun ia merasa tenaga dalam sendiri tak dapat menandingi paderi
sakti itu, pikirnya pula: "Kiranya nenek ini bernama Eng~koh. Entah ada
urusan apa It teng Taysu ingin menemui-nya? jika paderi itu suka tampil ke
muka, mungkin sekali rase ini akan bisa diperoleh."
Kiranya nenek penghuni Hek-liong-tam ini memang betul
bernama Eng-koh. Sewaktu masih menjadi raja negeri Tayli, aslinya It-teng Taysu
she Toan dan terkenal sebagai tokoh Raja di Selatan di dunia Kangouw.
Sebagai raja, sudah tentu cukup banyak selir-nya, Eng-koh
adalah salah satu selir kesayangannya ketika itu, Tapi suatu waktu Toan-hongya
(raja Toan) kedatangan tamu yang terkenal, yaitu Ong Tiong-yang dari
Coan-cin-kau beserta Sutenya, yakni si Anak Tua Nakal Ciu Pek-thong.
Mungkin sudah suratan nasib, selama tinggal beberapa lama
di negeri Tayli, dasar watak Ciu Pek-thong memang suka keluyuran, maka secara
kebetulan dia pergoki Eng-koh sedang berlatih silat (ajaran Toan-hongya), karena
sifatnya yang jahil dan tidak sirik mengenai adat lelaki dan perempuan, Ciu
Pek-thong telah mendekati Eng-koh dan mengajaknya ngobrol tentang ilmu silat
(Ciu Pek-thong itu memang orang yang keranjingan ilmu silat).
Bicara punya bicara, akhirnya keduanya jatuh cinta dan
"ada main" serta membuahkan seorang anak laki2.
Ketika Toan-Hongya kedatangan musuh, yaitu Kiu Jian-yim
yang kemudian terkenal sebagai Cu-in Hwesio, secara licik Kiu Jian-yim telah
melukai anak haram hasil "semokel" antara Ciu Pek-thong dan Eng-koh
itu, tujuannya untuk memaksa Toan-hongya menyelamatkan orok itu dengao
It-yang-ci, dengan demikian tenaga dalamnya terpaksa harus dikorbankan dan
sukar dipulihkan dalam waktu singkat, pada saat demikian Kiu Jian-yim yakin
pasti dapat mengalahkan Toan-hongya.
Tak terduga tipu muslihatnya ternyata diketahui
Toan-hongya, pula dia cemburu karena hubungan gelap Eng-koh dengan Ciu
Pek-thong itu, maka dia bertekad tidak mau menolongnya, akhirnya anak itupun
mati.
Toan-hongya sangat menyesal, akibatnya ia cukur rambut
dan menjadi Hwesio dengan gelar It-teng. Kematian anaknya sudah tentu membuat
Eng-koh juga sakit hati dan merana, ia terus minggat dari negeri Tayli, suatu
ketika di puncak Hoa-san dipergokinya Kiu Jian-yim, tapi tidak berhasil membunuhnya,
iapun bertemu dengan Ciu Pek-thong dan ingin bicara dengan dia, tapi asal
melihat bayangan Eng-koh seketika si Anak Tua Nakal itu kabur lebih dulu,
soalnya dia malu dan merasa ber-dosa, maka tidak berani menemui bekas kekasih
itu. Eng-koh lantas mengembara tanpa tujuan dan akhirnya menetap di
Hek-liong-tam ini.
Sebenarnya sudah belasan hari It-teng Taysu berada di
tepi Hek- liong-tam dan setiap hari selalu berseru untuk mohon bertemu, Namun
Eng-koh masih sakit hati karena dahulu bekas raja Tayli itu tega tidak mau
menolong jiwa anaknya, maka dia tetap tidak mau menemuinya.
Begitulah Eng-koh tampak lesu dan mundur berduduk di atas
onggokan kayu, sorot matanya kelihatan dendam dan benci.
Selang tak lama, terdengar It-teng berseru pula:
"Dari jauh It-teng datang ke sini, hanya untuk mohon bertemu sejenak
dengan Eng-koh."
Namun Eng-koh tetap tidak menggubrisnya.
Nyo Ko menjadi heran, ia pikir kepandaian It-teng jauh
lebih tinggi daripada Eng-koh, kalau dia mau menemuinya ke sini toh nenek ini
tak dapat menolaknya, mengapa dia mesti memohon dari kejauhan?
Dalam pada itu terdengar It-teng berseru memohon lagi,
setelah Eng-koh tetap tidak memberi jawaban, lalu tidak diulangi lagi, suasana
kembali sunyi.
"Toakoko," kata Kwe Yang, "It-teng Taysu
itu adalah tokoh yang luar biasa, maukah kita ke sana menemuinya?"
"Baik, memangnya aku ingin menemui beliau,"
"jawab Nyo Ko.
Terlihat Eng-koh berbangkit pelahan dengan sorot mata
bengis, meski Nyo Ko merasa tidak gentar padanya, tapi tidak enak juga perasaannya
melihat sikap orang ini, Segera ia pegang tangan Kwe Yang dan berkata:
"Marilah pergi!" Sekali melayang, segera kedua orang meluncur ke
tengah tambak.
Setelah berpuluh meter di bawa meluncur Nyo Ko, Kwe Yang
lalu bertanya: "Toakoko, berada di manakah Taysu? suaranya seperti berada
di sebelah sini saja."
Dua kali Nyo Ko dipanggil "Toakoko" dengan
suara yang halus dan mesra, hatinya terkesiap juga pikirnya "Cintaku
kepada Liong-ji suci murni dan tak mungkin bergoyah, betapapun aku tidak boleh
terjerumus lagi kejaringan asmara.
Usia nona cilik ini masih muda dan ke-kanak2an, ada lebih
baik selekasnya berpisah dengan dia agar tidak menimbulkan hal2 yang tidak
diharapkan" - Akan tetapi berada di atas lumpur bcrselimutkan salju itu,
sedetikpun tidak boleh berhenti, lebih2 tidak mungkin mengendurkan pegangannya
pada tangan si nona.
"Toakoko", kembali Kwe Yang berkata,
"ku-tanya kau, apakah engkau tidak mendengar."
"lt-teng Taysu berada di timur laut sana, kira2
dua-tiga li dari sini," jawab Nyo Ko. "Suaranya kedengarannya dekat,
tapi sebenarnya berada cukup jauh. dia menggunakan ilmu jian-li-toan- im"
(me-ngirim gelombang suara dari jauh)."
"He, apakah engkau juga mahir ilmu itu?" tanya
Kwe Yang. "Maukah engkau mengajarkan padaku? Kelak kalau kita berpisah di
tempat jauh agar akupun dapat bicara denganmu dengan ilmu itu, kan menyenangkan
bukan?"
"Namanya saja mengirim gelombang suara dari jauh,
sebenarnya kalau dapat mencapai dua-tiga li sudah luar biasa," ujar Kwe
Yang dengan tertawa, "Untuk mencapai kepandaian setingkat lt-teng Taysu,
biarpun secerdas kau juga harus berlatih hingga rambut ubanan."
Kwe Yang sangat senang karena orang memuji-nya cerdas,
katanya pula: "Ah, aku ini cerdas apa? Kalau aku mempunyai dua bagian
kecerdasan ibuku saja aku sudah merasa puas."
Tergerak hati Nyo Ko, dari raut muka si nona ia melihat
samar2 ada beberapa bagian menyerupai Ui Yong, Pikirnya: "Tokoh2 yang
kukenal selama hidup baik lelaki maupun perempuan, kalau bicara tentang
kepintaran dan kecerdasan rasanya tiada orang lain yang mampu menandingi Kwe
pekbo, apakah mungkin nona cilik ini adalah puteri bibi Kwe?"
Tapi segera ia tertawa geli sendiri dan anggap jalan
pikirannya itu terlalu meng-ada2, masakah di dunia ini bisa terjadi sedemikian
kebetulan? Kalau benar nona ini puteri Kwe-pekbo, mana mungkin paman dan bibi
Kwe membiarkannya berkeliaran di Iuaran. Maka ia coba bertanya kepada Kwe Yang:
"Siapakah ibumu?"
"lbu ya ibu, meski kukatakan juga kau tidak
kenal," jawab Kwe Yang dengan tertawa "Eh, Toa-koko, kepandaianmu
lebih tinggi atau kepandaian It-teng Taysu lebih tinggi?"
Usia Nyo Ko sekarang sudah mendekati setengah baya, iapun
kenyang mengalami gemblengan kehidupan dan merasakan betapa pahit getirnya
sejak berpisah dengan Siao-liong-Ii, walaupun semangat ksatrianya tidak
berkurang, tapi sifat dugal-nya di masa mudanya sudah hampir lenyap seluruhnya,
Maka ia menjawab: "lt-teng Taysu sangat terhormat di dunia persilatan,
berpuluh tahun yang lalu namanya sudah sama tingginya dengan Tho-hoa tocu dan
lain2, beliau adalah Lam-te (raja di selatan), yaitu satu diantara lima tokoh
terkemuka di jaman itu, mana aku dapat dibandingkan beliau."
"Wah, jika begitu, kalau engkau dilahirkan lebih
dini beberapa puluh tahun yang lalu, tentu tokoh tertinggi waktu itu bukan lagi
lima orang, tapi enam jadinya. Konon mereka disebut Tang-sia Se-tok, Lam-te,
Pak-kay dan Tiong-sin-thong, lalu engkau berjuluk apa? Ah, pasti juga
Sin-tiau-tayhiap. Oya, masih ada lagi Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin."
Nyo Ko bertanya pula: "Apakah kau pernah melihat
Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin?"
"Sudah tentu aku pernah melihat mereka, malahan
mereka sangat sayang padaku," sahut Kwe Yang, "Eh, Toakoko, apakah
engkau juga kenal beliau2 itu? Nanti kalau urusan di sini sudah beres2 maukah
kita pergi menyambangi mereka?"
Nyo Ko benci pada Kwe Hu yang telah membuntungi
lengannya, setelah lewat sekian tahun, rasa benci itu semakin menipis. Tapi
Siao-liong-li mengidap racun dan terpaksa harus berpisah 16 tahun, persoalan
ini takdapat tidak membuatnya sangat dendam kepada Kwe Hu. Maka dengan hambar
saja ia menjawab: "Tahun depan bisa jadi aku akan berkunjung kepada
Kwe-tayhiap dan isterinya, tapi harus tunggu dulu setelah kuberjumpa dengan
isteriku dan kami berdua akan pergi ke sana bersama."
Begitu menyebut Siao-Iiong-li, tanpa terasa timbul
hasratnya yang menyala, Kwe Yang dapat merasakan telapak tangan Nyo Ko yang
mendadak menjadi panas. Segera ia bertanya pula. "lsterimu tentu sangat
cantik dan ilmu silatnya pasti pula sangat tinggi."
"Kukira di dunia ini tiada orang lain yang lebih
cantik daripada dia," kata Nyo Ko. "Bicara tentang ilmu silat, saat
ini dia tentu juga melebihi diriku."
Kwe Yang menjadi sangat hormat dan kagum, katanya:
"Toakoko, engkau harus membawa diriku menemui isterimu, maukah kau
berjanji?"
"Mengapa tidak?" ujar Nyo Ko dengan tertawa,
"Kuyakin nyonyaku juga pasti suka padamu, Saat mana barulah kau benar2
memanggil aku Toakoko."
"Apakah sekarang aku tidak boleh memanggil demikian
padamu?" t mya Kwe Yang dengan melenggak.
Karena sedikit merandek itulah, sebelah kakinya lantas
kejeblos ke dalam lumpur, Untung Nyo Ko lantas menariknya melompat jauh ke
depan. Tertampaklah di kejauhan sana berdiri seorang dengan jenggot panjang
dengan memakai jubah paderi warna kelabu, siapa lagi kalau bukan It- teng
Taysu.
Segera Nyo Ko berseru: "Tecu Nyo Ko memberi hormat
kepada Taysu!" Sambil menarik Kwe Yang sekaligus ia meluncur ke depan
paderi sakti itu.
Tempat berada It teng itu di tepi kolam lumpur
Hek-liong-tam itu, ia menjadi girang ketika mendengar nama Nyo Ko. maka ia
lantas membangunkannya ketika Nyo Ko datang menyembah padanya, katanya dengan
tertawa"
"Baik2kah selama ini, saudara Nyo? Pesat amat
kemajuan ilmu sakti-mu, sungguh menggembirakan dan mengagumkan."
Waktu Nyo Ko berbangkit dilihatnya di belakang It-teng
sana menggeletak seorang dengan muka pucat lesi seperti mayat, ia melengak.
Ketika ia awasi, kiranya Cu~in Hwesio adanya.
"Kenapakah Cu-in Taysu?" tanya Nyo Ko terkejut.
"Dia dilukai orang, meski sudah kutolong sepenuh
tenaga tetap sukar menyembuhkan dia," tutur It-teng menyesal.
Nyo Ko coba mendekati Cu-in dan memeriksa nadinya, terasa
denyutnya amat Iemah, lama sekali barulah berdenyut pelahan sekali, kalau saja
Lwe kang Cu-in tidak kuat, mungkin sudah lama menghembuskan napas penghabisan.
"Kepandaian Cu-in Taysu sedemikian tinggi, entah
siapakah yang mampu melukainya?" tanya Nyo Ko heran.
"Kami bermaksud pulang ke Tayli waktu itu karena ada
kabar bahwa pasukan Mongol ada maksud menyerbu ke daerah selatan," tutur
It-teng. "Sebelum berangkat, Cu-in telah keluar untuk mencari keterangan
keadaan, di tengah jalan kepergok seorang dan mereka bertempur selama
tiga-hari-tiga-malam, akhirnya Cu in terluka parah."
"Ah, kiranya keparat Kim-lun Hoat-ong datang ke
Tionggoan lagi," ujar Nyo Ko sambil membanting kaki ke tanah.
"He, Toakoko, darimana engkau mengetahui orang itu
ialah Kim-lun Hoat-ong?" tanya Kwe Yang heran, "padahal It-teng Taysu
tidak menyebut dia."
"lt-teng Taysu bilang mereka bertempur selama
tiga-hari-tiga-malam, maka jelas luka Cu-in bukan disergap musuh yang
licik," jawab Nyo Ko. "Di dunia ini, orang yang mampu melukai Cu-in
Taysu rasanya jumlahnya dapat dihitung dengan jari, dan di antaranya beberapa
orang ini hanya Kim-lun Hoat-ong saja tergolong orang jahat."
"Toakoko, lekas engkau mencari bangsat itu dan
hantam dia untuk membalaskan sakit hati Toahwesio ini," ujar Kwe Yang.
Tiba2 Cu-in yang menggeletak dengan kempas-kempis di
tanah itu membuka matanya sedikit dan menggeleng pelahan kepada Kwe Yang.
"Kenapa? Memangnya kau tidak ingin membalas
dendam?" tanya Kwe Yang heran, "Ah, barangkali maksudmu Kim-lun
Hoat-ong itu terlalu lihay dan kuatir Toakoko tak dapat menandingi dia?"
"Kau salah sangka, nona cilik," sela It-teng.
"Soalnya muridku ini telah banyak berbuat dosa, selama belasan tahun ini
dia berusaha menebus dosanya itu dan ternyata tak pernah tercapai, hal inilah
selalu mengganjal hatinya dan membuatnya matipun tidak tenteram. Jadi bukan
maksudnya ingin orang membalaskan sakit hatinya, tapi justeru mengharapkan
pengampunan dari seseorang agar dia dapat mangkat dengan hati tenteram."
"Apakah nenek di kolam lumpur ini yang dia
inginkan?" tanya Kwe Yang, "Hati nenek ini sangat keras, jika
bersalah padanya, tidak nanti dia mengampuni orang begitu saja."
"Justeru begitulah," kata It-teng dengan
menghela napas, "Kami sudah memohonnya di sini selama
tujuh-hari-tujuh-malam dan sama sekali dia tidak mau menemui kami."
Tiba2 hati Nyo Ko tergerak, teringat olehnya ucapan si
nenek tentang anaknya yang terluka dan orang yang dimintai pertolongan tidak
mau menyembuhkannya itu. Segera ia bertanya: "Apakah berhubungan dengan
anaknya yang terluka dan tak tertolong itu?"
Badan It-teng tampak bergetar, sahutnya sambil
mengangguk: "Ya, kiranya kaupun sudah tahu?"
"Tecu tidak tahu," jawab Nyo Ko. "Cuma
tadi Locianpwe di tengah kolam itu menyinggungnya sedikit." Lalu iapun
mengisahkan pengalaman-nya bertemu dengan si nenek tadi.
"Dia bernama Eng-koh," tutur It-teng pula,
"dahulu ialah isteriku. wataknya memang keras. Ai, kalau tertunda lebih
lama lagi mungkin Cu in tidak tahan."
Seketika timbul macam2 tanda tanya dalam benak Kwe Yang,
tapi ia tak berani bertanya.
Dengan gegetun Nyo Ko lantas berkata: "Setiap orang
tentu pernah berbuat salah, kalau menyadari salahnya, maka apa yang sudah
lampau bisalah dianggap selesai, Rasanya jiwa Eng-koh ini juga teramat
sempit." - Dilihatnya ajal Cu-in sudah dekat, seketika timbul jiwa
ksatrianya yang ingin menolong, segera ia menambahkan: "Taysu, maafkan
jika Tecu memberanikan diri memaksa Engkoh keluar ke sini."
It-teng termenung sejenak, ia pikir kedatangannya dengan
Cu-in ini adalah untuk minta ampun kepada Eog-koh, rasanya tidak pantas memakai
kekerasan. Tapi permohonan dengan sopan sudah sekian lamanya dan Eng-koh tetap
tidak mau menemuinya, tampaknya kalau tetap memohon begitu saja juga percuma.
jika Nyo Ko mempunyai caranya sendiri, rasanya boleh juga dicoba, seumpama
tidak berhasil, paling2 juga cuma gagal bertemu saja, Maka ia lantas menjawab:
"Jika Nyo heng dapat membujuknya keluar, tentu
segala persoalan menjadi beres, cuma sebisanya jangan sampai menimbulkan
sengketa baru sehingga malah menambah dosa mereka."
Nyo Ko mengiakan, Lalu ia merobek sapu-tangan menjadi
empat potong, dua potong digunakan, menyumbat telinga Cu in, dua potong lain di
si nona menyumbat lubang kupingnya, Habis itu ia lantas menghimpun tenaga dalam
dan minta maaf dulu kepada It-teng lalu ia menengadah dan mengeluarkan suara
nyaring panjang.
Suara suitannya ini muIa2 nyaring bening dan berkumandang
jauh, lama2 suaranya berubah melengking tajam, lalu berubah keras gemuruh
laksana bunyi guntur. Meski kupingnya sudah disumbat kain, tidak urung muka Kwe
Yang berubah pucat karena getaran suara yang membuat jantungnya ber-debar2.
Suara gemuruh itu terus berlangsung secara bergelombang
sehingga mirip deburan ombak samudera, Kwe Yang merasa dirinya seperti berdiri
di tanah lapang dan guntur terus berbunyi mengelilinginya, ia menjadi takut dan
gelisah. "Toakoko, lekas berhenti, aku tidak tahan," teriaknya.
Akan tetapi suaranya ternyata tenggelam di tengah suitan
Nyo Ko yang hebat itu, bahkan ia sendiri tidak mendengar apa2, terasa pikiran
menjadi linglung dan pandangan kabur, Untung pada saat itulah It-teng telah
mengulurkan tangannya untuk memegangi telapak tangan Kwe Yang. segera terasalah
hawa hangat tersalur dari tangan paderi sakti itu.
Tahulah dia paderi sakti itu sedang membantunya dengan
tenaga dalamnya yang kuat, Segera iapun memejamkan mata dan mengerahkan tenaga
dalam sendiri. Sejenak kemudian, meski suara gemuruh tadi masih tetap memekak
telinga, namun pikirannya sudah tidak bergolak lagi.
Setelah bersuit panjang sekian lamanya, ternyata Nyo Ko
tetap bersemangat dan kuat, sedikitpun tiada tanda2 lelah. Diam2 It-teng merasa
kagum, ia merasa semasa mudanya dahulu juga tidak sekuat Nyo Ko sekarang ini,
apalagi kini usianya sudah lanjut, jelas takdapat dibandingkan anak muda itu.
Selang tak lama, tertampaklah sesosok bayangan meluncur
dari Hek liong tam sana. Sekali Nyo Ko mengebaskan lengan bajunya, suara suitan
lantas berhenti.
Baru saja Kwe Yang menghela napas lega dan belum lagi
pulih air mukanya, terdengar bayangan orang tadi berseru melengking dan jauh:
"Toan~hongya, caramu malang melintang memaksa aku keluar, sebenarnya ada
urusan apa?"
"Adik Nyo inilah yang mengundang kau," jawab
It-teng.
Tengah bicara, tahu2 bayangan orang tadi sudah mendekat.
Siapa lagi kalau bukan Eng koh. Dia menjadi ragu2 mendengar jawaban It-teng
ttu, ia heran di dunia ini kecuali Toan-hongya ternyata ada lagi yang memiliki
kekuatan sehebat ini padahal orang yang mukanya sukar diketahui dengan pasti
ini berambut hitam, umurnya paling banyak juga belum ada 40 tahun, tapi
Lwekangnya ternyata selihay ini, sungguh luar biasa dan mengagumkan.
Sebenarnya Eng-koh bertekad tidak mau menemui Toan-hongya
alias It-teng Taysu, tapi suara Nyo Ko tadi telah membuatnya gelisah, ia tahu
jika dirinya tidak keluar, sekali tenaga dalam orang dikerahkan, maka
pikirannya pasti akan terguncang dan mungkin sekali akan roboh dan terluka
dalam. Karena itulah terpaksa ia keluar walaupun dengan sikap ogah2an.
"lni, rase ini kuberikan padamu, anggaplah aku
menyerah padamu dan lekas pergi dari sini," kata Eng-koh kepada Nyo Ko
dengan rasa dongkol. Habis itu dia pegang leher seekor rasenya terus hendak
dilemparkan ke arah Nyo Ko.
"Nanti dulu," seru Nyo Ko, "urusan rase
adalah soal kecil, ada urusan penting yang hendak dibicarakan It-teng Taysu,
harap engkau suka mendengarkannya."
Eng-koh memandang It-teng dengan sikap dingin, katanya:
"Baiklah, silakan Hongya memberitahu."
"Kejadian di masa lampau laksana impian belaka,
sebutan diwaktu dahulu buat apa digunakan lagi?" ujar It-teng dengan
gegetun. "Eng-koh, apakah kau masih kenal dia?" - Berbareng iapun
menuding Cu-in yang menggeletak di tanah itu.
Kini Cu-in memakai jubah Hwesio, bahkan mukanya sudah
banyak berbeda daripada pertemuan di Hoa-san lebih 30 tahun yang lalu, Maka
hakikatnya Eng-koh sudah pangling, katanya setelah memandang sekejap ke arah
Cu-in: "Mana ku kenal Hwesio ini?"
"Dahulu siapakah yang menyerang anakmu dengan cara
keji?" tanya lt-teng.
Seketika tubuh Eng-koh gemetar, air mukanya berubah
pucat, lalu berubah menjadi merah, katanya dengan suara ter-putus2:
"Jadi...... jadi dia ini bangsat Kiu Jian-yim itu? Biarpun... biarpun
tulang belulangnya menjadi abu juga tetap kukenali.
"Kejadian itu sudah berpuluh tahun yang lalu dan kau
masih tetap dendam dan tidak melupakannya," ujar It-teng dengan menghela
napas. "Orang ini memang betul Kiu Jian-yim. Sedangkan mukanya saja kau
pangling, tapi dendam lama itu belum pernah kau hipakan."
Mendadak Eng-koh menubruk ke sana, kesepuluh jarinya
laksana kaitan terus hendak ditancapkan ke dada Cu-in, ia coba meng-amat2i
wajahnya, samar2 ia merasa rada mirip Kiu Jian-yim, tapi setelah diawasi lebin
teliti, rasanya seperti bukan. Kedua pipi paderi ini cekung dan menggeletak tak
bergerak, tampaknya sudah tiga perempat mati.
"Apakah orang ini benar2 Kiu Jian-yim," teriak
Eng-koh bengis, "Untuk apa dia menemui aku?"
"Dia memang betul Kiu Jian yim," kata
It-teng"
"Dia merasa dosanya terlalu besar dan sudah memeluk
agama Buddha serta menjadi muridku, nama agamanya ialah Cu-in."
"Hm, setelah berbuat dosa, dengan menjadi Hwesio
lantas segala dosanya akan punah, pantas di dunia ini tambah banyak orang
menjadi Hwesio," jengek Eng-koh.
"Dosa tetap dosa, mana mungkin ditebas dengan
menjadi Hwesio?" ujar It-teng. "Kini Cu-in terluka parah, ajalnya
tinggal beberapa saat saja, teringat olehnya, dosanya mencelakai anakmu, dia
merasa tidak tenteram, maka sekuatnya ia bertahan hembusan napas terakhir dan
dari jauh datang kesini untuk memohon ampun padamu atas dosanya."
Dengan mata melotot Engkoh memandangi It-teng hingga lama
sekali, wajahnya mengunjuk penuh rasa dendam dan benci, se-akan2 seluruh duka
derita selama hidupnya ingin dilampiaskannya dalam sekejap ini.
Melihat air muka Eng-koh yang menyeramkan itu, Kwe Yang
menjadi takut. Terlihat kedua tangan Eng-koh telah diangkat dan segera akan
dijatuhkan atas tubuh Cu-in. walaupun merasa takut tapi dasar pembawaan Kwe
Yang memang berbudi luhur, segera ia membentak: "Nanti dulu! Dia sudah tak
bisa berkutik, tapi kau hendak menyerangnya pula. sebab apa kau tega berbuat
demikian?"
"Hm, dia membunuh anakku, selama berpuluh tahun aku
menanti dengan menderita dan akhirnya aku dapat mencabut jiwanya dengan
tanganku sendiri walaupun rasanya sudah agak terlambat tapi kau masih bertanya
sebab2nya?" jengek Eng-koh.
"Kalau dia sudah menyadari kesalahannya dan mengaku
berdosa, kejadian yang sudah lampau, buat apa di-ungkat2 lagi?" ujar Kwe
Yang.
"Hehehehe!" Eng-koh terkekeh sambil menengadah.
"Enak saja kau bicara, anak dara, Coba jawab andaikan yang dibunuhnya
adalah anakmu, lalu bagai mana?"
"Dari... darimana aku mempunyai anak?" jawab
Kwe Yang gelagapan.
"Atau yang dibunuhnya adalah suamimu, ke-kasihmu,
atau Toakokomu ini?" jengek Eng-koh pula.
Muka Kwe Yang menjadi merah, katanya: "Ngaco-be!o!
Dari... darimana datangnya suami atau kekasihku?"
Makin bicara makin meluap rasa gusar Eng-koh, mana dia
tak mau banyak omong lagi, sambil menatap Cu-in segera tangannya hendak
menghantam ke bawah. Tapi mendadak terlihat Cu-in menghela napas dengan
menyungging senyum dan berkata dengan perlahan: "Terima kasih Eng-koh sudi
menyempurnakan diriku."
Eng-koh jadi melengak dan pukulannya tidak jadi
diteruskan, bentaknya: "Menyempurnakan apa katamu?"
Tapi segera ia paham maksud orang, rupanya Cu-in yakin
pasti dirinya mati, maka dia ingin diberi satu pukulan agar dapat mati di
tangannya, jadi pukulan yang dahulu pernah menewaskan anaknya telah dibalas
dengan pukulan maut pula, dengan begitu dosanya menjadi tertebus.
Dengan tertawa dingin Engkoh lantas berkata.
"Masakah begini enak bagimu? Aku takkan membunuh kau, tapi akupun tak
pernah mengampuni kau!" Kalimat2 ini diucapkan dengan tegas dan seram
sehingga membuat orang mengkirik.
Nyo Ko tahu watak It-teng Taysu welas asih dan tidak
mungkin bersitegang dengan bekas selirnya itu, sedangkan Kwe Yang adalah anak
kecil, apa yang dikatakan tentu tidak mendapat perhatian Eng-koh, kalau dirinya
tidak ikut campur tentu urusan ini takkan beres.
Maka dengan ketus ia lantas berkata: "Eng-locianpwe,
persoalan suka-duka di antara kalian sebenarnya tidak jelas bagiku, hanya saja
ucapan dan tindak-tanduk cianpwe terasa agak keterlaluan bagiku, betapapun aku
menjadi ingin ikut campur tangan urusan ini."
Eng-koh berpaling dengan terkesiap, dia sudah pernah
bergebrak dengan Nyo Ko, dari suara suitan-nya tadi iapun tahu kepandaian orang
ini jauh di atasnya dan tidak mungkin ditandingi. Sungguh tak terduga dalam
keadaan demikian ada orang tampil ke muka dan main kekerasan padanya setelah
dipikir dan pikir lagi, tanpa terasa ia menjadi sedih dan merasa nasibnya
teramat tidak beruntung, terus saja ia duduk mendeprok dan menangis
ter-gerung2.
Tangisnya Eng-koh ini tidak saja membuat bingung Nyo Ko
dan Kwe Yang, bahkan juga di luar dugaan It-teng Taysu.
Terdengar Eng-koh menangis sambil mengomeli "Kalian
ini bertemu dengan aku, cara halus tidak dapat lantas memakai kekerasan, tapi
orang itu tidak mau menemui aku, kenapa kalian tidak ambil pusing?"
"He, Locianpwe, siapakah yang tidak mau bertemu
dengan kau?" tanya Kwe Yang cepat "Bagaimana jika kami membantu
kau?"
Tanpa menjawab Eng-koh melanjutkan keluhannya:
"Kalian hanya dapat menganiaya kaum wanita macam diriku, kalau ketemu
tokoh yang besar2 lihay masakah kalian berani mengutiknya?"
Kwe Yang lantas menanggapi lagi: "Anak kecil seperti
diriku sudah tentu tak berguna, tapi di sini sekarang kan ada It-teng Taysu dan
Toakoko-ku, memangnya kita ikut kepada siapa?"
Eng-koh termenung sejenak, mendadak ia berbangkit dan
berseru: "Baik, asalkan kalian mencari dia dan membawanya ke sini untuk
menemui aku dan biarkan dia bicara sebentar dengan aku, maka apapun kehendak
kalian, ingin rase atau minta aku berdamai dengan Kiu Jian-yim, semuanya
kuterima."
"Eh, Teakoko, apakah transaksi ini dapat
diterima?" tanya Kwe Yang kepada Nyo Ko.
"Siapakah yang ingin cianpwe temui, masakah begitu
sulit?" tanya Nyo Ko.
"Boleh kau tanya dia." jawab Engkoh sambil
menuding It-teng Taysu.
Sekilas melihat air muka bersemu merah, Kwe Yang menjadi
heran, masakah sudah tua begitu masih bisa malu2 seperti anak perawan.
Melihat Nyo Ko dan Kwe Yang sama menatap ke arahnya,
dengan pelahan It-teng lantas menutur: "Yang dia maksudkan adalah
Ciu-suheng, Lo-wan-tong Ciu Pek-tong."
"Ah, kiranya Lowantong yang dimaksudkan," seru
Nyo Ko girang, "Dia sangat baik padaku, biarlah kupergi mencari dan
membawanya ke sini untuk menemuinya."
"Namaku Eng-koh, kau harus katakan jelas2 kepadanya
bahwa dia akan dibawa ke sini menemui aku," kata Eng-koh. "Kalau
tidak, begitu melihat bayanganku segera dia kabur dan sukar lagi mencarinya.
Asakan dia mau datang ke sini maka setiap permintaan kalian pasti akan
kupenuhi."
Nyo Ko coba melirik It-teng, terlihat paderi itu
menggeleng pelahan, maka diduganya di antara Ciu Pek-thong dan Eng-koh pasti
ada persengketaan berat dan keduanya tidak mungkin dipertemukan. Tapi lantas
teringat olehnya bahwa Ciu Pek-thong itu berpikiran seperti anak kecil, bukan
mustahil akan dapat memancingnya ke sini dengan sesuatu akal aneh, Maka ia
lantas berkata:
"Lo wan-tong itu berada di mana sekarang? Pasti akan
kudayakan untuk mengajaknya ke sini."
"Kira2 lebih 200 li dari sini ke utara ada sebuah
lembah Pek-hoa-kok (lembah seratus bunga), dia mengasingkan diri di sana dan
mencari kesenangan dengan beternak lebah," tutur Eng koh.
Mendengar kata2 "beternak lebah", seketika Nyo
Ko terkenang kepada Siao liong-li. Teringat olehnya dahulu Ciu Pek-thong
diajari oleh Siao-liong-li cara memiara tawon dan menguasainya, tanpa terasa
hatinya menjadi sedih dan mata merah katanya kemudian:
"Baiklah, sekarang juga Wanpwe akan mencari
Lo-wan-tong, harap kalian tunggu saja di sini." Habis itu ia tanya letak
Pek-hoa-kok lebih jelas, lalu melangkah pergi.
Tanpa bicara Kwe Yang lantas ikut di belakangnya, Nyo Ko
lantas mengisiki anak dara itu: "ilmu silat It-teng Taysu maha tinggi,
orangnya juga welas asih, kau tinggal sementara di sini dan mohon belajar
sedikit kepandaian padanya, asalkan beliau mau memberi petunjuk, maka
beruntungan bagimu."
"Tidak, kuingin ikut kau pergi menemui Lo-wan-tong
itu," kata Kwe Yang.
Nyo Ko mengernyit kening, katanya: "Sebenarnya
inilah kesempatan yang sukar dicari, mengapa kau sia2kan?"
"Aku tidak ingin belajar ilmu apapun," ujar Kwe
Yang, "Setelah ketemu Lo-wan-tong tentu kau akan pergi, akupun harus
pulang, maka biarlah aku ikut pergi saja dengan kau." Arti ucapan ini
adalah merasa waktu berkumpul tidak banyak lagi, kalau dapat berdampingan dengan
sang toa-koko lebih lama lagi inilah yang diharapkan.
Melihat anak dara itu marasa berat untuk berpisah dengan
dirinya, diam2 Nyo Ko merasa ter-haru, dengan tersenyum ia lantas berkata:
"Semalaman kau tidak tidur, apakah kau tidak letih kantuk?"
"Kantuk sih memang kantuk, namun aku tetap ingin
ikut kau," kata Kwe Yang.
"Baiklah," segera Nyo Ko gandeng tangan anak
dara itu dan melayang ke depan secepat terbang dengan Ginkang yang tinggi.
Karena tarikan Nyo Ko ini, seketika tubuh Kwe Yang terasa
enteng, langkahnya tanpa mengeluarkan tenaga sedikitpun, dengan tertawa ia
ber-kata: "Apabila tanpa digandeng olehmu dan aku sendiri sanggup berlari
secepat ini, maka puaslah aku."
"Ginkangmu sudah mempunyai dasar yang baik, kalau
berlatih terus, akhirnya kau pasti mencapai tingkatan seperti ini," ujar
Nyo Ko. Mendadak ia menengadah dan bersuit.
Kwe Yang kaget dan cepat mendekap kuping-nya, tapi Nyo Ko
tidak bersuit lagi, maka tertampaklah si rajawali raksasa itu muncul dari balik
semak2 pohon.
"Tiau-heng, ada sesuatu urusan kita harus ke utara,
mariah engkaupun ikut," kata Nyo Ko.
Rajawali itu lantas tegak leher dan berkaok beberapa
kali, entah paham entah tidak, yang jelas dia lantas ikut berangkat bersama Nyo
Ko.
Kira2 dua tiga li jauhnya, lari rajawali itu semakin
cepat, meski Kwe Yang mengganduI Nyo Ko masih juga tidak mampu menyusul burung
itu. Rupa-nya rajawali itu menjadi tidak sabar lagi, tiba2 ia berhenti dan
mendakkan tubuh di depan Kwe Yang. "Tiau-heng bersedia menggendong
kau" kata Nyo Ko dengan tertawa, "Kau harus berterima kasih
padanya."
Kwe Yang tidak berani kasar lagi kepada rajawali itu,
lebih dulu ia memberi hormat, lalu mencemplak ke atas punggungnya.
Segera rajawali itu mengayunkan langkahnya yang lebar,
seketika Kwe Yang merasa seperti di-bawa- terbang, pepohonan di kedua samping
sama melayang ke belakang, meski belum secepat terbang kedua ekor rajawali di
rumahnya, namun sudah lebih cepat daripada kuda lari.
"Nyo Ko kelihatan mengintil di sebelah burung itu
tanpa ketinggalan sedikitpun, terkadang ia malah mengajak bicara dan bergurau.
Senang sekali hati si nona, ia merasa pengalamannya
sekali ini jauh lebih aneh dan menggembirakan, daripada pengalaman sebelumnya.
Menjelang lohor, sudah lebih 200 li mereka lalui, Nyo Ko
terus melintasi bukit menurut petunjuk Eng-koh, akhirnya pandangannya
terbeliak, di depan sana sebuah lembah menghijau permai dengan aneka macam
bunga mekar mewangi, sepanjang jalan mereka menyelusuri tanah salju melalu,
sampai di sini se-akan2 memasuki suatu dunia lain, serentak Kwe Yang bersorak
gembira dan melompat turun dan punggung rajawali sambil ber-teriak:
"Wah, pintar sekali Lo wan-thong menikmati hidup,
sungguh suatu tempat ajaib yang sukar dicari. Eh, Toakoko, coba katakan,
mengapa tempat ini sedemikian indahnya?"
"Lembah ini menghadapi selatan, gunung di
belakangnya mengalingi angin dari utara, mungkin di bawah tanah banyak tambang
batu bara dan belerang atau sebangsanya, makanya suhu tanah di sini cukup
hangat, sebab itu pula suasana selalu semarak seperti di musim semi dan bunga
mekar serentak."
BegituIah sambil bicara mereka terus memasuki lembah
gunung itu. Setelah membelok lagi beberapa kali, terlihatlah di depan sana
sebuah selat diapit tebing gunung di kanan kiri, di tengahnya tumbuh tiga pohon
Siong tua menjulang tinggi laksana malaikat penjaga pintu selat. Menyusul
lantas terdengar suara mendengung riuh ramai, banyak sekali, tawon putih
beterbangan di sekitar pohon.
Nyo Ko tahu Ciu Pek-thong pasti berada di situ, segera ia
berseru lantang: "Hai, Lo-wan-tong, adik Nyo Ko membawa kawan cilik ingin
bermain dengan kau!"
Sebenarnya tingkatan Nyo Ko selisih jauh dengan Ciu
Pek-thong, menyebutnya kakek juga belum cukup, namun ia tahu Ciu Pek-thong itu
tua2 nakal, kocak dan suka bermain seperti anak kecil, semakin blak2an dengan
dia tanpa membedakan tua dan muda, semakin senang dia.
Benar saja, baru lenyap suaranya, segera dari balik pohon
sana menongol satu orang, Sekali pandang, Nyo Ko berjingkat kaget.
Belasan tahun yang lalu ketika Nyo Ko pertama kali kenal
Ciu Pek-thong, rambut alis Anak Tua Nakal itu sudah putih seperti perak,
sekarang wajahnya memang tidak berubah sedikitpun tapi rambut, jenggot dan
alisnya malahan berubah menjadi sebagian putih dan sebagian hitam sehingga
tampaknya jauh lebih muda daripada dulu.
"Hahaha... adik Nyo, mengapa baru sekarang kau
datang mencari aku?" demikian Ciu Pek-thong lantas menyambut dengan
bergelak tertawa.
"Aha, kau memakai kedok segala untuk me-nakut2i
siapa sih?" - Berbareng itu sebelah tangannya terus terjulur hendak meraih
kedok tipis yang dipakai.
Cengkeraman Ciu Pek-thong itu mengarah sebelah kiri, tapi
sedikit menarik pundak kanan, kepala Nyo Ko berbalik miring ke kiri malah dan
anehnya cengkeraman Ciu Pek-thong itupun mengenai tempat kosong.
Kelima jarinya yang terpentang itu berhenti di sisi leher
Nyo Ko, Lo-wantong tampak rada melengak, habis itu lantas terbahak2 dan memuji:
"Adik Nyo, hebat benar kepandaianmu Mungkin sudah jauh melebihi waktu muda
Lo-wan-tong dahulu"
Rupanya dalam satu kali cengkeram dan satu kali mengegos
itu, kedua orang telah sama2 memperlihatkan ilmu silat mereka yang tinggi luar
biasa.. sebenarnya cengkeraman Ciu Pek-thong itu mencakup sasaran cukup luas,
jangankan Nyo Ko menghindar dengan miringkan kepala, sekalipun melompat juga
sukar menghindari cengkeramannya itu, dalam keadaan terpaksa bisa jadi Nyo Ko
menangkis dengan keras lawan keras barulah dapat mematahkannya.
Tapi sedikit angkat pundak kanan tadi Nyo Ko lantas siap
dengan lengan bajunya, rupanya Ciu Pek-thong juga tahu kemungkinan itu,
terpaksa ia siap menangkis dan karena itu raihan tangannya menjadi kendur
sehingga Nyo Ko dapat memiringkan kepalanya dan bebas dari cengkeraman itu.
Sudah tentu Kwe Yang tidak tahu seluk-beluk gebrakan itu,
ia merasa senang mendengar Ciu Pek-thong memuji Nyo Ko, segera ia berkata:
"Eh, Ciu-loyacu, kepandaianmu sekarang lebih tinggi atau lebih tinggi
waktu masih muda?"
"Waktu muda rambutku putih, kini rambutku hitam,
dengan sendirinya sekarang lebih hebat daripada dulu," jawab Ciu
Pek-thong.
"Tapi sekarang engkau takdapat mengalahkan
Toakokoku, dengan sendirinya dahulu lebih2 bukan tandingannya," ujar Kwe
Yang.
Ciu Pek thong tidak marah, ia hanya tertawa dan bertanya:
"Hahaha, nona cilik sembarangan omong!" - Mendadak kedua tangannya
bekerja sekaligus, satu pegang bagian kuduk dan lainnya mencengkeram punggung,
tubuh Kwe Yang terus diangkat tinggi2 dan diputar tiga kali, dilemparkannya
pelahan ke atas untuk kemudian ditangkap kembali, lalu diturunkan pelahan ke
tanah.
Kwe Yang datang bersama Nyo Ko, rajawali sakti itu tahu
si nona adalah teman Nyo Ko, ia menjadi marah melihat Lo-wah-tong
mempermainkan-Kwe- Yang, "Bret", mendadak sebelah sayapnya menyabet
ke arah Lo-wan-tong.
Seketika Ciu Pek-thong merasakan angin keras menyamber
tiba, ia pikir akan kucoba betapa hebat kekuatan binatang ini. Segera ia
mengerahkan tenaga, kedua tangannya terus menghantam ke depan.
Rajawali sakti itu memang makhluk luar biasa, sayapnya
yang terpentang itu ada dua-tiga meter lebarnya, maka terdengarlah suara
"blang", kedua, tenaga saling bentur, Ciu Pek-thong tetap berdiri tak
bergeming, tenaga sabetan sayap rajawali yang dahsyat itupun menyamber lewat ke
samping.
Segera rajawali itu hendak menyusuIkan serangan lain,
tapi Nyo Ko cepat membentaknya: "Jangan, Tiau-heng! Kawan kita ini adalah
orang kosen angkatan tua!"
Rajawali itu lantas mengurungkan serangannya, tapi tetap
bersikap angkuh.
"Besar juga tenaga hewan ini, pantas berani
berlagak," ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa
"Usia Tiau-heng ini entah sudah berapa ratus tahun,
jelas jauh lebih tua daripadamu," ujar Nyo Ko. "He, Lo-wan tong,
mengapa dari tua kau kembali muda, rambutmu yang sudah ubanan semuanya kini
malah berubah hitam."
"Habis apa mau dikata?" jawab Ciu Pek-thong
dengan tertawa. "Rambut dan jenggot ini tidak mau dipimpin, dahulu dia
lebih suka dari hitam menjadi putih, terpaksa kubiarkan, sekarang dia ingin
dari putih menjadi hitam, ya, akupun tak berdaya dan masa bodoh."
"Tapi kelak kalau kau semakin lama makin kecil,
setiap orang yang ketemu kau suka raba2 kepalamu dan memanggil kau adik kecil,
nah, jika begitu barulah menarik," ujar Kwe Yang.
Sekelika Ciu Pek-thong benar2 rada kuatir, ia berdiri
menjublek tanpa bicara lagi.
Padahal di dunia inii tidak mungkin terjadi orang tua
kembali muda, soalnya sifat Ciu Pek-thong itu lugu, polos, selama hidup tidak
kenal kuatir sedih.
Lwekangnya juga sangat tinggi, ditambah lagi dia suka
makan tumbuh2an pegunungan sebangsa Ho siu-oh, Hok-leng (bahan obat, kuat) dan
madu tawon, semua itu besar manfaatnya bagi kesehatan, sebab itulah
rambut-alisnya yang tadi nya putih malah kembali menjadi hitam.
Malahan juga sering terjadi orang tua yang sudah ompong
tumbuh gigi lagi, tulang yang sudah lapuk berubah menjadi kuat, apalagi Ciu Pek
thong memang paham cara merawat diri sehingga umurnya sudah dekat seabad masih
tetap segar dan bersemangat
Mendengar ucapan Kwe Yang yang membuat kuatir tidak perlu
bagi Ciu Pek-tbong itu, diam2 Nyo Ko merasa geli, segera ia berkata:
"Ciu-heng, asalkan kau mau menemui satu orang, kujamin kau takkan berubah
menjadi kecil."
"Menemui siapa?" tanya Ciu Pek-thong "Jika
kusebut nama orang ini, jangan kau terus pergi begitu saja," kata Nyo Ko.
Bahwa watak Ciu Pek-thong hanya lugu saja, tapi sekali2
bukan orang bodoh, Kalau tidak masakah dia mampu meyakinkan ilmu silat setinggi
ini. Maka diam2 telah dapat menangkap maksud kedatangan Nyo Ko, segera ia
menjawab:
"Di dunia ini ada dua orang-yang takdapat kutemui,
seorang ialah Toan hongya dan yang lain ialah bekas selirnya, Eng-koh. Kecuali
mereka berdua, siapapun aku mau menemuinya."
Diam2 Nyo Ko pikir harus menggunakan akal pancingan,
segera ia berkata pula: "Ah, kutahu, tentu kau pernah dikalahkan mereka,
ilmu silatmu lebih rendah daripada mereka, makanya kau kapok dan takut bertemu
dengan mereka."
"Tidak, tidak," sahut Lo-wan tong sambil
meng-ge!eng2. "Soalnya perbuatanku terlalu kotor dan rendah, aku merasa
bersalah kepada mereka, maka malu untuk bertemu dengan mereka,"
Nyo Ko melengak, sama sekali tak terduga olehnya bahwa
begitulah sebabnya Cui Pek-thong tak berani bertemu dengan Eng-koh. Tapi dia
dapat berpikir cepat, segera ia menambahkan "Kalau kedua orang itu
terancam bahaya dan jiwa mereka sudah dekat ajalnya, apakah kaupun tidak sudi
memberi pertolongan?"
Melenggong juga Ciu Pek-thong, dalam hati ia sangat
menyesal dan merasa berdosa terhadap It-teng dan Eng-koh, kalau kedua orang itu
ada kesukaran, biarpun mengorbankan jiwa sendiri juga dia akan menolong mereka
tanpa ragu sedikitpun.
Tapi sekilas ia melihat Kwe Yang tersenyum simpul, sama
sekali tiada rasa cemas dan kuatir, segera ia menjawab dengan tertawa:
"Aha, kau ingin menipuka ya? Kepandaian Toan-hongya maha sakti, mana
mungkin dia terancam bahaya? Andaikan benar dia menemukan lawan maha lihay,
kalau dia tidak sanggup menandingi ya, maka akupun tidak mampu."
"Terus terang kukatakan, sesungguhnya Eng-koh sangat
rindu padamu, betapapun kau diminta ke sana menemuinya."
Seketika air muka Ciu Pek-thong berubah sambil
meng-goyang2 kedua tangannya, katanya: "Adik Nyo, jika kau mengungkat
urusan ini sepatah kata lagi, segera kusilakan kau keluar dari Pek-hoa-kok ini
dan jangan menyalahkan aku jika aku tidak kenal sahabat lagi."
Setelah mengalami gemblengan selama belasan tahun, sifat
latah Nyo Ko sudah lenyap, tapi semangat jantannya tidak menjadi berkurang,
sekali bajunya mengebas, segera ia menjawab: "Ciu-Ioheng seumpama kau
ingin mengusirku pergi dari sini, kukira juga tidak begitu mudah."
"Hehe, memangnya kau ingin berkelahi dengan
aku?" kata Lo-wan-tong dengan tertawa.
"Boleh juga jika kau ingin berkelahi," jawab
Nyo Ko. "Kalau aku kalah, segera kupergi dari sini dan takkan menginjak
tempatmu lagi, tapi kalau kau kalah, kau harus ikut aku pergi menemui
Eng-koh."
"Tidak, tidak, salah!" seru Ciu Pek-thong.
"Pertama, mana bisa kukalah daripada anak muda seperti kau ini. Kedua,
seumpama aku kalah juga aku takkan menemui Lau-kui-hui (Lau, she Eng-koh)"
Nyo Ko menjadi marah, katanya: "Jika kau menang
adalah hakmu untuk tidak menemui dia, tapi kalau kau kalah juga tetap tidak
mau, lalu apa taruhan kita?"
"Sekali aku bilang tidak mau menemui dia-ya tetap
tidak mau, tidak perlu banyak omong lagi, hayolah mulai!" seru Ciu
Pek-thong sambil menyingsing lengan baju dan gosok2 kepalan
Nyo Ko pikir Lo-wan-tong ini sukar dipancing dan ditipu,
terpaksa harus memakai kekerasan. Kalau benar2 harus bergebrak rasanya juga
tidak yakin pasti akan menang, tiada jalan lain, terpaksa harus melihat gelagat
saja nanti.