"Kalau itu adalah takdir,
maka tidak berdosa." sahut Sam Gan Sin Kay.
"Aaah...!" Tayli Lo
Ceng menghela nafas panjang "Itu memang merupakan suatu dosa berat, sebab
aku tinggal di sana. Kalau aku tidak tinggal disana, tentunya tidak akan saling
jatuh cinta, Beberapa hari setelah saling menyatakan
cinta, Aku menghadiahkan
sebuah tusuk konde kumala kepadanya."
"Tusuk konde itu?"
tanya Kim Siauw Suseng
"Ya!" Tayli Lo Ceng
mengangguk. "Memang tusuk konde ini. Beberapa bulan kemudian, aku berpamit
kepadanya karena aku ingin pergi me nuntut ilmu. Aku berjanji kepadanya pasti
pulang dalam waktu dua tiga tahun, akan tetapi, aku aku tidak pernah datang
menemuinya lagi."
"Kenapa?" tanya Kou
Hun Bijin heran.
"Setelah aku pergi
menuntut ilmu lagi, aku tersadar dari kekeliruan itu...." Tayli Lo Ceng
menghela nafas panjang.
"Maka aku tidak pergi
menemuinya, itu agar dia bisa menikah dengan pemuda lain. Dua puluh tahun
kemudian, secara diam-diam aku ke rumahnya. Aku harap dia sudah punya anak dan
hidup bahagia, namun tak sangka dia justru tidak ada di rumah. Aku bertanya
kepada para tetangga di sana, mereka memberitahukan bahwa Pek Sian Nio sudah
menjadi biarawati, namun mereka tidak tahu dia berada dimana. Sejak saat itulah
aku tidak pernah bertemu dia lagi."
"Kepala gundul,"
tegur Kou Hun Bijin. "Engkau memang kejam sekali. Setelah pergi menuntut
ilmu lagi, barulah tersadar. Otomatis membuat Pek Sian Nio hidup merana dan
menderita. Dosa mu bertambah berat."
"Omitohud! Dosaku memang
berat sekali ucap Tayli Lo Ceng sambil memandang Lu Hui San yang telah duduk.
"Apa gelarnya?"
"Khong Sim Ni Kouw,"
jawab Lu Hui San.
"Khong Sim (Hati Hampa).
Khong Sim..." gumam Tayli Lo Ceng dengan mata basah. "Aku sungguh
berdosa terhadapnya."
"Lo Ceng!" Lu Hui
San memberitahukan. ”Khong Sim Ni Kouw kelihatan mengharap sekali kedatangan Lo
Ceng."
"Omitohud...."
"Jangan menyebut
'Omitohud' dulu!" potong Kou Hun Bijin. "Sebab akan menambah dosamu.
Lebih baik engkau segera pergi menemuinya. Kalau tidak, jangan harap engkau
bisa berjumpa dengan Sang Budha."
”Omitohud!" Tayli Lo Ceng
manggut-manggut, kemudian bertanya kepada Lu Hui San. "Di -mana tempat
tinggalnya?"
"Di kuil Pek Yun
Am...." Lu Hui San memberitahukan secara
jelas.
"Omitohud!
Terimakasih!" Mendadak Tayli Lo Ceng melesat pergi tanpa pamit.
Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw
Suseng dan Kou Hun Bijin saling memandang, kemudian Kou Hun Bijin menghela
nafas panjang seraya berkata, "Mudah-mudahan kepala gundul itu bertemu
khong Sim Ni Kouw! Aku..." Kou Hun Bijin terisak-isak.
"Aku.bersimpati dan merasa kasihan kepada Khong Sim Ni Kouw itu."
"Tidak disangka Tayli Lo
Ceng punya kenangan itu!" Sam Gan Sin Kay menggeleng-gelengkan kepala dan
bergumam. "Cinta...."
"He he he!" Kim
Siauw Suseng tertawa terkekeh-kekeh. "Pengemis bau! Teringat kepada
mendiang isteri ya?"
"Sastrawan sialan!"
sahut Sam Gan Sin Kay "Urusi isterimu yang menangis itu! Jangan
menggodaku!"
"Eh?" Kim Siauw
Suseng segera memandang Kou Hun Bijin. "Isteriku...."
"Aku menangis sedih,
engkau malah tertawa terkekeh-kekeh." tegur Kou Hun Bijin sambil melotot.
"Nanti malam engkau tidur di lantai tidak boleh seranjang denganku!"
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa tebahak-bahak. "Rasakan! Sastrawan sialan pasti kedinginan
malam ini! Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo-
Tayli Lo Ceng sudah sampai di
kuil Pek Yu Am. Ia berdiri di depan pintu kuil itu dengan kening berkerut-kerut
lantaran hatinya bimbang. Ia ingin mengetuk pintu kuil itu, namun hatinya
merasa enggan. Di saat itulah mendadak pintu kuil itu terbuka dan tampak dua
biarawati berdiri disitu
"Siancay! Siaricay!"
ucap kedua biarawati itu.”Guru kami mempersilakan Lo Ceng masuk."
"Omitohud!.Terimakasih!"
sahut Tayli Lo Ceng. "Mari ikut kami ke dalam, Lo Ceng!" ucap kedua
biarawati itu sambil berjalan ke dalam. Tayli Lo Ceng mengikuti mereka dengan
hati tak tenang. Tak lama mereka sudah sampai di ruang meditasi.
"Lo Ceng, silakan
masuk!" ucap kedua biarawati tu.
"Terimakasih!" Tayli
Lo Ceng masuk ke dalam ruang itu dan dilihatnya seorang biarawati tua duduk
bersila.
"Kong Sun Hok," ujar
biarawati tua itu. "Engkau sudah datang, duduklah di hadapanku!"
"Pek Sian Nio,"
sahut Tayli Lo Ceng sambil duduk bersila dihadapan biarawati tua.
"Aku...aku...."
"Sudahlah!" Khong
Sim Ni Kouw tersenyum lembut. "Aku sama sekali tidak mempersalahkanmu.
Sesungguhnya aku yang bersalah, karena tidaik pantas aku jatuh cinta kepada
seorang Hweesio itu adalah dosaku...."
"Tidak, Sian Nio. Engkau
tidak bersalah. Aku yang bersalah.
Sian Nio, ampunilah aku!"
Tayli, Ceng terisak-isak.
"Kong Sun Hok!"
Khong Sim Ni Kouw tersenyum lembut lagi. "Engkau sudah tua, namun kenapa
masih seperti anak-anak?"
"Sian Nio...." Air
mata Tayli Lo Ceng berderai derai. "Gara-
gara aku, engkau kehilangan
masa remajamu. Aku... aku berdosa terhadapmu."
"Itu sudah merupakan
takdir." Khong Sim Ni Kouw menatapnya dalam-dalam, kemudian wajah nya
berseri seraya berkata. "Malam itu engkat memelukku, dan aku mendekap di
dadamu. Bulan pun bersinar terang benderang, betapa bahagianya aku disaat itu."
"Sian Nio...." Tayli Lo Ceng terisak-isak lagi "Tidak
seharusnya aku
menelantarkanmu. Aku...aku..”
"Kong Sun Hok!"
Khong Sim Ni Kouw mulai memandangnya dengan mata redup, namun wajahnya tetap
berseri. "Kini aku pun bahagia sekali sebab engkau masih sempat ke
mari."
"Sian Nio!
Engkau...." Tayli Lo Ceng tersentak dan segera
memeriksa nadinya. Betapa
terkejutnya padri tua itu, ternyata denyut nadi dan detak jantung Khong Sim Ni
Kouw sudah lemah sekali, Cepat-cepatlah padri tua itu menyalurkan Hud Bun Pan
Yok Sin Kang ke dalam tubuh biarawati tua itu.
"Kong Sun Hok!"
Khong Sim Ni Kouw menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan menyia-nyiakan hawa
murnimu, sebab sudah waktunya aku pergi.."
"Sian Nio...." Air
mata Tayli Lo Ceng mulai meleleh lagi. "Kita... kita baru
berjumpa...."
"Aku... aku
bahagia..." ujar Khong Sim Ni Kouw dengan suara mulai lemah. "Kong
Sun Hok, maukah... engkau memelukku seperti malam itu?"
"Sian Nio....."
Tayli Lo Ceng langsung memeluknya dengan
air mata berderai-derai.
"Sian Nio, aku...."
"Kong Sun Hok!"
Khong Sim Ni Kouw tersenyum bahagia. "Engkau tidak berdosa dalam hal ini
relakanlah aku pergi...."
"Sian Nio!" Tayli Lo
Ceng membelainya. "Di dalam penitisan, aku pasti memperisterimu. Aku...
aku pasti mencintai dan menyayangimu. Sian Nio, aku berjanji!"
"Terimakasih, Kong Sun
Hok! Terimakasih...." Khong Sim Ni
Kouw tersenyum sambil berkata
dengan suara yang semakin lemah. "Kong Sun Hok... selamat... selamat
tinggal...."
"Sian Nio! Sian
Nio..." panggil Tayli Lo Ceng. Namun Khong Sim Ni Kouw tidak menyahut
lagi, ternyata nafasnya telah putus. "Omitohud...."
"Guru! Guru...." Kedua biarawati yang berdiri diluar
ruangan itu langsung
menjatuhkan diri berlutut sambil menangis sedih. "Guru...."
-oo0dw0oo-
Bagian ke tujuh puluh
Dua Dhalai Lhama mengunjungi
Markas Kay Pang
Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong duduk diruang depan dengan wajah serius, kelihatan mereka berdua sedang
membicarakan sesuatu
"Entah bagaimana Bun
Yang?" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Mudah-mudahan tidak
akan terjadi sesuatu atas dirinya!"
"Yang kucemaskan
adalah..." ujar Gouw Han Tiong dengan kening berkerut-kerut. "Apabila
Goat Nio terjadi sesuatu, Bun Yang akan...”
"Tiada gairah hidup
lagi?" tanya Lim Peng Hang.
"Kira-kira
begitulah," sahut Gouw Han Tiong sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Sebab Bun Yang sangat mencintai gadis itu."
"Aaah...!" keluh Lim
Peng Hang. "Aku justru tidak habis pikir, kenapa Bun Yang harus menghadapi
percobaan itu? Padahal... dia pemuda baik dan berhati bajik, tapi malah...."
"Dulu kedua orang tuanya
juga selalu mnghadapi percobaan-percobaan yang tak terduga akhirnya mereka
berdua toh hidup bahagia," seru Gouw Han Tiong dan melanjutkan, "Maka
Bun Yang harus tabah. Kalau tidak, dia akan gila."
"Yaaah!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Hidup memang penuh cobaan, setiap orang
pasti akan mengalami."
"Mudah-mudahan Bun Yang
berhasil mencari Goat Nio, jadi kita pun bisa berlega hati!" ucap Gouw Han
Tiong.
"Aku justru masih tidak
habis pikir, apa sebabnya ketua Kui Bin Pang itu tidak mau melepaskan Goat
Nio," ujar Lim Peng Hang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dan
juga entah disekap di mana gadis itu?"
"Mungkinkah...." Gouw
Han Tiong mengerutkan
kening.
"Ketua Kui Bin Pang itu
punya maksud tertentu terhadap Goat Nio?"
-oo0dw0oo-
Jilid : 15
"Aaah...." Lim Peng
Hang menghembuskan nafas panjang.
"Sungguh pusing
memikirkannya!"
"Oh ya! Belum lama ini di
rimba persilatan telah muncul Kim Coa Long Kun. Pendekar Pedang Ular Emas itu
sadis sekali," ujar Gouw Han Tiong mengalihkan pembicaraan
sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Dia masih muda, namun berkepandaian tinggi sekali."
"Tidak memberi ampun
kepada para penjahat, tapi...." Lim
Peng Hang mengerutkan kening
dan melanjutkan. "Justru sungguh membingungkan, kenapa dia juga membunuh
para murid Butong Pay, Kun Lun Pay dan Go Bie Pay? Kalau tidak salah,
ketua-ketua partai itu telah bergabung untuk membasmi Kim Coa Long Kun
itu."
"Rimba persilatan tidak
pernah tenang, bahkan kini Dinasti Beng, pun berada di ambang keruntuhan,"
ujar Gouw Han Tiong sambil menggeleng-gelengkan kepala lagi. "Kelihatannya
kita pun sudah harus hidup tenang di Pulau Hong Hoang To."
"Benar." Lim Peng
Hang manggut-manggut, kemudian memandang Gouw Han Tiong sambil tersenyum.
"Engkau tidak bisa tinggal di Pulau Hong Hoang To, harus tinggal di Tayli,
sebab Sian Eng berada di sana."
"Sian Eng..." gumam
Gouw Han Tiong. "Karena engkau menyinggung dirinya, aku pun menjadi rindu
lho!"
"Engkau berniat ke Tayli
menengok Sian Eng?" tanya Lim Peng Hang.
"Memang berniat, tapi
bukan sekarang," sahut Gouw Han Tiong dan menambahkan. "Setelah Bun
Yang berkumpul kembali dengan Goat Nio, barulah aku berangkat ke Tayli."
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang tertawa gelak. "Saudara Gouw, engkau memang sangat setia kawan."
"Tentu." Gouw Han
Tiong juga tertawa.
Dalam waktu bersamaan,
muncullah Cian Chiu Lo Kay dengan wajah serius. Ia memberi hormat kepada Lim
Peng Hang dan Gouw Han Tiong.
"Pangcu, ada dua Dhalai
Lhama ingin bertemu Pangcu," lapor Cian Chiu Lo Kay.
"Apa?" Lim Peng Hang
tertegun. "Maksudmu Dhalai Lhama dari Tibet?"
"Ya." Cian Chiu Lo
Kay mengangguk.
"Cepat undang mereka
masuk!" ujar Lim Peng Hang.
"Ya, Pangcu." Cian
Chiu Lo Kay segera keluar, sedangkan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling
memandang dengan kening berkerut-kerut.
"Heran?" gumam Lim
Peng Hang. "Ada urusan apa kedua Dhalai Lhama itu ke mari?"
"Kay Pang tidak punya
hubungan dengan Dhalai Lhama Tibet, memang mengherankan mereka ke mari."
Gouw Han Tiong tidak habis pikir.
"Hah?" Mendadak Lim
Peng Hang tersentak. "Jangan-jangan ada kaitannya dengan Cie Hiong, sebab
Cie Hiong pernah bertarung dengan ketua Dhalai Lhama?"
"Aku pernah mendengar
tentang itu, tapi setelah itu bukankah Cie Hiong malah bersahabat dengan ketua
Dhalai Lhama itu?"
"Benar." Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Kalau begitu, kedatangan mereka...."
Ucapan ketua Kay Pang
terhenti, karena Cian Chiu Lo Kay telah muncul bersama kedua Dhalai Lhama itu.
Setelah berdiri di hadapan Lim
Peng Hang dan Gouw Han Tiong, kedua Dhalai Lhama itu memberi hormat.
"Lim Pangcu, maaf!"
ucap Dhalai Lhama berjubah merah. "Kedatangan kami mengganggu ketenangan
Pangcu."
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang tertawa gelak. "Tidak apa apa. Silakan duduk!"
"Terimakasih!" Kedua
Dhalai Lhama itu duduk. Yang mengherankan adalah wajah kedua Dhalai Lhama itu,
karena tampak muram sekali.
"Kalian berdua jauh-jauh
dari Tibet ke mari, tentunya ada suatu urusan penting. Ya, kan?" tanya
Gouw Han Tiong.
"Betul," sahut
Dhalai Lhama berjubah kuning. "Telah terjadi sesuatu di kuil
kami...."
"Oh?" Lim Peng Hang
tertegun. "Apa yang telah terjadi di kuil kaliah?”
"Aaaah...!" Dhalai
Lhama berjubah merah menghela nafas panjang. "Belum lama ini telah muncul
seorang pemuda Han di Tibet. Kepandaiannya sungguh tinggi sekali, sehingga para
saudara seperguruanku tak mampu melawannya. Ternyata pemuda Han itu pun
memiliki ilmu sesat yang dapat mengendalikan pikiran orang, maka semua saudara
seperguruan kami terpengaruh, bahkan kemudian pemuda Han itu juga mengalahkan guru
kami."
"Lalu bagaimana?"
tanya Lim Peng Hang terkejut.
"Guru kami dikurung,
sedangkan semua saudara seperguruan kami sangat patuh kepada perintah pemuda
Han itu," jawab Dhalai Lhama berjubah merah memberitahukan dengan wajah
murung. "Sebab pikiran mereka di bawah pengaruh ilmu sesat pemuda Han
itu."
"Siapa pemuda Han
itu?" tanya Gouw Han Tiong.
"Dia tidak menyebut
namanya," jawab Dhalai Lhama berjubah merah. "Kini pemuda Han itu
berkuasa di kuil kami."
"Sungguh diluar
dugaan!" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala, kemudian memandang
mereka seraya bertanya. "Kok kalian tidak terpengaruh sama sekali, bahkan
masih bisa kemari?"
"Kebetulan pada waktu itu
kami tidak berada di kuil, karena sedang ada tugas di daerah lain." Dhalai
Lhama berjubah kuning memberitahukan. "Setelah menyelesaikan tugas itu,
kami berdua pulang ke Tibet. Di tengah jalan muncul belasan penduduk Tibet
menghadang kami dan menceritakan tentang kejadian itu. Kami ingin segera
kembali ke kuil, tapi para penduduk itu mencegah kami, sebab kami bukan lawan
pemuda Han itu."
"Lalu bagaimana
kalian?" tanya Lim Peng Hang.
"Kami gugup dan panik,
bahkan kebingungan sekali," jawab Dhalai Lhama berjubah merah.
"Kemudian kami teringat kepada Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong, maka kami
segera berangkat ke Tionggoan. Kami ke mari karena tahu Pek Ih Sin
Hiap .lilalah manlii I ini
Pangcu."
"Oooh!" I mi Pen£
11iiii>t nittnggul manggut. "Jaili maksud kalian ingin minta bantuan
kepadanya?"
"Ya." Kedua Dhalai
Lhanin ilu mengangguk. "Menurut kami, hanya Pek Ih Sin Hiap yang dapat
mengalahkannya."
"Tapi...." Lim Peng Hang menggelengkan kepala. "Cie
Hiong tidak berada di sini,
dia tinggal di Pulau Hong Hang To."
"Oh?" Dhalai Lhama
memandang Lim Peng Hang. "Di mana pulau itu?"
"Jauh sekali." Lim
Peng Hang memberitahukan. "Terletak di Pak Hai (Laut Utara)."
"Tidak apa-apa,"
ujar Dhalai Lhama berjubah merah seakan telah mengambil keputusan. "Kami
akan berangkat ke sana."
"Percuma." Gouw Han
Tiong menggelengkan kepala.
"Kenapa?" Dhalai
Lhama berjubah merah heran.
"Sebab Cie Hiong sudah
bersumpah tidak akan mencampuri urusan rimba persilatan, maka percuma kalian ke
sana." Gouw Han Tiong menjelaskan. "Dia tidak akan membantu
kalian."
"Aaaah...!" Dhalai
Lhama jubah merah menghela nafas panjang. "Kalau begitu kuil kami pasti
terus dikuasai pemuda Han itu."
"Oh ya!" ujar Lim
Peng Hang memberitahukan. "Ada seorang yang bisa membantu kalian."
"Siapa?" tanya kedua
Dhalai Lhama itu girang.
"Tio Bun Yang,"
jawab Lim Peng Hang sambil tersenyum. "Putra satu-satunya Tio Cie
Hiong."
"Juga cucu Lim Pangcu,
kan?" Dhalai Lhama berjubah kuning menatapnya.
"Ya." Lim Peng Hang
mengangguk. "Aku yakin dia mampu membantu kalian, tapi...."
"Kenapa, Lim
Pangcu?" tanya Dhalai Lhama berjubah merah.
"Dia pun tidak berada di
sini." Lim Peng Hang menghela nafas panjang.
"Apakah dia berada di
Pulau Hong Hoang To?" tanya Dhalai Lhama berjubah kuning sambil
menatapnya.
"Dia tidak ada di pulau
itu, melainkan sedang pergi mencari seseorang," ujar Gouw Han Tiong.
"Kapan did pulang?"
tanya Dhalai Lhama itu penuh harap.
"Entahlah." Lim Peng
Hang menggelengkan kepala. "Kami tidak tahu kapan dia akan pulang."
"Kalau begitu...." Kedua Dhalai Lhama itu saling
memandang, kemudian
manggut-manggut seraya berkata, "Lim Pangcu, perkenankanlah kami
menunggunya!"
"Boleh." Lim Peng
Hang mengangguk. "Namun kami tidak berani memastikan kapan dia
pulang."
"Tidak jadi
masalah," ujar Dhalai Lhama berjubah merah "Kami akan menunggunya
dengan sabar."
"Kalau begilu..."
ujar Lim Peng Hang sambil manggut-manggut. "Kalian berdua boleh tinggal di
sini."
"Terimakasih!" ucap
kedua Dhalai Lhama itu serentak.
"Lo Kay,' ujar Lim Peng
Hang. "Antar kedua Dhalai Lhama itu ke kamar untuk beristirahat!"
"Ya, Pangcu." Cian
Chiu Lo Kay mengangguk, lalu berkata kepada kedua Dhalai Lhama. "Mari ikut
aku ke belakang!"
"Terimakasih!" Kedua
Dhalai Lhama itu mengikuti Cian Chiu Lo Kay ke belakang.
"Tambah satu urusan
lagi," ujar Gouw Han Tiong sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Yaaah!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Sebagai orang gagah dalam rimba persilatan,
kita memang harus membantu Dhalai Lhama itu. Lagi pula pemuda Han "itu
telah mencemarkan nama baik bangsa Han, maka aku yakin Bun Yang pasti bersedia
membantu Dhalai Lhama itu."
"Tapi...." Gouw
Han Tiong mengerutkan
kening. "Entah
kapan dia pulang? Dia sedang
mencemaskan Goat Nio, itu akan mempengaruhi konsentrasinya. Jadi bagaimana
mungkin dia dapat mengalahkan pemuda Han itu?"
"Aku yakin dia tidak akan
begitu," ujar Lim
Peng Hang dan menambahkan,
"Mudah-mudahan dia akan pulang dalam beberapa hari ini!"
"Mudah-mudahan!"
Gouw Han Tiong mang-\gut-manggut. ”Dan semoga dia telah berkumpul dengan Goat
Nio!"
-oo0dw0oo-
Setelah meninggalkan rumah
Menteri Ma, Tio Bun Yang mulai mencari Kwee Teng An kemana-mana, bahkan juga
telah menjelajahi beberapa kota. Akan tetapi, tetap sia-sia karena tiada jejak
pemuda itu sama sekali.
Ketika hari mulai gelap, Tio
Bun Yang duduk di bawah pohon. Tak henti-hentinya ia menghela nafas panjang, lalu
mengeluarkan sulingnya.
Tak lama terdengarlah suara
suling yang amat merdu menggetarkan kalbu. Ia meniup suling sambil melamun.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah ia berhenti meniup sulingnya. Di saat
bersamaan, muncullah seseorang sambil tertawa.
"Ha ha ha! Adik Bun Yang!
Ternyata engkau yang meniup suling! Aku tak menyangka engkau begitu mahir
meniup suling!"
"Hah?" Tio Bun Yang
tersentak dan menoleh.
Dilihatnya seorang pemuda
berdiri di belakangnya. "Kim Coa Long Kun...."
"Engkau meniup suling
sambil melamun, sehingga tidak tahu akan kehadiranku di sini." ujar pemuda
itu, yang tidak lain Pendekar Pedang Ular Emas.
"Kim Coa Long
Kun...." Tio Bun Yang tersenyum getir.
"Adik Bun Yang!" Kim
Coa Long Kun duduk di sisinya. "Engkau belum berhasil mencari Goat
Nio?" "
"Belum." Tio Bun
Yang menggelengkan kepala. "Aaaah...!"
"Jangan putus asa!"
ujar Kim Coa Long Kun. "Engkau harus mencarinya terus, aku yakin engkau
pasti berkumpul dengan dia."
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang, kemudian bertanya, "Bagaimana engkau? Apakah
sudah berhasil menyelidiki kelima perampok itu?"
Kim Coa Long Kun menggelengkan
kepala dan menyahut.
"Tapi aku akan terus
menyelidiki mereka." Wajah Kim Coa Long Kun berubah dingin sekali.
"Aku tidak akan melepaskan mereka begitu saja."
"Kim Coa Long Kun!"
Tio Bun Yang menatapnya. "Tak disangka kita bertemu di sini."
"Kebetulan aku lewat,
suara sulingmu menarik perhatianku." Kim Coa Long Kun tersenyum.
"Maka aku ke mari,
sungguh diluar dugaan ternyata engkau yang meniup suling?"
"Kim Coa Long
Kun...." Tio Bun Yang ingin mengucapkan
sesuatu, namun dibatalkannya.
"Adik Bun Yang!" Kim
Coa Long Kun menatapnya sambil tersenyum. "Aku tahu engkau khawatir
kekasihmu itu akan terjadi sesuatu. Ya, kan?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Percayalah!" Kim Coa Long Kun memegang bahunya seraya
berkata. "Kekasihmu itu tidak akan terjadi apa-apa."
"Mudah-mudahan!"
ucap Tio Bun Yang.
"Oh ya, Adik Bun
Yang!" Mendadak wajah Kim Coa Long Kun tampak serius. "Aku memperoleh
suatu informasi, bahwa ada dua Dhalai Lhama berada di markas pusat Kay Pang.
Entah ada urusan apa, lebih baik engkau segera kembali ke markas pusat Kay
Pang!"
"Oh?" Tio Bun Yang
tertegun. "Dhalai Lhama? Apakah ada urusan dengan ayahku?"
"Entahlah!" Kim Coa
Long Kun menggelengkan kepala. "Adik Bun Yang, sebaiknya engkau segera ke
sana."
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Adik Bun Yang!" Kim
Coa Long Kun bangkit berdiri. "Aku mau pamit."
"Kim Coa Long
Kun...." Tio Bun Yang memandangnya.
"Adik Bun Yang!" Kim
Coa Long Kun melesat pergi. "Sampai jumpa!"
"Kim Coa Long
Kun...!" seru Tio Bun Yang dengan wajah murung. Setelah Kim Coa Long Kun
melesat pergi, ia tampak seakan kehilangan sesuatu.
Lama sekali barulah ia melesat
pergi. Tujuannya kembali ke markas pusat Kay Pang. Rasa herannya timbul, karena
Kim Coa Long Kun memberitahukan ada dua Dhalai Lhama berada di sana. Ada urusan
apa Dhalai Lhama itu berada di markas pusat Kay Pang? Ia sungguh tak habis
pikir.
-oo0dw0oo-
Meskipun sudah beberapa hari
menunggu dan Tio Bun Yang masih belum datang, namun kedua Dhalai Lhama itu
tidak putus asa. Mereka tetap menunggu dengan sabar.
"Heran..." gumam Lim
Peng Hang. "Kok Bun Yang belum pulang?"
"Aku khawatir...."
Gouw Han Tiong mengerutkan kening.
"Dia tidak akan begitu
cepat pu lang."
"Tidak apa-apa,"
ujar Dhalai Lhama berjubah merah. "Kami akan tetap menunggu, sebab kami
yakin dia pasti kembali."
"Aaah...!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Aku justru masih tidak habis pikir,
sebetulnya siapa pemuda Han yang mengacau di kuil kalian itu?"
"Pemuda itu cukup tampan
dan sering tersenyum-senyum, namun di balik senyumannya terdapat
kelicikan." Dhalai Lhama berjubah merah memberitahukan. "Bahkan dia
pun berhati kejam, karena dia telah membunuh beberapa orang."
"Setahuku..." ujar
Gouw Han Tiong. "Ketua Dhalai Lhama berkepandaian tinggi sekali, tapi...
pemuda itu masih dapat mengalahkannya. Pertanda pemuda itu berkepandaian jauh
lebih tinggi."
"Betul." Dhalai
Lhama itu manggut-manggut dan menambahkan, "Kami tahu Pek Ih Sin Hiap
memiliki ilmu Penakluk Iblis, apakah putranya juga memiliki ilmu
tersebut?"
"Tentu." Lim Peng
Hang mengangguk. "Maksud kalian ilmu itu mampu membuyarkan ilmu sesat yang
dimiliki pemuda Han itu?"
"Ya." Dhalai Lhama
berjubah merah mengangguk. "Oh ya! Bagaimana kepandaian Tio Bun
Yang?"
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang tertawa gelak. "Kepandaiannya sudah tinggi sekali.'..."
Pada waktu bersamaan,
berkelebat sosok bayangan ke dalam dan terdengar suara seruan.
"Kakek! Kakek Gouw!"
Sosok bayangan itu ternyata
Tio Bun Yang. Dapat dibayangkan betapa girangnya Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong.
"Bun Yang!" panggil
mereka serentak.
Kedua Dhalai Lhama langsung
memandang Tio Bun Yang. Begitu lemah lembut pemuda itu, bagaimana mungkin
berkepandaian tinggi? Kedua Dhalai Lhama membatin, namun ketika melihat
sepasang matanya, tersentaklah mereka berdua, karena sepasang matanya
menyorotkan sinar yang begitu tajam, pertanda memiliki lweekang yang amat
tinggi.
Tio Bun Yang memberi hormat
kepada kedua Dhalai Lhama, dan kedua Dhalai Lhama segera bangkit berdiri
sekaligus balas memberi hormat.
"Tio siauhiap, selamat
bertemu!" ucap Dhalai Lhama berjubah merah.
"Selamat bertemu Dhalai
Lhama!" sahut Tio Bun Yang. "Ayoh! Duduklah!" ucap Lim Peng Hang
Mereka segera duduk. Lim Peng
Hang memandang Tio Bun Yang seraya bertanya dengan, penuh perhatian.
"Bun Yang, engkau sudah
bertemu Goat Nio?" "Belum." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala.
"Tiada kabar beritanya
sama sekali?" tanya Gouw Han Tiong.
Tio Bun Yang mengangguk sambil
menghela nafas panjang.
"Tapi aku sudah tahu
siapa ketua Kui Bin Pang itu," ujarnya^
"Oh?" Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong terperanjat. "Siapa ketua Kui Bin Pang itu?"
"Seorang pemuda bernama
Kwee Teng An," sahut Tio Bun Yang.
"Kwee Teng An?"
gumam Lim Peng Hang. "Tidak pernah terdengar nama tersebut dalam rimba
persilatan. Oh ya, engkau kok tahu ketua Kui Bin Pang itu adalah Kwee Teng
An?"
"Tanpa sengaja aku
menyelamatkan putri Menteri Ma..." tutur Tio Bun Yang tentang semua
kejadian itu, kemudian menambahkah, "Aku sedang mencari Kwee Teng
An."
"Oh?" Lim Peng Hang
terbelalak. "Engkau bertemu Yo Suan Hiang, bagaimana kabarnya?"
"Bibi Suan Hiang
baik-baik saja." Tio Bun Yang memberitahukan. "Tapi... dia masih
belum menikah."
"Kemungkinan besar dia
tidak akan menikah," ujar Gouw Han Tiong. "Sebab ia mencurahkan
perhatiannya pada perjuangan itu."
"Oh ya!" tanya Lim
Peng Hang. "Betulkah Lie Tsu Seng telah berhasil merebut beberapa
kota?"
"Betul." Tio Bun
Yang mengangguk.
"Aaah...!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Rimba persilatan bertambah kacau, sedangkan
kerajaan pun timbul berbagai pergolakan!"
"Bun Yang!" Gouw Han
Tiong menatapnya. "Apakah baru-baru ini engkau mendengar tentang sepak
terjang Kim Coa Long Kun dalam rimba persilatan?"
"Kim Coa Long Kun?"
Tio Bun Yang tertegun.
"Ya." Gouw Han Tiong
mengangguk. "Dia baru muncul di rimba persilatan, namun sadis sekali. Di
mana dia berada, pasti terjadi pertumpahan darah."
"Oh?" Tio Bun Yang
mengerutkan kening.
"Kami justru tidak habis
pikir, sebetulnya dia tergolong lurus atau sesat?" Lim Peng Hang
menggeleng-gelengkan kepala. "Dia memang sering membunuh para penjahat,
tapi juga pernah membunuh para murid partai Butong, Kun Lun dan Go Bie. Maka
para ketua ketiga partai itu bergabung untuk menumpasnya."
"Kakek!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Aku sudah bertemu Kim Coa Long Kun itu."
"Hah? Apa?" Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong tersentak. "Engkau dan dia bertarung?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk dan menutur tentang kejadian itu secara jelas, kemudian menambahkan.
"Kedua kalinya kami bertemu, dialah yang menyuruhku segera kembali, karena
ada Dhalai Lhama di markas pusat ini."
"Oh?" Lim Peng Hang
terbelalak. "Jadi engkau sudah bersahabat dengan dia?"
"Ya." Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Dia bukan orang jahat. Kalau dia ingin membunuh ketiga ketua partai itu,
boleh dikatakan segampang membalik telapak tangannya."
"Kalau begitu..."
ujar Gouw Han Tiong. "Yang bersalah adalah para murid ketiga partai itu,
karena mereka telah melakukan perbuatan yang terkutuk itu."
"Yaah!" Tio Bun Yang
menghela nafas panjang. "Kim Coa Long Kun itu punya riwayat yang
mengenaskan. Dia...."
Tio Bun Yang menutur tentang
kejadian yang menimpa keluarga Kim Coa Long Kun, Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kalau begitu...."
Lim Peng Hang menggeleng-gelangkan
kepala. "Kita tidak bisa
mempersalahkannya. Mudah-mudahan dia berhasil menyelidiki kelima perampok
itu!"
"Kakek!" Tio Bun
Yang menatapnya. "Sebetulnya ada urusan apa kedua Dhalai Lhama itu ke
mari?"
"Mereka ingin mohon
bantuan ayahmu." Lim Peng Hang memberitahukan. "Namun kakek sudah
memberitahukan bahwa ayahmu telah bersumpah tidak akan mencampuri urusan rimba
persilatan lagi."
"Oh?" Tio Bun Yang
mengerutkan kening. "Kalau begitu, kenapa mereka masih berada di
sini?"
"Mereka menunggumu,"
sahut Lim Peng Hang.
"Menungguku?" Tio
Bun Yang tertegun. "Kenapa menungguku?"
"Mereka ingin mohon
bantuanmu." Lim Peng Hang memberitahukan. "Maka mereka tinggal di sini
menunggumu."
"Oh?" Tio Bun Yang
memandang kedua Dhalai Lhama seraya bertanya. "Maaf! Ada urusan apa kalian
berdua menungguku?"
"Tio siauhiap, kami ingin
mohon bantuanmu," jawab Dhalai Lhama berjubah merah dan menambahkan.
"Kami harap Tio siauw hiap sudi membantu kami!"
"Apa yang dapat
kubantu?" tanya Tio Bun Yang.
"Begini...." Dhalai
Lhama berjubah merah menutur. "Belum
lama ini telah muncul seorang
pemuda Han di Tibet. Dia berkepandaian tinggi sekali, bahkan telah mengalahkan
ketua kami, kini dia berkuasa di kuil kami."
"Jadi...." Tio Bun
Yang mengerutkan kening.
"Kami tahu ayahmu
berkepandaian sangat tinggi, maka kami ke mari mohon bantuannya," ujar
Dhalai Lhama berjubah merah. "Tapi.... Lim Pangcu memberitahukan bahwa
ayahmu
telah bersumpah, tidak akan
mencampuri urusan rimba persilatan lagi. Tapi Lim Pangcu juga menceritakan
tentang Tio siauw hiap, karena itu kami menunggu di sini. Syukurlah, Tio siauw
hiap sudah kembali!"
"Kalian mohon bantuanku
untuk menumpas pemuda Han itu?" tanya Tio Bun Yang sambil menatap mereka.
"Ya." Kedua Dhalai
Lhama itu mengangguk.
"Tapi... urusanku belum
beres, bagaimana mungkin aku bisa membantu kalian?" Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala.
"Tio siauw hiap...."
Wajah kedua Dhalai Lhama itu tampak
murung sekali. "Kalau Tio
siauw hiap tidak sudi membantu kami, rusaklah nama baik para Dhalai Lhama di
Tibet."
"Maaf!" ucap Tio Bun
Yang menolak. "Aku tidak bisa membantu."
"Tio siauw hiap!"
Mendadak kedua Dhalai Lhama itu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tio Bun
Yang. "Kalau Tio siauw hiap tidak sudi membantu kami, kami tidak akan
bangun."
"Eeeh?" Tio Bun Yang
kelabakan, dan buru-buru membangunkan mereka.
Akan tetapi, secara diam-diam
kedua Dhalai Lhama itu mengerahkan ilmu pemberat badan. Maka, ketika Tio Bun
Yang membangunkan mereka, badan mereka tak bergeming sama sekali.
"Kita bicarakan lagi
tentang itu, kalian bangunlah!" ujar Tio Bun Yang.
Tapi kedua Dhalai Lhama itu
tetap berlutut di hadapan Tio Bun Yang. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian mengerahkan Iweekangnya, dan mendadak mengibaskan lengan bajunya.
Terjadinya pemandangan yang
menakjubkan, tampak badan kedua Dhalai Lhama itu melayang ke tempat duduk
mereka.
"Haah?" Betapa
terkejutnya kedua Dhalai Lhama itu. Mereka memandang Tio Bun Yang dengan mata
terbelalak. Mereka tidak menyangka kalau pemuda itu memiliki lweekang yang
begitu tinggi. "Tio siauw hiap...."
"Maaf!" ucap Tio Bun
Yang.
"Tio siauw hiap sungguh
berkepandaian tinggi, kami kagum sekali." ujar Dhalai Lhama berjubah
merah. "Tio siauw hiap, kami para Dhalai Lhama Tibet sangat membutuhkan
bantuanmu...."
"Kakek!" Tio Bun
Yang memandang Lim Peng Hang. "Bagaimana menurut Kakek?"
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang tersenyum. "Itu tergantung pada kebijaksanaanmu. Pikirkanlah
baik-baik!”
"Kakek, sebetulnya aku
sedang mencemaskan Goat Nio, bagaimana mungkin aku membantu mereka?" Tio
Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menatapnya seraya berkata. "Menolong orang lain sama juga menolong
diri sendiri, engkau berbuat baik pada orang lain, tentunya akan menerima yang
baik pula. Ingat itu"
"Ya, Kakek," Tio Bun
Yang mengangguk, kemudian memandang kedua Dhalai Lhama itu seraya bertanya.
"Kalian tahu siapa pemuda Han itu?"
"Kami tidak tahu,"
sahut Dhalai Lhama berjubah merah. "Sebab dia tidak pernah menyebut
namanya."
"Bagaimana
kepandaiannya?" tanya Tio Bun Yang lagi.
"Tinggi sekali."
Dhalai Lhama berjubah kuning memberitahukan. "Bahkan dia pun memiliki ilmu
sesat yang dapat mengendalikan pikiran orang lain."
"Apa?" Tio Bun Yang
tersentak dan wajahnya pun tampak berubah hebat. "Bagaimana ilmu
pukulannya?"
"Sungguh ganas dan
mengandung racun." Dhalai Lhama berjubah merah memberitahukan. "Aku
dengar beberapa saudara seperguruan kami mati secara mengenaskan di
tangannya."
"Bagaimana cara kematian
mereka?"
"Begitu terkena pukulan
pemuda Han itu, badan mereka mengeluarkan asap lalu mencair."
"Hah?" Tio Bun Yang
meloncat bangun saking emosi. "Dia... dia adalah Kwee Teng An, Ketua Kui
Bin Pang yang sedang kucari!"
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang terbelalak.
"Kakek!" Tio Bun
Yang memberitahukan. "Pemuda Han itu adalah Kwee Teng An atau Ketua Kui
Bin Pang, hanya dia yang memiliki ilmu pukulan Pek Kut Im Sat Ciang."
"Oh?" Lim Peng Hang
tertegun. "Itu sungguh di luar dugaan!"
"Memang di luar
dugaan." ujar Tio Bun Yang dan menambahkan. "Aku tidak menyangka
kalau dia kabur ke Tibet."
"Tio siauw hiap...."
Kedua Dhalai Lhama tampak girang
sekali. "Engkau sudi
membantu kami?"
"Sebetulnya aku pun
sedang mencari pemuda itu, maka sungguh kebetulan sekali!" sahut Tio Bun
Yang.
"Terimakasih, Tio siauw
hiap!" ucap kedua Dhalai Lhama itu.
"Bun Yang!" tanya
Lim Peng Hang. "Kapan engkau akan berangkat ke Tibet bersama kedua Dhalai
Lhama itu?"
"Sekarang," sahut
Tio Bun Yang singkat.
"Baiklah." Lim Peng
Hang manggut-manggut, karena tahu akan ketidak sabaran cucunya itu. "Tapi
engkau harus berhati-hati menghadapi pemuda Han itu!"
"Ya, Kakek." Tio Bun
Yang mengangguk, sekaligus berpamit kepada Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong,
kemudian berkata kepada kedua Dhalai Lhama. "Mari kita berangkat!"
"Ya." Kedua Dhalai
Lhama mengangguk, kemudian mereka pun berpamit kepada Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong.
Setelah mereka bertiga pergi,
Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang.
"Mudah-mudahan kali ini
Bun Yang tidak akan gagal membekuk Kwee Teng An!" ujar Lim Peng Hang.
"Jadi dia bisa tahu Goat Nio disekap di mana."
"Tapi...." Gouw
Han Tiong mengerutkan
kening. "Kwee
Teng An adalah ketua Kui Bin
Pang yang menculik Goat Nio, kini dia berada di Tibet, lalu Goat Nio
disembunyikan di mana? Mungkinkan...."
"Haaah...?" Wajah
Lim Peng Hang langsung berubah pucat. "Itu...."
"Aku khawatir...." Wajah
Gouw Han Tiong
pun sudah
memucat. "Telah terjadi sesuatu
atas diri Goat Nio."
"Aaaah...!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang, mendadak wajahnya tampak agak berseri.
"Mungkinkah Goat Nio berhasil meloloskan diri?"
"Kalau Goat Nio berhasil
meloloskan diri, tentunya dia sudah ke mari," sahut Gouw Han Tiong tidak
begitu optimis akan itu.
"Siapa tahu Goat Nio
ditolong seseorang, dan kini masih berada di tempat penolong itu," ujar
Lim Peng Hang.
"Mudah-mudahan
begini!" ucap Gouw Han Tiong karena tahu Lim Peng Hang seiiang menghibur
dirinya sendiri.
-oo0dw0oo-
Bagian ke tujuh puluh satu
Pertarungan mati hidup di Kuil
Dhalai Lhama
Tio Bun Yang dan kedua Dhalai
Lhama melakukan perjalanan siang malam. Enam tujuh hari kemudian, mereka sudah
memasuki daerah Tibet. Para penduduk di sana semuanya tampak murung. Namun
ketika melihat kemunculan kedua Dhalai Lhama itu, segeralah para penduduk
mengerumuni mereka, kemudian terjadilah percakapan yang tidak dimengerti Tio
Bun Yang, sebab mereka menggunakan bahasa Tibet.
"Aaaah...!" Dhalai
Lhama berjubah merah menghela nafas panjang. "Pemuda Han itu berbuat
maksiat di dalam kuil kami."
"Ayohlah!" desak Tio
Bun Yang. "Kita cepat-cepat ke sana!"
Kedua Dhalai Lhama mengangguk,
kemudian mereka bertiga mengerahkan ginkang menuju kuil tersebut.
Ketika mendekati kuil itu,
mereka mendengar suara pertarungan. Segeralah Tio Bun Yang melesat ke sana,
tampak dua orang sedang bertarung dengan sengit sekali.
Terbelalaklah Tio Bun Yang,
karena yang sedang bertarung itu ternyata Kwee Teng An dan Bu Ceng Sianli - Tu
Siao Cui. Ia tidak habis pikir, bagaimana Bu Ceng Sianli itu bisa berada di
situ?
Terlihat pula puluhan Dhalai
Lhama berdiri mematung di situ seperti kehilangan sukma.
"Tio siauw hiap!"
Dhalai Lhama berjubah merah memberitahukan. "Kalau tidak salah, pemuda
itu...."
"Dia Kwee Teng An,"
sahut Tio Bun Yang. "Wanita muda yang bertarung dengan dia adalah Bu Ceng
Sianli, aku kenal dia."
"Oooh!" Kedua Dhalai
Lhama itu manggut-manggul.
Sementara pertarungan itu
semakin sengit dan seru, tiba-tiba Kwee Teng An tertawa gelak.
"Nona Tu! Engkau sungguh
setia kepadaku! Jauh-jauh dari Tionggoan engkau ke mari menyusulku, itu
pertanda engkau sangat mencintaiku! Ha ha ha...!"
"Diam!" bentak Bu
Ceng Sianli. "Hari ini aku harus membunuhmu!"
"Oh. ya!" Kwee Teng
An tertawa lagi. "Ha ha ha! Kalau engkau membunuhku, siapa yang akan
bersenang-senang denganmu?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan. "Ajalmu telah tiba, bersiap-siaplah untuk
mampus.
"Engkau ingin
mengeluarkan ilmu andalanmu?"
"Ya!"
"Nona Tu!" Kwee Teng
An tersenyum. "Engkau jangan memaksaku mengeluarkan ilmu andalan juga,
sebab ilmu pukulan Pek Kut Im Sat Ciangku sangat ganas dan beracun, akan
membuat tubuhmu yang montok mulus itu mencair lho!"
"Hm!" dengus Bu Ceng
Sianli sambil mengerahkan Hian Goan Sin Kang.
Kwee Teng An mengerutkan
kening, kemudian mengerahkan Pek Kut Im Sat Kangnya.
Mereka berdua sudah
bersiap-siap untuk bertarung lagi, namun di saat itulah terdengar suara alunan
suling yang sangat halus, tapi mengandung semacam kekuatan.
Begitu mendengar suara suling
itu, berserilah wajah Bu Ceng Sianli, sedangkan Kwee Teng An tampak tersentak.
Para Dhalai Lhama yang terkena
ilmu sesat itu pun mulai bergerak-gerak matanya, kemudian saling memandang,
kelihatannya mereka mulai sadar.
Betapa terkejutnya Kwee Teng
An, lapi kemudian tertawa gelak seraya berseru lantang. "Ha ha ha! Tio Bun
Yang! Sungguh tak disangka engkau sampai di sini juga!"
"Kwee Teng An!" Tio
Bun Yang melesat ke sisi Bu Ceng Sianli, sedangkan Dhalai Lhama berjubah merah,
dan kuning melesat ke arah para Dhalai Lhama yang sedang mulai sadar itu.
Mereka bercakap-cakap dengan
bahasa Tibet, lalu memandang ke arah Tio Bun Yang.
"Dia bernama Tio Bun
Yang." Dhalai Lhama berjubah merah memberitahukan. "Putra kesayangan
Pek Ih Sin Hiap Tio Cie Hiong."
"Oooh!" Para Dhalai
Lhama manggut-manggut.
"Oh ya! Bagaimana keadaan
guru?" tanya Dhalai Lhama berjubah kuning.
"Entahlah," sahut
Dhalai Lhama lain.
"Mari kita ke dalam
menolong guru!" seru Dhalai Lhama berjubah merah. Kemudian ia segera ke
dalam dan diikuti yang lainnya.
"Ha ha ha!"
Sementara Kwee Teng An terus tertawa. "Kakakmu ini sangat mencintai aku.
Dia jauh-jauh dari Tionggoan ke mari mencariku!"
"Kwee Teng An!" Tio
Bun Yang menatapnya dingin. "Betulkah engkau adalah Ketua Kui Bin
Pang?"
"Betul!" sahut Kwee
Teng An sambil tertawa. "Kenapa? Engkau merasa takut kepadaku?"
"Kwee Teng An!" Tio
Bun Yang menghela nafas panjang. "Kita tidak bermusuhan, kenapa engkau
menculik Siang Koan Goat Nio?"
"Aku menculik Siang Koan
Goat Nio?" Kwee Teng An tertawa terkekeh-kekeh. "Dia ikut aku pergi,
bukan aku menculiknya!"
"Omong kosong!"
bentak Tio Bun Yang.
"Aku tidak omong
kosong!"
"Cepat katakan!"
bentak Bu Ceng Sianli. "Goat Nio berada di mana?"
"Dia...." Kwee Teng An tertawa. "Kenapa aku harus
memberitahukan kalian? Dia
senang dan bahagia ikut aku, jadi kalian tidak usah mengkhawatirkannya!"
"Kwee Teng An!" Tio
Bun Yang menatapnya. "Engkau yang menitipkan sepucuk surat untukku?"
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa gelak. "Tidak salah! Memang aku yang menitipkan surat itu
untukmu! Bunyi surat itu cukup menegangkan, bukan?"
"Kita tidak bermusuhan,
kenapa engkau mendendam kepadaku?" Tio Bun Yang menatapnya dengan kening
berkerut. "Jelaskanlah!"
"Ha ha!" Kwee Teng
An tertawa. "Memang perlu kujelaskan! Namaku Kwee Teng An! Cobalah engkau
ingat, pernahkah engkau mendengar namaku?"
"Rasanya tidak
pernah!" Tio Bun Yang menggelengkan kepala.
"Aku tidak
menyangka...." Kwee Teng An tersenyum dingin.
"Engkau begitu cepat
lupa! Beberapa tahun lalu di sebuah desa, bukankah engkau pernah memusnahkan
kepandaian seseorang?"
"Di sebuah desa...."
Tio Bun Yang coba mengingat, lama
sekali mendadak ia berseru tak
tertahan. "Kwee Teng An! Ternyata engkau adalah Cat Hoa Cat (Penjahat
Pemetik Bunga) itu!"
"Betul!" Kwee Teng
An tertawa terkekeh-kekeh. "Para penduduk desa itu melempar diriku ke
dalam jurang! Namun aku tidak mati malah memperoleh kepandaian tinggi! He he
he...!"
"Kwee Teng An!" Tio
Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Seharusnya engkau bersyukur karena
tidak mati di jurang itu dan harus bertobat! Tapi...."
"Tio Bun Yang!"
bentak Kwee Teng An. "Aku dendam kepadamu dan hari ini aku harus
membunuhmu!"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan. "Akulah yang akan membunuhmu!"
"Nona Tu!" Kwee Teng
An tersenyum menyindir. "Aku tahu engkau bukan kakaknya, jangan-jangan
engkau sudah tidur dengan dia! He he he...!"
"Engkau...." Bu Ceng Sianli ingin menyerangnya, tapi
keburu dicegah oleh Tio Bun
Yang. "Kakak, biar aku yang menyelesaikannya!"
'Tio Bun Yang!" Kwee Teng
An menudingnya. "Aku sudah bersenang-senang dengan Goat Nio, maka engkau
akan memperoleh ampas!"
"Engkau...." Wajah
Tio Bun Yang berubah pucat pias.
"Sakit hati, kan?"
Kwee Teng An tertawa. "Ha ha! Mari kita bertarung, hari ini aku harus
membalas dendam karena engkau pernah memusnahkan kepandaianku!"
Kwee Teng An mulai menghimpun
Pek Kut Im San Kang.
Menyaksikan itu berkata kepada
Tio Bun Yang.
"Hati-hati!"
Tio Bun Yang mengangguk,
kemudian mulai menghimpun Pan Yok Hian Thian Sin Kang untuk melindungi diri,
dan mengerahkan Kan Kun Taylo Im Yang Sin Kang bersiap-siap menangkis serangan
Kwee Teng An.
Setelah menghimpun Pek Kut Im
Sat Kang, sepasang telapak tangan Kwee Teng An mengeluarkan uap beracun.
"Kakak, cepat menyingkir!"
seru Tio Bun Yang.
Bu Ceng Sianli segera meloncat
ke belakang, kemudian mengerahkan Hian Goan Sin Kang. Kelihatannya ia bersiap
membantu Tio Bun Yang.
Mendadak Kwee Teng An memekik
keras sambil menyerang Tio Bun Yang menggunakan ilmu pukulan Pek Kut Im Sat
Ciang.
Tio Bun Yang tidak berkelit,
melainkan menangkis serangan itu dengan jurus Kan Kun Taylo Bu Pien (Alam
Semesta Tiada Batas).
Daaar! Terdengar seperti suara
ledakan dahsyat. Ternyata kedua macam Iweekang itu beradu dan menimbulkan suara
ledakan dahsyat sehingga menggoncangkan pepohonan yang berada di sekitar tempat
itu dan membuat daun-daun beterbangan ke mana-mana.
Betapa terkejutnya Bu Ceng
Sianli menyaksikan itu. Begitu pula para Dhalai Lhama.
Kwee Teng An terhuyung-huyung
ke belakang beberapa langkah dengan wajah merah padam. Tio Bun Yang juga
terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah dengan wajah memucat.
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa gelak. "Aku tidak menyangka, engkau mampu menangkis
seranganku! Bahkan...
engkau pun kebal terhadap
racun, tapi jurus kedua pasti merenggut nyawamu!"
"Kwee Teng An!" Tio
Bun Yang menatapnya tajam. "Asal engkau memberitahukan kepadaku di mana
Goat Nio, aku pasti mengampunimu!"
"Tio Bun Yang!"
sahut Kwee Teng An. "Asal engkau berlutut di hadapanku, aku pun pasti
mengampunimu!"
"Engkau...." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"He he he!" Kwee
Teng An tertawa terkekeh, lalu mendadak menyerang Tio Bun Yang dengan dahsyat
sekali. Kali ini ia mengeluarkan jurus yang sangat lihay, karena memang ingin
membunuh Tio Bun Yang.
Tio Bun Yang mengerutkan
kening. Ia terpaksa menangkis serangan itu dengan jurus Kan Kun Taylo Hap It
(Segala-galanya Menyatu Di Alam Semesta).
Daaar...! Terdengar suara
ledakan lagi.
Kwee Teng An termundur-mundur
enam tujuh langkah dan wajahnya bertambah merah. Ia terkejut bukan main, karena
merasa Pek Kut Im San Kang yang dikerahkannya balik menyerang dirinya sendiri.
Itu justru membuatnya makin penasaran. Tiba-tiba ia memekik keras sambil
mengerahkan Pek Kut Im Sat Kang hingga puncaknya, dan seketika sekujur badannya
mengeluarkan uap yang amat beracun.
"Hati-hati, Adik Bun
Yang!" seru Bu Ceng Sianli memperingatinya.
Tio Bun Yang manggut-manggut.
Ia mengerahkan Kan Kun Taylo Im Yang Sin Kang hingga puncaknya pula, kemudian
tampak ubun-ubunnya mengeluarkan uap putih.
Sekonyong-konyong Kwee Teng An
berteriak keras, sekaligus menyerang Tio Bun Yang dengan jurus yang paling
ampuh dan lihay.
Tio Bun Yang tidak berkelit,
melainkan menyambut serangan itu dengan jurus Kan Kun Taylo Kwi Cong
(Segala-galanya Kembali Ke Alam Semesta).
Blam! Daaar...! Terdengar
suara benturan dahsyat, kemudian terdengar pula suara jeritan yang menyayat
hati.
"Aaaakh...!".
Ternyata suara jeritan Kwee Teng An, yang tubuhnya terpental beberapa depa.
Sedangkan Tio Bun Yang terhuyung-huyung ke belakang belasan langkah, namun
cepat-cepat berdiri tegak dan menarik nafas dalam-dalam.
"Adik Bun yang!" Bu
Ceng Sianli langsung melesat ke hadapannya. "Engkau terluka?"
"Tidak." Tio Bun
Yang menarik nafas panjang. "Kalau aku tidak memiliki Pan Yok Hian Thian
Sin Kang dan kebal terhadap racun, mungkin saat ini aku sudah tergeletak
menjadi mayat!"
"Syukurlah engkau tidak
apa-apa!" ucap Bu (eng Sianli sambil menarik nafas lega.
Bagaimana keadaan Kwee Teng
An? Ternyata ia terkena serangan balik dari Iweekangnya sendiri, sehingga
sekujur badannya mengeluarkan asap.
"Kwee Teng An!" Tio
Bun Yang melesat ke hadapannya. "Katakan di mana Goat Nio! Cepat
katakan!"
"He he he!" Kwee
Teng An tertawa terkekeh-kekeh, padahal badannya sudah mulai mencair.
"Engkau jangan harap bisa bertemu Goat Nio lagi, karena... karena aku...
aku telah membunuhnya! He he he...!"
Belum juga suara tawanya
lenyap, badan Kwee Teng An telah mencair semua, sehingga yang tampak tinggal tulang-tulangnya.
"Goat Nio! Goat
Nio..." gumam Tio Bun Yang seperti orang kehilangan sukma, wajahnya pucat
pias seperti kertas. "Goat Nio! Goat Nio...."
"Adik Bun Yang!" Bu
Ceng Sianli terkejut bukan main.
Sedangkan para Dhalai Lhama
hanya saling memandang, mereka sama sekali tidak tahu harus berbuat apa!
"Goat Nio ...." Wajah Tio Bun Yang
semakin pucat pias dan
mendadak.... "Uaaaakh! Uaaaakh !"...
Dari mulutnya menyembur darah
segar, dan kemudian tubuhnya terkulai. Bu Ceng Sianli bergerak cepat
merangkulnya agar tidak jatuh. Betapa terkejutnya wanita itu, karena Tio Bun
Yang dalam keadaan pingsan, bahkan nadinya berdenyut lemah sekali.
"Adik Bun Yang! Adik Bun
Yang!" teriak Bu Ceng Sianli dengan air mata berderai-derai. Kemudian
ditaruhnya Tio Bun Yang ke bawah, sepasang telapak tangannya ditempelkan di
dada pemuda itu lalu mengerahkan Hian Goan Sin Kang, sekaligus disalurkan ke
dalam tubuhnya.
Berselang beberapa saat,
barulah Tio Bun Yang membuka matanya dan bergumam dengan suara lemah.
"Goat Nio! Goat
Nio...."
Bu Ceng Sianli segera
membangunkannya untuk duduk, setelah itu ia pun berkata.
"Adik Bun Yang, cepat
himpun lweekangmu, agar hawa murnimu tidak akan buyar!" Bu Ceng Sianli
cemas sekali.
"Kakak Siao Cui! Goat
Nio.... Goat Nio sudah mati." sahut
Tio Bun Yang dengan air mata
berderai-derai.
"Tenanglah, Adik Bun
Yang!" Bu Ceng Sianli menghiburnya sambil terisak-isak. "Mungkin Kwee
lTeng An bohong, padahal Goat Nio belum mati!"
"Oh?" Tio Bun Yang
tersentak. "Benarkah itu?"
"Aku yakin dia
berdusta," sahut Bu Ceng Sianli agar Tio Bun Yang bisa tenang. "Adik
Bun Yang, cepat himpun lweekangmu!"
Tio Bun Yang menurut, la
segera menghimpun Pan Yok Hian Thian Sin Kang. Berselang beberapa saat,
wajahnya
mulai segar kembali, membual Bu
Ceng Sianli berlega hati, begitu pula para Dhalai Lhama.
Lama sekali barulah Tio Bun
Yang berhenti menghimpun Pan Yok Hian Thian Kang. Per-lahan-lahan ia bangkit
berdiri sambil memandang tulang-tulang yang tergeletak di dekatnya, lalu
menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas panjang.
"Aaaah...!" Kemudian
ia teringat sesuatu dan langsung bergugam, "Goat Nio! Goat Nio...."
"Adik Bun Yang!" Bu
Ceng Sianli segera memegang tangannya seraya berkata dengan lembut sekali,
"Tenanglah! Aku yakin Goat Nio belum mati."
"Tapi Kwee Teng An bilang
dia yang membunuh Goat Nio...."
"Dia pemuda licik,"
potong Bu Ceng Sianli. "Pasti membohongimu telah membunuh Goat Nio,
padahal sesungguhnya Goat Nio masih hidup."
"Tapi...." Tio
Bun Yang mengerutkan
kening, wajahnya
tampak memucat. "Biasanya
orang yang sekarat tidak akan bohong."
"Tenanglah Adik Bun
Yang!" Bu Ceng Sianli terus menghiburnya. "Dia begitu licik. Walaupun
dia sudah sekarat tapi tetap membohongimu, itu agar hatimu tersiksa dan batinmu
terus tertekan sehingga menderita sekali."
"Benarkah begitu?"
tanya Tio Bun Yang.
"Tentu benar." Bu
Ceng Sianli berusaha agar tersenyum. "Aku pikir... kemungkinan besar Goat
Nio telah ditolong orang, maka Kwee Teng An tidak membawanya ke Tibet."
"Itu cuma mungkin."
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Yang jelas dia sudah tiada.
Goat Nio! Goat Nio...."
"Adik Bun Yang!" Bu
Ceng Sianli mulai cemas. "Tenanglah!"
"Ya, ya." Tio Bun
Yang manggut-manggut. "Aku memang harus tenang, aku harus cari Goat Nio."
Di saat itu, mendadak para
Dhalai Lhama menjatuhkan diri berlutut di hadapan mereka.
"Terimakasih Nona,
terimakasih Tio siauhiap!" ucap mereka serentak. "Kalian berdua telah
menyelamatkan kami semua."
"Sudahlah!" sahut Bu
Ceng Sianli. "Kalian bangunlah!"
Akan tetapi, para Dhalai Lhama
itu masih letap berlutut. Tio Bun Yang memandang mereka, kemudian berkata.
"Bangunlah!"
"Terimakasih, Tio siau
hiap!" ucap para Dhalai Lhama itu, kemudian bangkit berdiri.
"Bagaimana keadaan guru
kalian?" tanya Tio Hun Yang.
Ternyata ia masih ingat akan
guru para Dhalai Lhama itu.
"Guru kami baik-baik
saja," sahut Dhalai Lhama berjubah merah. "Beliau sedang
beristirahat."
"Sukurlah!" ucap Tio
Bun Yang. Ia mengeluarkan sebutir pil, lalu diberikan kepada Dhalai Lhama
berjubah merah seraya berkata, "Kondisi badan guru kalian pasti lemah
sekali, pil itu dapat memulihkan kondisi badannya."
"Terimakasih, Tio siau
hiap!" ucap Dhalai Lhama berjubah merah sambil menerima pil itu dengan
terharu sekali. "Terimakasih!"
"Maaf!" ucap Tio Bun
Yang. "Kami tidak ke dalam menjenguk guru kalian, karena kami harus segera
kembali ke Tionggoan. "Aku... aku harus mencari Goat Nio."
"Kami mengerti."
Dhalai Lhama berjubah merah manggut-manggut. "Tio siau hiap, semoga engkau
cepat berkumpul kembali dengan Goat Nio!"
"Terimakasih!" sahut
Tio Bun Yang. "Aku pasti berkumpul kembali dengan Goat Nio. Sampai
jumpa!"
Tio Bun Yang meleset pergi. Bu
Ceng Sianli langsung menyusulnya seraya berseru-seru.
"Adik Bun Yang! Adik Bun
Yang! Tunggu! Tunggu aku!"
Tio Bun Yang berhenti. Bu Ceng
Sianli melesat ke hadapannya, lalu berkata lembut.
"Adik Bun Yang, mari kita
bersama kembali ke Tionggoan!"
"Aku...," sahut Tio
Bun Yang. "Aku ingin mencari Goat Nio."
"Ya!" Bu Ceng Sianli
tersenyum. "Aku akan menemanimu mencarinya!"
"Terimakasih,
Kakak!" ucap Tio Bun Yang. "Kakak sungguh baik terhadapku!
Aku...."
"Adik Bun Yang!" Bu
Ceng Sianli memegang bahunya. "Biar bagaimanapun, engkau harus
tenang."
"Tapi...." Tio Bun Yang memandang jauh ke depan.
"Apabila Goat Nio sudah
mati, aku pun tidak bisa hidup lagi."
"Adik Bun Yang...."
Bu Ceng Sianli terkejul liukan main dan
cepat-cepat menghiburnya.
"Percayalah! Goat Nio masih hidup!"
"Dia masih hidup? Tapi...
dia berada di mana?" gumam Tio Bun Yang. "Goat Nio! Goat
Nio...."
"Adik Bun Yang,
tenanglah!" Bu Ceng Sianli terus menghiburnya, sikapnya terhadap Bun Yang
bagaikan seorang ibu terhadap anak.
Dalam perjalanan kembali ke
Tionggoan, Bu Ceng Sianli terus-menerus menghiburnya, sekaligus mengusirnya pula,
karena Tio Bun Yang sudah berubah linglung, setiap hari selalu bergumam
memanggil Goat Nio. Itu sungguh
mencemaskan Hu Ceng Sianli,
maka wanita itu mengambil ke-putusan membawa Tio Bun Yang ke markas pusat Kay
Pang.
-oo0dw0oo-
Bagian ke tujuh puluh dua
Terjun ke Jurang
Kini Bu Ceng Sianli dan Tio
Bun Yang sudah berada di daerah Tionggoan, Bu Ceng Sianli mengajak pemuda itu
menuju ke markas pusat Kay Pang. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Tio Hun
Yang bergumam.
"Di mana Goat Nio? Kok
belum kelihatan?"
"Tenang!" ujar Bu
Ceng Sianli sambil memandangnya dengan iba. "Kalau engkau sabar, dia pasti
muncul menemuimu."
"Dia kok begitu tega,
membiarkan aku terus-menerus memikirkannya? Aaah! Goat Nio! Goat Nio...."
"Adik Bun Yang...."
Bu Ceng Sianli menangis terisak-isak.
"Kenapa engkau menjadi
begini? Adik Bun Yang...."
"Eh?" Tio Bun Yang
tersentak sadar. "Kenapa Kakak menangis? Apakah aku telah menyakiti hati
Kakak?"
"Adik Bun Yang!" Air
mala Bu Ceng Sianli berderai-derai. "Engkau harus tenang, jangan...."
"Kakak!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Aku...
aku... Aaah! Goat Nio! Goat
Nio...."
"Tuh! Begitu lagi!"
"Kakak! Goat
Nio...." Mendadak Tio Bun Yang menangis
gerung-gerungan. "Goat
Nio...."
"Adik Bun Yang...."
Bu Ceng Sianli memeluknya erat-erat, ia
pun menangis terisak-isak.
"Jangan begini, aku... aku tak tahan melihatmu jadi begini! Adik Bun Yang,
tenanglah!"
"Goat Nio sudah mati
dibunuh. Aku...." Tio Bun Yang terus
menangis gerung-gerungan.
"Goat Nio, di mana engkau? Aku... aku rindu sekali kepadamu."
"Adik Bun Yang!" Bu
Ceng Sianli membela nya. "Jangan menangis...."
Di saat bersamaan, mendadak
muncul seorang tua pincang, yang tidak lain guru Sie Keng Hauw.
"Eeeh?" orang tua
pincang itu terbelalak. "Bun Yang? Kalian berdua...."
Bu Ceng Sianli sama sekali
tidak menghiraukan orang tua pincang itu, melainkan terus membelai Tio Bun Yang
sekaligus menghiburnya.
"Engkau harus tenang,
Adik Bun Yang! Percayalah! Goat Nio tidak mati."
"Ha ha ha." Orang
tua pincang itu tertawa gelak. "Lucu sekali! Kalian berdua sedang
berpacaran atau sedang main sandiwara?"
"Hei, orang tua tak tahu
diri!" bentak Bu Ceng Sianli. "Kami berdua sedang dirundung duka.
engkau malah tertawa di hadapan kami! Hm! Sekali lagi engkau tertawa, pipimu
pasti bengkak!"
"Galak amat!" orang
tua pincang itu melotot. "Bun Yang kekasihmu ya? Kenapa engkau
memeluknya?"
"Ini urusan kami, engkau
tidak perlu campur!" sahut Bu Ceng Sianli tidak senang.
"Aku justru perlu
campur," ujar orang tua pincang. "Hei, Nona galak, aku kenal baik Bun
Yang lho!"
"Oh?" Bu Ceng Sianli
tertegun. "Siapa engkau?"
"Bukankah engkau sudah
lihat? Aku adalah... Si Pincang," sahut orang tua pincang dan bertanya,
"Nona galak, siapa engkau?"
"Aku adalah Bu Ceng
Sianli."
"Bu Ceng Sianli?"
orang tua pincang itu terbelalak. "Engkau terus-menerus memeluk dan
membelai Bun Yang, kok masih bilang Bu Ceng (Tanpa Perasaan)? Seharusnya Toh
Ceng (Kelebihan Perasaan) lho!"
"Diam!" bentak Bu
Ceng Sianli kesal.
"Bun Yang!" panggil
orang tua pincang sambil mendekatinya, kemudian memandangnya dengan penuh
perhatian seraya bertanya, "Bun Yang, kenapa engkau?"
"Aku...." Tio
Bun Yang menolehkan
kepalanya, "Paman
tua...."
"Syukurlah engkau masih
kenal aku!" Orang tua pincang itu menarik nafas lega lalu berkata,
"Tadi engkau menangis gerung-gerungan, apa yang telah terjadi atas
dirimu?"
"Aku...." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh ya!" Orang tua
pincang menatapnya. "Bun Yang, apakah engkau sudah tahu siapa ketua Kui
Bin Pang itu?"
"Ketua Kui Bin
Pang?" Tio Bun Yang terkejut. "Paman tua pernah melihat ketua Kui Bin
Pang itu?"
"Pernah." Orang tua
pincang mengangguki "Oh ya! Gadis ini memang cantik, tapi kelihatan galak
sekali. Apakah dia kekasihmu?"
"Bukan." Tio Bun
Yang menggelengkan kepala, kemudian berkata kepada Bu Ceng Sianli. "Kakak,
dia adalah guru Sie Keng Hauw. Juga adalah...."
"Ayahku adalah Tetua Kui
Bin Pang," sambung orang tua pincang memberitahukan. "Sudah cukup
lama aku kenal Bun Yang, tapi...."
"Kenapa?" tanya Bu
Ceng Sianli ketus.
"Dulu Bun Yang tidak
begini, kenapa sekarang jadi agak linglung?" sahut orang tua pincang
sambil mengerutkan kening. "Heran? Kok bisa jadi begini?"
"Itu...." Bu Ceng
Sianli tidak mau menceritakan tentang
kejadian itu, sebab khawatir
akan menimbulkan kedukaan hati Tio Bun Yang. Namun, Tio Bun Yang justru
memberitahukannya.
"Kekasihku mati dibunuh
ketua Kui Bin Pang, sedangkan ketua Kui Bin Pang itu mati di tanganku."
"Apa?" Orang tua
pincang terbelalak. "Ketua Kui Bin Pang mati di tanganmu?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Maksudmu...." Orang
tua pincang menatap lio Bun
Yang dengan mata tak berkedip. "Engkau mampu membunuhnya?"
"Ketua Kui Bin Pang
memang mati di tanganku," sahut Tio Bun Yang dan menambahkan,
"Sebetulnya aku tidak ingin membunuhnya."
"Ketua Kui Bin Pang itu
memang harus mampus!" ujar orang tua pincang dan kemudian bertanya,
"Oh ya! Siapa kekasihmu itu?"
"Siang Koan Goat
Nio."
"Siang Koan Goat
Nio?" gumam orang tua pincang. "Apakah gadis yang cantik jelita
itu?"
"Paman tua!" Tio Bun
Yang tersentak. "Apakah Paman tua pernah melihat Goat Nio?"
"Aku memergoki ketua Kui
Bin Pang itu sedang merayu seorang gadis, tapi gadis itu tidak
menghiraukannya." Orang tua pincang memberitahukan. "Di saat itulah aku
muncul menggodai mereka, karena aku kira mereka berdua sepasangl kekasih. Akan
tetapi, begitu aku muncul...."
"Lalu bagaimana?"
"Semula aku tidak tahu
pemuda itu adalah ketua Kui Bin Pang," jawab orang tua pincang
melanjutkan. "Dia kurang ajar sekali terhadapku, akhirnya dia bilang mau
membunuhku dengan ilmu Pek Kut Im Sal Kang. Barulah aku tahu di" adalah
ketua Kui Bin Pang, sebab hanya ketua Kui Bin Pang yang memiliki ilmu
itu."
"Setelah itu
bagaimana?"
"Aku langsung kabur, tapi
kemudian kembali lagi ke situ dan bersembunyi di belakang pohon Aku melihat
ketua Kui Bin Pang itu menggunakan ilmu sesat untuk mempengaruhi gadis itu.
Namun sungguh mengherankan, gadis itu cuma terpengaruh sedikit. Ketua Kui Bin
Pang itu... kelihatan ingin memperkosanya, tapi gadis itu terus melangkah
mundur dan tidak menyadari sama sekali, kalau di belakangnya terdapat sebuah
jurang."
"Bagaimana' gadis
itu?"
"Mendadak ketua Kui Bin
Pang ingin memeluknya, namun gadis itu meloncat ke belakang, dan akhirnya jatuh
ke jurang itu." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Setelah itu. aku mendengar suara teriakan ketua Kui Bin Pang itu."
"Dan teriakan apa?"
Wajah Tio Bun Yang mulai pucat pias. "Dia berteriak apa?"
"Dia berteriak memanggil
nama seorang gadis, yakni Goat Nio." Orang tua pincang memberitahukan.
"Paman tua!" Tio Bun
Yang memegang tangannya. "Di mana jurang itu?"
Wajah orang tua pincang
meringis-ringis, ternyata Tio Bun Yang memegang tangannya kencang sekali.
"Aduuuh...!"
"Paman tua!" Tio Bun
Yang segera melepaskan tangannya. "Cepat katakan di mana jurang itu!"
"Di... di Tebing Selaksa
Bunga."
"Tebing Selaksa Bunga?
Berada di mana letung itu?" tanya Tio Bun Yang.
"Engkau ingin ke
sana?" Orang tua pincang lialik bertanya sambil menatapnya.
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Paman tua, tolong antar aku ke sana!"
"Tapi...." Orang tua
pincang tampak ragu.
"Paman tua," desak
Tio Bun Yang. "Tolong antar aku ke Tebing itu!"
"Baiklah." Orang tua
pincang mengangguk.
"Adik Bun Yang,"
sela Bu Ceng Sianli mendadak. "Jangan mempercayai omongan Si Pincang itu!
Mungkin dia membohongimu!"
"Ei! Gadis sialan! Aku
berkata sesungguhnya, lagi pula aku tidak pernah membohongi siapa pun,"
sahut orang tua pincang tidak senang.
"Kakak..." ujar Tio
Bun Yang. "Paman tua ini tidak mungkin membohongiku, dia pasti melihat
Goat Nio."
"Betul." Orang tua
pincang manggut-manggut. "Aku memang melihat gadis itu, sama sekali tidak
bohong."
"Engkau...." Bu Ceng
Sianli melototi orang tua pincang itu.
Tadi ia mengatakan begitu hanya
untuk mencegah agar Tio
Bun Yang tidak ke Tebing
Selaksa Bunga, karena khawatir akan terjadi sesuatu atas diri Tio Bun Yang,
namun orang tua pincang justru tidak tahu maksudnya. "Dasar
pincang...!"
"Kok marah-marah
kepadaku? Kalau aku ti dak memandang Bun Yang, sudah kutampar mulutmu!"
Plaaak! Justru sebuah tamparan
keras mendarat di pipi orang tua pincang tersebut.
"Aduuuh!" Orang tua
pincang itu menjerit kesakitan, kemudian memandang Bu Ceng Sianli dengan gusar
sekali.
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan. ”Rasakan! Makanya jangan kurang ajar
terhadapku?"
"Engkau...." Orang
tua pincang menudingnya. "Engkau...
kok berani kurang ajar
terhadapku?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan, kemudian berkata dengan nada dingin, "Kalau
engkau bukan kawan Adik Bun Yang, saat ini sudah tergeletak di sini!"
"Engkau...." Orang
tua pincang kelihatan
sudah bersiap
untuk bertarung dengan Bu Ceng
Sianli.
"Sudahlah!" ujar Tio
Bun Yang. "Aku sedang kacau, kalian berdua malah terus ribut!"
"Gadis itu berani kurang
ajar terhadapku."
'Paman tua...." Tio Bun
Yang mengerutkan kening. "Paman
lebih muda daripada dia. maka
tidak boleh kurang ajar terhadapnya."
"Apa?" Orang tua
pincang terbelalak, kemudian menatap Tio Bun Yang dengan mata mendelik-delik.
"Bun Yang, betulkah engkau sudah begitu linglung, sehingga tidak bisa
membedakan siapa yang lebih muda dan siapa yang lebih tua?"
"Paman tua, Bu Ceng
Sianli sudah berusia hampir sembilan puluh." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Ha ha ha!" Orang
tua pincang tertawa gelak. "Kalau begitu, usiaku tentunya sudah mencapai
tiga ratus tahun."
"Paman tua, aku berkata
sesunggunhya, sama sekali tidak bergurau. Kalau Paman tua tidak percaya,
terserah. Tapi sekarang Paman tua harus mengantarku ke Tebing Selaksa
Bunga."
"Baik." Orang tua
pincang mengangguk. "Mari kita berangkat sekarang!"
"Kakak mau ikut?"
Tanya Tio Bun Yang kepada Bu Ceng Sianli.
"Tentu mau," sahut
Bu Ceng Sianli. Mereka bertiga lalu meleset ke arah Tebing Selaftsa Bunga
menggunakan ginkang.
-oo0dw0oo-
Tio Bun Yang berdiri di tepi
jurang di Tebing Selaksa Bunga. Ia terus memandang ke bawahi jurang sambil
bergumam dengan air mata berderai-derai.
"Goat Nio! Goat
Nio...."
"Bun Yang!" Orang
tua pincang memperingat kannya. "Hati-hati, jangan sampai terpeleset ke
dalam jurang!"
"Paman tua," tanya
Tio Bun Yang. "Betulkah Goat Nio jatuh di dalam jurang ini?"
"Betul." Orang tua
pincang mengangguk.
"Aaakh!" keluh Tio
Bun Yang. "Goat Nio, kenapa engkau begitu tega meninggalkan aku? Goat Nio...."
"Adik Bun Yang, ayoh kita
kembali ke markas pusat Kay Pang!" seru Bu Ceng Sianli.
Tio Bun Yang tetap berdiri
mematung di tepi pirang. Air matanya terus berlinang-linang dan wajahnya pucat
pias seperti kertas.
"Goat Nio! Goat Nio! Aku
tahu engkau sedang menungguku engkau sangat kesepian di sana. Goat Nio! Tunggu
aku!"
Mendadak Tio Bun Yang
menerjunkan dirinya ke jurang itu.
Betapa terkejutnya Bu Ceng
Sianli.
"Adik Bun Yang! Adik Bun
Yang!" serunya sambil meleset ke tepi jurang. Ia masih sempat melihat
tubuh Tio Bun Yang meluncur ke bawah, kemudian hilang di telan kabut.
"Adik Bun Yang! Aclik Bun Yang...!"
Bu Ceng Sianli juga ingin
terjun ke jurang iiu. tapi sekonyong-konyang orang tua pincang merangkulnya
dari belakang, sekaligus menariknya.
"Lepaskan!" Teriak
Bu Ceng Sianli sambil meronta.
"Nona...." Orang tua pincang melepaskannya seraya
berkata, "Jangan kau
lakukan itu!"
"Adik Bun Yang! Adik Bun
Yang...!" teriak Bu Ceng Sianli, lalu mendadak menatap orand tua pincang
dengan penuh kegusaran. "Engkau., gara-gara engkau! Aaaah...!"
"Tenanglah Nona!"
Orang tua pincang meng geleng-gelengkan kepala. "Aku...."
"Engkau...." Bu Ceng Sianli menudingnya, ke mudian
dengan tiba-tiba tangannya
bergerak dan seketika juga terdengar suara tamparan keras.
Plak! Plok! Plaaak!
"Aduuuh!" jerit
orang tua pincang kesakitan Kedua belah pipinya telah bertanda bekas telapal
tangan Bu Ceng Sianli.
"Adik Bun Yang terjun ke
jurang gara-gara engkau, maka secara tidak langsung engkau telah
membunuhnya!" ujar Bu Ceng Sianli sambil me natapnya dengan mata
berapi-api.
"Aku...." Orang tua
pincang menundukku kepala.
"Adik Bun Yang...."
Bu Ceng Sianli duduk di pinggir jurang
sambil menangis sedih dengan
air mata berderai-derai. "Adik Bun Yang...."
"Aaaah...!" Orang
tua pincang menghela nafas panjang, la'u duduk di sisi Bu Ceng Sianli.
"Aku., aku yang bersalah dalam hal ini, maafkanlah aku!
"Sesungguhnya engkau pun
tidak bersalah dalam hal ini," sahut Bu Ceng Sianli, yang wajah nya tampak
pucat pias. "Engkau memberitahukan nya, tapi dia...."
"Kita harus tenang,"
ujar orang tua pincang. "Sebab... aku pun harus bertanggung jawab mengenai
kejadian ini."
"Aku tidak berani
membayangkan, bagaimana kedua orang tuanya dan kakeknya serta penghuni Hong
Hoang To?"
"Ya." Bu Ceng Sianli
mengangguk. "Lim Peng liang, ketua Kay Pang adalah kakeknya."
"Celaka!" keluh
orang tua pincang. "Aku... aku harus bagaimana?"
"Kita harus segera ke
markas pusat Kay Pang memberitahukan tentang kejadian ini," sahut Bu Ceng
Sianli.
"Ya." Orang tua
pincang mengangguk. "Oh ya, engkau kelihatan begitu sayang kepada Tio Hun
Yang. Apakah...."
"Aku memang mencintainya,
namun itu tidak mungkin," sahut Bu Ceng Sianli sambil menghela nafas
panjang.
"Kenapa tidak
mungkin?" Orang tua pincang heran. "Engkau masih muda dan cantik
sekali, kalian berdua merupakan pasangan yang serasi lho!"
"Aaah...!" Bu Ceng
Sianli tersenyum getir. "Adik Bun Yang tidak bohong, usiaku memang hampit
sembilan puluh."
"Engkau...." Orang
tua pincang terbelalak. "Engkau awet
muda?"
"Bukan awet muda,
melainkan kembali muda seperti berusia dua puluhan." Bu Ceng Sianli
memberitahukan. "Sebab aku mengalami suatu kemujizatan alam, lagi pula
kebetulan aku me-miliki Hian Goan Sin Kang."
"Oh?" Orang tua
pincang menatap Bu Ceng Sianli dengan mata tak berkedip, kemudian ujarnya
sambil tersenyum. "Kalau begitu, bersediakahl engkau mengantarku ke goa
itu? Sebab... aku pun ingin muda kembali...."
"Engkau...." Bu Ceng
Sianli melotot. "Aku sedang sedih,
sebaliknya engkau malah bergurau?
Hati-Hati! Aku bisa mencabut nyawamu!"
"Maaf, maaf...!"
ucap orang tua pincang cepat. "Ayolah! Mari kita berangkat sekarang,
jangan membuang waktu di sini!"
-oo0dw0oo-
Kedatangan Bu Ceng Sianli dan
orang tua pincang tentunya sangat mengherankan Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong, sebab mereka tidak, kenal kedua orang tersebut.
"Maaf, kedatangn kami
menganggu Lim Pangcu!" ujar Bu Ceng Sianli tanpa memberi hormat.
"Tidak apa-apa,"
sahut Lim Peng Hang sambil! tersenyum. "Silakan duduk!"
Bu Ceng Sianli dan orang tua
pincang duduk, kemudian orang tua pincang memandang Lim Peng Hang seraya
berkata.
"Lim Pangcu! Aku dan dia
kenal Tio Bun Yang, dia memanggil Bun Yang adik. Kami ke mari ingin
menyampaikan sesuatu...."
"Maaf!" ucap Lim
Peng Hang dan bertanya, "Boleh kami tahu siapa kalian berdua?"
"Aku adalah Si Pincang,
guru Sie Keng Hauw." Orang tua pincang memberitahukan. "Dia adalah Bu
Ceng Sianli."
"Haah...?" Lim Peng
Hang Gouw Han Tiong terbelalak. "Nona... engkau adalah Bu Ceng
Sianli?"
"Betul." Bu Ceng
Sianli mengangguk.
"Lim Pangcu," tanya
orang tua pincang. "Engkau sudah tahu tentang Bu Ceng Sianli ini?"
"Bun Yang pernah
menceritakan kepadaku, jadi aku sudah tahu." Lim Peng Hang tersenyum.
"Memang sungguh di luar dugaan!"
"Lim Pangcu, kita harus
memanggilnya apa?" Tanya orang tua pincang lagi.
"Panggil Sianli
saja," sahut Gouw Han Tiong.
"Betul, betul."
Orang tua pincang manggut-manggut. "Memang lebih baik kita memanggilnya
Sianli."
"Oh ya!" Lim Peng
Hang menatap mereka seraya bertanya, "Kalian ingin menyampaikan apa?"
"Bun Yang...."
"Biar aku yang
memberitahukan," potong Bu Ceng Sianli, lalu menutur. "Setelah aku
berpisah dengan Adik Bun Yang di markas Lie Tsu Seng, aku mulai menyelidiki
ketua Kui Bin Pang yang tidak lain adalah Kwee Teng An. Akhirnya aku memperoleh
informasi bahwa ketua Kui Bin Pang itu berada di Tibet, maka aku segera ke
Tibet."
"Bun Yang pun sudah
berangkat ke Tibet bersama dua Dhalai Lhama." Lim Peng Hang
memberitahukan.
"Ngmm!" Bu Ceng
Sianli manggut-manggut dan melanjutkan, "Ternyata benar ketua Kui Bin Pang
itu berada di Tibet, bahkan telah menguasai kuil Dhalai Lhama. Aku langsung ke
kuil itu...."
"Sianli bertarung dengan
ketua Kui Bin Pang itu?" tanya Gouw Han Tiong.
"Ya." Bu Ceng Sianli
mengangguk. "Di saat kami baru mau mengerahkan ilmu andalan, mendadak
terdengar suara suling."
"Pasti Bun Yang yang
muncul," ujar Lim Peng Hang.
"Tidak salah." sahut
Bu Ceng Sianli. "Suara suling itu menyadai kan para Dhalai Lhama yang
terkena ilmu sesat, dan setelah itu barulah Adik Bun Yang mendekati ketua Kui
Bin Pang."
"Mereka bertarung?"
tanya Gouw Han Tiong.
"Adik Bun Yang
menyuruhnya memberitahukan di mana Goat Nio, namun ketua Kui Bin Pang bernama
Kwee Teng An itu malah tertawa, sama sekali tidak mau beritahukan."
"Lalu bagaimana?"
tanya Lim Peng Hang.
"Kwee Teng An terus
tertawa, kemudian memberitahukan kepada Adik Bun Yang, bahwa Adik bun Yang
pernah memusnahkan kepandaiannya beberapa tahun lalu," jawab Bu Ceng
Sianli dan melanjutkan, "Ternyata Kwee Teng An adalah mantan Penjahat
Pemetik Bunga."
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Setelah itu mereka bertarung?"
"Ya." Bu Ceng Sianli
mengangguk dan menambahkan, "Seandainya Kwee Teng An memberitahukan berada
di mana Goat Nio, Adik Bun Yang pasti melepaskannya."
"Jadi Bun Yang membunuh
Kwee Teng An?" tanya Lim Peng Hang.
"Kwee Teng An mati oleh
ilmu pukulannya sendiri." Bu Ceng Sianli memberitahukan. "Aku sama
sekali tidak menduga Adik Bun Yang berkepandaian begitu tinggi."
"Setelah itu bagaimana?"
tanya Gouw Han I iong.
"Sebelum tubuhnya berubah
menjadi tulang, Kwee Teng An sempat mengatakan kepada Adik Hun Yang, bahwa dia
telah membunuh Goat Nio." Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang. "Itu
membuat Adik Bun Yang langsung muntah darah lalu pingsan. Aku segera
menyalurkan Hian Goan Sin Kang ke dalam tubuhnya, dan tak lama dia pun tersadar
pingsannya. Namun...."
"Kenapa?" tanya Lim
Peng Hang tegang dan cemas.
"Dia... dia berubah
linglung," jawab Bu Ceng Sianli. "Aku terus menghiburnya, bahkan juga
mengatakan bahwa Goat Nio belum mati."
"Betul." Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Sianli memang harus mengatakan begitu agar dia
tidak linglung. Terimakasih Sianli!"
"Tapi...." Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang,
kemudian menuding orang tua pincang
seraya berkata sengit, "Gara-gara dia!"
"Yaah!" Orang tua
pincang menggeleng-gelengkan kepala. "Aku lagi yang disalahkan!
Padahal...."
"Beritahukanlah apa yang
terjadi atas diri Bun Yang!" ujar Lim Peng Hang dengan wajah pucat pias,
sebab ia telah berfirasat buruk.
"Mendadak muncul Si
Pincang ini." Bu Ceng Sianli memberitahukan. "Tak disangka dia pun
kepal Bun Yang. Dia pun mengatakan bahwa dia pernah melihat seorang pemuda
bersama scorangl gadis cantik,
pemuda itu adalah ketua Kui Bin Pang."
"Kalau begitu...." Lim
Peng Hang mengerutkan
kening.
"Gadis itu pasti Siang
Koan Goatl Nio."
"Benar," sahut orang
tua pincang. "Pemuda! itu ingin memperkosa gadis itu namun gadis itu
meloncat ke belakang."
"Pemuda itu. berhasil
memperkosa Goat Nio?" tanya Gouw Han Tiong.
"Gadis itu meloncat ke
belakang justru jatuh ke jurang yang ribuan kaki dalamnya." Orang tua
pincang memberitahukan. "Di saat itulah pemuda tersebut berteriak-teriak
memanggil nama gadis itu, barulah kuketahui gadis itu bernama Goat Nio.
Kemudian pemuda itu tertawa gelak lalu melesat pergi, barulah aku keluar dari
balik pohon. Aku memandang ke bawah, tak tampak dasar jurang karena tertutup
oleh kabut. Jurang itu dalamnya ribuan kaki, bagaimana mungkin gadis itu bisa
hidup?"
"Sungguh kasihan Goat
Nio!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang, kemudian bertanya kepada orang
tua pincang. "Engkau memberitahukan tentang itu kepada Bun Yang?"
"Ya." Orang tua
pincang mengangguk.
"Bagaimana Bun Yang
setelah mendengar itu?" tanya Lim Peng Hang cemas.
'Dia terus mendesakku agar
mengantarkannya ke tempat itu, dan akhirnya kami berangkat ke Tebing Selaksa
Bunga."
"Bun Yang...." Wajah
Lim Peng Hang makin pucat. "Dia...
dia...."
"Dia berdiri di pinggir
jurang itu." Bu Ceng Sianli memberitahukan dengan mata basah. "Dia
lerus-menerus memanggil Goat Nio, setelah itu mendadak...."
"Apa yang terjadi?"
tanya Lim Peng Hang dengan suara bergemetar. "Apa yang terjadi?"
"Mendadak...." Bu
Ceng Sianli mulai menangis sedih. "Adik
Bun Yang terjun ke jurang
itu."
"Haaah?" Lim Peng
Hang langsung pingsan seketika.
"Lim Pangcu!" seru
Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang serentak, mereka berdua terkejut bukan
main.
Begitu pula Gouw Han Tiong, ia
segera mengurut urat di leher Lim Peng Hang. Berselang! sesaat, barulah ketua
Kay Pang itu tersadar dari pingsannya.
"Bun Yang,
cucuku...." gumam Lim Peng Hang dengan air
mata bercucuran. "Bun
Yang...."
"Tenang, Saudara
Lim!" hibur Gouw Hanl Tiong. "Bun Yang berkepandaian begitu tinggi!
tidak mungkin dia akan mati di dasar jurang itu.
"Aaaah...!" Lim Peng
Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Kalian berdua turun ke dasar jurang
itu?"
"Tidak." Bu Ceng
Sianli menggelengkan kepala. "Tebing jurang itu sangat licin sekali, sulil
untuk dituruni. Lagi pula kami harus segera km mari."
"Kalau begitu," ujar
Lim Peng Hang. "Kita harus segera berangkat ke tempat itu, aku akan turun
ke jurang itu mencari mayat Bun Yang."
"Jurang itu dalamnya
ribuan kaki, maka kita harus membawa tali ke sana." Bu Ceng Sianli
memberitahukan. "Kalau tidak, sulit bagi kita turun kedasar jurang
itu."
"Baik." Lim Peng
Hang mengangguk dengan air mata bercucuran. "Kita semua harus membawa tali
secukup-cukupnya."
-oo0dw0oo-
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong,
Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang berdiri di pinggir pirang. Ketua Kay Pang
terus-menerus memandang ke bawah, kemudian bergumam dengan air mata
berderai-derai.
"Sedemikian dalam! Walau
Bun Yang berkepandaian tinggi, namun bagaimana mungkin hisa lolos dari
kemataian?"
"Kita harus segera turun
ke bawah," ujar Gouw Han Tiong. "Kalau dia terluka di dasar pirang,
kita masih sempat menolongnya."
"Betul." Lim Peng
Hang manggut-manggut.
Mereka berempat mulai
menyambung tali-tali vang mereka bawa itu, kemudian ujungnya di lempar ke dalam
jurang. Setelah tersambung semua, ujung tali yang satu lagi diikatkan pada
sebuah pohon.
"Siapa yang turun
duluan?" tanya Lim Peng Hang.
"Biar aku yang turun
duluan," sahut Bu Ceng Sianli. Kemudian dipegangnya tali itu sekaligus
meloncat ke bawah menggunakan ginkang. Dalam waktu sekejap ia telah hilang di
telan kabut.
Kemudian orang tua pincang,
Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong menyusulnya. Begitu sampai di dasar jurang,
mereka melongo karena melihat sebuah telaga yang cukup besar, dan bukan main
indahnya penorama di tempat itu.
"Tidak tampak mayat Tio
Bun Yang." ujar Bui Ceng Sianli sambil menggeleng-gelengkan kepala
"Dasar jurang ini sangat luas, maka tak mungkii kita mencarinya ke seluruh
dasar jurang."
"Heran?" gumam Lim
Peng Hang. "Kenapa tidak tampak mayatnya? Mungkinkah... dia jatuh ke dalam
telaga?"
"Kalau dia jatuh ke dalam
telaga, mayatnya pasti akan terapung," sahut Gouw Han Tiong "Tapi
tidak kelihatan mayat di permukaan ai: maka dia tidak mungkin jatuh ke
telaga."
"Kalau begitu...."
Lim Peng Hang mengerut kan kening,
namun sepasang matanya telah
basah "Kemungkinan besar mayatnya telah di bawa bi natang buas."
"Menurut aku..."
sela orang tua pincang. "mungkin dia tersangkut di pohon yang tumbuh di
dinding jurang."
"Memang mungkin
juga." Lim Peng Hang manggut-manggut sambil mendongakkan kepala memandang
ke atas. "Begitu banyak pohon, tak mungkin kita memeriksanya."
"Mungkinkah binatang buas
menyeret mayatnya ke dalam salah sebuah goa yang ada di dasar jurang ini?"
ujar Gouw Han Tiong sambil menengok ke sana ke mari.
"Aaaah...!" keluh
Lim Peng Hang. "Aku tidak menyangka, Bun Yang akan mati tanpa
kuburan."
"Adik Bun Yang! Adik Bun
Yang...!" Mendadak Bu Ceng Sianli berteriak-teriak memanggil Bun Yang, ia
berharap ada sahutan darinya.
"Bun Yang! Bun
Yang...!" Yang lain juga ikut berteriak-teriak memanggil pemuda tersebut.
Akan tetapi sama sekali tiada
suara sahutan lio Bun Yang, hanya terdengar suara mereka yang berkumandang di
dasar jurang itu.
"Aaah...!" keluh Lim
Peng Hang. "Kita harus bagaimana?" ' "Kita naik ke atas lagi,”
sahut Gouw Han Tiong. "Ng!" Lim Peng Hang mengangguk.
Lim Peng Hang naik duluan,
kemudian Gouw Han Tiong dan setelah itu orang, tua pincang, terakhir Bu Ceng
Sianli,
yang kelihatan sangat
penasaran karena tidak melihat mayat Tio Bun Yang.
"Sekarang apa langkah
kita?" tanya Lim Peng Hang.
"Kita pulang ke markas
dulu," Gouw Han Tiong menambahkan, "Kita berunding di sana
saja."
"Baik." Lim Peng
Hang manggut-manggut, kemudian memandang Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang
seraya bertanya, "Bagaimana kalian?"
"Bagaimana engkau,
Sianli?" Orang tua pincang bertanya kepada Bu Ceng Sianli.
"Tentunya harus ke markas
pusat Kay Pang," sahut Bu Ceng Sianli.
"Kalau begitu," ujar
Lim Peng Hang dan melanjutkan. "Mari kita berangkat sekarang!"
-oo0dw0oo-
Bagian ke tujuh puluh tiga
Suasana duka
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong,
Bu Ceng Sianli dan orang tua telah tiba di markas pusat Kay Pang. Tampak mereka
berempat di ruang depan markas itu dengan wajah murung sekali.
"Aaaah...!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Aku tidak habis pikir, apa jadinya kalau Cie
Hiong dan Ceng Im mengetahui kabar duka Ini? Aku khawatir mereka...."
"Cie Hiong masih bisa
tabah, tapi Ceng Im....” Gouw Han
Tiong menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku mengkhawatirkan putriku."
"Lalu kita harus
bagaimana?" Mata Lim Peng Hang mulai basah lagi. "Aku yakin mayat Bun
Yang telah digondol binatang buas."
"Aaaah...!" keluh Bu
Ceng Sianli. "Aku sama sekali tidak menyangka, nasib Adik Bun Yang akan berakhir
dengan begitu mengenaskan! Padahal dia adalah pemuda baik dan berhati
bajik."
"Bun Yang
cucuku...." Air mata
Lim Peng llang
mulai
meleleh. "Bun
Yang...."
"Saudara Lim!" Gouw
Han Tiong menatapnya seraya berkata, "Kita tidak boleh diam saja di
sini.."
"Lalu kita harus
bagaimana?" tanya Lim Peng Hang.
"Aku akan berangkat ke
Tayli mengabarkan kepada mereka tentang, kejadian ini, engkau berangkat ke
Pulau Hong Hoan To!" sahut Gouw Han Tiong. "Pihak Pulau Hong Hoang To
harus kita diberilahu."
"Tapi...." Lim Peng
Hang menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tak sampai hati
memberitahukan kepada meraka."
"Tak sampai hati pun
harus memberitahukan," hi.n Gouw Han Tiong. "Besok pagi aku akan
berangkat ke Tayli, engkau berangkat ke Pulau Hong Hoang To!"
"Baiklah." Lim Peng
Hang mengangguk, kemudian bertanya kepada Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang.
"Bagaimana kalian? Mau ikut ke Pulau Hong Hoang To?"
"Kami yang menyaksikan
kejadian itu, tentunya harus ikut untuk memberitahukannya," sal hut Bu Ceng
Sianli.
"Ya, ya." Orang tua
pincang manggut-mang-gut. "Kami memang harus ikut."
"Hm!" dengus Bu Ceng
Sianli. "Semua itu gara-gara engkau. Padahal waktu itu aku sudah memberi
isyarat agar engkau tidak melanjutkan penuturan. Namun... engkau masih
terus menyerocos. Akhirnya
jadi begini. Seharusnya kubunuh engkau!"
"Yaah!" Orang tua
pincang menghela nafas panjang. "Aku menutur apa yang kusaksikan, lagi
pula Bun Yang berhak mengetahuinya. Dia adalah pemuda gagah, siapa sangka tidak
bisa tabah? Itu di luar dugaanku!"
"Sudahlah, Sianli."
ujar Lim Peng Hang dengan wajah murung. "Kita tidak bisa terus-menerus
mempersalahkan Si Pincang. Seandainya kita menjadi dia, tentunya juga akan
menceritakan tentang itu kepada Bun Yang."
"Adik Bun Yang...."
gumam Bu Ceng Sianli berduka sekali.
"Apa yang terjadi itu,
sungguh diluar dugaan!"
"Aku yang bersalah,"
ujar orang tua pincang sambil menundukkan kepala. "Pada waktu itu Bu Ceng
Sianli mengerdipkan matanya, aku kira matanya kemasukan debu, tidak tahunya
memberi isyarat kepadaku, maka aku terus menceritakan tentang gadis cantik itu,
bahkan menyebutkan namanya pula. Aaaah...!"
"Sudahlah!" tandas
Lim Peng Hang. "Jangan diungkit-ungkit lagi, membuat hati terasa pedih
sekali."
"Besok pagi aku akan
berangkat ke Tayli, kapan kalian akan berangkat ke Pulau Hong Hoang To?"
tanya Gouw Han Tiong.
"Juga besok pagi,"
sahut Lim Peng Hang. keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gouw Han Peng berangkat
ke Tayli, sedangkan Lim Peng Hang. Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang
berangkat ke Pulau Hong Hoang To.
-oo0dw0oo-
Seng Kie Hauw, Lie Ai Ling,
Kan Hay Thian dan Lui Hui San duduk di halaman sambil bercakap-cakap, kemudian
Lie Ai Ling menghela nafas panjang.
"Aaaah...!"
"Adik Ai Ling,"
tanya Sie Keng Hau. "Kenapa engkau menghela nafas panjang barusan? Apakah
ada sesuatu terganjel dalam hatimu?"
"Mendadak aku teringat
Kakak Bun Yang," sahut Lie Ai Ling dengan wajah muram. "Entah
bagaimana dia, sudah bertemu dengan Goat Nio atau belum?"
"Kita semua berada di
sini, bagaimana mungkin mengetahuinya?" ujar Kam Hay Thian sambi
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kita pun tidak tahu
bagaimana keadaan Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat Him," sambung Li Hui San.
"Apakah mereka berhasil menyelamat kan Goat Nio."
Di saat itulah melayang turun
tiga orang, yaitu Lim Peng Hang, Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang.
"Haaah?" Sie Keng
Hauw dan lainnya terkejut girang menyaksikan kemunculan mereka, Sie Ken Hauw
langsung bersujud di hadapan orang tua pincang, "Guru...."
"Guru setengah mati
mencarimu ternyata enkau berpacaran di pulau ini!" sahut orang tua pincang
setengah mengomel. "Dasar murid yang cuma mau senang sendiri!"
"Guru...."
"Bangunlah!" ujar
orang tua pincang.
Sie Keng Hauw segera bangkit
berdiri, kemudian berkata kepada Lie Ai Ling.
"Adik Ai Ling, ini adalah
guruku!"
"Paman tual" Lie Ai
Ling memberi hormat dengan wajah agak kemerah-merahan karena tersipu.
"Ha ha!" Orang tua
pincang tertawa. "Bagus, bagus!"
"Diam!" bentak Bu
Ceng Sianli. "Jangan terus tertawa!"
Orang tua pincang langsung
diam, sedangkan Sie Keng Hauw, Kam Hay Thian, Lie Ai Ling dan Lu Hui San
cepat-cepat memberi hormat kepada Lim Peng Hang dan Bu Ceng Sianli.
"Kakak Lim, Kakak Siao
Cui...." Mereka berempat tampak
girang sekali, namun ketika
menyaksikan wajah Lim Peng Hang yang begitu murung, tersentaklah hati mereka.
"Di mana Tio Tocu dan
lainnya?" tanya Lim Peng Hang.
"Kebetulan sekali mereka
semua berada di ruang tengah." jawab Lie Ai Ling. "Mari masuk!"
ajaknya.
Mereka menuju ke dalam,
tentunya sangat mencengangkan Tio Tay Seng, Sam Gan Sin Kay, Kini Siauw Suseng,
Kou Hun Bijing, Tio Cie Hiong, Lim Ceng Im, Lie Man Chiu dan Tio Hong llna.
"Ayah!" seru Lim
Ceng Im girang, tapi ketika menyaksikan wajah Lim Peng Hang yang begitu muram,
tersentaklah hatinya. "Ayah...?"
"Ceng Im...."
Lim Peng Hang
menghela nafas panjang,
kemudian memperkenalkan.
"Si Pincang ini adalah guru Sie Keng Hauw. Ayahnya adalah Tetua Kui Bin
Pang. Wanita yang muda cantik jelita ini adalah Bu Ceng Sianli."
"Hah?" Seketika juga
Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin dan lainnya terbelalak. Mereka memang pernah
mendengar penuturan Tio Bun Yang tentang wanita itu, tapi tidak menyangka Bu
Ceng Sianli begitu cantik mempesonakan.
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa gelak. "Aku terkenal awet muda, tapi engkau jauh lebih muda.
Betulkah engkau sudah berusia hampir sembilan puluh?"
"Betul," sahut Bu
Ceng Sianli yang kemudian tertawa cekikikan. "Hi hi hi! Aku bukan awet
muda, melainkan kembali muda!"
"Engkau tampak seperti
gadis berusia dua puluhan." Kou Hun Bijin menatapnya dalam-dalam.
"Bun Yang sering menceritakan dirimu, kalian berdua sangat baik
sekali?"
"Memang baik
sekali," ujar Bu Ceng Sianli. "Sebelum bertemu Adik Bun Yang, aku
sudah bertemu Goat Nio. Tapi dalam waktu itu aku tidak tahu bahwa dia adalah
kekasih Adik But Yang. Sesudah bertemu Adik Bun Yang. barulah aku tahu. Aku pun
menganggap Adik Bun Yang sebagai Adikku sendiri."
"Oh?" Kou Hun Bijin
manggut-manggut. "Goat Nio adalah putri kami, engkau sudah bertemu
mereka?"
"Itu...." Bu Ceng
Sianli memandang Lim Peng Hang.
"Kami ke mari justru
ingin memberitahukan tentang Bun Yang dan Goat Nio," ujar Lim Peng Hang
dengan mata basah.
"Ayah! Apa yang telah
terjadi atas diri Bun Yang?" tanya Lim Ceng Im dengan wajah pucat pias.
"Itu harus dimulai dari
Goat Nio," sahut Lim Peng Hang.
"Sianli!" Kou Hun
Bijin segera memandang Bu Ceng Sianli. "Beritahukanlah pada kami apa yang
telah terjadi atas diri Goat Nio?"
"Yang tahu jelas adalah
Si Pincang ini," sahut Bu Ceng Sianli.
"Pincang!" hardik
Kou Hun Bijin. "Cepat beritahukan! Cepaaat!"
"Aku melihat seorang
pemuda dan seorang gadis cantik jelita di Tebing Selaksa Bunga...." Orang
tua pincang menutur tentang kejadian itu.
"Hah? Apa?" Kou Hun
Bijin langsung meloncat bangun. "Goat Nio jatuh ke dalam jurang itu?"
"Ya." Orang tua
pincang mengangguk,
"kenapa engkau tidak
menolongnya?" tanya Kou Hun Bijin dengan wajah kehijau-hijauan.
"Mereka berdua...." tutur
Lim Peng Hang
tentang itu.
"Beberapa hari kemudian
Bun Yang pun pulang, kemudian mereka bertiga berangkat ke Tibet."
"Lalu bagaimana?"
tanya Lim Ceng Im.
"Sepuluh hari lalu, Si
Pincang dan Bu Ceng Sianli ke markas pusat Kay Pang menemui ayah untuk
menyampaikan suatu kabar."
"Kabar buruk?" Wajah
Lim Ceng Im makin pucat, sementara Tio Cie Hiong mendengarkan dengan penuh
perhatian dan keningnya tampak berkerut-kerut.
"Memang kabar
buruk." Lim Peng Hang mengangguk kemudian memandang Bu Ceng Sianli.
"Sianli, beritahukanlah kepada putriku!"
"Ceng Im...." Bu
Ceng Sianli menghela nafas dengan mata
bersimbah air. "Aku
memperoleh informasi bahwa ketua Kui Bin Pang bernama Kwee Teng An berangkat ke
Tibet, maka aku pun segera berangkat ke sana."
Bu Ceng Sianli menutur tentang
pertarungan di kuil Dhalai Lhama, kemudian muncul Tio Bun Yang dan lain
sebagainya.
"Kwee Teng An bilang
telah membunuh Goat Nio?" tanya Lim Ceng Im. "Itu berarti dia bohong.
Ya, kan?"
"Ya." Bu Ceng Sianli
mengangguk. "Karena itu, Adik Bun Yang berubah seperti kehilangan sukma.
Aku terus menghiburnya agar dia bisa tenang dan tabah. Akan tetapi setelah kami
berada di Tionggoan, mendadak muncul Si Pincang yang harus mampus ini, ternyata
dia kenal Adik bun Yang."
"Betul," sahut orang
tua pincang sambil menghela nafas panjang. "Aku yang bersalah, karena tidak
tahu Goat Nio
adalah kekasih Bun Yang. Aku
menceritakan tentang ketua Kui Bin Pang bersama seorang gadis cantik."
"Engkau memberitahukannya
nama gadis itu?" tanya Sam Gan Sin Kay mendadak.
"Ya." Orang tua
pincang menggeleng-gelengkan kepala. "Itulah kesalahanku. Setelah
mengetahui gadis itu bernama Goat Nio, maka Bun Yang terus-menerus mendesakku
untuk meng-unlarnya ke Tebing Selaksa Bunga."
"Engkau mengantarnya ke
sana?" tanya Sam Gan Sin Kay dengan kening berkerut-kerut.
"Ya." Orang tua
pincang mengangguk. "Bu Ceng Sianli juga ikut."
"Lalu apa yang
terjadi?" tanya Tio Tay Seng dengan wajah mulai memucat.
"Adik Bun Yang terus
berdiri mematung di pinggir jurang. Aku memperingatkannya agar hati-hati, dan
dia pun manggut-manggut. Namun kemudian dia bergumam memanggil Goat Nio, dan
setelah itu mendadak...."
"Mendadak apa?"
tanya Lim Ceng Im dengan tubuh menggigil.
"Adik Bun Yang...!"
Bu Ceng Sianli terisak isak. "Dia terjun ke jurang itu."
"Hah? Bun Yang...!"
Lim Ceng Im langsung pingsan, sedangkan Tio Cie Hiong duduk di tempat dengan
wajah pucat pias.
"Ceng Im!" teriak
Lim Peng Hang.
"Tenang!" ujar Bu
Ceng Sianli, lalu menhampiri Lim Ceng Im, dan menyalurkan Hia Goan Sin Kang ke
dalam tubuhnya.
Berselang beberapa saat
kemudian, tersadarlah Lim Ceng Im, dan seketika juga menangis gerung-gerungan.
"Bun Yang! Bun
Yang...!"
"Goat Nio! Goat
Nio...!" Kou Hun Bijin masih berteriak-teriak memanggil nama putrinya.
"Kakak Bun Yang! Kakak
Bun Yang...!" teriak Lie Ai Ling sambil menangis meraung-raung.
"Kakak Bun Yang...!"
Kacaulah suasana di ruang itu.
Bu Ceng Sianli berusaha menghibur Lim Ceng Im, sedangka Kim Siauw Suseng dan
Kou Hun Bijin masih saling berpeluk-pelukan sambil menangis sedih, dan orang
tua pincang tampak serba salah, karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sam Gan Sin Kay mendekati Tio
Cie Hiong dan bersiap-siap kalau Tio Cie Hiong terjadi sesuatu.
Lui Hui San juga sedih
menangis sepasang matanya membengkak. Kam Hay Thian menghiburnya sambil
terisak-isak- Sie Keng Hauw juga terus menghibur Lie Ai Ling.
Berselang beberapa saat
kemudian, begitu suara tangisan itu mulai reda, tiba-tiba terdengarlah suara
Tio Cie Hiong.
"Aku tidak percaya kalau
Bun Yang dan Goat Nio akan mati begitu saja."
"Kami pun tidak
percaya," ujar Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin. "Mereka berdua
tiada tampang pendek umur."
"Ayah," tanya Lim
Ceng Im. "Apakah Ayah sudah ke Tebing Selaksa Bunga itu?"
"Kami berempat sudah ke
Tebing itu," jawab Lim Peng Hang dan menambahkan, "Bahkan sudah turun
ke dasar jurang."
"Ayah menemukan mayat Bun
Yang?" tanya Lim Ceng Im sambil menangis sedih.
"Kami tidak menemukan
mayatnya." Lim Peng Uang menggeleng-gelengkan kepala. "Mungkin sudah
digondol binatang buas."
"Ayah, kenapa Paman Gouw
tidak ikut ke sini?"
"Dia ke Tayli
memberitahukan kepada mereka tentang kejadian ini."
"Aku tetap tidak percaya
Bun Yang dan Goat Nio mati begitu saja," ujar Tio Cie Hiong lagi sambil
mengerutkan kening. "Sebab tidak ditemukan mayatnya maupun mayat Goat Nio.
Tidak mungkin mayat mereka akan digondol binatang, itu tidak mungkin."
"Kalau begitu," ujar
Lie Man Chiu yang terdiam dari tadi. "Kita harus pergi memeriksa dassr
jurang itu."
"Betul." Tio Tay
Seng manggut-manggut. "Kita berangkat besok pagi."
Keesokan paginya, berangkatlah
mereka ke Tionggoan menuju markas pusat Kay Pang, sebab mereka ingin menunggu
kedatangan pihak Tayli.
-ooo0dw0ooo-
Kini mereka telah tiba di
markas pusat Kay Pang. Dua hari kemudian muncullah pihak Tayli yakni Toan Wie
Kie, Gouw Sian Eng, Lam Kioi Be Liong, Toan Pit Lian dan lainnya.
"Ceng Im...." Gouw
Sian Eng langsung memeluknya sambil
menangis. "Kami sedih
sekali”
"Sian Eng! Bun
Yang...." Air mata Lim Ce Im berderai-derai.
"Itu bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin?" ujar Gouw Sian Eng terisak-isak. "Aku tidak
percaya kalau Bun Yang dan Goat Nio akan mati begitu saja. Aku tidak
percaya!"
Sementara Lim Peng Hang, Gouw
Han Tio dan lainnya juga sedang berunding dengan serius sekali, ternyata mereka
bersepakat untuk pergi memeriksa dasar jurang itu, bahkan juga pohon-pohon yang
tumbuh di dinding jurang.
Oleh karena itu, Lim Peng Hang
memerintahkan puluhan anggota Kay Pang untuk mencari tali sebanyak-banyaknya.
Sie Keng Hauw, Kam Hay Thian,
Yo Kiam Neng, Toan Beng Kiat dan lainnya juga sedang bercakap-cakap dengan
wajah murung.
"Aku tidak percaya kalau
Bun Yang dan Goat Nio mati di dasar jurang itu," ujar Toan Beng kiat
"Aku pun kurang
percaya," sambung Bokyong Sian Hoa. "Kalau benar mereka berdua mati
di dasar jurang itu. Thian (Tuhan) sungguh tidak adil!"
"Aaaah...!" Lam
Kiong Soat Lan menghela nafas panjang. "Kini ketua Kui Bin Pang itu telah
tewas. Seharusnya Bun Yang dan Goat Nio melangsungkan pernikahan, namun
malah...."
"Kakak Bun Yang begitu
baik, berhati bajik dan sering menolong orang. Mungkinkah dia dan Goat Nio akan
mati begitu saja?" ujar Lie Ai Ling lalu menambahkan, "Sebelum
menyaksikan mayat mereka, aku tidak percaya kalau mereka dikata-kan sudah
mati."
"Bun Yang berkepandaian
begitu tinggi, tak mungkin dia akan mati di dasar jurang itu," sahut
Bokyong Sian Hoa. "Aku yakin dia masih hidup...."
Hal 80-81 ga ada
sudah tiada, apa artinya aku
hidup lagi?"
"Tenang!" Bu Ceng
Sianli menepuk bahunya dan terus menghiburnya.
Sementara Sam Gan Sin Kay
hanya duduk termenung, sama sekali tidak mengucurkan air mata, namun wajahnya
tampak pucat pias.
"Ayah...." Lim
Peng Hang mendekatinya.
"Jagadiri baik-
baik!"
"Aaah...!" Sam Gan
Sin Kay menghela nafas panjang. "Yang tua tidak mati, yang muda malah
begitu cepat mati! Thian (Tuhan) sungguh tidak adil! Bukankah lebih baik
mencabut nyawaku daripada nyawa Bun Yang? Aaaah...!"
"Ayah...." Lim Peng
Hang menggeleng-gelenkan kepala.
"Peng Hang," pesan
Sam Gan sin Kay. "Engkau harus baik-baik menjaga Lim Ceng Im, sebab dia
akan berlaku nekad! Jangan sampai dirinnya terjadi apa-apa, sebab kalau dirinya
terjadi apa-apa Cie Hong akan menjadi gila!"
"Ya, Ayah." Lim Peng
Hang mengangguk
Keesokan harinya, berangkatlah
mereka semua menuju Tebing Selaksa Bunga dengan perasaan tercekam.
-oo0dw0oo-
Mereka semua memandang ke
bawah jurang itu dengan wajah pucat pias sebab jurang itu begitu dalam,
bagaimana mungkin bisa hidup bagi yang jatuh kedalamnya? Itu membuat Lim Ceng
Im dan Kou Hun Bijin langsung menangis meraung-raung.
"Bun Yang! Bun
Yang...!"
"Goat Nio! Goat
Nio...!"
Sementara yang lainnya sibuk
menyambung tali tali, dan setelah tersambung semuanya barulah diikatkan pada
sebuah pohon.
"Siapa yang turun
duluan?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Aku," sahut Lim
Ceng Im dan Kou Hun Bijin serentak.
"Kalian tidak boleh
turun, cukup menunggu disini saja!" ujar Sam Gan Sin Kay sungguh-sungguh.
"Tidak." Lim Ceng Im
menggelengkan kepala. „Kalau aku tidak diperbolehkan turun, aku pasti akan
meloncat ke bawah."
"Ceng Im...." Bukan
main terkejutnya Tio Cie Hiong.
"Aku pun akan meloncat ke
bawah," ujar Kou Hun Bijin. "Biar bagaimanapun aku harus turun."
"Isteriku...." Kim
Siauw Suseng menghela nafas panjang.
"Baiklah, engkau boleh
ikut turun."
"Aku sudah pernah turun,
biar aku turun duluan!" ujar Bu Ceng Sianli, lalu memegang tali itu
sekaligus merosot ke bawah.
Menyusul adalah orang tua
pincang, kemudian Lim Peng Hang dan lainnya. Berselang beberapa saat, mereka
semua sudah berada di dasar jurang itu.
"Kita berpencar mencari
Bun Yang dan Goat Nio," ujar Tio Tay Seng dan menambahkan, "Tapi
sebelum hari gelap, kita semua harus kembali ke sini."
Mulailah mereka berpencar. Tio
Cie Hiong bersama Lim Ceng Im, begitu pula Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.
Mereka mencari ke sana ke
mari, juga memasuki goa-goa yang terdapat di sana. Setelah hari mulai gelap,
mereka semua berkumpul kembali di tempat semula. Mereka
menggeleng-gelengkan kepala,
namun tiada seorang pun yang membuka mulut.
"Bun Yang...." Lim
Ceng Im mulai menangis lagi. "Mayatnya
pasti telah digondol binatan
buas."
"Goat Nio...." Kou
Hun Bijin juga mulai menangis sedih.
"Kemana mayatnya...
aaah...!"
"Heran?" gumam Sam
Gan Sin Kay. "Kalau mereka mati di dasar jurang ini, mayat mereka
seharusnya berada di sini. Tapi...."
"Mungkinkah mereka jatuh
ke dalam telaga ini?" tanya Tio Tay Seng.
"Seandainya mereka jatuh
ke dalam telaga ini tentunya akan timbul lagi," sahut Sam Gan Sin Kay.
"Aku telah mencari di pinggir telaga, namun tidak menemukan mayat
mereka."
"Kalau begitu...." ujar
Kim Siauw Suseng. "Mayat mereka
pasti telah digondol binatang
buas."
"Tapi...." Tio
Cie Hiong mengerutkan
kening. "Di dasar
jurang ini tiada jejak
binatang buas."
"Kalau begitu, kemana
mayat mereka?" tanya Kim Siauw Suseng.
"Itulah yang membingungkan."
sahut Tio Cie hiong dan melanjutkan, "Mungkinkah mereka masih hidup dan
berhasil memanjat ke atas?"
"Itu tipis
kemungkinannya," ujar Lim Peng liang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Apabila mereka belum mati dan berhasil naik ke atas, tentunya mereka
sudah ke markas pusat Kay Pang.
"Mungkin mereka terluka
parah, maka mengobati luka mereka di suatu tempat, sehingga belum ke markas
pusat Kay Pang," ujar Kim Siauw Suseng seakan menghibur dirinya sendiri.
"Itu memang
mungkin." Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Dan juga itu yang kita
harap-kan "
"Mumpung belum begitu
gelap, lebih baik kita segera naik!"
usul Tio Tay Seng. "Sebab
kabut putih makin menebal."
"Baik." Sam Gan Sin
Kay mengangguk. "Mari kita naik, tapi harus hati-hati!"
Mereka mulai naik satu
persatu. Beberapa saat kemudian, mereka semua sudah berada di atas.
"Bun Yang! Bun
Yang...!" jerit Lim Ceng Im sambil memandang ke bawah. Tio Cie Hiong terus
menjaga di sisinya.
"Goat Nio! Goat
Nio...!" Kou Hun Bijin juga berteriak-teriak memanggil putrinya.
"Goat Nio...!"
Tio Tay Seng cuma
menggeleng-gelengkan kepala, dan setelah itu ia pun berseru.
"Mari kita kembali ke
markas pusat Kay Pang!"
Mereka semua segera
meninggalkan Tebing Selaksa Bunga itu. karena malam sudah larut.
-oo0dw0oo-
Bagian ke tujuh puluh empat
Mengadakan upacara sembayang
Mereka semua telah tiba di
markas pusat Kay Pang. Seketika Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin menangis sedih
lagi, Tio Cie Hiong dan Kim Siauw Suseng cuma menghela nafas panjang.
"Aku tidak habis
pikir," ujar Sam Gan Si Kay. "Goat Nio jatuh ke jurang itu, sedangkal
Bun Yang yang terjun ke dalam.
Tapi tidak terdapat mayat
mereka di dasar jurang itu. Itu... sungguh mengherankan!"
"Memang." Orang tua
pincang manggut-manggut. "Aku yang menyaksikan gadis itu jatuh ke jurang
itu, namun kita tidak menemukan mayatnya."
"Bun Yang juga terjun ke
dalam jurang itu. tapi...." Bu
Ceng Sianli mengerutkan
kening. "Kenapa kita tidak berhasil menemukan mayatnya?"
"Hanya ada dua
kemungkinan," ujar Lim Peng Hang setelah berpikir lama sekali.
"Pertama mereka tidak mati dan berhasil naik ke atas lalu pergi. Kedua
mereka tenggelam ke dasar telaga ttu, maka kita tidak berhasil menemukan mayat
mereka."
"Biasanya orang tenggelam
ke dalam air, beberapa hari kemudian pasti timbul dipermukaan lagi
tapi...," ujar Sam Gan Sin Kay. "Aku telah memeriksa pinggir telaga
itu, tapi tidak menemu-kan mayat mereka. Karena itu, aku berkesimpulan bahwa
mereka masih hidup."
"Kalau mereka masih
hidup, kenapa tidak ke mari?" tanya Lim Ceng Im.
"Mungkin luka mereka
belum sembuh, maka belum ke mari," sahut Sam Gan Sin Kay.
"Kita tunggu beberapa
hari," ujar Kim Siauw niseiig. "Kalau mereka tetap tidak ke mari,
berarti mereka telah mati."
"Goat Nio! Goat
Nio...!" Kou Hun Bijin langsung menangis. "Aaakh...!"
Beberapa hari kemudian, memang
ada yang muncul. Tapi bukan Tio Bun Yang dan Siangi Koan Goat Nio, melainkan
para ketua tujuh partai.
Mereka bertujuh melangkah ke
dalam dengan wajah murung. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong segera menyambut
kedatangan mereka.
"Selamat datang, para
ketua!"
"Kami ke mari turut
berduka cita," ucap Hui Khong Taysu, ketua partai Siauw Lim.
"Omitohud Tidak disangka Bun Yang dan Goat Nio akan mengalami nasib
begitu!"
"Dari mana Taysu tahu
tentang itu?" tanya Lim Peng Hang.
"Lim Pangcu!" Hui
Khong Taysu tersenyum getir. "Berita itu mulai tersiar dalam rimba
persilatan. Setelah menerima berita tersebut, kami segera ke mari."
"Terimakasih!" ucap
Lim Peng Hang dengan wajah murung.
"Terus terang," ujar
It Hian Tojin, ketua partai Butong. "Aku sama sekali tidak percaya Bun
Yang dan Goat Nio bernasib begitu, tidak mungkin mereka berumur pendek."
"Bun Yang berhati
baik," ujar Hui Khol Taysu. "Walau dia pusing memikirkan Goat Nio
namun dia masih menolong orang lain. Omitohud Semoga Sang Budda
melindunginya!"
"Lim Pangcu," tanya
It Hian Tojin. "Bagaimana kejadian itu?"
"Aaaah...!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang, lalu menutur tentang kejadian itu.
Para ketua tujuh partai besar
itu mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian memandang Bu Ceng Sianli dan
orang tua pincang dengan mata agak terbelalak. Mereka kelihatan tidak begitu
percaya akan usia Bu Ceng Sianli \ang hampir sembilan puluh. Namun karena dalam
suasana duka, maka para ketua tujuh partai besar itu sama sekali tidak bertanya
mengenai Bu Ceng Sianli.
"Jadi kalian semua sudah
mencari di dasar jurang itu?" tanya It Hian Tojin.
"Ya." Lim Peng Hang
mengangguk. "Tapi tidak menemukan mayat Bun Yang maupun mayat Goat
Nio."
"Kalau begitu...." ujar It Hian Tojin penuh harapan.
"Mereka pasti masih
hidup."
"Kami pun menduga
begitu...," ujar Gouw Han lnmg. "Tapi... seandainya mereka tidak mati
di dasar jurang dan berhasil naik ke atas, tentunya mereka sudah ke mari."
"Omitohud!" ucap Hui
Khong Taysu. "Mungkinkah mereka terluka parah, sehingga harus mengobati
luka mereka di suatu tempat. Jadi... mereka belum ke mari?"
"Kami pun berpikir begitu
dan menunggui telah beberapa hari, tapi...." Gouw Han Tion
menggeleng-gelengkan kepala.
"Bun Yang dai Goat Nio
tetap belum ke mari, itu membuat harapan kami jadi kandas."
"Kalau begitu, kita harus
menunggu lagi," ujai It Hian Tojin dan menambahkan dengan sungguh sungguh.
"Kami pun mau tinggal di sini untu turut menunggu Bun Yang dan Goat
Nio."
"Terimakasih!" ucap
Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang.
Tak terasa dua puluh hari
telah berlalu, namun Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio tetap tidak muncul,
itu betul-betul membuat mereka putus asa. Lim Ceng Im dan Kou Hun Biji pun
mulai menangis sedih lagi, yang lain terus menerus menghela nafas panjang.
"Omitohud!" ucap Hui
Khong Taysu. "Bagai mana kalau aku mengadakan upacara sembahyang?"
"Maksud Taysu upacara
sembahyang arwah?” tanya Kou Hun Bijin.
"Ya." Hui Khong
Taysu mengangguk.
"Jadi Taysu menganggap
putriku telah mati?" Kou Hun Bijin menatap Hui Khong Taysu dengan penuh
kegusaran. .
"Omitohud!" sahut
Hui Khong Taysu menegaskan. "Upacara sembahyang yang akan kulakukan itu,
sungguh berarti dan berguna bagi yang mati maupun yang hidup. Percayalah!"
"Terimakasih,
Taysu!" ucap Lim Peng Hang. "Silakan Taysu mengadakan ucapara
sembahyang."
"Omitohud!" Hui
Khong Taysu manggut-manggut, lalu mulai mempersiapkan semua keperluan upacara
sembahyang.
Kaum muda menyalakan lilin dan
memasang hio, dan para ketua tujuh partai besar serta para tingkatan tua duduk
bersila. Setelah lilin dinyalakan dan asap hio mulai mengepul kaum muda itu pun
ikut duduk bersila.
Tak lama kemudian, mulailah
Hui Khong Taysu membaca doa dengan hidmat sekali. Entah berapa saat kemudian,
barulah Hui Khong Taysu berenti membaca doa lalu bangkit berdiri, yang lain pun
mengikutinya.
"Omitohud!" ucap Hui
Khong Taysu. "Kalau Bun Yang dan Goat Nio sudah mati, arwah mereka pasti
akan tenang. Seandainya mereka belum mati. mereka pasti akan segera ke
mari!"
"Terimakasih,
Taysu!" ucap Lim Peng Hang.
"Omitohud!" sahut
Hui Khong Taysu. "Lim pangu. kami mau mohon pamit."
"Baiklah." Lim Peng
Hang manggut-manggut lalu bersama Gouw Han Tiong dan Tio Cie Hiong mengantar
para ketua itu sampai di luar markas!
Setelah para ketua itu pergi,
barulah mereka kembali masuk, sedangkan Lim Ceng Im dan Kom Hun Bijin mulai
menangis lagi.
"Aaaah...!" Tio Cie
Hiong menghela nafas panjang sambil mendekati Lim Ceng Im. "Adik Im,
jangan terus menangis! Aku... aku makin tidak tahan! Aku...."
Wajah Tio Cie Hiong makin
pucat pias. San Gan Sin Kay terperanjat menyaksikannya dan cepat-cepat
mendekatinya sekaligus memegang tangannya erat-erat dan berkata,
"Cie Hiong, engkau harus
tenang dan tabah”
"Yaaa." Tio Cie
Hiong mengangguk, namun mendadak mulutnya menyemburkan darah segar
"Uaaakh! Uaaaakh...!"
"Kakak Cie
Hiong...!" panggil Lim Ceng Im
"Tenanglah Ceng Im!"
Lim Peng Hang menghampirinya dan berbisik, "Engkau jangan terus menerus
menangis! Cie Hiong terus menekan rasa sedihnya dalam hati, karena engkau
menangis lagi itu membuat kesedihannya meledak, sehingga langsung memuntahkan
darah segar. Kalau dia tidak bisa tenang, pasti terluka dalam."
"Kakak Cie
Hiong...." Air mata Lim Ceng Im berderai-derai,
ia terus menahan isak
tangisnya
"Cie Hiong!" ujar
Sam Gan Sin Kay. "Cepatlah engkau duduk dan menghimpunlah
lweekangmu!"
Tio Cie Hiong mengangguk
perlahan, lalu duduk bersila dan sekaligus menghimpun Pan Yok Ilian Thian
Sin.Kang. Berselang beberapa saat kemudian, wajahnya mulai tampak agak
kemerah-merahan. Itu membuat Sam Gan Sin Kay dan lainnya menghela nafas lega.
"Kakak Cie
Hiong...." Lim Ceng Im langsung memeluknya
erat-erat. "Aku... aku
tidak akan menangis lagi. Sungguh!"
Walau Lim Ceng Im berkata demikian,
namun air matanya terus berlinang-linang.
"Adik Im...." Tio
Cie Hiong membelainya. "Aku tidak tahan
melihat engkau terus
menangis."
"Aku berjanji, mulai
sekarang tidak akan menangis lagi!" ujar Lim Ceng Im sambil menahan isak
tangisnya.
"Adik Im," ujar Tio
Cie Hiong dengan mata basah. "Kita harus tabah menghadapi kenyataan
im."
"Kakak Cie Hiong,"
tanya Lim Ceng Im mendadak. "Sungguhkah Bun Yang telah mati?"
"Mudah-mudahan dia masih
hidup!" sahut Tio Cie Hiong. "Itu adalah harapan kita. Lagi pula kita
tidak menemukan mayatnya, maka kemung-hnan besar dia masih hidup."
"Kalau dia sudah mati,
kita...."
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong membelainya. "Biar bagaimanapun, kita harus tabah menghadapinya.”
"Ya, Kakak Cie
Hiong." Lim Ceng Im manggut-manggut sambil menahan isak tangisnya.
-oo0dw0oo-
Sebulan kemudian, Toan Wie Kie
dan lainnya berpamit untuk pulang ke Tayli. Namun Toan Beng Kiat, Bokyong Sian
Hoa, Yo Kiam Hend dan Lam Kiong Soat Lan belum mau pulang ka Tayli, karena
mereka ingin ikut ke pulau Hong Hoang To.
"Jadi kalian ingin ke
pulau Hong Hoang To?” tanya Toan Wie Kie.
"Ya, Ayah." Toan
Beng Kiat mengangguk.
"Itu...." Toan Wie
Kie memandang Gouw Sian Eng seraya
bertanya, "Bagaimana
menurutmu?"
"Kini ketua Kui Bin Pang
telah tewas, berarti rimba persilatan telah aman," sahut Gouw Sian Eng.
"Maka biarlah mereka ke pulau Hong Hoari To, mungkin hati kakak Cie Hiong
dan Ceng Im akan terhibur."
"Ngmm!" Toang Beng
Kiat manggut-mangguj kemudian berpesan kepada putranya, "Tapi kalian tidak
boleh nakal di sana."
"Ya, Ayah." Toan
Beng Kiat menganggii sambil tersenyum. "Kami sudah bukan anak kecil,
bagaimana mungkin nakal?"
Toan Wie Kie tersenyum, lalu
bersama yang lain berpamit kepada Sam Gan Sin Kay Kim Siauw Suseng, Kou Hun
Bijin, Tio Tay Seng, Lim Peng Uang dan lainnya. Setelah itu, berangkatlah
mereka kembali ke Tayli.
Beberapa hari kemudian, pihak
pulau Hong Hoaang To juga berpamit kepada Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu
Ceng Sianli dan orang tua pincang.
"Ayah," ujar Lim
Ceng Im. "Kami mau pulang ke pulau Hong Hoang To!"
"Ng!" Lim Peng Hang
manggut-manggut. "Ceng Im, jangan terus berduka, sebab kalau engkau terus
berduka, akan mempengaruhi Cie Hiong!"
"Ya, Ayah." Lim Ceng
Im mengangguk.
"Peng Hang," pesan
Sam Gan Sin Kay. "Kalau engkau sudah merasa tua, lebih baik pilih sekarang
untuk menggantimu dan engkau boleh tinggal di pulau Hong Hoang to."
"Ya, Ayah." Lim Peng
Hang mengangguk sambil tersenyum. "Tunggu beberapa tahun lagi, aku pasti
akan mengundurkan diri dari jabatanku."
"Baiklah." Sam Gan
Sin Kay manggut-manggut
Sementara Tio Cie Hiong
memandang Bu Ceng Sianli, lalu mendekatinya sambil memberi pesan.
"Maaf, Sianli! Sejak kita
bertemu, aku samai sekali tidak mengucapkan terimakasih kepada Sianli,"
ujar Tio Cie Hiong.
"Sekarang aku mengucapkan
terimakasih kepada Sianli, karena Sianli begitu baik terhadap Bun Yang."
"Tidak usah
berterimakasih," sahut Bu Cengli Sianli sambil menghela nafas panjang.
"Aku sangat menyayanginya, tentunya harus baik terhadapnya! Tapi kini dia
sudah tiada...."
"Sianli," ujar Tio
Cie Hiong sungguh-sungguh. "Selama ini aku terus berpikir, dan semakin
tidak yakin Bun Yang serta Goat Nio telah mati. Oleh karena itu, aku masih
berharap dia kembali ke pulau Hong Hoang To."
"Mudah-mudahan!"
sahut Bu Ceng Sianli. "Aku pun berharap begitu."
Sementara orang tua pincang
terus-menerus memandang Sie Keng Hauw, setelah itu ia pula mendekati mereka.
"Keng Hauw!"
panggilnya dengan suara rendah.
"Ada apa, Guru?"
tanya Sie Keng Hauw heran "Engkau mau ikut ke pulau Hong Hoang To?'
Orang tua pincang balik
bertanya sambil menatapnya dalam-dalam.
"Ya, Guru." Sie Keng
Hauw mengangguk.
"Ngmm!" Orang tua
pincang manggut-manggut. "Jadi engkau sungguh-sungguh mencintai Lie Ai
Ling?"
"Ya, Guru." Sie Keng
Hauw mengangguk lagi sambil memandang Lie Ai Ling yang berdiri di sisinya,
sehingga wajah gadis itu tampak kemerah-merahan.
"Baiklah." Orang tua
pincang manggut-manggut lagi dan tersenyum-senyum, kelihatan ia gembira sekali.
"Kalau begitu, beberapa bulan kemudian, guru akan ke pulau Hong Hoang To
menemui Lie Man Chiu untuk membicarakan pernikahan kalian."
"Guru...." Wajah Sie
Keng Hauw langsung memerah. "Itu
terlampau cepat, lebih baik
setahun Iagi "
"Aaaah...!" Orang
tua pincang menghela nafas panjang. "Tak terduga sama sekali, Bun Yang dan
Buat Nio...."
"Guru, mereka sedang
menunggu kami."
"Cepatlah kalian susul
mereka!"
"Guru," ucap Sie
Keng Hauw. "Sampai jumpa'"
"Sampai jumpa,
muridku!" sahut orang tua pincang. Setelah Sie Keng Hauw tidak kelihatan, barulah
orang tua pincang itu kembali masuk.
"Aaaah...!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Mereka sudah pulang ke Tayli dan pulau Hong
Hoang To, kini cuma tinggal kita."
"Lim Pangcu," ujar
orang tua pincang. "Aku mau pamit."
"Cepatlah engkau pergi!"
sahut Bu Ceng Sianli ketus. "Semua itu gara-gara engkau!"
"Sianli...." Orang tua pincang menundukkan kepala.
"Aku...."
"Sudahlah!" Bu Ceng
Sianli menggeleng-gelengkan kepala. "Percuma aku terus menerus
mempersalahkanmu!"
"Sianli, aku mohon diri,
semoga kita semua akan berjumpa lagi dalam suasana yang menyenangkan!"
ucap orang tua pincang, lalu melangkah pergi meninggalkan markas pusat Kay
Pang.
"Aaaah...!" Bu Ceng
Sianli menghela nafas panjang. "Sebetulnya dia tidak bersalah, hanya saja
tidak bisa melihat situasi."
"Sianli," ujar Lim
Peng Hang. "Aku justru tidak habis pikir. Apakah benar Bun Yang dan Goat
Nio sudah tewas?"
"Itu memang merupakan
suatu teka-teki," sahut Bu Ceng Sianli. "Sebab kita tidak menemukan!
mayatnya, sedangkan tidak mungkin mayatnya akan digondol binatang buas."
"Memang tidak
mungkin." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Sebab tiada jejak binatang
buas di dasar jurang itu, pertanda tiada binatang buas di sana."
"Tapi...." Bu
Ceng Sianli mengerutkan
kening "Kenapa
mayat mereka tidak berada di
sana? Itu sungguh membingungkan. Mungkinkah mayat mereka tenggelam ke dasar
telaga itu?"
"Setahuku...," sahut
Gouw Han Tiong. "Mayat tidak akan tenggelam, melainkan malah terapung di
permukaan air. Maka tidak mungkin Bun Yang dan Goat Nio mati di dalam telaga
itu."
"Heran?" Lim Peng
Hang terus menggelengkan kepala. "Mungkinkah Bun yang dan Goat Nio tidak
mati?"
"Menurutku...," ujar
Bu Ceng Sianli. "Bun Yang dan Goat Nio tidak berumur pendek, jadi tidak
mungkin mereka berdua akan mati sedemikian muda."
Tiba-tiba Cian Chiu Lo Kay
masuk ke dalam bersama seorang gadis, yakni Ngo Tok Kauwcu Phang Ling Cu, yang
wajah gadis itu tampak pucat pias.
"Pangcu," Lapor Cian
Chiu Lo Kay. "Ngo Tok Kauwcu ingin bertemu Pangcu."
"Ya," sahut Lim Peng
Hang sambil manggut-manggut. "Ling Cu, silakan duduk!"
"Terimakasih!" ucap
Ngo Tok Kauwcu sambil duduk. Sedangkan Cian Chiu Lo Kay segera mengundurkan
diri dari situ.
"Ling Cu!" Lim Peng
Hang memberitahukan. 'Wanita muda ini adalah Bu Ceng Sianli."
"Apa?" Ngo Tok
Kauwcu terbelalak. "Kelihaiannya Sianli baru berusia dua puluhan. Padahal
sesungguhnya...."
"Engkau sudah tahu berapa
usiaku?" tanya Bu Ceng Sianli.
"Ya." Ngo Tok Kauwcu
mengangguk. "Adik Bun Yang memberitahukan kepadaku, maka akui tahu usia
Sianli."
"Ling Cu!" Lim Peng
Hang menatapnya. "Engkau sudah tahu tentang kejadian Bun Yang?"
"Tidak begitu jelas,
justru itu aku ke ingin bertanya tentang Adik Bun Yang," ujar Ngo Tok
Kauwcu. "Aku menerima berita bahwa Adik Bun Yang terjun ke jurang, dan
mati di dasar jurang itu. Benarkah berita itu?"
"Benar." Lim Peng
Hang manggut-manggut
"Haaah? Adik
Bun Yang...." Ngo
Tok Kauwcu pingsan
seketika.
Bu Ceng Sianli segera mengurut
urat di lehernya, berselang sesaat barulah Ngo Tok Kauwcu tersadar dari
pingsannya.
"Adik Bun Yang? Adik Bun
Yang...!" ucap Ngo Tok Kauwcu memanggil nama pemuda tersebut. "Adik
Bun Yang...!"
"Tenanglah Ling Cu!"
ujar Bu Ceng Sianli
"Sianli," tanya Ngo
Tok Kauwcu. "Di mana makamnya?"
"Tidak ada
makamnya," sahut Bu Ceng Sianli sambil menggeleng-gelengkan kepala dan
menambahkan, "Dia mati di dasar jurang.''
"Dia dimakamkan di dasar
jurang itu?"
"Ling Cu!" Bu Ceng
Sianli menghela nafas panjang. "Kami tidak berhasil menemukan
mayatnya."
"Apa?" Wajah Ngo Tok
Kauwcu pucat pula "Dia mati tanpa kuburan?"
"Kira-kira
begitulah," sahut Bu Ceng Sianli dan melanjutkan, "Tapi kami justru
tidak habis pikir tentang itu."
"Maksud Sianli?" Ngo
Tok Kauwcu heran.
"Kalau dia mati di dasar
jurang itu, tentunya ada mayatnya," ujar Bu Ceng Sianli. "Kami
berjumlah puluhan orang telah memeriksa jurang itu, tapi tidak mememukan mayat
Bun Yang maupun mayat Goat Nio."
"Mungkinkah mayat mereka
telah digondol binatang buas?" tanya Ngo Tok Kauwcu.
"Tidak mungkin,"
Jawab Lim Peng Hang. "Sebab di dasar jurang itu tiada jejak binatang buas,
berarti tiada binatang buas di sana."
"Kalau begitu...."
Wajah Ngo Tok Kauwcu tampak berseri.
"Mungkin Adik Bun Yang
masih hidup."
"Kami pun menduga begitu,
dan itu yang kita harapkan," sahut Lim Peng Hang. "Kami berharap Bun
Yang dan Goat Nio akan muncul di sini, namun sudah sekian lama kami menunggu,
mereka berdua tak pernah muncul."
"Aaaah...!" keluh
Ngo Tok Kauwcu. "Tidak mungkin Adik Bun Yang akan mati dengan cara begitu.
Tidak mungkin."
-oo0dw0oo-
Bagian ke tujuh puluh lima
Menteri Ma tewas
Di saat Lim Peng Hang, Gouw
Han Tiong, Bu Ceng Sianli dan Ngo Tok Kauwcu sedang membicarakan masalah Tio
Bun Yang dengan serius muncul Cian Chiu Lo Kay dan melapor.
"Pangcu, di luar ada seorang
gadis ingin bertemu Bun Yang."
"Oh?" Lim Peng Hang
tertegun. "Siapa gadis itu?"
"Gadis itu bernama Ma
Giok Ceng. Dia bilang kenal baik dengan Bun Yang." Cian Chiu Lo Ka
memberitahukan. "Bahkan katanya Bun Yang pernah berpesan, apabila ada
urusan penting, dia boleh ke mari mencari Bun Yang."
"Kakek Lim!" Ngo Tok
Kauwcu membertahukan. "Aku kenal dia, sebab Adik Bun Yang pernah
membawanya ke markasku!"
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggu "Lo Kay, cepat suruh dia masuk!"
"Ya, Pangcu." Cian
Chiu Lo Kay segera keluar.
Tak seberapa lama kemudian,
tampak seorang gadis melangkah ke dalam dengan wajah duka. Ketika melihat Ngo
Tok Kauwcu, gadis itu langsung memanggilnya sambil menangis.
"Kakak Ling Cu!"
Gadis itu memang Ma Giok Ceng, putri Menteri Ma. "Kakak Ling Cu...."
"Adik Giok Ceng!"
sahut Ngo Tok Kauwcu sambil bangkit berdiri.
"Kakak Ling Cu!..."
Ma Giok Ceng mendekap di dada Ngo Tok Kauwcu. "Kakak Ling Cu...."
"Ada apa?" tanya Ngo
Tok Kauwcu sambil membelainya. "Kenapa engkau menangis? Apa yang telah
terjadi?"
"Kakak Ling Cu, Ayahku...
ayahku sudah meninggal," sahut Ma Giok Ceng dengan air mata
berderai-derai.
"Apa?" Ngo To Kauwcu
terperanjat. "Tenanglah! Mari kuperkenalkan, mereka adalah ketua dan Tetua
Kay Pang serta Bu Ceng Sianli."
Ma Giok Ceng segera memberi
hormat kepada mereka, lalu memandang Bu Ceng Sianli teraya berkata.
"Kakak Sianli sungguh
cantik, aku yakin kakak Bun Yang pasti suka kepadamu."
"Giok Ceng!" Bu Ceng
Sianli tersenyum getir. ”Kami boleh dikatakan sebagai kakak beradik."
"Oh?" Ma Giok Ceng
menghela nafas panjang. ”Dia pun menganggapku sebagai adiknya."
Bu Ceng Sianli
manggut-manggut, sedangkan Lim Peng Hang terus memandangnya dengan mala tak
berkedip.
"Nona Ma, sebetulnya
siapa engkau dan cara Bagaimana engkau berkenalan dengan Bun Yang?" tanya
Lim Peng Hang.
"Ayahku adalah Menteri
Ma." Ma Giok Ceng memberitahukan. "Pada waktu itu aku minggat dari
rumah, di tengah jalan bertemu para penjahat, untung muncul Kakak Bun Yang
menolongku."
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggut.
"Adik Giok Ceng!"
Ngo Tok Kauwcu memandangnya seraya bertanya, "Bagaimana ayahmu mati?"
"Dibunuh para
penjahat," jawab Ma Giok Ceng dan menutur. "Malam itu ketika aku baru
mau tidur, mendadak aku mendengar suara yangl mencurigakan. Aku segera bangun
dan keluar dari kamarku, aku melihat belasan orang berendap endap menuju kamar
ayahku, yang semuanya ber senjata. Aku langsung membentak, maksudku agar mereka
kabur, tapi mereka malah menyerangku Beberapa di antaranya mendobrak pintu
kamar ayahku, dan tak lama terdengarlah suara jeritan ayahku. Aku menerobos
masuk ke dalam kamal Ayahku sudah tergeletak bermandikan darah, tapi masih
sempat berseru menyuruhku kabur, bahkan juga memberitahukan bahwa para pembunuh
itu adalah anak buah menteri Bun, saingan berat ayahku."
"Aaaah...!" Ngo Tok
Kauwcu menghela nafas panjang. "Itu sungguh tak disangka sama sekali”
"Untung kakak Bun Yang
pernah mengajar ilmu silat tingkat tinggi, maka aku berhasil meloloskan
diri," ujar Ma Giok Ceng melanjutkan
"Ialu aku langsung ke
mari, tak terduga kakak Iing Cu juga berada di sini."
"Maksudmu mau tinggal di
sini?" tanya Ngo tok Kauwcu.
"Ayahku telah mati
dibunuh, aku... aku tidak punya tempat tinggal," sahut Ma Giok Ceng
terisak-isak. "Karena itu, aku ke mari mencari kakak Hun Yang."
"Kenapa engkau tidak
langsung ke markasku'.'" tanya Ngo Tok Kauwcu.
"Markas kakak berada di
kota Kang Shi, sangat jauh sekali," ujar Ma Giok Ceng. "Lagi pula
kakak Bun Yang pernah berpesan, apabila ada urusan penting, aku boleh ke mari mencarinya.
"Nona Ma...." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Jadi engkau
masih belum tahu apa yang telah terjadi atas diri Bun Yang?"
"Haah?" Wajah Ma
Giok Ceng langsung memucat. "Apa yang telah terjadi atas dirinya?"
'Dia terjun ke
jurang...." Lim Peng Hang menutur tentang
kejadian itu dan
menambahkan,”Hlingga kini kami masih tidak tahu pasti dia masih hidup atau
sudah mati."
"Kakak Bun Yang...."
Mendengar itu, Ma Giok Ceng nyaris
pingsan, kemudian menangis
"Kenapa Kakak Bun Yang begitu bodoh? Aaaah? Kenapa dia membunuh diri
dengan cara terjun ke jurang?"
"Cinta," sahut Bu
Ceng Sianli. "Dia berbuat begitu karena cinta."
"Tapi...." Air mata
Ma Giok Ceng berderai-derai. "Kalaupun
cinta, seharusnya tidak perlu
begitu nekat membunuh diri. Sungguh bodoh kakak Bun Yang! Aaaah...!"
"Giok Ceng!" Bu Ceng
Sianli menatapnya "Engkau pernah jatuh cinta?"
"Pernah." Ma Giok
Ceng mengangguk.
"Jatuh cinta pada
siapa?" tanya Bu Ceng Sianli.
"Kakak Bun Yang,"
jawab Ma Giok Cenj jujur. "Pertama kali melihatnya, aku langsung jatuh
cinta kepadanya. Tapi dia memberitahukan kepadaku, bahwa dia sudah punya
kekasih. Betapa sedih dan kecewanya hatiku, namun aku tidak punya pikiran untuk
membunuh diri."
"Seandainya Bun Yang juga
mencintaimu, hubungan kalian sudah sekian lama, lalu mendadajk Bun Yang jatuh
ke jurang. Nah, bagaimana engkau?" tanya Bu Ceng Sianli mendadak.
"Aku... akan ikut
mati," sahut Ma Giok Ceng sambil menundukkan kepala.
"Begitu pula Bun Yang,
dia rela mati bersama kekasihnya itu." ujar Bu Ceng Sianli.
"Sungguh bahagia sekali
Goat Nio! Sedangkan aku...." Ma
Giok Ceng mulai menangis sedih
lagi
"Adik Giok Ceng!"
Ngo Tok Kauwcu tersenyum. "Aku pun pernah jatuh cinta kepada Adik Bun
Yang, bahkan dia pula yang menyembuhkan mukaku. Tapi setelah tahu dia punya
kekasih, aku menjaga diri dari jarak. Sebab dia adalah pemuda baik, aku tidak
sampai hati merusaknya. Karena Itu, aku menganggapnya sebagai adik."
"Aaaah...!" Ma Giok
Ceng menghela nafas panjang.
"Hi hi hi!" Mendadak
Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Sebelum bertemu Adik Bun Yang, aku
malah bertemu Goat Nio. Tapi pada waktu itu aku tidak tahu gadis itu adalah
kekasihnya. Kemudian aku
bertemu Adik Bun Yang dan seperti kalian, aku pun jatuh cinta kepadanya. Tapi
di saat aku ingat akan usiaku, maka aku tersadar. oleh karena itu, aku pun
menganggapnya sebagai adik."
"Kakak baru berusia dua
puluhan?" Ma Giok Ceng menatapnya heran. "Kenapa barusan mengatakan
begitu?"
"Giok Ceng!" Bu Ceng
Sianli tersenyum. "Sesungguhnya usiaku sudah hampir sembilan puluh."
"Hah? Apa?" Ma Giok
Ceng terbelalak. "Kakak kok bergurau sih?"
"Adik Giok Ceng!"
Ngo Tok Kauwcu memberitahukan. "Bu Ceng Sianli, tidak bergurau, umurnya
memang sudah hampir sembilan puluh...."
Ngo Tok Kauwcu menjelaskan
mengenai apa yang dialami Bu Ceng Sianli, Ma Giok Ceng mendengar dengan mulut
ternganga lebar.
"Karena itu..."
sambung Bu Ceng Sianli. "Aku pun kembali muda dan itu sungguh merupakan
suatu kemujizatan alam."
"Oooh!" Ma Giok Ceng
manggut-manggut "Kakak sungguh beruntung!"
"Nona Ma'" Lim Peng
Hang menatapnya sambil bertanya. "Apa rencanamu selanjutnya?"
"Entahlah." Ma Giok
Ceng menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu."
"Adik Giok Ceng,"
usul Ngo Tok Kauwcu "Bagaimana kalau engkau ikut aku? Markasku sangat aman
bagi dirimu."
"Terimakasih, Kakak Ling Cu! Tapi...." Ma Giok Ceng
mengerutkan kening.
"Kenapa?" Ngo Tok
Kauwcu menatapnya. "Engkau tidak mau tinggal di markasku?"
"Kakak Ling Cu, aku ingin
balas dendam” sahut Ma Giok Ceng sungguh-sungguh.
"Itu sulit bagimu...."
Ngo Tok Kauwcu. "Adik Giok Ceng,
aku harap engkau jangan cari
mati” "Kakak Ling Cu, aku...."
"Aku punya usul,"
ujar Ngo Tok Kauwcu mendadak. "Mungkin engkau akan menerima usu! ku."
"Apa usulmu, kakak Ling
Cu?"
"Adik Bun Yang dan aku
kenal baik dengan Lie Tsu Seng. Kalau engkau ingin balas dendam terhadap
menteri Bun, engkau harus bergabung dengan Lie Tsu Seng. Kita ke markasnya dan
memberitahukan tentang kejadian Adik Bun Yang kepada Bibi Suan Hiang serta yang
lain."
"Baik." Ma Giok Ceng
mengangguk. "Aku bersedia bergabung dengan Lie Tsu Seng."
"Kapan kalian akan
berangkat ke markas Lie Isu Seng?" tanya Lim Peng Hang.
"Sekarang," jawab
Ngo Tok Kauwcu. "Sebab kami harus segera memberitahukan pada mereka
tentang kejadian Adik Bun Yang."
"Baiklah." Lim Peng
Hang manggut-manggut.
"Ling Cu!" Bu Ceng
Sianli memandangnya seraya bertanya, "Engkau tahu berada di mana markas
Lie Tsu Seng?"
"Kalau tidak salah,
markas Lie Tsu Seng berada di pinggir kota Lam An. Ya kan?" sahut Ngo Tok
Kauwcu.
"Betul." Bu Ceng
Sianli mengangguk.
"Kakek Lim, Kakek Gouw,
Sianli!" Ngo Tok Kauwcu bangkit dari duduknya. "Kami mohon
pamit."
"Baiklah." Lim Peng
Hang mengangguk. "Selamat jalan!"
Ma Giok Ceng juga berpamit
kepada mereka, lalu mengikuti Ngo Tok Kauwcu meninggalkan markas pusat Kay
Pang.
"Aaaah...!" Lim Peng
Hang menggeleng-geleng kepala. "Tidak disangka begitu banyak gadis jatuh
cinta pada Bun Yang, untung Bun Yang tidak mata keranjang! Tapi kini
dia...."
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan., "Kalau aku tidak berpikir panjang, tentunya
Adik Bun Yang sudah berada dalam pelukanku!"
"Sianli...." Gouw
Han Tiong terbelalak.
"Justru Adik Bun Yang
adalah pemuda baik dan berhati bajik, maka aku sangat menyayanginya, sehingga
membuat aku berpikir panjang pula," ujar Bu Ceng Sianli sambil menghela
nafas panjang. "Ketika Adik Bun Yang terjun ke jurang; aku pun ingin ikut
terjun. Untung Si Pincang itu keburu mencegahku, kalau tidak, kini aku pun
sudah mati di dasar jurang itu."
"Terimakasih,
Sianli!" ucap Lim Peng Hang "Sianli begitu baik terhadap
cucuku."
"Aaaah...!" Bu Ceng
Sianli menghela nafas panjang. "Aku kagum dan salut kepada Adik Bun Yang,
dia begitu setia terhadap Goat Nio. Walau berada di belakang gadis itu, dia
sama sekali tidak menyeleweng padahal begitu banyak gadis cantik mencintainya.
Itu yang membuatku kagum dan salut kepadanya."
"Tapi sayang
sekali." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Kini Bun Yang
sudah tiada."
"Mudah-mudahan dia dan
Goat Nio masih hidup!" ucap Bu Ceng Sianli ambil bangkit dari tempat
duduknya. "Maaf, aku mohon pamit!"
"Sianli...." Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
memandangnya, mereka berdua
ingin menahannya tapi tidak berani membuka mulut.
"Sampai jumpa!" ucap
Bu Ceng Sianli lalu melesat pergi.
Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong saling memandang, kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela
nafas panjang.
"Seharusnya julukannya
diganti...." Ujar Lim Teng Hang.
"Benar." Gouw Han
Tiong manggut-manggut. "Harus diganti dengan Toh Ceng Sianli (Bidadari
Kelebihan Perasaan)."
"Aku tidak
menyangka...." Lim Peng Hang
menggeleng-
gelengkan kepala. "Begitu
banyak gadis jatuh cinta kepada Bun Yang."
"Aaaah...!" Gouw Han
Tiong menghela nafas panjang. "Kita tidak tahu Bun Yang sudah mati ataukah
masih hidup."
-oo0dw0oo-
Jilid : 16
Di saat Lim Feng Hang dan Gnuw
Han Tiong bercakap-cakap sambil menghela nafas panjang, tiba-tiba berkelebat
sosok bayangan ke dalam, lalu berdiri di hadapan mereka.
"Siapa?" bentak Lim
Peng Hang terkejut.
"Maaf!" sahut pendatang
itu sambil memberi hormat. Ternyata dia masih muda, berusia dua puluh limaan.
"Kedatanganku telah menggangu ketenangan Lim Pangcu dan Couw
Tiangio."
"Siapa engkau?"
tanya Lim Peng Hang sambil menatapnya tajam.
"Aku adalah Kim Coa Long
Kun (Pendekar Pdang Ular Emas), kawan baik Tio Bun Yang."
"'Haah?" Bukan main
terkejutnya Lim Peng Uang dan Gouw Han Tiong. "Silahkan duduk!"
"Terimakasih!" ucap
Kim Coa Long Kun sambil duduk.
"Bun Yang telah
menceritakan tentang dirimu," ujar Lim Peng Hang. "Tak disangka
engkau ke mari hari ini."
"Lim Pangcu!" Kim
Coa Long Kun menatapnya seraya berkata, "Bun yang boleh dikatakan sebagai
adikku. Dia telah memberitahukan kepadaku tentang apa yang dialaminya."
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggut.|
"Belum lama ini..."
ujar Kim Coa Long Kun dengan kening berkerut-kerut. "Aku mendengar suatu
kabar yang sangat mengejutkan, yakni Adik Bun yang terjun ke jurang. Betulkah
itu?"
"Betul." Lim Peng
Hang mengangguk.
"Aaah...!" keluh Kim
Coa Long Kun. "Kenapa dia begitu bodoh? Aku pun mendengar bahwa kekasihnya
jatuh ke jurang itu, maka dia...."
"Tidak salah." Lim
Peng Hang manggut-mang- gut, kemudian menutur sejelas-jelasnya mengenai
kejadian itu.
"Adik Bun Yang...." Kim Coa Long Kun menggeleng-
gelengkan kepala. "Jadi
dia berhasil mem bunuh ketua Kui Bin Pang?"
"Ya." Lim Peng Hang
menghela nafas pan jang. "Cinta! Karena cinta dia terjun ke jurang
itu."
"Apakah Lim Pangcu dan
lainnya sudah turun ke dasar jurang itu?"
"Kami berjumlah puluhan
orang telah turun ke dasar jurang itu, tapi tidak menemukan mayat Bun Yang
maupun mayat Goat Nio."
"Kalau begitu...."
Kim Coa Long Kun mengerutkan kening.
"Itu masih merupakan teka
teki. Bun Yang dan Goat Nio masih hidup, atau mati, justru tidak bisa
dipastikan. Ya, kan?"
"Ya." Lim Peng Hang
mengangguk.
"Mudah-mudahan Adik Bun
Yang masih hidup, dia kawanku satu-satunya! Aku cocok dengannya..." ujar
Kim Coa Long Kun sambil menghela nafas panjang dan menambahkan, "Dia
pemuda baik, gagah dan berhati bajik."
"Oh ya!" Lim Peng
Hang teringat sesuatu dan segeralah bertanya, "Engkau telah berhasil
menyelidiki musuh-musuhmu?"
"Belum." Kim Coa
Long Kun mengelengkan kepala. "Adik Bun Yang yang memberitahu kepada Lim
Pangcu?"
"Ng!" Lim Peng Hang
mengangguk. "Kim Coa I ong Kun, kami pihak Kay Pang bersedia membantumu
menyelidiki musuh-musuhmu itu."
"Terimakasih, Lim
Pangcu!" ucap Kim Coa Long Kun. "Tapi bukankah akan merepotkan pihak
Kay Pang?"
"Tentu tidak," sahut
Lim Peng Hang. "Engkau kawan baik Bun Yang, sudah barang tentu kami harus
membantumu."
"Terimakasih, Lim
Pangcu!" Kim Coa Long Kun langsung memberi hormat.
"Tapi...." Gouw Han
Tiong memandangnya seraya berkata,
"Kami harus tahu
bagaimana ciri- ciri musuh-musuhmu itu."
"Mereka berlima memakai
topeng dan meng gunakan pedang, namun aku yakin mereka berlima adalah saudara
kandung," ujar Kim Coa Long Kun. "Karena mereka saling memanggil
kakak dan adik."
"Kalau begitu...."
Gouw Han Tiong manggut- manggut. "Itu
tidak begitu sulit diselidiki.
Mereka memakai topeng agar wajah mereka tidak dikenali. Maka aku berkesimpulan
bahwa
mereka bukan penjahat,
melainkan berasal dari perguruan atau keluarga yang terkenal."
"Terimakasih atas
petunjuk Gouw Tianglo!" ucap Kim Coa Long Kun dengan wajah berseri.
"Selama ini aku tidak memikirkan tentang ini, terimakasih!"
"Kim Coa Long Kun!"
Gouw Han Tiong tertawa. "Dalam hal ini, kami pasti membantumu!"
"Terimakasih,
terimakasih!" Kim Coa Long Kun bangkit dari duduknya. "Maaf, Lim
Pangcu dan Gouw Tianglo, aku mohon pamit, sampai jumpa!"
Kim Coa Long Kun langsung
melesat pergi. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang, kemudian Lim
Peng Hang berkata.
"Ternyata Kim Coa Long
Kun bukan penjahat. Kelihatannya dia pun sangat setia kawan."
"Kita harus membantunya
menyelidiki musuh- musuhnya itu," sahut Gouw Han Tiong. "Kita mencari
lima bersaudara dari keluarga persilatan."
"Sementara ini kita belum
bisa membantunya...." Lim Peng
Hang menghela nafas panjang.
"Sebab aku masih terkenang Bun Yang."
"Aaaah...!" keluh
Gouw Han Tiong. "Bun Yang dan Goat Nio...."
-oo0dw0oo-
Di tepi jurang di Tebing
Selaksa Bunga, tampak sosok bayangan berdiri tak bergerak sama sekali, ternyata
Bu Ceng Sianli.
"Adik Bun Yang...."
gumamnya dengan air mala meleleh.
"Aku tidak
menyangka engkau akan
berakhir dengan cara
begitu. Adik Bun Yang,
sebetulnya engkau masih hidup atau sudah mati?"
Bu Ceng Sianli terisak-isak.
Ia kelihatan sedih sekali dan kemudian bergumam lagi.
"Engkau adalah pemuda
yang amat setia pada cinta, boleh dikatakan tiada duanya di dunia. Aku bangga
sekali, karena engkau mau mengaku diriku sebagai kakakmu. Aku sungguh bangga
sekali!" Bu Ceng Sianli terus bergumam. "Tapi kini... engkau sudah
tiada, tidak mungkin engkau masih hidup."
Di saat bersamaan, terdengar
suara langkah yang sangat ringan mendatangi tepi jurang itu. Segeralah ia
melesat ke belakang pohon.
Muncul seorang pemuda berwajah
dingin, yang tidak lain Kim Coa Long Kun. Sungguh di luar dugaan, Pendekar
Pedang Ular Emas itu pun datang di Tebing Selaksa Bunga. Ia berdiri di tepi
jurang, matanya memandang ke bawah sambil bergumam.
"Aaaah...! Sedemikian
dalam jurang ini, bagaimana mungkin Adik Bun Yang bisa hidup?" Mata Kim
Coa Long Kun mulai basah. "Adik Bun Yang, kita adalah sahabat juga boleh
dikatakan sebagai saudara. Aku justru tidak menyangka engkau akan terjun ke
jurang ini. Engkau... engkau sungguh setia pada kekasihmu! Aku... aku kagum
kepadamu."
Bu Ceng Sianli yang
bersembunyi di belakang pohon, terheran-heran mendengar gumaman pemuda itu,
karena ia tidak kenal Kim Coa Long Kun.
"Adik Bun Yang..."
gumam Kim Coa Long Kun lagi. "Kita bertemu cuma dua kali. namun rasa
solidaritas kita sudah dalam sekali. Oleh karena itu, aku harus berkabung
untukmu. Caraku berkabung yakni membunuh seratus penjahat rim ba persilatan,
dikarenakan engkau dan Goat Nio mati gara-gara perbuatan penjahat."
Mendadak Kim Coa Long Kun
membentak ambil menoleh ke arah pohon tempat Bu Ceng Sianli bersembunyi.
"Siapa di situ?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan .ambil memunculkan diri. "Hei! Anak muda, cukup
tajam pendengaranmu!"
"Eh?" Kim Coa Long
Kun tertegun ketika melihat seorang gadis keluar dari balik pohon. "Siapa
engkau? Kenapa bersembunyi di situ?"
"Aku adalah Bu Ceng
Sianli, aku datang duluan. Karena mendengar suara langkah, maka aku segera
bersembunyi di balik pohon itu."
"Bu Ceng Sianli..."
gumam Kim Coa Long Kun. "Rasanya aku pernah mendengar julukan- in u."
"Oh, ya?" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan lagi. "Hi hi hi! Anak muda, beritahukanlah
julukanmu!"
"Julukanku adalah Kim Coa
Long kun."
"Oooh!" Bu Ceng
Sianli manggut-manggut. "Ternyata aku berhadapan dengan Pendekar Pedang
Ular Emas yang sadis."
"Nona!" Kim Coa Long
Kun menatapnya dingin. "Kenapa engkau berada di sini? Punya hubungan
dengan Bun Yang?"
"Kalau tidak, bagaimana
mungkin aku berada tli sini?" sahut Bu Ceng Sianli.
"Hm!" dengus Kim Coa
Long Kun. "Adik Bun Yang sudah mati bersama kekasihnya, percuma engkau
terus berada di sini."
"Lho?" Bu Ceng
Sianli tertawa. "Memangnya kenapa aku tidak boleh berada di sini? Hanyi
engkau yang boleh berada di sini?"
"Aku adalah sahabatnya,
lagi pula kami sudah mengangkat saudara."
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan "Kim Coa Long Kun, tidak baik engkau ber
bohong."
"Siapa yang
berbohong?" Wajah Kim Cos Long Kun berubah dingin sekali. "Kalau aku
tidah ingat engkau punya hubungan dengan Adik Bun Yang, lehermu sudah
kuputuskan dengan pedang ku!"
"Wuaaah!" Bu Ceng
Sianli tertawa. "Engkau sungguh sadis, belum apa-apa sudah mau pengga
kepalaku!"
"Siapa suruh engkau omong
sembarangan?" bentak Kim Coa Long kun. "Sekali lagi engkau omong yang
bukan-bukan, sekali cabut pedangku, kepalamu pasti terpental!"
"Oh, ya?" Bu Ceng
Sianli menatapnya. "Tadi aku telah mendengar gumamanmu, maka aku bilang
engkau berbohong. Karena engkau dan Bun Yang belum mengangkat saudara."
"Engkau...." Wajah
Kim Coa Long Kun ke merah-merahan.
"Beritahukan, ada
hubungan apa engkau dengan Adik Bun Yang?"
"Hubungan Kakak
adik."
"Apa? Hubungan kakak
adik?"
"Ya." Bu Ceng Sianli
mengangguk. "Aku menganggapnya sebagai adik, dan dia menganggapku sebagai
kakak. Nah, bukankah hubungan kami adalah hubunggn kakak adik?"
"Bagaimana mungkin?"
ujar Kim Coa Long Kun. "Engkau masih muda dan sangat cantik pula, tidak
mungkin engkau tidak mencintainya."
"Terimakasih atas
pujianmu!" ucap Bu Ceng Sianli sambil menghela nafas panjang. "Ketika
pertama kali bertemu dia,
aku memang jatuh cinta
kepadanya. Kemudian dia memberitahukan kepadaku bahwa dia sudah punya
kekasih."
"Tentunya membuatmu
kecewa sekali." ujar Kim Coa Long Kun dan menambahkan, "Adik IJun
Yang benar, dia harus berterus terang kepadamu."
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan. "Bun Yang adalah pemuda baik dan berhati bajik,
maka aku pun harus tahu diri dan ingat akan usiaku."
"Usiamu?" Kim Coa
Long Kun menatapnya. "Bukankah usiamu baru dua puluhan?"
"Kalau aku beritahukan,
mungkin engkau tidak akan percaya," ujar Bu Ceng Sianli melanjutkan,
"Sesungguhnya usiaku sudah mendekati kepala sembilan."
"Mendekati kepala
sembilan?" Kim Coa Long kun terbelalak. "Maksudmu mendekati usia
sembilan puluh?"
"Ya." Bu Ceng Sianli
mengangguk.
"Itu bagaimana
mungkin?" Kim Coa Long Kun tidak percaya.
"Aku tidak bohong,"
ujar Bu Ceng Sianli, lalu menutur tentang apa yang dialaminya.
Kim Coa Long Kun mendengarkan
dengan mulut ternganga lebar, kelihatannya ia masih kurang percaya.
"Sungguhkah itu?"
tanyanya.
"Percuma aku
bohong," sahut Bu Ceng Sianli, kemudian menghela nafas panjang. "Aku
ke maii untuk mengenangnya."
"Oh ya!" Kim Coa
Long Kun teringat sesuatu "Sianli, bagaimana menurutmu mengenai kejadian
Adik Bun Yang?"
"Maksudmu?"
"Maksudku Bun Yang dan
Goat Nio sudah mati atau masih hidup?"
"Itu memang suatu teka
teki," sahut Bu Ceng Sianli sambil mengerutkan kening. "Sebab kami
tidak menemukan mayat Bun Yang maupun Goal Nio!"
"Aku sudah dengar dari
Lim Pangcu," ujai Kim Coa Long Kun menambahkan. "Itu memang
membingungkan. Namun kalau Bun Yang masih hidup, tentunya dia sudah ke markas
pusat Kay Pang."
"Kami memang merasa tidak
habis pikir...." Bu Ceng Sianli
menggeleng-geleng kepala.
"Hm!" dengus Kim Coa
Long Kun dingin "Aku bersumpah akan membunuh seratus penjahat."
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan "Aku setuju."
"Baiklah!" Kim Coa
Long Kun memberi hormat, lalu mendadak melesat pergi.
Bu Ceng Sianli terus tertawa.
"Bagus, bagus! Kim Coa Long Kun akan membantai seratus penjahat...!"
Bu Ceng Sianli melesat pergi.
Apa yang dikatakan Kim Coa Long Kun memang dilaksanakannya. Dia membantai
seratus penjahat. Hal itu membuat namanya sangat ditakuti para penjahat! Tapi
setelah itu, ia pun menghilang entah ke mana, sama sekali tiada kabar beritanya
lagi.
-oo0dw0oo-
Bagian ke tujuh puluh enam
Utusan Manchuria
Ngo Tok Kauwcu dan Ma Giok
Ceng telah tiba di markas Lie Tsu Seng. Betapa gembiranya Yo Suan Hiang, Tan
Giok Lan, Lie Tsu Seng dan lainnya menyambut kedatangan keduanya. Tapi ketika
menyaksikan wajah mereka berdua, Yo Suan Hiang dan Tan Giok Lan tersentak,
sebah wajah Ngo Tok Kauwcu dan Ma Giok Ceng tampak murung sekali.
"Bibi Suan Hiang!"
panggil Ngo Tok Kauwcu sekaligus memberi hormat pada mereka, lalu
memperkenalkan mereka pula. "Ini Ma Giok Ceng, putri kesayangan Menteri
Ma."
"Hah?" Yo Suan Hiang
terbelalak. "Gadis ini putri kesayangan Menteri Ma?"
"Betul." Ngo Tok
Kauwcu mengangguk, sedangkan Ma Giok Ceng segera memberi hormat pada mereka.
"Ayahku sudah
tewas." Ma Giok Ceng memberitahukan sambil terisak-isak, kemudian
menuturku tentang kejadian itu.
Yo Suan Hiang menghela nafas
panjang. "Jadi kini Menteri Bun yang berkuasa di istana?"
"Ya!" Ma Giok Ceng
mengangguk. "Sebetulnya ayahku sangat jahat, tapi setelah bertemu kakak
Bun Yang, ayahku tidak begitu mencampuri urusan istana lagi. Tapi... malah dibunuh
oleh anak buah Menteri Bun."
"Engkau kenal Bun
Yang?" tanya Tan Giok Lan.
Ma Giok Ceng mengangguk.
"Dia yang menolong aku." "Oooh!" Tan Giok Lam
manggut-manggut.
Sementara Lie Tsu Seng diam
saja. Beberapa saat kemudian baru dia membuka mulut.
"Bagaimana Bun Yang? Dia
baik-baik saja dan sudah berkumpul dengan Goat Nio?"
"Dia memang sudah
berkumpul dengan Goat Nio," ujar Ma Giok Ceng sambil menangis.
"Aku... aku sedih sekali."
"Giok Ceng!" Yo Suan
Hiang tersenyum. "Engkau mencintai Bun Yang?"
"Aku memang mencintainya,
tapi begitu tahu dia sudah punya kekasih, maka aku menganggapnya sebagai
kakak," jawab Ma Giok Ceng dengan air mata berderai-derai.
"Kalau begitu, seharusnya
engkau bergembira karena mereka berdua sudah berkumpul kembali." ujar Yo
Suan Hiang. "Tapi, kenapa engkau bersedih?"
Ma Giok Ceng terisak-isak
sedih. "Kakak Bun Yang dan Goat Nio berkumpul di alam baka..."
ujarnya menjelaskan.
Betapa terkejutnya Yo Suan
Hiang, Tan Giok Lan dan lainnya. "Maksudmu mereka sudah mati?"
Ma Giok Ceng mengangguk dengan
air mata bercucuran.
"Bun Yang...," Yo
Suan Hiang nyaris pingsan. Begitu pula Tan Giok Lan. Gadis itu pun nyaris
pingsan seketika.
"Ling Cu," Yo Suan
Hiang memandangnya dengan air mata meleleh. "Engkau tahu jelas tentang
itu?"
Ngo Tok Kauwcu mengangguk,
lalu menutui sejelas-jelasnya tentang kejadian tersebut.
"Maka kami datang untuk
memberitahukan,' tambah Ma Giok Ceng dengan air mata berlinang^ linang.
"Aaaah...," Yo Suan
Hiang menghela nafas panjang. "Ini sungguh di luar dugaan!" ,
"Mayat Adik Bun Yang
tidak diketemukan mungkinkah Adik Bun Yang belum mati?" gumam Tan Giok
Lan.
"Semula pihak Kay Pang,
Pulau Hong Hoang To, dan pihak Tayli juga berpendapat begitu Tapi...," Ngo
Tok Kauwcu menggeleng-geleng kepala. "Bun Yang dan Goat Nio tidak muncul,
itu membuat mereka jadi putus harapan."
"Adik Bun Yang...,"
Tan Giok Lan menangis sedih. "Aku tidak percaya! Aku tidak percaya Adik
Bun Yang sudah mati! Aku tidak percaya!"
Karena Tan Giok Lan mulai
menangis sedih, membuat Yo Suan Hiang, Ngo Tok Kauwcu, dan Ma Giok Ceng pun
ikut menangis.
Sementara Lie Tsu Seng diam
saja. Hanya sepasang matanya telah basah dan dia terus- menerus menghela nafas
panjang.
Berselang beberapa saat
kemudian, barulah reda isak tangis itu. Lie Tsu Seng berkata.
"Kami semua turut berduka
cita. Bun Yang adalah pemuda baik, gagah, dan berhati bajik. Tak disangka akan
mengalami nasib itu."
"Tapi...." ujar Tan
Ju Liang mendadak, "Menurut aku, Bun
Yang masih hidup. Dia tidak
mungkin berumur pendek begitu. Lagipula tidak ditemukan mayatnya."
"Tapi sudah sekian lama
dia tidak kembali ke markas Pusat Kay Pang, itu pertanda dia sudah iiada,"
ujar Ngo Tok Kauwcu sambil menggeleng- gelengkan kepala dan melanjutkan,
"Kalaupun mengalami luka parah, tentunya dia sudah kembali ke markas Pusat
Kay Pang!"
"Mungkin lukanya itu
belum sembuh," sahut Tan Ju Liang. "Mudah-mudahan!" ucap Yo Suan
Hiang, kemudian memandang Ma Giok Ceng seraya bertanya. "Giok Ceng, apa
rencanamu sekarang?"
"Ayahku sudah tewas, maka
aku ingin bergabung saja di sini," jawab Ma Giok Ceng sungguh-sungguh.
"Oh?" Yo Suan Hiang
menatapnya dalam- dalam. "Engkau adalah putri almarhum Menteri Ma,
bagaimana mungkin engkau bergabung dengan kami yang dicap sebagai
pemberontak?"
"Aku ingin balas dendam!"
ujar Ma Giok ("eng. "Karena itu, aku harus bergabung di sini."
"Bagus, bagus! Ha ha
ha...!" Lie Tsu Seng tertawa gelak. "Apabila Menteri Bun dapat
ditangkap kelak, pasti kuserahkan padamu!"
"Terima kasih,
Paman," ucap Ma Giok Ceng.
"Oh ya!" Lie Tsu
Seng memandangnya. "Betulkah ayahmu mulai berubah baik setelah bertemu Bun
Yang?"
"Betul!" Ma Giok
Ceng mengangguk. "Ayahku berharap, Bun Yang memperisteriku, bahkan juga
batal bersekongkol dengan pihak Manchuria!"
"Oh?" Lie Tsu Seng
terbelalak, kemudian manggut-manggut. "Itu adalah jasa Bun Yang, tapi
akhirnya menteri Ma mati dibunuh juga."
"Itu karena ayahku
memprotes usul Menteri Bun dihadapan kaisar, maka Menteri Bun mengutus belasan
orang untuk membunuh ayahku." Ma Giok Ceng memberitahukan.
"Menteri Bun mengajukan
usul apa pada kaisar?" tanya Yo Suan Hiang.
"Sebetulnya sudah lama
ayahku merencanakan itu, tapi setelah bertemu kakak Bun Yang, rencana itu
dibatalkannya." jawab Ma Giok Ceng dan melanjutkan, "Menteri Bun
mengusulkan pada kaisar, agar bekerja sama dengan pihak Manchuria untuk
menghancurkan para pemberontak."
"Bagaimana cara
bekerjasama itu?" tanya Yo Suan Hiang.
"Menteri Bun akan
meminjam pasukan Manchuria untuk menyerang para pemberontak, karena itu ayahku
memprotes keras." jawab Ma Giok Ceng.
"Oooh!" Yo Suan
Hiang manggut-manggut. "Baiklah, engkau boleh bergabung dengan kami."
"Terima kasih,
Bibi!" Ma Giok Ceng segera memberi hormat pada semuanya yang berada di
situ.
"Adik Giok Ceng,"
ucap Ngo Tok Kauwcu. Selamat berjuang demi rakyat!"
"Terima kasih!" Ma
Giok Ceng mengangguk.
"Maaf!" ucap Ngo Tok
Kauwcu sambil bangkit berdiri. "Aku tidak bisa lama-lama di sini. Sebab
masih ada urusan lain yang harus kuselesaikan, aku mohon pamit. Sampai
jumpa!"
Mendadak Ngo Tok Kauwcu
melesat pergi, Ma Giok Ceng langsung berteriak memanggilnya.
"Kakak Ling Cu! Kakak
Ling Cu...!"
"Giok Ceng!" Yo Suan
Hiang menggeleng- geleng kepala. "Percuma engkau berteriak memanggilnya,
dia sudah jauh."
"Aaaah...," keluh Ma
Giok Ceng dengan wajah murung. "Ayahku mati dibunuh, sedangkan Kakak Bun
Yang terjun ke jurang. Goat Nio sungguh bahagia, kani dia telah berkumpul
dengan Kakak Bun Yang. Sebaliknya, kita kehilangannya."
"Tidak mungkin! Tidak
mungkin...," gumam Lie Tsu Seng mendadak. "Tidak mungkin Bun Yang
sudah mati! Itu tidak mungkin."
-oo0dw0oo-
Sementara itu, di kediaman
Menteri Bun tampak meriah dan semarak suasananya.
Terdengar pula suara tawa
gelak bernada gembira. Ternyata Menteri Bun menjamu beberapa tamu terhormat.
Mereka para utusan dari Manchuria, yaitu Kim Ih Hoat Ong (Pendeta Jubah Emas),
beliau adalah guru besar di Manchuria, kepandaiannya sudah sulit diukur lagi
berapa tingginya. Kim Ih Hoat Ong juga membawa Cap Sah Sin Eng (Tiga Belas
Elang
Sakti) yang berkepandaian
tinggi sekali, ikut pula Pancha Putra Raja Manchuria.
"Ha ha ha!" Menteri
Bun tertawa gembira. "Aku tidak sangka kalian sedemikian cepat tiba di
sini!"
"Karena Menteri Bun yang
mengundang, maka kami harus melakukan perjalanan siang malam agar cepat tiba di
sini," sahut Pancha. "Namun kami tidak tahu, bagaimana cara kerjasama
kita itu?"
"Tentunya kalian sudah
tahu, telah terjadi pemberontakan di kerajaan kami. Oleh karena itu, kami mohon
bantuan kalian," ujar Menteri Bun.
"Bagaimana kami
membantu?" tanya Pancha.
"Aku sudah berunding
dengan kaisar. Atas persetujuan kaisar, aku ingin pinjam pasukan kalian,"
jawab Menteri Bun dengan suara rendah.
"Ha ha ha!" Pancha
tertawa gelak. "Untuk apa menteri Bun ingin pinjam pasukan dari
kami?"
"Untuk menumpas para
pemberontak!" sahut menteri Bun.
"Apakah pasukan di sini
sudah begitu lemah, tidak mampu menumpas para pemberontak itu?" tanya
Pancha bernada menyindir. Hingga harus pinjam pasukan kami?"
"Perlu diketahui, para
pemberontak itu terdiri dari kaum pesilat yang berkepandaian tinggi."
"Ha ha
ha! Ha ha
ha...." Mendadak Kim
Ih Hoat Ong
tertawa gelak memekakkan
telinga. "Menteri Bun, sejak aku lahir tidak pernah memasuki daerah
Tionggoan. Namun aku sudah pernah ke Thian Tok (India), Turki, Persia, dan
Nepal. Aku terus merantau menuntut ilmu silat, tujuanku untuk mengalahkan para
jago di rimba persilatan Tionggoan. Aku harap menteri Bun \udi memberitahukan
tentang para jago itu."
"Baik!" Menteri Bun
mengangguk, kemudian memandang salah seorang pengawalnya. "Engkau
beritahukan pada Kim Ih Hoat Ong!"
Pengawal itu segera
memberitahukan. "Di rimba persilatan Tionggoan terdapat tujuh partai besar
dan satu Kay Pang (Partai Pengemis). Para ketua rata-rata berkepandaian
tinggi."
"Aku sudah tahu
itu!" Potong Kim Ih Hoat Ong. "Yang ingin kutahu adalah orang yang
berkepandaian paling tinggi masa ini, sebab kepandaian para ketua masih berada
jauh di bawah kepandaianku!"
"Yang berkepandaian
paling tinggi adalah Tio Bun Yang, putra kesayangan Pek Ih Sin Hiap Tu Cie
Hiong yang bermukim di Pulau Hong Hoan| To. Tapi belum lama ini tersiar berita,
bahw; Giok Siauw Sin Hiap Tio Bun Yang terjun kt jurang, mati atau hidupnya
merupakan suatu teki teki," Pengawal itu memberitahukan. "Di rimb;
persilatan juga telah muncul Bu Ceng Sianli, yan| kepandaiannya sangat tinggi
sekali, cantik dar masih muda."
"Oh?" Pancha tampak
tertarik sekali. "Berapa usianya?"
"Dua puluhan," sahut
pengawal itu dan mc nambahkan, "Para penghuni Pulau Hong Hoanj To
rata-rata berkepandaian tinggi sekali."
"Siapa mereka itu?"
tanya Kim Ih Hoat Ong
"Mereka adalah majikan
Pulau Hong Hoani To, Tio Cie Hiong, Lim Ceng Im, Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw
Suseng, Kou Hun Bijin dan lainnya," jawab pengawal itu. "Kepandaian
mereka sungguh tinggi sekali, namun mereka sudah tidak mencampuri urusan rimba
persilatan lagi."
"Kalau begitu, sayang
sekali!" ujar Kim Ih Hoat Ong. "Aku mau menyertai Pancha ke mari,
justru ingin mengalahkan para jago di Tionggoan ini."
"Bagaimana kalau Hoat Ong
bertanding dengan para ketua tujuh partai besar?" tanya pengawal itu
mendadak,
"Percuma." Kim Ih
Hoat Ong menggelengkan, kepala. "Aku yakin dapat mengalahkan mereka 5
dalam tiga puluh jurus."
"Apa?" Pengawal itu
terbelalak. "Hoat Ong dapat mengalahkan para ketua itu dalam tiga puluh jurus?"
"Engkau tidak
percaya?" tanya Kim Ih Hoat Ong sambil tertawa.
"Maaf!" sahut
pengawal itu. "Terus terang, aku memang kurang percaya, sebab para ketua i
itu berkepandaian tinggi."
"Siapa ketua partai Siauw
Lim?" Tanya Kim Ih Hoat Ong mendadak.
"Hui Khong Taysu."
"Seandainya engkau
bertanding melawannya, apakah engkau mampu bertahan berapa lama?"
"Mungkin cuma kuat
bertahan sampai seratus lurus."
"Ngmm!" Kim Ih Hoat
Ong manggut-manggut, kemudian berkata, "Aku tetap duduk di sini, engkau
boleh menyerang aku dengan senjata. Mari kita lihat engkau mampu bertahan
berapa jurus!"
"Tapi...." Pengawal
itu memandang menteri Bun.
"Turutilah Hoat
Ong!" ujar menteri Bun, yang memang ingin menyaksikan kepandaian Kim Ih
Hoat Ong.
"Ya." Pengawal itu
mengangguk, lalu berdiri di hadapan Kim Ih Hoat Ong, sekaligus menghunus
pedangnya. "Maaf!"
Pengawal itu langsung
menyerangnya, namun mendadak badan Kim Ih Hoat Ong meluncur ke atas, sehingga
membuat pengawal tersebut menyerang tempat kosong. Secepat kilat pedangnya
menyerang ke atas.
Kim Ih Hoat Ong tertawa,
kemudian sebelah kakinya menendang pedang itu, sekaligus mengibaskan lengan
jubahnya. Pengawal itu terdorong ke belakang beberapa langkah sedangkan Kim Ih
Hoat Ong duduk kembali di kursinya.
Betapa terkejutnya pengawal
itu. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Kim Ih Hoat Ong berkepandaian begitu
tinggi. Mendadak ia memekik keras, lalu menyerangnya dengan ilmu pedang
andalannya.
"Ha ha ha!" Kim Ih
Hoat Ong tertawa gelak, dan sekonyong-konyong badannya terangkat ke atas
bersama kursi yang didudukinya.
Ia berputar-putar ke sana ke
mari, sedangkan pengawal itu terus menyerangnya dengan jurus jurus mematikan.
Di saat itulah Kim Ih Hoat Ong membentak keras, sekaligus mengibaskan lengan
jubahnya. Seketika juga pengawal itu terpental beberapa depa dan pedangnya
sudah menjadi beberapa potong.
Bukan main terkejutnya
pengawal itu, dan metelah berdiri tegak, wajahnya pun tampak pucat pias.
"Bagaimana?" tanya
Kim Ih Hoat Ong. "Aku , cuma menggunakan tangan kosong, sedangkan engkau
menggunakan pedang. Engkau cuma mampu bertahan berapa jurus?"
"Dua puluh jurus,"
sahut pengawal itu jujur.
"Kalau aku
bersungguh-sungguh, engkau cuma mampu bertahan kurang lebih sepuluh
jurus," ujar Kim Ih Hoat Ong.
"Ya." Pengawal itu
manggut-manggut.
"Ha ha ha!" Menteri
Bun tertawa gelak. "Agar menarik perhatian para jago di rimba persilatan
Tionggoan, Hoat Ong harus mengalahkan ketua partai Siauw Lim. Sebab partai
Siauw Lim sangat terkenal."
"Betul." Kim Ih Hoat
Ong manggut-manggut. "Aku harus membuat kegemparan di rimba persilatan
Tinggoan! Ha ha ha...!"
"Oh ya!" Menteri Bun
menatapnya sambil berkata, "Hoat Ong masih tampak gagah, sebetulnya dia
berusia berapa?"
"Menteri Bun," sahut
Pancha sambil tertawa. "Hoat Ong sudah berusia seratus lebih."
"Apa?" menteri Bun
terbelalak. "Tapi Hoat Ong kelihatan seperti berusia enam puluhan."
"Ha ha ha!" Kim Ih
Hoat Ong tertawa gelak. "Menteri Bun harus tahu, sejak kecil aku sudah
belajar ilmu silat, bahkan tidak pernah menyentuh kaum wanita. Di samping itu,
aku pernah makan semacam buah langka yang menambah lweekang- ku!"
"Oooh!" Menteri Bun
manggut-manggut. "Ohya, kenapa Hoat Ong tidak pernah memasuki daerah
Tionggoan?"
"Karena aku tahu banyak
orang berkepandaian tinggi di rimba persilatan Tionggoan, dan aku tidak mau
mempermalukan diri sendiri. Maka sebelum berkepandaian tinggi, aku tidak akan
memasuki daerah Tionggoan." Kim Ih Hoat Ong memberitahukan.
"Sebetulnya aku sudah malas terhadap urusan rimba persilatan, tapi ayah Pancha
terus-menerus bermohon kepadaku untuk mengajar di istana. Akhirnya aku
mengabulkannya. Ayah Pancha girang sekali, sehingga menghadiahkan jubah emas
ini padaku."
"Setelah itu..."
tambah Pancha. "Ayah mengutus kami ke mari menemui menteri Bun. Kebetulan
sekali juga merupakan kesempatan Hoat Ong untuk menggemparkan rimba persilatan
Tionggoan. Ha ha ha...!"
"Kalau begitu...."
Menteri Bun memandang mereka. "Kapan
kalian akan berangkat ke kuil
Siauw Lim?"
"Besok pagi," sahut
Kim Ih Hoat Ong, lalu tertawa gelak. "Ha ha ha...!"
-ooo0dw0ooo-
Belasan hari kemudian,
tersiarlah berita yang sangat menggemparkan rimba persilatan bahwa ketua partai
Siauw Lim, Butong dan Kun Lun dikalahkan oleh Kim Ih Hoat Ong, Koksu (Guru
Istana) Manchuria. Pihak Kay Pang juga mendengar berita tersebut. Dapat
dibayangkan betapa terkejutnya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong.
"Apa yang dikatakan M a
Giok Ceng tempo hari memang benar, kini putra raja Manchuria, Kim Ih Hoat Ong
dan Cap Sah Sin Eng mulai mengacau di rimba persilatan Tionggoan," ujar
Lim Peng Hang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Sungguh tinggi
kepandaian Kim ih Hoat Ong!" sahut Gouw Han Tiong dengan kening
berkerut-kerut. "Dia mampu mengalahkan ketiga ketua itu dalam dua puluh
lima jurus. Itu sungguh di luar dugaan!"
"Mungkinkah dia masih
berniat mengalahkan ketua partai lain?" tanya Lim Peng Hang meminta
pendapat Gouw Han Tiong.
"Menurut aku..."
ujar Gouw Han Tiong selelah berpikir beberapa saat. "Dia tidak akan
mengalahkan ketua partai lain lagi."
"Kenapa?" tanya Lim
Peng Hang heran.
"Sebab...." Gouw Han
Tiong menjelaskan. "Kim Ih Hoat
Ong mengalahkan ketiga ketua
itu, semata-mata hanya untuk mempermalukan kaum rimba persilatan Tionggoan dan
menghendaki munculnya pesilat tangguh melawannya."
"Ngmm!" Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Tidak salah, tujuannya memang beg1' u."
"Mungkin juga, Kim In
Hoat Ong itu akan ke mari." ujar Gouw Han Tong melanjutkan.
"Kalau begitu, kita harus
bersiap-siap," sahut Lim Peng Hang, kemudian menghela nafas panjang.
"Aaaah, terjadi kendala lagi dalam rimba persilatan!"
Gouw Kan Tong mengalihkan
pembicaraan. "Belum lama ini .. Kim Coa Long Kun telah membanta,"
seratus penjahat lalu menghilang. Entah apa sebabnya, dia membantai para
penjahat itu."
"Karena itu para penjahat
yang masih hidup segera bersembunyi Memang sadis sekali Kini Coa Long Kun
itu." tambah Lim Peng Hang
Lim Peng Hang
menggeleng-gelengkan kepala. "Hingga kini Bun Yang dan Goat Nio tiada
kanar beritanya, mereka berdua sudah mati."
"Tiada harapan lagi Gouw
Han Tong menghela nafas panjang "Sudah sekian lama dia tidak kembali,
dia... dia pasti sudah tiada."
"Entah bagaimana keadaan
Cie Hiong dan putriku di Pulau Hong Hoang To, apakah mereka tabah menghadapi
kenyataan itu?" gumam Lim Peng Hang lalu menghela nafas panjang.
"Ingin rasanya aicu ke Pulau Hong Hoang To menengok mereka...."
Ucapannya terhenti karena
dikejutkan oleh berkelebatnya sosok bayangan memasuki markas.
"Siapa?" bentak Lim
Peng Hang.
"Maaf!" Terdengar
suara sahutan dan tampak berdiri seorang gadis yang ternyata adalah Ngo Tok
Kauwcu-Phang Ling Cu. "Kakek Lim, Kakek Gouw!"
"Oh! Ling Cu!" Lim
Peng Hang manggut-manggut. "Duduklah!"
"Terimakasih, Kakek
Lim!" ucap Ngo Tok Kauwcu sambil duduk.
"Ling Cu!" Gouw Han
Tiong menatapnya sambu bertanya, "Ada suatu yang penting?"
"Kakek Gouw sudah
mendengar berita tentang Kim Ih Hoat Ong mengalahkan ketua partai Siauw Lim dan
ketua partai lainnya?"
"Kami sudah
mendengarnya," sahut Gouw Han Tiong dan menambahkan. "Pancha, putra
raja Vlanchuria, Kim Hoat Ong dan Cap Sah Sin Eng berada di rumah Menter Run
sebagai tamu terhormat, mereka adalah utusan raja Manchuria."'
"Betul." Ngo Tok
Kauwcu mengangguk. "Aku khawatir Kim Ih Hoat Ong dan lainnya akan ke mari,
maka aku segera ke sini bermaksud membantu."
"Terimakasih, Ling
Cu!" ucap Lim Peng Hang, kemudian menggeleng-gelengkan kepala seraya
berkata. "Tentunya engkau pun ingin bertanya tentang Bun Yang dan Goat
Nio, bukan?"
"Ya." Ngo Tok Kauwcu
mengangguk.
"Tiada kabar beritanya,
kelihatannya sudah tiada harapan."
Lim Peng Hang menghela nafas
panjang "Aaaah...!"
"Kakek Lim!" kening
Ngo Tok Kauwcu berkerut. "Aku tetap tidak percaya kalau Bun Yany telah
mati. Aku tetap tidak percaya."
"Mau tidak mau engkau
harus percaya, sebab hingga saat ini Bun Yang dan Goat Nio tidak kemari,"
ujar Lim Peng Hang dengan wajah murung "Sudah sekian lama, bagaimana
mungkin mereka masih hidup?"
"Kita semua masih dalam
duka malah muncul Kim Ih Hoat Ong. Sungguh di luar dugaan'" ujar Gouw Han
Tiong.
"Kepandaian Kim Ih Hoat
Ong tinggi sekali Dia mampu mengalahkan tiga ketua itu hanya dalam dua puluh
lima jurus." Ngo Tok Kauwcu memandang mereka dan bertanya, "Apakah
Kakek Lun dan KakeK Gouw sanggup melawan Kim Ih Hoat Ong itu?"
"Kalaupun kami bergabung
melawannya, aku yakin kami berdua pasti kalah," sahut Lim Peng Hang jujur
"Oh?" Air muka Ngo
Tok Kauwcu berubah "Bagaimana k a kalau seandainya Kim Ih Hoal Ong ke
mari''"
"Tentunya harus
melawannya." Lim Peng Hang tersenyum getir. "Kelihatannya Kun Ih Hoat
Ong itu hanya ingin menaklukkan pesilat tangguh dalan rimba persilatan
Tionggoan. karena dia tidak membunuh."
"Menurut aku..."
ujar Gouw Han Tiong. "Kim Ih Hoat Ong tidak akan ke maki atau ke pariai
.ain, karena dia punya suatu rencana."
"Oh?" Lim Peng Hang
memandangnya. "Rencana apa itu?"
"Aku tidak bisa
mengatakan secara pasti," sahut Gouw Han Tiong "Yang jelas dia
mempunyai rencana busuK."
"Aku justru tidak habis
pikir," ujar Lim Peng Hang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tujuan Kim Ih Hoat Ong dan liannya ke Tionggoan hanya urusan kerajaan,
kenapa Kim Ih Hoat Ong malah mengusik ketiga ketua itu?"
"Memang mengheiankan
" Gouw Han Tiong mengerutkan kening. "Tentunya ada sesuatu dibalik
itu Maka, sebaiknya kita tunggu perkembangan selanjutnya."
"Betul." Lim Peng
Hang manggut-manggut.
"Kakak Lim," tanya
Ngo Tok Kauwcu mendadak. "Bolehkah aku tinggal di sini beberapa
hari?"
"Tentu boleh, tentu
boleh," jawab Lim Peng Hang dan menambahkan, "Kami sangat berterima
kasih atas
kesediaanmu tinggal di sini
beberapa hari, mudah mudahan ada kabar beiita tentang Bun Yang!"
"Kakek Lim...." Wajah Ngotok Kauwcu agak kemerah-
merahan. "Aku tetap tidak
percaya kalau adik Bun Yang telah mati, aku tidak percaya sama sekali. Aku
harap dia dan Goat Nio akan muncul di sini!"
"Mudah-mudahan!"
ucap Lim Peng Hang. "Itu yang kita harapkan."
-oo0dw0oo-
Bagian ke tujuh puluh tujuh
Pertarungan yang menegangkan
Di ruang tengah rumah Menteri
Bun, tampak belasan orang sedang bersulang sambil tertawa tawa. Mereka adalah
Pancha, Kim Ih Hoat Ong, Cap Sah Sin Eng dan tuan rumah sendiri.
"Ha ha ha!" Menteri
Bun tertawa gelak. "Kini nama Hoat Ong sudah membubung tinggi di rimba
persilatan Tionggoan!"
"Aku tidak menyangka sama
sekali kalau kepandaian ketiga ketua partai itu cuma begitu saja!" ujar Kim
Ih Hoat Ong sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak sampai dua puluh
lima jurus telah kukalahkan."
"Itu pertanda kepandaian
Hoat Ong tinggi sekali," sahut Menteri Bun dan tertawa lagi, kemudian
bertanya. "Apakah Hoat Ong masih ber niat mengalahkan ketua partai
lain?"
"Tidak perlu," jawab
Kim Ih Hoat Ong. "Aku lelah mengalahkan ketiga ketua itu, maka aku yakin
tidak lama lagi akan muncul pesilat tangguh melawanku. Ha ha ha...!"
"Oh ya!" Menteri Bun
memandang mereka seraya bertanya. "Sudah sekian lama kalian berada di
sini, apakah aku perlu memanggil beberapa wanita cantik untuk melayani
kalian?"
"Aku tidak perlu,"
sahut Kim Ih Hoat Ong. "Mungkin mereka membutuhkan."
"Bagaimana kalian?"
tanya Menteri Bun kepada Pancha dan Can Sah Sin Eng. "Katakan saja, tidak
usah malu-malu!"
"Aku sangat tertarik akan
tarian dan musik Tionggoan," sahut Pancha sungguh-sungguh. "Apakah
ada penari dan pemain musik di sini?"
"Ada." Menteri Bun
tersenyum. Ia bertepuk langan tiga kali, lalu muncullah seorang pelayan wanita
menghadapnya sambil memberi hormat.
"Tuan Besar mau pesan
apa?" tanyanya dengan hormat.
"Cepat atur para penari
dan pemain musik yang cantik-cantik di sini?" ujar menteri Bun.
"Ya, Tuan Besar."
Pelayan wanita itu mengangguk. lalu pergi.
Berselang beberapa saat
kemudian, muncullah belasan gadis cantik, yang semuanya membawa berbagai macam
alat musik. Mereka memberi hormat, setelah itu para pemain musik lalu duduk.
Tak lama terdengarlah suara
alunan musi yang amat menyedapkan telinga dan para pena mulai menari dengan
lemah gemulai mengiku irama musik itu.
"Ha ha ha!" Pancha
tertawa gembira. "Buka main indahnya tarian mereka! Sungguh luar biasa
"Engkau tertarik?"
tanya menteri Bun.
Pancha mengangguk, kemudian
tanyanya be bisik, "Menteri Bun, gadis-gadis itu boleh mi layaniku?"
"Tentu boleh."
Menteri Bun tertawa. "Seba engkau adalah Putra Mahkota Manchuria! Ha h ha!
Mari kita bersulang!"
Mereka mulai bersulang lagi
sambil menil mati musik dan tarian itu. Berselang beberap saat, barulah musik
itu berhenti. Para penari pu berhenti menari, dan langsung memberi horm; sambil
tersenyum lembut.
"Bagus, bagus!"
Pancha tertawa gembira sambil bertepuk tangan. "Aku harap para pemai musik
tetap bermain musik, sedangkan para pi nari menemani kami minum!"
"Ya, Tuan Muda!"
sahut mereka serentak.
Para pemain musik segera
memainkan alunan musik masing-masing, sedangkan para penari langsung
menghampiri Pancha, lalu menuangkan arak ke dalam cangkir masing-masing.
"Silakan minum!"
ucap para penari itu.
"Terimakasi, terimakasih!
Ha ha ha...!" Pancha tertawa gembira.
Tak berapa lama kemudian, Kim
Ih Hoat Ong pemandang mereka seraya berkata dengan wibawa.
"Cukup!" Ia lalu
memandang Menteri Bun. ”Suruh mereka pergi!"
"Baik." Menteri
memandang para pemain musik dan para penari itu. "Cukup sampai di sini,
sekarang kalian boleh beristirahat."
"Ya, Tuan Besar,"
sahut mereka.
"Menteri Bun," ujar
Pancha. "Berikan kepada mereka seorang dua puluh tael emas!"
"Ya." Menteri Bun
bertepuk tangan satu kali, kemudian muncul kepala pengurus.
"Ada perintah apa. Tuan
Besar?" tanya kepala lengurus itu sambil memberi hormat.
"Ambilkan dua ratus tael
emas!" sahut Menteri Bun.
”Ya, Tuan Besar." Kepala
pengurus itu segera pergi mengambil uang emas, dan tak seberapa jma ia sudah kembali
menghadap Menteri Bun.
"Berikan mereka seorang
dua puluh tael emas!" ujar Menteri Bun sambil menunjuk para pemain iiusik
dan para penari itu.
"Ya, Tuan Besar."
Kepala pengurus segera lembagi-bagikan uang emas itu.
"Terimakasih, Tuan
Besar." ucap para pemain musik dan para penari itu dengan wajah
berseri-seri mengundurkan diri dari ruang tersebut.
"Oh ya!" Menteri Run
memandang Kim Ih Hoat Ong seraya bertanya. "Kenapa Hoat Ong tidak mau
menyentuh kaum wanita?"
"Sebab sejak kecil aku
belajar Tong Cu Sin Kang (Tenaga Sakti Anak Perjaka), maka aku tidak boleh
berhubungan intim dengan kaum wanita," jawab Kim Ih Hoat Ong
memberitahukan "Aku telah berhasil mencapai tingkat tertinggi membuat
dinku tidak mempan senjata tajam mau pun racun."
Menter Bun manggut-manggut.
"Sungguh hebat Hoat Ong!"
"Perlu
kuberitahukan," ujar Kim Ih Hoat Ong "Pancha juga berkepandaian
tinggi, begitu pula Cap Sah Sin Eng. Karena Cap Sah Sin Eng bergerak sesuai
dengan Cap Sah Sin Eng Tin (Formasi Tiga Relas Elang Sakti)."
"Ha ha ha!" Menteri
Bun tertawa gembira "Oh ya! Aku punya Suatu ide untuk Hoat Ong."
''Ide apa?" tanya Kim Ih
Hoat Ong.
"Menangkap Lie Tsu
Seng," jawab Menteri Bun serius. "Apabila Hoat Ong mampu menangkapnya
hidup-hidup atau membunuhnya, kiasar pasti gembira sekali. Bahkan juga akan
menggemparkan rimba persilatan Tionggoan, sebab banyak kaum rimba persilatan
berkepandaian tinggi bergabung dengan pemimpin pemberontak itu."
"Ngmmm!" Kim Ih Hoat
Ong manggut-manggut dan bertanya. "Di mana markas Lie Tsu Seng?"
"Di pinggir kota Lam
An."
"Pancha," tanya Kim
Ih Hoat Ong. "Kapan kita berangkat ke sana menangkap pemimpin pemberontak
itu?"
"Itu terserah Hoat Ong
saja," sahut Pancha, kemudian bertanya kepada Menteri Bun sambil
tersenyum. "Apakah Bu Ceng Sianli juga bergabung dengan Lie Tsu
Seng?"
"Ya." Menteri Bun
mengangguk.
"Bagus, bagus!"
Pancha tertawa gembira. "Hoat Ong harus menundukkannya!"
"Baik." Kim Ih Hoat
Ong manggut-manggut.
"Oh ya!" ujar Pancha
mendadak. "Aku hampir melupakan satu hal penting."
"Hal apa?" tanya
Menteri Bun.
"Mengenai adikku Bokyong
Sian Hoa." Pancha memberitahukan. "Dia adalah putri pamanku, sudah
lama dia datang di Tionggoan ini, apakah menteri Bun tahu tentang
dirinya?"
"Maaf, aku sama sekali
tidak tahu." Menteri Bun menggelengkan kepala.
"Aaaah...!" Pancha
menghela natas panjang. 'Aku rindu sekali kepadanya."
"Akan kuutus beberapa
pengawalku untuk menyelidikinya," ujar menteri Bun.
"Terimakasih!"
Pancha manggut-manggut lalu bertanya kepada Kim Ih Hoat Ong. "Kapan kita berangkat
ke pinggir kota Lam An?"
"Besok pagi," sahut
Kim Ih Hoat Ong singkat.
"Kalau begitu..."
ujar menteri Bun. "Akan kuperintahkan puluhan pengawalku menyertai
kalian."
"Itu tidak perlu, cukup
kami saja." tegas Kim Ih Hoat Ong dan menambahkan, "Para pengawal
kalian semuanya gentong nasi. Percuma mereka ikut kami pergi menangkap Lie Tsu
Seng."
"Ya, ya." Menteri
Bun manggut-manggut, kemudian tertawa gelak. "Ha ha ha! Akan tamat riwayat
Lie Tsu Seng kali ini! Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo-
Di sebuah batu besar dekat
pantai, tampak beberapa orang duduk sambil bercakap-cakap. Mereka adalah Toan
Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling, Kam Hay Thian, Lu Hui
San, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan.
"Aaaah...." Lie Ai
Ling menghela nafas panjang. "Aku tak
menyangka kalau kakak Bun yang
dan Goat Nio begitu pendek umur!" katanya.
"Aku masih tidak percaya
kalau mereka berdua sudah mati," ujar Kam Hay Thian. "Sebab di dasar
jurang itu tidak terdapat mayat mereka."
"Aku pun tidak percaya
kalau mereka berdua sudah mati,"
sela Lu Hui San. "Itu
bagaimana mungkin?"
"Sungguh
mengherankan!" ujar Bokyong Sian Hoa. "Goat Nio terjatuh ke jurang
itu, sedang Kakak Bun Yang terjun ke situ. Namun kita tidak menemukan mayat
mereka. Bukankah itu sungguh mengherankan?"
"Memang." Toan Beng
Kiat manggut-manggut. "Oleh karena itu, aku berkesimpulan bahwa mereka
berdua belum mati. Sebab di dasar jurang itu pun tiada binatang buas, jadi
tidak mungkin mayat mereka digondol binatang buas."
"Tapi. .." Lie Ai
Ling mengerutkan kening. "Kenapa Kakak Bun yang dan Goat Nio tidak kembali
ke markas pusat Kay Pang?"
"Sie Keng Hauw
menggeleng-gelengkan kepala. "Memang membingungkan dan merupakan teka
teki."
"Kami ke mari justru
untuk menunggu..." ujar Toan Beng Kiat melanjutkan. "Menunggu
kemunculan Bun Yang dan Goat Nio. Tapi hingga kini mereka berdua masih belum
muncul."
"Mungkin...." Lie
Ai Ling mulai
terisak-isak. "Kakak Bun
Yang dan Goat Nio sudah mati,
Thian (Tuhan) sungguh tidak adil!"
Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian memandang Lam Kiong Soat Lan seraya berkata.
"Kita sudah sekian lama
berada di Pulau Hong Hoang To ini, bagaimana kalau besok pag' krta pulang ke
Tayli?"
Lam Kiong Soat Lan mengarah
pada Yo Kiam Heng. "Bagaimana?"
"Terserah engkau,"
jawab Yo Kiam Heng sambil tersenyum. "Aku menurut saja."
"Baiklah." Lam K'ong
Soat Lan manggut-manggut sambil tersenyum lembut "Kita pulang ke Tayli
esok pagi."
"Yaaah!" Waiah Lie
Ai Ling tampak murung. "Kok begitu cepat kal in pulang ke Tayli "
tanyanya.
"Sudah lama kami tinggal
di sini, aku khawatir orang tua kami akan mencemaskan kami" ujar Toan Beng
Kiat dan berpesan. "Oh ya! Apabila ada kabar beritanya mengenai Bun Yang
dan Goat Nio, harap kalian segera ke Tayli memberitahukan kepada kami!"
"BaiK." Lie Ai ling
mengangguk.
Keesokan harinya, Toan Beng
Kiat, Bokyong Sian Hoa. Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan berpam it kepada
TJO Tay Seng dan lainnya, kemudian mereka berempit meninggalkan Pulau Hong
Hoang To
-oo0dw0oo-
Kini mereka berempat telah
berada di Tionggoan. Dalam perjalanan ini tak henti-hentinya mereka
membicarakan Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio,-
”Bagaimana kalau kita ke
markas pusat Kay Pang, siapa tahu sudah ada berita di sana!" usul Toan
Beng Kiat.
"Baik." Bokyong S'an
Hoa, Yo Kiam heng dan Lam Kong Soat Lan mengangguk
Mereka berempat lalu menuju
arah markas pusat Kay Pang, yang harus melewatkan kota Lam An. T saat berada di
pinggir kola tersebut, mereka menyaksikan suatu pertarungan vang amat seru dan sengit.
"Hah?" Lie Ai Ling
terperanjat. „Bukankah yang sedang bertarung itu Bibi Suan Hiang Kakak Giok
Lan, Paman Tan Ju Linng dan Lin Cin An. Mereka tampak terdesak oleh tiga belas
penyerang itu!"
"Betul" Lu Hi San
manggut-manggut. "Mereka Bibi Suan Hiang, Kakak Giok Lan dan .."
"Hah?" Bokyong Sian
Hoa tampak terkejuf sekali "Pemuda itu Pancha putra pamanku, pendeta tua
itu adalah Kim Ih Hoat
Ong dan tiga belas orang tu
adalah Cap Sah Sin Eng! Mereka berkepandaian tinggi sekali!"
"Ayoh! I'ita harus cepat
membantu Bibi Suan Hiang!" seru Toan Beng Kiat.
Saat uu Yo Suan Hiang, Tan
Giok Lan dan lainnya telah terluka. Toan Beng Kiat bersiul panjang sambil
melesat ke arah Cap Sah Sin Eng. Beg 'u pula Bokyong Sian Hoa dan lainnya.
”Begitu kaki mereka menginjak
tanah. Cap Sah Sin Eng langsung mengepung mereka.
"Siapa kalian?"
tanya pemimpin Cap Sah Sin Eng.
"Kami dari Tayli!"
sahut Toan Beng Kiat jujur dan menambahkan, "Kami harap tuan-tuan sudi
melepaskan mereka!"
"Kalian dari Tayli?"
Pemimpin Cap Sah Sin Eng mengerutkan kening. "Kami pihak Manchuria tidak
pernan bertikai dengan pihak Tayli. aku harap kalian jangan mencampuri urusan
kami!"
Bersamaan itu, Pancha
menghampir mereka sambil menatap Bokyong Sian Hoa, kemudian berseru girang.
"Adik Sian Hoa! Adik Sian
Hoa...."
"Jangan panggil aku!'
bentak Bokyong Sian Hoa. "Aku benci engkau dan benci ayahmu!"
"Adik Sian Hoa...."
Pancha menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu adalah urusan kedua
orang tua kita, sedangKan kita bukankah sangat baik dari kecil? Lagi pula aku
yang membantumu kabur dari istana.. ."
"Diam!" bentak
Bokyong Sian Hoa lagi. "Ayahmu membunuh kedua orang tuaku, aku...
aku...."
"Adik Sun Hoa...."
Pancha menghela nafas panjang. "Kita
kakak beradik."
"Engkau masih ingat kita
kakak beradik?" Bokyong Sian Hoa memandangnya sinis.
"Betul." Pancha
manggut-manggut.
"Kalau begitu, kalian
harus melepaskan mereka!" ujar Bokyong Sian Hoa sambil menunjuk Yo Suan
Hiang dan lainnya.
"Akan kubicarakan dengan
Kim Ih Hoat Ong." Pancha segera mendekatinya, kemudian mereka
berbisik-bisik.
"Baik." Kim Ih Hoat
Ong mengangguk. "Tidak apa-apa kita melepaskan mereka, tapi kita harus
menangkap Sian Hoa dan lainnya."
"Hoat Ong...."
Pancha terkejut.
"Kelihatannya adikmu itu
sudah tidak mau ikut kita, lagi pula aku punya suatu rencana," ujar Kim Ih
Hoat Ong berbisik. "Kalau kita tangkap teman-teman Sian Hoa. dapat kita
jadikan sandera untuk menukar dengan Lie Tsu Seng."
Pancha manggut-manggut, lalu
mendekati Bokyong Sian Hoa dan berkata sambil tersenyum, "Kami akan
melepaskan mereka, tapi engkau dan teman-temanmu harus ikut kami."
"Tidak!" tegas
Bokyong Sian Hoa. "Kami tidak akan ikut kalian, pokoknya tidak!"
"Adik Sian Hoa! Kalau
begitu, apa boleh buat!" sahut Pancha dan berseru. "Cap Sah Sin Eng,
tangkap mereka, tapi jangan kalian lukai!"
"Ya," sahut Cap Sah
Sin Eng.
Sedangkan Toan Beng Kiat,
Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soan Lan segera menghunus pedang
masing-masing.
Mendadak pemimpin Cap Sah Sin
Eng bersiul, seketika juga tiga belas orang itu bergerak berputar-putar
mengelilingi Toan Beng Kiat dan lainnya. Ternyata tiga belas orang itu mulai
menyusun formasi Cap Sah Sin Eng Tin.
"Mari kita serang
mereka!" seru Toan Beng Kiat.
Mereka berempat mulai
menyerang, namun justeru terjadi hal yang tak terduga, yaitu begitu mereka
menyerang, malah menyerang kawan sendiri. Sementara Cap Sah Sin Eng terus
berputar, bahkan kemudian meluncur ke atas dan sekaligus menyerang.
"Celaka!" keluh Toan
Beng Kiat. "Mereka menggunakan semacam formasi. Soat Lan, kita simpan saja
pedang kita. Lebih baik kita menyerang dengan Kim Kong Cap Sah Ciang (Tiga
Belas Jurus Pukulan Cahaya Emas)."
"Baik." Lam Kiong
Soat Lan dan Toan Beng Kiat segera menyarungkan pedang masing-masing.
Setelah itu, mulailah mereka
menyerang Cap Sah Sin Eng dengan ilmu pukulan tersebut. Akan tetapi, pukulan
mereka justru nyaris melukai kawan sendiri.
Ketika mereka menyerang Cap
Sah Sin Eng, mendadak yang diserang itu menghilang, yang muncul malah Yo Kiam
Heng dan Bokyong Sian Hoa. Maka, mereka berdua cepat-cepat menarik serangan
masing-masing.
Berselang beberapa saat
kemudian, Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan
mulai terdesak dan tampak lelah sekali.
"Lumpuhkan mereka dengan
totokan!" seru pemimpin Cap Sah Sin Eng.
Mulailah Cap Sah Sin Eng
menyerang mereka dengan Peng Khong Tiam Hiat (Ilmu Menotok Jalan Darah Jarak
Jauh). Tak seberapa lama kemudian, Toan Beng Kiat dan lainnya telah
tertotok, sehingga mereka
berempat berdiri tak bergerak di tempat.
"Ha ha ha!" Kim Ih
Hoat Ong tertawa gelak lalu mendadak melesat ke arah mereka, sekaligus menotok
jalan darah mereka lagi. "Mereka akan lumpuh tujuh hari tujuh malam dan
siapa pun tidak akan mampu membebaskan totokan itu! Ha ha ha...!"
"Maafkan aku. Sian Hoa!"
ucap Pancha. "Aku terpaksa menyuruh Cap Sah Sin Eng bertindak kurang ajar
terhadap kalian."
"Diam!" bentak
Bokyong Sian Hoa dengan mata berapi-api. "Kalau engkau ingin membunuhku
cepatlah bunuh!"
"Adik Sian Hoa!"
Pancha tersenyum. "Bagaimana mungkin aku membunuhmu? Kita adalah...."
"Hm!" dengus Bokyong
Sian Hoa dingin. "Jangan bermulut manis, aku benci!"
"Adik Sian Hoa...."
Pancha menggeleng-gelengkan kepala.
Di saat bersamaan terdengarlah
suara tawa cekikikan.
"Hi hi hi! Hi hi
hi...!" Kemudian muncul seorang gadis berusia dua puluhan, yang ternyata
Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui.
"Kakak! Kakak!" seru
Bokyong Sian Hoa girang. "Cepat tolong kami!"
"Tenanglah!" sahut
Bu Ceng Sianli sambil tersenyum. "Aku pasti menolong kalian."
Ketika Bu Ceng Sianli muncul,
Pancha terpukau oleh kecantikannya. Ia memandang wanita itu dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga lebar.
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan. "Anak muda! Kenapa engkau memandangku seperti
kehilangan sukma?"
"Ha ha ha!" Pancha
tertawa. "Nona sangat cantik sehingga membuat sukmaku hilang!"
"Oh, ya?" Bu Ceng
Sianli tersenyum manis.
"Aku tidak bohong,"
sahut Pancha dan bertanya. "Maaf, bolehkah aku tahu siapa Nona?"
"Aku Bu Ceng Sianli.
Siapa engkau?"
Pancha, Kim Ih Hoat Ong dan Cap
Sah Sin Eng terperanjat. Mereka tidak menyangka kalau gadis cantik itu adalah
Bu Ceng Sianli yang sangat terkenal.
Pancha manggut-manggut.
"Ternyata aku berhadapan dengan Bu Ceng Sianli yang sangat terkenal dalam
rimba persilatan Tionggoan. Namaku Pancha."
"Engkau Putra Mahkota
raja Manchuria?" tanya Bu Ceng Sianli sambil menatapnya tajam.
"Betul." Pancha
mengangguk.
"Bagus!" Bu Ceng
Sianli tertawa. "Cepatlah engkau suruh pendeta jelek itu membebaskan
totokannya!"
"Ha ha ha!" Kim Ih
Hoat Ong tertawa gelak. "Bu Ceng Sianli, aku tidak menyangka kalau engkau
masih muda dan sedemikian cantik. Sungguh beruntung aku bertemu engkau di
sini!"
"Hei, pendeta jelek!
Cepatlah membebaskan totokanmu yang di badan mereka!" sahut Bu Ceng
Sianli.
"Aku adalah Kim Ih Hoat
Ong, sudah lama aku mendengar nama besar Nona. Oleh karena itu...."
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa geli. "Pendeta jelek, engkau sedang merayu ya?"
"Bu Ceng Sianli!"
Kim Ih Hoat Ong menatapnya tajam. "Kudengar kepandaianmu sangat tinggi,
maka aku ingin bertanding."
"Bertanding dengan
siapa?"
"Denganmu."
"Tapi...." Bu Ceng
Sianli memandang Toan Beng Kiat dan
lainnya. "Mereka harus
kau bebaskan dulu."
"Kalau engkau mampu
mengalahkan aku, aku pasti membebaskan mereka. Tapi apabila engkau kalah,
engkau harus ikut kami ke Manchuria, karena.... Pancha, Putra
Mahkota raja Manchuria sangat
tertarik kepadamu." ujar Kim Ih Hoat Ong.
"Betul, betul," sela
Pancha sambil tersenyum. "Nona, aku memang sangat tertarik kepadamu.
Aku... aku pun sudah jatuh hati."
"Oh, ya?" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan. "Tapi bagaimana kalau pertandingan berakhir
dengan seri?"
"Kalau seri, aku harus
membawa mereka pergi," sahut Kim Ih Hoat Ong dan menambahkan, "Kita
bertanding secara adil."
"Tentu." Bu Ceng
Sianli manggut-manggut dan bertanya, "Kita akan bertanding dengan cara
apa?"
"Cukup dengan tangan
kosong," sahut Kim Ih Hoat Ong dan menambahkan, "Hanya sampai batas
seratus jurus saja."
"Bagaimana kalau
seri?"
"Tadi aku sudah bilang,
kalau seri aku tetap membawa pergi mereka. Namun pertandingan boleh dilanjutkan
kelak."
"Baik." Bu Ceng
Sianli mengangguk. "Aku setuju."
Kim Ih Hoat Ong dan Bu Ceng
Sianli berdiri berhadapan, dan masing-masing menghimpun lwee- kang. Kim Ih Hoat
Ong menghimpun Tong Cu Sin Kang (Tenaga Sakti Anak Perjaka), sedangkan Bu Ceng
Sianli menghimpun Hian Goan Sin Kang.
"Hoat Ong!" seru
Pancha mendadak. "Jangan melukai Nona itu!"
"Tenang!" sahut Kim
Ih Hoat Ong sambil manggut-manggut.
"Anak muda," ujar Bu
Ceng Sianli sekaligus melemparkan sebuah senyuman kearabnya.
"Nona...." Pancha
terbelalak menyambut senyuman
itu,
bahkan semakin terpukau,
kemudian berkata kepada Kim Ih Hoat Ong. "Hoat Ong! Bagaimanapun engkau
harus dapat mengalahkannya!"
Kim Ih Hoat Ong mengangguk,
lalu mulai menyerang Bu Ceng Sianli. Bu Ceng Sianli tertawa nyaring sambil
berkelit, sekaligus balas menyerang. Terjadilah pertarungan yang amat
menegangkan. Pancha menyaksikan pertarungan itu dengan hati berdebar-debar,
sebab kalau pertarungan itu berakhir seri, Kim Ih Hoat Ong cuma bisa membawa
pergi Bokyong Sian Hoa dan lainnya. Namun apabila menang, maka Bu Ceng Sianli
harus ikut mereka ke Manchuria, itu yang diharapkannya.
Sementara pertandingan itu
terus berlangsung, tak terasa sudah melewati puluhan jurus. Mereka berdua mulai
cemas dan terperanjat, karena tidak menyangka pihak lawan memiliki kepandaian
yang begitu tinggi.
"Bu Ceng Sianli,"
ujar Kim Ih Hoat Ong kagum. "Kepandaianmu sungguh tinggi sekali. Aku kagum
akan kepandaianmu."
"Sama." sahut Bu Ceng
Sianli sambil berkelit, karena mendadak Kim Ih Hoat Ong menyerangnya.
"Pendeta jelek, kepandaianmu pun tinggi sekali."
"Ha ha ha!" Kim Ih
Hoat Ong tertawa gelak sambil berhenti menyerang Bu Ceng Sianli seraya berkata,
"Kini tinggal tiga
jurus lagi, ini merupakan
jurus-jurus penentuan. Berhati-hatilah, aku akan mengeluarkan ilmu
andalanku."
"Terimakasih atas
peringatanmu!" sahut Bu Ceng Sianli. "Aku sudah siap menyambut ilmu
andalanmu."
"Hati-hati!" seru
Kim Ih Hoat Ong. Mendadak ia menyerang Bu Ceng Sianli dengan San Hai Ho Liu
Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Gunung Laut Dan Arus Sungai), dan mengeluarkan jurus
Teng Tia Ju San (Tenang Tegar Bagaikan Gunung).
Sekonyong-konyong lengan jubah
Kim Ih Hoat Ong melembung, dan ia melesat ke arah Bu Ceng Sianli.
Bu Ceng Sianli tertawa
nyaring. Di saat bersamaan sepasang telapak tangannya memancarkan cahaya putih,
dan berkelebatan menangkis serangan Kim Ih Hoat Ong. Ternyata wanita itu
mengeluarkan ilmu Hian Goan Ci, yaitu jurus Thay Yang Kuang Hui (Matahari Bersinar
Terang).
Blaaam! Terdengar suara
benturan. Ilmu pukulan San Hai Ho Liu Ciang Hoat beradu dengan ilmu Jari Sakti
Hian Goan Ci.
Kim Ih Hoat Ong dan Bu Ceng
Sianli berdiri tak bergeming di tempat, namun yang menyaksikan itu malah pucat
pias wajahnya.
Beberapa saat kemudian Kim Ih
Hoat Ong tertawa gelak, lalu berkata dengan suara parau.
"Ha ha ha! Lweekangmu
sungguh tinggi! Aku tidak menyangka kalau engkau mampu menangkis
seranganku."
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa nyaring. "Pendeta jelek, lweekangmu juga tinggi sekali. Aku
tidak menyangka kalau dadamu tidak berlubang oleh Hian Goan Ci."
"Kini tinggal dua jurus
lagi. Berhati-hatilah! Aku akan menyerangmu lebih dahsyat."
"Silakan! Aku sudah siap
menyambut seranganmu."
Mendadak Kim Ih Hoat Ong
memekik keras dan menyerang Bu Ceng Sianli dengan jurus Hai Po Thau Thau
(Gelombang Laut Menderu Deru). Lengan jubah Kim Ih Hoat Ong bergerak-gerak
menimbulkan suara menderu-deru ke arah Bu Ceng Sianli.
Di saat bersamaan, tiba-tiba
jari tangan Bu Ceng Sianli bergerak-gerak secepat kilat, sehingga berubah jadi
ribuan jari. Itulah jurus Cian Ci Keng Thian (Ribuan Jari Mengejutkan Langit).
Blaam! Ces! Ces!
Cesss...!" Terdengar suara benturan dan suara lain.
Bu Ceng Sianli
termundur-mundur beberapa langkah, sedangkan Kim Ih Hoat Ong tetap berdiri di
tempat.
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan. "Jurus ini kita seri, sebab engkau berhasil
membuatku termundur-mundur beberapa langkah, namun aku pun berhasil melubangi
lengan jubahmu!"
"Ha ha ha! Betul!"
Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut. "Kini tinggal satu jurus lagi, perlukan
kita lanjutkan?"
"Terserah!"
"Menurut aku..."
ucapan Kim Ih Hoat Ong terputus, karena mendadak terdengar suara tawa gelak
yang memekakkan telinga.
"Ha ha ha! Ha ha
ha!" Melayang turun seorang tua, yang tidak lain Si Pincang. "Asyik!
Ada pertandingan seru!"
"Pincang!" bentak Bu
Ceng Sianli. "Mau apa engkau ke mari?"
"Mau jadi penonton,"
sahut orang tua pincang. "Bukankah masih ada satu jurus lagi?"
"Hm!" dengus Bu Ceng
Sianli.
"Maaf!" ucap Kim Ih
Hoat Ong sambil memandang orang tua pincang. "Bolehkah aku tahu siapa
engkau?"
"Aku adalah Si
Pincang." sahut orang tua pincang sambil tertawa. "Engkau pasti Kim
Ih Hoat Ong dari Manchuria. Ya, kan?"
"Betul." Kim Ih Hoat
Ong manggut-manggut.
"Lihay juga engkau,
pendeta jelek," ujar orang tua pincang. "Engkau mampu mengalahkan
ketiga ketua itu hanya dalam dua puluh lima jurus. Kalau aku mau, aku pun mampu
mengalahkan mereka dalam jurus sekian pula."
"Oh?" Kim Ih Hoat
Ong tampak tersentak. "Betul." Orang tua pincang mengangguk.
"Tapi...." "Kenapa?" Kim Ih Hoat Ong menatapnya tajam.
"Walau kita berkepandaian
tinggi, tapi masih bukan lawan seorang pendekar muda," sahut orang tua
pincang. "Mungkin dalam lima puluh jurus dia mampu mengalahkanmu."
"Oh, ya?" Kim Ih
Hoat Ong tampak tidak percaya. "Siapa pendekar muda itu?"
"Dia adalah Giok Siauw
Sin Hiap-Tio Bun Yang." Orang tua pincang memberitahukan.
"Dia?" Kim Ih Hoat
Ong mengerutkan kening. "Aku pernah mendengar tentang dia, tapi bukankah
dia sudah mati di dasar jurang?"
"Ha ha ha!" Orang
tua pincang tertawa. "Dia tidak mati, mungkin tidak lama lagi dia akan
muncul."
"Bagus, bagus!" Kim
Ih Hoat Ong manggut-manggut. "Apabila dia muncul, aku pasti bertanding
dengan dia."
"Pendeta jelek,"
tanya Bu Ceng Sianli. "Bagaimana? Perlukah kita melanjutkan pertandingan
ini?"
"Bagaimana kalau kita
lanjutkan lain kali saja?" Kim Ih Hoat Ong balik bertanya.
"Boleh...." Bu Ceng
Sianli memandang Toan Beng Kiat dan
lainnya. "Tapi engkau
harus membebaskan mereka!"
"Tidak bisa!" Kim Ih
Hoat Ong menggelengkan kepala. "Sesuai dengan perjanjian, aku harus
membawa mereka!"
"Kalau begitu...." Wajah
Bu Ceng Sianli
tampak gusar
sekali. "Mari kita
bertanding lagi!"
"Nona!" sela Pancha.
"Lebih baik lain kali saja. Jangan dilanjutkan sekarang. Kami tidak akan
mengganggu para pengawal Lie Tsu Seng itu, hanya membawa Bokyong Sian Hoa dan
lainnya ke tempat tinggal menteri Bun...."
"Diam!" bentak Bu
Ceng Sianli.
"Nona...." Pancha
tampak kecewa sekali. "Aku bermaksud
baik."
"Sianli." bisik
orang tua pincang. "Biar mereka pergi, lebih baik kita berunding di markas
Lie Tsu Seng."
"Pendeta jelek!"
ujar Bu Ceng Sianli. "Kalian boleh membawa mereka berempat ke rumah
Menteri Bun, tapi apabila kalian berani mengganggu seujung ramput pun, Menteri
Bun pasti kubantai dan kalian pasti kukejar sampai Manchuria!"
"Ha ha ha!" Kim Ih
Hoat Ong tertawa gelak. "Bu Ceng Sianli dan engkau Si Pincang, sampai
jumpa!"
"Hm!" dengus Bu Ceng
Sianli.
"Nona!" Pancha menatapnya
dengan mata berbinar-binar. "Kita pasti berjumpa kembali!"
"Huh!" sahut Bu Ceng
Sianli. "Siapa ingin berjumpa dengan pendeta jelek! Dasar tak tahu
malu!"
"Nona...." Pancha
menghela nafas panjang, lalu melangkah
pergi.
Setelah mereka pergi, Bu Ceng
Sianli melototi orang tua pincang seraya membentak.
"Kenapa engkau tadi omong
besar di hadapan Kim Ih Hoat Ong?"
"Aku terpaksa omong
besar, kalau tidak..." sahut orang tua pincang melanjutkan. "Kita dan
lainnya pasti celaka. Sebab kepandaian pendeta jelek, Pancha dan tiga belas
orang itu sangat tinggi sekali. Kita tidak mampu melawan mereka, maka harus
membiarkan mereka membawa Toan Beng Kiat dan lainnya."
"Pincang!" ujar Bu
Ceng Sianli sinis. "Engkau sangat pengecut!"
"Aku bukan pengecut, namun
menggunakan otak," sahut orang tua pincang. "Bukankah kita masih bisa
berunding tentang itu?"
Di saat mereka sedang
berdebat, tampak Yo Suan Hiang, Tan Giok Lan dan lainnya mendekati mereka, lalu
memberi hormat sambil berkata.
"Terimakasih atas pertolongan
Sianli dan lo cianpwee! Tapi Toan Beng Kiat dan lainnya...."
"Percayalah! Mereka tidak
akan membunuhnya," sahut orang tua pincang.
"Sianli, lo cianpwee,
mari ke markas Lie Tsu Seng!" ajak Yo Suan Hiang. "Kita berunding di
sana saja."
"Baik." Bu Ceng
Sianli manggut-manggut, kemudian mereka semua menuju ke markas Lie Tsu Seng.
Lie Tsu Seng dan lainnya duduk
di dalam tenda. Yo Suan Hiang, Bu Ceng Sianli, orang tua pincang dan lainnya
sudah
berada di dalam. Wajah mereka
tampak serius sekali, sedangkan Lie Tsu Seng terus mengerutkan kening.
Lie Tsu Seng menghela nafas
panjang. "Entah bagaimana nasib Toan Beng Kiat dan lainnya! Sungguh
mencemaskan!"
"Aku yakin mereka tidak
akan terjadi apa- apa," ujar orang tua pincang dan menambahkan,
"Sebab Bokyong Sian Hoa berada di tengah- tengah mereka, tentunya gadis
itu akan membela yang lain."
"Ngmm!" Lie Tsu Seng
manggut-manggut. "Itu memang benar, sebab mereka tiada urusan dengan
menteri Bun atau dengan pihak Manchuria. Tapi... kenapa Kim Ih Hoat Ong menangkap
mereka? Mungkinkan ada suatu rencana busuk di balik itu?"
"Mungkin." Bu Ceng
Sianli mengangguk dan bertanya, "Kenapa pihak Manchuria ke mari?"
"Mereka ingin
menangkapku," sahut Lie Tsu Seng. "Kalau kalian tidak muncul, aku
pasti sudah ditangkap."
"Hmm!" dengus Bu
Ceng Sianli dingin. "Lain kali aku harus membunuh pendeta jelek itu!"
"Sianli!" Orang tua
pincang menggeleng-gelengkan kepala. "Belum tentu engkau mampu
membunuhnya, sebab kepandaian Kim Ih Hoat Ong itu tinggi sekali, belum ditambah
Pancha dan tiga belas orang itu."
"Benar." Bu Ceng
Sianli manggut-manggut. "Kepandaian pendeta jelek itu memang tinggi
sekali. Hian Goan Ci tidak dapat melukainya."
"Apa?" orang tua
pincang terbelalak. "Hian Goan Ci tidak dapat melukainya? Ilmu apa yang
dimilikinya?"
"Tong Cu Sin Kang,"
sahut Bu Ceng Sianli memberitahukan. "Maka badannya kebal terhadap senjata
tajam, racun dan ilmu pukulan apa pun."
"Bukan main!" Orang
tua pincang menggeleng- gelengkan kepala. "Kalau begitu siapa yang sanggup
melawannya?"
"Lho?" Bu Ceng
Sianli menatapnya heran. "Bukankah engkau bilang tidak lama lagi Bun Yang
akan muncul? Tadi aku kira engkau sudah bertemu dia."
"Aku...." Orang tua
pincang tersenyum. "Aku membohongi
pendeta jelek itu, agar dia
merasa penasaran terhadap Bun Yang."
"Oooh!" Bu Ceng
Sianli manggut-manggut, kemudian tertawa seraya berkata, "Hi hi hi! Engkau
memang licik, namun ada baiknya juga membohongi pendeta jelek itu."
"Oh ya!" Mendadak
orang tua pincang menatap Bu Ceng Sianli dengan penuh perhatian.
"Eh?" Bu Ceng Sianli
melotot. "Kenapa engkau memandangku seperti kucing melihat ikan?"
"Aku punya akal untuk
membebaskan Toan Beng Kiat dan lainnya," sahut orang tua pincang dengan
wajah berseri.
"Akal apa?" tanya Bu
Ceng Sianli. "Apakah berkaitan dengan diriku?"
"Betul." Orang tua
pincang manggut-manggut. "Hanya engkau yang dapat menolong mereka
berempat, namun harus melalui seseorang."
"Maksudmu?" Bu Ceng
Sianli tidak mengerti. "Beritahukanlah!"
"Pancha sudah jatuh cinta
kepadamu, maka peralatlah dia untuk membebaskan Toan Beng Kiat dan
lainnya!"
"Omong kosong!"
bentak Bu Ceng Sianli. "Dari pada berbuat itu, lebih aku bertanding
mati-matian dengan pendeta jelek itu!"
"Tapi...."
"Diam!" bentak Bu
Ceng Sianli. Seketika juga orang tua pincang itu diam, namun kemudian bergumam.
"Cuma berpura-pura
mencintai Pancha, lalu memperalatnya membebaskan Toan Beng Kiat."
"Pincang!" Bu Ceng
Sianli melotot. "Engkau kira mereka begitu bodoh? Hm! Dasar pincang dan
tak punya otak!"
"Jangan berdebat!"
ujar Lie Tsu Seng. "Lebih baik kita lihat perkembangan selanjutnya,
setelah itu barulah kita berunding kembali."
"Benar." Orang tua
pincang manggut-manggut.
"Aku khawatir Toan Beng
Kiat dan lainnya dijadikan sandera "
-oo0dw0oo-
Bagian ke tujuh puluh delapan
Curahan kerinduan dan cinta kasih
Betulkah Tio Bun Yang sudah
mati? Ia telah terjun ke jurang, tapi di dasar jurang itu tidak terdapat
mayatnya. Apa yang telah terjadi atas dirinya setelah terjun ke jurang?
Tentunya ia tidak akan hilang begitu saja.
Ternyata Tio Bun Yang jatuh di
telaga di dasar jurang itu. Luncuran badannya begitu cepat, maka begitu jatuh,
langsung tenggelam.
Sungguh di luar digaan, di
dasar telaga itu terdapat pusaran air, yang membuat badan Tio Bun Yang
berputar-putar, akhirnya ia pun pingsan.
Perlahan-lahan Tio Bun Yang
membuka matanya, rupanya ia sudah siuman dari pingsannya.
Tampak seorang gadis berdiri
di hadapannya tengah memandangnya dengan mesra dan penuh cinta kasih, bahkan
tersenyum lembut.
"Adik Goat Nio...." Tio
Bun Yang, seakan tidak percaya apa
yang dilihatnya. "Adik
Goat Nio, ternyata kita bertemu di alam baka! Aku... aku gembira sekali."
"Kakak Bun Yang...."
Gadis itu ternyata Siang Koan Goat
Nio. Ia menangis terisak-isak
saking girangnya. "Kakak Bun Yang...."
"Adik Goat Nio!" Tio
Bun Yang menggenggam tangannya. "Kenapa engkau menangis? Kini kita sudah
berkumpul di alam baka, sehalusnya engkau gembira."
"Aku... aku gembira
sekali, maka menangis," sahut Siang Koan Goat Nio, lalu mendekap dadanya.
"Adik Goat Nio...." Tio Bun Yang membelainya. "Tak
disangka kita sudah jadi
arwah, namun sungguh menggembirakan, karena kita bisa berkumpul kembali."
"Kakak Bun Yang!"
Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Kita belum mati...."
"Apa?" Tio Bun Yang
tersentak. "Kita belum mati?"
"Cobalah gigil jari
tanganmu, terasa sakit atau tidak?" ujar Siang Koan Goat Nio.
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk, kemudian menggigit jari tangannya. Seketika juga ia menjerit
kesakitan. "Aduuuh! Sakit sekali!"
"Itu pertanda engkau
belum mati, aku pun demikian," ujar Siang Koan Goat Nio sambil tersenyum.
"Kakak Bun Yang, kita tidak akan berpisah lagi."
"Adik Goat Nio...."
Mendadak Tio Bun Yang terisak-isak sambil memeluknya erat-erat. "Adik Goat
Nio...."
"Kakak Bun Yang!"
Siang Koan Goat Nio membelainya seraya bertanya dengan lembut. "Kenapa
engkau menangis?"
"Aku menangis karena
girang," jawab Tio Bun Yang. "Ternyata kita belum mati...."
"Aku yakin suatu hari
engkau pasti ke mari, maka aku tetap tabah di sini," ujar Siang Koan Goat
Nio dan menambahkan. "Aku terus menunggu, dan ternyata tidak sia-sia aku
terus menunggu, karena hari ini engkau ke mari."
"Adik Goat Nio,
tuturkanlah apa yang telah terjadi atas dirimu!"
"Aku tidak begitu ingat
lagi," ujar Siang Koan Goat Nio. "Tapi aku masih ingat, ketua Kui Bin
Pang adalah seorang pemuda bernama Kwee Teng An. Beberapa tahun lalu, engkau
pernah memusnahkan ilmu silatnya."
"Dia yang memberitahukan
kepadamu?"
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mengangguk dan melanjutkan. "Ketika sampai di Tebing Selaksa
Bunga, dia... ingin berbuat kurang ajar terhadap diriku, maka aku meloncat
mundur. Setelah itu, aku tidak ingat apa yang telah terjadi."
"Apakah engkau tidak tahu
kalau di belakangmu terdapat jurang yang menganga lebar?" tanya Tio Bun
Yang.
"Aku memang tidak
tahu," jawab Siang Koan Goat Nio dan melanjutkan. "Ketika aku
tersadar, aku sudah berada di sini."
"Oh?" Tio Bun Yang
segera memandang kc sana ke mari. ternyata ia berada di pinggir sebuah kolam
alam, yang di sekitarnya tampak bunga liar beraneka warna. "Adik Goat Nio,
tempat apa ini?"
"Sebuah goa yang amat
luas di dalam perut gunung." Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Aku
terus menunggu di sini, akhirnya engkau muncul juga."
"Adik Goat Nio.„."
Tio Bun Yang memeluknya lagi. "Kita... kita sudah berkumpul kembali."
"Selama-lamanya tidak
akan berpisah lagi," ujar Siang Koan Goat Nio. "Oh ya! Engkau juga
terjatuh ke jurang?"
"...." tutur Tio Bun
Yang dan menambahkan, "Setelah itu,
aku ke Tebing Selaksa Bunga
bersama Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang Aku... aku terjun ke jurang."
"Kakak Bun
Yang...." Siang Koan
Goat Nio terisak-isak.
"Aku tidak menyangka,
kalau engkau begitu setia terhadapku."
"Adik Goat Nio!" Tio
Bun Yang membelainya sambil tersenyum lembut. "Hanya engkau yang kucintai,
maka aku harus setia kepadamu."
"Engkau terjun ke jurang
demi diriku, aku... aku terharu sekali," ujar Siang Koan Goat Nio dengan
air mata berderai-derai.
"Jangan menangis, Adik
Goat Nio!" Tio Bun Yang membelainya lagi. "Mimpi buruk itu telah
berlalu, mulai sekarang kita akan melewati hari- hari yang indah."
"Kakak Bun Yang,"
ujar Siang Koan Nio dengan suara rendah. "Kita hidup tenang dan bahagia di
pulau Hong Hoang To, jangan mencampuri urusan rimba persilatan lagi."
"Baik." Tio Bun Yang
mengangguk, tapi kemudian keningnya berkerut.
"Ada apa, Kakak Bun
Yang?" Siang Koan Goat Nio menatapnya. "Ada sesuatu yang ler- ganjel
di dalam hatimu?"
"Adik Goat Nio!" Tio
Bun Yang menggeleng- gelengkan kepala. "Kita tidak mungkin bisa
meninggalkan tempat ini."
"Ya." Siang Koan
Goat Nio manggut-manggut. "Kita berada di dalam goa yang di dalam perut
gunung, tidak mungkin kita bisa keluar dari goa ini. Tapi...."
"Kenapa?"
"Ada keganjilan pada
kolam alam itu." Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Engkau muncul
dari kolam itu, tentunya aku pun keluar dari situ."
"Tidak salah." Tio
Bun Yang manggut-manggut. "Di dasar telaga itu terdapat pusaran air maka
kita terseret ke mari."
"Aku terus menunggu di
sini, karena itu aku melihat keganjilan kolam itu." ujar Siang Koan Goat
Nio. "Pada waktu tertentu, air kolam itu muncrat ke atas bagaikan air
mancur. Hari ini juga begitu, justru engkau muncul dari situ."
"Oh?" Tio Bun Yang
tampak tertarik.
"Kadang-kadang...."
Siang Koan Goat Nio memberitahukan.
"Air kolam itu
berputar-putar ke dalam. Aku pernah melempar sesuatu ke kolam itu, lalu ikut
berputar-putar ke dalam."
"Adik Goat Nio!" Tio
Bun Yang tampak girang sekali. "Kita bisa meninggalkan tempat ini."
"Oh?" Wajah Siang
Koan Goat Nio berseri. "Bagaimana caranya?"
"Kita harus menunggu air
kolam itu berputar- putar ke dalam," jawab Tio Bun Yang menjelaskan.
"Kita meloncat ke kolam itu agar terseret pusaran air sampai ke
telaga."
"Betul." Siang Koan
Goat Nio manggut-manggut. "Kakak Bun Yang, kita... kita bisa meninggalkan
tempat ini."
"Adik Goat Nio, disaat
meloncat ke kolam itu, engkau harus menahan nafas sambil menghimpun Giok Li Sin
Kang!" pesan Tio Bun Yang.
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mengangguk.
"Dan juga..." pesan
Tio Bun Yang lagi. "Kita pun harus berpegangan tangan agar tidak
terpisah."
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mengangguk lagi, kemudian menundukkan kepala seraya berbisik.
"Kakak Bun Yang, aku... aku ingin cepat-cepat menikah denganmu.
Sungguh!"
"Adik Goat Nio." Tio
Bun Yang tersenyum lembut. "Begitu sampai di Pulau Hong Hoang To, kita
langsung menikah."
"Kakak Bun Yang,..."
Siang Koan Goat Nio mendekap d; dadanya dengan penuh rasa bahagia. "Aku...
aku bahagia dan gembira sekali."
Menteri Bun dan Kim Ih Hoat
Ong terus tertawa gelak, Cap Sah Sin Eng duduk diam, sedangkan Pancha tampak
melamun.
"Hoat Ong," tanya
menteri Bun heran. "Kenapa Pancha terus melamun, apa gerangan yang telah
teriadi atas dirir ya?"
"Dia..." Kim Ih Hoat
Ong tertawa lagi. "Ha ha ha! Dia sedang jatuh cirta, maka terus melamun."
"Oh?" Menteri Bun
tertegun. "Dia jatuh cinta pada gadis mana? Apakah gadis itu juga
mencintainya?"
"Gadis itu memang cantik
sekali, namun galak dan liar," sahut Ki.n Ih Hoat Ong memberitahu kan.
"Gadis itu adalah Bu Ceng Sianli."
"Hah?" Mulut menteri
Bun ternganga iebar "Bu Ceng Sianli? Kepandaiannya...."
"Yaaah.„.." Kim Ih
Hoat Ong menghembus nafas panjang "Kepandaian gadis itu sungguh tinggi
sekali! Kalau aku fidak memiliki Tong Cu Siu Kang, aku past sudah mati"
"Hoat Ong tidak sanggup mengalahkannya?"
tanya Menteri Bun mendadak.
"Mungkin aku sanggup
mengalahkannya, tapi ratusan jurus." jawab Kim Ih Hoat Ong jujur dan
menambahkan. "AKU harus melukainya."
"Pokoknya Hoat Ong tidak
boleh melukai nya!" sela Pancha mendadak dan melanjutkan. "Apabila
aku kawin dengan dia, tentu kekuatan kita bertambah Namun , dia kelihatan tidak
menaruh perhatian kepadaku. Aaaah...!"
”Pancha!" Kim Ih Hoat Ong
menggeleng-gelengkan kepala. "Sudahlah Jangan terus memikirkan Bu Cengg
Sianli, kini dia. adalah musuhku."
"Hoat Ong ..."
Kening Pancha berkerut-kerut. ?Aku...."
"Sudahlah!" Kim Ih
Hoat Ong menggeleng- gelengkan kepala lagi. "Kini kita telah berhasT
menawan Toan Beng Kiat dan teman-temannya. Aku yakin Bu Ceng Sianli dan orang
tua pincang itu tidak akan tinggal diam."
'Aaaah . !" Menteri Bun
menghela nafas panjang "Seharusnya kalian menangkap Lie Tsu Seng, bukan
Toan Beng Kiat."
"Tapi aku punya suatu
rencana," ujar Kim Ih Hoat Ong sambil tertawa geiak. "Karena itu, aku
yakin Lie Tsu Seng pasti menyerahkan dirinya kepada kita! Ha ha ha...!"
"Rencana apa?" tanya
Menteri Bun tertarik.
"Begini...." Kim Ih
Hoat Ong memberitahukan. "Dirikan
sebuah panggung yang agak jauh
dari markas Lie Tsu Seng, kita ikat Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam
Heng dan Lam Kiong Soat Lan di atas panggung itu. Setelah itu, kita mengutus
seseorang untuk menemui Lie Tsu Seng, menyatakan bahwa dalam waktu tujuh hari
Lie Tsu Seng harus menyerahkan diri kepada kita. Kalau tidak, kita akan
membunuh mereka berempat, yang di atas panggung itu."
"Ha ha ha!" Menteri
Bun tertawa gembira. "Sungguh merupakan ide yang jitu sekali! Tapi
alangkah baiknya kalau kita mengutus seorang ke sana dulu, setelah itu barulah
kita mendirikan panggung tersebut."
"Ngmm!" Kim Ih Hoat
Ong manggut-manggut. "Usulmu kuterima dengan baik."
"Terimakasih!" ucap
Menteri Bun dan bertanya. "Kapan kita mengutus seseorang untuk menemui Lie
Tsu Seng?"
"Besok," sahut Kim
Ih Hoat Ong.
"Bagus!" Menteri Bun
tertawa gembira. "Setelah panggung itu kita dirikan, aku akan mengirim
pasukan kerajaan ke sana untuk berjaga- jaga."
"Itu tidak perlu,"
ujar Kim Ih Hoat Ong. "Oh ya! Ada berapa banyak pengawal di sini?"
"Kurang lebih tiga ratus
pengawal," sahut Menteri Bun.
"Kalau begitu, aku cukup
membutuhkan seratus pengawal saja untuk menyertai kami." Kim Ih Hoat Ong
memberitahukan, kemudian menambahkan pula. "Pasukan kerajaan harus
ditempatkan di sini, sebab aku khawatir pihak pemberontak akan menyerang ke
mari."
"Ngmm!" Menteri Bun
manggut-manggut. "Besok aku akan mengutus seseorang ke sana."
"Ingat! Harus bilang
utusan dariku, jangan bilang utusan dari sini!" Kim Ih Hoat Ong
mengingatkan. "Agar pihak pemberontak tidak menyerang ke mari, dan
seolah-olah Menteri Bun tidak tersangkut dalam hal ini."
"Terimakasih,
terimakasih!" ucap Menteri Bun. "Mari kita bersulang lagi!"
"Mari!" Kim Ih Hoat
Ong tertawa gelak. "Ha ha ha...!" -oo0dw0oo-
Lie Tsu Seng, Bu Ceng Sianli,
orang tua pincang, Yo Suan Hiang dan lainnya duduk dengan wajah serius. Kadang-
kadang kening mereka
berkerut-kerut, sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
"Heran!" gumam Lie
Tsu Seng. "Kenapa pihak Kim Ih Hoat Ong dan Menteri Bun diam saja?
Mungkinkah...."
Mendadak muncul seseorang,
yang memberi hormat dan melapor.
"Utusan Kim Ih Hoat Ong ingin
bertemu." "Persilakan dia masuk!" sahut Lie Tsu Seng.
"Ya." Orang itu segera pergi.
Sedangkan Lie Tsu Seng dan
lainnya saling memandang, berselang sesaat muncullah utusan Kim Ih Hoat Ong,
yaitu salah seorang pengawal menteri Bun.
"Maaf!" ucap orang
itu sambil memberi hormat. "Kim Ih Hoat Ong mengutus aku ke mari."
"Silakan duduk!"
sahut Lie Tsu Seng.
"Terimakasih!" ucap
orang itu lalu duduk.
"Mau apa Kim Ih Hoat Ong
mengutusmu ke mari?" tanya Lie Tsu Seng sambil menatap orang itu.
"Menyampaikan sesuatu
kepada Tuan!"
"Oh?" Lie Tsu Seng
menatapnya tajam. "Engkau boleh menyampaikannya?"
"Dalam tujuh hari,
apabila Tuan tidak menyerahkan diri kepada Kim Ih Hoat Ong, maka Toan Beng Kiat
dan lainnya pasti mati." Orang itu memberitahukan.
"Apa?" Lie Tsu Seng
tertegun.
"Hm!" dengus Bu Ceng
Sianli. "Aku terpaksa membunuhmu!"
"Bu Ceng Sianli,"
ujar orang itu. "Aku hanya diutus ke mari. Kalau engkau membunuhku
pertanda engkau pengecut."
"Apa?" Bu-Ceng
Sianli melotot. "Engkau memang ingin cari mampus! Setelah aku membunuhmu,
barulah aku pergi mencari Kim Ih Hoat Ong!"
"Sianli," ujar Lie
Tsu Seng. "Jangan bertindak ceroboh, tenanglah!"
Sebetulnya Bu Ceng Sianli
sudah mau bergerak, namun begitu mendengar teguran Lie Tsu Seng, wanita itu
langsung diam di tempat.
"Baiklah." Lie Tsu
Seng manggut-manggut. "Sekarang engkau boleh pulang, beritahukan pada Kim
Ih Hoat Ong, bahwa kami akan mempertimbangkannya!"
"Ya!" Orang itu
memberi hormat, lalu meninggalkan tenda itu.
Lie Tsu Seng dan lainnya
saling memandang, lama sekali barulah Lie Tsu Seng membuka mulut.
"Apa boleh buat aku
terpaksa menyerahkan diri kepada Kim Ih Hoal Ong."
"Tidak bisa!" Bu
Ceng Sianli menggelengkan kepala. "Aku yakin mereka cuma mengancam."
"Tapi...." Lie Tsu
Seng menggeleng-gelengkan kepala.
"Toan Beng Kiat dan
lainnya berada di tangan mereka."
"Mereka tidak mungkin
membunuh Bokyong Sian Hoa," ujar Bu Ceng Sianli dan menambahkan.
"Juga belum tentu berani membunuh Toan Beng
Kiat, Yo Kiam Heng maupun Lam
Kiong Soat Lan Itu cuma merupakan siasat licik, agar engkau menyerahkan
diri"
"Aaaah. .!" Lie Tsu
Seng menggeleng geleng kan kepala. "Aku tidak tahu harus baga.mana.''
"Begir;" ujar orang
tua pincang. "Masih ada tujuh hari kita ikuti saja permainan mereka "
'Maksudmu?" tanya Bu Ceng
Sianli.
"Aku yakin itu adalah
rencana Menteri Bun," jawab orang tua pincang. "Sebab tidak mungkin
Kim Ih Hoat Ong menghendaki Lie Tsu Seng. Oleh karena itu, kita tunggu saja apa
kemauan mereka."
"Ngmm!" Bu Ceng
Sianli manggut-manggut "Baiklah kita tunggu saja bagaimana
perkembangannya."
Orang yang diutus pergi
menemui Lie Tsu Seng, kini sudah kembali ke rumah Menter Bun, lalu melapor
tentang itu
"Ha ha ha!' Menteri Bun
tertawa gelak. "Aku yakin Lie Tsu Seng pasti akan menyerahkan dirinya! Ha
ha ha...!"
"Itu belum tentu."
Kim Ih hoat Ong menggelengkan kepala. "Sebab mereka bukan orang
bodoh."
"Oh?" Menteri Bun
mengerutkan kening. "Apakah mereka akan. mengorbankan Toan Beng K iat dan
lainnya?"
"Tentu tidak. Tapi
..." Kim Ih Hoal Ong melanjutkan. "Mereka pasti tahu kita tidak akan
membunuh Toat Beng Kiat dan lainnya."
"Kalau begitu kita bunuh
saja mereka," ujar Menteri Bun tanpa berpikir.
"Menteri Pun!" Kim
Ih Hoal Ong menatapnya seraya bertanya "Er.gkau berani menanggung
resikonya?"
"Aku...." Menteri
Bun menghela nafas pan'ang.
"Sesuai dengan rencana
semula, mulai besok panggung itu harus didirikan dan buatkan juga empat buah
tiang untuk mengikat Toan Beng K;at dan lainnya!"
"Hoat Ong." tanya
Pancha. "Auakah Sian Hoa juga harus di kat di panggung itu?"
"Tentu." Kim Ih Hoat
Ong manggut-manggut. 'Agar Lie Tsu Seng lebih yakin bahwa kita akan membunuh
mereka berempat."
"Tapi...." Pancha menggeleng gelengkan kepala.
"Tindakan itu akan
menjauhkan aku dengan Bu Ceng Sianli."
"Pancha!" Kim Ih
Hoat Ong mengerutkan kening. "Masih banyak gadis lain yang cantik- cantik,
tenang saia!"
Pancha menghela nafas paring.
"Aku tiak pernah jatuh cinta, baru kali ini. Hoat Ong, bagaimana kalau
mereka berempat kita lepaskan agar aku bisa mengambil hati Bu Ceng
Sianii?"
"Jangan!" Kim Ih
Hoat Ong menggelengkan kepala. "Sebab tujuan kita adalah menangkap Lie Tsu
Seng. Setekh periiinp:n pemberontak itu menyerahkan diri kepada kiti, barulah
mereka berempat kita lepaskan."
"Hoat Ong ..."
"Sudahlah! Jangan memikirkan
yang bukan bukan!" tandas Kim Ih Hoat Ong. 'Perlihatkanlah kegagahan
bangsa ManchuWa, siapa tahu kelak k;ta akan berkuasa di sini."
"Aaaah ..!" Pancha
menghela nafas paniang, lalu berjalan menuju ruang batu.
Para pengawal langsung memberi
hormat. Pancha memberi syarat, salah seorang pengawal langsung membuka pintu
ruang batu. Fancha melangkah ke aalam. tampak Bokyong Sian Hoa duduk bersandar
pada dinding dengan tangan dan kaki terikat rantai.
"Adik Sian Hoa...."
Pancha mendekatinya.
"Pergi! Cepat
pergi.'" bentak Bokyong Sian Hoa "Aku benci engkau! Kalau engkau
berani membunuh Beng Kiat dan lainnya, aku past1 bersumpah mencincangmu!"
'Aaah ..!" Pancha
menghela nafas pai.jang.
"Ayoh' Cepat lepaskan kami!" Bokyong
Sian
Hoa menatapnya dengan penuh
krbemi.ui "kenapa engkau menyekapku di ruang balu ini, sedangkan Beng
Kiat, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan berada di ruang lain?"
"Sebab engkau adikku." "Phui!" Bokyang Sian Hoa meludah.
"Siapa adikmu? Aku tidak sudi menjadi adikmu!" "Adik Sian Hoa...."
"Cepatlah tinggalkan
ruang ini! Cepaaat!" bentak Bokyong Sian Hoa sambil melotot.
Pancha mengerutkan kening,
kemudian meninggalkan ruang batu sambil menghela nafas panjang. Sesungguhnya ia
ingin menanyakan tentang Bu Ceng Sianli kepada Bokyong Sian Hoa. namun gadis
itu terus mencacinya dan mengusirnya, maka ia terpaksa harus meninggalkan ruang
itu dengan perasaan kecewa.
-ooo0dw0oo-
Bagian ke tujuh puluh sembilan
Menundukkan Kim Ih Hoat Ong
Berita tentang tertangkapnya
Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan telah
sampai di telinga pihak KayPang. Betapa terkejutnya Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong ketika mendengar berita tersebut.
"Heran?" ujar Lim
Peng Hang sambil mengerutkan kening. "Kenapa pihak Manchuria menangkap
mereka berempat?"
"Mungkinkah itu merupakan
suatu siasat busuk?" tanya Gouw Han Tiong.
"Mungkin." Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Kemudian muncul Bu Ceng Sianli bertanding dengan
Kim Ih
Hoat Ong. Sungguh di luar
dugaan kepandaian mereka seimbang. Setelah itu muncul pula Si Pincang, dan kini
mereka berada di markas Lie Tsu Seng. Oh ya, sungguh sayang sekali Ling Cu
sudah kembali ke markasnya."
"Kita harus
bagaimana?" tanya Gouw Han Tiong mendadak.
"Toan Beng Kiat adalah
cucumu," sahut Lim Peng Hang. "Maka kita harus pergi menolong
mereka."
"Tapi...." Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan
kepala. "Kepandaian kita
berdua tidak mampu menandingi Kim Ih Hoat Ong itu."
"Memang." Lim Peng
Hang mengangguk. "Tapi kita dan Si Pincang tentu dapat melawan Cap Sah Sin
Eng. Secara tidak langsung kita telah membantu Bu Ceng Sianli."
"Aaaah.J" Mendadak
Gouw Han Tiong menghela nafas panjang. "Hingga k;ni tiada berita tentang
Bun Yang dan Goat Nio, entah bagaimana nasib mereka?"
"Seandainya Bun Yang berada
di sini, aku yakin masalah itu dapat diatasi." ujar Lim Peng Hang.
"Tapi dia....".
"Sudah sekian lama dia
dan Goat Nio tidak muncul di sini, berarti mereka telah mati. Aaah...!"
Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala. "Di saat kita masih dalam kedukaan,
malah muncul urusan itu pula!"
"Aaaah...!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Bun Yang...."
Di saat bersamaan, berkelebat
dua sosok bayangan ke hadapan mereka. Betapa terkejutnya Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong, dan Lim Peng Hang langsung membentak.
"Siapa?"
"Kakek! Kakek Gouw!"
Terdengar suara sahutan.
"Haaah...?" Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong terbelalak, sehingga mulut mereka ternganga lebar, lama
sekali baru bersuara. "Bun Yang! Goat Nio!"
Ternyata yang muncul itu
adalah Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio. Bayangkan betapa gembiranya Lim
Peng Hang dan Gouw Han Tiong. Mereka berdua mengucek mata seakan tidak percaya
apa yang dilihatnya.
"Kakek Lim! Kakek
Gouw!" panggil Siang Koan Goat Nio. "Kami sudah kembali"
"Bun Yang...." Mata
Lim Peng Hang
berkaca- kaca.
"Kalian duduklah!"
"Ya, kakek." Tio Bun
Yang dan Siang Koan Goat Nio segera duduk.
"Bun Yang, Goat
Nio!" Gouw Han Tiong terus menatap mereka, kemudian berkata "Ternyata
kalian berdua masih hidup, kenapa sekarang baru kembali”
"Bun Yang," tanya
Lim Peng Hang dengan wajih berseri-seri. "Kenapa kami tidak menemukan
kalian di dasar juang itu? Sebetulnya kali in berdua berada di mana?"
"Kakek Lim," jawab
Siang Koan Goat Nio. "Aku terjatuh ke dalam telaga yang di dasar jurang...."
Siang Koan Goat Nio menutur
tentang apa yar.g dialaminya, Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong mendengarkan
dengan penuh perhatian
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggut setelah mendengar penuturan itu. "Tidak heran kalau
kami tidak menemukan kalian, ternyata kalian berada di dalam goa itu. Kalau Bun
Yang tidak terjun ke jurang, tentunya kalian tidak akan berjumpa kembali."
"Betul." Tio Bun
Yang mengangguk "Kami tidak bisa cepat-cepat meninggalkan goa
itu...."
Tio Bun Yang membeiitahukan
tentang air kolam yang di dalam goa tersebut, Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
manggut-manggut
"Jadi kalian harus
menunggu air kolam itu berputar-putar ke dalam, barulah kalian meloncat ke
kolam itu?".
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Kami terseret pusaran air sampai di tengah telaga. Kemudian
kami segera berenang ke tepi, dan naik ke atas. Kami melihat banyak tali di
situ dan kami duga pasti kakek, ayah, ibu serta lainnya yang datang di tempat
itu."
"Betul." Lim Peng
Hang tersenyum. "Kami dan pihak Tayli turun ke dasar jurang itu Syukurlah
kalian berdua masih hidup dan kini sudah kembali!"
"Kakek, kami harus segera
pulang ke pulau Hong Hoang To," ujar Tio Bun Yang dan menambahkan.
"Agar ayah, ibu dan lainnya tidak terus berduka."
"Ya. Tapi...." Lim
Peng Hang mengerutkan kening
"Ada apa, Kakek?"
tanya Tio Bun Yang. "Apakah di sana telah terjadi sesuatu?"
'Bun Yang," sahut Gouw
Han Tiong, lalu menutur tentang Kim Ih Hoat Ong yang menangkap Toan Beng Kiat
dan lainnya. "Oleh karena itu, lebih baik kita pergi menyelamatkan mereka
dulu."
"Tidak disangka pihak
Manchuria mulai mengacau di Tonggoan!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Baiklah kita harus segera pergi menyelamatkan mereka. Kapan kita
berangkat?"
"Menurut aku..."
sela Gouw Han Tiong. "Kita harus ke markas Lie Tsu Seng dulu, berunding
dengan mereka. Setelah itu, barulah kita bertindak."
"Baiklah." Tio Bun
Yang mengangguk.
"Bun Yang, engkau harus
berhati-hati terhadap Kim Ih Hoat Ong, sebab kepandaiannya tinggi sekali!"
pesan Lim Peng Hang.
"Ya." Tio Bun Yang
manggut-manggut dan bertanya. "Kakek, kapan kita berangkat ke markas Lie
Tsu Seng?"
"Besok pagi," jawab
Lim Peng Hang.
Tio Bun Yang kelihatan tidak
sabaran. "Bagaimana kalau kita berangkat sekarang saja? Sebab aku
khawatir...."
"Besok pagi saja,"
ujar Lim Peng Hang sambil tersenyum. "Karena sekarang kalian berdua harus
beristirahat."
"Ya, Kakek." Tio Bun
Yang dan Siang Kon Goat Nio mengangguk.
"Oh ya!" Lim Peng
Hang teringat sesuatu dan langsung memberitahukan. "Hari itu Kim Coa Long
Kun ke mari menanyakan tentang dirimu, kemudian dia membantai seratus penjahat.
Setelah itu, tiada kabar beritanya lagi."
"Oh?" Tio Bun Yang
tertegun. "Kenapa dia membantai para penjahat itu?"
"Mungkin membalaskan
dendammu," sahut Gouw Han Tiong. "Sebab engkau dicelakai penjahat,
maka dia membunuh para penjahat itu."
"Aaaah...!". Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Dia...."
"Dia tidak berhati jahat,
hanya tercekam rasa dendam saja," ujar Gouw Han Tiong sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Pada hal dia sangat solider."
"Betul." Tio Bun
Yang mengangguk. "Bahkan juga sangat setia kawan."
"Bun Yang, Goat
Nio," ujar Lim Peng Hang. "Lebih baik kalian beristirahat, sebab
besok pagi kita akan berangkat ke markas Lie Tsu Seng."
Tio Bun Yang dan Goat Nio
mengangguk, lalu melangkah ke dalam. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
manggut-manggut dengan wajah berseri, kemudian Lim Peng Hang berkata,
"Sungguh di luar dugaan,
ternyata mereka belum mati! Ha ha ha...!"
"Syukurlah kini mereka
sudah kembali! Cucuku dan lainnya pasti dapat diselamatkannya." ujar Gouw
Han Tiong.
-oo0dw0oo-
Kening Lie Tsu Seng terus
berkerut-kerut, begitu pula yang lainnya. Sejenak kemudian barulah pemimpin
pemberontak itu berkata,
"Kini Toan Beng Kiat,
Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan telah di ikat pada tiang
di panggung itu. Kalau aku tidak menyerahkan diri, mereka berempat pasti
mati."
"Jangan terkena siasat
mereka!" ujar Bu Ceng Sianli dan menambahkan, "Hingga saat ini aku
masih tidak percaya, kalau mereka berani membunuh Toan Beng Kiat dan
lainnya."
"Kalau begitu, kita harus
bagaimana?" Lie Tsu Seng menghela nafas panjang. "Apakah kita tinggal
diam?"
"Tentu tidak," sahut
Bu Ceng Sianli. "Besok adalah batas waktu tujuh hari, kita serbu
mereka."
Orang tua pincang
menggeleng-gelengkan kepala. "Bagaimana mungkin kita dapat melawan
mereka?"
"Kalau engkau takut mati,
lebih baik pergi bersembunyi saja," sahut Bu Ceng Sianli sambil melotot.
"Maksudku kita jangan
bertindak gegabah, pikirkan dulu secara cermat." ujar orang tua pincang.
"Apabila kita bertindak gegabah, yang bakal celaka adalah Tuan Lie."
"Aaaah...!" Keluh Bu
Ceng Sianli. "Seandainya Bun Yang berada di sini, aku yakin dia mampu
mengatasi masalah ini. Tapi dia... Sudahlah, pokoknya besok pagi kita pergi
menyerbu mereka sebab tiada jalan lain yang harus kita tempuh."
"Baik." Yo.Suan
Hiang mengangguk. "Mari kita serbu mereka pagi!"
"Aku setuju." Lie
Tsu Seng manggut-manggut dan melanjutkan, "Namun kita harus mengatur
strategi, karena ada seratus lebih pengawal Menteri Bun di sana. Oleh karena
itu, aku pun harus membawa sekitar dua ratus orang untuk mengepung tempat
itu,"
"Baik." Bu Ceng
Sianli mengangguk. "Aku melawan Kim Ih Hoat Ong, Si Pincang dan lainnya
melawan Cap Sah Sin Eng. Pokoknya kita bertarung mati-matian dengan
meraka."
"Ngmm!" Lie Tsu Seng
manggut-manggut. "Jatuh bangun kita bergantung pada esok. Semoga kita
berhasil menyelamatkan Toan Beng Kiat dan lainnya!"
-oo0dw0oo-
Keesokan harinya Bu Ceng
Sianli dan lainnya berangkat ke tempat panggung itu, sedangkan Lie Tsu Seng
memimpin dua ratus orang menyertai mereka. Tak seberapa lama kemudian, Bu Ceng
Sianli dan lainnya sudah tiba
di tempat tujuan, dan Lie Tsu Seng langsung mengepung tempat itu.
"Ha ha ha!" Kim Ih
Hoat Ong tertawa gelak. "Sungguh tak disangka akhi nya kalian datang
juga!"
"Pendeta jelek!"
sahut Bu Ceng Sianli menyindir. "Kami orang Han bukan pengecut, sebaliknya
kalian orang Manchunci justru pengecut! Kalian cuma berani melakukan perbuatan
yang tak terpuji!"
"Oh, ya?" Kim Ih
Hoat Ong tertawa lagi "Baiklah kalau begitu mari kita bertanding
melanjutkan pertandingan kita tempo hari ! Kalau engkau kalah harus
meninggalkan tempat ini, tidak boleh mencampui urusan kami! Sebaliknya kalau
aku yang Kalah, kami pasti membebaskan Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo
Kiam Heng dan Kiam Kiong Soat Lan. bahkan kami pun akan segera kembali ke
Manchuria'"
"Baik!" Bu Ceng
Sianli manggut-manggut.
"Nona!" Panggil
Pancha menqadak.
"Hmm!" dengus Bu
Ceng Sianli dingin. "Engkau bukan pemuda gagah, sepab engkau tidak berani
membebaskan mereka demi cintamu kepadaku! Engkau banci! bagaimana mungkin aku
akan tertarik kepadamu?"
"Nona Sekarang juga aku
akan membebaskan mereka!" ujar Pancha sungguh-sungguh.
"Percuma!" Bu Cerrg
Sianli merggelengkan kepala. "Karena aku dan Hoai Ong sudah ada
perjanjian, kami akan segera mulai bertanding!"
"Nona!" Pancha
tampak kecewa sekali. Ia mengakui bsnar apa yang dikatakan Bu Ceng Sianli,
bahwa dirinya tidak berani berbuat begitu demi cintanya kepada Bu Ceng Sianli
maka Ia pun merasa menyesal sekali.
"Sudahlah! Jangan banyak
bicara!" tandas Bu Ceng Sianli, lalu memandang Kim Ih Hoat Ong seraya
berkata, "Ayoh, kita mula' bertandirg! Pokoknya hari ini harus ada yang
kalah dan yang menang!"
'Baik!" Kim Ih Hoat Ong
manggut-manggut.
Bu Ceng Sianli mulai
menghimpun Hian Goan Sin Kang, sedangkan Kim Ih Hoat Ong menghimpun Tong Cu Sin
Kang. Akan tetapi di saat bersamaan terdengarlah suara suling yang amat lembut
menggetarkan kalbu. Begitu mendengar suara suling itu, berserilah waiah Bu Ceng
Sianli.
"Adik Bun Yarg' Adik Bun
Yang...!" serunya dengan penuh kegembiraan
Sebaliknya Kim ih Hoat Org.
Pancha dan Cap Sah Sin Eng tampak tersentak berselang sesaat, tampak empat
sosok bayangan melayang turun di sisi Bu Ceng Sianli, yakni Iam Peng Hang, Gouw
Han Tiong, Tio Bun Yang dan Siang Koang Goat Nio.
"Kakak Sho Cui!"
seru T:o Bun Yang dan
Siang Koan Goat Nio serentak
dengan gembira sekali.
"Adik Bun Yang, Adik Goat
Nio...!" Bu Ceng Sianli memandang mereka dengan mata bersimbah air mata
saking girangnya. "Kalian... kalian telah berkumpul, ternyata kalian tidak
mati! Aku... aku girang sekali!"
"Kakak Siao Cui!"
Tio Bun Yang tersenyum, lalu menutur tentang kejadian yang dialaminya secara
ringkas.
Bu Ceng Sianli
manggut-manggut, kemudian memperkenalkan mereka. "Pendeta jelek! Mereka
adalah Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong ketua dan tetua Kay Pang! Pemuda itu
adalah Giok Siauw Sin Hiap Tio Bun Yang dan gadis itu adalah Siang Koan Goat
Nio calon isterinya!"
"Ha ha ha!" Kim Ih
Hoat Ong tertawa gelak. "Sudah lama aku mendengar nama besar Giok Siauw
Sin Hiap! Sungguh beruntung kita bertemu di sini hari ini!"
"Sama-sama!" sahut
Tio Bun Yang sambil memandang ke arah panggung. "Mereka berempat tidak
bermusuhan dengan pihak Manchuria, kenapa kalian tangkap?"
"Karena ingin ditukarkan
dengan Lie Tsu Seng!" sahut Kim Ih Hoat Ong.
"Aku tidak
menyangka...." Tio Bun Yang menggeleng-
gelengkan kepala. "Pihak
Manchuria begitu licik dan pengecut! Pada hal Hoat Ong adalah guru istana
Manchuria! Bukankah tindakan itu sangat mempermalukan Bangsa Manchuria?"
"Dalam siasat perang,
tiada istilah licik!" sahut Kim Ih Hoat Ong sungguh-sungguh. "Maka
kami Bangsa Manchuria bukan pengecut, lagi pula aku dan Bu Ceng Sianli sudah
ada suatu perjanjian, yaitu kami akan bertanding! Kalau dia kalah harus segera
pergi dari sini, kalau aku kalah harus membebaskan mereka berempat , bahkan
kami akan segera pulang ke Manchuria!"
Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Kalau begitu, aku akan mewakili Bu Ceng Sianli bertanding dengan Hoat
Ong!"
"Ha ha ha!" Kim Ih
Hoat Ong tertawa gembira. "Baik! Aku memang ingin mencoba kepandaianmu,
sebab aku dengar kepandaianmu sangat tinggi sekali! Boleh dikatakan sebagai
pendekar nomor satu di Tionggoan!"
"Hoat Ong!" Tio Bun
Yang menatapnya tajam seraya bertanya, "Kita bertanding dengan tangan
kosong atau dengan senjata?"
"Cukup dengan tangan
kosong saja!" sahut Kim Ih Hoat Ong dan menambahkan. "Tapi harus ada
yang menang dan kalah, tidak ada istilah seri!"
"Baik!" Tio Bun Yang
mengangguk. "Kita bertanding cukup tiga jurus saja! Kalah atau menang
sudah bisa diketahui!"
"Cuma bertanding tiga
jurus?" Kim Ih Hoat Ong tertegun.
"Ya." Tio Bun Yang
manggut-manggut. "Itu sudah cukup!"
"He he he!" Mendadak
orang tua pincang tertawa terkekeh-kekeh. "Pendeta jelek itu sudah ciut
nyalinya! He he he...!"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan mengejek Kim Ih Hoat Ong. "Jangan-jangan pendeta
jelek itu sudah terkencing-kencing?"
Betapa gusarnya Kim Ih Hoat
Ong diejek begitu, dan langsung membentak dengan suara mengguntur.
"Giok Siauw Sin Hiap!
Mari kita mulai bertanding!"
Kim Ih Hoat Ong mulai
mengerahkan Tong Cu Sin Kang, sedangkan Tio Bun Yang mengerahkan Pan Yok Hain
Thian Sin Kang, kemudian ia pun menghimpun Kan Kun Taylo Im Yang Sin Kang,
bersiap untuk menangkis serangan Kim Ih Hoat Ong.
"Jurus pertama!"
teriak Kim Ih Hoat Onp sambil menyerang Tio Bun Yang dengan dahsyat sekali. Ia
menggunakan San Hai Ho Liu Gang Hoat dan mengeluarkan jurus Teng Tia Jun San
(Tenang Tegar Bagaikan Gunung). Kedua lengan jubahnya melembung mengarah kepada
Tio Bun Yang.
Tio Bun Yang tahu akan
kehebatan Kim Ih Hoat Ong, maka ia menangkis dengan jurus Kan Kun Taylo Bu Pien
(Alam Semesta Tiada Balas).
Blam! Terdengar suara benturan
keras
Tio Bun Yang termundur-mundur
beberapa langkah dengan kening berkerut kerut, Kim Ih Hoat Ongpun
termundur-mundur beberapa langkah dengan wajah pucat
pias. Betapa terkejutnya Kim
Ih Hoat Ong, karena merasa Iweekangnya berbalik menyerang dirinya sendiri,
karena itu ia pun penasaran sekali.
"Jurus kedua!"
teriaknya sambil menyerang Tio Bun Yang dengan sepenuh tenaga. Maksudnya ingin
mengalahkan Tio Bun Yang dengan jurus ini, yakni jurus San Hai Ho Liu (Gunung
Laut dan Arus Sungai), yang paling lihay dan dahsyat.
Tio Bun Yang sudah merasakan
kelihayan dan kedahsyatan ilmu pukulan tersebut. Ia pun mengerahkan Kan Kun
Taylo Im Yang Sin Kang pada puncaknya, kemudian menangkis serangan itu dengan
jurus Kan Kun Taylo Kwi Cong (Segala-galanya Kembali Ke Alam Semesta).
Daaar! Blaaaam...! Terdengar
suara seperti ledakan.
Kim Ih Hoat Ong terpental
beberapa depa, sedangkan Tio Bun Yang terhuyung-huyung ke belakang tujuh
delapan langkah. Setelah berdiri tegak, ia langsung melesat ke arah Kim Ih Hoat
Ong yang telah terkapar dengan mulut mengeluarkan darah. Ternyata ia telah
terluka parah.
"Giok Siauw Sin Hiap,
engkau... engkau memang hebat sekali. Aku... aku mengaku kalah."
"Hoat Ong...." Tio
Bun Yang menghela nafas panjang,
kemudian menempelkan sepasang telapak
tangannya pada punggung Kim Ih Hoat Ong, sekaligus menyalurkan Pan Yok Hian
Thian Sin Kang ke dalam tubuhnya.
Berselang beberapa saat, wajah
Kim Ih Hoat Ong mulai tampak segar. Setelah Tio Bun Yang melepaskan sepasang
telapak tangannya, Kim Ih Hoat Ong bangkit berdiri.
"Terimakasih, Giok Siauw
Sin Hiap!" ucapnya.
"Kita tidak bermusuhan,
kenapa harus saling membunuh?" sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Cap Sah Sin Ceng! Cepat
bebaskan mereka berempat!" seru Kim Ih Hoat Ong.
Cap Sah Sin Ceng segera
membebaskan Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat
Lan.
"Kakak Bun Yang!"
Seru Bokyong Sian Hoa dan Lam Kiong Soat Lan serentak sambil menghampirinya.
"Kakak Bun Yang...."
"Adik Sian Hoa, Soat
Lan!" sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Goat Nio!" seru
kedua gadis itu.
"Sian Hoa, Soat
Lan!" Siang Koan Goat Nio memandang mereka sambil tersenyum lembut.
Sementara Toan Beng Kiat dan
Yo Kiam Heng mendekati Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong, lalu memberi hormat.
"Kakek! Kakek Lim!"
panggil Toan Beng Kiat.
"Syukurlah -kalian telah
selamat!" ujar Gouw Han Tiong sambil tertawa gembira.
"Kakek!" Toan Beng
Kiat tersenyum. "Sungguh tak disangka, ternyata Bun Yang dan Goat Nio
masih hidup!"
Gouw Han Tiong
manggut-manggut. Toan Beng Kiat dan Yo Kiam Heng menghampiri Tio Bun Yang.
"Bun Yang!" panggil
mereka.
"Beng Kiat! Kiam
Heng!" sahut Tio Bun Yang dengan gembira sekali. "Kalian
selamat!"
"Terimakasih atas
pertolonganmu. Bun Yang!" ucap Toan Beng Kiat dan Yo Kiam Heng.
"Sama-sama." Tio Bun
Yang tersenyum.
Sementara itu, Pancha
terus-menerus memandang Bu Ceng Sianli, kemudian memberanikan diri
mendekatinya, lalu memberi hormat.
"Nona, kami akan segera
kembali ke Manchuria, bolehkah aku tahu nama Nona yang indah dan harum?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan. "Namaku Tu Siao Cui. Engkau harus ingat baik-
baik, jangan sampai lupa lho!"
"Ya, ya." Pancha
mengangguk. "Seumur hidup aku tidak akan melupakan nama Nona."
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa geli.
"Nona!" Pancha
menatapnya dengan mata berbinar-binar. "Kalau Nona sempat, aicu harap sudi
berkunjung ke Manchuria!"
"3*ik." Pu Ceng
Sianli manggut-manggut. "Tunggu, aku pasti ke sana!"
"Terrmakasih, Nona'"
Wajah Pancha berseri- ser;. Putra Mahkota tu tidak tahu kalau Bu Ceng Sianf-'
sedang mempermainkannya.
"Tani...," ujar Bu
Ceng Sianli setengah berbisik. "Fngkau sudah punya kekasih di
Manchuria."
"Sumpah'" sahut
Pancha cepat, "Aku sama seka!i tidak punya kekasih"
"Bohong" sela
Bokjong Sian Hoa mendadak. "Kekasihnya banyak sekalii Kakak Siao Cun,
jangan meladen.nya!"
"Adik Sian Hoa.. ."
Pancha menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa engkau begitu jahat
terhadapku?"
"Engkau yang jahat!
Merantaiku di ruang batu!" Bokyong Sian Hoa memandang Tio Bun Yang seraya
berkata, "Kakak Bun yang, bunuhlah dia'"
"Dia putra pamanmu,
bagaimana mungkin aku tega membunuhnya? Lagi pula kalau aku membunuhnya, Kakak
Siao Cu pasti marah padaku."
"Betul " sahut orang
tua pincang mendadak. '"Kelihatannya Bu Ceng Sianli sudah tertarik pada
Putra Mahkota Manchuria itu! Ha ha ha...!"
Plak! Ploook!
"Aduh!" jerit orang
tua pincang kesakitan. Ternyata pipinya telah di tampar oleh Bu Ceng Sianli.
"Hmm!" dengus Bu
Ceng Sianli dingin. "Sekali lagi menggodaku, engkau past'i mampus!"
"Bun Yang yang duluan
menggodamu, tidak engkau apa-apakan. Begitu aku menggodamu, engkau langsung
menamparku Sungguh tidak adil!" ujar orang tua pincang bersungut-sungut.
"Pincang!" bentak Bu
Ceng Sianli. "Engkau harus tahu, Bun Yang adalah adikku lho!"
"Adik?" Orang tua
pincang manggut-manggut sambil menyengir. "Betul, dia adalah adikmu."
"Memang!" Bu Ceng
Sianli melotot. Ia tahu kalau orang tua pincang itu sedang menyindirnya.
"Saudara Bun
Yang...." Pancha segera
mendekatinya
sambil tertawa-tawa, kemudian
berbisik, "Tolong bujuk kakakmu agar mau datang dr Manchuria!"
"Baik” Tio Bun Yang
mengangguk. "Aku pasti membantumu dalam hal ini."
"Terimakasih!" Wajah
Pancha berseri. "Oh ya! Aku minta maaf kepadamu alas tindakan kami
terhadap Toan Beng Kiat dan lainnya!"
Tio Bun Yang tersenyum
"Itu telah berlalu, yang penting engkau harus mencegah ayahmu, agar tidak
meminjamkan pasukannya kepada Menteri Bun!"
"Aku pasti
membantu." ujar Pancha berjanji. "Nah, kami harus kembali kerumah
Menteri Bun. Sampai jumpa!"
"Sampai jumpa, Saudara
Pancha!" sahut Tio Bun Yang.
"Giok Siaw Sin
Hiap!" seru Kim Ih Hoat Ong. "Kelak kita akan berjumpa lagi, aku
tidak akan melupakan budi kebaikanmu!"
"Selamat jalan, Hoat
Ong!" sahut Tio Bun Yang. Kim Ih Hoat Ong, Pancha dan Cap Sah Sin Eng
segera meninggalkan tempat itu, diikuti oleh para pengawal Menteri Bun.
"Bun Yang, Bun
Yang...!" Yo Suan Hiang melesat ke arahnya. "Engkau dan Goat
Nio...."
"Kami masih hidup,
Bibi!" Tio Bun Yang tersenyum.
"Adik Bun Yang!" Tan
Giok Lan tertawa gembira.
"Kakak Bun Yang...."
Ma Giok Ceng menatapnya dengan
air mata berlinang. "Aku
gembira sekali karena engkau sudah berkumpul kembali dengan Kakak Goat
Nio."
"Terimakasih!" ucap
Siang Koan Goat Nio sambil tersenyum, padahal sebetulnya ia tidak kenal gadis
itu.
"Dia adalah Ma Giok
Ceng," Tio Bun Yang memperkenalkan.
"Oooh!" Siang Koan
Goat Nio manggut-manggut.
"Ha ha ha!" Lie Tsu
Seng menghampiri mereka sambil tertawa gelak. "Bun Yang, Goat Nio!
Syukurlah kalian telah berkumpul kembali. Mulai sekarang kalian jangan berpisah
lagi!"
"Ya, Paman." Tio Bun
Yang dan Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Ayoh!" ajak Lie Tsu
Seng. "Mari ke markasku!"
"Maaf!" ucap Tio Bun
Yang. "Kami harus segera kembali ke markas pusat Kay Pang, sebab kami
harus akan pulang ke pulau Hong Hoang To!"
"Bun Yang...." Lie
Tsu Seng menghela nafas panjang.
"Baiklah, sampai jumpa
kelak dan kuucapkan selamat bahagia kepada kalian berdua!"
"Terimakasih,
paman!" Sahut Tio Bun Yang. "Sampai jumpa...."
-ooo0dw0ooo-
Bagian ke delapan puluh
Penuh kegembiraan dan semarak
suasana di Pulau Hong Hoang To
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong,
Tio Bun Yang, Siang Koan Goat Nio dan lainnya telah tiba di markas pusat Kay
Pang, tampak mereka sedang
Hal 96-97 ga ada
rah. Aaaah! Hati wanita memang
sulit diselami. Untung aku tidak punya isteri, jadi tidak pusing tujuh
keliling."
"Masih perjaka tuh!"
Bu Ceng Sianli balas menggodanya.
"Wuah! Bukan main!"
seru orang tua pincang mendadak sambil tertawa. "Ha ha ha! Engkau pun tahu
kalau aku masih perjaka! Ha! Sungguh luar biasa!"
"Pincang!" bentak Bu
Ceng Sianli.
"Ha ha ha...!" Orang
tua pincang terus tertawa.
Bu Ceng Sianli diam saja
dengan wajah merah padam, sedangkan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong tersenyum-senyum.
"Bun Yang, kapan kalian
akan pulang ke pulau Hong Hoang To?" tanya Lim Peng Hang.
"Besok pagi," Jawab
Tio Bun Yang. "Kakek ikut kan?" "Kakek pasti ikut," ujar
Lim Peng Hang.
"Aku pun ikut," sela
orang tua pincang. "Karena aku harus melamar Lie Ai Ling untuk
muridku."
"Oh?" Tio Bun Yang
gembira sekali, kemudian bertanya kepada Gouw Han Tiong. "Kakek Gouw juga
ikut?"
"Tidak." Gouw Han
Tiong tersenyum. "Aku akan pergi ke Tayli bersama Toan Beng Kiat dan
lainnya untuk memberitahukan kabar gembira ini."
"Kakek mau ikut kami ke
Tayli?" tanya Toan Beng Kiat dengan girang.
"Ng!" Gouw Han Tiong
mengangguk.
"Oh ya!" ujar Lim
Peng Hang berpesan. "Undang Wie Kie dan lainnya ke Pulau Hong Hoang To,
Bun Yang dan Goat Nio akan melangsungkan pernikahan!"
"Baik." Gouw Han
Tiong manggut-manggut.
"Kakak mau ikut ke Pulau
Hong Hoang To?" tanya Tio Bun Yang pada Bu Ceng Sianli.
Bu Ceng Sianli tersenyum.
"Tidak, sebab aku akan
segera mengasingkan diri di suatu tempat."
"Kakak...." Tio Bun
Yang tertegun.
"Baiklah." Bu Ceng
Sianli bangkit dari tempat duduknya. "Sampai jumpa!"
Mendadak Bu Ceng Sianli
melesat pergi. Seketika juga Tio Bun Yang berteriak-teriak memanggilnya.
"Kakak! Kakak!
Kakak...!"
"Percuma engkau berteriak
memanggilnya," ujar orang tua pincang sambil menghela nafas panjang.
"Dia sudah jauh."
"Aaaah." keluh Tio
Bun Yang. "Alangkah baiknya kalau dia hidup tenang di Pulau Hong Hoang
To!"
"Tapi sebaliknya Goat Nio
pula yang tidak bisa tenang," sahut orang tua pincang.
"Kenapa?" tanya Tio
Bun Yang.
"Karena Bu Ceng Sianli
sangat mencintaimu maka sudah barang tentu akan membuat Goat Nio tidak
tenang." Orang tua pincang memberitahukan.
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut.
"Sesungguhnya...,"
ujar Siang Koan Goat Nio dengan suara rendah. "Aku tidak berkeberatan
kalau Kakak Bun Yang juga memperisterinya."
"Omong kosong!"
sahut Tio Bun Yang sambil memandangnya. "Adik Goat Nio, kenapa hari ini
engkau omong yang bukan-bukan?"
"Aku merasa kasihan dan
simpati padanya," jawab Siang Koan Goat Nio sambil menundukkan kepala.
"Adik Goat Nio...."
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Kalau aku
berniat begitu, tentu aku tidak terjun ke jurang itu."
"Kakak Bun Yang, maafkan
aku karena telah salah omong!" ucap Siang Koan Goat Nio.
"Tidak apa-apa." Tio
Bun Yang tersenyum.
"Aku tidak bisa menduga
kira-kira Bu Ceng Sianli akan pergi ke mana?" ujar orang tua pincang.
"Mungkinkah dia pergi
menyusul Pancha?" tukas Tio Bun
Yang.
"Tidak mungkin!"
Orang tua pincang menggelengkan kepala. "Aku malah percaya dia akan hidup
mengasingkan diri di suatu tempat."
"Aaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Mudah-mudahan dia bertemu pemuda yang
baik!"
-oo0dw0oo-
Betapa gembiranya pihak Pulau
Hong Hoang To melihat kedatangan Lim Peng Hang, orang tua pincang, Tio Bun Yang
dan Siang Koan Goat Nio. Kou Hun Bijin langsung memeluk putrinya, sedangkan Lim
Ceng Im memeluk Tio Bun Yang erat-erat sekaligus membelainya dengan penuh kasih
sayang.
"Nak, engkau...." Lim Ceng Im terisak-isak saking
gembiranya.
"Ibu, aku dan Goat Nio
sudah pulang," ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Ibu jangan
bersedih lagi!"
"Nah, Ibu girang sekali
karena kalian masih hidup. Thian (Tuhan) memang Maha Adil!"
"Nak!" Tio Cie Hiong
tersenyum-senyum memandangnya. "Syukurlah kalian berdua sudah
pulang!"
"Ayah...." Tio Bun
Yang tertawa gembira. "Apa yang
Ayah katakan memang benar,
menghadapi apa pun harus tabah dan tegar."
"Ha ha ha!" Tio Cie
Hiong tertawa gelak dengan penuh kegembiraan. "Ha ha ha...!"
Sementara Sie Keng Hauw juga
bersujud di hadapan orang tua pincang dan gurunya itu pun tertawa
terbahak-bahak.
"Ha ha ha! Kini semuanya
telah beres, jadi aku pun sudah boleh bergurau di pulau ini!"
"Guru... " Sie Keng
Hauw bangkit berdiri sambil tersenyum, lalu berbisik-bisik. "Bun Yang dan
Goat Nio sudah pulang, kini sudah saatnya guru...."
"Guru tahu! Guru
tahu!" Orang tua pincang tertawa lagi. "Kalau tidak, untuk apa aku ke
mari?"
"Terimakasih, Guru!"
ucap Sie Keng Hauw.
"Nah!" seru Tio Tay
Seng mendadak dengan nada gembira. "Semuanya silakan duduk!"
Mereka yang berdiri segera
duduk, setelah itu Tio Tay Seng berseru lagi.
"Bun Yang! Tuturkanlah
apa yang telah terjadi di dasar jurang itu!"
"Aku jatuh di telaga yang
di dasar jurang itu...." tutur
Tio Bun Yang sejelas-jelasnya.
Tio Tay Seng dan lainnya
mendengarkan dengan mulut ternganga lebar, kemudian seusai Tio Bun Yang
menutur, Tio Tay Seng berkata,
"Kalau kami menyelam di
telaga itu, tentunya akan bertemu kalian."
"Belum tentu," ujar
Tio Bun Yang menjelaskan. "Sebab telaga itu sangat dalam, lagi pula belum
tentu akan terjadi pusaran air di dasar telaga."
"Oooh!" Tio Tay Seng
inanggul manggut. "Kenapa Gouw Han Tiong tidak ikut ke situ?"
"Dia pergi ke Tayli
bersama Toan Beng Kiat dan lainnya," sahut Lim Peng Hang dan kemudian
menutur tentang kejadian itu. "Pihak Manchuria sudah meninggalkan
Tionggoan."
"Begitu tinggi kepandaian
Kim Ih Hoat Ong?,'" tanya Kou Hun Bijin kurang percaya.
"Betul." Tio Bun
Yang mengangguk, "kalau aku tidak memiliki Pan Yok Hian Thian Sin Kang.
tentu terluka oleh pukulannya."
"Syukurlah kini urusan
itu telah beres. Hanya saja...."
Lim Ceng Im
menggeleng-gelengkan kepala. "Bu Ceng Sianli tidak ikut ke mari."
"Lebih baik dia tidak ke
mari." ujar orang tua pincang. "Sebab dia sangat mencintai Bun Yang.
Kalau dia berada di sini, aku justru khawatir akan terjadi hal-hal yang tak
diinginkan."
"Itu tidak mungkin,"
sahut Tio Bun Yang.
"Bun Yang!" Orang
tua pincang menatapnya. "Cinta bisa membuat orang jadi buta dan nekad lho!"
ujarnya.
"Paman tua!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Aku tetap mempercayai Bu Ceng Sianli tidak akan begitu,
sebab aku sudah tahu bagaimana sifatnya."
"Betul." Siang Koan
Goat Nio manggut-manggut. "Bu Ceng Sianli berhati mulia, dia tidak akan
begitu."
"Kalian berdua...." Orang tua pincang menggeleng-
gelengkan kapala. "Memang
berhati polos."
"Ha ha ha! Kepolosan
mereka justru menuntun mereka ke jalan yang benar dan penuh kebahagiaan!"
Terdengar suara sahutan, kemudian melayang turun seorang padri tua. "Omitohud...."
"Tayli Lo Ceng!"
Seru Tio Tay Seng dengan gembira.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Lo Ceng, angin apa yang meniupmu ke mari?"
"Omitohud!" sahut
Tayli Lo Ceng. "Aku ke mari karena ingin minum arak kebahagiaan."
"Kepala gundul!" Kou
Hun Bijin menatapnya. "Di saat kami dilanda duka, engkau sama sekali tidak
muncul! Kini dalam suasana gembira dan semarak, engkau malah ke mari! Dasar
kepala gundul!"
"Ha ha ha! Kalau aku
muncul di saat kalian di landa duka, tentu kalian akan bertambah duka. Kini aku
ke mari, sudah pasti kalian akan bertambah gembira. Begitu pula aku. Ya, kan?
Omitohud!"
"Sudahlah! Cepat
duduk!" sahut Kou Hun Bijin.
"Oh ya!" Tayli Lo
Ceng memandang Si Pincang sambil duduk. "Bukankah engkau ingin melamar Lie
Ai Ling untuk muridmu? Kenapa malah diam saja?"
"Eh?" orang tua
pincang terbelalak. "Lo Ceng kok tahu?"
"Dia peramal yang tak
laku," sahut Kou Hun Bijin dan menambahkan. "Tapi kepandaiannya
tinggi sekali."
"Oh, ya?" Tiba-tiba
orang tua pincang teringat sesuatu. "Lo Ceng adalah Tayli Sin Ceng?"
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng sambil mengangguk. "Ayahmu yang memberitahukan?"
"Ya." Orang tua
pincang segera memberi hormat. "Lo Ceng, terimalah hormatku!"
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng tersenyum. "Cepatlah ajukan lamaranmu kepada Lie Man Chiu!"
"Ya, Lo Ceng." Orang
tua pincang mengangguk. "Man Chiu, aku melamar putrimu untuk Sie Keng Hauw
muridku."
"Ha ha ha." Tio Tay
Seng tertawa gelak. "Engkau tidak melamar pun mereka akan kami
nikahkan!"
"Terimakasih, Tio Tocu!"
Orang tua pincang tertawa gembira. "Ha ha ha!"
Tayli Lo Ceng memandang Tio
Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio seraya bertanya, "Kapan kalian akan
melangsungkan pernikahan?"
"Setelah pihak Tayli ke
mari," jawab Tio Bun Yang.
"Ngmm!" Tayli Lo
Ceng manggut-manggut, Di saat itulah mendadak Lu Hui San bersuara.
"Lo Ceng sudah bertemu
Khong Sim Ni Kouw?"
"Omitohud!" sahut
Tayli Lo Ceng. "Kami sudah bertemu."
"Lo Ceng, bagaimana
keadaannya?" tanya Lu Hui San.
"Dia lebih bahagia dari
pada kita," Jawab Tayli Lo Ceng. "Sebab kini dia telah berada di
surga."
"Apa?" Wajah Lu hui
San langsung berubah murung. "Khong Sim Ni Kouw sudah meninggal?"
"Ya." Tayli Lo Ceng mengangguk. "Omitohud...." Di saat
mereka sedang bercakap-cakap, mendadak muncul Ngo Tok Kauwcu Phang Ling Cu.
"Kakak Ling Cu!"
seru Tio Bun Yang girang. "Kakak Ling Cu...."
"Adik Bun Yang,"
sahut Ngo Tok Kauwcu sambil tersenyum,. "Engkau dan Goat Nio...."
"Mereka berdua tidak jadi
mati," ujar orang tua pincang, yang bermulut usil seperti Sam Gan Sin Kay.
"Sebab mereka berdua harus melangsungkan pernikahan."
"Pincang!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Aku tidak menyangka kalau engkau pun begitu usil.
Hati-hati terhadap Kou Hun Bijin, karena dia akan menamparmu."
"Ha ha ha!" Orang
tua pincang tertawa. "Sudah dua kali aku di tampar oleh Bu Ceng Sianli.
Kalau sekarang ditampar Kou Hun Bijin, sudah tidak jadi masalah."
"Pengemis bau!" Kou
Hun Bijin melotot. "Engkau berani menyindirku?"
"Aku tidak
menyindir." Sam Gan Sin Kay tersenyum. "Bukankah engkau pernah
menamparku?"
"Kalau engkau banyak
omong lagi. gigimu pasti rontok!" ujar Kou Hun Bijin sengit
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Gigiku tidak bakal rontok, karena aku
sudah ompong!"
"Dasar pengemis
bau!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan.
"Sama," ujar orang
tua pincang rnendadak. "Persis seperti Bu Ceng Sianli yang suka tertawa
cekikikan! Ha ha ha...!"
"Jangan-jangan mereka
berdua kakak beradik!" Sam Gan Sin Kay menyengir.
"Sayang sekali dia tidak
ke mari!" Kou Hun Bijin menghela nafas panjang dan menambahkan "Aku
akan mengangkat saudara dengan dia."
Sementara Tio Bun Yang
memperkenalkan mereka kepada Ngo Tok Kauwcu. Segeralah Ngo Tok Kauwcu memberi
hormat. Setelah itu, Tio Bun Yang pun bertanya,
"Kenapa kakak Ling Cu ke
mari? Apakah sudah tahu tentang aku dan Goat Nio?"
"Ya." Ngo Tok Kauwcu
mengangguk. "Bu Ceng Sianli yang memberitahukan kepadaku."
"Dia?" Tio Bun Yang
tertegun. "Dia ke markasmu memberitahukan padamu?"
"Ng!" Ngo Tok Kauwcu
mengangguk lagi. "Maka aku segera ke mari."
"Kakak Ling Cu tahu dia
pergi ke mana?" tanya Tio Bun Yang mendadak.
Ngo Tok Kauwcu menggelengkan
kapala.
"Setelah memberitahukan,
dia langsung melesat pergi tanpa pamit." Ngo Tok Kauwcu menghela nafas
panjang.
"Aaaah...!" Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala.
Ngo Tok Kauwcu memandang Tio
Bun Yang seraya bertanya, "Kapan engkau dan Goat Nio akan melangsungkan
pernikahan?"
"Setelah pihak Tayli ke
mari," Jawab Tio Bun Yang dengan wajah agak kemerah-merahan.
"Oooh!" Ngo Tok Kauwcu
manggut-manggut.
"Kakak Ling Cu, silakan
duduk!" ucap Tio Bun Yang.
"Terimakasih!" Ngo
Tok Kauwcu duduk, kemudian bercakap-cakap dengan Siang Koan Goat Nio.
-oo0dw0oo-
Tujuh hari kemudian pihak
Tayli tiba di Pulau Hong Hoang To. Betapa gembiranya mereka ketika melihat
Tayli Lo Ceng, dan mereka bersujud di hadapan padri tua itu.
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng sambil tersenyum lembut. "Bangunlah kalian!"
Mereka bangkit berdiri, lalu
memberi hormat kepada tingkatan tua pihak Pulau Hong Hoang To.
"Ha ha ha" Tio Tay
Seng tertawa gembiia. "Terimakasih atas kedatangan kalian!"
"Cie Hiong!" Toan
Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong menghampirinya sambil tersenyum. "Kami
ucapkan selamat padamu!"
"Terimakasih,
terimakasih!" sahut Tio Cie Hiong.
"Kini kita sudah
tenang," ujar Toan Wie Kie. "Sungguh tak disangka, kemunculan Bun
Yang dan Goat Nio justru menyelamatkan putraku dan lainnya!"
"Kita semua harus
bersyukur kepada Thian (Tuhan) Yang Maha Adil, Bijaksana dan Pengasih,"
ucap Tio Cie Hiong.
Sementara itu, Gouw Han Tiong,
Lim Peng Hang dan lainnya juga sedang bercakap-cakap dengan serius sekali.
"Kami mendengar suatu
berita yang sangat mengejutkan di Tionggoan," ujar Gouw Han Tiong.
"Berita tentang
apa?" tanya Lim Peng Hang tegang.
"Menteri Bun telah tewas."
Gouw Han Tiong memberitahukan.
Lim Peng Hang terbelalak.
"Siapa yang membunuhnya?"
"Salah seorang menteri
yang menaruh dendam kepadanya." Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan
kepala. "Menteri itu memfitnahnya telah bersekongkol dengan Lie Tsu Seng,
maka kaisar menurunkan perintah menghukum mati padanya."
"Aaaah...!" Lim
Peng Hang menghela
nafas panjang.
"Kini pasti menteri itu
yang berkuasa!" tukasnya.
"Betul." Gouw Han
Tiong manggut-manggut dan menambahkan, "Karena menteri itu adalah kawan
baik jenderal Gouw Sam Kui."
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Gouw Sam Kui pasti familimu, karena kalian
bermarga Gouw."
"Sudahlah." sela Kou
Hun Bijin. "Jangan terus membicarakan itu, lebih baik membicarakan
pernikahan putriku dengan Bun Yang. Kapan mereka berdua akan dinikahkan?"
"Bijin, kenapa engkau
yang kalut?" sahut Sam Gan Sin
Kay.
"Tentu. Sebab Goat Nio
adalah putri kami satu-satunya," ujar Kou Hun Bijin.
"Sama," sahut Sam
Gan Sin Kay. "Bun Yang juga anak tunggal. Oleh karena itu, mereka berdua
harus menikah besok."
"Setuju." Kou Hun
Bijin tertawa gembira. "Hi hi hi! Putri kami akan menikah besok! Hi hi
hi...!"
"Kalau begitu muridku
juga harus menikah dengan Lie Ai Ling besok." sela orang tua pincang.
"Setuju. Memang sudah waktunya
putriku menikah dengan Sie Keng Hauw." sahut Lie Man Chiu.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Pokoknya pesta harus berlangsung tiga
hari tiga malam!"
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng sambil tersenyum. "Setelah Bun Yang menikah dengan Goat Nio
dan Sie Keng Hauw menikah dengan Lie Ai Ling, maka kalian semua harus berangkat
ke Tayli. Karena Toan Beng Kiat akan menikah dengan Bokyong Sian Hoa dan Yo
Kiam Heng akan menikah dengan Lam Kiong Soat Lan."
"Baik." Sahut Tio
Tay Seng. "Kami semua pasti ke sana."
"Aku punya usul,"
ujar Tio Cie Hiong mendadak sambil tersenyum serius.
"Usul apa?" Kou Hun
Bijin tercengang.
"Kam Hay Thian dan Lu Hui
San juga harus menikah besok," sahut Tio Cie Hiong.
"Setuju!" seru yang
lain sambil tertawa gembira.
Tio Bun Yang dan Siang Koan
Goat Nio saling memandang, kemudian tersenyum bahagia. Begitu pula Sie Keng
Hauw, Lie Ai Ling, Kam Hay Thian dan Lu Hui San, mereka pun tampak tersenyum
bahagia.
TAMAT