Si Kumbang Merah Jilid 24

Beberapa hari saja sesudah dia tinggal di rumah Thio Ki, Han Siong merasa benar bahwa dia amat dihormati dan diperhatikan. Terutama sekali Ouw Ci Goat. Gadis itu sendiri yang melayaninya, mencuci pakaiannya, membersihkan kamarnya. Perhatian Ci Goat terhadap dirinya sungguh membuat dia merasa sungkan dan malu. Berkali-kali dia melarang gadis itu mencucikan pakaiannya, namun Ci Goat tetap memaksanya.

"Taihiap adalah tamu agung kami, bagaimana harus mencuci pakaian sendiri? Lagi pula aku seorang wanita, sudah selayaknya kalau mencucikan pakaian Taihiap. Harap jangan sungkan, Taihiap, bukankah kita telah bersahabat dan Taihiap adalah penolong kami?"

Perhatian gadis itu bukan hanya dengan cara melayaninya saja, akan tetapi beberapa kali dia pernah memergoki gadis itu menatapnya dengan pandang mata yang aneh, pandang mata yang sayu dan seperti orang terpesona, dan kalau tanpa disengaja dia menengok sehingga mereka bertemu pandang, gadis itu tersipu lalu menundukkan mukanya dengan cepat, akan tetapi dia masih sempat melihat sepasang pipi yang tadinya putih halus itu berubah kemerahan. Sungguh aneh sekali!

Dua hari kemudian mereka hanya berdua saja di rumah itu. Ouw Lok Khi dan tiga orang murid merangkap anak buahnya, pergi untuk melanjutkan usahanya mengumpulkan bala bantuan. Thio Ki memang tinggal seorang diri di rumah itu. Ayah ibunya dan juga isterinya telah dia ungsikan ke dusun semenjak dia terlibat permusuhan dengan Kim-lian-pang, dan semua pelayan juga sudah disuruh pulang. Hanya Ci Goat yang ditinggal di rumah untuk melayani keperluan Han Siong yang mereka hormati.

"Taihiap, silakan makan pagi," kata Ci Goat sesudah dia menyiapkan makan pagi di meja ruangan makan. "Semenjak pagi sekali tadi ayah bersama tiga orang suheng sudah pergi berkunjung ke Ki-lam untuk mengumpulkan teman. Silakan Taihiap makan sendiri."

"Ahh, mari kita makan bersama, Nona. Engkau pun belum makan pagi bukan?”

"Harap jangan sebut aku nona, tidak enak rasanya... seakan-akan kita ini saling merasa asing...”

"Tapi engkau pun menyebut taihiap padaku, Nona."

"Engkau memang seorang pendekar sakti, pantas disebut taihiap. Akan tetapi aku... ahh, sebut saja namaku. Namaku Ci Goat."

“Aku mau menyebutmu adik Ci Goat kalau engkau juga mau merubah sebutan kepadaku. Panggil saja aku toako (kakak)."

Gadis itu tersenyum dan kembali kedua pipinya berubah merah sekali. "Baiklah..., Toako." katanya sambil menunduk. "Silakan makan pagi, Toako."

"Kita hanya berdua saja di rumah ini, apa salahnya kalau kita makan bersama, Goat-moi (adik Goat)? Hayolah, bukankah engkau sendiri bilang bahwa kita ini bukan orang asing?"

Biar pun masih tersipu, akhirnya Ci Goat mau juga diajak makan bersama. Setelah duduk berhadapan dekat, hanya terhalang meja makan, barulah Han Siong mendapat kenyataan bahwa biar pun gadis ini sederhana sekali, wajahnya tanpa bedak dan gincu, akan tetapi wajah itu sungguh bersih dan manis. Juga sikapnya amat sederhana, tidak banyak cakap, jarang tertawa, bahkan wajahnya diliputi awan duka.

Namun mulut itu selalu membayangkan senyum ramah, senyum dikulum yang membuat wajahnya tampak manis selalu. Juga ketika dia bicara dan Han Siong memperhatikannya, gadis itu memiliki gigi yang berderet rapi dan putih bersih.

"Goat-moi, setelah kita kini menjadi sahabat yang akrab, kiranya sudah sepantasnya jika aku mendengar lebih banyak tentang dirimu dan ayahmu. Maukah engkau menceritakan riwayat dan keadaanmu sampai engkau kehilangan tempat tinggal seperti sekarang ini?" tanya Han Siong ketika mereka baru saja selesai makan dan dia turut membantu gadis itu membersihkan meja, menyingkirkan sisa makanan dan mencuci mangkok.

Dara itu menarik napas panjang. "Tidak banyak yang dapat kuceritakan, Twako, dan yang dapat diceritakan hanya hal-hal yang menyedihkan saja. Aku sudah kehilangan ibuku saat berusia kurang dari sepuluh tahun. Semenjak itu aku hidup berdua dengan ayah dan para suheng, dan aku dididik oleh ayah, mempelajari ilmu silat dan ilmu baca tulis sekedarnya. Sesudah remaja aku membantu pekerjaan ayah, kadang-kadang membantu pengawalan kiriman barang bersama para suheng. Kemudian terjadilah mala petaka yang disebabkan oleh Kim-Iian-pang itu. Hampir semua anggota perkumpulan kami binasa, hanya tinggal kami berlima. Juga dalam perkelahian itu aku telah kehilangan... calon suamiku...”

“Ahhh...! Sungguh menyedihkan! Kasihan sekali engkau, Goat-moi!" kata Han Siong yang terkejut dan juga ikut bersedih.

Gadis itu kemudian menarik napas panjang. "Jangan engkau salah duga, Twako. Bagiku kematiannya tiada bedanya dengan kesedihan melihat para suheng lain yang juga tewas. Tunanganku itu juga seorang suheng-ku, murid dari ayah. Terus terang saja, perjodohan itu atas kehendak ayah, namun bagiku dia itu seperti para suheng yang lain. Aku bahkan sering termenung dan sulit membayangkan dia menjadi suamiku kelak. Sudahlah, kini dia sudah tidak ada dan semoga dia mendapatkan tempat yang penuh damai."

Sekarang Han Siong tidak berani banyak bicara lagi, takut jika mengusik kenangan yang menyedihkan. Akan tetapi dia maklum bahwa gadis ini tidak mencintai tunangannya yang tewas itu, dan kalau dia mau dijodohkan dengannya, hal itu hanya karena dia mentaati perintah ayahnya saja. Secara diam-diam dia menaruh hati iba kepada gadis yang manis ini yang telah begitu percaya kepadanya sehingga menceritakan semua tentang dirinya.

"Toako, sekarang tiba giliranmu. Aku pun ingin sekali mendengar riwayatmu, tentu hebat. Maukah engkau menceritakan kepadaku, toako?" tanya gadis itu dan mereka kini duduk di belakang rumah, di atas bangku dalam taman yang bermandikan cahaya matahari pagi.

"Tidak ada hal yang menarik, Goat-moi. Ayahku juga seorang pangcu, ketua dari Pek-sim-pang di daerah Kong-goan yang sangat jauh dari sini, jauh di barat sana. Sejak kecil aku mempelajari ilmu silat, dan sekarang aku sedang melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman dan memperbanyak pengetahuan. Kebetulan saja aku lewat di sini sehingga bertemu dengan kalian berlima."

Han Siong memang tidak suka terlalu banyak bercerita tentang dirinya, dan agaknya hal ini terasa pula oleh Ci Goat, maka gadis itu pun tidak mendesak. Hanya ada satu hal yang sejak tadi agaknya mengganjal hati Ci Goat, dan kini dengan memberanikan diri, dengan kedua pipi berubah kemerahan ketika dia menatap wajah pemuda itu, dia pun berkata,

"Toako, kurasa usiamu jauh lebih tua dari pada aku yang berusia delapan belas tahun," Jelas bahwa ucapan ini memancing keinginan tahuannya tentang usia pemuda itu.

Han Siong tersenyum. "Tentu saja aku jauh lebih tua, adik Goat. Aku sudah berusia dua puluh dua, hampir dua puluh tiga tahun."

"Ah, kalau begitu tentu engkau telah berkeluarga, Toako," kata gadis itu cepat dan sambil lalu, seolah acuh.

Mendengar pertanyaan ini, Han Siong merasa betapa hatinya tertusuk karena dia teringat kepada Siangkoan Bi Lian, gadis yang dicintanya namun juga telah menolaknya! Ci Goat telah berterus terang kepadanya, maka sudah sepantasnya kalau dia pun berterus terang, sekalian mendapat kesempatan untuk menyalurkan rasa penasaran dan kekecewaannya.

"Seperti juga engkau, tadinya aku sudah ditunangkan oleh guru-guruku, tapi pertunangan itu gagal...”

Dara itu terbelalak, memandang dengan matanya yang jeli, dan bayangan senyum segera menghilang dari ujung bibirnya. “Dia... dia juga... mati...?”

Han Siong menggeleng kepala kemudian menghela napas. "Dia menolak untuk berjodoh denganku."

"Ahhh...!" Gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih, "tidak mungkin... tidak mungkin...”

Han Siong mengangkat muka, memandang dengan sinar mata heran. "Apanya yang tidak mungkin, Goat-moi?"

"Bagaimana mungkin seorang gadis menolak engkau untuk menjadi jodohnya...!" tiba-tiba gadis itu berhenti bicara dan menundukkan mukanya yang kemerahan, karena dia merasa betapa dia telah kelepasan bicara, begitu saja mengeluarkan suara hati melalui mulutnya.

Han Siong tersenyum pahit, kemudian dia pun berjalan meninggalkan gadis itu menuju ke kamarnya. Malam itu Han Siong gelisah dan tidak bisa tidur. Percakapan dengan Ci Goat tadi telah membongkar kenangan lama, membuat wajah Bi Lian selalu terbayang di depan mata, mendatangkan rasa rindu yang hebat. Ketika Ci Goat menawarkan makan malam, dia mengatakan bahwa dia tidak lapar dan minta kepada gadis itu untuk makan malam sendiri.

"Taruh saja di atas meja, Goat-moi, nanti kalau lapar aku akan mengambilnya sendiri," katanya dengan lesu.

Agaknya Ci Goat juga melihat sikap pemuda yang lesu itu, maka dia pun tidak berani lagi mengganggunya. Tadi ketika makan siang pun pemuda itu hanya makan sedikit dan tidak banyak bicara.

Malam telah larut, namun Han Siong masih rebah termenung tidak dapat pulas. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara di belakang rumah. Dia menjadi curiga dan cepat dia turun dari pembaringan, mengenakan sepatunya lantas berindap keluar dari kamarnya, cepat menuju ke belakang rumah.

Kiranya yang menimbulkan suara itu adalah Ci Goat! Gadis itu keluar dari rumah menuju ke kebun di belakang sambil membawa buntalan. Han Siong menahan diri tidak menegur, hanya membayangi dengan perasaan heran. Apa yang hendak dilakukan gadis itu pada malam hari begini?

Ci Goat berhenti dekat bangku panjang di mana pagi tadi mereka duduk bercakap-cakap, lalu dia meletakkan buntalan di atas bangku dan membukanya. Kiranya buntalan itu terisi alat-alat untuk bersembahyang, seperti hio-swa (dupa biting) dan lain-lain. Dan gadis itu lalu meletakkan semua persiapan sembahyang di atas bangku, menyalakan hio dan mulai bersembahyang!

Dara itu mengucapkan kata-kata permohonan dengan suara bisik-bisik. Dia merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang yang akan mendengar suaranya yang sangat lirih. Kebun itu sunyi dan kosong, dan andai kata ada orang didekatnya pun tak akan bisa menangkap kata-kata doa yang diucapkan sambil berbisik.

Dia salah perhitungan! Orang biasa mungkin tidak dapat menangkap kata-kata bisikan itu, namun pendengaran Han Siong lain dari pada orang biasa. Biar pun jarak antara dia yang berada di balik batang pohon tidak terlalu dekat dengan gadis itu, namun di tempat yang sesunyi itu dia mampu menangkap kata-kata doa gadis itu dengan jelas!

Ternyata gadis itu berdoa untuk dia! Gadis Itu bersembahyang untuk dia. Antara lain yang didengarnya adalah kata-kata yang membuatnya terharu sekali,

"...ya Tuhan, Tuhan dari Bumi dan Langit, dengarlah permohonan saya ini. Kalau sampai terjadi perkelahian dengan Kim-lian-pang kelak, lindungilah Toako Pek Han Siong, berilah kemenangan padanya atau andai kata dia kalah pun, lindungilah dia. Jangan sampai aku kehilangan dia pula, ya Tuhan, karena dialah satu-satunya orang yang menjadi tumpuan harapanku, dialah satu-satunya orang yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku...”

Han Siong tidak dapat mendengarkan terus. Dia sudah berkelebat pergi dengan jantung berdebar dan muka terasa panas. Gadis itu jatuh cinta padanya! Begitu sampai di dalam kamarnya, kembali dia termenung. Sekali ini bukan membayangkan wajah Bi Lian, namun yang terbayang adalah wajah Ci Goat, gadis yang bersembahyang bagi keselamatannya, gadis yang takut kehilangan dia, yang mencintanya dengan jiwa raganya!

Pada keesokan harinya dia bersikap biasa, akan tetapi sekarang baru dia mengerti akan pandangan mata gadis itu yang tadinya dianggap aneh. Ternyata pandangan mata gadis itu penuh dengan sinar kagum dan cinta! Hal ini membuat dia merasa rikuh sekali, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan merasa semakin kasihan kepada gadis itu.

Kalau saja Ci Goat tahu bahwa hatinya telah melekat pada bayangan Bi Lian dan bahwa tidak mungkin ada gadis lain di dunia ini yang dapat menjatuhkan cinta hatinya! Dia hanya mencinta Bi Lian seorang, dan andai kata dia dapat mencinta gadis lain, tentu tidak akan seperti cintanya kepada Bi Lian.

Sepekan kemudian siaplah sudah pasukan yang dikumpulkan oleh Ouw Pangcu. Mereka itu adalah sekumpulan orang-orang gagah dari beberapa perkumpulan silat yang pernah menerima penghinaan dari Kim-lian-pang. Jumlah mereka tak kurang dari dua ratus orang!

Mereka yang bersedia membantu adalah para anggota perkumpulan silat yang rata-rata mempunyai ilmu silat yang lumayan, dipimpin oleh ketua atau guru masing-masing. Tentu saja para pimpinan ini pun lihai, satu tingkat dengan ilmu kepandaian Ouw Pangcu dan jumlah mereka ada enam orang.

Enam orang ini kemudian dipertemukan dengan Han Siong dan mereka semua merasa kagum kepada pemuda itu ketika mereka mendengar betapa Han Siong adalah seorang di antara para pendekar yang pernah membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin mendiang Lam-hai Giam-lo. Mereka lalu mengadakan perundingan dan menyusun siasat.

Pada hari yang sudah ditentukan, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi berdiri di lereng Bukit Kim-lian-san dekat puncak, kemudian beberapa orang anak buahnya melepas anak panah berapi ke arah puncak. Sesudah beberapa kali melepas panah berapi dan di antaranya ada yang membakar daun-daun kering dekat puncak, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi lalu mengeluarkan teriakan nyaring sambil mengerahkan tenaga khikang.

"Haiii, para pimpinan Klm-lian-pang! Kalau kalian memang gagah perkasa, turunlah dari puncak dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"

Sampai tiga kali dia mengulang teriakannya itu, kemudian bersama semua pasukan yang telah siap di tempat itu, dia bersembunyi. Kini hanya Han Siong seorang yang menanti di lapangan rumput di lereng bukit itu, dengan sikap waspada dan hati-hati.

Tidak lama kemudian nampak bayangan orang berkelebat dari atas dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang pria muda yang tampan dan gagah. Tadinya Han Siong mengira bahwa ketua Kim-lian-pang, yaitu Sim Ki Liong yang muncul sendiri. Akan tetapi sesudah dia memperhatikan, yang muncul itu adalah seorang pria muda berusia kira-kira tiga puluh tahun yang tidak dikenalnya.

Pria ini bertubuh tinggi besar. Wajahnya berkulit putih dan tampan gagah, kedua matanya mencorong aneh. Pria ini bertangan kosong, tapi sikapnya yang tenang itu, tanpa senjata, dan pemunculannya yang tiba-tiba bagaikan setan, sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang lawan yang tangguh.

Pria itu bukan lain adalah Tang Cun Sek. Para pimpinan Kim-lian-pang marah bukan main melihat serangan anak panah berapi itu. Walau pun anak panah yang diluncurkan itu tidak sampai mencapai puncak sehingga tidak mengenai perumahan Kim-lian-pang, akan tetapi cukup mengejutkan juga, apa lagi ada beberapa batang anak panah berapi yang sempat mengakibatkan kebakaran sesudah mengenai daun-daun kering di atas tanah. Anak buah Kim-lian-pang terpaksa harus cepat-cepat memadamkan kebakaran itu sebelum menjalar dan membakar hutan di dekat puncak.

Ketika mereka mendengar tantangan yang diteriakkan oleh Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi, Tang Cun Sek segera berkata kepada Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi bahwa dia akan menghadapi ketua Pek-tiauw-pang itu.

"Hemm, aku yakin dia tidak datang sendirian. Tentu banyak kawannya, dan tentu dia telah membentuk pasukan yang kuat. Kalau tidak, mana dia berani bersikap seperti itu?" kata Ji Sun Bi yang berhati-hati.

"Aku pun menduga demikian,” kata Sim Ki Liong. "Tang-toako, engkau keluarlah dulu dan sambut tantangan itu, kami mengikuti dari belakang karena aku hendak mempersiapkan anak buah lebih dulu untuk bertahan kalau-kalau mereka berani menyerang ke atas dan kita harus dapat membasmi mereka."

Tan Cun Sek menyanggupi lalu dia pun berlari turun dari puncak. Ketika dia melihat ada seorang pemuda berdiri seorang diri di lapangan rumput itu, dia pun cepat menghampiri dan mereka kini sudah berdiri saling berhadapan dan saling pandang dalam jarak kurang lebih empat meter saja.

Laksana dua ekor ayam aduan, mereka berdua saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, seperti hendak mengetahui keadaan lawan masing-masing. Watak Cun Sek yang tinggi hati membuat dia belum apa-apa sudah memandang rendah terhadap calon lawan itu.

"Mana dia ketua Pek-tiauw-pang yang berteriak menantang tadi?" tanyanya. "Kenapa dia bersembunyi dan siapakah engkau?"

Han Siong tersenyum tenang. "Memang akulah yang mewakilinya untuk menghadapi para pimpinan Kim-lian-pang. Di mana adanya ketua Kim-lian-pang? Biarkan dia turun sendiri untuk menandingiku."

"Keparat, engkau hanya datang mengantar nyawa. Tak perlu Kim-lian Pangcu yang maju sendiri, sudah cukup aku untuk menghajarmu, kalau perlu membunuhmu!" kata Tang Cun Sek sambil melangkah maju.

"Hemm…! Sayang, sungguh sayang, seorang muda yang gagah seperti engkau ternyata hanya menjadi kaki tangan iblis-iblis seperti Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi. Tentu engkaulah yang bernama Tang Cun Sek, bukan? Hemm, apa saja yang kau peroleh dari mereka? Janji muluk, harta dan juga kecabulan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi itu, bukan?"

Mendengar ucapan ini, seketika wajah Cun Sek menjadi merah sekali. Memang ucapan itu dengan tepat menelanjanginya, maka dapat dibayangkan betapa rasa malu membuat dia marah bukan main.

"Tutup mulutmu, keparat busuk!" bentaknya dan dia sudah menerjang dengan dahsyat.

Kedua tangannya bergerak cepat dan kuat sekali, mendatangkan tenaga yang amat hebat karena dia sudah mengerahkan tenaga dan memainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Cjn-ling-pai.

Menghadapi serangan yang dahsyat ini, tentu saja Han Siong tidak berani memandang ringan. Dari angin pukulan itu saja dia pun maklum bahwa benar seperti yang diduganya, lawan ini bukanlah lawan yang ringan. Dia pun cepat mengelak.

Tetapi gerakan Cun Sek memang cepat sekali, karena begitu pukulannya luput, tubuhnya segera membalik dan kembali dia sudah melakukan serangan bertubi-tubi yang sambung menyambung.

Han Siong berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan serangan-serangan itu sambil memperhatikan gerakan lawan. Diam-diam dia pun terkejut dan heran sekali. Jelas bahwa pemuda ini menjadi pembantu dua orang muda yang sangat jahat, maka sepantasnyalah kalau pemuda ini juga seorang tokoh sesat. Akan tetapi kenapa gerakan silatnya demikian bersih? Bahkan ilmu silatnya sendiri jauh kalah bersih kalau dibandingkan ilmu silat yang dimainkan penyerangnya itu.

Dia menerima ilmu-ilmunya dari suhu dan subo-nya, dan memang dua orang gurunya itu pernah membuat pengakuan bahwa mereka adalah keturunan datuk-datuk sesat sehingga ilmu mereka pun tidak bersih.

"Bagaimana pun juga, yang menentukan bersih kotornya suatu ilmu adalah pemakainya," demikian suhu-nya pernah berkata. "Sudah menjadi kewajibanmu untuk membuat seluruh ilmu silat kita menjadi ilmu yang bersih dengan menghilangkan sifat-sifat yang curang dan licik, menghilangkan penggunaan hawa beracun, dan terutama sekali menggunakannya untuk menentang kejahatan dan membela keadilan dan kebenaran!"

Dan selama ini dia selalu mentaati pesan gurunya itu, bahkan sesudah dia memperoleh gemblengan dari Ban Hok Lojin, maka ilmu-ilmu dari gurunya dapat disempurnakan dan dibersihkan.

Setelah mempelajari gerakan lawan sampai belasan jurus, barulah Han Siong membalas dan mengingat akan kelihaian lawan, dia pun langsung memainkan ilmu silat Pek-hong Sin-ciang yang diperolehnya dari Ban Hok Lojin. Begitu dia memainkan ilmu silat ini, maka terkejutlah Cun Sek. Angin menyambar-nyambar laksana badai dan setiap kali lengannya bertemu dengan lengan lawan, Cun Sek terdorong sampai terhuyung ke belakang!

Karena terkejut, setelah berdiri tegak kembali dia tidak segera menyerang lagi, melainkan memandang dengan mata mendelik, penuh rasa penasaran dan marah karena malu.

“Singggg...!”

Ketika tangan kanannya meraba pinggang, tiba-tiba berkelebat sinar emas dan pedang pusaka Hong-cu-kiam telah berada di tangan kanannya.

“Keparat!” Dia membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Han Siong. "sebelum engkau kubunuh, katakanlah siapa namamu agar jangan sampai engkau mati tanpa nama!"

Han Siong tersenyum. Pemuda bernama Tang Cun Sek ini bukanlah orang yang sedang dicarinya. Yang ingin dilawannya adalah Sim Ki Liong, akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda di depannya ini merupakan seorang pembantu yang amat lihai dari Sim Ki Liong. Bahkan mungkin tidak kalah dibandingkan dengan Ji Sun Bi, maka harus ditundukkan!

Apa lagi pedang yang kini berada di tangannya itu jelas bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang pusaka yang ampuh. Dari sinarnya saja dia sudah tahu bahwa pedang tipis yang tadi menjadi sabuk itu amat berbahaya. Padahal dia sendiri sudah tak memiliki pedang, karena pedang pusaka Kwan-im Po-kiam pemberian gurunya yang juga menjadi tanda ikatan jodoh sudah dia kembalikan kepada suhu dan subo-nya. Biarlah, dia hendak menguji dulu sampai di mana kelihaian lawannya itu.

“Hemm, namaku Pek Han Siong, kawan. Lebih kusayangkan lagi bahwa pedang pusaka sebaik itu akan kau pergunakan untuk kejahatan!”

Cun Sek belum pernah mendengar nama Pek Han Siong, maka baginya nama itu tak ada arti apa pun. Juga dia melihat lawannya itu masih belum mengeluarkan senjata. Sebagai seorang yang amat menghargai diri sendiri, Cun Sek merasa penasaran sekali. Tentu saja dia tidak mau dianggap pengecut karena menyerang orang tanpa senjata dengan pedang pusakanya, maka dia menantang.

"Pek Han Siong, tidak perlu banyak cakap. Keluarkan senjatamu!"

Han Siong menggelengkan kepalanya. "Aku tidak memegang senjata, tetapi engkau keliru kalau mengira aku takut menghadapi pedangmu. Aku akan melawan pedangmu dengan tangan kosong."

"Manusia sombong, jangan salahkan aku kalau tubuhmu akan terbabat menjadi beberapa potong. Lihat pedang!" Terdengar suara berdesing dan nampak sinar emas menyambar ke arah leher Han Siong.

Han Siong kagum sekali. Pedang itu bukan saja merupakan pusaka ampuh, akan tetapi juga digerakkan oleh tangan ahli. Dia cepat mempergunakan ginkang-nya untuk meloncat dan mengelak. Namun pedang itu bergerak terus dengan sangat cepatnya sehingga Han Siong terpaksa harus berloncatan ke sana-sini. Dia semakin kagum.

Tentu saja ilmu pedang lawan itu sangat hebat karena Cun Sek memainkan ilmu pedang Cin-ling-pai yang mengandung unsur ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut yang amat tinggi tingkatnya. Walau pun dia tidak menguasai Siang-bhok Kiam-sut sepenuhnya, akan tetapi cukuplah untuk membuat dia menjadi seorang ahli pedang yang amat lihai.

Namun sekali ini Cun Sek berhadapan dengan seorang lawan yang memiliki tingkat lebih tinggi dalam ilmu silat. Han Siong masih lebih pandai, baik dalam ilmu silat mau pun lebih kuat dalam ilmu sinkang dan ginkang. Maka, walau pun Cun Sek menyerangnya bertubi-tubi, tubuh Han Siong berkelebatan dan selalu terhindar dari sambaran pedang, bahkan kini Han Siong mulai membalas dengan serangan yang tak kalah ampuhnya, meski hanya mempergunakan tangan dan kaki.

Dengan Pek-hong Sin-ciang, beberapa kali Han Siong dapat membuat Cun Sek terdesak dan terhuyung. Bahkan pernah pedang pusaka Hong-cu-kiam di tangannya sudah hampir terlepas setelah lengan kanannya terkena tendangan kaki Han Siong. Kini Cun Sek mulai terdesak.

"Haiiitttt...!" Cun Sek yang menjadi amat penasaran, dengan nekat memutar tubuh setelah tadi dia menghindarkan diri dari tendangan kaki kiri Han Siong, kemudian sambil berputar, pedangnya menusuk ke arah perut lawan.

"Hemmm... huhhhh!" Han Siong membentak dan tangan kirinya mendorong dari samping. Dengan tangan kosong, dengan telapak tangannya, Han Siong mendorong pedang yang luar biasa tajamnya itu.

"Plakkk!"

Pedang itu terpukul menyerong, dan pada saat itu pula tangan kanan Han Siong sudah menampar ke arah kepala lawan. Cun Sek terkejut bukan main. Telapak tangan lawan itu mampu menangkis pedangnya, bahkan sekarang tiba-tiba ada angin yang menyambar ke arah kepalanya. Dia cepat miringkan tubuh dan menarik kepalanya ke belakang. !

"Plakkk!"

Pundaknya terkena srempetan telapak tangan Han Siong hingga Cun Sek terpelanting. Ia terkejut sekali, cepat bergulingan menjauh sambil memutar pedang melindungi tubuhnya. Ketika dia meloncat bangun, ternyata lawannya tidak mengejar, melainkan berdiri tegak sambil memandang kepadanya dengan senyum.

Mulailah Cun Sek merasa jeri karena dia maklum bahwa dia sedang menghadapi lawan yang mempunyai ilmu kesaktian. Pada saat itu nampak bayangan berkelebat dan ternyata Sim Ki Liong sudah berdiri di situ.

Sim Ki Liong dan Pek Han Siong berdiri saling pandang dengan sinar mata mencorong. Mereka memang sebaya dan bentuk tubuh mereka juga sama. Keduanya sama tampan, hanya sikap Ki Liong terlihat lebih halus, kehalusan yang menyembunyikan keliaran yang terkendali, dan kadang kala mata Ki Liong mencorong aneh dan kejam, sedangkan Han Siong sebaliknya selalu bersikap tenang sekali.

Ki Liong segera mengenal Han Siong dan dia pun mengangguk-angguk. "Hemm, kiranya engkau yang datang membikin ribut. Pek Han Siong, ternyata kini engkau sudah menjadi jagoan yang mewakili Pek-tiauw-pang. Berapa dia membayarmu? Apakah dibayar dengan puterinya yang cantik itu?"

Apa bila orang lain yang menerima ejekan dan penghinaan ini, tentu akan menjadi marah. Akan tetapi Han Siong adalah seorang pemuda gemblengan. Dia hanya tersenyum, lantas menjawab dengan halus pula.

"Sim Ki Liong, engkau sudah tahu siapa engkau dan siapa aku. Setelah gagal membantu pemberontakan mendiang Lam-hai Giam-lo dan engkau beruntung dapat meloloskan diri, kini engkau melakukan kejahatan baru dengan menguasai semua perkumpulan yang kau peras, juga mempengaruhi para pejabat daerah dan bersekutu dengan orang-orang jahat. Engkau melakukan pembunuhan dengan semena-mena. Dan engkau tahu bahwa sejak menentang Lam-hai Giam-lo hingga sekarang aku selalu akan menentang segala macam bentuk kejahatan! Aku bukan sekedar wakil Pek-tiauw-pang saja, melainkan wakil seluruh masyarakat yang menderita karena kejahatanmu. Aku sudah mendengar bahwa engkau bersekutu dengan Tok-sim Mo-li. Di mana dia sekarang? Mengapa tidak keluar sekalian?"

Sambil berkata demikian, Han Siong menendang sebuah batu sebesar kepalan tangan yang berada di depan kakinya. Batu itu meluncur ke arah semak-semak dan tiba-tiba saja batu itu tertangkis dan runtuh. Dari balik semak-semak muncullah Tok-sim Mo-li Ji Sun bi, diikuti oleh tiga orang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang kesemuanya berjubah pendeta, dengan rambut panjang digelung ke atas seperti tosu (pendeta Agama To).

Melihat munculnya wanita cantik ini, senyum di bibir Han Siong melebar. "Nah, sekarang baru lengkap, semua biang keladi kekacauan telah berkumpul di sini!" Ucapan ini sengaja dikeluarkan agak keras karena memang merupakan isyarat bagi Ouw Pangcu dan kawan-kawannya untuk mulai dengan penyerbuan mereka ke puncak Kim-lian-san.

"Pek Han Siong, selamat berjumpa kembali dan selamat jalan ke neraka!" kata Ji Sun Bi sambil mencabut sepasang pedangnya. "Sekarang saatnya kami membalas dendam atas kekalahan kami dahulu!"

Sim Ki Liong sudah maklum akan kelihaian Pek Han Siong. Dia tidak malu-malu lagi untuk mencabut pula senjatanya, yaitu Gin-hwa-kiam yang berkilauan seperti perak.

Melihat betapa tiga orang muda yang jahat dan lihai itu sudah mencabut senjata masing-masing, dan dia tahu bahwa seperti juga Cun Sek, Ki Liong memegang sebatang pedang pusaka yang ampuh, Han Siong cepat mengerahkan tenaga saktinya. Sepasang matanya memancarkan cahaya aneh, ada pun suaranya terdengar melengking tinggi penuh wibawa ketika dia berkata,

“Kalian bertiga hendak mengeroyokku? Baiklah, aku pun siap untuk melayani kalian satu lawan satu. Lihat, aku telah menjadi tiga orang seperti kalian!"

Tiga orang muda itu terbelalak, terkejut bukan main melihat betapa tubuh Han Siong telah terpecah menjadi tiga dan kini di depan mereka berdiri tiga orang Pek Han Siong! Ji Sun Bi maklum akan kekuatan sihir yang dipergunakan Han Siong dan memang dia telah siap untuk menghadapi kemungkinan itu, maka ia cepat berseru sambil menoleh ke belakang.

"Sam-wi Susiok (Paman Guru Bertiga), tolong bantulah kami!"

Ji Sun Bi adalah murid dari mendiang Min-san Mo-ko, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang selain pandai ilmu silat, juga ahli dalam hal ilmu sihir. Ji Sun Bi sendiri tidak pernah mempelajari ilmu sihir selengkapnya, hanya ilmu guna-guna untuk menjatuhkan hati pria saja. Akan tetapi, berkat gurunya dia mempunyai hubungan dengan Pek-lian-kauw.

Ketika Ki Liong menjadi ketua Kim-lian-pang dan dia menjadi pembantu utama atau wakil ketua, dalam usaha mereka untuk memperkuat Kim-lian-pang, maka Ji Sun Bi menemui beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw dan berhasil membujuk tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang terhitung sute (adik seperguruan) mendiang Min-san Mo-ko, untuk membantu Kim-lian-pang.

Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu menyanggupi dan kini mereka berada di sana untuk membantu gerakan-gerakan Kim-lian-pang yang mendatangkan untung besar itu. Ketika Han Siong muncul, kebetulan mereka berada di puncak sehingga mereka dapat ikut pula turun menghadapi lawan.

“Jangan khawatir!” terdengar seorang di antara mereka berseru pada saat Ji Sun Bi minta bantuan. Tadi mereka sempat melihat betapa pemuda itu menggunakan sihir yang sangat kuat sehingga mereka sendiri pun terpengaruh dan mereka melihat betapa tubuh pemuda Itu berubah menjadi tiga.

Mereka bertiga maklum bahwa kekuatan sihir pemuda itu memang sangat hebat. Mereka tak akan mampu menandinginya tanpa menggabungkan kekuatan, maka mereka segera duduk bersila, bergandeng tangan dan mengerahkan kekuatan mereka. Seorang di antara mereka, yang berada di sudut kki, segera mengeluarkan kata-kata yang juga melengking tinggi berwibawa.

"Pemuda itu hanya seorang! Yang dua hanya bayangan dan kami perintahkan agar kedua bayangan itu lenyap!" Mereka lalu mengeluarkan suara mengaung-ngaung seperti suara anjing meratapi bulan pada tengah malam, suara yang menyeramkan dan mengeluarkan getaran kuat.

Ki Liong, Cun Sek dan Sun Bi memandang kepada Han Siong. Dan benar saja, dua di antara tubuh Han Siong itu perlahan-lahan lenyap, tinggal seorang lagi saja. Akan tetapi mendadak menjadi tiga lagi, lalu yang dua lenyap lagi. Maka tahulah mereka bahwa telah terjadi pertempuran kekuatan sihir antara Han Siong dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw.

Han Siong sendiri sebetulnya mampu menandingi kekuatan sihir tiga orang Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi suara mereka sungguh amat mengganggunya dan jika dilanjutkan, dalam keadaan adu tenaga sihir itu kemudian dia dikeroyok tiga, maka keadaannya berbahaya juga. Karena itu, ketika tiga orang itu mulai menggerakkan pedang, dia pun menyimpan kekuatan sihirnya dan dirinya berubah menjadi satu lagi.

Ki Liong sudah menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam dan sinar perak menyambar ke arah Han Siong. Pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Dia disambut oleh Ji Sun Bi dengan sepasang pedangnya, sedangkan di belakang pemuda itu Cun Sek juga sudah menggerakkan pedang Hong-cu-kiam untuk mengeroyok.....

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar