Kota Shu-lu tidak begitu besar namun cukup ramai dan di kota ini bahkan terdapat sebuah rumah penginapan Hok-lai-koan yang memiliki kamar cukup banyak serta sebuah rumah makan. Karena rumah penginapan ini memiliki rumah makan sendiri, maka banyak orang luar kota kalau terpaksa menginap di kota Shu-lu lebih senang bermalam di sini dari pada di rumah penginapan lain. Kalau di Hok-lai-koan sudah penuh barulah pengunjung kota itu terpaksa mencari rumah penginapan lain. Hampir setiap hari rumah penginapan itu penuh tamu, dan dengan sendirinya rumah makan itu pun selalu ramai karena semua tamu yang bermalam di situ juga makan di rumah makan itu.
Pemilik rumah makan itu bernama Gui Lok, seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang perutnya gendut dan orangnya ramah. Gui Lok ini ahli masak dan pandai bergaul, pandai menjilat dan mata duitan.
Isterinya yang pertama sudah meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan yang sekarang sudah berusia tujuh belas tahun, cantik manis dan ramah walau pun agak pendiam. Gui Lok telah menikah lagi, dengan seorang janda muda yang usianya baru dua puluh lima tahun, cantik dan genit. Ketiga orang ini semua turun tangan mengurus rumah penginapan dan rumah makan mereka.
Walau pun di kedua tempat itu sudah terdapat pegawai-pegawai yang bertugas, namun ayah ibu dan anak itu selalu saja membantu, kadang-kadang di rumah penginapan, akan tetapi lebih sering di rumah makan. Gui Lok sering membantu di dapur memberi petunjuk kepada para tukang masak, sedangkan isterinya dan puterinya membantu di luar.
Hal ini menambah semaraknya rumah makan itu karena keduanya merupakan dua orang wanita yang cantik manis. Isteri Gui Lok dengan kecantikan yang genit memikat, ada pun Gui Ai Ling dengan kecantikan seorang gadis yang baru saja mekar bagaikan setangkai bunga segar.
Pagi itu para tamu rumah penginapan sudah berada di rumah makan itu untuk sarapan pagi. Ada yang memesan bubur ayam, ada pula yang makan bakmi atau makan bakpao, bahkan mereka yang gembul pagi-pagi sudah memesan nasi dengan lauk pauknya!
Di antara para tamu itu nampak seorang pemuda duduk seorang diri di sudut luar rumah makan. Dia seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, mempunyai tubuh sedang namun tegap dengan dadanya yang bidang. Matanya bersinar-sinar mencorong, mulutnya tersenyum-senyum dan memang pemuda ini memiliki wajah cerah yang manis. Hidungnya mancung dan pakaiannya sederhana, berwarna biru dengan garis-garis kuning. Pemuda yang juga menjadi tamu rumah penginapan itu agaknya sehabis sarapan hendak segera pergi ke luar kota karena di atas mejanya terdapat sebuah caping lebar pelindung panas dan hujan.
Nampaknya dia seorang pemuda sederhana biasa saja. Terdapat ribuan orang pemuda seperti dia dan kehadirannya di sana sama sekali tidak menarik perhatian orang, kecuali isteri dan puteri Gui Lok karena pemuda itu memang dapat dibilang tampan dan sikapnya menarik.
Akan tetapi, siapa pun yang telah mengenal pemuda ini pasti akan terkejut sekali melihat kehadirannya karena pemuda ini sebenarnya sama sekali bukan orang muda biasa saja, melainkan seorang pemuda gemblengan, murid dari dua orang di antara Delapan Dewa, kemudian digembleng lagi dalam hal ilmu sihir oleh mendiang Pek Mau San-jin dan masih beruntung pula dapat menjadi murid kakek Song Lo-jin yang aneh dan sakti. Pemuda ini bernama Tang Hay, atau lebih dikenal dengan sebutan Hay Hay saja.
Seperti halnya pendekar Pek Han Siong, semenjak kecil kehidupan Hay Hay juga diliputi penuh rahasia, menjadi rebutan dan sering terancam bahaya maut. Bahkan kehidupannya pada masa dia masih bayi erat hubungannya dengan Pek Han Siong.
Ibunya sudah tewas sejak dia masih bayi dan dia bahkan tidak tahu siapa nama ibunya. Ibunya adalah seorang gadis yang menjadi korban jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu, dan Si Kumbang Merah itu meninggalkan ibunya setelah mengandung. Ibunya membunuh diri di laut bersamanya, akan tetapi dia sendiri diselamatkan oleh mendiang kakek Pek Khun, yaitu kakek buyut dari Pek Han Siong.
Dia kemudian diaku anak oleh Pek Kong, ayah Pek Han Siong. Dia dijadikan pengganti Pek Han Siong yang dilarikan secara diam-diam karena anak itu dianggap Sin-tong dan diperebutkan oleh para pendeta Lama di Tibet karena dianggap sebagai calon guru besar di Tibet!
Pada saat dia masih bayi dan menjadi anak keluarga Pek, pengganti Pek Han Siong, dia diculik oleh suami isteri Lam-hai Siang-mo! Ia kemudian diambil anak oleh sepasang iblis itu dan namanya menjadi Siangkoan Hay, karena Lam-hai Siang-mo itu terdiri dari suami Siangkoan Leng dan isteri Ma Kim Li, dua orang datuk sesat yang amat jahat.
Dalam usia tujuh tahun, dia yang masih dianggap sebagai sin-tong kembali diperebutkan lagi di antara orang-orang dunia kang-ouw sampai akhirnya dia mendengar bahwa dirinya bukanlah putera kandung Lam-hai Siang-mo! Dia lalu melarikan diri dan dikejar-kejar oleh para kang-ouw hingga akhirnya dia diselamatkan oleh See-thian Lama atau Gobi San-jin, seorang di antara Delapan Dewa, lalu menjadi muridnya. Selama beberapa tahun sempat pula dia menjadi murid Ciu-sian Sin-kai, juga seorang di antara Delapan Dewa.
Demikianlah, berturut-turut dia menjadi murid dari orang-orang sakti sehingga sekarang Hay Hay menjadi seorang pemuda gemblengan yang memiliki kesaktian. Bukan saja ilmu silatnya tinggi, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang cukup hebat!
Pemuda ini memiliki watak periang. Suka bergembira dan menggoda orang, juga pandai sekali merayu wanita dengan kata-kata manis sehingga para wanita mudah sekali jatuh cinta atau setidaknya tertarik padanya. Akan tetapi, biar pun hal ini agaknya diwarisinya dari ayahnya yang tidak pernah dijumpainya, namun dia bukan seorang perusak wanita, bukan seorang pria cabul yang suka memperkosa atau mempermainkan wanita. Biar pun karena ulahnya itu dia dijuluki Pendekar Mata Keranjang, namun sifat mata keranjangnya itu hanya di kulit saja, hanya di luar karena dia selalu menjaga agar jangan sampai dia mengganggu atau berjinah dengan wanita.
Pada waktu para pendekar menentang pemberontakan yang dipimpin oleh persekutuan Lam-hai Giam-lo, Hay Hay juga turut membantu para pendekar, bahkan dia terlibat secara langsung. Dia berjasa besar dalam perjuangan itu, akan tetapi karena sifatnya yang mata keranjang, maka dialah yang dituduh ketika ada beberapa orang gadis menjadi korban perkosaan Ang-hong-cu! Dan di tempat itu pula baru Hay Hay mendapat kenyataan bahwa Ang-hong-cu, penjahat keji perusak wanita itu, tak lain adalah ayah kandungnya sendiri!
Dia lalu mengambil keputusan untuk menebus dosa ayahnya itu, bukan hanya dengan perbuatan-perbuatan baik sebagai seorang pendekar, namun terutama sekali dia harus dapat menangkap ayah kandungnya sendiri supaya orang itu mempertanggung jawabkan semua dosanya. Dia harus menangkap Si Kumbang Merah!
Demikianlah riwayat singkat dari Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang! Padahal, sampai dia berusia dua puluh dua tahun itu, dia masih seorang perjaka tulen! Dan pada pagi hari itu dia duduk di dalam rumah makan karena malam tadi dia bermalam di rumah penginapan Hok-lai-koan.
Sekarang Hay Hay enak-enak duduk seorang diri, menanti datangnya pesanannya, yaitu bubur ayam dan air teh panas. Dia tidak tahu betapa sejak dia datang, dia sudah menarik perhatian dua orang wanita cantik, ibu tiri dan anak pemilik rumah makan itu.
Pada saat dia melamun, dia mendengar suara langkah kaki halus menghampirinya. Tentu saja suara ini amat halus dan lirih, tidak terdengar di antara suara bising para tamu, akan tetapi cukup jelas bagi telinga Hay Hay yang amat terlatih. Dia mengira pesanannya yang datang, maka dia menoleh dan seketika wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang berwajah manis kini sudah berdiri di dekat mejanya, memandang kepadanya dengan senyum yang manisnya mengalahkan madu! Dengan ramah sekali gadis itu bertanya tanpa malu-malu kepadanya,
"Apakah kongcu (tuan muda) belum dilayani? Apakah kongcu sudah memesan makanan dan minuman?"
Hay Hay tertegun. Sukar baginya untuk menduga bahwa gadis manis ini adalah seorang di antara para pelayan rumah makan itu. Gadis semanis ini? Dia pun mengangguk sambil tersenyum, "Sudah, aku sudah pesan kepada seorang pelayan tadi. Bubur dan air teh."
"Kalau begitu harap tunggu sebentar, kongcu. Maafkanlah jika pelayanannya kurang cepat karena banyaknya tamu.”
"Tidak mengapa, nona. Meski pun harus menunggu setahun di sini, kalau ada nona yang menemani bicara, sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar bagiku. Aduhh, betapa sayangnya...!"
Gadis Itu memandang dengan kedua pipi berubah merah. Meski pun pemuda ganteng ini memujinya, akan tetapi pujian itu tidak kasar dan kurang ajar, berbeda dengan para tamu pria lain yang biasanya suka mengeluarkan kata-kata kotor, tidak bersusila dan bahkan kurang ajar kepadanya.
"Kongcu, apanya yang sayang?" tanyanya, ingin tahu apa yang dimaksudkan pemuda ini.
"Ketika tadi aku melihat engkau berdiri seanggun itu, aku pun mengira sedang bermimpi bertemu bidadari! Ketika nona bicara, kusangka seorang puteri bangsawan yang menjadi tamu restoran ini. Sungguh sayang gadis secantik jelita nona ini, yang anggun, manis dan elok, ternyata seorang pelayan. Di sini tempat umum maka nona tentu akan selalu digoda orang. Mengapa nona secantik ini tidak tinggal saja di rumah dan melakukan pekerjaan lain?"
Wajah itu kini berubah semakin merah, akan tetapi bukan karena marah. Kecantikannnya dipuji setinggi langit, disamakan dengan bidadari, disangka puteri bangsawan! Hati gadis mana yang tak akan berdebar penuh rasa bangga kalau dipuji-puji seperti ini oleh seorang pria yang ganteng? Apa lagi pujian itu sama sekali tidak kurang ajar, bahkan mengandung nasehat.
"Aih, kongcu ini bisa saja memuji orang!" katanya sambil menggigit bibirnya dan matanya mengerling malu-malu akan tetapi hatinya senang bukan main. "Sebetulnya aku bukanlah pelayan rumah makan ini, kongcu. Ayahku pemilik rumah penginapan dan rumah makan ini, aku hanya ikut membantu para pekerja di sini."
"Ah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat dan telah lancang bicara!" Hay Hay segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu. "Silakan duduk, nona. Sungguh aku merasa beruntung sekali dapat berjumpa dan berkenalan denganmu. Namaku Hay Hay, dan nona...?"
"Ai Ling..., mari ke sini! Ada tamu datang, sambutlah!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita lain.
"Hemm, namamu Ai Ling, nona? Nama yang sangat manis, semanis orangnya," kata Hay Hay.
Akan tetapi gadis itu sudah menjauhinya sambil berseru. “Baik, ibu!”
Dan dia pun cepat pergi menuju ke pintu masuk untuk menyambut tamu-tamu yang baru datang. Sementara itu Hay Hay kembali menjadi bengong sesudah melihat orang yang datang membawa baki terisi bubur dan minuman teh yang dipesannya, yaitu wanita yang tadi menegur Ai Ling, dan yang disebut ibu oleh gadis itu.
Ibunya gadis itu? Mana mungkin? Wanita yang datang dengan lenggang yang aduhai ini paling banyak berusia dua puluh lima tahun! Seorang wanita yang sudah matang, dengan tubuh denok montok dan penuh lekuk lengkung yang menggairahkan, wajahnya putih dan cantik manis, hanya sayang bedak dan gincu yang dipakainya agak terlalu tebal, dengan pakaian yang indah dan mahal, rambut digelung rapi dengan hiasan menarik. Dengan lenggang yang lemah gemulai seperti penari ahli, wanita ini datang menghampirinya dan tersenyum manis kepada Hay Hay.
“Maaf kalau agak lambat, kongcu. Inilah pesananmu. Bubur ayam dan minuman air teh, bukan?” katanya sambil meletakkan hidangan itu di atas meja.
Dia berdiri dekat sekali dengan Hay Hay sehingga pemuda ini dapat mencium keharuman semerbak keluar dari pakaian wanita ini. Dia masih bengong mengamati wanita ini, tetapi akhirnya dia menarik napas panjang dan berkata,
"Terima kasih, akan tetapi... tidak salahkah pendengaranku? Tadi Ai Ling menyebut ibu..., tidak kelirukah aku?"
Wanita itu adalah isteri Gui Lok bernama Kim Hwa. Dengan sikap genit dia mengerling kepada pemuda ganteng yang semenjak tadi memang amat menarik perhatiannya itu, lalu tersenyum cerah sehingga nampak kilatan giginya yang putih.
"Engkau tidak keliru, kongcu. Aku adalah Kim Hwa, ibu tiri dari Ai Ling. Kenapa kongcu meragukan?"
Hay Hay menarik napas panjang lagi. "Aihhh, siapa yang tidak ragu-ragu? Engkau masih begini muda, cantik jelita lagi, pantasnya menjadi kakak dari Ai Ling, jika kalian enci adik barulah pantas. Ternyata engkau ibu tirinya? Sungguh, kalian adalah dua orang wanita yang sama cantik manisnya, pantas saja rumah makan ini selalu penuh. Kalian bagaikan dua tangkai bunga mawar indah yang menghiasi tempat ini sehingga banyak kumbang beterbangan dan berkeliaran di sini...!"
Senyum di wajah yang cantik genit itu makin cerah dan sepasang mata yang menantang itu makin berseri, "Ihhh, kongcu. Rayuanmu maut! Engkau sendiri seorang pemuda yang amat menarik hati. Siapakah namamu, orang muda yang tampan?"
"Namaku Hay Hay...”
“Hay Hay, di kamar nomor berapa?"
"Kamar bagian belakang, nomor tujuh."
"Kongcu, malam nanti lewat jam dua belas, kalau babi itu sudah pulas, aku ingin datang berkunjung ke kamarmu...," berkata demikian, wanita itu lalu pergi meninggalkan mejanya sambil membawa baki kosong, melempar senyum dan kerling tajam yang membuat Hay Hay bengong di atas bangkunya!
Bukan main, pikirnya. Nyonya muda itu dengan mudah saja menjanjikan permainan kotor dengannya! Tak salah lagi, tentu yang dimaksudkan babi itu adalah suaminya, atau ayah Ai Ling!
Pada saat itu pula dari pintu belakang yang menembus ke dapur justru muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, seorang pria yang bertubuh gendut sekali, dan yang melihat sikapnya tentu dia adalah majikan rumah makan itu! Benar saja, pria gendut itu menggapai kepada Kim Hwa dan wanita genit itu segera menghampirinya dan mereka bicara bisik-bisik, keduanya memandang ke arah tamu baru yang datang dan disambut oleh Ai Ling.
Melihat ini, Hay Hay juga langsung menoleh dan memandang ke arah gadis manis yang menyambut tamu baru itu. Tamu itu seorang lelaki berusia lima puluh tahun, tinggi besar laksana raksasa dengan pakaian mewah. Seorang hartawan besar, akan tetapi wajahnya menyeramkan dan menakutkan karena kulit muka yang hitam itu penuh dengan bopeng, yaitu cacat bekas penyakit cacar yang membuat kulit mukanya kasar dan kelihatan kotor. Matanya agak besar sebelah, hidungnya amat besar dan mulutnya juga lebar. Akan tetapi lagaknya jelas menunjukkan bahwa dia adalah orang kaya dan royal, lagak khas seorang hartawan yang yakin akan ‘harga dirinya’ yang diukur dengan kepadatan kantungnya.
Di belakang hartawan raksasa ini kelihatan tiga orang yang juga tidak menyembunyikan lagak mereka sebagai tukang-tukang pukul atau pengawal dari si hartawan tinggi besar. Dengan lengan baju disingsingkan, pinggang dihias golok, dada dibusungkan dan kepala ditegakkan tinggi, langkah satu-satu laksana harimau berjalan, tiga orang itu seakan-akan memasang kedudukan mereka di atas dada agar semua orang tahu.
Dengan sikap manis, seperti kalau menerima tamu rumah makan itu, Ai Ling menyambut empat orang tamu ini, akan tetapi sekali ini senyum yang menghias wajah yang manis itu agak dibuat-buat. Di dalam hatinya, gadis ini tidak suka kepada tamu hartawan itu karena hartawan Coa ini sudah terkenal sekali sebagai seorang mata keranjang yang sering kali mempergunakan harta kekayaannya untuk memaksakan kehendaknya.
Selain sebagai seorang hartawan, Coa Wan-gwe ini juga seorang yang dianggap sebagai majikan dari para penjahat yang ada di sekitar kota Shu-lu. Dengan hartanya dan dengan kekuasaannya karena dia pandai mendekati para pejabat, juga dengan banyaknya tukang pukul yang menjadi pengawalnya, maka dia ditakuti oleh semua orang. Bahkan orang ini menguasai pula semua tempat pelesir di kota Shu-lu dan kota-kota lain yang berdekatan dengan kota raja.
Di samping banyaknya orang yang merasa takut dan diam-diam membencinya, banyak pula orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dari hartawan ini, dan orang-orang seperti ini tidak segan-segan untuk menjilat dan mencari muka. Kalau Gui Lok sendiri dan puterinya, Ai Ling, diam-diam merasa tidak suka bahkan membenci dan takut kepada Coa Wan-gwe, sebaliknya Kim Hwa selalu bersikap manis terhadap hartawan itu. Dia maklum akan kekuasaan dan kekayaan hartawan ini, bahkan sadar pula bahwa apa bila keluarga suaminya tidak membikin senang hati hartawan ini, maka perusahaan suaminya terancam kebangkrutan.
Kalau hartawan itu sampai memusuhi mereka, maka tidak sukar baginya untuk memaksa suaminya agar menutup rumah penginapan dan rumah makannya, dengan menggunakan kekerasan dan siapakah yang akan berani membela suaminya? Semua pembesar di kota Shu-lu, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, semuanya telah berada dalam genggaman tangan Coa Wan-gwe, bagaikan boneka-boneka yang dapat menari menurut kehendak hartawan itu.
Ketika makan di rumah makan mereka tiga hari yang lalu, ketika dilayani oleh Kim Hwa, hartawan itu sudah membisikkan hasrat hatinya untuk ‘memetik’ bunga rumah makan itu, yaitu Ai Ling! Mendengar hal ini tentu saja hati Kim Hwa diliputi rasa takut. Namun secara diam-diam dia juga merasa girang karena semenjak menjadi isteri Gui Lok, sebetulnya dia membenci Ai Ling.
Maka dia lalu membujuk suaminya supaya menyerahkan Ai Ling kepada Coa Wan-gwe, untuk menjadi selir yang entah ke berapa kalinya. Gui Lok tidak setuju dan marah-marah kepada isterinya, akan tetapi dia pun merasa khawatir sekali dan tidak berani menentang kehendak Coa Wan-gwe karena dia tahu betapa bahayanya menentang kehendak orang itu.
Ketika pada pagi hari itu sang hartawan muncul bersama tiga orang tukang pukulnya, Gui Lok tak berani keluar dari dapur. Isterinya cepat menyuruh Ai Ling menyambut tamu baru itu, kemudian dia pun cepat memasuki dapur dan setengah menyeret suaminya keluar.
"Lihat, alangkah besar rasa cinta Coa Wan-gwe kepada anak kita," bisik Kim Hwa kepada suaminya yang memandang dengan muka agak pucat. "Lihatlah sinar matanya kepada Ai Ling. Aih, kalau engkau memiliki menantu dia, maka kedudukanmu tentu akan meningkat tinggi dan di Shu-lu ini tidak ada seorang pun yang berani kepadamu."
Sementara itu, Ai Ling sudah menyambut tamu-tamu itu dengan sikap manis dibuat-buat, "Selamat pagi, lo-ya (tuan besar), dan silakan duduk di sudut sana. Masih ada beberapa meja kosong untuk lo-ya sekalian," kata Ai Ling dengan senyum buatan.
Coa Wan-gwe bengong memandang gadis yang manis itu. Seperti setangkai bunga yang sedang mekar semerbak, pikirnya. Ia mengangguk-angguk, lalu berkata, "Ai Ling, engkau sediakan bakmi dan panggang babi, juga arak yang cukup untuk kami, dan engkau sendiri harus melayani aku pagi ini. Jangan khawatir, nanti akan kuberi hadiah yang banyak, Ai Ling, manis....!" Tiga orang tukang pukulnya tertawa-tawa dan Ai Ling tersipu.
"Maaf, lo-ya, saya masih memiliki banyak pekerjaan. Akan tetapi pesan lo-ya akan saya sampaikan. Silakan duduk!" Gadis itu lalu setengah berlari masuk ke dalam.
Sejak tadi Hay Hay menyaksikan semua yang terjadi itu. Telinganya yang sangat terlatih itu dapat menangkap bisikan hartawan tinggi besar muka bopeng ketika mengajak Ai Ling untuk melayaninya dan diam-diam dia merasa tidak senang kepada orang tinggi besar itu. Sikapnya begitu pongah dan congkak, seperti telah biasa memerintah, dan sinar matanya begitu penuh nafsu seolah-olah menggerayangi tubuh Ai Ling dari atas ke bawah. Orang ini berbahaya sekali, pikirnya dan dia mengkhawatirkan keselamatan Ai Ling.
Dia melihat betapa Ai Ling terlibat ribut-ribut mulut dengan ayah dan ibu tirinya, biar pun mereka hanya berbisik-bisik. Nampak olehnya di balik pintu ke dapur itu betapa Ai Ling menggelengkan kepalanya keras-keras seperti menolak, sedangkan Kim Hwa memegang pundaknya dan seperti membujuk-bujuk, sementara Gui Lok yang gendut seperti babi itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan bingung dan khawatir .
Kini nampak Kim Hwa yang mengantar seorang pelayan membawakan pesanan makanan dan minuman untuk hartawan itu. Sesudah mengatur hidangan di atas meja dan pelayan itu pergi, Kim Hwa berbisik kepada hartawan itu, suaranya manis dibuat-buat.
"Harap Coa tai-ya sudi memaafkan Ai Ling. Dasar anak pemalu dan dia banyak pekerjaan di dalam, maka tidak dapat melayani tai-ya. Biarlah saya yang melayani di sini." Dengan sikap manis sekali dia kemudian menuangkan arak ke dalam cawan untuk hartawan itu, sedangkan ketiga orang tukang pukul itu memandang nyonya muda itu dengan senyum-senyum senang.
Akan tetapi hartawan itu cemberut. "Hemm, apakah engkau belum menyampaikan hasrat hatiku kepadanya dan kepada suamimu?"
"Sudah, tai-ya."
"Dan suamimu tidak setuju?" Sepasang mata hartawan itu memandang penuh ancaman.
"Ahh, tidak, tidak! Mana mungkin dia berani? Dia menyerahkan kepada saya dan kepada puterinya. Percayalah, tai-ya pasti akan mendapatkan apa yang tai-ya inginkan itu," kata Kim Hwa dengan sikap manis.
Semenjak tadi Hay Hay terus mendengarkan. Kebetulan sekali meja yang dihadapi oleh rombongan hartawan itu tidak begitu jauh dari tempat duduknya sehingga pendengarannya yang sangat tajam dapat menangkap semua percakapan itu walau pun dilakukan dengan berbisik-bisik dan lirih.
"Hemmm, nyonya Gui, dengar baik-baik. Aku sudah tidak sabar lagi. Malam ini aku akan bermalam di rumah penginapan suamimu. Sediakan kamar yang terbaik, dan malam nanti aku benar-benar mengharapkan dia berada di dalam kamarku! Apa bila perintahku sekali ini tidak ditaati, kelak jangan menyesal kalau keluarga dan perusahaan suamimu menjadi berantakan!"
Wajah wanita itu nampak amat ketakutan, "Baik, tai-ya, jangan khawatir...,” lalu suaranya menjadi semakin lirih, "Bagaimana pun juga, saya akan berusaha sekuatnya agar dapat mendorongnya ke kamar tai-ya. Akan tetapi karena dia sangat pemalu, harap tai-ya suka menunggu sampai lewat tengah malam, kalau perlu saya akan memaksanya "
Hartawan tinggi besar itu tersenyum lebar dan menjilati bibirnya, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. "Tidak perlu dengan paksaan, kau gunakan ini. Campurkan dalam makanan atau minumannya dan dia akan menjadi mabok dan tidak akan melawan lagi."
Kim Hwa menerima bungkusan itu, lalu melayani hartawan Coa beserta tiga orang tukang pukulnya makan minum hingga mereka menjadi setengah mabok. Sementara itu Hay Hay sudah meninggalkan rumah makan. Hatinya panas sekali.
Hartawan mata keranjang, pikirnya, perusak gadis-gadis orang. Dan wanita genit tak tahu malu itu adalah seorang ibu tiri yang kejam dan jahat, ingin menjebloskan puteri tirinya ke dalam lembah kehinaan dan menghidangkan puterinya itu, seorang gadis manis, menjadi santapan si bandot tua Coa! Dia harus mencegah hal ini terjadi, pikirnya.
Namun karena peristiwa yang direncanakan orang-orang jahat itu baru akan dilaksanakan malam nanti, maka Hay Hay melanjutkan acaranya hari itu, yaitu melakukan penyelidikan dan mencari jejak Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah, atau ayah kandungnya sendiri, untuk dibekuk dan dipaksanya mempertanggung jawabkan semua dosanya, apa lagi terhadap perbuatan hinanya, memperkosa dua gadis yang amat dikaguminya, yaitu perbuatan yang dilakukannya ketika para pendekar sedang menentang persekutuan Lam-hai Giam-lo.
Kedua orang gadis pendekar itu yang pertama adalah Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong, puteri dari ketua Pek-sim-pang di Kong-goan. Yang kedua adalah Ling Ling atau Cia Ling, puteri dari pendekar besar Cia Sun, masih keluarga dari Cin-ling-pai yang tinggal di dusun Ciang-si-bun dekat kota raja.
Peristiwa aib yang menimpa dua orang gadis perkasa itu telah mencemarkan namanya, karena dialah yang mula-mula dituduh sebagai pelakunya! Oleh karena itu dia harus bisa membekuk batang leher Ang-hong-cu, ayahnya sendiri, lantas menyeretnya kepada dua orang pendekar wanita itu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, untuk mencuci bersih namanya sendiri yang hampir saja tercemar dan menjadi busuk!
Mencari seorang datuk sesat haruslah menghubungi dunia penjahat, pikir Hay Hay. Maka dia pun tidak ragu-ragu lagi memasuki sebuah rumah judi terbesar di kota Shu-lu. Rumah judi ini bercat merah dan cukup luas. Ada beberapa belas meja perjudian. Ada permainan dadu, permainan kartu dan ma-ciok. Akan tetapi yang paling ramai dipenuhi orang adalah meja dadu terbesar di tengah ruangan. Banyak sekali tamu yang datang mengadu untung di tempat perjudian itu.
Pada waktu Hay Hay masuk dengan memakai topinya yang lebar, segera ada dua orang tukang pukul menghampirinya. Karena dia tidak dikenal dan pakaiannya sederhana, juga mengenakan topi caping yang lebar, maka tentu saja dia dicurigai.
"Hei, kawan. Di sini tidak boleh memakai caping lebar, seperti di sawah saja!" tegur salah seorang di antara mereka.
"Ke sinikan, kau titipkan dulu capingmu pada kami. Nanti kalau kau hendak pulang, boleh kau ambil dari kami!" kata yang ke dua.
Hay Hay menoleh. Dia melihat ada dua orang laki-laki tinggi besar dan terlihat kokoh kuat berdiri dengan sikap bengis dan mengancam. Hay Hay tersenyum dan menanggalkan topi capingnya, lalu menyerahkan kepada mereka.
"Harap jaga baik-baik capingku, karena di sini tidak ada orang yang menjual caping lebar model selatan ini," katanya sambil tersenyum. Seorang tukang pukul menerima caping itu sementara orang ke dua memandang Hay Hay dengan sinar mata tajam penuh selidik.
"Sobat, apakah engkau datang hendak berjudi?"
Hay Hay tersenyum. "Sobat, kalau orang memasuki rumah judi lalu tidak hendak berjudi, lalu mau apa?"
"Hemmm, siapa tahu? Ada saja manusia tolol yang mencoba-coba untuk merampok di po-koan (rumah judi) kami, ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha-ha, dan mereka itu dihajar habis-habisan, bahkan ada yang mampus! Mereka tidak tahu siapa kami!" kata orang ke dua.
Hay Hay ikut tertawa. "Sungguh tidak tahu diri! Merampok sebuah po-koan? Itu namanya tidak mengenal kawan sendiri. Akan tetapi aku tidak setolol itu, kawan. Aku datang untuk mengadu untung!" Dia menuding ke arah meja dadu yang penuh orang.
"Nanti dulu sobat, kalau engkau hendak berjudi, maka engkau harus mempunyai modal. Nah, sekarang perlihatkan dulu modalmu. Maklumlah, engkau orang baru dan kami harus berhati-hati!"
Hay Hay tersenyum. Memang ada dia membawa uang, akan tetapi tidak cukup banyak. Dia bukanlah seorang kaya yang banyak uang. Dia mengeluarkan beberapa uang logam tembaga yang tidak seberapa banyak, hanya segenggam dan harganya tentu saja tidak seberapa pula, akan tetapi pandang matanya mencorong ketika memandang kepada dua orang itu dan dia berkata sambil tertawa.
"Lihat, cukupkah modalku ini?"
Dua orang itu melihat Hay Hay membuka tangannya dan... mereka pun terbelalak melihat segenggam uang emas berkilauan pada telapak tangan pemuda itu. Segera sikap mereka berubah dan mereka berdua membungkuk-bungkuk.
"Wah, lebih dari cukup, kongcu. Silakan..., silakan...!" kata mereka sambil mengundurkan diri dan menyimpan caping Hay Hay di tempat yang memang sengaja disediakan untuk orang menaruh segala barang bawaan yang tidak diperlukan di situ seperti topi, payung, jubah dan lain-lain.
Dengan langkah seenaknya Hay Hay langsung menuju ke meja dadu. Dia melihat betapa tempat judi itu dilayani oleh banyak wanita muda cantik yang bersikap genit. Akan tetapi yang menjadi bandar adalah lelaki yang kelihatannya lihai sekali dalam mempermainkan dadu. Dia mendesak di antara banyak orang dan dapat melihat apa yang terjadi di atas meja judi putar dadu itu.
Semua orang sudah memasang taruhan mereka di atas meja, di mana terdapat gambar dan nomor-nomor yang telah dipasang orang, yaitu nomor dua sampai dengan dua belas. Dadu yang diputar ada dua buah, masing-masing dadu memiliki enam permukaan yang digambar totol-totol merah, dari satu sampai dengan enam. Tidak ada yang memasang taruhan pada nomor-nomor dua, tiga dan dua belas.
Meski pun bukan seorang penjudi, namun Hay Hay yang cerdik segera memperhitungkan kenapa tidak ada orang yang memasangkan taruhannya pada tiga nomor itu. Tentu saja, karena kemungkinan keluar ketiga nomor itu hanya masing-masing satu kali saja. Untuk nomor dua hanya jika keluar satu tambah satu, nomor tiga kalau keluar satu tambah dua, dan nomor dua belas kalau keluar enam dan enam. Demikian pula nomor sebelas tidak ada yang memasang, karena nomor sebelas hanya keluar satu kemungkinan, yaitu enam dan lima.
Akan tetapi nomor-nomor lain, dari empat sampai sepuluh, mempunyai dua kemungkinan keluar. Karena itu mereka semua hanya memasangkan uang mereka pada nomor empat sampai dengan sepuluh. Dan yang menang akan mendapatkan tiga kali lipat dari uang taruhannya!
Kelihatannya saja menguntungkan sekali, akan tetapi Hay Hay dapat memperhitungkan bahwa kemungkinan menang bagi para penjudi itu kecil sekali, dan kemungkinan menang itu sudah diborong oleh bandarnya! Bayangkan saja! Kemungkinan keluar dari dua dadu itu sebanyak delapan belas nomor sehingga kesempatan menang dari setiap pemasang adalah dua lawan delapan belas, atau satu lawan sembilan. Akan tetapi imbalannya kalau menang hanya satu mendapat tiga!
Hay Hay memandang kepada bandar di meja judi itu, seorang lelaki pendek gendut yang selalu menyeringai. Setelah semua orang meletakkan taruhannya, bandar cepat memutar dua buah dadu di dalam sebuah mangkok, lantas dengan cekatan dia menelungkupkan mangkok itu di atas meja, dengan dua buah dadunya tertutup di bawah mangkok.
"Hayo tambah lagi taruhan, masih ada kesempatan!" tantang bandar itu, dan empat orang pembantu wanita yang cantik-cantik, dengan gaya masing-masing turut membujuk penjudi yang banyak uang untuk menambah taruhan mereka. Memang pasaran taruhan menjadi semakin ramai bila mana mangkok itu sudah ditelungkupkan, tinggal dibuka saja. Meja itu kini penuh dengan uang taruhan yang ditumpuk-tumpuk.
"Awaaaasssss, mangkok akan segera dibuka! Perhatikan baik-baik! Satu... dua... tiga...!" Dengan sangat cekatan tangan si pendek gendut membuka mangkok dan dua buah dadu itu jelas memperlihatkan angka di permukaan mereka, yaitu angka satu dan dua!
"Tigaaaaaa...!” teriak bandar dadu dengan alat pengeruk di tangannya.
Dan tentu saja dia mengeruk semua uang yang bertumpuk di atas meja karena tidak ada seorang pun yang memasang nomor tiga. Para pelayan wanita sibuk pula membantunya dan ada beberapa orang pembantu lagi mengatur uang kemenangan itu dalam tumpukan-tumpukan yang rapi, memisah-misahkan mata uang itu dan menghitung-hitung.
"Silakan pasang lagi! Pasang lagi...! Siapa tahu sekali ini pasangan anda tepat mengenai sasaran! Pasang seratus mendapatkan tiga ratus, pasang seribu mendapatkan tiga ribu!" teriak beberapa orang gadis cantik pelayan meja dadu itu.
Sebuah tangan yang halus menyentuh lengan Hay Hay. Pemuda ini menengok dan dia terpesona.....