Pendekar Mata Keranjang Jilid 82

Mulana mulai menjadi sibuk dan permainan pedangnya yang digunakan untuk melindungi tubuhnya menjadi kacau. Dia terdesak hebat dan di antara suara tawa dari mulut Kulana yang terdengar menyeramkan, Mulana kini terhimpit sehingga hanya mampu menangkis dan mengelak dengan susah payah.

"Dessss...!" Sebuah tendangan yang mengikuti bacokan pedang mengenai lutut Mulana, membuat dia terpelanting.

"Ha-ha-ha, Mulana, bersiaplah untuk mampus...!" Kulana tertawa bergelak dan siap untuk menubruk saudara kembarnya yang sudah jatuh terlentang sehingga tidak akan sanggup menyelamatkan diri lagi itu.

Akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti karena mendadak saja semua asap hitam lenyap dan cuaca menjadi terang lagi, cuaca dari matahari pagi yang mulai muncul di ufuk timur. Kulana marah dan menyangka bahwa Mulana yang sudah memunahkan kekuatan sihirnya, maka dia menubruk ke depan dan menusukkan pedangnya ke arah dada Mulana yang masih rebah terlentang.

"Trangggg...!" Pedang itu tertangkis.

Kulana cepat meloncat ke belakang dengan muka berubah pucat karena tangkisan pada pedangnya tadi membuat dia merasa kulit telapak tangannya seperti akan pecah-pecah. Panas dan perih sekali! Dia lalu mengangkat muka dan memandang.

Dan ternyata yang berdiri di depannya hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun, wajahnya cerah, matanya mencorong dan pemuda tampan yang berpakaian biru muda dengan garis pinggir kuning ini tersenyum-senyum dengan tenang.

Dia tidak mengenal Hay Hay, karena ketika pemuda ini diterima oleh Lam-hai Giam-lo, dia tidak berada di sana dan sebelum Kulana datang ke sarang pemberontak untuk mengatur gerakan pasukan pemberontak, Hay Hay sudah pergi meninggalkan sarang itu karena dia penasaran dituduh menggauli Pek Eng.

Seperti kita ketahui, tadinya Hay Hay membayangi Han Lojin yang sedang membuat peta di daerah sarang pemberontak. Setelah melihat Han Lojin menghadap Menteri Cang yang memimpin pasukan pemerintah, maka Hay Hay tidak lagi mencurigai Han Lojin dan dapat menduga bahwa tentu Han Lojin kini menjadi mata-mata pemerintah yang sengaja datang ke sarang pemberontak untuk melakukan penyelidikan.

Hay Hay menganggap bahwa sungguh merupakan perbuatan berbahaya dan nekat kalau memaksa masuk ke sarang pemberontak untuk mencari Ki Liong. Oleh karena itu dia lalu membayangi pasukan pemerintah itu dan hendak membantunya di samping niatnya untuk menemui Ki Liong dan menyelidiki siapakah para perusak Pek Eng dan Ling Ling itu.

Ketika melihat jalannya pertempuran, Hay Hay tidak merasa khawatir karena yakin bahwa pasukan pemerintah pasti akan menang. Maka dia lalu membantu sana-sini dan akhirnya dia naik ke tebing karena melihat ada perkelahian di sana.

Dia melihat betapa dua orang laki-laki yang berpakaian pendeta saling serang, akan tetapi yang seorang mempergunakan ilmu hitam menciptakan asap hitam bergulung-gulung. Dia melihat pula Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian berdiri dengan tegang saling membelakangi, agaknya juga terpengaruh oleh ilmu hitam itu. Maka Hay Hay segera mengerahkan ilmu sihirnya dan dalam sekejap mata saja dia sudah berhasil mengusir semua asap hitam dan memunahkan kekuatan sihir Kulana.

Ketika melihat betapa orang yang melakukan ilmu hitam itu hampir membunuh pendeta lain yang mempunyai wajah dan tubuh yang mirip sekali, Hay Hay langsung meloncat ke depan kemudian menggunakan sulingnya untuk menangkis, sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Keparat! Siapa engkau?!" Kulana membentak. Dari sinar mata mencorong pemuda itu dia dapat menduga bahwa kiranya pemuda inilah yang tadi sudah memunahkan kekuatan sihirnya.

"Namaku Hay Hay, dan siapakah engkau? Mengapa main-main dengan sulap dan seperti sedang menghibur anak-anak saja?"

"Jahanam muda! Engkau belum mengenal Kulana, ya? Kini rasakan pembalasanku!"

"Amboi...! Inikah yang bernama Kulana, yang dijagokan oleh Lam-hai Giam-lo? Hemmm, ingin aku melihat pembalasan apa yang kau maksudkan, karena aku tidak berhutang apa pun padamu!" Hay Hay mengejek.

Kulana sudah berkemak-kemik membaca mantera sambil pedangnya diacungkan ke atas. Tiba-tiba nampak api berkobar keluar dari pedang itu, lantas bagaikan hidup saja kobaran api itu melepaskan diri dari ujung pedang dan melayang ke arah Hay Hay, seakan-akan mengancam dan hendak membakar pemuda itu.

"Hay Hay, awasss...!" Hui Lian berseru khawatir, bahkan hendak meloncat ke depan akan tetapi lengannya dipegang suaminya.

"Sssttt, tenanglah, kurasa dia pasti mampu mengatasi ilmu hitam itu!" kata suaminya yang sudah menduga bahwa tentu pemuda aneh itu yang tadi sudah membuyarkan ilmu hitam yang mendatangkan asap hitam.

Mendengar ucapan suaminya, Hui Lian lalu teringat akan kehebatan Hay Hay, maka dia pun diam saja, apa lagi mengingat bahwa dia dan suaminya harus menjaga sumbu bahan peledak itu secara mati-matian sehingga dia tidak boleh meninggalkan tempat itu. Dengan jantung berdebar tegang dia memandang ke arah Hay Hay yang menghadapi gumpalan api berkobar. Juga Mulana memandang dengan mata terbelalak. Dia telah bangkit berdiri dan kini menjadi penonton pertandingan aneh ini, bersama suami isteri pendekar itu.

Hay Hay bersikap tenang menghadapi serangan api yang berkobar itu. Dia sadar bahwa lawannya sangat lihai, memiliki kekuatan sihir yang tidak boleh dipandang ringan, apa lagi disertai ilmu hitam yang menjadi ilmu setan. Tapi dia adalah murid Pek Mau San-jin yang merupakan ahli sihir yang jarang ditemui tandingannya, bahkan kemudian dia digembleng oleh Song Lojin sehingga ilmu silat dan ilmu sihirnya menjadi semakin kuat.

Dari Pek Mau San-jin dia telah banyak mempelajari tentang ilmu hitam, bukan belajar cara penggunaannya, tetapi cara penanggulangannya, cara melumpuhkan dan mengatasinya. Kini, melihat datangnya api berkobar, bukan sekedar khayal seperti juga nampak oleh tiga orang berilmu tinggi yang menjadi saksi, dia segera mengacungkan sulingnya.

"Kulana, api akan kehilangan kekuatannya jika bertemu dengan air, bukan? Nah, mari kita lihat apimu padam oleh airku!"

Sungguh luar biasa, dari ujung suling itu kini memancur air seolah-olah suling itu menjadi pipa yang dialiri air. Pancaran air itu lalu jatuh menimpa kobaran api.

“Cesss…!” terdengar suara disusul padamnya api yang tersiram air. Begitu api padam, air yang memancar keluar dari suling pun terhenti.

Wajah Kulana menjadi merah padam. "Keparat, engkau suka air, ya? Nah, terimalah air ini secukupnya!" Dan ketika dia mengacungkan pedangnya ke atas, dari atas kini turun air yang banyak sekali, seperti dituangkan dari atas, seolah-olah di atas terdapat sungai yang kini membanjir ke bawah!

Hay Hay kembali mengacungkan sulingnya ke atas, wajahnya agak pucat dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong. "Betapa pun banyaknya, air bisa dibendung dan diarahkan alirannya. Kulana!" Terdengar suara Hay Hay tenang, lantas tiba-tiba saja dari ujung sulingnya itu tercipta sebuah bendungan yang menerima air yang tumpah dari atas, dan karena bendungan itu miring ke depan, maka air yang ditampungnya mengalir turun dan menimpa ke arah Kulana sendiri!

Terpaksa Kulana cepat menarik kembali ilmu sihirnya dan begitu air itu lenyap, bendungan itu pun lenyap. Kini Kulana menjadi marah bukan main, sepasang matanya menjadi jalang dan merah, mulutnya mengeluarkan buih, cuping hidungnya kembang kempis dan lubang hidungnya mengeluarkan uap putih. Kegilaan nampak pada wajahnya yang tertarik-tarik aneh itu.

"Hay Hay, hari ini aku Kulana akan mengadu nyawa denganmu! Bersiaplah untuk mampus di ujung pedangku!" Sambil berkata demikian Kulana melontarkan pedangnya ke atas dan seperti bernyawa, pedang itu mendadak meluncur turun ke arah Hay Hay, mengeluarkan suara mencicit mengerikan seolah-olah dibawa oleh tangan iblis yang tidak nampak untuk menyerang pemuda itu.

Hay Hay mengenal ilmu ini yang termasuk ilmu sihir pula, akan tetapi dia juga tahu bahwa pedang itu bergerak menurut kehendak hati pemiliknya, seakan-akan Kulana sendiri yang memainkannya dengan ilmu pedangnya. Dia pun segera mengerahkan tenaga batinnya dan melontarkan sulingnya ke atas.

"Sulingku akan menyambut pedangmu seperti aku yang akan menyambut semua ilmumu, Kulana!" katanya dengan tenang namun penuh wibawa.

Suling itu meluncur ke atas, lalu membalik, bagaikan seekor naga memandang ke arah lawan, kemudian meluncur ke depan menyambut pedang itu. Dan terjadilah ‘perkelahian’ yang amat menarik, aneh, hebat dan seru antara pedang dan suling. Pedang masih terus mengeluarkan suara mencicit, suling mengeluarkan suara mengaung-ngaung, dan setiap kali pedang dan suling bertemu, terdengar suara nyaring dibarengi muncratnya bunga api!

Hui Lian dan Su Kiat yang menjadi penonton tentu saja memandang dengan takjub dan kagum, sedangkan Mulana juga memandang dengan kagum. Alisnya berkerut karena dia tahu bahwa kini saudara kembarnya bertemu dengan seorang lawan yang amat tangguh, baik dalam ilmu silat mau pun ilmu sihir.

Hay Hay juga tidak berani main-main. Di dalam hatinya pemuda ini harus mengaku bahwa selama dia berkelana, belum pernah dia bertemu tanding yang begini tangguh, baik ilmu silat mau pun ilmu sihirnya. Selama ini baru dua kali dia bertemu tanding yang agaknya setingkat dengannya, yaitu Sim Ki Liong dan Han Lojin.

Walau pun dia sendiri belum pernah bentrok secara sungguh-sungguh dengan Ki Liong, namun dia pernah melihat Sim Ki Liong melawan jagoan-jagoan Bu-tong-pai itu dan dia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai dan merupakan lawan berat. Demikian pula dengan Han Lojin. Walau pun dia hanya baru melakukan pibu (adu ilmu silat) dengan Han Lojin dan bukan berkelahi sungguh-sungguh, tapi dia tahu bahwa orang tua itu pun merupakan lawan yang tangguh sekali. Sekarang dia bertemu Kulana yang bukan hanya hebat ilmu silatnya, namun juga berbahaya sekali ilmu sihirnya.

Pertandingan antara pedang dan suling itu berlangsung semakin seru dan kini nampaklah betapa wajah Kulana penuh dengan keringat, juga dari kepalanya yang tidak tertutup dan rambutnya terurai itu keluar uap putih yang tebal. Kulana berdiri dengan kedua tangan diangkat ke atas, kedua lengannya itu kini gemetar, kedua kakinya menggigil.

Sebaliknya Hay Hay berdiri dengan tenang, kedua tangannya juga diangkat ke atas dan mulutnya tersenyum, tetapi sepasang matanya bersinar mencorong memandang ke arah pertempuran antara pedang dan sulingnya itu. Ternyata Hay Hay lebih unggul dalam adu ilmu senjata ini. Pemuda ini pernah digembleng dengan tekun oleh tiga orang sakti, tiga orang di antara Delapan Dewa, maka tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, yang kemudian telah dimatangkan pula oleh gemblengan Song Lojin.

Kulana yang keras kepala itu merasa sangat penasaran, tidak mau percaya bahwa dia akan dikalahkan oleh seorang pemuda yang tidak ternama! Dia tidak menerima keadaan, tak menyadari akan kelemahannya dan dengan nekat dia melawan terus, bahkan segera mengerahkan seluruh tenaganya.

Akan tetapi kini jelas nampak oleh tiga orang penonton itu betapa gerakan pedang makin melemah, sedangkan suling itu makin mengganas. Suara suling terdengar makin nyaring mengaung-ngaung, sedangkan suara pedang yang tadi mencicit garang sekarang berubah mengecil, seperti bunyi cicit tikus yang ketakutan. Suling mendesak terus dan akhirnya, dengan hantaman yang amat kuat, pedang itu dibuat terpental oleh suling lalu pedang itu meluncur turun ke arah Kulana!

"Kulana, awas...!" Mulana memperingatkan sambil meloncat ke depan. Namun terlambat!

Kulana yang masih juga keras kepala itu masih berusaha untuk mengerahkan seluruh semangat dan tenaganya untuk mengirim kembali pedangnya yang seperti melarikan diri itu. Tetapi betapa pun juga dia tidak kuat dan pedangnya tetap meluncur turun, lalu tanpa dapat dielakkannya lagi, pedangnya itu menancap di dadanya sendiri!

Kulana terkejut sekali, mengeluh seperti orang tidak percaya. Dengan kedua tangannya dia mencabut pedang yang lebih setengahnya menancap ke dalam dadanya. Kemudian dia menunduk, dua matanya terbelalak memandang darahnya yang mengucur dari dada hingga membasahi jubahnya yang putih, membuat jubah itu menjadi merah pada bagian dada, kemudian dia pun roboh terjengkang.

"Kulana...!" Mulana menubruk saudara kembarnya, berlutut dan berusaha merangkulnya. Bagaimana pun juga mereka adalah saudara kembar, maka terdapat hubungan dan ikatan batin yang amat dekat antara mereka. Melihat Kulana kini terkapar dengan mandi darah, Mulana merasa seolah-olah dadanya sendiri yang terluka.

"Mulana... kau... kau... biang keladinya...!"

Dengan sisa-sisa tenaganya yang masih ada, tiba-tiba Kulana menusukkan pedangnya itu ke dada saudara kembar yang merangkulnya. Pedang menancap di dada Mulana sampai setengahnya. Mulana terbelalak, namun dia tidak melepaskan rangkulannya, bahkan dia tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Baiklah, kutemani engkau... pulang... pulang..., Kulana..." Dia pun lantas tergelimpang, jatuh di samping saudaranya, kedua lengannya masih merangkul Kulana yang juga sudah menghembuskan napas pada saat itu pula.

Hay Hay berdiri dengan muka pucat. Dia menghapus peluhnya dan memandang dengan mata sayu. Hatinya merasa sedih dan terharu. Mengapa manusia harus saling bunuh? Jika di dunia ini ada kebaikan, mengapa manusia malah memilih kejahatan untuk mengisi hidupnya? Kalau ada kasih sayang, mengapa manusia saling membenci?

"Hay Hay...!" Panggilan Hui Lian ini menyadarkannya. Wanita yang dulu pernah hampir menaklukkan hatinya itu sudah berdiri di hadapannya dan memegang kedua pundaknya, mengguncangnya karena Hui Lian tadi melihat Hay Hay berdiri diam dengan muka pucat seperti patung.

"Enci... Enci Hui Lian..." Dia berkata dan cepat-cepat melangkah mundur, dengan lembut melepaskan diri dari rangkulan Hui Lian ketika dia melihat pendekar lengan kiri buntung, suami wanita itu berdiri di situ.

"Lihat, di bawah masih terjadi pertempuran, sebaiknya kita membantu ke sana," kata Su Kiat yang dapat merasakan kecanggungan yang diperlihatkan Hay Hay.

Diam-diam Su Kiat merasa kagum sekali terhadap Hay Hay. Pemuda itu memang hebat, dan seorang pemuda seperti itu memang patut mendapatkan kasih sayang dari Hui Lian. Seorang pemuda yang tampan, mempunyai ilmu kepandaian yang sangat tinggi, sikapnya sederhana dan gembira, namun harus diakuinya bahwa Hay Hay memang memiliki watak yang agak mata keranjang terhadap wanita.

"Akan tetapi kita harus menjaga sumbu itu...," kata Hui Lian yang sudah bisa memulihkan ketenangannya setelah tadi diliputi keharuan dan kebanggaan terhadap Hay Hay.

"Kita dapat menarik sumbu ini sampai putus di bawah sana sehingga takkan dapat disulut orang lagi," kata Su Kiat dan dia lalu memegang ujung sumbu itu dan menariknya.

Sumbu itu sangat panjang menuju ke bawah, ke tempat bahan peledak ditanam. Sambil mengerahkan tenaga, sekali tarik sumbu itu pun putus di sekitar timbunan bahan peledak.

"Nah, sekarang kita boleh meninggalkan tempat ini dengan aman," kata Su Kiat dan dia pun berlari menuruni bukit itu, diikuti oleh Hui Lian dan Hay Hay. Pertempuran di bawah memang masih terjadi dengan serunya, dan Hay Hay ingin segera mencari Ki Liong untuk diminta pertanggungan jawabnya tentang diri Pek Eng.

Sementara itu di bagian lain, di bawah dekat jalan terusan di mana terjadi pertempuran pula, kita kembali melihat perkelahian yang amat seru antara Pek Han Siong dan Bi Lian yang menghadapi dua pasang suami isteri iblis yang lihai.

Han Siong dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo, yaitu suami isteri Siang-koan Leng dan Ma Kim Li yang keduanya merupakan tokoh sesat yang amat lihai dan kejam. Namun sekali ini mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai. Han Siong menghadapi dua orang lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong saja karena tadi dia sudah menyerahkan pedang Kwan-im-kiam kepada Bi Lian. Meski pun hanya bertangan kosong, dia sama sekali tidak terdesak, bahkan tamparan-tamparannya yang mengandung tenaga sinkang hebat sekali itu membuat Lam-hai Siang-mo sangat kewalahan dan beberapa kali nampak mereka itu terhuyung seperti dilanda angin badai yang kuat.

Keadaan suami isteri dari Goa Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tiong Ci Ki, ternyata juga sama saja. Mereka berdua menggunakan pedang menghadapi Bi Lian yang sudah menerima pedang dari Han Siong.

Ketika mereka terjun ke dalam pertempuran dan dihadapi dua pasang suami isteri, Han Siong merasa khawatir akan keselamatan Bi Lian, maka dia segera mengambil pedang Kwan-im-kiam yang diterima dari kedua orang gurunya, melemparkannya kepada Bi Lian sambil berkata. "Sumoi, kau pergunakan pedang ini!"

Bi Lian menyambut pedang itu dan ketika mencabutnya, dia merasa girang sekali melihat bahwa senjata itu merupakan sebuah pedang pusaka yang sangat indah, ringan dan juga ampuh, mengeluarkan sinar berkilauan. Dengan pedang Kwan-im-kiam di tangan, dengan tenang dan tanpa harus mengeluarkan terlalu banyak tenaga, Bi Lian lantas menghadapi pengeroyokan suami isteri itu.

Akan tetapi gadis ini mengalami suatu keanehan saat dia memainkan pedang itu. Pedang di tangannya itu merupakan senjata yang amat baik untuk melindungi diri, bahkan pedang itu seperti mengeluarkan hawa yang sangat kuat setiap kali dipergunakan untuk bertahan. Akan tetapi setiap kali dipakai untuk menyerang, pedang itu terasa berat dan gerakannya lamban, seolah-olah pedang itu tidak suka dipakai untuk menyerang manusia!

Bi Lian merupakan murid terkasih dari dua orang datuk sesat, maka tentu saja dia sudah digembleng dengan berbagai ilmu yang jahat dan kejam oleh Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Akan tetapi karena di dalam darahnya mengalir darah pendekar maka dia tidak suka, bahkan selalu menentang perbuatan jahat dan kejam.

Ketika melihat betapa dua orang suami lsteri itu tidak berdaya menghadapi gulungan sinar pedang yang diputarnya, Bi Lian lalu mulai melakukan serangan dengan tangan kirinya.

"Tranggg...!"

Bi Lian mengerahkan sinkang-nya ketika menangkis pedang Tong Ci Ki yang menusuk dadanya. Tangkisan itu demikian kuatnya hingga Tong Ci Ki mengeluarkan suara jeritan halus. Pedangnya hampir terlepas dari pegangannya dan tubuhnya terhuyung. Pada saat terhuyung ini, tangan kirinya bergerak dan sinar halus hitam menyambar ke arah Bi Lian!

Gadis ini maklum bahwa lawan telah menggunakan senjata rahasia. Jarum-jarum beracun memang menjadi keistimewaan Tong Ci Ki hingga wanita ini mendapat julukan Si Jarum sakti. Akan tetapi, sebagai murid dua orang datuk sesat, tentu saja Bi Lian mengenal baik segala macam serangan gelap dan curang. Tubuhnya telah melayang ke atas, kemudian dengan kemarahan meluap tangan kirinya menyambar ke arah kepala Tong Ci Ki.

Wanita ini terkejut, cepat mengelak mundur, akan tetapi tangan kiri Bi Lian itu dapat mulur dan mengejar terus. Hal ini tentu saja sama sekali tidak pernah disangka oleh Tong Ci Ki sehingga dia terkejut sekali dan tanpa dapat dihindarkannya lagi, tangan kiri Bi Lian yang kini mengeluarkan uap putih itu telah mengenai pelipisnya.

"Plakkk!"

Tubuh Tong Ci Ki terpelanting dan wanita itu mengeluarkan jerit kecil, lalu terkulai lemas dan tewas seketika!

Melihat isterinya roboh, Kwee Siong marah bukan main. Sambil mengeluarkan gerengan laksana seekor harimau terluka, dia menyerang dengan pedangnya, membarengi dengan hantaman tangan kirinya.

Serangan ini ganas sekali karena tangan kiri Kwee Siong tidak kalah ampuh dibandingkan pedang pada tangan kanannya. Dia berjuluk Si Tangan Maut karena kehebatan tangan kirinya itu.

Tetapi sambil membalik tubuhnya Bi Lian menghadapi serangan dahsyat itu dengan pekik melengking yang amat hebat. Itulah ilmu Ho-kang, gerengan atau pekik melengking yang mengandung tenaga khikang hebat, yang dipelajari dari Tung Hek Kwi.

Mendengar pekik yang amat hebat ini seketika Kwee Siong menjadi seperti lumpuh, kaki tangannya seperti kaku sehingga tak dapat digerakkan. Sebelum dia sempat memulihkan keadaannya, karena jantungnya tergetar hebat oleh pekikan itu, tangan kiri Bi Lian sudah menampar.

"Takkk...!"

Jari-jari tangan mungil dari tangan Bi Lian menyambar ke arah tengkuk, lantas robohlah Kwee Siong, tak dapat bangkit kembali karena nyawanya telah menyusul nyawa isterinya.

"Sumoi, mengapa engkau tidak mempergunakan pedang itu? Pedang itu kuterima dari Subo..."

Bi Lian membalik menghadapi suheng-nya, dan dia melihat bahwa Han Siong juga sudah merobohkan Lam-hai Siang-mo. Tidak terlalu sulit bagi Han Siong untuk merobohkan dua orang pengeroyoknya itu karena tingkat kepandaian mereka jauh di bawah tingkatnya. Dia merobohkan Siangkoan Leng dengan cara menyentil pedang di tangan Siangkoan Leng sehingga membalik dan menusuk tenggorokan pemegangnya sendiri, sedangkan Ma Kim Li dirobohkannya dengan totokan maut yang mengenai pangkal leher kiri.

Tadi Han Siong sempat menyaksikan ketika Bi Lian merobohkan dua orang suami isteri itu, maka dia merasa heran dan bertanya mengapa gadis itu tidak menggunakan pedang untuk merobohkan mereka.

Bi Lian tersenyum, "Sayang kalau pedang ini dikotori dengan darah mereka, Suheng. Nih, kukembalikan pedangmu dan terima kasih." Han Siong lalu menerima kembali pedang itu, pedang yang menjadi tanda ikatan jodoh antara dia dengan gadis itu.

"Heiii, lihat siapa di sana itu...!" Tiba-tiba Bi Lian menunjuk ke depan.

Han Siong cepat menengok dan dia melihat seorang gadis mengamuk di antara pasukan pemberontak. Seorang gadis yang masih muda sekali, antara tujuh belas sampai delapan belas tahun, tinggi ramping dengan wajah manis. Gerakan gadis itu lincah dan Han Siong melihat bahwa tingkat kepandaian silat gadis itu biasa saja, namun sudah cukup tangguh untuk merobohkan anggota-anggota pasukan pemberontak. Dara yang tadinya bertangan kosong itu dapat merampas sebuah golok dan kini ia mengamuk dengan golok rampasan itu.

"Siapakah dia?" Han Siong bertanya, tidak begitu tertarik, bertanya hanya karena Bi Lian menunjukkan gadis itu kepadanya.

"Dia adalah gadis yang kau cari-cari, Pek Eng adikmu, Suheng."

"Ahhhhh...!" Mendengar ini Han Siong langsung melompat, kemudian dengan tendangan-tendangannya dia merobohkan beberapa orang anggota pemberontak yang mengeroyok Pek Eng, diikuti oleh Bi Lian yang tersenyum melihat ulah suheng-nya itu.

"Enci Bi Lian...!" Pek Eng berseru girang ketika melihat Bi Lian dan dia menoleh kepada Han Siong, lalu mengangguk.

"Terima kasih atas bantuan kalian."

"Eng-moi, tahukah engkau siapa adanya dia ini? Dia adalah kakakmu yang bernama Pek Han Siong!"

Wajah Pek Eng berubah, dua matanya terbelalak dan dia memandang kepada Han Siong yang sebaliknya juga memandang adiknya dengan mata mengandung keharuan.

"Adik Eng...!"

"Kakak Han Siong..., kakakku...!" Pek Eng lari maju dan menubruk kakaknya yang cepat merangkulnya dan tiba-tiba Pek Eng menangis tersedu-sedu di atas dada kakaknya yang sudah banyak didengarnya namun yang selamanya belum pernah ditemuinya itu. Bahkan ketika dia terlahir, kakaknya sudah tidak berada di rumah orang tuanya.

Melihat pertemuan yang sangat mengharukan itu, Bi Lian sengaja menjauhkan diri lantas melanjutkan amukannya di antara pasukan pemberontak karena pertempuran masih terus berlangsung dengan amat serunya.

Sementara itu diam-diam Han Siong terkejut dan agak kecewa. Kenapa adik kandungnya ini ternyata seorang gadis yang cengeng? Memang pertemuan di antara mereka itu amat menyentuh perasaan dan mengharukan, akan tetapi bukankah mereka berada di tengah pertempuran dan tadi adiknya ini terlihat demikian gagah menghadapi pengeroyokan para pemberontak? Kenapa tiba-tiba menjadi begini cengeng setelah bertemu dengan dia?

Akan tetapi dia pun merasa khawatir saat memperhatikan adik kandungnya itu. Bukankah menurut keterangan ayah ibunya, Pek Eng merupakan seorang gadis yang cerdik, berani dan tabah ? Dan kini tangisnya begitu menyedihkan, seolah-olah ada sesuatu yang amat mengganggu perasaan gadis ini, maka dia merangkulnya lebih erat untuk menghiburnya.

"Tenangkan hatimu, adikku. Kenapa engkau menangis begini sedih? Bukankah pertemuan antara kita ini sangat menggembirakan? Tahukah engkau betapa aku sudah mencarimu sampai beberapa lamanya? Aku mendengar tentang engkau dari Sumoi Bi Lian. Kenapa engkau seperti orang berduka, adikku?"

Mendengar kata-kata itu, tangis Pek Eng makin menjadi-jadi! Dia kini sesenggukan dan Han Siong merasa betapa dadanya basah akibat air mata adiknya itu menembus bajunya. Ahh, tentu ada sesuatu yang menghancurkan hati adiknya, pikir Han Siong khawatir.

"Katakanlah saja kepada kakakmu ini, adikku. Apakah yang telah terjadi? Siapakah yang telah membuatmu begini berduka?"

Mendengar pertanyaan itu, Pek Eng langsung mengangkat mukanya memandang kepada wajah kakaknya penuh harap. "Koko, apakah engkau sayang kepadaku? Apakah engkau kasihan kepadaku?"

Hampir saja Han Siong tertawa mendengar ini. Mendadak dia menggerakkan kaki kirinya dan seorang prajurit pemberontak segera terlempar jauh. Tadi prajurit itu agaknya hendak mempergunakan kesempatan untuk menyerang dengan goloknya selagi kakak beradik itu lengah.

"Tentu saja aku sayang dan kasihan kepadamu, adikku."

"Dan engkau mau memaafkan kalau aku membuat kesalahan?"

"Tentu, tentu saja..."

"Koko, aku... aku telah dicemarkan orang..."

Han Siong terkejut sekali, bagaikan disambar halilintar. Dia memegang pundak adiknya dengan dua tangannya dan mendorongnya untuk dapat melihat wajah adiknya lebih jelas. "Kau... telah diperkosa orang?"

Pek Eng menggelengkan kepala. " Aku... aku menyerahkan diri dengan suka rela, Koko, aku... aku terlampau lemah dan aku... aku cinta padanya. Akan tetapi dia... dia... ahhh..." Gadis itu menangis lagi. 

"Dia mengapa? Dia siapa? Katakanlah, adikku!" kata Han Siong dengan hati tidak enak.

"Dia... mengingkarinya, Koko. Dia tak mau bertanggung jawab, bahkan dia menyangkal!" Kini Pek Eng tak menangis lagi, akan tetapi mengepal tinju dengan marah. "Bantulah aku, Koko, untuk menyadarkannya, atau kalau dia tetap menyangkal, untuk membunuhya!"

Han Siong mengerutkan alisnya. "Sungguh aku tak mengerti, adikku. Bagaimana mungkin dia mengingkarinya, menyangkal kalau memang benar dia telah melakukannya?"

Dengan singkat Pek Eng lalu menceritakan peristiwa malam itu di dalam pondok taman yang sunyi, betapa pemuda itu sudah menggaulinya, akan tetapi kemudian melarikan diri dan menyangkal perbuatan itu.

"Siapa dia?" Han Siong bertanya marah.

"Dia Hay-ko..."

"Hay...? Maksudmu, Hay Hay yang menjadi penggantiku di keluarga orang tua kita itu?"

"Benar, Koko, dialah orangnya. Temuilah dia, Koko. Hanya ada dua pilihan baginya, mau memperisteriku dengan baik-baik atau dia harus mati di tanganku."

"Di mana dia?"

"Aku tidak tahu, Koko, aku pun sedang mencarinya. Mungkin sekarang dia berada pula di dalam medan pertempuran ini."

"Hayo kita cari dia!" kata Han Siong dan mereka pun segera pergi, mencari Hay Hay…..

********************

Bi Lian meninggalkan Han Siong, mulai mencari sendiri musuh-musuhnya, yaitu Lam-hai Giam-lo dan Kulana. Dara ini masih merasa sakit hati terhadap kedua orang itu karena kematian kedua orang gurunya. Dan tak lama kemudian, dia melihat Lam-hai Giam-lo!

Kakek ini sedang mengamuk dan pada punggungnya terdapat sebuah gendongan kain. Mudah saja diduga bahwa kakek ini agaknya telah siap untuk melarikan diri, dan di dalam gendongannya itu terdapat batangan emas yang diterimanya dari Kulana.

Para prajurit kerajaan yang melihat kakek ini segera mengepung, akan tetapi mereka ini bagaikan sekawanan nyamuk yang menyambar api saja. Lam-hai Giam-lo terlampau lihai sehingga setiap orang prajurit yang berani mendekat langsung roboh oleh tamparan atau tendangannya. Bahkan beberapa orang pendekar anggota Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kong-thong-pai roboh pula menjadi korban kelihaian pemimpin pemberontak itu.

Melihat Lam-hai Giam-lo, Bi Lian yang tadinya telah khawatir kalau-kalau musuh besarnya ini sudah melarikan diri, segera menghampiri dengan cepat sambil membentak, "Lam-hai Giam-lo, iblis busuk! Bersiaplah untuk menebus nyawa kedua orang guruku!"

Setelah mengeluarkan bentakan, Bi Lian sudah menerjang maju dan menyerang dengan ganasnya karena gadis ini maklum akan kelihaian lawan, maka begitu menyerangnya dia sudah mengerahkan tenaga sekuatnya.

Lam-hai Giam-lo juga mengenal Bi Lian. Dia pun maklum bahwa sebagai murid paman gurunya, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tentu gadis itu berbahaya sekali, maka dia pun menyambut serangan itu dengan sepenuh tenaganya, menangkis dengan tangan kiri ke arah lengan kanan Bi Lian yang mencengkeram ke arah lambungnya, sedangkan tangan kanannya sudah menampar dari atas mengarah ubun-ubun kepala Bi Lian.

"Ciuuuttt...!"

Bi Lian sudah melompat ke samping sehingga hantaman maut itu hanya lewat di samping kepalanya. Bi Lian segera membalas dengan tusukan jari-jari tangan kanannya ke arah dada lawan. Lam-hai Giam-lo tidak berani memandang ringan jari-jari tangan mungil ini karena tangan mungil itu sudah diisi dengan tenaga sinkang yang membuat tangan itu dapat tajam seperti golok sehingga jika mengenai sasaran, dapat menembus kekebalan, merobek kulit daging dan mematahkan tulang.

"Dukkk!"

Lam-hai Giam-lo menangkis dari samping dan ketika kedua lengan bertemu, tubuh Bi Lian langsung terdorong mundur sedangkan tubuh Lam-hai Giam-lo hanya tergetar saja. Hal ini membuktikan bahwa dalam hal kekuatan tenaga sinkang, pemimpin pemberontak itu masih lebih kuat dibandingkan adik misan seperguruannya. Terjadilah serang menyerang yang sengit antara kedua orang ini.

Para pendekar lain yang merasa bahwa tingkat kepandaian mereka masih belum mampu menandingi Lam-hai Glam-lo dan maklum bahwa kalau mereka maju berarti hanya akan mengantar nyawa, segera menonton dari jarak jauh. Perkelahian antara dua orang itu makin lama semakin seru dan akhirnya Bi Lian mulai terdesak juga.

Bi Lian maklum akan ketangguhan lawan, maka dia mulai melirik ke sana-sini menunggu kemunculan Pek Han Siong untuk mengharapkan bantuan pemuda itu. Akan tetapi yang muncul bukan Han Siong, melainkan dua orang yang amat ditakuti oleh Lam-hai Giam-lo. Mereka adalah suami isteri Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian!

"Lam-hai Giam-lo, bersiaplah untuk mampus!" terdengar Hui Lian membentak nyaring dan begitu dia menyerang, nampak sinar terang menyambar ke arah leher Lam-hai Giam-lo.

"Singggg...!" Pedang itu berhasil dielakkan oleh Lam-hai Giam-lo yang membuang diri ke belakang.

"Wuuuttt...!"

Angin dingin menyambar dari arah lain dan Lam-hai Giam-lo kembali harus melempar diri ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran ujung lengan baju kiri milik Su Kiat yang tidak kalah berbahayanya dibandingkan pedang Kiok-hwa-kiam di tangan isterinya itu.

Ketika Lam-hai Giam-lo mengangkat muka memandang dan mengenal suami isteri yang amat ditakuti itu, wajahnya berubah pucat. Sudah beberapa kali dia harus menyelamatkan diri dari suami lsteri ini, bahkan dia sampai melarikan diri dan menyamar sebagai seorang hwesio di kuil Siauw-lim-pai saking takutnya dikejar-kejar suami isteri ini.

Tak diduganya bahwa perbuatan yang iseng dan jahat di waktu yang lalu mengakibatkan munculnya dua orang musuh yang luar biasa tangguhnya ini. Kini dua orang musuh besar ini muncul kembali sebagai pembantu pasukan pemerintah, pada waktu anak buahnya sudah mulai tersudut dan terhimpit.....

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar