Pada saat itu muncul Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kemunculan mereka mengejutkan Pek Eng karena tahu-tahu mereka telah berada di situ dan dia pun baru tahu kemunculan mereka ketika Bi Lian membalikkan tubuh menegur mereka.
"Suhu berdua mencari aku?" tanya Bi Lian sambil menoleh dan barulah Pek Eng melihat mereka.
Bergidik dara ini melihat dua orang aneh itu. Si Gendut Bulat kepala botak itu menyeringai terus, sedangkan raksasa tinggi besar brewok hitam itu cemberut terus. Mereka seperti bukan manusia melainkan iblis-iblis jahat. Gurunya sendiri, Si Muka Kuda, tidaklah begitu menyeramkan seperti dua orang guru dari Bi Lian ini.
"Bi Lian, mari ikut dengan kami. Kita memenuhi undangan Kulana, hendak kita lihat orang macam apa adanya dia," kata Pak Kwi Ong.
Bi Lian mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah merasakan kelihaian Kulana dan dia curiga kepada orang itu. Akan tetapi dua orang gurunya pasti akan mampu menghadapi mereka, dan dia pun ingin mengenal lebih dekat orang macam apa sebenarnya tokoh Birma yang aneh itu.
Dia mengangguk dan meninggalkan Pek Eng, mengikuti kedua orang kakek itu keluar dari taman. Sekali berkelebat tiga orang guru dan murid itu pun lenyap dan Pek Eng menjadi bengong, merasa kagum bukan main. Dia berjanji kepada diri sendiri akan belajar dengan giat dari Lam-hai Giam-lo agar memiliki ilmu kepandaian setinggi Bi Lian…..
********************
Gunung itu sangat tinggi dan termasuk deretan puncak-puncak pegunungan Yunan yang paling selatan. Sebagian tertutup oleh awan dan puncaknya dipenuhi hutan lebat sehingga dari jauh tak nampak adanya sebuah bangunan yang sangat indah dengan atapnya yang meruncing ke atas seperti kuil di Birma. Atap itu sendiri terbuat dari tembaga yang dihias emas. Ada kalanya, apa bila hari sedang cerah, nampak sinarnya mengkilap menyilaukan mata. Itulah bangunan yang menyerupai istana, milik dari Kulana, bangsawan Birma yang melarikan diri dari selatan.
Baru tiba di lereng saja dan melihat bangunan istana itu dari jauh, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi telah merasa amat kagum, juga Bi Lian kagum sekali. Bangunan itu megah dan indah. Lebih lagi ketika tiba-tiba muncul belasan orang menyambut dengan tiga buah joli, mempersilakan tiga orang tamu agung itu naik joli untuk digotong naik seperti orang-orang bangsawan.
Pak Kwi Ong hendak bertanya kepada salah satu di antara belasan orang penyambut itu. Akan tetapi, belum juga dia sempat membuka mulut, Tung Hek Kwi sudah naik dan duduk ke atas sebuah joli. Maka Pak Kwi Ong dan Bi Lian terpaksa juga menerimanya.
Mereka digotong melewati pintu gerbang yang dijaga ketat oleh orang-orang berseragam dan bersenjata tombak. Kemudian, begitu tiga orang tamu agung itu digotong memasuki serambi depan, terdengarlah bunyi musik menyambut mereka.
Tirai joli disingkap dan tiga orang itu melihat tujuh orang wanita penari yang cantik-cantik menyambut mereka dengan tarian yang lemah gemulai, mengiringi tuan rumah yang kini mengenakan pakaian amat indahnya, pakaian seorang pangeran yang serba mewah dan kaki tangan hingga kepalanya terhias emas permata!
"Selamat datang di istana kami!" kata Kulana dengan sikap yang anggun dan agung saat mereka bertiga itu keluar dari joli yang sudah diturunkan.
Bi Lian turun dan memandang kagum. Istana itu memang indah. Di depannya terdapat sebuah taman yang teratur rapi dan penuh dengan beraneka bunga. Pot-pot berukir indah memenuhi serambi, dan perabot rumahnya pun ukir-ukiran serba indah.
"Ha-ha-ha, mimpikah aku? Seperti berada di dalam istana saja!" kata Pak Kwi Ong ketika mereka bertiga dipersilakan masuk.
Sebelah dalam istana itu lebih mewah lagi. Mereka dipersilakan masuk ke sebuah kamar tamu yang luas, dengan meja kursi berlapis emas. Suara musik terus berkumandang dan kini bermunculanlah gadis-gadis pemusik, penari dan penyanyi, jumlahnya belasan orang, lalu mengambil tempat duduk di lantai sudut dan mulai memainkan musik dengan lembut, diiringi nyanyian dan tarian lembut pula. Hawa di ruangan itu pun amat sejuk karena angin yang masuk semilir dari bagian samping yang terbuka menembus ke sebuah taman lain di mana terdapat air mancur.
"Selamat datang di istana kami, semoga para dewa sudah melindungi perjalanan Sam-wi (Anda Bertiga)," kata Kulana sambil mengangkat cawan anggur yang telah penuh dengan anggur harum yang disuguhkan oleh beberapa gadis cantik berpakaian setengah telanjang sehingga nampak perut, paha dan bagian payudaranya.
Pak Kwi Ong, Tung Hek Kwi, dan Bi Lian lalu minum anggur itu yang ternyata baru saja dikeluarkan oleh para gadis pelayan, banyak macamnya dan masih mengepul panas.
"Sebelum kita bicara, mari kita makan dahulu dan kami mengharapkan Sam-wi akan puas dengan hidangan kami yang seadanya."
Ternyata ‘yang seadanya’ itu sangat berlebihan. Lebih dari tiga puluh macam banyaknya! Akan tetapi dasar tamunya Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tidak satu pun dari tiga puluh macam masakan itu ada yang mereka lewatkan! Bi Lian hanya memilih beberapa macam masakan yang menarik seleranya saja, dan dia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia makan hidangan yang demikian lezatnya!
Setelah mereka selesai makan, tuan rumah mempersilakan mereka untuk melihat-lihat isi dan keadaan di dalam istananya. Semua ruangan sengaja dibuka satu demi satu. Kamar perpustakaan penuh dengan kitab-kitab kuno, kamar senjata penuh berisi senjata pusaka yang serba aneh dan berharga. Bahkan diperlihatkan pula kamar harta di mana bertumpuk peti-peti berisi emas permata yang menyilaukan mata.
Dua orang kakek itu terpesona dan mereka tidak meragukan lagi bahwa Kulana adalah seorang pangeran, seorang bangsawan yang amat kaya-raya, hidupnya seperti raja saja dan tidaklah mengherankan kalau dia bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan baru untuk menandingi kerajaan yang kini berkuasa. Kalau Bi Lian dapat menjadi jodohnya dan kelak orang ini menjadi kaisar, mereka berdua otomatis akan menjadi orang-orang mulia!
Setelah mereka kembali duduk di ruangan tamu, Kulana menghadapi tiga orang tamunya lantas bertanyalah dia kepada dua orang kakek itu, sikapnya berwibawa. "Ji-wi Locianpwe tentu sudah mendapat tahu dari Bengcu akan pinangan kami terhadap Nona Cu Bi Lian. Sesudah melihat sendiri keadaan kami, kami harap Sam-wi dapat memberi jawaban yang pasti."
Terkejutlah Bi Lian mendengar ini. Wajahnya berubah merah sekali dan dia memandang kepada tuan rumah, lalu kepada dua orang gurunya.
Untuk sejenak dua orang kakek itu saling pandang, kemudian Pak Kwi Ong tertawa lebar hingga perutnya bergerak-gerak. "Ha-ha-ha-ha, sungguh merupakan penghormatan besar sekali bagi kami, Pangeran!" Dia menyebut pangeran begitu saja tanpa ragu-ragu lagi. "Dan tentu saja pinangan itu kami terima dengan kedua tangan terbuka. Bukankah begitu, Setan Hitam?"
Tung Hek Kwi mengerutkan alisnya, kemudian memandang kepada muridnya. "Bagiku sih terserah kepada Bi Lian."
"Aihh, sebenarnya apakah artinya ini semua, Suhu?" tanya Bi Lian penasaran.
"Begini, muridku. Pangeran Kulana ini begitu melihatmu langsung saja tergila-gila dan dia telah mengajukan pinangan melalui Suheng-mu, Lam-hai Giam-lo, hendak mengambilmu sebagai isterinya dan kelak engkau akan menjadi permaisurinya, karena orang seperti dia ini kami yakin kelak akan menjadi seorang raja. Tentu saja kami setuju, dan engkau pun tentu setuju, bukan?"
Bi Lian mengerutkan kedua alisnya dan teringatlah dia kepada Pek Eng. Celaka, nasibnya sungguh sama seperti Pek Eng, pikirnya. Akan tetapi dia tidak sudi menjadi boneka. Dia sama sekali tidak sudi menjadi boneka. Dia sama sekali tidak mencintai pria yang pongah ini, sedikit pun tidak suka walau pun dia kagum dengan kelihaian dan kekayaannya. Akan tetapi, melihat betapa Pak Kwi Ong nampaknya setuju benar dan Tung Hek Kwi kelihatan masih meragu, dia pun tidak berani menolak begitu sasja.
"Suhu, bagi seorang wanita pernikahan adalah satu urusan besar yang akan menentukan keadaan hidupnya di masa mendatang. Oleh karena itu, bagaimana mungkin aku dapat mengambil keputusan dalam sesaat saja? Biarlah hal ini kupikirkan lebih dulu dan berilah waktu tiga hari kepadaku untuk mengambil keputusan dan memberikan jawaban." Sikap Bi Lian tegas dan Kulana dapat menerima ini. Dia tersenyum dan memandang kagum.
"Nona Cu memang bijaksana. Segala keputusan memang harus dipikirkan masak-masak agar tidak menyesal di kemudian hari."
Atas desakan Bi Lian mereka bertiga lantas meninggalkan istana itu dan setiba mereka di dalam hutan, sebelum sampai di rumah Lam-hai Giam-lo, tiba-tiba Bi Lian menghentikan langkahnya.
"Suhu berdua sungguh terlalu!" tiba-tiba dia berkata sambil memandang mereka dengan muka merah.
"Wah, apa maksudmu, Bi Lian?" tanya Pak Kwi Ong tertawa.
"Terutama Suhu yang belum apa-apa sudah menyetujui pinangan itu. Aku bukan boneka, aku seorang manusia yang berhak untuk menentukan pilihanku sendiri. Aku dilamar orang begitu saja dan Suhu menganggap aku ini seekor kucing atau anjing?"
"Bi Lian, apa katamu itu?!" Pak Kwi Ong yang tak pernah marah, sekali ini membentak Bi Lian. "Engkau adalah muridku, maka engkau harus mentaati aku, dan sekali ini, engkau harus taat, engkau harus menjadi isteri Kulana!"
"Tidak, Suhu. Aku tidak suka menjadi isterinya. Aku sama sekali tak pernah memikirkan tentang jodoh, dan aku tidak cinta padanya."
"Tidak, engkau harus mau!" bentak Pak Kwi Ong.
"Hemmm, kalau begitu Suhu saja menjadi isterinya!" Bi Lian berkata nyaring. "Aku tidak sudi!"
"Aku akan memaksamu."
"Aku akan melawan!"
"Murid murtad!" Pak Kwi Ong marah bukan main dan secepat kilat menyambar dia sudah menyerang muridnya sendiri dengan pukulan maut. Tangannya mengeluarkan uap tebal. Akan tetapi Bi Lian sudah siap siaga dan dia pun langsung mengelak. Ketika Pak Kwi Ong kembali mendesak, tiba-tiba Tung Hek Kwi menggerakkan tangannya menangkis.
"Dukkk!" Keduanya terpental ke belakang. Wajah Pak Kwi Ong berubah merah sekali.
"Setan Hitam, engkau berani membelanya?"
"Tentu saja! Dia muridku, ingat? Siapa yang mengganggunya berarti mengganggu aku!"
"Dia harus kawin dengan Kulana!"
"Tidak, dia boleh menentukan pilihannya sendiri!"
"Keparat!"
"Bedebah!"
Dua orang kakek yang usianya telah delapan puluh tiga tahun itu sekarang saling hantam dan saling serang dengan sangat hebatnya! Mereka adalah orang-orang yang sudah tua renta, kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi namun tenaga mereka sudah banyak berkurang dimakan usia tua. Pukulan-pukulan mereka merupakan pukulan maut, apa lagi kini mereka sudah dipengaruhi amarah yang membuat mereka keduanya seperti buta.
Bi Lian menjadi bingung, akan tetapi tidak dapat melerai. Berbahaya untuk menyelinap di antara keduanya dan dia hanya mampu berteriak mengingatkan mereka tanpa hasil.
Dua orang datuk sesat seperti iblis ini saling gempur, akan tetapi belum sampai tiga puluh jurus keduanya telah kehabisan napas dan dalam pengerahan tenaga terakhir, keduanya mengadu kekuatan melaui kedua telapak tangan.
"Desss...!" keduanya terjengkang lantas roboh terkulai, tidak mampu bangkit kembali, dan napas mereka empas-empis!
"Suhu...!" Bi Lian berlutut di antara keduanya, mejadi bingung juga melihat betapa kedua orang gurunya itu sama-sama luka parah sekali dan napasnya tinggal satu-satu.
Keduanya telah saling hantam dan tidak mampu bertahan lagi. Sesudah melihat keadaan kedua orang tua itu, barulah dia teringat betapa sayangnya mereka itu kepadanya selama ini dan tanpa terasa lagi Bi Lian pun menangis!
Pak Kwi Ong mencoba untuk membuka matanya dan dia masih tersenyum menyeringai walau pun sudah mega-megap. "Kau... kau harus menjadi isteri Kulana... ahhh..."
"Tidak... kau boleh menolak..."
Di dalam keadaan sekarat kedua orang kakek itu masih saja mempertahankan pendirian mereka. Bahkan mereka kini berusaha meloncat bangun untuk melanjutkan perkelahian, namun mereka terkulai lagi dan roboh, kini tak dapat bergerak lagi karena nyawa mereka telah melayang!
"Suhu...!" Bi Lian menangisi mereka, tubruk sana-sini.
Bi Lian mendengar gerakan banyak orang. Dia segera melompat bangun dan berhadapan dengan Kulana yang diikuti oleh belasan orang pasukannya. Di sana sudah berdiri pula Lam-hai Giam-lo beserta dua orang suami isteri Lam-hai Siang-mo!
"Nona Cu, sudahlah, tak ada yang perlu ditangisi lagi. Marilah engkau ikut bersamaku lalu kita rawat dan urus dengan baik-baik jenazah kedua orang gurumu," kata Kulana dengan suara halus dan sikap ramah sekali.
Mendengar kata-kata yang demikian halus penuh menghibur, Bi Lian kembali menangis.
"Guruku... kedua guruku... mereka telah meninggal dunia..."
"Hal itu kini sudah tidak dapat diperbaiki lagi, Nona. Marilah, bangkitlah dan biarkan aku membimbingmu...," kata pula Kulana dengan sikap lembut, kemudian Bi Lian tangannya digandeng dengan halus oleh tangan pria itu.
Mendadak dia teringat bahwa kematian kedua orang gurunya adalah gara-gara pinangan orang ini, maka teringat pulalah dia bahwa orang ini pandai menggunakan sihir. Dia pun meronta dan melepaskan tangannya, lalu cepat-cepat melompat menjauh.
"Tidak, jangan sentuh aku!" teriaknya.
Di dalam hatinya memang Bi Lian tidak pernah dekat atau suka terhadap kalangan sesat, bahkan sering kali dia menyesal mengingat betapa dua orang gurunya adalah datuk-datuk sesat. Selama ini, biar pun dia selalu bersikap keras dan ganas, namun belum pernah dia melakukan kejahatan, dan julukannya sebagai Tiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) bukan karena kejahatannya namun karena kekerasan hatinya menghadapi lawan yang biasanya terdiri dari orang-orang jahat.
Kalau selama ini dia masih mau diajak bergaul dengan golongan hitam, hanyalah karena terpaksa oleh adanya dua orang gurunya. Kini, sesudah kedua orang gurunya meninggal dunia, dia merasa terlepas sama sekali dari golongan hitam dan begitu dia meloncat, kini dia telah berdiri dengan sikap menentang semua orang yang sedang memandangnya.
"Nona Cu," kata Kulana sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, suaranya lemah lembut dan sikapnya ramah. "Kedua orang gurumu sudah menerima aku sebagai calon suamimu, karena itu aku bukanlah orang lain bagimu. Akulah yang akan mengurus jenazah kedua orang gurumu, dan aku pula yang akan melindungimu, membahagiakanmu..."
"Cukup!" Bi Lian membentak sambil mengerahkan kekuatan khikang-nya untuk melawan pengaruh suara halus itu. "Justru karena ulahmu itu, justru karena pinanganmu itu, kedua guruku saling serang sampai keduanya tewas. Engkaulah yang telah membunuh mereka! Untuk itu, engkau harus menebusnya dengan nyawamu!"
Berkata demikian, Bi Lian sudah meloncat ke depan dan menyerang Kulana dengan amat hebatnya. Kedua tangan gadis itu mengeluarkan uap putih dan karena dia mengerahkan tenaga sinkang yang luar biasa, kedua tangan yang amat berbahaya itu menjadi semakin menggiriskan karena dapat mulur panjang.
Hampir saja pelipis kiri Kulana kena cengkeraman jari tangannya kalau saja orang Birma itu tidak cepat melompat ke belakang sambil berjungkir balik. Pada saat itu pula Lam-hai Giam-lo sudah meloncat ke depan menghadapi Bi Lian, wajahnya nampak tidak senang dan alisnya berkerut.
"Sumoi, sikapmu ini sungguh tidak patut! Saudara Kulana bermaksud baik, tetapi kenapa engkau malah menyerangnya? Apakah engkau ingin membikin aku malu? Ingat, sesudah kedua Susiok-ku meninggal dunia, maka akulah yang menjadi pengganti mereka sebagai pelindungmu dan akulah yang berhak mengurusmu. Hentikan sikapmu itu dan bersikaplah yang baik terhadap Saudara Kulana!"
Akan tetapi sepasang mata Bi Lian mencorong marah karena dia dapat menduga bahwa tentu usul orang inilah yang membuat kedua orang gurunya menerima pinangan Kulana. Bahkan kedua orang gurunya juga melarang dia membunuh dua pasang suami isteri yang sejak dahulu dianggap sebagai biang keladi kematian ayah ibunya.
Sambil bertolak pinggang Bi Lian menghadapi Lam-hai Giam-lo dan berkata dengan suara lantang karena dia masih mengerahkan kekuatan ho-kang yang dulu pernah dipelajarinya dari mendiang Tung Hek Kwi untuk menolak pengaruh sihir Kulana. Suaranya melengking nyaring.
"Lam-hai Giam-lo! Sejak dulu tidak ada hubungan apa pun di antara kita! Kalau aku mau menerimamu sebagai Suheng, hal itu adalah karena permintaan dari kedua orang guruku. Namun mereka kini sudah tewas di sini, gara-gara ulah orang yang bernama Kulana ini, sebab itu jangan engkau mencampuri, karena aku bukanlah bawahanmu, dan engkau pun bukan pemimpinku!"
"Bocah sombong! Aku adalah Bengcu!" bentak Lam-hai Gam-lo, marah bukan main akibat merasa dipandang rendah.
"Sudahlah, Bengcu, biar aku yang mengurus calon isteriku ini!" kata Kulana dan orang ini pun segera meloncat ke depan untuk menangkap Bi Lian.
Gadis ini mengelak dan membalas dengan tendangan yang dapat pula dielakkan Kulana. Mereka sudah saling serang dengan serunya. Bi Lian berusaha merobohkan, akan tetapi Kulana hanya berusaha menangkapnya. Melihat betapa lincah dan gesitnya gerakan Bi Lian, Lam-hai Giam-lo meloncat dan membantu.
"Akan kubantu engkau menangkap calon mempelaimu, Saudara Kulana!" katanya.
Bi Lian menjadi kerepotan juga dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai itu. Baru tingkat kepandaian Kulana seorang saja, agaknya tidak mudah baginya untuk mengalahkannya karena orang Birma itu memperkuat ilmu silatnya dengan kekuatan sihir. Apa lagi tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo sudah amat tinggi, hampir setingkat dengan kedua gurunya, sehingga melawan Lam-hai Giam-lo saja dia tidak akan menang.
Sekarang dua orang lihai itu mengeroyoknya. Biar pun tidak bermaksud merobohkannya melainkan hanya ingin menangkapnya, tentu saja Bi Lian menjadi repot dan kewalahan. Namun dengan semangat membaja gadis ini pantang mundur dan melawan terus, sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya.
Dengan hati penuh kagum para anak buah Lam-hai Giam-lo dan juga suami isteri Lam-hai Siang-mo menonton perkelahian itu. Mereka hanya melihat tiga bayangan berkelebatan cepat sekali, bagaikan tiga ekor burung raksasa sedang berkelahi dan mereka itu sama sekali tidak dapat mengikuti gerakan mereka, tidak tahu siapa yang mendesak dan siapa terdesak. Mereka pun tidak berani membantu karena bukankah yang sedang turun tangan sekarang adalah bengcu sendiri yang membantu Kulana?
"Cu Bi Lian, engkau masih belum juga mau menyerah?" tiba-tiba saja Lam-hai Giam-lo membentak dan tubuh kakek ini sekarang berputar seperti gasing.
Memang ilmu kepandaian Lam-hai Giam-lo ini hebat sekali. Begitu dia membuat gerakan berpusing, Bi Lian merasa seakan-akan tubuhnya sedang tersedot dan terseret oleh arus air berpusing dan dia pun terhuyung, sulit untuk mempertahankan diri lagi. Pada saat itu pula tangan Kulana berhasil menangkap pundaknya.
"Heiiiittt...!"
Bi Lian memekik dan meronta sambil melempar tubuh ke atas tanah terus bergulingan. Dia berhasil melepaskan diri akan tetapi dua orang itu berloncatan mengejarnya dan tentu dia akan dapat ditawan kalau saja pada saat itu tidak terdengar suara berseru halus.
"Dua orang laki-laki menghina seorang gadis, sungguh tak tahu malu sekali!" Dan tiba-tiba saja muncul seorang pemuda yang menghadang dua orang yang mengejar Bi Lian yang bergulingan itu.
Begitu pemuda itu mengembangkan sepasang lengannya dan membuat gerakan seperti mencegah dengan mendorong ke depan, gerakan Lam-hai Giam-lo dan Kulana langsung terhenti seperti ada tenaga raksasa yang menghadang mereka! Mereka terkejut dan cepat memandang penuh perhatian.
Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh satu tahun. Tubuhnya berukuran sedang saja dan pakaiannya sangat sederhana, seperti pakaian seorang petani saja. Mukanya berkulit putih, agak bulat dengan alis yang hitam lebat, sepasang matanya agak sipit dan bersinar lembut, sikapnya amat tenang dan di bawah jubahnya yang panjang seperti jubah pendeta itu nampak ujung sarung sebatang pedang.
Melihat ada seorang pemuda asing yang berani membela Bi Lian menghadapi mereka, tentu saja Lam-hai Giam-lo dan Kulana marah bukan kepalang. Terutama sekali Lam-hai Giam-lo yang merasa betapa kekuasaannya di situ sudah ditentang orang asing, seorang yang masih muda dan tidak terkenal lagi.
"Keparat, apakah matamu buta maka berani engkau mencampuri urusan kami?" bentak Lam-hai Giam-lo sambil melangkah maju menghampiri pemuda itu.
Pemuda itu bersikap tenang, akan tetapi mata yang lembut itu kini mencorong ketika dia berkata, "Lam-hai Giam-lo, aku tidak buta dan dapat melihat betapa engkau dan orang ini tanpa malu-malu mengeroyok seorang gadis!"
Kulana juga marah sekali karena ada orang yang berani menghalangi niatnya menangkap calon isterinya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya, lalu sambil memandang wajah pemuda itu, mendadak dia maju dan membentak. "Orang muda, aku adalah junjunganmu! Berlututlah engkau!" Seruan ini berwibawa sekali mengandung kekuatan sihir yang amat kuat, bahkan Bi Lian sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar.
Namun pemuda ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut seperti yang diperintahkan Kulana, sebaliknya dia malah tersenyum lantas menghampiri Bi Lian yang kedua kakinya masih gemetar.
"Nona, sebaiknya kalau kita pergi saja dari tempat kotor di antara orang-orang busuk ini," suara itu demikian lembut.
Biar pun Bi Lian belum mengenal siapa adanya pemuda ini, tetapi dia telah menyerahkan seluruh kepercayaan hatinya. Dia mengangguk dan segera menghampiri pemuda ini, lalu bersama pemuda itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu!
Untuk beberapa detik lamanya, Kulana, Lam-hai Giam-lo, Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu bengong melihat dua orang muda itu membalikkan tubuh dan pergi, seolah-olah tak percaya. Tetapi Kulana dan Lam-hai Giam-lo segera sadar dan keduanya bergerak hendak mengejar.
"Jangan pergi...!" Lam-hai Giam-lo berteriak.
"Berhenti!" Kulana juga membentak.
Pemuda itu membalikkan tubuhnya, diturut oleh Bi Lian yang siap menghadapi serangan mereka. Akan tetapi sambil membalik, pemuda itu tiba-tiba menghadapkan kedua telapak tangannya ke arah mereka yang sedang mengejar sambil mulutnya mengeluarkan seruan yang menggeledek.
"Diam kalian!"
Luar biasa sekali kekuatan yang terkandung di dalam bentakan ini. Kedua orang sakti itu seketika terhenti dan diam laksana patung, bahkan terbelalak seperti orang terkejut. Juga Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu pun diam tak bergerak seperti telah menjadi patung. Bi Lian sendiri merasa seolah-olah darah yang mengalir dalam tubuhnya terhenti dan dia pun tidak mampu bergerak akan tetapi pemuda itu memegang tangannya dan menariknya.
"Nona, mari kita pergi!" Dan dia pun dapat menggerakkan kaki.
Mereka kemudian melarikan diri dari tempat itu. Sesudah mereka jauh menuruni lereng, baru terdengar ribut-ribut di belakang mereka, tanda bahwa semua orang itu telah sadar dan agaknya kembali melakukan pengejaran.
Pemuda itu maklum betapa bahayanya kalau sampai mereka dapat dikejar oleh Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya. Dia tahu bahwa di tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai, maka dia pun segera mengajak gadis itu melanjutkan pelarian mereka memasuki hutan yang liar dan gelap di atas sebuah bukit. Sesudah tidak lagi terdengar suara orang mengejar, barulah mereka berhenti berlari dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar.
Karena tadi mereka terus berlarian, apa lagi karena Bi Lian baru saja berkelahi melawan dua orang lawan tangguh, maka gadis itu merasa lelah sehingga dia pun menjatuhkan diri di atas rumput tebal, lalu duduk bersila mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga.
Pemuda itu pun tidak mengganggu, melainkan duduk agak jauh, di atas batu dan hanya memandang dengan kagum. Latihan pernapasan gadis itu adalah latihan ilmu yang biasa dilakukan golongan hitam, namun diam-diam dia kagum karena dari cara gadis itu berlatih pernapasan, dia tahu bahwa gadis itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.
Akhirnya Bi Lian membuka matanya dan begitu dia sadar akan keadaan dirinya, pandang matanya mencari-cari. Dia melihat pemuda itu duduk agak jauh di atas batu dan sedang memperhatikannya, maka dia pun lalu meloncat berdiri dan teringatlah dia betapa pemuda sederhana itu telah menyelamatkannya secara aneh sekali.
Dia masih merasa bingung memikirkan bagaimana pemuda itu dapat membawanya lolos dari tangan orang-orang yang demikian lihai seperti Lam-hai Giam-lo, Kulana serta anak buah mereka. Melihat gadis itu menghampirinya, pemuda itu tetap duduk dan tersenyum lembut.
"Engkau siapakah? Bagaimana engkau bisa meloloskan aku dari cengkeraman mereka?" tanya Bi Lian.
"Duduklah, Nona dan mari kita bicara," jawab pemuda itu.
Bi Lian lantas duduk di atas batu di dekat pemuda itu. Tempat itu terlindung pohon besar dan sekeliling mereka penuh dengan pohon dan semak belukar. Mereka berada di dalam sebuah hutan yang amat lebat dan liat.
Sesudah gadis itu duduk, pemuda itu lantas berkata dengan halus. "Sesungguhnya hanya kebetulan saja kita bertemu. Sudah beberapa hari aku melakukan penyelidikan di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo untuk mencari seseorang. Pada waktu melihat engkau dikeroyok oleh dua orang itu, tentu saja aku merasa penasaran lantas menegur mereka. Untunglah bahwa kita masih dapat lolos, karena jika terlambat, entah apa yang akan terjadi. Mereka adalah orang-orang yang amat sakti. Tetapi engkau sendiri, seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bagaimana sampai dapat terperangkap di sana, Nona?"
Bi Lian mengerutkan alisnya. Apa bila menurutkan wataknya yang keras, dia dapat marah mendengar pertanyaan ini. Pemuda ini belum menjawab pertanyaannya tadi, juga belum memperkenalkan keadaan dirinya, tetapi sudah balas bertanya seolah-olah tidak percaya kepadanya. Akan tetapi dia menahan diri dan menahan kemarahannya karena bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa dia berhutang budi kepada pemuda ini.
"Agaknya karena engkau sudah menolongku, maka akulah yang harus memperkenalkan diri lebih dulu. Begitukah?" Suaranya jelas mengandung nada ketus dan alisnya berkerut, sepasang matanya yang amat tajam itu seperti sepasang pedang menusuk.
Pemuda itu tersenyum sabar dan menggelengkan kepala. "Maaf, bukan begitu maksudku, Nona. Aku memang benar-benar merasa tertarik dan heran sekali melihat seorang gadis seperti Nona berani menentang orang-orang seperti mereka itu, karena itulah maka aku tadi bertanya. Baiklah kalau Nona ingin mengetahui, namaku adalah Pek Han Siong..."
"Aihhh...!" Bi Lian terbelalak.
Han Siong tersenyum. "Ada apa lagi Nona? Kenapa namaku mengejutkanmu?"
"Jadi engkau inikah Pek Han Siong... engkau... Sing-tong itu? Kakak kandung Pek Eng?"
Kini pemuda itu yang terbelalak dan bahkan langsung meloncat turun dari atas batu yang dudukinya. "Engkau tahu semuanya, Nona?"
Pemuda itu memang Pek Han Siong. Seperti kita ketahui, pemuda ini mencari jejak Pek Eng, adik kandungnya yang melarikan diri, minggat dari rumah keluarga Pek karena tidak suka dijodohkan dengan putera keluarga Song dari Kang-jiu-pang. Dia menemukan jejak adiknya itu dan mendengar bahwa adiknya ditawan oleh kaki tangan Lam-hai Giam-lo lalu dibawa ke selatan, ke Pegunungan Yunan. Maka dia pun segera melakukan perjalanan ke sana dan mencari-cari di Pegunungan Yunan sampai akhirnya pada hari itu dia dapat menemukan tempat tinggal Lam-hai Giam-lo dan melihat Bi Lian dikeroyok dua orang lihai itu.
Bi Lian merasa girang bukan kepalang mendengar bahwa pemuda ini adalah kakak Pek Eng, gadis yang disukainya, gadis yang menjadi tawanan Lam-hai Giam-lo dan kemudian bahkan diambil menjadi murid dan anak angkat. Kiranya Pek Eng tidak bohong, kakaknya itu hebat sekali!
"Sungguh kebetulan sekali!" katanya gembira. "Aku mendengar mengenai dirimu dari Adik Eng yang baru saja kukenal. Ia juga berada di sana, kini dia menjadi murid bahkan anak angkat Lam-hai Giam-lo."
"Hehh...?!" Tentu saja Han Siong terkejut dan heran bukan main mendengar keterangan itu. "Bagaimana pula ini? Apa saja yang sudah terjadi dan engkau... siapakah engkau ini, Nona?"
"Aku Cu Bi Lian..."
Bi Lian berhenti berbicara karena dia melihat betapa wajah pemuda itu tiba-tiba berubah, matanya terbelalak dan muka pemuda itu menjadi agak pucat. "Kau... kau kenapakah?"
"...Cu... Bi... Lian...?" Perlahan-lahan Han Siong mengulang nama ini, ada pun matanya menatap wajah gadis itu penuh selidik.
"Benar. memangnya kenapa?" Bi Lian balas bertanya.
Han Siong menelan ludah dulu sebelum menjawab, "Tidak apa-apa... rasanya aku seperti pernah mengenal nama itu...," katanya agak gugup.
Tentu saja dia mengenalnya. Cu Bi Lian, atau Siangkoan Bi Lian, adalah puteri dari suhu dan subo-nya! Inilah gadis yang harus dicarinya itu, bahkan yang oleh suhu dan subo-nya sudah ditunangkan dengan dia, menjadi calon isterinya! Inilah tunangannya. Siapa orang yang tidak menjadi tegang hatinya kalau dihadapkan pada kenyataan yang begini tiba-tiba dan tidak disangka-sangka?
"Ahh, tidak mungkin. Baru sekarang kita saling bertemu," jawab Bi Lian.
Han Siong masih memandang bengong. Bertemu dan berhadapan dengan gadis ini, sadar sepenuhnya bahwa inilah gadis yang diperuntukkan dirinya, yang oleh ayah ibu kandung gadis ini sendiri ditunangkan dengannya, membuat jantungnya berdebar kencang. Dia lalu menatap penuh perhatian.....