"Sun Hok, aku tidak ingin mempengaruhi batinmu karena aku tidak mempunyai hak untuk mencampuri urusan pribadimu. Tapi sesungguhnya balas dendam bukan berarti berbakti. Balas dendam lebih merupakan penyaluran amarah dan kebencian yang ditujukan kepada pihak lain yang dianggap telah merugikan diri sendiri. Balas dendam timbul akibat adanya kebencian, bukan karena keinginan berbakti. Seharusnya berbakti bersifat mendatangkan kebaikan, bukan bersifat merusak. Tadi kau sendiri yang menceritakan kepadaku bahwa menurut yang kau ketahui, dahulu mendiang ibumu pernah menjadi seorang tokoh sesat yang melakukan kejahatan. Nah, kalau dia meninggal karena melakukan kejahatan, maka bagaimanakah pendirianmu? Jika engkau tetap hendak membela ibumu, bukankah berarti engkau membela kejahatannya, bahkan membantu dan menambah kejahatannya? Andai kata kini ibumu masih hidup, maka kebaktianmu bisa diwujudkan dengan menasehati dan menyadarkan ibumu dari pada penyelewengan dan kesesatan. Namun kini beliau sudah meninggal dunia. Menurut pendapatku, kalau engkau hendak berbakti, jalan satu-satunya yang paling baik adalah mencuci namanya yang sudah ternoda oleh kejahatan itu dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Kalau seluruh dunia kang-ouw sudah melihat dan mendengar bahwa engkau, putera ibumu, menjadi seorang pendekar budiman, tentu mereka akan dapat memaafkan semua kesalahan ibumu yang lalu. Nah, bukankah hal itu merupakan kebaktian yang paling tepat?"
Sun Hok mengangguk-angguk. "Sudah cukup banyak aku mempelajari kitab-kitab agama dan filsafat dari guru-guru sastraku, dan memang semua pelajaran itu sejalan dengan apa yang Bibi nasehatkan tadi. Terima kasih atas petunjukmu, Bibi Ceng. Sesungguhnya aku pun sudah mencoba untuk berbuat baik dengan menentang kejahatan, membela si lemah yang tertindas. Akan tetapi perasaan tak enak dan penasaran di dalam hatiku tak pernah mau lenyap sehingga kadang-kadang aku menjadi gelisah, bingung dan mudah dihinggapi kemarahan. Aku mencoba untuk menghibur perasaan ini dengan nyanyian, musik, minum arak dan pelesir di tempat-tempat indah. Namun kegelisahan ini belum juga mau lenyap."
Percakapan mereka terhenti dengan munculnya Nenek Wa Wa Lo-bo. Kemunculannya ini demikian tiba-tiba sehingga sangat mengejutkan Sui Cin dan Kui Hong karena tahu-tahu nenek ini sudah berdiri tegak di ambang pintu ruangan itu tanpa mereka mendengar suara langkahnya sama sekali. Dengan sikap dingin akan tetapi hormat nenek itu membungkuk dan berkata dengan suara lirih namun terdengar jelas.
"Kamar dan air untuk Toanio dan Siocia telah dipersiapkan, Kongcu."
Agaknya nenek itu hanya hendak menghadap lantas melapor kepada Sun Hok. Sikapnya bukan seperti seorang guru terhadap murid, melainkan sebagai seorang pelayan terhadap majikannya. Setelah berkata demikian nenek itu menoleh, bertepuk tangan dan muncullah seorang pelayan wanita.
"Antarkan Toanio dari Siocia ke kamarnya," katanya lalu dia membungkuk lagi kemudian pergi.
Sun Hok agaknya tidak merasa aneh atau tersinggung atau malu dengan sikap nenek itu. Dia tersenyum ramah kepada dua orang tamunya. "Bibi Ceng, Adik Hong, silakan kalau hendak mandi dan mengaso. Kita bertemu lagi nanti di ruangan makan."
Sui Cin dan Kui Hong mengangguk. Mereka mengucapkan terima kasih lantas mengikuti pelayan wanita itu menuju kamar yang sudah dipersiapkan untuk mereka. Mereka melalui lorong-lorong, dan merasa semakin kagum saja karena keadaan dalam rumah besar yang menyerupai istana itu benar-benar sangat mewah dan indah, juga begitu luasnya karena di bagian tengahnya terdapat sebuah taman yang penuh dengan bunga indah dan sebuah kolam ikan yang dihiasi dengan arca-arca yang amat indahnya.
Mereka memperoleh sebuah kamar besar yang menghadap ke kolam ikan. Hawa dalam kamar itu sejuk bukan main karena mendapatkan hawa segar yang langsung masuk dari dalam taman.
Setelah mandi dan mengenakan pakaian bersih, ibu dan anak itu merasa segar dan enak. "Ibu, ketika mengunjungi Pulau Teratai Merah, aku masih kecil sehingga aku sudah lupa lagi keadaan di sana. Akan tetapi aku masih ingat bahwa rumah di sana lebih bagus dari pada yang di Cin-ling-san. Apa bila dibandingkan dengan rumah Can-toako ini, manakah yang lebih indah, Ibu?" tanya Kui Hong.
Ibunya tersenyum. "Rumah kakek dan nenekmu di Pulau Teratai Merah juga sangat besar dan indah, akan tetapi agaknya belum semewah ini. Maklumlah, Can Sun Hok menerima harta peninggalan kakeknya yang pernah menjadi gubernur, tentu saja perabot-perabot rumahnya serba indah, kuno dan mahal!"
"Semua di sini serba indah. Can-toako juga orangnya ramah, halus dan baik budi. Juga para pelayannya nampak rapi, kecuali... hemm, nenek itu sungguh membuat aku merasa seram, Ibu."
"Memang wajahnya sungguh menyeramkan dan sikapnya dingin, agaknya banyak rahasia yang tersimpan di dalam hatinya. Jelas dia lihai bukan main. Sayang aku belum pernah mendengar namanya sehingga aku juga tidak tahu orang macam apakah adanya nenek itu. Tetapi betapa pun juga, kita harus tetap waspada dan berhati-hati dalam menghadapi orang seperti itu, Kui Hong."
Ketika mereka diundang untuk makan malam di ruangan makan, kembali mereka merasa kagum karena hidangan makan yang disuguhkan banyak macamnya dan rata-rata lezat. Can Sun Hok juga sudah berganti pakaian, akan tetapi tetap saja pakaiannya sederhana, sungguh tidak cocok dengan keadaan rumahnya yang amat mewah. Hal ini membuat Sui Cin menjadi semakin kagum dan suka kepada pemuda ini.
Ia sendiri adalah seorang yang sejak mudanya berpakaian sembarangan, bahkan nyentrik walau pun dia puteri Pendekar sadis yang juga kaya raya. Pemuda ini biar pun keturunan bangsawan dan kaya raya, bahkan memiliki kepandaian bun (sastra) dan bu (silat) yang tinggi, tetapi demikian rendah hati, sama sekali tidak sombong. Dan watak rendah hati ini saja sudah merupakan modal yang cukup kuat untuk menjadi seorang baik-baik, pikir Sui Cin. Maka hatinya makin condong untuk mengharapkan perjodohan antara puterinya dan pemuda aneh ini.
Akan tetapi nenek itu tidak nampak pula di ruangan makan, padahal ada sebuah kursi lagi dan di atas meja telah disediakan pula mangkok kosong dan cawan kosong. Jelas bahwa para pelayan sudah menyediakan tempat untuk siapa lagi kalau bukan untuk nenek yang biar pun menjadi pengasuh dan pembantu, juga menjadi guru pemuda itu.
Namun nenek yang agaknya biasa makan bersama Sun Hok, sekali ini tidak nampak. Hal ini membuat Sui Cin menjadi curiga, akan tetapi demi sopan santun, ia pun tidak bertanya apa-apa kepada tuan rumah tentang nenek yang menarik perhatiannya itu
Pada waktu makan malam itu pun Can Sun Hok bersikap ramah terhadap kedua orang tamunya. Nampak jelas betapa pemuda ini amat kagum dan hormat kepada Sui Cin, dan juga kagum dan suka kepada Kui Hong.
Setelah makan Sun Cok kemudian mempersilakan tamu-tamunya untuk beristirahat. Sun Hok sendiri tidak segera tidur, melainkan memasuki taman besar yang berada di belakang rumahnya. Berbeda dengan taman kecil yang ada di tengah-tengah bangunan, dikelilingi kamar-kamar dan ruangan, taman yang berada di belakang rumah ini luas sekali.
Sun Hok duduk termenung di dekat kolam besar menyerupai danau kecil, di atas bangku sambil memandang ke arah bulan muda yang sudah menghias angkasa. Dia termenung, memikirkan percakapannya dengan nyonya yang amat dikaguminya itu, terutama tentang dendam dan kebaktian.
"Hemmm, agaknya kata-kata manis beracun itu sudah mulai menyusup ke dalam hatimu, Kongcu." Tiba-tiba terdengar suara lirih dan dingin.
Sun Hok maklum bahwa kata-kata itu diucapkan oleh pengasuhnya juga gurunya dalam ilmu silat yang baru muncul. Dia menoleh dan benar saja, Nenek Wa Wa Lo-bo sudah berdiri di belakangnya.
"Ahh,kebetulan engkau datang, Lo-bo. Mari duduk, aku ingin bicara denganmu."
"Hemmm, aku pun ingin bicara denganmu, Kongcu," kata nenek itu sambil duduk di ujung bangku.
"Aku mau bicara tentang kematian ibu kandungku dan membalas dendam."
"Tepat sekali, aku pun ingin bicara tentang kematian ibumu."
Mendengar ini, Sun Hok girang bukan main. Sungguh pun sudah sering kali dia bertanya, akan tetapi nenek ini tidak pernah mau bercerita tentang kematian ibunya, tentang siapa pembunuh ibunya.
"Ahh, Lo-bo yang baik... aku telah siap mendengarkan!" katanya dengan gembira karena akhirnya nenek itu akan membuka rahasia yang selama ini terus menggelisahkan hatinya itu. Dia ingin sekali mendengar bagaimana ibunya tewas dan siapa pula pembunuhnya.
"Nah, dengarlah baik-baik!" kata nenek itu dengan suara datar. "Sejak muda ibumu sudah menjadi seorang wanita yang gagah perkasa dan berilmu tinggi bernama Gui Siang Hwa. Karena dia cantik jelita dan ahli dalam penggunaan racun, maka ibumu itu dijuluki orang Siang-tok Sian-li (Bidadari Racun Harum). Ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Akan tetapi dia yang demikian cantik jelita dan lihai, dulu pernah tergila-gila kepada ayah kandungmu! Ayahmu itu sejak muda sudah menjadi seorang pemuda bangsawan kaya raya yang tidak ada gunanya, hanya tampan pesolek dan suka mengejar perempuan cantik. Memuakkan sekali!"
Nenek itu terhenti, agaknya dia masih penasaran mengapa gadis secantik Gui Siang Hwa yang sejak kecil sudah menjadi asuhannya karena sejak muda dia menjadi pelayan Raja dan Ratu Iblis, sampai mau menyerahkan diri kepada seorang pemuda lemah seperti Can Koan Ti.
"Lalu bagaimana, Nek?" Sun Hok mendesak.
"Ayahmu itu, Can Koan Ti, seperti semua laki-laki macam dia, sebentar saja sudah jemu dengan ibumu. Ketika ibumu melahirkan engkau, Can Koan Ti sudah bermain gila dengan banyak wanita yang dilakukannya semenjak ibumu mengandung. Ibumu tak tahan melihat semua itu, maka sejak engkau lahir akulah yang ditugaskan mengasuh dan merawatmu, sedangkan ibumu sendiri pergi meninggalkan Can Koan Ti."
"Terima kasih atas semua kebaikanmu, Lo-bo," Sun Hok berkata dengan suara sungguh-sungguh sambil memandang wajah yang tua dan sangat buruk itu. Dia tahu benar, dapat merasakan betapa nenek ini amat sayang kepadanya.
"Hah, aku tidak butuh ucapan terima kasih, Kongcu!" Nenek itu mengibaskan tangannya, akan tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menjadi basah.
Ia memang sayang sekali kepada pemuda yang sejak bayi diasuhnya itu, bahkan merasa bahwa pemuda itu seperti anaknya sendiri, seperti darah dagingnya sendiri!
“Lalu bagaimana selanjutnya?” Sun Hok mendesak.
"Baik, sekarang kulanjutkan ceritaku. Aku merawatmu di rumah ayahmu, melihat ayahmu setiap hari hanya berfoya-foya dengan wanita-wanita cantik tanpa mempedulikan dirimu. Akhirnya dia terkena penyakit yang menyeretnya ke lubang kubur. Engkau lantas menjadi pewaris tunggal dan aku dengan sekuat tenaga dan kemampuan berusaha mendidikmu sebagaimana mestinya, seperti yang dikehendaki ibumu."
"Dan engkau memang sudah melaksanakan tugasmu dengan sangat baik, terlampau baik sekali. Terima kasih, Lo-bo."
"Hushh, sudahlah. Sekarang dengarkan baik-baik. Ibumu adalah seorang petualang yang gagah perkasa dan ketika ia membantu petualangan suhu dan subo-nya, sepasang suami isteri sakti yang menjadi raja dan ratu di dunia kang-ouw, pada saat engkau masih berusia tiga tahun, ibumu tewas...! Aku sudah melakukan penyelidikan dan ibumu ternyata tewas karena dikeroyok oleh pasukan prajurit kerajaan, sesudah ibumu dijatuhkan oleh seorang pendekar wanita."
Berkerut alis Sun Hok yang tebal dan dia pun mengepal tinju. "Kenapa engkau tidak pergi membunuh wanita itu, Lo-bo?"
"Aihh, engkau enak saja bicara! Kalau ibumu saja sampai kalah, apa lagi aku! Aku lantas menggemblengmu sampai sekarang, sampai engkau telah berhasil menguras semua ilmu yang kumiliki. Sekarang kepandaianmu sudah setingkat dengan kepandaianku, apa yang menjadi milikku tidak ada yang tidak kau kuasai, bahkan engkau menang tenaga. Akan tetapi, dengan kepandaian kita berdua sekali pun, takkan mudah mengalahkan pendekar wanita itu. Engkau masih harus memperdalam illmumu dan..."
"Aku tidak takut! Sekarang pun aku tidak takut, dan kalau engkau tidak berani, tidak perlu turut-turut, biarlah aku sendiri yang menghadapinya. Siapa wanita itu dan di mana tempat tinggalnya?"
"Aku tahu bahwa engkau tentu akan nekat membalas dendam bila kuberi tahukan ketika engkau berkali-kali menanyakan hal itu, akan tetapi karena kuanggap ilmu kepandaianmu belum cukup, maka aku terus merahasiakannya. Sekarang pun pasti masih kurahasiakan jika saja Thian tidak menolong kita. Akan tetapi agaknya Thian menyetujui niat kita untuk membalas dendam, karena kini terbuka kesempatan bagi kita untuk membalas dendam itu tanpa mengeluarkan banyak tenaga!"
"Apa maksudmu, Lo-bo?"
"Wanita itu, musuh besar kita itu, pembunuh ibu kandungmu itu, dia sudah mengantarkan sendiri nyawanya kepada kita. Sekarang kita tinggal mencabutnya saja untuk membalas dendam itu!" Nenek itu nampak gembira dan sepasang matanya mencorong.
"Lo-bo, apa artinya ini?" Sun Hok memandang dengan mata terbelalak.
"Heh-heh, anak bodoh. Pembunuh ibu kandungmu itu, pendekar wanita itu bernama Ceng Sui Cin!"
"Bibi Ceng...?!" Sun Hok melompat dari tempat duduknya, sepasang matanya terbelalak dan wajahnya berubah pucat.
"Benar, tamu kita! Ia kini mengajak puterinya seperti dua ekor tikus memasuki perangkap. Inilah saatnya bagi kita, setelah terbuka kesempatan baik ini. Dia adalah puteri Pendekar sadis di Pulau Teratai Merah, dan menantu dari ketua Cin-ling-pai. Jika dia telah kembali ke satu di antara dua tempat itu, tidak mudah bagi kita untuk mencari dan membunuhnya. Sekaranglah saatnya, selagi mereka tidur. Aku akan membunuhnya sekarang juga!"
"Lo-bo, jangan...!" Sun Hok berkata kaget.
"Hemm, engkau ini kenapakah, Kongcu? Ia telah menyebabkan kematian ibu kandungmu, ia musuh besarmu, juga musuh besarku karena ibumu bagiku seperti anakku sendiri yang kuasuh sejak bayi! Sejak mereka kau bawa datang tadi dan mengakui nama mereka, aku sudah mengambil keputusan untuk membunuhnya. Aku tidak berani menggunakan racun di dalam makanan atau minuman, selain takut kalau engkau sendiri terkena racun karena engkau makan bersama mereka, juga aku merasa khawatir dia yang lihai sekali itu akan tahu bahwa makanan atau minuman diracun sebelum ditelannya. Kalau begitu maka akan gagal usahaku membalas dendam. Sekarang, sesudah mereka tidur, aku akan masuk ke kamar mereka lantas membunuh mereka. Aku memberi mereka kamar di mana terdapat pintu rahasianya sehingga aku dapat masuk tanpa mereka dengar."
"Jangan, Lo-bo. Engkau tidak boleh membunuh mereka!" Sun Hok berkata dengan suara tegas dan gemetar karena tegangnya. "Kita tidak boleh membunuhnya!"
Di dalam telinga Sun Hok masih bergema nasehat Ceng Sui Cin kepadanya tadi tentang dendam dan kebaktian. Jelas bahwa ibu kandungnya memang seorang tokoh hitam atau kaum sesat, seorang petualang yang begitu kejamnya untuk meninggalkan anak sendiri dalam asuhan seorang bujang dan tidak pernah ditengoknya lagi. Juga ayahnya seorang mata keranjang yang tidak mempedulikan anaknya, hanya mengejar kesenangan melalui wanita-wanita cantik saja. Kalau dia hendak berbakti, demikian nasehat Ceng Sui Cin, dia harus melakukan perbuatan-perbuatan baik, menjadi pendekar budiman agar noda yang menempel pada nama orang tuanya dapat tercuci bersih.
"Kongcu, kau pikirlah baik-baik. Dia adalah musuh besarmu! Kenapa sih engkau ini? Aihh, mengerti aku sekarang. Engkau telah tergila-gila kepada anak gadisnya itu!"
"Lo-bo, jangan bicara yang bukan-bukan!"
"Heh-heh-heh, engkau tidak mungkin dapat membohongi seorang tua renta seperti aku, Kongcu. Engkau telah jatuh cinta kepada Nona itu, maka engkau merasa keberatan untuk membunuh mereka. Akan tetapi hal itu dapat kita atur, Kongcu. Kita bunuh ibunya tetapi membiarkan anaknya hidup dan engkau boleh memilikinya sampai engkau merasa bosan baru ia dibunuh..."
"Lo-bo, apakah engkau sudah gila?!" teriak Sun Hok marah sekali, juga terkejut dan heran bagaimana nenek yang biasanya bersikap halus kepadanya itu, yang sama sekali tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda jahat, sekarang bisa mengajukan usul yang demikian mengerikan. Membunuh ibunya dan memperkosa puterinya sampai bosan baru dibunuh! Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri.
Sejak kecil, oleh guru-guru sastra dan dari kitab-kitab yang dibacanya, dia sudah banyak mengetahui tentang baik buruk dan tentang kejahatan-kejahatan yang tak boleh dilakukan manusia, mengenai kebajikan-kebajikan dan bagaimana seharusnya sikap hidup seorang kuncu (budiman). Karena itu dia bergidik dan merasa ngeri sekali ketika mendengar usul nenek itu.
"Bukan aku, melainkan engkau yang sudah gila." kata nenek itu, juga marah sekali. "Ibu kandungmu dibunuh orang, dan kini musuh besar itu berada di depan hidung, akan tetapi engkau tak setuju ketika aku hendak membunuhnya! Apakah engkau ingin menjadi murid yang murtad dan menentang gurumu sendiri, setelah sejak bayi aku mengasuh, mendidik dan menggemblengmu? Apakah engkau ingin menjadi seorang anak durhaka yang sama sekali tidak ingin berbakti kepada ibu kandungmu sendiri? Benarkah engkau telah menjadi orang yang begini tidak mengenal budi?"
Pada waktu kedua orang itu bertengkar, muncullah Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong di dalam taman itu! Kemunculan dua orang ini tentu saja sangat mengejutkan Sun Hok dan Wa Wa Lo-bo. Bagaimana mereka dapat muncul di taman itu, di mana guru dan murid itu sedang bicara tentang mereka?
Sejak makan malam tadi, timbul kecurigaan di dalam hati Sui Cin tentang Nenek Wa Wa Lo-bo. Melihat sikap nenek itu, juga wajahnya serta matanya yang mencorong aneh, Sui Cin menduga bahwa tentu nenek itu seorang dari golongan hitam yang sangat lihai, apa lagi mendengar cerita Sun Hok bahwa mendiang ibu kandungnya adalah seorang tokoh sesat yang lihai. Dan berada di dalam satu rumah dengan seorang tokoh sesat sungguh amat berbahaya, pikirnya.
Maka, setelah keadaan menjadi sunyi, dia mengajak anaknya untuk diam-diam keluar dari dalam kamar, melalui jendela yang mereka tutup kembali dari luar, dan mereka pun lalu melakukan penyelidikan, mempergunakan ilmu kepandaian mereka meringankan tubuh. Dengan gerakan mereka yang cepat, mereka tidak khawatir terlihat oleh para pelayan.
Akhirnya mereka tiba di taman belakang rumah itu dan merasa tertarik sekali oleh suara percakapan antara Sun Hok dan Wa Wa Lo-bo. Cepat-cepat mereka menghampiri sambil mengintai. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka mendengar bahwa nenek itu berniat untuk membunuh mereka.
Sui Cin juga terkejut bukan main mendengar bahwa Can Sun Hok adalah putera tunggal dari Gui Siang Hwa, murid Raja dan Ratu Iblis yang amat lihai itu. Memang dialah yang dahulu merobohkan Gui siang Hwa sehingga iblis betina itu tewas di bawah hujan senjata para prajurit kerajaan.
Mendengar betapa Sun Hok menentang nenek itu untuk membunuh dia serta puterinya, secara diam-diam Sui Cin merasa girang juga, dan dapat dibayangkan betapa marahnya mendengar usul nenek itu agar mereka membunuh dia terlebih dahulu dan agar Kui Hong diperkosa sampai Sun Hok menjadi bosan baru membunuhnya.
Dugaannya memang tepat. Nenek yang bernama Wa Wa Lo-bo itu adalah seorang iblis yang kejam sekali! Memang cocok untuk menjadi pelayan Raja dan Ratu Iblis. Maka dia pun mengajak puterinya keluar untuk menghadapi nenek itu.
"Bibi Ceng... Adik Hong...," Sun Hok berkata dengan muka sebentar pucat dan sebentar merah, hatinya tegang bukan main dan dia tidak tahu harus bicara apa.
"Can Sun Hok, kami telah mendengar semua percakapan kalian barusan. Nenek Wa Wa Lo-bo ini memang tak salah lihat atau salah dengar. Wanita yang bernama Gui Siang Hwa atau Siang-tok Sian-li itu tewas dalam pertempuran sesudah roboh di tanganku. Aku tidak menyangkal akan hal itu dan kalau engkau ingin mengetahui peristiwa yang sebenarnya, aku dapat menceritakannya kepadamu."
"Jangan dengarkan omongannya, tentu hanya akan menyalahkan ibumu!" teriak Wa Wa Lo-bo.
Akan tetapi Sun Hok yang kini mukanya menjadi pucat, tidak mempedulikan gurunya.
"Ceritakanlah, Bibi Ceng."
"Gui Siang Hwa adalah murid Raja dan Ratu Iblis yang memimpin tiga belas datuk sesat dan banyak lagi kaum sesat untuk melakukan pemberontakan. Para pendekar menentang gerakan ini dan membela pemerintah. Kebetulan aku pun berada di antara pendekar dan kebetulan saja Gui Siang Hwa menjadi lawanku di dalam pertempuran itu. Aku berhasil menendangnya roboh lantas dia pun dihujani senjata oleh para prajurit kerajaan sehingga tewas. Nah, itulah peristiwa yang sesungguhnya terjadi, Sun Hok. Kini terserah padamu. Kalau engkau bermaksud melanjutkan kesesatan ibumu dan menambah lagi noda pada nama dan kehormatan ibumu dengan perbuatan jahat, silakan menyerang kami. Kami tak akan undur selangkah pun karena kami yakin bahwa kami berada di pihak benar. Ataukah engkau akan berbakti kepada ibumu dengan cara mencuci noda yang ada pada nama dan kehormatannya dengan perbuatan baik? Terserah pula, aku sudah bicara."
Nenek Wa Wa Lo-bo memandang marah lantas menggerakkan tongkatnya menuding ke arah muka Sui Cin. "Engkau dan kawan-kawanmu sudah menyebabkan kematian Ong-ya serta isterinya, juga menyebabkan kematian Nona Siang Hwa. Bagaimana pun juga aku tidak akan tinggal diam. Biarlah anak durhaka ini tidak menuntut balas, akan tetapi aku harus membunuhmu." Berkata demikian, Nenek Wa Wa Lo-bo menggerakkan tubuhnya dan tongkatnya sudah menyambar ganas ke arah perut Sui Cin. Tentu saja Sui Cin sudah siap diaga dan dengan mudahnya ia mengelak.
"Lo-bo, jangan...!" Sun Hok berseru dengan khawatir.
Akan tetapi nenek itu tidak peduli, begitu tongkatnya luput dari sasaran, segera tongkat itu membalik ke kiri dan melanjutkan serangannya, sekarang menusuk ke arah leher Sui Cin. Kembali Sui Cin mengelak lalu dari samping tangan kirinya menyambar dengan dorongan tenaga Hok-te Sin-kun yang dahsyat. Terkena dorongan tangan ini, sungguh pun Wa Wa Lo-bo sudah berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja tubuhnya terhuyung hampir menambrak Sun Hok.
"Lo-bo, jangan berkelahi...!" kembali Sun Hok berseru.
Mendengar ini, Wa Wa Lo-bo menjadi makin marah. "Engkau adalah murid murtad, anak terkutuk yang durhaka!" bentaknya dan tiba-tiba saja tongkatnya melayang ke arah kepala Sun Hok dengan pukulan maut yang amat dahsyat.
"Ahhh...!" Kui Hong yang berdiri di dekat Sun Hok, melihat betapa pemuda itu agaknya sengaja tidak menangkis dan pasrah terhadap gurunya, cepat menggerakkan tangannya, dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang dia menangkis tongkat itu dengan kedua lengannya.
"Dukkk!"
Tubuh Kui Hong terdorong ke belakang, akan tetapi pukulan itu tidak mengenai kepala Sun Hok yang kini sudah melompat menjauhi nenek itu dengan wajah penuh kegelisahan.
Nenek Wa Wa Lo-bo terkejut bukan main. Dia tahu bahwa Ceng Sui Cin puteri Pendekar sadis itu lihai sekali, dan dia hanya mengandalkan kenekatannya saja ketika menyerang tadi. Akan tetapi tak pernah disangkanya bahwa gadis yang masih amat muda ini, puteri Ceng Sui Cin, ternyata juga lihai sekali sehingga mampu menangkis serangan tongkatnya dengan kedua tangan dan sama sekali tidak terluka atau terbanting, hanya terdorong saja ke belakang. Ini menunjukkan bahwa tingkat kepandaian gadis itu sudah amat tinggi dan mungkin menghadapi gadis itu pun dia tidak akan mampu menang!
"Lo-bo, harap jangan lanjutkan perkelahian ini!" kembali Sun Hok berkata kepada nenek itu dengan suara membujuk.
"Wa Wa Lo-bo…," kata Ceng Sui Cin dengan suara tenang namun tegas. "Di antara kita tidak ada permusuhan dan aku tidak berniat untuk berkelahi melawanmu. Engkau sudah lanjut usia, hidupmu tidak akan lama lagi, haruskah sekarang engkau nekat menyerangku secara mati-matian hanya untuk menurutkan hati panas saja? Ingat bahwa Raja dan Ratu Iblis bersama semua kawan dan anak buahnya tewas sebagai akibat dan perbuatan dan kejahatan mereka sendiri."
"Tutup mulutmu! Jika aku tidak dapat membalaskan dendam kematian mereka kepadamu maka lebih baik aku mampus saja!" Dan dengan kemarahan meluap-luap, terutama sekali melihat betapa Sun Hok tidak membantunya, sekarang nenek itu mempergunakan senjata tongkatnya yang diputar dengan cepat sehingga berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung, menerjang Sui Cin dengan dahsyat dan nekat.
"Hemm, engkau mencari kematianmu sendiri!" kata Sui Cin.
Cepat dia pun menggunakan kepandaiannya untuk mengelak dan balas menyerang. Sui Cin tak membawa senjatanya yang istimewa, yaitu payung pedangnya yang ditinggalkan di dalam kamar. Akan tetapi tingkat ilmu silatnya sudah jauh lebih tinggi dari pada tingkat lawannya sehingga seluruh serangan yang dilakukan nenek itu hanya mengenai tempat kosong belaka, bahkan serangkaian serangan balasan sepasang tangan dan kaki Sui Cin membuat nenek itu kerepotan dan beberapa kali terhuyung ke belakang
Tiba-tiba nenek Wa Wa Lo-bo mengeluarkan suara gerengan bagai seekor binatang buas, tongkatnya menyambar ganas ke arah dada Sui Cin. Serangan ini merupakan serangan maut karena ujung tongkat tergetar menjadi beberapa belas buah banyaknya, dan tahulah Sui Cin bahwa serangan itu tidak akan berhenti kalau hanya dielakkan begitu saja, tentu akan terus mengejar dan menyerang bertubi-tubi. Melihat kenekatan nenek itu, maka dia pun menjadi marah.
"Haiiiitttttt...!" teriaknya.
Tiba-tiba dia memasang kuda-kuda, tidak mengelak lagi melainkan menyambut serangan tongkat itu dengan hantaman tangannya ke arah batang tongkat. Tenaga sinkang yang disalurkan melalui tangan itu kuat bukan main.
"Krakkkk...!"
Tongkat itu bertemu tangan dan patah seketika! Yang tertinggal di tangan nenek itu hanya dua jengkal kayu yang meruncing ujungnya saja, sedangkan tubuh nenek itu terpental ke belakang. Dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak terbanting, namun ketika dia bangkit lagi sambil memegang tongkat yang tinggal dua jengkal, tampak betapa darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Ternyata pertemuan tenaga dahsyat tadi sudah melukai Si Nenek, luka dalam yang membuat darah mengalir keluar dari mulutnya.
Melihat ini, Sun Hok berseru kaget, "Lo-bo...!"
Teriakan pemuda ini membuat Wa Wa Lo-bo teringat lagi akan sikap pemuda itu yang paling menyakitkan hatinya. Dia maklum bahwa melawan Sui Cin sudah tak mungkin lagi. Tongkatnya patah dan dadanya terasa nyeri, tanda bahwa dia telah menderita luka dalam yang cukup parah. Mengandalkan Sun Hok? Pemuda itu sudah memihak musuh. Saking marah, jengkel dan putus asa, nenek itu lalu berteriak,
"Ong-ya berdua dan Siocia, jangan salahkan saya jika anak ini menjadi seorang durhaka dan murtad!" Kemudian, secepat kilat dia menggerakkan sisa tongkat yang menjadi kayu runcing itu ke arah dadanya sendiri.
"Lo-bo...!" Sun Hok meloncat kemudian menubruk tubuh tua yang sudah roboh terlentang dengan sisa kayu itu menancap di dadanya, menembus jantung dan membuat dia tewas seketika.
"Lo-bo, ahhh, Lo-bo... ampunkan aku...!" Sun Hok merangkul tubuh nenek yang bermuka buruk itu dan menangis tersedu-sedu, sedangkan para pelayan kini datang dan terbelalak melihat majikan mereka menangisi nenek yang telah menjadi mayat dalam keadaan amat mengerikan itu.
Sui Cin memandang pemuda itu dan menarik napas panjang. Ia merasa kasihan kepada Sun Hok. Ia tahu betapa hancur hati pemuda itu melihat nenek itu tewas terbunuh. Nenek itu, bagaimana pun juga, merupakan pengasuhnya, pendidiknya, pengganti orang tua dan guru!
"Kui Hong, mari kita pergi saja," katanya.
Kui Hong yang juga menjadi termangu menyaksikan pemuda itu menangisi mayat Wa Wa Lo-bo, mengangguk dan mengikuti ibunya. Mereka mengambil pakaian mereka dan tanpa pamit lagi karena hal ini hanya akan mendatangkan suasana tidak enak, ibu dan anak itu lalu pergi meninggalkan rumah besar itu, bahkan pada malam itu juga mereka langsung meninggalkan kota Siang-tan dan memilih tidur di dalam hutan, di atas pohon besar dari pada tinggal bermalam di kota yang menyimpan kenangan tidak enak itu…..
********************