Pek Kong lalu menceritakan peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu ketika isterinya, Souw Bwee mengandung dan pada waktu itu Pek-sim-pang masih berada di Nam-co, di daerah Tibet. Kandungan isterinya itu menimbulkan masalah karena para Lama di Tibet meramalkan bahwa anak yang dikandung adalah Sin-tong dan kelak harus diserahkan kepada para pendeta Lama untuk dirawat dan dididik, karena sesudah dewasa Sin-tong akan menjadi Dalai Lama. Pek Kong dan isterinya kemudian melarikan diri mengungsi ke timur.
"Pada saat kelahiran putera kami itulah engkau muncul," Pek Kong melanjutkan ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hay Hay. "Pada waktu itu kakekku, yaitu Kakek Pek Khun, melihat seorang ibu muda bunuh diri di laut bersama puteranya. Kakek Pek Khun berhasil menyelamatkan anak laki-laki itu, akan tetapi ibu muda itu meninggal dunia sesudah meninggalkan sedikit pesan. Bayi laki-laki yang diselamatkan oleh Kakek Pek Khun itu..."
“Sayalah bayi itu!" kata Hay Hay, wajahnya agak pucat dan suaranya gemetar.
"Betul sekali! Engkaulah bayi laki-laki itu. Karena putera kami sedang terancam dan dicari para Lama, maka putera kami itu dibawa pergi dan disembunyikan oleh Kakek Pek Khun, sedangkan engkau lalu kami pelihara sebagai gantinya. Akan tetapi, tidak lama kemudian engkau diculik orang dan sebagai gantinya, di tempat tidurmu diletakkan seorang bayi lain yang sudah mati. Dua orang penjagamu juga dibunuh oleh penculik itu."
"Hemmm, Lam-hai Siang-mo...!" kata Hay Hay.
"Apa maksudmu?" tanya Pek Kong.
"Yang menculik saya pada waktu bayi itu adalah suami isteri Lam-hai Siang-mo."
"Ahh, kiranya Siangkoan Leng dan Ma Kim Li?" kata Pek Ki Bu mengepal tinju. "Jika aku tahu tentu ketika itu kucari mereka. Mereka begitu kejam, membunuh anak sendiri untuk ditukar denganmu, dan membunuh dua orang penjaga."
"Merekamemang orang-orang kejam dan jahat. Mereka lalu merawat saya sehingga sejak kecil saya menganggap bahwa mereka adalah ayah dan ibu saya. Akan tetapi pada waktu saya berusia tujuh tahun, muncul suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan..."
"Kwee Siong Si Tangan Maut dan Tong Ci Ki Si Jarum Sakti?" tanya Kakek Pek Ki Bu yang agaknya mengenal tokoh-tokoh persilatan di selatan.
"Benar," kata Hay Hay. "Mereka merampas saya dan mulailah saya dijadikan perebutan. Ketika itu baru saya mendengar bahwa saya bukanlah anak kandung Lam-hai Siang-mo, melainkan anak kandung keluarga Pek. Akan tetapi, setelah kemudian orang tahu bahwa tidak ada tanda merah di punggung saya, saya pun mengerti bahwa sesungguhnya saya bukanlah putera kandung keluarga Pek, dan bahwa rahasia mengenai diri saya berada di sini, di antara keluarga Pek. Karena itu, saya mohon kepada Cu-wi agar suka membuka rahasia itu. Siapakah saya? Siapakah ibu saya yang dahulu membunuh diri di lautan itu dan siapa pula ayah saya?"
Pek Ki Bu saling pandang dengan putera dan mantunya. Pek Kong mengangguk lalu dia berkata, "Tunggulah sebentar, saya ingin mengambil sesuatu dari dalam kamar." Dia pun pergi dan tak lama kemudian kembali lagi ke ruangan itu.
"Ketahuilah, orang muda. Sebelum wanita muda yang membunuh diri itu tewas, ia sempat meninggalkan pesan kepada kakek Pek Khun. Dia sempat bercerita pada saat terakhir itu bahwa dia membunuh diri karena ingin melarikan diri dari aib."
"Ahhh...” Hay Hay menahan napas dan Souw Bwee memandang kepadanya dengan sinar mata penuh rasa iba. Sedangkan Pek Eng yang juga belum pernah mendengar cerita itu, ikut mendengarkan dengan hati tertarik.
"Menurut pengakuannya, ibu muda itu adalah seorang gadis yang diperkosa dan dipaksa oleh seorang... laki-laki..." Pek Kong tidak tega untuk mengatakan bahwa pemerkosa itu seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita), "dan ketika wanita itu mengandung lalu melahirkan anak karena hubungan itu, dia tidak kuat menghadapi aib itu lantas mencoba membunuh diri bersama anaknya itu. Lelaki yang menjadi... ayah kandungmu itu adalah seorang yang memiliki she (bernama keturunan) Tang..."
"Hemm, jadi saya she Tang? Tang Hay...?" kata Hay Hay seperti kepada dirinya sendiri dengan hati sangat tidak enak rasanya. Ibunya diperkosa orang sampai mengandung dan melahirkan dia. Dia seorang anak haram! Anak yang lahir dari perkosaan. Jadi ayahnya adalah seorang yang amat jahat, she Tang!
"Dan di manakah adanya ayah saya yang she Tang itu?"
Pek Kong menggelengkan kepala sambil merogoh saku jubahnya. "Kami juga tidak tahu, hanya ibumu dalam pesan terakhir itu menyerahkan benda ini kepada Kakek Pek Khun. Katanya benda ini adalah milik ayahmu, orang she Tang itu, dan ibumu berpesan supaya engkau mencarinya..." Pek Kong menyerahkan benda itu kepada Hay Hay.
Hay Hay menerima benda itu, mengamatinya, dan mendadak dia mengeluarkan teriakan keras lalu jatuh terguling dari kursi yang didudukinya. Pingsan! Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan Pek Kong segera memondongnya ke atas dipan kemudian mengurut beberapa jalan darah untuk membuatnya siuman kembali.
Tidak mengherankan bila Hay Hay menjadi pingsan saking kagetnya ketika dia menerima benda itu lantas mengenalnya. Benda itu adalah sebuah tawon merah terbuat dari emas dan permata, persis dengan benda yang ditinggalkan oleh jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang dulu telah membunuh seorang gadis dusun yang hitam manis dan kemudian memperkosa Siauw Lan, gadis dusun yang lainnya sehingga dialah yang dituduh sebagai pembunuh dan pemerkosa.
Kiranya yang melakukan hal itu adalah jai-hwa-cat yang berjuluk Ang Hong Cu, Si Tawon Merah, yang meninggalkan perhiasan berbentuk tawon merah itu. Dan Ang Hong Cu ini bukan lain adalah ayah kandungnya!
Jai-hwa-cat itu telah memperkosa gadis yang kemudian mengandung dan melahirkan dia. Dia anak seorang jai-hwa-cat, lahir dari hasil pemerkosaan. Anak haram! Darah penjahat keji! Maka, tidaklah mengherankan ketika melihat benda itu dan menyadari siapa dirinya, Hay Hay langsung roboh pingsan.
Setelah siuman kembali, dia mengeluh dan cepat bangkit duduk, lalu bangkit pula berdiri memberi hormat kepada Pek Ki Bu, Pek Kong dan Souw Bwee. "Harap Cu-wi memaafkan saya. Sekarang setelah saya mendengar dari Cu-wi tentang rahaisia diri saya, maka saya hendak mohon pamit. Terima kasih atas pertolongan yang diberikan oleh Locianpwe Pek Khun terhadap mendiang ibu saya dan kepada saya sendiri karena kalau tidak ditolong, tentu saya sudah mati bersama ibu dan... tidak akan mendengar kenyataan yang sangat pahit ini. Dan maafkanlah bahwa saya telah membikin repot keluarga Pek yang budiman."
Hati tiga orang itu merasa sangat kasihan, bahkan Pek Eng memandang dengan terharu, walau pun di dalam hatinya dia pun memandang rendah. Anak seorang jai-hwa-cat yang lahir dari hubungan perkosaan!
"Jangan berkata demikian... Tang-taihiap," kata Pek Ki Bu. "Bagaimana pun juga keluarga kami berhutang budi kepadamu dan pernah melakukan kesalahan terhadap dirimu ketika engkau masih bayi. Engkau sudah menyelamatkan Pek Han Siong dari pengejaran orang, dan kami bahkan telah menggantikan tempatnya dengan engkau hingga engkau menjadi perebutan orang-orang kang-ouw. Maafkanlah kami."
"Tidak, tidak...! Dan harap Locianpwe jangan menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada saya. Saya hanya... hanya anak jai-hwa-cat..." Hay Hay memberi hormat lagi dan hendak pergi ketika pada saat itu seorang pelayan masuk ke ruangan dan melaporkan bahwa ada tamu-tamu dari Cin-an, yaitu keluarga Song, datang berkunjung.
Mendengar ini, wajah Pek Ki Bu dan Pek Kong berseri-seri. "Aihhh, kiranya mereka yang datang! Tang-taihiap, aku harap engkau tidak tergesa-gesa pergi karena kami masih ingin berbincang-bincang denganmu tentang masa lampau. Marilah kami perkenalkan dengan tamu-tamu terhormat, yaitu keluarga Song yang gagah perkasa dari Cin-an, keluarga para pimpinan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Tangan Baja) yang amat terkenal sebagai pejuang-pejuang dan pendekar-pendekar yang budiman."
Hay Hay yang baru saja menemukan dirinya dan masih berada dalam keadaan nelangsa, sesungguhnya ingin sekali pergi. Akan tetapi karena pihak tuan rumah meminta dengan sangat, dan dia pun tertarik mendengar datangnya keluarga pendekar yang terkenal dan ingin melihat mereka, dia pun menerima tanpa banyak cakap dan bersama rombongan tuan rumah dia pun ikut keluar menyambut tamu.
Rombongan tamu itu terdiri dari tiga orang. Orang pertama adalah seorang lelaki berusia kurang lebih lima puluh tahun, jangkung kurus, berwajah keras dan mata membayangkan kejujuran dan kekuatan. Orang ini adalah ketua perkumpulan Kang-jiu-pang dan bernama Song Un Tek.
Orang ke dua adalah adiknya yang berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh pendek gendut seperti bola dan yang mempunyai muka bulat yang selalu tersenyum mengejek. Orang ini bernama Song Un Sui, tak kalah terkenalnya jika dibandingkan kakaknya yang menjadi pangcu dari Kang-jiu-pang karena ilmu silatnya yang sangat tinggi serta jiwanya yang patriotik. Hanya sedikit sayang bahwa si gendut Song Un Sui ini agak tinggi hati, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan suka memandang rendah orang lain.
Ada pun orang ke tiga merupakan seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang bertubuh tinggi besar, gagah sekali tampaknya dengan pakaian seperti seorang pendekar dan pada pinggangnya tergantung sebatang pedang, yang berada dalam sarung pedang terukir indah dan terhias ronce merah di bagian gagangnya.
Pemuda ini adalah putera ketua Kang-jiu-pang yang bernama Song Bu Hok, dan dia telah digembleng oleh ayahnya serta pamannya, mewarisi ilmu kepandaian mereka dan juga jiwa kepahlawanan mereka. Akan tetapi, Bu Hok ini pun agaknya mewarisi ketinggian hati pamannya, hal ini nampak pada pandangan matanya dan tarikan dagunya yang gagah.
Perkumpulan Kang-jiu-pang belum tua benar umurnya. Didirikan oleh mendiang ayah dari dua orang pimpinan Kang-jiu-pang itu, yaitu Song Pak Lun, seorang bekas perwira tinggi di Pao-teng yang berjiwa pahlawan.
Karena merasa tidak setuju dengan sepak terjang Kaisar Ceng Tek, yaitu kaisar yang lalu sebelum Kaisar Cia Ceng yang sekarang, karena Kaisar Ceng Tek terlalu percaya kepada para pembesar Thaikam (Orang Kebiri) sehingga hampir seluruh kekuasaan dicengkeram oleh para thaikam, maka Song Pak Lun lantas mendirikan perkumpulan Kang-jiu-pang. Perkumpulan ini terdiri dari orang-orang gagah yang menentang kekuasaan para thaikam demi menyelamatkan rakyat dari pada penekanan dan penindasan, dan berpusat di dekat kota Cin-an di Lembah Sungai Huang-ho.
Setelah kakek Song Pak Lun meninggal dunia, Kang-jiu-pang lalu diketuai oleh puteranya, yaitu Song Un Tek yang dibantu oleh adiknya, Song Un Sui itu. Dua orang kakak beradik inilah yang menjadi pimpinan Kang-jiu-pang, akan tetapi karena sekarang tidak terdapat lagi thaikam yang ditentang seperti ketika jaman ayah mereka, setelah thaikam yang lalim ditangkap dan dihukum, maka perkumpulan itu kini lebih menyerupai perkumpulan orang gagah.
Murid-murid Kang-jiu-pang, seperti para murid perkumpulan orang gagah yang lain, selalu bertindak seperti para pendekar yang menentang dunia hitam atau kaum sesat di dunia kang-ouw. Nama Kang-jiu-pang lalu menjulang tinggi karena sepak terjang anak buahnya yang rata-rata merupakan pendekar yang gagah perkasa.
Sudah cukup lama terjalin persahabatan antara pimpinan Kang-jiu-pang dengan pimpinan Pek-sim-pang, maka dapatlah dibayangkan betapa girang pihak Pek-sim-pang menerima kunjungan para sahabat mereka itu. Karena sudah menjadi sahabat yang akrab dan lama, maka Souw Bwee dan Pek Eng tidak ketinggalan menyambut para tamu, walau pun tamu itu hanya tiga orang laki-laki belaka. Pek Eng juga sudah mengenal Song Bu Hok, bahkan sudah berteman dengan pemuda tinggi besar itu.
Pada saat pihak tuan rumah yang diikuti oleh Hay Hay keluar dari dalam, tiga orang tamu yang tadinya duduk di ruangan tunggu itu bangkit berdiri kemudian memberi hormat.
"Aihhh, angin apakah yang membawa Sam-wi melayang-layang ke sini dari Cin-an?" kata Pek Kong dengan gemblra.
"Kami harap Pangcu sekeluarga dalam sehat dan Kang-jiu-pang menjadi semakin besar dan jaya," kata pula Pek Ki Bu dengan wajah gembira. Dia juga sudah menjadi sahabat Song Pak Lun ketika kakek itu masih hidup dan menjadi ketua Kang-jiu-pang.
"Kami baik-baik saja, terima kasih dan mudah-mudahan Pek-sim-pang semakin maju dan para keluarga Pek juga dalam keadaan sehat bahagia," jawab Song Un Tek dan Song Un Sui dengan ramah.
Akan tetapi Song Bu Hok yang tadinya memandang pada Pek Eng dengan wajah berseri, kini mengerutkan alisnya melihat di belakang gadis itu muncul seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya. Dia menatap tajam dan lupa untuk memberi salam.
"Bu Hok, kenapa engkau diam saja?" ayahnya menegur dan menoleh, kemudian dia pun melihat ke arah yang dipandang puteranya dan dia melihat pula pemuda di belakang Pek Eng itu.
"Pek-locianpwe dan Paman Pek Kong, terimalah hormat saya. Bibi Pek, terimalah hormat saya," kata Bu Hok.
Akan tetapi kini Song Un Tek yang menatap tajam ke arah Hay Hay, lalu berseru. "Aha! Kalau tidak keliru dugaanku, pemuda yang gagah ini tentu putera kalian, Pek Han Siong alias Sin-tong itu yang sudah pulang! Benarkah?"
Mendengar seruan ayahnya, pandang mata yang tadinya keruh dan penuh curiga dari Bu Hok segera terganti cerah dan berseri. "Aih, Eng-moi, inikah kakakmu yang amat terkenal sebagai Sin-tong?" tanyanya kepada Pek Eng.
"Jangan sembarang sangka, Song-toako!" kata Pek Eng cemberut. Hatinya merasa tidak senang ketika mendengar sangkaan orang bahwa dia adalah adik Hay Hay, pemuda mata keranjang keturunan jai-hwa-cat itu!
"Kalian salah sangka." Pek Kong menerangkan dengan amat ramah. "Pemuda ini adalah seorang tamu kami yang baru saja datang, namanya adalah... Tang Hay. Mari, silakan duduk di dalam."
Berbondong-bondong mereka memasuki rumah dan tidak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam yang luas. Hay Hay yang juga turut dipersilakan duduk, memilih tempat duduk pada sudut, agak jauh dari rombongan tamu dan tuan rumah yang sedang bercakap-cakap dengan meriah dan gembiranya itu.
Malah dia melihat betapa Pek Eng bercakap-cakap dengan ramah pula bersama pemuda tinggi besar yang gagah itu. Akan tetapi dia melihat pula betapa pemuda tinggi besar itu berkali-kali melempar kerling ke arahnya, dengan sinar mata yang tak ramah, akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya.
"Song-pangcu, bagaimana kabarnya kota raja? Engkau baru saja datang dari sana, dekat kota raja, tentu banyak mendengar mengenai keadaan di sana. Jangan-jangan kalian ini datang membawa kabar buruk yang akan membangkitkan kembali Kang-jiu-pang menjadi pejuang-pejuang yang gagah dan mengobarkan perang!" kata Pek Kong.
"Ahh, untung tidak demikian, Pek-pangcu. Keadaan kota raja kini tenteram saja semenjak Kaisar Cia Ceng memegang tahta kerajaan. Semua ini berkat kebijaksanaan dua orang Tiong-sin (Menteri Setia) di istana..."
"Apa kau maksudkan dua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Cang Ku Ceng?" Pek Ki Bu menyela.
"Benar sekali, Paman," kata Song Un Tek.
Kakek Pek Ki Bu menarik napas panjang. "Benar kata para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa kalau negara adalah sebatang pohon besar, maka kaisar serta para pejabat tinggi yang membantunya merupakan batang dan akar-akarnya. Kalau batang dan akar-akarnya sehat dan subur, maka semua cabang, ranting, daun dan bunga serta buahnya tentu akan sehat dan subur pula. Sebaliknya, apa bila kaisar dan para pembesar yang membantunya busuk, tentu negara akan menjadi rapuh dan kehidupan rakyat menjadi sengsara."
"Benar sekali, Paman," kata pula ketua Kang-jiu-pang. "Memang sungguh besar jasa dua orang menteri yang bijaksana itu, sehingga para Kan-sin (Menteri Durna) menjadi keder dan kehilangan pengaruh, bahkan banyak yang mengundurkan diri. Mudah-mudahan saja Sribaginda Kaisar Cia Ceng ini akan dapat membuat Kerajaan Beng menjadi benar-benar Beng (Terang) dan rakyat dapat hidup sejahtera."
"Sayang sekali bahwa para pimpinan itu tidak seperti akar dan batang pohon yang hanya bekerja demi kehidupan pohon seutuhnya, juga demi kepentingan daun-daunnya, cabang, ranting, kembang dan buahnya. Para pimpinan biasanya hanya memikirkan kepentingan dan kesenangan dirinya sendiri belaka. Pada waktu perjuangan mereka membujuk rakyat, menggandeng rakyat untuk mendapat kekuatan, dengan segala macam kata-kata indah dan slogan patriotik, akan tetapi sesudah berhasil memperoleh kemenangan dan mereka itu berkuasa, mereka lupa sama sekali terhadap rakyat jelata. Mereka lupa bahwa tanpa dukungan dari rakyat, tanpa dibantu oleh rakyat, mereka tak mungkin dapat memperoleh kemenangan dan memperoleh kedudukan mereka yang sekarang," kata kakek Pek Ki Bu.
Song Un Tek, ketua Kang-jiu-pang tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk. "Kiranya hal itu tidak mengherankan, Paman, karena bagaimana pun juga para pimpinan itu hanya manusia-manusia biasa dan manusia memang lemah, mudah mabok kekuasaan. Akan tetapi ada pula pemimpin yang betul-betul memperhatikan kepentingan rakyat jelata, ada yang agak memperhatikan, dan ada pula yang sama sekali tidak. Yang sama sekali tidak memperhatikan, yang hanya mengejar kesenangan pribadi berlandaskan kekuasaan yang didapatnya dengan bantuan rakyat, mereka itulah pembesar lalim dan orang semacam ini lambat laun pasti akan digilas oleh roda perputaran dunia yang adil."
Kedua pimpinan perkumpulan orang-orang gagah itu bercakap-cakap tentang perjuangan, tentang kepahlawanan, didengarkan oleh Hay Hay yang secara diam-diam merasa kagum kepada mereka. Dia sendiri tidak tertarik oleh urusan itu, akan tetapi dia dapat merasakan bahwa kedua pihak yang tengah bercakap-cakap itu memang orang-orang gagah perkasa yang patut dihormati.
Kalau dia teringat betapa orang-orang muda seperti Pek Eng dan Song Bu Hok ini adalah keturunan orang-orang tua yang gagah perkasa dan terhormat, ada pun dia sendiri adalah anak seorang jai-hwa-cat, hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk dan dia pun menundukkan mukanya, merasa betapa dirinya amat rendah dan hina. Akan tetapi hanya sebentar saja dia berlaku demikian. Wataknya yang periang dan tidak pernah mau terbenam di dalam perasaannya dengan cepat telah membuat wajahnya menjadi cerah kembali.
"Song-pangcu, selain ingin bertemu karena rindu, agaknya Pangcu mempunyai urusan penting yang dibawa dari rumah. Benarkah dugaanku itu dan kalau memang ada urusan penting, harap segera disampaikan kepada kami," Pek Kong berkata kepada temannya.
Song Un Tek tertawa lantas mengangguk-angguk, mengelus jenggotnya yang pendek dan lebat. "Tak salah dugaanmu, Pek-pangcu. Aku teringat akan permufakatan kita pada awal perkenalan kita dulu dan kini ingin sekali menegaskan kepada keluarga Pek. Akan tetapi karena yang akan dibicarakan ini urusan orang-orang tua, dapatkah kita bicara sendiri?" Dia mengerling ke arah Pek Eng dan Hay Hay.
Pek Kong bersama isterinya tersenyum, kemudian Pek Kong berkata kepada puterinya, "Eng-ji, kau ajaklah Song Bu Hok dan Tang Hay berjalan-jalan di taman bunga. Biar kami orang-orang tua bicara sendiri sementara kalian orang-orang muda bersenang-senang di taman."
Sebetulnya Pek Eng ingin mendengarkan terus percakapan mereka, maka hatinya terasa kecewa dan tidak senang mendengar perintah ayahnya. Akan tetapi dia juga tidak berani membantah, maka dia memandang dengan alis berkerut dan merasa malas untuk bangkit berdiri.
"Eng-moi, marilah!" Tiba-tiba Song Bu Hok yang sudah bangkit lebih dulu berkata dengan wajah berseri. "Mari kita pergi ke taman karena aku ingin sekali melihat betapa hebatnya kemajuan ilmu silatmu dibandingkan dua tahun yang lalu."
Ajakan ini membuat Pek Eng bangkit berdiri dan timbul kegembiraannya. Memang gadis ini paling suka kalau bicara tentang ilmu silat, apa lagi untuk saling menguji kepandaian. Dua tahun yang lampau ayahnya pernah mengajak dia pergi merantau kemudian singgah di perkampungan Kang-jiu-pang di mana dia berkenalan dengan Song Bu Hok, bahkan berkesempatan untuk saling menguji kepandaian masing-masing.
Akan tetapi pada waktu itu usianya baru empat belas tahun lebih sedangkan Song Bu Hok telah berusia dua puluh tahun sehingga tentu saja dia masih kalah matang dalam latihan. Kini dia sudah lebih matang dan dia ingin sekali melihat apakah kini dia dapat mengatasi kepandaian puteea Ketua Kang-jiu-pang itu.
"Mari...!" katanya sambil bangkit berdiri kemudian melangkah pergi bersama putera Ketua Kang-jiu-pang itu.
"Eng-ji, ajak dia juga!" kata ibunya sambil menunjuk ke arah Hay Hay yang masih duduk karena tidak diajak pergi. Barulah Pek Eng teringat akan tetapi alisnya berkerut ketika dia menoleh kepada Hay Hay.
"Mari ikut dengan kami," ajakya dengan suara agak kaku.
Akan tetapi Hay Hay tersenyum ramah. Dia bangkit berdiri lantas berkata, "Terima kasih, Nona, engkau baik sekali!"
Melihat sikap dan mendengar kata-kata ini, Bu Hok mengerutkan alisnya dan memandang tajam. Pemuda itu tampan dan pandai menarik hati, pikirnya, dan dia pun merasa adanya seorang saingan yang berbahaya. Dari mana sih munculnya pemuda ini, pikirnya.
Ayah dan pamannya mengajak dia berkunjung ke sini karena ingin mengajukan pinangan terhadap Pek Eng untuk menjadi jodohnya, seperti pernah disepakati bersama oleh kedua orang tua mereka ketika mereka masih kecil. Dia sendiri memang sudah tergila-gila dan amat tertarik sejak dua tahun yang lalu dia bermain dengan Pek Eng yang ketika itu baru berusia empat belas tahun lebih namun sudah amat lincah menarik.
Kini, dua tahun kemudian, ternyata Pek Eng sudah menjadi seorang gadis dewasa yang lebih memikat lagi. Manis bukan main sehingga begitu melihatnya tadi, langsung saja Bu Hok yang memang sudah tertarik sekali itu menjadi jatuh cinta! Akan tetapi di situ terdapat seorang pemuda yang sikapnya demikian manis terhadap Pek Eng!
Bu Hok bersikap acuh saja terhadap Hay Hay pada saat dia berjalan di samping Pek Eng menuju ke taman di belakang rumah besar keluarga Pek. Hay Hay berjalan di belakang mereka, tersenyum-senyum dan ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan dua orang itu terhadap dirinya yang agaknya tidak diinginkan kehadirannya.
Dari belakang dia melihat betapa pinggul Pek Eng yang padat itu menari-nari ketika gadis itu berjalan dengan lenggang yang santai dan lemah gemulai. Pinggangnya yang ceking bagaikan pinggang lebah kemit itu seperti hendak jatuh ke kanan kiri, kedua kaki ketika melangkah itu merapat hingga lututnya saling bersentuhan. Sungguh seorang dara yang mulai mekar dewasa dengan tubuh yang menggiurkan!
Mereka memasuki taman dan ternyata di tengah-tengah taman itu terdapat sebuah taman rumput yang cukup luas. Tempat ini memang biasa dipergunakan Pek Eng untuk berlatih ilmu silat. Nampak enak sekali berolah raga di taman itu, di atas petak rumput dikelilingi bunga-bunga yang indah serta pohon-pohon yang menimbulkan hawa segar. Terlebih lagi berolah raga di waktu pagi-pagi sekali, pasti amat sejuk dan menyegarkan tubuh.
"Eng-moi, aku percaya bahwa sekarang engkau tentu telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatmu. Maukah engkau memainkan ilmu silat keluargamu supaya aku dapat mengaguminya?" kata Bu Hok.
Kalau saja di sana tidak ada Hay Hay, tentu Pek Eng akan senang sekali memamerkan ilmu silat keluarganya. Akan tetapi di situ terdapat Hay Hay dan dia tahu betapa lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai dari dirinya, bahkan lebih lihai dari ayahnya dan kakeknya.
Bagaimana mungkin dia dapat memamerkan ilmu silatnya di hadapan seorang yang lihai seperti Tang Hay itu? Tentu dia hanya akan menjadi buah tertawaan saja. Maka sambil melirik ke arah Hay Hay yang berdiri di tepi petak rumput itu, agak menjauh dari mereka, dia pun menggelengkan kepala.
"Tidak, Song-toako. Aku sedang lelah sekali karena baru saja tadi di sini kedatangan tiga orang pendeta Lama yang mengacau. Kami semua turun tangan berkelahi sehingga kini aku lelah sekali."
"Ahhh...!" Bu Hok berseru kaget. "Ada tiga orang pendeta Lama membikin kacau di sini? Di mana mereka itu sekarang? Biar kuhajar mereka dengan pedangku!" katanya dengan sikap angkuh seolah-olah dengan mudah saja dia akan mampu membasmi mereka yang berani mengacau keluarga gadis itu.
"Kini mereka sudah pergi. Belum ada satu jam mereka pergi lalu engkau bersama ayah dan pamanmu datang."
"Akan tetapi mengapa ada pendeta-pendeta mengacau? Apakah mereka itu masih terus mendesak dan mencari kakak kandungmu yang disebut Sin-tong itu?"
Pemuda ini memang sudah mendengar mengenai peristiwa yang menimpa keluarga Pek dengan lahirnya kakak Pek Eng yang dianggap Sin-tong lantas diminta oleh para pendeta Lama di Tibet.
Dara itu mengangguk. "Mereka masih terus mencari kakakku yang hingga kini belum juga pulang. Ahh, sudahlah, Toako. Sekarang aku lelah sekali dan kuharap engkau tidak pelit untuk memperlihatkan ilmumu. Tentu sekarang Ilmu Silat Tangan Baja milikmu telah maju pesat dan engkau tentu sudah menjadi lihai sekali."
Bu Hok adalah seorang yang sangat mengagulkan kepandaiannya sendiri. Memang harus diakui bahwa dia telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya dan pamannya, dan dia dapat dikatakan murid yang terpandai di Kang-jiu-pang dan tingkatnya hanyalah sedikit di bawah tingkat ayahnya dan pamannya!
"Ilmu silat tangan kosong dari Kang-jiu-pang telah kukuasai semua, Eng-moi, bahkan kini latihanku sudah matang dan mencapai puncaknya. Kiranya hanya ayah dan paman saja yang dapat mengimbangi aku. Akan tetapi itu masih belum dapat dinamakan maju pesat. Dengan bantuan ayah dan paman, aku sudah berhasil merangkai semacam ilmu pedang yang bersumber dari gerakan Ilmu Silat Tangan Baja, oleh karena itu, kuberi nama Ilmu Pedang Tangan Baja (Kang-jiu-kiam). Ilmu pedang ini sedang kulatih terus dan kuperbaiki dengan petunjuk-petunjuk dari ayah dan paman. Aku baru merasa puas jika sudah dapat menjadikan ilmu pedang itu sebagai ilmu pedang terkuat di dunia persilatan."
Pek Eng memandang kagum. Pemuda Kang-jiu-pang ini memang selalu mengagumkan hatinya, seorang pemuda yang gagah dan selalu bersikap ramah dan manis kepadanya sebagai seorang sahabat baik atau seorang kakak yang bersikap melindungi. Akan tetapi kini kekagumannya terhadap Bu Hok ternoda oleh kenyataan bahwa kiranya tak mungkin Bu Hok lebih pandai dari pemuda anak jai-hwa-cat yang berdiri di sudut petak rumput itu!
Hay Hay seakan-akan sudah merusak semua kegembiraannya, membuat segala-galanya menjadi tawar. Akan tetapi juga kini sikap Bu Hok dan sikap Hay Hay membuat Pek Eng melihat kenyataan lain yang menggugah hatinya.
Dia sudah melihat sendiri kelihaian Hay Hay yang sanggup mengusir tiga orang pendeta Lama yang berilmu tinggi tadi, tetapi sikap Hay Hay demikian merendah, malah kelihatan seperti seorang pemuda lemah yang tolol, sedikit pun tidak menonjolkan kepandaiannya. Sebaliknya, kini dalam pandang matanya, Bu Hok kelihatan terlalu mengagulkan dirinya! Maka timbullah keinginan hatinya untuk mengadu kedua orang pemuda ini!
"Song-toako, perlihatkanlah ilmu silatmu supaya aku dan... Saudara Tang Hay di sana itu dapat mengaguminya."
Bu Hok menoleh ke arah Hay Hay, agaknya baru sekarang dia teringat bahwa Hay Hay berada di situ bersama mereka. "Baik, aku akan berdemonstrasi untukmu, Eng-moi. Akan tetapi apakah dia itu akan dapat menilai serta menghargai ilmu silatku? Seorang laki-laki yang tidak pandai ilmu silat hanyalah seperti seekor harimau yang kehilangan taring dan kukunya, tidak ada harganya lagi."
"Aih, Song-toako, jangan pandang rendah kepada dia itu. Ilmu silatnya lihai sekali dan kita berdua bukanlah tandingannya!" Pek Eng berkata sungguh-sungguh akan tetapi sekaligus juga bermaksud membakar hati Bu Hok.
Mendengar ucapan Pek Eng ini, Bu Hok lalu memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata tajam penuh selidik, alisnya berkerut dan hatinya sama sekali tidak percaya. Dia lalu menghampiri Hay Hay dan dengan sikap hormat namun angkuh dia bertanya,
"Saudara Tang Hay, benarkah engkau lihai sekali dalam ilmu silat?"
Sejak tadi Hay Hay hanya tersenyum saja dan kini menghadapi pertanyaan putera ketua Kang-jiu-pang, dia tersenyum makin lebar. Dari sikap pemuda itu, dia tahu bahwa pemuda tinggi besar itu agaknya amat tertarik atau bahkan jatuh cinta kepada Pek Eng dan dalam gerak-gerik serta kata-katanya, juga pandang mata dan ucapannya, jelas bahwa pemuda tinggi besar itu sedang berusaha untuk memamerkan diri sambil memancing kekaguman dari gadis itu. Hal ini dianggapnya wajar saja dan dia pun tak merasa heran jika pemuda itu nampak agak angkuh dan sombong, karena memang demikian sikap orang yang ingin menonjolkan diri untuk menarik perhatian seorang gadis.
"Ah, tidak, Song-kongcu (Tuan Muda Song), aku hanya mempelajari sedikit saja gerakan untuk membela diri," kata Hay Hay merendah sebab dia tak ingin mengurangi nilai pribadi yang sedang dipupuk oleh pemuda Kang-jiu-pang itu.
Akan tetapi Song Bu Hok masih belum merasa puas. Dara itu tadi mengatakan bahwa dia berdua dengan dirinya tidak akan mampu menandingi pemuda yang senyum-senyum tolol ini!
"Saudara Tang, engkau dari perguruan manakah?" tanyanya pula, agak lega bahwa paling tidak pemuda ini menyebut ‘kongcu’ padanya, tanda bahwa pemuda ini menghormat dan menghargainya, dan tahu bahwa derajatnya lebih tinggi dari pada pemuda itu.
Kembali Hay Hay menjawab sambil tersenyum, "Ahh, aku hanya belajar begitu saja, tidak dari perguruan mana pun."
Tentu saja Bu Hok tidak percaya. Kalau bukan dari perguruan yang terkenal, tak mungkin Pek Eng tadi memujinya, dan lebih tak mungkin lagi pemuda ini dapat berkenalan dengan keluarga Pek dan agaknya diterima oleh keluarga itu dengan baik dan hormat.
"Kalau begitu, bagaimana engkau dapat berada di sini sebagai tamu keluarga Pek yang terhormat?" Dia menuntut, dan matanya memandang penuh selidik, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan ketidak senangan dan keraguan.
Diam-diam Hay Hay merasa mendongkol juga. Boleh saja kalau pemuda ini menganggap dia tidak sederajat, boleh saja tidak memperhatikannya, akan tetapi kenapa Pek Eng juga mengacuhkannya? Bukankah gadis itu tadi telah mendengar semua penuturan mengenai dirinya? Hemm, agaknya gadis ini merasa malu untuk menerima dirinya sebagai seorang sahabat dan tamu.
"Begini, Song-kongcu. Keluarga Pek telah sedemikian baik dan ramahnya terhadap diriku sehingga ketika untuk pertama kali aku tiba di sini tadi, aku disambut dengan rangkulan dan ciuman, tidakkah begitu, Nona Pek Eng?"
Tiba-tiba wajah Pek Eng menjadi merah sekali. "Ihhh...!" Dia mengeluarkan seruan kaget akan tetapi tak dapat menjawab, hanya memandang wajah Hay Hay dengan muka merah dan mata terbelalak.
"Eng-moi, apa. artinya itu? Kalau dia bermaksud menghina..." Bu Hok mengepal tinjunya, sinar matanya mengandung ancaman.
"Ia datang tiba-tiba dan kami sekeluarga menyangka bahwa dia kakakku Pek Han Siong, karena itu aku dan ibu yang mengira dia kakakku, menyambutnya dengan gembira dan... dan menciumnya. Dia tidak berhak untuk mengingat-ingat hal itu dan membicarakannya!" Pek Eng berterus terang dan memandang kepada Hay Hay dengan marah.
"Aku tidak mengingat-ingat, akan tetapi peristiwa itu tak akan terlupakan selama hidupku, Nona."
"Dasar engkau laki-laki... mata keranjang!" Pek Eng berseru marah. "Buah tak akan jatuh terlalu jauh dari pohonnya!" Dengan ucapan ini Pek Eng mengingatkan bahwa Hay Hay tidak akan banyak berbeda dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu.
Mendengar ini, wajah Hay Hay berubah menjadi merah sedangkan matanya yang tadinya bersinar-sinar sekarang menjadi sayu dan muram, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, mendengar seruan gadis itu, Bu Hok tertarik dan dia segera mendesak,
"Eng-moi, dia ini putera siapakah?" Dia mengharapkan keterangan gadis itu dan menduga bahwa tentu pemuda itu putera seorang datuk sesat.
Akan tetapi Pek Eng telah merasa menyesal bahwa dia telah mengumbar kemarahannya. Dia menggeleng kepala dan menjawab dengan sikap acuh.
"Sudahlah, tidak perlu mengurus keadaan orang lain, Toako. Perlihatkanlah ilmu silatmu dan dia sebagai tamu kami boleh saja kalau mau menonton."
Bu Hok tidak mendesak, akan tetapi merasa penasaran bahwa pemuda itu telah disambut oleh Pek Eng dengan ciuman! Dia membayangkan alangkah mesranya mereka itu saling berciuman, dan makin dibayangkan, makin panaslah hatinya, panas oleh cemburu dan iri!
"Saudara Tang Hay, mendengar bahwa Saudara lihai sekali, maka marilah kita main-main sebentar untuk menggembirakan Nona rumah kita. Bagaimana?"
"Ahh, tidak, Song-kongcu, aku... aku tidak bisa..."
"Hemm, kenapa pura-pura? Kalau hanya untuk sekedar pi-bu (pertandingan silat) secara persahabatan, apa salahnya?" Pek Eng berkata.
"Tidak, aku tidak berani main-main dengan Song-kongcu. Silakan Kongcu bersilat sendiri, biar aku menonton saja untuk menambah pengetahuanku."
Song Bu Hok membusungkan dadanya, merasa bangga sekali. Orang ini tidak berani! Dia tersenyum mengejek, mengangguk dan berkata kepada Pek Eng. "Kalau dia tidak berani, aku pun tidak perlu memaksanya. Lihatlah, aku akan bermain pedang, Eng-moi, dan coba engkau menilainya, apakah permainan pedangku cukup baik." Berkata demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya lantas nampaklah sinar terang berkelebat ketika pedang itu telah tercabut dari sarungnya. Sebatang pedang yang bagus, berkilauan saking tajamnya, terbuat dari baja yang pilihan.
Song Bu Hok memang bertubuh gagah dan kini dia sudah beraksi dengan pedangnya, memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, pedangnya menunjuk ke atas di depan dahinya, tangan kiri menyembah di dada, memang hebat bukan main. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan nyaring dan pedangnya berkelebat, lantas nampaklah gulungan sinar terang berkelebatan ketika pedangnya digerakkan dengan cepat dan kuat.....