Gadis itu mengangkat muka memandang, kemudian sambil menangis dia menubruk dan merangkul Hay Hay, menangis di dada pemuda itu. Tentu saja Hay Hay merasa senang sekali karena gadis itu memang amat manis. Otomatis tangannya mengusap-usap rambut itu, dibelainya rambut itu dan dia pun balas merangkul. Sampai beberapa lamanya gadis itu berada di dalam pelukannya.
"Nona manis, di manakah rumahmu? Hari sudah hampir malam, sebaiknya kalau engkau pulang saja," akhirnya Hay Hay berkata sesudah bajunya di bagian dada menjadi basah oleh air mata gadis Yi itu.
Gadis itu melepaskan diri lalu bicara dalam bahasa Yi. Akan tetapi karena Hay Hay tidak mengerti, gadis itu lalu menuding-nuding ke arah letak dusunnya. Hay Hay mengangguk, kemudian menggandeng tangan dara itu, diajaknya pulang ke dusunnya. Mereka berjalan sambil bergandeng tangan dan biar pun mereka tak dapat saling bicara, akan tetapi setiap kali gadis itu menoleh dan memandang wajahnya, Hay Hay dapat menangkap sinar mata penuh rasa syukur dan terima kasih terpancar dari sinar mata yang bening itu.
Seorang gadis yang amat manis, pikirnya senang bahwa secara kebetulan dia sudah bisa menyelamatkan gadis ini dari tangan dua orang penculiknya. Dia membayangkan betapa malam ini dirinya akan diterima sebagai tamu agung oleh keluarga gadis itu, dijamu dan memperoleh kamar yang enak di mana dia bisa membiarkan tubuhnya yang terasa penat itu untuk beristirahat!
Karena berpikir demikian, wajah Hay Hay menjadi cerah, berseri dan mulutnya tersenyum ketika dia bersama dara itu tiba di luar pintu gerbang dusun tempat tinggal suku bangsa Yi itu dan melihat beberapa orang keluar dari pintu gerbang lalu bicara dengan hiruk-pikuk sambil menuding-nuding ke arah dia dan gadis itu.
Dara itu melepaskan tangannya yang digandeng Hay Hay, kemudian berlari menghampiri kelompok orang itu, bicara kepada mereka sambil tangannya menuding ke arah Hay Hay, agaknya menceritakan apa yang telah terjadi. Akan tetapi seorang di antara mereka, yaitu seorang pemuda yang bertubuh jangkung, mengeluarkan suara keras lantas menampar gadis itu.
Gadis itu menjerit, lalu menjatuhkan diri bersimpuh sambil menangis. Melihat ini, Hay Hay terkejut sekali dan cepat dia berlari menghampiri mereka. Orang-orang itu mengurungnya dengan sikap mengancam.
Demikianlah keadaan di sana ketika Pek Eng tiba dan gadis ini mengintai untuk melihat dan mendengar apa yang sudah terjadi. Dia melihat sikap pemuda Han yang tenang dan tersenyum-senyum itu. Seorang di antara para pengepung itu yang agaknya merupakan satu-satunya di antara mereka yang pandai berbahasa Han, segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya dengan marah kepada Hay Hay.
"Engkau telah menodai nama baik keluarga Hamani!"
Hay Hay mengerutkan alisnya. "Aku? Menodai nama baik keluarga orang? Hemmm, apa kesalahanku? Dan siapa itu Hamani?"
Tiba-tiba gadis itu bangkit berdiri, menghampiri Hay Hay dan dengan muka ketakutan dia bicara dalam bahasa Yi sambil menepuk dada sendiri dan berkata, "Hamani."
Maka mengertilah Hay Hay bahwa gadis yang ditolongnya itu bernama Hamani. Agaknya dia sedang dimarahi oleh orang banyak dan agaknya membutuhkan perlindungannya pula. Maka, dengan sikap melindungi dia merangkul pinggang gadis itu.
"Jangan takut, Hamani, aku akan melindungimu," bisiknya.
Melihat ini, orang-orang itu makin ribut dan menuding-nuding. "Orang asing, engkau telah menggandeng dan merangkul Hamani. Tak seorang pun laki-laki boleh memeluk seorang gadis kecuali dia menjadi tunangannya atau suaminya."
Hay Hay kaget sekali, maka otomatis rangkulannya pada pinggang ramping itu pun cepat dilepaskan. "Akan tetapi aku... aku hanya menolongnya dari ancaman orang-orang jahat, dan aku hanya ingin melindungi...!" Dia memprotes keras.
"Apa lagi engkau seorang asing, telah berani menghina seorang gadis kami. Oleh karena itu engkau harus ikut bersama kami untuk melangsungkan pernikahan!"
Kalau pada saat itu ada kilat menyambarnya, belum tentu Hay Hay akan sekaget seperti ketika mendengar ucapan orang itu. Sepasang matanya terbelalak lantas dia mundur dua langkah, menjauhi Hamani. Menikah? Apa-apaan ini? Dia menggelengkan kepalanya.
"Tidak, aku tidak mau menikah," katanya.
Pek Eng mendengarkan semua itu dan hatinya merasa geli. Dia tahu akan peraturan dan kebiasaan suku bangsa Yi. Kalau seorang gadis sudah mau digandeng, apa lagi dipeluk oleh seorang pemuda, maka berarti bahwa gadis dan pemuda itu saling mencinta. Dan bagi keluarga gadis itu tentu akan merasa ternoda dan terhina kalau si pemuda tidak mau menikah dengan gadis yang sudah ‘dinodainya’ itu, dalam arti kata, diperlakukan dengan mesra di depan umum.
Mendengar penolakan Hay Hay, orang itu segera menterjemahkannya ke dalam bahasa Yi kemudian marahlah orang-orang itu.
"Dia menghina kita!"
"Dia hendak mempermainkan gadis kita!"
"Orang asing ini harus dibunuh sebagai musuh kalau dia tidak mau mengawini Hamani!" Ucapan yang terakhir ini dikeluarkan oleh pemuda yang tadi menampar Hamani karena dia adalah kakak kandung gadis itu.
Mendengar betapa pemuda yang tadi menolongnya itu menolak untuk menjadi suaminya, Hamani sendiri terkejut dan dia pun berlari menghampiri Hay Hay dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dalam bahasa Yi dia berteriak-teriak. "Engkau telah menyelamatkan aku, aku pun sudah menyerahkan diri dan engkau menerimaku, memelukku, menggandengku, memandangdengan mesra, kita telah sama-sama tersenyum dan sepakat dalam pandang mata kita, dan sekarang kau... kau menolak untuk menikah dengan aku? Aihh…, engkau merayuku dan hendak meninggalkanku? Engkau jahat... jahat sekali...!" Dan kini Hamani menggunakan kedua tangannya untuk memukul dan mencakar muka Hay Hay.
Hay Hay tidak mengerti tentang semua itu, akan tetapi melihat sikap Hamani, dia terkejut dan cepat dia mengelak ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, semua orang telah maju dengan sikap mengancam untuk menyerangnya.
Hay Hay merasa bingung sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia akan menerima penyambutan seperti ini! Tidak ada gunanya untuk membela diri dengan kata-kata karena agaknya di antara mereka hanya seorang saja yang dapat mengerti bahasanya. Dan tidak ada gunanya melayani mereka yang marah-marah itu, maka dia pun cepat membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tempat itu!
"Kejar...!"
"Tangkap...!"
"Hajar dia...!"
Orang-orang itu segera mengejarnya, akan tetapi Hay Hay telah berlari cepat memasuki hutan yang mulai gelap.
Pek Eng yang melihat semuanya ini, diam-diam merasa geli hatinya. Biarlah, pemuda itu memang perlu dihajar, pikirnya. Tadi pemuda itu tentu telah mempergunakan ketampanan wajahnya yang selalu cerah tersenyum-senyum itu untuk memikat hati Hamani, namun dia tak berani bertanggung jawab dan malah menolak ketika disuruh mengawini gadis itu. Bukan urusannya!
Dia pun kemudian meninggalkan tempat itu untuk kembali ke perkampungannya sendiri. Dibatalkan niatnya untuk berkunjung ke dusun orang-orang Yi itu. Dia merasa tidak enak sebab pemuda itu adalah bangsa Han, bangsanya. Jika dia berkunjung, tentu percakapan akan mengenai pemuda Han itu dan bagaimana pun juga, dia akan merasa tersinggung.
Hemmm, pemuda mata keranjang tukang perayu, rasakan kau sekarang, pikirnya sambil tersenyum geli, akan tetapi juga jengkel terhadap pemuda itu. Hamani adalah kembang dusun itu dan dia mengenalnya sebagai seorang gadis yang baik.
Betapa pun juga, sedikit ketegangan karena peristiwa di dusun suku Yi tadi telah banyak mengurangi perasaan kesal dan dongkolnya yang dibawa dari rumah tadi, dan begitu tiba di pintu gerbang, ternyata para penjaga masih berada di sana menunggunya dan segera membukakan pintu. Hal ini membuat dia semakin tenang dan dia pun kembali ke rumah keluarganya, langsung masuk ke kamar dan tidur…..
********************
Dengan sikap uring-uringan Hay Hay merebahkan tubuh di antara cabang-cabang pohon yang tinggi itu. Sialan, dia mengomel. Membayangkan sambutan yang meriah dan ramah ternyata yang diterima adalah caci maki bahkan serangan dan ancaman! Membayangkan tidur nyenyak dengan perut kenyang di dalam kamar yang bersih dan di atas tempat tidur beralaskan kasur dan bantal, tetapi ternyata kini dia rebah tak enak sekali di atas cabang pohon, di antara ranting dan daun, kotor dan basah, dengan perut lapar pula!
Sialan! Sialan gadis itu, pikirnya penasaran. Ditolong malah mencelakakan! Itu namanya dia memberi air susu dibalas air tuba! Namun gadis itu manis, dan pinggangnya ramping sekali. Dia lalu membayangkan dan senyumnya muncul kembali. Bagaimana pun juga dia telah merangkulnya, merasakan kehangatan tubuhnya, kelembutan kulitnya, dan berjalan bersama sambil bergandeng tangan! Kawin? Sialan! Siapa yang ingin kawin?
Dengan keadaan gelisah akhirnya Hay Hay dapat juga tidur nyenyak di antara ranting dan daun pohon, jauh tinggi di atas, aman dari pengejaran orang-orang Yi yang sama sekali tidak menyangka bahwa orang buruan mereka itu berada di atas pohon yang tinggi, yang beberapa kali mereka lewati.
Pada keesokan harinya Hay Hay baru terbangun setelah mentari menembuskan sinarnya di antara celah-celah daun dan menimpa mukanya. Sinar keemasan matahari pagi terlihat indah, seperti jalur-jalur benang emas di antara daun-daun.
Hay Hay bangkit duduk, kemudian berdiri di atas cabang yang paling tinggi, memandang ke kanan kiri untuk melihat apakah masih ada orang-orang Yi yang mencarinya di tempat itu. Sunyi saja di sekeliling pohon itu, akan tetapi dia melihat sesuatu yang menarik.
Tak jauh dari situ, di lereng bukit, dia melihat tembok perkampungan sehingga jantungnya berdebartegang. Dia mengenal bentuk pagar tembok orang-orang Han. Perkampungan itu tentu perkampungan orang Han dan agaknya dia akan dapat mencari keterangan tentang keluarga Pek yang kabarnya tinggal di sekitar pegunungan ini.
Dia lalu meloncat turun setelah mengikatkan buntalan pakaian yang tadi dipakai sebagai bantal itu di punggungnya. Hay Hay segera keluar dari hutan itu dan menuju ke arah bukit di mana dia tadi melihat ada pagar tembok sebuah perkampungan. Tidak lama kemudian dia sudah berdiri di depan pintu gerbang perkampungan Pek-sim-pang! Hatinya gembira bukan main ketika dia melihat papan dengan huruf-huruf besar PEK SIM PANG terpasang di depan pintu gerbang itu.
Tidak salah lagi, inilah perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal keluarga Pek yang merupakan satu-satunya keluarga di dunia ini yang bisa menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya dan siapa pula orang tuanya! Jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga keharuan.
Pagi itu suasana di situ masih sunyi. Pintu gerbang agaknya baru saja dibuka dan masih nampak kesibukan di sebelah dalam perkampungan itu, tetapi tidak nampak orang keluar masuk.
Tiba-tiba saja muncul seorang gadis yang membuat Hay Hay membelalakkan matanya. Seorang gadis yang baru saja berangkat dewasa, berusia antara enam belas atau tujuh belas tahun. Mata itu, bibir itu! Mempesonakan! Dengan wajah penuh senyum cerah Hay Hay melangkah maju menghampiri gadis yang baru keluar dari pintu gerbang itu.
Gadis itu adalah Pek Eng. Begitu dia melihat Hay Hay, alisnya berkerut. Tentu saja dia langsung mengenal pemuda yang tadi malam menjadi orang buruan suku Yi. Kiranya dia dapat melarikan diri, pikirnya. Melihat pemuda itu menghampirinya dengan wajah berseri, pandang mata bersinar dan mulut tersenyum-senyurn, Pek Eng menghardiknya.
"Mau apa kau cengar-cengir di sini?! Hayo pergi atau aku akan menyeretmu ke dusun orang-orang Yi agar engkau dihukum!"
Hay Hay membelalakkan matanya. "Ehhh? Bagaimana Nona tahu? Pernahkah kita saling bertemu? Rasanya belum pernah biar pun aku akan merasa berbahagia sekali jika dapat bertemu dengan Nona, walau pun hanya dalam mimpi."
Selama hidupnya belum pernah Pek Eng menghadapi seorang lelaki yang bicara seperti ini, maka dia tertegun, hatinya tertarik untuk mengetahui dan bertanya, "Kenapa merasa berbahagia kalau bisa bertemu denganku?" Pemuda ini memang tampan dan mempunyai wajah yang ramah menyenangkan dan menarik hati, pikirnya sambil menatap wajah Hay Hay.
Kini Hay Hay juga memandang dengan penuh kagum. Setelah tadi membuka mulut dan bicara, nampak jelas bahwa gadis ini memang manis bukan main, ketika menggerakkan mulutnya, muncullah lesung pipit di pipi sebelah kiri. Dan sinar mata gadis itu pun begitu penuh gairah hidup, wajahnya membayangkan kelincahan dan kejenakaan. Seorang dara pilihan di antara seribu!
"Kenapa, Nona? Siapa yang tidak akan berbahagia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita dan manis sepertimu ini?"
Pek Eng adalah seorang gadis yang lincah jenaka, pandai berdebat. Akan tetapi kemarin sore dia sudah melihat pemuda ini hampir dikeroyok orang karena berani bermain-main dengan seorang gadis Yi. Kiranya seorang pemuda yang pandai merayu wanita, dengan kata-kata manis.
"Hemm, engkau memang seorang mata keranjang dan perayu. Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat memikat aku dengan rayuan gombalmu itu, ya? Hayo lekas pergi dari sini, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajarmu!"
Hay Hay membuka mata lebar-lebar dan mulutnya mengomel. "Hayaaa... agaknya daerah ini ditinggali oleh orang-orang yang ringan mulut ringan tangan, mudah menghajar orang yang tidak bersalah. Nona yang baik, jauh-jauh aku datang untuk bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang, maka ijinkanlah aku masuk dan menghadap Pek-sim Pangcu (Ketua)."
Pek Eng mengerutkan alisnya. Orang ini betul-betul tak tahu diri. Mau apa minta bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang? Dia tidak percaya jika ayahnya mengenal seorang pemuda seperti ini. Tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat lantas dia bertanya dengan suara agak gemetar.
"Kau... kau... siapakah namamu...?"
Hay Hay merasa terkejut juga melihat perubahan pada wajah gadis cantik ini. Kalau tadi nampak galak dan lincah, kini nampaknya pucat dan suaranya gemetar. Dia merasa tidak tega untuk bermain-main lagi, maka dengan suara sungguh-sungguh dia pun menjawab,
"Namaku Hay, biasa dipanggil Hay Hay..."
Wajah itu nampak lega akan tetapi masih ragu-ragu. "Benarkah? Namamu bukan... Han Siong...?"
Hay Hay tersenyum lebar. "Aihh, kalau namaku Han Siong, mengapa aku harus mengaku Hay Hay? Aku tidak mempermainkanmu, Nona, aku tidak berani. Namaku Hay Hay, dan aku ingin sekali bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang..."
"Apakah engkau mengenal ayahku?"
Kini Hay Hay terkejut bukan main. "Eh, jadi Nona... engkau adalah puteri Pek-sim-pang?"
"Benar, sekarang jawab, apakah engkau mengenal ayahku?"
Hay Hay menggelengkan kepala.
"Kalau begitu pergilah dan jangan ganggu kami lagi. Pergilah sebelum ada orang Yi yang datang ke sini dan mengenalmu. Engkau tentu akan diseret!"
"Tidak, Nona, aku harus menghadap Pangcu lebih dulu. Aku mempunyai keperluan yang teramat penting...," Hay Hay mendesak.
Pada saat itu tujuh orang penjaga pintu gerbang murid-murid Pek-sim-pang sudah keluar akibat mereka tertarik oleh keributan antara nona mereka dengan seorang pemuda asing.
"Pek-siocia, apakah yang terjadi?"
"Siapakah dia ini?"
Pek Eng menoleh kepada para penjaga itu. "Dia seorang pendatang yang kemarin sudah membuat keributan di perkampungan orang Yi dan sekarang minta bertemu dengan ayah. Suruh dia pergi dan jangan mengganggu lebih lanjut," kata Pek Eng dan dia pun masuk ke dalam gardu penjagaan di pintu gerbang dengan sikap tidak peduli lagi.
"Eh, sobat. Kalau engkau datang untuk minta pekerjaan, di sini tidak ada pekerjaan," kata komandan jaga kepada Hay Hay.
"Aku datang bukan ingin minta pekerjaan atau minta apa pun, aku datang untuk bertemu dengan Pek-sim Pangcu sebab ada satu hal yang amat penting bagiku untuk kutanyakan kepada Pangcu. Harap kalian suka menyampajkan hal ini kepada Pangcu agar aku dapat diterima menghadap."
Karena tadi Pek Eng sudah memberi perintah agar pemuda ini diusir, maka para anggota Pek-sim-pang itu bersikap keras. "Tidak bisa, Pangcu tak boleh diganggu dan Siocia tadi sudah minta agar engkau pergi. Pergilah dan jangan ganggu kami," kata komandan jaga.
Hay Hay mengerutkan alisnya dan melirik ke arah Pek Eng yang sudah duduk di bangku tempat jaga dengan sikap acuh. Dia menarik napas panjang lalu berkata seperti kepada dirinya sendlri. "Sudah ribuan li jauhnya aku melakukan perjalanan dan mendengar bahwa Pek-sim-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi melihat kenyataannya, lebih tepat kalau huruf Pek (Putih) di diganti dengan Hek (Hitam) saja!"
"Ee-eeeh-eeehhh!" Tiba-tiba saja tubuh Pek Eng meluncur dari dalam gardu itu.
Bagaikan seekor burung terbang saja dia melayang dan tiba di depan Hay Hay, bertolak pinggang. Walau pun masih agak sipit, matanya terbelalak mencorong penuh kemarahan, dan dia berdiri tegak, dada dibusungkan, kepala ditegakkan dan dua tangannya bertolak pinggang, lalu tangan kirinya bergerak, telunjuknya yang bentuknya agak melengkung itu, kecil mungil, menunjuk ke arah hidung Hay Hay.
"Apa kamu bilang tadi? Engkau menghina kami, ya? Apa maksudmu mengatakan bahwa Pek-sim-pang harus diganti menjadi Hek-sim-pang (Perkumpulan Hati Hitam)?"
Hay Hay juga sudah marah karena dia tidak dibolehkan menghadap Ketua Pek-sim-pang. "Sikap kalianlah yang menyebabkan aku bermulut lancang, Nona. Nama perkumpulannya Pek-sim-pang, sepatutnya para anggotanya juga berhati putih. Hati putih berarti hatinya baik, akan tetapi melihat sikap kalian menerima kunjunganku sungguh jauh dari pada baik dan lebih pantas kalau kalian menjadi anggota Perkumpulan Hati Hitam saja."
"Keparat bermulut kotor! Kau muncul dan merayu anak gadis orang, kemudian melarikan diri ketika akan dikawinkan, sudah terlalu bagus perbuatanmu itu, ya? Kamu sendiri jahat, hatimu lebih hitam dari pada arang, masih berani memaki kami?"
"Pukul saja mulut lancang itu, Pek-siocia!" kata komandan jaga yang sudah marah sekali karena mendengar perkumpulannya dihina orang.
Para murid Pek-sim-pang sudah menghampiri Hay Hay dengan sikap mengancam. Pada saat ini terdengarlah suara yang berat, "Omitohud... orang-orang Pek-sim-pang sekarang hanya menjadi tukang-tukang pukul yang suka mengeroyok orang!"
Pek Eng dan murid-murid Pek-sim-pang terkejut sekali dan cepat menengok. Kiranya di situ telah berdiri tiga orang pendeta Lama. Usia mereka antara enam puluh sampai enam puluh lima tahun, memakai jubah panjang berwarna kuning dengan garis-garis merah.
Pek Eng dan para murid Pek-sim-pang telah mendengar belaka akan riwayat perkumpulan mereka yang terpaksa lari mengungsi dari Tibet karena ulah para pendeta Lama ini. Apa lagi Pek Eng. Sejak kecil dia mendengar mengenai peristiwa yang menimpa keluarganya, gara-gara para pendeta Lama ingin merampas kakaknya yang mereka namakan Sin-tong. Maka, sejak kecil sudah tertanam perasaan tidak suka kepada para pendeta Lama. Kini di situ muncul tiga orang pendeta Lama, maka seketika dia dan para murid Pek-sim-pang tidak lagi memperhatikan Hay Hay yang dianggap tidak penting.
"Apakah kalian bertiga adalah pendeta-pendeta Lama dari Tibet?" tanya Pek Eng dengan sikap yang sama sekali tidak menghormat.
Bukan wataknya demikian. Dia cukup terdidik baik dan biasanya dia bersikap sopan dan halus terhadap orang-orang tua, apa lagi terhadap pendeta. Akan tetapi, karena memang dia sudah merasa sakit hati kepada pendeta-pendeta Lama, maka kini dia bersikap kasar ketika menduga bahwa tiga orang ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet.
"Omitohud, tak keliru dugaanmu, Nona. Kami adalah tiga orang pendeta Lama dari Tibet. Kami ingin bertemu dengan Pek Kong atau ayahnya, Pek Ki Bu," kata seorang di antara mereka yang mukanya penuh bopeng dan matanya melotot lebar.
"Aku adalah Pek Eng, puteri Ketua Pek-sim-pang. Tidak perlu bicara dengan ayahku, bila mana ada keperluan, cukup kalian bicara saja dengan aku. Mau apakah kalian datang ke tempat kami ini?" Hatinya makin kesal membayangkan betapa keluarganya bersama para anggota Pek-sim-pang terpaksa melarikan diri karena ulah orang-orang ini.
Tiga orang pendeta itu saling pandang, kemudian Si Muka Bopeng yang agaknya menjadi wakil pembicara mereka, berseru. "Omitohud...! Ternyata Nona adalah puteri Pek Kong? Jadi Nona adalah Adik Sin-tong... hemmm, baiklah, kami akan bicara denganmu, Nona. Sampaikan kepada Ayahmu bahwa kami datang untuk menagih hutang. Sudah dua puluh tahun kami menunggu dengan sabar, kini Sin-tong telah menjadi dewasa, maka keluarga Pek harus menyerahkan Sin-tong kepada kami!"
Hati Pek Eng yang sudah sakit dan marah terhadap para pendeta Lama, kini tentu saja menjadi semakin panas mendengar ucapan pendeta muka bopeng itu. Ia pun melangkah maju, membusungkan dadanya dan suaranya nyaring dan keras penuh kemarahan ketika dia membentak,
"Kalian iblis-iblis neraka yang menyamar menjadi pendeta-pendeta, seperti harimau yang berkerudung bulu domba! Kalian adalah manusia-manusia terkutuk yang sudah membuat kakak kandungku sejak lahir berpisah dengan keluarga kami. Masih belum puaskah kalian yang jahat ini mengacau keluarga kami sampai dua puluh tahun sehingga kini datang lagi. Sungguh manusia-manusia terkutuk macam kalian ini harus dibasmi!"
Kini sudah ada dua belas orang anak murid Pek-sim-pang yang berkumpul di sana dan mendengar kata-kata keras nona mereka, empat orang yang berada paling depan sudah menerjang pendeta Lama muka bopeng itu.
"Pergilah!" pendeta Lama itu membentak sambil mengebutkan lengan bajunya ke depan, menyambut serangan empat orang itu. Empat orang itu seperti daun-daun kering dilanda angin keras, tubuh mereka terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan di atas tanah.
Melihat ini, delapan orang murid Pek-sim-pang lainnya cepat mengikuti gerakan Pek Eng yang sudah mengepung tiga orang pendeta Lama itu. Pek Eng telah mencabut sebatang pedang, juga delapan orang itu mengambil senjata masing-masing. Empat orang murid yang tadi roboh ternyata tidak terluka berat dan mereka pun kini ikut mengepung.
"Omitohud, ternyata Pek-sim-pang kini hanyalah menjadi perkumpulan para tukang pukul yang beraninya hanya main keroyokan saja!" kakek pendeta yang bermuka bopeng itu kembali berseru mengejek.
Mendengar ini, Pek Eng lantas membentak para murid itu. "Kalian mundurlah dan jangan mengeroyok! Biarkan aku menghadapi anjing gundul muka bopeng ini!" Kemarahan Pek Eng telah memuncak sehingga dia tidak ingat akan sopan santun lagi, kini secara terang-terangan dia memaki pendeta Lama itu sebagai anjing!
Pendeta Lama termuda di antara mereka lalu maju, dan dengan bahasa Han yang lucu dan patah-patah dia kemudian berkata, "Omitohud, biarlah pinceng yang melayani Nona ini, Suheng."
Kiranya pendeta ini sute dari Si Muka Bopeng. Dia seorang pendeta yang tubuhnya kurus sekali, bagaikan tulang-tulang dibungkus kulit saja. Wajah pendeta Lama ini mengerikan sekali, mukanya mirip seperti tengkorak hidup, sepasang mata yang cekung itu nampak kehitaman. Dia melangkah maju sambil mengebutkan jubah kuningnya. Si Muka Bopeng mengangguk lalu mundur, berdiri di samping pendeta lainnya yang sejak tadi diam saja.
"Huh, engkau ini anjing kurus kurang makan mau banyak menjual lagak di sini? Lekaslah menggelinding dari sini!" bentak Pek Eng yang marah.
Gadis ini sudah melangkah maju dan mengirim tendangan yang cepat dan kuat dengan kaki kanannya. Tendangan itu cepat datangnya, mengarah ke pusar lawan, gerakannya seperti terputar dan ini merupakan tendangan khas dari ilmu silat keluarga Pek, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Pek-sim-kun.
"Hemm, gadis manis yang ganas!" terdengar pendeta kurus kering itu berseru perlahan, akan tetapi dengan miringkan tubuhnya dia dapat mengelak dari sambaran kaki Pek Eng, tangannya menyambar untuk menangkap kaki yang menendang itu.
Melihat ini, Hay Hay mengerutkan alisnya. Biar pun mengenakan pakaian jubah pendeta, akan tetapi orang ini memiliki hati yang condong ke arah kecabulan dan kekurang ajaran, pikirnya. Dia sendiri tidak akan tega, bahkan malu sendiri kalau menyerang dengan cara menangkap kaki lawan yang merupakan seorang gadis remaja!
Akan tetapi pedang di tangan Pek Eng berkelebat menyambut tangan pendeta Lama itu! Sang Pendeta segera menarik kembali tangannya, membuat langkah memutar sehingga tubuhnya berputar dan sesudah membalik, dia langsung membalas dengan cengkeraman tangannya ke arah kepala Pek Eng. Sungguh merupakan serangan yang amat ganas dan juga berbahaya sekali!
Begitu melihat gerakan-gerakan mereka, Hay Hay sudah maklum bahwa agaknya lawan gadis itu lebih unggul dan lebih berbahaya, maka diam-diam dia sudah siap siaga untuk membantu dan menyelamatkan kalau sampai gadis itu terancam bahaya. Tentu saja dia menaruh perhatian besar atas peristiwa ini, peristiwa yang memiliki hubungan dekat sekali dengan dirinya.
Dia masih ingat betapa ketika masih kecil dia menjadi rebutan orang-orang sakti, karena dia disangka Sin-tong. Ternyata sampai sekarang para pendeta Lama di Tibet itu masih saja meributkan urusan Sin-tong dan masih merasa penasaran, berani datang menyerbu Pek-sim-pang untuk menuntut agar Sin-tong yang sekarang sudah dewasa itu diserahkan kepada mereka!
Pek Eng dapat bergerak lincah sekali. Ketika melihat sambaran tangan dengan lengan baju lebar itu ke arah kepalanya, dia cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik, lalu memutar pedangnya dan membuat serangan lagi. Pedangnya yang diputaar-putar itu mendahului gerakan kakinya ke depan dan tiba-tiba pedang meluncur menjadi serangan tusukan ke arah dada pendeta Lama yang kurus kering.
"Trakkk...!"
Pedang pada tangan Pek Eng terpukul miring sehingga gadis itu harus mempertahankan pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya saking keras dan kuatnya tangkisan pendeta itu. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sang Pendeta untuk mencengkeram pundak Pek Eng dari samping.
Tetapi gadis itu memiliki gerakan lincah dan gesit sekali. Dalam keadaan yang berbahaya itu dia masih sempat melempar tubuh ke atas tanah, bergulingan menjauh dan melompat bangun lagi setelah terbebas dari ancaman lawan. Bukan main marahnya hati Pek Eng. Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan menyerang lagi.
Hay Hay kini siap siaga. Gadis itu telah nekat dan ini tandanya dia terancam bahaya. Ilmu silat gadis itu memang cukup baik, apa lagi dia mempunyai ginkang yang lumayan, yang membuat tubuhnya dapat bergerak dengan gesit sekali, akan tetapi dalam hal kepandaian silat, jelas dia masih kalah jauh dibandingkan pendeta kurus kering itu. Apa bila dia tetap nekat menyerang, maka dia dapat celaka.
Terjangan Pek Eng disambut dengan senyum dingin oleh pendeta kurus kering. Beberapa kali dia mengelak dan mengebutkan lengan baju, mencari kesempatan sambil melindungi diri. Pada saat tangkisan kebutan lengan bajunya kembali membuat tubuh dara itu miring, kakinya menendang cepat.
Pek Eng berusaha menarik kakinya dan cepat miringkan tubuh, tetapi tetap saja pahanya tersentuh ujung sepatu lawan dan dia pun terpelanting, lalu cepat bergulingan menjauhi. Ketika dia meloncat bangun, mukanya agak pucat, pakaiannya kotor dan kakinya sedikit terpincang. Akan tetapi agaknya dia tidak menjadi kapok bahkan kini dia memutar pedang di atas kepala untuk melakukan serangan lebih nekat lagi. Pada saat itu pula muncullah beberapa orang keluar dari pintu gerbang.
"Eng-ji, tahan senjata!" terdengar bentakan orang dan Pek Eng terpaksa menghentikan gerakan pedangnya ketika mendengar suara ayahnya. Dengan muka merah saking marah dan penasaran, dia lalu berdiri dengan pedang masih di tangan.
Pek Kong dan Pek Ki Bu sudah berdiri di situ bersama Souw Bwee dan beberapa murid Pek-sim-pang yang lebih tua. Melihat betapa Pek Eng berkelahi dengan seorang pendeta Lama, Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya memandang kepada tiga orang pendeta Lama itu dengan alis berkerut.
Mereka berdua mengenal tiga orang pendeta Lama itu sebagai tokoh-tokoh para Lama di Tibet, tokoh tingkat tiga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Jangankan Pek Eng, walau pun Pek Kong sendiri bukan lawan mereka, dan Pek Ki Bu sendiri pun meragukan apakah dia akan mampu melawan seorang di antara mereka.
"Omitohud... selamat bertemu lagi, Pek-sim-pangcu!" kata pendeta Lama muka bopeng sambil menjura kepada Pek Ki Bu yang segera diturut oleh dua orang temannya.
Pek Ki Bu balas menjura lalu berkata, "Sam-wi keliru, sekarang bukan saya yang menjadi ketua, melainkan anak saya Pek Kong."
"Aih, maaf... maaf... kiranya Pek-taihiap telah memperoleh banyak kemajuan dan menjadi Ketua Pek-sim-pang," kata pula pendeta muka bopeng.
Pek Kong mengerutkan kedua alisnya dan menjura ke arah tiga orang pendeta itu. "Harap maafkan kalau puteri kami yang masih terlampau muda itu berlancang tangan dan mulut terhadap Sam-wi Losuhu. Akan tetapi, kami Pek-sim-pang agaknya sudah tidak memiliki urusan lagi dengan cu-wi di Tibet, maka, apakah maksud Sam-wi datang berkunjung ke tempat kami?" Kata-kata itu sopan dan merendah, namun mengandung teguran.
Sejak tadi Hay Hay memandang penuh perhatian dan dia merasa kagum kepada keluarga Pek itu. Mereka adalah orang-orang gagah, pikirnya.
"Perlukah Pangcu bertanya lagi? Sudah selama dua puluh tahun lebih kami bersabar dan kini terpaksa kami harus datang untuk menjemput Sin-tong yang kini tentu sudah menjadi dewasa, untuk mengangkatnya dengan upacara kebesaran agar menjadi seorang pendeta Lama, calon Dalai Lama."
Pek Kong mengerutkan alisnya sebab dia mendongkol bukan kepalang. "Pihak para Lama di Tibet sungguh terlalu mendesak orang!" dia berkata, nada suaranya jelas menunjukkan kemarahannya. "Semenjak kecil putera kami itu hilang entah ke mana dan hal ini semua orang juga mengetahui. Bahkan sebagai orang tuanya, kami merasa prihatin dan berduka karena kami tidak tahu dia berada di mana. Bagaimana sekarang Sam-wi datang-datang menuntut supaya kami menyerahkan putera kami itu? Kami sedang berduka, akan tetapi Sam-wi bahkan hendak menekan, sungguh sebuah perbuatan yang tidak layak dan tidak mulia sama sekali."
"Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni kita sekalian!" pendeta muka bopeng itu berseru, lantas dia pun tersenyum menyeringai. "Pangcu dapat saja membohongi orang lain, namun tidak mungkin membohongi Dalai Lama yang arif bijaksana dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di permukaan bumi. Menurut ramalan dan penglihatan tajam beliau, sekarang Sin-tong telah menjadi dewasa. Selama ini anak itu diberi nama Pek Han Siong, bukan? Dia sudah mempelajari ilmu-ilmu dan kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang perkasa. Nah, kalau dia belum pulang ke sini, katakan saja di mana dia dan kami akan segera menjemputnya, Pangcu."
"Kami tidak tahu!" Tiba-tiba saja Souw Bwee, isteri Pek Kong menjawab dengan suara mengandung isak. "Andai kata kami tahu sekali pun, tidak akan kami beri tahukan kepada kalian, pendeta-pendeta keparat!"
Sakit sekali rasa hati ibu yang dipisahkan dari puteranya ini. Rasa sakit hati yang selama ini terus dipendam sekarang meledak setelah melihat betapa tiga orang pendeta Lama itu mendesak.
"Omitohud..., Toanio, sungguh tidak baik memaki kami para pendeta. Toanio akan dikutuk dan akan hidup dalam kesengsaraan...," pendeta muka bopeng menegur.
"Aku tak peduli!" wanita yang sudah marah itu membentak. "Selama ini aku sudah hidup sengsara karena dipisahkan dari puteraku oleh kalian pendeta-pendeta busuk. Sekarang aku bahkan ingin membunuh kalian!" Berkata demikian, nyonya itu sudah bergerak maju menyerang Si Muka Bopeng. Suaminya kaget bukan main, akan tetapi sudah tak keburu mencegah.
"Plakkk!" Si Muka Bopeng menggerakkan tangan dan lengan bajunya yang panjang lebar itu menyambar. Tubuh nyonya itu terhuyung ke belakang.
"Ibuuuu...!" Pek Eng menubruk dan merangkul ibunya yang mukanya menjadi pucat.
Pipi kanan ibunya membiru dan darah mengalir dari mulutnya. Ternyata ujung lengan baju itu menampar muka dan biar pun tidak mengakibatkan luka berbahaya, namun pipi wanita itu bengkak dan membiru.....