"Kongkong, ke manakah Kongkong hendak membawa anakku...?" tanya isteri Pek Kong sambil mencucurkan air mata, memandang pada anak kandungnya yang sekarang sudah dipondong oleh kakek suaminya.
"Aku akan membawanya bersembunyi di Pegunungan Kun-lun di mana aku bertapa. Tak usah khawatir, kelak jika sudah tidak ada bahaya atau ancaman dari para pendeta Lama, tentu anak kalian akan kukembalikan kepada kalian. Aku akan menjaganya baik-baik dan akan mendidiknya."
Pada malam hari itu juga kakek Pek Khun kemudian pergi membawa cucu buyutnya yang dipondongnya dan dibawanya berlari cepat. Sementara itu Pek Kong sibuk merangkul dan menghibur isterinya yang menangis dengan sedih. Sungguh pun dia tahu bahwa anaknya berada di tangan orang yang akan melindunginya, dan walau pun dia sudah memperoleh penggantinya, seorang anak laki-laki yang bertubuh sehat dan montok, akan tetapi hati ibu muda ini tetap saja berduka karena harus berpisah dari anak kandungnya yang baru berusia dua bulan itu. Hanya dengan setengah hati dia suka menyusui anak yang dibawa oleh kakek Pek Khun.
Melihat keadaan isterinya itu, Pek Kong lalu minta bantuan seorang wanita pengasuh dan seorang nikouw untuk menjaga anaknya, setiap isterinya rewel dan minta diajak berlayar untuk menghibur hatinya. Mereka berdua sering naik perahu layar dan mencari ikan, suatu kesibukan yang kadang-kadang bisa mendatangkan kegembiraan di hati isteri Pek Kong dan membuat dia melupakan kedukaannya.
Ketika Lam-hai Siang-mo, yaitu Siangkoan Leng dan isterinya, Ma Kim Li, datang ke kuil itu dan menculik anak mereka, membunuh pengasuh dan nikouw kemudian meninggalkan mayat anak yang mukanya rusak, Pek Kong bersama isterinya juga sedang mencari ikan di tengah lautan. Mereka berdua sangat gembira karena pada waktu itu sedang musim udang sehingga jala mereka menghasilkan banyak udang besar.
Tentu saja mereka terkejut bukan main sesudah kembali ke kuil dan melihat betapa dua orang pengasuh anak itu telah tewas dan anak mereka telah ditukar dengan seorang anak sebaya yang sudah tewas pula dengan muka rusak! Hal ini sungguh mengejutkan hati mereka dan barulah mereka yakin benar bahwa memang anak mereka itu selalu diincar orang. Untuk memperkuat peristiwa itu, demi keselamatan anak mereka, suami isteri ini lalu menyebar-luaskan berita tentang pembunuhan anak mereka!
Benar saja! Begitu terdengar berita bahwa anak mereka yang di luaran terkenal sebagai Sin-tong itu terbunuh, seketika banyak orang aneh bermunculan dengan alasan melayat, akan tetapi yang sesungguhnya hendak membuktikan dan menyelidiki. Bahkan tiga orang pendeta Lama dari Tibet tiba-tiba muncul di ambang pintu dan mereka ini sengaja datang untuk memeriksa dan membuktikan sendiri mayat anak kecil itu!
Selain tiga orang pendeta Lama, di antara para tamu yang datang melayat terdapat pula suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan. Sepasang iblis ini datang terlambat sebab jenazah nikouw, pengasuh dan anak kecil itu sudah dikubur.
Akan tetapi, pada malam harinya mereka membongkar tiga kuburan itu lantas memeriksa keadaan mayat yang sudah hampir membusuk itu! Dari hasil pemeriksaan inilah mereka dapat menemukan jarum-jarum yang digunakan oleh Ma Kim Li untuk membunuh nikouw dan pengasuh, dan mereka pun bisa menduga siapa yang telah melakukan pembunuhan itu.
Mereka adalah orang-orang cerdik, karena itu mereka tak percaya bahwa anak kecil yang tubuhnya penyakitan dan mukanya rusak itulah yang dikabarkan sebagai Sin-tong, anak kandung suami isteri pendekar Pek! Suami isteri yang bertubuh sehat dan hidup bersih itu tak mungkin mempunyai anak berpenyakitan seperti itu. Tentu Lam-hai Siang-mo mencuri anak ajaib itu dan menukarnya dengan anak kecil yang mereka bunuh pula.
Memang sudah lama suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan bermusuhan dengan Lam-hai Siang-mo, juga mereka ingin sekali menemukan Sin-tong untuk dibawa kembali ke Tibet dan diserahkan kepada para pendeta Lama supaya mereka memperoleh hadiah benda-benda mukjijat. Oleh karena itu, mereka segera mulai melakukan pencarian sambil memperdalam ilmu silat mereka karena mereka maklum bahwa musuh besar mereka itu, Lam-hai Siang-mo, merupakan lawan yang tangguh.
Ketika itu Pek Kong dan isterinya merasa bahwa anak kandung mereka sudah aman dan mereka boleh kembali lagi ke Nam-co. Bukankah sesudah kini tersiar berita bahwa anak kandung mereka yang disebut Sin-tong dan diinginkan oleh para pendeta Lama itu tewas, mereka tak akan mengalami gangguan lagi? Karena itu mereka pun kemudian melakukan perjalanan kembali ke barat, menuju ke Nam-co.
Akan tetapi di tengah perjalanan mereka bertemu dengan orang tua mereka beserta para anggota Pek-sim-pang yang sedang berbondong-bondong menuju ke timur meninggalkan kota Nam-co! Tentu saja pertemuan itu amat mengejutkan dan apakah yang telah terjadi di Nam-co? Kiranya urusan Sin-tong menimbulkan banyak peristiwa yang menyedihkan.
Pada saat mendengar bahwa Pek Kong beserta isterinya melarikan diri dari kota Nam-co, para pendeta Lama menjadi amat marah. Mereka segera pergi mengunjungi perkumpulan Pek-sim-pang di Nam-co. Yang berangkat adalah lima orang pendeta Lama yang menjadi utusan para pimpinan Lama di kota Lha-sa.
Pek Ki Bu sudah menduga bahwa para pendeta Lama tentu tidak akan tinggal diam saja, maka dia pun sudah bersiap dan menyambut kedatangan kelima orang pendeta Lama itu dengan sikap ramah dan hormat. Para pendeta itu dipersilakan duduk, akan tetapi mereka tidak mau duduk dan sambil berdiri dengan sikap kaku mereka memandang pada Pek Ki Bu dengan alis berkerut. Seorang di antara mereka yang menjadi pimpinan lalu bertanya dengan suara lantang.
"Pek-pangcu, kami datang diutus oleh para pimpinan kami untuk menanyakan kesehatan putera pangcu dan terutama keadaan kandungan anak mantu pangcu."
Pek Ki Bu dapat menduga bahwa tentu para pendeta itu telah mendengar bahwa anaknya bersama mantunya sudah melarikan diri. Hal itu sudah lewat lima hari, maka dia merasa aman dan dengan sikap ramah dia menjawab. "Terima kasih banyak atas perhatian para suhu di Lha-sa. Keadaan mereka baik-baik saja berkat doa restu para suhu yang mulia."
"Siancai... kalau begitu bagus sekali! Harap Pangcu suka mempersilakan mantu Pangcu untuk keluar karena kami ingin menyaksikan sendiri keadaan kandungannya."
Pek Ki Bu tidak bermain sandiwara lagi. "Harap Ngo-wi Suhu ketahui bahwa Pek Kong dan isterinya tidak berada di rumah. Mereka sedang melakukan perlawatan ke timur untuk pulang ke kampung halaman karena mantu saya ingin melahirkan di sana, dekat dengan keluarga orang tuanya."
"Omitohud...!" Pendeta Lama itu membelalakkan mata, tindakan yang dibuat-buat karena sebenarnya dia pun sudah mendengar tentang kepergian mereka itu. "Bagaimana Pangcu memperbolehkan mereka pergi tanpa setahu dan seijin pimpinan kami?"
Inilah pertanyaan yang dinanti-nanti oleh ketua Pek-sim-pang. Dia mengerutkan alisnya. Memang harus diakuinya bahwa semenjak dulu, sejak ayahnya mendirikan Pek-sim-pang, keluarga Pek menjadi sahabat-sahabat baik dari para pimpinan pendeta Lama di Lha-sa. Akan tetapi sekali ini, dia menganggap bahwa pihak pendeta Lama terlalu mencampuri urusan dalam keluarganya.
"Ngo-wi Suhu harap suka mengingat bahwa Pek Kong adalah anakku dan isterinya adalah mantu kami. Jika mereka pergi mengunjungi keluarga di kampung halaman, jauh di timur, mereka cukup memperoleh ijin dari kami sebagai orang tuanya. Kenapa harus setahu dan seijin pimpinan para suhu di Lha-sa?"
"Omitohud...! Apakah Pangcu tidak tahu apakah pura-pura tidak tahu? Mantumu adalah wanita yang telah dipilih oleh Sang Buddha untuk melahirkan calon Guru Suci, calon Dalai Lama! Tentu saja selama mengandung, dia harus berada di bawah pengawasan kami dan dia tidak boleh pergi begitu saja tanpa ijin kami. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sin-tong?"
Hati Pek Ki Bu merasa amat mendongkol, akan tetapi dia menahannya karena dia pun tak ingin bermusuhan dengan para pendeta Lama. "Harap Ngo-wi jangan khawatir, mereka akan selamat. Dan pula, belum tentu menantuku akan melahirkan Anak Ajaib yang kelak akan menjadi Dalai Lama."
"Sudah pasti! Ramalan kami tak akan meleset. Yang dikandungnya adalah Sin-tong yang kelak akan menjadi pimpinan kami!"
"Ngo-wi harap jangan lupa bahwa bagaimana pun juga, yang dikandung itu adalah anak dari Pek Kong dan calon cucuku!" kata Pek Ki Bu dengan suara agak keras karena dia mulai marah.
"Omitohud, pertimbangan akal Pangcu benar-benar dangkal. Dalam hal ini keluarga Pek hanya dipinjam saja! Anak yang akan terlahir itu adalah untuk kami, untuk dunia, bukan untuk keluarga Pangcu pribadi. Sudahlah, harap Pangcu beri tahu ke mana mereka pergi, supaya kami dapat cepat menyusul dan mengajak mereka kembali ke sini atau langsung saja ke Lha-sa karena kandungannya sudah tua sehingga dia harus mendapat perawatan dan pengamatan langsung dari kami."
Marahlah Pek Ki Bu. "Para suhu sungguh keterlaluan dan tak memandang persahabatan lagi! Apa pun pendapat para suhu di Lha-sa tentang anak yang akan terlahir itu, dia tetap calon cucuku dan keluarga kami, dan kami yang paling berhak untuk menentukan tentang dirinya!"
"Siancai, sesungguhnya Pek-pangcu yang tidak memandang persahabatan. Tentu Pangcu sudah memaklumi bahwa seluruh wilayah di Tibet tunduk kepada pimpinan kami di Lha-sa dan pimpinan kami merupakan kekuasaan mutlak yang harus ditaati oleh seluruh orang yang tinggal di Tibet. Keluarga Pek sudah dipinjam serta dipilih untuk melahirkan seorang calon Dalai Lama, tapi Pangcu sekeluarga tidak bersyukur atas karunia itu, malah hendak memberontak dan hendak mengubah nasib yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Sekali lagi, harap Pangcu cepat memberi tahu di mana kami dapat menemukan kembali anak dan mantu Pangcu."
Wajah ketua Pek-sim-pang berubah merah dan para muridnya sudah siap siaga. Mereka semua memandang pada lima orang pendeta Lama itu dengan sinar mata tajam. Mereka tahu bahwa ketua mereka sudah marah terhadap bekas kawan-kawan baik itu.
"Dan sekali lagi kami tegaskan bahwa kami tak akan memberi tahukan kepada siapa pun juga!" jawab Pek Ki Bu.
"Siancai...! Berarti Pek-pangcu hendak menentang kami?!" bentak seorang di antara para pendeta Lama itu.
"Terserah penilaian Ngo-wi Suhu, akan tetapi kami tentu akan melawan mati-matian kalau kebebasan pribadi keluarga kami ditekan!"
"Bagus, agaknya Pek-sim-pang memang sudah siap untuk memberontak terhadap kami. Pek-pangcu, kini terpaksa kami harus menangkapmu dan menghadapkan Pangcu kepada pimpinan kami!"
Namun belum juga lima orang pendeta Lama itu bergerak melaksanakan ancamannya, para anak buah Pek-sim-pang telah bergerak mengurung dan menyerang mereka. Karena pertentangan itu hanya bersifat pertentangan pendapat dan didasari panasnya perasaan, bukan merupakan permusuhan, maka para murid Pek-sim-pang itu tidak ada yang berani menggunakan senjata. Mereka menyerang dengan kepalan tangan dan tendangan kaki.
"Omitohud... kalian mencari penyakit saja!" kata para pendeta Lama itu dan mereka pun bergerak berpencaran. Gerakan mereka kuat sekali, ada pun jubah mereka yang berwarna kuning dan sangat lebar itu berkibar-kibar ketika mereka bergerak menyambut serangan para murid Pek-sim-pang.
Tapi agaknya para anggota rendahan itu sama sekali bukan tandingan yang setimpal dari para pendeta Lama itu. Begitu bentrok, lima orang murid Pek-sim-pang terbanting roboh! Hal ini mengejutkan para murid kepala Pek-sim-pang. Biar pun hanya anggota rendahan, namun para murid itu rata-rata sudah memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, tidak mudah dirobohkan demikian saja. Akan tetapi, serangan mereka terhadap lima orang pendeta itu ternyata dalam sekali gebrakan saja membuat mereka sendiri terbanting keras dan tidak mampu melanjutkan perkelahian! .
Karena maklum bahwa para pendeta Lama ini lihai sekali, serentak sepuluh orang murid kepala Pek-sim-pang menerjang maju. Mereka disambut dengan tenang oleh lima orang pendeta itu dan sesudah berkelahi sebanyak sepuluh jurus, kembali ada lima orang murid Pek-sim-pang yang roboh.
"Para pendeta yang suka mencampuri urusan keluarga orang!" bentak Pek Ki Bu marah dan dia pun menerjang maju. Terjangan Pek Ki Bu disambut oleh seorang pendeta Lama yang melompat ke depan dan menangkis serangan ketua Pek-sim-pang itu.
"Dukkk...!"
Dua tenaga raksasa melalui saluran kedua lengan itu bertumbuk di udara dan akibatnya, Pek Ki Bu tertahan langkahnya, akan tetapi pendeta Lama itu pun terdorong mundur dua langkah! Hal ini membuktikan bahwa tenaga ketua Pek-sim-pang masih lebih besar dari pada lawannya.
"Omitohud, Pangcu sungguh kuat sekali!" Pendeta Lama itu berseru lantas dia pun maju dan menerjang lagi dengan dahsyatnya.
Pek Ki Bu mengelak dan balas menyerang dari samping yang juga berhasil ditangkis oleh lawannya. Akan tetapi, begitu Pek Ki Bu mainkan ilmu silat Pek-sim-kun (Ilmu Silat Hati Putih) yang merupakan ilmu keturunan dari keluarga Pek dan menjadi dasar dari ilmu-ilmu silat yang dilatih oleh para anggota Pek-sim-pang, pendeta itu segera terdesak hebat dan selalu main tangkis dan mundur. Dasar ilmu ini adalah dari ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi sudah disesuaikan dengan ilmu-ilmu silat lain yang digabung dan menjadi semacam ilmu silat khas dari keluarga Pek.
Melihat ini, dua orang pendeta Lama lainnya menerjang maju dan membantu kawannya. Kini Pek Ki Bu dikeroyok tiga orang pendeta yang sangat lihai dan perkelahian itu menjadi berimbang, bahkan keadaannya berbalik karena ketua Pek-sim-pang itu sekarang mulai terdesak.
Ada pun dua orang pendeta Lama yang lain, kini menghajar semua murid Pek-sim-pang yang berani melawan. Puluhan orang murid Pek-sim-pang sudah roboh terkena pukulan atau tendangan dan yang lain-lain mengeroyok dari kejauhan karena mulai merasa gentar menghadapi para pendeta Lama yang lihai itu.
Keadaan pihak Pek-sim-pang sungguh gawat. Ketuanya sendiri sudah terdesak terus dan sebentar lagi tentu akan roboh oleh tiga orang lawannya yang terlampau kuat baginya itu. Dan para anak muridnya juga sudah banyak yang roboh.
Tiba-tiba saja terdengar bentakan halus, "Omitohud...! Tidak pantas sekali antara sahabat sendiri menggunakan kekerasan seperti ini!"
Dan semua orang merasa betapa ada angin keras bertiup lalu nampak bayangan merah kuning yang melayang turun dari atas seperti seekor burung garuda raksasa. Lima orang pendeta Lama itu merasa seperti terdorong oleh kekuatan yang dahsyat luar biasa, yang membuat mereka berlima terpaksa mundur, dan pihak Pek-sim-pang juga terhuyung oleh kekuatan angin besar yang menarik mereka.
Ketika semua orang memandang, ternyata di sana sudah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul dan jubahnya yang lebar itu berkotak-kotak warna merah kuning, di tangan kirinya memegang seuntai tasbeh. Begitu melihat pendeta Lama tinggi besar dan berwajah lembut ini, lima orang pendeta Lama yang tadi berkelahi, terbelalak kaget dan cepat-cepat mereka itu menjura dengan sikap hormat!
"Mohon Kakek Guru sudi memaafkan, teecu sekalian berkelahi bukan karena terdorong nafsu ingin menggunakan kekerasan, melainkan karena berselisih pendapat dengan pihak Pek-sim-pang. Teecu diutus oleh pimpinan Dalai Lama di Lha-sa untuk mencari kembali ayah dan ibu calon Sin-tong yang sudah melarikan diri dengan diam-diam." Demikianlah seorang di antara mereka melapor.
Tentu saja mereka itu terkejut dan takut karena pendeta Lama raksasa ini masih terhitung kakek guru mereka. Para pimpinan di Lha-sa masih terhitung murid-murid keponakannya dan pendeta ini adalah See-thian Lama, seorang di antara Pat Sian (Delapan Dewa)!
Karena selama puluhan tahun pendeta ini tak pernah keluar dan sama sekali tidak dikenal orang luar, maka Pek Ki Bu sendiri pun tidak mengenalnya. Akan tetapi, melihat betapa hwesio Lama yang amat sakti itu disebut guru oleh pendeta Lama yang amat lihai itu, dia tahu bahwa pendeta Lama ini tentu memiliki kedudukan tinggi dan juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Maka dia pun cepat memberi hormat.
"Harap Lo-suhu sudi mengampuni kami. Sejak ayah kami mendirikan Pek-sim-pang, kami selalu menjadi sahabat-sahabat baik dari para pendeta Lama di Lha-sa dan kami pun tak pernah melakukan pelanggaran. Akan tetapi kali ini para pendeta Lama hendak menekan kami dalam urusan keluarga kami. Anak kami Pek Kong dan isterinya yang mengandung tua sedang pergi untuk berkunjung kepada keluarga mereka di kampung halaman karena isterinya ingin melahirkan di antara keluarganya di timur sana. Akan tetapi, para Lo-suhu di Lha-sa menghendaki agar mereka itu kembali dan bahkan hendak memaksa mereka kembali. Bukankah itu berarti bahwa para pendeta Lama di Lha-sa hendak memperkosa hak kebebasan keluarga kami? Mohon pertimbangan Lo-suhu yang seadil-adilnya."
See-thian Lama tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Pek-pangcu, pinceng kira tak perlu pinceng jelaskan lagi bahwa setiap orang manusia yang hidup di dunia ramai tidak akan dapat terbebas dari pada peraturan-peraturan yang diadakan oleh para penguasa setempat. Sudah menjadi peraturan dan kebiasaan di Tibet mengenai pemilihan Sin-tong, anak ajaib yang sudah ditentukan untuk kelak menjadi Dalai Lama. Dan kebetulan sekali yang terpilih adalah calon cucu Pangcu. Karena keluarga Pek bertempat tinggal di daerah Tibet, tentu saja Pangcu juga tidak terbebas dari pada peraturan itu. Nah, tentu saja para pimpinan Lama tidak dapat dianggap sewenang-wenang jika mereka itu ingin melindungi mantu Pangcu yang akan melahirkan Sin-tong, karena itu merupakan hak dan kewajiban mereka. Jika Pangcu menentang, berarti Pangcu menentang peraturan dan kepercayaan serta kebiasaan yang sudah berjalan sejak ratusan tahun yang lalu."
Pek Ki Bu dapat mengerti akan pendapat pendeta Lama yang tua ini dan dia pun tidak dapat membantah. Diam-diam dia mencari akal dan dia pun tahu bahwa ayahnya sudah mengatur rencana jangka panjang untuk menyelamatkan cucunya.
"Pendapat Lo-suhu memang tepat dan benar, dapat kami mengerti. Akan tetapi, anak dan mantu kami itu tak bermaksud melarikan diri, melainkan ingin melahirkan anak mereka di lingkungan keluarga di timur. Kami memang belum percaya benar bahwa mantuku akan melahirkan seorang Sin-tong yang memiliki tanda merah pada punggungnya. Bagaimana kalau kelak dia melahirkan anak yang tidak mempunyai tanda itu?"
"Tidak mungkin...!" kata seorang di antara lima pendeta Lama itu penuh semangat.
"Biasanya, perhitungan dan ramalan para pimpinan Lama tidak akan keliru, Pangcu. Akan tetapi kalau anak itu benar-benar terlahir tanpa tanda itu, berarti ada kekeliruan di dalam perhitungan itu dan tentu saja anak itu bukan Sin-tong."
"Bagus, kalau begitu kami berjanji. Apa bila anak itu nanti terlahir dengan tanda merah di punggungnya, maka kami akan mengantarkannya ke Lha-sa. Akan tetapi kalau tidak ada tandanya, kami minta agar cucuku itu dibebaskan."
"Biar kami yang menyaksikan apakah dia terlahir dengan tanda itu atau tidak. Kami harus mengetahui di mana mantumu itu supaya kami dapat mengamatinya dan melindunginya," seorang pendeta Lama berkeras.
"Kalau begitu, biar pun kami semua dibunuh, kami tidak akan mau memberi tahu di mana adanya anak dan mantuku!" Pek Ki Bu berkeras.
Kedua pihak sudah saling melotot lagi dan tentu akan terjadi perkelahian kelanjutan yang lebih mati-matian. Akan tetapi See-thian Lama mengangkat tangan ke atas, maka semua orang pun terdiam. Memang kepada pendeta Lama raksasa inilah kedua pihak agaknya minta pertimbangan dan keputusan.
"Omitohud... kekerasan tidak akan pernah dapat menciptakan perdamaian. Kalau urusan Sin-tong dicemari oleh kekerasan, perkelahian, apa lagi sampai bunuh-membunuh, maka kesucian yang diciptakan dengan lahirnya seorang Sin-tong akan ternoda. Ada peraturan di Lha-sa bahwa pimpinan Lama mempunyai hak untuk menentukan segala sesuatu yang berkenaan dengan penduduk di Tibet. Bila seorang Sin-tong akan terlahir di dalam wilayah Tibet, maka para pimpinan Lama boleh mengambil tindakan apa saja untuk mengambil anak itu. Akan tetapi kalau kebetulan Sin-tong dilahirkan di luar wilayah Tibet, ini adalah suatu hal yang sering pula terjadi, maka para Lama tidak berhak memaksa keluarga yang bersangkutan karena mereka bukan warga negaranya, meski pun tentu saja mereka juga akan berusaha sebisa-bisanya untuk menarik Sin-tong ke dalam biara. Nah, Pek-pangcu, kalau keluargamu dan seluruh anggota Pek-sim-pang tidak menjadi penghuni di Tibet lagi, maka tentu saja para pimpinan Lama di Lha-sa takkan memaksamu. Dengan kepindahan kalian dari sini, berarti kalian tidak harus tunduk terhadap peraturan, dan semua pertikaian mengenai anak itu akan habis sampai di sini saja."
Andai kata yang mengeluarkan pendapat ini bukan See-thian Lama, seorang yang amat dihormati oleh para pendeta Lama, mungkin sekali bisa menimbulkan kemarahan di pihak para pendeta karena nadanya seperti melindungi dan menasehati keluarga Pek dan anak buahnya. Sebaliknya, mungkin saja pihak Pek-sim-pang akan merasa terhina atau seolah diusir. Akan tetapi para pendeta Lama itu diam saja dan hanya memandang kepada Pek Ki Bu dan anak buahnya.
Pek Ki Bu bukanlah seorang yang berpikiran pendek atau keras kepala. Dia pun maklum bahwa dengan adanya urusan cucunya itu, kalau dia sekeluarga dan Pek-sim-pang tidak pergi dari Nam-co, tentu selalu akan dimusuhi oleh para pendeta Lama. Hal ini sama saja dengan dimusuhi oleh penguasa setempat sehingga tentu saja kehidupan mereka menjadi tidak aman lagi.
Demikianlah, tanpa banyak membantah lagi Pek Ki Bu kemudian membawa keluarga dan anggota perkumpulannya untuk boyongan dan pergi meninggalkan kota Nam-co, menuju ke timur. Memang ada beberapa orang murid yang tidak ikut karena mereka lebih suka tetap tinggal di Nam-co bersama keluarga mereka. Karena kini Pek-sim-pang sudah tidak berada lagi di Nam-co dan para murid itu tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan pertikaian yang disebabkan oleh Sin-tong, maka murid-murid yang masih tinggal di Nam-co itu tidak merasa khawatir akan mengalami gangguan.
Dan di tengah perjalanan, di luar batas negeri Tibet, rombongan keluarga Pek ini bertemu dengan Pek Kong dan isterinya. Tentu saja pertemuan itu menggembirakan akan tetapi juga menyedihkan dan mengharukan. Masing-masing menceritakan pengalaman mereka.
Saat mendengar bahwa secara rahasia cucunya telah dibawa pergi oleh ayahnya sendiri, Pek Ki Bu merasa amat lega. Dia pun merasa ngeri mendengar akan peristiwa maut yang menewaskan pengasuh, nikouw dan seorang anak kecil yang ditukarkan.
"Kong-ji (Anak Kong)," kata Pek Ki Bu. "Kita tidak boleh melupakan anak laki-laki yang diculik penjahat itu. Betapa pun juga, anak itu telah menyelamatkan cucuku dan sungguh kasihan dia, masih begitu kecil sudah kehilangan ibunya dan tak pernah dipedulikan ayah kandungnya, dan kini berpindah tangan lagi diculik penjahat. Kelak engkau harus mencari anak itu dan menyelamatkannya."
Pek Kong mengangguk. "Kongkong sudah meninggalkan sebuah benda perhiasan yang menurut Kongkong adalah milik ayah kandung anak itu yang mempunyai nama keturunan Tang."
Dia lalu menceritakan apa yang didengarnya dari kakek Pek Khun. Kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke daerah Kong-goan, sebuah kota besar di Propinsi Se-cuan dari mana keluarga Pek berasal…..
********************
Anak laki-laki yang dilahirkan oleh isteri Pek Kong dan kemudian dibawa pergi oleh kakek buyutnya itu diberi nama Pek Han Siong, sebuah nama yang dipilih oleh Pek Kong serta isterinya untuk putera mereka. Dapat dibayangkan betapa sukarnya bagi seorang kakek tua seperti Pek Khun, harus membawa seorang bayi yang baru berusia beberapa hari dan melakukan perjalanan yang jauh dan sukar!
Akan tetapi kakek Pek Khun adalah seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga dia adalah seorang ahli pengobatan sehingga dia bisa merawat anak itu di sepanjang perjalanan, tidak malu-malu atau segan-segan untuk meminta tolong kepada ibu-ibu yang masih menyusui untuk membantu sedikit air susu untuk bayi Han Siong, di setiap dusun yang dilaluinya. Dengan demikian, akhirnya dia dapat membawa bayi itu ke Pegunungan Kun-Iun dengan selamat.
Mula-mula dia tinggal di sebuah dusun pada kaki Pegunungan Kun-Iun sambil membayar seorang ibu muda untuk menyusui Han Siong. Setengah tahun kemudian, dia membawa anak itu naik ke tempat pertapaannya yang tersembunyi kemudian merawat sendiri anak itu dengan susu binatang keledai.
Sejak bayi anak itu diasuh oleh kakek Pek Khun. Sesudah anak itu berusia empat tahun, dia mulai membimbingnya untuk berlatih langkah-langkah dasar ilmu silat, menggembleng tubuh anak itu dengan ramuan obat-obatan untuk menguatkannya, juga dia mengajarkan ilmu membaca dan menulis setelah anak itu berusia lima tahun.
Akan tetapi kakek itu mulai merasa kasihan kepada cucu buyutnya. Sangat tidak baik jika anak itu dibiarkan tumbuh dewasa di tempat terpencil itu. Han Siong kurang sekali bergaul dengan anak lain. Hanya sebulan sekali dia mengajak anak itu untuk turun dari puncak, mengunjungi dusun-dusun di lereng puncak dan berjumpa dengan manusia-manusia lain. Dia khawatir kalau-kalau kekurangan pergaulan ini akan membuat anak itu kelak menjadi manusia canggung, pemalu dan mempunyai kelainan-kelainan jiwa.
Lagi pula dia sendiri telah menjadi semakin tua untuk dapat terus menerus melindungi diri anak itu. Bagaimana kalau sewaktu-waktu muncul pendeta-pendeta Lama yang lihai dan merampas anak itu dari tangannya? Belum tentu dia akan mampu mempertahankan dan melindungi anak itu. Maka dia mulai mencari akal bagaimana untuk bertindak agar cucu buyutnya itu terbebas dari pada ancaman bahaya dari Tibet.
Akhirnya kakek Pek Khun mengambil keputusan untuk membawa saja cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si dan menjadikan anak itu seorang calon hwesio! Dengan demikian, akan selamatlah Han Siong! Pada suatu hari, ketika Han Siong sudah berusia tujuh tahun, kakek Pek Khun membawa cucu buyut itu turun dari pegunungan Kun-Iun.
Bukan main girang rasa hati Han Siong pada saat kakeknya menyatakan bahwa dia akan dibawa ke timur, untuk belajar ilmu di dalam kuil Siauw-lim-si. Kakek buyutnya ini sudah sering bercerita mengenai kuil Siauw-lim-si di mana tinggal banyak hwesio yang suci dan juga sakti, memiliki ilmu yang luar biasa tingginya.
Bukan hanya karena akan mempelajari ilmu silat saja yang menggembirakan hati Han Siong, tapi terutama sekali karena dia akan meninggalkan puncak yang amat dingin dan amat sunyi itu. Dia butuh pergaulan dengan manusia lain! Dan dia dapat membayangkan bahwa hidup di dalam biara Siauw-Iim-si berarti akan hidup bersama banyak orang lain, yaitu para hwesio yang menjadi penghuni biara! Alangkah akan senangnya!
Kakek Pek Khun sendiri adalah seorang murid Siauw-lim-pai, karena itu kunjungannya ke kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-nan di Propinsi Cing-hai, diterima baik oleh ketua kuil itu bersama para hwesio pimpinan lainnya, setelah Pek Khun memperkenalkan dirinya.
Kuil itu cukup besar dan terletak di sebuah tempat yang indah, di pinggir Sungai Cin-sha yang mengalir ke selatan, di antara Pegunungan Heng-tuan-san. Biar pun terletak di tepi sungai besar dan di daerah pegunungan yang sunyi dan nyaman, akan tetapi kuil itu tidak terlalu terpencil.
Kota Yu-shu tidak begitu jauh dari kuil itu, hanya beberapa li jauhnya. Dalam perjalanan satu jam maka orang akan sampai ke kota itu. Dan kuil itu pun banyak dikunjungi para penduduk kota Yu-shu dan dusun di sekitarnya untuk bersembahyang.
Ketua kuil itu berjuluk Ceng Hok Hwesio. Setelah bercakap-cakap, maka tahulah mereka bahwa antara Ceng Hok Hwesio dan kakek Pek Khun masih ada hubungan seperguruan, dan kakek Pek Khun memiliki kedudukan satu tingkat lebih tinggi dari ketua kuil itu yang segera menyebut Susiok (Paman Guru) kepada Pek Khun.
"Sungguh menyenangkan kenyataan ini." kata Pek Khun. "Anak ini adalah cucu buyutku, berarti juga cucumu sendiri. Namanya Pek Han Siong. Karena semenjak kecil dia turut aku, dan aku merasa sudah terlampau tua untuk mendidiknya, juga dia harus memperluas pergaulannya, maka aku mohon dengan sangat dapatlah dia diterima di kuil ini sebagai murid dan calon hwesio."
Mendengar permintaan yang dianggap agak aneh ini, Ceng Hok Hwesio lalu mengerutkan alisnya. "Omitohud..., Susiok tentu maklum bahwa Siauw-lim-si selalu membuka tangan untuk menolong siapa saja, apa lagi terhadap Pek-susiok yang juga masih seorang murid Siauw-lim-pai. Berarti kita adalah sekeluarga sendiri. Akan tetapi Pek-susiok tentu maklum pula bahwa Siauw-lim-pai memiliki peraturan yang sangat ketat dan keras. Tidak mungkin menerima murid begitu saja, harus diketahui mengapa anak ini dimasukkan ke biara kami untuk menjadi murid, dan bagaimana pula pendapat ayah dan ibu anak ini. Maaf, hal ini bukan berarti kami tidak percaya kepada Pek-susiok, melainkan karena aneh sekali kalau Susiok mengajak cucu buyut Susiok ke sini. Bukankah kalau Susiok merasa sudah terlalu tua untuk mendidiknya, masih ada kakeknya dan ayahnya?"
Kakek Pek Khun mengangguk-angguk, maklum akan isi hati Ketua Siauw-lim-si itu. Dia menoleh kepada Han Siong. "Han Siong, engkau keluar dan bermain-mainlah di kebun itu, biarkan aku bicara dengan Suhu ini."
"Baik, aku memang ingin sekali bermain-main di kebun yang penuh bunga indah itu!" kata Han Siong yang menjadi girang sekali.
Tadi dia merasa canggung dan tidak betah harus duduk bersama kakeknya di ruangan itu mendengarkan percakapan yang tak begitu dimengerti olehnya dan dia sudah ingin sekali memasuki kebun indah yang nampak dari jendela ruangan itu.
Sesudah Han Siong keluar meninggalkan ruangan itu dan dari jendela nampak anak itu berjalan-jalan di antara rumpun bunga-bunga, kakek Pek Khun kemudian menarik napas panjang dan berkata,
"Sesungguhnya keluarga kami memang sengaja hendak menyembunyikan anak itu dari pengejaran para pendeta Lama di Tibet."
"'Omitohud...!" Ceng Hok Hwesio membelalakkan kedua matanya. "Ada urusan apakah maka para saudara pendeta Lama di Tibet mengejarnya?"
"Sejak dari dalam kandungan Han Siong ini telah diramalkan menjadi calon Dalai Lama..."
"Sin-tong? Omitohud...!" Ceng Hok Hwesio menyembah dengan kedua tangan di depan dadanya.
"Ini rahasia di antara kita saja, Ceng Hok Hwesio." kata pula kakek Pek Khun. "Rahasia ini jangan dibocorkan. Bukan hanya para pendeta Lama yang mencarinya, akan tetapi juga tokoh-tokoh di dunia kang-ouw. Ada banyak tokoh kaum sesat yang dengan mati-matian mencari Han Siong, mungkin untuk dijadikan murid atau semacam jimat atau juga hendak diserahkan kepada para pendeta Lama dengan mengharapkan pahala. Kami sekeluarga menentang keras. Kami tidak percaya dengan segala ketahyulan para pendeta Lama dan kami tidak ingin anak itu dijadikan patung hidup seperti kehidupan Dalai Lama. Karena itu sejak bayi dia sudah kubawa pergi dan kusembunyikan. Sekarang aku harap kuil ini suka menerimanya sebagai murid dan calon hwesio. Biarlah dia menjadi hwesio yang baik saja untuk mengabdi kepada agama dan rakyat dari pada harus menjadi Dalai Lama di Tibet."
"Siancai, siancai, siancai...! Pendapat Susiok memang tepat sekali. Dan pinceng merasa gembira sekali untuk mendidik serta membimbing Pek Han Siong, semoga Sang Buddha akan memberi petunjuk kepada pinceng."
"Rahasia ini perlu disimpan rapat-rapat, karena kalau hal itu sampai tersiar ke luar kuil, tentu akan mendatangkan bahaya, baik bagi Siauw-lim-pai dan terutama sekali bagi Han Siong sendiri. Ada tanda merah di punggung anak itu yang dijadikan pegangan oleh para pendeta Lama dan antek-anteknya. Tanda merah itu harus disembunyikan pula."
"Omitohud... kalau begitu, anak itu memang luar biasa sekali. Semenjak lahir sudah diberi tanda, benar-benar seorang Sin-tong (anak ajaib)," kata Ceng Hok Hwesio.
"Aahhh, semua itu omong kosong dan tahyul belaka," cela kakek Pek Khun. "Setiap anak sama saja, merupakan kitab bersih dan kosong. Baik buruknya kitab itu kelak ditentukan oleh para pengisinya, yaitu para pendidiknya. Sebab itulah maka hatiku akan merasa lega sekali kalau dia dapat diterima sebagai murid di sini."
"Pinceng merasa terhormat sekali untuk mendidiknya, Pek-susiok."
Pek Khun lalu memanggil Han Siong. Ketika dia menjenguk dari jendela, dilihatnya Han Siong sedang bercakap-cakap dengan empat orang anak lain, anak-anak yang kepalanya gundul, calon-calon hwesio yang menjadi murid dan juga pembantu-pembantu pekerja di kuil itu.....