Akhirnya mereka dapat mendekati Sui Cin tanpa menyentuh batu pat-kwa mau pun tiang. Dan jari-jari tangan kakek kerdil yang kecil akan tetapi mengandung tenaga sinkang yang sangat kuat itu dengan mudah melepaskan tali sutera pengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin.
"Hati-hati, jangan bergerak, lemaskan tubuhmu. Biar kulemparkan engkau keluar dari batu pat-kwa," bisik kakek itu. Lalu dia berkata ke bawah, "Kalian kerahkan tenaga, aku akan membuat gerakan melempar tubuh muridku keluar dari batu pat-kwa!"
Sui Cin menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini berada tepat di depan gurunya, tidak terhalang oleh tiang. Gurunya memegang kedua pundaknya, lantas dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba dia mengangkat dan melempar tubuh muridnya itu ke arah samping.
Tubuh gadis itu segera melayang jauh. Dengan cara berjungkir balik, Sui Cin menambah kecepatan luncuran tubuhnya hingga akhirnya dengan lunak gadis itu mendarat beberapa meter di luar daerah tanah berbahaya di luar batu pat-kwa!
Tiang manusia itu pun terbongkar sesudah Wu-yi Lo-jin meloncat turun, disusul oleh Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang. Mereka semua berdiri dengan wajah berseri karena gembira melihat betapa mereka telah berhasil membebaskan Sui Cin.
"Suhu...!" Sui Cin lari menghampiri Wu-yi Lo-jin yang melompat turun terlebih dahulu dan kakek kerdil itu merangkul muridnya sambil terkekeh gembira.
"Anak nakal, lain kali kalau mau main-main di tempat berbahaya, ajak gurumu!"
Sui Cin yang merasa gembira dan terharu sekali setelah mengalami ketegangan yang luar biasa, kini berlari menghampiri Hui Song yang telah melompat turun pula. Mereka berdua saling menghampiri dan sekarang berhadapan, berpegangan tangan dan saling bertatapan dengan penuh kebahagiaan. Pada saat itu Sui Cin merasa betapa dia mencinta pemuda ini dan dari dua pasang tangan itu keluar getaran-getaran kasih yang hanya dapat terasa oleh mereka berdua.
"Heh-he-he, kalian memang pasangan yang cocok sekali. Bukankah begitu, gendut?" kata kakek kerdil.
"Benar sekali katamu!" kata Siang-kiang Lo-jin, hilang marahnya karena dia kagum akan kecerdikan kawannya yang berkepala kecil dan berotak sedikit itu.
Mendengar kata-kata dua orang kakek itu, Sui Cin tersipu dan merasa mukanya menjadi panas. Muka itu kemerahan dan gadis ini sudah melepaskan pegangan tangannya, lantas menghampiri Cia Sun.
"Sun-toako, terima kasih atas bantuanmu," katanya dengan sikap halus.
"Berterima kasihlah kepada suhu-mu, Cin-moi. Beliau yang memperoleh akal itu," jawab Cia Sun.
Ci Kang merasa risi dan sungkan sekali. Dalam hatinya dia tak ingin berhadapan dengan Sui Cin karena hal ini hanya membuatnya malu. Akan tetapi gadis itu menghampirinya dan berkata halus, "Saudara Ci Kang, terima kasih!"
Ci Kang mengangkat muka memandang. Melihat betapa sinar mata Sui Cin kepadanya sama sekali tidak nampak marah atau benci, jantungnya berdebar keras dan dia merasa terharu sekali. Dia hanya mengangguk dan kata-kata sukar keluar dari mulutnya. "Aku... aku tidak ada artinya, nona..."
Diam-diam Hui Song merasa mendongkol bukan kepalang ketika melihat betapa Sui Cin bercakap-cakap dengan Ci Kang. Bila menurutkan perasaan hatinya, ingin dia meneriaki Ci Kang dan memakinya. Orang macam itu tidak pantas bercakap-cakap dengan Sui Cin! Akan tetapi mengingat bahwa bagaimana pun juga Ci Kang telah membantu pertolongan kepada Sui Cin, dia pun menahan kepanasan hatinya.
"Di mana datuk sesat Raja dan Ratu Iblis itu sekarang, Cin-moi?" Hui Song meluapkan perasaan tidak senangnya kepada Ci Kang dengan pertanyaan itu. "Aku akan mengadu nyawa dengan mereka dan harus kubasmi iblis-iblis kaum sesat!"
Sambil berkata demikian dia melirik ke arah Ci Kang seperti hendak mengingatkan bahwa pemuda ini pun putera seorang datuk sesat.
"Sesudah mengikatku di sini mereka lalu pergi ke puncak bukit hitam di utara itu. Entah sekarang masih di sana ataukah sudah pergi," jawab Sui Cin.
"Kita harus cari mereka. Mari kita cari di bukit itu. Sebelum dua iblis itu dihancurkan tentu akan timbul kekacauan-kekacauan yang lebih hebat lagi," kata Cia Sun dan semua orang merasa setuju.
Seperti dikomando saja enam orang itu lalu berlari cepat meninggalkan batu pat-kwa yang berbahaya itu dan menuju ke bukit hitam di sebelah utara. Akan tetapi, sampai matahari tenggelam ke barat, mereka tidak menemukan apa-apa di bukit itu dan jejak suami isteri iblis itu pun tidak mereka temukan.
Agaknya kedua iblis itu tadi berada di bukit hanya untuk mengamati batu pat-kwa itu dari jauh, karena dari puncak bukit sana memang batu pat-kwa itu dapat terlihat dengan jelas sehingga segala hal yang terjadi di situ dapat terlihat dari puncak bukit. Agaknya ketika suami isteri iblis itu melihat betapa Sui Cin dapat tertolong oleh orang-orang pandai yang lima orang jumlahnya, enam orang bersama Sui Cin sendiri yang cukup lihai pula, mereka menjadi gentar dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
"Wah, iblis-iblis itu telah kabur agaknya!" kata Wu-yi Lo-jin dengan kecewa.
"Hemmm, ke mana kita dapat mencari mereka yang dapat datang dan pergi seperti iblis itu?" Hui Song juga berkata jengkel.
"Aku tahu di mana mereka dapat dicari!" tiba-tiba Ci Kang berkata sehingga semua mata memandang padanya. Hui Song sudah memandang dengan sinar mata sinis, dan hatinya berbisik, "Tentu saja kau tahu karena engkau segolongan dengan mereka."
Akan tetapi pada saat itu pula terdengar Cia Sun berkata, "Benar, Ci Kang dan aku tahu di mana mereka berada. Mari kita cari mereka di sarang rahasia mereka!"
Sebagai penunjuk jalan Ci Kang dan Cia Sun segera berlari cepat diikuti oleh yang lain. Sesudah melihat bahwa dua orang pemuda itu mengambil jalan menuju ke San-hai-koan, Hui Song berseru kaget,
"Ehh, kenapa ke San-hai-koan?"
"Memang di situlah mereka bersembunyi. Tempat rahasia mereka berada di San-hai-koan, dan tentu saja hal ini tidak terduga-duga oleh siapa pun sehingga di sana mereka dapat bersembunyi dengan aman," kata Cia Sun.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi malam sudah sangat larut, bahkan hampir pagi ketika akhirnya mereka tiba di San-hai-koan…..
********************
Perang akhirnya selesai sesudah bala tentara pemerintah merebut kembali San-hai-koan dan Ceng-tek. Ketika enam orang pendekar itu memasuki San-hai-koan, mereka disambut dengan ramah oleh Yang-tai-ciangkun bersama para pendekar yang tadinya membantu pasukan dan kini masih berada di San-hai-koan.
Ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Iblis diduga keras sedang bersembunyi di dalam sebuah tempat rahasia di San-hai-koan dan tempat itu sudah diketahui oleh Ci Kang dan Cia Sun, Yang-ciangkun terkejut sekali dan segera menyerahkan seratus orang pasukan pengawal untuk membantu enam orang pendekar itu mengepung tempat rahasia.
Pagi hari itu juga, Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Cia Sun, Hui Song, Ci Kang dan Sui Cin berangkat ke tempat rahasia itu. Mereka diikuti pula oleh beberapa orang pendekar yang merasa tertarik walau pun mereka merasa jeri juga mendengar bahwa enam orang itu hendak menyergap Raja dan Ratu Iblis yang amat sakti, juga diikuti oleh seratus orang prajurit pengawal pilihan.
Tempat rahasia itu segera dikepung oleh pasukan. Enam orang pendekar berjaga di luar lubang sumur dan lubang terowongan di balik semak-semak yang merupakan dua jalan keluar dari tempat rahasia itu.
"Kami akan bersembunyi dahulu," kata Wu-yi Lo-jin kepada para pendekar muda, "kalau Raja Iblis melihat kami dan dia menggunakan tongkat sakti itu, bagaimana pun juga kami berdua tidak dapat melanggar sumpah sendiri dan tidak akan dapat melawan."
"Baiklah, suhu," kata Sui Cin, "Nanti saja bila mana kami telah mengeroyoknya, suhu dan Siang-kiang locianpwe baru keluar membantu sehingga dia tak sempat lagi mengeluarkan tongkatnya itu."
Sesudah dua orang kakek yang takut melanggar sumpah terhadap tongkat sakti yang ada di tangan Raja Iblis itu bersembunyi, Hui Song lantas menjenguk ke dalam lubang sumur dan berteriak sambil mengerahkan khikang-nya.
"Pangeran Toan Jit Ong, Raja Iblis yang terkutuk, keluarlah menerima kematian!"
Tidak ada jawaban dari bawah, juga tak nampak gerakan sesuatu. Yang ada hanya gema suara teriakan Hui Song yang terdengar mengaum dan menyeramkan, seperti jawaban atas teriakan tadi, jawaban yang bukan keluar dari mulut manusia.
Melihat ini, seorang perwira yang memimpin pasukan pengawal itu menjadi tak sabar lagi. "Siapkan kayu bakar dan tiupkan asap ke dalam sumur!"
Perwira ini hendak menggunakan siasat mengisi tempat persembunyian itu dengan asap supaya mereka yang berada di sebelah dalam akan terpaksa keluar karena tidak tahan diasapi dari luar.
Melihat kesibukan prajurit-prajurit pengawal mempersiapkan perintah sang perwira, Wu-yi Lo-jin yang berada dalam persembunyiannya terkekeh. "Heh-heh-heh, kelinci-kelinci yang diasapi tentu akan keluar sekarang!"
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan delapan orang prajurit yang berada paling dekat dengan lubang sumur berteriak dan roboh terjengkang. Mereka tewas seketika karena jarum-jarum beracun sudah menyambar tenggorokan mereka. Dari dalam lubang sumur itu kini melayang dua sosok tubuh, seorang lelaki dan seorang perempuan, tampan dan cantik dan keduanya mengenakan pakaian indah pesolek.
Tentu saja para prajurit pengawal menjadi terkejut dan marah melihat robohnya delapan orang teman mereka. Dengan senjata golok atau tombak mereka segera mengepung dan menyerang. Akan tetapi dua orang muda itu benar-benar lihai dan begitu mereka berdua menggerakkan pedang, kembali robohlah empat orang prajurit yang mengeroyok mereka.
Sementara itu, ketika mengenal bahwa dua orang itu adalah Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, Ci Kang langsung marah sekali. Sim Thian Bu adalah murid mendiang ayahnya dan terhitung sute-nya biar pun Thian Bu lebih tua darinya. Dia sudah meloncat maju, hampir berbareng dengan Sui Cin yang juga sudah marah sekali melihat Siang Hwa.
"Sim Thian Bu manusia keparat!" Ci Kang membentak marah. "Hayo menyerah sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!"
Ternyata gemblengan Ciu-sian Lo-kai telah merubah sifat pemuda ini. Biar pun dia marah sekali dan tahu bahwa bekas sute-nya ini adalah seorang jahat yang sepatutnya dibasmi, namun dia masih memberi kesempatan kepada Thian Bu untuk menyerah dan menerima hukuman, kalau mungkin merubah sifatnya yang jahat.
Namun Sim Thian Bu tersenyum mengejek. "Siangkoan Ci Kang manusia busuk! Engkau seperti harimau berkedok domba, ha-ha-ha! Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta? Engkau pura-pura alim dan menjadi pendekar? Ha-ha-ha, betapa lucunya!" Setelah berkata demikian, Sim Thian Bu sudah menggerakkan pedangnya menusuk dada Ci Kang.
Akan tetapi, dengan mudah saja Ci Kang mengelak dan menendang ke arah pergelangan lengan lawan yang juga dapat dielakkan. Mereka segera berkelahi dengan seru biar pun Ci Kang hanya bertangan kosong dan lawannya berpedang.
Sementara itu, Sui Cin yang marah melihat murid Raja Iblis itu segera menyerang tanpa banyak cakap lagi. Dia pun hanya mempergunakan tangan kosong saja, menubruk sambil mencengkeram ke arah pundak Siang Hwa sambil membentak,
"Perempuan iblis, bersiaplah untuk mati!"
Siang Hwa, seperti juga Thian Bu, maklum bahwa dia telah terkepung oleh banyak orang pandai, maka tanpa banyak cakap dia pun juga mengelak dan mengelebatkan pedangnya membalas serangan Sui Cin dengan nekat. Akan tetapi sabetan pedangnya juga hanya mengenai tempat kosong, bahkan dia terkejut bukan main ketika melihat tubuh lawannya berkelebat lenyap dan tahu-tahu sudah menyerang ke arah kepalanya dengan tamparan dari samping!
Tahulah dia bahwa gadis cantik yang menjadi lawannya ini adalah seorang ahli ginkang yang tangguh, sebab itu dia pun cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya melindungi tubuh. Maka terjadilah perkelahian yang cepat dan mati-matian antara Sui Cin dan Siang Hwa.
Cia Sun dan Hui Song hanya menonton sambil bersiap-siap membantu dua orang teman mereka kalau perlu, akan tetapi mereka tidak mengeroyok karena maklum bahwa Ci Kang dan Sui Cin akan mampu menundukkan kedua orang musuh itu. Membantu teman yang lebih kuat dari pada lawan merupakan pantangan bagi mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras, lalu tanah dan batu muncrat dari tempat tak jauh dari situ. Ledakan itu ternyata mengakibatkan tanah itu berlubang besar lantas dari dalam lubang itu nampak empat orang yang memanggul kayu pikulan berbentuk joli tanpa atap berloncatan keluar dengan kecepatan yang luar biasa.
Mereka adalah empat orang yang berpakaian seragam, bukan pakaian prajurit melainkan pakaian jago silat, ada pun di atas joli terbuka itu duduk dua orang yang membuat semua orang menjadi terkejut dan ngeri melihatnya. Dua orang itu adalah Raja dan Ratu Iblis!
Tentu saja para prajurit segera mengepungnya, lantas belasan batang tombak dan golok berkelebatan menyerang empat orang pemikul joli terbuka itu. Akan tetapi segera terjadi kekacauan dan semua orang terkejut melihat betapa empat orang pemikul joli itu memiliki gerakan yang bukan main cepatnya.
Kadang-kadang mereka berloncatan seperti terbang, lalu turun dan lari, sedangkan kakek dan nenek yang kadang-kadang duduk dan kadang-kadang bangkit berdiri itu menggerak-gerakkan tangan mereka. Hawa pukulan segera menyambar dahsyat, membuat belasan orang prajurit terpelanting ke kanan kiri tanpa mampu bangkit kembali! Tentu saja hal ini menggegerkan para prajurit dan perwira mereka memberi aba-aba agar terus mengepung dan mengejar.
Melihat betapa Raja dan Ratu Iblis sudah keluar, Hui Song mengeluarkan bentakan dan dia pun telah berloncatan di antara para prajurit untuk membantu mereka mengepung dan mengeroyok Raja dan Ratu Iblis.
Cia Sun juga mengenal empat orang penggotong tandu atau joli tanpa atap itu. Mereka berempat itu bukan lain adalah Hui-thian Su-kwi, empat orang Cap-sha-kui yang memang mempunyai ginkang yang luar biasa sekali. Maka dia pun cepat lari menghampiri dan ikut pula mengepung. Juga para pendekar ikut membantu sehingga kini empat orang pemikul tandu itu dikepung dari empat jurusan!
Akan tetapi gerakan Hui-thian Su-kwi sungguh luar biasa cepatnya. Mereka berloncatan ke atas kepala para prajurit, lalu dua orang kakek dan nenek di atas tandu itu menyebar maut dengan pukulan-pukulan jarak jauh mereka. Hanya para pendekar saja yang dapat menghindarkan diri atau menangkis sambaran angin dahsyat itu, akan tetapi para prajurit pengawal banyak yang roboh dan tewas.
Agaknya Raja Iblis yang lebih banyak menyebar maut sedangkan Ratu Iblis ‘mengemudi’ empat orang pemanggul tandu itu dengan teriakan-teriakannya, "Ke kanan...! Mundur...! Maju...! Ke kiri!"
Hui-thian Su-kwi mempergunakan kecepatan gerak kaki mereka untuk berloncatan sesuai dengan petunjuk Ratu Iblis. Sambil berloncatan kaki-kaki mereka pun tak pernah bergerak secara sia-sia, karena tendangan-tendangan yang mereka lakukan juga telah merobohkan banyak prajurit pengawal yang mengepung.
"Kejar! Kepung, robohkan para pemikul tandu!" Perwira pasukan memberi aba-aba,
Sekarang empat orang pemikul tandu itu berloncatan tinggi sampai ke tenda besar yang didirikan oleh para prajurit. Setiba mereka di situ, tenda itu diterjang hingga tiang-tiangnya roboh oleh tendangan empat orang pemikul tandu yang berloncatan ke atas. Sementara itu hantaman-hantaman yang dilakukan oleh telapak tangan Raja Iblis demikian hebatnya sehingga mayat-mayat para pengeroyok roboh berserakan.
"Kepung rapat!" teriak perwira pasukan pada waktu melihat empat orang pemikul tandu itu meloncat tinggi dan hinggap di atas tiang-tiang kayu bekas tenda besar. Para prajurit lalu mengepung dan menyerang dengan tombak.
"Loncat turun ke depan!" terdengar Ratu Iblis memberi komando, sementara itu Raja Iblis melancarkan pukulan ke arah tiang melintang di depannya.
"Krakkkk...!" Tiang yang besar itu patah tengahnya dan tiang-tiang itu pun roboh menimpa para prajurit sedangkan empat orang pemikul tandu meloncat jauh ke depan.
Melihat betapa Raja Iblis sedang menyebar maut, Hui Song dan Cia Sun menjadi marah sekali. Mereka tak dapat leluasa bergerak karena kesimpang-siuran para prajurit yang ikut mengeroyok.
"Kita serang berbareng dengan loncatan ke atas!" tiba-tiba Cia Sun berbisik dan Hui Song mengangguk.
Tiba-tiba saja dua orang pemuda perkasa ini melompat jauh ke atas, melampaui kepala beberapa orang prajurit dan mereka berdua langsung menerjang Raja Iblis dari kanan dan belakang! Memang mereka telah memperhitungkan agar loncatan mereka tiba di sebelah kanan dan belakang Raja Iblis, kemudian mereka menyerang dengan berbareng.
Sambil meloncat itu, dari sebelah kanan Cia Sun telah mengirimkan pukulan dengan satu jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, sebuah ilmu pukulan tangan kosong yang mukjijat dan luar biasa ampuhnya. Pukulan itu mendatangkan angin kuat dan nampak seperti ada cahaya kemerahan menyambar dahsyat ke arah leher Raja Iblis. Pada saat yang sama pula Hui Song telah menyerang dengan pukulan Thian-te Sin-ciang yang juga merupakan pukulan amat ampuh, ditujukan ke arah punggung Raja Iblis.
Menghadapi penyerangan dua orang pemuda yang amat lihai ini, Raja Iblis mengeluarkan suara mendengus marah dan juga kaget. Cepat dia memutar tubuhnya ke kanan, tangan kirinya diputar menahan pukulan Cia Sun ada pun tangan kanannya menangkis pukulan Hui Song.
Sementara itu, Ratu Iblis tidak tinggal diam melihat suaminya menghadapi penyerangan dahsyat itu. Maka dia pun mengerahkan tenaga pada kedua tangannya lalu mendorong ke arah Cia Sun dan Hui Song dari sebelah kanan suaminya.
"Plakkk! Desss...!"
Karena tidak mempunyai tempat berpijak dan saking kuatnya tenaga Raja dan Ratu Iblis, tubuh Hui Song dan Cia Sun yang menyerang sambil melompat itu terpental ke belakang sehingga terpaksa berjungkir balik menghindarkan diri dari terbanting. Akan tetapi tenaga mereka juga begitu kuatnya sehingga Raja dan Ratu Iblis yang tadi mengerahkan tenaga, membuat empat orang Hui-thian Su-kwi terhuyung sebab tiba-tiba saja panggulan mereka menjadi berat luar biasa.
Sementara itu, perkelahian antara Sui Cin dan Gui Siang Hwa terjadi amat serunya. Akan tetapi, betapa pun juga, Siang Hwa harus mengakui keunggulan Sui Cin. Sebelum gadis ini digembleng oleh Wu-yi Lo-jin, belum tentu Sui Cin akan mampu mengalahkan Siang Hwa dengan mudah. Akan tetapi, selama tiga tahun ini Sui Cin memperoleh gemblengan yang sangat mendalam sehingga ilmu-ilmunya yang banyak macamnya, yang diwarisinya dari ayah ibunya itu, kini menjadi matang.
Oleh karena itu, biar pun Siang Hwa menggunakan pedang, bahkan telah menggunakan pula sapu tangan suteranya yang mengandung racun, dia sama sekali tidak berdaya dan semua serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh Sui Cin, sebaliknya desakan gadis Pulau Teratai Merah ini membuat ia repot dan terhuyung-huyung. Beberapa kali ia telah menerima tamparan Sui Cin dan hanya kekebalan dirinya saja yang membuat Siang Hwa masih dapat bertahan sampai puluhan jurus.
Akan tetapi, ketika jari tangan Sui Cin yang kecil mungil serta meruncing itu menyambar pundaknya dengan totokan yang amat cepat, Siang Hwa lalu terpelanting dan pedangnya terlepas ketika tangan kanannya ditendang oleh Sui Cin. Pada waktu itulah para prajurit menubruk dengan tombak dan golok mereka sehingga wanita cabul itu pun tewas dalam keadaan mengerikan, tubuhnya hancur oleh belasan batang golok dan tombak.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Ci Kang juga sudah merobohkan sute-nya, yaitu, Sim Thian Bu. Semenjak semula Sim Thian Bu sendiri memang sudah gentar menghadapi putera mendiang gurunya ini. Semenjak dahulu dia tak pernah dapat menang terhadap Ci Kang. Apa lagi setelah Ci Kang digembleng dengan hebatnya oleh Ciu-sian Lo-kai, tentu saja gerakan-gerakannya menjadi semakin matang dan kuat.
Namun, karena perasaan Ci Kang menjadi halus dan lembut, dia merasa tidak tega untuk membunuh bekas sute-nya. Beberapa kali dia membujuk supaya Thian Bu menyerah saja dan kalau mau bertobat, dia yang akan mintakan ampun kepada Yang Tai-ciangkun. Akan tetapi semua bujukannya malah disambut dengan ucapan-ucapan menghina oleh Thian Bu sehingga perkelahian itu menjadi lama.
Akhirnya, sebuah tendangan yang dilakukan dengan posisi miring dari Ci Kang amat tidak terduga oleh Thian Bu. Tendangan itu mengenai lambung Sim Thian Bu dan membuatnya tersungkur roboh. Pada saat itu, para prajurit juga menubruk dan menghujamkan senjata mereka. Akan tetapi, sebelum tewas Sim Thian Bu masih sempat melontarkan pedangnya membunuh seorang di antara mereka. Dia sendiri, seperti juga Siang Hwa, tewas di ujung belasan batang tombak dan golok.
Ketika Hui-thian Su-kwi terhuyung karena pertemuan tenaga antara Raja dan Ratu Iblis melawan Hui Song dan Cia Sun, tiba-tiba muncullah Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin! Dua orang kakek ini melihat kesempatan yang baik sekali. Pada saat itu Raja Iblis tidak memegang tongkat yang mereka takuti. Mereka melayang seperti yang dilakukan oleh Hui Song dan Cia Sun tadi, dan mereka sudah menerjang ke arah Raja dan Ratu Iblis yang berdiri di atas joli terbuka.
Empat orang pemikul sedang terhuyung maka tidak sempat membawa pemimpin mereka meloncat sehingga terpaksa Raja dan Ratu Iblis yang kaget melihat munculnya dua orang kakek ini, menyambut serangan mereka dengan dorongan tangan. Raja Iblis menyambut hantaman tangan Siang-kiang Lo-jin sedangkan Ratu Iblis juga menyambut pukulan Wu-yi Lo-jin dengan dorongan kedua telapak tangannya.
"Wuuuuttt...! Desss...!"
Pertemuan tenaga sinkang sekali ini lebih hebat lagi. Akibatnya, tubuh Raja dan Ratu Iblis terdorong dan condong ke belakang sedangkan tubuh dua orang kakek penyerang yang tadi meloncat terdorong ke belakang dan hampir mereka terjengkang, akan tetapi empat orang Hui-thian Su-kwi sampai jatuh berjongkok karena kaki mereka tiba-tiba tak kuat lagi menahan tenaga yang menekan dari atas!
Pada saat itu Sui Cin, Ci Kang, Hui Song dan Cia Sun sudah menerjang maju, masing-masing menyerang seorang dari Hui-thian Su-kwi. Empat orang tokoh dari Cap-sha-kui ini terkejut bukan main. Mereka baru saja jatuh berjongkok sedangkan serangan empat orang muda itu sedemikian dahsyatnya sehingga mereka terpaksa melepaskan pikulan joli dan bangkit untuk meloncat mengelak atau menangkis.
Segera terjadi perkelahian antara mereka dengan empat orang muda itu dan joli itu pun terlempar ke samping! Akan tetapi Raja dan Ratu Iblis sudah berloncatan turun dan ketika Wu-yi Lo-jin dan Siang-kang Lo-jin hendak menyerang, tiba-tiba mereka berdua terbelalak dan mundur karena Raja Iblis sudah mengangkat tinggi-tinggi tongkat saktinya!
Para pendekar yang hadir cepat maju menyerang, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja mereka terpental roboh dan kini para prajurit pengawal mengepung lagi, mengeroyok kakek dan nenek itu. Akan tetapi para prajurit ini seperti sekelompok nyamuk menyerang api lilin saja, setiap kali kakek dan nenek itu menggerakkan tangan, tentu banyak orang yang roboh terpelanting.
Karena itu, para prajurit menjadi gentar dan Raja Iblis bersama isterinya dengan mudah berloncatan lalu melarikan diri dengan cepat sekali, tidak pernah dapat disusul oleh para pengejarnya. Apa lagi karena para pengejarnya itu sudah merasa gentar.
Bahkan dua orang kakek yang paling lihai di antara mereka, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, juga mengejar dari jauh saja karena mereka itu juga gentar, bukan gentar terhadap Raja dan Ratu Iblis, melainkan terhadap tongkat sakti itu! Mereka takut terhadap sumpah mereka sendiri, takut kalau melanggar sumpah. Hal ini membuat kakek dan nenek iblis itu dengan mudahnya keluar dari San-hai-koan lantas melarikan diri menuju ke padang pasir di sebelah selatan, kemudian membelok ke barat.
Sementara itu, dalam situasi panik dan juga karena tingkat kepandaiannya memang jauh kalah tinggi, empat orang dari Hui-thian Su-kwi yang menghadapi empat orang pendekar muda sudah roboh semua. Su Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun juga melihat betapa Raja dan Ratu Iblis melarikan diri, maka tadi mereka memperhebat serangan mereka.
Kini empat orang pendekar muda itu telah berloncatan dan lari mengejar pula. Walau pun tadi mereka itu tertinggal jauh, karena kehebatan ilmu ginkang mereka, akhirnya mereka dapat juga menyusul Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin yang tidak berani terlalu cepat.
"Suhu, di mana mereka?" tanya Sui Cin.
"Wah, mereka tadi menghilang di balik bukit sana itu," kata Wu-yi Lo-jin kepada Sui Cin.
"Sayang kami berdua tidak berani mengejar terlalu cepat. Si laknat itu sudah memegang tongkatnya!" kata pula Si Dewa Kipas.
"Akan tetapi kami tidak takut pada tongkat iblisnya itu!" kata Hui Song dengan gemas dan dia pun terus berlari cepat ke depan, diikuti oleh tiga orang pendekar muda lainnya, ada pun dua orang kakek itu terpaksa mengejar pula dari belakang mereka dengan gelisah.
Dari arah jalan yang diambil oleh Raja dan Ratu Iblis, Ci Kang dan Cia Sun teringat akan tempat persembunyian Raja Iblis, yaitu di sebuah gedung tua di lereng bukit itu, di mana terdapat goa di dalam tanah dan di sana untuk pertama kali mereka bertemu dengan Hui Cu.
Tidak salah lagi, tentu ke sanalah Raja dan Ratu Iblis pergi! Maka, mereka lalu menjadi penunjuk jalan dan berlari cepat ke arah bukit itu. Kini yang melakukan pengejaran hanya tinggal mereka berenam lagi karena pasukan pengawal dari San-hai-koan bersama para pendekar sudah tidak ikut mengejar, tidak mampu mengejar secepat itu, dan pula, mereka lebih sibuk dan mementingkan untuk menolong teman-teman yang terluka dan mengurus mereka yang tewas pada saat terjadi pengeroyokan atas diri Raja dan Ratu Iblis bersama pembantu-pembantu mereka yang pandai.....
********************