Bagaimana dengan pengalaman Cia Sun? Seperti juga Ci Kang, pemuda ini mendapatkan akal untuk dapat melakukan penyelidikan dengan baik, yaitu menyamar sebagai seorang prajurit. Akan tetapi berbeda dengan Ci Kang, sesuai dengan gemblengan Go-bi San-jin, dia bertindak keras dan tanpa ampun terhadap prajurit yang ditangkapnya untuk diambil pakaiannya.
Dia membunuh prajurit pemberontak itu kemudian mengenakan pakaiannya sendiri pada mayat prajurit itu yang tewas tanpa terluka karena pukulan ampuhnya membuatnya tewas seketika tanpa luka. Orang yang menemukan mayat prajurit itu tentu akan mengira bahwa prajurit yang berpakaian preman itu mati karena penyakit mendadak!
Pada suatu malam, ketika Cia Sun sedang berjalan-jalan dengan aman dalam pakaian prajurit pengawal, dia melihat Raja Iblis berjalan diikuti oleh empat orang bertubuh tegap dan berpakaian seragam, akan tetapi bukan seragam prajurit. Cia Sun yang maklum akan lihainya Raja Iblis, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan membayanginya dengan hati-hati, dan berjalan sebagai seorang prajurit yang sedang bertugas ronda. Untung bagi dirinya bahwa Raja Iblis dan empat orang pengikutnya itu tidak begitu memperhatikannya, atau mungkin juga sempat melihatnya tetapi tidak curiga karena memang banyak prajurit berkeliaran di dekat bangunan besar itu.
Ketika Raja Iblis dan empat orang itu memasuki sebuah pintu tembusan kecil di samping bangunan, terpaksa Cia Sun tidak berani mengikutinya lagi, apa lagi di depan pintu kecil itu terdapat dua orang penjaga yang memegang tombak. Hanya sebuah pintu tembusan saja namun dijaga, tentu tempat itu merupakan gedung yang penting pula.
Akan tetapi dia merasa penasaran. Dia harus dapat menyelidiki apa yang dilakukan oleh Raja Iblis di dalam gedung itu. Siapa tahu Hui Cu yang dilarikan bekas pangeran itu pun kini berada di situ.
Cia Sun lalu mengambil keputusan nekat. Dengan gerakan yang amat cepat, dia segera menerjang dua orang penjaga itu secepat kilat dari tempat gelap dan dua kali tangannya bergerak, kedua orang penjaga pintu kecil itu roboh dan tewas tanpa dapat mengeluarkan suara sedikit pun juga.
Cia Sun lalu memanggul tubuh dua orang penjaga yang sudah tidak bernyawa itu berikut tombak mereka, dan di belakang sebuah rumah yang sunyi, dia melemparkan mereka ke atas tanah, kemudian mengatur mereka sedemikian rupa sehingga seakan-akan mereka itu tewas karena saling tusuk dengan tombak yang masih dipegang di tangan. Kalau ada yang menemukan dua orang penjaga ini, tentu mereka akan mengira bahwa dua orang prajurit ini telah berkelahi dan mati sampyuh terkena tombak masing-masing.
Setelah itu, dengan berani Cia Sun menyelinap masuk ke dalam pintu kecil yang ternyata membawa dia ke dalam sebuah taman yang luas. Untung bahwa taman itu penuh dengan pohon-pohon bunga yang rimbun sehingga dia dapat menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak mendekati sebuah bangunan besar yang gelap. Hatinya terasa girang ketika tiba-tiba dia melihat Raja Iblis dan empat orang pengikutnya tadi keluar dari dalam bangunan besar dan sekarang dengan langkah lebar menuju ke sebuah bangunan kecil di belakang taman.
Raja Iblis membuka daun pintu, diikuti oleh empat orang tadi dan mereka berlima masuk ke dalam. Cia Sun cepat mengintai dari balik sebuah jendela samping. Karena tidak ada lubang di jendela itu, terpaksa dia hanya mampu mendengarkan, akan tetapi tidak dapat melihat apa yang terjadi di sebelah dalam.
Akan tetapi, apa yang didengarnya sudah cukup baginya, membuat jantungnya berdebar kencang karena dia bisa mengenali suara seorang gadis, suara Hui Cu yang menyambut kedatangan ayah kandungnya itu dengan kata-kata yang ketus.
"Iblis tua, mau apa lagi engkau datang ke sini?" terdengar suara Hui Cu menyambut Raja Iblis dengan kata-kata pedas.
Kini terdengar suara Raja Iblis yang suaranya aneh seperti datang dari tempat jauh, akan tetapi suara itu menggetar penuh wibawa dan menembus dinding bangunan kecil itu. "Hui Cu, aku datang buat memperingatkanmu yang terakhir kalinya. Kini tinggal kau pilih, mau menjadi isteriku atau menjadi anakku. Kalau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang di sampingku, apa lagi jika dapat menurunkan anak laki-laki bagiku. Jika menjadi anakku, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Dan besok malam engkau harus sudah dapat memberi kepastian, mau hidup senang sebagai isteriku atau mati!"
"Iblis tua tak tahu malu! Aku tidak sudi menjadi isterimu, juga tidak sudi menjadi anakmu! Mau bunuh, bunuhlah."
Diam-diam Cia Sun merasa kagum sekali kepada Hui Cu. Biar pun Hui Cu puteri tunggal pasangan suami isteri iblis seperti Raja dan Ratu Iblis, namun ternyata Hui Cu memiliki semangat dan watak yang gagah perkasa, bahkan berani menantang ayahnya, walau pun dia tahu bahwa ayahnya itu adalah manusia berwatak iblis. Di samping kekagumannya, juga Cia Sun merasa khawatir bukan main. Kalau Raja Iblis turun tangan sekarang juga membunuh puterinya, dia sendiri jelas tidak mungkin akan dapat menolong Hui Cu.
Akan tetapi hatinya merasa lega karena tidak terjadi gerakan sesuatu di dalam pondok itu, bahkan kini nampak Raja Iblis itu keluar dari sana bersama empat orang pengikutnya dan bekas pangeran itu berkata,
"Su-kwi, kalian harus menjaganya mulai sekarang sampai besok malam. Jangan sampai dia lolos dan andai kata ibunya sendiri yang datang untuk membebaskannya, kalian harus melarangnya. Hanya kalian berempat yang akan mampu menandingi ibunya. Awas, kalau sampai dia lolos dari sini, kepala kalian akan menjadi gantinya."
Empat orang itu bersikap siap dan mengangguk, kemudian mereka tetap tinggal di ruang depan bangunan kecil itu ketika Raja Iblis pergi dengan langkah lebar dan cepat. Sejenak Cia Sun termangu-mangu.
Menurut dorongan hatinya, ingin dia menerjang ke dalam pondok itu untuk membebaskan Hui Cu. Akan tetapi dia merasa ragu-ragu. Baru saja dia mendengar sendiri ucapan Raja Iblis bahwa hanya empat orang itu saja yang akan mampu menandingi Ratu Iblis! Padahal Ratu Iblis mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Dan empat orang ini disebut Su-kwi (Empat Setan) oleh Raja Iblis.
Maka Cia Sun langsung teringat akan keterangan gurunya, Go-bi San-jin bahwa di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) terdapat empat orang yang lihai sekali berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit)! Agaknya empat orang inilah mereka. Maka dia ragu-ragu apakah dia akan sanggup mengalahkan keempat orang ini. Andai kata mampu sekali pun tentu akan memakan waktu, sedangkan keributan itu tentu akan diketahui oleh pengawal-pengawal lain dan kalau sudah begitu, maka dia akan celaka sebelum mampu membebaskan Hui Cu.
Karena itu dia pun diam-diam meninggalkan pondok itu. Raja Iblis memberi waktu cukup panjang kepada Hui Cu. Sampai besok malam. Berarti malam ini dia tidak akan diganggu. Dan kalau dia maju bersama Ci Kang, agaknya tidak akan sukar menolong Hui Cu.
Menjelang tengah malam, dua orang pemuda yang gagah perkasa itu saling bertemu di kuil sunyi. Mereka berbisik-bisik saling menuturkan pengalaman mereka masing-masing. Hati Cia Sun terasa lega saat mendengar betapa ketua Cin-ling-pai yang masih terhitung paman dari ayahnya itu ternyata sekarang berbalik menjadi musuh Raja Iblis dan menjadi tawanan.
Tadinya dia pun ikut prihatin mendengar betapa paman dari ayahnya itu bersekutu dengan kaum sesat. Apa lagi mendengar dari Ci Kang bahwa ketua Cin-ling-pai itu tertipu dan kini untuk sementara dalam keadaan aman di dalam kamar tahanan karena Raja Iblis tidak berniat membunuhnya sekarang.
Dia lalu menceritakan kepada Ci Kang tentang Hui Cu yang kini ditahan di dalam sebuah bangunan kecil, dan percakapan antara ayah dan anak itu seperti yang telah didengarnya. Mendengar betapa Raja Iblis hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, dan betapa Hui Cu lebih memilih mati, Ci Kang mengepalkan tinjunya.
"Manusia itu sungguh lebih keji dari pada iblis! Anak kandungnya sendiri akan diperisteri!"
"Akan tetapi sikap Hui Cu benar-benar mengagumkan. Di depan iblis itu sendiri dia berani mengatakan bahwa dia tak sudi menjadi anaknya atau isterinya, malah menantang mati!" kata Cia Sun.
"Gadis itu memang hebat, Cia Sun, dan dia mencintamu!"
Wajah Cia Sun berubah merah. "Hemm, dalam keadaan seperti sekarang ini, jangan kau berkelakar, Ci Kang!"
"Tidak, Cia Sun, aku mengatakan yang sejujurnya. Gadis itu sudah tergila-gila kepadamu dan jatuh cinta kepadamu."
Cia Sun mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang sampai tiga kali. Dia percaya kepada Ci Kang dan pemuda perkasa di hadapannya ini tidak akan mau membohonginya. Maka dia pun merasa kasihan sekali kepada Hui Cu.
"Kasihan Hui Cu..." katanya, kata-kata yang tanpa disadarinya keluar dari mulut langsung dari dalam hatinya.
Ci Kang menatap tajam, berusaha menembus kegelapan malam untuk menjenguk isi hati sahabat yang dikaguminya ini. "Cia Sun, apakah kata-katamu tadi berarti bahwa engkau tidak membalas cintanya?"
Cia Sun menggelengkan kepalanya.
"Ahhh, kalau begitu kasihan sekali Hui Cu...!" kata Ci Kang yang mengerutkan sepasang alisnya karena mengenang nasib gadis yang patut dikasihani itu.
"Memang kasihan sekali Hui Cu. Tetapi aku harus berterus terang, aku mencinta seorang gadis lain, jadi tak mungkin aku mencintanya."
Sesaat lamanya Ci Kang memandang tajam, lalu berkata, "Sudahlah, mari kita menolong Hui Cu sebelum terlambat."
Dua orang pemuda perkasa yang sama-sama berpakaian sebagai prajurit pemberontak itu lalu berangkat menuju ke bangunan yang dimaksudkan Cia Sun. Dia menjadi penunjuk jalan, ada pun Ci Kang mengikutinya di belakangnya. Mereka bergerak cepat menyusup-nyusup, dan kadang-kadang kalau ada prajurit-prajurit lain, mereka cepat bersikap wajar, bergandengan sambil berjalan sempoyongan seperti dua orang prajurit setengah mabok, sebuah pemandangan yang biasa saja.
Setelah sampai di dekat pondok di mana Hui Cu ditahan, dua orang pemuda itu bergerak perlahan sesuai rencana yang telah mereka atur ketika mereka menuju ke tempat itu. Ci Kang dan Cia Sun kini berpencar. Ci Kang menghampiri empat orang penjaga yang duduk sambil bercakap-cakap itu dari depan, ada pun Cia Sun menyelinap dari samping pondok di mana terdapat jendela yang dipergunakan untuk mendengarkan percakapan tadi.
Sesuai yang telah direncanakan, Ci Kang berpura-pura mabok, berjalan terhuyung-huyung ke arah empat orang Hui-thian Su-kwi yang kini sedang duduk di atas bangku di depan pondok. Melihat seorang prajurit mabok menghampiri mereka, Su-kwi menjadi marah.
"Hei, prajurit tolol! Pergi dari sini dan jangan ganggu kami!" bentak seorang dari mereka yang bermuka pucat.
"Heh-heh-hoh-hoh-hoh...!" Ci Kang tertawa seperti orang mabok. "Sobat, mari kau temani aku minum arak. Kau perlu minum banyak arak agar mukamu tidak pucat seperti mayat, heh-heh-heh!" Dia menunjuk ke arah muka yang menegurnya tadi.
Si muka pucat itu menjadi marah, kemudian bangkit berdiri. "Manusia goblok! Berani kau mengeluarkan kata-kata sembarangan terhadap kami? Kami berempat adalah Hui-thian Su-kwi, pengawal pribadi Toan Ong-ya!"
"Hah-hah-hah, agaknya majikanmu kurang memberi upah kepadamu sehingga badanmu kurus mukamu pucat kurang makan..."
"Ehh, keparat bermulut lancang! Kuhancurkan mulutmu...!" Si muka pucat menjadi marah sekali lalu sekali menggerakkan tubuhnya, tubuh itu telah mencelat ke depan Ci Kang dan tangannya menampar ke arah mulut Ci Kang dengan keras sekali karena si muka pucat itu agaknya benar-benar hendak menghancurkan mulut prajurit yang berani menghinanya itu.
Diam-diam Ci Kang terkejut bukan main menyaksikan gerakan ginkang yang begitu ringan dan cepatnya dan tahulah dia mengapa mereka ini dijuluki Hui-thian (Terbang ke Langit). Ternyata mereka adalah ahli-ahli ginkang yang cukup tinggi tingkat kepandaiannya.
Akan tetapi tamparan tangan itu menunjukkan tenaga yang tak perlu dikhawatirkan. Maka dia hanya mundur sedikit sambil miringkan mukanya sehingga bukan mulutnya yang kena tampar, melainkan pipinya.
"Plakkk...!" Ci Kang sempoyongan dan hampir roboh, ditertawai oleh empat orang itu.
Ci Kang bangkit lantas mengusap pipinya yang menjadi merah, matanya melotot dan dia pun maju sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung orang yang tadi menamparnya. "Kau monyet tak tahu malu, manusia yang tak mengenal budi. Diajak minum arak malah memukul. Aku harus membalas pukulanmu!" Dan dengan gerakan sembarangan saja dia pun menerjang maju hendak memukul kepala si muka pucat.
Melihat gerakan Ci Kang ini, si muka pucat tentu saja memandang rendah dan dia sudah menggerakkan tangannya hendak menangkis dan menangkap lengan lawan untuk dipuntir dan ditelikung. Akan tetapi tangan yang memukul kepalanya itu berkelebat secara aneh dan tahu-tahu pipinya telah kena ditampar.
"Plakkk...!"
Keras sekali tamparan itu, membuat kepala si muka pucat terasa nanar dan tentu saja dia menjadi marah sekali. Kemarahan membuat dia lengah dan dia masih tetap memandang rendah kepada prajurit mabok ini pada saat dia membalas pula dengan tendangan tenaga yang cukup kuat.
Akan tetapi dengan mudah Ci Kang mengelak dengan lagak sempoyongan dan pada saat kaki lawan masih terangkat, ujung sepatunya langsung menotok ke arah lutut kaki lawan yang masih berpijak di atas tanah sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka pucat itu pun terpelanting!
"Ha-ha-ha!" Ci Kang tertawa seperti orang mabok dan bertepuk-tepuk tangan kegirangan sambil memandang orang yang terpelanting itu.
Kini tiga orang lainnya juga bangkit berdiri. Orang yang mampu menampar teman mereka, bahkan mampu merobohkan dalam satu gebrakan saja, pasti bukan prajurit biasa!
"Siapa engkau?" bentak mereka dan sekarang mereka telah mengurung bersama si muka pucat yang sudah bangkit kembali.
Akan tetapi Ci Kang bersikap pura-pura takut dikurung empat orang itu dan tiba-tiba dia pun melompat ke belakang menjauhi empat orang itu yang kini menjadi semakin terkejut karena mereka yang mengurung itu ternyata tak mampu menahan prajurit yang melompat jauh ke belakang itu. Dan cara melompat Ci Kang tadi juga mengejutkan mereka. Ci Kang melayang ke arah belakang begitu saja kemudian berjungkir balik sampai lima kali!
Kini mereka dapat menduga bahwa orang yang berpakaian prajurit dan bersikap mabok-mabokan itu tentulah orang lihai yang mungkin adalah mata-mata musuh! Maka, sekarang empat orang Hui-thian Su-kwi itu lantas mencabut pedang mereka dan segera melakukan pengejaran. Ci Kang sengaja memancing mereka agar menjauhi pondok, dan pada saat itu Cia Sun sudah cepat menyelinap masuk melalui jendela yang dibongkarya dari luar.
Dan benar saja, tepat seperti yang diduganya, di dalam pondok itu terdapat Hui Cu yang dibelenggu kaki tangannya dan rebah di atas sebuah pembaringan! Cia Sun tidak banyak bicara, cepat dia menghampiri lalu mempergunakan sinkang-nya mematahkan belenggu yang mengikat kaki dan tangan Hui Cu. Gadis itu terbelalak, lantas wajahnya berseri-seri ketika mengenal siapa pemuda yang menolongnya.
"Cia-toako...!" keluhnya setelah kaki tangannya bebas.
Dia hendak berlari menghampiri, akan tetapi karena kakinya terlampau lama dibelenggu, aliran darahnya terganggu dan dia pun terhuyung dan tentu terbanting kalau saja Cia Sun tidak cepat menyambarnya dan merangkulnya. Muka Hui Cu menjadi merah, akan tetapi dia tersenyum dan balas merangkul leher Cia Sun dengan mesra dan penuh penyerahan.
Ketika pemuda itu merasa betapa rangkulan Hui Cu tak sewajarnya, melainkan rangkulan yang penuh arti, dia terkejut dan teringat akan ucapan Ci Kang bahwa gadis itu jatuh hati kepadanya, maka dia pun cepat-cepat melepaskan rangkulannya dan membiarkan gadis itu berdiri.
"Aku harus membantu Ci Kang yang sedang bertempur melawan Hui-thian Su-kwi," kata Hui Song ketika melihat betapa gadis itu memandang kecewa karena merasa betapa Cia Sun melepaskan rangkulan tadi dengan tiba-tiba dan agak kasar.
"Ahh...!" Hui Cu seperti baru sadar. "Mereka itu lihai sekali. Akan tetapi jangan tinggalkan aku, lebih dahulu bawalah aku ke tempat rahasia yang hanya diketahui oleh ibu dan aku. Mari...!"
Dia menggandeng tangan Cia Sun dan diajaknya pemuda itu melarikan diri melalui pintu belakang. Gadis itu terus membawanya ke dalam taman dan membuka sebuah semak belukar yang cukup tebal. Ternyata di bawah semak-semak ini terdapat sebuah bundaran besi yang segera digesernya dan nampaklah lubang.
Hui Cu mengajak Cia Sun memasuki lubang itu dan ternyata di bawahnya terdapat tangga batu. Sesudah keduanya memasuki lubang, gadis ini menutupkan kembali bundaran besi dan secara otomatis semak-semak itu pun ikut bergerak menutupi tempat rahasia itu. Hui Cu terus berjalan turun sambil menggandeng tangan Cia Sun.
Tempat itu tidak begitu gelap, ada sinar remang-remang keluar dari depan. Dan ternyata lorong yang menyambung tangga itu membawa mereka ke sebuah ruangan segi empat. Sebuah ruangan bawah tanah pula! Matahari dapat memasukkan cahayanya dari lubang-lubang yang terdapat pada retakan-retakan bebatuan yang ada di langit-langit goa bawah tanah ini.
Dan ternyata di ruangan itu terdapat sebuah lilin besar yang bernyala di atas meja. Nyala itu kecil saja karena sumbunya amat kecil, akan tetapi lilinnya besar sekali sehingga jika dibiarkan bernyala terus, mungkin dalam waktu sebulan belum habis! Dari nyala lilin inilah datangnya sinar remang-remang sampai ke lorong tadi.
"Tempat ini aman, toako, dan hanya diketahui oleh ibu saja. Ibu yang memberi tahukan kepadaku agar kalau sewaktu-waktu aku berhasil lolos dari tangan iblis tua itu, aku dapat bersembunyi dengan aman di sini. Ibu sengaja menyuruh seorang ahli bersama dengan rombongannya membuat tempat ini dalam waktu dua hari setelah aku ditangkap iblis itu."
Cia Sun mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau begitu selain engkau dan ibumu, masih ada beberapa orang lain yang mengetahui rahasia tempat ini, yaitu para pembuatnya."
"Tidak, mereka itu semuanya berjumlah sembilan orang dan begitu tempat ini selesai, ibu segera membunuh mereka semua, bahkan ibu menanam mayat mereka di dalam tanah di belakang ruangan ini!"
Diam-diam Cia Sun bergidik mendengar kekejaman luar biasa itu. Ayah kandung gadis ini sudah jahat sekali, ternyata ibunya juga tidak kalah jahatnya. Yang sangat mengherankan adalah gadis ini, yang ternyata memiliki perangai yang jauh bedanya dengan ayah ibunya, seperti bumi dan langit!
"Hui Cu, sekarang aku harus keluar membantu Ci Kang."
Akan tetapi Hui Cu segera menghampirinya dan merangkulnya. "Jangan, toako... jangan tinggalkan aku lagi. Aku takut kalau engkau celaka nanti... lalu... bagaimana dengan aku? Kalau engkau mati, aku pun tidak mau hidup lagi, toako. Aku... cinta padamu..." Gadis itu mempererat pelukannya.
Cia Sun menjadi bingung sekali, akan tetapi dia adalah seorang gagah yang harus berani bertindak tegas dan tepat. Dengan halus dia memegang kedua pundak Hui Cu kemudian mendorongnya ke belakang dan kini mereka saling pandang. Dengan sinar mata penuh iba Cia Sun menatap wajah cantik yang agak pucat itu.
"Hui Cu, dengarlah baik-baik. Aku suka kepadamu, aku sayang kepadamu dan aku suka menjadi kakakmu. Akan tetapi sebelum aku berjumpa denganmu, aku... aku sudah jatuh cinta kepada seorang gadis lain..."
"Ahhh...! Kalau begitu engkau tentu akan meninggalkan aku, toako..."
"Tidak, walau pun aku tidak dapat berjodoh denganmu, aku akan selalu memperhatikan keadaanmu dan kalau perlu melindungimu. Aku sudah berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepadamu, engkau seorang gadis yang baik... ahh, aku harus membantu Ci Kang sekarang!"
"Toako..." Hui Cu menahan tangisnya, akan tetapi kedua matanya basah. "Aku ikut keluar lagi membantu kalian..."
"Jangan! Aku dan Ci Kang sudah susah-susah berusaha membebaskanmu, kini sesudah bebas engkau hendak terjun kembali ke tempat berbahaya. Biar aku membantunya dulu, baru kami berdua masuk ke sini dan kita bicara."
Gadis itu mengangguk. "Baiklah, toako. Aku percaya kepadamu, dan kalau engkau tidak kembali ke sini, sampai mati pun aku tidak akan mau keluar dari tempat ini!"
Cia Sun merasa terharu sekali. Dia mendekat, dipegangnya kedua pundak gadis itu dan dengan penuh rasa terharu dan sayang dia mencium kepala gadis itu, lantas berkelebat keluar dari ruangan itu melalui lorong dan naik kembali ke atas taman dengan membuka penutup besi dan menyingkap semak-semak.
Ketika dia berlari ke depan pondok, ternyata Ci Kang telah dikurung oleh empat orang itu dan bagaimana pun lihainya Ci Kang, dia terdesak juga oleh gerakan empat orang yang mengeroyoknya. Gerakan Hui-thian Su-kwi itu memang sungguh cepat dan ringan, dapat berloncatan seperti kijang saja.
Melihat kawannya terdesak, Cia Sun cepat meloncat dan begitu dia menyerang kepungan terhadap Ci Kang itu pecah dan kini empat orang itu terkejut bukan main. Seorang prajurit lain datang dan ternyata prajurit yang baru datang ini kepandaiannya tidak kalah lihainya dari prajurit pertama!
Setelah Cia Sun membantu, segera keadaan menjadi berubah. Sebentar saja dua orang pendekar muda ini bisa mendesak empat orang lawan itu, bahkan mereka berdua mampu merampas pedang dan membuat dua orang lawan terpelanting.
Hui-thian Su-kwi menjadi gentar juga dan tiba-tiba saja mereka teringat kepada tawanan mereka. Tanpa mereka sadari, mereka telah terpancing menjauhi pondok dan perkelahian itu pun berlangsung jauh dari pondok. Karena teringat akan hal ini, juga gentar terhadap dua orang prajurit muda yang amat lihai itu, mereka kemudian berloncatan meninggalkan arena perkelahian dan kembali ke dalam pondok untuk menjaga supaya tawanan mereka jangan sampai lolos. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka pada waktu mereka memasuki pondok, ternyata tawanan itu telah lenyap, hanya tinggal borgol kosong berserakan di atas pembaringan!
"Celaka...!" teriak si muka pucat dan mereka pun keluar dari pondok dan berteriak-teriak minta tolong.
Mendengar teriakan-teriakan ini, berbondong-bondong datanglah prajurit-prajurit penjaga sehingga keadaan menjadi kalut. Ketika Hui-thian Su-kwi mencari-cari, dua orang pemuda yang berpakaian prajurit itu telah lenyap pula dari situ! Mereka mengatur pasukan penjaga dan mencari-cari tanpa hasil.
Tentu saja mereka tidak berhasil menemukan Ci Kang dan Cia Sun karena kedua orang pemuda ini sudah aman berada dalam goa bawah tanah bersama Hui Cu! Ketika melihat Hui-thian Su-kwi tadi lari ke pondok, Cia Sun lalu menarik tangan Ci Kang dan mengajak putera Iblis Buta ini menyusul Hui Cu di tempat persembunyiannya.
Hui Cu merasa gembira sekali melihat mereka masuk ke dalam goa bawah tanah. Akan tetapi kegirangan itu hanya sebentar saja karena dara ini lalu duduk termenung dengan wajah murung, teringat bahwa cintanya terhadap Cia Sun tidak mendapatkan sambutan.
Ci Kang tidak tahu mengapa gadis itu nampak murung. Maka, untuk memecah kesunyian yang mencekam di antara mereka, sambil duduk di atas lantai bersandar dinding batu, dia berkata,
"Sungguh aneh nasib kita bertiga ini. Untuk kedua kalinya kita bertiga berkumpul menjadi satu di tempat persembunyian yang hampir serupa, yakni di dalam goa di bawah tanah. Barang kali inilah yang dinamakan jodoh!"
Ucapan ini tidak disengaja menyindir sesuatu, akan tetapi Cia Sun dan Hui Cu yang baru saja berbicara tentang cinta itu merasa tersindir sehingga wajah Cia Sun menjadi merah, sebaliknya wajah Hui Cu menjadi semakin muram. Dari tempat duduknya, sebuah bangku batu yang berada di situ, gadis itu memandang kepada Cia Sun yang juga duduk di atas lantai bersandar dinding batu untuk memulihkan tenaga dan tiba-tiba gadis itu bertanya, suaranya lirih dan polos.
"Cia-toako, siapakah gadis yang kau cinta itu?"
Pertanyaan yang amat tiba-tiba dan tidak terduga-duga ini bukan hanya mengejutkan Cia Sun, akan tetapi juga Ci Kang. Barulah Ci Kang mengerti bahwa agaknya Cia Sun sudah memberi tahu kepada Hui Cu bahwa dia tidak dapat menerima cinta dara itu karena telah mencinta gadis lain!
Pantas saja semenjak tadi wajah gadis yang cantik itu kelihatan muram saja. Dia merasa kasihan sekali dan tidak berani memandang wajah cantik itu lama-lama karena semakin dipandang maka semakin menimbulkan rasa iba.
"Hui Cu, tak perlu aku mengatakan siapa gadis itu. Engkau pun tidak akan mengenalnya."
Suasana menjadi sunyi sekali karena ucapan itu keluar dari mulut Cia Sun dengan suara tergetar. Mereka bertiga termenung dalam lamunan masing-masing. Ci Kang dan Hui Cu tidak tahu bahwa keadaan Cia Sun tiada bedanya dengan mereka.
Hui Cu mencinta Cia Sun akan tetapi tidak terbalas. Cia Sun mencinta Sui Cin namun gadis itu pun agaknya tak dapat membalas cintanya. Apa lagi Ci Kang yang mencinta Sui Cin akan tetapi malah melakukan suatu hal yang amat buruk terhadap gadis itu sehingga tidak mungkin gadis itu akan membalas cintanya. Tiga orang muda ini tenggelam dalam kesedihan masing-masing karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta gagal!
Cinta asmara yang condong untuk pemuasan nafsu diri pribadi selalu menimbulkan lebih banyak duka dari pada suka. Cinta seperti ini selalu menuntut balasan, cinta seperti ini selalu ingin menguasai, ingin memiliki sekaligus ingin dimiliki! Ingin menyenangkan dan disenangkan, memuaskan dan dipuaskan. Banyak sekali yang dituntut oleh cinta seperti ini dan satu saja di antara tuntutan-tuntutannya itu tidak terlaksana atau tercapai, maka hal ini sudah cukup untuk menghancurkan cinta itu! Dan akibatnya hanyalah kegagalan dan kedukaan. Cinta seperti ini mengikat, membuat kita lekat kepada yang kita cinta dan sekali waktu kalau saatnya tiba untuk perpisahan, hati kita menjadi luka dan timbul pula duka.
Cinta yang tidak terbalas menimbulkan duka. Cinta yang dihantui keraguan menimbulkan cemburu dan duka. Seperti segala macam nafsu yang meramaikan hidup ini, maka cinta seperti ini bersumber kepada keakuan, kepada keinginan menyenangkan diri sendiri dan orang yang dicintanya itu dengan sendirinya hanya menjadi alat, menjadi perabot atau sarana untuk menyenangkan dan memuaskan diri sendiri. Inilah sebabnya mengapa cinta seperti ini mudah berubah menjadi benci bila mana dirinya sudah tidak disenangkan atau dipuaskan lagi. Ini kenyataan yang terjadi dalam hidup kita, dalam kisah cinta mencinta.
Tetapi, benarkah itu patut dinamakan cinta jika hanya menimbulkan duka? Benarkah itu namanya cinta kalau dapat berubah menjadi benci? Benarkah itu cinta kasih kalau hanya sarat dengan beban berupa cemburu, nafsu birahi, ingin menguasai dan pementingan diri sendiri? Sudah jelas bukan! Cinta kasih tidak mungkin menimbulkan hal-hal yang buruk. Cinta kasih itu suci, murni, baik dan benar, wajar tidak dibuat-buat, tanpa pamrih!
Orang lalu mempersoalkan, menjadikannya sebagai bahan tanya jawab, mencari jawaban apakah sebenarnya Cinta Kasih itu! Dan semua pendapat, semua jawaban, tidak benar atau dapat disanggah, dapat dibantah serta didebat, karena semua pendapat itu selalu mengandung pementingan diri sendiri. Pendapat datang dari satu sumber yang tentu saja tergantung sepenuhnya dari keadaan sumber itu sendiri.
Cinta Kasih terlalu lembut, terlalu tinggi, terlalu luas dan terlalu rumit bagi otak kita yang lemah ini. Membicarakan Cinta Kasih seperti membicarakan Tuhan, atau membicarakan kekuasaan Alam Semesta. Tidak terbatas! Tidak terjangkau oleh akal budi, perasaan dan pikiran. Yang dapat kita selidiki dan mengerti hanyalah YANG BUKAN CINTA KASIH. Nafsu birahi bukanlah cinta kasih, walau pun nafsu birahi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini sendiri.
Kalau kita menyingkirkan semua hal yang menjadikan Bukan Cinta Kasih, mungkin saja kita dapat melihat berkelebatnya Cinta Kasih. Cinta Kasih tidak mungkin dapat dipelajari, dipupuk mau pun dikejar dicari. Seperti juga cahaya terang yang tidak dapat menembus rumah yang daun pintu dan jendelanya tertutup rapat-rapat. Bukalah semua penutup itu dan cahaya terang itu akan masuk. Seperti juga sinar lampu yang menjadi suram karena bola lampunya tertutup kotoran dan debu. Bersihkan semua kotoran itu, singkirkan debu dan kotoran, maka sinar lampu itu akan menjadi terang.
Lenyapnya keinginan menyenangkan diri sendiri, keinginan untuk menguasai, cemburu, iri hati, ingin memiliki, lenyapnya ikatan, sama artinya dengan lenyapnya kotoran dan debu yang menempel pada bola lampu, dan sinar cinta kasih pun segera bercahaya terang. Membiarkan pintu serta jendela terbuka sama dengan membiarkan diri sendiri terbuka, tanpa pamrih, wajar, peka, kosong sehingga cahaya terang cinta kasih, laksana cahaya matahari, akan masuk dan nampak.
Tiga orang muda itu duduk termenung menyedihi nasib masing-masing.
Nasib yang seperti segala macam sebutan nasib, tercipta oleh ulah sendiri. Orang yang bijaksana akan selalu mencari kesalahan dalam diri sendiri setiap kali menghadapi atau tertimpa keadaan yang dianggap tidak menyenangkan. Akan tetapi orang yang picik akan selalu mencari sebab dan kesalahan pada diri orang lain, atau melemparkannya kepada nasib!
Tidak dapat disangkal lagi bahwa ada peristiwa-peristiwa terjadi di luar kemampuan kita untuk memikirkan sebab-sebabnya, peristiwa yang merupakan rahasia-rahasia. Namun, tetap saja akan tepat dan baik sekali kalau kita mencari segala kesalahan yang menjadi sebab suatu peristiwa di dalam diri sendiri, karena sebenarnya sumber segala peristiwa yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri pula.
Apa bila sudah begini, tidak ada lagi pencarian kambing hitam, tidak menyalahkan orang lain, tidak mengeluh kepada Tuhan, tidak mengutuk kepada setan, melainkan melihat dengan penuh kewaspadaan bahwa sumber segala peristiwa terdapat dalam diri sendiri. Dari sini timbullah penghentian segala tindakan yang tidak benar dan yang hanya akan menimbulkan akibat buruk.....
Cinta yang tidak terbalas menimbulkan duka. Cinta yang dihantui keraguan menimbulkan cemburu dan duka. Seperti segala macam nafsu yang meramaikan hidup ini, maka cinta seperti ini bersumber kepada keakuan, kepada keinginan menyenangkan diri sendiri dan orang yang dicintanya itu dengan sendirinya hanya menjadi alat, menjadi perabot atau sarana untuk menyenangkan dan memuaskan diri sendiri. Inilah sebabnya mengapa cinta seperti ini mudah berubah menjadi benci bila mana dirinya sudah tidak disenangkan atau dipuaskan lagi. Ini kenyataan yang terjadi dalam hidup kita, dalam kisah cinta mencinta.
Tetapi, benarkah itu patut dinamakan cinta jika hanya menimbulkan duka? Benarkah itu namanya cinta kalau dapat berubah menjadi benci? Benarkah itu cinta kasih kalau hanya sarat dengan beban berupa cemburu, nafsu birahi, ingin menguasai dan pementingan diri sendiri? Sudah jelas bukan! Cinta kasih tidak mungkin menimbulkan hal-hal yang buruk. Cinta kasih itu suci, murni, baik dan benar, wajar tidak dibuat-buat, tanpa pamrih!
Orang lalu mempersoalkan, menjadikannya sebagai bahan tanya jawab, mencari jawaban apakah sebenarnya Cinta Kasih itu! Dan semua pendapat, semua jawaban, tidak benar atau dapat disanggah, dapat dibantah serta didebat, karena semua pendapat itu selalu mengandung pementingan diri sendiri. Pendapat datang dari satu sumber yang tentu saja tergantung sepenuhnya dari keadaan sumber itu sendiri.
Cinta Kasih terlalu lembut, terlalu tinggi, terlalu luas dan terlalu rumit bagi otak kita yang lemah ini. Membicarakan Cinta Kasih seperti membicarakan Tuhan, atau membicarakan kekuasaan Alam Semesta. Tidak terbatas! Tidak terjangkau oleh akal budi, perasaan dan pikiran. Yang dapat kita selidiki dan mengerti hanyalah YANG BUKAN CINTA KASIH. Nafsu birahi bukanlah cinta kasih, walau pun nafsu birahi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini sendiri.
Kalau kita menyingkirkan semua hal yang menjadikan Bukan Cinta Kasih, mungkin saja kita dapat melihat berkelebatnya Cinta Kasih. Cinta Kasih tidak mungkin dapat dipelajari, dipupuk mau pun dikejar dicari. Seperti juga cahaya terang yang tidak dapat menembus rumah yang daun pintu dan jendelanya tertutup rapat-rapat. Bukalah semua penutup itu dan cahaya terang itu akan masuk. Seperti juga sinar lampu yang menjadi suram karena bola lampunya tertutup kotoran dan debu. Bersihkan semua kotoran itu, singkirkan debu dan kotoran, maka sinar lampu itu akan menjadi terang.
Lenyapnya keinginan menyenangkan diri sendiri, keinginan untuk menguasai, cemburu, iri hati, ingin memiliki, lenyapnya ikatan, sama artinya dengan lenyapnya kotoran dan debu yang menempel pada bola lampu, dan sinar cinta kasih pun segera bercahaya terang. Membiarkan pintu serta jendela terbuka sama dengan membiarkan diri sendiri terbuka, tanpa pamrih, wajar, peka, kosong sehingga cahaya terang cinta kasih, laksana cahaya matahari, akan masuk dan nampak.
Tiga orang muda itu duduk termenung menyedihi nasib masing-masing.
Nasib yang seperti segala macam sebutan nasib, tercipta oleh ulah sendiri. Orang yang bijaksana akan selalu mencari kesalahan dalam diri sendiri setiap kali menghadapi atau tertimpa keadaan yang dianggap tidak menyenangkan. Akan tetapi orang yang picik akan selalu mencari sebab dan kesalahan pada diri orang lain, atau melemparkannya kepada nasib!
Tidak dapat disangkal lagi bahwa ada peristiwa-peristiwa terjadi di luar kemampuan kita untuk memikirkan sebab-sebabnya, peristiwa yang merupakan rahasia-rahasia. Namun, tetap saja akan tepat dan baik sekali kalau kita mencari segala kesalahan yang menjadi sebab suatu peristiwa di dalam diri sendiri, karena sebenarnya sumber segala peristiwa yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri pula.
Apa bila sudah begini, tidak ada lagi pencarian kambing hitam, tidak menyalahkan orang lain, tidak mengeluh kepada Tuhan, tidak mengutuk kepada setan, melainkan melihat dengan penuh kewaspadaan bahwa sumber segala peristiwa terdapat dalam diri sendiri. Dari sini timbullah penghentian segala tindakan yang tidak benar dan yang hanya akan menimbulkan akibat buruk.....