Asmara Berdarah Jilid 45

Nenek itu sendiri juga menjadi terkejut. Belum pernah dia menghadapi lawan yang begini tangguhnya. Andai kata kedua orang pemuda itu maju satu demi satu saja, agaknya dia masih akan dapat mengatasi mereka, bahkan mengungguli mereka. Akan tetapi pemuda itu maju bersama dan sesudah kini mereka bersikap hati-hati, gerakan mereka amat kuat dan terpusatkan sehingga dia segera terdesak hebat! Juga pertemuan-pertemuan tenaga antara dia dan dua orang muda itu membuat dia lelah sebab harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak mau celaka dilanda gelombang tenaga yang dahsyat dari mereka.

"Anakku, cepat maju dan gunakan kebutanmu! Bantulah aku!" Akhirnya, setelah terdesak hebat, nenek itu berseru minta bantuan puterinya yang semenjak tadi hanya nonton saja dengan sepasang mata terbelalak penuh kegelisahan. Kini, mendengar seruan ibunya, dia menjadi semakin bingung.

"Tidak, ibu! Kata ibu semua orang jahat, terutama laki-laki. Akan tetapi mereka ini tidak jahat, jadi aku tidak dapat menyerang mereka. Ibu jangan memusuhi mereka!" Gadis itu menjawab dengan suara yang tegas.

"Desss...!"

Tubuh nenek itu terhuyung, akan tetapi dia bisa menguasai dirinya dan tak sampai roboh walau pun tongkat cabang pohon di tangan Ci Kang yang menyerempet pinggangnya tadi kuat bukan main.

Karena puterinya tidak mau membantunya dan dia maklum bahwa kedua orang lawannya itu benar-benar merupakan lawan tangguh yang dapat membahayakan keselamatannya, Ratu Iblis mengeluarkan pekik melengking yang sejenak membuat kedua orang pemuda itu tercengang dan mereka harus mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh suara itu. Kesempatan itu cepat dipergunakan oleh nenek itu untuk meloncat ke arah puterinya, memegang lengan puterinya dan melarikan diri sambil menarik Hui Cu bersamanya.

"Kurasa tidak perlu dikejar, terlalu berbahaya...!" Cia Sun berkata ketika melihat temannya hendak mengejar.

Mendengar suara Cia Sun, Ci Kang langsung menahan kakinya dan melangkah kembali menghampiri temannya yang sedang memeriksa tangan kirinya. Ternyata kulit tangan itu telah berwarna hitam kehijauan dari jari-jari tangan sampai ke pergelangan.

"Cia Sun, engkau keracunan!" kata Ci Kang mendekat.

"Nenek itu memiliki banyak pukulan beracun yang jahat. Sungguh berbahaya sekali!" kata Cia Sun. "Karena itulah maka aku mencegahmu melakukan pengejaran. Aku tidak dapat membantumu dan jika sampai dia dibantu kawan-kawannya, tentu engkau akan terancam bahaya. Aku harus menggunakan waktu beberapa hari untuk membersihkan racun ini."

"Tak perlu begitu lama, Cia Sun. Dulu aku pernah mempelajari ilmu membersihkan hawa beracun itu dan dengan bantuanku, tanganmu akan sembuh dengan cepat."

Tidak lama kemudian Ci Kang sudah mengobati tangan kiri temannya itu. Cia Sun duduk bersila, mengerahkan sinkang dan dengan hawa murni dia mendorongkan tenaga ke arah tangan kirinya. Kalau dia melakukan pengobatan ini sendirian saja, tentu akan memakan waktu sedikitnya satu pekan baru hawa beracun di dalam tangan kirinya itu dapat terusir bersih.

Akan tetapi kini Ci Kang menempelkan kedua telapak tangannya pada siku serta pundak kirinya, dan teman ini membantunya dengan mengerahkan sinkang. Hawa panas segera memasuki lengan kirinya itu dan dengan kekuatan disatukan, dengan mudah mereka bisa mengusir racun dari tangan kiri. Tidak lama kemudian, kulit tangan itu berubah warnanya. Warna hitam kehijauan itu perlahan-lahan surut hingga akhirnya lenyap melalui kuku-kuku jari tangan.

"Terima kasih, Ci Kang, engkau telah menolongku," kata Cia Sun dengan hati girang dan kagum.

Ci Kang menggelengkan kepala. "Tidak ada terima kasih, Cia Sun. Ketika aku terjatuh kembali ke dalam sumur tadi, engkau pun telah menolongku. Sikapmu yang baik terhadap diriku saja sudah membuat aku bersyukur sekali."

"Ci Kang, sampai sekarang aku masih merasa heran mengingat bahwa engkau, sesuai pengakuanmu sendiri, adalah putera Siangkoan Lo-jin! Dan engkau memusuhi para datuk sesat! Mengingat bahwa nasib telah mempertemukan kita yang menjadi sahabat senasib sependeritaan, kalau aku boleh bertanya, sebetulnya apakah yang kau cari di sini?"

"Sama saja dengan engkau, Cia Sun. Bukankah engkau datang ke sini untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak bangkit untuk menentang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya dibantu oleh para datuk sesat termasuk Cap-sha-kui?"

Cia Sun mengangguk lalu bertanya, "Apa maksudmu ingin menghadiri pertemuan itu?"

Ci Kang tersenyum pahit. "Aku yang tolol ini hendak menipu diri sendiri. Ayahku adalah seorang datuk sesat, bagaimana mungkin aku diterima di antara para pendekar? Tadinya kusangka..."

Melihat Ci Kang tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya menjadi muram, Cia Sun memegang lengan yang kokoh kuat itu. "Sahabatku, jangan kau persalahkan sikap para pendekar. Andai kata aku sendiri belum mengalami bahaya-bahaya itu bersamamu dan sudah mengenalmu benar bahwa engkau adalah seorang gagah yang menentang para datuk sesat, mungkin aku pun akan curiga kepadamu. Bayangkan saja. Engkau, putera Siangkoan Lo-jin, berkeliaran di tempat ini, padahal para pendekar hendak mengadakan pertemuan di sini untuk menentang golongan sesat! Orang yang tidak mengenal keadaan dirimu tentu saja akan menyangka engkau memata-matai pertemuan para pendekar itu. Akan tetapi jangan takut. Ada aku di sini yang akan menjelaskan segalanya kepada para pendekar. Tapi katakan dulu, apa sesungguhnya niat hatimu datang ke sini?"

"Aku hendak menyumbangkan tenagaku menentang para datuk yang hendak melakukan pemberontakan."

"Bagus! Kalau begitu kita satu haluan. Mari kita pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menemui para pendekar, Ci Kang."

Akan tetapi pemuda yang tinggi besar itu menggeleng kepala. "Cia Sun, sejak kecil aku selalu ingin berusaha sendiri. Usaha apa pun yang kuhadapi tak akan memuaskan hatiku apa bila berhasil hanya karena bantuan orang lain,. Biarlah, aku akan hadapi sendiri para pendekar, apa pun akibatnya. Aku gembira sekali sudah dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Cia Sun. Selamat berpisah!"

Setelah berkata demikian, Ci Kang lalu meloncat lari meninggalkan Cia Sun yang berdiri termenung, hatinya kagum melihat pemuda perkasa yang memiliki ilmu kepandaian yang dapat menandinginya. Dia pun lalu meninggalkan tempat berbahaya itu…..

********************

Semenjak Bangsa Mongol yang pernah menjajah dan menguasai Tiongkok terbasmi atau terusir sehingga sisa-sisa bangsa itu kembali ke utara lagi, maka Bangsa Mongol menjadi bangsa yang lemah. Lenyap sudah kebesarannya seperti saat mereka masih menguasai Kerajaan Goan yang menjajah seluruh Tiongkok itu.

Kini sisa bangsa itu terpecah-pecah, bercampur baur dengan Bangsa Mancu dan Bangsa Khin. Jumlah suku bangsa mereka sangat banyak, terpecah-pecah oleh berbagai agama, aliran dan tradisi. Mereka tinggal berkelompok-kelompok di luar Tembok Besar, dan hidup kembali sebagai suku-suku Nomad yang selalu berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi iklim dan tanah.

Karena terpecah-pecah menjadi kelompok itulah maka Bangsa Mongol, Mancu dan Khin ini menjadi lemah. Di antara mereka sendiri terjadilah persaingan, bahkan kadang-kadang persaingan itu menjadi permusuhan dan pertempuran karena memperebutkan tanah, air dan sebagainya. Mereka adalah bangsa yang sudah terbiasa dengan kekerasan, karena sifat hidup mereka memang keras, selalu berhadapan dengan kesulitan yang ditimbulkan oleh keadaan alam di daerah itu yang tidak menguntungkan manusia.

Masing-masing suku atau kelompok memiliki kepala sendiri dan seperti biasa terjadi di seluruh dunia ini di antara manusia, kepala-kepala inilah yang menimbulkan permusuhan dan pertentangan karena ambisi masing-masing yang menyeret kelompok atau pengikut mereka ke dalam permusuhan. Tidak pernah lagi lahir seorang Jenghis Khan baru yang memiliki kekuatan sedemikian hebatnya untuk bisa menundukkan semua kepala suku itu sehingga terdapat persatuan seperti di jaman Jenghis Khan dahulu yang akan membuat Bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat.

Nenek Yelu Kim yang sudah tua itu memang cukup berpengaruh di antara suku bangsa utara ini. Akan tetapi peran nenek Yelu Kim bukanlah sebagai pemimpin dan pembangkit semangat mereka, namun sebagai penengah. Nenek ini memang ditakuti karena memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi nenek Yelu Kim tidak pernah bangkit untuk memimpin mereka, hanya turun tangan bila mana terjadi pertempuran-pertempuran antara kelompok atau suku. Dan setiap kali, nenek ini harus memperlihatkan kepandaiannya untuk dapat melerai dan memadamkan api permusuhan di antara mereka.

Akan tetapi pergolakan di utara yang dipimpin oleh pemberontakan para datuk sesat yang bersekongkol dengan Panglima Ji Sun Ki di San-hai-koan, telah menimbulkan guncangan hebat di kalangan para suku Nomad di utara itu, membangkitkan sesuatu di dalam hati mereka yang selama ini tidak pernah lagi memikirkan kekuasaan yang sudah hilang di selatan.

Juga Yelu Kim bagaikan baru terbangun dari tidurnya. Mengapa tidak, demikian pikirnya. Kalau para datuk sesat saja berani mengadakan pemberontakan, mengapa dia tidak bisa memimpin suku-suku bangsa yang kuat dan terkenal sebagai ahli-ahli perang itu untuk mencoba membangkitkan lagi kekuasaan Bangsa Mongol dan sekutunya, meraih kembali mahkota yang pernah dikuasai oleh Bangsa Mongol?

Akan tetapi, api semangat yang mulai membakar dada orang-orang yang menjadi kepala kelompok atau suku itu kembali menimbulkan pertentangan lagi di antara mereka sendiri. Masing-masing ingin menjadi pemimpin jika mereka sampai dapat bersatu dan melakukan penyerbuan ke selatan selagi keadaan kacau oleh adanya pemberontakan.

Masing-masing ingin menjadi pemimpin, tentu saja dengan ambisi bahwa kalau gerakan mereka kelak berhasil, maka sang pemimpin itulah yang akan menjadi kaisar sampai ke anak cucu keturunannya! Hal inilah yang membuat prihatin dan menyesal di hati nenek Yelu Kim sampai dia berjumpa dengan Sui Cin. Di dalam diri gadis ini dia melihat bakat dan kepandaian yang dapat dia pergunakan untuk mencapai hasil baik dalam rencananya menghadapi pertikaian baru di antara para kepala suku itu.

Nenek itu berhasil membawa pergi Sui Cin dengan bantuan harimau peliharaannya, lalu mengobati Sui Cin yang tertipu oleh Kiu-bwe Coa-li dan minum racun pembius. Namun di samping keracunan, nenek itu juga mendapat kenyataan bahwa gadis itu pun kehilangan ingatannya, maka dia pun berusaha dengan sepenuh perhatian dan kepandaiannya untuk mengobati Sui Cin sehingga gadis itu akan sembuh sama sekali, termasuk dari penyakit kehilangan ingatan itu.

Nenek Yelu Kim memang ahli dalam hal pengobatan dan akhirnya dia berhasil mengobati Sui Cin hingga gadis itu memperoleh kembali ingatannya! Ingatan itu kembali kepadanya ketika pada suatu pagi dia terbangun kemudian melihat nenek itu sudah duduk di dekat pembaringannya. Nenek itu memegang sebatang jarum emas dan agaknya nenek itu tadi telah mengerjakan jarumnya pada waktu dia sedang tidur dan berhasil ‘membuka’ kembali ingatannya.

"Aihhhh...!" Sui Cin meloncat lantas bangkit duduk, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. "Aihh, semuanya terjadi seperti dalam mimpi saja...! Tapi aku tidak bermimpi!" Ia menengok ke arah pintu kamar itu dan memanggil girang ketika melihat seekor harimau besar menjenguk ke dalam. "Houw-cu, engkau pun kenyataan, bukan mimpi! Dan nenek Yelu Kim, yang telah menolongku!"

Nenek itu tersenyum dan wajahnya nampak cantik pada saat dia tersenyum. "Anak baik, engkau sudah ingat semua, juga akan keadaan dirimu? Tadinya engkau lupa sama sekali akan keadaan dirimu dan asal-usulmu."

Sui Cin membelalakkan matanya. "Benarkah itu? Ah, ya, teringat olehku sekarang. Tentu timpukan batu yang mengenai belakang kepalaku itulah yang membuatku lupa segalanya. Dan bagaimana nasib Hui Song...?"

Nenek itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu. Apakah dia pemuda yang menolongmu dari Kiu-bwe Coa-li itu?"

"Bukan! Pemuda itu adalah Cia Sun-twako. Ahh, tentu locianpwe tidak tahu. Betapa hebat dan mengerikan semua pengalamanku selama ini dan akhirnya locianpwe yang berhasil menyembuhkanku. Sungguh besar sekali budi locianpwe kepadaku."

"Hush, sudahlah. Di antara guru dan murid mana ada budi? Ingat, sesuai dengan janjimu, engkau sudah menjadi murid juga pembantuku. Sekarang lekas ceritakan keadaan dirimu dengan singkat."

"Namaku Ceng Sui Cin dan ayahku..." Sui Cin langsung teringat bahwa dia tidak boleh membawa-bawa nama orang tuanya, maka dia meragu. Bagaimana pun juga, dia belum mengenal benar siapa sesungguhnya nenek Yelu Kim yang telah menolongnya ini.

Akan tetapi nenek itu kemudian tersenyum setelah tadinya sepasang matanya terbelalak mendengar gadis itu memperkenalkan diri. Lalu tangannya yang kurus memegang lengan Sui Cin dan matanya yang tajam itu menatap wajah gadis itu, mulutnya tersenyum ramah.

"Sungguh para dewa sudah mempertemukan kita! Tepat suara hatiku bahwa engkaulah yang akan dapat membantuku dan menolong bangsa dan golongan kita. Kiranya engkau adalah keturunan Puteri Khamila, engkau masih berdarah bangsa kami, anak baik!"

Sui Cin amat terkejut dan merasa heran. Benarkah nenek ini dapat mengenal keluarganya hanya dengan namanya? Padahal, sebelum ini belum pernah dia mengenal nenek Yelu Kim.

"Apa maksud locianpwe?" tanyanya sambil memandang tajam.

Senyum nenek ini semakin melebar. "Tidak sulit mengenalmu, Sui Cin. Ilmu silatmu amat lihai dan selama engkau berada di sini, dalam latihan engkau memainkan beberapa ilmu silat yang kukenal bersumber pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Tadinya kukira engkau adalah murid Cin-ling-pai, akan tetapi setelah kini aku tahu bahwa engkau she Ceng, mudah saja menduga siapa adanya dirimu. Bukankah ayahmu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"

Sui Cin mengangguk. "Locianpwe sungguh cerdik sekali." Dia memuji.

"Dan ayahmu itu adalah putera Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai. Kakekmu itu adalah putera mendiang Kaisar Ceng Tung dan Puteri Khamila, dengan sendirinya antara engkau dan aku masih ada hubungan yang dekat sekali, Sui Cin." Kemudian kata-kata itu diakhiri dengan suara ketawa girang bukan main dari nenek itu.

Sui Cin memandang bengong ketika melihat nenek itu tiba-tiba bangkit dan menari-nari di dalam kamar itu, menari-nari sambil bernyanyi lagu Mongol dan bertepuk tangan! Harus diakuinya bahwa meski pun di situ tidak ada iringan musik, akan tetapi tarian itu sangat indah dan suara nyanyian nenek itu pun merdu sekali.

"Locianpwe..."

"Aku sudah menjadi gurumu dan kau masih menyebutku locianpwe?" Nenek yang sudah selesai menari itu menegur.

"Subo," akhirnya Sui Cin berkata dengan nada agak terpaksa.

Sesungguhnya, apa bila dia berada dalam keadaan sadar, dia tidak akan mau begitu saja berjanji menjadi murid dan pembantu nenek itu tanpa lebih dahulu mengenal keadaannya. Akan tetapi dia telah berjanji dan dia tak akan menarik kembali apa yang telah dijanjikan.

"Subo, hubungan dekat apakah yang ada antara kita?"

"Tidak dapatkah engkau menduganya? Nama keturunanku Yelu! Tidak tahukah engkau apa artinya nama itu?"

Sui Cin menggeleng kepala dan menyesal mengapa dia tidak tahu akan hal itu karena dia melihat betapa wajah nenek itu nampak kecewa sekali.

"Aihh, agaknya Ceng Thian Sin tidak pernah menceritakan kepadamu tentang kebesaran bangsa kita di utara."

"Ayah memang tidak suka menceritakan riwayat nenek moyang kami," kata Sui Cin.

"Sayang sekali. Nah, dengarkan baik-baik. Ketika Kaisar Jenghis Khan, raja terbesar di seluruh dunia, masih bertahta dan menguasai seluruh daratan sampai ke lautan selatan, beliau mempunyai seorang pembantu dan penasehat yang amat arif bijaksana, bernama Yelu Ce-tai. Siapakah orangnya yang tidak mengenal nama besar Yelu Ce-tai di samping nama besar Jenghis Khan? Yelu Ce-tai inilah pengatur semua siasat sehingga membuat pemerintahan Jenghis Khan berhasil dengan baik."

"Dan subo tentulah keturunan Yelu Ce-tai itu," kata Sui Cin karena memang mudah saja menduganya sekarang.

Nenek itu mengangguk dan wajahnya yang agung itu terlihat diangkat penuh kebanggaan. "Dan beliau tidak malu memiliki keturunan seperti aku! Kerajaan Mongol yang menguasai seluruh daratan selatan sudah hancur, dan keturunan Jenghis Khan yang besar itu telah lenyap tidak ada sisanya lagi, akan tetapi kebesaran Yelu Ce-tai masih belum kabur! Lihat aku ini, aku keturunannya, walau pun aku hanya seorang wanita, akan tetapi aku masih dipandang dan juga diakui oleh semua kelompok suku bangsa di utara sebagai penasehat agung yang selalu mereka segani dan taati!"

Kini mengertilah Sui Cin mengapa nenek ini nampak begitu agung dan penuh bangga diri. Kiranya memiliki kedudukan tinggi di antara suku bangsa utara.

"Subo telah menyelamatkan aku dan aku telah berjanji untuk membantu subo, sebetulnya bantuan apakah yang dapat aku lakukan? Bukankah sebagai seorang penasehat agung, subo memiliki banyak pembantu dan tidak membutuhkan lagi bantuanku?"

"Engkau tidak tahu betapa aku mengalami banyak kepusingan karena sifat liar dan keras dari orang-orang suku utara ini. Terutama sekali suku Khin yang amat ganas. Mereka itu menghormati aku, akan tetapi kadang kala menunjukkan kekerasan mereka dan agaknya mereka semua akan mudah sekali memberontak. Baiknya selama ini aku masih mampu mengendalikan mereka. Sekarang timbul keguncangan di kalangan kami karena adanya pergerakan kaum sesat di selatan yang hendak memberontak."

Sui Cin terkejut. Betapa pandainya nenek ini, sehingga urusan di selatan tentang gerakan para datuk sesat yang hendak memberontak pun dapat diketahuinya!

"Apakah yang subo ketahui tentang hal itu?"

Nenek itu tersenyum bangga. "Tentu saja aku tahu semuanya! Ha, jangan dikira bahwa kami orang-orang Mongol sudah melupakan kekalahan kami! Mungkin orang-orang kasar itu sudah menerima kekalahan mereka dan sudah putus asa. Akan tetapi aku tidak! Aku selalu memperhatikan perubahan serta pergolakan di selatan. Aku tahu bahwa seorang pangeran she Toan yang kini menjadi datuk sesat dengan julukan Raja Iblis, dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya, sedang berusaha untuk memberontak. Bahkan mereka sudah berhasil mengadakan persekutuan dengan panglima di San-hai-koan dan merampas benteng itu!"

"Selain itu?" Sui Cin mendesak.

"Tidak cukupkah itu? Kami melihat kesempatan yang sangat baik untuk bergerak selagi keadaan pemerintah Beng-tiauw kacau. Sudah tiba saatnya bagi kami untuk bergerak ke selatan, menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan. Tetapi orang-orang kasar itu, orang-orang liar itu, mereka bahkan saling berebut, saling bertentangan sendiri memperebutkan kedudukan pimpinan seperti anjing memperebutkan bungkusan kosong! Sungguh memuakkan!"

Nenek itu mengepal tinju dan kelihatan marah sekali. Sui Cin menduga bahwa nenek itu agaknya belum tahu akan gerakan para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.

"Lalu apa hubungannya semua itu dengan bantuan yang subo harapkan dariku?"

"Orang-orang gila itu makin menjadi-jadi saja dalam nafsu mereka untuk memperebutkan kedudukan sebagai pemimpin gerakan kami. Bahkan setiap kelompok sudah mengajukan usul agar masing-masing mengeluarkan jagoan dan diadakan pertandingan-pertandingan. Siapa yang jagonya menang berarti berhak menjadi pemimpin gerakan ke selatan. Aku ingin engkau membantuku, mewakili aku maju sebagai penghukum yang menaklukkan semua jagoan itu, atau menundukkan jagoan yang paling kuat dan yang keluar sebagai pemenang."

"Ahh...!" Sui Cin terkejut. "Mengingat betapa kepandaian subo sendiri sudah amat tinggi, tentu di antara kelompok itu terdapat orang-orang pandai pula. Lalu bagaimana aku akan dapat mengalahkan jagoan yang paling pandai? Jangan-jangan subo akan menyesal dan kecelik, aku malah yang akan kalah oleh jagoan itu sehingga nama serta wibawa subo akan menjadi turun."

"Tidak, tidak mungkin! Mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang hanya menggunakan kekuatan dan kelincahan menunggang kuda disertai keberanian. Mana mungkin ada yang mampu mengalahkanmu? Sui Cin, aku sudah tahu kelihaianmu. Di dalam ilmu berkelahi, aku sendiri tidak akan menang melawanmu. Pula, jika engkau maju sambil menunggang Houw-cu, siapa yang akan mampu mengalahkan engkau? Di samping itu masih ada lagi orang yang membantumu dari belakang dengan kekuatan sihir. Kami pasti menang dan kemenanganmu akan membuat semua orang tunduk akan keputusanku!"

"Aihh, jadi subo juga bercita-cita untuk turut memperebutkan kedudukan pemimpin itu?"

"Jangan salah duga! Seorang nenek setua aku ini sudah tidak butuh lagi kedudukan dan kemuliaan, akan tetapi aku ingin melihat bangsaku mendapatkan kembali kekuasaannya sebelum aku mati, apa lagi kalau kekuasaan itu diperoleh karena bantuan dan jasaku! Aku ingin kelak kalau mati, aku dapat menghadap nenek moyang Yelu Ce-tai dengan hati bangga. Biar semua orang melihat bahwa sampai kini Yelu Kim tetap menjadi orang yang menurunkan keluarga yang bahkan lebih besar dari pada keturunan Jenghis Khan sendiri! Aku harus memimpin kelompok-kelompok liar itu supaya berhasil menyerbu ke selatan. Kemudian, untuk pemilihan kaisar, harus dilakukan dengan bijaksana dan adil, di bawah bimbinganku pula!"

Sui Cin merasa heran dan diam-diam merasa khawatir kalau-kalau orang yang menjadi gurunya ini bukan hanya orang yang memiliki cita-cita besar, akan tetapi juga merupakan orang yang miring otaknya!

"Kalau aku sudah melakukan tugasku mengalahkan jagoan itu, lalu bagaimana dengan aku, subo?"

"Janjimu itu hanya terikat oleh bantuanmu memenangkan sayembara itu. Selanjutnya aku serahkan kepadamu. Kalau engkau mau membantu kami dalam perjuangan kami, tentu saja aku akan merasa gembira dan bersyukur sekali. Andai kata tidak dan engkau ingin meninggalkan aku, silakan."

Tentu saja, sesudah kini semua ingatannya pulih, diam-diam Sui Cin merasa tidak setuju dengan rencana nenek yang sudah menjadi gurunya ini. Nenek ini bersama bangsa dan kelompoknya sedang merencanakan pemberontakan! Padahal, sudah menjadi tugasnya untuk menentang pemberontak, untuk membela negara dan mencegah terjadinya perang agar rakyat tidak akan menderita.

Bahkan ia kini teringat bahwa ia berada di utara adalah karena ditugaskan oleh gurunya, Wu-yi Lo-jin, untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak menentang Raja dan Ratu Iblis yang akan mengerahkan kaum sesat untuk memberontak. Mana mungkin kini dia harus membantu pemberontakan nenek ini terhadap pemerintah?

Tetapi dia pun tahu bahwa nenek ini bukan orang jahat, bahkan telah menyelamatkannya dan menolongnya dari keadaan yang sangat menyedihkan, yaitu kehilangan ingatannya. Bagi nenek ini tentu saja gerakan memberontak itu merupakan suatu perjuangan untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya, Bangsa Mongol yang dulu pernah menjajah Tiongkok.

"Subo, apa subo kira mudah saja melakukan pemberontakan? Mana mungkin kelompok-kelompok suku di sini akan mampu menandingi kekuatan bala tentara kerajaan? Sebelum dapat berbuat banyak, tentu subo dan kawan-kawan subo sudah akan dihancurkan oleh kekuatan bala tentara kerajaan yang jumlahnya amat banyak dan kuat sekali."

Nenek itu tersenyum. "Ucapanmu memang benar. Akan tetapi seperti sudah kukatakan tadi, kini tiba saatnya yang sangat baik, terbuka kesempatan besar karena kaum sesat telah bergerak. Biarlah mereka yang akan menandingi bala tentara pemerintah dan kami akan memukul mereka dari belakang lantas merampas semua kota yang sudah mereka duduki. Dengan menghadapi perlawanan pasukan pemerintah dari depan, tentu mereka akan lemah sehingga tak akan mampu bertahan kalau kami pukul dari belakang. Mereka itulah yang akan menjadi pelopor kami dan kami tinggal merampas hasil-hasil mereka dari belakang saja."

Diam-diam Sui Cin terkejut juga. Nenek ini sungguh cerdik dan kalau semua siasat nenek itu berhasil, maka keadaannya betul-betul berbahaya bagi pemerintah. Berarti pemerintah harus menghadapi dua gelombang serangan musuh, dan menurut sejarah yang pernah dibacanya, suku Bangsa Mongol di utara adalah orang-orang yang amat gagah perkasa, berani mati dan tangkas dalam pertempuran.

"Akan tetapi, subo, hal itu akan menyalakan api peperangan besar, dan membutuhkan biaya yang sangat besar untuk menggerakkan banyak orang bertempur,. Kalau subo tidak mempunyai harta benda yang banyak untuk itu..."

"Jangan kau khawatir. Aku selalu membiasakan diri berpikir sampai matang dan membuat persiapan selengkapnya sebelum bergerak. Jika aku tidak mempunyai harta pusaka yang amat besar jumlahnya, mana berani aku merencanakan gerakan perjuangan?"

Tiba-tiba saja terdengar suara mengaum, dan harimau besar itu mendekati Sui Cin lalu mengelus-elus punggung gadis itu dengan kepalanya. Itulah tandanya bahwa si harimau itu mengajaknya bermain-main.

"Houw-cu, bersabarlah, nanti kita main-main," katanya dan melihat harimau ini, mendadak Sui Cin teringat akan sesuatu.

Terbayanglah semua peristiwa di dalam goa. Goa Iblis Neraka! Ketika dia menyelidiki goa itu, sebelum muncul Hui Song bersama Siang Hwa beserta dua orang kakek, dia melihat bayangan lima orang yang dengan amat cepatnya berkelebat memasuki goa. Kemudian dia melihat mereka keluar lagi sambil memikul sebuah peti yang nampaknya berat.

Ia teringat akan harta pusaka di dalam goa itu. Agaknya Hui Song bersama wanita cantik dan dua orang kakek itu memasuki goa untuk mencari harta pusaka, akan tetapi sudah kedahuluan oleh lima bayangan itu. Dan kini teringatlah dia bahwa pada dada mereka itu nampak gambar harimau, tersulam pada baju mereka.

"Subo, aku pernah mendengar tentang pusaka di Goa Iblis Neraka...," dia memancing.

Nenek itu membelalakkan matanya. "Aha! Engkau pun tahu akan hal itu? Kini tidak perlu kusembunyikan lagi. Memang kami sudah mendapatkan harta pusaka itu. Untung sekali, karena harta pusaka itu telah diincar oleh Raja dan Ratu Iblis!"

"Kalau begitu, subo mempunyai banyak anak buah? Kukira, tadinya subo hanya bertiga dengan aku dan Houw-cu ini..."

"Jangan bodoh. Kalau hanya sendirian saja mana mungkin aku mampu mempertahankan kedudukanku? Pernahkah engkau mendengar tentang Perkumpulan Harimau Terbang?"

Sui Cin menggelengkan kepala, hanya diam-diam menduga bahwa tentu lima orang yang memakai baju bersulam gambar harimau itu merupakan anggota-anggota Perkumpulan Harimau Terbang.

"Harimau Terbang adalah nama perkumpulan rahasia yang kudirikan di daerah Mongol ini. Sebetulnya pendirinya adalah nenek moyangku, semenjak Yelu Ce-tai dan merupakan perkumpulan yang para anggotanya terdiri dari orang-orang pandai. Dengan bantuan para anggota perkumpulan itu, aku dapat menguasai para kepala kelompok dan kepala suku sehingga sampai kini persatuan di antara mereka dapat kupertahankan."

Diam-diam Sui Cin merasa semakin kagum kepada nenek ini. Seorang nenek yang selain memiliki kepandaian tinggi, pandai sihir, juga cerdik bukan main, bahkan menjadi kepala dari sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya selalu bergerak secara rahasia pula dan disegani oleh semua kepala suku serta kepala kelompok yang liar di daerah Mongol dan Mancu.

Ia pun melihat betapa para pendekar akan sukar untuk dapat menentang Raja dan Ratu Iblis yang ternyata bukan hanya dibantu oleh kaum sesat, akan tetapi bahkan juga telah bersekutu dengan pasukan pemberontak yang besar jumlahnya dan kini bahkan mereka sudah berhasil merampas dan menduduki benteng pertama San-hai-koan.

Jika begini, untuk menghadapi mereka dibutuhkan pasukan yang kuat pula, bukan hanya sekedar beberapa puluh orang pendekar saja. Maka, dia pun mengambil keputusan untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Raja dan Ratu Ibils itu dengan cara membantu orang-orang Mongol ini. Bukan membantu untuk memberontak, tetapi membantu mereka untuk menentang pasukan pemberontak Raja Iblis.

"Subo sudah mempunyai banyak anggota Perkumpulan Harimau Terbang yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa subo masih membutuhkan bantuanku untuk menghadapi jagoan dari para kelompok itu?"

"Tidak, Sui Cin. Mereka itu lihai akan tetapi kelihaian mereka dalam hal ilmu silat jauh di bawah tingkatmu. Mereka itu hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari dariku saja, jadi tidak dapat terlalu diandalkan untuk menghadapi jagoan yang tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi kalau dengan ilmu silatmu yang tinggi engkau yang maju, dibantu oleh Houw-ji yang menjadi binatang tungganganmu, sambil kubantu pula dari belakang dengan kekuatan sihirku, maka aku yakin engkau pasti akan menang dan kemenanganmu akan membuat mereka semua tunduk padaku."

"Baiklah, subo. Aku akan membantu subo, bahkan aku akan membantu pula kalau subo menentang pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Akan tetapi tak mungkin aku dapat membantu jika subo melawan pemerintah. Tentu subo tahu bahwa tak mungkin aku menjadi pemberontak."

Nenek itu mengangguk-angguk. "Aku bisa mengerti, Sui Cin. Kita sama-sama merupakan orang yang setia kepada negara dan bangsa, hanya sayang sekali kita terlahir sebagai bangsa yang berlainan."

Demikianlah, Sui Cin segera diberi petunjuk oleh Yelu Kim untuk dapat bertanding sambil menunggang harimau besar itu dan karena gadis ini memang memiliki ginkang dan ilmu silat yang hebat, ditambah lagi bahwa dia telah akrab dengan harimau itu, sebentar saja dia sudah mahir menunggang harimau itu sambil menggerakkan sebatang tongkat baja sebagai pengganti senjata payungnya.

Yelu Kim juga sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sayembara mengadu jagoan untuk memilih pimpinan perjuangan itu. Anak buahnya, yaitu para anggota Perkumpulan Harimau Terbang yang jumlahnya ada seratus orang telah disiapkan, akan tetapi seperti biasanya, mereka ini tidak muncul di depan umum melainkan bergerak secara rahasia, menyelinap di antara anggota-anggota kelompok berbagai suku bangsa itu, menutupi baju sulaman gambar harimau dengan jubah masing-masing kelompok…..

********************

Sejak pagi mereka sudah berkumpul di padang tandus itu. Sebuah tanah datar luas yang kering. Puluhan kelompok suku bangsa yang bermacam-macam, akan tetapi berasal dari tiga suku bangsa, yaitu Mongol, Mancu, dan Khin, sudah berkumpul di tempat itu. Mereka masing-masing mendirikan tenda besar dan dari dandanan pakaian dan bendera masing-masing dapat dibedakan antara mereka walau pun bentuk tubuh dan wajah mereka tidak banyak berbeda, bahkan banyak sekali yang serupa. Mereka itu adalah tukang berkelahi, orang-orang yang sejak kecil sudah terbiasa hidup di alam liar dan selalu menghadapi tantangan hidup yang keras dan sukar.

Kepala kelompok atau kepala suku mengenakan pakaian yang bermacam-macam, akan tetapi semuanya serba indah dan gagah. Ada pula yang mengenakan pakaian seragam panglima, mungkin peninggalan nenek moyang mereka ketika masih menjajah Tiongkok. Ada pula yang berkepala gundul berjubah pendeta, menunjukkan bahwa kepala kelompok ini seorang pendeta Buddha.

Para kepala kelompok yang jumlahnya sampai tiga puluh orang lebih karena banyak di antara mereka mempunyai wakil, berkumpul di tengah lapangan luas itu untuk berunding tentang pelaksanaan adu jago di antara mereka. Nampak Yelu Kim telah hadir pula dan kedudukan nenek ini jelas nampak karena kalau para kepala kelompok itu du-duk bersila di atas tanah yang membentuk sebuah lingkaran, adalah nenek Yelu Kim sendiri yang duduk di atas sebuah tandu. Ia tidak memimpin perundingan itu, namun bertindak sebagai penasehat dan selalu nenek inilah yang memecahkan persoalan yang mereka hadapi dan merupakan jalan buntu.

Setelah mengadakan perundingan yang ramai dan kadang-kadang diselingi pembantahan yang nyaris saja menjadi perkelahian apa bila tidak dilerai oleh Yelu Kim, akhirnya diambil keputusan bahwa masing-masing kelompok yang hadir hanya diperbolehkan mengajukan seorang jagoan saja.

Masing-masing jagoan hanya dipertandingkan dalam satu kali pertandingan saja, secara bebas, boleh naik kuda atau tidak, dan boleh mempergunakan senjata apa saja. Jagoan dianggap kalah apa bila dia menyatakan tidak berani melawan lagi atau kalau dia roboh tak mampu bangun lagi. Kematian atau luka parah yang terjadi di dalam pertandingan ini dianggap wajar dan tidak akan dijadikan alasan untuk menaruh dendam atau membalas. Untuk menentukan siapa yang maju lebih dahulu, diadakan undian dan jagoan yang telah menang satu kali diperkenankan beristirahat, tidak diharuskan menghadapi lawan secara beruntun.

Peraturan pertandingan diadakan sedemikian adilnya sehingga Sui Cin yang diam-diam menyaksikan perundingan itu sebagai pengawal nenek Yelu Kim merasa amat kagum dan merasakan benar betapa orang-orang yang kasar ini sesungguhnya memiliki kegagahan dan sama sekali tidak mau menggunakan kecurangan dalam memperebutkan kedudukan itu. Tidak seorang pun mempedulikannya karena dia hanya dianggap sebagai pengawal atau pembantu Yelu Kim dan Sui Cin merasa aman bersembunyi di balik punggung nenek Yelu Kim.

Bagaimana pun juga, dia merasa ngeri juga. Pertandingan itu, walau pun dilaksanakan di antara sahabat-sahabat seperjuangan, namun jelaslah bahwa jagoan masing-masing tak akan mau saling mengalah. Dan kalau melihat sikap serta watak mereka, agaknya dapat dibayangkan bahwa setiap orang jagoan agaknya hendak mempertahankan nama serta kehormatan sampai saat terakhir! Pertandingan yang keras dan kejam dan sudah dapat ia bayangkan bahwa tempat itu nanti tentu akan menjadi merah oleh darah!

Tidak lama kemudian perundingan itu pun berakhir dan masing-masing kepala kelompok lalu mengajukan jagoan masing-masing. Bahkan ada kepala kelompok yang maju sendiri karena dia tidak puas kalau diwakili orang lain yang dianggapnya kurang tangguh. Nenek Yelu Kim lalu memberi tanda kepada empat orang pemikul tandu untuk mengundurkan diri, diikuti oleh Sui Cin dan nonton dari satu pinggiran yang terpisah.

Ternyata tidak semua kelompok mengajukan jagoan. Agaknya ada pula di antara mereka yang tidak berhasil menemukan jago yang mereka anggap cukup tangguh, maka mereka hanya menjadi penonton saja. Mereka kebanyakan terdiri dari kelompok-kelompok yang kecil. Karena itu, sesudah semua jagoan maju, dari dua puluh orang lebih kelompok itu yang muncul hanya sembilan orang jagoan saja.

Di antara sembilan orang jagoan ini hanya ada tiga orang yang tidak menunggang kuda, sedangkan enam orang yang lainnya menunggang seekor kuda yang besar dan tangkas. Memang salah satu di antara keahlian orang-orang utara ini adalah menunggang kuda.

Sui Cin hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika dia mengenal salah seorang di antara sembilan jagoan itu. Seorang pemuda tinggi tegap yang sangat gagah, dengan memakai jubah kulit harimau, menunggang seekor kuda putih dan bersenjata sebatang tombak kong-ce yang bercabang dan bergagang panjang.

Pemuda ini nampak pendiam dan tidak bersikap sombong seperti para jagoan lain yang membusungkan dada dan tersenyum-senyum bangga. Pemuda ini hanya menundukkan muka dan bersikap acuh tak acuh. Tentu saja Sui Cin merasa terkejut dan heran karena pemuda ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang!

Mau apa putera Si Iblis Buta ini berada di situ, bahkan menjadi jagoan dari satu di antara kelompok suku dari utara? Biar pun Sui Cin tahu bahwa Ci Kang adalah seorang pemuda gagah perkasa yang tak dapat dikatakan jahat, namun bagaimana pun juga dia adalah putera seorang datuk sesat yang ditakuti seperti iblis.....!

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar