"Awas, ini sekali lagi!" teriaknya.
Dua orang muda yang berdiri menonton di pinggir memandang dengan penuh perhatian dan kekaguman. Mereka berdua dapat merasakan kedahsyatan pukulan ciu-ouw itu. Dari tempat mereka berdiri saja mereka dapat merasakan getaran hawa pukulan yang sangat hebat dari guci arak, dan ketika guci arak tadi bertemu dengan perut, terjadi getaran yang lebih dahsyat lagi, terasa benar oleh mereka.
"Siuuuttt...! Bunggg...!"
Pukulan ketiga ini hebat bukan kepalang, getarannya sampai membuat daun-daun pohon bergerak dan bumi yang diinjak Hui Song dan Sui Cin turut tergetar. Akan tetapi San-sian menerima pukulan ketiga itu sambil tersenyum lebar dan tubuhnya tak tergoncang sedikit pun!
"Heh-heh-heh-ha-ha-ha!" Kakek gendut tertawa.
Sui Cin dan Hui Song maklum bahwa kakek itu bukan sembarang tertawa saja, melainkan mengeluarkan hawa yang tadi dipergunakan untuk melindungi isi perutnya. Pada saat dia tertawa, hawa itu keluar sehingga nampak uap putih keluar dari mulutnya.
"Tiga kali gucimu yang butut itu menghantamku, namun aku tidak merasa apa-apa! Kau kalah, Ciu-sian!"
Ciu-sian mengerutkan alisnya dan mengamati gucinya, seolah-olah hendak menyalahkan gucinya dalam kegagalannya itu. Dia mengikatkan guci pada punggungnya kembali, dan berkata, "Gendut! Engkau memang kuat. Akan tetapi sekarang cobalah kau menyerangku tiga kali dengan kipas lalatmu itu. Jika aku tak kuat bertahan, maka kekalahanku menjadi lengkap dan baru aku mau mengakui kekalahan."
"Ha-ha-ha-ha, Ciu-sian, hati-hati kau dengan kebutan kipasku. Pohon besar itu pun akan roboh dilanda kebutanku!" kata kakek gendut. "Apa lagi tubuhmu yang kecil kerempeng ini!"
"Tidak perlu memperlebar mulutmu yang sudah besar, San-sian. Mulailah!" Kakek katai itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lalu ditekuk seperti orang menunggang kuda, dan kedua lengan disilangkan, dipasang di depan dada.
"Sini, agak jauh dari pohon itu!" kata San-sian sambil melangkah mundur menjauhi pohon.
"Srrrttttt...!" Kakek katai itu mengikuti maju, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak melangkah. Tubuhnya maju dalam keadaan masih memasang kuda-kuda seperti tadi. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya Kakek Dewa Arak ini. Dengan diam-diam kakek gendut harus mengakuinya juga.
"Awas, Cui-sian, aku akan mulai! Jangan salahkan aku jika kipasku mengebutmu sampai terlempar dan terbang ke langit!"
Sesudah memasang kuda-kuda, kakek gendut menggerakkan tongkatnya, diputarnya ke atas kepala dan tiba-tiba kipas itu menyambar dari belakang tubuhnya, membawa angin besar mengebut ke arah kakek katai dengan kekuatan kebutan yang amat hebat.
Angin kebutan menyambar dahsyat, membuat jenggot panjang dan jubah kakek katai itu berkibar, bahkan Sui Cin dan Hui Song yang berada agak jauh merasakan kebutan angin yang membuat pakaian dan rambut mereka berkibar. Namun tubuh kakek katai itu sendiri sama sekali tidak bergeming, seperti angin keras yang biar pun mampu menumbangkan pohon, tetapi sama sekali tidak berdaya terhadap sebongkah pilar baja yang kokoh kuat dan tertanam dalam-dalam di tanah!
San-sian menjadi penasaran dan kebutannya yang kedua kalinya lebih kuat lagi, sampai mengeluarkan angin yang suaranya bersiutan. Akan tetapi, seperti juga tadi, kakek katai itu tetap berdiri tegak dan tidak bergeming, hanya memejamkan mata karena angin keras membuat matanya perih. Kedua kakinya yang berukuran kecil seolah-olah sudah berakar dalam-dalam di tanah di mana dia berpijak.
"He-he-heh-heh, satu kali lagi dan awas, hati-hati kau!" bentak kakek gendut itu.
Sekarang dia memutar tongkatnya, kemudian kipasnya membuat gerakan berputar yang aneh. Dan akibatnya hebat sekali. Debu beterbangan, bukan hanya debu, melainkan juga pasir dan batu kerikil yang beterbangan lalu berpusingan.
Ternyata gerakan kipas itu mendatangkan angin berpusing yang kuat sekali dan melanda tubuh kakek katai, seakan-akan angin puyuh yang hendak mencabut kakek katai itu dari atas tanah! Akan tetapi, kakek katai itu nampak mengerahkan kekuatannya, kedua kainya sedikit tergetar, akan tetapi kekuatan dahsyat yang timbul dari gerakan kebutan kipas itu pun sekali ini tidak mampu mengangkat kedua kakinya!
"Wah, wah, Ciu-sian, engkau ini ternyata tua-tua keladi, makin tua makin jadi! Hebat dan kita masih belum ada yang kalah atau menang!"
"Kurasa jalan satu-satunya hanya mengadu ilmu silat, San-sian," kata kakek katai sambil melepaskan guci araknya dari punggung.
“Boleh, boleh, memang sejak tadi aku ingin sekali melihat kemampuanmu!" kata San-sian sambil melintangkan tongkat kipasnya.
Melihat betapa dua orang kakek katai itu sudah bersiap untuk saling gebuk, Sui Cin cepat melangkah maju melerai. "Harap kalian bersabar dulu," katanya.
"Mana bisa bersabar kalau kehendakku ditentang?" kata kakek gendut.
"Mana bisa bersabar kalau muridku hendak dirampas?" bantah kakek katai.
Sui Cin tersenyum. "Ji-wi berdua, dan kami pun berdua, mengapa harus ribut-ribut untuk saling berebut? Bagi rata saja kan beres? Tadi Ciu-sian sudah berjanji akan mengajarkan ginkang kepadaku, jadi kalau kakek San-sian mengajarkan ilmunya kepada Song-twako, bukankah itu sudah tepat sekali?"
Dua orang kakek itu bingung, lalu keduanya menggeleng kepala. "Mengapa kita jadi tolol begini?" kata si gendut.
"Kenapa hal begini sepele saja tidak mampu kita pecahkan tadi?" gumam si katai.
"Nah, pemecahannya sangat mudah, bukan? Mulai sekarang, Song-twako menjadi murid Siang-kiang Lo-jin dan..."
"Tidak ada murid! Tidak ada murid!" Dua orang kakek itu berkali-kali segera membantah, dan ketika dua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka, keduanya membalikkan tubuhnya tidak mau menerima penghormatan murid terhadap guru itu.
"Eh, bukankah ji-wi tadi sampai mau berkelahi akibat memperebutkan kami untuk menjadi murid? Kenapa sekarang malah menolak? Apa maksud ji-wi ini?" Hui Song mengerutkan alisnya dan bertanya. Tadinya dia sudah merasa gembira sekali karena kalau dia dapat mempelajari ilmu dari kakek gendut itu, alangkah senang hatinya.
"Bangun dan duduklah, mari bicara," kata Wu-yi Lo-jin. Kedua orang muda itu lalu bangkit dari berlutut dan mereka duduk di atas batu-batu di bawah pohon.
"Seperti pernah kuceritakan kepada kalian, kami sudah terikat oleh sumpah kami kepada tongkat laknat... eh, Tongkat Suci itu bahwa kami seketurunan juga termasuk murid-murid harus tunduk dan taat, tidak boleh melawan mereka yang memiliki tongkat itu. Kami tidak ingin kalian menjadi murid kami hingga terseret ke dalam ikatan itu. Kalian sudah melihat sendiri betapa Pangeran Toan Jit Ong mempengaruhi dan mengikat mereka yang kalah dengan sumpah. Nah, kami yang pernah dijuluki Delapan Dewa juga sudah diikat dengan sumpah."
"Akan tetapi, kek. Kalau melihat ilmu kepandaian Ratu Iblis itu, agaknya kalian tidak akan kalah..."
Kakek katai menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu... kepandaian mereka itu hebat sekali. Ketika Ratu Iblis itu mengalahkan lawan-lawannya, ia belum mengeluarkan semua ilmunya, hanya mempermainkan mereka saja. Dan pangeran itu sendiri, hanya dengan mengeluarkan suara saja telah mampu menaklukkan Iblis Buta! Agaknya aku sendiri hanya dapat mengimbanginya dalam hal ginkang, sedangkan dalam ilmu-ilmu lain, jelas aku masih tidak sanggup menandinginya."
"Benar Itu! Ilmu iblis itu hebat bukan kepalang. Aku sendiri pun mungkin hanya sanggup menandingi dalam hal kekuatan, akan tetapi dalam ilmu silat, aku kalah jauh," sambung kakek gendut dengan suara sungguh-sungguh.
"Karena kami sendiri tidak berdaya dan tidak mau melanggar atau mengkhianati sumpah sendiri, maka satu-satunya jalan bagi kami adalah menurunkan semua ilmu kami kepada orang-orang muda yang berbakat bagus dan berjiwa bersih. Merekalah yang kelak harus menghadapi dan membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama para pembantunya."
"Orang muda, maukah engkau belajar ilmu dariku?" tanya San-sian sambil menatap wajah pemuda yang ganteng dan gagah itu.
Hui Song mengangguk-angguk dan menjura dengan wajah girang. "Tentu saja aku mau, kek," katanya meniru Sui Cin karena kini dia tahu benar bahwa kakek ini pun tidak mau dianggap guru olehnya.
"Akan tetapi tidak mudah belajar dariku. Di samping harus tekun, juga harus tahan uji dan sekali bilang mau, maka harus belajar hingga berhasil. Latihan-latihannya berat sekali dan engkau tak boleh meninggalkannya setengah jalan, karena kalau demikian, terpaksa aku akan membunuhmu dari pada engkau membawa pergi ilmuku yang masih mentah."
Hui Song mengangguk-angguk. Dia adalah putera ketua Cin-ling-pai, seorang yang sejak kecil telah digembleng untuk menjadi pendekar tulen. Karena itu tentu saja dia selalu siap menghadapi segala macam kesukaran dalam belajar ilmu.
"Dan engkau ikutlah denganku, Sui Cin. Aku akan mengajarkan ilmu ginkang, akan tetapi jangan dikira latihan-latihan dariku tidak berat! Selama belajar, kalau engkau kurang tekun dan sembarangan, maka nyawalah taruhannya!" kata Ciu-sian.
Sui Cin tersenyum. "Kesukaran dan bahaya adalah makananku sejak kecil, kek, jangan khawatir aku akan mundur karenanya. Akan tetapi, berapa lamakah kiranya kami masing-masing harus belajar dari kalian?"
"Ilmu silat kalian sudah cukup tinggi, apa bila dilatih sampai matang kiranya sudah cukup untuk menghadapi lawan seperti Raja Iblis sekali pun. Akan tetapi iblis-iblis itu memiliki sinkang dan ginkang yang amat hebat. Kalian jauh kalah cepat dan kalah kuat, maka kami akan memperkuat kalian dalam hal itu, di samping mematangkan ilmu silat kalian. Karena kita diburu waktu, dan kalian sendiri sudah mendengar bahwa dalam waktu tiga tahun lagi mereka akan menyiapkan pemberontakan mereka, maka sebelum waktu itu kalian harus sudah selesai mematangkan ilmu-ilmu kalian," kata Ciu-sian dan mendengar ini, San-sian mengangguk-angguk.
"Memang benar sekali. Orang muda, dengan bekal ilmu silatmu yang tinggi dan murni dari Cin-ling-pai itu, jika dimatangkan selama tiga tahun, tentu engkau akan cukup kuat untuk menentang mereka."
Hati kedua orang muda itu merasa gembira sekali. Akan tetapi wajah Hui Song menjadi muram dan hatinya berduka sesudah dia mendengar bahwa kedua orang kakek itu akan berpisah sehingga terpaksa dia pun akan berpisah dari Sui Cin! Dan perpisahan itu untuk waktu tiga tahun!
"Cin-moi...," katanya ketika mereka diberi kesempatan untuk berbicara empat mata sebab dua orang kakek itu pun sedang bercakap-cakap dan berunding berdua di bawah pohon, agaknya tidak mempedulikan dua orang muda itu.
"Bagaimana Song-twako? Tidak girangkah hatimu memperoleh guru yang demikian lihai?" Dara itu menatap wajah yang tampan itu, lantas menyambung cepat. "Mengapa wajahmu muram seperti orang berduka, twako?"
"Cin-moi, bagaimana hatiku tidak akan berduka? Kita akan saling berpisah!"
Dara itu tersenyum. "Aih, tentu saja! Bukankah kita masing-masing akan mengikuti pelatih kita ke tempat masing-masing? Tiga tahun lagi kita akan saling berjumpa, twako."
"Tiga tahun... alangkah lamanya. Aku akan merasa rindu sekali kepadamu, Cin-moi."
"Tentu saja, aku pun akan merasa rindu kepadamu, twako," kata Sui Cin yang berhati polos dan jujur. Mendengar ini, sepasang mata Hui Song bersinar penuh harapan.
"Benarkah itu, Cin-moi? Engkau akan rindu kepadaku?"
Sui Cin memandang heran. Kenapa yang begitu saja Hui Song bertanya dan seperti tidak percaya?
"Tentu saja! Kenapa tidak?"
"Ahh, setiap malam aku akan memimpikan engkau, Cin-moi...!"
Sui Cin tertawa, "Ya, aku pun akan memimpikan engkau, twako. Akan tetapi tidak saban malam. Wah, bisa capek kalau setiap malam memimpikan engkau saja."
Hui Song mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang cantik manis itu. "Cin-moi, jangan main-main, engkau... engkau tidak tahu apa artinya semua ini begiku... Aku akan menderita, Cin-moi... selama tiga tahun tidak melihatmu. Ahh, rasanya belum tentu kuat aku menahan kerinduan hatiku..."
"Ahh, apa-apaan sih engkau ini twako? Omonganmu tidak seperti biasa dan aku menjadi bingung."
"Cin-moi, benarkah engkau tidak tahu atau tak dapat menduganya? Baiklah, sebelum kita saling berpisah, aku harus memberi tahu kepadamu. Cin-moi, semenjak kita berjumpa, semenjak kita berkenalan, bahkan selagi aku mengenalmu sebagai pemuda, aku... aku telah jatuh cinta padamu! Nah, lega hati ini setelah mengaku. Aku cinta padamu, Cin-moi, aku cinta padamu!"
Sepasang pipi gadis itu memang berubah menjadi merah, namun dia tidak menundukkan mukanya seperti lajimnya gadis yang menghadapi pengakuan cinta seorang pemuda dan menjadi malu. Tidak, Sui Cin tidak merasa malu, bahkan merasa geli dan dia tidak dapat menahan ketawanya. Dia tertawa bebas, seperti biasanya kalau dia tertawa di depan Hui Song, tanpa malu-malu dan mulutnya tidak ditutup-tutupinya lagi seperti kalau dia tertawa di depan orang lain.
"Ehh, kenapa kau tertawa, Cin-moi?"
"Habis, engkau lucu sih!"
"Cin-moi, aku tidak main-main. Aku tadi bicara sungguh-sungguh dan semua kata-kataku keluar langsung dari lubuk hatiku. Aku sungguh telah jatuh cinta padamu, Cin-moi!"
"Ihh, twako, engkau ini aneh-aneh saja. Aku tidak tahu apa dan bagaimana cinta itu. Aku suka padamu, twako, suka bersahabat denganmu. Akan tetapi cinta? Entahlah, aku tidak tahu apakah aku mencintamu atau mencinta seseorang ataukah tidak?"
"Cin-moi, aku... aku ingin agar kelak kita menjadi jodoh, menjadi suami isteri..."
"Ihhh! Kau membikin aku bingung dan canggung, twako. Aku belum memikirkan hal yang tidak-tidak. Kita masih mempunyai banyak tugas, pertama belajar yang tekun dan kedua menghadapi persekutuan Raja Iblis itu, bukan? Lagi pula, urusan perjodohan selayaknya dibicarakan orang tua, bukan kita."
Sui Cin teringat akan usul orang tuanya yang ingin menjodohkan dia dengan Can Koan Ti, putera Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur Propinsi Ce-kiang di kota Ning-po itu. Tentu saja dia akan memilih Hui Song dari pada Koan Ti, akan tetapi dia tidak tahu apakah dia ingin menjadi isteri Hui Song atau isteri siapa saja.
"Memang betul, Cin-moi. Akan tetapi hatiku akan tenteram bila mengetahui bahwa engkau pun setuju, bahwa engkau sudi menerima cintaku, bahwa engkau pun cinta padaku..."
Kembali Sui Cin tertawa dan kembali suara ketawa itu seperti ujung pedang menusuk hati Hui Song. "Ehh, kenapa engkau tertawa lagi, Cin-moi?" tanyanya dengan alis berkerut.
"Ucapanmu tadi mengingatkan aku akan pertunjukan wayang yang pernah kutonton... jika tidak salah, pada saat Pangeran Can Seng Ong gubernur di Ning-po, mengadakan pesta ulang tahunnya. Ada sandiwara wayang di situ, dan di dalam pertunjukan itu ada seorang pemain pria mengucapkan kata-kata sama persis dengan ucapanmu tadi kepada seorang pemain wanita..."
"Cin-moi, agaknya ucapan pengakuan cinta di bagian dunia mana pun sama saja. Ucapan itu suci dan mulia, Cin-moi, jangan ditertawai karena aku sungguh-sungguh cinta padamu. Sudikah engkau menerima cintaku Cin-moi?"
"Aih, sudahlah twako, jangan bicara tentang hal itu sekarang. Aku belum mau memikirkan hal itu dan aku tidak tahu!"
Itulah kata-kata terakhir Sui Cin, karena Hui Song tidak berani mendesak lagi. Dia cukup mengenal watak dara itu dan kalau dia terus mendesak, tentu Sui Cin akan marah. Dara itu baru berusia lima belas atau enam belas tahun, mungkin belum cukup dewasa untuk bicara tentang cinta. Dia harus bersabar.
Bagaimana pun juga, hatinya terasa berat, tertekan dan sedih ketika pada siang hari itu dia berpisah dari Sui Cin yang mengikuti kakek katai dengan wajah gembira. Dia sendiri mengikuti kakek gendut yang menjadi gurunya tanpa mau disebut guru…..
********************
Teriakan-teriakan yang menyelingi desir angin pukulan itu tidak terdengar lagi dari luar air terjun, karena selain goa yang berada di belakang air terjun itu amat dalam, juga suara air terjun yang gemuruh itu menyelimuti suara di sebelah dalam. Goa itu memang lebar dan dalam, luas sekali. Dasarnya berupa anak sungai yang mengalir jernih di antara batu-batu besar yang menonjol di sana-sini.
Di tepi anak sungai itu terdapat lantai goa dari batu. Melihat betapa di sana-sini terdapat pilar-pilar batu, dapat diketahui bahwa goa ini, yang tercipta oleh alam, telah dibantu oleh manusia yang membuat pilar-pilar batu untuk menyangga. Sebuah tempat persembunyian yang amat luas dan enak. Inilah tempat pertapaan Siang-kiang Lo-jin. Sebuah goa di balik air terjun yang terdapat di lembah Sungai Siang-kiang.
Kalau orang memasuki goa itu, yang tidak nampak dari luar sehingga merupakan tempat tersembunyi, maka dia akan melihat bahwa teriakan-teriakan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang sedang berlatih silat. Akan tetapi cara pemuda ini bermain silat pasti akan membuat orang merasa heran dan kagum bukan main.
Pemuda itu bertubuh sedang dan tegap, hanya memakai celana panjang saja tanpa baju. Nampak tubuh yang sedang itu penuh dengan otot-otot yang melingkar-lingkar, membuat tubuh itu kelihatan kokoh kuat penuh tenaga. Rambutnya agak awut-awutan, digelung ke atas dan sisanya berjuntai ke bawah, ikut bergerak-gerak bersama kepalanya ketika dia bermain silat.
Anehnya, pemuda itu memakai beban besi yang besar pada kedua kaki dan tangannya. Beban di kakinya itu masing-masing tentu tak kurang dari empat puluh kati dan di tangan masing-masing melingkari lengan, tentu ada dua puluh lima kati. Selain dibebani besi di kedua kaki dan lengannya, juga pemuda ini bersilat di atas batu-batu yang menonjol di permukaan anak sungai itu, batu-batu yang amat licin.
Dapat dibayangkan beratnya latihan ini. Namun, pemuda yang usianya sekitar dua puluh empat tahun itu terus berlatih dengan tekun, mengatur napas dalam setiap gerakan, dan mengeluarkan bentakan-bentakan untuk setiap pukulan atau tangkisan. Orang biasa saja tentu sudah akan merasa tersiksa kalau harus bergerak dengan beban pada kaki tangan itu, apa lagi harus bermain silat, di atas batu-batu licin lagi! Namun, pemuda itu bersilat dengan gaya yang indah, dengan gerakan yang cepat dan amat keras. Setiap gerakannya menimbulkan desiran angin.
Di tepi anak sungai itu berdiri seorang kakek yang perutnya gendut sekali, berdiri sambil tersenyum lebar dan memegang sebatang tongkat yang ujungnya ada kipasnya. Dengan suara ramah dia memberi petunjuk-petunjuk dan mengangguk-angguk dengan wajah puas sekali.
Memang tidak ada alasan bagi Siang-kiang Lo-jin untuk merasa tidak puas dengan semua kemajuan yang dicapai oleh Hui Song, pemuda itu. Selama hampir tiga tahun ini, pemuda itu berlatih dengan sangat tekunnya. Dia digembleng keras oleh kakek gendut itu, berlatih memperkuat sinkang dengan bertapa di dalam air setinggi leher. Air dingin itu menyelimuti tubuhnya, sampai tiga hari tiga malam dan dia hanya boleh meneguk air di hadapannya setiap kali kelaparan atau kehausan menyiksanya.
Kemudian, latihan dengan beban-beban berat pada kaki dan lengannya. Mula-mula beban itu memang tidak seberapa berat, akan tetapi lambat laun ditambah sampai akhirnya dia berlatih silat dengan beban seberat itu. Akan tetapi hasilnya memang hebat bukan main. Tubuh pemuda itu menjadi kuat sekali, gerakannya lincah dan tenaganya besar. Kini Hui Song mampu memainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai jauh lebih sempurna dari pada tiga tahun yang lalu!
"Hentikan sebentar dan buka beban kaki tanganmu. Aku ingin melihat untuk yang terakhir kali apakah selama tiga tahun ini aku tidak mengajar secara sia-sia belaka!" tiba-tiba saja kakek itu berkata.
"Yang terakhir kali? Apa maksud locianpwe?" tanya Hui Song sambil membuat gerakan melompat ke pinggir. Gerakannya demikian sigapnya seolah-olah dia tidak dibebani besi yang berat itu. Sambil melepaskan beban kaki tangannya, pemuda itu memandang wajah kakek gendut dengan penuh perhatian.
"Tentu saja! Apakah engkau ingin selama hidupmu tinggal di sini?" tanya kakek gendut.
"Tapi, locianpwe, rasanya belum lama saya berada di sini..."
"Ha-ha-ha! Itu adalah berkat ketekunanmu. Memang demikianlah rahasia waktu. Jika tidak pernah kita pikirkan, dia berlalu sangat cepatnya melebihi anak panah. Akan tetapi kalau diingat selalu, dia merayap seperti siput. Tidak tahukah engkau bahwa kita sudah berada di sini hampir tiga tahun lamanya? Nah, kau bersilatlah, kini tanpa beban itu."
Hui Song yang kini sudah melepaskan beban besi dari kaki dan lengannya, lalu meloncat lagi ke tengah sungai, di atas batu-batu licin itu dan dia bersilat dengan amat cepatnya. Berkali-kali dia berseru kaget karena tubuhnya bergerak luar biasa ringan dan cepatnya, lebih ringan dan lebih cepat dari pada yang dikehendakinya.
Hal ini adalah karena dia belum biasa terbebas dari beban-beban besi di kaki tangannya itu. Selama bertahun-tahun kaki tangannya selalu dibebani sehingga begitu dibuka, tentu saja dia merasa gerakannya sangat cepat dan ringan sehingga mengejutkan. Akan tetapi, begitu dia sudah dapat menyesuaikan diri, maka gerakannya mulai teratur dan sekarang tubuhnya berkelebatan di atas batu-batu licin itu dengan amat mudahnya.
Kakek gendut itu mengangguk-angguk dan wajahnya berseri-seri gembira. "Cukuplah, Hui Song, ke sinilah aku mau bicara."
Tubuh Hui Song mencelat ke tepi anak sungai itu, lantas dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Baru sekarang dia dapat merasakan benar kemajuan yang diperolehnya selama tiga tahun digembleng kakek itu.
"Saya menghaturkan terima kasih atas semua bimbingan locianpwe selama ini," katanya dengan hati terharu.
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha-ha, akulah yang bergembira, Hui Song. Engkau benar-benar memenuhi harapanku. Siapa lagi kalau bukan orang-orang muda seperti engkau ini yang dapat menyelamatkan dunia dari bencana. Walau pun aku masih sangsi apakah engkau seorang diri saja akan sanggup menentang mereka, akan tetapi setidaknya engkau akan mampu mengimbangi kelihaian Ratu Iblis. Mudah-mudahan saja temanmu itu pun sudah mendapat kemajuan pesat di bawah pimpinan Wu-yi Lo-jin sehingga dapat bekerja sama denganmu, bersama para pendekar muda lainnya."
Mendengar kata-kata ini, Hui Song merasa seperti diingatkan. Segera terbayanglah wajah manis dari Sui Cin di depan matanya. Wajahnya berseri dan sinar matanya berkilat ketika dia teringat kepada gadis itu. Selama ini dia sudah memaksa batinnya untuk tidak selalu mengenangkan Sui Cin dan dia mencurahkan seluruh perhatian dan ketekunannya untuk mempelajari ilmu dari kakek gendut.
Dia mendapat kenyataan bahwa kakek itu memang lihai bukan main, memiliki kesaktian yang jauh melampaui tingkat ayah ibunya sendiri. Maka dia pun belajar dengan giat dan mentaati semua petunjuk gurunya yang tidak mau disebut guru itu.
"Apakah dia juga telah menamatkan pelajarannya dari Wu-yi Lo-jin, locianpwe?" tanyanya dengan penuh gairah.
Kakek gendut itu tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Kami berdua memang telah saling bersepakat untuk menggembleng kalian berdua selama kurang lebih tiga tahun dan sebelum tiba waktunya pemberontakan terjadi, penggemblengan itu harus sudah selesai. Aku yakin temanmu itu sudah selesai belajar pula sekarang."
"Kalau begitu, locianpwe tahu di mana Wu-yi Lo-jin membawanya dan di mana saya dapat menjumpai Sui Cin?"
"Tentu saja dia membawa gadis itu ke Wu-yi-san, ke tempat pertapaannya. Kami hanya berjanji akan menggembleng kalian sampai tahun ini dan sebelum Tahun Baru, kami akan menyuruh kalian masing-masing pergi keluar Tembok Besar di utara untuk mencari bekas benteng Jeng-hwa-pang itu. Jadi, kalian bersiap-siap saja di sana dan kita semua akan bertemu di sana untuk bersama-sama menghadapi gerombolan pemberontak itu."
"Karena saya tak pernah lagi mengikuti hari dan bulan, kapankah kiranya hari Tahun Baru itu, locianpwe? Masih berapa lamakah?"
"Sekarang pertengahan bulan sembilan. Masih ada tiga setengah bulan lagi bagimu untuk melakukan perjalanan sebelum Tahun Baru tiba."
Hui Song menjadi girang bukan main. "Kalau begitu masih banyak waktu bagi saya untuk singgah ke Cin-ling-san. Orang tua saya tentu merasa gelisah karena selama tiga tahun ini saya tidak pernah pulang."
"Terserah, dan alangkah baiknya apa bila Cin-ling-pai juga mau turun tangan membantu dalam usaha kita menentang ancaman mala petaka dari Pangeran Toan Jit Ong dan para sekutunya."
"Baik, locianpwe, akan saya bicarakan hal itu dengan ayah dan ibu dan semua saudara pimpinan Cin-ling-pai."
Sesudah menghaturkan terima kasih lagi dan menerima doa restu dari kakek gendut itu, Hui Song lalu meninggalkan goa di balik air terjun itu dan melakukan perjalanan dengan cepat ke utara. Hatinya gembira bukan main dan dia merasa seperti seekor burung yang bebas terbang ke udara.
Alangkah nikmatnya, alangkah senangnya dapat melakukan perjalanan bebas seperti itu setelah hampir tiga tahun dapat dibilang selalu berada di dalam goa, atau paling jauh juga ketika keluar dari situ dan mencari sayur-sayuran ke sekitar air terjun di lembah sungai itu. Dan yang lebih menggembirakan hatinya lagi adalah bayangan Sui Cin yang segera akan dapat dijumpainya lagi. Juga membayangkan bahwa dia akan bertemu dengan ayah dan ibunya, sungguh amat menggembirakan hati pemuda ini.
Tanpa dia sadari sendiri, Hui Song kini jauh berbeda dengan keadaan dirinya tiga tahun yang lalu. Kini tubuhnya lebih tegap dan gerak-geriknya lebih gesit berisi, bahkan ketika dia melakukan perjalanan cepat sambil berlari, larinya jauh lebih ringan dan cepat apa bila dibandingkan dengan dulu sebelum dia digembleng oleh Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas…..
********************
Kita tinggalkan dahulu Hui Song yang dengan hati sangat gembira melakukan perjalanan cepat menuju ke utara itu, dan mari kita mengikuti kakek Wu-yi Lo-jin, menuju ke tempat pertapaan kakek itu di Wu-yi-san.
Dalam perjalanan hari pertama saja, kakek Wu-yi Lo-jin sudah mulai menguji ilmu ginkang dara itu. "Mari kau ikuti lariku secepatnya!" katanya dan belum juga kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ.
Sui Cin maklum bahwa kakek itu hendak mengujinya, maka dia pun cepat mengejar dan mengerahkan seluruh tenaganya serta ilmu ginkang-nya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi kakek yang bertubuh kecil pendek itu sungguh luar biasa sekali. Betapa pun dia mengerahkan seluruh ilmunya, tetap saja dia tertinggal dalam jarak belasan tombak. Dan hebatnya, kakek itu dari belakang kelihatan seperti tidak berjalan, melainkan seperti orang melayang saja dan kelihatan seenaknya, berbeda dengan dia yang mengerahkan tenaga. Sampai dia terengah-engah, kakek itu masih terus berlari.
Akhirnya, sesudah napasnya hampir putus, Sui Cin berhenti lantas berteriak memanggil. "Berhenti, kek, aku tidak kuat lagi...!"
Mulai hari itu juga, Wu-yi Lo-jin memberi kuliah tentang teori-teori ilmu ginkang-nya yang oleh kakek itu dinamakan Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), semacam ilmu meringankan diri ciptaannya sendiri. Setelah tiba di Wu-yi-san, Sui Cin kagum sekali melihat keadaan puncak di mana kakek itu mengasingkan diri selama puluhan tahun.
Tidak sembarang orang dapat mencapai ke puncak ini karena tidak ada jalan umum dari bawah, jalan setapak pun tidak ada. Yang ada hanyalah jurang-jurang yang mengelilingi puncak, dan mereka harus mendaki puncak melalui jurang-jurang yang curam dan tebing-tebing yang terjal. Kiranya hanya orang-orang yang memiliki ginkang tinggi sajalah yang akan mampu mencapai puncak Wu-yi-san di bagian yang didiami kakek Wu-yi Lo-jin itu.
Semenjak hari itu, mulailah kakek Wu-yi Lo-jin menggembleng Sui Cin dengan tekun dan keras sekali. Dia melatih dara itu untuk bersemedhi serta melatih sinkang dan khikang, dia pun mengajarkan ilmu silat yang semuanya digerakkan dengan tenaga dalam dan dengan ilmu meringankan tubuh sehingga di dalam melatih ilmu silat ini berarti juga melatih dan menyempurnakan ginkang.
Kurang lebih tiga tahun kemudian, dengan latihan yang sangat tekun di bawah bimbingan serta pengawasan Wu-yi Lo-jin yang ketat dan keras, tanpa disadarinya sendiri Sui Cin sudah memperoleh kemajuan hebat. Pada suatu hari, kakek itu membawanya ke sebelah belakang puncak gunung itu dan mereka berdiri di tepi sebuah jurang yang amat curam.
Ketika menjenguk ke bawah, Sui Cin bergidik. Jurang itu sungguh curam, sampai tidak nampak dasarnya! Di bawah nampak batu-batu gunung yang meruncing seperti pedang-pedang raksasa, atau seperti gigi naga yang ternganga lebar. Di sebelah depan, terpisah oleh celah yang sangat mengerikan itu, terdapat dataran yang merupakan tepi jurang di seberang.
Wu-yi Lo-jin mengeluarkan gulungan-gulungan besar tali yang terbuat dari otot serta kulit binatang yang sudah kering dari dalam kantong besar yang tadi dibawanya, kemudian dia mengeluarkan pula potongan-potongan baja sebesar kaki orang yang tadi disembunyikan di balik sebuah batu besar. Potongan-potongan baja ini runcing dan panjangnya ada tiga kaki. Sui Cin melihat kesibukan kakek itu dengan hati heran, tidak tahu apa yang hendak dilakukan oleh Wu-yi Lo-jin.
"Sui Cin, mulai hari ini engkau akan kuberi latihan-latihan terakhir yang selain melatih silat dan ginkang, juga melatih keberanian, kecermatan dan kekuatan batinmu. Nah, dapatkah engkau meloncat ke seberang sana?" Dia menuding ke tebing di depan yang pinggirnya agak lebih rendah dari pada pinggiran tebing sebelah sini.
Sui Cin memandang terbelalak, lebih heran dari pada takut. "Meloncat ke seberang sana? Ahh, perlukah itu, kek? Melihat jaraknya, agaknya aku akan bisa meloncat ke sana, akan tetapi apa gunanya menantang bahaya maut padahal untuk latihan melompat jauh tidak perlu menggunakan tempat seperti ini?"
Kakek itu tertawa. "He-heh-heh, engkau belum mengerti maksudku. Tempat ini memang menjadi tempat aku berlatih ginkang. Sudahlah, engkau saja yang memasang tonggak-tonggak ini di sebelah sini, biarlah aku yang memasang di sebelah sana. Kau lihat lubang-lubang di pinggir tebing ini? Ada sebelas lubang. Nah, pasanglah tonggak-tonggak besi ini ke dalam lubang, masukkan yang dalam dan kuat. Aku akan memasang tonggak-tonggak besi di sebelah sana."
Kakek itu membagi tonggak-tonggak itu yang dibongkoknya menjadi satu, tubuhnya lalu meloncat ke depan, melalui jurang yang curam itu. Sui Cin memandang dan biar pun dia merasa yakin bahwa kakek itu akan mampu meloncati celah, namun tidak urung hatinya merasa ngeri dan dia menahan napas sampai kakek itu selamat tiba di seberang sana.
Melihat kakek itu mulai menancap-nancapkan tonggak baja di tepi tebing di seberang, dia pun lalu melakukan apa yang dipesankan kakek itu. Ternyata lubang-lubang dalam batu di tepi tebing itu besarnya tepat sekali dan tonggak-tonggak itu masuk dengan pas sampai hanya tersisa satu kaki yang kelihatan di atas permukaan batu. Sebentar saja selesailah pekerjaan itu dan ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata kakek itu pun sudah menyelesaikan pekerjaannya.
"Sui Cin!" teriak kakek itu dari seberang. "Sekarang ambillah tali-tali itu. Ada sebelas helai banyaknya, ikatkan ujungnya pada setiap tonggak dan lemparkan ujung yang lain ke sini! Awas, yang kuat mengikatnya karena nyawamu tergantung pada tali-tali ini!"
Terkejutlah hati Sui Cin mendengar ucapan itu dan dia menduga-duga apa yang diajarkan kakek itu kepadanya. Akan tetapi, dia tidak berkata apa-apa dan mulai mengikatkan ujung tali-tali itu dengan sangat kuatnya pada tonggak-tonggak itu lalu melemparkan ujung yang lain ke seberang. Kakek itu menangkap ujung yang lain itu dan mulailah dia mengikatkan ujung itu pada tonggak-tonggak di depannya.
Sekarang terbentanglah tali-tali itu, menjadi jembatan-jembatan istimewa yang berjumlah sebelas helai. Dan hebatnya, kakek itu menyetel kendur kuatnya tali-tali itu sehingga pada saat dia menyentil-nyentilnya, terdengar bunyi nyaring yang berbeda-beda, seperti tali-tali yang-kim yang mengeluarkan nada-nada berbeda, makin ke kanan nadanya makin tinggi. Setelah selesai, dia pun berkata kepada Sui Cin dari seberang.
"Mulai hari ini, engkau harus selalu berlatih di atas tali-tali ini. Kalau engkau sudah dapat memainkan semua ilmu silat yang kau kuasai di atas tali-tali ini, baru engkau lulus dan boleh meninggalkan tempat ini!"
Kakek itu kemudian memberi petunjuk-petunjuk. Mula-mula hati Sui Cin memang merasa ngeri ketika dia harus berjalan, melangkah, berlari-lari, dan berloncatan di atas tali-tali itu. Menjenguk ke bawah dari atas tali-tali itu membuat ia merasa seperti ia sedang melayang di langit dan setiap saat jika tali yang diinjaknya putus, maka tubuhnya akan meluncur ke bawah, disambut ujung batu-batu runcing untuk kemudian terbanting hancur berkeping-keping di dasar jurang yang tidak nampak dari atas.
Akan tetapi, sesudah terbiasa, lenyaplah rasa ngeri atau takutnya. Setiap hari dia berlatih dengan tekun, dari pagi sampai sore, kadang kala di malam hari dan kini kedua kakinya demikian trampilnya menginjak tali, berloncatan, berjungkir balik dan bermain-main seolah dia berada di atas tanah datar saja.
Pada suatu pagi, Sui Cin sudah berlatih di atas tali-tali itu. Gerakannya lincah bukan main, seperti menari-nari ia bersilat di atas tali-tali itu. Dan tali-tali yang diinjaknya mengeluarkan bunyi dengan nada-nada berbeda dan terdengarlah irama nada yang teratur seperti bunyi yang-kim yang mendendangkan lagu merdu! Kendur atau kuatnya tali-tali itu, lembut atau kuatnya loncatan dan injakan kaki Sui Cin menciptakan getaran-getaran berbeda pada tali-tali itu.
Kakek Wu-yi Lo-jin berdiri tegak di pinggir jurang itu, memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Sesudah dara itu selesai bersilat dan meloncat ke tepi, kakek itu lalu mengangguk-angguk.
"Heh-heh-heh, bagus! Bagus sekali! Tidak sia-sialah jerih payah kita selama hampir tiga tahun ini. Kini engkau sudah mempunyai ginkang yang setingkat denganku, dan aku yakin engkau sudah dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis dalam hal kecepatan. Dan sekarang telah tiba waktunya bagimu untuk pergi dari sini, mempersiapkan dirimu untuk menentang persekutuan busuk dari Pangeran Toan Jit Ong itu, Sui Cin. Masih ada waktu setengah tahun lagi bagimu untuk pergi keluar tembok besar, ke sarang mereka itu, bekas benteng Jeng-hwa-pang. Kita semua akan berkumpul di sana."
"Engkau juga akan pergi ke sana, kek?" tanya Sui Cin yang selalu bersikap akrab dan bicara kepada kakek itu seperti terhadap keluarga sendiri, tanpa banyak peradatan. Wu-yi Lo-jin agaknya lebih senang dengan sikap ini, sesuai dengan wataknya yang memang suka akan kebebasan dan tidak mau terikat oleh segala macam peraturan.
"Tentu saja! Juga Siang-kiang Lo-jin dan kawanmu itu, dan kalau memang masih hidup, enam orang rekan kami, para Dewa yang lain, tentu akan muncul di sana."
Ucapan ini segera mengingatkan Sui Cin kepada Hui Song yang telah bertahun-tahun tak pernah dijumpainya itu. Hatinya merasa gembira, juga jantungnya berdegup aneh karena begitu teringat kepada Hui Song, dia pun segera teringat akan ucapan terakhir pemuda itu ketika mereka akan saling berpisah. Pengakuan cinta pemuda itu terhadap dirinya.....!