Sampai hari berganti malam, Cia Sun belum juga meninggalkan makam ibunya dan para suheng-nya yang tewas dalam tangan musuh. Dia duduk bersila, tidak menangis lagi akan tetapi hatinya diliputi penuh duka dan dendam. Makin dia membayangkan kehidupan yang silam di samping ibunya, dan makin dia mengingat-ingat akan kematian orang yang disayangnya, maka semakin besar pula penderitaan batinnya.
Dia tidak tahu bahwa sore tadi ayahnya sempat menjenguknya dan memandangnya dari jauh tanpa mengganggunya. Orang tua itu hanya memandang dengan sinar mata terharu, kemudian Cia Han Tiong meninggalkan puteranya, kembali ke dalam kamarnya di mana dia lantas duduk bersemedhi dengan tenang. Dia harus membiarkan puteranya itu sadar sendiri dan dia dapat menduga bahwa pada saat itu sedang terjadi perang batin dalam diri puteranya.
Malam itu langit tak berbintang, akan tetapi bulan purnama menerangi permukaan bumi dengan cahayanya yang lembut. Cia Sun masih tetap duduk di hadapan makam ibunya. Hatinya terasa seperti ditusuk ketika secara tiba-tiba dia teringat akan Sui Cin, gadis yang sudah menjatuhkan hatinya, membuatnya mengalami perasaan cinta untuk pertama kali dalam hidupnya.
Ketika dia melakukan perjalanan pulang, sudah terkandung rencana dalam hatinya bahwa ibunya akan merupakan orang pertama yang akan diberi tahu tentang rahasia hatinya itu. Dia hendak menceritakan tentang Sui Cin kepada ibunya dan meminta nasehat ibunya, bahkan mengharapkan ibunya akan dapat mengatur dan menyampaikan kepada ayahnya tentang hasrat hatinya terhadap puteri Pendekar Sadis.
Dia percaya bahwa ayah ibunya akan merasa girang dan akan menyetujui kalau dia minta dilamarkan Sui Cin. Bukankah di antara ayahnya dan Pendekar Sadis terdapat pertalian batin yang amat erat? Teringat akan semua itu, hatinya menjadi hancur. Kini ibunya telah tiada dan dia merasa malu kalau harus bicara tentang gadis itu kepada ayahnya. Dengan kematian ibunya, dia kehilangan banyak sekali.
Selagi Cia Sun tenggelam ke dalam lamunannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya, "Uhh-uhhh, membiarkan diri tenggelam dalam duka hanya dilakukan oleh orang-orang lemah. Kalau seorang pemuda selemah ini batinnya, tidak dapat diharapkan lagi!"
Cia Sun melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Dia terkejut sekali mendengar suara orang itu dan kini dia terbelalak memandang kepada seorang kakek yang tahu-tahu telah berdiri di hadapannya. Seorang kakek yang sangat menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar, wajahnya hitam penuh dengan cambang bauk dan sepasang matanya melotot galak, pakaiannya jubah pendeta yang nampak bersih bahkan mewah, sepatunya baru mengkilap.
Diam-diam Cia Sun merasa heran melihat betapa kakek tinggi besar ini tahu-tahu berada di belakangnya tanpa dia mendengar sama sekali. Hal ini saja membuktikan bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi keheranannya ini tidak mengurangi kemarahannya. Hatinya tengah dipenuhi kemarahan dan rasa dendam, maka kemunculan orang asing yang begitu saja mencelanya langsung membuat pandang mata pemuda ini mengandung api berkilat.
"Iblis dari mana berani datang mengganggu ketenteramku?!" bentaknya marah.
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa mengejek. "Kiranya masih ada juga sisa api dalam hatimu. Siapa mengganggu ketenteramanmu? Hatimu jelas tidak tenteram. Apakah kalau engkau menangis seperti itu maka yang mati akan dapat bangkit kembali? Biar engkau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekali pun, ibumu tetap saja akan tinggal di dalam kuburnya, tidak akan dapat bangkit hidup kembali, ha-ha-ha!"
Tentu saja Cia Sun menjadi marah sekali mendengar kata-kata yang kasar dan nadanya mengejek ini. Andai kata dia tidak sedang diracuni kemarahan dan kebencian, kata-kata ini tentu masih dapat diterimanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ucapan kakek ini membuatnya marah sekali.
"Orang asing, cepat pergilah dan jangan ganggu aku. Apa hubunganmu dengan urusan kematian ibuku?"
"Ha-ha-ha, engkau belum tahu siapa pembunuh ibumu, hanya mendengar namanya saja. Siapa tahu pembunuhnya itu adalah orang macam aku, ha-ha-ha!"
Cia Sun terbelalak. Menurut ayahnya, pembunuh ibunya adalah dua orang yang berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. "Apakah engkau berjuluk Hek-hiat Lo-mo?" tanyanya dengan suara membentak.
"Ha-ha-ha, boleh saja aku disebut Lo-mo (Iblis Tua), akan tetapi apakah aku mempunyai Hek-hiat (Darah Hitam) ataukah tidak, haruslah dibuktikan lebih dahulu. Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau adalah putera seorang pendekar yang berhati lemah, yang tak memiliki kegagahan, membiarkan diri dihina dan diinjak-injak oleh orang lain. Engkau pun seorang pemuda yang lemah dan tidak dapat diharapkan."
"Iblis tua, engkau terlalu menghina orang!" Cia Sun marah sekali dan dia sudah mengepal kedua tinjunya dan siap untuk menerjang.
"Ha-ha, engkau hendak menyerangku? Engkau memiliki keberanian itu? Cobalah, orang muda, memang aku ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan keturunan Pendekar Lembah Naga!"
Mendengar ini, semakin besar kecurigaan hati Cia Sun. Siapa tahu kakek ini benar-benar musuh besar keluarganya yang datang lagi, untuk menyempurnakan pekerjaannya yang terkutuk itu, yakni membasmi habis keluarga Pendekar Lembah Naga.
Maka, dengan kemarahan meluap Cia Sun segera menerjang ke depan dan menyerang kakek berjubah pendeta itu. Karena dia sudah dapat menduga bahwa lawan ini tentu lihai sekali, maka dia pun tidak bersikap sungkan lagi dan begitu menyerang, Cia Sun sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang kemudian begitu tangannya meluncur dia sudah meluruskan telunjuknya yang menjadi kaku seperti baja melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama pada bagian depan tubuh lawan. Terdengar bunyi bercuitan ketika tangannya bergerak dan totokan-totokan itu sungguh amat dahsyat!
Biar pun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata kakek itu dapat bergerak dengan amat cepat. Tubuhnya bergerak ke sana-sini mengelak dari sambaran jari tangan Cia Sun dan mulutnya mengeluarkan kata-kata seruan, "Ah, inikah yang disebut totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti)? Hebat, akan tetapi masih mentah!" Dan ucapannya ini bukan hanya sekedar membual karena tujuh kali totokan itu lewat saja dan tidak satu pun dapat mengenai tubuh kakek itu.
Diam-diam Cia Sun terkejut bukan main. Jurus-jurus serangannya tadi adalah jurus-jurus simpanan. Lawan mungkin dapat menangkisnya, akan tetapi menghindarkan diri dari tujuh kali totokan bertubi-tubi itu hanya dengan cara mengelak, sungguh amat luar biasa! Selain resikonya terlalu besar, juga gerakan tangannya amat cepat sehingga kalau bukan orang yang sudah matang ilmunya sehingga gerakannya sudah otomatis dan mendarah daging, kiranya tidak akan mungkin menghindarkan diri semudah itu dari serangkaian totokannya.
Dia juga merasa penasaran sehingga kini mendesak dan menyerang lagi dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Inilah ilmu dari ayahnya yang paling dirahasiakan. Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis) adalah ilmu yang amat luar biasa dan mukjijat. Biar pun hanya tiga belas jurus, akan tetapi setiap jurus mengandung kehebatan yang sulit ditahan atau ditandingi lawan.
Apa bila tidak berada dalam kesulitan, mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong sendiri pun jarang menggunakan ilmu dahsyat itu. Juga Cia Han Tiong hampir tak pernah menggunakannya dalam perkelahian. Tetapi kali ini Cia Sun yang berada dalam keadaan sedih dan sakit hati, tak dapat menahan dirinya dan telah mempergunakan ilmu simpanan terakhir yang paling hebat di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya.
"Wuuuttt...! Singgg...!" Angin yang amat kuat menyambar dan suara berdesing terdengar ketika tangan pemuda itu menyambar ke depan.
Kakek itu mengeluarkan suara kaget dan tak berani main-main lagi, segera mengerahkan tenaga kemudian menyambut dorongan kedua telapak tangan pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri. Dia maklum bahwa serangan sedahsyat itu tidak mungkin dielakkan tanpa membahayakan nyawanya. Satu-satunya jalan adalah menyambut pukulan dahsyat itu.
"Plakk! Plakk!"
Tubuh Cia Sun terdorong ke belakang dan dia merasa betapa tenaganya bertemu dengan sesuatu yang lembut, kedua tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan yang amat lunak akan tetapi dia merasa seolah-olah semua tenaganya masuk ke dalam air sehingga hilang kekuatannya.
Namun, di balik kelembutan itu ternyata ada tenaga yang sedemikian halus dan kuatnya sehingga justru tubuhnyalah yang malah terdorong ke belakang. Dan begitu dia berhasil menghentikan tubuhnya yang terdorong, tiba-tiba saja kedua kakinya gemetar dan terasa lemas sehingga dia hampir terguling. Sebaliknya, kakek itu pun membelalakkan sepasang matanya yang melotot lebar.
"Ihh, ilmu setan apakah itu? Setahuku Pendekar Lembah Naga adalah seorang pendekar gagah yang tidak pernah tersesat, akan tetapi bagaimana cucunya mempunyai ilmu sesat macam itu tadi?" Berkata demikian, kakek itu lalu menubruk maju hingga jubahnya yang lebar itu berkembang.
Cia Sun merasa seakan-akan dia diserang oleh seekor kelelawar raksasa yang terbang dan menyambar ke arahnya. Kedua kakinya masih terasa lemas, maka kini terpaksa dia pun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk melindungi dirinya, menangkis ke depan dari samping sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Desss...!"
Sekali ini, pertemuan antara lengan mereka bahkan membuat tubuh Cia Sun terpelanting! Belum hilang rasa kaget pemuda itu, kakek yang sangat lihai itu sudah menubruk dengan cengkeraman kedua tangannya ke arah kepala dan dada Cia Sun.
"Hehh!" Cia Sun yang masih terpelanting itu terkejut melihat dua buah lengan yang besar dan panjang menyambar dengan cengkeraman maut. Dia menggulingkan tubuhnya untuk mengelak lalu meloncat bangun.
Dua tangan kakek itu ternyata masih melanjutkan serangannya secara aneh dan dahsyat. Akan tetapi Cia Sun cepat memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-ciang untuk membela dan melindungi dirinya sehingga semua serangan kakek itu dapat dielakkan atau ditangkis!
"Bagus!" Kakek itu memuji. "Thai-kek Sin-ciang yang baik sekali!"
Sungguh pun mulutnya memuji, akan tetapi kakek itu melanjutkan serangan-serangannya yang ternyata selain aneh sekali gerakannya, juga amat cepat dan kuat sehingga Cia Sun menjadi amat repot dibuatnya. Pemuda ini segera merubah gerakannya, berturut-turut dia memainkan San-in Kun-hoat dan semua ilmu yang sudah dipelajarinya. Akan tetapi kakek itu dapat mengenal semua gerakannya dan memuji-muji setengah mengejek!
"Ha-ha-ha, ilmu-ilmu silat yang tinggi dan hebat, akan tetapi masih mentah. Mana Thi-khi I-beng? Hayo keluarkan, biar kucoba kelihaiannya!"
Cia Sun kini merasa yakin bahwa lawannya ini benar-benar amat lihai dan telah mengenal ilmu-ilmunya, kecuali Hok-mo Cap-sha-ciang tadi. Hal ini membuatnya merasa gugup dan ketika kakek itu menerjangnya dengan tendangan-tendangan berputar yang amat dahsyat, pahanya kena tendangan dan dia pun terguling lagi. Dan sekali ini, sebelum dia sempat bangkit berdiri, tahu-tahu kakek itu sudah menempelkan jari-jari tangannya ke ubun-ubun kepalanya!
Cia Sun memejamkan mata, menanti datangnya maut karena dia yakin bahwa jika kakek itu menggerakkan jari-jari tangannya, maka dia tak akan tertolong lagi. Akan tetapi jari-jari tangan itu tak kunjung terasa oleh kepalanya sehingga dia pun membuka mata. Dilihatnya bahwa jari-jari tangan itu masih menempel di ubun-ubunnya, akan tetapi kakek itu hanya memandang sambil menyeringai.
"Iblis busuk, apa bila engkau hendak membasmi kelurga kami, lakukanlah. Bunuhlah, aku tidak takut mati!"
"Ha-ha-ha!" kakek itu menarik tangannya lantas melangkah mundur. "Orang muda, kalau aku ini Hek-hiat Lo-mo, apa kau kira engkau masih hidup sekarang ini?"
Sadarlah Cia Sun bahwa kakek ini sebenarnya bukanlah musuh, melainkan seorang aneh yang agaknya tadi sengaja hendak menguji ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa banyak sekali orang pandai di dunia ini yang berwatak aneh dan agaknya kakek ini pun seorang di antara orang-orang aneh itu yang tidak dikenalnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun lalu bangkit duduk dan berlutut menghadap kakek itu.
"Maaf kalau saya sudah keliru menilai orang. Siapakah locianpwe sebenarnya?" tanyanya dengan sikap hormat.
"Orang muda, siapa adanya aku tidaklah begitu penting dan baru akan kujawab sesudah engkau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
Kini hilang sudah rasa marah dalam hati Cia Sun terhadap orang aneh yang dia percaya adalah seorang sakti ini. "Silakan bertanya, locianpwe."
"Engkau adalah putera dari keluarga gagah perkasa yang selalu mengutamakan kebaikan. Ibumu adalah seorang wanita gagah yang berhati mulia, dan murid-murid Pek-liong-pai pun adalah pendekar-pendekar yang baik hati. Akan tetapi, pada suatu hari mala petaka datang menimpa. Dua orang manusia berhati iblis datang menyebar maut, menewaskan ibumu dan para suheng-mu yang sama sekali tidak bersalah terhadap dua orang itu. Nah, kini aku hendak bertanya padamu. Apakah engkau ingin membiarkan saja kejahatan itu, sama sekali tidak mendendam dan tidak ingin mencari lantas membunuh kedua orang itu untuk membalas dan juga untuk membasmi orang-orang yang demikian jahatnya?"
Cia Sun mengepal tinju, hatinya terasa seperti api disiram minyak, semangatnya semakin berkobar. "Tentu saja, locianpwe! Saya akan berusaha mencari dan membunuh kedua iblis jahat itu!"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Benarkah itu? Bukankah ayahmu, ketua Pek-liong-pai yang berhati mulia dan suka mengalah itu tidak menghendaki demikian?"
Diam-diam Cia Sun terkejut. Orang aneh ini agaknya tahu segala-galanya, bukan hanya yang menimpa keluarganya saja, akan tetapi juga tahu akan watak ayahnya. Tentu saja hatinya memberontak karena dia ingin mempertahankan kehormatan dan nama ayahnya, ingin membenarkan dan membela pendirian ayahnya. Akan tetapi pada saat itu batinnya sudah terlalu panas oleh dendam sehingga pertanyaan itu bahkan membuat dia melihat lebih jelas lagi akan kesalahan dalam pendapat ayahnya itu.
"Mungkin ayah berpendapat demikian, akan tetapi saya tidak! Saya tidak ingin menjadi orang selemah itu dan membiarkan kejahatan berlangsung tanpa memberi hukuman dan tanpa membalas!"
"Jadi engkau ingin membelas dendam? Tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?"
"Mereka adalah Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo."
"Tahukah pula engkau di mana adanya mereka?"
Cia Sun memandang bingung dan menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, locianpwe, tetapi saya akan mencari mereka sampai dapat!"
"Orang muda, semangatmu cukup besar, akan tetapi jangan mengira bahwa akan mudah saja mencari mereka. Mereka itu adalah pendatang dari Sailan dan kini menyembunyikan diri. Pula, andai kata dapat bertemu, belum tentu engkau sanggup mengalahkan mereka. Sekarang begini. Aku tertarik kepadamu, kagum akan kelihaian dan kegagahanmu. Ilmu silatmu sudah hebat dan jarang ada yang akan dapat menandingimu kalau ilmu-ilmu yang kau miliki itu sudah dapat kau kuasai sampai matang. Ibarat buah engkau ini masih belum matang benar, dan ibarat batu giok engkau belum lagi digosok. Maukah engkau menjadi muridku dan membiarkan aku membimbingmu selama satu tahun kemudian kutunjukkan kepadamu di mana adanya dua orang musuh besarmu itu?"
Bukan main girangnya hati Cia Sun. Tanpa banyak sangsi lagi dia cepat memberi hormat sambil berlutut dan menjawab. "Saya bersedia dan saya mau, locianpwe!"
"Nah, kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah Go-bi San-jin, seorang pertapa usil yang tak terkenal dan mulai sekarang engkau harus ikut bersamaku tanpa memberi tahu pada ayahmu."
"Baik, suhu. Teecu mentaati perintah suhu," kata Cia Sun.
Dan malam hari itu juga, dari makam ibunya dia langsung saja pergi mengikuti gurunya tanpa memberi tahukan ayahnya! Dendamnya sudah sedemikian besarnya sehingga dia bersedia melakukan apa saja untuk dapat membalas kematian ibunya dan para suheng-nya…..
********************
Rumah besar di Ta-tung itu tentu akan dianggap sebagai rumah seorang hartawan atau setidaknya rumah bangsawan oleh orang-orang yang baru datang di kota itu. Penduduk Ta-tung juga hanya mengetahui bahwa rumah besar itu adalah milik seorang hartawan kaya raya ber-she (marga) Siangkoan.
Akan tetapi hartawan yang kabarnya usianya telah lanjut sekali dan sakit-sakitan itu amat jarang kelihatan orang, kabarnya selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan dilayani oleh belasan orang pelayan! Hanya kadang-kadang saja orang sempat melihat kakek hartawan ini keluar rumah memasuki sebuah kereta yang mewah, entah pergi ke mana.
Pendeknya, pemilik rumah besar itu dikenal orang sebagai Siangkoan-wangwe (Hartawan Siangkoan) yang sudah tidak terlihat aktip berdagang lagi, agaknya hanya seorang kakek pensiunan yang sedang menghabiskan sisa hidupnya dengan harta kekayaannya. Namun kalau saja orang dapat melihat tembus tembok tebal itu dan menyaksikan apa yang sering kali terjadi di dalam rumah itu, orang itu akan terheran-heran dan terkejut bukan main.
Kiranya kakek hartawan yang kabarnya sakit-sakitan ini sebetulnya adalah seorang datuk kaum sesat yang ditakuti oleh hampir semua anggota dunia hitam. Juga para pendekar di dunia kang-ouw merasa seram kalau mendengar namanya. Dia adalah Siangkoan Lo-jin (Kakek Siangkoan) yang lebih terkenal dengan julukan Iblis Buta!
Dengan menyamar sebagai seorang hartawan tua renta yang sakit-sakitan, Siangkoan Lo-jin dapat terbebas dari gangguan. Dia pun lolos dari pengamatan para pendekar dan juga dari pemerintah yang pada waktu itu sedang sibuk mencarinya sehubungan dengan aksi gerakan pembersihan yang dilakukan oleh para petugas pemerintah atas perintah dari kaisar sendiri.
Siangkoan Lo-jin diketahui sebagai pemimpin semua gerakan rahasia, persekutuan yang bekerja untuk kepentingan Liu-thaikam yang sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman mati itu. Akan tetapi, alat pemerintah tidak berhasil menemukannya, bahkan tidak berhasil pula menemukan para tokoh sesat Cap-sha-kui lain yang menjadi para pembantu utama dari Siangkoan Lo-jin. Pemerintah hanya mampu membasmi anak buah penjahat saja seperti perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang dan lain-lain…..
********************
Pada suatu malam sesudah gerakan pembersihan dari pasukan pemerintah agak mereda di kota Ta-tung yang dekat dengan kota raja, pada sebelah dalam rumah besar itu terjadi kesibukan. Kalau tahu apa yang terjadi di dalam rumah besar itu maka para komandan keamanan di kota Ta-tung bisa mati berdiri.
Kiranya pada malam hari itu, seluruh tokoh pemberontak yang dicari-cari pemerintah telah berkumpul di rumah itu. Di malam gelap itu, laksana iblis-iblis gentayangan, berturut-turut datang berkelebatan bayangan-bayangan hitam yang memasuki rumah besar itu. Mereka adalah tokoh-tokoh sesat dari Cap-sha-kui yang terilbat dalam pemberontakan di bawah pimpinan Liu-thaikam, yang kini datang untuk memenuhi panggilan Siangkoan Lo-jin yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka dalam persekutuan itu.
Menjelang tengah malam, pada waktu kota Ta-tung menjadi sunyi karena sebagian besar penduduknya sudah tidur nyenyak, lengkaplah sudah para tamu aneh yang berdatangan ke rumah besar menghadap Siangkoan Lo-jin. Dan di dalam ruangan belakang, di sebuah ruangan yang luas, mereka duduk berkumpul mengelilingi sebuah meja besar panjang.
Para pelayan Siangkoan Lo-jin yang sebetulnya bukan orang-orang biasa melainkan anak buah yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh, kini mengadakan penjagaan ketat walau pun mereka yakin bahwa rumah itu aman dan tak pernah dicurigai orang. Ruang itu cukup luas dan terang sekali sehingga tampak jelas wajah mereka yang duduk mengelilingi meja besar panjang.
Di kepala meja duduk Siangkoan Lo-jin sendiri, seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi kurus dengan pakaian hitam sederhana, pakaiannya sebagai Si Iblis Buta, berbeda dengan pakaian hartawan yang dikenakannya bila mana dia kebetulan keluar sebagai pemilik rumah. Kini pakaian hitamnya sangat sederhana dan longgar.
Kedua matanya mengerikan, nampak putihnya saja dan tidak pernah berkedip. Di tangan kirinya terdapat sebuah tongkat kayu cendana hitam yang selain menjadi alat bantunya dalam meraba-raba mencari jalan, juga merupakan sebuah senjatanya yang amat ampuh.
Sebetulnya kakek buta ini memiliki sebuah rumah di kota Pao-ci, di Propinsi Shen-si, akan tetapi semenjak kegagalan persekutuannya yang mengabdi kepada Liu-thaikam, terpaksa dia bersembunyi di Ta-tung ini, di mana dia dikenal sebagai seorang hartawan yang tidak melakukan kegiatan apa-apa lagi.
Di sebelah kirinya duduk seorang pemuda, yaitu Siangkoan Ci Kang, putera tunggalnya. Ci Kang tak dapat mengingat ibu kandungnya dengan baik. Seingatnya, pada saat masih kecil pernah dia diasuh oleh seorang wanita yang menurut ayahnya adalah ibunya yang tewas ketika dia masih kecil.
Dia hidup bersama ayahnya, digembleng oleh ayahnya yang buta namun harus diakuinya bahwa ayahnya amat mencintanya, biar pun dengan caranya sendiri yang aneh. Seluruh ilmu kepandaian ayahnya diwariskan kepadanya dan karena memang dia amat berbakat, biar pun kini usianya baru delapan belas tahun lebih, akan tetapi dia telah dapat mewarisi kepandaian itu.
Siangkoan Ci Kang duduk diam bagai arca, ada pun wajahnya membayangkan hati yang dingin dan tidak pedulian. Pakaiannya seperti ayahnya, amat sederhana, malah jubahnya terbuat dari kulit harimau yang kuat. Usianya baru delapan belas tahun, tetapi tubuhnya tinggi tegap.
Pada waktu itu dia duduk dengan sepasang alis berkerut seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuat dia merasa tidak gembira. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sejak semula dia sudah tidak setuju ketika mendengar ayahnya memimpin Cap-sha-kui dan para tokoh sesat untuk menjadi antek pembesar korup Liu-thaikam.
Memang dia tidak setuju, namun betapa pun juga, sebagai seorang anak yang mencinta ayahnya, dia selalu turun tangan membantu ayahnya, walau pun bantuan itu lebih berupa perlindungan karena dia tidak pernah mau membantu bila mana kawan-kawan ayahnya melakukan kejahatan.
Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk sesat, akan tetapi dia juga tahu, bahkan merasa yakin, bahwa sebenarnya ayahnya bukanlah orang jahat, melainkan orang yang diracuni dendam sesudah kedua matanya menjadi buta. Ayahnya hanya ingin menonjol, ingin menjadi orang nomor satu dalam dunia sesat.
Dia merasa kasihan melihat ayahnya yang buta, juga kagum bahwa ayahnya yang buta itu ternyata masih dapat menguasai dan memimpin orang-orang sesat yang jahat seperti iblis macam gerombolan Cap-sha-kui itu.
Berturut-turut mereka datang dan kini sudah berkumpul di sana dengan lengkap. Semua tokoh Cap-sha-kui yang pernah bekerja sama membantu Siangkoan Lo-jin. Mereka adalah Koa-i Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dan Tho-tee-kwi Si Setan Bumi. Memang hanya enam orang ini saja dari Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) yang tersangkut dalam gerakan membantu Liu-thaikam yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin.
Sebenarnya Cap-sha-kui bukan merupakan suatu gerombolan dari tiga belas orang datuk sesat, tetapi mereka itu masing-masing memiliki nama besar dan keistimewaan sehingga dunia kang-ouw mengenal mereka sebagai Tiga Belas Iblis. Oleh karena nama sebutan ini maka mereka, tiga belas orang tokoh sesat, merasa seakan-akan ada sesuatu yang mengikat mereka satu sama lain, yaitu nama itulah. Sedikit banyak nama sebutan Tiga Belas Iblis itu mendatangkan semacam perasaan setia kawan di dalam hati mereka. Akan tetapi, kecuali yang enam orang ini, yang lain dari mereka tidak merasa tertarik dan tidak mau mencampuri urusan pemberontakan itu.
Mereka tengah bercakap-cakap dengan wajah muram dan lesu, membicarakan kegagalan mereka dan juga hancurnya persekutuan mereka dengan ditangkap dan dihukum matinya Liu-thaikam yang merupakan sumber uang dan harapan mereka untuk kelak dapat meraih kedudukan. Terutama sekali Siangkoan Lo-jin menjadi kecewa dan penasaran sekali.
"Brakkkk…!" Dia menggebrak meja sampai ruangan itu tergetar oleh hawa pukulan yang keluar dari gerakannya.
"Sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Bagaimana untuk pekerjaan membunuh dua orang pejabat saja sampai gagal, dan bukan saja gagal, bahkan membuat usaha kita hancur dan Liu-thaikam sampai terhukum mati pula. Kegagalan itu sendiri tidaklah begitu menyedihkan, akan tetapi telah menyeret nama kita ke dalam lumpur. Masakah kita yang sudah dikenal seluruh dunia sebagai tokoh-tokoh utama sampai gagal dan hancur dalam usaha membunuh dua orang pejabat saja?"
Kui-kok Lo-mo yang mewakili kawan-kawannya berkata dengan suara lirih, jelas bahwa dia pun jeri terhadap kakek buta itu. "Lo-jin, harap maafkan kami. Bukan sekali-kali karena kami kurang hati-hati. Semua rencana sudah kami atur sebaik-baiknya, bahkan kami juga dibantu oleh tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi pemuda Cin-ling-pai itu benar-benar menjemukan! Kini dia pula yang menggagalkan rencana kita. Dia yang dahulu menyamar sebagai Menteri Liang, dan ia pula yang menyelamatkan Jenderal Ciang dari dalam pesta Ang-kauwsu. Dan ternyata bahwa pesta itu pun agaknya sudah diatur oleh pemuda itu untuk menjebak dan memancing kami. Kalau tidak ada pemuda itu, tentu tugas kami telah berhasil dengan baik semua."
“Pemuda keparat itu pula yang telah menyelamatkan ketua Kang-jiu-pang Song Pak Lun ketika aku dan Hwa-hwa Kui-bo menyerbu!" kata Koai-pian Hek-mo dengan suara lantang dan marah.
"Bukan hanya pemuda putera ketua Cin-ling-pai, bahkan juga anak setan puteri Pendekar Sadis itu yang menghalangi pekerjaan kita!" Suara Kiu-bwe Coa-li melengking ketika dia ikut bicara. Semua orang menengok kepadanya dan ada yang terkejut.
"Anak Pendekar Sadis? Yang mana?" Kui-kok Lo-bo bertanya, terkejut ketika mendengar disebutnya nama Pendekar Sadis oleh rekannya itu. Juga suaminya nampak kaget.
"Hi-hik, sungguh lucu kalau sampai ketua Kui-kok-pang dapat dikibuli dan tidak mengenal dia. Aku sudah menyelidiki dan aku tahu rahasianya. Dia adalah puteri atau anak tunggal Pendekar Sadis, kadang-kadang dia memakai pakaian wanita biasa, tapi kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ilmu kepandaiannya sangat tinggi, agaknya sudah mewarisi semua kepandaian ayah ibunya," kata Kiu-bwe Coa-li, agaknya gembira karena suami isteri Kui-kok-san itu belum tahu akan rahasia itu sehingga dia yang sudah tahu berarti lebih waspada dan lebih cerdik dari pada mereka.
"Aihhh, perempuan setan itukah yang kau maksudkan?" Hwa-hwa Kui-bo berseru kaget. "Apakah dia yang pernah kita jumpai di kuil Dewi Laut di kota Ceng-tao?" Ia memandang kepada Koai-pian Hek-mo dengan mata terbelalak dan rekannya itu mengangguk-angguk, merasa ngeri.
Kakek iblis ini bersama Hwa-hwa Kui-bo pernah bertemu kemudian bertanding melawan seorang gadis yang luar biasa lihainya sehingga mereka berdua kalah. Kiranya gadis itu adalah puteri Pendekar Sadis! Memang demikian, di antara para tokoh sesat yang dijuluki Cap-sha-kui, dua orang tokoh ini mempunyai tingkat kepandaian yang paling rendah maka biar pun mengeroyok, mereka itu masih belum mampu menandingi Sui Cin.
"Brakkk!" kembali Siangkoan Lo-jin menggebrak meja.
Diam-diam dia menyesal sekali mengapa kedua matanya buta sehingga biar pun dia lihai akan tetapi dia tak dapat menyaksikan sendiri semua itu dan tidak dapat mengenal kedua orang muda yang sudah menggagalkan semua usahanya. Kini Liu-thaikam telah dihukum mati dan semua hartanya telah disita, ini berarti bahwa usaha yang dipupuknya selama ini berantakan sama sekali.
"Sungguh amat menjemukan! Campur tangan dua orang muda saja telah membuat semua usaha kita gagal. Ci Kang, apakah engkau juga tidak mampu menandingi dua orang muda itu?" tiba-tiba ayah itu menoleh ke kiri, bertanya kepada puteranya.
Sejak tadi Ci Kang mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut. Mendengar pertanyaan ayahnya, dia pun menarik napas panjang. "Aku sudah pernah bertemu dengan mereka dan menurut penglihatanku, sungguh pun mereka itu merupakan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidaklah luar biasa!"
"Kalau begitu, mengapa usaha kita sampai gagal?" bentak ayahnya.
"Karena mereka berada pada pihak yang benar dan di belakang mereka terdapat pasukan pemerintah!" jawab pemuda itu dengan singkat.
"Keparat! Tanpa sebab Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis memusuhi kita. Kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus membalas dendam atas gangguan mereka ini!"
Enam orang tokoh Cap-sha-kui itu mengangguk-angguk, akan tetapi tiba-tiba Tho-tee-kwi yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. Biar pun kasar dan liar, akan tetapi raksasa yang tinggi besar dengan ukuran satu setengah kali orang biasa ini amat cerdik dan cukup berpengalaman sehingga dia tak mau melakukan hal-hal yang sembono tanpa perhitungan.
“Heh, bukan aku takut menghadapi mereka, akan tetapi jika memusuhi ketua Cin-ling-pai dan terutama sekali Pendekar Sadis tanpa perhitungan, bukankah itu sama saja dengan menabrak batu karang dan kita mencari mati konyol?" Suaranya itu segera membuat para rekannya saling pandang dengan muka berubah agak pucat.
Memang, bagaimana pun juga mereka sudah mendengar tentang kehebatan tokoh-tokoh yang hendak mereka gempur itu, dan terutama sekali nama besar Pendekar Sadis yang membuat mereka harus berhitung sampai seratus kali sebelum benar-benar turun tangan memusuhinya.
"Dalam hal ini, nama Cap-sha-kui ikut tersangkut. Jika kalian semua sebanyak tiga belas orang maju bersama, apakah masih takut juga? Dan aku sendiri pun tidak akan tinggal diam. Setidaknya, anakku Ci Kang akan mewakili aku untuk menghadapi anak-anak ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Tidak, ayah, aku tidak mau!"
Ucapan Ci Kang ini membuat semua orang sangat terkejut hingga para tokoh Cap-sha-kui memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda yang berani membantah ayahnya itu. Suasana menjadi sunyi sekali selama beberapa detik setelah Ci Kang mengeluarkan bantahannya, kesunyian yang mendebarkan hati.
"Apa...? Apa kau bilang tadi, Ci Kang?" Akhirnya terdengar suara Siangkoan Lo-jin, lirih dan lambat, akan tetapi penuh dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
Siangkoan Ci Kang tetap tenang saja walau pun dia tahu bahwa ayahnya beserta sekutu ayahnya itu tentu akan marah menghadapi pembangkangannya. "Aku tidak mau mewakili ayah untuk memusuhi Cin-ling-pai dan keluarga Pendekar Sadis."
Terdengar suara keras disusul meluncurnya sinar hitam dan tahu-tahu dinding di belakang tempat Ci Kang duduk berlubang disambar ujung tongkat kayu cendana. Kalau bukan Ci Kang, agaknya bukan dinding yang berlubang, melainkan tubuh orang yang sudah berani membantah dan membangkang terhadap kehendak Si Iblis Buta itu.
Melihat betapa tongkat itu menyambar cepat hingga sulit diikuti pandang mata dan betapa besar bahaya maut mengancam apa bila diserang oleh kakek buta itu, diam-diam enam orang Cap-sha-kui itu bergidik. Hebat bukan main kepandaian kakek buta itu dan mereka merasa gentar untuk menghadapinya sebagai lawan, walau pun mereka juga tahu bahwa dengan majunya mereka berenam, apa lagi kalau lengkap tiga belas orang, kakek buta itu pun belum tentu akan mampu melawan mereka.
"Ci Kang, apa artinya ucapanmu itu? Apakah engkau hendak menjadi anak durhaka dan mengkhianati ayahmu sendiri?"
"Tidak, ayah. Akan tetapi semenjak dulu pun aku sudah tidak setuju dengan persekutuan ini. Ayah bermain api terlalu besar dan berbahaya. Kegagalan yang lalu sudah semestinya menjadi peringatan supaya ayah menghentikan semua kegiatan yang tidak sehat itu. Aku tidak senang melihat ayah melakukan kejahatan dan mengumpulkan orang-orang jahat untuk bekerja sama."
"Brakkk!"
Ujung tepi meja itu hancur luluh dicengkeram tangan Siangkoan Lo-jin, sedangkan tangan sebelah yang memegang tongkat nampak gemetar. Kakek buta ini marah bukan main.
"Ci Kang, aku sudah tua dan aku telah mempunyai rencana untuk mengundurkan diri dan mengangkat engkau sebagai penggantiku, memimpin para rekan di dunia hitam. Engkau harus lebih berhasil dari pada aku, anakku, dan..."
"Maaf, ayah. Aku tidak sanggup, dan aku tidak mau melumuri hidupku dengan kejahatan dalam bentuk apa pun juga. Aku tidak mau mengganggu orang lain..."
"Tutup mulutmu! Kau kira selama ini engkau makan apa kalau tidak dari hasil pekerjaan ayahmu? Kau kira dari mana kita memperoleh semua harta kekayaan..." Kakek itu cepat menahan diri karena baru dia teringat bahwa di situ terdapat orang-orang lain yang turut mendengarkan sehingga tidak semestinya dia membuka semua rahasia keluarganya.
"Ayah, aku tidak menghendaki semua harta itu. Jauh lebih baik aku hidup miskin dan tidak mempunyai apa-apa dari pada harus mendapatkan harta kekayaan melalui kejahatan."
"Sombong engkau! Katakan saja bahwa engkau jeri dan takut terhadap Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, engkau takut menghadapi manusia-manusia sombong yang menamakan diri mereka kaum bersih, golongan putih atau para pendekar. Engkau memang pengecut, penakut..."
"Aku tidak takut kepada siapa juga, ayah. Akan tetapi kurasa penghidupan para pendekar itu jauh lebih bersih dari pada penghidupan kaum sesat..."
"Anak durhaka...!" Tongkat hitam itu kini berkelebat menyambar ke arah kepala Ci Kang dengan pukulan maut yang amat dahsyat.
Akan tetapi pemuda itu sudah mampu mengelak dan melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi dengan berjungkir balik dia telah meloncat bangun dan berdiri kembali. Akan tetapi ayahnya yang menjadi semakin marah karena serangannya gagal, segera menerjangnya lagi dengan tongkatnya, kini melakukan serangan yang lebih hebat lagi.
Biar pun buta, namun Siangkoan Lo-jin memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam dari pada orang lain sehingga dalam menghadapi lawan, dia sepenuhnya bergantung kepada pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan serta mengetahui di mana lawan berada! Melihat ayahnya telah nekat dan menyerangnya secara mati-matian, kembali Ci Kang mengelak dan meloncat agak jauh ke dekat pintu.
"Ayah!" teriak Ci Kang penasaran. "Ayah sendiri dahulu menentang kejahatan dan karena dibikin buta, ayah kemudian berubah dan menjadi pemimpin para datuk sesat. Kalau ayah hendak memaksaku menjadi penjahat, tidak cukup ayah membikin buta, akan tetapi harus lebih dulu membunuhku!"
"Keparat, kalau begitu aku akan membunuhmu!" Siangkoan Lo-jin yang merasa kecewa dan menjadi marah sekali itu sudah meloncat ke arah puteranya, kemudian menusukkan tongkatnya.
Akan tetapi Ci Kang sudah menguasai semua ilmu ayahnya, maka dia pun tahu akan kehebatan serangan itu. Tiba-tiba saja tubuhnya mencelat ke kiri dan ketika dia turun ke atas lantai, kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi. Pemuda ini sudah mempergunakan ginkang yang paling hebat sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali dan di situ dia berdiri tegak, sama sekali tak bergerak, bahkan pernapasannya pun ditahan dan diatur sehingga tidak mengeluarkan bunyi.
Dia tahu akan kelemahan ayahnya yang hanya mengandalkan pendengaran. Maka kini, sesudah dia tidak mengeluarkan bunyi, ayahnya juga berdiri bingung, tidak tahu ke mana perginya Ci Kang!
"Anak durhaka, jangan lari kau! Di mana engkau? Kurang ajar! Heii, apakah kalian sudah berubah menjadi patung semua? Hayo bantu aku untuk menangkap dan membunuh anak durhaka itu!" Teriakan ini ditujukan kepada enam orang Cap-sha-kui yang sejak tadi hanya duduk diam saja dengan penuh perhatian dan kegembiraan melihat bentrokan antara ayah dan anak itu.
Kini, mendengar bentakan Siangkoan Lo-jin mereka serentak bangkit. Akan tetapi mereka merasa ragu-ragu. Mereka mengenal Ci Kang, dan selalu mereka segan kepada pemuda remaja putera Iblis Buta yang selain amat lihai juga pendiam dan tidak banyak cakap itu. Sekarang pemuda itu memandang kepada mereka dengan wajah dingin dan mata berkilat membuat mereka menjadi gentar juga. Kalau mereka maju, kemudian ayah dan anak itu bersatu, mereka tentu akan mati konyol.
"Lo-jin, puteramu berada di sebelah kananmu, dekat pintu keluar!" tiba-tiba Kui-kok Lo-mo berseru sehingga teman-temannya menjadi lega.
Memang mereka tadi ragu-ragu dan kini mereka hendak melihat sikap anak dan ayah itu sebelum mereka turun tangan membantu Siangkoan Lo-jin. Begitu mendengar ucapan ini, tiba-tiba Siangkoan Lo-jin melompat ke kanan, dengan kecepatan luar biasa tongkatnya diputar dan dihantamkan ke arah kepala puteranya. Ketika Siangkoan Ci Kang mengelak, gerakannya terdengar oleh ayahnya dan ayah yang sudah marah ini lalu mengulur tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala puteranya.
Sebuah serangan yang sangat berbahaya dan cepat, mengandung maut! Sungguh amat berbahaya bila mengelak dari serangan ini selagi tongkat itu mengancam dari jurusan lain, maka jalan satu-satunya hanyalah menangkis, pikir Ci Kang. Sebenarnya dia tidak ingin menghadapi ayahnya dengan kekerasan, akan tetapi untuk melindungi dirinya dari tangan maut yang mencengkeram, terpaksa dia harus mengerahkan tenaganya menangkis.
"Dukkk!"
Dua tenaga besar itu bertemu dan akibatnya, Siangkoan Lo-jin berusaha melompat ke belakang untuk mematahkan tenaga yang membuat dia terdorong ke belakang, ada pun Ci Kang sendiri terlempar keluar pintu ruangan itu!
Melihat betapa Siangkoan Lo-jin benar-benar hendak membunuh puteranya, enam orang Cap-sha-kui itu menjadi berani dan mereka pun melakukan pengejaran keluar ruangan.
"Orang muda, perlahan dulu!" teriak Kui-kok Lo-mo yang melompat paling depan sambil mengirim serangan dengan kedua tangannya. Angin keras menyambar disertai uap tipis putih keluar dari sepasang telapak tangan ketua Kui-kok-pang ini ketika dia menyerang ke arah Ci Kang.
"Jangan kalian mencampuri urusan pribadiku!" bentak Ci Kang dan dia pun mengerahkan tenaganya, membalik dan mendorong untuk menyambut serangan lawan.
"Desss...!"
Keduanya terpental dan Kui-kok Lo-mo terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga pemuda remaja itu benar-benar amat hebat dan mampu membuat dirinya terpental. Juga isterinya yang datang menyusul di belakangnya, terkejut melihat suaminya sampai terpental. Karena suami isteri ini kelihatan tercengang dan ragu-ragu, para tokoh sesat lainnya yang mempunyai tingkat lebih rendah, menjadi ragu-ragu sehingga Ci Kang memperoleh kesempatan untuk meloncat keluar rumah kemudian melarikan diri.....