"Keparat, mau lari ke mana kau?" Dua orang saudara Ciok ini mengejar dan melayang turun.
Setibanya di bawah, lawan mereka itu sekali lagi berkelebat sudah lenyap! Selagi mereka kebingungan dan mencari dengan pandangan matanya, mereka melihat lawan tadi sudah berada di belakang mereka, berdiri sambil bertolak pinggang! Diam-diam mereka terkejut.
Lawan ini sungguh dapat bergerak seperti setan saja cepatnya. Dan kini, di bawah sinar penerangan lampu, mereka baru dapat melihat wajah lawan. Ternyata orang itu memakai kedok siluman tengkorak! Mereka berdua segera berteriak keras dan menyerang.
Teriakan itu mereka lakukan untuk memberi tahu teman-teman mereka. Akan tetapi pada saat itu, teman-teman mereka pun sedang sibuk! Siok Bu Ham yang sedang berjaga di bagian belakang rumah, tadi pun terkejut sekali ketika mendengar suara kucing dan tentu saja perhatiannya langsung tertuju ke genteng tetangga dari mana suara hiruk-pikuk itu datang. Dan pada saat dia mengembalikan perhatiannya kepada tempat di sekelilingnya, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang yang memakai topeng tengkorak, dengan pakaian sutera putih yang pada dadanya terdapat gambar tengkorak darah!
"Siluman jahanam, berani engkau datang?" bentak Siok Bu Ham dan pendekar ini segera menerjang dengan sepasang siang-kek yang sejak tadi sudah dipersiapkan. Nampak dua cahaya menyambar ketika sepasang tombak pendek itu meluncur dan membuat gerakan menggunting, menyerang dari kanan kiri.
Akan tetapi, orang yang diserangnya dengan ringan meloncat ke belakang dan serangan berganda itu pun mengenai tempat kosong. Sebelum Siok Bu Ham menyerang lagi, orang itu sudah meloncat ke depan.
"Bangsat, jangan lari kau!" Siok Bu Ham membentak sambil mengejar menuju ke depan rumah.
Akan tetapi bayangan itu menghilang dan ketika dia tiba di depan rumah, dia melihat Liu Ji sedang bertanding dengan seseorang yang serupa dengan orang yang dikejarnya tadi. Orang bertopeng tengkorak, bertangan kosong akan tetapi lihai bukan main sehingga Liu Ji yang bersenjatakan pedang itu pun terdesak hebat.
Pada saat Siok Bu Ham datang, Liu Ji yang sedang terdesak itu terkena tamparan pada pundaknya sehingga pendekar itu jatuh, terus menggulingkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak.
Tahulah Siok Bu Ham bahwa rekannya itu tentu menggunakan senjata rahasianya, yaitu piauw yang memang menjadi keahliannya. Tiga cahaya menyambar ke arah perut, dada dan leher orang berkedok tengkorak itu. Akan tetapi orang itu tidak mengelak.
Terdengar suara nyaring ketika tiga batang piauw itu mengenai sasaran, akan tetapi tiga batang piauw itu runtuh tanpa melukai siluman tengkorak itu. Melihat hal ini, Siok Bu Ham maklum bahwa orang itu memang kebal. Ketika melihat orang itu hendak mendesak Liu Ji yang belum sempat meloncat bangun, dia pun membentak marah sambil menggerakkan sepasang tombaknya.
"Siluman keparat, rasakan tombakku!" Dan dia pun sudah menerjang dengan dahsyat.
Siluman itu mengeluarkan suara dari hidungnya dan langsung mengelak. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Ji untuk meloncat bangun dan menerjang lagi dengan pedangnya, membantu Siok Bu Ham mengeroyok siluman yang lihai ini. Pundak kanannya tergores kuku dan bajunya robek, terluka sedikit saja akan tetapi rasanya panas dan perih sekali.
Baru mengeroyok sebentar saja, dua orang pendekar ini maklum bahwa lawan mereka sungguh sangat lihai, maka mereka berdua pun bersuit-suit untuk memberi tanda kepada para teman mereka. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang muncul.
Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Ciok Khim dan Ciok Lun juga sedang mengeroyok seorang siluman, dan bagaimana dengan Kwee Siu dan Siu Louw Ciang Su yang berjaga di ruangan dalam, di depan kamar keluarga Cia? Sama saja!
Kedua orang ini tadi juga mendengar suara bising kucing di luar rumah itu, lantas tiba-tiba saja muncul seorang bertopeng tengkorak berjubah putih yang bagian dadanya digambari tengkorak darah. Karena orang ini berdiri di bawah lampu, mereka berdua dapat melihat jelas.
Tentu saja mereka berdua terkejut sekali karena munculnya siluman ini sungguh secara tiba-tiba, berbareng dengan suara ribut kucing tadi, seperti setan yang pandai menghilang saja. Tetapi karena mereka maklum bahwa inilah musuh yang ditunggu-tunggu, keduanya lalu menerjang ke depan dengan marah. Kwee Siu menggunakan pedangnya sedangkan Louw Ciang Su menggerakkan sabuk atau rantai baja yang dipakai sebagai ikat pinggang. Segera terjadi pertempuran seru ketika dua orang ini mengeroyok siluman itu.
"Cia-hiante, hati-hati...!" Kwee Siu berseru untuk memperingatkan Cia Kok Heng.
Akan tetapi Kok Heng sudah mendengar keributan di luar kamar. Dia pun tidak mungkin tinggal diam saja. Cepat dibukanya pintu kamar dan melihat betapa dua orang rekannya mengeroyok seorang bertopeng tengkorak yang gerakannya amat lihai, dia pun menyuruh isterinya menjaga kedua anak mereka dan dia sendiri langsung melompat keluar dengan pedang di tangan.
"Siluman keparat, engkau mengantar nyawa!" bentaknya dan dia pun membantu kedua orang rekannya mengeroyok.
Karena marah bukan main melihat musuh yang mengancam isterinya ini berani muncul di hadapannya, Cia Kok Heng segera menerjang dan menggunakan jurus paling ampuh dari Hong-kiam-hoat, yaitu jurus Hui-hong Bu-liu (Angin Meniup Pohon Cemara). Jurus ampuh ini dilakukan dengan tusukan pada pinggang lawan, akan tetapi itu hanyalah merupakan gertakan belaka karena jurus itu dilanjutkan dengan sambaran pedang secara berputar mengarah kaki dan naik terus sampai ke leher. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.
Akan tetapi, alangkah kaget hati Kok Heng melihat lawan itu hanya mengeluarkan suara mendengus dan agaknya tidak mempedulikan tusukan gertakan itu, namun ketika pedang menyambar dengan gerakan memutar, orang itu sudah meloncat tinggi di udara sehingga jurus itu pun tidak ada gunanya sama sekali. Orang itu seolah-olah sudah mengenal baik jurus itu dan menggunakan kesempatan selagi meloncat, tidak hanya untuk memunahkan jurus Hui-hong-bu-liu, melainkan loncatan itu segera disambung dengan gerakan pok-sai (salto) jungkir balik dan tahu-tahu tubuh yang jangkung itu sudah meluncur dan melayang ke dalam kamar melalui pintunya yang terbuka.
Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah disangka oleh ketiga orang pendekar itu yang sejenak memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cia Kok Heng sudah mengejar sambil membentak marah,
"Siluman curang, mari hadapi pedangku!"
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba di dalam kamar, dia melihat isterinya sudah dipanggul dalam keadaan lemas oleh siluman itu dan dua orang anaknya juga dicengkeram, kemudian sambil tertawa mengejek siluman itu meloncat keluar lewat jendela belakang!
"Lepaskan isteri dan anak-anakku!" Kok Heng membentak dan mengejar, dan dua orang rekannya, Kwee Siu dan Louw Ciang Su juga membentak dan mengejar.
Siluman itu sama sekali tidak menemukan perlawanan di belakang, karena Siok Bu Ham yang tadinya berjaga di belakang itu kini telah terlibat dalam perkelahian membantu Liu Ji di pekarangan depan rumah. Siluman itu masih memondong tubuh isteri Kok Heng sambil mengempit dua tubuh anak itu ketika dia melompat naik ke atas wuwungan rumah.
"Lepaskan mereka!" Kok Heng yang merasa gelisah dan marah itu mengejar secepatnya.
"Jahanam curang! Jangan lari!" Kwee Siu juga berteriak mengejar.
"Kalau jantan lawanlah kami!" Louw Ciang Su membentak sambil meloncat pula mengejar ke atas genteng.
"Kejar...!" Kok Heng berteriak lagi.
"Ha-ha-ha!" Suara ketawa dari balik topeng itu terdengar menyeramkan sekali.
Mendadak siluman itu menggerakkan tangan kirinya yang mencengkeram baju dua orang anak itu. Tubuh dua orang anak itu segera melayang ke arah Kwee Siu dan Louw Ciang Su! Tentu saja dua orang pendekar terkejut bukan main, juga Kok Heng lantas berteriak dengan gelisah.
"Sambut anak-anakku itu...!"
Untung bahwa dua orang pendekar itu benar-benar memiliki gerakan lincah. Melihat tubuh dua orang anak itu melayang ke bawah, mereka cepat melempar senjata mereka lantas membalik dan nyaris saja anak-anak itu terbanting remuk di atas tanah kalau tidak kedua orang pendekar itu berhasil menangkap tubuh mereka!
Terdengar suara ketawa dan kini siluman itu sudah mengelak dari sambaran pedang di tangan Kok Heng yang membabat ke arah kedua kakinya. Dia melompat ke atas, terus saja melompat jauh ke depan, turun dari atas wuwungan ke pekarangan belakang rumah tetangga.
Tentu saja Kok Heng cepat melakukan pengejaran sambil membentak nyaring, "Lepaskan isteriku!"
Kwee Siu agak terpincang karena ketika dia tadi menangkap tubuh Cia Liong, putera Kok Heng, terpaksa dia harus mendahului anak itu, menangkapnya dan membiarkan dirinya lebih dulu menimpa tanah. Karena ini, kakinya agaknya salah urat. Melihat ini Louw Ciang Su berkata,
"Kwee-twako, sebaiknya engkau menyelamatkan kedua orang anak ini dan biar aku yang akan membantu Cia-te mengejar siluman itu!" Louw Ciang Su sudah mengambil senjata rantai bajanya lagi yang tadi terpaksa dilepaskannya ketika dia menyelamatkan Cia Ling, anak perempuan itu.
"Baik!" kata Kwee Siu yang sudah merangkul dua orang anak kecil yang masih menggigil dan menahan isak tangis itu.
Louw Ciang Su melompat ke atas genteng dan melakukan pengejaran ke arah larinya siluman yang menculik nyonya Cia. Sambil menggandeng dua orang anak itu, Kwee Siu mengambil lagi pedangnya yang tadi dilepaskannya dan dia merasa sangat heran kenapa empat orang rekannya yang lain tidak muncul. Hatinya terasa amat tidak enak dan sambil menggandeng kedua orang anak itu, dia menuju ke samping rumah.
Hampir saja dia berteriak keras ketika dia melihat betapa dua orang rekannya, Siok Bu Ham dan Liu Ji sudah menggeletak di situ dengan badan mandi darah. Pada waktu dia menghampiri dan memeriksa, ternyata kedua orang rekannya ini sudah tewas! Sebatang tombak pendek, senjata dari Siok Bu Ham sendiri, nampak menembus dadanya, ada pun Liu Ji tewas dengan leher hampir putus oleh pedangnya sendiri yang terletak di dekatnya!
Dengan sepasang kaki menggigil dan menahan tangisnya, Kwee Siu membawa Cia Liong dan Cia Ling keluar. Kembali dia mengalami guncangan batin hebat sesudah melihat dua orang rekan lainnya lagi, yaitu kakak beradik Ciok Lun dan Ciok Khim ternyata juga telah menggeletak menjadi mayat di pekarangan depan. Dan seperti juga keadaan dua orang rekannya yang tewas di samping rumah, kedua orang saudara Ciok ini pun tewas oleh senjata mereka sendiri. Agaknya lawan mereka yang kuat dan bertangan kosong itu telah merobohkan mereka dengan merampas senjata mereka dan mempergunakan senjata itu untuk membunuh tuannya sendiri.
Melihat betapa empat orang rekan atau sahabat yang seakan sudah menjadi saudaranya sendiri itu tewas dalam keadaan yang begitu menyedihkan, hati Kwee Siu penuh dengan kedukaan dan kemarahan. Apa lagi dia mengingat bahwa masih ada dua orang rekannya lagi yang kini melakukan pengejaran terhadap siluman itu. Dia harus membantu mereka!
Maka, dia segera membawa dua orang anak itu kepada seorang tetangga yang langsung menjadi panik ketika mendengar bahwa di rumah keluarga Cia telah terjadi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Siluman Goa Tengkorak. Tetangga ini memberi tahukan kepada semua penghuni rumah di sekitar tempat itu, dan sebentar saja gegerlah keadaan di perkampungan itu.
Akan tetapi, sesudah menitipkan dua orang anak she Cia itu, Kwee Siu sendiri langsung berloncatan dan cepat menyusul ke arah perginya siluman yang tadi dikejar oleh Cia Kok Heng dan Louw Ciang Su. Hatinya penuh dengan kekhawatiran dan juga dendam terhadap siluman yang telah membunuh empat orang saudaranya.
Akan tetapi Kwee Siu tidak perlu menyusul terlalu jauh. Di dekat tembok kota dia melihat bayangan yang berlari terhuyung-huyung, dan sesudah dia mendekati, ternyata bayangan itu adalah Cia Kok Heng yang berlari sambil terhuyung dan kedua tangannya mendekap leher karena dari situ bercucuran darah segar dari sebuah luka yang menganga!
"Cia-hiante...! Kau kenapa...?" Kwee Siu meloncat dan menubruk sahabatnya sekaligus juga saudara seperguruan di Hong-kiam-pai.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hatinya melihat luka di leher pendekar she Cia itu sungguh hebat sekali dan amat mengherankan jika Cia Kok Heng masih dapat berlari. Begitu melihat Kwee Siu, Cia Kok Heng langsung roboh terguling namun tubuhnya cepat disambar dan dipeluk oleh Kwee Siu.
"Anak-anakku...anak-anakku..." Cia Kok Heng berbisik dalam rangkulan sahabatnya itu.
"Mereka sudah kuselamatkan di tetangga..." kata Kwee Siu. "Mana Louw-te...?"
"Louw-twako... su... dah tewas... ahhh... Kwee-twako, bawa anak-anakku kepada suhu... cepat... ahhhh..." Cia Kok Heng berbisik-bisik akan tetapi dari lehernya hanya terdengar suara mengorok.
"Apa katamu, hiante? Kau bilang apa...?" Kwee Siu yang hatinya menjadi hancur itu cepat mendekatkan telinganya ke mulut yang masih tampak bergerak-gerak dan berbisik lemah sekali itu. Kwee Siu mendengarkan dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat sekali, sepucat muka Cia Kok Heng yang tiba-tiba terkulai dan tewas pula!
Kwee Siu tidak dapat menahan tangisnya lagi. Air matanya segera menetes-netes ketika dia memandang tubuh rekannya ini. Sambil menangis dia pun segera memondong tubuh yang kini sudah menjadi mayat itu, lalu berlari cepat kembali ke rumah keluarga Cia yang telah dipenuhi orang, yaitu para tetangga yang datang melayat.
Mereka semua yang sudah merasa ngeri menyaksikan empat mayat di dalam rumah itu, menjadi semakin ngeri dan ketakutan ketika melihat Kwee Siu datang membawa mayat Cia Kok Heng! Suasana menjadi semakin geger dan menyedihkan.
Sebelum malam terganti pagi, telah tersebarlah berita yang mengejutkan itu, bahwa enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan sudah tewas oleh Siluman Goa Tengkorak dan isteri pendekar Cia Kok Heng sudah diculik oleh siluman itu! Tentu saja berita ini bukan hanya menggegerkan seluruh Tai-goan, akan tetapi bahkan jauh sampai ke luar Tai-goan dan sebentar saja menjadi berita yang menggegerkan di dunia kang-ouw.
********************
Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda itu dilarikan sangat cepat, menembus kabut pagi. Namun sesudah kereta itu memasuki hutan di sebelah barat daya, di sepanjang lembah Sungai Fen-ho, terpaksa larinya diperlambat karena jalannya buruk dan becek. Kwee Siu yang duduk di tempat kusir memegang cambuk, sementara mukanya masih sangat pucat dan diliputi kedukaan.
Di dalam kereta itu terdapat Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak keluarga Cia yang sudah hancur oleh perbuatan Siluman Goa Tengkorak itu. Dua orang anak ini tidak diberi kesempatan untuk berkabung, bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengantar jenazah ayah mereka yang penguburannya akan dilakukan oleh para tetangga. Setelah terjadinya peristiwa mengerikan semalam, pada keesokan harinya pagi-pagi buta Kwee Siu segera membawa mereka pergi dengan kereta ini.
"Paman Kwee, kita hendak pergi ke mana?" tanya Cia Liong yang matanya masih merah sambil merangkul adiknya ketika mereka dibangunkan dari tidur di pagi buta dan diajak pergi oleh Kwee Siu.
Dua orang anak ini sudah tahu bahwa ayah mereka tewas dan ibu mereka dilarikan oleh penjahat. Tentu saja mereka berdua menangis dan selain merasa berduka juga merasa ketakutan.
Akan tetapi, kedukaan hati seorang anak tidak sama dengan kedukaan hati seorang tua. Anak-anak tidak menyimpan dendam yang berlarut-larut, tidak menyimpan duka sampai menembus batin. Batin kanak-kanak masih bersih dan wajar, masih kuat seperti puncak cemara sehingga biar pun digerakkan angin ribut ke arah mana pun juga, sesudah angin lewat akan tegak kembali, tidak mudah patah.
Bagi anak-anak tangis adalah obat penenang yang mengusir kedukaan dari dalam batin. Sebaliknya orang tua malah menggunakan tangis untuk memperhebat luka di dalam hati dengan rasa iba diri yang berlebihan.
Bagi anak-anak tangis adalah obat penenang yang mengusir kedukaan dari dalam batin. Sebaliknya orang tua malah menggunakan tangis untuk memperhebat luka di dalam hati dengan rasa iba diri yang berlebihan.
"Kita pergi ke tempat kakek gurumu, ke Kuil Thian-hong-bio. Ayahmu berpesan agar aku mengantarkan kalian ke sana, jadi untuk sementara kalian tinggal di situ bersama sukong kalian..."
"Aku tidak mau..." Tiba-tiba saja Cia Ling berkata merengek. "Aku mau tinggal di rumah bersama ibu!"
Kwee Siu merangkul anak perempuan berusia tujuh tahun itu, menghiburnya. "Tentu saja, bila mana ibumu sudah pulang, engkau akan tinggal di rumah bersama ibumu. Sementara kami mencari ibumu, engkau tinggal bersama kakek gurumu dahulu. Ayahmu berpesan demikian, kalian harus menurut pesan ayah kalian."
Akhirnya dua orang itu dapat dibujuk, lalu dengan membawa pakaian dan semua barang berharga yang terdapat dalam rumah itu, Kwe Siu segera mengantar dua orang anak itu pagi-pagi buta berangkat meninggalkan Tai-goan menuju kuil yang letaknya di luar kota, kira-kira tiga puluh li dari kota Tai-goan.
Setelah meninggalkan kota sejauh kurang lebih sepuluh li, kereta mulai memasuki hutan. Terpaksa Kwee Siu harus memperlambat laju kereta karena jalanan menjadi buruk, tidak rata dan becek.
Pagi itu sunyi sekali, dalam arti kata tidak ada seorang pun manusia nampak di sekeliling tempat itu. Akan tetapi suara burung-burung hutan menyambut pagi mengusir kesunyian dan mendatangkan suasana yang cerah gembira, walau pun kegembiraan itu sama sekali tidak dapat menyentuh hati Kwee Siu yang sedang dirundung kedukaan dan juga dendam membara.
Dia pun seorang murid Hong-kiam-pai, oleh karena itu, mala petaka yang menimpa diri Cia Kok Heng itu sungguh terasa olehnya sebagai dendam pribadi. Terlebih lagi, seluruh saudaranya, enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas dalam keadaan mengenaskan.
Jenazah Louw Ciang Su pun telah ditemukan dan dibawa dari tepi jalan itu ke rumahnya. Jenazah enam orang pendekar itu sekarang telah berada di dalam peti, di rumah masing-masing dan ditangisi keluarga masing-masing, kecuali jenazah Cia Kok Heng karena isteri dan anak-anaknya tidak berada di dekat peti mati.
"Aku harus membalas dendam ini!" Kwee Siu memegang cambuknya erat-erat dan sinar matanya berkilat.
Dia akan mohon bantuan gurunya, ketua Hong-kiam-pai. Kalau para tokoh Hong-kiam-pai mendengar tentang hal ini, tentu mereka tidak akan tinggal diam saja. Tiba-tiba Kwee Siu mengerutkan alisnya. Teringat dia akan bisikan-bisikan yang didengarnya sebagai pesan terakhir Cia Kok Heng kemudian hatinya menjadi bimbang dan bingung.
Jalan itu makin buruk dan masuk ke bagian hutan yang makin lebat, makin gelap karena sinar matahari pagi tidak dapat menembus sepenuhnya. Tiba-tiba saja dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan kelihatan panik. Kwee Siu cepat memegang kendali kuda erat-erat untuk menguasainya.
Kuda, seperti juga binatang-binatang lain memiliki naluri yang sangat kuat. Kepekaan ini terdapat di dalam diri semua makhluk hidup, sebagai pelengkap bawaan. Namun sayang, oleh nafsu-nafsu dalam mengejar kesenangan, oleh kesenangan-kesenangan itu sendiri yang tak pernah memuaskan hati dan selalu terasa kurang, untuk memiliki kepekaan ini manusia telah merusak kepekaan diri sendiri lahir batin.
Kesenangan untuk memenuhi nafsu keinginan, sebagian besar telah merusak kepekaan diri lahir batin dan hal ini tidak dipedulikan manusia. Makanan-makanan yang tidak baik bagi kesehatan badan pun dimakan saja karena terasa enak. Kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merusak diri dilakukan saja karena enak dan menyenangkan. Hukum-hukum kesehatan lahir batin sering dilanggar demi memperoleh kepuasan nafsu keinginan. Tak mengherankan kalau manusia kehilangan kepekaan nalurinya. Badan dan batin menjadi bebal dan dungu, hanya menjadi alat pemuas nafsu belaka.
Kesenangan untuk memenuhi nafsu keinginan, sebagian besar telah merusak kepekaan diri lahir batin dan hal ini tidak dipedulikan manusia. Makanan-makanan yang tidak baik bagi kesehatan badan pun dimakan saja karena terasa enak. Kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merusak diri dilakukan saja karena enak dan menyenangkan. Hukum-hukum kesehatan lahir batin sering dilanggar demi memperoleh kepuasan nafsu keinginan. Tak mengherankan kalau manusia kehilangan kepekaan nalurinya. Badan dan batin menjadi bebal dan dungu, hanya menjadi alat pemuas nafsu belaka.
Kwee Siu masih belum curiga, hanya mengira bahwa hutan itu mungkin menakutkan dua ekor kudanya dan mungkin saja kudanya mencium bau binatang buas. Tentu saja dia tidak merasa takut, lalu dengan hati-hati dia mengendarai kereta itu dan menahan kendali untuk menguasai dua ekor kudanya.
Mendadak kedua ekor kuda itu meringkik lagi, bahkan mereka mencoba mengangkat kaki depan. Kwee Siu menarik kendali kuda dan tiba-tiba salah seekor di antara dua kuda itu mengeluarkan suara memekik kemudian roboh. Di lehernya menancap sebatang tombak sampai menembus dan kedua kuda itu tewas seketika, berkelojotan sebentar saja.
Barulah Kwee Siu terkejut dan dengan cekatan dia pun meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Matanya menatap ke depan dan bulu tengkuknya meremang pada waktu dia melihat sesosok tubuh melangkah perlahan-lahan menghampirinya dari depan.
Seorang laki-laki jangkung yang berpakaian jubah putih dengan gambar tengkorak darah pada dadanya, juga mukanya tertutup topeng tengkorak! Siluman Goa Tengkorak! Rasa takutnya lenyap sesudah dia membayangkan kematian enam orang saudaranya. Dengan suara penuh dendam Kwee Siu melangkah maju menyambut siluman itu sambil memutar pedangnya.
"Siluman keparat, sekarang aku akan mengadu nyawa denganmu!" Dan Kwee Siu segera menerjang ke depan, menyerang dengan pedangnya.
Siluman itu mengeluarkan suara ketawa panjang dan langsung menyambut serangan itu dengan gerakan-gerakannya yang lincah dan aneh. Tetapi Kwe Siu yang sedang dikuasai dendam dan kemarahan juga terus menerjang dengan dahsyat dan mati-matian.
Sementara itu, Cia Liong dan Cia Ling yang berada di dalam kereta, terkejut ketika kereta berhenti dan kuda meringkik-ringkik. Mereka membuka tirai dan melihat ke depan. Melihat Kwee Siu berkelahi dengan seorang berjubah putih yang mukanya menakutkan, Cia Ling menangis. Akan tetapi Cia Liong merangkulnya dan mendekap mulut adiknya.
"Diam... jangan menangis, kita harus pergi dari sini...," bisik anak laki-laki itu dan mereka berdua lalu diam-diam keluar dari dalam kereta itu, berindap-indap mereka menyelinap ke belakang sambil memandang ke arah Kwee Siu yang masih berkelahi dan didesak hebat oleh orang bertopeng tengkorak.
Kwee Siu melawan mati-matian, akan tetapi siluman itu sungguh sangat lihai, terlalu lihai baginya. Terlebih lagi karena semua serangannya agaknya telah dikenal baik oleh lawan sehingga lawan ini dapat menghindarkan semua serangannya itu dengan amat mudahnya dan balasan serangan lawan itu membuat Kwee Siu terdesak dan kewalahan. Bagaimana pun juga, pendekar yang merasa dendam, marah serta penasaran ini terus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melawan dengan tekad bulat melawan sampai mati.
Sementara itu, di lain bagian dari hutan itu, hanya dua tiga li dari tempat itu, terdapat dua orang yang sedang berburu kelinci dengan naik kuda. Mereka berdua itu nampak gembira sekali, berburu kelinci sambil bersenda gurau dengan sikap amat mesra. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan melihat sikap mereka, senyum mereka, pandang mata dan kata-kata mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang saling mencinta. Dan mereka adalah pasangan yang amat setimpal.
Yang pria masih muda, antara dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, berwajah amat tampan, ganteng dan gagah, pakaiannya rapi, indah mewah. Biar pun dia bukan seorang pesolek, akan tetapi mukanya terawat baik-baik tanpa ia merias muka, sisiran rambutnya rapi, gelung rambutnya dihias oleh hiasan rambut terbuat dari batu kemala, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus, sepatunya masih baru.
Pendek kata, dia seorang pemuda yang sangat ganteng dan gagah, pantasnya seorang pemuda terpelajar yang kaya, dan melihat cara dia menunggang kuda mengejar kelinci, dapat pula diketahui bahwa dia adalah seorang ahli menunggang kuda. Seorang pemuda yang akan membuat setiap orang gadis yang bersua dengannya pasti menengok sampai beberapa kali dengan pandang mata kagum!
Ada pun temannya yang gadis juga merupakan seorang wanita pilihan. Usianya sebaya dengan pemuda itu, wajahnya sungguh amat cantik jelita dan gagah perkasa dengan raut muka sempurna, dengan kulit halus kemerahan tanda sehat, dengan sepasang mata yang indah berkilauan seperti mata burung hong keramat, senyumnya yang semanis madu dan suaranya yang bening merdu.
Gadis ini juga memakai pakaian sutera halus yang indah. Gerakannya ketika mengejar kelinci juga sangat cekatan dan gagah. Seorang gadis yang cantik jelita dan gagah pula! Sungguh merupakan pasangan yang amat setimpal dan seimbang.
Kalau saja orang mengenal siapa kedua orang muda ini, dia tentu tak akan heran melihat kegagahan mereka dan mungkin orang itu akan memandang kagum atau juga mungkin lari menyembunyikan diri. Pemuda yang bertubuh tegap sedang dan berwajah tampan ini bukan lain adalah seorang pendekar yang dahulu namanya pernah menggemparkan kota raja, bahkan pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan. Dia adalah Pendekar Sadis!
Dia adalah seorang pemuda yang berdarah bangsawan, karena ayah kandungnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis ini bernama Ceng Thian Sin, putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Ayahnya adalah putera kandung dari mendiang Kaisar Ceng Tung dan ibunya adalah Puteri Khamila isteri Raja Sabutai. Ayahnya itu, selain pangeran, juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang dulu pernah menggegerkan dunia persilatan dengan usahanya untuk menjadi Jagoan Nomor Satu Di Dunia.
Yang sudah mengenal Pendekar Sadis tentu telah mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis ini tidak kalah lihai dibandingkan mendiang ayahnya. Semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri, bahkan kemudian dia digembleng oleh ketua Cin-ling-pai, mewarisi ilmu silat yang hebat dari Cin-ling-pai.
Bukan hanya itu, dia malah mewarisi pula ilmu-ilmu mukjijat dari pendekar-pendekar sakti yang masih keluarga dari Cin-ling-pai, yaitu dari pendekar sakti Yap Kun Liong bersama isterinya, yaitu Cia Giok Keng. Kakek dan nenek ini menurunkan ilmu mereka kepadanya. Juga Pendekar Lembah Naga berkenan menurunkan ilmu-ilmu mukjijat kepadanya.
Di samping semua itu, dia masih mewarisi ilmu-ilmu peninggalan ayahnya, ilmu-ilmu aneh peninggalan Bu Beng Hud-couw. Pendek kata, Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya untuk masa itu.
Temannya itu, dara yang cantik jelita dan gagah itu, bukan seorang wanita sembarangan pula. Jauh dari pada itu! Dara ini bahkan memiliki tingkat yang tidak jauh bedanya dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin.
Wanita ini bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena dia adalah puteri kandung dari mendiang Pangeran Toan Su Ong, seorang pangeran pemberontak yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dan ibunya adalah seorang wanita yang telah mewarisi ilmu peninggalan Menteri Sakti The Hoo, yang bernama Ouwyang Ci.
Dengan ilmu kepandaian yang tinggi warisan dari ayah bundanya, Toan Kim Hong pernah menjagoi dunia selatan, bahkan dengan menyamar sebagai seorang nenek tua, gadis ini menaklukkan semua tokoh kang-ouw dan liok-lim, kemudian sebagai seorang nenek tua dia diangkat dan diakui oleh semua tokoh dunia persilatan sebagai seorang datuk selatan yang disebut Lam-sin (Malaikat Selatan).
Ilmu silatnya amat hebat dan ketika dia untuk pertama kalinya bertemu dengan Pendekar Sadis, mereka mengadu ilmu dan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya. Hanya dengan amat susah payah sajalah Pendekar Sadis mampu mengalahkan ‘nenek’ itu yang kemudian menanggalkan penyamarannya dan berubah menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena sumpahnya bahwa dia akan menyerahkan dirinya kepada pria yang mampu mengalahkannya, juga karena merasa saling tertarik, Kim Hong lalu menyerahkan diri kepada Thian Sin.
Semenjak itu keduanya lalu hidup bersama, merantau ke mana-mana, dan hidup sebagai suami istri tanpa pernikahan yang sah. Keduanya memang tak mau saling mengikat, akan tetapi di dalam hati mereka terdapat ikatan cinta kasih yang amat mendalam. Dua orang ini pernah ditentang oleh para pendekar, bahkan oleh keluarga Cin-ling-pai karena sepak terjang Thian Sin yang dulu terkenal sebagai Pendekar Sadis. Sepak terjangnya dianggap terlalu kejam sehingga para pendekar menentangnya.
Karena kemudian berhadapan dengan keluarga Cin-ling-pai, terutama sekali dengan ayah angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, maka Thian Sin mengalah dan tak berani melawan. Akhirnya dia beserta kekasihnya diampuni dan dia pun berjanji akan membuang jauh-jauh sifatnya yang kejam terhadap para penjahat itu.
Mereka berdua lalu pergi ke tempat yang terasing, yaitu di Pulau Teratai Merah. Tempat ini adalah tempat di mana dahulu mendiang Pangeran Toan Su Ong, ayah kandung Kim Hong, hidup bersama anak isterinya ketika dia masih menjadi buronan pemerintah karena sikapnya yang suka memberontak dan menentang kaisar.
Demikianlah perkenalan kita secara singkat dengan sepasang muda-mudi yang hebat ini. Di waktu-waktu tertentu kedua orang ini sering kali pergi meninggalkan pulau mereka dan melakukan perjalanan di daratan besar, merantau dan melakukan petualangan bersama, menikmati hidup dan bersama-sama menghadapi segala peristiwa dengan sikap sebagai sepasang pendekar yang selalu menentang kejahatan.
Pada hari itu, kebetulan sekali mereka yang hendak melakukan pejalanan pesiar ke kota Tai-goan, pada waktu melewati hutan itu timbul kegembiraan mereka untuk menangkap kelinci ketika mereka melihat beberapa ekor kelinci yang gemuk dan sehat.
"Lihat kelinci di sana itu!" Mula-mula Kim Hong berseru sambil menunjuk ke depan dan mereka melihat seekor kelinci putih yang muda dan gemuk muncul dari semak-semak.
"Gemuknya! Ihh, basah mulutku membayangkan dagingnya dipanggang. Tentu lezat dan sedaaappp…!" Thian Sin tertawa.
Mendengar suara tawa yang tak wajar itu, Kim Hong yang sudah menghentikan kudanya segera menengok lalu memandang wajah kekasihnya dengan sinar mata menyelidik dan menuntut. "Kenapa kau ketawa seperti itu? Mentertawakan aku?"
Thian Sin tertawa semakin geli. "Kim Hong, membayangkan dagingnya yang putih mulus dipanggang, menimbulkan selera seperti jika membayangkan tubuhmu... aihh, seperti ada persamaannya membayangkan antara kalian berdua..."
"Tarrrrr...!"
Pecut kuda di tangan Kim Hong meledak di dekat kepala kuda yang ditunggangi Thian Sin, membuat kuda itu meringkik kaget lantas mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Kalau bukan Pendekar Sadis yang berada pada punggungnya, tentu gerakan tiba-tiba ini akan membuat penunggangnya terlempar dari atas punggung kuda!
"Porno kau! Cabul kau!" Kim Hong memaki akan tetapi Tian Sin hanya tertawa. Mereka lalu berlomba untuk berburu kelinci.
"Yang dapat lebih dulu bagian makan, yang lain bagian membersihkan dan memanggang dagingnya!" kata Kim Hong. Akan tetapi sambil berkata demikian, kudanya telah meloncat ke depan dan dia pun segera mengejar seekor kelinci putih yang berlari-larian ketakutan setengah mati akibat dikejar kuda besar.
Thian Sin tertawa dan tidak mau kalah. Lalu dia pun membedal kudanya mengejar kelinci. Mereka berdua adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi, malah dapat dinamakan orang-orang sakti, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka kadang kala bersikap seperti kanak-kanak.
Namun mereka bersikap jujur sekali. Kalau mereka menghendaki, dengan sekali gerakan tangan saja, tentu mereka akan merobohkan seekor kelinci. Akan tetapi pikiran ini sama sekali jauh meninggalkan benak mereka yang sedang bergembira dan begurau itu sebab mereka kini sungguh-sungguh mempergunakan kelincahan kuda mereka untuk berburu kelinci dan berlomba secara wajar dan jujur, sama sekali tak berniat untuk menggunakan ilmu kepandaian mereka.
Justru di sinilah letak kegembiraannya. Menggunakan kelincahan kuda saja untuk berburu kelinci tanpa mengandalkan senjata atau pun kepandaian, sungguh bukan merupakan hal yang mudah. Kelinci-kelinci itu terlampau gesit untuk kuda yang bertubuh besar, lagi pula beberapa kali kelinci-kelinci itu menyelinap kemudian lenyap di dalam semak-semak atau lenyap di dalam lubang.
Mereka tertawa-tawa, berebut hendak menangkap kelinci sampai mereka tidak tahu ke mana kuda mereka menuju. Mendadak mereka mendengar suara anak menahan tangis. Keduanya terkejut, menghentikan kuda mereka dan melihat ke depan.
Di situ, seorang anak laki-laki sedang merangkul seorang anak perempuan dan berusaha mendekap mulut anak perempuan itu agar jangan menjerit atau terisak. Akan tetapi, dua pasang mata mereka itu menatap kepada dua orang penunggang kuda dengan terbelalak dan penuh rasa takut. Mereka itu adalah Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak yang melarikan diri dari dalam kereta yang dihadang oleh siluman itu.
Pada saat mereka tiba di situ dan mendengar suara dua orang penunggang kuda yang tertawa-tawa sambil mengejar-ngejar kelinci, kemudian melihat mereka muncul, dua orang anak itu menjadi ketakutan, mengira bahwa yang muncul itu tentulah orang-orang jahat pula. Cia Ling sudah hampir menjerit dan menangis, akan tetapi mulutnya didekap oleh kakaknya dan kini mereka berdiri terbelalak memandang kepada dua orang penunggang kuda itu dengan ketakutan.
Melihat dua orang anak kecil yang ketakutan di dalam hutan ini, dengan sekali melompat Kim Hong sudah berada di depan mereka. Loncatannya itu memang amat luar biasa dan akan membuat seorang ahli silat atau seorang ahli ginkang melongo dan kagum disertai ketakjuban. Tidak mudah meloncat dari atas punggung kuda seperti itu, tanpa membuat kuda itu terkejut, lantas di udara membuat pok-sai (salto) sampai dua kali dan tahu-tahu meluncur turun di dekat dua orang anak itu. Seperti seekor burung terbang saja.
Dan memang ini adalah salah satu di antara keistimewaan gadis itu, yakni ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sangat hebat. Kim Hong sudah berjongkok di depan dua orang anak itu, tersenyum dan memandang manis agar mereka tidak menjadi ketakutan.
"Ehhh, siapakah kalian adik-adik kecil ini? Dan mengapa berdua saja di dalam hutan dan kelihatan ketakutan? Jangan takut kepadaku, aku akan menolong kalian!"
Dalam keadaan seperti itu, batin anak-anak kecil lebih peka dari pada orang tua. Cia Ling memandang wajah yang cantik itu, kemudian tiba-tiba merangkul dan menangis di atas pundak Kim Hong yang lalu memondongnya.
"Ceritakan, apa yang sudah terjadi? Kami akan menolongmu," kata Thian Sin yang juga sudah turun dari atas kudanya dan menghampiri dua orang anak itu.
Agaknya Cia Liong juga sudah bisa mempercayai kedua orang ini yang sama sekali tidak kelihatan seperti orang-orang jahat, "Ayah kami dibunuh siluman..."
"Apa...?!" Thian Sin terkejut sekali dan berseru keras, membuat Cia Liong terkejut.
Kim Hong mengerutkan alisnya dan merengut. "Kasarmu ini!" celanya dan dia pun segera mendekati anak laki-laki itu, "Mengapa ayahmu dibunuh siluman dan di mana? Ceritakan, jangan takut. Kami akan melawan siluman itu!" katanya.
"Ayah kami dibunuh malam tadi... dan ibu kami diculik siluman..."
"Ahhh...!" Kim Hong juga terkejut. "Dan bagaimana kalian bisa berada di sini?"
"Kami dibawa lari oleh paman Kwee Siu dengan naik kereta. Akan tetapi di tengah jalan... siluman... siluman itu menghadang dan sekarang sedang berkelahi dengan paman Kwee Siu... dan kami melarikan diri..."
"Di mana pamanmu itu sekarang?" Thian Sin bertanya.
"Di sana..." Cia Liong menuding ke belakang.
"Kim Hong, bawa mereka, aku akan ke sana!" Belum habis kata-katanya, orangnya sudah lenyap ketika Thian Sin melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap.
Kim Hong menuntun dua ekor kuda kemudian mendudukkan dua orang anak itu di atas punggung kuda, lalu dia pun menyusul ke arah larinya Thian Sin. Ketika Kim Hong tiba di tempat perkelahian itu, dia melihat Thian Sin sedang berjongkok di dekat sesosok tubuh yang nampaknya sudah menjadi mayat. Thian Sin sedang berusaha membuat orang yang belum tewas benar itu agar memperoleh kekuatan dengan jalan menotok sana-sini. Ia pun menurunkan dua orang anak itu dan cepat menghampiri.
"Paman Kwee..." Dan dua orang anak itu menangis.
Maka mengertilah Thian Sin dan Kim Hong bahwa korban ini adalah paman yang sudah melarikan dua orang anak itu, agaknya hendak menyelamatkan mereka dan melarikan diri dari bahaya, namun tetap saja bahaya maut itu datang menjemput.
Akhirnya usaha Thian Sin berhasil. Orang yang dadanya terluka oleh tusukan pedangnya sendiri dan pelipisnya retak karena pukulan itu mulai menggerakkan mata serta bibirnya, kemudian dia mengeluh panjang, lalu terdengar suaranya berbisik lemah,
"Si... siluman... goa... tengkorak... ahhhh... tewas semua... su... susiok..." Kwee Siu tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena lehernya terkulai dan nyawanya melayang.
"Paman...!" Dua orang anak itu yang dapat menduga apa yang telah terjadi, menangis.
Akan tetapi Kim Hong berhasil membujuk dan menghibur mereka, membawa mereka ke dalam kereta. Kemudian wanita perkasa ini membantu Thian Sin untuk mengubur jenazah Kwee Siu di dalam hutan itu.
Mereka berdua maklum bahwa di belakang semua ini tentu terdapat rahasia, dan mereka dapat merasakan bahaya maut mengancam dua orang anak itu. Oleh karena itulah maka mereka tidak mau ribut-ribut, melainkan dengan diam-diam mengubur jenazah Kwee Siu dan mengambil keputusan untuk menyelidiki urusan ini, dan selain menghukum penjahat-penjahatnya, juga berusaha menolong ibu anak-anak itu yang katanya diculik ‘siluman’. Apa lagi mereka mendengar pesan terakhir paman dua orang anak itu tentang Siluman Goa Tengkorak.....!