Harta Karun Jenghis Khan Jilid 01

Kota An-keng terletak di tepi Sungai Yang-ce, sebuah kota besar di utara Sungai itu dari Propinsi An-hwi. Karena letaknya yang sangat strategis, yaitu dekat dengan Sungai besar Yang-ce yang datang dari kota besar Wu-han dan menuju ke kota Nan-king, maka kota An-keng ini amat ramai dan menjadi pusat perdagangan yang diangkut melalui sungai itu. Perdagangan yang amat ramai di kota itu membuat An-keng menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh para pedagang sehingga bukan hanya toko-toko besar, akan tetapi juga restoran-restoran dan hotel-hotel tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.

Di samping terkenal sebagai kota dagang yang ramai, juga An-keng mempunyai tempat plesiran di tepi Sungai Yang-ce yang sengaja dibuat oleh pemerintah daerah. Tempat ini adalah sebuah telaga buatan yang memperoleh airnya dari sungai itu dan di sekitar telaga ini ditanami bunga-bunga yang indah. Juga telaga itu sendiri merupakan tempat bersantai yang menarik.

Pada satu bagian terdapat tanaman bunga teratai merah putih yang melatar belakangi angsa-angsa putih berleher panjang yang berenang-renang dengan cantiknya di sekitar bunga-bunga teratai itu. Ada bagian di mana orang dapat memancing ikan, berperahu, atau duduk dengan santai di restoran-restoran di tepi danau buatan, minum arak sambil menikmati pemandangan indah, melihat perahu-perahu berlalu lalang ditumpangi muda mudi yang asik berpacaran.

Angin yang sejuk membuat orang semakin betah dan suasana yang nyaman itu membuat orang lupa bahwa dia telah menghabiskan seekor bebek panggang yang amat terkenal di tempat itu, ditemani arak seguci kecil! Makin mabok, maka makin menarik dan indahlah suasana di sekitar Telaga Teratai Merah Putih di kota An-keng itu. Di sana sini terdengar sasterawan-sasterawan yang sedang mabok bernyanyi, atau membaca sajak-sajak yang indah.

Makin siang, suasana menjadi semakin meriah, apa lagi karena beberapa orang hartawan sudah menyewa sekelompok wanita pemain musik dan penyanyi, membawa mereka ke dalam perahu dan suara nyanyian dan yang-kim mengalun bersama-sama permukaan air danau yang diguncang oleh perahu-perahu itu.

Di dalam sebuah di antara restoran-restoran yang dibangun di tepi pantai, bangunannya merupakan panggung agak tinggi yang menjulur ke air sehingga para tamu yang duduk makan minum seolah-olah merasa tengah berada di atas perahu besar yang tak bergerak, nampaklah sepasang orang muda duduk sambil menghadapi bebek panggang dan arak. Mereka berdua merupakan pasangan yang amat cocok dan sedap dipandang mata.

Yang pria berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, berkulit muka putih dengan sepasang alis hitam berbentuk golok, wajahnya tampan sekali dan gerak-geriknya juga amat halus. Pakaiannya mirip seperti pakaian seorang pemuda pelajar, akan tetapi jika biasanya para pelajar itu berpakaian dan bersikap sederhana, sebaliknya pakaian pemuda itu rapi sekali, bahkan mendekati pesolek walau pun sikapnya tidak berlebih-lebihan seperti biasa sikap pemuda-pemuda bangsawan yang kerjanya hanya menjual tampang sambil memamerkan kekayaan padahal batinnya kosong.

Pemuda ini berpakaian rapi, bersikap halus dengan senyum manis selalu tersungging di bibirnya. Akan tetapi, kalau ada orang yang sudah biasa berkecimpung di dunia persilatan dan mempunyai pandang mata seorang ahli, tentu dia akan curiga kepada pemuda halus tampan ini. Kedua matanya mencorong penuh kekuatan, tajam menusuk seperti hendak menembus dada orang lain untuk menjenguk isi hatinya.

Selain itu, juga ada sesuatu yang tersembunyi di dalam gerakan halus itu, sesuatu yang membayangkan kekuatan yang sangat hebat. Regangan-regangan jemari tangannya jika bergerak, atau kedudukan tubuh dan kedua lengannya, bagi orang yang berpemandangan tajam tentu akan mengenal gerakan otomatis seorang ahli silat!

Temannya juga sangat menarik perhatian. Seorang wanita muda yang usianya sebaya, atau andai kata lebih tua sedikit pun tidak akan ketahuan sebab wanita itu memang cantik sekali dan ada kelembutan yang membuat dia nampak lebih muda dari pada temannya.

Wanita muda itu sungguh cantik jelita dan manis, kulitnya putih kemerahan dan seperti juga temannya itu, dia pun mengenakan pakaian indah. Wajahnya yang cantik manis itu tidak memakai hiasan terlalu tebal, dan memang hal itu tidak perlu, bahkan mungkin akan merusak kecantikannya yang asli. Bibir yang tipis penuh itu memang tidak membutuhkan pemerah lagi karena sudah merekah merah dan selalu seperti basah. Alisnya yang kecil panjang itu memang sudah hitam sekali, tidak perlu ditambah penghitam alis lagi.

Ketawanya cerah dan suaranya merdu. Sepasang matanya juga akan membuat ahli silat yang berpandangan tajam terkejut karena mata itu kadang-kadang mencorong, kadang-kadang mengeluarkan sinar yang demikian dingin dan menyeramkan, akan tetapi kadang-kadang juga penuh gairah yang hangat dan hidup.

Sejak tadi keduanya duduk di restoran itu, makan minum, bercakap-cakap, kadang kala berbisik-bisik dan nampak nyata kasih sayang terpancar pada pandang mata mereka saat mereka sudah berbisik-bisik dan saling pandang seperti itu. Ada kalanya mereka nampak seperti sepasang muda mudi yang asik berpacaran, akan tetapi kadang-kadang mereka bicara serius.

Pada waktu terdengar suara nyanyian dan suara sasterawan-sasterawan tua yang mabok bersajak di atas perahunya yang meluncur tanpa tujuan di permukaan air, terdengar gadis muda itu tertawa merdu dan tangan kirinya menutupi mulut dengan gaya yang menarik.

"Apa yang kau tertawakan?" tanya pemuda itu sambil menatap wajah temannya dengan penuh kagum.

Sudah tiga tahun dia hidup di samping wanita ini namun setiap kali dia masih terpesona mengagumi kecantikannya. Apa bila gadis itu sudah tertawa, dengan sepasang matanya ikut tertawa, dan hidungnya yang kecil itu agak dikernyitkan seperti itu, ada sesuatu yang membuatnya merasa terharu, keharuan yang muncul karena rasa sayang yang demikian besar yang seolah-olah menembus jantungnya dan membuat dia yakin betapa besar rasa cintanya kepada gadis ini. Rasa cinta inilah yang mendatangkan semua keindahan dan kecantikan itu.

Bagi pandang mata orang lain, belum tentu gadis itu akan nampak sedemikian cantik dan indahnya di waktu tertawa seperti itu, akan tetapi bagi dia, dunia seolah-olah ikut tertawa bersama mata yang bersinar-sinar, hidung yang tertarik ke atas dan gigi yang mengintai sekilas di balik sepasang bibir merah basah yang terbuka itu.

"Kau tidak dengarkan sajak sasterawan tua yang berdiri bergoyang-goyang mabok di atas perahunya yang lewat tadi?"

"Tentu saja. Sajaknya indah dan dia mengeluh tentang hari tuanya. Dia ingin selamanya tinggal muda untuk menikmati keindahan Danau Teratai Merah Putih." jawab si pemuda. "Sajak itu menyedihkan, kenapa kau tertawa mendengarnya? Kurasa tidak ada lucunya di situ."

"Hi-hik, itulah karena engkau pun sama dengan dia. Beberapa tahun lagi dan engkau pun akan menangisi usia tuamu seperti dia, hidup sebatang-kara dan kesepian, hi-hik!"

"Ihh, mana mungkin? Kan ada engkau di sisiku?"

"Aku pun akan tua dan meratapi nasibku kalau aku bersikap sepertimu. Itulah yang lucu. Mengapa dia menyesali hari tuanya? Lihat, bukankah danau ini, Sungai Yance itu, jauh lebih tua dari pada kita, dari pada sasterawan cengeng tadi? Namun lihat, berkurangkah keindahannya? Nampakkah tuanya? Adakah penyesalan pada danau dan sungai, juga pohon-pohon tua di seberang itu, akan ketuaannya? Sama sekali tidak, mereka semua itu masih tetap muda, cantik menarik bahkan dalam ketuaan mereka sekali pun."

Pemuda itu memandang serius dan mengangguk-angguk. "Ada isinya dalam ucapanmu itu, sayang. Memang. keindahan dan kebahagiaan terdapat di mana-mana dan pada saat apa pun. Seorang muda pun tak akan bisa melihat keindahan dan menikmati kebahagiaan kalau dia tidak mengenal indahnya saat ini. Dia, seperti juga sasterawan itu, hanya akan menyesali diri, menyalahkan nasib, menginginkan hal-hal yang tidak ada, maka datanglah kekecewaan, penyesalan dan duka cita. Wah, wah, masih sepagi ini engkau sudah mulai berfilsafat!"

Gadis itu tertawa. "Alam seindah ini, cuaca senyaman ini, dan hawa sesejuk ini, siapa orangnya yang tidak berubah menjadi penyair dan ahli filsafat?"

Tiba-tiba pemuda itu menyentuh tangan si gadis yang tergeletak di atas meja. Gadis itu terkejut sebab sentuhan itu bukan sentuhan biasa, melainkan sentuhan yang menyatakan guncangan perasaan. Maka dia pun menengok dan ikut memandang ke arah pemuda itu memandang ke luar jendela dan dia pun melihat seorang laki-laki mendayung perahunya lewat di bawah tempat itu dengan tergesa-gesa.

Laki-laki itu sudah setengah tua dan dari pakaiannya mudah diketahui bahwa dia adalah seorang dusun sederhana. Akan tetapi wajahnya pucat dan matanya terbelalak ketakutan. Dan agak jauh di belakangnya, sebuah perahu lain meluncur dengan cepatnya.

Perahu ini ditumpangi oleh dua orang laki-laki yang kelihatan kokoh kuat dan kasar, yang mendayung perahu itu dengan sangat cepatnya, mengejar perahu pertama itu dan pada wajah mereka terbayang kemarahan dan keganasan. Karena banyak perahu yang berlalu lalang di situ, orang tidak akan tahu bahwa perahu yang ditumpangi oleh kakek dusun itu sedang dikejar oleh dua orang dalam perahu yang lebih besar itu.

Hanya karena pemuda dan gadis itu duduk di atas dan kebetulan memandang ke telaga dan melihat wajah orang di perahu pertama, mereka melihat hal yang tidak wajar ini. Apa lagi karena memang keduanya mempunyai pandang mata yang amat tajam, berbeda dari kebanyakan orang lain.

"Lihat, dia terluka...," bisik gadis itu.

Pemuda itu mengangguk. Dia pun sudah tahu bahwa kakek petani yang dikejar-kejar itu telah mengalami beberapa luka pada tubuhnya. Luka memar dan gosong akibat pukulan-pukulan berat di leher dan tengkuknya yang coba ditutupinya dengan leher baju dan juga lengan bajunya yang kanan berlepotan darah yang sudah mulai mengering.

Dan semua ini dapat terlihat oleh pemuda dan gadis itu dari jarak jauh! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa sepasang muda mudi ini memiliki ketajaman mata yang lain dan jauh lebih dari pada mata orang biasa.

Kini perahu petani itu sudah tiba di darat dan petani itu naik ke darat, lalu tergesa-gesa meninggalkan perahunya.

"Mari kita lihat!" kata pemuda itu dengan tenang. Dia pun memanggil pelayan, membayar harga makanan minuman, lantas bersama gadis itu mereka keluar dari restoran, agaknya tidak tergesa-gesa akan tetapi langsung mereka menuju ke arah larinya petani yang kini dikejar-kejar oleh dua orang itu.

Petani itu bukan lari ke arah kota An-keng, melainkan keluar kota, ke tempat yang sunyi, agaknya memang ingin melarikan diri dari kejaran dua orang itu. Dia seorang petani biasa agaknya, usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya kurus dan kasar, kulitnya agak kehitaman karena terlalu sering tertimpa terik matahari. Jelas merupakan seorang miskin yang biasa bekerja keras dan kasar. Sepasang matanya yang kadang-kadang digunakan untuk memandang ke belakang dengan ketakutan itu kini terbelalak. Mukanya pucat dan jalannya terpincang-pincang, tanda bahwa di bagian kakinya pun sudah menderita luka.

Dari belakangnya, dua orang yang tadi mengejarnya dengan perahu, sudah hampir dapat menyusulnya. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus, mulutnya yang terlampau lebar itu menyeringai dan selalu seperti mengejek, matanya yang sangat sipit itu seperti terpejam dan lehernya mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh laksana orang yang berpenyakit batuk kering.

Orang yang ke dua bertubuh gemuk pendek, dengan mata lebar yang mengeluarkan sinar kejam, mukanya seperti muka babi dengan kulit bertotol-totol merah. Di kedua punggung mereka nampak tergantung sebatang golok besar.

"Petani busuk, kau hendak lari ke mana? Ha-ha-ha-ha!" Si gendut berteriak mengejar.

Tentu saja petani yang berlari menggunakan kekuatan biasa, apa lagi dengan kaki yang terpincang-pincang itu, bukanlah lawan dua orang yang agaknya memiliki kepandaian ilmu silat dan pandai berlari cepat itu. Tahu-tahu dua orang itu telah menghadang dari depan dan melihat ini, kakek petani itu dengan mata terbelalak lalu membalik ke kanan dan lari sekuatnya, kembali ke arah danau! Akan tetapi sekali ini dia tiba di bagian pinggir danau yang sunyi dan tidak ada orangnya.

Sambil tertawa mengejek, dua orang itu mengejar, mempermainkannya laksana dua ekor kucing yang sedang mempermainkan seekor tikus yang sudah tersudut, tidak mau segera menerkamnya, seolah-olah hendak menikmati lebih dulu pemandangan tikus itu ketakutan setengah mati.

"He-he-heh, petani tua bangka, lebih baik lekas berikan benda itu kepada kami dan kami akan membunuhmu dengan cara lunak."

"Tidak, tidak! Sampai mati tidak!" Petani itu berteriak dan tiba-tiba dia menubruk seorang di antara mereka yang menghadang di depannya.

Tubrukan petani ini sama sekali tidak memakai perhitungan, tidak menggunakan teori ilmu berkelahi, namun tubrukan yang dilakukan karena terjepit dan terpaksa. Akan tetapi justru serangan seperti inilah yang kadang-kadang membingungkan ahli silat yang tingkatannya masih rendah dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kakek itu menabrak dada orang tinggi kurus itu sampai terjengkang!

"Keparat! Kau berani melawan?!" bentak si gendut itu, lalu nampak sinar golok berkelebat ketika goloknya membacok.

Kakek petani yang telah nekat itu tak mau mengelak, melainkan terus saja menubruknya. Mengelak pun akan sia-sia belaka karena memang dia tak biasa berkelahi, dan tidak tahu bagaimana caranya mengelakkan diri dari sambaran golok itu.

"Crakkk...!"

Tubuh kakek itu lalu terguling, pundaknya terluka parah oleh bacokan golok serta sebuah tendangan yang mengenai lambungnya membuat dia terguling-guling. Kini kembali golok itu menyambar ke arah leher kakek petani.

"Desss...!”

“Aughhhh...!" Si gendut berteriak mengaduh saat pergelangan tangannya bertemu dengan sepatu yang menendangnya dari samping.

Demikian kerasnya tendangan pemuda tampan itu, sehingga bukan hanya goloknya yang terlempar, akan tetapi tulang pergelangan tangan itu juga menjadi patah. Si tinggi kurus menjadi marah. Goloknya menyambar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara.

"Ngekkk…!" dan dia pun roboh terguling karena tengkuknya disambar tangan halus gadis teman pemuda itu.

Pasangan muda mudi itu ternyata telah tiba di situ, agak terlambat sehingga kakek petani itu sempat menerima bacokan serta tendangan, akan tetapi masih belum terlambat untuk mencegah terjadinya pembunuhan. Mereka menggerakkan kaki menendang, maka tubuh dua orang penjahat itu terlempar ke arah danau.

"Byurrrrrr...!"

Dua orang itu gelagapan dan berdaya upaya sekuatnya agar jangan sampai tenggelam. Mereka telah terluka, akan tetapi karena terancam bahaya mati tenggelam, mereka bagai memperoleh tenaga baru dan berenang ke darat, menjauhi pemuda dan gadis yang amat lihai itu. Sepasang muda mudi yang lihai ini tidak lagi memperdulikan mereka, melainkan cepat menolong petani tua yang menggeletak dengan napas empas-empis.

"Bagaimana keadaanmu, lopek?" tanya si pemuda tampan sambil memeriksa semua luka yang diderita oleh kakek itu.

"Lekas... lekaslah bawa aku pergi... tolonglah... auhhh... jumlah para penjahat itu banyak sekali... lekas sembunyikan aku... ahhhh!" Dan kakek itu tak sadarkan diri.

Pemuda dan gadis itu saling pandang dan mereka melihat dua orang penjahat tadi telah berhasil mendarat dan melarikan diri.

"Bagaimana?" tanya si gadis tenang. "Kita menanti di sini kemudian menghajar mereka semua?"

Pemuda itu menggeleng. "Lebih baik kita sembunyikan dia dan merawatnya. Kurasa ada tersembunyi rahasia yang menarik di balik peristiwa ini. Aneh kalau penjahat-penjahat itu mengejar-ngejar dan mendesak seorang kakek petani miskin seperti ini. Dan tadi agaknya mereka menghendaki suatu benda..."

"Baik," jawab gadis itu.

Pemuda itu memondong tubuh si kakek petani dan sebentar saja dia bersama temannya sudah berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu. Cara mereka berjalan cepat tentu akan mengejutkan hati seorang ahli silat kelas tinggi sekali pun karena mereka itu sudah mempergunakan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat luar biasa!

Siapakah gerangan pemuda dan gadis yang luar biasa ini? Orang yang mengenal mereka tentu tidak akan heran menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian mereka karena pemuda itu bukan lain adalah tokoh dunia persilatan yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan julukannya yang amat menyeramkan, yaitu Pendekar Sadis! Dan temannya, gadis cantik jelita itu pun pernah menjadi datuk kaum sesat yang berjuluk Lam-sin atau Malaikat Selatan!

Pendekar Sadis itu bernama Ceng Thian Sin. Di dalam usianya yang baru dua puluh tiga tahun, pemuda ini telah berhasil mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan yang pada saat itu jarang bisa dicari bandingannya. Dia bukanlah keturunan sembarangan orang, karena mendiang ayah kandungnya adalah Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai, yaitu seorang pangeran yang dulu pernah berambisi untuk menjadi Jagoan Nomor Satu di dunia, sedangkan mendiang ibunya adalah Lie Ciauw Si, cucu dari ketua Cin-ling-pai!

Pendekar Sadis ini bukan hanya sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, bahkan telah menerima gemblengan dari banyak orang sakti, dan terutama sekali dia sudah mewarisi peninggalan ilmu yang mujijat dari mendiang ayah kandungnya.

Sedangkan temannya itu, yang dahulu pernah menyamar sebagai seorang nenek dengan julukan Lam-sin sebagai datuk selatan, bernama Toan Kim Hong, juga bukanlah seorang wanita sembarangan. Seperti juga Ceng Thian Sin, nona cantik jelita ini adalah keturunan bangsawan karena dia adalah puteri seorang pangeran bernama Toan Su Ong yang sakti.

Ibu kandungnya adalah seorang wanita sakti pula bernama Ouwyang Ci yang mewarisi ilmu rahasia dari Perdana Menteri The Hoo yang sangat terkenal itu. Seperti juga Thian Sin, orang tua Kim Hong telah tiada dan dia hidup seorang diri, mewarisi ilmu-ilmu yang sangat hebat.

Dalam petualangan mereka, kedua orang muda yang sama-sama keturunan bangsawan tinggi ini berjumpa, lantas saling tertarik, dan akhirnya saling mencinta. Sudah tiga tahun mereka hidup bersama, hidup sebagai sepasang kekasih, sebagai suami isteri walau pun mereka berdua tak pernah menikah secara sah. Hal ini sudah mereka kehendaki berdua, dan walau pun mereka tidak disahkan dengan upacara pernikahan, namun mereka saling mencinta, melebihi suami isteri yang menikah dengan sah.

Thian Sin dan Kim Hong hidup berdua di sebuah pulau kosong yang disebut Pulau Teratai Merah, yang jauh dari daratan Tiongkok. Mereka hidup di pulau kosong itu dengan penuh kebahagiaan, tetangga mereka hanya penghuni pulau-pulau lainnya yang berdekatan dan kadang-kadang mereka naik perahu mendarat.

Sudah tiga tahun lamanya mereka bertualang berdua, penuh kebahagiaan, penuh kasih sayang. Dalam menghadapi apa pun mereka bersatu padu, saling mencinta, saling setia, biar pun kekerasan hati masing-masing membuat mereka kadang-kadang bercekcok juga! Akan tetapi, setiap percekcokan mereka seakan-akan merupakan pupuk bagi cinta kasih mereka karena setiap kali habis bercekcok, mereka menjadi lebih mesra lagi!

Demikianlah riwayat singkat tentang Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, dua sejoli yang sama cantik sama tampan, juga sama lihai ini. Sudah lama Ceng Thian Sin tidak lagi mau menggunakan nama julukan Pendekar Sadis, juga Toan Kim Hong tak lagi menggunakan nama julukan Lam-sin. Betapa pun juga, para tokoh kaum sesat masih ngeri mendengar kedua nama julukan ini. Sesudah berkenalan sejenak dengan Thian Sin dan Kim Hong, mari kita lanjutkan dengan mengikuti perjalanan mereka yang penuh dengan petualangan itu…..

********************

Luka-luka yang diderita oleh petani tua itu amat parah, Thian Sin dan Kim Hong melihat kenyataan ini dan mereka berdua hanya dapat memberi obat untuk mengurangi rasa nyeri saja, akan tetapi mereka maklum bahwa nyawa petani itu tidak mungkin dapat ditolong lagi. Petani itu agaknya juga merasa bahwa keadaannya amat parah dan bahwa dia harus meninggalkan rahasianya kepada dua orang yang telah menolongnya itu, maka dengan suara tersendat-sendat dan napas terengah-engah dia lalu menceritakan keadaannya.

Petani itu bernama Ciang Gun, hidup di dusun Cin-bun-tang bersama dengan isterinya dan seorang puteranya yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun. Keadaan mereka sedemikian sederhana dan miskinnya sehingga untuk menikahkan putera tunggal mereka yang bernama Ciang Kim Su saja, mereka tidak punya biaya.

Sebidang tanah yang tak begitu subur menjadi sumber nafkah mereka, tapi hanya cukup untuk mencegah mereka mati kelaparan saja. Untuk itu pun mereka bertiga, Ciang Gun, isterinya dan Ciang Kim Su, harus mengerahkan tenaga bekerja di ladang mereka.

Pada suatu hari, kurang lebih satu tahun yang lalu, karena membutuhkan air yang mahal karena musim kering yang terlampau lama, keluarga ini menggali sumur di tengah ladang mereka. Ketika mereka sudah menggali tanah sedalam kurang lebih dua meter, cangkul mereka bertemu dengan sebuah peti hitam kecil. Dengan hati penuh ketegangan mereka mengeluarkan peti itu, membukanya dan di dalam peti itu mereka menemukan sebuah peta dengan catatan huruf-huruf kuno, dan sebuah kunci yang terbuat dari pada emas.

"Kunci ini terbuat dari emas!" kata isteri Ciang Gun. "Cukup untuk dapat ditukar dengan beberapa karung gandum!"

"Dan sebagian untuk membeli bibit!" kata Ciang Gun girang.

Akan tetapi Kim Su, putera mereka yang pernah duduk di bangku sekolah sungguh pun hanya untuk dua tahun, menggeleng kepala. "Ayah dan ibu, kurasa kita telah menemukan sesuatu yang amat berharga, yang jauh lebih berharga dari pada kunci emas ini."

Ayah itu memandang wajah puteranya dengan heran. "Maksudmu, gambaran corat-coret ini?"

Kim Su mengangguk. "Ini adalah sebuah peta dan kurasa peta ini menunjukkan tempat penyimpanan sesuatu yang amat berharga dan kunci ini untuk membukanya. Bayangkan saja. Baru kuncinya saja sudah terbuat dari emas, apa lagi barang-barang yang disimpan di dalam tempat terkunci itu!"

"Harta karun...?" Ayahnya bertanya dan ibunya terbelalak.

"Aku belum tahu benar, ayah. Itu hanya dugaanku. Sayang bahwa huruf-huruf ini sangat kuno dan aku tidak dapat membacanya. Akan tetapi, bukankah paman Su yang tinggal di kota raja mengenal banyak sasterawan pandai?"

"Kau benar, Kim Su!" kata ibunya yang merasa bangga akan adiknya yang tinggal di kota raja dan yang dianggapnya mempunyai pengetahuan banyak dan kenalan-kenalan orang besar. "Dia tentu dapat membantumu membaca huruf-huruf itu."

"Sebaiknya, sekarang juga aku berangkat ke kota raja membawa peta ini, ayah. Ada pun kuncinya ayah simpan saja baik-baik, jangan sampai hilang sambil menunggu sampai aku pulang dari kota raja dan mengetahui rahasia peta ini."

Berangkatlah Kim Su ke kota raja dan ayah ibunya menanti dengan penuh harapan. Akan tetapi, bulan berganti bulan dan sampai setahun lamanya Kim Su tidak pulang, juga tidak pernah ada beritanya ke rumah. Setelah lewat setahun lebih, pada suatu siang muncullah empat orang laki-laki yang sikapnya amat kasar. Kakek Ciang Gun menerima kedatangan mereka dengan heran dan menanyakan maksud kedatangan mereka.

Salah seorang di antara mereka yang bercodet di pipi kirinya, dengan suara lantang lalu menerangkan maksud kedatangan mereka. "Kami disuruh oleh Ciang Kim Su..."

Baru sampai di sini, kakek dan isterinya itu girang bukan kepalang. "Bagaimana kabarnya dengan Kim Su? Di mana dia sekarang dan mengapa sampai sekarang dia tidak pulang dan tidak memberi kabar? Apakah dia sudah berjumpa dengan pamannya?" Pertanyaan bertubi-tubi diajukan oleh suami isteri itu kepada empat orang pengunjung ini.

"Dia baik-baik saja dan menyuruh kami untuk datang mengabarkan kepada lopek berdua bahwa semua urusan berjalan beres. Dia menyuruh kami datang untuk menerima sebuah kunci dari lopek." Sambil berkata demikian, Si Codet ini memandang tajam kepada petani tua itu.

Ciang Gun mengerutkan alisnya. "Kunci? Kunci apa?"

Biar pun dia hanya seorang petani dusun, namun dia telah hidup cukup lama untuk dapat mengenal ciri-ciri orang yang tidak dapat dipercaya dan dia tidak percaya kepada empat orang ini. Selain itu, ketika hendak pergi dahulu puteranya pernah berpesan bahwa kunci emas itu tidak boleh diberikan kepada siapa pun juga selain kepadanya sendiri. Bahkan membicarakan soal kunci emas itu pun dilarang.

"Sebuah kunci emas!" Si Codet mendesak.

"Kunci emas...? Aku tidak mengerti." Ciang Gun menjawab.

Tiga orang tamu yang lain mengerutkan alis dan kelihatan marah, akan tetapi Si Codet cepat memberi isyarat dengan tangannya supaya mereka bersabar.

"Kami pun tidak tahu. Puteramu itu, Ciang Kim Su, hanya menyuruh demikian saja dan katanya engkau akan mengerti sendiri, lopek."

"Tapi... tapi..."

"Jangan ragu-ragu, lopek. Kami berempat adalah sahabat-sahabat baik puteramu dan Kim Su sendiri yang mengutus kami. Serahkan saja kunci emas itu kepadaku, lopek."

"Tidak mungkin!" Tiba-tiba isteri petani itu berteriak. "Tidak mungkin Kim Su bersahabat dengan kalian!"

Empat orang itu kini menjadi marah dan mereka mengurung suami isteri itu. Si Codet kini menanggalkan kedok matanya, lantas dengan suara geram dia mendekati petani itu dan menghardik,

"Tidak perlu banyak cerewet lagi. Serahkan kunci emas itu kalau engkau ingin selamat!"

Ciang Gun terkejut sekali dan mukanya pucat, matanya terbelalak dan dia cepat mundur-mundur sambil menggelengkan kepala. Isterinya, seorang wanita yang berani sebab sejak kecil sudah terlampau kenyang menghadapi hidup sulit, kini melangkah ke depan, seperti hendak melindungi suaminya dan membentak dengan suara marah,

"Kalian ini orang-orang jahat! Sejak tadi aku tidak percaya bahwa anak kami bersahabat dengan orang-orang seperti kalian. Hayo kalian pergi dari sini! Kami orang-orang miskin tidak mempunyai apa-apa..."

"Plakkk!"

Sebuah tamparan yang keras membuat tubuh wanita itu terpelanting lantas roboh di atas tanah. Suaminya berteriak kaget, akan tetapi hanya dapat memandang dengan dua mata terbelalak saja pada waktu melihat Si Codet itu menubruk ke depan, menginjak punggung isterinya dengan lutut dan mencengkeram rambut wanita itu untuk ditarik keras-keras ke belakang.

"Petani busuk! Serahkan kunci emas atau leher binimu akan kupatahkan!"

"Tidak... tidak... jangan kau lakukan itu. Lepaskan isteriku... harap kalian jangan sekejam itu..." Petani itu meratap.

"Serahkan kunci emas dan kalian akan selamat!" Si Codet menghardik lagi.

"Jangan berikan!" Mendadak isteri petani itu berteriak lantang kepada suaminya. "Jangan berikan. Ingat, mungkin anak kita telah mereka bunuh pula!"

Teriakan isterinya ini mengingatkan si petani dan wajahnya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada Si Codet yang masih membekuk isterinya itu dan petani ini lalu menggelengkan kepala keras-keras.

"Ciang Gun, lekas berikan kunci emas itu kepada kami, atau engkau akan melihat isterimu kami siksa sampai mati, kemudian engkau sendiri pun akan kami siksa sampai mati dan akhimya kunci itu pun akan dapat kami rampas!"

"Jangan percaya! Mereka ini penjahat-penjahat kejam, pembohong dan penipu semua!" isterinya menjerit lagi memperingatkan suaminya.

"Tangkap dia, geledah seluruh rumah!" bentak Si Codet kepada teman-temannya.

Seorang di antara mereka menubruk kakek Ciang Gun, lalu merobohkannya dan mengikat kaki tangannya. Isteri petani itu juga diikat kaki tangannya dan empat orang itu kemudian menggeledah-geledah pakaian yang mereka pakai sampai hampir menelanjangi mereka.

Sesudah tidak berhasil menemukan kunci emas pada tubuh mereka, empat orang itu lalu menggeledah seluruh tempat di dalam rumah itu, mengobrak-abrik semua barang. Akan tetapi tetap saja kunci itu tidak dapat mereka temukan. Mengertilah Si Codet bahwa kunci emas itu tentu disembunyikan oleh suami isteri itu di suatu tempat yang sukar untuk dapat dia temukan tanpa pemberi tahuan dari mereka berdua.

"Hayo katakan, di mana kunci emas itu!" Si Codet menghardik sambil menjambak rambut isteri petani itu.

Akan tetapi wanita tua yang sudah nekat ini memandang dengan penuh kebencian dan dia pun meludah. "Cuhh! Engkau boleh membunuh kami, akan tetapi jangan harap dapat menemukan kunci itu!"

"Plak! Plakk!"

Dua kali Si Codet menampar lalu meninggalkan wanita itu yang berdarah pada mulutnya akan tetapi yang sedikit pun tidak mengeluh. Kini codet kejam itu berjalan menghampiri Ciang Gun.

"Hayo katakan, di mana kunci itu? Atau engkau lebih senang melihat isterimu kusembelih di depan matamu?"

"Suamiku, jangan katakan! Jangan kira dia akan melepaskanmu jika kunci kau serahkan. Kita serahkan, tetap saja kita akan mereka bunuh. Biarlah kita mati, berkorban demi anak kita. Jangan beri tahukan, jangan serahkan kunci!"

"Perempuan keparat!" Si Codet meninggalkan petani itu, melompat ke dekat si wanita dan menendang tubuh yang terbelenggu itu sampai bergulingan dekat suaminya. Kakek Ciang Gun memejamkan matanya dan menangis.

"Kuatkanlah hatimu, suamiku. Paling-paling kita mati, akan tetapi mereka ini, binatang-binatang buas ini takkan dapat merampas kunci kita, demi untuk Kim Su... aughhh..."

Sebuah tendangan mengenai dadanya dan wanita itu tak mampu berbicara lagi. Si Codet mencabut goloknya dan memodongkan goloknya pada leher wanita yang sudah setengah pingsan itu.

"Petani busuk, engkau lebih memberatkan kunci keparat itu dari pada nyawa isterimu? Lihat ini!"

Ujung golok itu menggores sedikit kulit leher. Darah muncrat membasahi leher dan baju. Melihat ini, kakek Ciang Gun kembali memejamkan kedua matanya dan dia tidak mampu bersuara lagi, hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras sambil menangis.

"Hi-hi-hik! Kalian anjing-anjing busuk, tidak mungkin dapat memaksa suamiku. Dia adalah seorang gagah, benar, suamiku seorang gagah perkasa yang tak takut mati!"

Ujung golok itu menusuk dada dan kembali darah muncrat.

"Petani Ciang, sekali lagi, kunci emas itu atau nyawa isterimu?"

"Suamiku, kutunggu engkau di akhirat..." Isterinya masih sempat menjerit sebelum golok itu membacok lehernya dan dia pun tewas seketika.

Biar pun dia memejamkan kedua matanya, petani itu masih dapat mengikuti penderitaan isterinya melalui pendengarannya dan telinga pulalah yang memberi tahu padanya akan keadaan isterinya. Dia lalu membuka matanya dan melihat isterinya menggeletak dengan bermandikan darah dan tak bergerak-gerak lagi. Dia hanya dapat merintih dan memanggil nama isterinya sambil menangis.

"Lihat, isterimu mati karena membandel. Hayo kau katakan, di mana kunci itu!" Si Codet membentak.

"Kalian bunuhlah aku! Bunuhlah aku...!" Kakek Ciang Gun berteriak-teriak dan menangis.

Si Codet menendang dan memukulinya, akan tetapi tidak sampai membunuhnya karena para penjahat ini maklum bahwa mayat tidak mungkin dapat memberi tahukan di mana adanya kunci emas yang mereka cari-cari itu. Bahkan atas isyarat Si Codet, mereka lalu meninggalkan kakek Ciang Gun sesudah membebaskannya dari belenggu, membiarkan kakek itu menangisi isterinya.

Kakek itu, dibantu oleh para tetangganya yang tidak ada yang berani mencampuri urusan itu, lalu mengubur jenazah isterinya dan berkabung dengan penuh kedukaan. Empat orang penjahat itu tidak muncul lagi.

Akan tetapi kakek Ciang teringat akan nasehat dan kata-kata isterinya yang diucapkan di waktu mereka menghadapi penjahat-penjahat itu, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu para penjahat itu tidak mau melepaskan dia begitu saja. Dia menduga bahwa para penjahat itu tentu diam-diam membayanginya.

Untuk meyakinkan dugaan hatinya, beberapa hari kemudian, pada tengah malam, kakek Ciang diam-diam meninggalkan rumahnya lalu pergi ke sudut ladangnya, berindap-indap. Kemudian, seolah-olah baru mengambil sesuatu, dia kembali ke rumahnya dan benar saja seperti yang telah disangkanya, begitu memasuki rumahnya, di situ sudah menanti empat orang penjahat itu!

"Ha-ha-ha, bagus sekali. Engkau telah mengambilkan kunci itu untuk kami, ya? Serahkan kepadaku!" kata Si Codet.

Kakek Ciang menggeleng kepala. "Tidak ada kunci!"

Si Codet marah sekali dan menubruk maju. Kakek itu dipegangi dan digerayangi seluruh tubuhnya, akan tetapi memang benar tak ada ditemukan kunci padanya. Kembali, seperti tempo hari, rumah itu diobrak-abrik, akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka, mereka tidak temukan kunci yang dicari-cari.

Setelah memukuli kakek itu tanpa membunuhnya untuk melampiaskan kedongkolan hati, mereka kemudian meninggalkan Ciang Gun yang hanya dapat mengeluh sambil meratapi nasibnya yang buruk. Semenjak ditemukan benda aneh dari dalam tanah itu, keluarganya tertimpa mala petaka hebat. Isterinya mati dibunuh penjahat, nasib anaknya masih belum diketahui dan dia sendiri kini berada dalam ancaman penjahat-penjahat kejam.

Kakek Ciang tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu. Pertama-tama, dia harus dapat melepaskan diri dari pengamatan para penjahat itu, kemudian mengambil kunci emas yang disimpannya di suatu tempat tersembunyi. Setelah itu, dia harus cepat pergi ke kota raja menyusul anaknya. Hanya itulah satu-satunya jalan. Dia pernah pergi ke kota raja menengok adik laki-laki isterinya, yaitu alamat yang hendak dikunjungi oleh Kim Su ketika pemuda itu meninggalkan dusun menuju ke kota raja.

Kakek Ciang lalu mencari kesempatan dan kesempatan itu terbuka baginya pada waktu dia mengadakan sembahyangan bagi arwah isterinya. Pada malam hari itu para tetangga berdatangan dan seperti yang telah diduganya, dalam keadaan menerima tamu-tamu para tetangga, para penjahat menjadi agak lengah. Para penjahat yang terus mengamati dan membayanginya tentu sama sekali tak pernah menduga bahwa kakek itu akan melarikan diri justru pada malam hari ketika para tetangga menjadi tamunya itu.

Malam itu Petani Ciang Gun berhasil menyelinap pergi. Bahkan para tetangganya yang menjadi tamunya pada malam itu pun tidak tahu akan kepergiannya. Mereka menyangka bahwa tuan rumah itu pergi ke belakang, ke kamar mandi untuk buang air atau lainnya. Sesudah lama dia tidak muncul, barulah para tamu menjadi heran lantas mencari-carinya tanpa hasil.

Kakek Ciang sudah pergi dan tak seorang pun tahu ke mana perginya! Tentu saja empat orang penjahat yang mengamati tempat itu dari jauh menjadi bingung dan marah-marah. Mereka mencari ke sana sini tanpa hasil pula. Sambil menyumpah-nyumpah mereka lalu berpencaran dan mencari terus.

Ciang Gun berhasil menyelinap pergi dan mengambil kunci emas yang disembunyikan di antara akar pohon besar. Kemudian dia membawa kunci itu, diikatkannya di pinggang dan larilah petani ini pada malam hari itu juga meninggalkan dusunnya, menuju ke kota raja. Karena para penjahat yang mengamatinya tak mengira bahwa kakek ini berani melarikan diri ke kota raja, maka mereka mencari di sekitar dusun saja dan karena ini, petani Ciang memperoleh banyak waktu untuk melarikan diri dengan aman.

Akan tetapi, bagaimana pun juga, dia hanyalah seorang petani lemah biasa saja, ada pun para pengejarnya adalah penjahat-penjahat yang ulung. Empat orang penjahat itu segera berpencar, bahkan mereka sudah menghubungi kawan-kawan mereka yang mencari ke berbagai jurusan.

Oleh karena itu, tidaklah aneh begitu tiba di daerah An-keng, jejak petani Ciang itu dapat ditemukan sehingga dia pun dikejar-kejar oleh dua orang penjahat. Dan seperti yang telah kita ketahui, secara sangat kebetulan dia tertolong oleh sepasang pendekar yang sakti, yaitu Pendekar Sadis dan kekasihnya, yang berhasil menyelamatkannya setelah petani itu menderita luka-luka berat…..

********************

Setelah selesai menceritakan riwayatnya, kakek petani itu memandang kepada Thian Sin dan Kim Hong dengan napas empas-empis, tinggal satu-satu. Dia pun tahu bahwa tiada harapan baginya untuk hidup lebih lama lagi, maka satu-satunya harapannya untuk dapat menyampaikan kunci emas kepada puteranya hanyalah muda mudi yang gagah perkasa ini.

"Ji-wi (anda berdua)... sudah menolongku... ji-wi terimalah ini..." Dia mengeluarkan kunci emas yang digantungkan pada lehernya itu. "Carilah Kim Su di kota raja... petanya ada padanya... ji-wi adalah orang-orang gagah yang baik... harap bantu dia membuka rahasia harta karun itu... bagi-bagilah di antara kalian... dan..." Kakek itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya, terkulai dan tewas.

Thian Sin cepat memeriksa lantas saling pandang dengan Kim Hong. Kemudian dengan sederhana mereka berdua lalu mengubur jenazah kakek itu di tepi telaga. Karena adanya rahasia kunci emas di tangan mereka, kedua orang ini merasa tidak perlu untuk memberi tahu orang lain atau melaporkan kepada petugas keamanan tentang adanya peristiwa itu.

Setelah mereka selesai mengubur jenazah petani itu, Kim Hong bertanya, "Apa yang akan kita lakukan sekarang dengan kunci emas ini? Mencari orang bernama Ciang Kim Su itu?"

"Kau tertarik?" balas tanya Thian Sin.

Yang ditanya tersenyum, semacam senyuman yang tidak pernah gagal mengguncangkan hati pemuda yang jatuh cinta itu. Diciumnya Kim Hong karena Thian Sin tak pernah dapat menahan hatinya untuk tidak mencium setiap kali melihat senyum khas ini, sehingga bagi keduanya, senyuman khas itu seperti menjadi tanda agar Thian Sin mencium Kim Hong! Cinta kasih antara pria dan wanita memang bisa melahirkan atau menciptakan bahasanya sendiri tanpa perlu sepatah kata!

"Kau tahu, aku bukan gila harta. Akan tetapi aku kasihan kepada petani itu yang sudah menjadi korban kejahatan dan ingin tahu apakah anaknya itu masih hidup. Selain itu, biar pun kita tidak gila harta, kalau benar ada harta karun sampai terjatuh ke tangan penjahat, kan sayang?"

Thian Sin mengangguk. "Bagaimana pun juga, kakek petani itu telah percaya kepada kita dan pesan terakhir seorang yang mati sungguh tak baik untuk diabaikan begitu saja."

"Jadi kita ke kota raja?"

"Bagaimana kau pikir sebaiknya?" Thian Sin balas bertanya sambil memandang dengan sikap bertanya dan menguji.

Kim Hong memang tidak perlu banyak bicara dengan kekasihnya ini. Dari pandang mata saja mereka sudah dapat saling mengutarakan isi hati masing-masing. Wanita cantik itu tersenyum manis, namun kali ini bukan senyuman khas minta dicium.

"Mari kita tulis pendapat kita masing-masing," katanya sambil membalikkan tubuhnya dan berjongkok, membuat corat-coret di atas tanah.

Thian Sin tersenyum, kemudian juga membalikkan tubuhnya. Seperti yang juga dilakukan oleh kekasihnya itu, dia mencorat-coret di atas tanah. Hampir berbareng mereka selesai dan tanpa bicara, keduanya membaca tulisan masing-masing.

Mereka lalu tertawa dan saling rangkul. Tulisan mereka, walau pun dengan kalimat yang berbeda, isinya sama! Mereka berdua berpendapat bahwa mereka akan mempergunakan kunci itu untuk memancing datangnya para penjahat sebagai pintu atau jembatan pertama ke arah perkara kakek petani itu!

Mereka masih tertawa-tawa geli dan juga gembira sekali ketika mereka kembali ke rumah penginapan mereka di kota An-keng, berjalan bergandeng tangan dan tidak tergesa-gesa karena mereka sengaja ingin meninggalkan jejak atau memberi kesempatan kepada para penjahat untuk membayangi mereka dan mengetahui di mana mereka tinggal.

Akan tetapi, begitu mereka masuk ke dalam kamar rumah penginapan, diam-diam Thian Sin mempergunakan kepandaiannya untuk lolos dari dalam kamar, membawa kunci emas itu dan pergilah dia ke tukang pembuat perhiasan emas untuk meminta kepada tukang itu agar membuatkan sebuah kunci emas untuknya. Tentu saja hanya bentuknya yang mirip, akan tetapi dengan mata kunci yang jauh berbeda.

Setelah selesai, kunci emas palsu itu dibawanya kembali ke hotel lantas dia memberikan kunci emas yang asli kepada Kim Hong, sedangkan yang palsu dia simpan di dalam saku bajunya. Sesudah membuat persiapan ini mereka pun hanya tinggal menanti.....

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar