Pendekar Lembah Naga Jilid 66

"Losuhu... losuhu tidak tahu orang yang mati ini adalah kekasih saya, isteri saya... saya bukan seorang cengeng, losuhu sudah biasa menghadapi kematian, akan tetapi dia ini... ahh, semasa hidupnya menderita demikian banyak kepahitan, dan selagi saya berusaha untuk membuatnya bahagia... dia sudah mengambil jalan pendek, dia mengorbankan diri demi keluarga saya, demi kerajaan... ahh, betapa tidak akan hancur hatiku, losuhu...?"

Hwesio tua itu mendengarkan dengan tenang dan sabar sampai Lie Seng berhenti bicara dan menunduk, memejamkan mata. Kemudian terdengar lagi suara hwesio itu, suaranya lantang namun lembut sekali. "Orang muda, pandanglah baik-baik dan sadarilah. Lihatlah dengan waspada, siapakah yang sedang kau tangisi itu? Siapakah yang kau kasihani itu? Di balik semua keteranganmu tadi, bukankah sebetulnya engkau hanya menangisi dirimu sendiri, engkau mengasihani dirimu sendiri?"

Lie Seng mengerutkan kedua alisnya, termenung sejenak lantas terkejut bukan kepalang. Dia mengangkat muka memandang kepada hwesio tua itu dengan mata terbelalak marah. "Berani kau menuduhku seperti itu...?"

"Tenang dan pandang sajalah, pandang dengan waspada dan jujur...," hwesio itu berkata sambil menggerakkan tangan. Sikapnya yang lembut halus itu seolah-olah membuyarkan kemarahan Lie Seng.

Orang muda ini duduk termenung, memandang kepada diri sendiri kemudian jantungnya berdebar tak karuan. Dia melihat, mula-mula secara samar-samar saja, akan tetapi makin lama menjadi semakin jelas dan timbullah keraguan besar. Benarkah dia berduka karena kasihan kepada Sun Eng? Ataukah tidak lebih condong karena kasihan pada diri sendiri? Dia tidak dapat menjawab. Dia bingung sekali dan kembali dia memandang kakek itu.

"Losuhu, mohon petunjuk...," akhirnya dia berkata.

"Orang muda, bukan maksud pinceng untuk mencelamu, namun untuk menyadarkanmu. Engkau sendiri tadi menceritakan betapa di dalam hidupnya kekasihmu menderita banyak kepahitan. Sekarang dia sudah meninggal, bukankah berarti dia setidaknya terbebas dari pada semua kepahitan-kepahitan itu? Maka, dengan alasan apa lagi engkau merasa iba kepadanya? Yang jelas, engkau menangis serta berduka karena merasa iba diri, karena engkau merasa kehilangan, karena engkau ditinggalkan dan merasa kesunyian. Tidakkah demikian?"

Lie Seng mengangguk-angguk, tak dapat membantah kebenaran kata-kata itu. Sekarang nampak nyata olehnya. Sun Eng hidup dalam keadaan sengsara karena menderita batin yang hebat. Sun Eng selalu menyesalkan penyelewengannya, yang membuatnya merasa rendah diri dan tak berharga menjadi isterinya. Apa lagi keluarga Cin-ling-pai menolaknya!

Kemudian, untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng sudah berkorban dan sungguh pun usahanya berhasil baik, namun dirinya sudah mengalami penghinaan yang membuat dia merasa dirinya menjadi semakin kotor! Apa bila Sun Eng tidak mati, sudah pasti Sun Eng akan semakin menderita karena merasa semakin tidak berharga baginya.

Bukankah kematian itu bahkan merupakan jalan keluar yang paling baik bagi Sun Eng? Mengapa dia harus menangisinya? Apakah dia ingin melihat Sun Eng tetap hidup dalam keadaan menderita batin yang hebat itu?

"Duka tidak dapat dihilangkan melalui hiburan, juga tak dapat dihilangkan melalui pelarian, orang muda. Yang penting kita membuka mata melihat kenyataan, jangan membiarkan duka sampai membutakan mata batin. Penglihatan yang terang dengan pengamatan yang waspada akan mendatangkan pengertian, dan hanya pengertian mendalam yang disertai kesadaran yang akan meniadakan duka yang tiada guna dan melemahkan lahir batin itu."

Untuk kurang lebih setengah jam lamanya Lie Seng mendengarkan suara kakek itu, suara yang lembut dan tenang, yang mendatangkan ketenangan dalam hatinya, yang membuat hatinya menjadi ringan dan lapang, yang membuat dia mulai berani memandang makam Sun Eng tanpa kepedihan hati. Akhirnya dia pun menjadi sadar benar-benar akan semua tindakannya yang hanya menurutkan kata hati dan perasaan yang terdorong oleh iba diri belaka. Dan tiba-tiba saja dia melihat masa depan yang cerah tanpa Sun Eng, yaitu masa depan menjadi seperti kakek ini, yang hidup bebas dalam arti yang seluas-luasnya. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Losuhu, perkenankanlah teecu turut bersamamu mempelajari hidup dan masuk menjadi hwesio di kuil yang losuhu pimpin."

Hwesio tua itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Orang muda, pinceng melihat bahwa engkau bukanlah orang muda sembarangan, namun seorang muda yang tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, bukan? Pinceng sendiri bukan ahli silat, namun pinceng dapat mengenali orang pandai. Siapakah namamu dan dari keluarga manakah engkau, orang muda?"

"Teecu bernama Lie Seng, ibu teecu adalah puteri dari mendiang kongkong Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai."

"Omitohud... sudah pinceng duga. Ternyata engkau adalah cucu pendekar sakti itu, dan sekarang engkau ingin menjadi hwesio? Ah, bukankah itu hanya merupakan pelarian saja bagimu, untuk menghibur hatimu yang sedang berduka dan putus asa? Masuk menjadi hwesio bukan hal yang main-main dan hanya untuk pelarian belaka, sicu."

"Teecu melihat masa depan yang gelap, suhu. Teecu penuh dendam dan sakit hati, kalau teecu melanjutkan hidup ini seperti biasa, tidak dapat dihindarkan lagi teecu tentu akan mengakibatkan kekerasaan dan banjir darah karena teecu tentu akan mengamuk untuk membalas kematian kekasih teecu."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Pinceng sudah melihat hal itu, oleh karena itulah maka pinceng berusaha menyadarkanmu. Kalau memang masuk menjadi hwesio itu timbul dari tekadmu sendiri, karena kesadaranmu, maka terserah kepadamu. Pinceng memimpin Kuil Hok-seng-tong di kaki bukit sana. Marilah, sicu."

Lie Seng bangkit dan setelah sekali lagi meraba-raba makam Sun Eng dan mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihnya itu, kini dengan hati ringan dan lapang, maka dia pun bangkit dan mengikuti hwesio tua itu turun gunung. Beberapa bulan kemudian, Lie Seng telah mencukur rambutnya dan berpakaian jubah lebar, menjadi hwesio yang secara tekun menekuni hidup dan kebatinan di dalam Kuil Hok-seng-tong di bukit sunyi sebelah selatan kota raja itu!

Alangkah banyaknya di antara kita yang seperti Lie Seng itu! Melarikan diri sendiri dari kenyataan hidup! Melarikan diri dari kepahitan hidup! Lantas mengejar-ngejar kemanisan hidup! Padahal, pelarian dari yang pahit dan pengejaran yang manis itu tak ada bedanya sama sekali.

Melarikan diri dari yang pahit lalu berlindung kepada sesuatu itu berarti juga mengejar kemanisan yang diharapkan akan bisa didapatkan dari tempat berlindung itu. Dan selama pengejaran akan sesuatu yang dianggap manis dan menyenangkan ini terjadi, maka kita akan terus menerus terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya.

Pelarian tidak akan melenyapkan duka, pelarian tak akan melenyapkan kegelisahan dan rasa takut. Mungkin saja dapat mendatangkan hiburan sesaat, tetapi duka itu, rasa takut itu, tidak akan lenyap, hanya untuk sementara waktu terselubung saja oleh hiburan yang didatangkan oleh pelarian. Setiap saat akan muncul kembali!

Kita semua mengenal apa penyesalan itu, apa kekecewaan itu, dan apa rasa takut serta kedukaan itu. Mengapa kita selalu harus mencari hiburan di mana kita dapat berlindung untuk melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak itu? Mengapa kita tidak pernah berani menghadapi semua itu, menghadapi mereka di waktu mereka itu timbul, menghadapinya dengan langsung, memandangnya kemudian menanggulanginya di saat mereka muncul sehingga mereka itu akan lenyap di saat itu juga dan tak akan pernah muncul kembali?

Penanggulangan ini bukanlah berarti mengusahakan supaya mereka lenyap, sama sekali bukan. Melainkan menghadapi duka pada saat duka itu menyerang kita, memandang dan menyelaminya secara langsung, mengenal luar dalam apa sesungguhnya duka itu! Tetapi sayang, kita selalu ingin senang, maka begitu timbul sesuatu yang tidak menyenangkan menurut anggapan kita, kita lalu melarikan diri.

********************

"Bi Cu...!"

Teriakan Sin Liong ini nyaring sekali karena memang dia kaget bukan main saat melihat betapa tubuh Bi Cu juga melayang dan meluncur turun. Sama sekali tidak disangkanya bahwa dara itu akan melakukan perbuatan senekat itu, menyusul dia terjatuh ke dalam jurang dengan meloncat. Apa bila dia sendiri yang terjatuh, tentu dia akan mencari akal untuk dapat terhindar dari ancaman maut, akan tetapi kini Bi Cu juga turut jatuh, maka seketika dia menjadi nanar dicekik rasa khawatir yang hebat.

Dia tadi terjatuh dalam keadaan terjengkang, maka tubuhnya terlentang. sedangkan Bi Cu yang meloncat itu menelungkup. Cepat Sin Liong menyambar tangan kiri Bi Cu dan dia berhasil menangkap pergelangan lengan kiri dara itu. Lalu dia merangkul pinggang Bi Cu dengan erat. Bi Cu juga merangkul sambil memejamkan mata karena ngeri.

"Sin Liong...!" isaknya.

Biar pun maklum bahwa mereka melayang ke dalam jurang yang seolah-olah tanpa dasar saking dalamnya, dan bahwa tubuh mereka tentu akan hancur lebur kalau menimpa dasar jurang, namun Sin Liong tak mau kehilangan semangat dan kesadarannya. Selagi masih hidup dia harus berdaya upaya menyelamatkan diri!

Dengan amat cepat kedua tangannya merenggut kancing baju di depan tubuhnya. Untung pinggang Bi Cu demikian ramping sehingga walau pun lengan kanannya sudah melingkari pinggang itu, tangan kanannya masih mampu mencapai depan bajunya. Sekali renggut, maka terlepaslah semua kancing bajunya dan kini dia memegangi kedua ujung baju yang terbuka itu dengan kedua tangannya, dibentangkan seperti sayap. Usahanya berhasil! Dia merasakan ada tekanan dari bawah seakan-akan luncuran mereka berdua agak tertahan sedikit, tidak lagi selaju tadi, sementara bajunya yang dibentangkan itu mengembang dan menangkap angin.

"Bi Cu, cepat buka bajumu... kembangkan bajumu seperti ini... seperti layar...!" teriaknya.

Bi Cu menghentikan isaknya. Mula-mula dia tidak mengerti kenapa dia disuruh membuka bajunya. Akan tetapi ketika dia memberanikan hati membuka mata dan melihat apa yang dilakukan Sin Liong, dia cepat menggerakkan kedua tangannya, dengan jari-jari gemetar dia merenggut bajunya. Segera dia merobek bajunya itu dan pada lain saat dia pun telah memegangi ujung kanan kiri bajunya yang dibentangkan.

Kembali ada tenaga menahan dari bawah sesudah baju itu dapat menangkap angin dan mengembang. Luncuran mereka tertahan dan tidak secepat tadi, akan tetapi tentu saja kedua ‘layar’ itu tidak cukup kuat untuk menahan dan tubuh mereka masih terus meluncur ke bawah.

Sambil merangkul pinggang Bi Cu, Sin Liong miringkan tubuhnya lantas memandang ke bawah. Hampir pingsan dia karena pening ketika melihat bawah yang demikian dalamnya, akan tetapi dia menggoyang kepala mengusir kepeningan dan rasa ngeri. Dia melihat ada sebatang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu. Pohon yang cukup besar. Itulah yang akan menolong kita, pikirnya. Kalau gagal mereka tentu akan tewas!

Dia segera mengerahkan tenaganya, menggerakkan kakinya sehingga tubuhnya bersama tubuh Bi Cu melayang agak mendekat dengan tebing. Pohon itu bagai melayang ke atas, makin lama semakin besar mendekati mereka. Memang berbahaya sekali. Kalau terlalu dekat dengan tebing tubuh mereka meluncur, membentur batu tebing sedikit saja, tentu mereka akan tewas sebelum tiba di dasar jurang.

Kini pohon itu makin besar, seolah-olah terbang naik ke arah mereka, bukan mereka yang meluncur ke arah pohon. Sin Liong siap dengan tangan kirinya sedangkan lengan kanan tetap merangkul pinggang Bi Cu. Meski maut sekali pun tidak akan mampu memaksa dia melepaskan pinggang dari rangkulan lengan kanannya itu.

"Bresssss...!"

Mereka telah tiba di tengah-tengah pohon itu dan tubuh mereka berhenti meluncur. Sin Liong telah berhasil! Tangan kirinya dapat menangkap sebatang cabang pohon itu hingga mereka bergantung di sana. Pakaian mereka robek-robek dan tubuh mereka lecet-lecet, bahkan Bi Cu yang masih dirangkul pinggangnya oleh lengan kanan Sin Liong itu terkulai lemas. Pingsan!

Sin Liong cepat menarik dirinya duduk di atas cabang, lalu menarik Bi Cu, dipangkunya di tempat aman itu, di dahan yang bercabang. Lengan kirinya terasa nyeri bukan main. Baru terasa setelah dia dapat duduk dengan aman di atas dahan. Ketika digerakkannya lengan itu, hampir dia menjerit dan tahulah dia bahwa lengan itu terkilir pada sambungan paling atas dekat pundak.

"Bi Cu... Bi Cu... sadarlah...!"

Berkali-kali dia memanggil dara yang dipangkunya dan dirangkulnya itu. Dalam keadaan lengan kirinya terkilir, sukarlah baginya untuk melanjutkan mencari jalan selamat. Mereka masih tergantung di dalam pohon besar itu yang tumbuh agak miring pada dinding yang terjal. Di bawah curam sekali maka mereka belumlah terbebas sama sekali dari bahaya, sungguh pun sementara ini tidak lagi terancam maut seperti tadi.

Akhirnya Bi Cu bergerak lemah dan bibirnya pun bergerak, berbisik lirih, "Sin Liong... ah, Sin Liong... jangan tinggalkan aku...!"

Hampir Sin Liong tertawa. Gadis ini seperti orang tidur mengigau saja! Akan tetapi hatinya amat terharu sebab igauannya itu membayangkan rasa takutnya, bukan takut mati karena seorang gadis seperti Bi Cu agaknya tidak takut akan kematian, tetapi takut ditinggalkan sendirian di atas sana, bersama Pangeran Ceng Han Houw dan para musuh itu!

Mengingat pangeran itu, Sin Liong menggeram di dalam batinnya. Sungguh kejam sekali pangeran itu! Mengapa dulu dia selalu menganggap pangeran itu orang yang baik budi? Sekarang dia mulai sadar bahwa apa pun yang dilakukan oleh pangeran itu adalah demi kepentingan pangeran itu sendiri.

Andai kata ada perbuatannya yang tampak baik, seperti ketika menyelamatkannya dahulu itu, maka perbuatan itu bukanlah terdorong oleh hati yang baik, melainkan dipergunakan sebagai siasat demi kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri belaka. Baru kini terbuka matanya dan dia mengenal betul orang macam apa adanya Ceng Han Houw yang selama ini dianggapnya sebagai kakak angkat! 

Kini Bi Cu sudah membuka matanya. Terbelalak dia ketika melihat betapa dia berada di atas dahan, dikelilingi daun-daun yang begitu banyaknya dan tubuhnya terasa sakit-sakit. Teringatlah dia dan dia terbelalak bertanya, "Eh, Sin Liong, kita... kita ini di alam baka? Ini sorga atau neraka?"

Kini Sin Liong tak dapat menahan ketawanya. Akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa nyeri sekali.

"Heiii, kita di mana ini? Di dalam pohon? Jadi kita belum mati? Wah, alangkah ngerinya... begini tingginya!" Bi Cu kini merangkul dahan yang berada di atasnya sambil memandang ke bawah dengan mata terbelalak.

"Kita masih hidup, Bi Cu. Pohon ini menolong kita, akan tetapi lengan kiriku... ahh, sakit bukan main, agaknya sudah terkilir. Harus dikembalikan ke tempatnya sebelum aku dapat mencarikan jalan keluar dari sini."

"Ahh, mengapa sampai terkilir, Sin Liong? Hemm, aku mengerti sekarang. Tentu ketika melayang jatuh tadi engkau menggunakan tangan kirimu menyambut dahan pohon! Betul tidak?" Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh kegembiraan seperti anak-anak yang bisa menebak teka-teki dengan tepat.

"Aihhhh... kau ini!" Sin Liong tersenyum lebar, tak dapat ditahannya itu karena sikap Bi Cu yang begitu lincah gembira, padahal mereka berada di mulut maut! Akan tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri bukan main, senyumnya menjadi senyum menyeringai.

"Sakit sekalikah, Sin Liong?" Bi Cu bertanya sambil memegang lengan kiri itu, akan tetapi tubuhnya bergoyang dan cepat dia menyambar dahan di atasnya lagi dan memandang ke bawah dengan hati ngeri. Hampir dia lupa agaknya bahwa dia duduk di atas dahan pohon berada di tempat demikian curamnya.

Gerakannya ini menarik lengan Sin Liong maka tentu saja pemuda itu berteriak saking nyerinya.

"Ahh, maaf, Sin Liong. Dapatkah aku membantu?"

"Bi Cu, engkau harus menarik lengan kiriku ini sampai tulangnya kembali ke tempat yang benar. Tariklah kuat-kuat dengan tangan kanan, ada pun tangan kirimu tetap memegang dahan dan jangan lupa, kedua kakimu kau kaitkan pada dahan di bawah itu. Hati-hatilah, tempat ini berbahaya sekali. Jangan terlalu banyak bergerak."

Bi Cu mengangguk-angguk, kemudian mencari tempat berpegang yang kuat, mengkaitkan kedua kakinya pada dahan di bawah, lalu mengulurkan tangan kanan. "Mana lenganmu, kesinikan!"

Sin Liong sudah merangkulkan lengan kanannya kepada sebatang dahan, memegangnya erat-erat kemudian dia mengulurkan lengan kirinya kepada gadis itu. Bi Cu menangkap pergelangan tangan Sin Liong, lalu mulai menarik.

Sin Liong menyeringai, memejamkan mata karena rasa nyeri yang amat luar biasa terasa olehnya, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk dari pundak sampai ke seluruh tubuh.

"Terus... terus... tarik terus sedikit lagi...!" Dia berkata terengah-engah.

Bi Cu merasa tidak tega ketika melihat wajah pemuda itu menjadi basah oleh peluh yang besar-besar, namun dia menguatkan hatinya dan membetot terus sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

"Klokkk!" Terdengar suara pada sambungan lengan dan pundak.

"Sudah...! Cukup...!" seru Sin Liong. Bi Cu melepaskan pegangannya dan melihat betapa Sin Liong menyandarkan kepalanya pada dahan di depan dan lengan kirinya yang sudah tersambung kembali itu tergantung lemas.

"Sin Liong... sakit sekalikah...?" Suara itu amat lembutnya dan mengandung isak gemetar sehingga Sin Liong melupakan rasa nyerinya seketika, membuka mata dan memandang gadis itu sambil tersenyum.

"Terima kasih, Bi Cu. Sekarang kedudukan tulangnya sudah baik kembali, hanya tinggal memulihkan saja. Sayang kita harus tetap tinggal di sini sampai aku dapat menggerakkan tanganku kembali.” Lalu dia bertanya heran, "Eh, engkau menangis? Engkau tentu... takut sekali, bukan?"

Bi Cu menggunakan punggung tangan menghapus beberapa butir air mata di pipi dan yang tergantung di bulu mata. Dia menggelengkan kepala. "Tidak takut, bukankah engkau juga di sini. Aku hanya... kasihan sekali padamu tadi. Mukamu menjadi mengerikan ketika engkau menahan nyeri tadi..."

Sin Liong tersenyum. "Sekarang telah sembuh..."

"Tapi kita tidak bisa ke mana-mana. Bagaimana kita dapat keluar dari tempat ini?"

Sin Liong memandang ke arah dinding tebing. Memang tidak mudah. Akan tetapi kalau lengannya telah sembuh, dia pasti akan menemukan jalan. Akan tetapi sekarang ini tidak mungkin. Hanya menggunakan sebelah lengan saja, mana bisa mencari jalan keluar. Dan dia pun tidak tega membiarkan Bi Cu yang mencari jalan keluar. Pekerjaan itu berbahaya sekali. Dan untuk sementara waktu mereka aman di pohon itu. Pohon yang cukup besar dan kuat.

"Kita terpaksa tinggal di sini, Bi Cu."

"Sampai berapa lama?"

"Sampai aku dapat menggerakkan kembali lengan kiriku."

Demikianlah, dua orang muda itu lalu tinggal di pohon itu laksana dua ekor kera! Dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan mereka, apa lagi karena lengan kiri Sin Liong belum juga sembuh. Mereka terpaksa melewatkan malam gelap di dalam pohon itu!

"Hati-hati, jangan sampai engkau tertidur kemudian peganganmu terlepas sehingga jatuh ke bawah, Bi Cu." Sin Liong memperingatkan ketika cuaca sudah menjadi gelap. Hatinya khawatir sekali.

Untung bahwa Bi Cu adalah seorang gadis yang berhati baja, dan juga mempunyai watak riang gembira sehingga dalam keadaan seperti itu pun masih suka bergurau! Sikap lincah jenaka ini membuat mereka tak begitu merasakan penderitaan yang menekan lahir batin.

"Kalau terlepas kenapa? Malah tidak lagi menderita hidup seperti kera kelaparan begini!" jawab Bi Cu berolok-olok.

"Engkau lapar, Bi Cu?"

"Kau kira perutku terbuat dari pada batu? Tentu saja aku lapar. Kau tidak?"

"Mungkin."

"Eh, mungkin bagaimana? Engkau jangan berteka-teki! Tinggal menjawab lapar atau tidak, mengapa mungkin? Habis rasanya bagaimana, lapar atau tidak?"

"Aku bilang mungkin, karena menurut patut tentu lapar, akan tetapi tidak terasa karena kalah oleh rasa nyeri di pundakku dan rasa khawatir di hatiku."

"Apa sih yang kau khawatirkan?"

"Kau masih bertanya lagi? Tentu saja keadaan kita ini. Apakah engkau tidak khawatir?"

"Tidak! Sekarang kita masih hidup, bukan? Dan aman..."

"Hanya lapar…"

"Ya, hanya lapar. Sayang aku tidak bisa memburu kelinci. Ahhh, enaknya daging kelinci bakar dimakan panas-panas, apa lagi bagian paha dan pinggul, hemmm... sedap...!"

Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan anehnya, membayangkan gambaran itu, dia pun tiba-tiba saja merasa lapar! Akan tetapi hatinya masih sangat khawatir, bagaimana kalau gadis yang lincah itu menjadi lengah malam nanti, mengantuk dan terlepas lalu jatuh ke bawah sana. Dia menggigil kalau membayangkan kemungkinan ini.

Maka di dalam keremangan senja itu, secara diam-diam dia mulai menanggalkan bajunya dan dengan hati-hati dirobek-robeknya baju itu menjadi robekan panjang selebar tangan. Dia merobeknya dengan tangan kanan dan giginya, kemudian dia menggulung robekan-robekan itu menjadi tali yang cukup kuat kemudian menyambung-nyambungnya. Setelah selesai, dia lalu menyodorkan satu ujungnya kepada Bi Cu.

"Bi Cu, kau terima ujung tali ini," katanya.

Bi Cu menerima ujung tali itu, meraba-rabanya lalu berkata, "Hemm, sejak tadi engkau diam saja ternyata engkau membuat tali ini? Dari apa kau buat?"

"Dari bajuku."

"Lalu untuk apa?"

"Ikatkan ujungnya pada pinggangmu, yang kuat. Kalau engkau mengantuk dan terlepas, maka engkau tidak akan jatuh melainkan tergantung pada tali. Sesudah kubelit-belitkan di cabang-cabang yang kuat, ujung yang satu lagi akan kuikatkan pada pinggangku."

Bi Cu tak berkata apa-apa, akan tetapi dari tali yang bergerak-gerak Sin Liong tahu bahwa dara itu melaksanakan petunjuknya. Hatinya lega. Kini cuaca sudah gelap sekaii sehingga dia tak dapat melihat Bi Cu. Bayangannya pun tidak, karena tidak ada bayangan apa-apa sama sekali. Gelap pekat malam itu, melihat tangannya sendiri pun dia tidak mampu.

Lama mereka diam saja. Sin Liong selalu mengingat keadaan Bi Cu. Tadi dia sempat melihat betapa dara itu telah mendapatkan tempat yang enak, di antara dahan besar yang bercabang tiga, sehingga dara itu dapat duduk terjepit cabang dan tak akan mudah jatuh dan dapat duduk dengan enak. Tentu saja seenak-enaknya orang melewatkan malam di atas pohon!

Dia telah melibat-libatkan tali itu pada dahan yang kuat, barulah ujungnya diikatkan pada pinggangnya. Dengan demikian, andai kata salah seorang di antara mereka terlepas dan jatuh, tentu akan tertahan oleh dahan itu dan tergantung, sedangkan orang yang satunya akan dapat menarik dan menyelamatkan yang jatuh.

Sin Liong merasa betapa ada gerakan-gerakan dari arah tempat Bi Cu duduk. Tali yang mengikat pinggangnya itu seolah-olah menghubungkan dia dengan Bi Cu, setiap dara itu bergerak tentu akan terasa olehnya. Hal ini menimbulkan perasaan lega pula. Akan tetapi sampai lama Bi Cu tidak bicara, dan dia tidak dapat bertahan lagi.

"Bi Cu, engkau tidak apa-apa, kan?"

"Tentu saja apa-apa, berada dalam keadaan seperti ini mana bisa dikatakan tak apa-apa! Aku sedang memikirkan betapa lucunya keadaan kita ini. Tidakkah engkau merasa lucu, Sin Liong?"

"Lucu?" Sin Liong mengingat-ingat akan tetapi tidak menemukan apa yang lucu. "Bagiku tidak lucu melainkan menyedihkan dan sengsara, terutama lengan kiriku."

"Belum sembuhkah lengan kirimu, Sin Liong?"

"Sudah agak mendingan," kata Sin Liong berbohong. Pundaknya membengkak, nyerinya bukan main, akan tetapi letak tulangnya sudah benar. "Ehh, Bi Cu, mengapa kau bilang lucu?"

"Bayangkan saja! Kita saling berpisah, lalu saling jumpa. Dan lihat, apa yang kita alami bersama. Kita terjatuh ke dalam jurang maut, akan tetapi tidak mati dan tersangkut pada pohon ini dan kita terpaksa menjadi dua ekor monyet di sini! Lucu tidak?"

"Kenapa engkau ikut meloncat ke dalam jurang? Benar-benar bodoh sekali perbuatanmu itu, mempermainkan nyawa sendiri," Sin Liong menegur karena dia memang marah kalau teringat betapa dara itu hampir membuang nyawa dengan sia-sia dan mati konyol.

"Apa?" Terdengar dara itu berkata marah. "Dan kau menghendaki aku berada di sana, di atas sana bersama jahanam-jahanam itu sedangkan engkau sendiri enak-enakan berada di bawah sini?"

"Enak-enakan?"

"Ya, enak-enakan! Seribu kali lebih enak berada di tempat ini dari pada berada di atas sana bersama iblis-iblis itu!" Bi Cu membentak.

"Bi Cu..."

"Sudahlah, aku mau tidur!"

"Tidur...? Hati-hatilah, Bi Cu, jangan sampai terlepas dan jatuh..., meski pun sudah terikat akan tetapi ngeri aku memikirkan kau jatuh..."

"Peduli apa? Biar jatuh dan mampus!"

Jawaban ini demikian penuh kemarahan sehingga mengejutkan Sin Liong. Maka dia tidak berani bicara lagi, hanya mengingat-ingat mengapa dara itu menjadi marah tidak karuan. Mungkin karena lapar, mungkin karena takut, dan dia pun tidak boleh terlalu cerewet.

Sin Liong duduk dan mengumpulkan napas, mengerahkan hawa murni untuk mengobati lengan kirinya. Dengan pengerahan hawa dari pusar, dia mengirim hawa yang panas itu menjalar naik hingga memenuhi lengannya. Ia melakukan hal ini sesuai dengan pelajaran dari kitab yang diwarisinya dari Bu Beng Hud-couw. Dan ternyata hasilnya hebat sekali.

Rasa nyeri pada pundaknya perlahan-lahan lenyap, terbungkus hawa panas itu sehingga pundak yang tadinya berdenyut-denyut nyeri, kini menjadi nyaman dan denyut itu makin melemah dan akhirnya tidak terasa nyeri lagi. Dia melanjutkan usahanya itu, melupakan keadaan sekelilingnya. Dia harus dapat sembuh semalam ini agar besok dia dapat mulai mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya bersama Bi Cu.

"Sin Liong..."

Entah sudah berapa lamanya mereka berdiam sampai Bi Cu memanggilnya itu. Mungkin kini telah lewat tengah malam. Siapa tahu? Dia tadi dalam keadaan setengah bersemedhi dan lupa segala sehingga lupa pula akan waktu. Panggilan suara Bi Cu itu mengejutkan dan seperti menarik dia kembali kepada kenyataan bahwa dia dan Bi Cu berada di dalam pohon di atas jurang yang curam, di tengah malam yang gelap pekat.

Akan tetapi baru sekarang ini Sin Liong melihat adanya perubahan, bahwa cuaca tidaklah segelap tadi, bahkan dia dapat melihat bayangan tangannya sendiri walau pun dia tidak dapat melihat Bi Cu. Di langit terdapat bintang-bintang berkelap-kelip. Aneh sekali melihat bintang-bintang ini, membuat dia hampir tidak percaya bahwa dia berada di dalam pohon ‘tergantung’ di antara langit dan jurang, bukan di atas bumi seperti biasa.

"Ada apakah, Bi Cu?"

"Apakah engkau tidak lapar?"

Tadinya Sin Liong sudah lupa segala, juga lupa akan perutnya yang kosong, maka begitu Bi Cu berkata lapar, otomatis perutnya langsung terasa perih dan lapar sekali. Akan tetapi bersamaan dengan itu, juga dia merasa lengan kirinya sudah sehat kembali, tidak nyeri sama sekali!

"Tentu saja aku lapar. Dan engkau?"

"Aku tidak lapar, aku sudah kenyang!"

Hemm, mengajak bergurau lagi, pikir Sin Liong.

"Engkau kenyang? Makan apa?" Dia melayani.

"Makan paha kelinci panggang di dalam khayalan!" Bi Cu tertawa. "Tapi aku benar-benar kenyang, aku makan daun."

"Daun?"

"Ya, kau pilihlah daun-daun muda di ujung ranting. Cobalah, enak, tidak pahit dan banyak airnya, lumayan, Sin Liong."

Sin Liong menjadi tertarik. Tangan kanannya meraih dan dengan meraba-raba dia dapat merasakan perbedaan antara daun tua dan daun muda yang lebih kecil dan lebih halus. Dipetiknya ujung ranting itu lantas dengan hati-hati dimakannya sehelai daun muda. Tentu saja bau daun, akan tetapi tidak bau busuk dan tidak pahit, bahkan ada manis-manisnya sedikit. Maka dimakannya daun itu sampai beberapa helai.

"Bagaimana rasanya?"

"Kau benar. Daun ini cukup enak dimakan!"

"Hi-hik, engkau harus berterima kasih kepadaku, Sin Liong. Temuanku ini memungkinkan kita bisa hidup di atas pohon ini seperti dua ekor kera, bukan hanya untuk beberapa hari, bahkan mungkin untuk selamanya!"

"Apa? Selamanya? Mana mungkin?"

"Mungkin saja! Setiap hari kita makan daun muda, dan daun-daun muda itu tentu akan tumbuh kembali, demikianlah setiap hari. Kita tidak akan kehabisan daun muda. Daun itu mengandung air, jadi kita tidak akan kehausan pula, dan andai kata kehausan, bila mana hujan turun, kita tinggal berdongak dan membuka mulut saja! Hi-hik!"

"Tapi mana mungkin kita dapat hidup dan makan daun-daun saja?"

"Siapa bilang tidak mungkin? Ehh, Sin Liong, kenapa engkau begitu bodoh? Jangan lupa, binatang-binatang yang terbesar dan terkuat di dunia ini, seperti kerbau, sapi, kuda, dan bahkan gajah itu makan apa saja? Mereka tidak makan daging, tidak makan capcai atau mi bakso, melainkan makan daun dan rumput saja. Akan tetapi mereka itu bukan hanya hidup, bahkan hidup lebih sehat dan lebih kuat dari pada manusia!"

"Tapi kita ini manusia, bukan kerbau..."

"Memang, tapi otakmu lebih bodoh dari pada kerbau!" Kembali Bi Cu berkata dengan nada suara marah.

"Bi Cu... aku..."

"Sudahlah! Memang aku yang cerewet dan bodoh!" Kini suara itu bukan hanya marah, bahkan mengandung isak!

Sin Liong melongo. Untung waktu itu cuaca masih terlampau gelap untuk mereka dapat saling melihat, kalau tidak tentu dia akan kelihatan lucu sekali. Dia benar-benar bingung menghadapi Bi Cu. Mengapa Bi Cu begitu mudah tertawa gembira, bergurau, akan tetapi di lain saat sudah marah-marah dan cengeng?

Hening lagi sampai lama. Sin Liong merasa menyesal sekali bahwa dia begitu bodoh tidak bisa menyelami watak Bi Cu sehingga dia selalu membuat dara itu marah-marah. Padahal Bi Cu sudah begitu baik kepadanya.

"Bi Cu, kau maafkanlah aku kalau aku bersalah kepadamu sehingga membuatmu marah. Percayalah, sungguh mati aku tak sengaja membikin engkau marah. Aku menyesal akan kebodohanku."

"Siapa bilang engkau bodoh? Engkau terlampau pintar, engkau lihai bukan main, engkau seorang pendekar sakti yang bersikap sederhana dan bodoh, dan saking pintarnya maka engkau tidak memperhatikan seorang gadis tolol macam aku yang cerewet sehingga aku dibikin kesal...!"

"Maafkan, aku Bi Cu..., aku tidak mengerti mengapa aku selalu membuatmu marah... tadi pun engkau sudah marah-marah..."

"Tentu saja aku merasa marah, habis engkau selalu menghendaki aku tidak berada di sini bersamamu, engkau lebih senang jika aku berada bersama iblis-iblis itu. Engkau sungguh mati tidak menghargai orang, aku suka bersamamu, hidup mati, dan engkau cerewet saja mengkhawatirkan diriku. Mengapa engkau tidak mengkhawatirkan dirimu sendiri?"

"Ahhh...!"

"Apa lagi ah-ah!"

Sekarang Sin Liong mulai mengerti dan dia pun sadar bahwa dia terlalu mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, tidak ingat bahwa Bi Cu memang tadinya sengaja menyusulnya untuk mati bersama!

"Tidak apa-apa, hanya saja aku sudah merasa salah. Engkau tentu mau memaafkan aku, bukan? Ataukah tiada maaf bagiku?"

"Sudahlah, perutku sudah kenyang, aku mau mengaso."

Sin Liong lalu memetik lagi daun-daun muda dan mengisi perutnya yang kosong dengan daun-daun muda itu. Seperti sayur mentah, akan tetapi bukan tidak enak, malah lumayan untuk menahan perihnya perut.

Akan tetapi semalam dia tidak tidur, mana mungkin dia tidur? Dia harus menjaga Bi Cu, siap menolong kalau-kalau dara itu terjatuh dan tergantung pada tali. Segera timbul rasa khawatirnya, jangan-jangan dara itu kurang kuat mengikat pinggangnya.

Hampir saja mulutnya bertanya, akan tetapi ditahannya karena dia teringat bahwa hal itu bahkan akan membikin marah dara yang berwatak aneh itu. Maka dia pun melanjutkan menghimpun hawa murni untuk mengobati lengan kirinya yang biar pun kini sudah tidak terasa nyeri namun dia masih belum berani untuk menggunakannya dengan pengerahan tenaga. Luka-luka pada tempat sambungan tulang tentu belum pulih benar, pikirnya, maka berbahaya kalau dipakai untuk bekerja berat.

Dan ternyata selanjutnya Bi Cu tidak lagi mengeluarkan suara, meski pun kadang-kadang dia masih melakukan gerakan perlahan. Dan tidak terdengar napasnya yang menyatakan bahwa dara itu tertidur. Maka tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu memang sengaja diam saja sungguh pun dara itu juga tidak dapat tidur dalam keadaan seperti itu.

Pada keesokan harinya, begitu sinar matahari pagi mengusir kegelapan sehingga mereka dapat saling melihat, Bi Cu segera berkata. "Bagaimana dengan lengan kirimu?"

Sin Liong menggerak-gerakkan lengan kirinya. "Sudah tidak nyeri lagi, akan tetapi luka di sekitar sambungan masih belum pulih benar, kiraku belum mungkin dapat dipakai bekerja berat. Kalau sampai luka-luka itu pecah lagi, akan sukarlah pulihnya jika tanpa obat."

"Kalau begitu biar kita tinggal di sini sampai kau sembuh betul!" kata Bi Cu.

Akan tetapi Sin Liong masih bisa menangkap nada suara yang amat kecewa, yang ditutup dengan kemauan keras, dan dara itu lalu mengatupkan bibirnya kuat-kuat setelah berkata demikian. Tentu dara itu sudah menderita hebat sekali akibat duduk semalam suntuk di atas dahan itu, pikir Sin Liong. 

"Walau pun aku belum dapat bekerja berat dengan lengan kiriku, akan tetapi kiranya aku akan dapat mencarikan tempat yang lebih enak untuk kita, bukan di atas pohon ini, Bi Cu. Kau tinggallah di sini dulu, aku yang mencari tempat yang baik di tebing itu."

"Aku tidak mau sendirian di sini. Aku harus ikut engkau!" kata Bi Cu dan Sin Liong tidak mau membantah. Dia melepaskan ikatan di pinggangnya.

"Baiklah, lepaskan ikatan di pinggangmu itu. Tali ini akan ada gunanya kelak."

Bi Cu lalu melepaskan tali yang diikatkan di pinggangnya. Baru tahulah Sin Liong bahwa ikatan itu kuat sekali sehingga kini sukar bagi Bi Cu untuk membuka simpulnya. Ternyata kekhawatirannya semalam tidak ada gunanya.

"Eh, kenapa kau masih memakai bajumu? Bukankah bajumu telah kau robek-robek untuk dijadikan tali ini?"

"Itu baju dalamku yang terbuat dari sutera, lebih lemas dan lebih kuat."

"Baju dalam sutera? Wah, tentu indah dan mahal sekali...!"

"Memang, itu baju adik angkat pangeran! Pemberian Pangeran Ceng Han Houw."

"Ihhh…!" Bi Cu melepaskan ujung tali itu seperti orang merasa jijik. Sin Liong menggulung dan menyimpan di saku bajunya.

"Mari kau ikuti aku, tapi hati-hatilah, Bi Cu."

Mulailah keduanya merangkak di antara dahan-dahan dan daun-daun pohon. Sin Liong di depan, diikuti oleh Bi Cu, mendekati tebing ketika mereka merangkak turun dari pohon yang tumbuh agak miring di tebing itu. Pohon itu besar dan cukup tinggi, dan batangnya ternyata besar dan kokoh kuat, tertanam di dalam tebing di antara batu-batu.

Sin Liong turun dari batang itu, matanya mencari-cari jalan lantas dia pun turun ke atas celah-celah batu yang besar. Dia menunggu sebentar untuk memberi kesempatan Bi Cu juga turun. Ketika Bi Cu sudah meletakkan dua kakinya pada celah-celah batu besar dan memandang ke bawah, dia menjerit sehingga Sin Liong langsung merangkulnya. Tubuh Bi Cu menggigil, maka mengertilah Sin Liong apa yang menyebabkan dara itu ketakutan seperti itu.

"Jangan melihat ke bawah! Lagi pula, di sini tidak berbahaya, di atas pohon itu bahkan lebih berbahaya lagi!" katanya menghibur dan akhirnya Bi Cu dapat tenang kembali akan tetapi dia tidak mau memandang ke bawah.

Memang mengerikan sekali kalau memandang ke arah bawah yang demikian curamnya. Baru membayangkan tubuh melayang ke bawah saja sudah membuat jantung berdetak dan kaki menggigil.

Sin Liong mencari jalan dengan hati-hati karena lengan kirinya belum dapat dipakai untuk bergantung, terlalu berbahaya untuk mencoba itu. Akhirnya mereka sampai di tepian yang lebarnya ada dua meter dan panjangnya empat meter, tempat datar sempit ini ditumbuhi rumput dan merupakan jalan buntu karena dikelilingi oleh batu-batu yang bersusun rata sehingga tentu amat licin dan tak mungkin didaki. Jalan satu-satunya dari dataran sempit ini hanyalah jalan yang mereka lalui tadi, yang menuju ke pangkal batang pohon besar.

Betapa pun juga, menemukan tempat ini membuat mereka merasa lega. Bi Cu gembira sekali dan dia pun segera menjatuhkan diri rebah terlentang dengan tarikan napas lega. Tubuhnya yang terasa lelah semua itu kini dapat berbaring sesukanya di atas rumput dan sebentar saja dara itu sudah tidur pulas, miring menghadap dinding batu!

Sin Liong merasa terharu dan kasihan sekali. Sampai lama dia memandangi wajah dara yang tidur pulas itu, tidur sambil tersenyum seolah-olah tiada apa pun yang mengancam mereka. Dara itu agaknya merasa beruntung sekali dan lapang hatinya setelah mereka menemukan tempat datar ini sehingga tidurnya demikian nyenyak dan enak.

Sin Liong lalu bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk mencari jalar keluar dari tempat itu. Akan tetapi baru saja beberapa langkah dia meninggalkan Bi Cu, dia segera teringat dan cepat dia membalikkan tubuhnya, menghampiri batu sebesar sepelukan tangan dan mengangkat. Akan tetapi baru sedikit dia mengerahkan tenaga pada lengan kirinya, dia hampir berteriak kesakitan, maka cepat dia melepaskan kembali batu itu.

Untung tadi dia tidak memaksa mengangkat. Jelaslah bahwa lengan kirinya belum boleh dipergunakan untuk bekerja berat dan harus beristirahat beberapa hari sampai pulih betul. Sekarang dia hanya menggunakan tangan kanannya, disusupkannya jari-jari tangannya ke bawah batu dan diangkatnya dengan ringan saja lalu batu itu dibawa dan diletakkan di tepi jurang.

Dia memindahkan empat buah batu yang cukup berat sehingga cukup menjadi penjaga dan penahan tubuh Bi Cu kalau-kalau di dalam tidurnya dara itu bergerak dan bergulingan sampai ke tepi jurang! Setelah yakin bahwa Bi Cu tidak akan terancam bahaya terguling ke dalam jurang, barulah dia meninggalkan Bi Cu dan mencurahkan perhatiannya untuk mencari jalan keluar.

Ditelitinya semua bagian dari dataran sempit itu, melihat ke kanan kiri, ke atas bawah dan depan belakang, mencari-cari jalan yang dapat mereka lalui untuk mendaki ke atas. Tapi dataran itu benar-benar merupakan jalan buntu, dan satu-satunya jalan yang dapat dilalui hanyalah yang menuju ke pohon besar itu! Jalan naik ke atas tidak mungkin didaki karena batu-batu itu tersusun demikian rata sehingga merupakan dinding rata yang amat tinggi. Tidak mungkin mendaki tempat seperti itu.

Dengan menggunakan sinkang sekuatnya, mungkin juga dia mampu naik untuk beberapa belas tombak tingginya, akan tetapi tidak mungkin kuat bertahan sampai naik setinggi itu, puluhan, bahkan ratusan tombak tingginya. Dan itu pun terkandung bahaya, yaitu sekali kakinya terpeleset, tubuhnya akan jatuh dan biar pun dengan ilmu apa juga dia tidak akan dapat menyelamatkan dirinya lagi! Apa lagi kalau harus menggendong Bi Cu. Dia tidak mau mengambil resiko berbahaya seperti itu!

Sesudah memeriksa, meneliti dan mencari-cari sampai beberapa jam lamanya, akhirnya Sin Liong terduduk dengan pandang mata muram dan dia pun termenung. Tidak ada jalan keluar! Itulah kesimpulan sebagai hasil dari pemeriksaannya tadi. Mereka sama dengan terkubur hidup-hidup di tempat itu! Tali dari baju dalamnya yang panjangnya hanya lebih kurang empat lima meter itu tidak ada artinya sama sekali untuk membantu mereka keluar dari tempat ini.

Matahari telah naik agak tinggi dan hawa udara cukup panas ketika Bi Cu terbangun dari tidurnya. "Haus...!" Demikian kataanya begitu dia membuka matanya.

Tak heran jika dia kehausan karena tubuhnya sama sekali tidak terlindung dari panasnya sinar matahari. Peluhnya membasahi leher dan mukanya. Akan tetapi dia kini telah sadar betul dan bangkit duduk, mengusap keringatnya dan memandang kepada Sin Liong yang menghampirinya.

"Wah, agaknya aku telah tertidur."

"Nyenyak dan enak tidurmu," kata Sin Liong tersenyum.

"Ya, segar rasanya tubuh sekarang, hilang sudah segala kelelahan semalam. Tapi, aku... aku haus bukan main...!" Dia menjilat-jilat bibirnya yang kering dan mengelus lehernya.

"Haus...?" Sin Liong baru merasa betapa dia pun haus bukan main, apa lagi karena dia tadi sudah bekerja mencari tempat yang dapat dijadikan jalan keluar dan baru sekarang dia merasa bahwa kerongkongannya juga kering sekali. "Ahh, ke mana kita harus mencari minum? Di sekitar sini tidak ada air, juga tidak ada jalan keluar..."

"Tidak ada jalan keluar...?" Bi Cu bangkit berdiri, lalu memandang ke sana-sini. "Engkau sudah pasti benar?"

"Entahlah, akan tetapi tadi sudah kuperiksa dan sungguh tidak terdapat jalan keluar dari tempat ini, kecuali ke pohon besar itu. Ahhh... pohon itu! Biar kupetik daun-daun muda untukmu..."

"Untukmu juga...!"

"Ya, untukku juga," Sin Liong lalu merangkak dengan hati-hati melalui jalan yang tidak mudah itu, jalan yang mereka lalui pagi tadi, kembali ke batang pohon dan dia memanjat pohon besar itu, memetik daun-daun muda. Setelah cukup, dia pun turun dan membawa daun-daun muda itu kepada Bi Cu.

Dengan lahap Bi Cu makan daun-daun muda, mengunyahnya lama-lama untuk mencari airnya. Dia tidak lapar, hanya haus. Dan celakanya meski pun daun itu mengandung air, tetapi rasa air daun itu tidak dapat dan tidak cukup banyak untuk menghilangkan hausnya.

Sin Liong juga makan daun itu, sebab itu tahulah dia bahwa daun-daun itu tidak berhasil mengusir haus. Maka dia pun lantas duduk di atas batu sambil termenung. Akan berapa lamakah mereka mampu bertahan dalam keadaan begini? Kasihan Bi Cu, pikirnya, akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu karena dia maklum bahwa hal itu hanya akan membikin dara itu menjadi marah.....

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar