Kuil di puncak bukit itu demikian besar, dikelilingi pagar tembok tebal yang berlapis-lapis bagaikan benteng saja kuatnya. Memang, kuil Siauw-lim-si adalah sebuah kuil yang amat besar dan kokoh kuat lagi kuno sekali. Kuil Siauw-lim-si sangat terkenal semenjak jaman dulu karena kuil inilah yang menampung para pendeta Buddha dari See-thian (India), dan kuil ini pula yang menyebar luaskan pelajaran Agama Buddha ke seluruh Tiongkok.
Selain sebagai tempat perkumpulan para tokoh Buddha dan menjadi pusat keagamaan itu, juga Siauw-lim-si mempunyai nama yang amat terkenal sebagai perkumpulan agama yang menghasilkan banyak sekali ahli-ahli silat yang pandai sehingga nama Siauw-lim-pai (partai Siauw-lim) sangat terkenal di dunia kang-ouw sebagai gudang ilmu silat dan para pendekar Siauw-lim-pai memiliki ilmu silat murni yang amat kuat dan disegani.
Bahkan menurut dongeng dari mulut ke mulut, kuil Siauw-lim-si merupakan sumber dan asal dari segala ilmu silat, yaitu ketika Tat Mo Couwsu, seorang pendeta Agama Buddha menciptakan gerakan-gerakan yang mula-mula hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh namun kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan ilmu bela diri yang amat hebat.
Sumber ilmu menggerakkan tubuh sebagai seni bela diri ini kemudian berkembang sangat luas, mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan keadaan setempat dan tumbuhlah bermacam-macam ilmu silat yang sesungguhnya bersumber satu. Namun, yang dianggap paling asli sampai sekarang adalah ilmu silat yang diajarkan oleh Siauw-lim-pai sehingga nama ini selalu didengung-dengungkan sebagai gudangnya ahli silat yang paling kuat.
Memang patut kalau Kuil Siauw-lim-si itu dikabarkan sebagai tempat orang-orang pandai. Bangunannya kuno dan kokoh kuat sehingga menimbulkan suasana keramat dan angker. Apa lagi karena sebagai pusat keagamaan di dalam kuil itu setiap hari diadakan upacara-upacara keagamaan dan hio mengepul terus setiap saat hingga dari jarak jauh saja sudah tercium bau harum dupa, maka suasananya menjadi semakin agung dan mendatangkan perasaan hormat akan sesuatu yang penuh rahasia bagi manusia.
Kuil besar itu tidak pernah sunyi. Kalau bukan suara orang membaca doa atau membaca ayat-ayat suci dari kitab, maka tentu ada nyanyi-nyanyian pujian. Ini suasana di bagian kuilnya. Ada pun di bagian belakang atau samping kanan kiri, selalu terdengar bentakan-bentakan orang yang berlatih silat!
Kompleks kuil itu memang amat luas. Kuilnya sendiri berada di tengah depan merupakan bangunan induk, akan tetapi di kanan kiri dan belakang kuil terdapat bangunan-bangunan kecil lainnya yang menjadi tempat tinggal para hwesio beserta para murid Siauw-lim-pai. Tidak kurang dari lima puluh orang pendeta dan murid-murid Siauw-lim-pai yang setiap hari berada di tempat itu.
Sedangkan murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah keluar dari tempat penggemblengan ini dan tersebar di seluruh negeri berjumlah ratusan, bahkan ribuan orang. Ada yang menjadi ketua kuil-kuil kecil, ada yang menjadi pendeta-pendeta pengembara untuk menyebarkan agama.
Ada pula yang menjadi orang-orang biasa, pedagang, sasterawan, piauwsu, buruh-buruh kasar, petani atau nelayan. Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang tidak masuk menjadi hwesio sehingga tidak bertugas mengembangkan agama, melainkan terikat oleh peraturan-peraturan Siauw-lim-pai yang mengharuskan para murid itu agar supaya hidup sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi nama baik Siauw-lim-pai dan dilarang keras menggunakan kepandaiannya yang didapatkan dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan.
Memang pada waktu itu jarang sekali menemukan seorang murid Siauw-lim-pai menjadi penjahat. Kalau sampai terdengar ada seorang murid Siauw-lim-pai menyeleweng, maka perguruan ini sudah pasti akan mengutus murid yang lebih pandai untuk menangkap dan menghukum, kalau perlu membunuh murid yang menyeleweng. Sedikitnya, setiap murid yang menyeleweng tentu akan dikeluarkan dari perguruan itu, tidak diakui sebagai murid lagi dan jika ketahuan menggunakan ilmu dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan, tentu akan ditentang dan dimusuhi.
Karena peraturan yang sangat keras inilah maka nama Siauw-lim-pai amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Namanya senantiasa bersih, bahkan di dalam pergolakan-pergolakan antara golongan-golongan yang memperebutkan kekuasaan di kota raja, fihak Siauw-lim-pai selalu menjauhkan diri dan tidak mau tersangkut.
Pagi hari itu cerah sekali. Matahari bagai berseri di angkasa timur, melimpahkan cahaya kehidupan ke permukaan bumi. Di pagi hari seindah itu nampak wajah para hwesio yang serius namun berseri, seolah-olah mereka ini dapat pula merasakan kecerahan pagi yang sehat itu.
Beberapa orang hwesio hilir-mudik melakukan tugas pekerjaan masing-masing di kuil, ada yang membersihkan semua perabot dan alat sembahyang, ada pula yang membersihkan lantai, menyapu halaman depan, pekarangan, atau menyirami bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam di sekitar bangunan itu. Ada yang sibuk menimba air dari sumber di bawah puncak lalu memikul air itu ke dalam kuil melalui pintu samping supaya tidak membasahi lantai kuil, ada pula hwesio-hwesio tingkatan tua yang sepagi itu sudah melakukan upacara sembahyang. Beberapa hwesio membaca kitab dengan suara yang menggetar penuh penghambaan diri, tetapi ada pula yang sedang bersemedhi di sebelah dalam, mengheningkan cipta, sama sekali tidak bergerak seolah-olah sudah menjadi arca seperti yang banyak terdapat di dalam kuil.
Di samping kegiatan yang tenang dan tenteram ini, terdengar pula suara murid-murid yang sedang berlatih silat, bertelanjang dada membiarkan cahaya matahari memandikan tubuh mereka karena sinar itu amat berguna bagi kesehatan tubuh mereka. Ada yang bergerak silat dengan pengerahan tenaga sehingga otot-otot di tubuh mereka menggembung dan kelihatan kuat bukan main penuh kejantanan, ada pula yang gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari dan agaknya sama sekali tidak mengandung tenaga.
Memang Siauw-lim-pai adalah gudang ilmu silat, dari ilmu silat yang sifatnya keras hingga yang sifatnya lunak, dan ilmu-ilmu silat yang gerakannya diilhami oleh gerakan binatang-binatang buas.
Setiap pagi para anak murid tingkat terendah tentu berkumpul di dalam taman itu, di mana terdapat lapangan yang luas dan memang diadakan untuk tempat berlatih silat di bawah sinar matahari. Di sebelah dalam terdapat pula ruangan belajar silat, yaitu di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan di sini diajarkan jurus-jurus yang lebih tinggi dan di lian-bu-thia ini lengkap pula terdapat senjata-senjata yang delapan belas macam banyaknya.
Pagi hari itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang datang untuk melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi mereka yang datang untuk bersembahyang. Ada yang bermaksud hendak minta sesuatu, agar sesuatu yang mereka citakan akan segera terkabul, di antaranya ingin mempunyai anak, ingin segera mendapat jodoh, ingin agar dagangannya laris, ingin agar mendapatkan kenaikan pangkat, ingin agar ujiannya lulus, dan sebagainya.
Ada pula yang datang dengan wajah berseri untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan. Banyak di antara mereka para peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu disertai janji-janji kepada yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai permintaan mereka berhasil, maka mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya melakukan sesuatu untuk menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan!
Memang demikianlah keadaan hidup kita semenjak jaman kuno dulu sampai pada jaman modern sekarang ini! Segala macam hubungan kita dengan apa pun dan dengan siapa pun, selalu didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada lagi sinar cinta kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual beli seperti itu.
Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar jual beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan pula yang lebih besar dari pada yang kita berikan sehingga hal itu akan menguntungkan! Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap lebih tinggi hanya dengan dasar keuntungan ini pula!
Kita menyembah-nyembah sesuatu yang baik atau yang kita anggap baik terhadap kita, dan kita mengutuk atau membenci sesuatu yang kita anggap tidak baik kepada kita! Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang serba palsu ini.
Cahaya matahari itu memberkati dan menghidupkan bagi siapa pun juga, tanpa memilih apakah yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau rendah, agung atau hina! Cahaya matahari itu juga mendatangkan panas terhadap siapa pun juga, mulai dari raja sampai pengemis tanpa pandang bulu!
Tapi kita kehilangan sinar cinta kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang tertentu saja, yang menyenangkan kita, yang kita anggap baik terhadap kita. Sebaliknya kita membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan lahir atau batin kepada kita.
Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar jual beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan pula yang lebih besar dari pada yang kita berikan sehingga hal itu akan menguntungkan! Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap lebih tinggi hanya dengan dasar keuntungan ini pula!
Kita menyembah-nyembah sesuatu yang baik atau yang kita anggap baik terhadap kita, dan kita mengutuk atau membenci sesuatu yang kita anggap tidak baik kepada kita! Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang serba palsu ini.
Cahaya matahari itu memberkati dan menghidupkan bagi siapa pun juga, tanpa memilih apakah yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau rendah, agung atau hina! Cahaya matahari itu juga mendatangkan panas terhadap siapa pun juga, mulai dari raja sampai pengemis tanpa pandang bulu!
Tapi kita kehilangan sinar cinta kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang tertentu saja, yang menyenangkan kita, yang kita anggap baik terhadap kita. Sebaliknya kita membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan lahir atau batin kepada kita.
Di antara para tamu yang memasuki kuil dengan membawa alat-alat sembahyang, terlihat seorang pemuda tampan. Pakaiannya sudah kumal, tanda bahwa lama dia tidak berganti pakaian, namun jelas nampak bahwa pakaian itu adalah pakaian yang mahal dan indah, juga topinya dan jubahnya yang terbuat dari kulit binatang berbulu itu menunjukkan bahwa pemakainya adalah seorang hartawan.
Tidak seperti para tamu lainnya, pemuda ini tidak membawa apa-apa, bertangan kosong saja dan dia memasuki halaman kuil dengan langkah-langkah tenang disertai sikap yang agung, bahkan dia tidak pedulian terhadap orang-orang lain yang memasuki halaman itu.
Pemuda ini adalah Ceng Han Houw. Mau apa pangeran ini muncul di Kuil Siauw-lim-si? Setelah Ceng Han Houw berhasil membunuh Ouwyang Bu Sek beserta dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, memang tadinya dia hendak cepat-cepat pulang ke kota raja, kembali ke istana yang sudah terlalu lama ditinggalkannya itu, apa lagi dia sudah merasa rindu sekali kepada Lie Ciauw Si dan hendak mencari dara yang dicintainya itu.
Akan tetapi, di samping itu timbul keinginannya untuk mulai memperkenalkan diri kepada dunia kang-ouw bahwa dialah satu-satunya jagoan tanpa tandingan di dunia ini! Dia ingin menguji kepandaian para tokoh kang-ouw dan hatinya belum puas kalau dia tidak dapat merobohkan mereka semua satu demi satu hingga akhirnya dunia akan mengakui bahwa dialah juaranya!
Untuk menguji diri sendiri, juga sebagai langkah pertama, maka yang paling tepat adalah mendatangi Siauw-lim-pai lantas menantang ketuanya untuk mengadu ilmu silat! Dia tahu bahwa Siauw-lim-pai merupakan mercu suar dalam dunia persilatan, maka menjatuhkan Siauw-lim-pai tentu akan membuat namanya terkenal hingga dunia persilatan akan geger karenanya. Jadi kedatangannya di pagi hari ini, bersama dengan para tamu yang hendak bersembahyang ke kuil itu, adalah hendak mencari dan menantang ketua Siauw-lim-pai untuk mengadu ilmu!
Melihat keadaan pemuda ini lain dari pada para tamu yang sudah biasa bersembahyang, tanpa membawa apa-apa, dan kelihatan mencari-cari dengan pandang matanya, seorang hwesio tinggi kurus yang bertugas melayani para tamu cepat-cepat menghampirinya dan memberi hormat sambil bertanya,
"Apakah kongcu hendak bersembahyang ataukah ada keperluan lain?"
Han Houw memandang wajah hwesio ini dan ketika melihat bahwa di wajah itu terdapat ketenangan besar, maka dia merasa kagum. Hwesio ini tentu kedudukannya rendah saja namun ada ketenangan yang mengagumkun pada dirinya. Maka dia pun cepat membalas penghormatan itu dan berkata,
"Saya datang bukan untuk bersembahyang melainkan untuk minta bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."
Hwesio yang usianya tiga puluh tahun itu kelihatan tercengang. Jarang ada orang datang dengan maksud ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai, apa lagi yang datang hanya seorang pemuda seperti ini, bukan seorang tokoh kang-ouw yang terkenal. Dia kemudian memandang penuh sangsi, akan tetapi akhirnya menjawab juga,
"Kongcu, tidak mudah untuk dapat bertemu dengan ketua, untuk itu kongcu harus terlebih dulu mendaftarkan diri dan menyebutkan nama, tempat tinggal dan maksud kedatangan kongcu."
Han Houw mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. Kadang kala dia lupa bahwa tidak semua orang tahu bahwa dia adalah seorang pangeran yang berpengaruh serta memiliki kedudukan tinggi sehingga sikap orang yang kurang menghormatinya bisa mendatangkan perasaan tidak senang di dalam hatinya. Ingin dia membentak serta memaki hwesio itu, akan tetapi dia tahu bahwa dia berada di tempat yang berbahaya, bahwa kini dia sudah memasuki goa naga dan harimau, maka dia harus bersikap hati-hati.
"Hwesio, katakanlah bahwa aku Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."
Biar pun ucapan ini dikeluarkan dengan suara halus akan tetapi seketika wajah hwesio itu menjadi pucat. Ketenangannya membuat sejenak dia hanya melongo memandangi tamu itu dari kepala sampai ke kaki, agaknya sukar baginya untuk percaya, akan tetapi juga timbul semacam perasaan gelisah dan takut kalau-kalau pemuda ini benar-benar seorang pangeran dan dia telah bersikap kurang selayaknya!
Kalau benar pangeran, mengapa datang sendirian tanpa pengawal dan pakaiannya sudah agak kotor begitu? Mungkin dalam penyamaran, pikir hwesio itu dan karena dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, maka dia hanya memberi hormat dengan membungkuk lantas berkata dengan suara ragu-ragu.
"Baiklah, akan pinceng laporkan ke dalam... silakan duduk menanti di ruang tamu..."
Han Houw mengangguk, mengikuti hwesio itu pergi memasuki ruang tamu, lalu duduk di atas sebuah bangku menanti kembalinya hwesio tadi yang segera bergegas pergi untuk melaporkan kedatangan pemuda yang mengaku pangeran itu.
Han Houw memandangi tulisan-tulisan dengan huruf-huruf indah dan gagah, juga lukisan-lukisan yang menghias dinding ruang tamu itu. Di istana kaisar dia sudah melihat banyak lukisan dan tulisan indah, akan tetapi baru sekarang dia melihat lukisan dan tulisan serta suasana yang semuanya membayangkan kegagahan dan juga kedamaian seperti dalam ruangan tamu itu. Diam-diam dia kagum.
Tidak bohonglah suara di dunia kang-ouw yang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya ilmu silat, sastera dan agama. Sekarang makin besar keinginan hatinya untuk menundukkan ketua Siauw-lim-pai, karena sekali dia berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai, namanya tentu akan menjulang tinggi sekali!
Akan tetapi terlalu lama hwesio tadi pergi. Kesabaran Han Houw hampir habis. Dia tidak tahu betapa berita tentang kedatangannya itu menimbulkan kehebohan di sebelah dalam kuil, di antara para pimpinan Siauw-lim-pai.
Pada waktu itu, yang menjadi ketua dari Siauw-lim-pai adalah Thian Khi Hwesio, seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih. Akan tetapi kakek ini tidak terlampau mencampuri urusan dari kuil sebab dia sibuk mengembangkan agama Buddha dengan jalan merantau, mendatangi kuil-kuil cabang Siauw-lim-si di seluruh negeri, di samping untuk mengamati perkembangan agama juga untuk melihat sendiri agar tidak ada anak murid Siauw-lim-si yang menyelewengkan pelajaran. Untuk urusan di kuil, baik itu mengenai agama mau pun mengenai pelajaran sastera, silat serta hubungan dengan orang luar, diserahkan kepada tiga orang murid utamanya.
Yang pertama adalah Thian Sun Hwesio, yang bertubuh gemuk seperti patung Ji-lai-hud, dengan muka yang bulat lebar, sepasang mata yang lebih banyak menunduk setengah terpejam, gerak-gerik yang halus pendiam. Sesuai dengan sifatnya, Thian Sun Hwesio ini mewakili suhu-nya untuk mengepalai bagian keagamaan, selain menjadi ketua kuil juga dialah yang menjadi guru besar pelajaran agama.
Yang ke dua ialah Thian Bi Hwesio, berusia lima puluh tahun, beberapa tahun lebih muda dibandingkan Thian Sun Hwesio, dan hwesio ini bertubuh menyeramkan, tinggi besar dan berkulit hitam, nampak kokoh kuat seperti batu karang, dengan mata yang lebar menatap tajam, sikapnya kaku dan kata-katanya parau nyaring, wataknya jujur dan penuh disiplin. Hwesio inilah yang diserahi tugas mengajar ilmu silat kepada para murid.
Ada pun hwesio ke tiga ialah Thian Bun Hwesio, berusia lima puluh tahun pula, bertubuh tinggi kurus, sikapnya ramah sekali dan gerak-geriknya pun halus. Hwesio ini mengepalai bagian pelajaran sastera dan dia pula yang bertugas menerima tamu serta berhubungan dengan orang luar.
Sebagai murid-murid utama dari Thian Khi Hwesio, tentu saja ilmu kepandaian silat dari tiga orang hwesio ini sudah tinggi dan mereka itu memiliki keistimewaan masing-masing. Di samping tiga orang hwesio sebagai murid utama ini tentu saja masih terdapat belasan orang hwesio pandai yang setingkat lebih rendah dari pada mereka bertiga, namun bagi orang luar, tiap orang hwesio Siauw-lim-si, mulai dari tukang membersihkan lantai sampai tukang kebun, rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.
Pada saat hwesio yang tadi menerima Han Houw melapor ke dalam, para hwesio yang tadinya dalam keadaan tenang seperti biasanya itu, menjadi panik. Siapa orangnya tidak menjadi panik apa bila mendengar bahwa pangeran istana kerajaan menjadi tamu secara begitu tiba-tiba? Seorang pangeran adalah seorang yang amat tinggi kedudukannya, tidak boleh disamakan dengan pembesar-pembesar biasa setempat. Maka para hwesio itu lalu melapor kepada Thian Bun Hwesio.
Hwesio tinggi kurus ini juga terkejut dan karena Thian Sun Hwesio pada saat itu sedang bersemedhi dan tak boleh diganggu, maka Thian Bun Hwesio lalu mengajak suheng-nya, Thian Bi Hwesio yang tinggi besar untuk menemaninya menyambut tamu agung itu.
Han Houw sudah hampir hilang sabar dan dia merasa jengkel juga ketika akhirnya pintu sebelah dalam itu terbuka lalu muncul dua orang hwesio tua dari dalam. Dia tinggal duduk saja dengan sikap angkuh, matanya yang mencorong menatap kepada dua orang hwesio itu.
Thian Bun Hwesio dan Thian Bi Hwesio juga memandang dan diam-diam mereka terkejut melihat mata yang mencorong dari pemuda itu. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi tentu saja mereka mengerti apa artinya sepasang mata yang mengeluarkan cahaya mencorong itu dan mereka terheran-heran, juga menduga-duga. Mungkinkah ada seorang pangeran istana yang memiliki sinkang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan itu sampai nampak pada sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga? Ataukah hanya kebetulan saja?
Dua orang hwesio itu cepat memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, lalu dengan suara halus dan muka ramah Thian Bun Hwesio kemudian berkata, "Harap paduka sudi memaafkan pinceng sekalian karena tidak tahu akan kunjungan yang terhormat ini, maka pinceng terlambat menyambut dan tidak ada persiapan. Tentu saja pinceng sekalian amat terkejut dan heran mendengar kunjungan seorang pangeran yang mulia tanpa pengiring dan berita terlebih dahulu." Dalam kata-kata ini terkandung pertanyaan-pertanyaan karena keganjilan kunjungan itu.
Han Houw juga mengetahui akan keanehan kunjungannya sebagai seorang pangeran ini, akan tetapi dia tidak peduli dan dia langsung bertanya, "Siapakah di antara ji-wi locianpwe ini yang menjadi ketua Siauw-lim-pai? Aku hanya ingin bertemu dan bicara kepadanya."
Dua orang hwesio itu saling lirik. Pemuda ini menyebut mereka ‘locianpwe’, sebutan yang biasanya hanya dilakukan di kalangan persilatan sebagai tanda menghormat orang yang tingkat tinggi, orana-orang biasa tentu akan menyebut mereka ‘losuhu’ saja, sebutan bagi para pendeta. Hal ini tentu saja semakin membingungkan sehingga menimbulkan banyak dugaan. Apakah pangeran ini seorang ahli silat? Melihat kedua matanya yang mencorong dan mendengar sebutan itu, sangat boleh jadi.
Thian Bun Hwesio menjura dengan penuh hormat. "Harap paduka sudi memaafkan kami, pada saat ini, suhu kami tidak berada di sini."
"Bukankah ketua Siauw-lim-pai bernama Thian Khi Hwesio? Ke manakah beliau pergi?"
Tidak mengherankan kalau orang mengenal nama ketua Siauw-lim-pai atau guru mereka. Akan tetapi pemuda yang mengaku pangeran ini berkeras hendak menemui guru mereka, inilah yang mengherankan. Akan tetapi, benarkah pemuda ini seorang pangeran? Hal ini harus dibuktikannya lebih dulu.
"Suhu Thian Khi Hwesio sedang mengadakan perjalanan ke selatan, akan tetapi setahu kami, suhu tidak pernah berurusan dengan fihak istana kerajaan. Oleh karena itu, apa bila memang ada urusan dari istana, kiranya paduka dapat mengurus hal itu dengan pinceng sebagai murid dan sebagai wakilnya. Pinceng Thian Bun Hwesio dan ini suheng Thian Bi Hwesio adalah murid-murid beliau yang telah mendapat wewenang untuk mewakili beliau mengurus segala sesuatu atas nama Siauw-lim-pai. Tidak tahu ada hal penting apakah seorang pangeran kerajaan seperti paduka sampai datang mencari suhu?"
Ucapan yang panjang lebar itu jelas berbau kecurigaan namun dia tidak peduli. Dengan nada suara dingin dia berkata, "Aku Pangeran Ceng Han Houw adalah adik Kaisar Ceng Hwa. Ji-wi locianpwe mau percaya atau tidak terserah. Akan tetapi kedatanganku ini tidak membawa urusan kerajaan, melainkan urusan pribadi dengan ketua Siauw-lim-pai, Thian Khi Hwesio."
Lega rasa hati Thian Bun Hwesio mendengar ini. Tadinya dia khawatir kalau-kalau ada urusan dengan pemerintah dan ini tentu saja akan melibatkan Siauw-lim-pai dalam urusan yang amat tidak enak. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini datang untuk urusan pribadi dan melihat keadaan dan sikapnya, sangat boleh jadi kalau pangeran ini hendak minta belajar silat dari ketua Siauw-lim-pai!
Tentu itulah kehendaknya, karena memang tidak jarang ada putera-putera bangsawan, bahkan dari istana, yang datang untuk mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Sikapnya menjadi makin ramah karena kelapangan hatinya.
Pada saat itu pula, seorang hwesio yang memang tadi sudah dipesan, datang membawa cangkir-cangkir teh yang dihidangkannya ke atas meja. Thian Bun Hwesio dengan ramah mempersilakan tamunya minum. Kemudian dia berkata dengan wajah berseri,
"Bila mana paduka mempunyai urusan pribadi, dapat paduka sampaikan kepada pinceng. Andai kata suhu sedang ada di sini pun, tentu pelaksanaannya akan suhu berikan kepada pinceng. Ada keperluan apakah gerangan yang membuat paduka jauh-jauh datang ke kuil Siauw-lim-si kami?"
Mendengar ini, Han Houw yang telah minum teh yang dihidangkan itu, kini memandang kepada mereka berdua penuh perhatian, terutama Thian Bi Hwesio yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kereng dan pendiam itu. Kemudian dia mengajukan pertanyaan yang membuat kedua orang hwesio itu terkejut, "Apakah ji-wi locianpwe yang mewakili ketua Siauw-lim-pai merupakan murid-murid utama?"
Thian Bun Hwesio hanya mengangguk.
"Ahhh, kalau begitu tentu ji-wi memiliki ilmu silat yang paling tinggi di antara semua murid Siauw-lim-pai?"
Thian Bun Hwesio tersenyum. "Ahh, orang-orang yang lemah seperti kami ini mana berani mengatakan memiliki kepandaian tinggi? Siauw-lim-pai amat luas dan mempunyai ribuan orang murid yang tersebar di seluruh negeri, maka sulit untuk mengukur siapa yang lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan suhu sendiri tentu tidak berani menganggap diri terpandai di antara para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi kalau hanya di kuil ini, tentu saja suhu yang paling pandai dan pinceng sekalian adalah murid-murid utamanya."
"Bagus sekali! Jika begitu ji-wi locianpwe merupakan orang yang terpandai di sini setelah ketua Siauw-lim-pai!" Han Houw berkata girang.
Kenyataan ini menggirangkan hatinya yang tadi kecewa mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai sedang pergi. Setidaknya kalau dia sudah mampu menghadapi murid-murid utama Siauw-lim-pai, sudah cukuplah sebagai langkah-langkah pertama menuju kepada sebutan Jagoan Nomor Satu di dunia!
Thian Bi Hwesio juga menyangka bahwa pangeran ini tentu ingin belajar silat, maka kini dialah yang bicara dengan suaranya yang nyaring, parau dan jujur, "Pangeran, ketahuilah bahwa pinceng yang mewakili suhu di sini untuk memimpin para murid belajar ilmu silat. Kalau paduka berniat hendak belajar..."
Wajah Han Houw berseri dan mulutnya tersenyum, lalu dia bangkit berdiri. "Bagus sekali, Thian Bi Hwesio! Tadinya aku berniat belajar dari Thian Khi Hwesio ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi karena beliau sedang berada di luar, maka biarlah aku mempelajari beberapa jurus pukulan dari Ji-wi locianpwe. Marilah, locianpwe!"
Menyaksikan kegembiraan pemuda itu, dua prang hwesio itu tersenyum lebar. Pemuda ini begitu penuh semangat untuk belajar! Dan seketika itu juga minta diajari, seolah-olah ilmu silat itu adalah ilmu yang begitu didapat lalu seketika bisa! Akan tetapi karena mereka pun menduga bahwa tentu pemuda bangsawan ini sedikit banyak sudah mengenal ilmu silat, maka Thian Bi Hwesio lalu berkata.
"Baik, marilah kita ke lian-bu-thia, pangeran."
Pada waktu mereka memasuki ruangan belajar silat yang luas itu, di situ terdapat belasan orang hwesio serta murid Siauw-lim-pai yang muda-muda sedang berlatih silat. Ada yang sedang berlatih sendirian, berdua, ada pula yang sedang melatih otot-otot mereka dengan mengangkat benda-benda berat dan sebagainya. Tubuh atas mereka yang tidak berbaju itu mengkilap oleh keringat.
Melihat datangnya kedua orang guru mereka bersama seorang pemuda tampan, mereka semua segera memberi hormat dan berdiri di pinggir, menghentikan latihan mereka. Dari hwesio penyambut tamu tadi sudah tersiar berita tentang datangnya tamu agung, seorang pangeran, maka kini semua mata ditujukan kepada Han Houw dengan penuh perhatian karena mereka semua dapat menduga bahwa agaknya pemuda inilah yang disebut oleh hwesio penerima tamu tadi.
Melihat lian-bu-thia yang lengkap dengan semua alat-alat berlatih silat berikut rak senjata di mana terdapat semua bentuk senjata-senjata kaum persilatan dan dinding-dinding yang dihias gambar-gambar tubuh manusia dengan keterangan tentang letak otot-otot, tulang-tulang dan syaraf, Han Houw pun memandang dengan kagum. Memang luas dan lengkap sekali lian-bu-thia ini, patut menjadi tempat berlatih silat perkumpulan yang begitu besar dan ternama.
Dengan tangannya, Thian Bi Hwesio memberi isyarat kepada para murid untuk duduk di pinggir, maka mereka semua lalu duduk bersila di dekat dinding dengan rapi, siap untuk melihat seperti sikap mereka bila hendak diberi kuliah tentang ilmu silat oleh guru mereka. Juga Thian Bun Hwesio memandang sambil tersenyum. Hwesio ini duduk di atas sebuah bangku pada sudut ruangan, ingin melihat bagaimana suheng-nya akan memberi petunjuk kepada pangeran yang aneh ini.
Mereka saling berdiri berhadapan, Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Bi Hwesio, murid ke dua dari Thian Khi Hwesio. Pangeran yang bertubuh cukup jangkung tegap itu tampak kecil berhadapan dengan hwesio berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu.
"Pangeran, pernahkah paduka belajar ilmu silat?" tanyanya dengan suara nyaring akan tetapi sikapnya hormat. Pangeran itu mengangguk.
"Untuk dapat memberi petunjuk kepada paduka dalam ilmu silat, maka lebih dulu pinceng harus melihat sampai di mana tingkat yang paduka miliki, apakah kedudukan kaki pada pelajaran yang lalu sudah benar. Karena ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah murni dan tidak boleh dikacaukan oleh dasar-dasar dari ilmu silat lain, barulah ilmu itu bisa dilatih dengan sebaiknya. Oleh karena itu, pinceng harap paduka suka memperlihatkan gerak ilmu silat yang sudah pernah paduka pelajari."
Han Houw tersenyum, "Locianpwe, sangat tidak enaklah kalau bersilat sendirian saja dan menjadi tontonan, karena ilmu silatku sangat buruk, sebaiknya kalau locianpwe memberi pelajaran satu dua jurus kepadaku." Itulah merupakan tantangan, biar pun nadanya minta diberi pelajaran.
Thian Bi Hwesio masih tersenyum. "Kalau begitu, maka biarlah seorang murid pinceng yang terbaik menemani paduka, dari gerakan paduka pun pinceng bisa menilai tingkat..."
"Jangan, locianpwe. Tadinya aku hendak minta pelajaran langsung dari Thian Khi Hwesio, untuk minta beliau menguji kepandaianku, akan tetapi karena beliau sedang tidak ada di sini, harap locianpwe saja yang menguji. Aku datang bukan untuk belajar ilmu silat Siauw-lim-pai, melainkan untuk minta ketua Siauw-lim-pai menguji ilmu silatku, locianpwe."
Kini barulah Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio, juga para murid Siauw-lim-pai yang berada di situ, terkejut bukan main. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini bukan ingin belajar silat dari Siauw-lim-pai, melainkan hendak minta Siauw-lim-pai menguji kepandaiannya, atau dengan lain kata, pemuda itu ingin menguji kepandaian ketua Siauw-lim-pai!
"Ahhh, harap paduka tidak main-main, pangeran. Paduka adalah seorang pangeran yang harus kami hormati, sedangkan ilmu silat adalah ilmu pukulan yang tidak bermata, karena itu kalau sampai kesalahan tangan melukai paduka, tentu akan menimbulkan penyesalan hebat!"
Han Houw tertawa sambil bertolak pinggang. "Ha-ha-ha, locianpwe, jangan menganggap aku sebagai seorang anak kecil yang takut terluka. Lagi pula, apakah locianpwe mengira bahwa aku akan dapat mudah kau kalahkan begitu saja? Kalau aku menganggap bahwa kepandaianku belum cukup, apakah aku berani datang ke Siauw-lim-pai?"
Ucapan yang mulai takabur ini mengejutkan semua orang hingga kedua alis dari Thian Bi Hwesio berkerut. Dia telah salah menduga. Pemuda yang mengaku pangeran ini kiranya seorang pemuda yang tinggi hati dan yang agaknya terlampau mengandalkan kepandaian sendiri sehingga berani berlagak demikian sombongnya. Hendak mengajak mengadu ilmu kepandaian dengan dia! Bahkan dengan suhu-nya! Gila benar!
"Pangeran," katanya dengan nada suara serius dan matanya yang lebar itu memandang tajam, "hendaknya pangeran tidak mencari perkara dan pinceng minta agar paduka suka menghentikan main-main ini. Kami fihak Siauw-lim-si tidak bersedia melayani permintaan paduka untuk main-main dengan ilmu silat. Ilmu silat Siauw-lim-pai bukan dimaksudkan sebagai alat untuk memukul orang atau menyombongkan diri!"
Han Houw memandang hwesio itu sambil tersenyum mengejek. "Apakah dengan lain kata locianpwe ingin menyatakan bahwa locianpwe tidak berani menerima tantanganku untuk saling menguji kepandaian atau pibu?"
Tantangan itu sudah terang-terangan sekarang! Seorang hwesio muda, tak lebih dari tiga puluh tahun usianya, yang bertelanjang baju, telah meloncat ke depan. Dia ini merupakan murid pertama dari Thian Bi Hwesio dan wataknya keras jujur seperti gurunya. Matanya lebar bundar.
"Suhu, biarlah teecu mewakili suhu untuk bermain-main sebentar dengan pangeran! Bila sampai kesalahan tangan, biarlah teecu yang menderita hukuman, bukan suhu!"
Murid ini agaknya maklum mengapa gurunya segan menyambut tantangan pemuda itu. Apa bila gurunya menerima berarti membahayakan Siauw-lim-pai, karena kalau suhu-nya sampai melukai pangeran itu, bukankah fihak kerajaan akan marah dan sakit hati? Maka, gurunya meragu. Akan tetapi dia sendiri tidak dapat menahan lebih lama lagi mendengar gurunya disebut takut menghadapi pangeran muda yang sombong itu.
"Baiklah, kau berhati-hatilah, jangan sampai kesalahan pukul," Thian Bi Hwesio berkata sambil mengangguk, lalu melangkah pergi menuju ke bangku di samping sute-nya. Di situ mereka berdua berbisik-bisik dengan alis berkerut, merasa amat khawatir melihat seorang pangeran agaknya sengaja hendak mendatangkan keributan.
Hwesio bermata lebar itu kini menghadapi Han Houw sambil tersenyum menyeringai dan berkata, "Pangeran, hambalah yang akan mewakili suhu Thian Bi Hwesio untuk menerima tantangan pibu paduka. Nah, paduka mulailah!" Sambil berkata demikian, hwesio ini telah memasang kuda-kuda dengan gagahnya.
Kedua kakinya terpentang lebar, dengan kedua lutut ditekuk membentuk segi yang lurus, dengan tubuh tegak serta mata tajam memandang kepada musuh, kedua tangan ditekuk dengan jari-jari terbuka membentuk cakar di bawah dan atas pusar. Kuda-kuda ini gagah sekali karena memang hwesio itu sudah membuka gerakan dengan kuda-kuda ilmu silat harimau. Akan tetapi Han Houw yang merasa kecewa dan juga diam-diam marah karena Thian Bi Hwesio memandang rendah kepadanya itu, hanya tersenyum.
"Hwesio, percuma saja kalau engkau yang maju. Dalam beberapa jurus saja engkau akan roboh!" Dia lalu menghampiri hwwsio itu dan dengan sembarangan tangannya bergerak menampar sambil berkata, "Nah, kau terimalah ini!"
Semua orang menahan napas menyaksikan kelancangan ini. Gerakan pemuda tampan itu sama sekali bukan gerakan silat, melainkan cara menyerang yang sangat lemah dan bodoh. Dengan kepandaian macam itu pemuda bangsawan ini berani menantang Thian Bi Hwesio, bahkan tadinya mencari Thian Khi Hwesio!
Hwesio itu tentu saja bergerak cepat. Dia masih ingat bahwa pemuda ini adalah seorang pangeran, karena itu dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai agar Siauw-lim-pai tidak sampai mendapat kesukaran, maka melihat tamparan itu, dia lantas mengelak cepat dan tiba-tiba tangan kirinya meluncur dari bawah, bukan lagi berupa gerakan cakar harimau karena dia sudah merubahnya menjadi totokan dengan dua jari ke arah jalan darah pada bawah lengan tangan Han Houw yang sedang menampar. Dia ingin dalam segebrakan saja menotok lumpuh pangeran itu, dengan demikian mengalahkannya tanpa melukai.
"Tukkk!"
Totokan itu tepat mengenai jalan darah di dekat ketiak Han Houw, akan tetapi hwesio itu terkejut bukan main ketika kedua jarinya bertemu dengan kulit yang kerasnya seperti baja dan kini tahu-tahu tangan Han Houw sudah menampar lagi ke arah lehernya. Hwesio itu cepat menggunakan kedua lengannya untuk menangkis dari kanan dan kiri, dengan jalan menggunting!
Akan tetapi dengan sikap tidak peduli, Han Houw melanjutkan tamparannya dan kedua lengan lawan itu dengan keras menggunting lengannya dari kanan kiri. Anehnya, kedua lengan hwesio itu terpental dan tangan Han Houw masih terus saja meluncur ke depan karena tangkisan itu sama sekali tidak mempengaruhinya.
"Plakkk!"
Tengkuk hwesio itu kena ditampar perlahan saja, dan hwesio itu mengeluh kemudian kaki Han Houw bergerak menendang hingga tubuh hwesio yang sudah lemas itu terlempar ke arah Thian Bi Hwesio!
Hwesio tinggi besar ini segera berdiri kemudian menerima tubuh muridnya. Dia langsung memeriksanya dan kagetlah dia melihat betapa muridnya itu telah pingsan tertepuk jalan darahnya secara lihai sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu ternyata seorang yang lihai dan hanya berpura-pura saja tolol.
Dia pun tahu bahwa muridnya, yang sebenarnya terhitung pandai, dikalahkan dalam dua gebrakan saja bukan oleh ilmu silat, melainkan oleh tenaga dalam yang berselisih jauh. Jelas bahwa melihat kehebatan tenaga sinkang pemuda itu, muridnya sama sekali bukan tandingannya dan tahulah dia bahwa pemuda ini merupakan lawan tangguh.
"Sute, waspadalah...," bisiknya kepada Thian Bun Hwesio dan dia sendiri dengan sekali lompat sudah tiba di depan Han Houw.
"Ahh, kiranya paduka adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat!" Thian Bi Hwesio berkata. "Maafkan pinceng yang tidak mengetahuinya. Tidak tahu dari perguruan manakah paduka dan apa sebabnya paduka mengajak adu kepandaian dengan kami orang-orang Siauw-lim-pai yang tidak pernah menggunakan kepandaian untuk menghina fihak lain?"
"Hemmm, Thian Bi Hwesio! Aku tidak terikat dengan partai mana pun dan aku pun tidak memiliki permusuhan dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi karena mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan gudang ahli-ahli silat, maka aku ingin sekali membuktikan. Alangkah akan kecewa hatiku kalau melihat bahwa ahli silat Siauw-lim-pai hanya seperti si lancang tadi! Karena itu aku ingin sekali mengadu ilmu dengan Thian Khi Hwesio atau setidaknya dengan orang terpandai di sini. Aku ingin melihat siapa di antara kita yang boleh disebut orang terpandai di dunia persilatan! Bila locianpwe yang mewakili Thian Khi Hwesio tidak berani menghadapiku, aku pun tak akan memaksa, akan tetapi kalau tidak berani, Siauw-lim-pai harus menyatakan secara tertulis dan mengakui saya sebagai jagoan nomor satu di dunia!"
Dua orang hwesio tua itu sampai terbelalak mendengar ucapan yang bernada tinggi hati dan sombong luar biasa itu! Mana ada ahli silat di dunia ini yang berani mengaku sebagai jagoan nomor satu di dunia? Akibatnya akan sangat hebat dan tentu seluruh kang-ouw akan bangkit menentangnya!
Dalam dunia persilatan berlaku istilah bahwa setinggi-tingginya puncak Gunung Thai-san, masih ada langit yang lebih tinggi lagi! Semenjak dahulu, belum pernah ada atau jarang sekali ada orang yang demikian sombongnya hendak mengangkat dirinya sendiri menjadi jagoan nomor satu di dunia, apa lagi oleh seorang pemuda seperti ini!
Thian Bi Hwesio adalah seorang hwesio yang jujur dan kasar, maka mendengar ucapan bernada sombong itu wajahnya menjadi semakin hitam. Dengan mata melotot dia lantas berkata, "Pangeran, tidak mungkin bagi kami untuk membuat pernyataan apa pun, dan memang Siauw-lim-pai tidak pernah takut menghadapi apa pun dan siapa pun. Kami telah menolak ajakan pibu dari pangeran hanya untuk mencegah terjadinya hal-hal tidak baik menimpa paduka akan tetapi kalau paduka memaksa, kami sebagai wakil suhu tentu saja tidak akan takut."
"Bagus, itu baru suara seorang gagah! Nah, Thian Bi Hwesio, marilah kita bermain-main beberapa jurus agar dapat menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai!" Han Houw berkata girang dan dia sudah memasang kuda-kuda. Melihat kepandaian murid hwesio ini tadi, dia agak memandang rendah dan mengambil keputusan akan menggunakan ilmunya yang pernah dipelajarinya dari subo-nya melalui suci-nya.
Melihat bentuk kuda-kuda pemuda itu, Thian Bi Hwesio semakin berhati-hati. Kuda-kuda itu aneh, dengan kaki kiri diluruskan ke depan dan kaki kanan ditekuk hampir berjongkok, dan kedua lengan bersilang di depan muka, yang satu terkepal yang satu lagi terbuka.
"Silakan, pangeran!" katanya sambil memasang kuda-kuda.
Hwesio yang tidak berani memandang rendah ini sudah bergerak sambil memainkan Ilmu Silat Lo-han-kun. Dia tidak mau mempergunakan ilmu yang kasar, melainkan ilmu yang halus seperti Lo-han-kun akan tetapi mengerahkan tenaganya sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan mengerikan pada saat dia mengerahkan kedua lengan yang besar berotot itu.
Han Houw girang sekali. Dia tahu bahwa hwesio ini cukup tangguh, tetapi makin tangguh lawan, makin gembiralah dia karena lawan itu ada harganya untuk dikalahkan. Karena dia sebagai tamu dan fihak tuan rumah sudah mempersilakan, tanpa sungkan lagi Han Houw segera menggeser kakinya dengan ilmu langkah ajaib Pat-kwa-po, kemudian tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah perut lawan dari bawah!
"Hiaaattt...!"
"Wuuuuttt...!”
“Hahhhh…!" Hwesio itu berseru dan menggunakan lengan menangkis ke bawah dengan pengerahan tenaga karena dia hendak membuat pemuda itu kesakitan dengan mengadu lengan.
Akan tetapi, biar pun dia tidak gentar untuk mengadu tenaga, Han Houw cepat menarik tangannya dan tubuhnya sudah berputar dengan langkah-langkah ajaib itu, sekarang dia bangkit berdiri dan tangan kirinya menampar.
"Wuuuuutttt...!"
"Ehhh...!" Thian Bi Hwesio terkejut bukan main melihat tamparan ini.
Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak pengalaman, dia mengenal tamparan yang mengandung hawa beracun. Dan memang Han Houw sudah mengerahkan tenaga dan menampar dengan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang ampuh, ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li.
Hwesio tinggi besar itu mengebutkan ujung lengan bajunya dan menyambut tamparan ini dengan totokan ujung lengan baju ke arah pergelangan tangan Han Houw. Pangeran ini pun cepat-cepat menarik tangannya dan menyerang lagi dengan tonjokan ke arah dada, dibarengi tamparan ke dua ke arah pelipis lawan. Gerakannya cepat bukan kepalang dan langkah-langkah kakinya sangat indah, juga sangat cepat dan tidak terduga sebelumnya.
Akan tetapi Thian Bi Hwesio dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu dengan jalan mengebutkan ujung lengan baju, bahkan segera balas menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman kuat yang memaksa Han Houw untuk melangkah mundur dan memutar.
Kini baru tahulah semua murid Siauw-lim-pai bahwa pemuda yang mengaku diri sebagai pangeran itu benar-benar lihai bukan main! Dan jelas bahwa Ilmu Silat Lo-han-kun yang dimainkan dengan sedemikian baiknya oleh Thian Bi Hwesio itu sama sekali tidak dapat mendesaknya! Pemuda itu mempergunakan langkah-langkah ajaib, langkah-langkah yang membentuk segi delapan dan yang selalu dapat membawa dirinya terhindar dari desakan Ilmu Silat Lo-han-kun, dan pemuda itu pun mampu membalas dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan serta totokan-totokan yang tak kalah hebatnya sehingga untuk dapat menyelamatkan diri dari semua itu, agaknya Thian Bi Hwesio harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya!
Seratus jurus sudah lewat dan diam-diam Han Houw kagum sekali. Hwesio ini di samping mempunyai tenaga yang sangat kuat, juga ilmu silatnya demikian bersih dan sempurna, demikian kokoh kuat sehingga dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun untuk dapat memasukkan serangannya! Biar pun dia sendiri selalu dapat menghindarkan diri, namun sebaliknya dia pun tidak mampu mendesak lawannya!
Jelaslah baginya bahwa selama dia hanya mengandalkan ilmu-ilmunya yang dia pelajari dari subo-nya saja, dia tidak akan mampu mengalahkan tokoh Siauw-lim-pai yang sangat tangguh ini. Maka mulailah dia merubah gerakannya dan kini dia mulai mainkan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan sinkang yang dipelajarinya dalam goa menurut kitab Bu Beng Hud-couw itu. Dan akibatnya hebat!
Beberapa kali Thian Bi Hwesio berteriak kaget pada saat pemuda itu mulai melancarkan pukulan aneh yang mendatangkan angin berpusing! Dia berusaha untuk mengelak atau menangkis, mengerahkan tenaganya, akan tetapi pukulan ke tiga yang datangnya sangat lambat, bahkan terlampau lambat itu, mendatangkan suara bercicitan seperti seekor tikus terjepit dan hwesio itu berseru kaget karena tangannya yang menangkis terasa perih dan bajunya robek.
Dia cepat melangkah mundur dan melihat betapa lengannya telah terluka seperti disayat pedang tajam! Sementara itu, kini Han Houw sudah mendesak lagi dengan kedua tangan didorongkan dari bawah. Kembali terdengar suara bercuitan dan ketika Thian Bi Hwesio mengerahkan tenaga menangkis, dan juga mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan, kembali hwesio ini mengeluh dan tubuhnya terjengkang, terbanting roboh dan dia berguling lantas meloncat bangun di dekat sute-nya, berdiri dengan tubuh bergoyang dan muka pucat, napasnya sesak dan dia memejamkan mata, lalu duduk bersila karena hwesio ini telah terluka di bagian dalam tubuhnya.....