Pendekar Lembah Naga Jilid 31

Melihat lagak ini, kembali suasana di bawah panggung menjadi riuh rendah karena lagak Sin Liong benar-benar lucu dan menarik hati. Juga dalam hati mereka timbul rasa kagum bukan main. Jelas bahwa pemuda ini agaknya sama sekali tidak becus (mampu) bersilat, akan tetapi sudah berani melawan seorang tokoh besar seperti Kiu-bwee-thouw. Bukan hanya berani melawan, bahkan memperolok-oloknya sehebat itu.

Kembali Kiu-bwee-houw menggereng lantas menyerang. Kepalan tangan kanannya yang sebesar kepala Sin Liong itu menyambar deras, meluncur ke depan bagai peluru meriam, mengarah ke kepala Sin Liong. Bagi pandangan Sin Liong yang kelihatan hanya bulatan besar mengerikan itu meluncur ke arah kedua matanya. Namun dia tidak menjadi gugup dan bergerak lincah sekali, gerakannya tidak lagi gerakan kuda-kuda ilmu silat melainkan gerakan monyet mengelak, dan pukulan itu pun hanya mengenal angin saja.

"Aihh... macan ompong main tubruk dan cakar, tidak ada gunanya! Gigimu sudah ompong semua, cakar kukumu telah puntul!" Sin Liong mengejek dan raksasa itu semakin marah.

Diserangnya Sin Liong secara bertubi-tubi, namun semua gerakan serangan itu sia-sia belaka karena ‘manusia monyet’ itu dengan amat mudahnya berloncatan ke sana-sini, mengelak ke sana-sini. Sorak-sorai penonton menyambut pertandingan itu, pertandingan yang amat menarik di mana kakek raksasa itu sama sekali tak pernah dapat menangkap atau memukul anak kecil yang kini bergerak-gerak persis monyet, mengeluarkan suara seperti monyet tulen pula.

Dapat dimengerti bahwa andai kata Sin Liong belum mempunyai demikian banyak ilmu, pertama-tama ilmu-ilmu silat tinggi yang diturunkan atau diwariskan oleh Cia Keng Hong kepadanya, kemudian gemblengan-gemblengan yang diberikan oleh kakek Ouwyang Bu Sek, dan kalau dia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya meniru monyet, sudah pasti dalam satu dua jurus saja dia akan celaka! Adalah karena pemuda ini telah mewarisi ilmu silat tinggi, maka dia dapat mempermainkan lawannya yang dalam tingkat ilmu silat masih jauh sekali di bawah tingkat anak yang luar biasa ini.

Tingkah yang lucu dan gerakan yang amat luar biasa gesitnya dari Sin Liong membuat pertandingan itu nampak ramai dan juga lucu. Ada kalanya ujung jari-jari tangan kakek itu hampir saja menyentuh tubuh Sin Liong, tapi pemuda itu sudah dapat menghindarkannya dengan cepat dan dengan gerakan aneh.

Tak terasa lagi lima puluh jurus telah lewat dan meski pun Sin Liong belum pernah balas menyerang, hanya pertama kali tadi dia menggigit robek celana lawan, akan tetapi kakek raksasa itu pun belum pernah mampu menyentuh ujung baju pemuda yang perkasa yang lihai ini.

Tiba-tiba ada angin menyambar ke depan. Angin ini kuat sekali dan memaksa Sin Liong yang mengenal pukulan ampuh cepat berjungkir balik, membuat poksai (salto) di udara sampai lima kali lalu turun dan memandang. Kiranya di tepi panggung sudah berdiri Kim Lok Cinjin, kakek muka putih yang matanya kini makin beringas nampaknya.

"Bocah kurang ajar, engkau sudah menipu kami! Engkau pasti bukan orang Cin-ling-pai, melainkan dari golongan lain. Melihat gerakan-gerakanmu yang liar, engkau sama sekali bukan murid Cin-ling-pai. Mengapa engkau berani membela Cin-ling-pai?" bentak Kim Lok Cinjin, sedangkan Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi nampak menghapus peluh dari muka dan lehernya, menggunakan ujung bajunya. Dia merasa lelah sekali.

"Sudah kukatakan tadi bahwa aku pernah mempelajari ilmu yang tidak ada bandingnya di dunia ini, ilmu dari Cin-ling-pai, akan tetapi aku bukan tokoh bukan pula murid. Aku hanya membela tokoh muda Cin-ling-pai tadi... ehh, mana dia?"

Sin Liong mencari-cari dengan pandang mata namun ternyata tempat duduk Kwee Siang Lee telah kosong! Kemudian ada seorang tamu menerangkan bahwa tidak lama setelah pertarungan di atas panggung dimulai, pemuda tampan dari Cin-ling-pai itu segera pergi secara diam-diam.

Sin Liong menarik napas panjang, napas yang melegakan dadanya. Dia memang sangat mengkhawatirkan keselamatan pemuda lancang itu dan sesudah kini pemuda itu pergi, hatinya gembira dan enak. Dia tersenyum kepada Kim Lok Cinjin, lalu berkata,

"Aku memang tidak menggunakan jurus-jurus agung dan ampuh dari Cin-ling-pai tadi, dan sekarang, melihat betapa saudara Kwee Siang Lee tokoh Cin-ling-pai sudah pergi tanpa pamit, agaknya enggan turun tangan menghadapi lawan-lawan yang terlalu rendah tingkat kepandaiannya, maka aku pun tidak lagi membelanya, dan karena di sini Cin-ling-pai tidak mempunyai wakil, maka aku pun tidak lagi membela Cin-ling-pai atau membela siapa pun juga. Dan hendaknya kalian ketahui bahwa kalau aku tadi tidak mau menggunakan jurus Cin-ling-pai adalah karena sekali aku mengeluarkan jurus dari Cin-ling-pai, maka dalam satu jurus saja macan ompong itu tentu roboh."

Terdengar seruan kaget dari semua penonton. Bahkan para tokoh besar yang duduk di panggung kehormatan mengerutkan kening. Anak ini boleh jadi lihai dan menyembunyikan kepandaian hebat, akan tetapi terlampau sembrono dan terlalu sombonglah kalau berani mengatakan bahwa dengan satu jurus dari Cin-ling-pai, orang semacam Kiu-bwee-houw akan dapat dirobohkan!

"Bocah bermulut besar! Kalau benar dengan satu jurus dari Cin-ling-pai engkau mampu merobohkan murud pertamaku, Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi itu, biarlah pinto memberi hormat kepadamu!" teriak Kim Lok Cinjin marah dan kakek ini lalu mundur dan duduk kembali ke atas kursi kehormatan.

"Hemm, kakek lucu, beranikah engkau menyambut satu jurus seranganku menggunakan ilmu Cin-ling-pai?" Tiba-tiba Sin Liong menantang kepada Kiu-bwee-houw.

Tentu saja semua orang tertawa lagi, akan tetapi suara ketawa mereka terkendalikan oleh perasaan sangsi dan khawatir karena siapa pun orangnya tak akan percaya bahwa bocah yang kelihatan tidak pandai limu silat, yang agaknya hanya memiliki kecepatan gerakan seperti monyet, dan tidak mempunyai tenaga besar, buktinya tadi tidak pernah menyerang dan tidak pernah menangkis, akan dapat merobohkan kakek raksasa itu dalam satu jurus saja! Jurus apa gerangan yang demikian hebat?

"Anak iblis! Tadi suhu telah berjanji kalau aku roboh dalam satu jurus olehmu, beliau akan memberi hormat kepadamu. Akan tetapi bagaimana kalau ternyata engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus?" Kiu-bwee-houw bertanya.

"Kalau tidak bisa pun tidak mengapa, dan aku yang akan memberi hormat kepada gurumu dan kepadamu. Boleh saja, kan?"

"Seenak perutmu sendiri! Kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus, engkau harus menjilati sepatu guruku sampai bersih, kemudian melanjutkan pertempuran ini sampai seorang di antara kita roboh."

Hebat bukan main syarat itu, penghinaan yang sangat besar. Namun dengan sikap enak saja Sin Liong mengangguk.

"Boleh, itu sudah adil sekali! Sekarang aku ingin engkau memilih, satu jurus dari ilmu yang manakah dari Cin-ling-pai yang harus kugunakan untuk merobohkan engkau? Ilmu-ilmu Cin-ling-pai amat banyak, ampuh dan luar biasa. Pilih saja yang mana. Apa mau San-in Kun-hoat, Siang-bhok Kiam-sut yang bisa dimainkan dengan pedang atau tangan, atau Thai-kek Sin-kun? Masih ada lagi ilmu-ilmu simpanan dari pendekar sakti Cia Keng Hong, di antaranya Sin-kun Hok-houw (Pukulan Sakti Menaklukkan Harimau), masih ada pula yang disebut Ta-houw-ciang (Tangan Pemukul Harimau) dan masih banyak lagi pukulan-pukulan yang sengaja diciptakan untuk mengalahkan segala macam harimau, termasuk harimau tua yang ompong."

Jelaslah bahwa ilmu-ilmu yang terakhir itu adalah isapan jempol saja dari Sin Liong, yang sengaja menggunakan nama harimau untuk mengejek lawannya. Akan tetapi, disebutnya banyak ilmu itu, membuat Kiu-bwee-houw diam-diam merasa kaget. Jangan-jangan anak ini memang benar ahli silat kelas satu! Dia merasa jerih juga mendengar nama ilmu-ilmu yang mengancam harimau itu. Maka dia memilih nama ilmu yang kedengarannya tidak begitu seram, yaitu Ilmu Silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung).

"Aku pernah mendengar bahwa di antara semua ilmu silat dari Cin-ling-pai, yang paling hebat adalah ilmu Thi-khi I-beng dan San-in Kun-hoat. Nah, kau pergunakan dua ilmu itu untuk merobohkan aku dalam satu jurus!" Kakek ini tersenyum lebar mengejek.

Dia sudah mendengar bahwa di dunia ini, hanya dua orang yang menguasai ilmu Thi-khi I-beng (Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), yaitu mendiang Cia Keng Hong dan Yap Kun Liong. Bahkan kabarnya, putera dari pendekar Cia Keng Hong itu sendiri tidak diberi pelajaran Thi-khi I-beng, apa lagi bocah ingusan ini! Kakek ini merasa dirinya cerdik menyebut nama ilmu itu, dan dia pun tidak gentar menghadapi Ilmu San-in Kun-hoat, ilmu yang namanya saja lemah lembut itu, apa lagi kalau hanya dipergunakan satu jurus saja.

Akan tetapi Sin Liong menjadi girang sekali. Ilmu San-in Kun-hoat adalah ilmu yang amat halus dan hebat, apa lagi sesudah dia digembleng oleh Ouwyang Bu Sek, ilmu silat ini telah dilatihnya secara luar biasa. Dan tentang Thi-khi I-beng, kecuali kakeknya tidak ada orang lain tahu bahwa dia sudah menguasai sepenuhnya ilmu itu, bahkan tidak kalah kuat dibandingkan dengan kakeknya sendiri!

"Bagus, kau bersiaplah. Dalam satu jurus aku akan membanting tubuhmu yang gemuk itu ke atas papan panggung!" bentaknya.

Kakek raksasa itu menyeringai, lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya pada kaki dan tangannya, siap untuk menangkis atau mengelak dari jurus serangan yang akan dipergunakan oleh Sin Liong. Dia merasa yakin bahwa dia mampu mengelak, dan kalau gerakannya kurang cepat, dia boleh mengandalkan dua tangannya untuk menangkis dan pengerahan tenaga sekuatnya itu tentu akan membuat bocah ini terpental. Demikianlah pikirannya dan dia merasa yakin sekali akan kemenangannya.

"Cu-wi yang terhormat, harap suka menjadi saksi. Aku akan mempergunakan satu jurus saja dari ilmu silat sakti San-in Kun-hoat, yaitu jurus yang disebut Pek-in Tui-san (Awan Putih Mendorong Gunung). Dengan tangan kiri aku akan menyerang ke arah kepalanya, kemudian disusul dengan cengkeraman tangan kananku untuk mengangkat tubuhnya dan membantingnya ke atas lantai, aku menjadi awan putih dan dia menjadi gunungnya. Nah, harap suka melihat baik-baik!"

Tentu saja ucapan ini mengandung kesombongan besar sekali. Semua orang terkejut sekali. Bagaimana bocah ini berani bersikap sedemikian sombong dan sembrono? Belum diberitahukan saja tentang jurus itu, agaknya tidak mungkin dia akan berhasil merobohkan Kiu-bwee-houw, apa lagi setelah jurus itu dia perkenalkan, tentu mudah bagi lawan untuk menghadapinya. Benar-benar seorang bocah tolol yang besar mulut.

Kiu-bwee-houw juga merasa geli. "Ha-ha-ha-ha! Keluarkanlah jurus kentut busukmu!" Dia mengejek.

"Sambutlah gerakan pertama jurus mautku!"

Sin Liong mengerahkan tenaga sinkang, tangan kirinya sudah melayang ke arah kepala atau kedua mata lawan. Karena pukulannya ini dilakukan dengan pengerahan sinkang yang amat kuat, pula dilakukan cepat sekali, maka terkejutlah Kiu-bwee-houw dan dia tidak berani main-main lagi.

Cepat dia menggerakkan tangan kanan dari sebelah luar dan ditangkapnya pergelangan tangan Sin Liong dengan kelima jari tangannya yang panjang dan kuat. Sekali tangkap, lengan anak itu sama sekali tidak mampu bergerak lagi dan Kiu-bwee-houw sudah mulai tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha... huahhhh...!" Suara ketawa berubah menjadi kekagetan setengah mati ketika dia merasa, betapa hawa sinkang yang dipergunakan tangan kanannya untuk menangkap pergelangan tangan kiri pemuda remaja itu kini melekat pada pergelangan tangan itu dan hawa sinkang-nya membanjir keluar, disedot oleh pergelangan tangan lawan!

"Thi... Thi-khi I-beng...!" Keluhnya tergagap, namun sudah terlanjur.

Makin dia mengerahkan sinkang untuk melepaskan tangannya, makin hebat pula tenaga sinkang-nya membanjir keluar. Sedemikian cepat dan kuatnya hawa murni itu keluar dari tubuhnya disedot oleh lawan hingga sebentar saja mukanya menjadi pucat dan tubuhnya terasa lemas kehilangan tenaga.

"Kini gerakan ke dua dari jurus mautku!" teriak pula Sin Liong dan dengan tangan kanan dia mencengkeram ke arah ikat pinggang lawan, lalu diangkatnya tubuh raksasa itu dan sambil melepaskan daya sedot Thi-khi I-beng, lalu dibantingnya tubuh itu ke atas papan panggung.

"Brukkk!"

Papan panggung lantas jebol dan tubuh kakek raksasa itu amblas ke dalamnya sampai sepinggang! Tentu saja kejadian ini sama sekali tidak pernah diduga oleh semua orang sehingga bantingan itu disusul oleh keheningan yang menegangkan.

Semua orang seperti menahan napas menyaksikan peristiwa yang sangat aneh ini dan tidak ada seorang pun yang tidak meragukan apa yang mereka lihat. Akan tetapi ketika mereka melihat Kiu-bwee-houw meronta-ronta dan keluar dari dalam lubang papan sambil terengah-engah, keheningan itu segera pecah oleh sorak-sorai dan tepuk tangan mereka.

Pada saat itu nampaklah sesosok bayangan putih berkelebat dan Kim Lok Cinjin menarik Kiu-bwee-houw dibawanya melayang ke tempat duduknya, setelah diperiksa dan ternyata tidak terluka apa-apa, wakil ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan ini segera melompat lagi ke tengah panggung menghadapi Sin Liong.

Mereka berdiri berhadapan, untuk beberapa saat lamanya Kim Lok Cinjin memandang dengan penuh perhatian, mukanya yang putih itu agak merah dan matanya yang beringas menjadi makin galak. Dia merasa malu dan terhina sekali melihat betapa muridnya telah dipermainkan oleh seorang pemuda setengah kanak-kanak, bukan hanya dipermainkan, bahkan dihina sekali karena dirobohkan dalam satu jurus saja. Dia tidak percaya bahwa bocah ini sedemikian lihainya sehingga mampu merobohkan muridnya dalam satu jurus. Tentu ada apa-apa dalam pertandingan tadi, atau memang muridnya yang tidak hati-hati.

Tadi Sin Liong penuh semangat ketika naik ke atas panggung karena dia melihat betapa keselamatan Kwee Siang Lee, pemuda yang mengaku menjadi anak murid Cin-ling-pai itu, terancam bahaya. Kini, melihat betapa Siang Lee telah pergi tanpa pamit, maka dia kehilangan nafsunya untuk membikin ribut di atas panggung.

Dia hanya mewakili suheng-nya untuk menonton dan menerima pesan dari suheng-nya supaya ikut menjaga tertib dan adilnya pemilihan calon bengcu itu tanpa mengajukan diri sebagai calon bengcu. Demikianlah, melihat bahwa tak ada lagi yang harus dilindunginya, Sin Liong mendapatkan kembali ketenangan dan watak aslinya yang pendiam dan tidak suka mencampuri urusan orang. Dia menjura dan suaranya halus penuh hormat ketika dia berkata,

"Harap maafkan saya."

Akan tetapi Kim Lok Cinjin sudah marah sekali. "Bocah sombong, kalau memang engkau mewakili Cin-ling-pai hendak menghina Pek-lian-kauw, hayo maju dan kau lawan pinto!"

Kembali Sin Liong menjura, "Saya tidak tahu apa-apa mengenai permusuhan di antara Cin-ling-pai dan Pek-lian-kauw, tadi saya hanya membela pemuda itu. Harap locianpwe tidak mendesak dan saya hendak menjadi penonton saja." Setelah berkata demikian, Sin Liong sudah meloncat turun dari atas panggung.

Semakin marahlah Kim Lok Cinjin. Dia adalah wakil ketua Pek-lian-kauw di selatan dan Kiu-bwee-houw adalah muridnya yang pertama, yang amat diandalkan oleh Pek-lian-kauw sebagai tokoh ke tiga, yaitu setelah ketua dan dia sebagai wakil ketua. Mana dia dapat menghabiskan urusan itu begitu saja setelah Pek-lian-kauw mengalami penghinaan hebat dari bocah Cin-ling-pai?

"Bocah hina, hayo kau cepat naik ke sini!" bentaknya dan kakek bermuka putih pucat itu menggerakkan tangannya ke bawah, ke arah Sin Liong yang sudah meloncat turun dari atas panggung.

"Syuuuuttt...!"

Angin pukulan yang sangat dahsyat langsung menyambar ke arah punggung Sin Liong. Itulah pukulan jarak jauh yang hanya mengandalkan angin pukulan saja, akan tetapi amat berbahaya melebihi pukulan tangan langsung.

"Hemmm, harap jangan terlalu mendesak, locianpwe!" Sin Liong mengibaskan tangannya dan pukulan itu dapat ditangkisnya!

Tentu saja wakil ketua Pek-lian-kauw itu terkejut dan makin marah. Akan tetapi sebelum dia menyerang lagi, nampak ada bayangan dua orang berkelebat naik ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Sin-ciang Gu Kok Ban, dan Tiat-thouw Tong Siok, dua oang pimpinan dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berdua sudah menjura kepada wakil ketua Pek-lian-kauw dan berkatalah Sin-ciang Gu Kok Ban.

"Harap totiang suka bersabar. Totiang sebagai calon bengcu tidak semestinya bertanding sebelum waktu sayembara dimulai, dan tidak semestinya jika bertanding dengan seorang di antara penonton. Kecuali kalau pemuda remaja itu diangkat menjadi calon pula, maka nanti totiang akan dapat berhadapan dengan dia secara sah."

"Betul! Kami mencalonkan dia menjadi bengcu!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari para wakil peninjau rombongan Kun-lun-pai.

Suara ini segera disusul pula oleh para wakil dari golongan-golongan bersih, dari Siauw-lim-pai serta dari beberapa orang kang-ouw yang tadinya hanya datang sebagai penonton saja. Melihat kelihaian bocah ini, apa lagi mendengar bahwa bocah itu murid Cin-ling-pai, mereka ini merasa suka dan setuju kalau Sin Liong menjadi bengcu yang berarti bahwa golongan sesat atau dunia hitam dapat dikendalikan.

Akan tetapi Sin Liong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas. "Saya tidak ingin menjadi bengcu, saya hanya ingin menjadi penonton saja!"

Sin-ciang Gu Kok Ban kemudian berkata lantang, "Kalau orang tidak mau menjadi calon bengcu, pun tidak dapat dipaksa. Harap totiang suka mundur dulu dan sebaiknya urusan pribadi dapat dikesampingkan dan diselesaikan sendiri sesudah urusan pemilihan bengcu selesai. Setelah urusan beres, jika totiang menghendaki apa pun, biar dia bersayap mana bisa meloloskan diri dari totiang."

Kim Lok Cinjin mengangguk dan dia merasa malu untuk mendesak seorang bocah. Dia menoleh ke arah Sin Liong, memandang tajam lantas berkata, "Engkau tunggulah saja!" Lalu dia kembali ke tempat duduk semula.

Kini dimulailah sayembara pemilihan bengcu dan ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang segera mengadakan undian untuk menentukan siapa yang harus maju lebih dahulu untuk saling berhadapan. Ketika undian dibuka, ternyata yang mendapatkan nomor satu dan nomor dua adalah Lam-thian Kai-ong dan Ouw-kauwsu, yang menurut peraturan harus lebih dulu bertanding untuk menentukan kemenangan di antara keduanya agar si pemenang dapat maju ke babak berikutnya.

Dua orang jago itu kini sudah meloncat ke atas panggung dengan gaya masing-masing, disambut sorak-sorai oleh para penonton dan para rombongan yang memihak.

Lam-thian Kai-ong, kakek berusia enam puluhan tahun itu memegang tongkat butut. Dia bertubuh tinggi kurus, bibirnya tersenyum-senyum, dan di dunia kang-ouw bagian selatan, nama Lam-thian Kai-ong ini sudah sangat terkenal karena dia diakuinya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis). Hanya jarang ada tokoh yang mengetahui sampai di mana tingkat ilmu kepandaiannya, karena sebagai golongan pengemis dan gelandangan, Lam-thian Kai-ong ini tentu saja biasanya mengundurkan diri di tempat sunyi sehingga jarang sekali bentrok dengan fihak lain.

Memang, di dunia kang-ouw, golongan pengemis ini agak dijauhi oleh golongan-golongan lain karena agaknya menurut perhitungan mereka, apa untungnya berselisih dengan para pengemis? Tak ada apa-apa yang diperebutkan dan karena kehidupan para gelandangan itu amat sengsara, maka tentu membuat mereka menjadi orang-orang nekat yang sukar dilawan! Hanya ada kabar angin saja yang dibawa oleh para jembel itu yang mengatakan bahwa Raja Pengemis itu memiliki kesaktian yang luar biasa.

Ada pun orang ke dua, Ouw Bian atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, amat terkenal di antara para guru silat, para tukang pukul, dan para piauwsu (pengawal barang kiriman) sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan paling disegani di kota Amoi. Tubuhnya tinggi besar, matanya lebar dan dari gerak-geriknya sudah cukup menunjukkan bahwa guru silat ini memiliki tenaga yang besar.

Meski pun dia tidak memegang senjata seperti calon lawannya yang memegang tongkat, tapi orang dapat melihat bahwa ikat pinggangnya terbuat dari baja sehingga menimbulkan dugaan bahwa agaknya benda itulah yang merupakan senjata Ouw-kauwsu. Dan dugaan ini memang benar. Ikat pinggang itu dapat dimainkan seperti senjata pian yang lihai.

"Kai-ong, apakah begitu maju engkau hendak mempergunakan tongkatmu?" Ouw-kauwsu bertanya.

Raja Pengemis itu tersenyum. "Tidak, Ouw-kauwsu, aku cukup mengerti akan peraturan. Pertandingan diadakan dua kali, bukan? Pertama dengan tangan kosong dan bila selama seratus jurus dengan tangan kosong ini masih belum ada yang menang atau pun kalah, maka barulah kedua calon boleh menggunakan senjata masing-masing. Benarkah begitu, pangcu?" tanyanya sambil menoleh ke arah Sin-ciang Gu Kok Ban.

Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu mengangguk. "Tapi hanya senjata di tangan, bukan senjata rahasia! Penggunaan senjata rahasia tidak diperkenankan, kecuali kalau kedua calon saling menyetujui."

"Ha-ha-ha, tongkat bututku ini sudah cukup untuk mengusir segala macam anjing, perlu apa menggunakan senjata rahasia? Nah, aku sudah siap, kauwsu yang baik."

Sambil berkata demikian, kakek pengemis itu melontarkan tongkat bututnya yang segera meluncur seperti anak panah dan menancap di ujung papan panggung, menggetar dan mengeluarkan bunyi. Tenaga lontaran ini saja sudah membuktikan betapa lihainya kakek itu sehingga tongkat bambunya dapat menancap pada papan kayu yang keras itu seperti sebatang anak panah saja.

Ouw Bian juga maklum akan kelihaian lawan pertamanya ini, karena itu dia sudah siap memasang kuda-kuda dengan dua lengan disilangkan, jari-jari tangannya dibuka hingga membentuk cakar harimau. Kauwsu ini memang sangat terkenal dengan ilmu silat gaya pesisir timur yang mengutamakan cengkeraman dan tangkapan, diselingi dengan totokan jari tangan yang amat lihai.

Agaknya Lam-thian Kai-ong juga sudah mengenal ilmu itu. Maka, dengan tenang dia pun memasang kuda-kuda dengan sikap lembut untuk mengimbangi permainan lawan yang hendak mempergunakan serangan berdasarkan kekuatan jari tangan dan kecepatan.

"Lihat serangan!" Ouw Bian mulai menyerang, dua tangannya bergerak hampir berbareng, yang kiri mencakar ke arah kedua mata lawan sedangkan yang kanan menyusul dengan cengkeraman ke arah pusar. Serangan pertama sebagai serangan pembukaan ini cukup mengandung maut!

"Bagus!" Kai-ong berteriak dan dia memutar tubuhnya ke kanan, membalik dan sesudah menghindarkan cakaran pada kedua matanya dan berhasil menangkis cengkeraman pada pusar, lalu dibarengi dengan kaki kirinya yang panjang itu meluncur dan menendang ke arah lutut lawan. Kakek jembel ini memang ahli sekali dalam mainkan kaki, baik untuk melangkah secara teratur dan mudah mengelakkan serangan lawan mau pun untuk balas menyerang dengan tendangan kilat.

"Hemmm...!”

“Dukkk!"

Dengan tangan kanan dimiringkan, Ouw Bian berhasil menangkis tendangan itu lalu balas mencengkeram ke arah leher yang dapat pula dielakkan oleh Lam-thian Kai-ong. Kiranya kedua orang ini begitu bergebrak telah saling mempergunakan kecepatan untuk mencari kemenangan.

Pertandingan berjalan semakin cepat sehingga akhirnya pandang mata mereka yang ilmu kepandaiannya kurang tinggi menjadi kabur dan tidak dapat lagi mengikuti gerakan kedua orang yang sedang bertempur itu saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanya bayangan tubuh kedua orang itu berkelebatan dan kadang-kadang ruwet menjadi satu!

Hanya para tokoh yang berkepandaian tinggi, terutama mereka yang duduk sebagai calon bengcu, yang masih bisa mengikuti gerakan mereka dan tahulah mereka ini bahwa kalau dibuat perbandingan, maka Lam-thian Kai-ong masih menang sedikit dalam hal kecepatan gerakan.

Ouw-kauwsu juga maklum akan hal ini, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerengan keras dan gerakan sepasang cakar tangannya menjadi semakin kuat. Kiranya dia hendak mengatasi kekurangannya dalam ilmu ginkang (meringankan tubuh) dengan kekuatannya yang ternyata memang menang sedikit dibandingkan dengan lawannya.

Sekarang terjadilah serang-menyerang yang makin sengit. Semua serangan Ouw-kauwsu kebanyakan dielakkan dengan gesit oleh lawan, dan sebaliknya serangan balasan Kai-ong sengaja ditangkis oleh kauwsu itu dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.

Para anak buah berbagai rombongan yang menonton menjadi gembira bukan main dan segera terjadi pemisahan menjadi dua kelompok yang mendorong jagoan masing-masing dengan sorakan dan anjuran. Bahkan banyak di antara mereka, terutama anak buah yang menganggap Ouw-kauwsu sebagai jagoannya, yaitu mereka yang tergolong tukang pukul dan tukang judi, sudah mulai ramai mengadakan taruhan.

Sungguh mengherankan sekali karena dari fihak rombongan pengemis banyak pula yang menanggapi dan melayani taruhan dalam jumlah uang yang cukup besar itu. Ternyata di antara pengemis-pengemis itu banyak pula yang mempunyai simpanan uang besar!

Tak terasa lagi, lima puluh jurus telah terlewat dan kedua orang yang sedang bertanding itu belum juga mampu merobohkan lawan. Kalau pun ada pukulan atau tendangan yang mengenai tubuh lawan, tapi kenanya tidak telak dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan, padahal, di dalam pertandingan ini, yang berlaku dan yang dianggap kalah adalah kalau lawan roboh di atas papan atau terlempar keluar panggung.

Sebenarnya, kedua fihak sudah merasa penasaran sekali sehingga tangan mereka sudah gatal-gatal untuk mencabut senjata dan mengandalkan keahlian mereka dengan senjata itu untuk merebut kemenangan. Akan tetapi karena mereka pun tahu bahwa pertandingan mereka belum lewat seratus jurus, maka mereka kini terus saling serang dengan semakin seru.

Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek dibarengi berkelebatnya bayangan orang tinggi besar ke atas panggung, "Kalian berdua menggelindinglah!"

Dan sungguh luar biasa, dua orang kakek lihai yang sedang saling serang itu mendadak terdorong dan terlempar ke kanan kiri dan terjatuh keluar panggung!

Semua orang memandang dan ternyata yang berdiri di atas panggung itu adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar mukanya hitam bopeng dan tanpa daging seperti tengkorak. Tentu saja mereka semua langsung mengenal, terutama sekali para bajak karena mereka sudah bersorak riuh rendah menyambut munculnya orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini!

Kakek itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Tiga Kakek Laut Selatan yang amat lihai. Dalam satu gebrakan saja dia mampu melempar dua orang lihai yang sedang bertanding tadi dari atas panggung, ini sudah membuktikan betapa lihainya raksasa muka tengkorak ini. Dan dia ini baru orang ke tiga! Belum yang ke dua dan yang pertama.

Oleh karena calon bengcu sudah roboh dua orang, maka kini tinggal tiga orang lagi, yaitu Tiat-thouw Tong Siok sendiri sebagai tuan rumah, kemudian Kim Lok Cinjin wakil ketua Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi Si Maling Sakti. Hati tiga orang ini agak gentar karena memang mereka pernah mendengar akan kehebatan ilmu dari Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena belum pernah bentrok sehingga belum mengukur tenaga mereka, tiga orang sakti ini pun merasa penasaran.

Sebagai ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang menjadi penyelenggara dan juga tuan rumah, Sin-ciang Gu Kok Ban cepat-cepat meloncat naik ke atas panggung dan menjura kepada Hek-liong-ong Cu Bi Kun.

"Kiranya Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang datang. Kenapa lo-enghiong melanggar peraturan pibu untuk memilih calon bengcu? Apa bila lo-enghiong berminat memasuki sayembara, mengapa tadi tidak mendaftarkan diri?" Demikian dia menegur dengan halus.

"Sekarang pun kami mendaftarkan diri juga belum terlambat!" terdengar suara halus dan tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu sudah berada di atas panggung pula.

Semua orang mengenal mereka ini, karena yang pertama adalah Hai-liong-ong Phang Tek, yaitu kakek enam puluh lima tahun yang tinggi besar menyeramkan, wajahnya penuh brewok seperti Panglima Thio Hwi di jaman Sam-kok. Ada pun orang ke dua adalah adik kandungnya, Kim-liong-ong Phang Sun, yang usianya enam puluh tahun dan tubuhnya berbeda sekali dengan kakaknya karena dia ini bertubuh pendek kecil berkepala gundul lonjong dan dia tidak pernah pakai baju dan sepatu.

Melihat munculnya ketiga orang kakek sakti itu, hati Sin-ciang Gu Kok Ban menjadi makin gentar. Akan tetapi dia tetap menyambut dengan hormat. "Kiranya Lam-hai Sam-lo yang terhormat sudah hadir selengkapnya. Tentu saja locianpwe boleh mendaftarkan sebagai calon. Siapakah di antara locianpwe yang hendak memasuki sayembara?"

"Kami bertiga!"

"Tapi... tapi... setiap rombongan hanya diperbolehkan mengajukan seorang calon..."

"Ahh, aturan mana itu? Sin-ciang Gu-pangcu, engkau dan semua yang hadir tahu belaka bahwa semenjak pemilihan beberapa tahun yang lalu, sebenarnya kamilah yang berhak menjadi bengcu. Akan tetapi gara-gara pengacauan dari Ouwyang Bu Sek, maka terjadi keributan dan kami mengundurkan diri. Sekarang, dalam pemilihan kali ini, kami tak mau gagal lagi. Bila tadi kami agak terlambat adalah karena kami memang menanti munculnya setan cebol itu. Dia tidak berani muncul, maka kami segera datang dan kalau masih ada calon-calon lain, silakan naik dan asal dapat mengalahkan kami seorang demi seorang, baru dia atau mereka dapat diangkat menjadi calon."

Sunyi senyap suasana di tempat itu setelah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini bicara. Sin-ciang Gu Kok Ban mengerutkan alisnya. Munculnya Lam-hai Sam-lo dengan sikapnya itu melanggar peraturan dan sebagai fihak yang menyelenggarakan sayembara, Sin-ciang Tiat-thouw-pang tentu akan kehilangan muka.

Lagi pula dia mengenal siapa adanya Lam-hai Sam-lo ini, yang termasuk penjilat-penjilat pemerintah yang hendak mengejar kekuasaan dan kedudukan di daerah selatan. Apa bila Lam-hai Sam-lo yang menjadi Beng-cu, tentu para anggota liok-lim dan kang-ouw akan tergencet.

Dengan muka merah ketua ini lantas menghadap tiga orang kakek itu dan dengan suara lantang berkata, "Tadinya ada lima orang calon, akan tetapi setelah dua di antara mereka sam-wi robohkan, tinggal tiga orang lagi, yaitu sute Tiat-thouw Tong Siok, Kim Lok Cinjin dari Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi."

"Kim Lok Cinjin?" Tiba-tiba saja Hai-liong-ong Phang Tek berseru sambil memutar tubuh memandang ke arah tosu Pek-lian-kauw yang duduk di panggung kehormatan. "Benarkah hal itu? Sedangkan suheng-nya, Kim Hwa Cinjin sendiri selalu mendukung kami sebagai calon bengcu!"

Pek-lian-kauw juga terkenal sebagai perkumpulan yang anti pemerintah pada waktu itu, dan dalam hal ini, Pek-lian-kauw lebih condong kepada Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang juga anti pemerintah. Wakil Pek-lian-kauw ini maklum pula bahwa Lam-hai Sam-lo adalah orang-orang yang berusaha untuk mendekati pemerintah dan mencari kedudukan dengan menjilat-jilat, maka dia pun enggan untuk mundur, meski pun dia tahu betapa suheng-nya sendiri merasa jeri kepada tiga orang kakek sakti itu.

"Siancai... tidak disangka bahwa Lam-hai Sam-lo datang juga! Pinto telah terlanjur masuk sebagai calon bengcu, sebelum gagal dalam ujian mana mungkin mundur kembali?"

Akan tetapi kata-kata itu disambut cepat oleh suara yang halus ramah, suara Sin-to Bouw Khi "Seekor harimau pun akan mundur kalau melihat munculnya singa, maka biarlah aku yang bodoh menarik diriku sebagai calon bengcu dan aku kini menjadi pendukung saja dari seorang di antara Lam-hai Sam-lo untuk menjadi bengcu!"

Sikap ini pun dapat dimengerti karena Si Maling Sakti ini memang pernah ditolong oleh Lam-hai Sam-lo, yaitu ketika beberapa tahun yang lampau dia tertangkap oleh kepungan penjaga keamanan kota Amoi yang dipimpin oleh seorang pendekar, dan Lam-hai Sam-lo yang akhirnya menghubungi pembesar sehingga dapat mengeluarkannya dari tahanan. Di samping itu dia pun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh dari pada cukup untuk mengalahkan tiga orang kakek sakti itu.

"Terima kasih atas pengertianmu, Sinto!" berkata Hai-liong-ong Phang Tek yang kembali menghadapi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, "Apakah masih ada calon-calon yang lain, ataukan hanya kalian berdua saja?"

"Karena yang terhormat Sin-to Bouw Song Khi mengundurkan diri, maka yang tinggal hanya dua orang yaitu sute Tong Siok dan Kim Lok Cinjin," jawab Sin-ciang Gu Kok Ban dengan suara kering tanda bahwa dia marah sekali.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Ji-wi suheng turunlah, biarlah mereka berhadapan dengan aku!" kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun di tinggi besar muka tengkorak. Dua orang saudaranya itu mengangguk dan dengan ringannya mereka berdua meloncat turun dari atas panggung, berdiri di samping panggung dengan lagak angkuh.

Terdengar bentakan nyaring dan Kim Lok Cinjin sudah berada di atas panggung lantas menjura kepada Sin-ciang Gu Kok Ban. "Karena Tong-sicu sebagai wakil dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang merupakan tuan rumah, biarlah pinto yang lebih dulu maju."

Kim Lok Cinjin adalah tokoh Pek-lian-kauw yang wataknya pemarah dan tadi baru saja dia mengalami penghinaan ketika muridnya dipermainkan oleh seorang bocah. Oleh karena dia sedang marah, maka munculnya Lam-hai Sam-lo yang tak disukanya itu menambah kemarahannya. Dia maklum bahwa kepandaian ketiga orang kakek itu luar biasa sekali, namun mengingat bahwa mereka itu adalah antek-antek pemerintah yang dibencinya, dan mengingat pula bahwa dia harus mempertahankan nama besar Pek-lian-kauw, maka dia menjadi nekat hendak melawan.

"Sudah lama pinto mendengar akan nama besar Lam-hai Sam-lo, maka kini berhadapan dengan seorang di antara mereka, benar-benar merupakan kehormatan besar bagi pinto untuk mohon sedikit petunjuk," katanya sambil menjura kepada si muka tengkorak itu.

"Ha-ha-ha-ha, engkau terlalu merendah, totiang. Aku telah mendengar bahwa tingkat ilmu kepandaianmu hanya sedikit di bawah tingkat Kim Hwa Cinjin, maka engkau tentu sangat lihai. Marilah kita main-main sebentar!" kata orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo.

Dua orang jago tua itu sudah memasang kuda-kuda. Sebagai seorang tokoh besar dari Pek-lian-kauw, Kim Lok Cinjin segera memasang kuda-kuda Pek-lian (Teratai Putih), ada pun lawannya yang menjadi pewaris dari mendiang Lam-hai Sin-ni juga telah memasang kuda-kuda dengan dua tangan membentuk cakar naga, karena Ilmu Liong-jiauw-kun (Ilmu Silat Cakar Naga) merupakan ilmu andalan Lam-hai Sam-lo.

Mereka bergerak sebentar saling mengelilingi dan melihat betapa tokoh Pek-lian-kauw itu mengambil kedudukan bertahan, suatu sikap yang berhati-hati dalam pertandingan, maka sambil mengeluarkan gerengan nyaring Hek-liong-ong Cu Bi Kun sudah mulai membuka serangan. Kedua lengannya bergerak seperti sepasang kaki depan naga, menyambar ke arah lawan dari kanan kiri dan atas bawah dengan kecepatan bagai kilat dan mengandung tenaga yang sampai mengeluarkan bunyi saking kuatnya.

Namun wakil Pek-lian-kauw itu sudah waspada, cepat menggunakan keringanan tubuhnya bergerak ke belakang, mengelak sambil mengibaskan kedua tangannya keluar dan ke kiri kanan untuk menangkis kedua tangan lawan yang mengejarnya.

"Plak! Plak! Plak! Plak!"

Empat kali mereka saling mengadu pergelangan tangan dan akibatnya, kedua pundak Kim Lok Cinjin tergetar sedikit, tanda bahwa dalam adu tenaga sinkang ini, dia masih kalah kuat setingkat. Namun, Kim Lok Cinjin tidak menjadi gentar dan secepat kilat kedua kakinya mengirim tendangan berantai, yaitu semacam Ilmu Tendangan Siauw-cu-tui yang dilakukan secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian saling susul sehingga sangat berbahaya bagi lawan karena setiap tendangan mengarah bagian yang berbahaya dan mematikan.

Menghadapi tendangan seperti itu, terpaksa Hek-liong-ong cepat mengelak mundur dan akhirnya dia menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram dan menangkap kaki yang menyambar-nyambar itu. Hal ini menghentikan serangan wakil ketua Pek-lian-kauw karena tentu saja dia tidak mau membiarkan kakinya kena dicengkeram hancur.

Pertandingan berlangsung makin seru dan sampai lewat lima puluh jurus belum juga ada yang nampak akan memperoleh kemenangan. Sebenarnya, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo masih jauh lebih tinggi, akan tetapi oleh karena wakil ketua Pek-lian-kauw itu bersilat dengan hati-hati sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan dan belum terkalahkan.

Hal ini membuat Hek-liong-ong Cu Bi Kun menjadi penasaran dan marah sekali. Tadinya dia memandang rendah lawannya dan ternyata sampai sekian lamanya dia belum mampu merebut kemenangan, bahkan melukai lawan pun belum.

Tiba-tiba saja dia mengeluarkan teriakan nyaring dan nampaklah sinar menyilaukan mata berkelebat, disusul dengan muncratnya darah dan teriakan wakil ketua dari Pek-lian-kauw yang terhuyung ke belakang sambil memegangi pundaknya yang terobek oleh golok di tangan Hek-liong-ong.

Ternyata dengan kecepatan kilat Cu Bi Kun tadi sudah mencabut dan mempergunakan goloknya untuk menyerang dan karena memang keahliannya adalah main golok besar itu, maka Kim Lok Cinjin tak sempat mengelak sehingga pundaknya terkena bacokan golok dan terluka cukup parah.

"Memandang muka Kim Hwa Cinjin, biarlah totiang boleh mundur!" kata Cu Bi Kun sambil melintangkan goloknya di depan dada dengan sikap angkuh.

Dengan mata mendelik karena penasaran, akan tetapi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, wakil ketua Pek-lian-kauw itu meloncat turun dari atas panggung, lalu pergi dari situ sambil memegangi pundaknya, diikuti oleh semua anggota Pek-lian-kauw yang berada di situ.

"Tidak adil ! Sebelum seratus jurus telah mempergunakan senjata, itu namanya curang!" Tiba-tiba Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala botak dan mukanya bopeng itu meloncat ke atas panggung, toya besi di tangannya dan matanya mendelik memandang ke arah Hek-liong-ong. 

"Hemm, apa maksudmu?" bentak Hek-liong-ong marah.

"Sebagai seorang cianpwe, perbuatanmu melukai Kim Lok Cinjin dengan senjata sebelum pertandingan tangan kosong melewati seratus jurus sangatlah tercela. Pertandingan ini diadakan di antara teman untuk memilih bengcu, bukan pibu di antara musuh!" tegur orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu dengan marah.

"Hemm, Tiat-thouw Tong Siok, engkau bukan anak kecil lagi dan engkau juga tentu tahu bahwa ilmu silat sangatlah luasnya, baik dengan tangan kosong mau pun dengan senjata merupakan bagian dari ilmu silat, dan di dalam setiap pertandingan ilmu silat pasti ada bahaya terluka atau pun terbunuh. Sekarang, calon terakhir tinggal engkau seorang, kalau engkau takut terluka, lebih baik mengundurkan diri sebelum terlambat."

"Hek-liong-ong Cu Bi Kun, omonganmu ini benar-benar keterlaluan!" Tiat-thouw Tong Siok membentak ketika mendengar ucapan yang sifatnya meremehkan bahkan menghina itu.

"Sute, sudahlah, serahkan saja kedudukan bengcu kepada Lam-hai Sam-lo, kita tak perlu turut campur!" Terdengar Sin-ciang Gu Kok Ban berseru karena dia mengkhawatirkan keselamatan sute-nya.

Akan tetapi Tiat-thouw Tok Siok adalah orang yang berhati keras. Dia telah dihina orang di depan orang banyak, mana dia mau sudah begitu saja?

"Biarlah, suheng. Ini sudah bukan masalah perebutan kedudukan bengcu lagi, melainkan urusan pribadi yang menyangkut kecurangan dan penghinaan. Tadi Kim Lok Cinjin sudah dicurangi, sekarang aku dihina orang, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Harap suheng jangan mencampuri, urusan ini adalah tanggunganku pribadi. Mari, Hek-liong-ong, mari kita membuat perhitungan sebagai akibat kecurangan dan penghinaanmu tadi!"

Sambil berkata demikian, Tong Siok segera menggerakkan toya besinya dan dia sudah menyerang dengan ganasnya ke arah Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang cepat menyambut serangan itu dengan tertawa besar.

Tingkat kepandaian Tiat-thouw Tong Siok masih lebih rendah kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kim Lok Cinjin, maka kalau wakil ketua Pek-lian-kauw itu saja tidak kuat melawan Hek-liong-ong, apa lagi dia. Baru lewat belasan jurus saja sudah nampak betapa sinar toya sudah dibelit dan ditekan oleh sinar golok sehingga orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu hanya mampu mengelak saja tanpa sempat membalas lagi dan beberapa kali terdengar Hek-liong-ong mengeluarkan suara tawa penuh kebanggaan.

Dia memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya, dan dia pun bukan orang bodoh maka dia tidak ingin mencelakai Tong Siok, hanya ingin menundukkan saja. Kalau dia bertiga kakak-kakaknya ingin menguasai semua orang di kalangan kaum sesat, tentu saja dia tidak boleh sembarangan membunuh.

"Pergilah!" Tiba-tiba Hek Liong-ong berseru dan goloknya membabat keras sekali ke arah toya yang melintang itu.

"Trang... krekkk!" Dan toya di tangan Tong Siok patah menjadi dua potong!

"Ha-ha-ha, aku maafkan engkau. Turunlah!" kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun dengan lagak sombong sekali.

Tiat-thouw Tong Siok membanting dua potongan toyanya dengan mata mendelik, lalu dia berteriak nyaring, "Hek-liong-ong, aku harus mengadu nyawa denganmu!"

Setelah berkata demikian, dia lalu menyeruduk ke depan dengan kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk, mengarahkan kepalanya ke perut lawan. Itulah ilmunya yang sudah membuat dia dijuluki Tiat-thouw (Kepala Besi), dan di dalam serudukan kepalanya ini terkandung tenaga yang dahsyat sehingga tembok yang kokoh pun akan roboh dan pecah oleh serudukan kepalanya itu.

"Sute...!" Sin-ciang Gu Kok Ban berteriak, namun sudah terlambat karena sute-nya itu sudah menyerang dengan cepat.

"Ha-ha-ha!" Hek-liong-ong tertawa dan sengaja memasang perutnya yang gendut untuk menerima serudukan itu tanpa mempergunakan goloknya.

"Dukkk...!"

Dengan hebatnya kepala botak itu menumbuk perut hingga tubuh Hek-liong-ong tergetar, akan tetapi hanya untuk sebentar saja karena mendadak kepala itu sudah menancap ke dalam perut, seperti disedotnya.

"Slupppp...!" Kepala itu terbenam ke dalam perut sampai ke hidung!

Ketika merasa betapa kepalanya tersedot ke dalam, Tong Siok menjadi nekat maka dia cepat menggerakkan dua tangannya untuk mencengkeram ke atas! Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-liong-ong menangkap pergelangan kedua tangan itu sehingga sekarang tinggal kedua kaki Tong Siok saja yang meronta-ronta!

"Locianpwe, harap menaruh kasihan terhadap sute!" teriak Sin-ciang Gu Kok Ban yang mengkhawatirkan keselamatan sute-nya.

"Hemmm, dia menghendaki nyawaku, mana bisa begitu mudah?" Tiba-tiba Hek-liong-ong memperkeras cengkeramannya pada kedua pergelangan tangan Tong Siok.

"Krekk! Krekk!" terdengar suara dua kali dan kedua pergelangan itu patah tulangnya dan menjadi lemas!

Pada saat itu nampak berkelebat sesosok bayangan ke atas panggung dan semua orang yang sudah merasa tegang menyaksikan kejadian yang mengerikan di atas panggung itu menjadi makin tegang pada waktu mengenal bahwa yang meloncat ke atas panggung itu adalah Sin Liong, pemuda remaja yang tadi telah menggegerkan pertempuran pemilihan bengcu itu.

Dengan langkah-langkah lebar Sin Liong menghampiri Tong Siok yang kepalanya masih menancap di perut Hek-liong-ong, lalu dia menepuk pinggul Tong Siok secara main-main sambil berkata dengan lantang. "Ehh, kenapa main-main dengan perut orang?"

“Plakk!”

Terdengar suara begitu tangan Sin Liong menepuk pinggul itu, dan tubuh Hek-liong-ong menggigil.....!

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar