Pendekar Lembah Naga Jilid 16

"Grrrr...!" Sin Liong menggereng dan menerjang lagi sambil mengeluarkan teriakan yang memberi isyarat memanggil kawan-kawannya!

Ciam-kauwsu marah, dia membiarkan pundaknya dicengkeram oleh anak itu, kemudian membarengi dengan tamparan dari samping.

"Brettt...! Plakkk!"

Baju Ciam-kauwsu di pundak robek oleh cengkeraman tangan Sin Liong, akan tetapi anak itu kena ditampar pipinya sehingga terpelanting!

Kembali Sin Liong kepalanya pening, akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan pada saat itu terdengar gerengan-gerengan menyeramkan lantas belasan ekor monyet berloncatan turun dari atas pohon, dipimpin oleh seekor biang monyet yang besar, yaitu monyet betina tua yang memandang Sin Liong sebagai anaknya! Monyet betina inilah yang mendahului teman-temannya menubruk kakek Ciam dengan ganasnya saat melihat betapa ‘anaknya’ itu ditampar sampai terpelanting tadi.

"Ehhh...!" Kakek Ciam terkejut bukan main melihat datangnya banyak monyet besar, apa lagi ketika seekor induk monyet telah menyerangnya.

Dia maklum bahwa terdapat keanehan pada diri anak liar itu, yang ternyata kini dibantu oleh monyet-monyet besar dan dia segera melihat adanya bahaya. Maka cepat kakek itu mencabut pedangnya, mengelak dari terkaman induk monyet sambil menusukkan pedang dari samping.

"Crotttt...!"

Pedang itu mengenai lambung induk monyet sampai tembus. Ketika pedang itu dicabut, darah segera muncrat dan induk monyet itu terguling roboh sambil mengeluarkan suara yang memilukan.

Melihat betapa monyet betina yang sangat disayangnya itu roboh tertusuk pedang, Sin Liong menggereng dan menyerang lagi, dibantu oleh monyet-monyet lain, sedangkan Lan Lan dan Lin Lin menjadi ngeri melihat datangnya banyak monyet. Mereka menjadi ngeri dan ketakutan, tidak berani ikut membantu melainkan mundur dan saling peluk dengan tubuh menggigil di bawah pohon.

"Lan Lan...!" Lin Lin...!"

Dua orang anak perempuan itu terkejut dan wajah mereka pun berseri, air mata mereka seketika mengalir turun. Itulah suara ayah mereka! Dan memang benar. Tak jauh dari situ, Kui Hok Boan bersama belasan orang anak buahnya datang mencari anak-anaknya itu, sesudah semalam suntuk mereka mencari tanpa hasil. Suara Hok Boan sampai menjadi parau karena semalam suntuk dia terus-menerus memanggil.

"Ayahhhh...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit-jerit. "Ayah, cepat ke sinilah...!"

Kakek Ciam terkejut bukan main. Tadinya timbul hati tidak tega untuk membunuhi semua monyet itu, dan hatinya menjadi gelisah ketika mendengar suara dua orang anak itu yang memanggil ayah mereka. Kalau Kui Hok Boan datang bersama orang-orangnya sedang di sini masih ada monyet-monyet ini yang mengeroyoknya dengan nekat dan buas, dia bisa celaka!

Ciam-kauwsu mengeluh, karena usahanya untuk membalas dendam dengan menculik dan memisahkan dua orang anak perempuan itu dari samping Hok Boan ternyata gagal. Dia lalu mengeluh dan meloncat ke belakang, cepat dia melarikan diri sambil membawa pedangnya, menyusup di antara semak-semak belukar!

Sin Liong dan monyet-monyet lain mengejar, meninggalkan Lan Lan dan Lin Lin. Monyet betina tua itu merintih dan melihat ini, Lan Lan dan Lin Lin cepat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh monyet betina itu dengan perasaan kasihan. Mereka tadi melihat betapa monyet ini membantu Sin Liong sehingga terkena tusukan pedang. Monyet itu bergerak perlahan-lahan dan merintih sambil memegangi lambungnya yang tertembus pedang dan mengucurkan darah.

"Lan-ji! Lin-ji!" Hok Boan berteriak dan meloncat ke tempat itu dengan pedang di tangan. Melihat kedua orang anaknya berlutut dekat seekor monyet besar, dia cepat menendang.

"Desss...!" Tubuh monyet betina yang sudah terluka parah itu terlempar, terbanting dan nyawanya pun melayang.

"Ayahhh...! Kenapa kau menendang dia...?" Lan Lan menjerit.

"Ayah, monyet itu tewas karena menolong kami...!" Lin Lin juga berteriak.

Hok Boan yang masih marah karena kegelisahan yang hampir membuatnya gila selama semalam itu terbelalak. "Apa...?! Apa maksudmu...?"

Akan tetapi saking girangnya melihat ayah mereka telah datang, dua orang anak itu cepat menubruk ayah mereka sambil menangis. Hok Boan memeluk kedua orang anaknya itu, hatinya juga penuh rasa gembira yang amat besar.

"Lan-ji, Lin-ji, ceritakan, apakah yang terjadi...?" tanyanya.

Pada saat itu muncul pula Siong Bu, Beng Sin, dan beberapa anak buah Kui Hok Boan yang ikut mencari sampai semalam suntuk dan dilanjutkan pagi ini. Siong Bu dan Beng Sin juga merasa girang sekali melihat betapa dua orang sumoi mereka itu telah ditemukan dalam keadaan selamat.

"Ayah, kami diculik kakek brewok... sampai di sini... lalu muncul... Liong-ko (kakak Liong) yang menyerang penculik itu...," kata Lan Lan yang semenjak kematian ibunya dan tahu bahwa Sin Liong adalah putera ibunya, tidak ragu-ragu lagi menyebut Sin Liong dengan sebutan koko (kakak).

"Liong-koko kalah lalu dibantu oleh monyet-monyet, akan tetapi monyet tua itu, dia... dia terkena tusukan pedang si penculik...," sambung Lin Lin.

"Sin Liong...?" Hok Boan terkejut bukan main dan juga merasa girang mendengar bahwa Sin Liong yang tadinya diculik oleh wanita iblis itu ternyata masih hidup, bahkan sudah menolong kedua orang anaknya. Dan lebih terkejut lagi hatinya ketika mendengar bahwa monyet itu yang ditendangnya tadi, ternyata adalah seekor monyet yang telah membantu Sin Liong pula melawan penculik itu.

"Sekarang di mana Sin Liong?" tanya Hok Boan berusaha menutupi rasa tak enak hatinya karena dia sudah menendang monyet tua yang telah terluka tadi, monyet yang ternyata telah menolong anak-anaknya.

"Tadi dia mengejar si penculik brewok, agaknya bersama monyet-monyet itu," kata Lan Lan.

"Itu dia...!" tiba-tiba Beng Sin berseru sambil menuding.

Semua orang menengok dan benar saja, tanpa ada yang melihat kedatangannya, kini tahu-tahu Sin Liong sudah berada di sana, berlutut dan memeluki tubuh monyet betina yang telah tewas itu.

"Sin Liong...!" Siong Bu berseru.

"Sin Liong...!" Hok Boan juga memanggil.

"Liong-koko...!" Lan Lan dan Lin Lin berseru dan mereka semua menghampiri anak itu.

Kui Hok Boan memandang penuh perhatian, secara diam-diam dia merasa kasihan juga terhadap anak ini. Pakaiannya compang-camping, mukanya matang biru bekas pukulan penculik, dan kini biar pun anak itu tidak menangis sesenggukan, akan tetapi ia memeluk tubuh monyet itu, jari-jari tangannya mengusap serta membelai kepala dan muka yang penuh bulu, matanya basah dengan air mata.

Siong Bu, Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin berlutut di sekeliling Sin Liong. Lan Lan lalu menyentuh lengan Sin Liong dan berkata lirih, "Liong-ko, dia sudah mati..."

Tangan yang mengusap-usap kepala monyet itu berhenti, dua titik air mata menggelinding turun disusul oleh dua titik lagi, kemudian terdengar suaranya berkata lirih, seperti bisikan kepada diri sendiri, "Dia... dia ibuku..."

Kui Hok Boan yang sudah menghampiri tempat itu, terkejut mendengar kata-kata ini. "Sin Liong, ibumu telah..." Dia tak melanjutkan kata-katanya karena dia teringat akan isterinya yang tercinta itu, maka lehernya seperti dicekik rasanya.

Sin Liong menggangguk. "Saya mengerti, ibu kandung saya sudah tewas oleh iblis betina itu, akan tetapi dia ini... dialah yang menyusui dan merawat saya pada waktu saya masih kecil dulu..." Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap dua titik air matanya tadi.

"Ke manakah larinya penculik itu, Sin Liong? Biar aku mengejar dan menghajarnya!" Hok Boan teringat kepada penculik itu.

"Dia telah pergi jauh tidak dapat dikejar lagi..., sekarang saya hendak mengubur dia..."

Sin Liong lalu menggunakan tangannya untuk membongkar batu-batu dan tanah, agaknya dengan sepasang tangannya, tanpa minta bantuan siapa pun, anak ini hendak menggali sebuah lubang di tanah untuk mengubur bangkai monyet itu!

Melihat ini, Hok Boan cepat-cepat menyuruh anak buahnya untuk membantu Sin Liong, menggali sebuah lubang dan dikuburkanlah bangkai monyet itu oleh Sin Liong. Sebelum menurunkan bangkai monyet itu ke dalam lubang, Sin Liong mencium muka monyet betina itu dan dengan menggigit bibir menahan tangis, anak ini lalu mengubur bangkai itu dengan dibantu oleh empat orang anak lain, lubang itu lalu diuruk.

Kui Hok Boan lalu mengajak Sin Liong pulang ke istana tua di Lembah Naga. Sin Liong menurut tanpa banyak cakap. Di sepanjang jalan, Hok Boan hanya mendengarkan dua orang anaknya menceritakan pengalaman mereka saat diculik, kemudian mendengarkan Lan Lan dan Lin Lin yang dibantu pula oleh dua orang anak laki-laki itu, mendesak dan bertanya kepada Sin Liong bagaimana dia dapat lolos dari tangan iblis betina itu.

Hok Boan sendiri tidak banyak bertanya karena hati orang ini masih diliputi rasa menyesal dan duka atas terjadinya peristiwa yang susul menyusul ini, yang menimpa dirinya dan keluarganya. Sama sekali dia tidak ingat lagi betapa tadi dia sudah menendang monyet betina yang telah terluka itu!

Memang begitulah watak seorang yang selalu mementingkan diri sendiri belaka. Yang selalu diperhatikan hanya kepahitan-kepahitan yang menimpa dirinya, yang diprihatinkan hanyalah kesusahan yang diderita oleh diri sendiri dan keluarganya. Orang seperti ini sama sekali tidak pernah mau melihat penderitaan orang lain, sehingga hatinya menjadi kejam.

Yang dicari hanya hal-hal yang dapat menyenangkan diri sendiri dan keluarganya, maka dalam mengusahakan kesenangan serta keselamatan bagi diri sendiri dan keluarganya, dia tidak segan-segan untuk melakukan apa saja, kalau perlu menyusahkan orang lain dengan perbuatan-perbuatannya yang kejam.

Akan tetapi, jelaslah bahwa orang yang selalu mengejar kesenangan untuk diri sendiri itu adalah orang yang hidupnya selalu kecewa dan sengsara. Karena orang demikian itu selalu merasa kasihan kepada diri sendiri, selalu mengeluh, selalu menganggap bahwa di dunia ini dia seoranglah yang paling celaka, paling sengsara, paling patut dikasihani. Dengan demikian, apa bila sedikit saja menghadapi halangan di dalam hidup, dia akan merasa sengsara sekali!

Orang seperti itu patut dikasihani, oleh karena dia belum mengerti, belum sadar bahwa sebetulnya dia telah dicengkeram oleh batinnya sendiri, oleh pikirannya sendiri, dikuasai dan dipermainkan oleh nafsu-nafsunya sendiri yang timbul dari permainan pikiran.

Sin Liong tidak mau banyak bercerita. Ketika didesak-desak oleh empat orang anak itu, dia hanya mengatakan bahwa ketika dia dibawa pergi oleh Kim Hong Liu-nio, di tengah jalan wanita itu dihadang oleh orang-orang Jeng-hwa-pang.

Mendengar disebutnya Jeng-hwa-pang, muka Kui Hok Boan langsung berubah sedangkan jantungnya berdebar tegang dan takut.

"Jeng-hwa-pang...?" katanya mengulang nama itu dengan suara agak gemetar. "Benarkah Jeng-hwa-pang yang menghadangnya, Sin Liong?"

Dia mendekat dan pertanyaannya itu terdengar lirih, seolah-olah dia merasa takut untuk membicarakan perkumpulan itu dengan suara keras, dan beberapa kali menengok ke kiri dan kanan dengan sikap jeri. Melihat ini, empat orang anak itu pun menjadi gelisah.

"Saya tidak tahu pasti, paman..."

"Sin Liong, engkau adalah anak kandung istriku, maka berarti engkau adalah anakku pula, sungguh pun anak tiri. Aku adalah ayahmu, tidak semestinya kau menyebut paman," kata Hok Boan.

Sin Liong menunduk dan tidak menjawab.

"Ayah, siapakah perkumpulan Jeng-hwa-pang itu?" mendadak Lan Lan bertanya kepada ayahnya. Kembali sasterawan itu kelihatan gelisah.

"Sudahlah, nanti saja di rumah kuceritakan. Hayo kita cepat pulang!" Dia lalu mengajak anak-anak itu dan para anak buahnya untuk mempercepat perjalanan pulang ke Istana Lembah Naga.

Setelah sampai di rumah, barulah Hok Boan kembali bertanya kepada Sin Liong tentang Jeng-hwa-pang. Sebagai seorang yang sudah banyak merantau sebelum dia menetap di Istana Lembah Naga, tentu saja dia sudah mendengar mengenai Jeng-hwa-pang, sebuah perkumpulan yang sangat ditakuti orang karena perkumpulan itu merupakan perkumpulan orang-orang yang luar biasa kejam dan pandai menggunakan segala macam racun yang mengerikan.

Sin Liong masih banyak berdiam diri dan tidak banyak bercerita. Dia hanya menceritakan betapa di tengah jalan wanita iblis yang telah menculiknya itu dikeroyok oleh orang-orang Jeng-hwa-pang, betapa dia kemudian dilarikan oleh ketua Jeng-hwa-pang, meninggalkan anggota-anggotanya yang dihajar oleh iblis betina itu.

"Jeng-hwa-pang juga tidak mampu mengalahkan dia?" Hok Boan bertanya dengan muka berubah pucat dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan main lihainya wanita itu...!"

Sin Liong tidak mau menceritakan betapa sute dari wanita itu, yang masih kecil, hanya berselisih satu atau dua tahun saja dengan dia, sudah mengalahkan pembantu-pembantu utama dari ketua Jeng-hwa-pang! Jika diceritakannya, tentu orang ini akan menjadi makin terheran-heran lagi, pikirnya.

Kini nampak olehnya betapa kepandaian suami dari ibu kandungnya itu, juga kepandaian dari mendiang ibunya, yang tadinya dianggap sangat hebat dan lihai, ternyata tidak ada artinya sama sekali apa bila dibandingkan dengan kepandaian ketua Jeng-hwa-pang, apa lagi kalau dibandingkan dengan kepandaian Kim Hong Liu-nio dan sute-nya. Ternyata di luar Istana Lembah Naga ini terdapat banyak sekali orang pandai!

Hal ini membuat dia makin ingin untuk pergi, untuk mencari ayahnya, untuk menyaksikan sendiri betapa lihai ayahnya yang oleh ibunya dianggap sebagai pendekar nomor satu di dunia ini! Ingin sekali dia melihat ayahnya mengalahkan orang seperti iblis betina Kim Hong Liu-nio itu.

"Lalu apa yang terjadi denganmu saat engkau dilarikan ketua Jeng-hwa-pang, Liong-ko?" tanya Lin Lin yang seperti anak-anak lainnya, tertarik bukan main mendengar pengalaman Sin Liong yang amat menyeramkan itu.

"Aku dilempar ke dalam lubang penuh ular..."

"Ihhh...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit ngeri.

"Kau dilempar ke dalam lubang ular dan kau tidak apa-apa?" tanya Beng Sin, matanya yang lebar itu makin membesar, mulutnya melongo.

"Aku digigit ular-ular itu, akan tetapi aku diselamatkan oleh..." Sampai di sini, Sin Liong menunduk dan kembali dia harus menggunakan ujung lengan bajunya yang robek-robek dan kotor untuk menghapus dua titik air matanya.

Lin Lin dapat menduga. "Monyet betina itu yang menolongmu, Liong-ko?"

Sin Liong mengangguk. "Dia dan teman-teman lain..., aku penuh luka lalu dirawat sampai sembuh. Kemudian tadi aku melihat kalian dilarikan penculik itu..."

Sejak tadi Siong Bu hanya mendengarkan saja, kini dia berkata, "Ahh, kau hebat sekali, Sin Liong!" katanya penuh kagum dan juga mengandung iri karena kini dalam pandang mata Lan Lan dan Lin Lin, tentu Sin Liong merupakan seorang yang amat gagah perkasa dan hebat.

Betapa pun hatinya tetap saja mengandung rasa tidak suka kepada anak itu, akan tetapi karena anak itu sudah menyelamatkan Lan Lan dan Lin Lin, karena andai kata tidak ada Sin Liong beserta monyet-monyet itu yang menyerang si penculik, kiranya dia dan anak buahnya tidak akan mampu menyusul penculik itu, Hok Boan lalu cepat memberi pakaian dan sepatu baru kepada Sin Liong dan bersikap manis kepada anak ini.

Akan tetapi Sin Liong sudah tidak memiliki semangat dan minat sama sekali untuk tinggal lebih lama di istana itu. Setelah ibunya tidak ada, apa lagi setelah kini induk monyet yang disayangnya itu pun tewas pula, tidak ada apa-apa lagi yang menahannya di tempat itu. Benar bahwa dia akan merasa kehilangan kalau berpisah dari Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi ikatan ini tidak cukup kuat untuk menahannya.

Demikianlah, pada suatu hari, pagi-pagi sekali, tanpa diketahui siapa pun juga, dan tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian yang menempel di tubuhnya, Sin Liong meninggalkan Istana Lembah Naga. Dia tidak tahu betapa Siong Bu menaruh perhatian padanya sejak Sin Liong kembali, dan anak ini melihat akan kepergian Sin Liong maka dia cepat-cepat memberi tahu kepada pamannya!

Sin Liong berjalan seorang diri melalui padang rumput, menuju ke dalam hutan di sebelah selatan Lembah Naga. Selama ini belum pernah dia memasuki hutan sebelah selatan itu, karena selama tinggal di situ, dia selalu hanya bermain-main di dalam hutan-hutan yang dihuni oleh monyet-monyet yang menjadi teman-temannya, yaitu hutan di timur dan utara. Dan biasanya, apa bila bermain-main ke selatan dia hanya sampai Padang Bangkai yang kini telah menjadi pedusunan. Akan tetapi karena kini dia mengambil keputusan untuk merantau jauh ke selatan, untuk menyeberangi Tembok Besar dan mencari ayahnya yang kabarnya berada di selatan sebagai seorang pendekar besar, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menuju ke selatan.

Akan tetapi baru saja dia tiba di tepi hutan, mendadak terdengar suara orang memanggil namanya. Dia menoleh dan dilihatnya Kui Hok Boan bersama Siong Bu berlari cepat mengejarnya. Dia mengerutkan alisnya dan berdiri tegak dengan sikap tenang. Siapa pun juga tak boleh melarang dia pergi, pikirnya dan pikiran ini membuat anak itu memandang dengan sinar mata penuh membayangkan kekerasan hatinya.

Tentu Siong Bu, anak yang selalu jahat kepadanya itu yang memberi tahu pamannya, pikir Sin Liong, maka ketika mereka berdua sudah tiba di hadapannya, langsung saja dia menegur, "Siong Bu, perlu apa engkau memberitahukan paman tentang kepergianku?"

Mendengar teguran ini, Siong Bu bertolak pinggang dan berkata, "Sin Liong, kau sungguh menyangka yang bukan-bukan. Aku memberi tahu paman demi kebaikanmu, karena aku khawatir engkau akan mengalami bencana kembali kalau engkau pergi!" Wajah Siong Bu memperlihatkan penasaran karena ‘maksud baiknya’ dianggap keliru oleh Sin Liong.

Sementara itu, Kui Hok Boan mengerutkan alisnya dan berkata kepada Sin Liong, "Anak baik, kenapa engkau hendak pergi lagi? Hendak kemanakah engkau? Ketahuilah bahwa setelah ibumu tidak ada, akulah yang bertanggung jawab terhadap dirimu, dan aku akan merasa menyesal sekali kalau terjadi sesuatu terhadap dirimu."

Sin Liong masih teringat akan semua perlakuan orang tua ini terhadap dirinya, maka kini dengan sinar mata tajam penuh penasaran dia berkata kepada orang tua itu, "Paman, apakah paman melarangku pergi untuk diajak kembali dan dihajar seperti tempo hari?"

Mendengar itu, wajah sasterawan itu berubah dan dia kelihatan berduka serta menyesal sekali. Dia pun menarik napas panjang dan berkata, "Agaknya benar kata-kata Siong Bu bahwa engkau terlalu keras hati dan terlalu penuh prasangka kepada orang lain, Sin Liong. Memang aku pernah bersikap keras kepadamu, akan tetapi hal itu ditujukan untuk kebaikanmu. Engkau terlalu liar, maka aku hanya ingin menjinakkanmu agar engkau tidak sampai menyeleweng. Akan tetapi, yahhh... katakanlah bahwa kami semua telah banyak bersalah kepadamu, banyak menduga secara keliru. Biarlah di sini aku minta maaf akan segala kesalahan yang sudah-sudah kepadamu, Sin Liong."

Orang tua itu berkata dengan sungguh-sungguh karena dia pun teringat kepada isterinya, teringat akan penderitaan isterinya dan betapa dia betul-betul merasa kehilangan setelah isterinya meninggal dunia. Setidaknya, Sin Liong merupakan anak kandung isterinya yang tercinta itu, maka dia ingin berbaik dengan anak ini, demi kenangan terhadap isterinya.

"Liong-ji, anakku... mari kita pulang, nak. Percayalah, aku sendiri yang akan menjagamu supaya jangan ada lagi orang atau siapa saja yang akan menghinamu. Aku juga akan mengajarkan ilmu silat kepadamu seperti juga kepada semua saudaramu."

Sin Liong adalah seorang anak yang mempunyai watak aneh luar biasa, berbeda dengan anak-anak lain. Sejak kecil dia tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua, bahkan karena tidak ingin rahasianya diketahui orang, mendiang ibunya juga tidak menunjukkan kasih sayangnya kepadanya.

Oleh karena haus akan kasih sayang orang tua serta orang lain itulah maka dia dapat bergaul dengan mesra bersama monyet-monyet itu. Dan keadaan sekelilingnya kemudian membentuk wataknya menjadi aneh.

Semua kepahitan hidup telah dideritanya semenjak kecil, maka wataknya kadang-kadang dapat menjadi keras, dan kadang-kadang menjadi amat perasa dan mudah terharu. Kalau dia ditekan, dia akan melawan dan memberontak tanpa mengenal takut. Akan tetapi kalau orang bersikap manis dan halus kepadanya, dia menjadi terharu sekali.

Kini menghadapi Kui Hok Boan yang bersikap manis kepadanya, lupalah dia akan segala perbuatan orang tua itu yang sudah-sudah terhadap dirinya dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan sasterawan itu. Ia memejamkan mata untuk menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja Sin Liong menangis!

Kalau dia ditekan, betapa pun hebatnya derita yang dirasakannya, biar pun dia diancam oleh siksaan dan kematian, dia tidak sudi mengeluh atau bersambat. Akan tetapi begitu hatinya terharu, dia tidak sanggup mencegah tangisnya dan kini air matanya yang sudah lama ditahan-tahannya itu bercucuran dan dia menangis terisak!

"Sudahlah, Sin Liong, jangan menangis," Kui Hok Boan berkata dengan sikap terharu, sedangkan Siong Bu juga berdiri dengan bengong. Belum pernah dia melihat Sin Liong menangis, bahkan ketika dihajar pun anak ini tidak pernah menangis! Dia masih bertolak pinggang, akan tetapi lenyap semua penasaran dan dia kini terheran-heran.

"Paman... selama ini sayalah yang selalu menyusahkan hati paman saja. Harap paman sudi memaafkan semua kesalahan saya. Kalau saya tinggal di istana, tidak lain saya pasti akan mendatangkan lebih banyak onar dan penyesalan hati paman saja. Oleh karena itu, saya sudah mengambil keputusan pasti untuk pergi mencari ayah kandung saya, paman."

"Akan tetapi, mana mungkin kau dapat mencarinya sampai jumpa, Sin Liong? Ke mana engkau hendak mencarinya?"

"Menurut penuturan ibu dahulu, ayah berada di selatan, di sebelah sana Tembok Besar, maka saya akan menyusul ke sana, paman."

Diam-diam Hok Boan kagum juga akan keberanian anak ini, dan akan kekerasan hatinya yang luar biasa sehingga biar pun sudah ditegurnya, tetap saja sampai kini menyebutnya dengan panggilan paman. Setelah diusir oleh Raja Sabutai, dia sendiri merasa ngeri untuk pergi ke selatan, akan tetapi anak ini hendak mencari ayahnya ke selatan walau pun dia belum tahu di mana adanya ayahnya itu. Seolah-olah ‘selatan’ itu hanya dekat saja, asal sudah melampaui Tembok Besar sudah sampai dan akan berjumpa dengan orang yang dicarinya.

"Sin Liong, apa kau kira daerah selatan itu kecil saja dan mudah kau jelajahi? Ketahuilah, bahwa daerah selatan, di sebelah dalam Tembok Besar itu sangat luasnya, biar engkau menjelajahi sampai selama hidupmu belum akan dapat kau datangi semua! Dan kau tidak tahu di mana kau hendak mencari? Marilah kau ikut bersama kami pulang ke rumah, dan kelak aku akan membantumu mencari-cari keterangan perihal ayah kandungmu itu."

"Tidak, paman. Saya akan pergi sekarang juga mencari ayah sampai jumpa. Biar sampai mati sekali pun, sebelum dapat jumpa saya tidak akan berhenti mencarinya!"

Kui Hok Boan sudah tahu bahwa anak ini memiliki watak yang luar biasa kerasnya, tidak mungkin ditentang karena andai kata dapat dibujuknya pulang juga, tentu pada suatu hari akan pergi juga tanpa pamit. Tidak mungkin baginya untuk terus-menerus menjaga anak ini dan mencegahnya pergi. Dia sendiri menghadapi kesibukan harus pindah dari Istana Lembah Naga sebelum enam bulan.

"Kalau memang kau tidak dapat kutahan, Sin Liong, aku pun tidak mampu menahan dan mencegahmu. Siong Bu, cepat ambil pakaian yang baik-baik, buntal dan ambilkan uang di dalam kamarku. Di laci meja terdapat sekantung uang perak, bawa ke sini. Cepat!"

Siong Bu cepat berlari kembali ke istana, sedangkan Kui Hok Boan lalu memberi nasehat kepada Sin Liong supaya berhati-hati melakukan perjalanan ke selatan. "Di sana banyak terdapat orang jahat yang amat pandai, Sin Liong. Lebih baik engkau tidak secara terang-terangan mengaku diri sebagai putera pendekar Cia Bun Houw, karena pengakuanmu itu hanya akan mendatangkan bencana dan bahaya. Dan juga sebaiknya kau tidak menyebut namaku. Ketahuilah, seperti juga pendekar Cia Bun Houw, aku pun mempunyai banyak musuh di selatan, maka menyebut namanya atau namaku akan memancing bahaya kalau sampai terdengar oleh mereka yang memusuhi ayah kandungmu atau aku."

Sin Liong mendengarkan penuh perhatian tanpa bantahan di dalam hatinya karena sekali ini dia merasa betapa orang tua itu memberi nasehat dengan setulusnya hati. Dan dia pun dapat merasakan kebenaran ucapan itu, karena baru sekali saja dia mengaku sebagai putera Cia Bun Houw, nyawanya hampir melayang dalam tangan Kim Hong Liu-nio!

Tidak lama kemudian datanglah Siong Bu berlari-lari dan anak ini membawa sebuntalan pakaian beserta sekantung uang. Kui Hok Boan lalu menyerahkan buntalan pakaian dan kantung uang itu kepada Sin Liong, sedangkan Siong Bu sendiri tadi membawa pisaunya yang amat disayang, yaitu pisau belati berbentuk golok kecil yang amat tajam dan selama ini dibanggakan.

"Aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali pisauku ini, Sin Liong."

Sin Liong menerima buntalan, kantung uang dan pisau itu dengan terharu sekali.

"Akan tetapi... engkau suka sekali kepada pisaumu ini, Siong Bu..."

Siong Bu tersenyum. "Karena itulah maka kuberikan kepadamu, Sin Liong. Sebagai tanda persahabatan, maukah kau menerimanya?"

"Terima kasih... terima kasih...!" Dan semenjak saat dia menerima buntalan dan pisau itu, maka lenyaplah seluruh rasa tidak senang di dalam hatinya terhadap Kui Hok Boan dan Siong Bu, lenyaplah seluruh anggapan bahwa mereka itu jahat kepadanya, bahkan kini berganti dengan anggapan bahwa mereka itu baik sekali kepadanya!

Tidak aneh apa yang dirasakan oleh hati Sin Liong itu. Demikianlah adanya kita semua ini! Semenjak kecil kita sudah terbiasa untuk terombang-ambing di antara pendapat yang menjadi hasil dari PENILAIAN. Kita memandang segala sesuatu dengan penilaian, maka muncullah pendapat baik dan buruk, baik dan jahat, dan sebagainya.

Segala macam kebalikan-kebalikan di dunia mempermainkan kita, dan juga membentuk pendapat-pendapat yang tidak lain hanya akan mendatangkan konflik saja dalam batin. Penilailan ini selalu tentu didasari oleh pengukuran atau pertimbangan yang merupakan kesibukan yang bersumber kepada kepentingan diri pribadi.

Kita mengukur sesuatu, atau seseorang, dengan dasar menguntungkan atau merugikan diri kita sendiri. Kalau menguntungkan lahir atau batin, kalau menyenangkan hati, maka keluarlah pendapat kita bahwa orang itu adalah baik! Sebaliknya kalau merugikan lahir atau batin, kalau tidak menyenangkan hati, maka pendapat kita terhadap orang itu tentu buruk!

Jadi jelaslah bahwa baik atau pun buruk itu hanya merupakan pendapat yang didasari oleh kepentingan si aku yang selalu ingin memperoleh kesenangan! Dan sudah jelas pula bahwa pendapat demikian adalah palsu dan tidak betul! Pendapat ini hanya merupakan penilaian yang bertiraikan kepentingan pribadi kita, dan tentu hanya akan mendatangkan pertentangan batin belaka.

Betapa pun jahat seseorang menurut pendapat umum, apa bila dia itu baik kepada kita, menyenangkan kita, maka kita akan menganggap dia itu baik! Sebaliknya, dunia boleh menganggap seseorang itu amat baik, akan tetapi jika dia tidak baik kepada kita, kalau dia tidak menyenangkan kita, maka tak mungkin kita menganggapnya baik, dan kita pasti akan menganggap dia jahat! Begitulah kenyataannya!

Maka, dapatkah kita memandang segala sesuatu tanpa penilaian? Memandang segala sesuatu, memandang orang lain, seperti apa adanya, seperti keadaan yang sebenarnya tanpa menilai yang didasarkan menyenangkan kita atau tidak?

Karena hanya dengan memandang sesuatu seperti itu sajalah yang membebaskan kita dari penilaian, dan sesudah kita terbebas dari penilaian, maka kita bebas pula dari rasa suka atau tidak suka. Seni memandang seperti ini merupakan seni tersendiri yang hanya nampaknya saja sulit akan tetapi tidaklah sulit kalau kita memiliki perhatian sepenuhnya dan bila mana kita sadar benar-benar bahwa sudah semestinya terjadi perubahan dalam kehidupan kita yang lebih banyak sengsaranya dari pada bahagianya ini.

Sin Liong segera berpamit meninggalkan Kui Hok Boan dan Kwan Siong Bu yang masih memandang kepada anak yang berjalan pergi itu dengan penuh kagum dan khawatir. Anak itu masih terlalu kecil untuk menempuh hidup yang penuh bahaya di sebelah dalam Tembok Besar.

Ketika Sin Liong memasuki hutan di luar Tembok Besar, tiba-tiba dari jauh dia mendengar suara pertempuran. Suara teriakan-teriakan orang yang berkelahi itu diseling oleh suara berdencingnya senjata yang beradu.

Sin Liong merasa sangat tertarik, namun dia cukup berhati-hati mengingat akan nasehat pamannya supaya dia tidak suka mencampuri urusan orang-orang lain, apa lagi urusan orang-orang kang-ouw. Betapa pun juga, karena hatinya tertarik sekali, dia tidak mungkin pergi begitu saja tanpa menonton!

Memang pada dasarnya, anak ini suka sekali menyaksikan kegagahan, dan paling suka melihat orang mengadu kepandaian dengan ilmu silat. Karena itu dia lantas mengikatkan buntalannya di pundak dan cepat dia meloncat ke atas, menyambar cabang pohon paling rendah kemudian bagaikan seekor monyet saja dia memanjat dan berloncatan naik dari cabang ke cabang, berayun-ayun dari satu pohon ke pohon yang lain menuju ke tempat terjadinya perkelahian itu. Biar pun dia bersepatu, tapi dia tidak kehilangan kegesitannya, biar pun tentu saja kakinya yang terbungkus sepatu itu dirasakannya amat mengganggu gerakannya di atas pohon-pohon di antara cabang-cabang dan daun-daun.

Akhirnya, tibalah dia di tempat pertempuran itu dan dia duduk di atas cabang pohon. Karena tepat seperti yang diduganya, pertempuran itu dilakukan oleh orang-orang yang menggunakan golok dan pedang, dan dilakukan dengan gerakan silat yang sangat cepat dan indah, maka hatinya menjadi tertarik sekali dan duduklah dia di cabang pohon yang dekat agar dia dapat menonton dengan enak.

Saking tertariknya, Sin Liong tidak melihat bahwa ada bayangan-bayangan lain di atas pohon-pohon yang berayun-ayun dan mendekati tempat itu. Dia tidak sadar bahwa ada beberapa ekor monyet besar yang mengenalnya dan monyet-monyet ini lalu bersama kawan-kawan mereka datang mendekati anak itu.

Sin Liong amat tertarik menonton pertempuran itu. Seorang laki-laki berusia kira-kira lima puluh tahun, bertubuh tinggi agak kurus namun kelihatan gagah sekali, wajahnya tampan membayangkan kegagahan dan keramahan, sedang mainkan pedangnya dengan cepat untuk menahan pengeroyokan tiga orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan yang mengeroyoknya dengan menggunakan golok besar.

Tiga orang tinggi besar itu mempunyai gerakan yang liar dan ganas sekali, golok mereka menyerang dengan dahsyat dari tiga jurusan dan kedudukan mereka selalu membentuk segi tiga ketika mengepung kakek berpedang itu. Tadinya Sin Liong masih teringat akan nasehat pamannya sehingga tidak hendak mencampuri, hanya ingin menonton saja.

Tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa tiga orang itu adalah anggota-anggota Jeng-hwa-pang! Hal ini dapat dikenalinya bukan hanya karena pakaian mereka yang tidak berlengan itu, akan tetapi juga karena dia mengenali seorang di antara mereka yang berkumis pendek kaku tanpa jenggot.

Maka begitu dia mengenal tiga orang itu sebagai orang-orang Jeng-hwa-pang, teringatlah dia akan ketua Jeng-hwa-pang yang jahat bukan main, yang pernah menyiksanya dan melemparkannya ke dalam lubang yang penuh ular. Karena itu seketika hatinya sudah berfihak kepada kakek berpedang itu yang tidak dikenalnya akan tetapi yang mempunyai wajah yang gagah dan menyenangkan hatinya.

Apa lagi ketika dia melihat betapa kakek itu makin lama makin terdesak hebat, dia makin berfihak kepada kakek itu. Dan penglihatannya memang tidak keliru.

Orang yang berkumis pendek kaku itu memang seorang anggota Jeng-hwa-pang tingkat atas yang pernah dilihatnya. Ternyata bahwa ada pula anggota Jeng-hwa-pang yang bisa lolos dari tangan maut Kim Hong Liu-nio dan dua orang yang lain itu adalah tokoh-tokoh Jeng-hwa-pang yang baru datang. Mereka tidak ikut dalam rombongan Gak Song Kam, yaitu pangcu (ketua) dari Jeng-hwa-pang, dan mereka bertiga memiliki kepandaian yang cukup tinggi karena mereka bertiga ini menerima latihan langsung dari pangcu mereka sehingga tingkat mereka tidaklah lebih rendah dari pada tingkat Heng-san Ngo-houw yang menjadi pembantu-pembantu pangcu dari Jeng-hwa-pang itu.

Ketika Sin Liong melihat dengan lebih teliti, maka tahulah dia bahwa kakek berpedang itu telah terluka di betis kirinya. Pantas saja gerakannya menjadi kaku dan tidak leluasa. Biar pun demikian, tetap saja sejauh ini pedangnya dapat menangkis tiga batang golok yang menyerangnya seperti hujan itu.

Sin Liong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Apa bila tidak dibantu, kakek gagah itu akhirnya pasti akan roboh juga, pikirnya. Dia lupa akan keadaan dirinya sebagai seorang anak-anak yang belum memiliki kepandaian berarti. Terdorong oleh rasa penasaran dan kasihan kepada kakek itu, tiba-tiba Sin Liong meloncat turun dan membentak nyaring.

"Tiga orang mengeroyok satu orang, sungguh pengecut!" Dan dia pun sudah menerjang maju, langsung menyerang ke arah dada dan perut seorang di antara para pengeroyok itu seperti seekor kera marah!

Orang itu terkejut, akan tetapi melihat bahwa yang menerjangnya hanyalah seorang anak kecil, dia tertawa mengejek, melompat ke kiri dan pedangnya menyambar ke arah leher Sin Liong.

"Singggg...!"

Orang itu sangat terkejut karena sambaran pedangnya luput! Boleh jadi Sin Liong belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi jelas bahwa dia telah mempunyai ketangkasan yang luar biasa, kegesitan seekor monyet, kecepatan yang wajar dan yang hanya dapat dikuasai karena kebiasaan, bukan karena latihan. Juga dia memiliki naluri perasaan yang tajamnya bukan main, maka hal inilah yang menjadikan kelebihan dari Sin Liong dari pada orang-orang lain, dan membuat dia dengan mudah mengelak dari sambaran golok itu.

Pada saat itu pula, tidak kurang dari sepuluh ekor monyet-monyet besar telah berloncatan turun dan dengan mengeluarkan gerengan dan suara riuh rendah, mereka ikut menyerbu dan mengeroyok secara membabi buta dan ngawur. Mereka itu menyerang empat orang itu, termasuk kakek berpedang. Hanya Sin Liong saja yang tidak mereka keroyok! Tentu saja monyet-monyet itu tidak tahu siapa musuh Sin Liong yang sebenarnya!

Melihat munculnya bocah aneh itu dengan sekawanan monyet, tiga orang yang sejak tadi belum juga mampu mengalahkan kakek yang gagah perkasa itu menjadi jeri. Mereka lalu bersuit nyaring dan meloncat pergi, terus melarikan diri secepatnya dari tempat itu.

Melihat betapa kini monyet-monyet itu hendak mengeroyok si kakek gagah, segera Sin Liong mengeluarkan bunyi pekik monyet yang nyaring hingga monyet-monyet itu segera mundur, hanya masih memandang ke arah kakek berpedang dengan mata marah dan memperlihatkan taring. Kakek itu yang juga terkejut, dengan pedang di tangan sekarang memandang kepada Sin Liong penuh keheranan.

Sin Liong segera berkata, "Paman, setelah mereka pergi, harap paman juga cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum mereka itu datang kembali."

Kakek itu memandang dengan bengong. "Jadi kau... dan monyet-monyet itu... kalian telah menolongku tadi?" tanyanya, masih bingung karena merasa heran bagaimana dari dalam hutan tahu-tahu muncul seorang bocah tampan yang secara berani mati membantunya bersama sekawanan monyet liar itu.

"Maafkan, mereka itu tadi tidak tahu aturan, tidak mengenal mana kawan mana lawan. Melihat paman dikeroyok, aku melupakan kebodohan sendiri dan membantu."

Laki-laki itu semakin heran. Anak hutan yang berkawan dengan monyet-monyet ini pandai membawa diri, sikapnya halus dan sopan pula! Sungguh ajaib!

"Anak baik, aku berterima kasih sekali kepadamu. Engkau siapakah? Apakah kau tinggal di sini?"

Sin Liong menggeleng kepalanya. "Saya tidak mempunyai tempat tinggal, paman, tempat tinggal saya di dalam hutan, di atas pohon-pohon bersama monyet-monyet itu."

"Ahhh...! Dan engkau membawa buntalan pakaian, agaknya hendak pergi?"

"Benar, paman. Saya hendak pergi menyeberang Tembok Besar..."

"Kau? Seorang diri pula? Anak baik, siapa namamu?"

"Nama saya Sin Liong...," dia tidak mau menyebutken she-nya.

"Nama keluargamu?" Kakek itu mendesak.

Sin Liong menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu."

"Ayah ibumu?"

"Tidak ada..."

"Luar biasa sekali! Sin Liong, ketahuilah bahwa aku adalah seorang piauwsu, bernama Na Ceng Han, tinggal di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Aku datang ke tempat ini dalam perjalanan menuju ke kaki Pegunungan Khing-an-san mencari seorang sahabatku bernama Bhe Coan, seorang pandai besi. Akan tetapi ternyata sahabatku itu telah tewas dibunuh orang! Maka aku hendak kembali dan setibanya di hutan ini bertemu dengan tiga orang jahat yang tanpa sebab langsung menyerangku tadi. Untunglah ada engkau yang sudah menolongku. Sin Liong, anak baik yang aneh sekali. Jangan kau takut kepadaku, ceritakan saja terus terang, siapakah orang tuamu dan ke mana engkau hendak pergi?"

Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek itu. Na-piauwsu atau Na Ceng Han terkejut bukan main. Anak itu memiliki sinar mata yang tajam luar biasa, menyambar seperti kilat pada waktu memandang kepadanya! Memang Sin Liong merasa tidak senang ketika didesak seperti itu.

"Paman Na, di antara kita tidak ada urusan apa-apa. Setelah tiga orang itu pergi, harap paman suka pergi saja."

"Jangan marah, Sin Liong. Aku bertanya karena merasa heran sekali di tempat seperti ini bertemu dengan seorang anak seperti engkau. Engkau mengaku tidak ada ayah bunda, sebatang kara dan tidak punya tempat tinggal, akan tetapi pakaianmu baik dan engkau membawa buntalan pakaian..."

"Saya dapatkan dari orang-orang dusun yang memberi kepada saya," jawab Sin Liong secara singkat. 

"Benarkah kau sebatang kara dan hendak ke selatan?"

"Paman, saya tidak biasa membohong!"

"Bagus! Kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku ke selatan, anak baik."

"Akan tetapi, saya tidak mau terikat kepada paman..."

Tiba-tiba Na Ceng Han tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau seorang anak berjiwa gagah, akan tetapi agaknya belum tahu siapa orang yang boleh dipercaya dan siapa tidak. Aku selamanya tidak mau mengikat orang, anakku. Marilah!"

Dia membalik dan hendak berjalan, akan tetapi mengeluh dan hampir saja jatuh terguling kalau Sin Liong tidak cepat menangkap tangan kakek itu.

"Paman, engkau terluka!"

"Ah, keparat itu...!" Na Ceng Han memaki dan cepat dia duduk di atas tanah dan merobek celananya pada bagian betis kiri. Di sana nampak tanda membiru dan lapat-lapat masih nampak ujung sebatang jarum yang menancap sampai dalam.

"Celaka! Engkau telah terkena jarum rahasia yang beracun, paman!"

Sekali pandang saja Na Ceng Han memang sudah menduga bahwa jarum yang mengenai betisnya itu beracun, akan tetapi dia heran bagaimana anak itu bisa tahu. Tanpa berkata apa-apa dia lalu mencabut pedangnya yang tadi telah disarungkan dan hendak membuka kulit betis yang terluka itu dengan pedang.

"Paman, pergunakan ini saja!" Sin Liong cepat mengeluarkan pisaunya, pemberian Siong Bu karena menggunakan pedang yang panjang itu untuk membedah betis tentu saja amat canggung.

"Terima kasih, kau baik sekali!" kata Na Ceng Han dan dia menerima pisau yang baru dan mengkilap tajam tanpa karat sedikit pun itu, lalu tanpa ragu-ragu lagi kakek ini merobek kulit betis yang terluka dengan pisau itu.

Sin Liong memandang dan diam-diam anak ini juga kagum sekali akan kegagahan kakek itu yang berkejap pun tidak pada saat pisau itu ditusukkan ke dalam dagingnya kemudian merobeknya, membukanya sampai darah menguncur keluar. Dan memang benar dugaan Sin Liong, darah yang keluar itu berwarna agak kehijauan!

"Darahnya harus disedot keluar, paman," kata pula Sin Liong dan karena agaknya tidak mungkin bagi orang itu untuk menyedot sendiri betisnya, maka dia melanjutkan dengan cepat, "Biar kulakukan itu, paman!"

Na Ceng Han terkejut bukan kepalang dan hendak mencegah, akan tetapi anak itu telah memegang betisnya dan tanpa ragu-ragu sudah menempelkan mulutnya pada betis yang terluka lalu menyedotnya kuat-kuat. Sin Liong meludahkan darah yang disedotnya, cepat menyedot lagi sampai berulang lima kali dan setelah darah yang keluar berwarna merah, barulah dia berhenti menyedot.

Na Ceng Han memegang pundak anak itu yang sedang membersihkan mulutnya dengan ujung lengan bajunya. Dia terharu bukan main. Anak ini tak dikenalnya sama sekali, baru saja bertemu, tetapi tadi telah menyelamatkan nyawanya ketika secara nekat membantu dia mengundurkan para perampok lihai itu. Dan sekarang dengan suka rela anak ini telah menyedot racun dari luka pada betisnya! Bukan main anak ini! Kedua mata orang tua itu menjadi basah karena hampir dia tidak percaya bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini.

"Sin Liong, apa yang kau lakukan ini takkan dapat kulupakan selama hidupku!" katanya.

Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera menghampiri monyet-monyet besar kemudian dengan suara memekik-mekik dia minta kepada para monyet itu untuk mencarikan daun obat untuk luka Na Ceng Han.

Kembali Na Ceng Han terbelalak memandang dan melihat para monyet itu berloncatan pergi dan tak lama kemudian datang membawa semacam daun berwarna kecoklatan. Sin Liong lalu mencuci daun-daun itu dengan air jernih yang mengalir tidak jauh dari situ, lalu perlahan-lahan dia meremas-remas daun-daun itu sampai daun-daun itu menjadi lunak dan mengeluarkan lendir.

Dengan hati-hati dia lalu menutupkan daun-daun itu sampai lima enam tumpuk di atas luka pada betis Na Ceng Han, kemudian membalut luka yang ditutupi daun-daun obat itu dengan sehelai sapu tangan. Na Ceng Han merasa betapa luka yang tadinya panas itu kini menjadi dingin sekali.

"Sin Liong, sungguh engkau seorang anak ajaib sekali! Bagaimana kau bisa berhubungan dengan monyet-monyet itu dan dapat memerintahkan mereka?" Na Ceng Han bertanya dengan pandang mata penuh kagum.

"Tidak ada yang aneh, paman. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan mereka dan tahu cara hidup mereka, bahkan saya pernah menderita luka-luka akibat cakaran dan gigitan harimau, dan mereka itulah yang mengobatiku, menjilati semua lukaku dan menaruhkan daun obat ini."

"Bukan main! Dan bagaimana kau tahu bahwa aku terkena jarum beracun? Memang tadi ketika tiga orang lihai itu muncul, mereka menyerangku dengan jarum-jarum dan agaknya ada sebatang yang mengenai betisku. Aku hanya merasa agak kaku di kaki ini akan tetapi tidak sempat memeriksanya karena mereka sudah mengepung dan menyerangku."

Sin Liong tidak ingin menceritakan keadaan dirinya secara selengkapnya karena dengan demikian dia harus mengaku siapa orang tuanya dan menceritakan pula mengenai Istana Lembah Naga, maka dia hanya berkata,

"Saya dapat menduganya setelah melihat luka itu, karena saya mengenal tiga orang tadi, paman. Mereka itu adalah orang-orang dari Jeng-hwa-pang dan sudah tentu saja mereka menggunakan racun dalam senjata rahasia mereka."

Akan tetapi ucapannya itu bahkan amat mengejutkan Na Ceng Han sampai dia terlonjak dan bangkit berdiri, tak merasakan kenyerian betisnya ketika dia berdiri saking kagetnya. Bahkan wajahnya pun lantas berubah, persis seperti keadaan Kui Hok Boan ketika untuk pertama kali mendengar disebutnya Jeng-hwa-pang.

"Jeng-hwa-pang...?" Kakek ini bertanya, suaranya agak menggetar karena ngeri dan jeri. "Mereka... mereka itu orang-orang Jeng-hwa-pang? Ahh, Sin Liong, bagaimana kau bisa tahu?"

"Saya... saya pernah melihat dan mendengar mereka dari atas pohon ketika mereka lewat dan bercakap-cakap, paman."

"Kalau benar demikian, mari kita cepat pergi dari sini, Sin Liong!"

Sin Liong mengangguk dan pergilah dua orang itu menuju ke selatan. Walau pun agak terpincang, akan tetapi Na Ceng Han tak lagi merasakan kakinya kaku seperti tadi, maka mereka dapat melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa ke selatan.....

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar