Semenjak kecil, manusia telah mengenal pujian-pujian yang tentu saja mula-mula dimulai dengan timang dan puji dari ayah ibunya sendiri, lalu lama-kelamaan sifat suka dipuji ini dibentuk oleh keadaan sekeliling. Makin besar pertumbuhan anak itu, makin besar pula sifat suka dipuji ini, dan agaknya sifat ini dibawa terus sampai tua dan sampai mati.
Betapa manusia selalu haus akan pujian. Sifat haus akan pujian ini makin memperbesar gambaran kita tentang diri kita sendiri sehingga membuat kita bertambah sukar untuk memandang dan mengenal diri sendiri seperti apa adanya.
Kita ini kerdil, namun gambaran-gambaran itu membuat kita melihat diri kita besar dan agung! Kita ini kotor, tetapi gambaran-gambaran itu membuat kita melihat bayangan kita sebagai yang paling bersih! Sehingga kekotoran kita sendiri itu tidak pernah nampak oleh kita, dan karena tidak pernah kelihatan maka tentu saja tidak pernah terjadi perubahan yang membersihkan kekotoran itu.
Betapa manusia selalu haus akan pujian. Sifat haus akan pujian ini makin memperbesar gambaran kita tentang diri kita sendiri sehingga membuat kita bertambah sukar untuk memandang dan mengenal diri sendiri seperti apa adanya.
Kita ini kerdil, namun gambaran-gambaran itu membuat kita melihat diri kita besar dan agung! Kita ini kotor, tetapi gambaran-gambaran itu membuat kita melihat bayangan kita sebagai yang paling bersih! Sehingga kekotoran kita sendiri itu tidak pernah nampak oleh kita, dan karena tidak pernah kelihatan maka tentu saja tidak pernah terjadi perubahan yang membersihkan kekotoran itu.
Sin Liong sebagai anak, baru berusia dua belas tahun, tentu saja tidak terlepas dari sifat ini. Mendengar dua orang anak itu bersorak memuji, dan kadang-kadang menjerit karena merasa ngeri, dia kemudian sengaja hendak memamerkan kepandaiannya! Bagi dia yang hidup di atas pohon sejak lahir, berayun-ayun dan bermain-main di pohon itu, betapa pun tingginya, tiada bedanya dengan bermain-main dan berlarian di atas tanah saja.
Melihat Sin Liong berayun-ayun demikian cepatnya, melepaskan cabang dan meloncat ke cabang lain, kemudian memutar-mutar tubuhnya dengan tangan berpegang pada ranting, mengenjot-enjot ranting, kedua orang anak perempuan itu bersorak memuji. Akan tetapi tiba-tiba, pegangan Sin Liong terlepas dan tubuhnya melayang ke bawah!
"Aihhhh...! Dua orang anak perempuan itu menjerit dengan berbareng.
Akan tetapi, tiba-tiba kaki Sin Liong mengait ranting dan tubuhnya terayun dengan kepala di bawah dan dia tertawa-tawa, lalu berjungkir balik dan telah memanjat naik kembali. Dua orang anak perempuan itu juga tertawa, akan tetapi muka mereka berubah agak pucat. Ketangkasan Sin Liong bermain-main di atas pohon itu memang tak ada bedanya dengan seekor monyet. Hal ini tentu saja tidak mengherankan kalau diingat bahwa sebelum dia bisa berjalan kaki, Sin Liong sudah pandai sekali berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon.
Tidak lama kemudian Sin Liong sudah turun dari pohon itu membawa dua tangkai bunga merah segar yang indah. Dia menggigit tangkai bunga-bunga itu. Bunga-bunga itu segar dan masih basah oleh embun pagi.
"Engkau hebat, Sin Liong!" kata Kui Lin.
"Kembang itu indah sekali untuk hiasan rambut!" kata Kui Lan.
"Mari kupasangkan di rambut kalian, seorang satu," kata Sin Liong.
Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa girang dan Sin Liong lantas memasangkan setangkai bunga pada rambut kepala Kui Lan, kemudian setangkai pula di rambut kepala Kui Lin. Setelah kembang itu berada di atas kepala dua orang anak perempuan kembar ini, Sin Liong memandang mereka dengan kagum. Cantik bukan main mereka itu, cantik dan amat baik kepadanya. Dan kembang-kembang itu membuat mereka nampak makin mungil.
"Kalian cantik sekali...," dia memuji.
"Ah, engkau yang hebat, Sin Liong. Tangkas sekali engkau memanjat pohon tadi, dan aku berani bertaruh bahwa kedua suheng kami pun tidak mungkin bisa memetik kembang ini seperti yang kau lakukan tadi!" Kui Lan memuji.
"Dan sebagai hadiahnya, maka engkau boleh memasangkan kembang di rambut kami," Kui Lin menambahkan.
Mereka tidak tahu bahwa di balik sebatang pohon, Kwan Siong Bu mengintai dan melihat serta mendengar semua itu dengan mata terbelalak, muka merah dan tangan terkepal. Dia merasa iri hati sekali. Tadi dia mendengar sorak dan jerit dua orang anak perempuan itu, maka dia menghampiri dan mengintai dari balik pohon. Kini hatinya menjadi panas oleh iri.
Akan tetapi apa yang dapat dibuatnya? Untuk memanjat pohon dan bermain-main di atas pohon seperti yang dilakukan Sin Liong tadi, tentu saja dia tidak mampu. Huh, kau anak monyet, tentu saja pandai memanjat pohon, pikirnya marah.
"Sin Liong, tangkapkan kupu-kupu kuning itu untukku!" mendadak Kui Lan berkata sambil menudingkan telunjuknya kepada seekor kupu-kupu berwarna kuning yang gerakannya gesit sekali.
"Ya, untukku seekor, Sin Liong. Tadi kami mencoba-coba menangkapnya tetapi selalu gagal," kata pula Kui Lin.
Mendengar ini, tentu saja Sin Liong ingin sekali menyenangkan hati dua anak perempuan itu. Untuk sementara dia melupakan pekerjaannya menyapu dan dia pun berkata dengan wajah berseri, "Baiklah, Lan-moi dan Lin-moi, kalian tunggu saja. Aku akan menangkap dua ekor kupu-kupu kuning untuk kalian!" Dan dia pun sudah berlari mengejar kupu-kupu yang terbang menjauh itu.
Mendengar betapa Sin Liong bermain-main dengan kedua orang sumoi-nya itu, bahkan menyebut moi-moi pula, hati Siong Bu menjadi amat panas. Huh, anak monyet, sombong kamu! Demikian pikirnya. Kalau selama satu tahun ini dia hanya menahan-nahan ketidak senangan hatinya terhadap Sin Liong adalah karena dia takut terhadap bibinya yang kini kelihatan melindungi Sin Liong. Kini, melihat Sin Liong pergi mengejar kupu-kupu, Siong Bu cepat mencari akal untuk mengganggunya.
Iri hati selalu menimbulkan rasa benci dan dendam. Benci dan dendam mendatangkan kecerdikan yang selalu didorong oleh kejahatan untuk mencelakakan orang lain atau pun menguntungkan diri sendiri. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kita waspada terhadap diri sendiri yang mudah dikuasai oleh iri hati.
Iri hati timbul dari perbandingan. Kita suka membandingkan keadaan kita dengan orang lain, menganggap orang lain lebih beruntung dari kita, lebih senang dan lebih enak dari pada kita, maka timbullah iba diri yang berkawan dengan iri hati.
Iri hati timbul dari perbandingan. Kita suka membandingkan keadaan kita dengan orang lain, menganggap orang lain lebih beruntung dari kita, lebih senang dan lebih enak dari pada kita, maka timbullah iba diri yang berkawan dengan iri hati.
Dua orang anak perempuan itu sedang tersenyum-senyum dan saling pandang. Melihat saudaranya demikian cantik memakai kembang di kepala, mereka tahu bahwa mereka pun masing-masing seperti saudaranya itulah. Dan mereka merasa bangga dan girang.
"Wuutt... wuuttt...!" Dua buah benda menyambar.
"Pratt! Prattt!"
Kui Lan dan Kui Lin menjerit dan cepat memegang kepala masing-masing. Bunga-bunga di kepala mereka tadi sudah runtuh dan mendadak kepala mereka menjadi kotor terkena lumpur! Entah dari mana datangnya mereka tidak tahu, akan tetapi ada tanah berlumpur yang menyambar bunga mereka sehingga bunga itu runtuh dari atas kepala mereka dan rambut mereka menjadi kotor. Kui Lan dan Kui Lin adalah dua orang anak manja. Melihat bunga itu jatuh rusak dan rambut mereka kotor, yang mereka ketahui dari melihat rambut saudara mereka, keduanya lalu menangis.
Mendengar jerit itu yang disusul tangis, Sin Liong menjadi terkejut. Kupu-kupu kuning tadi memang lincah sekali, kelihatan terbang rendah akan tetapi beberapa kali ditubruknya selalu gagal dan luput. Pada saat mendengar jerit kedua orang anak perempuan itu dia menoleh dan kagetlah hatinya melihat mereka menangis sambil memegangi kepala.
Cepat dia berlari menghampiri. Napasnya sampai terengah-engah karena dia terkejut dan berlari cepat sekali. Ketika melihat betapa bunga itu sudah rontok dari kepala mereka dan rambut mereka kotor terkena lumpur, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang ke kanan kiri. Akan tetapi tak nampak seorang pun di situ dan dia lalu membersihkan rambut kepala Kui Lan karena anak inilah yang lebih keras tangisnya, sambil menghibur.
"Sudahlah, biar nanti kucarikan lagi."
Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk membersihkan rambut kedua orang anak perempuan itu.
"Heeei Sin Liong, kau berani kurang ajar terhadap dua orang sumoi-ku, ya? Kau telah menggoda mereka dan mengotorkan rambut mereka, ya?"
Sin Liong terkejut dan menoleh. Dia melihat Siong Bu tiba-tiba saja muncul dan selagi dia hendak membantah, Siong Bu sudah menerjang dan menyerangnya dengan pukulan ke arah dadanya. Sin Liong mundur-mundur, akan tetapi dia tidak mampu menghindar dari pukulan itu.
"Bukkk...!" dan dia terhuyung ke belakang.
"Heeeiii, aku aku tidak..."
"Pengecut! Beraninya hanya menggoda anak perempuan!" Siong Bu menerjang lagi, kini mengirim tendangan ke arah perut Sin Liong.
Gaya serangan Siong Bu kini sudah makin berisi, berbeda dengan setahun yang lalu. Sin Liong meloncat ke belakang mengelak, akan tetapi pemuda kecil yang berwajah tampan dan pemarah itu sudah mendesaknya dan mengirim pukulan bertubi-tubi.
Setahun yang lalu, walau pun Sin Liong belum pernah mempelajari ilmu silat, namun dia memiliki ketangkasannya karena hidup secara liar bersama para monyet. Kini, karena dia telah mempelajari ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan Siong Bu yang marah tentu saja dia bergerak menurut itu silat yang selama ini dilatihnya di bawah bimbingan ibunya. Dan justru hal inilah yang membuat dia menjadi bulan-bulanan serangan Siong Bu.
Siong Bu telah mempelajari ilmu silat sejak kecil, maka dibandingkan dengan Sin Liong yang baru belajar satu tahun itu, tentu saja Siong Bu jauh lebih menang, maka kalau Sin Liong menghadapinya dengan mengandalkan gerakan silat, tentu saja dia kalah jauh dan elakan-elakannya menurut gaya silat yang belum matang itu tak berhasil menghindarkan dia dari serangan-serangan Siong Bu.
Dengan kepandaian silatnya yang masih mentah, namun yang dipakainya dalam gerakan, Sin Liong bahkan mengurangi kecepatannya sendiri, kehilangan ketangkasan yang telah didapatnya secara wajar dan otomatis itu. Andai kata dia tidak lagi terikat dengan gerakan silat, kiranya dia malah akan dapat bergerak lebih cepat karena bebas, dan dia pun dapat mengandalkan nalurinya yang sangat kuat untuk menghindarkan diri dari semua pukulan dan tendangan. Namun, dia menangkis dan mengelak dengan gerakan silat yang masih mentah sehingga berkali-kali dia terkena hantaman dan tendangan Siong Bu. Beberapa kali dia terpelanting dan terbanting roboh!
"Heiiii, suheng! Sin Liong! Jangan berkelahi...!" Beng Sin datang berlari-lari ke tempat itu dan mencoba untuk melerai. Akan tetapi hampir saja dia terkena sambaran tendangan kaki Siong Bu. "Sudah... sudah... kenapa berkelahi?" Beng Sin berseru lagi akan tetapi kini dia hanya berdiri dengan khawatir.
Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Meski pun hidungnya sudah mengeluarkan darah dan mukanya benjol-benjol membiru, pakaiannya koyak-koyak serta tubuhnya babak belur, dia masih terus melawan dan sekali dua kali ada juga pukulannya yang mengenai tubuh Siong Bu. Akan tetapi, kembali dia terjengkang oleh tendangan kaki Siong Bu yang mengenai dadanya.
"Desss...!" Sin Liong terjengkang dan terbanting keras.
"Sudah... sudah, jangan berkelahi...!" Kui Lin berseru.
"Kwan-suheng, sudah jangan memukul dia lagi!" Kui Lan juga berteriak.
Akan tetapi Siong Bu bukan hanya marah, akan tetapi anak ini juga ingin memamerkan kepandaiannya di hadapan kedua orang sumoi-nya, untuk menonjolkan kelebihannya dari Sin Liong agar harga dirinya naik dalam pandangan dua orang sumoi-nya itu, juga untuk merendahkan Sin Liong di depan mereka.
"Hayo kau minta ampun, baru aku mau sudah!" bentak Siong Bu kepada Sin Liong yang sudah babak belur itu.
Akan tetapi, bagi Sin Liong lebih baik jika dia dipukul mati dari pada harus minta ampun kepada Siong Bu, minta ampun tanpa bersalah. Maka dia sudah merangkak bangun lagi kemudian dengan gerengan di dalam kerongkongannya, dia menubruk ke depan. Begitu terdengar gerengan ini, Sin Liong menyerang dengan ganas dan liar, tidak menggunakan gerak silat lagi. Dia sudah lupa akan silatnya, kini berubah menjadi seekor monyet marah, matanya mendelik dan mulutnya menyeringai, tubrukannya dahsyat sekali.
"Plakkk! Dukkk!"
Tendangan dan pukulan Siong Bu memapaki tubuhnya, akan tetapi kini Sin Liong seperti tidak mengenal rasa sakit lagi dan masih saja dia menubruk dan mencengkeram. Rambut kepala Siong Bu dijambak dan ditarik sekuatnya sehingga anak itu menjerit dan berusaha melepaskan jambakan.
Namun Sin Liong tetap mencengkeram rambut itu seperti seorang yang hanyut di sungai berpegangan kepada ranting pohon penyelamat. Siong Bu kesakitan dan berteriak-teriak, kakinya menendang-nendang dan ketika lutut Sin Liong tertendang, dia terguling, akan tetapi karena jari-jari tangannya masih mencengkeram rambut Siong Bu, maka anak ini pun terbawa pula ikut terguling bersamanya. Mereka kini bergulat dan bergulingan di atas tanah.
Tiba-tiba terdengar bentakan, "Lepas...!"
Mendengar suara ibunya, Sin Liong terkejut sekali lantas melepaskan cengkeramannya. Juga Siong Bu melepaskan cekikannya dan kedua orang anak itu bangkit berdiri. Pakaian mereka penuh debu dan mereka berdiri dengan muka tunduk karena takut. Akan tetapi Sin Liong segera mengangkat mukanya dan memandang kepada ibunya.
Si Kwi terkejut bukan main melihat muka anaknya itu benjol-benjol biru dan berdarah di bibir dan hidungnya. Jelas bahwa Sin Liong telah dihajar oleh Siong Bu karena pada muka anak ini tidak ada bekas pukulan Sin Liong. Si Kwi adalah seorang wanita yang keras hati dan dia tidak mudah dipengaruhi oleh perasaan. Biar pun hatinya marah melihat muka anaknya seperti itu, namun dia tidak menuruti hatinya dan ingin tahu apa yang terjadi sebelum dia menyalahkan.
"Sin Liong, mengapa kau berkelahi dengan Siong Bu?"
Sin Liong menentang pandang mata ibunya. Sepasang matanya tajam menusuk sehingga diam-diam Si Kwi bergidik. Mata anak ini serupa benar dengan mata Cia Bun Houw, tetapi kalau dalam pandang mata Cia Bun Houw selain ketajaman luar biasa juga terkandung kelembutan, sebaliknya ketajaman pandang mata anak ini bercampur dengan cahaya liar dan ganas! Dan anak itu sama sekali tidak menjawab, sebaliknya kini malah menunduk.
Si Kwi tahu akan watak aneh dari anaknya ini, maka dia menoleh kepada Siong Bu dan bertanya, "Siong Bu, hayo cepat katakan apa yang terjadi! Kenapa engkau memukuli Sin Liong?"
Siong Bu yang sejak tadi menunduk, kini mengangkat mukanya dan sambil menoleh ke arah Sin Liong dengan pandang mata marah, dia berkata, "Dia menggoda Lan-sumoi dan Lin-sumoi, mengotori rambut mereka dan membuat mereka menangis, maka saya lalu menghajarnya, bibi."
Si Kwi menoleh kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan muka tunduk. "Sin Liong, benarkah engkau menggoda Lan Lan dan Lin Lin?" tanyanya dengan alis berkerut.
Sin Liong mengangkat mukanya, memandang ibunya sejenak, lalu menunduk lagi tanpa menjawab! Si Kwi maklum bahwa kalau sudah begitu, diapakan pun juga, Sin Liong tidak akan mau menjawab. Dia menoleh kepada Beng Sin yang gemuk dan yang semenjak tadi berdiri agak jauh tanpa berani ikut bicara.
Melihat bibinya memandang kepadanya, dia tersenyum ramah akan tetapi tidak berkata apa-apa. Si Kwi tidak mau bertanya kepada Beng Sin, karena dia tahu bahwa Beng Sin tidak ikut-ikut dalam hal ini. Yang paling tepat adalah menanyai anak-anaknya sendiri.
"Lan Lan dan Lin Lin, benarkah Sin Liong menggoda kalian dan mengotori rambut-rambut kalian?"
"Tidak, ibu. Sama sekali tidak!" Kui Lin berkata.
"Hemm, kalau begitu mengapa mereka berkelahi?" Si Kwi mendesak. Kui Lan yang kini menjawab karena Kui Lin memang tidak begitu pandai bicara.
"Sesungguhnya Sin Liong tidak menggoda kami, ibu. Sin Liong malah mencarikan bunga dan bermain-main dengan kami. Tahu-tahu Kwan-suheng datang dan menuduh Sin Liong menggoda kami lalu memukulnya."
Si Kwi menoleh dan memandang kepada Siong Bu dengan alis berkerut. Melihat ini Siong Bu cepat berkata, "Saya... saya melihat kedua sumoi menangis, maka tentu mengira Sin Liong menggoda mereka dan..."
"Kenapa kalian menangis?" Si Kwi memotong dan kembali memandang pada dua orang anaknya.
"Kembang kami jatuh...," Kui Lin berkata.
"Entah kenapa, ibu, kembang pemberian Sin Liong terjatuh dari rambut kami dan rambut kami menjadi kotor terkena tanah lumpur. Kami menangis, Sin Liong menghibur kami dan tahu-tahu Kwan-suheng muncul dan memukuli Sin Liong," kata Kui Lan.
Si Kwi kini memandang Siong Bu dengan mata marah. Dia kini dapat menduga apa yang terjadi dan dia lalu melangkah maju mendekati Siong Bu. Tangannya bergerak ke depan menyambar ke arah muka anak itu.
"Plakk! Plakk!"
Dua kali kedua pipi Siong Bu ditampar oleh nyonya itu. Siong Bu terpelanting, lalu berlari sambil menangis dan memegangi kedua pipinya.
Hemmm, dia tentu akan mengadu kepada pamannya, pikir Si Kwi. Lalu dia menegur Sin Liong dengan suara halus, "Liong-ji, kenapa engkau mencari gara-gara? Kalau ada orang menyerangmu, mengapa engkau tidak pergi saja mencariku biar aku yang turun tangan? Kenapa engkau melawan sendiri sedangkan kepandaianmu masih amat rendah? Engkau mencari penyakit."
Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, bahkan langsung pergi meninggalkan ibunya untuk melanjutkan pekerjaannya menyapu lorong di taman itu. Si Kwi menarik napas panjang, tidak berani dia memperlihatkan kasih sayangnya secara terbuka kepada Sin Liong, maka dia pun lalu menggandeng tangan kedua orang anak perempuan itu dan mengajaknya kembali ke dalam rumah.
Dugaan Si Kwi memang ternyata terbukti benar. Siong Bu yang merasa betapa pamannya amat menyayangi dan memanjakannya, dan yang tahu pula bahwa pamannya itu tidak suka pada anak angkat bibinya, sambil menangis lalu mengadu kepada pamannya bahwa dia ditampari oleh bibinya karena bibinya membantu Sin Liong.
Melihat kedua pipi keponakan yang sebenarnya adalah anaknya sendiri itu bengkak dan merah, marahlah Hok Boan. Apa lagi sesudah mendengar pengaduan Siong Bu bahwa perkelahian antara anak itu dengan Sin Liong disebabkan karena Sin Liong dianggapnya menggoda dua orang anak perempuannya.
"Anak monyet itu memang tak tahu diri!" bentaknya dan cepat dia menemui Si Kwi dengan muka merah dan mata mengandung kemarahan besar.
"Niocu, perbuatanmu sekali ini sungguh tidak menyenangkan hatiku!" Hok Boan berkata kepada isterinya yang sedang mencuci rambut kedua anaknya yang kotor terkena lumpur itu.
Si Kwi tahu bahwa suaminya marah dan tentu sudah terkena pengaduan Siong Bu, akan tetapi melihat betapa dalam kemarahannya Hok Boan masih bersikap halus kepadanya, dia pun hanya memandang dan berkata dengan halus pula, "Kui-long (kakanda), apakah aku sebagai isterimu tidak boleh mengajar keponakanmu?"
Hok Boan amat mencintai isterinya, maka biar pun marah, dia tidak dapat bersikap kasar. Sekarang, ditanya seperti itu, pertanyaan yang mengandung teguran, dia menjadi gugup, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Tentu saja engkau berhak dan boleh sekali mengajarnya karena keponakanku adalah keponakanmu pula. Bukan pengajaranmu itu yang tidak menyenangkan hatiku, niocu. Biar engkau mengajar Siong Bu lebih keras lagi, aku tidak akan merasa menyesal bahkan bersyukur bahwa engkau sebagai isteriku ikut memperhatikan pendidikan untuk keponakanku. Akan tetapi apa bila engkau mengajarnya sebagai pembelaan terhadap anak monyet itu, sungguh hal ini amat tidak tepat!"
"Kui-long, aku sama sekali bukan hanya membela Sin Liong. Kalau Sin Liong melakukan hal yang tak patut, tentu dia akan kuajar pula. Akan tetapi aku melihat Sin Liong dipukuli oleh Siong Bu tanpa kesalahan. Suamiku, ingatlah bahwa kita mendidik anak-anak bukan untuk menjadi tukang pukul dan menjadi orang yang berhati kejam! Engkau tahu bahwa baru saja aku mengajarkan silat kepada Sin Liong dan dia tentu saja tidak akan mampu membela diri terhadap Siong Bu. Kalau dia tidak diserang, mana dia berani kepada Siong Bu? Urusan ini merupakan urusan anak-anak, dan kita sebagai orang tua wajib mendidik mereka, kalau perlu menghajar mereka yang menyeleweng. Kalau kini engkau membela Siong Bu, bukankah terdapat bahaya bahwa seakan-akan kita membela murid masing-masing?"
Diam-diam Hok Boan terkejut. Benar juga, pikirnya.
"Tia (ayah), Sin Liong tidak bersalah apa-apa dan suheng salah sangka, datang-datang lalu memukulnya. Suheng mengira Sin Liong menggoda kami berdua, padahal tidak sama sekali." Kui Lan berkata, membela Sin Liong dan membela ibunya.
Mendengar ini, Hok Boan semakin tidak mampu berkata apa-apa. Dia sendiri pun tahu bahwa puteranya itu, Siong Bu, memang berwatak keras. Dia menarik napas panjang lalu berkata kepada isterinya,
"Maafkan aku, niocu. Aku tidak menyalahkan engkau karena memberi hajaran terhadap keponakan kita itu. Aku hanya khawatir bahwa melihat engkau menampari di depan anak monyet itu, hal ini akan membuat dia besar kepala dan makin liar. Ingat, sejak kecil dia itu sudah terpengaruh oleh keliaran binatang buas, maka kalau dia merasa dimanja, bukan maksudku mengatakan kau memanjakannya, akan tetapi kalau dia merasa dimanja, dia bisa menjadi semakin liar. Dia harus dididik secara keras seperti mendidik seekor monyet liar supaya anak itu menjadi jinak sehingga kelak tidak akan mencemarkan nama baik kita sebagai orang tua angkatnya."
Mendengar ini, Si Kwi mengangguk dan dia membenarkan pendapat suaminya. Dia amat mencinta Sin Liong yang diketahuinya adalah puteranya sendiri. Akan tetapi tentu saja dia lebih mencinta suaminya ini. Suami yang sah, sedangkan Sin Liong bukanlah anaknya yang sah.
"Engkau memang benar, biar aku akan memperkeras pengawasanku terhadap Sin Liong."
"Hemmm, kurasa sebaiknya sekarang aku memberi hukuman kepadanya supaya dia tahu bahwa lain kali dia tidak boleh berkelahi dengan orang." Sesudah berkata demikian, Hok Boan pergi mencari Sin Liong yang biasanya pada waktu seperti itu tentu masih bekerja di belakang memberi makan kuda. Akan tetapi ketika Hok Boan tiba di kandang kuda, anak itu tidak berada di situ. Hanya kuda yang makan makanan kuda dari bak yang nampak di dalam kandang.
"Sin Liong...!" Hok Boan memanggil dengan suara marah.
Tidak ada jawaban. Hok Boan telah membawa sebatang ranting yang dipersiapkan untuk menghajar Sin Liong. Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu meninggalkan kandang kuda dan mencari ke tepi hutan di belakang kandang kuda itu.
"Sin Liong...!" Suaranya memanggil-manggil menggema di dalam hutan.
Namun panggilan itu hanya dijawab oleh gema suaranya sendiri…..
********************
Sementara itu, setelah mengadu kepada pamannya tentang dia ditampar oleh bibinya dan tentang Sin Liong, diam-diam Kwan Siong Bu menjadi takut sendiri. Dia tahu betul bahwa sesungguhnya dia yang lebih dulu memukuli Sin Liong karena hatinya panas melihat anak yang dianggapnya anak monyet itu bermain-main demikian akrabnya dengan Kui Lan dan Kui Lin.
Biar pun dia disayang oleh pamannya, akan tetapi bibinya agaknya lebih menyayang Sin Liong, dan apa bila pamannya mendengar akan semua yang terjadi, mungkin dia malah yang akan mendapat kemarahan pamannya itu. Oleh karena itu, setelah melapor sambil menangis di depan pamannya dan melihat pamannya pergi dengan marah, Siong Bu lalu pergi pula meninggalkan rumah dan masuk ke dalam hutan.
Dia memasuki hutan besar itu, lantas duduk di bawah pohon besar, tersembunyi di balik semak-semak belukar. Memang dia bermaksud untuk bersembunyi dan baru akan pulang kalau keadaan rumah sudah mereda, kalau paman dan bibinya tidak marah-marah lagi.
Kalau dia teringat kepada Sin Liong hatinya menjadi semakin panas. Terbayang di dalam ingatannya saat Sin Liong menangis dengan kepala di atas pangkuan bibinya, dibelai oleh bibinya. Hal itulah yang sesungguhnya menimbulkan iri di dalam hati anak ini.
Dia sendiri tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Semenjak kecil dia dibawa secara paksa oleh pamannya ke Istana Lembah Naga. Melihat Sin Liong yang dikenalnya hanya sebagai seorang anak angkat, sama sekali tak ada hubungan darah daging dengan paman mau pun bibinya, malah anak yang kabarnya ditemukan dari sekumpulan monyet, akan tetapi demikian disayang oleh bibinya, tentu saja dia merasa iri hati dan perasaan ini menimbulkan kebencian di dalam hatinya.
Kedua pipinya masih terasa panas dan nyeri. Gara-gara anak monyet itu, pikirnya sambil mengusap kedua pipinya. Bibinya sudah menamparnya demi membela anak monyet itu! Hatinya merasa amat penasaran dan sakit sehingga dua tetes air mata kembali menuruni pipinya. Siong Bu merebahkan diri di atas rumput, berbantal lengan dan sebentar saja dia pun tertidurlah.
Dia terkejut dan bangun mendengar suara-suara tidak jauh dari situ. Dengan heran Siong Bu bangkit duduk dan ketika mendengar suara orang bercakap-cakap, dia cepat-cepat merangkak dan mengintai dari balik semak-semak. Jantungnya berdebar keras karena dia mendengar suara wanita, menduga bahwa bibinya yang datang mencarinya. Akan tetapi setelah dia sadar betul, dia mendapat kenyataan bahwa suara itu bukanlah suara bibinya. Timbul keberaniannya dan dia lalu mengintai.
Ternyata wanita itu adalah seorang wanita yang berpakaian amat indah, usianya sepantar dengan bibinya akan tetapi wanita ini cantik sekali, cantik dan pakaiannya sangat mewah. Rambutnya digelung malang melintang dan membelit-belit bagaikan beberapa ekor ular saling belit dan rambut itu dihias dengan hiasan rambut yang gemerlapan. Lengan kirinya memakai gelang emas kecil-kecil yang banyak, sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan kiri, terdengar suara gemerincing nyaring. Wajah itu cantik dan manis, akan tetapi dingin sekali dan kelihatan angkuh sehingga menakutkan hati Siong Bu.
Sekarang Siong Bu mengalihkan perhatiannya dan memandang orang kedua yang berdiri berhadapan dengan wanita itu. Orang ini adalah seorang pemuda kecil, usianya kurang lebih empat belas tahun, akan tetapi perawakannya tinggi tegap, setinggi orang dewasa. Seperti juga wanita itu, pemuda ini memakai pakaian yang amat mewah, topinya terhias mainan seekor naga dengan mata mutiara indah. Wajahnya tampan dan gerak-geriknya halus, mulutnya selalu tersenyum.
Siong Bu merasa terheran-heran. Memang sudah banyak orang tinggal di sekitar Lembah Naga, akan tetapi mereka semua adalah orang-orang dusun yang miskin dan berpakaian sederhana. Lantas dari mana datangnya dua orang yang berpakaian seperti bangsawan-bangsawan tinggi itu? Dia mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian tanpa berani bergerak.
"Suci, kenapa kita harus meninggalkan kereta dan pengawal?" anak laki-laki itu bertanya kepada wanita yang disebutnya kakak seperguruan itu.
"Sute, di dunia kang-ouw, hal yang paling terpandang adalah keberanian dan kegagahan. Kalau kita datang bersama banyak pengawal, tentu orang akan mengira bahwa kita hanya mengandalkan kekuatan pasukan pengawal dan hal itu berarti akan mencemarkan nama suci-mu ini."
Mendengar ucapan itu, Siong Bu terheran maka kini dia memandang wanita itu dengan makin penuh perhatian. Tadinya dia tidak berani memandang terlalu lama karena wajah wanita yang dingin dan angkuh itu menakutkan hatinya. Baru sekarang dia melihat bahwa wanita yang cantik dan berpakaian indah itu ternyata membawa sebatang pedang yang tergantung pada punggungnya. Di samping pedang ini, juga nampak sebuah kayu salib tergantung di punggung itu, kayu salib yang jelas kelihatan ada tulisan tiga huruf besar, yaitu CIA, YAP dan TIO.
"Suci, banyakkah jagoan-jagoan di dunia kang-ouw?"
Wanita itu menarik napas panjang. "Banyak? Sampai tidak terhitung, sute. Dan masing-masing memiliki keistimewaan sendiri. Di dunia ini penuh orang pandai, oleh karena itu, di dalam melakukan perjalanan ke kota raja di selatan nanti bersama suci-mu, engkau harus berhati-hati dan selalu menurut bimbingan suci-mu, jangan bertindak ceroboh, sute."
"Akan tetapi kenapa kita harus berhenti dulu di Lembah Naga, suci? Bukankah itu hanya membuang-buang waktu belaka?" anak laki-laki itu mencela.
"Ayahmu sri baginda yang mengutus aku ke sini, sute. Selain itu, ada beberapa urusan pribadi yang harus kuselesaikan. Ada beberapa orang musuh menantang suci-mu untuk mengadakan pertemuan di tempat ini."
"Apakah mereka lihai, suci?"
"Ahh, tidak berapa lihai, hanya beberapa orang yang datang hendak mengantar nyawa saja."
"Suci, biarkan aku menghadapi mereka!"
"Bagaimana nanti sajalah..."
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring. "Kim Hong Liu-nio, perempuan sombong! Kami datang menagih nyawa saudara-saudara kami!" Dan bermunculanlah lima orang laki-laki dari balik pohon-pohon. Namun wanita cantik itu hanya tersenyum mengejek, sedangkan anak laki-laki itu pun memandang dengan wajah gembira dan dia tersenyum lebar.
"Suci, kenapa baru sekarang mereka muncul? Bukankah semenjak tadi mereka itu sudah bersembunyi di balik pohon-pohon itu?"
Siong Bu terkejut. Ternyata anak laki-laki itu sudah tahu akan kedatangan lima orang ini! Jangan-jangan suci dan sute itu pun sudah tahu akan tempat dia bersembunyi! Siong Bu makin ketakutan dan dia mengintai terus dengan hati penuh ketegangan.
Dia melihat bahwa lima orang yang baru datang itu kelihatan gagah dan kuat, dikepalai oleh seorang laki-laki berusia enam puluh lima tahun lebih yang bertubuh pendek besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan sabuk dan kain kepala berwarna kuning. Empat orang lainnya agak lebih muda, antara empat puluh tahun usia mereka dan sikap mereka juga gagah, dengan memegang bermacam senjata, sikap mereka penuh ancaman dan kemarahan.
Kim Hong Liu-nio, wanita cantik itu, menghadapi kelima orang dengan sikap memandang rendah, lalu dia mengangkat muka memandang kakek pendek besar itu, bertanya dengan sikap tak acuh, "Jadi kalian inikah yang mengirim surat tantangan supaya aku datang ke tempat ini?"
"Suci, apakah mereka ini jagoan-jagoan kang-ouw juga?" Anak lelaki itu bertanya setelah memandang kepada lima orang itu penuh perhatian.
Wanita itu mendengus dan bibirnya berjebi. "Sute, di dunia kang-ouw, orang-orang seperti mereka ini hanya merupakan cacing-cacing busuk yang tiada artinya."
Kakek pendek besar yang membawa golok besar di pinggangnya itu membentak marah. "Perempuan sombong! Aku Twa-sin-to Kui Liok selama hidupku tidak pernah bermusuhan denganmu! Akan tetapi tanpa dosa sama sekali dua orang keponakanku telah kau bunuh, hanya karena mereka itu she Tio!"
"Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mampus di tanganku!" kata wanita itu sambil memperlihatkan papan kayu salib yang diambilnya dari punggung.
"Siluman betina, engkau juga telah membunuh sute kami yang she Yap!" Kini tiga orang laki-laki yang memegang pedang melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Dan engkau membunuh ibuku yang she Cia!" kata orang ke lima, juga marah sekali.
"Sute, apakah engkau jadi ingin menghadapi cacing-cacing in!?"
"Benar, suci. Aku ingin mencoba apa yang telah kupelajari dari subo dan darimu." Anak itu lalu melangkah maju, menghadapi lima orang itu dengan sikap tenang.
Lima orang itu saling pandang dengan ragu-ragu. Tentu saja mereka tak sudi mengeroyok seorang anak laki-laki yang usianya belum dewasa ini. Mereka adalah orang-orang yang terkenal di perbatasan utara ini. Bahkan Twa-sin-to Kui Liok adalah seorang perampok tunggal yang amat terkenal di selatan.
"Kim Hong Liu-nio, lekas kau suruh anak ini minggir! Kami hanya ingin membalas dendam kepadamu dan menagih nyawa!" bentak kakek itu sambil melangkah maju.
"Twa-sin-to, biarlah aku yang mewakili suci-ku. Cabutlah golok besarmu dan kalian boleh maju semua, aku akan menghadapi kalian dengan tangan kosong saja," anak laki-laki itu berkata dengan sikapnya yang halus, namun senyum di bibirnya penuh ejekan dan penuh ketinggian hati.
Selagi Twa-sin-to Kui Liok meragu, seorang di antara mereka, yang termuda, kurang dari empat puluh tahun usianya, bermuka hitam, telah melangkah maju kemudian membentak. "Biarlah aku melemparkan setan cilik yang sombong ini!"
Lelaki itu bertubuh tinggi besar, bermuka hitam menyeramkan dan karena kedua lengan bajunya tergulung sampai ke atas siku, maka nampak kedua lengannya yang berotot dan amat kuat. Kini, menghadapi anak itu, dia menyimpan lagi pedangnya ke sarung pedang yang tergantung di pinggangnya dan dia menghadapi anak itu dengan dua tangan kosong yang telah dikembangkannya ke kanan kiri, siap untuk menubruk.
"Nanti dulu!" kata anak yang tampan itu. "Apakah engkau juga seorang jagoan kang-ouw dan mempunyai nama julukan? Lebih baik kau beritahukan nama julukanmu itu agar aku dapat mencatat namamu sebagai jagoan kang-ouw pertama yang kurobohkan."
Muka yang hitam itu menjadi makin hitam, matanya melotot. "Bocah sombong, setan cilik yang bosan hidup!" bentaknya dan dengan cepat, seperti seekor harimau kelaparan, si muka hitam ini sudah menerjang ke depan, menubruk dengan tangan kiri mencengkeram ke arah pundak anak itu dan tangan kanan mencekik ke arah leher!
"Hemm... dia kasar sekali, suci!" anak itu berseru dan sekali tubuhnya bergerak, dengan langkah kaki yang indah sekali, serangan orang itu mengenai tempat kosong, dan sambil mengelak itu kaki kanannya diangkat sedikit menyentuh lutut kiri lawan.
"Dukkk...!" Perlahan saja tendangan itu, akan tetapi karena tepat mengenai sendi lutut tak dapat dicegah lagi si muka hitam jatuh berlutut!
"Wah, dia tahu aturan juga, suci. Lihat, belum apa-apa dia sudah berlutut minta ampun!" anak itu berkata mengejek.
Tentu saja si muka hitam menjadi semakin marah dan malu. Dia adalah seorang jagoan yang telah terkenal mempunyai kepandaian tinggi dan nama besar. Sekarang, dalam satu gebrakan saja dia telah dihina oleh seorang anak kecil belasan tahun!
"Bocah keparat!"
Dia meloncat dan kini dia mengirim serangan hebat, bukan lagi serangan biasa karena memandang rendah seperti tadi, melainkan serangan yang berdasarkan ilmu silat. Kedua tangannya secara bergantian menghantam ke arah leher dan pusar, lantas kaki kanannya menyusul dengan tendangan maut ke arah dada. Cepat sekali terjangan yang dilakukan oleh si muka hitam ini.
Akan tetapi baru saja dia bergerak, anak itu telah berseru, "Wah, suci, bukankah ini jurus Go-houw Pok-sit (Macan Kelaparan Menyambar Makanan)? Kalau kutangkis begini, tentu dia akan menyusul dengan tendangan, nah sebaiknya kutangkap kakinya dari bawah dan kudorong terus ke atas, ya?" Sambil bicara demikian, dia melaksanakan kata-katanya.
Serangan pukulan kedua tangan si muka hitam itu berhasil ditangkisnya dan ketika kaki si muka hitam menyambar, dia langsung meloncat ke samping, lalu secepat kilat tangannya menyambar kaki yang lewat, menyangga dari bawah dan mendorongnya terus ke atas. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka hitam itu terjengkang dan terbanting berdebuk ke atas tanah sampai mengeluarkan debu mengepul!
"Bagus, sute, memang sungguh tepat perhitunganmu!" Wanita cantik itu memuji sambil mengangguk-angguk. "Akan tetapi jangan terlalu lama main-main dengan dia, masih ada empat ekor lagi yang lain!"
Si muka hitam itu menjadi marah bukan main. Marah dan malu sekali. Jagoan seperti dia sampai dua kali dirobohkan oleh seorang anak kecil dan hanya dalam dua gebrakan saja! Saking marahnya dia sampai lupa diri, lupa bahwa yang kini dihadapinya adalah seorang anak laki-laki yang belum dewasa. Dia sudah bangkit berdiri, mukanya makin menghitam dan matanya mendelik lalu dia membungkuk seperti seekor kerbau marah, mendengus-dengus.
"Wah, tadi berlutut dan kini menjura. Sudahlah, muka hitam, jangan menggunakan terlalu banyak peradatan dan sopan santun. Aku tidak bisa menerima penghormatanmu!" Anak itu yang ternyata selain lihai juga memiliki lidah tajam dan pandai mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangan ke depan seperti orang menolak.
Melihat kehebatan anak laki-laki ini, secara diam-diam Siong Bu menjadi kagum bukan main. Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tiba-tiba si muka hitam itu mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, lalu tubuhnya sudah menerjang ke depan dengan kepala di depan, menyeruduk seperti seekor kerbau gila!
Siong Bu terkejut bukan main. Dahulu dia pernah mendengar dari pamannya tentang ilmu menyeruduk seperti ini, yang mengandalkan latihan lweekang yang dipusatkan di kepala, dan ilmu ini amat berbahaya karena lawan yang kena diseruduk tentu akan remuk tulang-tulang dadanya. Biar pun dia belum pernah menyaksikan kehebatan ilmu aneh ini, namun mendengarkan penuturan pamannya dia merasa ngeri dan sekarang melihat anak yang dikaguminya itu diserang dengan ilmu aneh ini, dia terbelalak dan merasa tegang.
Juga empat orang laki-laki yang menjadi teman si muka hitam merasa tegang dan mereka hampir merasa yakin bahwa kini anak kecil itu tentu akan celaka. Anehnya, wanita cantik yang menjadi suci anak itu hanya memandang dengan sikap tenang saja, sama sekali tidak merasa kaget atau gelisah.
Bagai seekor gajah atau seekor kerbau gila, si muka hitam menyeruduk dan nampaknya anak yang menjadi lawannya itu pun tidak tahu harus berbuat apa. Dia sama sekali tidak mengelak dan berdiri tegak saja. Ketika kepala yang mengancamnya itu sudah meluncur dekat, tiba-tiba saja anak itu menggerakkan tangan kanannya, dengan jari-jari terbuka dia menusuk ke depan, menyambut kepala itu dengan tusukan jari-jari tangannya.
"Crokkk...!"
Tubuh anak itu terhuyung ke belakang bergoyang-goyang dan mukanya agak pucat, akan tetapi tubuh si muka hitam terguling dan dari kepalanya mengalir darah merah bercampur cairan otak putih! Dia tewas seketika!
Empat orang temannya menjadi kaget bukan main dan mereka memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, wanita cantik itu tidak mempedulikan mereka, cepat menghampiri sute-nya kemudian dua kali dia mengurut dada sang sute yang menjadi tenang dan pulih kembali.
"Ah, sute, kenapa kau begitu ceroboh? Kau harus ingat bahwa orang yang menggunakan serangan dengan kepala adalah orang yang mempunyai lweekang kuat, apakah kau lupa lagi? Dan melawan kekerasan dengan kekerasan merupakan kecerobohan besar. Untung bahwa lweekang-nya tadi belum kuat benar, kalau lebih kuat setingkat saja, bukankah engkau pun akan menderita luka biar pun kau berhasil membunuhnya?"
Anak laki-laki itu mengangguk. "Aku telah keliru, suci, mengharapkan petunjukmu."
"Sekarang lihatlah baik-baik. Nah, kau lontarkan dia dalam kedudukan menyerang seperti tadi kepadaku!"
Anak itu mengangguk, lalu menghampiri mayat si muka hitam. Dicengkeramnya baju di tengkuk dan di belakang pinggul mayat itu, kemudian sambil mengerahkan tenaga, dia lalu melontarkan mayat itu ke arah suci-nya.
Mayat itu meluncur dengan cepatnya ke arah wanita tadi dengan kepala di depan, seperti ketika dia menyeruduk anak itu. Dan seperti juga sikap anak tadi, wanita ini tenang saja, baru setelah serudukan itu dekat, tiba-tiba saja dia menggeser kakinya, tubuhnya sudah berputar ke kiri dan pada waktu kepala yang menyeruduk itu lewat, secepat kilat jari-jari tangannya bergerak seperti gerakan anak tadi, menusuk ke arah pelipis kanan mayat yang lewat.
"Crokkk!"
Mayat itu terbanting dan pelipis kanannya nampak berlubang-lubang bekas jari tangan, sedangkan wanita itu tetap berdiri tegak.
"Nah, kau sudah lihat, sute? Apa bila kau memapaki dari depan, selain melawan tenaga lweekang-nya, juga tenaganya itu ditambah lagi dengan tenaga luncuran tubuhnya, tentu saja menjadi sangat kuat. Sebaliknya, kalau engkau menusuk dari samping, engkau tidak memapaki tenaga lawan secara langsung."
Tadinya keempat orang teman si muka hitam itu hanya memandang dan mendengarkan dengan mata terbelalak, akan tetapi kini mereka telah sadar dan menjadi marah sekali.
"Jahanam! Bocah setan, berani kau membunuh teman kami?" bentak Twa-sin-to Kui Lok kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh pendek gemuk itu. Goloknya yang besar panjang tahu-tahu telah berada di tangan kanannya dan begitu dia menggerakkan tangan, terdengar suara berdesing dan golok itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata.
"Jangan lawan dengan tangan kosong, pergunakan pedangmu!" tiba-tiba wanita cantik itu berseru setelah melihat gerakan Kui Lok.
“Srattttt...!"
Nampaklah sinar berkeredepan dan tahu-tahu anak itu pun sudah mencabut pedangnya, yaitu sebatang pedang yang amat indah, gemerlapan dan mengkilat sekali seperti perak kebiruan, gagangnya berukir tubuh naga dengan ronce-ronce merah berbentuk lidah yang keluar dari kepala naga yang terukir di ujung gagang.
Twa-sin-to Kui Lok yang dihadapi oleh anak itu, merasa dipandang rendah sekali, karena itu dia terus saja menggerakkan goloknya dengan dahsyat. Si pendek gemuk ini berjuluk Twa-sin-to (Si Golok Besar Sakti) maka tentu saja ilmu goloknya amat hebat dan dengan goloknya itu dia telah membuat nama besar di selatan.
Kini dia dihadapi oleh seorang anak yang usianya baru empat belas tahun, tentu saja dia marah sekali dan ingin cepat-cepat membunuh anak ini agar dapat mencurahkan seluruh perhatian dan memusatkan tenaga serta kepandaian untuk menghadapi Kim Hong Liu-nio yang menjadi musuh besarnya itu.
Dia tidak mau berlaku sungkan-sungkan lagi, maka goloknya yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung itu kini seperti gelombang samudera datang menerjang anak yang telah melintangkan pedang di depan dada sambil memandang permainan lawan dengan penuh perhatian.....