Semua anak buah perampok terkejut setengah mati. Si brewok memandang pucat, lalu dia merangkak menjauhkan diri. Coa Lok yang menyaksikan ini semakin kaget dan tahu bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan berat. Maka timbullah kecurangannya dan dia lalu membentak,
"Hayo maju semua, keroyok dan bunuh pengacau ini!"
Para perampok itu sudah biasa dengan perintah Coa Lok, maka mendengar bentakan ini mereka lalu mengacungkan senjata masing-masing, siap untuk maju mengeroyok.
Hok Boan yang melihat hal ini, meloncat dan tubuhnya melayang ke dekat pohon di mana dia menyimpan pedang dan buntalannya. Sekali sambar dia sudah mengambil pedangnya sekalian menghunusnya, pedang yang kelihatan masih kasar namun mengeluarkan sinar menyeramkan, pedang buatan ahli pedang Bhe Coan itu. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Hok Boan membentak dengan suara yang menggetarkan jantung karena dia membentak dengan pengerahan tenaga khikang dari pusar,
"Tahan semua! Dengar baik-baik! Aku datang untuk memimpin kalian dan aku menjanjikan kepada kalian penghidupan yang baik dan jauh lebih makmur dari pada sekarang! Bukan berarti aku takut kepada kalian. Akan tetapi kalau kalian maju mengeroyok, terpaksa aku akan membunuh kalian semua dan aku harus bersusah payah mengumpulkan anak buah dari dusun-dusun. Biarkanlah aku berhadapan dengan kepala kalian dan kita lihat, siapa di antara kami berdua yang lebih patut menjadi pemimpin kalian, menjadi majikan Padang Bangkai!"
Kiranya ucapan itu berpengaruh dan semua perampok menjadi ragu-ragu. Kesempatan ini digunakan oleh Hok Boan yang cerdik, untuk mencari kedudukan yang menguntungkan.
"Hai, engkau si muka berpenyakitan yang berlagak jagoan dengan tombakmu dan hendak memimpin sekelompok orang gagah ini! Dengarlah baik-baik! Kalau benar engkau jagoan, hayo kau maju melawan aku, dan aku akan menghadapi tombakmu itu dengan ranting ini saja. Pedangku tak akan kugunakan. Ha-ha-ha, mukamu makin pucat dan engkau hanya seorang banci, seorang pengecut, seorang penakut yang beraninya hanya mengandalkan bantuan banyak anak buah saja. Engkau tidak patut menjadi pemimpin!"
Wajah Sin-jio Coa Lok menjadi pucat saking marahnya. Kehormatannya tersinggung. Dia bukanlah seorang lemah. Sama sekali bukan. Tombaknya ditakuti banyak orang, bahkan dia pun telah dijuluki Si Tombak Sakti. Jika tadi dia hendak menggunakan pengeroyokan adalah karena dia ingin lebih yakin mengalahkan lawan ini. Sekarang ditantang seperti itu, tentu saja dia tidak sudi untuk memperlihatkan sikap takut.
"Mundur semua! Kerbau-kerbau tolol, mundur semuanya!" bentaknya marah kepada anak buahnya yang tidak cepat-cepat menyerang lawan sehingga memberi kesempatan kepada lawan untuk mengejek dirinya. "Mundur dan lihat tombakku akan mengeluarkan ususnya yang busuk!"
Perintah ini tak perlu diulang dua kali karena semua anak buah perampok sudah serentak melangkah mundur. Mereka ingin sekali melihat apakah kepala mereka itu benar-benar akan mampu membunuh pemuda sasterawan yang amat berani itu.
Janji yang tadi diucapkan oleh pemuda sasterawan itu menarik hati mereka. Juga mereka telah terkesan sekali ketika melihat betapa pemuda itu tadi tidak membunuh si brewok tinggi besar yang menjadi teman mereka, padahal kalau pemuda itu mau, tentu si brewok itu telah tewas. Pemuda itu tidaklah sekejam dan seganas Si Tombak Sakti, maka hal ini saja sudah menimbulkan kesan baik di hati mereka.
Sin-jio Coa Lok yang sudah marah sekali itu maklum bahwa kini dia berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa takut. Dia terlalu percaya kepada tombaknya, maka dia telah menubruk dengan kecepatan kilat, tombaknya digerakkan dan tampaklah cahaya terang menyambar-nyambar ketika tombak itu membuat gerakan bergulung-gulung bagaikan ombak dahsyat menerjang ke arah Kui Hok Boan.
Orang she Kui ini tidak melanggar janjinya, dia sudah menyambar ranting yang tadinya berada di bawah pohon. Melihat gerakan lawan yang amat hebat itu, diam-diam dia pun terkejut dan cepat dia menggerakkan rantingnya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi dia maklum bahwa senjata rantingnya tak mungkin dapat digunakan untuk menangkis tombak lawan yang terbuat dari baja kuat itu, maka dia hanya mengandalkan ginkang-nya, terus mengelak dari sambaran tombak sambil menggerakkan ranting untuk menotok jalan darah lawan di beberapa bagian dengan kecepatan kilat yang bertubi-tubi.
Serangan itu sudah merupakan penghambat bagi terjangan Coa Lok, karena Si Tombak Sakti itu tentu saja maklum akan bahayanya totokan-totokan yang walau pun dilakukan dengan sebatang ranting saja, namun didorong oleh tenaga sakti yang kuat.
Ilmu tombak yang dimainkan oleh Coa Lok adalah ilmu tombak keturunan yang sangat hebat. Semenjak nenek besarnya, secara turun-temurun keluarga Coa telah mempelajari ilmu tombak itu dan selama beberapa keturunan, ilmu tombak itu telah mengangkat tinggi nama keluarga Coa.
Sebagai ilmu simpanan keluarga, maka ilmu tombaknya itu berbeda sifat dan gerakannya dengan ilmu tombak yang diajarkan oleh partai-partai persilatan umum, maka menghadapi ilmu tombak yang tidak dikenalnya itu, Kui Hok Boan menjadi repot dan kewalahan juga. Ujung tombak itu tergetar-getar sehingga menjadi beberapa batang banyaknya dan setiap batang seolah-olah bergerak sendiri-sendiri menyerang dari pelbagai jurusan.
Sebaliknya, Kui Hok Boan, anak murid Go-bi-pai itu, meski telah mempelajari permainan delapan belas macam senjata, tapi terutama memiliki keahlian dalam permainan pedang. Padahal, apa bila dibandingkan dengan Coa Lok tingkat kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat saja, maka kini dengan menggunakan sebatang ranting sebagai senjata, tentu saja kemenangan tingkatnya menjadi tak banyak artinya, sebab jika lawan menggunakan senjata yang menjadi keahliannya, sebaliknya dia hanya mempergunakan senjata yang sama sekali tidak dapat menonjolkan kepandaiannya.
Betapa pun juga, Hok Boan memang patut dipuji. Sampai hampir seratus jurus mereka bertanding, namun belum juga tombak di tangan Coa Lok mampu merobohkannya, meski pun kadang kala membuat sasterawan itu repot bukan main dengan elakan ke sana-sini. Bahkan nyaris saja perutnya tertembus tombak ketika dia mengelak dan untung bagi dia, hanya bajunya yang tertembus dan robek. Dia terkejut sekali dan terdengar suara tertawa mengejek dari para anak buah perampok yang menonton pertempuran mati-matian itu.
"Ha-ha-ha, kutu buku sombong, bersiaplah kau untuk mampus!" Sin-jio Coa Lok tertawa mengejek dan kembali menubruk dengan tombaknya, memutar-mutar tombaknya hingga lenyaplah mata tombak itu dan berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung menerjang ke arah Hok Boan.
Hok Boan maklum bahwa kalau dia mempertahankan terus senjata rantingnya, akhirnya dia akan kalah dan celaka. Dia tidak perlu menjaga kehormatannya terhadap orang-orang yang tidak terhormat ini, pikirnya. Bahkan omongan besarnya hendak menghadapi kepala perampok ini dengan sebatang ranting, dapat dia gunakan demi keuntungannya, pikirnya pula.
Dengan menggunakan ranting sehingga dia terdesak hebat, kepala perampok ini menjadi lengah oleh bayangan kemenangannya. Karena itu dia sengaja melambatkan gerakannya sehingga dia terdesak makin hebat dan bermain mundur terus. Seperti tidak disengaja, kakinya tergelincir dan dia jatuh ke atas tanah.
"Ha-ha-ha, mampuslah kau...!" Coa Lok mengejar dengan tombaknya.
Akan tetapi Hok Boan terus menggerakkan tubuhnya menggelundung dan menjauh. Pada saat Si Tombak Sakti itu mengejar terus sambil tertawa-tawa dan berusaha menusukkan tombaknya ke arah tubuh lawan yang bergulingan, tiba-tiba saja Hok Boan mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kanannya bergerak dan ranting itu meluncur seperti anak panah menuju ke arah dada Coa Lok!
"Ehhhhhh...!" Coa Lok terkejut, cepat menangkis dengan tombaknya dan mematahkan ranting itu.
“Krekk-krekkk...!"
Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dari depan. Coa Lok terkejut melihat kecurangan lawan, namun sudah terlambat karena pedang yang ditangkisnya itu masih meleset dan meluncur memasuki perutnya.
"Blessss...!"
Pedang itu menembus perutnya, lalu oleh Hok Boan diputar ke atas hingga perut kepala perampok itu robek. Kepala perampok itu mengeluarkan teriakan mengerikan, tombaknya terlepas dan dia langsung roboh terjengkang ketika Hok Boan mencabut pedang sambil menendangnya.
Para anak buah perampok memandang dengan mata terbelalak ke arah Coa Lok yang berkelojotan di atas tanah, kemudian memandang kepada Hok Boan yang berdiri tegak dengan pedang yang berlumuran darah itu di tangan kanan sambil tersenyum.
"Nah, kepala kalian telah mampus. Apakah di antara kalian ada yang ingin menemaninya ke neraka? Ataukah kalian mau mengangkat aku menjadi pemimpin kalian yang baru?" tantang Hok Boan.
Para perampok itu saling pandang. Mereka merasa ngeri karena maklum bahwa pemuda sasterawan ini benar-benar amat lihai. Beberapa orang di antara mereka yang termasuk tokoh-tokohnya lalu menjatuhkan diri berlutut, tentu saja segera diturut oleh yang lain dan mereka memberi hormat sambil berkata,
"Tai-ong... kami mentaati perintah tai-ong...!"
Kui Hok Boan tersenyum dan menyimpan pedangnya setelah membersihkan darah dari pedang itu ke atas tubuh Coa Lok yang sudah tidak bergerak lagi. Dia berkata dengan suara halus namun penuh wibawa. "Kalian tidak akan menyesal mengangkatku menjadi pemimpin kalian. Aku akan membuat Padang Bangkai ini menjadi tempat yang indah dan baik, juga makmur sesudah kalian membantuku mencari harta pusaka yang terpendam di sini. Aku bisa menduga bahwa kalian tentulah gerombolan perampok, bukan? Nah, mulai sekarang kita tidak perlu merampok lagi. Untuk apa melakukan pekerjaan yang hina dan memalukan itu kalau kita dapat mencari kekayaan dengan cara lain yang lebih mudah? Sekarang perintahku yang pertama adalah, kalian tidak boleh menyebutku tai-ong. Aku bukan perampok. Kalian harus menyebutku taihiap (pendekar besar), mengerti? Namaku Kui Hok Boan maka kalian menyebutku Kui-taihiap, tak kurang tak lebih! Dan ingat, siapa yang berani melanggar perintahku, akan kulemparkan ke lumpur maut!"
Setelah berkata demikian, Hok Boan lantas menyambar tangan mayat Coa Lok kemudian mengerahkan tenaga, melontarkan mayat itu yang terlempar jauh hingga terjatuh ke atas rumput hijau yang menyembunyikan lumpur di mana kudanya menjadi korban kemarin dulu. Lumpur itu menerima mayat Coa Lok dan karena mayat itu menimpa lumpur dengan kekuatan besar, seketika mayat itu lenyap ditelan lumpur.
Semua anggota perampok itu mengangguk-angguk dengan muka pucat sekali. Pemuda sasterawan ini kelihatan halus, ramah dan tidak kasar, akan tetapi mempunyai sikap yang menyeramkan dan lebih menakutkan dari sikap Coa Lok yang kasar.
"Sekarang kalian tunjukkan aku jalan masuk ke dalam Padang Bangkai ini dan kita mulai dengan mencari harta pusaka yang tersimpan di suatu tempat yang sudah kuselidiki dari peta yang kudapat."
Tiga puluh orang itu bersorak girang lalu mengantar ketua mereka yang baru memasuki padang yang luas itu menuju sarang mereka, dusun yang dikelilingi air itu. Memang tujuan utama Hok Boan datang ke Padang Bangkai dan Lembah Naga adalah untuk mencari harta-harta pusaka itu, yang dia dengar dari berita angin di antara para pasukan kerajaan. Bahkan secara teliti dia sudah melakukan penyelidikan, mengumpulkan berita-berita itu dan menemukan sebuah peta tua yang menunjukkan di mana kiranya harta-harta pusaka itu disimpan di kedua tempat yang penuh rahasia itu.
Sesungguhnya berita yang didengarnya dari mulut ke mulut itu bukanlah hanya dongeng belaka. Harta pusaka itu merupakan harta hasil rampokan dan rampasan dari pasukan-pasukan liar di bawah pimpinan Raja Sabutai ketika raja liar ini menaklukkan banyak suku bangsa Nomad di sekitar daerah padang dan gurun di utara. Karena tidak mungkin bagi pasukan itu untuk membawa-bawa harta yang amat banyak dan berat dalam perjalanan mereka menaklukkan suku-suku lain, maka sebagian dari harta itu mereka sembunyikan dan mereka tanam di beberapa tempat, di antaranya di Padang Bangkai dan lebih lagi di Lembah Naga.
Raja Sabutai sendiri tidak tahu akan hal ini, karena pekerjaan itu dilakukan oleh para anak buahnya yang ingin menyembunyikan sebagian dari harta rampasan itu. Dalam perang dan pertempuran-pertempuran selanjutnya, para penyimpan harta itu sudah gugur semua dan yang tinggal hanya cerita mereka yang diteruskan oleh teman-teman.
Akhirnya Hok Boan si petualang itulah yang berhasil menemukan penggambaran petanya dan yang percaya akan adanya harta itu, malah kini benar-benar melakukan penyelidikan dan pencarian. Orang lain, walau pun percaya akan adanya harta itu, merasa jeri untuk menyelidiki karena di samping tempat itu berada di wilayah kekuasaan Raja Sabutai, juga di sana banyak terdapat suku-suku liar dan kedua tempat itu pun kabarnya merupakan daerah berbahaya yang tak mungkin dimasuki orang luar.
Dalam waktu setahun saja terjadilah perubahan besar-besaran di Padang Bangkai. Dusun di tengah padang yang dikelilingi air sungai itu, yang tadinya hanya terdiri dari beberapa rumah petak sederhana, sekarang sudah berubah menjadi bangunan besar dan megah, dikelilingi taman bunga dan dipasangi jembatan-jembatan indah di atas sungai itu.
Juga jalan menuju ke Padang Bangkai dibangun dan dibuat lebar dan tidak berbahaya. Bahkan kini mulai ada penduduk tinggal di luar padang itu, tidak lagi takut seperti dulu sehingga Padang Bangkai kini bukan lagi menjadi daerah ‘angker’ yang menyeramkan dan tidak ada orang berani mendekati.
Padang Bangkai sekarang berubah menjadi sebuah dusun makmur milik Kui-kongcu yang dikenal sebagai seorang hartawan yang ramah dan manis budi. Semua perubahan ini dapat diadakan oleh Kui Hok Boan yang ternyata berhasil menemukan harta pusaka itu di sebuah goa. Harta pusaka yang amat banyak, terdiri dari emas permata yang mahal.
Dengan harta pusaka ini, maka dibangunlah tempat itu, bukan hanya rumah gedung untuk dia sendiri, juga rumah-rumah petak yang indah untuk para anak buahnya yang tiga puluh orang banyaknya itu, dan pakaian-pakaian untuk mereka. Bahkan kini para anak buah itu ada yang mengambil isteri dan membentuk keluarga di Padang Bangkai.
Hidup mereka tentram dan tenang, tidak lagi harus merampok seperti dahulu, melainkan mengusahakan tanah yang subur di daerah itu untuk bercocok tanam. Selain dari hasil ini, juga secara halus Hok Boan mulai menentukan semacam ‘pajak’ bagi para penghuni yang tinggal di sekitar Padang Bangkai, dengan dalih bahwa anak buah Padang Bangkai yang menjamin keselamatan mereka dari gangguan siapa pun juga.
Karena sikap Hok Boan yang halus, juga anak buahnya yang tidak boleh menggunakan kekerasan, maka para penghuni itu dengan senang hati suka menyerahkan sebagian dari hasil mereka sebagai semacam pajak atau upah menjaga keamanan mereka!
Telah beberapa kali Hok Boan ingin pergi melakukan penyelidikan ke Lembah Naga sebab memang dia ingin mencari pula harta pusaka yang terpendam di tempat itu. Bahkan menurut kabar, harta yang berada di sana lebih banyak lagi di samping adanya sebuah istana di Lembah Naga itu sebagai peninggalan Raja Sabutai. Namun berkali-kali anak buahnya memperingatkan Hok Boan agar jangan sembarangan menyerbu atau memasuki Lembah Naga.
"Mendiang ketua kami yang dulu, Coa Lok, dengan keras melarang kami untuk mendekati istana itu, taihiap. Dan memang kami semua sudah jera untuk memasuki daerah Istana Lembah Naga, sesudah lima orang teman kami tewas secara mengerikan oleh iblis betina itu." Demikian antara lain anak buahnya memperingatkan.
Hok Boan lalu mendengarkan cerita mereka tentang wanita cantik bertangan kiri buntung yang amat hebat kepandaiannya. Betapa dahulu mendiang Coa Lok sendiri tidak mampu mengalahkannya, dan betapa lima orang di antara mereka tewas oleh wanita itu.
"Kepandaiannya seperti iblis, taihiap, gerakannya cepat seperti pandai menghilang saja. Akan tetapi selama ini dia tidak pernah mengganggu kami. Oleh karena itu, apakah tidak sebaiknya kalau kita juga tidak mengganggunya? Kita sudah hidup senang dan makmur di sini berkat kebijaksanaan taihiap, dan kami sudah puas."
Biar pun mulutnya tidak berkata apa-apa, namun di dalam hatinya Kui Hok Boan merasa amat penasaran. Makin tertariklah hatinya untuk mengunjungi istana itu, di mana menurut cerita para anak buahnya tinggal wanita cantik yang kepandaiannya seperti iblis betina itu, ditemani oleh lima orang pelayan wanita yang cantik-cantik pula.
Mendengar wanita-wanita cantik, jantung sasterawan muda ini sudah berdebar tegang dan girang. Sudah terlalu lama dia kesepian, semenjak dia meninggalkan Leng Ci yang cantik dan genit.
Memang di antara para penghuni dusun terdapat pula wanita-wanita muda, dan dia telah mengunjungi dan menghibur dirinya dengan dua tiga orang di antara mereka, akan tetapi hatinya tidak puas. Mereka adalah wanita-wanita dusun yang sederhana, bodoh dan juga berkulit kasar dan kehitaman karena kerja berat dan terbakar cahaya matahari di sawah ladang.
Karena dia tidak ingin mengganggu ketentraman hidup para anak buahnya, maka dia lalu mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri saja. Dia tahu bahwa anak-anak buahnya adalah bekas-bekas perampok yang berjiwa kasar serta ganas. Kini, oleh keadaan yang makmur dan tentram, anak-anak buahnya itu seperti harimau-harimau yang kekenyangan dan tidur bermalas-malasan.
Kalau sampai digerakkan kemudian bangkit kembali keganasan mereka, maka akan repot jugalah dia untuk menanggulangi mereka. Maka biarlah mereka menjadi harimau-harimau jinak karena memang dia sedang tidak membutuhkan tenaga mereka. Di tempat seperti itu, agaknya tidak akan ada musuh yang mengganggu.
Demikianlah, pada suatu pagi, tanpa diketahui oleh orang lain, diam-diam Kui Hok Boan memasuki daerah Lembah Naga dari arah selatan. Daerah yang luas dan indah, tanahnya subur dan tidak lama kemudian, ketika jalan itu mulai menanjak berat, dia sudah melihat genteng istana dari jauh, kemerahan dan tinggi.
Akan tetapi selagi dia melenggang seenaknya, tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring dan merdu, "Hei, berhenti! Tidak boleh memasuki tempat itu tanpa ijin!"
Dengan tenang Hok Boan menoleh dan melihat lima orang wanita bermunculan. Melihat kaki dan tangan mereka yang masih berlepotan lumpur, tahulah dia bahwa mereka tadi sedang asyik bekerja di sawah ketika mereka melihat kedatangannya dan menghadang di sini.
Wanita-wanita itu tidak terlalu cantik, akan tetapi bila dibandingkan dengan wanita-wanita dusun, mereka ini jauh lebih bersih menarik. Bahkan ada seorang di antara mereka, yang berbaju hijau, tentu belum ada tiga puluh tahun usianya, dan wajahnya manis. Dia sudah menduga bahwa tentu mereka inilah yang oleh anak buahnya disebut pelayan-pelayan dari wanita cantik bertangan buntung itu, maka dia tersenyum manis dan memasang aksi yang ramah.
Kui Hok Boan memang berwajah tampan. Apa lagi pagi hari itu dia sengaja mengenakan pakaian baru yang indah dan bersih. Ketika melihat pemuda itu tersenyum dan sikapnya yang sopan dan lemah lembut, lima orang itu tercengang, kemudian seorang di antara mereka, kebetulan yang muda berbaju hijau itu, berseru,
"Ahh, bukankah Kui-taihiap... dari Padang Bangkai...?"
Seperti diketahui, kadang-kadang, untuk memenuhi keperluan mereka, tentu ada di antara para pelayan dari istana lembah itu yang turun dari lembah dan pergi ke dusun-dusun untuk membeli keperluan mereka. Oleh karena, itu maka mereka mendengar belaka akan semua perubahan yang terjadi di Padang Bangkai.
Mereka sudah melapor kepada majikan mereka, yaitu Liong Si Kwi, bahwa kini Padang Bangkai sudah memiliki majikan atau pemimpin baru, dan betapa Padang Bangkai sudah dibangun dan banyak penghuni dusun yang berdatangan lantas membuka dusun-dusun baru di luar Padang Bangkai.
Akan tetapi Si Kwi tidak mau mencampuri urusan itu. Untuk apa dia mencampuri urusan para perampok di Padang Bangkai itu? Biar berganti pimpinan seribu kali pun tetap saja perampok dan dia tidak sudi berurusan dengan para perampok. Maka dia hanya berpesan kepada para pelayannya supaya mereka jangan berhubungan atau mencampuri urusan orang Padang Bangkai. Dia tidak akan peduli selama orang-orang Padang Bangkai tidak mengganggu Lembah Naga.
Akan tetapi, lima pelayan itu telah mendengar bahwa kepala di Padang Bangkai sekarang adalah seorang pemuda sasterawan yang tampan dan halus, dan yang disebut Kui-taihiap oleh para anak buah Padang Bangkai dan juga oleh semua penduduk dusun di sekitarnya. Dan pada saat seorang dua orang di antara mereka pergi berbelanja, mereka mendengar penuturan para penduduk bahwa majikan Padang Bangkai itu amat ramah dan baik hati, sama sekali bukan bersikap sebagai kepala perampok, dan bahwa tidak pernah ada satu pun anggota Padang Bangkai yang mengganggu dusun-dusun baru itu.
A Ciauw, pelayan berbaju hijau itu, sudah pernah satu kali melihat Kui Hok Boan dari kejauhan, maka kini dia mengenal pemuda itu. Mendengar teguran A Ciauw, empat orang temannya memandang penuh perhatian, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, biar pun majikan mereka sudah berpesan bahwa tidak ada orang luar, siapa pun juga dia itu, yang boleh masuk ke Lembah Naga.
Hok Boan memperlebar senyumnya sehingga terlihat giginya yang putih, lalu dia memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada. "Ahhh, kiranya cu-wi (anda sekalian) sudah mengenal saya? Saya memang Kui Hok Boan, dari Padang Bangkai. Dan karena di antara kita adalah tetangga, maka saya ingin sekali datang mengunjungi Istana Lembah Naga, untuk berkenalan."
Biar pun hanya A Ciauw seorang saja di antara mereka yang pernah melihat majikan Padang Bangkai yang disohorkan orang itu, namun mereka semua telah lama mendengar nama sasterawan muda itu dan kini melihat orangnya dengan sikapnya yang demikian halus dan ramah, lima orang pelayan itu merasa tidak enak kalau harus bersikap kasar. Bahkan untuk mengusirnya sekali pun mereka merasa malu hati. Maka kini mereka hanya saling pandang atau menatap wajah tampan itu dengan bingung.
Akhirnya, A Ciauw yang merasa betapa pandang mata kongcu itu terutama ditujukan kepadanya dengan sangat mesra, dengan kedua pipi berubah merah lalu menjura dengan hormat sambil berkata, "Maafkan kami, Kui-taihiap. Bukan keinginan kami untuk bersikap kurang hormat terhadap taihiap. Akan tetapi kami berlima hanyalah pelayan-pelayan dari nona kami yang mentaati perintah beliau..."
"Ahhh, ternyata cici (kakak) berlima adalah pelayan-pelayan dari Istana Lembah Naga? Sungguh mati, siapa dapat percaya hal ini kalau tidak mendengar sendiri? Meski pun cici berlima berlepotan lumpur karena habis kerja di ladang, namun melihat wajah dan sikap kalian... ahh, sudahlah, betapa pun juga, saya merasa amat gembira dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian. Sekarang, cici berlima yang manis, tolonglah antar saya untuk menjumpai dan berkenalan dengan nona majikan kalian."
"Itulah yang kami tidak berani lakukan, taihiap. Bahkan kalau bukan taihiap yang bertemu dengan kami di sini, tentu sejak tadi telah kami minta untuk segera meninggalkan tempat ini. Ketahuilah, Kui-taihiap, bahwa nona majikan kami telah berulang kali memesan bahwa tidak boleh orang luar datang memasuki Lembah Naga, apa lagi hendak bertemu dengan beliau. Oleh karena itu, demi kebaikan kita bersama, taihiap, kami mohon dengan hormat sukalah taihiap kembali saja ke Padang Bangkai dan kami akan menyampaikan kepada nona majikan kami betapa baiknya keadaan dan sikap taihiap terhadap kami."
Kui Hok Boan tersenyum dan memainkan matanya, lantas berkata, "Aih, cici yang manis, mengapa demikian? Sudah setahun saya tinggal di Padang Bangkai dan sudah banyak saya mendengar tentang nona majikanmu yang kabarnya cantik seperti bidadari dan juga manis budi. Kami adalah tetangga, mengapa saya tidak boleh menjumpai dan berkenalan dengan dia? Tidak, sekarang juga saya harus menemuinya, kalau tidak maka saya Kui Hok Boan tentu akan mati penasaran, setidaknya malam ini saya tidak akan dapat tidur."
A Ciauw dan teman-temannya menjadi semakin khawatir. "Jangan, taihiap, harap taihiap jangan memaksa, harap taihiap suka kembali saja..."
"Hemm, kalau saya tidak mau kembali, bagaimana? Saya mendengar bahwa lima orang dayang Istana Lembah Naga memiliki kepandaian tinggi, apakah kalian hendak menghajar saya dan memaksa saya pergi dari sini?"
"Ahhh, mana kami berani? Akan tetapi, kalau kami membiarkan saja taihiap memasuki istana, kami tentu akan mendapat marah besar dari nona majikan kami..."
"Karena itu, kalian jangan membiarkan aku masuk, cobalah kalian menghalangiku. Tentu saja aku juga tidak ingin menyusahkan kalian, para enci yang manis," Hok Boan berkata dengan sikap main-main dan lebih akrab.
A Ciauw dan teman-temannya saling pandang, kemudian A ciauw menarik napas panjang dan berkata, "Apa boleh buat, Kui-taihiap. Kami hanyalah pelayan yang harus mentaati perintah nona majikan kami, bila kami ingin selamat. Maafkan kami, terpaksa kami akan menghalangi taihiap. Harap saja taihiap menaruh kasihan kepada kami." A Ciauw sudah memasang kuda-kuda diikuti oleh empat orang temannya.
"Mana mungkin aku sampai hati untuk menyusahkan kalian?" jawab Hok Boan dan dia pun lalu menerjang ke depan.
Lima orang wanita itu menubruknya dan membuat gerakan menyerang untuk menangkap atau merobohkan tamu yang nekat ini, akan tetapi tentu saja mereka semua sama sekali bukan tandingan Kui Hok Boan. Dengan gerakan yang cepat bukan main, Hok Boan lalu membagi-bagi totokan, maka robohlah lima orang itu dalam keadaan lemas dan lumpuh tertotok!
Hok Boan tersenyum, lalu menghampiri A Ciauw, berlutut di dekatnya dan berkata, "Aku menyesal sekali, harap kalian memaafkan aku. Akan tetapi hal ini perlu agar kalian tidak sampai mendapat marah. Kau manis sekali!" berkata demikian, Hok Boan mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita baju hijau itu, tangannya mengusap dan membelai.
A Ciauw tak mampu bergerak dan hanya mengeluarkan suara di tenggorokannya seperti orang merintih atau mengeluh, matanya dipejamkan dan setelah pria itu pergi cukup lama, A Ciauw masih rebah terlentang dengan mata terpejam dan pikiran melayang jauh entah ke mana!
Sementara itu, dengan ilmu berlari cepat, Hok Boan telah pergi meninggalkan lima orang wanita yang dirobohkannya dengan totokan yang untuk beberapa lamanya akan membuat mereka lumpuh tak berdaya, akan tetapi juga tidak membahayakan keselamatan nyawa mereka itu. Dia menuju ke istana, akan tetapi ketika mendengar suara anak kecil tertawa dan suara seorang wanita, dia tertarik dan mengalihkan langkahnya ke jalan kecil yang menuju ke dinding gunung penuh goa dari mana suara itu tadi datang.
Tak lama kemudian dia melihat seorang anak laki-laki kecil, usianya tentu antara dua dan tiga tahun, tubuhnya sehat dan kuat, sedang bermain-main di depan goa. Tidak jauh dari situ nampak seorang wanita, dan Kui Hok Boan pun tercengang dan terpesona!
Dia bukan seorang laki-laki yang hijau, sama sekali bukan. Dia adalah seorang petualang asmara, seorang kongcu hidung belang dan mata keranjang yang sudah sangat terbiasa mempermainkan wanita dan mengobral cintanya di antara banyak sekali wanita. Dia telah banyak bertemu, bahkan bercinta dengan wanita-wanita cantik. Akan tetapi melihat wanita yang duduk di atas batu itu, jantungnya berdebar keras dan dia tertarik sekali.
Usia wanita itu belum ada tiga puluh tahun, wajahnya manis sekali dan pada wajah itu terbayang watak seorang wanita yang memiliki harga diri tinggi, yang memandang dunia dengan pandang mata seorang ratu, agung dan angkuh akan tetapi justru sikap semacam itulah yang bagi pandang mata Hok Boan kelihatan begitu menarik dan mempesona.
Dia sudah terlalu biasa bertemu dengan wanita yang ‘murahan’ seperti sikap lima orang pelayan tadi, atau wanita yang ‘jual mahal’ agar dapat dinilai lebih tinggi. Namun wanita yang duduk di atas batu depan goa besar itu lain sama sekali, sikapnya wajar dan begitu agung, tangan kirinya yang buntung sebatas pergelangan itu tidak membuat dia menjadi buruk, bahkan menimbulkan rasa iba di hati Hok Boan.
Wajah wanita itu manis sekali, berbentuk bulat dengan dagu meruncing dan mulut kecil. Sepasang matanya tajam dan dingin, akan tetapi mengandung kesuraman dan kesayuan. Rambutnya digelung sederhana dengan hiasan tusuk konde dari perak terukir dan diikat dengan pita rambut yang berwarna kuning.
Pakaiannya juga sederhana bentuknya, tapi terbuat dari sutera halus dengan baju warna merah darah. Kombinasi warna pakaian yang menyolok sekali, dan anehnya, kebetulan sekali warna merah memang paling disuka oleh Hok Boan untuk dipakai oleh wanita! Dia sendiri merasa heran bukan kepalang mengapa hatinya begitu tergetar dan tertarik sekali melihat wanita yang mempunyai bentuk tubuh yang sudah matang itu, padat dan dengan lekuk lengkung yang sempurna!
Wanita itu bukan lain adalah Liong Si Kwi. Seperti sudah diceritakan pada bagian depan, sejak wanita ini menemukan Sin Liong yang dia yakin adalah anak kandungnya sendiri, terjadi perubahan besar dalam kehidupannya. Dia tidak lagi melamun dan terpendam ke dalam kedukaan. Timbul kembali gairah hidupnya, timbul pula kegembiraannya, bahkan dia mendatangkan lima orang wanita sebagai pelayannya untuk mengurus istana yang besar itu, melayaninya dan menjadi temannya tinggal di tempat yang sunyi itu.
Meski pun Sin Liong masih suka bermain-main dengan monyet-monyet besar, akan tetapi karena tahu bahwa monyet-monyet itu adalah kawan-kawan pertama Sin Liong semenjak lahir dan setelah dia yakin bahwa binatang-binatang itu tak pernah mengganggu anaknya sama sekali, maka dia pun tidak pernah melarang lagi. Kadang-kadang dia sendiri yang menemani Sin Liong bermain-main dan pagi hari itu pun dia sedang menemani anak itu bermain-main, suatu kesibukan yang mendatangkan kegembiraan besar di hati wanita itu.
Biar pun Sin Liong belum pernah menerima gemblengan ilmu silat, namun nalurinya lebih tajam dari pada manusia biasa. Hal ini agaknya dia dapatkan dari air susu monyet yang menghidupinya sejak dia masih kecil, maka kedatangan Hok Boan lebih dulu dia ketahui sebelum ibunya, wanita yang telah digembleng ilmu silat tinggi itu mengetahui.
"Eeehhh...?" Sin Liong mengeluarkan teriakan dan menudingkan telunjuknya ke arah pria yang melangkah datang hati-hati itu.
Si Kwi cepat meloncat turun dari atas batu lantas membalikkan tubuh. Matanya berkilat bercahaya pada waktu dia melihat datangnya seorang laki-laki muda tampan berpakaian sasterawan dan diam-diam dia memperhatikan kanan dan kiri karena dia merasa heran mengapa lima orang pelayannya membiarkan orang asing ini memasuki Lembah Naga!
Kui Hok Boan sudah lebih dahulu menggunakan senjatanya yang biasanya amat ampuh dalam menghadapi wanita. Dia memainkan matanya, menggerakkan alisnya yang tebal sambil tersenyum manis, lalu menjura dan merangkapkan kedua tangan di depan dada, memberi hormat dengan sikap sopan sekali.
"Harap nona sudi memaafkan kelancanganku kalau aku mengganggu."
Si Kwi mengerutkan alisnya, tidak menjawab, malah dia menoleh ke kanan kiri, merasa semakin heran dan penasaran, bagaimana kelima orang pelayannya yang setia itu sama sekali tidak mengetahui akan kedatangan orang ini.
Jantung Hok Boan berdebar melihat wanita yang mempesona itu mengerutkan ails dan dengan sikap angkuh tidak menjawab kata-katanya melainkan memandang ke kanan kiri. Bukan main cantik dan manisnya wanita ini, pikirnya heran. Sudah banyak dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah ada yang menggerakkan hatinya seperti wanita bertangan kiri buntung ini! Dia maklum atau dapat menduga apa yang dicari oleh wanita itu, maka dia kembali menjura dan berkata halus,
"Kalau nona sedang mencari lima orang pembantumu itu, ketahuilah bahwa mereka tadi sudah menghadang dan ingin menghalangiku untuk datang berkunjung ke Istana Lembah Naga ini, oleh karena itu secara terpaksa sekali aku menidurkan mereka secara lembut dengan totokan. Akan tetapi totokan itu sama sekali tidak berbahaya, nona, sama sekali tidak berbahaya..."
Sinar mata itu berkilat menatap wajah Hok Boan, sinar mata itu merayap dari atas ke bawah, dalam sekejap saja sudah meneliti keadaan jasmani pemuda itu, lalu sinar mata yang sangat tajam itu kembali menentang wajah Hok Boan. Bibir yang merah tipis dan manis itu terbuka, bergerak dan terdengar bentakan halus,
"Siapa engkau? Apa kehendakmu datang ke tempat ini secara memaksa?" Pertanyaan yang mendesak dan mengandung teguran biar pun hati Si Kwi sama sekali tidak merasa heran kalau pemuda ini dapat menotok roboh lima orang pelayannya karena mereka itu baru dua tahun dilatih silat.
Melihat keadaan pemuda yang lemah lembut ini, dia menduga bahwa tentu pemuda ini mempunyai kepandaian tinggi. Dia sudah terbiasa akan hal ini. Sebagai orang muda yang berdarah panas, maka setiap pemuda yang memiliki kepandaian sedikit saja tentu akan bersikap sombong dan suka berkelahi. Akan tetapi, seorang pemuda yang bisa membawa diri, bersikap tenang dan halus, tak mau menonjolkan kepandaian, pemuda seperti itulah yang berbahaya, dan biasanya menyembunyikan kepandaian yang sangat hebat.
Seperti Cia Bun Houw misalnya! Teringat ini, kedua pipi Si Kwi menjadi merah dan cepat diusirnya bayangan pemuda itu dan nama pemuda itu.
Mendengar pertanyaan yang singkat dan penuh teguran itu, kembali Hok Boan menjura dan menjawab halus, "Sekali lagi harap nona sudi memaafkan aku. Sebenarnya, aku Kui Hok Boan sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap nona atau semua penghuni Istana Lembah Naga. Seperti mungkin nona telah mengenal namaku..."
"Aku tidak mengenal namamu!" Si Kwi memotong cepat dan ketus.
Hok Boan tidak merasa menyesal apa lagi menjadi marah ketika mendengar pemotongan kata-katanya yang ketus itu. Dia tetap memandang dengan wajah berseri, lalu tersenyum dan berkata lagi, "Maaf, agaknya aku lupa bahwa penghuni Istana Lembah Naga tentu saja tidak mengenal nama seorang yang tidak berharga seperti aku ini. Karena itu, baiklah dalam kesempatan ini aku memperkenalkan namaku. Aku she Kui bernama Hok Boan dan aku memimpin teman-teman di Padang Bangkai."
"Hemm, kiranya kepala perampok yang baru?"
Hok Boan mengerutkan alisnya. "Nona boleh memandang rendah kepadaku, akan tetapi harap suka melihat dengan jelas dan dapat membedakan orang. Aku datang ke Padang Bangkai kurang lebih setahun yang lalu, dalam pertempuran membunuh kepala perampok Sin-jio Coa Lok dan karena kasihan kepada tiga puluh orang anak buahnya yang sudah menyerah maka aku memimpin mereka menuju ke jalan benar. Dan sekarang mereka itu bukanlah perampok lagi, nona. Padang Bangkai sudah mengalami perubahan besar dan bukan merupakan tempat angker dan menyeramkan lagi bagi manusia. Dusun-dusun baru telah mulai dibangun oleh mereka yang berdatangan."
Si Kwi merasa tersindir. Memang dia sudah mendengar dari pelayan-pelayannya akan kemajuan Padang Bangkai dan betapa tempat itu kini mulai ramai dengan para penduduk baru yang membangun dusun-dusun, sementara itu Lembah Naga masih saja merupakan tempat angker yang tidak boleh didatangi orang luar.
"Cukup, tak perlu kau memamerkan dan mempropagandakan Padang Bangkai kepadaku. Sekarang katakan apa keperluannya datang ke sini!"
Kembali Hok Boan menjura dengan hormat. "Tidak ada keperluan lainnya kecuali datang berkunjung sebagai tetangga, sebagai sahabat..."
"Seorang sahabat macam apa engkau ini! Begitu datang telah menotok roboh lima orang pelayanku."
"Akan tetapi mereka yang memaksaku, nona..."
"Hemmm, agaknya sesudah engkau berhasil merampas Padang Bangkai, engkau hendak main gila di sini mengandalkan kepandaianmu, ya? Kau kira aku takut menghadapimu? Kau kira akan mudah saja merampas Istana Lembah Naga seperti yang telah kau lakukan dengan Padang Bangkai?"
"Ehh... ahhh... bukan begitu, nona..."
"Cerewet! Perlihatkan kepandaianmu!" Si Kwi sudah menghardiknya dan seketika itu pula dia menerjang dengan tamparan tangan kanannya ke arah pipi Hok Boan.
Pemuda sasterawan ini terkejut bukan main. Dia hanya melihat wanita itu menggerakkan tangan dan tahu-tahu ada angin menyambar dahsyat dan tangan itu sudah menyambar dekat sekali dengan pipinya! Hanya dengan jalan melempar tubuh atas ke belakang saja dia berhasil menghindarkan diri dari tamparan itu. Angin tamparan itu masih menyambar pipinya, dingin dan kuat sekali. Bukan main, pikirnya. Pantas saja wanita ini ditakuti orang, kiranya memiliki gerakan yang sedemikian cepatnya.
Sementara itu, Si Kwi menjadi penasaran juga ketika tamparannya yang dilakukan cepat tadi dapat dielakkan lawan. Dia merasa gemas dan sambil mengeluarkan lengking nyaring dia menyerang secara hebat dan bertubi-tubi. Tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang meloncat tinggi sambil menerkam dan menyerang, kecepatannya seperti seekor burung walet terbang!
"Eh... ohh... nanti dulu, nona...!" Hok Boan berseru kaget dan mengelak atau menangkis kalang kabut.
Nona itu hanya mempunyai satu tangan kanan saja, akan tetapi tangan kiri yang buntung itu ternyata dipergunakan pula untuk menyerang, dengan jalan menotok jalan darah! Yang sangat mengagumkan hati Hok Boan adalah kecepatan wanita itu, kecepatan yang luar biasa dan dia harus mengakui bahwa dalam hal limu ginkang, agaknya dia sendiri tidak akan mampu menandingi nona ini.
Karena dia berseru dan berkali-kali menahan, hampir saja sebuah tendangan mengenai dagunya, sebuah tendangan kilat yang dilakukan selagi tubuh wanita itu berada di atas. Dia terkejut dan mengeluarkan keringat dingin ketika tubuhnya dia lempar ke belakang sambil berjungkir balik, membuat salto.
"Tahan, nona. Aku bukan musuh..."
"Tidak peduli. Engkau sudah merobohkan lima orang pelayanku, berarti engkau adalah musuhku!" Si Kwi membentak dan kembali menyerang karena hatinya makin penasaran melihat betapa serangan-serangannya yang sudah dilakukan sebanyak belasan jurus itu tidak pernah mengenai sasarannya.
"Baiklah, agaknya engkau berpegang kepada kebiasaan dunia kang-ouw bahwa sebelum bertanding tidak kenal!" Hok Boan berkata dan mulailah dia membalas serangan Si Kwi. Pemuda sasterawan ini amat tertarik kepada Si Kwi dan kini dia ingin mengukur sampai di mana tingkat kepandaian wanita yang amat menyentuh perasaan hatinya ini.
Perkelahian hebat terjadi di depan goa. Melihat ini, Sin Liong mengeluarkan suara marah dan dia sudah melangkah maju perlahan-lahan, matanya mengeluarkan sinar berapi dan dia menyeringai, memperlihatkan giginya yang kecil-kecil seperti laku seekor monyet bila sedang marah!
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan monyet besar dan biang monyet yang selama ini selalu membayangi dan menjaga Sin Liong, cepat meloncat ke bawah dan menyambar tubuh Sin Long, segera dipondongnya dan dibawanya berloncatan naik melalui batu-batu di samping goa, terus dibawanya naik ke atas pohon di mana dia duduk nongkrong sambil memondong Sin Liong dan diajaknya anak itu menjadi penonton dari tempat yang aman itu.
Legalah hati Si Kwi melihat ini. Dia tadi sudah khawatir kalau-kalau Sin Liong yang masih mempunyai watak liar dan kadang-kadang seperti seekor monyet yang susah dijinakkan itu akan menjadi marah dan maju membantunya. Kalau hal itu sampai terjadi, tentu saja akan membahayakan keselamatan anak itu sendiri. Lawannya ini seorang yang pandai, dan siapa tahu apa yang akan dilakukan oleh ketua Padang Bangkai ini terhadap anak itu kalau Sin Liong berani maju membantunya.
Melihat Sin Liong dalam keadaan aman di pohon tinggi, dijaga oleh monyet betina besar itu, kini Si Kwi dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada gerakan kaki tangannya dan mulailah dia menyerang dengan hebat. Dia tidak membawa pedang atau pun senjata rahasianya yang amat lihai, yaitu paku Hek-tok-ting, akan tetapi karena dia melihat bahwa pemuda sasterawan itu pun tidak membawa senjata apa pun, maka dia tidak merasa khawatir.
Liong Si Kwi adalah murid seorang tokoh besar dunia kang-ouw, yaitu mendiang Hek I Siankouw, bahkan dia menerima banyak gemblengan ilmu silat tinggi pula dari kekasih gurunya itu, yaitu Hwa Hwa Cinjin. Dari dua orang kakek dan nenek ini dia menerima ilmu silat gabungan yang diberi nama Im-yang Lian-hoan-kun, yaitu ilmu yang dapat dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan senjata.
Selain itu Si Kwi pun pandai sekali main silat dengan siang-kiam, yaitu sepasang pedang namun kini setelah tangan kirinya buntung, tentu saja dia tidak lagi dapat memainkan dua pedang, melainkan tinggal sebuah saja yang biasa dimainkan dengan tangan kanannya. Dan di samping ilmu senjata rahasia Hek-tok-ting, paku beracun hitam yang berbahaya sekali, juga dia adalah seorang ahli ilmu ginkang. Karena kecepatan gerakannya inilah maka pada waktu dia belum bersembunyi di Istana Lembah Naga, di dunia kang-ouw dia dijuluki orang Ang-yang-cu (Burung Walet Merah) karena gerakannya seperti terbang dan pakaiannya selalu berwarna merah.
Kini, dalam keadaan marah serta penasaran, Liong Si Kwi menghadapi Hok Boan dan memainkan Ilmu Silat Im-yang Lian-hoan-kun yang hebat. Tubuhnya seperti beterbangan menyambar-nyambar dan dalam serangkaian serangan selama tiga puluh jurus pertama, Hok Boan yang terkejut dan kagum itu terdesak hebat!
Namun, pemuda sasterawan ini adalah bekas murid Go-bi-pai yang pandai, ditambah lagi dengan pengalamannya yang sangat banyak di dunia kang-ouw, maka dia masih berhasil mempertahankan diri dengan baik. Tentu saja dia tak dapat mengandalkan kegesitannya untuk bergerak.
Ketika dia menghadapi mendiang Sin-jio Coa Lok, dia kelihatan sangat lincah dan gesit karena dia memang menang gesit dibandingkan dengan Coa Lok. Akan tetapi sekarang, bertemu dengan Si Kwi, dia kelihatan lamban! Dia kalah gesit, kalah cepat sehingga tidak mungkin dia sanggup mengimbangi dan menandingi lawan ini apa bila dia mengandalkan kecepatan.
Maka dia tidak mau banyak mengelak, khawatir kalau didahului lawan yang lebih cepat. Dia lebih bersikap tenang sambil mengandalkan pertahanannya yang kokoh kuat dengan jalan menangkis dan hanya kadang kala saja dia mengelak. Tiap tangkisannya dilakukan dengan pengerahan tenaga karena pemuda yang cerdik ini segera mengerti bahwa biar pun dalam hal ginkang dia kalah cepat, namun dalam hal sinkang dia menang kuat.