Dewi Maut Jilid 48

Bun Houw berlari cepat akan tetapi juga dengan penuh kewaspadaan. Dia maklum akan bahaya yang terdapat di Padang Bangkai ini dan merasa amat bersyukur bahwa dia dapat menolong Si Kwi sehingga mendapatkan petunjuk-petunjuk yang amat berharga dari dara itu. Dari Si Kwi dia mendengar tadi bahwa In Hong masih dalam keadaan baik-baik saja, karena memang gadis itu ditawan untuk dipergunakan sebagai umpan.

Mendengar bahwa In Hong masih selamat, hatinya merasa lega bukan main. Memang penting sekali baginya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah menyelamatkan In Hong. Dirabanya perhiasan rambut burung hong kumala yang selalu berada di saku bajunya bagian dalam, kemudian dirabanya pedang Hong-cu-kiam yang melilit pinggangnya. Apa pun yang terjadi, dia harus menyelamatkan In Hong!

Tiba-tiba saja dia berhenti dan menyelinap di balik rumpun alang-alang ketika dari jauh dia melihat serombongan orang berjalan sambil tertawa-tawa, akan tetapi di antara suara ketawa banyak orang laki-laki itu dia mendengar suara isak tangis seorang wanita! Ketika rombongan itu telah tiba dekat, dia memandang dengan mata berkilat saking marahnya.

Rombongan itu terdiri dari belasan orang lelaki tinggi besar dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang wanita cantik yang telanjang bulat, kedua tangannya dipegangi banyak orang dan dia setengah diseret menuju ke sebuah padang rumput hijau tak jauh dari situ. Dia mendengar dari penuturan Si Kwi tadi bahwa padang rumput hijau itu berbahaya sekali karena di bawahnya tersembunyi lumpur maut yang sekali diinjak akan menyedot tubuh manusia dan di dalamnya terdapat lintah dan binatang lain yang beracun.

Kini rombongan laki-laki itu mengangkat tubuh si wanita telanjang, lantas beramai-ramai mereka melemparkan tubuh wanita itu ke tengah padang rumput! Wanita itu menjerit, lalu tubuhnya terbanting dan amblas ke bawah sampai ke pinggang. Matanya terbelalak dan dia meronta-ronta, akan tetapi terbenam makin dalam. Tiba-tiba wanita itu tertawa, lalu menangis lagi dan karena dia terus meronta, sebentar saja suara tawa atau tangisnya itu lenyap karena kepalanya telah terbenam, hanya tinggal dua tangannya saja yang tampak, membentuk sepasang cakar yang kaku!

Bun Houw menahan napas saking ngeri dan marahnya melihat peristiwa ini. Dia tidak menyangka bahwa wanita itu akan dilemparkan ke tempat berbahaya itu dan ketika dia melihat hal ini terjadi, dia sudah terlambat dan dia maklum bahwa tak mungkin lagi dapat menolong wanita itu, maka setelah wanita itu tidak nampak lagi dan orang-orang kasar itu masih tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata cabul dan tidak senonoh, dia lalu keluar dan berdiri tegak, memandang mereka penuh kemarahan sambil membentak,

"Iblis-iblis bermuka manusia!"

Tentu saja anak buah Padang Bangkai itu terkejut bukan main. Cepat mereka menengok dan melihat seorang pemuda asing berdiri di situ, mereka segera mengepungnya. Mereka merasa heran sekali mengapa mereka tadi tidak melihat pemuda ini datang dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di situ. Akan tetapi sebelum mereka bertanya, terdengar suara bentakan nyaring.

"Hayo kepung dan bunuh orang ini!" Itulah suara Ang-bin Ciu-kwi yang telah datang di situ bersama isterinya, Coa-tok Sian-li.

Suami itu tadi bercerita kepada isterinya bahwa dia telah gagal menggagahi Liong Si Kwi karena munculnya seorang pemuda yang sangat lihai, pemuda yang sangat tampan dan gagah. Mendengar ini, Coa-tok Sian-li sudah tertarik sekali, maka bersama suaminya dia cepat keluar dari sarang untuk menangkap pemuda yang tampan dan gagah itu. Ternyata pemuda itu telah dikepung oleh anak buah mereka.

"Jangan bunuh!" Coa-tok Sian-li berseru lebih nyaring dari suaminya. "Tangkap dia hidup-hidup!" Nyonya yang cantik ini memang tertarik sekali melihat Bun Houw yang tampan dan ganteng dan merasa sayang kalau seorang pemuda seperti itu dibunuh begitu raja!

Mendengar perintah Coa-tok Sian-li, orang-orang kasar itu tersenyum dan saling pandang. Mereka ini tentu saja sudah mengenal baik akan kesenangan nyonya majikan itu, maka sambil tertawa-tawa mereka lalu mengeluarkan sehelai jala, masing-masing mengeluarkan sehelai dan mengurung pemuda itu dengan jala siap di tangan.

Sejak tadi Bun Houw memperhatikan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, maklum bahwa suami isteri inilah majikan Padang Bangkai itu seperti yang diceritakan oleh Si Kwi tadi. Dia harus melewati Padang Bangkai untuk dapat pergi ke Lembah Naga dan untuk dapat melalui Padang Bangkai dia harus dapat mengalahkan suami isteri ini bersama belasan orang anak buah mereka.

Kebetulan, pikirnya, kini mereka sudah berkumpul semua di sini, di pinggir padang rumput hijau yang menyeramkan itu. Teringat akan nasib wanita telanjang tadi, Bun Houw merasa perutnya muak dan kini sepasang matanya memandang ke sekeliling, ke arah belasan orang yang mengurungnya itu, dengan sinar berkilat-kilat.

"Haaaiiittt...!"

"Tangkaaappp...!"

Empat orang menubruk dari empat penjuru dengan jala mereka. Jala itu bentuknya mirip seperti jala ikan biasa, ada talinya dan ketika dilontarkan, jala-jala itu lantas mengembang bagaikan layar dan keempatnya dengan tepat menyelimuti tubuh Bun Houw. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, membiarkan jala-jala itu menyelimutinya, akan tetapi segera dia menggerakkan kedua tangannya.

"Breeeetttt...!"

Empat lembar jala itu pecah dan koyak-koyak hancur, dan si pemuda tampan itu masih berdiri di tengah-tengah pengepungan mereka dengan sikap tenang.

"Heiiiii...!"

"Ahhh...!"

Mereka terkejut bukan main. Jala mereka itu terkenal sangat kuat dan mampu menahan bacokan golok. Musuh yang sudah terjala, baru sehelai jala saja akan sukar meloloskan diri. Akan tetapi kini sekali gerak pemuda itu dengan tangan kosong telah menghancurkan empat lembar jala! Suami isteri itu pun terkejut bukan main dan jantung Coa-tok Sian-li makin berdebar penuh gairah birahi terhadap pemuda yang demikian jantan dan lihainya.

"Serbu! Tangkap!" teriaknya.

Kini lima belas orang anak buah Padang Bangkai itu bergerak laksana harimau-harimau kelaparan memperebutkan seekor domba. Sekaligus dua orang menubruk dari depan dan dua orang pula menyergap dari belakang. Karena mereka diperintah untuk menangkap, maka mereka tidak menghantam, melainkan hanya menubruk untuk meringkus pemuda ini yang mereka tahu amat diidamkan oleh nyonya majikan mereka.

Kembali Bun Houw membiarkan empat orang itu meringkus dan merangkulnya, kemudian dia mengeluarkan suara melengking dahsyat sambil menggerakkan tubuhnya. Akibatnya hebat karena empat orang tinggi besar itu semua terlempar seperti dilontarkan ke arah... padang rumput hijau!

Segera mereka memekik ketakutan, akan tetapi karena tenaga yang melontarkan mereka itu sangat kuat, akhirnya mereka terbanting ke atas padang rumput hijau dan celakanya, mereka jatuh dengan kepala lebih dulu dan langsung tubuh mereka menancap di lumpur dari kepala sampai ke pinggang, tinggal dua kaki mereka saja bergoyang-goyang lucu dan aneh!

Teman-teman mereka terkejut dan hendak menolong kawan-kawan mereka itu dengan tali. Akan tetapi kini Bun Houw mengamuk, tidak memberi kesempatan kepada mereka, kaki tangannya bergerak dan terdengar suara berkeretaknya tulang-tulang patah dan ada pula yang terlempar ke padang rumput hijau. Dengan gerakan kilat Bun Houw berloncatan dan ke mana pun tubuhnya berkelebat, tentu ada anggota Padang Bangkai yang roboh atau terlempar ke padang rumput berbahaya itu.

Dalam waktu singkat saja, delapan orang terlempar ke padang rumput hijau dan segera ‘ditelan’ lumpur, yang tujuh orang roboh tidak mampu bangkit kembali, ada yang pingsan karena kena ditampar, ada yang patah tulang kaki atau tangannya dan mereka kini hanya merupakan sekumpulan orang cacad yang tidak mampu bangkit, hanya dapat mengerang kesakitan!

Melihat ini, tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li terkejut bukan main. Semua gairah nafsu birahi lenyap dari benak wanita itu ketika melihat betapa kelima belas orang anak buahnya telah roboh semua. Sekarang mukanya yang dihias tebal itu menjadi buruk karena ditarik sedemikian rupa oleh perasaan marah, tangannya bergerak berkali-kali dan puluhan batang jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) menyambar ke tubuh Bun Houw dari kepala sampai ke kaki!

Hebat bukan main serangan beruntun dan bertubi-tubi dari jarum-jarum yang dilontarkan oleh Coa-tok Sian-li yang sudah marah, akan tetapi anehnya, Bun Houw sama sekali tidak mengelak, hanya mengangkat tangan untuk melindungi mukanya dari serangan semua jarum itu. Dan semua jarum itu tepat mengenai tubuhnya, dari leher sampai ke kaki, akan tetapi pemuda itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan jarum-jarum itu banyak yang menancap di pakaiannya!

Kini Bun Houw menggunakan tangannya mengusap pakaiannya dan jarum-jarum itu telah berada di tangannya, lalu tangannya bergerak dan belasan batang jarum menyambar ke arah suami isteri itu dan orang-orang mereka yang masih mengerang kesakitan.

"Celaka...!" Coa-tok Sian-li berseru.

Dia dan suaminya dapat meloncat jauh ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum itu, akan tetapi keempat orang anggota atau anak buah mereka yang telah terluka tadi, kini menjerit dan terjengkang roboh berkelojotan termakan oleh jarum-jarum beracun! Hanya mereka yang tadi sudah pingsan dan rebah saja yang lolos dari maut.

Melihat ini, Coa-tok Sian-li dan Ang-bin Ciu-kwi menjadi pucat sekali dan tanpa menanti komando lagi, keduanya telah membalikkan tubuh dan lari dari situ seperti dikejar hantu! Mereka melarikan diri ke utara untuk melapor ke Lembah Naga mengenai kedatangan pemuda yang luar biasa lihainya ini.

Sementara itu, dari jauh Si Kwi juga melihat semua peristiwa itu dan jantungnya berdebar tegang dan penuh kekaguman. Semakin kagumlah dia terhadap Bun Houw, dan semakin tetaplah tekadnya bahwa apa pun yang akan terjadi, dia harus menjaga agar Bun Houw jangan sampai tertimpa mala petaka, atau dia akan berusaha untuk menolongnya sedapat mungkin.

Ketika dia melihat pemuda itu dengan gerakan cepat sekali telah meninggalkan tempat itu dan agaknya seperti hendak mengejar suami isteri yang melarikan diri, Si Kwi juga cepat melanjutkan perjalanannya.

"Ohh, aku cinta padamu... betapa aku cinta padamu..." Bibirnya berkemak-kemik ketika dia memandang bayangan Bun Houw yang segera lenyap itu.

Si Kwi bukan seorang gadis yang mudah jatuh cinta. Biasanya, karena sikap gurunya, dia malah ada kecondongan memandang rendah kaum pria, biar pun di dalam lubuk hatinya dia merindukan seorang suami yang seperti yang diidam-idamkan gurunya dan diidamkan oleh dia sendiri pula. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan lebih lihai dari pada dia sendiri, dan tentu saja yang tampan dan ganteng.

Maka kini, bertemu dengan Cia Bun Houw dan melihat betapa semua idaman hatinya itu terkumpul di dalam diri pemuda itu, tidaklah mengherankan apa bila dia tertarik, kagum, dan jatuh cinta! Apa lagi karena justru pemuda hebat itulah yang telah menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut!

Dan selain ini juga pemuda itu telah melihat tubuhnya dalam keadaan setengah telanjang, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan pendek saja! Seluruh kerinduan yang timbul semenjak beberapa tahun ini, semenjak dia telah menjadi dewasa, sekarang ditumpahkan kepada diri Bun Houw seorang…..!

********************

Berkat petunjuk dari Liong Si Kwi, Bun Houw tidak mengalami kesulitan melewati Padang Bangkai yang sudah kosong ditinggalkan penghuninya itu dan akhirnya tibalah dia di luar tembok yang mengelilingi tempat tinggal Pek-hiat Mo-ko serta Hek-hiat Mo-li di Lembah Naga.

Tembok itu seperti benteng saja, kokoh kuat dan tinggi. Akan tetapi sungguh aneh sekali. Kalau benteng itu dijaga dengan ketat, tentu tampak para prajurit penjaga yang hilir-mudik melakukan penjagaan dan perondaan, tapi sebaliknya tempat ini sunyi saja tidak nampak seorang pun penjaga.

Ketika Bun Houw tiba di depan pintu gerbang, pintu besar dari tembok benteng itu malah terbuka lebar-lebar namun tidak nampak ada yang menjaganya, seakan-akan pintu yang terbuka lebar itu mempersilakan dia memasukinya. Akan tetapi, Bun Houw bukan seorang pemuda sembrono atau bodoh. Baginya, pintu benteng yang terbuka lebar itu bagai mulut seekor naga yang terbuka, siap menelannya kalau dia tidak berhati-hati!

Bun Houw menduga bahwa tidaklah mungkin pihak Lembah Naga begitu lengah sesudah sengaja menawan In Hong dan menggunakan gadis itu sebagai umpan datangnya para tokoh Kerajaan Beng. Terlebih lagi karena sekarang Siang-bhok-kiam juga sudah mereka rampas dan setiap saat mereka menanti datangnya orang Cin-ling-pai untuk merampas kembali pedang pusaka itu. Ini pasti sebuah perangkap, pikirnya.

Dia teringat akan suami isteri majikan Padang Bangkai yang melarikan diri. Pasti karena dua orang itu telah datang melapor, maka kini Lembah Naga sudah siap menyambutnya dan mengatur perangkap.

Namun Bun Houw sama sekali tidak merasa jeri. Dia sudah bertekad mempertaruhkan nyawanya, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan In Hong gadis yang dicintanya itu. Dia segera pergi mencari sebongkah batu yang beratnya kurang lebih seberat orang biasa, lantas dia melontarkan batu itu ke lantai di tengah pintu gerbang sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung terbang saja.

"Bukkkk...!"

Baru saja batu itu tiba di lantai pintu, terdengar bunyi berderit nyaring dan lantai di bawah pintu gerbang itu terkuak lebar sekali menjadi sebuah sumur besar yang mampu menelan puluhan orang prajurit yang menyerbu pintu gerbang itu. Kemudian, dari atas kanan kiri pintu gerbang itu, belasan orang laki-laki yang sudah bersiap dengan gendewa mereka langsung melepas anak panah seperti hujan saja ke dalam lubang.

Bun Houw bergidik. Jangankan baru dia seorang, andai kata ada pasukan yang lancang menyerbu masuk, tentu pasukan itu akan terjeblos ke dalam lubang sumur besar itu dan semua tewas di bawah hujan anak panah itu! Akan tetapi kini para anak buah Lembah Naga itu sudah melihat Bun Houw yang berdiri di atas tembok, sebab itu mereka kini lalu membalikkan gendewa mereka dan menyerang pemuda itu dengan anak panah.

Bun Houw meloncat ke bawah, kaki tangannya menangkis dan menendang anak panah yang datang menyerangnya, ada pula yang mengenai tubuhnya akan tetapi semua anak panah itu runtuh ke bawah, tidak ada yang dapat melukai tubuhnya yang sudah dilindungi oleh sinkang sehingga menjadi kebal. Begitu tiba di bawah, Bun Houw berseru nyaring,

"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Keluarlah kalian jika memang kalian bukan pengecut-pengecut hina! Aku Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah datang!"

Semua anak buah Lembah Naga terkejut mendengar ini. Di antara mereka memang ada yang sudah pernah melihat Cia Bun Houw ketika pemuda ini dahulu memasuki benteng Sabutai, akan tetapi ada pula yang belum melihatnya. Akan tetapi, mereka semua telah mendengar akan nama pemuda Cin-ling-pai yang kabarnya amat lihai itu dan tadi mereka pun sudah menyaksikan sendiri betapa selain tidak dapat terjebak di pintu gerbang, juga pemuda itu telah memperlihatkan kelihaiannya ketika dihujani anak panah.

"Ha-ha-ha, bocah sombong!" Terdengar suara keras dan nampaklah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li muncul dari dalam sebuah rumah gedung, langsung menghampiri tempat yang telah dikurung oleh puluhan orang anak buah mereka itu. Juga tampak muncul Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, kemudian paling akhir muncul pula Ang-bin Ciu-kwi bersama Coa-tok Sian-li yang memandang ke arah pemuda itu dengan sikap gentar.

"Ha-ha-ha! Mana ketua Cin-ling-pai? Aku mengharapkan dia yang muncul di sini, bukan seorang bocah masih ingusan macam kau!" Pek-hiat Mo-ko berkata lagi, memandang rendah kepada Bun Houw.

Bun Houw sudah memandang penuh perhatian. Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan berpakaian hitam, di samping Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam dan berpakaian putih itu benar-benar merupakan pasangan yang menyeramkan sekali. Akan tetapi, teringat bahwa In Hong berada di sebelah dalam dari satu di antara rumah-rumah di benteng ini, bangkit kembali semangat Bun Houw dan dengan tabah dia lalu berkata,

"Ji-wi locianpwe adalah dua orang tua yang berilmu, kenapa mempergunakan cara yang amat tercela? Kalau memang hendak menantang kami kenapa harus menggunakan akal pancingan?"

"Heh-heh-heh-heh, bocah ini bermulut lancang!" Hek-hiat Mo-li mengejek. "Pedang Siang-bhok-kiam memang ada pada kami, lekas suruhlah ketua Cin-ling-pai sendiri datang untuk mengambilnya kalau dia berani!"

"Cukup dengan aku saja sebagai putera ketua Cin-ling-pai mewakili ayah beserta seluruh Cin-ling-pai!" kata Bun Houw tenang. "Dan bukan hanya untuk Siang-bhok-kiam, terutama sekali hendaknya ji-wi suka membebaskan nona Yap In Hong sekarang juga!"

Ucapan yang sangat tenang dari Bun Houw ini mengherankan semua orang, heran akan keberanian pemuda ini yang datang seorang diri di tempat itu akan tetapi telah membuka suara lantang hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam dan menuntut dibebaskannya Yap In Hong! Sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua orang menunggu jawaban dari dua orang kakek dan nenek itu.

Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara lemah, "Subo..."

Semua orang menengok dan Hek I Siankouw juga menoleh. Ketika dia melihat muridnya yang berpakaian merah itu sudah tiba pula di sana dengan muka agak pucat, dia cepat memanggil dengan suara dingin, "Si Kwi, ke sinilah engkau!"

Mendengar suara gurunya, Liong Si Kwi terkejut dan melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang keduanya menyeringai itu. Dia lalu cepat-cepat menghampiri gurunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Hek I Siankouw.

"Heh-heh, bagus sekali muridmu, Siankouw! Kiranya muridmu yang kau bilang amat boleh dipercaya itu hanya seorang pengkhianat tak tahu malu!" kata Hek-hiat Mo-li.

"Nanti dulu, Mo-li!" Hek I Siankouw membantah. "Kita tidak boleh hanya mendengarkan keterangan dari satu pihak saja. Persoalan ini perlu diselidiki baik-baik dulu sebelum kita menjatuhkan kesalahan kepada satu pihak. Eh, Si Kwi, bagaimana dengan perintah yang kuberikan padamu untuk menemui majikan-majikan Padang Bangkai dan menyampaikan pesan?"

"Sudah teecu lakukan dengan baik, subo. Akan tetapi..." Dara itu melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi yang masih menyeringai.

"Akan tetapi kata orang engkau berkhianat, hendak melarikan diri dari sini, dan kemudian engkau bermain gila dengan pemuda Cin-ling-pai ini, berjinah dengan dia hingga ketahuan oleh Ang-bin Ciu-kwi dan..."

"Bohong...!" Si Kwi menjerit dan dia melompat bangun, menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan menudingkan telunjuknya kepada majikan Padang Bangkai itu. "Dia bohong, dia bukan manusia, subo! Dia inilah manusianya yang hampir saja memperkosa teecu! Ketika teecu sampai di sana, mereka ini dan anak buah mereka tidak melakukan penjagaan, melainkan mengganggu banyak wanita walau pun kemudian mereka bilang bahwa wanita-wanita itu adalah anak buah Giok-hong-pang. Kemudian... secara curang iblis ini menyuguhkan arak beracun kepada teecu dan nyaris teecu diperkosa olehnya! Bedebah keparat dia ini!"

"Ha-ha-ha, kami melihat engkau dan pemuda Cin-ling-pai itu bergumul di antara rumpun alang-alang... ha-ha-ha, alangkah asyiknya... dan sekarang masih ingin memutar balikkan omongan!" kata Ang-bin Ciu-kwi.

"Nanti dulu, Ciu-kwi. Benarkah omonganmu dan isterimu bahwa kalian melihat muridku berjinah dengan pemuda Cin-ling-pai ini?"

"Benar! Kami berdua melihatnya!" jawab Coa-tok Sian-li dengen tegas.

"Bohonggg...!" Si Kwi menjerit lagi.

"Diam kau, Si Kwi!" Hek I Siankouw membentak muridnya, lalu berkata kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, "Kalian berdua tentu bukan anak kecil maka hal ini tentu saja dengan mudah dapat kita periksa. Sepanjang pengetahuanku, muridku ini adalah seorang perawan. Akan tetapi sekarang dua orang majikan Padang Bangkai ini justru mengatakan bahwa muridku berjinah dengan seorang laki-laki. Harap Hek-hiat Mo-li suka memeriksa kebenaran keterangan itu. Kalau benar muridku sekarang sudah bukan perawan lagi, aku sendiri yang akan membunuhnya!"

“Heh-heh, itu benar sekali!"

Hek-hiat Mo-li melangkah maju dan sebelum Si Kwi sempat mengelak, dia sudah tertotok roboh. Dengan cekatan jari-jari tangan Hek-hiat Mo-li segera meraba-raba dan tidak lama kemudian dia membebaskan totokannya, mencelat ke tempatnya kembali sambil berkata kecewa, "Dia benar masih perawan!"

"Hemmm..." Hek I Siankouw kini menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. "Bagai mana sekarang, manusia-manusia palsu? Kalau muridku sudah berjinah dengan seorang pria, bagaimana mungkin dia masih perawan sekarang?"

Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li tentu saja menjadi bingung. Mereka memang sengaja memutar balikkan fakta supaya gadis itu tidak mengadukan keadaannya ketika berada di Padang Bangkai, siapa tahu kini terdapat bukti bahwa cerita mereka itu bohong belaka!

"Akan tetapi dia... dia memang hendak lari ke selatan dan... sekarang buktinya, pemuda Cin-ling-pai ini mana mungkin bisa melewati Padang Bangkai dan tiba di sini kalau tidak atas petunjuk Si Kwi?" kata Ang-bin Ciu-kwi yang biar pun pemabok namun cukup cerdik itu.

Kembali Hek I Siankouw meragu. "Si Kwi, benarkah engkau memberikan petunjuk kepada pemuda Cin-ling-pai ini?"

"Tidak, Hek I Siankouw, dia sama sekali tidak memberikan petunjuk apa-apa kepadaku. Mengapa kalian ini begitu tolol untuk mempercayai omongan manusia-manusia semacam suami isteri yang cabul dan kotor ini? Aku memaksa seorang anggota Padang Bangkai untuk menunjukkan jalan ke sini!" Bun Houw cepat berkata untuk melindungi Si Kwi.

"Nah, jelas bahwa engkau sengaja hendak memburukkan nama muridku, hanya karena engkau tadinya hendak memperkosanya dan sekarang kau memutar balikkan kenyataan! Ang-bin Ciu-kwi, kau menghina muridnya, berarti kau menantang gurunya!"

"Bagus, Hek I Siankouw, engkau sombong sekali!" Tiba-tiba Coa-tok Sian-li berteriak dan meloncat ke depan membela suaminya. "Muridmu bisa bercerita bohong dan tentu saja pemuda musuh ini membelanya, tapi kami suami isteri juga mempunyai cerita tersendiri. Muridmu yang tak tahu malu..."

"Tutup mulutmu, perempuan cabul!" teriak Hek I Siankouw.

"Engkau yang harus tutup mulut!" teriak Coa-tok Sian-li.

Kedua orang wanita itu, tentu saja Coa-tok Sian-li dibantu suaminya, sudah akan saling serang ketika terdengar Hek-hiat Mo-li berseru keras.

"Sungguh bodoh kalian! Mudah saja diadu domba oleh musuh. Sedangkan musuh masih berdiri di antara kita, kalian bahkan sudah saling cekcok! Lebih baik kalian bertiga cepat maju menangkap pemuda Cin-ling-pai ini!"

"Benar, kalau memang kalian bertiga merupakan pembantu-pembantu kami yang setia, hayo kalian tangkapkan pemuda ini untuk kami!" kata pula Pek-hiat Mo-ko.

Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah tahu akan kelihaian pemuda itu, merasa jeri. Coa-tok Sian-li masih ngeri kalau mengingat betapa jarum-jarumnya yang ampuh itu pun sama sekali tidak dapat melukai pemuda ini. Juga Hek I Siankouw sudah maklum betapa lihainya pemuda ini, maka dia pun meragu untuk turun tangan.

Akan tetapi dalam saat-saat yang membingungkan bagi mereka itu, tiba-tiba saja semua kemarahan di antara mereka lenyap dan dengan pandang mata mereka itu saling melirik, maklumlah mereka bahwa mereka bertiga harus bekerja sama untuk menandingi pemuda Cin-ling-pai itu.

"Singggg...!"

Tangan kanan Hek I Siankouw sudah mencabut pedang hitamnya, sedangkan tangan kiri merogoh kantong senjata rahasianya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).

"Singggg...!"

Coa-tok Sian-li juga sudah mencabut pedangnya, yaitu sebatang pedang yang berlika-liku bagaikan ular dan berwarna kehijauan, tangan kirinya juga mengambil segenggam jarum racun ular.

"Wuuut-wuuuttt...!" Ang-bin Ciu-kwi menggerakkan guci araknya.

Karena terpaksa tiga orang itu kini bekerja sama dan dengan gerakan dahsyat ketiganya langsung menerjang maju dari tiga jurusan, dua batang pedang dan sebuah guci arak menyambar ganas ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu.

Namun Bun Houw yang sudah bersiap-siap, tidak menjadi gugup menghadapi serangan-serangan itu. Dia adalah murid Kok Beng Lama yang sudah mewarisi Thian-te Sin-ciang secara sempurna, sehingga walau pun dia belum dapat menyamai kekuatan Kok Beng Lama yang amat luar biasa, namun kedua tangan dan lengan pemuda itu sudah memiliki kekebalan seperti gurunya, yaitu berani dipakai untuk menangkis senjata-senjata pusaka yang tajam! Kini, menghadapi serangan-serangan itu, dia mengelak dan menangkis dari samping dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga.

"Plak-plak-plakkk...!"

Tiga orang pengeroyoknya itu terdorong ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan otomatis Hek I Siankouw menggerakkan tangannya. Sinar-sinar hitam menyambar dan itulah Hek-tok-ting yang meluncur dari tangan kirinya. Coa-tok Sian-li juga menyambitkan jarum-jarumnya, sedangkan Ang-bin Ciu-kwi yang tadi sudah menenggak araknya, kini menyemburkan arak dari mulutnya dan semburan arak itu berupa uap yang sangat kuat menyambar ke depan dan biar pun hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan dorongan tenaga khikang yang hebat, tidak kalah berbahayanya dengan senjata rahasia lainnya!

Bun Houw meloncat ke atas lantas kedua kakinya bergerak menendangi senjata-senjata rahasia yang masih menyambar ke arah tubuhnya bagian bawah, kemudian tubuhnya itu berjungkir-balik di udara dan bagaikan seekor naga sakti, sekarang tubuhnya meluncur ke depan, menyerang Ang-bin Ciu-kwi dengan cengkeraman tangan kanan, ada pun tangan kirinya dengan jari-jari yang terbuka menghantam ke arah Hek I Siankouw yang dia tahu merupakan lawan terlihai di antara mereka bertiga.

Melihat suaminya diserang secara demikian hebat, Coa-tok Sian-li cepat menubruk maju dengan pedangnya, membacok ke arah lengan tangan Bun Houw yang mencengkeram, sedangkan Hek I Siankouw cepat meloncat ke samping. Namun tetap saja hawa pukulan Thian-te Sin-ciang masih menyerempet pundaknya sehingga pendeta wanita tua ini lantas terhuyung-huyung ke belakang dan mukanya berubah menjadi pucat.

Bun Houw segera menarik kembali tangan yang mencengkeram karena bacokan pedang dari samping itu cukup berbahaya, kemudian tubuhnya sudah tiba di atas tanah lagi. Kini pemuda itu kembali telah dikurung dan dengan isyarat bentakan nyaring, Hek I Siankouw mendahului menyerang, diikuti oleh dua orang temannya, dan terdengar pula suara Bouw Thaisu,

"Siancai, bocah ini memang lihai. Biar aku membantu kalian!"

"Wuuut-wuuuuuttt...!"

Bun Houw cepat meloncat ke belakang, berjungkir-balik sambil mengelak dari sambaran kedua ujung lengan baju Bouw Thaisu. Memang senjata kakek ini hanya ujung lengan baju, ujung kain biasa, akan tetapi Bun Houw maklum betapa ujung lengan baju ini lebih lihai dari pada senjata-senjata tajam tiga orang pengeroyoknya yang lain.

"Bagus! Majulah kalian semua! Memang aku sudah mengenal siapa kalian, orang-orang tua pengecut ini!" Bun Houw berseru dan dia pun balas menyerang.

Terjadilah pertandingan yang hebat bukan main, seorang pemuda dikeroyok oleh empat orang tua yang semuanya merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Namun pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali empat orang itu kelihatan terhuyung ke belakang setiap kali hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang sangat dahsyat mendorong mereka biar pun tidak mengenai langsung.

Sementara itu, untuk kedua kalinya, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li merasa terkejut dan kagum melihat kehebatan pemuda itu. Mereka kini tidak begitu jeri lagi menghadapi pukulan-pukulan dahsyat yang mereka kenal sebagai pukulan yang dulu pernah membuat mereka jatuh bangun dan dihajar habis-habisan ketika mereka pernah bentrok dengan pendeta Lama dari Tibet itu. Sekarang mereka telah menyempurnakan ilmu mereka, ilmu kekebalan yang membuat mereka tidak usah takut lagi untuk menghadapi pukulan seperti Thian-te Sin-ciang dan lain-lain!

"Kalau kita tidak maju, kurasa pembantu-pembantu kita yang tiada gunanya itu tidak akan mampu merobohkannya," kata Pek-hiat Mo-ko dengan suara tidak puas.

"Bukan salah mereka. Mereka adalah pembantu-pembantu yang cakap, hanya pemuda inilah yang terlalu lihai. Dia merupakan seorang sandera yang amat baik untuk menjamin kedatangan ayahnya, ketua Cin-ling-pai ke sini," kata Hek-hiat Mo-li.

"Engkau benar sekali. Sebaiknya kalau kita tangkap dia."

"Jangan kira mudah menangkap seorang yang memiliki kepandaian seperti dia. Kita harus menggunakan akal. Ingatkah kau betapa tadi dia lebih mementingkan nona itu dari pada pedang pusaka Siang-bhok-kiam? Hemm, ini tentu ada apa-apanya. Mo-ko, kau bantulah empat orang itu sebelum mereka terpukul mampus oleh musuh. Aku memiliki akal untuk menundukkan pemuda itu sehingga dapat menjadi tawanan kita."

Pek-hiat Mo-ko mengangguk kemudian sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat dan menerjang Bun Houw dengan pukulan dahsyat melalui tangan kanannya. Pek-hiat Mo-ko terkenal dengan sinkang-nya yang mengandung hawa beracun dan yang mendatangkan hawa dingin sekali.

Ketika Bun Houw yang sedang berusaha merobohkan keempat orang pengeroyoknya itu tiba-tiba merasa ada hawa dingin menyambar dari kiri, tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang memiliki sinkang sangat kuat. Cepat dia pun mengerahkan tenaganya menangkis ke kiri, dan disusul oleh tamparan tangan kanannya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang ke arah orang yang baru datang ini.

"Prattt...! Dessss...!"

Tangkisannya membuat lengan Pek-hiat Mo-ko terpental dan pukulan Thian-te Sin-ciang itu membuat si kakek bermuka putih ini bergulingan. Akan tetapi sambil tersenyum kakek itu sudah bangkit kembali, tanda bahwa pukulan sakti itu sama sekali tidak melukainya!

"Ha-ha-ha, Thian-te Sin-ciang ternyata tidak seberapa! Boleh saja Lama busuk dari Tibet itu datang sendiri ke sini, kami tidak takut menghadapi pukulannya, ha-ha-ha!" Pek-hiat Mo-ko tertawa girang.

Tadi dia memang hendak menguji keampuhan ilmunya yang baru itu dan ternyata lulus dengan baik karena pukulan hebat itu pun dapat diterimanya tanpa melukai bagian dalam tubuhnya! Dan kini dia menyerang lagi lebih hebat dari pada tadi.

Bun Houw menjadi penasaran dan marah. Kakek ini hebat sekali dan kalau dia tidak lebih dahulu merobohkan yang empat orang, tentu dia tidak akan dapat mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapinya. Dalam pertandingan satu melawan satu, dia yakin akan dapat mengalahkan kakek ini, biar pun kakek ini mempunyai kekebalan yang begitu istimewa.

Berpikir demikian, dia lalu mengelak dari semua serangan Pek-hiat Mo-ko, menjauhinya dan dengan sungguh-sungguh dia kini menerjang empat orang yang lainnya! Hebat bukan main sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang dari tangannya dan selagi empat orang lawan itu mundur, dia sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pedang Hong-cu-kiam yang mengeluarkan sinar keemasan menyilaukan mata.

"Trang-trang-trakk-breetttt...!"

Sinar emas itu bergulung-gulung dengan amat hebatnya dan itulah Siang-bhok Kiam-sut yang dimainkan oleh pemuda ini dan akibatnya, pedang di tangan Hek I Siankouw rusak ujungnya, guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi menjadi bocor ada pun ujung lengan baju sebelah kiri dari Bouw Thaisu juga terbabat putus! Empat orang itu berseru kaget dan cepat mundur, akan tetapi sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kini bergulung-gulung makin luas dan mengancam mereka tanpa mendekati Pek-hiat Mo-ko.

Memang Bun Houw hendak mengalahkan empat orang pengeroyok itu lebih dulu sebelum akhirnya dia dapat memusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menandingi kakek yang amat lihai itu.

"Tahan...! Cia Bun How, kau lihat ini...!" Terdengar bentakan Hek-hiat Mo-li dengan suara nyaring.

Bun Houw meloncat ke belakang lalu menoleh, dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat In Hong dalam keadaan terbelenggu kedua kaki tangannya telah berdiri di situ, dijaga oleh Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakang gadis itu.

"Hong-moi...!" Tanpa disadarinya lagi Bun Houw berseru girang ketika melihat gadis itu benar-benar masih dalam keadaan selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu sama sekali tidak berdaya karena selain dibelenggu tangannya, juga tangan nenek yang membentuk cakar di dekat tengkuknya itu merupakan todongan maut!

"Cia Bun Houw, kau pilihlah. Engkau menyerah baik-baik atau nona ini akan kuhabiskan nyawanya di depan matamu!"

"Jangan dengarkan dia! Aku tidak takut mati!" Tiba-tiba In Hong berseru nyaring.

Bun Houw menjadi terharu. Gadis itu masih sama dengan dulu, gadis lincah dan berani, tidak berkedip menghadapi ancaman maut! Masih sama dengan ‘nona Hong’ yang dulu itu, dengan ‘Hong-moi’ yang dulu itu!

"Hong-moi...!" Kembali dia mengeluh dan meragu.

"Cia Bun Houw, engkau adalah putera dari ketua Cin-ling-pai yang perkasa. Tunjukkanlah kejantananmu dan jangan pedulikan aku!" Kembali In Hong berkata. "Jangan sampai kau merendahkan nama ayahmu."

"Cia Bun Houw, bergeraklah sedikit saja, dan nona ini akan mampus!" Tangan berbentuk cakar itu kini menempel di tengkuk In Hong.

"Hek-hiat Mo-li!" Bun Houw berseru nyaring, mengerahkan khikang-nya hingga suaranya terdengar amat berwibawa sehingga menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya. "Boleh jadi engkau dapat membunuh nona Yap In Hong tetapi aku pun dapat membunuh kalian semua!"

"Ha-ha-ha-ha, Cia Bun Houw bocah sombong! Kau kira akan mampu membunuh kami? Ha-ha, nona itu dapat kami bunuh dan kau pun juga! Lihat berapa besar kekuatan kami?"

Ucapan Pek-hiat Mo-ko ini membuat Bun Houw melihat ke sekeliling dan ternyata tempat itu sudah terkurung oleh seratus orang anak buah yang terlihat kuat-kuat dan bersenjata lengkap. Dia memandang kepada Si Kwi sekejap dan diam-diam dia mengakui kebenaran keterangan gadis itu yang kini kelihatan amat berduka memandang ke arahnya.

"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Biar pun demikian, tetap saja untuk kematian nona Yap In Hong aku akan dapat membunuh banyak sekali orang di sini! Maka tidak adillah kalau aku menyerah begitu saja tanpa imbalan. Kalian bebaskan nona Yap In Hong dan sebagai gantinya, biar aku yang menjadi tawananmu, mau kalian bunuh atau apa saja terserah. Akan tetapi nona itu harus bebas dulu!"

"Houw-ko, jangan gila...!" In Hong menjerit. Tanpa disadarinya dia kembali telah menyebut Houw-ko kepada Bun Houw.

Bun Houw tersenyum kepadanya. "Hong-moi, sudah sepatutnya kalau lelaki yang menjadi tawanan, bukan wanita. Lagi pula, mereka tidak mempunyai urusan denganmu, melainkan dengan Cin-ling-pai. Bila engkau yang ditawan, hal itu kiranya belum tentu akan menarik perhatian ketua Cin-ling-pai, berbeda kalau aku yang mereka tawan!" Sengaja Bun Houw mengucapkan ini keras-keras agar terdengar oleh semua orang.

"Cia Bun Houw, engkau tetap tidak mau menyerah?" Hek-hiat Mo-li berteriak.

"Sesukamulah kalau kau hendak membunuhnya tetapi aku bersumpah akan membasmi kalian, akan melawan sampai titik darah terakhir! Hanya kalau dia sudah kalian bebaskan saja, barulah aku mau menyerah tanpa syarat."

"Houw-ko...!" In Hong menjerit lagi dan kini kedua matanya menjadi basah. Tak dikiranya pemuda itu kini begitu tabah dan rela mengorbankan dirinya, mengorbankan keselamatan nyawanya untuk menolong dia!

"Bagaimana ji-wi locianpwe?" Bun Houw mengejek. "Kalian memilih aku mengamuk dan membunuhi semua orang di sini ataukah menukar aku dengan nona itu?"

Pek-hiat Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li kemudian mereka bicara dalam Bahasa Sailan. "Memang dia lebih berharga dari pada gadis ini," kata Pek-hiat Mo-ko.

"Akan tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita itu? Dia hendak menuntut balas kepada gadis ini," kata Hek-hiat Mo-li.

"Kita janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali gadis itu."

Setelah berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, "Cia Bun Houw, kami mau menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau menyerahlah dan lemparkan pedang itu."

Bun Houw tersenyum, sejenak nampak deretan giginya yang putih dan kuat. "Siapa bisa percaya omongan kalian? Bebaskan dulu nona Yap In Hong, dan pedang di tanganku ini adalah pedangnya, akan kuberikan kepadanya. Kalau dia sudah keluar dari tempat ini, barulah aku akan menyerah."

Kakek dan nenek itu marah sekali, mereka merasa terhina. "Bocah lancang! Kami adalah guru-guru dari seorang raja, dan kau berani menganggap kami sebagai orang-orang yang akan melanggar janji? Kalau kau tidak percaya kepada kami, kami pun bisa tidak percaya kepadamu. Bagaimana kalau setelah gadis ini kami bebaskan, kau tidak mau menyerah?"

"Aku adalah putera ketua Cin-ling-pai. Mana ada orang Cin-ling-pai yang melanggar janji? Kalian sudah jelas pernah melanggar janji pada saat di antara Bayangan Dewa dan aku memperebutkan pedang Siang-bhok-kiam. Waktu itu aku telah keluar sebagai pemenang, akan tetapi pedang tidak diberikan kepadaku, melainkan kalian tahan! Aku sudah berjanji dan lebih baik mati dari pada melanggar janji, itulah watak seorang pendekar!"

"Baiklah, memang kami akan lebih senang melihat putera ketua Cin-ling-pai melanggar janji dari pada melihat kau mati, agar enak kami menceritakan ke seluruh dunia kang-ouw akan kerendahan watak putera ketua Cin-ling-pai!" kata Pek-hiat Mo-ko yang cerdik itu. "Mo-li, bebaskan nona ini!"

"Ehh, ehhh, nanti dulu, Moli!" Tiba-tiba Hek I Siankouw mengangkat tangan mencegah. "Apakah kalian akan melanggar janji kalian kepadaku? Nona itu adalah milikku, dan kalian harus ingat ini!"

"Hek I Siankouw, kami tidak melanggar janji apa-apa!" Hek-hiat Mo-li menjawab. "Hanya karena terpaksa saja kami membebaskan nona ini. Kami menjanjikan kepadamu apa bila urusan kita semua sudah selesai, tetapi sekarang urusan belum selesai, bantuanmu pun belum kelihatan. Jangan khawatir, nona ini dibebaskan menurut perjanjian dengan Cia Bun Houw, hanya untuk hari ini saja sebagai penukaran dirinya. Kelak, apa sih sukarnya bagi kami untuk menangkapnya kembali? Bila mana sudah selesai urusan kita, kami pasti akan membantumu menangkapnya kembali. Ingatlah, dari dalam istana kaisar pun kami dapat mengambilnya, apa lagi di tempat lain!"

Hek I Siankouw tidak dapat membantah pula dan juga membantah pun tidak akan ada gunanya. Lebih baik bersahabat dengan kakek dan nenek ini yang memang sangat lihai dan yang kelak boleh diandalkan untuk membantunya menangkap lagi gadis yang sudah membunuh kekasihnya, Hwa Hwa Cinjin itu, dari pada sekarang memusuhinya dan sama sekali tidak akan menguntungkannya.

Hek-hiat Mo-li lalu menggunakan kekuatan jari-jari tangannya untuk mematahkan semua belenggu kaki dan tangan In Hong, lalu membebaskan totokannya dengan jalan menotok kedua pundak gadis itu. Hampir saja In Hong roboh terguling kalau saja dia tidak cepat meloncat sebab pembebasan totokan dan belenggu itu membuat seluruh tubuhnya terasa berdenyut nyeri.

Bun Houw sudah cepat mendekatinya dan menyerahkan pedangnya. "Hong-moi, engkau pergilah cepat dan laporkan kepada ayah tentang keadaanku. Lekaslah pergi, Hong-moi dan ini kukembalikan pedangmu." Bun Houw menyerahkan Hong-cu-kiam.

Seperti dalam mimpi atau seperti patung hidup In Hong menerima pedang itu, matanya masih basah ketika dia sejenak memandang Bun Houw. "Houw-ko... tidak boleh begini...," katanya dengan suara berbisik.

"Sudahlah, Moi-moi. Pergilah, hatiku berbahagia sekali dapat melihat engkau bebas dari neraka ini!"

"Tapi... tapi... kau...?"

"Sudahlah, jangan mengkhawatirkan aku. Mereka hanya akan menggunakan aku sebagai umpan. Pergilah, Hong-moi dan... kau maafkan semua kesalahanku yang sudah-sudah..."

"Houw-koko!" In Hong memejamkan mata dan menggunakan punggung tangan kiri untuk menghapus dua titik air mata. Kemudian dia mengepal tinju tangan kirinya, memalangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dada. "Houw-ko, biar kuhajar mereka ini!"

"Hssshhh, jangan sembrono, Hong-moi. Aku sudah berjanji kepada mereka."

"Hayo lekas pergi, mengapa kami disuruh menonton sandiwara?!" bentak Ang-bin Ciu-kwi dengan marah.

"Pergilah, Hong-moi, sampai mati aku tidak akan melupakanmu," berkata pula Bun Houw sambil mendorong pundak nona itu dengan gerakan halus.

Dengan isak tertahan In Hong membalikkan tubuhnya kemudian berlari keluar dari pintu gerbang tembok yang kini sudah tertutup kembali lubangnya itu. Setelah melihat In Hong pergi jauh barulah Bun Houw menundukkan muka, lalu mengangkatnya lagi memandang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. "Nah, sekarang aku menyerah."

"Engkau memang sungguh seorang muda yang sangat gagah!" Pek-hiat Mo-ko memuji sambil mendekati pemuda itu bersama Hek-hiat Mo-li.

"Akan tetapi demi keamanan, terpaksa kau harus ditundukkan!" kata Hek-hiat Mo-li dan secepat kilat, jari tangannya menotok.

Bun Houw mengangguk. "Maaf, anggota tubuhku bergerak otomatis tanpa kusengaja."

Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan tali berwarna hitam dari saku bajunya, "Biar kuikat saja dengan ini." Dan kakek ini pun lalu mengikat sepasang tangan pemuda itu di belakang tubuhnya.

Tali ini bukan tali sembarangan, melainkan otot dari harimau hitam yang hanya terdapat di daerah Sailan dan otot-otot ini setelah direndam obat, merupakan benda yang ulet dan tidak dapat dibikin putus oleh apa pun. Setelah dibelenggu kedua tangannya, Bun Houw lalu digiring hendak dimasukkan dalam kamar tahanan.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Bebaskan dia!"

"Hong-moi...!" Bun Houw membalikkan tubuh dan memandang dengan mata terbelalak lebar dan muka berubah pucat saking kagetnya melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah In Hong.....!

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar