Dewi Maut Jilid 44

In Hong merasa terharu juga oleh limpahan perasaan seperti itu, akan tetapi dia masih bertanya, "Tentu hamba tidak terikat di sini, bukan?"

Kaisar tersenyum lebar. "Tidak, lihiap. Akan tetapi kuharap dengan sungguh agar engkau dapat selamanya tinggal di sini, bahkan kelak apa bila engkau sudah bersuami, suamimu akan kami beri pangkat dan kedudukan tinggi agar engkau selalu dekat dengan kami."

In Hong menghaturkan terima kasih dan kaisar lalu memanggil kepala pengawal dalam istana kemudian memerintahkan panglima ini untuk mengantar In Hong ke dalam istana dan memberinya sebuah gedung yang serba indah dan lengkap di bagian keputren.

Mulai hari itu, kehidupan In Hong berubah sama sekali! Biar pun dia tidak suka bersolek, dan tidak ingin memakai pakaian yang indah-indah, akan tetapi sesudah semua pakaian tersedia dan dia tidak ingin membikin malu kaisar karena dia dianggap sebagai seorang puteri, atau adik angkat kaisar sendiri, terpaksa In Hong mengganti semua pakaiannya yang sederhana dengan pakaian yang serba indah gemerlapan!

Dia pun menduga bahwa di balik semua ini, tentu ada suatu maksud dari kaisar dan dia menduga bahwa hal itu tentulah ada hubungannya dengan Khamila! Karena, bukankah hanya dia yang tahu bahwa antara kaisar ini dengan isteri Raja Sabutai itu terdapat jalinan hubungan yang amat mesra?

Dugaannya memang tepat karena beberapa hari kemudian, ketika terdapat kesempatan kaisar bertemu berdua saja dengan In Hong, kaisar berkata, "Hong-lihiap, aku lebih suka menyebutmu lihiap dari pada adik atau puteri, karena sebutan ini mengingatkan aku akan pengalaman-pengalaman kita dulu. Engkau tentu tahu, lihiap, bahwa hadirnya engkau di dalam istana ini, di dekatku membuat aku merasa seolah-olah dia pun tidak jauh dariku."

In Hong mengangkat muka memandang wajah kaisar yang kelihatan terharu dan berduka itu. Dia mengangguk akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.

"Aku hanya mengharap, lihiap, sebagai satu-satunya orang yang tahu akan rahasia kami itu, selain engkau tidak akan membocorkan rahasia ini, juga kelak sekali waktu engkau dapat mewakili aku untuk menengok... anak itu di sana."

In Hong mengangguk-angguk. Dia segera mengerti, dan mudahlah menduga siapa yang dimaksudkan dengan anak itu. Tentu anak yang dulu dikandung oleh Khamila.

"Harap paduka jangan khawatir. Sewaktu-waktu hambaakan memenuhi perintah paduka."

Demikianlah, In Hong kini menjadi seorang puteri yang bebas keluar masuk di seluruh bagian istana itu, dihormati oleh semua pengawal, pelayan dan ponggawa istana. Kalau tadinya ada yang menyangka bahwa pendekar wanita yang cantik itu menjadi kekasih kaisar, kini mereka itu keliru dan ternyata bahwa benar-benar kaisar melakukan kebaikan itu untuk membalas jasa.

Akan tetapi, karena sikap In Hong yang tidak sombong, bahkan kini dara itu mempelajari segala macam kebiasaan di istana dan mulai dapat merubah sifatnya yang tadinya dingin, kaku dan ganas, di samping berita akan kelihaian dara itu, maka semua orang merasa suka kepadanya…..

********************

"Tio-twako...!"

"Ehh, Tio-twako datang...!"

Kwi Beng dan Kwi Eng yang sedang duduk di serambi depan rumah mereka di Yen-tai, meloncat dengan girang dan lari ke pekarangan menyambut kedatangan seorang pemuda yang tinggi kurus, bersikap gagah dan berpakaian sederhana, berwarna kuning dan yang memasuki pekarangan gedung itu dengan sikap ragu-ragu. Pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun.

Begitu bertemu dan melihat wajah Maria de Gama atau Souw Kwi Eng, sepasang mata Tio Sun bersinar-sinar, kedua pipinya menjadi agak kemerahan dan jantungnya berdebar keras. Alangkah hebat rasa rindu hatinya terhadap dara ini, baru sekarang benar-benar terasa olehnya setelah berhadapan muka! Akan tetapi, tentu saja dia berusaha menekan perasaannya ini dan cepat menjura.

"Beng-te dan Eng-moi, apa kabar? Kuharap kalian baik-baik saja selama ini. Apakah aku tidak mengganggu kalian dengan kunjunganku ini?"

"Ahhhh, Tio-twako kenapa begini sungkan?" Kwi Eng yang memang berwatak bebas dan ramah itu menegur. "Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik?"

"Tio-twako, marilah masuk menemui ayah dan ibu kami, kemudian kami hendak banyak bicara, banyak bertanya kepadamu, twako." Kwi Beng lalu menggandeng tangan tamunya itu.

"Aihh, dia ingin banyak bertanya tentang enci Hong yang dirindukannya, hi-hik!" Souw Kwi Eng menggoda.

"Hushh, jangan main-main kau!" Kwi Beng membentak dan melototkan matanya. Tio Sun hanya tersenyum menyaksikan dua orang yang wajahnya serupa hanya bedanya pria dan wanita itu berkelakar dan bergurau.

Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, segera keluar menyambut dengan ramah ketika mendengar akan kedatangan sahabat kedua orang anak mereka itu. Tentu saja mereka sudah mendengar penuturan kedua orang anak mereka mengenai Tio Sun yang dahulu telah membantu Kwi Eng pada saat hendak menyelamatkan Kwi Beng yang diculik oleh Tokugawa. Tentu saja mereka berterima kasih sekali kepada Tio Sun, apa lagi ketika mendengar bahwa Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, Souw Li Hwa makin suka dan semakin ramah kepada pemuda sederhana itu.

"Aku mengenal baik ayahmu itu," katanya. "Dia seorang pengawal yang amat setia dan berlimu tinggi." 

Tio Sun memandang dengan wajah berseri dan menjura. "Ayah banyak bercerita tentang toanio sebagai murid yang amat lihai dari mendiang Panglima The Hoo."

"Aihh, jangan menyebut aku toanio, Tio Sun. Sebut saja bibi, karena sesungguhnya kita adalah orang-orang sendiri bukan?" kata Souw Li Hwa dengan ramah sambil tersenyum dan biar pun usia nyonya ini sudah sekitar empat puluh tahun, namun dia masih nampak muda dan cantik.

"Terima kasih, bibi."

"Dan kau boleh menyebut aku paman, Tio Sun." kata pula Yuan de Gama yang sudah pandai sekali berbahasa daerah sehingga bekas kapten kapal ini tidak seperti orang asing lagi, sungguh pun kebiruan matanya serta kekuningan rambutnya tentu saja tidak dapat menyembunyikan keasingannya.

Suami isteri itu mengajak Tio Sun bercakap-cakap sejenak. Mereka berdua menyatakan terima kasih mereka kepada pemuda ini yang sudah menolong anak-anak mereka ketika mereka dahulu sedang berlayar ke barat. Tio Sun merendahkan diri, namun akhirnya dia menerima penawaran mereka untuk bermalam di rumah mereka selama beberapa hari agar bisa mempererat persahabatan. Kemudian, suami isteri itu meninggalkan tiga orang muda itu untuk bercakap-cakap sendiri.

Setelah ayah bundanya maninggalkan mereka, dan pelayan membawa buntalan pakaian Tio Sun ke sebuah kamar serta mengeluarkan makanan dan minuman, Kwi Eng kemudian berkata, "Tio-twako, dia itu sudah tidak sabar menanti ceritamu."

"Ehh, cerita apa?" Tio Sun balas menanya.

"Jangan pura-pura, twako, lihat dia seperti ikan di darat. Lekas kau ceritakan apakah kau pernah bertemu dengan enci Hong itu?" Kwi Eng berkata pula.

"Enci Hong...? Ahh, tentu yang kau maksudkan nona Yap In Hong itu? Hemmm, memang menarik sekali ceritanya."

Kini Kwi Beng benar-benar tak dapat menahan keinginan tahunya. "Kau pernah berjumpa dengan dia, twako? Di mana? Bagaimana dengan dia? Bagaimana ceritanya?"

Tio Sun memegang tangan pemuda itu dan diam-diam dia pun menghela napas panjang. Jelas bahwa pemuda remaja ini yang usianya kurang lebih tujuh belas tahun, telah jatuh cinta kepada Yap In Hong!

"Bertemu sih tidak, akan tetapi nona Yap In Hong..."

"Ahh, begitukah namanya? Setahu kami hanya Hong saja...," kata pula Kwi Beng dengan girang. "Yap In Hong... sungguh tepat sekali, namanya memang sesuai dengan orangnya yang..."

"Cantik manis!" Kwi Eng menggoda.

"Yang amat lihai," Kwi Beng melanjutkan tanpa mempedulikan godaan saudaranya.

Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tak tahan dia melihat gerak-gerik Kwi Eng yang serba membetot semangat dan menarik hatinya. Pandang mata yang biru itu, kerlingnya, senyumnya, gerakan bibirnya, cara dara itu menggerakkan kepala untuk menyingkapkan rambut yang sering kali turun menutupi mukanya, ahhhh... sungguh sukar baginya untuk bercerita, apa lagi menceritakan orang lain. Kalau boleh, dia hanya akan duduk saja dan memandangi dara itu yang demikian lincah, demikian jelita, demikian...

"Ehh, kenapa kau bengong saja, twako?" tiba-tiba Kwi Beng menegur.

"Dan kau memandang saja padaku, ada apa sih pada wajahku? Apa ada kotorannya?" Kwi Eng sibuk mengusap hidung dan pipinya.

"Tio-twako tentu jengkel karena kau menyela terus, sih!" Kwi Beng mengomel. Bagi Kwi Beng, tentu saja sangat sukar membayangkan ada orang laki-laki bisa tergila-gila kepada saudara kembarnya ini!

"Tidak apa-apa, maafkan aku...," Tio Sun menunduk dan menelan ludah menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan. "Sebenarnya... ehhh, banyak sekali hal-hal aneh kudengar tentang nona Yap In Hong itu. Dia benar-benar amat luar biasa, di luar dugaan dan hebat!"

"Nah, apa kataku? Dia memang wanita paling hebat di dunia ini!" kata Kwi Beng sambil memandang kepada adiknya.

"Siapa yang menyangkal?" Kwi Eng menjawab. "Akan tetapi dia terlalu hebat untukmu. Tio-twako, sekarang ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya," kata Kwi Eng sambil menyentuh tangan pemuda tinggi kurus itu.

Tersirap darah ke leher dan muka Tio Sun dan tangannya yang tersentuh itu menggigil. Dia merasa heran sendiri mengapa dia menjadi lemah seperti ini menghadapi gadis itu. Untuk menenangkan jantungnya yang bergelora, Tio Sun meneguk air teh di hadapannya, kemudian barulah dia bercerita.

"Pertama-tama, dara perkasa yang kita kenal sebagai nona Hong itu ternyata bernama Yap In Hong, adik kandung dari paman Yap Kun Liong..."

"Ahhh...!" Seruan ini berbareng keluar dari dua mulut yang bentuknya sama, mulut Kwi Eng dan mulut Kwi Beng. "Tetapi... tetapi paman Yap Kun Liong sudah setengah tua dan nona Hong..."

"Tentu lebih tua dari pada kita!" kata Kwi Eng.

"Paling banyak selisih dua tahun!" kata Kwi Beng membantah.

"Entahlah. Akan tetapi kenyataannya demikian, dia adalah adik kandung paman Yap Kun Liong dan dia memang memiliki ilmu tinggi sekali karena kabarnya dia itu adalah murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang. Yang paling hebat adalah karena dialah yang berhasil menyelamatkan kaisar."

"Hebat...!" seru Kwi Eng.

"Twako, bukankah kabarnya kaisar sudah ditawan oleh raja liar dan kini telah kembali lagi ke kota raja?" tanya Kwi Beng.

"Benar, dan Yap In Hong itulah yang menyelamatkan kaisar, menolong kaisar hingga lolos dari tawanan benteng Raja Sabutai."

"Luar biasa! Dia seorang pahlawan kalau begitu!" Souw Kwi Beng berseru gembira.

"Memang hebat dia, bahkan ketua Cin-ling-pai sendiri, dengan bantuan banyak orang pandai, tidak mampu menyelamatkan kaisar yang ditawan. Akan tetapi nona Yap In Hong seorang diri menyelundup ke dalam benteng musuh, pura-pura menjadi kaki tangan Raja Sabutai, akan tetapi tahu-tahu dialah yang meloloskan kaisar dari tawanan."

"Bukan main...! Di mana sekarang dia berada, twako?" Kwi Beng bertanya.

"Entah, saya belum mendengar lagi, akan tetapi ada berita bahwa nona Yap In Hong kini berada di kota raja."

"Dan bagaimana kabarnya dengan... kanda Cia Bun Houw...?" tiba-tiba Kwi Eng bertanya.

"Ehm, ehm...!" Kwi Beng terbatuk-batuk, dehem buatan dan Kwi Eng melotot kepadanya.

Tio Sun merasa jantungnya tertusuk. Dahulu pun dia sudah melihat bahwa dara ini tertarik kepada Bun Houw.

"Dia...? Dia bersama dengan aku membantu ayahnya pada saat kami berusaha menyerbu benteng Sabutai untuk menolong kaisar, akan tetapi gagal. Kemudian, sesudah kaisar berhasil diselamatkan oleh nona Yap In Hong, agaknya terjadi perdamaian antara kaisar dan Raja Sabutai, dan Cia-taihiap lalu pergi menyusul nona Yap In Hong yang sesudah berhasil menolong kaisar lalu kembali ke dalam banteng Raja Sabutai."

"Aih, tentu berbahaya sekali! Lalu apa yang terjadi?" Kwi Eng bertanya kaget mendengar betapa Bun Houw memasuki benteng Raja Sabutai.

"Kabarnya banyak yang terjadi di sana. Banyak terjadi pertempuran di antara orang-orang pandai yang sengaja diadu oleh Raja Sabutai dan kabarnya tiga orang Bayangan Dewa telah tewas di tangan Cia-taihiap."

"Hebat...!" Kwi Eng bersorak girang.

"Kemudian bagaimana, twako? Tentunya pedang Siang-bhok-kiam sudah kembali kepada Houw-koko, bukan?"

"Entahlah, aku sendiri belum sempat bertemu lagi dengan dia."

“Sayang, kami berdua pun belum lama kembali dari Cin-ling-san, akan tetapi juga tidak berjumpa dengan dia," kata Kwi Eng.

"Cin-ling-san?" Tio Sun bertanya heran.

"Ya, bersama ibu," jawab Kwi Eng dan tiba-tiba dia menunduk dengan kedua pipi berubah merah sekali.

"Ha, dia sudah amat rindu kepada Houw-koko, Tio-twako, rindu kepada tunangannya itu! Ha-ha-ha!"

"Ihhh, tak tahu malu kau!" Kwi Eng mencubit lengan saudaranya lalu lari ke dalam.

Seketika wajah Tio Sun berubah pucat. "Tunangan...?" Dia berbisik.

"Kami ke sana bersama ibu dan ibu membicarakan tentang pertunangan mereka, dan sudah disetujui. Adikku yang bengal itu beruntung sekali telah dijodohkan dengan kanda Cia Bun Houw... ehhh, kau kenapa, Tio-twako?" Kwi Beng bertanya kaget melihat wajah yang menjadi pucat dan mata yang dipejamkan itu.

"Ahhh... ehhh, tidak apa-apa..." Tio Sun membuka matanya dan meraba-raba cangkirnya, lalu diminumnya isi cangkir, tapi jelas tangannya gemetar dan ketika dia mengembalikan cangkir ke atas cawan, terdengar bunyi berkeretakan karena tangan itu tidak dapat diam.

"Kau... kau pucat sekali dan gemetar. Kau seperti orang sakit, twako," Kwi Beng bertanya khawatir.

Tio Sun menggigit bibir. "Tidak apa-apa, mungkin karena lelah, Beng-te, aku permisi..." Tio Sun bangkit dari bangkunya.

"Ehhh? Ke mana?" Kwi Beng berseru kaget.

Tio Sun sadar kembali bahwa dia sudah menerima undangan mereka untuk menginap di situ, maka dia menahan kakinya yang sudah hendak melangkah pergi. "Ehh... aku mau beristirahat..."

"Kamarmu ada di sebelah sana, twako. Marilah kuantar, kau kelihatan pucat dan gemetar, agaknya kau sakit."

"Agaknya begitulah, Beng-te... terima kasih..." Tanpa bicara apa-apa lagi Tio Sun segera mengikuti Kwi Beng yang mengantarkan sampai ke kamarnya.

Sesudah pemuda itu meninggalkannya, Tio Sun lalu menutup pintu kamarnya dan rebah terlentang, berkali-kali menarik napas panjang sampai akhirnya dia dapat menenangkan batinnya yang terguncang hebat sesudah mendengar bahwa Kwi Eng telah bertunangan dan dijodohkan dengan Bun Houw itu.

"Ahh, engkau sungguh tak tahu diri!" Dia menghela napas dan menyesalkan diri sendiri. "Sejak dulu pun sudah jelas bahwa dia tertarik kepada Cia Bun Houw, dan memang sudah sepantasnyalah demikian. Dia seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan kaya raya, sudah sepatutnya berjodoh dengan Cia Bun Houw yang lihai, putera ketua Cin-ling-pai. Sedangkan aku ini apa? Sungguh tak tahu diri!"

Penyesalan terhadap dirinya sendiri dan kesadaran bahwa sudah sepatutnya apa bila Kwi Eng berjodoh dengan Cia Bun Houw yang dikaguminya, dan bahwa sudah semestinya pula kalau dia ikut girang melihat gadis yang dicintanya itu berbahagia memperoleh jodoh seorang pilihan seperti putera ketua Cin-ling-pai itu dan mengesampingkan keinginannya untuk mementingkan diri sendiri, meringankan beban guncangan batinnya dan ketika Kwi Eng dan Kwi Beng datang menengoknya, Tio Sun telah tenang pula.

"Kata Beng-ko engkau sakit, twako?" Kwi Eng menegurnya pada waktu dia menyambut kedatangan dua orang kakak beradik itu ke kamarnya.

"Ahhh, mungkin hanya terlalu lelah dan masuk angin." jawab Tio Sun sambil tersenyum. "Akan tetapi sudah sembuh kembali setelah mengaso sebentar di kamar yang nyaman ini. Terima kasih. Oh ya, aku... aku menghaturkan selamat atas pertunanganmu dengan Cia-taihiap, adik Kwi Eng!"

Tergopoh-gopoh Kwi Eng membalas pemberian selamat itu dengan kedua pipi berubah merah. "Terima kasih, Tio-twako. Kau baik sekali."

Tio Sun yang bijaksana itu ternyata sudah dapat memulihkan sikapnya dan dia bergaul seperti biasa dengan Kwi Eng dan Kwi Beng. Souw Li Hwa dan suaminya diam-diam juga merasa suka kepada pemuda yang sederhana dan rendah hati ini. Maka dia membujuk Tio Sun untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada anak-anaknya.

Permintaan ini dipenuhi dengan suka hati oleh Tio Sun dan setiap hari nampak tiga orang muda itu berlatih silat di taman bunga. Dalam waktu beberapa hari saja mereka bergaul dengan akrab sekali. Dan karena maklum bahwa harapannya untuk bisa berjodoh dengan dara yang dicintanya itu sudah lenyap sama sekali, sekarang sikap Tio Sun terhadap Kwi Eng dan Kwi Beng bagaikan sikap seorang kakak terhadap adik-adiknya sehingga dua orang saudara kembar itu pun merasa seolah-olah Tio Sun adalah kakak mereka.

Keakraban inilah yang membuat Kwi Beng menaruh kepercayaan sehingga pada suatu hari, ketika memperoleh kesempatan berdua saja dengan Tio Sun, dengan muka sedih pemuda ini mengeluarkan isi hatinya.

"Tio-twako, setelah beberapa hari bergaul denganmu, aku memperoleh keyakinan bahwa engkau seoranglah yang akan dapat menolongku, twako. Sesungguhnya aku menderita sekali, menderita batin yang hebat dan selama ini hanya kusimpan dan kutahan-tahan agar jangan sampai ketahuan oleh adikku dan oleh orang tuaku. Akan tetapi kalau terus kusimpan, akhirnya aku tentu tidak tahan juga."

Melihat wajah yang biasanya gembira itu kini kelihatan amat berduka, Tio Sun terkejut dan merasa heran. Dia lalu memegang pundak pemuda tampan itu dan berkata sambil tersenyum, "Ah, Beng-te. Seorang pemuda dalam keadaan seperti engkau ini bagaimana bisa mengatakan menderita batin yang hebat? Engkau masih muda, mempunyai orang tua dan saudara yang sangat baik, berkepandaian cukup tinggi, hartawan dan apa pun yang kau kehendaki tentu terlaksana. Mengapa masih menderita, tekanan batin?"

"Justru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako."

Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah adanya hidup! Manusia, juga termasuk dia sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka!

"Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?"

"Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya? Aku cinta kepada nona Yap In Hong."

Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari senda gurau antara Kwi Beng dan Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia pun tersenyum. "Mengapa orang jatuh cinta ditertawai? Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu, Beng-te? Kau mencinta siapa pun, apa halangannya?"

Kwi Beng menarik napas panjang. "Akan tetapi, twako. Cintaku ini takkan mungkin dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju."

Tio Sun memandang heran. "Tidak setuju? Apa maksudmu, Beng-te?"

"Ketika aku dan adikku pulang dahulu itu, kami berdua langsung menyatakan isi hati kami kepada ayah dan ibu. Dalam hal pilihan hati, ayah sama sekali memberi kebebasan. Ibu segera menyatakan persetujuannya ketika Eng-moi menyatakan cintanya kepada Cia Bun Houw, bahkan ibu lalu mengajak kami pergi ke Cin-ling-pai untuk membicarakan urusan jodoh Eng-moi dan Cia Bun Houw itu sehingga berhasil diterima baik. Akan tetapi ketika aku menyatakan cintaku kepada nona Yap In Hong, ibu menolaknya!"

Tio Sun menahan senyumnya melihat pemuda itu kelihatan berduka sekali. Pemuda itu masih demikian kekanak-kanakan! Kedukaannya itu lebih merupakan sikap merajuk dan ‘ngambek’ kepada ibunya!

"Menolak bagaimana maksudmu, Beng-te?"

"Aku minta agar ibu juga mengurus perjodohanku dengan nona Yap In Hong, akan tetapi ibu keberatan."

"Mengapa?"

"Pertama, karena tadinya kami belum tahu siapa sebetulnya nona itu, hanya tahu sebagai penolongku yang bernama nona Hong. Dan kedua, karena ibu mendengar dari Eng-moi bahwa nona itu lebih tua kira-kira dua tahun dari aku. Akan tetapi, dalam hal cinta, apa artinya perbedaan usia? Ayah sendiri sudah mengatakan bahwa hal itu sebenarnya bukan merupakan soal yang besar, hanya ayah setuju dengan ibu bahwa kami harus mengenal dulu siapa sebenarnya nona itu. Ketika kemarin, setelah mendengar darimu bahwa Yap In Hong adalah adik dari Yap Kun Liong, ibu lebih-lebih merasa tidak setuju lagi."

"Hemm... mengapa pula?"

"Kata ibu, Yap Kun Liong adalah sababatnya yang sebaya. Setelah kini nona Hong tidak mempunyai orang tua, jelas bahwa kami harus melamar kepada Yap Kun Liong sebagai wali gadis itu. Dan ibu merasa malu dan sungkan kalau harus melamar adik sahabatnya itu untuk menjadi calon mantunya. Akan tetapi aku tahu bahwa keberatan yang terutama adalah soal perbedaan usia itu. Menurut ibu, seorang calon suami haruslah lebih tua dari pada calon isteri."

"Siapa yang mengharuskan, Beng-te?"

"Entahlah, akan tetapi begitulah kata ibu. Pendek kata, ibu menolak dan hatiku hancur, twako."

Tio Sun tersenyum, senyum yang pahit. Betapa banyaknya manusia yang dipermainkan oleh cinta! Betapa banyaknya kisah duka ditimbulkan oleh cinta yang sepihak. Dia sendiri jatuh cinta kepada Kwi Eng, namun dara itu sebaliknya mencinta Bun Houw, bahkan telah terikat sebagai calon jodoh pemuda Cin-ling-pai itu. Dia menderita karena cinta sepihak.

Sedangkan Kwi Beng jatuh cinta kepada gadis yang lebih tua dari padanya dan biar pun belum diketahui apakah dara yang dicintanya itu akan menerima atau membalas cintanya ataukah tidak, namun ibunya tidak menyetujuinya! Apakah Kwi Beng juga akan menderita cinta yang gagal?

"Aku merasa ikut berduka mendengar keadaanmu, Beng-te. Akan tetapi apa maksudmu ketika mengatakan tadi bahwa hanya aku yang dapat menolongmu?"

Pemuda yang usianya baru tujuh belas tahun itu memegang lengan Tio Sun, kemudian memandang dengan matanya yang kebiruan, penuh permohonan. "Twako, sudikah twako menolongku?"

Tio Sun merasa terharu. Mata itu sama benar dengan mata Kwi Eng dan ketika pemuda ini memegang lengannya dan mengajukan permohonan itu, seakan-akan dia menghadapi Kwi Eng sendiri yang memohon pertolongan kepadanya!

"Tentu saja, Beng-te. Jangan khawatir, aku selalu siap untuk menolongmu. Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana mungkin aku dapat menolongmu?"

"Aku mohon engkau suka menjadi waliku twako! Ibu tidak mau melamarkan nona Yap In Hong, biarlah engkau yang menjadi waliku dan melamarkan untukku kepada kakak nona itu, yaitu kepada pendekar Yap Kun Liong."

"Ahhh...?" Tio Sun terkejut sekali, tidak menyangka bahwa pemuda ini akan mengajukan permintaan seperti itu. "Mana mungkin, Beng-te? Ayah bundamu masih ada, bagaimana aku berani lancang..."

Tiba-tiba saja Kwi Beng menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun!

"Kalau twako tidak mau menolongku, maka habislah harapanku...," katanya dengan suara seperti orang hendak menangis.

Tio Sun cepat-cepat membangunkan pemuda itu. "Duduklah, Beng-te dan mari kita bicara dengan baik dan dengan tenang."

"Akan tetapi twako tidak mau menolongku..."

"Baiklah, aku mau menolongmu, akan tetapi atas dasar desakan dan permintaanmu saja. Kalau kelak orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku lancang..."

"Aku yang bertanggung jawab dan akan kukatakan bahwa twako melakukan itu hanya karena desakanku dan permohonan tolong dariku."

Tio Sun merasa terdesak. "Akan tetapi, apakah itu bijaksana kalau langsung mengajukan lamaran, Beng-te? Apakah tidak lebih baik kalau terlebih dulu diadakan pendekatan dari fihakmu kepada gadis itu? Sebaiknya mengukur isi hatinya lebih dulu, apakah kiranya dia akan mau menerimanya, sehingga dengan begitu kelak hatimu tidak sampai patah karena penolakan dari fihaknya."

"Tidak, tidak! Kalau terlambat, tentu ibu akan mendahului kita, mencarikan jodoh untukku, karena Eng-moi juga sudah terikat jodoh dengan calon suaminya. Dan kalau aku sudah diikat jodoh dengan orang lain, sampai bagaimana pun tentu ibu akan menghalangi aku berjodoh dengan nona Yap In Hong. Mengingat bahwa kakak nona itu adalah sahabat baik ayah dan ibu, yaitu menurut penuturan ibu, agaknya lamaran itu tak akan ditolaknya. Dan tentang nona Yap In Hong sendiri, kurasa dia pun... ehh, cinta padaku. Buktinya dia telah menyelamatkan nyawaku dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan sikapnya baik sekali terhadapku."

"Hemm, Beng-te. Pertolongan merupakan kewajiban setiap orang gagah dan sama sekali tidak boleh dimaksudkan sebagai tanda cinta, demikian pula sikap yang baik belum tentu membayangkan cinta."

"Aku yakin bahwa kita tidak akan gagal, twako. Akan tetapi kalau kau pikir lebih dahulu menemui nona itu, aku pun setuju. Pendeknya, aku ingin pergi dari sini untuk mendahului ibu. Aku akan menemui nona Hong sendiri akan tetapi untuk mengajukan lamaran kepada kakaknya, aku sangat mengharapkan bantuanmu, twako. Dan aku minta agar twako suka menemaniku pergi besok pagi."

"Ehh...? Tentu orang tuamu akan melarang."

"Tidak! Aku tidak akan berterus terang. Twako bilang saja bahwa twako hendak pergi ke kota raja dan aku akan ikut untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan."

Tio Sun menarik napas panjang. "Ahhh... engkau menarik aku dalam keadaan amat tidak enak terhadap orang tuamu, Beng-te."

"Tidak, twako. Aku yang akan bertanggung jawab mengenai hal itu. Kalau twako berpamit dan berkata hendak pergi ke kota raja, berarti twako tidak membohongi mereka, karena bukankah nona Hong kabarnya berada di sana? Dan aku ikut pergi bersama twako, apa salahnya itu?"

Akhirnya Tio Sun tidak dapat mengelak lagi karena diam-diam dia merasa kasihan juga kepada pemuda remaja ini. Pula, dia pun tidak ingin terlalu lama tinggal di Yen-tai, karena makin lama dia berkumpul dengan Kwi Eng, makin beratlah penderitaan dan kekecewaan hatinya. Kalau sudah jelas bahwa nona itu bukan jodohnya, lebih baik secepat mungkin dan sejauh mungkin dia pergi agar tidak usah berjumpa lagi dengan dara yang dicintanya akan tetapi yang menjadi milik orang lain itu.

Pada saat Tio Sun berpamit kepada Yuan de Gama dan isterinya, juga kepada Souw Kwi Eng, mereka menyatakan sayang bahwa pemuda itu tidak tinggal lebih lama lagi, akan tetapi mereka tidak berani menahan, dan mengucapkan selamat jalan. Namun, ketika Kwi Beng minta perkenan dari orang tuanya untuk ikut bersama Tio Sun ke kota raja untuk meluaskan pengetahuan dan orang tuanya tidak keberatan karena mereka percaya penuh atas bimbingan Tio Sun kepada putera mereka, Kwi Eng yang rewel!

"Aku juga ikut...!" katanya manja.

"Maria, engkau seorang gadis dewasa, kurang leluasa dan kurang baik untuk pergi jauh menempuh perjalanan sukar tanpa orang tuamu!" kata Yuan de Gama mencegah.

"Dan kau harus ingat bahwa sekarang engkau sudah terikat, Kwi Eng. Bagaimana kalau ada utusan dari Cin-ling-pai datang dan engkau sedang tidak berada di rumah? Alangkah akan mengecewakan dan membuat kami menjadi malu."

Diingatkan akan hal ini, reda kekecewaan Kwi Eng dan akhirnya dua orang pemuda itu berangkat meninggalkan Yen-tai menuju ke kota raja. Tidak ada seorang pun di antara keluarga itu yang tahu betapa beratnya hati Tio Sun ketika dia melangkah pergi menjauhi dara yang dicintanya itu. Semangatnya seakan-akan tertinggal di rumah gedung itu, dan telinganya selalu mendengar suara ketawa Kwi Eng sehingga beberapa kali dia kadang-kadang tidak mendengar kata-kata Kwi Beng ketika pemuda ini bicara kepadanya…..

********************

Malam yang gelap. Langit hitam pekat, tidak tampak sebuah pun bintang. Padahal malam itu sebetulnya adalah giliran bintang-bintang menggantikan bulan yang tidak muncul pada malam hari itu, akan tetapi awan hitam tebal memenuhi langit.

Biar di kota raja sekali pun, tempat tinggal orang-orang yang lebih beruang dibandingkan dengan orang-orang dusun, lampu-lampu yang digantungkan di luar rumah tidak mampu menembus kegelapan yang tebal itu. Penerangan yang dibandingkan dengan kekuatan malam gelap itu amat lemah, bahkan mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan. Hanya di daerah bangunan istana sajalah, di sebelah dalam lingkungan tembok istana, keadaannya agak terang karena banyaknya lentera serta lampu besar yang dinyalakan oleh para penjaga keamanan.

Pada malam yang gelap itu, yang mengancam dengan hujan, orang-orang menjadi malas keluar. Toko-toko dan restoran-restoran amat sepi hingga mereka itu menutup dagangan mereka sebelum waktunya. Hanya mereka yang memiliki keperluan penting sekali, dan lelaki iseng yang tidak betah di rumah lantas keluar untuk mencari hiburan, kaum penjudi, kaum pemabok dan kaum hidung belang saja yang malam itu masih nampak berkeliaran d luar rumah-rumah yang sudah menutupkan daun pintu dan jendelanya

Seorang laki-laki setengah tua yang sudah mabok jalan sempoyongan di atas jalan raya, digandeng oleh seorang laki-laki muda yang setengah mabok dengan susah payah sebab langkah si penggandeng itu sendiri pun tidak tetap. Keduanya bernyanyi-nyanyi gembira dan memang orang yang mabok dapat merasakan kegembiraan yang luar biasa, karena dalam keadaan terbius oleh minuman keras itu segala macam keruwetan hidup lenyap atau terlupa oleh pikiran sehingga pikiran menjadi kosong, bebas dan karenanya dapat melihat segala sesuatu tanpa penolakan dan menimbulkan kegembiraan.

"Heeee, manusia-manusia terbang...! Ha-ha, manusia-manusia terbang...!" Tiba-tiba yang mabok sekali itu berkata sambil menuding ke atas genteng-genteng rumah di sepanjang jalan raya itu.

"Manusia terbang... he-he-heh, ya benar... manusia terbang..." sambung yang setengah mabok.

Semua orang di dekat mereka memandang sambil tersenyum. Kata-kata orang mabok, pikir mereka tak acuh. Akan tetapi ada sebagian di antara mereka yang mempercepat langkahnya supaya dapat segera tiba di rumah yang aman. Mereka merasa ngeri karena bukankah orang mabok itu kadang-kadang dapat melihat lebih awas dari pada orang yang sadar dan tidak mabok? Siapa tahu mereka benar-benar melihat manusia terbang yang berarti bahwa mereka itu melihat setan dan iblis berkeliaran di malam gelap itu?

Dan bukan tidak mungkin karena malam itu memang amat menyeramkan, bahkan setiap bayang-bayang yang dipantulkan oleh pohon-pohon dan rumah-rumah tersinar penerangan pucat membentuk iblis-iblis mengerikan.

Tetapi kalau kebetulan di atas genteng rumah-rumah itu terdapat seorang berkepandaian tinggi yang berpandangan tajam, tentu dia akan menyaksikan keanehan dan mengetahui bahwa teriakan orang mabok tadi bukanlah penglihatan khayal belaka karena sebenarnya memang terdapat dua bayangan manusia yang seolah-olah terbang saja di atas genteng-genteng rumah itu. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga seperti dua ekor kucing berlari-larian di atas genteng-genteng itu, tanpa menimbulkan suara dan mereka menuju ke arah istana!

Pada saat dua bayangan yang benar-benar memiliki kegesitan dan keringanan tubuh luar biasa itu tiba di luar tembok istana, mereka lalu mendekam dan menanti dengan penuh kewaspadaan. Sudah tentu saja banyak terdapat penjaga dan peronda di luar tembok istana itu.

Pintu gerbang istana sudah ditutup rapat-rapat dan dijaga oleh belasan orang pengawal luar. Di atas menara di ujung tembok juga terdapat pengawal yang mengawasi ke arah sekeliling tempat itu. Kemudian secara bergiliran masih diadakan perondaan, dan sekali meronda terdiri dari enam orang bersenjata tombak dan memegang lentera yang terang.

Bayangan yang berpakaian putih dan mukanya hitam, tubuhnya kecil dan agak pendek, memberi isyarat kepada kawannya yang berpakaian hitam dan bermuka putih, telunjuk tangannya yang kecil ditudingkan ke arah menara. Si muka putih langsung mengangguk, dan dia pun menunjuk ke arah enam orang peronda yang datang dari depan. Keduanya lalu mengangguk berbarengan.

Agaknya tanpa kata-kata mereka sudah saling mengerti dan kini si muka hitam merunduk ke depan, dengan setengah merangkak bagai seekor harimau sedang mengintai korban mendekati menara. Sesudah dekat, dia memandang ke atas, ke arah dua orang penjaga yang berdiri di menara, hanya kelihatan tubuh bagian atas, dari dada sampai ke pundak dan tangan mereka memegang sebatang busur dengan segebung anak panah tersandang di pundak. Mereka berdua adalah ahli-ahli panah yang dapat menyerang setiap pengacau dari atas dengan anak panah mereka.

Sementara itu, si muka putih menggunakan kedua tangannya, mengangkat sebuah batu besar, sebesar perut kerbau hamil. Seperti dikomando saja, pada waktu si muka hitam menggerakkan tangannya dan sinar mengkilat menyambar ke arah menara, si muka putih melontarkan batu besar itu jauh ke depan, ke arah yang berlawanan dengan menara.

Terdengarlah suara pekik dua orang penjaga di menara yang roboh di tempat penjagaan mereka dengan leher tertusuk pisau hitam! Akan tetapi pekik ini tertutup dengan suara berdebuk yang amat keras dibarengi suara berkerosakan ketika sebongkah batu besar itu menimpa pohon, menumbangkan batang pohon dan jatuh berdebuk ke atas tanah.

Enam orang peronda itu terkejut sekali dan cepat memburu ke depan, sama sekali tidak mendengar pekik dua orang penjaga di menara, juga sama sekali tidak tahu bahwa begitu mereka lari ke arah pohon tumbang, ada dua bayangan melesat ke atas tembok istana dengan keringanan tubuh yang luar biasa dan sekejap mata saja bayangan dua orang itu sudah lenyap ke sebelah dalam tembok istana!

Kalau orang melihat ke atas menara penjaga dan melihat betapa dua orang penjaga itu tewas dengan muka mereka menjadi hitam mengerikan, maka dia akan tahu bahwa dua orang luar biasa itu benar-benar memiliki kepandaian yang mengerikan dan bahwa pisau yang menghunjam ke leher dua orang penjaga itu adalah pisau-pisau beracun yang keji.

"Kenapa tidak diambil dulu dua hui-to (golok terbang) itu?" si muka pucat berbisik ketika kedua orang itu menyelinap ke dalam taman istana, bersembunyi di balik semak-semak.

"Nanti saja ketika kembali, biar kenyang dulu menghirup darah segar, hi-hi-hik!" bayangan kedua yang bermuka hitam terkekeh. "Pula, masih ada belasan batang lagi padaku, cukup untuk menghadapi pengawal-pengawal istana."

"Jangan banyak main gila, Mo-li. Kedatangan kita hanya untuk membunuh Ceng Tung lalu secepat mungkin kita harus pergi dari sini."

"Baik, Mo-ko. Memang kaisar jahanam itu harus kita bunuh, hanya sayang kalau kita tidak dapat mengambil satu dua buah pusaka kerajaan yang hebat."

Keduanya cepat mendekam dan menahan napas ketika berkelebat bayangan orang yang cukup gesit gerakannya. Bayangan ini adalah bayangan seorang pengawal Kim-i-wi, yaitu Pengawal Baju Emas yang merupakan barisan pengawal bayangan atau yang melakukan tugas penjagaan keamanan secara rahasia. Mereka ini memang terdiri dari orang-orang yang berilmu dan pandai ilmu silat.

Siapakah adanya dua orang yang begitu berani mati memasuki daerah istana dengan jalan membunuh penjaga menara dan meloncat ke tembok pagar istana secara demikian lihainya? Melihat orang yang bermuka putih seperti kapur itu berpakaian hitam, sebaliknya yang bermuka hitam seperti arang itu berpakaian putih, sungguh amat menyeramkan dan seperti bukan manusia saja!

Dan memang sesungguhnyalah. Mereka itu setengah manusia setengah iblis! Mereka ini bukan lain adalah Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Berdarah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam itu adalah dua orang tokoh lihai yang datang dari Negeri Sailan.

Ketika dahulu Panglima Besar The Hoo memimpin bala tentara menjelajah ke berbagai negeri tetangga, di Sailan Panglima The Hoo yang amat sakti itu pernah berhadapan dan bertanding melawan dua orang jagoan Sailan ini. Pukulan-pukulan beracun dari mereka berdua, ketika bertemu dengan The Hoo, ternyata tidak ada gunanya bahkan membalik dan meracuni diri mereka sendiri, membuat mereka nyaris tewas dan biar pun mereka akhirnya tertolong, namun muka mereka yang tadinya normal kini berubah seperti iblis, yaitu yang laki-laki mukanya menjadi seperti kapur ada pun yang wanita mukanya menjadi seperti arang. Hal ini adalah karena racun yang mereka pergunakan melawan The Hoo, hawanya membalik dan meracuni diri mereka sendiri.

Dengan dendam yang meluap-luap di dalam hati, dua orang ini lalu memperdalam ilmu mereka sambil bertapa di puncak-puncak pegunungan utara. Kemudian, sesudah merasa bahwa mereka sanggup menandingi The Hoo, keduanya lantas turun gunung dan karena maklum bahwa The Hoo adalah seorang panglima besar yang selain memiliki kepandaian tinggi juga terlindung oleh pasukan yang puluhan laksa jumlahnya, mereka lalu mendekati dan mengangkat murid kepada Raja Sabutai.

Mereka menurunkan ilmu kepada Raja Sabutai sambil mengharapkan bahwa melalui bala tentara Sabutai, mereka akan dapat menyerbu ke selatan, dan kalau mungkin menduduki Kerajaan Beng-tiauw sehingga dengan demikian mereka akan dapat berhadapan dengan The Hoo tanpa bahaya dikeroyok puluhan laksa prajurit Kerajaan Beng!

Karena harapan-harapan inilah maka mereka bersabar saja menyaksikan semua gerak gerik dan usaha murid mereka, bahkan mereka pun tidak ambil peduli ketika melihat isteri Sabutai oleh murid mereka itu ‘diserahkan’ kepada Kaisar Ceng Tung hanya disebabkan Sabutai menghendaki seorang anak keturunan dari kaisar itu, oleh karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan! Sebetulnya, hal ini sangat menyakitkan hati dua orang itu, namun karena mereka mempunyai dendam dan rencana yang lebih besar, maka mereka juga tidak menegur murid mereka.

Akan tetapi, ketika Sabutai merubah siasat dan agaknya mau berdamai dengan kaisar, bahkan hendak menarik mundur tentaranya yang tadinya sudah berhasil maju sampai ke pintu gerbang kota raja, hati dua orang kakek dan nenek itu kecewa bukan main. Maka mereka lalu hendak berusaha sendiri untuk membalas dendam.

Mereka kini sudah mendengar bahwa musuh besar mereka, The Hoo, sudah meninggal dunia. Maka mereka hendak menumpahkan dendam mereka kepada para pembantu dan para sahabat The Hoo dan satu di antaranya yang paling terkenal adalah Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Karena itulah maka mereka menahan Siang-bhok-kiam dengan maksud memancing Cia Keng Hong datang ke tempat mereka untuk dibunuh sebagai wakil The Hoo!

Kalau di waktu Sabutai mengadu kepandaian para tokoh yang bermusuhan kedua orang ini tidak turun tangan membunuh Cia Bun Houw dan Yap In Hong adalah karena mereka masih segan terhadap murid mereka sendiri yang tentu saja dibantu oleh ribuan orang pasukan, pula mereka tidak ingin bermusuhan dengan murid mereka sendiri.

Selain itu, melihat pukulan Thian-te Sin-ciang yang dilakukan oleh Bun Houw, kemudian mereka melihat pula pukulan sakti itu juga dipergunakan oleh In Hong meski pun belum sempurna, mereka berdua merasa agak jeri. Bukan jeri menghadapi orang-orang muda itu, tetapi jeri kalau-kalau pendeta Kok Beng Lama juga akan muncul! Padahal, mereka sedang melatih diri dan belum selesai dengan latihan itu, latihan kekebalan yang akan sanggup menghadapi Thian-te Sin-ciang atau pukulan apa pun juga!

Sesudah Sabutai mengundurkan diri, mereka pun meninggalkan murid itu dan membawa Siang-bhok-kiam menuju ke Lembah Naga di tepi Sungai Luan-ho yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, di luar tembok besar. Di sini mereka lalu melanjutkan latihan mereka dengan tekun sampai akhirnya mereka berhasil dengan ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu kekebalan yang amat luar biasa, yang hanya mampu dikuasai oleh orang-orang yang darahnya beracun seperti mereka!

Setelah menguasai ilmu sakti ini barulah mereka menjadi berani dan untuk melampiaskan dendam mereka tanpa mengandalkan bantuan pasukan Sabutai yang sudah berdamai dengan Kerajaan Beng, mereka mencari gara-gara dan hendak membikin kacau Kerajaan Beng dengan membunuh Kaisar Ceng Tung!

Pertama-tama mereka hendak lakukan ini untuk menghukum kaisar yang mereka anggap sudah merendahkan dan menghina murid mereka dengan menjinahi isterinya, dan kedua untuk memancing agar para Panglima Beng-tiauw mencari mereka untuk mereka bunuh semua. Demikianlah rencana pembalasan mereka terhadap Panglima The Hoo yang kini sudah tidak ada lagi itu.

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih mendekam di balik semak-semak untuk meneliti keadaan. Beberapa kali mereka melihat berkelebatnya pengawal Kim-i-wi dan setiap kali mereka ini meronda lewat di taman itu, paling banyak mereka hanya berdua saja, bahkan kadang-kadang hanya seorang saja. Di samping mereka, ada pula pengawal-pengawal biasa yang meronda bergerombol enam orang membawa lentera dan kentongan.

Mereka berunding sebentar setelah tadi menghitung jarak waktu antara perondaan para pengawal Kim-i-wi. Kini mereka bersiap-siap, berindap-indap mendekati lorong kecil yang selalu dipakai oleh pengawal-pengawal Kim-i-wi yang meronda. Tak lama kemudian, tepat pada waktu seperti yang telah mereka perhitungkan, berkelebat dua bayangan pengawal Kim-i-wi. Dua orang kakek dan nenek itu pun menerkam dari balik semak-semak pohon kembang.

Dua orang Kim-i-wi terkejut sekali, berusaha mengelak dan menangkis, namun bagi kakek dan nenek itu, gerakan mereka terlalu lamban sehingga jari-jari tangan kakek dan nenek iblis itu tahu-tahu telah menusuk masuk ke dalam leher dua orang Kim-i-wi itu dan mereka pun tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Mayat mereka lalu dilempar ke dalam semak-semak, lantas dua orang kakek dan nenek itu cepat berlari meninggalkan taman menuju ke bangunan-bangunan istana, tidak berani meloncat naik melainkan mendekam di dalam bayangan gelap menanti kesempatan selanjutnya.....

********************

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar