"Plakk... krekkk... desssss…!"
Kakek berpakaian putih ini hanya mengangkat lengannya menangkis dan... tongkat ular itu patah-patah sedangkan Jeng-hwa Sianjin terlempar ke belakang.
"Si keparat laknat!" Jeng-hwa Sianjin berteriak dan kini dia berdiri berhadapan dengan kakek berpakaian putih yang kelihatan tenang-tenang saja itu.
"Sababat, kau insyaflah betapa kedua kakimu sudah berada di lumpur kesesatan! Masih belum terlambat bagi siapa pun untuk keluar dari lumpur kesesatan dan kembali ke jalan kebenaran," kakek itu berkata, suaranya halus dan lembut.
Akan tetapi Jeng-hwa Sianjin mengeluarkan suara gerengan bagai seekor serigala terluka. "Manusia sombong, lihatlah ini... dan engkau akan mati menjadi setan penasaran!"
Tio Sun mengeluarkan seruan kaget dan Mei Lan menjerit ketakutan ketika dari kedua tangan kakek itu kini muncul seekor binatang seperti naga, matanya bercahaya, mulutnya mengeluarkan api bernyala-nyala, kemudian naga itu menerkam ke arah si kakek yang menghadapinya dengan tenang. Kembali kakek itu hanya mengangkat tangannya untuk menangkis, menyambut naga yang dahsyat itu sambil berseru,
"Siancai...! Segala kepalsuan akan menghancurkan diri sendiri, orang murtad!"
"Darrrrr...!"
Naga itu meledak dan lenyap, dan Jeng-hwa Sianjin terbanting ke atas tanah, dari mulut, hidung serta telinganya mengalir darah, lalu dia berkelojotan seperti orang sekarat! Kakek itu menggelengkan kepalanya sambil menarik napas panjang, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan sekali raba saja belenggu kaki dan tangan Mei Lan patah semua.
"Locianpwe, teecu Yap Mei Lan menghaturkan terima kasih..." Dara remaja itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang memandangnya dengan tersenyum.
Sementara itu, orang-orang dusun yang tadi sekaligus sadar kembali dan seakan-akan semua ibils serta roh jahat yang memasuki tubuh mereka lari minggat terusir oleh pekik dahsyat dari kakek tadi, kini kelihatan panik, mencari pasangan atau suami isteri masing-masing, menyambar pakaian mereka lantas lari pontang-panting meninggalkan tempat itu untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.
Setelah berada dalam keadaan sadar, tentu saja mereka menjadi amat ketakutan melihat pertempuran tadi. Apa lagi ketika para anak buah Jeng-hwa-pang yang tujuh orang itu kini sudah berteriak-teriak marah melihat ketua mereka roboh dan dengan senjata di tangan mereka sudah maju untuk menerjang kakek berpakaian putih itu.
Akan tetapi tiba-tiba tampak sinar pedang berkelebat dan robohlah empat orang anggota Jeng-hwa-pang. Semua orang terkejut lalu memandang, dan ternyata Tio Sun yang sudah menghadang di hadapan mereka. Serentak mereka maju mengeroyok dan mengamuklah pemuda itu.
Kini setelah dia tidak lagi berada di bawah pengaruh sihir, jelas kelihatan betapa hebatnya pemuda ini memainkan pedangnya. Tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dan pedangnya yang tertimpa sinar bulan itu bergulung-gulung laksana seekor naga mengamuk. Tangan kirinya pun tidak tinggal diam dan setiap kali pukulan tangan kirinya itu mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu yang terpukul itu roboh dan tak dapat bangun kembali karena pemuda itu memukul dengan pengerahan lweekang yang amat kuat.
Baru tampak bahwa pemuda itu sesungguhnya adalah seorang pendekar muda yang amat lihai sehingga gentarlah hati semua pengeroyoknya. Sesudah dua belas orang roboh dan tewas, yang lima orang cepat melarikan diri tunggang-langgang.
"Keparat keji, hendak lari ke mana kalian?" Pemuda lihai itu hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara halus mencegahnya,
"Cukup, Sicu. Cukup mengerikan pembunuhan-pembunuhan ini...!"
Tio Sun menghentikan pengejarannya dan menengok. Dia hanya melihat kakek tua renta tadi menuntun Mei Lan lantas sekali berkelebat kakek itu lenyap dari tempat itu, tangan kanan menuntun gadis tadi, tangan kiri membawa sebuah peti hitam yang tadi berada di atas meja dekat ketua Jeng-hwa-pang.
Tio Sun maklum bahwa kakek tadi adalah seorang yang amat sakti, maka dia cepat-cepat berlutut kemudian berseru ke arah menghilangnya kakek itu, "Teecu mohon tanya nama Locianpwe yang mulia!"
Hening sejenak, kemudian, seperti terbawa angin bersilir, terdengarlah olehnya jawaban halus. "Aihhh... apalah artinya nama? Jangan khawatir, Sicu, gadis ini berada di bawah perlindungan Bun Hoat Tosu..."
"Ahhh...!" Tio Sun terkejut dan sampai lama dia berlutut di situ.
Pernah dia mendengar dari ayahnya bahwa yang bernama Bun Hoat Tosu, yang sampai kini tidak ada orang tahu di mana tempat tinggalnya, entah masih hidup ataukah sudah mati, adalah seorang yang mempunyai kesaktian luar biasa, dan kakek itu adalah bekas ketua Hoa-san-pai, satu di antara tokoh-tokoh besar sejak puluhan tahun yang lalu!
Pemuda ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia masih hijau dan belum ada nama di dalam dunia kang-ouw, karena baru sekarang dia diperkenankan oleh ayahnya yang sekaligus menjadi gurunya sendiri untuk merantau. Tio Sun adalah putera tunggal dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, bekas pengawal Panglima The Hoo yang mendapat kepercayaan penuh dan yang memiliki kepandaian tinggi.
Seperti sudah diceritakan pada bagian depan dari cerita ini, bekas pengawal Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) Tio Hok Gwan itu bersama Hong Khi Hoatsu kebetulan sedang bersama-sama mengunjungi Cin-ling-san pada waktu mereka melihat tokoh-tokoh Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han sudah tewas terbunuh oleh mereka yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa.
Tio Hok Gwan turut merasa berduka dan marah. Akan tetapi karena dia sendiri merasa bahwa dirinya sudah terlalu tua untuk turun tangan sendiri, maka dia segera pulang ke rumahnya dan mengutus putera tunggalnya itu untuk mewakili dia membantu Cin-ling-pai guna mencari Lima Bayangan Dewa dan membasmi orang-orang jahat itu.
Tio Sun adalah seorang pemuda yang berusia dua puluh tahun, berperawakan tegap dan bersikap gagah. Wajahnya tidak terlalu tampan, matanya terlalu sipit persis seperti mata ayahnya, akan tetapi mata yang kecil itu bersinar tajam dan wajahnya yang biasa saja itu membayangkan kegagahan, kejujuran, sikapnya halus akan tetapi tegas dan terbuka.
Setelah dapat menenteramkan hatinya yang terguncang akibat kagum mendengar bahwa kakek yang menolong dara remaja tadi ternyata adalah manusia sakti Bun Hoat Tosu, Tio Sun lalu bangkit berdiri dan memeriksa keadaan di tempat itu. Kakek gundul yang seperti iblis itu, Jeng-hwa Sianjin telah tewas karena ilmu sihirnya yang membalik dan menyerang dirinya sendiri tadi, dan amukannya tadi telah membuat dua belas orang pembantu kakek gundul itu tewas semua.
Teringatlah dia akan cara persembahyangan mereka yang menyeramkan tadi, dan dia heran apakah roh tiga belas orang ini benar-benar akan diterima oleh roh-roh halus itu dan diberi tempat yang enak, yang jelas mereka itu mati dalam keadaan yang tidak enak dilihat akibat dari perbuatan mereka sendiri. Tio Sun lalu menyalakan api dan membakar semua bangunan di perkampungan yang penuh kemaksiatan ini sehingga api berkobar tinggi membakar bangunan-bangunan itu berikut mayat tiga belas orang Jeng-hwa-pang. Dia sendiri lalu pergi dari situ.
Pada keesokan harinya, Tio Sun pergi mengunjungi dua buah dusun di sebelah selatan dan utara bukit, yaitu dusun Liong-si-jung dan Beng-nam-jung. Ditemuinya kepala-kepala dusun itu kemudian diceritakannya tentang penduduk yang telah terpikat menjadi anggota perkumpulan pemuja iblis itu. Dia menganjurkan kepada kepala-kepala dusun itu supaya memperingatkan penduduknya agar jangan sampai mudah terpikat lagi oleh orang-orang jahat yang berlindung di balik perkumpulan-perkumpulan kebatinan yang menyesatkan dengan membonceng kebodohan dan ketahyulan para penduduk dusun.
Setelah pemuda itu menceritakan bahwa perkumpulan itu telah dibasmi dan dibakar, dua orang kepala dusun segera menghaturkan terima kasih dan tentu saja mereka lalu berani bertindak. Para penduduk dusun dikumpulkan dan mereka yang pernah menjadi anggota Jeng-hwa-pang ditegur dan diancam hukuman apa bila masih berani melanjutkan upacara sembahyangan yang menyesatkan itu.
Tio Sun lalu melanjutkan perjalanannya, memasuki dunia kang-ouw sambil mencari-cari di mana adanya Lima Bayangan Dewa yang telah mengacau Cin-ling-pai dan telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam…..
********************
Dengan pakaian kotor terkena lumpur yang basah dan kini sudah kering lagi, Kun Liong duduk bersila di depan kuburan isterinya tercinta. Dia sudah dapat menekan kedukaannya yang sangat hebat. Wajahnya pucat sekali, matanya kehilangan gairah hidup dan dalam waktu tiga hari saja rambut di kepalanya sudah banyak yang menjadi putih!
Duka mau pun suka timbul dari pikiran. Segala sesuatu yang terjadi di dalam dunia ini, yang menimpa diri manusia, adalah peristiwa yang sudah terjadi, yang merupakan fakta dan yang setelah terjadi tidak lagi dapat dirubah oleh siapa pun juga. Apakah peristiwa itu mandatangkan duka mau pun suka, tergantung sepenuhnya pada penanggapan manusia terhadap fakta itu.
Jika pikiran yang menanggapi, maka timbullah duka atau suka. Pikiran mengingat-ingat, membanding-bandingkan keadaan sebelum dan sesudah peristiwa terjadi, kerugian bagi dirinya sendiri, yang menyenangkan dan yang menyedihkan, yang semuanya itu berpusat pada diri pribadi.
Sama sekali tak ada gunanya menenggelamkan diri di dalam gelombang suka-duka yang diakibatkan oleh permainan pikiran yang mengingat-ingat. Di dalam hal kematian seorang yang kita cinta, kalau memang benar kita mencinta orang yang mati itu, mencinta demi dia, bukan demi diri sendiri, kiranya berduka demi si mati adalah tidak wajar, karena kita tidak tahu apakah benar keadaannya itu patut kita dukakan.
Kita tidak tahu bagaimana keadaannya sesudah mati, agaknya tak akan lebih buruk dari pada waktu hidup di dalam dunia yang penuh dengan kesengsaraan ini, maka kedukaan kita biasanya ditujukan kepada rasa iba diri karena kita ditinggalkan orang yang kita cinta, karena kita kehilangan seorang yang memberi kesenangan pada kita.
Biasanya, sudah menjadi pendapat umum bahwa rasa duka macam ini, yang sebetulnya mendukakan diri sendiri, dianggap sebagai tanda cinta kepada si mati! Padahal, faktanya si mati tetap mati dan tak akan berubah oleh tangis air mata darah kita! Betapa pun pahit kenyataan ini, akan tetapi sudah sepatutnya kalau kita membuka mata akan kenyataan hidup yang serba palsu ini sehingga kita sadar apa yang kita lakukan.
Jika pikiran yang menanggapi, maka timbullah duka atau suka. Pikiran mengingat-ingat, membanding-bandingkan keadaan sebelum dan sesudah peristiwa terjadi, kerugian bagi dirinya sendiri, yang menyenangkan dan yang menyedihkan, yang semuanya itu berpusat pada diri pribadi.
Sama sekali tak ada gunanya menenggelamkan diri di dalam gelombang suka-duka yang diakibatkan oleh permainan pikiran yang mengingat-ingat. Di dalam hal kematian seorang yang kita cinta, kalau memang benar kita mencinta orang yang mati itu, mencinta demi dia, bukan demi diri sendiri, kiranya berduka demi si mati adalah tidak wajar, karena kita tidak tahu apakah benar keadaannya itu patut kita dukakan.
Kita tidak tahu bagaimana keadaannya sesudah mati, agaknya tak akan lebih buruk dari pada waktu hidup di dalam dunia yang penuh dengan kesengsaraan ini, maka kedukaan kita biasanya ditujukan kepada rasa iba diri karena kita ditinggalkan orang yang kita cinta, karena kita kehilangan seorang yang memberi kesenangan pada kita.
Biasanya, sudah menjadi pendapat umum bahwa rasa duka macam ini, yang sebetulnya mendukakan diri sendiri, dianggap sebagai tanda cinta kepada si mati! Padahal, faktanya si mati tetap mati dan tak akan berubah oleh tangis air mata darah kita! Betapa pun pahit kenyataan ini, akan tetapi sudah sepatutnya kalau kita membuka mata akan kenyataan hidup yang serba palsu ini sehingga kita sadar apa yang kita lakukan.
Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang mempunyai kepandaian dan memiliki batin yang kuat. Akan tetapi mala petaka yang menimpa dirinya terlalu hebat baginya. Isterinya yang terkasih tewas terbunuh orang, dan puterinya yang tercinta melarikan diri tanpa ada yang tahu apa yang menyebabkannya. Karena itu pukulan batin ini membuat dia seperti lumpuh dan kehilangan semangat.
Pada saat itu dia sudah berhasil menekan kehancuran hatinya dan sudah pula mengambil keputusan untuk meninggalkan kuburan isterinya dan pergi mencari Mei Lan lebih dahulu sebelum menyelidiki tentang kematian isterinya yang amat aneh, karena betapa pun juga, dia masih sangsi apakah benar Giok Keng sampai hati membunuh isterinya. Dan andai kata benar Giok Keng yang membunuh Hong Ing, apa pula yang menjadi penyebabnya karena sepanjang pengetahuannya, isterinya tidak punya hubungan dengan puteri ketua Cin-ling-pai itu.
"Yap Kun Liong, apa yang kau lakukan di sini?"
Pertanyaan yang tiba-tiba dengan suara besar dan nyaring serta mengandung getaran amat kuat ini mengejutkan Kun Liong. Cepat dia meloncat berdiri membalikkan tubuhnya, akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika dia melihat bahwa yang menegurnya itu bukan lain adalah Kok Beng Lama pendeta sakti dari Tibet yang menjadi ayah mertuanya itu! Tentu saja kehadiran orang ini seolah-olah merobek lagi luka di hatinya yang sudah mulai mengering dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,
"Gak-hu... gak-hu... ahh... Hong Ing... isteriku...!" Dia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saking sedihnya pendekar ini sudah terguling dan roboh pingsan lagi!
"Huh, cengeng dan lemah...!" Kok Beng Lama bersungut-sungut.
Dengan langkah-langkah lebar dia menghampiri Kun Liong, memeriksa detak jantung dan pernapasan, dan dia kaget juga memperoleh kenyataan bahwa menantunya itu ternyata mengalami tekanan batin yang amat hebat. Cepat dia lalu menotok beberapa jalan darah di tengkuk dan punggung sehingga Kun Liong siuman kembali.
"Bocah lemah, hayo lekas katakan mengapa engkau menjadi begini cengeng dan lemah, menangis di kuburan! Kuburan siapa yang kau tangisi ini?" Kakek itu menuding ke arah gundukan tanah yang masih baru itu.
"Gak-hu (ayah mertua)... ini... ini adalah kuburan... Hong Ing..."
Kedua mata yang lebar itu terbelalak dan alis yang tebal itu terangkat ke atas. "Hahh...?! Apa kau bilang? Hong Ing...?"
"Dia... dia tewas terbunuh orang ketika saya sedang pergi...," Kun Liong berlutut sambil menutupi mukanya.
"Dan kau sudah membalas kematiannya? Sudah kau tangkap pembunuhnya?"
"Saya... saya belum tahu siapa dia..."
"Bodoh! Cengeng! Hentikan tangismu dan cepat ceritakan apa yang telah terjadi atas diri anakku, Hong Ing!"
Suara kakek raksasa itu bagaikan petir menyambar-nyambar, nyaring dan menggetarkan jantung sehingga mengejutkan Kun Liong yang segera maklum betapa marah hati ayah mertuanya ini.
"Saya sedang pergi meninggalkan rumah untuk menemui adik saya," dia lantas bercerita dan menguatkan hatinya sedapat mungkin, "ketika saya pulang, saya mendapatkan isteri saya… telah tewas. Menurut penuturan dua orang pelayan di rumah, Hong Ing kedatangan seorang tamu, yaitu puteri ketua Cin-ling-pai, Cia Giok Keng kakak dari Cia Bun Houw murid gak-hu sendiri... dan menurut dua orang pelayan, lalu terjadi pertengkaran bahkan kemudian perkelahian antara isteri saya dan Giok Keng, dan... dan dua orang pelayan itu yang hendak melerai juga dipukul pingsan... Pada saat mereka siuman Giok Keng sudah tidak ada dan... dan Hong Ing sudah tewas dengan dada terluka tusukan pedang..."
"Dan engkau hanya menangis di sini? Keparat, percuma saja kuberikan anakku menjadi isterimu!"
"Gak-hu...!"
"Desssss...!"
Tubuh Kun Liong mencelat dan bergulingan di atas tanah akibat terkena tendangan ayah mertuanya itu.
"Keparat engkau! Isterinya dibunuh orang, hanya menangis saja di depan kuburan seperti anak kecil, dan pembunuhnya kau biarkan saja! Hemmm, manusia lemah macam engkau ini pantasnya kubunuh sekalian!"
Kok Beng Lama yang sudah seperti gila saking marahnya mendengar puterinya dibunuh orang sedangkan anak mantunya diam saja dan hanya berkabung di situ tanpa membalas kematian itu, sudah meloncat dekat sambil mengirim pukulan ke arah kepala Kun Liong. Kalau pukulan ini dibiarkan saja dan mengenai kepala Kun Liong, tak dapat disangsikan lagi pendekar itu tentu akan tewas seketika, menyusul nyawa isterinya. Alangkah akan senangnya kalau begitu, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia teringat akan puterinya, Mei Lan, maka cepat dia mengangkat lengannya menangkis.
“Dessss…!”
Kembali dia terpental dan bergulingan, akan tetapi tubuh Kok Beng Lama tergetar juga.
"Tahan dulu, gak-hu. Bukannya saya tidak mau membalaskan kematian isteri saya yang tercinta. Akan tetapi urusan ini amat aneh dan mencurigakan. Saya mengenal betul Giok Keng, kiranya mustahil kalau dia membunuh Hong Ing. Dan juga anak saya, Mei Lan, pada malam hari itu lenyap pula meninggalkan rumah. Karena hati saya masih terlalu berduka atas kematian Hong Ing, maka sampai ini hari saya berada di sini..."
"Cukup, apa gunanya tangis-tangisan ini. Hayo, kita ajak saksi-saksi itu pergi mengambil Cia Giok Keng dan minta keadilan kepada ketua Cin-ling-pai!" Kok Beng Lama kemudian memegang pergelangan tangan Kun Liong dan langsung menyeret pendekar itu pulang ke rumahnya.
Kun Liong menahan air matanya ketika dia menoleh dan meninggalkan kuburan isterinya, kemudian terpaksa dia pun harus mengerahkan ilmu berlari cepat karena mertuanya itu berlari cepat sekali.
Giam Tun dan Khiu-ma, dua orang pelayan dan pembantu di rumah Kun Liong, menjadi terkejut dan ketakutan ketika secara kasar kakek raksasa itu memaksa mereka untuk ikut pergi pada saat itu juga, sama sekali tidak memberi waktu kepada mereka untuk berganti pakaian dan membawa bekal.
Kun Liong segera membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian mereka berangkat pada hari itu juga, menuju ke kota Sin-yang yang terletak di kaki Pegunungan Tapie-san. Di dalam perjalanan, dua orang pelayan itu diminta oleh Kok Beng Lama menceritakan lagi pengalaman mereka pada malam hari terbunuhnya Hong Ing itu.
Karena melakukan perjalanan bersama Giam Tun dan Khiu-ma, tentu saja perjalanan itu tidak dapat dilakukan dengan cepat dan hal ini membuat Kok Beng Lama menjadi tidak sabar dan sering kali dia mengomel. Semenjak ditinggal pergi Cia Bun Houw, muridnya yang oleh ayahnya dipanggil pulang ke Cin-ling-san, pendeta tua ini merasa kesepian sekali di Tibet. Ia sering kali merasa gelisah dan disiksa oleh kesunyian yang ditimbulkan oleh pikirannya sendiri.
Kesunyian timbul kalau kita terikat oleh sesuatu atau seseorang kemudian kita berpisah dari sesuatu atau seseorang itu. Memang berat akibatnya apa bila kita terikat yang sama halnya dengan kebiasaan sehingga membuat kita terbius dan sukar melepaskan diri atau berjauhan dengan yang sudah mengikat kita. Terpisah dari seseorang yang mengikat kita membuat kita merasa kesepian dan derita dari kesepian ini memang amat hebat.
Bahkan seorang sakti seperti Kok Beng Lama sekali pun tak dapat menahan derita akibat kesepian ini! Pikirannya tiada hentinya mengenangkan orang yang telah mengikat hatinya, yang kini pergi, tiada henti membayangkan waktu Bun Houw masih berada di dekatnya. membayangkan segala perasaan gembira dan senang di waktu pemuda itu masih menjadi muridnya dan dekat dengan dia.
Kenangan dan bayangan akan semua ini membuat hidupnya menjadi sunyi dan kosong, dan dia merasa tidak kerasan lagi berada di Tibet. Maka dia lalu turun gunung dan pergi ke timur, tidak kuat melawan kesunyian yang melanda hatinya. Dan muncullah dia di kota Leng-kok, tempat tinggal Yap Kun Liong, mantunya.
Bahagia hanya dapat dirasakan oleh orang yang bebas dari segala ikatan, baik ikatan lahir mau pun ikatan batin. Bukan berarti bahwa kita harus acuh atau tidak peduli, sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, orang yang bebas dari segala ikatan memperhatikan apa pun yang terjadi di luar dan dalam dirinya tidak dapat memilih-milih dan pilih kasih. Orang yang bebas dari ikatan adalah orang yang sendirian, bukan berarti mengasingkan diri. Ikatan hanya memperbudak diri…..
********************
Cia Giok Keng tinggal di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Pegunungan Tapie-san, bersama suaminya, Lie Kong Tek dan dua orang anaknya. Mereka mempunyai dua orang anak, yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Lie Seng, sedangkan yang kedua adalah seorang perempuan yang diberi nama Lie Ciauw Si. Lie Seng barusia dua belas tahun sedangkan adiknya berusia sepuluh tahun.
Selama belasan tahun berumah-tangga, suami isteri ini hidup dengan rukun dan tenteram di kota itu. Lie Kong Tek bekerja sebagai pedagang kayu bangunan yang banyak terdapat di Tapie-san dan sering kali mengirimkan kayu-kayu balok melalui Sungai Huai hingga ke kota-kota lain. Kehidupan keluarga Lie ini tenteram dan berkecukupan, dan barulah timbul gelombang dalam kehidupan mereka ketika mereka menerima undangan tokoh Go-bi-pai, yaitu Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han.
Di tempat ini, tanpa disangka-sangka, Giok Keng bentrok dengan Yap In Hong, adik Kun Liong yang ketika itu telah bersikap keras sehingga dianggap menghina adik kandungnya di depan umum. Maka sepulangnya dari kota Wu-han, Giok Keng yang memang berwatak keras itu segera pergi ke Leng-kok dengan maksud mengunjungi Kun Liong dan menegur adik pendekar ini. Akan tetapi Kun Liong kebetulan tidak ada sehingga terjadilah peristiwa hebat di rumah pendekar itu yang mengakibatkan kematian Hong Ing.
Ketika Kun Liong, Kok Beng Lama, serta dua orang pembantu rumah tangga Kun Liong tiba di depan rumah mereka, Giok Keng dan suaminya cepat keluar menyambut. Wajah Giok Keng merah sekali tanda bahwa dia merasa terguncang hatinya karena dia maklum bahwa tentu Kun Liong datang hendak menegurnya yang pernah marah-marah kepada isterinya, bahkan sudah memukul pingsan isteri Kun Liong di dalam pertempuran antara mereka.
Akan tetapi karena hatinya masih panas teringat akan sikap adik pendekar ini di dalam pesta, dia tidak merasa menyesal, bahkan begitu berjumpa dia lantas menudingkan jari telunjuknya kepada Kun Liong sambil berkata. "Yap Kun Liong, bagus sekali ya perbuatan adikmu yang bernama In Hong itu...!"
Akan tetapi sebelum Kun Liong menjawab, Kok Beng Lama sudah melangkah maju dan berkata dengan suara nyaring, matanya terbelalak lebar, "Apakah engkau yang bernama Cia Giok Keng?"
Giok Keng terkejut, memandang pendeta berbaju Lama warna merah ini, hatinya meragu, kemudian bertanya, "Siapakah locianpwe ini?"
"Dia adalah ayah mertuaku, Kok Beng Lama..."
"Guru Bun Houw...?" Giok Keng terkejut dan memberi hormat, juga suaminya memberi hormat.
"Tidak perlu banyak penghormatan yang palsu itu. Cia Giok Keng, engkau tentu pernah mendengar bahwa Pek Hong Ing adalah anakku, bukan?" Pendeta itu bertanya, suaranya kaku dan dingin.
Giok Keng mengangguk dan tahulah dia sekarang kenapa kakek yang dia dengar adalah guru dari Bun Houw, seorang pendeta Lama di Tibet yang sakti ini, datang bersama Kun Liong. Agaknya kakek ini pun hendak mencampuri urusan itu!
"Cia Giok Keng, demi Tuhan dan segala dewa, mengapa engkau membunuh anakku?"
Giok Keng terkejut sekali, segera menoleh kepada Kun Liong dengan penuh pertanyaan. Juga Lie Kong Tek yang sejak tadi hanya mendengarkan, mendengar bentakan kakek itu menjadi kaget sekali dan dia sudah melangkah maju dan bertanya kepada Kun Liong.
"Saudara Kun Liong, apa artinya semua itu? Siapa membunuh siapa?"
Kun Liong menjawab sambil memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh selidik. "Yang terbunuh adalah isteriku, Hong Ing. Dan yang membunuh agaknya adalah Giok Keng..."
"Ihhh...!" Giok Keng berseru kaget sekali, matanya terbelalak memandang Kun Liong.
"Ahhh...?" Lie Kong Tek sebaliknya kini menoleh dan memandang isterinya dengan alis berkerut.
Isterinya sudah menceritakan kepadanya tentang kunjungannya ke Leng-kok dan tentang percekcokannya dengan isteri Kun Liong. Isterinya yang jujur menceritakan segalanya, betapa dalam kemarahannya dia membuka rahasia Mei Lan sehingga nyonya Kun Liong marah dan mereka bertanding sampai akhirnya dia merobohkan Hong Ing hingga pingsan bersama dua orang pelayannya.
Untuk hal itu, Lie Kong Tek telah menegur isterinya dengan keras dan dia bersedia untuk meminta maaf kepada Kun Liong. Siapa tahu sekarang kenyataannya bahkan lebih hebat lagi. Isteri Kun Liong tewas dan yang disangka menjadi pembunuhnya adalah Giok Keng.
"Bukan agaknya lagi!" Kok Beng Lama berkata. "Jelas bahwa nyonya muda yang keras hati inilah yang membunuh anakku. Cia Giok Keng, hayo jawab mengapa engkau sampai membunuh anakku?"
"Tidak...! Tidak...! Aku tidak membunuhnya!" Wajah Giok Keng menjadi pucat bukan main karena dia tidak mengira bahwa Hong Ing akan dibunuh orang pada malam hari itu juga setelah dia pergi meninggalkan rumahnya.
"Hemm, membohong pun tidak ada gunanya, lebih baik berterus terang!" Kok Beng Lama berkata lagi dengan nada penuh ancaman.
Melihat ayah mertuanya kelihatan tidak sabar lagi itu, Kun Liong merasa khawatir dan dia langsung berkata, "Giok Keng, di antara kita semua terdapat hubungan yang amat erat, bahkan ayah mertuaku adalah guru dari adikmu. Oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau ceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi antara engkau dan mendiang isteriku."
Lie Kong Tek melihat kebijaksanaan ini, maka dia pun menjura ke arah Kok Beng Lama sambil berkata, "Harap locianpwe dan saudara Kun Liong suka duduk di dalam agar dapat kita membicarakan urusan ini dengan baik."
Akan tetapi dengan sepasang mata melotot dan lambaian tangan tidak sabar, Kok Beng Lama membentak, "Tidak perlu! Hayo cepat ceritakan!"
Giok Keng adalah seorang wanita yang berhati keras dan tidak mengenal takut. Melihat sikap kakek itu, dia pun menjadi sangat penasaran dan segera dia menceritakan tentang pertemuannya dengan Yap In Hong di tempat pesta dari Phoa Lee It. Setelah menuturkan peristiwa itu panjang lebar, dia mengakhiri dengan ucapan marah kepada Kun Liong,
"Kau pikir saja, Kun Liong. Adikmu menghina aku di muka umum, menghina Bun Houw seperti itu. Kalau tidak ada suamiku yang mencegah, tentu antara aku dan adikmu sudah terjadi pertempuran di tempat pesta itu! Hati siapa yang tidak menjadi marah? Adikku, Cia Bun Houw direncanakan akan dijodohkan dengan adikmu, akan tetapi adikmu itu malah menghina adikku di muka umum. Karena itu aku lalu mengunjungimu di Leng-kok dengan maksud untuk menegur agar kau dapat menghukum adikmu yang lancang mulut itu. Akan tetapi engkau tidak ada, dan aku dalam kemarahanku memaki-maki engkau dan adikmu. Isterimu membela dan kami bertempur."
"Hemmm... dan kau mengandalkan kepandaianmu membunuh anakku!" Kok Beng Lama membentak.
"Tidak, aku tidak membunuhnya!" Giok Keng membalik, menghadapi kakek itu dan balas membentak.
"Giok Keng, dua orang pelayan ini menjadi saksi betapa engkau dan Hong Ing bertanding, bahkan mereka pun roboh pingsan kau pukul... dan anakku, Mei Lan, mengapa pula dia lari dan sampai sekarang belum kembali?" Kun Liong menuntut.
Giok Keng teringat akan hal itu. Dia merasa bersalah akan tetapi dengan terus terang dia berkata lantang, "Karena hatiku panas sekali dan engkau yang manjadi orang yang kucari tidak ada, maka ketika anakmu itu hendak membela ibunya, aku terlanjur mengeluarkan kata-kata bahwa dia bukanlah anak kandung isterimu. Anak itu lalu melarikan diri..."
"Ahhhh...!" Kun Liong berseru dan mukanya menjadi merah. "Kau benar-benar keterlaluan sekali, Giok Keng! Anak itu tidak bersalah apa-apa dan isteriku pun tak berdosa, kenapa engkau..."
"Aku tidak membunuhnya! Dia memang roboh dan pingsan, aku lalu pergi... tetapi aku tidak membunuhnya."
“Dia bohong...!" Khiu-ma menudingkan telunjuknya. "Tidak ada orang lain di rumah itu, dan setelah kami berdua pingsan, begitu kami sadar kami melihat nyonya telah tewas...! Siapa lagi kalau bukan dia yang membunuhnya? Engkau wanita kejam sekali!" Khiu-ma lalu menangis.
"Cia Giok Keng, engkau telah membunuh anakku, maka sudah selayaknya kalau aku pun sekarang membunuh engkau!"
"Locianpwe, harap jangan sembarangan menuduh! Aku memang sudah merobohkannya sampai pingsan, akan tetapi aku tidak membunuh Hong Ing! Sampai mati pun aku tidak akan mengaku, karena aku memang tidak membunuhnya."
Kok Beng Lama sudah bergerak ke depan, akan tetapi Kun Liong cepat menghadang di depan ayah mertuanya itu sambil berkata, "Harap gak-hu bersabar..."
"Keparat! Anakku dibunuh orang dan kau minta aku bersabar?"
"Gak-hu, saya percaya bahwa gak-hu tidak akan bertindak ceroboh sehingga mempersulit persoalan ini. Biar pun saksi-saksi memberatkan dan keadaannya seolah-olah Giok Keng yang membunuh isteri saya, akan tetapi Giok Keng tidak mengaku dan bukti pun tidak ada. Apa bila sekarang gak-hu membunuh dia, bukankah keadaan menjadi berlarut-larut? Ingatlah, dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai..."
"Aku tidak takut! Biar ketua Cin-ling-pai dan senenek moyangnya maju semua, aku tidak takut membalas kematian anakku!"
"Gak-hu, ingatlah. Locianpwe Cia Keng Hong adalah orang yang berjiwa besar, seorang pendekar yang terkenal amat bijaksana dan budiman. Sedangkan Bun Houw ialah murid gak-hu sendiri, bagaimana gak-hu kini akan membunuh kakaknya begitu saja? Sebaiknya kita besikap bijaksana, mengajak Giok Keng untuk menghadap ke Cin-ling-pai. Di sana barulah kita minta keadilan dan saya percaya bahwa Cia-locianpwe tentu akan memberi keputusan yang seadil-adilnya."
Reda juga kemarahan Kok Beng Lama. Dia mangangguk sambil menarik napas panjang. "Omonganmu benar juga. Hayo kita bersama ke Cin-ling-pai menuntut keadilan."
"Giok Keng, kuharap engkau suka ikut bersama kami ke Cin-ling-pai menghadap ayahmu supaya persoalan ini dapat diputuskan dengan seadil-adlinya." Kun Liong berkata kepada Glok Keng.
Akan tetapi Giok Keng memandang kepadanya dengan marah. "Aku tidak sudi! Aku tidak bersalah, dan aku tidak sudi menjadi tawanan. Aku akan menghadap sendiri kepada ayah kalau perlu!"
"Giok Keng, kalau begitu engkau tidak ingin membereskan persoalan!"
"Kun Liong, yang mati adalah isterimu, maka engkaulah yang mempunyai persoalan. Aku tidak membunuh isterimu, aku tidak mempunyai persoalan apa-apa!"
"Hemm, perempuan galak ini harus dipaksa!" Kok Beng Lama membentak marah.
Memang watak Kok Beng Lama dan Cia Giok Keng sama kerasnya, maka jika keduanya dipertemukan sebagai flhak yang bertentangan, tentu saja terjadi geger.
"Bagus! Hendak kulihat siapa yang akan berani memaksaku!" Giok Keng sudah meloncat ke belakang sambil menghunus pedangnya. Pedang Gin-hwa-kiam mengeluarkan sinar putih berkilat ketika dicabut.
"Bocah sombong dan keras kepala!" Kok Beng Lama langsung menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya. Giok Keng, yang sudah marah cepat menyambuthya dengan pedang dkelebatkan.
"Giok Keng, jangan...!" Kun Liong sudah mencegah, akan tetapi terlambat karena wanita itu dengan penuh kemarahan telah menyerang dengan pedangnya, menyambut terjangan Kok Beng Lama dengan sinar pedang bergulung-gulung.
Akan tetapi Giok Keng tidak tahu akan kesaktian kakek raksasa itu. Biar pun usia kakek ini sudah delapan puluh tahun lebih namun tenaganya tidak menjadi berkurang, bahkan tubuhnya menjadi kebal. Pedang Gin-hwa-kiam yang merupakan pedang pusaka tajam dan ampuh itu disambut begitu saja dengan tangannya sehingga Giok Keng menjadi terkejut sekali.
"Tak-tak... plakkk!"
Giok Keng terhuyung ke belakang ketika pedangnya tertangkis oleh lengan tangan Kok Beng Lama. Tangannya yang memegang pedang tergetar hebat dan dia terkejut bukan main. Pada saat itu Kun Liong yang khawatir kelau-kalau ayah mertuanya yang keras hati itu membunuh Giok Keng, sudah mendahului Kok Beng Lama, meloncat ke arah Giok Keng, dan mencengkeram ke arah pundak wanita itu.
"Kun Liong, berani engkau menghinaku?!" Giok Keng membentak kemudian pedangnya berkelebat membabat le arah lengan pendekar itu.
Namun itulah yang dikehendaki oleh Kun Liong. Cengkeramannya tadi hanya merupakan pancingan saja supaya wanita itu menangkis dan menggerakkan pedang. Begitu pedang berkelebat, Kun Liong sudah menggerakkan tangannya dengan cepat sekali, lebih cepat dari pedang itu, dan dengan tenaga Pek-in-ciang dia menggetarkan siku kanan Giok Keng sehingga wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas karena lengannya mendadak terasa seperti lumpuh. Kemudian sebelum Giok Keng dapat mengelak, Kun Liong telah menotok pundaknya dan Giok Keng menjadi lemas, tentu roboh kalau saja tidak cepat disambut oleh tangan Kun Liong.
"Lepaskan isteriku!" Lie Kong Tek yang melihat isterinya dirobohkan, sudah mencabut pedang Gin-hong-kiam yang juga bersinar perak, melompat dan menerkam ke arah Kun Liong dengan tusukan pedangnya.
Akan tetapi dari samping menyambar angin dahsyat. Ternyata Kok Beng Lama sudah menggunakan kekuatan sinkang-nya untuk mendorong dari samping. Pukulan ini biar pun hanya dilakukan dari jarak jauh, tapi sedemikian hebatnya sehingga tubuh Lie Kong Tek terlempar dan pedangnya terlepas, orangnya terbanting dan pingsan!
"Mari kita pergi!" Kok Beng lama berkata.
Kun Liong memondong tubuh Giok Keng dan pergilah dia bersama Kok Beng Lama, diikuti oleh Khiu-ma dan Giam Tun dua orang pelayannya itu.
"Ayah...!"
"Ibu...! Ibu ke mana...?"
Dua orang anak kecil, Lie Song dan Lie Ciauw Si, berlari-lari keluar dari dalam rumah dan melihat ayahnya menggeletak di atas tanah di halaman depan, mereka cepat berlutut dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya sambil memanggil-manggil. Tidak lama kemudian para pelayan dan tetangga mereka berlarian keluar dan segera mengangkat tubuh Lie Kong Tek masuk ke dalam rumahnya.
Sesudah siuman dari pingsannya, Lie Kong Tek hanya menggelengkan kepala terhadap pertanyaan para pelayan dan tetangga. Dia merasa khawatir sekali terhadap keselamatan isterinya. Karena itu, setelah dia menyerahkan kedua orang anaknya dalam asuhan para pelayan, suami yang gelisah ini lalu membawa pedangnya dan berangkat menyusul ke Cin-ling-san…..!
********************
Hukum karma merupakan sebab dan akibat yang saling membelit, merupakan mata rantai atau lingkaran setan yang tidak ada habisnya jika kita melibatkan diri ke dalamnya. Suatu peristiwa yang oleh kita dianggap sebab tentu menimbulkan akibat, dan kalau kita terseret di dalamnya, akibat ini pun menjadi sebab dari akibat lain pula yang akan datang! Sebab dan akibat bersambung terus tak ada habisnya, seperti masa lalu bersambung ke masa kini memasuki masa depan, terus bersambung karena kita sendiri yang menyambungnya!
Kita sendiri yang menghubungkannya. Suatu peristiwa adalah suatu peristiwa, apakah dia menjadi sebab ataukah akibat, tergantung dari kita yang menilainya. Segala sesuatu tentu saja menjadi ada kalau kita mengadakannya, menjadi persoalan atau problem kalau kita mempersoalkannya.
Alangkah akan bahagianya kalau saja kita dapat menghadapi setiap peristiwa apa pun, menyenangkan mau pun sebaliknya, seperti apa adanya dan selesai pada saat itu juga! Bukan sebab, bukan pula akibat, melainkan hanya suatu peristiwa, suatu kejadian, suatu kewajaran yang tidak meninggalkan bekas apa-apa.
Kita sendiri yang menghubungkannya. Suatu peristiwa adalah suatu peristiwa, apakah dia menjadi sebab ataukah akibat, tergantung dari kita yang menilainya. Segala sesuatu tentu saja menjadi ada kalau kita mengadakannya, menjadi persoalan atau problem kalau kita mempersoalkannya.
Alangkah akan bahagianya kalau saja kita dapat menghadapi setiap peristiwa apa pun, menyenangkan mau pun sebaliknya, seperti apa adanya dan selesai pada saat itu juga! Bukan sebab, bukan pula akibat, melainkan hanya suatu peristiwa, suatu kejadian, suatu kewajaran yang tidak meninggalkan bekas apa-apa.
Cin-ling-san masih diliputi keadaan berkabung, masih diliputi suasana duka nestapa sejak peristiwa pencurian pedang Siang-bhok-kiam hingga kematian tujuh orang anggota Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Cia Keng Hong, pendekar sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai, bersama isterinya tinggal di Cin-ling-san dengan hati dipenuhi keprihatinan, menanti-nanti datangnya berita dari putera mereka, Cia Bun Houw, bersama empat orang murid kepala, yaitu empat orang dari Cap-it Ho-han yang melakukan penyelidikan secara terpisah, mencari Lima Bayangan Dewa yang sudah melakukan pencurian pedang dan pembunuhan itu.
Isteri ketua Cin-ling-pai itu, yang bernama Sie Biauw Eng, meski pun sudah berusia enam puluh tahun namun masih ada sisa kekerasan hatinya dan merasa tidak puas mengapa suaminya tidak bersama dia melakukan penyelidikan sendiri, namun membiarkan putera mereka yang belum berpengalaman itu pergi melakukan penyelidikan.
"Isteriku, tidak semestinya kalau kita berdua yang sudah tua mencari permusuhan," Cia Keng Hong menghibur isterinya.
"Siapa mencari permusuhan? Kita tinggal dengan tenteram di sini, orang lain yang datang membunuh anak murid kita dan mencuri pedang pusaka! Merekalah yang telah mencari permusuhan," bantah isterinya.
Cia Keng Hong menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Aku tahu, akan tetapi aku mempunyai perasaan bahwa Lima Bayangan Dewa itu tentulah ada hubungannya dengan musuh-musuh yang telah kita basmi di masa yang lalu. Kalau tidak ada dendam sakit hati, tidak mungkin mereka itu tanpa suatu sebab melakukan perbuatan keji itu. Aku sudah merasa menyesal sekali mengapa di waktu muda dahulu aku terlalu mengandalkan kepandaian, menanam bibit permusuhan dengan banyak orang sehingga kini setelah tua, aku dimusuhi orang."
"Hemm, apakah setelah tua engkau menjadi penakut?" isterinya menegur.
"Sama sekali tidak. Kalau aku seorang yang dimusuhi, hal itu sudah lumrah dan akan kuhadapi dengan tabah karena memang sudah semestinya kalau aku yang menanam dan sekarang aku pula yang memetik buahnya. Akan tetapi celakanya, murid-murid yang tidak tahu apa-apa terseret ke dalam akibat dari perbuatanku di waktu dahulu..."
"Sudahlah, suamiku, yang penting adalah bahwa kita semenjak muda dahulu sampai tua sekarang, berada di fihak yang benar! Kita membasmi orang-orang jahat, biar mereka itu akan mendendam sakit hati dan melakukan pembalasan, akan tetapi hingga mati pun kita akan terus menentang kejahatan. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang pendekar?"
Kembali ketua Cin-ling-pai itu menghela napas panjang dan mengelus-elus jenggotnya. "Memang begitulah pendirian kita. Kita selalu menganggap diri sendiri benar. Akan tetapi sayangnya, orang lain pun, termasuk orang-orang yang kita musuhi itu, juga menganggap mereka benar. Siapakah yang benar jika kedua belah fihak sudah merasakan kebenaran masing-masing? Kita semua telah terseret oleh kekacauan dunia yang melahirkan semua perbuatan yang jahat, isteriku. Tidak mungkin kejahatan di dunia ini dapat dibasmi dengan kekerasan, karena sebab-sebab timbulnya kejahatan itu masih tetap ada. Seribu macam kejahatan boleh dibasmi, akan tetapi seribu macam kejahatan yang lain lagi akan timbul, seperti halnya penyakit. Penyakit yang telah timbul dapat saja diobati dan disembuhkan, namun penyakit-penyakit lain akan bermunculan dan perang terhadap penyakit tidak akan pernah habis, seperti juga perang terhadap kejahatan. Tidak, isteriku, kejahatan tak akan pernah habis selama kejahatan itu dapat memasuki hati siapa pun juga. Yang hari ini baik mungkin besok menjadi jahat, sebaliknya yang hari ini jahat, besok mungkin menjadi baik. Kejahatan seperti penyakit, dan orang yang melakukan kejahatan seperti orang yang sedang sakit, tentu saja orang sakit bisa sembuh, sebaliknya, yang waras pun bisa saja jatuh sakit sewaktu-waktu!"
"Jadi engkau hendak mengatakan bahwa orang-orang seperti kita ini pun sekali waktu bisa saja jatuh sakit, maksudmu menjadi jahat?"
"Kenapa tidak, isteriku? Kejahatan hanya suatu penyelewengan, bukan milik orang-orang tertentu, seperti juga penyakit, siapa pun bisa saja terkena bila tidak waspada. Siapa pun bisa menyeleweng dari kebenaran kalau terdorong oleh sebab-sebab dari kejahatan."
"Dan apakah sebab kejahatan, suamiku? Engkau bicara seperti bukan seorang pendekar saja, seperti seorang pendeta!"
"Aihh, pendekar mau pun pendeta pun hanya manusia-manusia biasa saja yang tak akan terluput dari pada ancaman penyakit itu. Penyebab semua kejahatan sumbernya berada di dalam diri sendiri, isteriku, didorong oleh nafsu-nafsu berupa kebencian, kemarahan, iri hati, dendam yang kesemuanya akan menyeret kita ke dalam lembah pertentangan dan permusuhan, maka timbul perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan karena ini, oleh yang dirugikan disebutlah kejahatan. Oleh karena itu, baik dia pendekar mau pun pendeta, setiap saat dapat saja kejangkitan penyakit itu kalau dia tidak waspada setiap saat terhadap dirinya sendiri."
Percakapan mereka terpaksa berhenti pada saat seorang anak murid Cin-ling-pai dengan sikap tegang melaporkan bahwa di luar terdapat tamu-tamu yang ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai dan isterinya! Melihat sikap anak murid yang mukanya agak pucat dan sinar matanya mengandung ketegangan itu, Cia Keng Hong cepat-cepat berkata kepada isterinya,
"Mari kita keluar!"
Sie Biauw Eng sudah mengenal benar watak dan sikap suaminya, maka begitu suaminya mengeluarkan kata-kata itu, dia pun segera menjadi waspada karena tentu ada sesuatu yang menegangkan hati suaminya. Tanpa banyak cakap dia mengikuti suaminya keluar menyambut tamu yang sudah berada di ruangan depan dan agaknya sudah dipersilakan duduk oleh anak murid Cin-ling-pai yang menjaga di luar.
Begitu mereka keluar, Kun Liong telah membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng dan nyonya ini terhuyung-huyung memanggil ayah bundanya, menjatuhkan diri berlutut, dan berkata dengan suara terisak,
"Ayah... ibu... mereka telah menghinaku...!"
Melihat puterinya berlutut dan menangis, Biauw Eng menjadi kaget sekali. Nenek ini juga berlutut dan merangkul puterinya. "Keng-ji, apa yang terjadi...?" Akan tetapi Giok Keng tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena dia sudah menangis tersedu-sedu.
Cia Keng Hong yang melihat bahwa yang datang adalah Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang yang kelihatannya sebagai pelayan biasa, menjadi terkejut dan juga terheran-heran. Cepat dia menjura dengan hormat kepada Kok Beng Lama sambil berkata, "Kiranya losuhu Kok Beng Lama yang datang dan engkau Kun Liong. Agaknya ada urusan yang sangat penting sekali sehingga mengejutkan kami. Apakah yang sudah terjadi...?"
Kun Liong tak mampu menjawab. Berhadapan dengan pendekar sakti yang dihormat dan dijunjungnya tinggi itu, dia menjadi sungkan sekali sehingga tidak berani bicara. Kok Beng Lama yang berkata,
"Hemm... urusan yang amat buruk, Cia-taihiap. Harap kau tanyakan kepada puterimu itu saja."
Makin terkejutlah hati Cia Keng Hong melihat sikap Kun Liong dan mendengar jawaban Kok Beng Lama itu, maka dia pun menoleh kepada Giok Keng yang masih menangis di pundak ibunya.
"Giok Keng, apa yang sudah terjadi? Hayo jawab!" Keng Hong berkata kepada puterinya yang masih menangis.
"Ayah..." Giok Keng menjawab tanpa mengangkat mukanya dari pundak ibunya. "Mereka telah menghinaku, mereka telah menawanku dengan cara kekerasan, membawaku ke sini dengan kekerasan dan dengan paksa. Mereka menotokku dan menyeretku ke sini, ayah... mereka betul-betul telah menghinaku dan menuduh aku menjadi pembunuh...!" Giok Keng menangis lagi.
Mendengar ucapan puterinya ini, seketika Sie Biauw Eng bangkit berdiri dan melepaskan rangkulan puterinya. Mukanya menjadi merah, sepasang matanya bersinar-sinar laksana mengeluarkan api dan dia memandang berganti-ganti kepada Kun Liong dan Kok Beng Lama seolah-olah kedua orang itu hendak ditelannya.
"Keparat...!" Sie Biauw Eng sudah berseru dengan kemarahan meluap-luap. "Sungguh tak memandang sebelah mata kepada ayah dan ibu Cia Giok Keng, berani benar bersikap sewenang-wenang dan menghina anakku! Kok Beng Lama, apa artinya ini? Kun Liong, apakah engkau hendak menantang kami?" Nyonya tua itu sudah marah sekali dan kalau saja lengannya tidak dipegang oleh suaminya, agaknya dia sudah menerjang maju dan menyerang kedua orang itu.
"Supek... dan supek-bo (uwa guru)... saya... isteri saya..." Kun Liong tidak sanggup lagi melanjutkan karena dia menjadi gugup sekali.
Memang dia tahu bahwa perbuatan mereka memaksa Giok Keng ke Cin-ling-pai adalah sebuah penghinaan, akan tetapi hal itu dilakukannya untuk mencegah Kong Beng Lama membunuh Giok Keng. Memang sukar bagi dia menghadapi Kok Beng Lama yang keras hati dan kini menghadapi ibu Giok Keng yang tidak kalah galaknya.
"Hayo lekas katakan! Mengapa kalian menghina Giok Keng? Apa hubungannya dengan isterimu?" Sie Biauw Eng membentak, makin marah.
"Isteri teecu... mati terbunuh..."
Cia Keng Hong terkejut sekali mendengar itu dan mukanya berubah, pandang matanya ditujukan kepada Kun Liong dengan penuh iba dan alisnya berkerut.....