"Aku tidak biasa bicara di bawah todongan pedang. Kalau kau bicara setelah ditodong, sama artinya bahwa aku takut akan pedangmu, Li Hwa. Apa bila kau ingin membunuhku, teruskan saja tusukkan pedangmu. Mengapa ragu-ragu?"
Li Hwa merapatkan gigi dengan gemas. "Aku tahu bahwa engkau tentu sudah mengambil bokor itu dan menyembunyikannya lagi. Engkau manusia palsu dan hatimu kotor, tidak sebersih kepalamu!"
Panas rasa perut Kun Liong, akan tetapi dia menekan hatinya. "Masa bodoh, aku baru mau bicara tentang bokor kalau engkau bersikap lebih manis kepadaku. Kalau tidak, mau bunuh, mau tusuk, mau bacok, terserah!" Dia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi gadis itu!
"Bedebah! Kalau kau tidak mengaku di mana kau simpan bokor itu, kau akan kubunuh!"
"Nona Souw... nanti dulu... Yap-sicu ini..."
"Tio-lopek, harap jangan mencampuri urusan ini. Suhu sendiri yang menyerahkan tugas ini kepadaku!" Li Hwa berkata agak kaku.
Kakek itu mengangkat pundak. "Kalau begitu... aku akan membantu pasukan membasmi para pemberontak!" Setelah berkata demikian, kakek itu lantas berkelebat pergi ke medan pertempuran yang berlangsung ramai.
Mereka kini hanya berdua. Li Hwa sudah meloncat ke depan Kun Liong, mengelebatkan pedangnya. "Yap Kun Liong, kau masih keras kepala?"
"Souw Li Hwa, apa yang kau kehendaki?"
"Katakan di mana kau simpan bokor itu!"
"Simpan dulu pedangmu dan bersikaplah manis!"
"Tidak sudi!"
"Aku pun tidak sudi memberi keterangan."
"Kau menantang?"
"Kau yang keterlaluan!"
"Kubunuh kau!"
"Terserah!"
Li Hwa dengan gemas menggerak-gerakkan pedangnya. Sinar pedang bergulung-gulung menyambar ke sekeliling tubuh Kun Liong. Pemuda ini berkali-kali mendengar suara kain robek, pandang matanya kabur oleh sinar pedang dan tak lama kemudian, ketika pedang berhenti bergerak, masih tampak robekan bajunya beterbangan ke bawah ada pun tubuh atasnya sudah telanjang sama sekali!
Ternyata dara yang amat lihai ilmu pedangnya itu telah ‘mengupasnya’ bulat-bulat. Kun Liong merasa kagum sekali karena gerakan pedang tadi memang luar biasa dan sudah berhasil mengupas tubuh atasnya dengan merobek-robek bajunya tanpa sedikit pun juga mengenai kulit tubuhnya!
Akan tetapi dia menyembunyikan rasa kagumnya, bahkan tersenyum lebar dan berkata dengan nada mengejek sekali. "Nah, apakah engkau sudah puas? Lihat bentuk tubuhku, baguskah? Li Hwa, sesudah engkau melibat tubuhku tanpa tertutup baju, aku jadi ingin sekali melihat tubuhmu..."
"Plakkk!" Pipi kanan Kun Liong ditampar oleh telapak tangan kiri yang halus namun penuh terisi tenaga itu sehingga ada warna merah bekas tangan dara itu di pipi Kun Liong.
"Laki-laki ceriwis!"
"Ha-ha-ha-ha, memang aku ceriwis. Akan tetapi engkau yang sudah menelanjangi aku ini entah apa namanya. Sekali waktu akan kubalas engkau!"
"Apa? Mau membalas tamparanku?"
"Bukan. Membalas karena engkau menelanjangiku."
Sepasang mata yang bening itu terbelalak, dagu yang meruncing manis itu dijulurkan ke depan. "Kau... kau... hendak menelanjangi... bedebah, manusia kurang ajar kau!" Kembali tangan kiri Li Hwa bergerak, akan tetapi ditahannya dengan alis berkerut dan marah.
"Souw Li Hwa, engkau menelanjangiku dengan perbuatan, aku hanya dengan kata-kata dan engkau sudah mengatakan kurang ajar. Engkau sungguh terlalu dan tidak adil!"
Sejenak Li Hwa memandang pemuda itu dengan hati yang tidak karuan rasanya. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan orang seperti pemuda gundul ini yang begini berani, kurang ajar, akan tetapi juga tak dapat disangkal kebenaran ucapannya. Teringat akan bokor emas dan bahwa pemuda ini murid Bun Hwat Tosu, dia bersabar kembali dan bertanya,
"Kun Liong, jangan engkau main-main. Aku sungguh tak mengerti akan sikapmu. Engkau ini kawan ataukah lawan, engkau membela pemerintah ataukah memihak pemberontak. Sesungguhnya, di manakah adanya bokor itu?"
Kun Liong menarik napas panjang. "Nah, kalau begitu lebih baik. Kalau sikapmu ramah dan halus, maka pada wajahmu terbayang kecantikan asli dan engkau bertambah manis. Sungguh, Li Hwa. Seorang dara jelita seperti engkau ini tidak patut kalau mudah marah dan bersikap kejam. Aku akan memberi penjelasan, akan tetapi sebelumnya aku minta supaya diberi sebuah baju lebih dahulu. Aku tidak mau bicara denganmu dalam keadaan setengah telanjang begini!"
Li Hwa merapatkan giginya, akan tetapi dia kehabisan akal, tidak mau marah lagi karena memang kalau dipikir, dia telah bertindak keterlaluan dengan menghancurkan semua baju bagian atas dari tubuh pemuda itu. Dengan nyaring dia lalu memanggil seorang perwira dan memerintahkan perwira ini mengambilkan sepotong baju untuk ‘tawanan’ ini. Perwira itu memandang Kun Liong, tersenyum, lalu mengambil sepotong baju, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian pergi lagi untuk melanjutkan pertempuran yang masih terus berlangsung di luar perkampungan.
"Li Hwa, kau lepaskan dulu belenggu ini. Tanpa dilepaskan, bagaimana aku bisa memakai baju ini?"
Karena apa yang diucapkan pemuda itu memang benar, meski pun hatinya gemas bukan main, Li Hwa terpaksa membuka belenggu itu dengan kunci belenggu. Akan tetapi begitu belenggu terputus, segera tampak sinar berkilat dan pedangnya sudah menodong lagi ke lambung pemuda itu.
Kun Liong melirik pedang, memandang wajah dara itu dan tersenyum lebar, kemudian menggerakkan kedua pundak dan mengenakan pakaian itu seenaknya seperti mengulur waktu.
"Hayo, cepat!" Li Hwa menghardik.
Sesudah Kun Liong selesai mengenakan baju, kembali belenggu itu dipasangkan kepada kedua pergelangan tangannya. Kun Liong tidak membantah, bahkan memandang dengan tersenyum, seolah-olah menghadapi seorang anak yang bengal.
"Nah, sekarang katakan di mana bokor itu."
"Kalau sudah kukatakan, kau akan membebaskan aku?"
"Enak saja! Kalau aku sudah mendapatkan bokor itu, baru kau akan kubebaskan."
"Wah-wah, kalau begitu akan lama kita berkumpul. Hemm, aku senang berkumpul dengan seorang dara yang cantik menyenangkan seperti engkau, Li Hwa, heh-heh..."
"Lekas katakan di mana!" Li Hwa menghardik lagi dan kembali pedangnya sudah dicabut.
"Aduhh, galak benar kau. Bokor itu telah terampas oleh Ketua dari Kwi-eng-pang..."
"Apa? Kwi-eng Niocu?"
"Benar. Tadi ada lima orang datuk kaum sesat, lengkap dan masih ditambah empat orang kakek yang tak kukenal. Mereka mengurungku dan karena aku merasa tak sanggup untuk menghadapi mereka, terpaksa aku tidak dapat mempertahankan bokor itu dan terampas oleh Kwi-eng Niocu. Dan memang sengaja kulemparkan kepadanya."
"Kau sengaja?" Mata yang indah itu terbelalak, penuh keheranan dan kemarahan.
"Mengapa kau berikan dia?"
"Karena aku menggunakan ini!" Dengan sepasang tangannya yang dibelenggu, Kun Liong mengusap kepalanya.
"Hemm, gundul seperti itu mana ada otaknya!" Li Hwa mengomel. "Hayo katakan, kenapa kau berikan wanita iblis itu?"
"Karena di antara lima orang datuk kaum sesat itu, hanya dialah yang sudah kuketahui dengan betul sarangnya, dan selain itu, juga aku masih mempunyai perhitungan dengan dia yang telah mencuri dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai. Karena itu, biar sementara kutitipkan bokor itu kepadanya."
"Kau titipkan? Tolol! Bodoh sekali! Jika dia mengetahui rahasia bokor, celaka sekali. Aku harus cepat merampasnya kembali. Dasar kau tolol!"
"Memang aku tolol, habis mengapa?"
"Huhh!" Li Hwa mendengus, kemudian dia memanggil seorang perwira, memerintahkan perwira itu untuk mengumpulkan sepasukan kecil untuk menjaga Kun Liong.
"Jangan biarkan dia lari, kalau perlu bunuh saja!" dia memerintah.
"Wah, galaknya, Li Hwa, jangan khawatir, aku tidak akan lari darimu, apa lagi karena aku belum membalas perbuatanmu tadi." Kun Liong tertawa pada saat melihat belasan orang prajurit pemerintah mengepungnya dan menjaganya dengan senjata terhunus.
Wajah Li Hwa menjadi merah sekali karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Kun Liong dengan pembalasan itu, maka tanpa bicara lagi dengan pedang terhunus di tangan dia sudah berlari cepat ke arah pertempuran untuk membantu pengawal Tio Hok Gwan bersama pasukannya membasmi pemberontak, dan hal ini tidak sulit karena pemberontak telah mulai terdesak dan sudah ada yang melarikan diri.
Ketika Li Hwa meninggalkan pasukannya yang tadinya mengalami kekalahan, di tengah jalan dia bertemu dengan pengawal tua pengantuk yang lihai itu bersama pasukannya, maka dia lalu mendapat bantuan dan bersama-sama pasukannya yang menanti, mereka kemudian menyerbu perkampungan pemberontak dan sekali ini, karena jumlah pasukan pemerintah lebih besar, mereka berhasil mendesak kaum pemberontak yang dibantu oleh orang-orang asing itu.
Karena kini jumlah pasukan pemerintah lebih banyak, terutama sekali karena amukan Tio Hok Gwan dan Souw Li Hwa, maka perang itu tak berlangsung terlalu lama dan pasukan pemberontak dipukul hancur, banyak jatuh korban, banyak para pimpinan pemberontak ditawan dan banyak pula yang melarikan diri, termasuk Hendrik. Perkampungan nelayan yang dijadikan sarang pemberontak itu dapat direbut dan Li Hwa segera bersama Tio Hok Gwan mengerahkan pasukan mengadakan pembersihan dan mengumpulkan tawanan di sebuah pondok besar dan dijaga ketat.
Sesudah perang selesai dan anak buahnya sibuk mengurus korban, karena pakaiannya kotor ternoda darah musuh dan tubuhnya terasa lelah, Li Hwa lalu pergi ke sebuah tempat sunyi yang terlindung oleh tebing-tebing batu dan pepohonan. Dia menanggalkan semua pakaiannya yang kotor dan menaruh pakaian bersih pengganti di tepi sungai, kemudian dia terjun ke air sungai yang amat tenang dan cukup jernih di bagian itu.
Sambil berendam di air yang sejuk sedalam pinggang, Li Hwa mencuci seluruh tubuhnya, merasa segar dan gembira sekali. Akan tetapi sambil menggosok-gosok tubuhnya, dara ini termenung dan alisnya berkerut ketika dia teringat akan semua yang terjadi selama beberapa hari ini. Di depan matanya terbayang wajah tiga orang pemuda yang sangat mengesankan hatinya dan yang menimbulkan bermacam perasaan.
Wajah Hendrik yang telah menawannya serta menciumnya dengan paksa, mendatangkan perasaan benci yang amat besar dan diam-diam mengharapkan agar pemuda asing yang dibencinya itu tewas dalam perang atau setidaknya berada di antara para tawanan!
Wajah ke dua adalah wajah Yuan de Gama, pemuda asing yang telah menolongnya dan teringat akan Yuan, kedua pipi Li Hwa menjadi merah. Yuan juga menciumnya, mencium mulutnya dengan sangat mesra, akan tetapi bukan mencium dengan paksa atau sengaja untuk berbuat kurang sopan, tapi ciuman untuk menghindarkan kecurigaan para penjaga, ciuman untuk menolongnya dan membebaskannya. Dan entah mengapa, teringat akan ini Li Hwa merasa malu sekali, jantungnya berdebar aneh dan ada keinginan mendesak di hatinya, keinginan untuk bertemu lagi dengan Yuan de Gama!
Wajah ke tiga adalah wajah seorang pemuda berkepala gundul, Yap Kun Liong. Wajah ini menimbulkan kegemasan dalam hatinya, geram kecewa, akan tetapi juga kagum. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan dua orang pemuda seperti Yuan de Gama dan Yap Kun Liong.
Bila teringat akan bokor emas, hatinya menjadi makin gemas kepada Kun Liong. Celaka benar pemuda itu. Bokor telah didapat, malah diserahkan kepada Kwi-eng Niocu!
Dia ingin sekali mendapatkan bokor emas itu. Dia tahu alangkah akan gembiranya hati gurunya, Panglima Besar The Hoo kalau saja dia dapat menyerahkan bokor itu kepada gurunya. Gurunya merupakan satu-satunya orang di dunia ini yang sangat dihormatinya, pengganti orang tuanya yang telah tiada.
Li Hwa sudah menjadi seorang yatim piatu karena ayah bundanya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lampau. Ayahnya, Souw Bun Hok, bekas juru mudi suhu-nya, telah meninggal lebih dulu tujuh tahun yang lalu. Kemudian ibunya terserang penyakit menular, meninggal dua tahun yang lalu. Karena dia tidak mempunyai keluarga lain, maka hanya Panglima The Hoo, gurunya itulah yang menjadi pengganti orang tuanya.
Bahkan kini dia meninggalkan rumah orang tuanya di Liok-ek-tung, diminta oleh suhu-nya untuk tinggal di istana panglima itu, sebagai murid, juga seperti anak sendiri oleh karena suhu-nya tidak mempunyai anak. Tentu saja dia ingin menggembirakan hati gurunya yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri itu. Celakanya, semua menjadi gagal karena ketololan Kun Liong!
Memang The Hoo yang tidak mempunyai anak merasa amat suka kepada muridnya ini. Semenjak kecil, Li Hwa yang mempunyai bakat dan tulang baik itu sudah diambil murid oleh The Hoo. Biar pun orang sakti ini tidak sempat menurunkan seluruh kepandaiannya yang tinggi dan hanya di waktu dia datang ke rumah juru mudinya saja dia mengajar Li Hwa, namun dara ini sudah memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, terutama sekali Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat yang menggunakan tenaga Im-yang Sinkang dan yang lebih menakutkan lawannya adalah ilmunya It-ci-san, yaitu ilmu menotok yang lihai.
Ketika melihat betapa dara itu ditinggal mati ayah bundanya, The Hoo merasa semakin kasihan dan memanggil muridnya untuk tinggal di kota raja, di dalam istananya. Di tempat ini, selain menjadi pengurus rumah tangga gurunya, mengepalai semua pelayan dalam, juga kadang-kadang Li Hwa mewakili gurunya dalam urusan besar seperti menumpas kaum penjahat dan pemberontak.
Pada waktu The Hoo menerima laporan dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong mengenai pemberontakan yang timbul di Ceng-to, dia lalu mengerahkan tenaga para pembantunya, bahkan Li Hwa sendiri disuruh mengepalai pasukan untuk mengadakan pembersihan di sepanjang Sungai Huang-ho! Tio Hok Gwan, pengawal kepala yang sangat lihai itu pun mengepalai pasukan, sedangkan pasukan besar yang menyerbu ke Ceng-to, di samping dipimpin panglima-panglima perang yang berpengalaman, juga dibantu oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri atas permintaan Panglima Besar The Hoo!
Sambil mandi membersihkan tubuhnya, Li Hwa mengenangkan ini semua, dan dia pun menjadi kecewa karena gagal mendapatkan bokor emas. Dia bermaksud untuk memimpin pasukannya untuk menyerbu ke Telaga Kwi-ouw, hendak menyerang Kwi-eng-pang untuk merampas kembali bokor emas, ada pun para tawanan pemberontak akan dia serahkan kepada Tio Hok Gwan agar digiring ke kota raja sebagai tawanan perang.
Suara orang berdehem membuat Li Hwa terkejut sekali. Dia menoleh dan...
“Ihhh...!" Dara itu langsung menjerit ketika melihat Kun Liong si kepala gundul telah duduk metongkrong di atas sebuah batu di pinggir sungai, dekat tumpukan pakaian Li Hwa!
"Heh-heh-heh, indah dan sedap sekali pemandangan di sini!" Kun Liong berkata ke arah punggung Li Hwa yang putih mulus itu.
"Bedebah! Setan iblis siluman keparat kau, Kun Liong!" Li Hwa menjerit-jerit sambil cepat merendam tubuhnya semakin dalam. Dia berjongkok di dalam air sehingga air sampai ke lehernya, barulah dia berani memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan.
Yang dimarahi tersenyum-senyum lebar, menggerak-gerakkan alis dan matanya seperti orang tidak mengerti. "Lho, mengapa marah-marah tidak karuan? Apa salahku sekali ini, Nona manis?"
"Yap Kun Liong manusia cabul! Hayo lekas pergi kau, kalau tidak... hemmmm... aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!"
"Heh-heh-heh..." Kun Liong terkekeh dan menjadi makin gembira. Kini dia merasa dapat membalas dendam terhadap dara yang sudah beberapa kali menghinanya itu. "Engkau memang seorang dara yang jelita, manis dan galak, dan engkau memang juga menjadi pemimpin pasukan. Akan tetapi aku belum mendengar bahwa kau telah menjadi siluman penunggu Sungai Huang-ho."
"Apa... apa maksudmu?" Li Hwa membentak dengan kedua tangan sibuk menutupi dada, seakan-akan air yang menutupi dadanya itu masih belum cukup untuk menyembunyikan bagian tubuh ini dari pandang mata Kun Liong yang tajam.
"Kau mengusir aku pergi seolah-olah tempat ini menjadi hakmu, maka agaknya engkau telah menjadi siluman penunggu sungai maka kau menghaki tempat ini dan mengusir aku pergi!"
"Jahanam kau! Sengaja mengintai orang mandi, ya? Tak tahu malu! Cihhh, laki-laki mata keranjang, cabul, muka tembok!"
"Ha, hendak kulihat siapa yang lebih kuat bertahan. Kau yang memaki-maki di sana atau aku yang duduk di sini. Aku akan duduk di sini selama engkau masih memaki-maki aku."
Kun Liong duduk seenaknya dan kini dia mengambil baju Li Hwa, mempermainkan baju itu sambil mengomel, "Bagaimana ya rasanya kalau baju dirobek-robek orang?" Dan dia membuat gerakan seperti hendak merobek-robek baju itu.
"Kun Liong keparat kau! Jangan robek-robek bajuku!" Saking marahnya, Li Hwa sampai lupa diri, bangkit berdiri sehingga tubuh bagian atasnya tampak.
Lengan kirinya dilingkarkan sebisanya untuk menutupi dadanya yang membusung, tangan kanannya menuding ke arah Kun Liong di sebelah belakangnya dengan marah. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa.
"Sabar Nona manis, aku tidak merobek bajumu. Aku hanya ingin melihat tubuhmu seperti kau telah melihat tubuh. Duhaiii... indahnya, halusnya... hemmm..."
"Cluppp...!" Li Hwa sudah berjongkok lagi.
"Kun Liong... jangan... jangan kau goda aku begini..." Dia hampir menangis, kedua pipinya kemerahan. Amarahnya yang memuncak masih kalah oleh rasa malu dan bingungnya.
"Siapa menggoda siapa? Kau merobek-robek bajuku dengan sengaja, kau pun menampar pipiku, kau juga membelenggu tanganku. Apa saja yang tidak kau lakukan terhadapku? Dan aku datang bukan sengaja menelanjangimu, kau bertelanjang sendiri, tidak ada yang menyuruhmu. Siapa menggoda?"
"Kun Liong... demi Tuhan! Kasihanilah aku, pergilah kau... biarkan aku berpakaian lebih dulu..."
"Kau mau berpakaian? Siapa yang melarang? Nah, berpakaianlah!" Kun Liong kembali mengulurkan kedua tangannya yang memegang baju sambil tersenyum mengoda, penuh kegembiraan, matanya bersinar-sinar, mukanya berseri dan diam-diam dia kagum bukan main karena baru sekarang dia melihat keindahan tubuh seorang dara, biar pun ditutup-tutupi akan tetapi menambah keindahan yang melampaui apa yang pernah diimpikannya itu.
"Lemparkan pakaianku ke sini!" Li Hwa berteriak.
Kun Liong menggelengkan kepala dan kembali duduk di atas batu. "Tidak, kau harus mengambilnya ke sini."
"Kun Liong, tidak malukah kau dengan perbuatanmu ini? Kau tidak sopan, kau cabul!"
"Heh-heh, apanya yang cabul? Aku tak berniat menjamahmu, tak berniat menggagahimu. Aku hanya ingin melihat dan mengagumi keindahan tubuhmu, seperti engkau yang sudah melihat dan menghina keburukan tubuhku. Nah, apa salahnya?"
"Kun Liong, aku... aku malu sekali. Pergilah kau lebih dahulu. Atau kau berpaling, jangan menghadap ke sini. Setelah aku berpakaian, baru kita bicara."
Kun Liong tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya yang gundul. Kemudian dia bersenandung! Rantai yang membelenggu dua tangannya dipukul-pukulkan ke atas batu sehingga menimbulkan suara berdencing dan berirama mengikuti suara senandungnya.
Li Hwa masih berjongkok. Kedua pipinya basah, akan tetapi Kun Liong mengira bahwa yang membasahi pipi itu adalah air sungai. Dia belum tahu bahwa sebetulnya sudah ada beberapa butir air mata yang meloncat turun dari sepasang mata yang kebingungan dan kehabisan akal itu.
Betapa pun lihainya Li Hwa, betapa pun galaknya dia, dalam keadaan bertelanjang bulat di dalam air dan pakaiannya dikuasai oleh Kun Liong, membuat gadis ini sama sekali kehabisan akal dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanya memaki-maki dan menangis! Akan tetapi, dia tahu bahwa memaki-maki tidak ada gunanya, sedangkan untuk terang-terangan menangis, dia tidak sudi!
Kini Kun Liong bernyanyi! Suaranya memang cukup merdu, karena sejak kecil dia gemar bernyanyi, dan dia menguasai lagu nyanyian itu, tidak sumbang.
“Sang Dewi mandi di telaga
duhai cantik jelita
perawan remaja!”
duhai cantik jelita
perawan remaja!”
"Kun Liong, lemparkan pakaianku ke sini!" Li Hwa kembali menjerit.
“Rambutnya awan tipis di angkasa
matanya sepasang bintang bercahaya
dagu dan lehernya... amboiii…!”
matanya sepasang bintang bercahaya
dagu dan lehernya... amboiii…!”
"Kun Liong, kasihanilah aku...!"
“Tubuhnya batang pohon yangliu
penuh lekuk lengkung sempurna
kulitnya lilin putih diraut...”
penuh lekuk lengkung sempurna
kulitnya lilin putih diraut...”
"Kun Liong...!"
"Hidung mancung bibir...
haiii... gendewa terpentang...
dadanya..."
haiii... gendewa terpentang...
dadanya..."
"Kun Liong!"
"Dadanya... wah, dadanya..."
"Kun Liong..."
Pemuda itu terkejut karena panggilan ini disertai isak. Dia memandang penuh perhatian dan melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata itu. Dara itu menangis!
"Datanglah seorang penggembala
melarikan pakaian Si Juwita
menangislah perawan remaja..."
melarikan pakaian Si Juwita
menangislah perawan remaja..."
Tangis Li Hwa makin mengguguk. Dengan tubuh terendam air sampai ke leher, dara itu menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya.
"Li Hwa, jangan menangis. Aku hahya main-main... wah, maafkan aku. Jangan menangis, tak tahan aku melihatnya. Nah, ini pakaianmu. Aku akan berdiri membelakangimu kalau kau malu. Padahal tidak semestinya malu. Kalau saja aku memiliki tubuh seperti engkau, hemmm... sebaliknya dari pada malu, aku malah akan merasa bangga sekali, Li Hwa."
Melihat pemuda itu sudah berdiri membelakanginya, Li Hwa melangkah keluar dari air, matanya tidak pernah berkejap memandang punggung pemuda itu dan untuk mencegah pemuda itu menoleh, dia cepat berkata sambil menyambar pakaiannya. "Jadi engkau menjadi penggembala itu?"
"Heh-heh!" Kun Liong terkekeh dan mengangguk.
"Pantas kau berbau kerbau." Li Hwa berkata asal saja, sebab maksudnya untuk menarik perhatian Kun Liong agar jangan menoleh sebelum dia selesai berpakaian.
Akan tetapi karena tergesa-gesa, kedua tangannya menggigil dan dia menjadi panik. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa betapa sukarnya berpakaian! Seolah-olah pakaian itu membantu Kun Liong menggodanya, mencekik di bagian leher, buntu ketika dimasuki kaki tangannya.
"Sudah selesaikah?" Kun Liong bertanya.
"Nanti dulu...!"
Akan tetapi dengan ketajaman pendengarannya, Kun Liong maklum bahwa dara itu telah selesai mengenakan pakaian dalamnya, maka dia lalu memutar tubuhnya. Dengan penuh kagum dia memandang dara yang kini sudah memakai pakaian dalam yang serba ketat dan berwarna merah muda itu.
"Betapa cantiknya engkau, Li Hwa..."
Li Hwa semakin panik. Dia membalikkan tubuh dan karena paniknya, dia mengenakan pakaian luarnya dengan terbalik! Setelah selesai, dia melibat Kun Liong tertawa bergelak, maka marahlah dia.
"Jahanam keparat!"
"Ha-ha-ha, pakaian luarmu terbalik. Ho-ho, lucunya! Jahitannya di luar... eh, lucu benar... ha-ha-ha!"
Li Hwa memandang pakaiannya dan merapatkan giginya ketika melihat bahwa pakaian luarnya benar-benar terbalik. "Hihhh... kubunuh kau...!" gerutunya.
Pakaian luarnya direnggutnya terlepas lagi, kini saking marahnya tidak peduli lagi kepada Kun Liong, tidak membalikkan tubuh sehingga Kun Liong dapat menikmati tubuh depan yang hanya tertutup oleh pakaian dalam yang tipis merah muda itu. Setelah mengenakan pakaian luarnya, Li Hwa lalu menggelung rambutnya dan memandang Kun Liong dengan mata bernyala.
Kun Liong amat terpesona. Baru sekarang dia melihat seorang dara menggelung rambut di depannya. Gerakan kedua tangan, sepasang lengan diangkat di atas kepala. Betapa manisnya!
"Li Hwa, tahukah engkau akan dongeng penggembala dan puteri yang mandi? Setelah Si Penggembala melarikan pakaian Si Puteri, puteri itu menangis, Si Penggembala merasa kasihan, mengembalikan pakaian dan akhirnya mereka... kawin!"
"Kau... kau...!" Muka Li Hwa merah sekali.
"Aahh, jangan marah, Li Hwa. Penggembala itu mengawini Si Puteri Mandi, akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mengawinimu. Tidak, kita tidak akan menjadi suami isteri seperti mereka."
Alangkah kaget dan heran hati Kun Liong ketika dia melihat betapa kata-katanya ini malah membuat dara itu marah bukan main. Li Hwa melangkah maju dan dengan kedua mata berapi-api dia berkata,
"Kun Liong, penghinaanmu kepadaku sudah tiada taranya dan hanya bisa ditebus dengan nyawa! Biar pun engkau mencurigakan dan mungkin bersekutu dengan pemberontak, dan walau pun engkau sudah berkhianat dengan menyerahkan bokor kepada Kwi-eng Niocu, namun mengingat engkau murid Bun Hwat Tosu, aku masih segan untuk membunuhmu dan akan menyerahkanmu kepada Suhu. Akan tetapi, penghinaan-penghinaan yang kau lakukan kepadaku merupakan urusan kita pribadi dan harus diselesaikan sekarang juga!"
"Aihh, Li Hwa. Apa maksudmu?"
"Aku tahu bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian dan sebagai murid Bun Hwat Tosu, kiranya engkau tidak diajarkan menjadi seorang pengecut oleh kakek terhormat itu. Mungkin engkau bukanlah pemberontak, akan tetapi yang jelas, engkau sudah bersikap kurang ajar dan menghinaku. Mari kita bereskan persoalan antara kita dengan mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku berjanji tidak akan menawanmu lagi dan bokor itu akan kucari sendiri."
"Kalau aku yang kalah?"
"Engkau harus berlutut minta ampun atas kekurang ajaranmu, selanjutnya menurut segala kehendakku tanpa membantah, atau kau akan kubunuh."
"Hemm, keputusan yang adil juga. Dan memang aku mempunyai banyak urusan sehingga sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat ini. Engkau tentu akan merasa penasaran kalau belum berhasil memukul jatuh aku, meski pun kau sudah beberapa kali menampar dan memaki. Nah, aku sudah siap!" Kun Liong bangkit berdiri lalu meloncat ke belakang, ke tempat yang datar.
Li Hwa segera menyusul dengan loncatan ringan, akan tetapi dara ini tidak mencabut pedangnya yang sudah diikat pada punggungnya. Bahkan dia tidak menyerang, hanya memandang pemuda gundul itu, kemudian berkata, "Dekatkan kedua tanganmu, akan kubuka dulu belenggumu."
Akan tetapi Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Biarlah, Li Hwa, kukira hal itu tidak perlu."
"Hemm, kau kira aku berwatak pengecut hendak melawan orang yang kedua tangannya terbelenggu? Akan kubebaskan dulu kau."
"Tidak usah, aku dapat membebaskan kedua tanganku sendiri." Kun Liong menggerakkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Krekkrekkk...!" belenggu kedua tangannya itu patah-patah!
Li Hwa memandang dengan kaget dan kagum, akan tetapi juga marah sekali karena dia tahu bahwa selama ini, Kun Liong sengaja membiarkan dirinya ditawan dan dibelenggu sehingga diam-diam tentu mentertawakannya dan hal itu sama dengan mempermainkan dirinya.
"Bagus! Sekarang tidak perlu kau berpura-pura lagi. Sambutlah!"
Li Hwa langsung menerjang maju, gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung walet menyambar, tangan kirinya menampar ke arah ubun-ubun kepala lawan sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat serta berbahaya karena selain cepat, juga mengandung hawa pukulan yang antep dan kuat. Tidaklah mengherankan karena memang dia telah mengeluarkan jurus ampuh dari Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga sakti Im-yang Sinkang.
"Hayaaaaa...!"
Kun Liong terkejut sekali, cepat-cepat membuang tubuh ke kanan untuk menghindarkan tamparan, lantas lengan kirinya menangkis cengkeraman tangan kanan lawannya yang lihai.
Akan tetapi, begitu jurus pertama gagal, dengan kecepatan mengagumkan Li Hwa sudah menerjang dengan jurus susulan yang lebih ampuh lagi. Gerakan dara ini memang gesit sekali dan ilmu silat yang dimainkannya adalah limu silat tinggi yang dipelajarinya dari gurunya, The Hoo yang sakti, maka tentu saja semua serangannya merupakan serangan maut yang berbahaya.
Kun Liong tidak sempat main-main lagi karena dia pun maklum bahwa tingkat kepandaian dara ini sudah sangat tinggi sehingga sekali saja dia terkena cium tangan dara itu, belum tentu kekebalannya akan dapat melindunginya baik-baik. Maka dia pun lalu mengimbangi semua terjangan dara itu dengan permainan Ilmu Silai Pat-hong Sin-kun.
Dia sengaja memilih Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) ini karena ilmu inilah yang paiing cepat gerakannya di antara semua ilmu yang diketahuinya dan paling tepat untuk mengimbangi gerakan Li Hwa yang demikian gesitnya. Betapa pun juga, dia terus terdesak karena memang Kun Liong tidak pernah dan tidak mau membalas, hanya menjaga diri dengan elakan dan tangkisan.
Setelah lewat lima puluh jurus belum juga dapat merobohkan lawan, apa lagi merobohkan bahkan satu kali pun belum pernah dia dapat memukul tubuh Kun Liong, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah membalas serangannya, Li Hwa menjadi terkejut, heran, kagum dan juga penasaran! Dia sudah menduga bahwa sebagai murid Bun Hwat Tosu, pemuda gundul itu tentu memiliki kepandaian tinggi sekali. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan dapat melawannya tanpa balas menyerang sama sekali, padahal dia sudah mempergunakan seluruh sinkang dan ginkang yang dilatihnya bertahun-tahun, dan mainkan Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat ciptaan suhu-nya yang amat dahsyat!
Sebenarnya tidak mengherankan kalau saja Li Hwa mengetahui bahwa selain menerima latihan dari Bun Hoat Tosu yang sakti selama lima tahun, lawannya juga telah digembleng secara hebat di dalam kamar rahasia oleh tokoh utama Siauw-lim-pai, yaitu Tiong Pek Hosiang! Dari kakek luar blasa ini, selain ilmu-ilmu khusus seperti Im-yang Sin-kun dan Pek-in Ciang-hoat, juga Kun Liong telah digembleng dengan ilmu yang menjadi inti sari dari semua ilmu Siauw-lim-pai, yaitu Ilmu Mukjijat I-kin-keng!
I-kin-keng adalah ilmu silat mukjijat yang dulunya diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, pendiri Siauw-lim-pai. Mula-mula I-kin-keng diajarkan oleh Tat Mo Couwsu untuk mendatangkan kesehatan dan kekuatan kepada para pendeta yang menjadi muridnya ketika dia melihat murid-murid ini lesu dan mengantuk selagi mendengarkan pelajaran kebatinan. Maklumlah Tat Mo Couwsu betapa pentingnya olah raga untuk menjaga kesehatan para pendeta itu, maka mulailah Tat Mo Couwsu mengajarkan olah raga yang dinamakan I-kin-keng dan yang harus dilatih oleh semua anak murid setiap pagi.
Pada mulanya, hanya ada dua belas gerakan atau jurus saja yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, akan tetapi kedua belas jurus ini kemudian berkembang biak menjadi delapan belas, bahkan kemudian oleh pendeta Chueh Yuan dikembangkan menjadi tujuh puluh dua jurus, yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai.
Kemudian, bersama-sama dua orang kakek sakti yang bemama Li Cheng dan Pai Yu Feng dari Kansu dan Shansi, Chueh Yuan mengembangkan lagi, dari tujuh puluh dua jurus menjadi seratus tujuh puluh gerakan. Semua ini dibagi menjadi lima kelompok yang disebut Gaya Naga, Gaya Harimau, Gaya Macan Tutul, Gaya Ular dan Gaya Bangau. Gaya Naga Melatih Semangat, Gaya Harimau Melatih Tulang, Gaya Macan Tutul Melatih Kekuatan, Gaya Ular Melatih Khikang, Gaya Bangau Melatih Otot.
Oleh Tiong Pek Hosiang Kun Liong telah digembleng dengan I-kin-keng yang asli hingga selain tubuhnya kuat, juga dia mempunyai kecepatan yang didasari khikang dan ginkang. Oleh karena inilah, meski pun Li Hwa adalah murid The Hoo yang sakti, dia tetap dapat mengimbangi gerakan dara itu.
Apa bila dibuat perbandingan, meski pun gerakan Li Hwa kelihatan lebih lincah dan indah, tetapi dia kalah gemblengan! Kun Liong terus-menerus digembleng oleh dua orang kakek sakti selama sepuluh tahun, ada pun Li Hwa hanya kadang-kadang saja bertemu dengan gurunya yang mempunyai kedudukan tinggi dan tugas yang amat berat dan banyak. Apa lagi karena berhubung dengan tugasnya, The Hoo sering kali mengadakan pelayaran ke negeri-negeri jauh di seberang lautan sehingga Li Hwa harus berlatih sendiri.
Saking merasa penasaran dan marah, Li Hwa mengeluarkan lengking panjang kemudian dia menyerang dengan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu ilmu It-ci-san yang ampuh. It-ci-san ialah ilmu tiam-hiat-hoat (menotok jalan darah) menggunakan sebuah jari, hebat bukan main karena dengan totokan satu jari ini dia dapat merobohkan orang, bahkan jika mengenai sasaran jalan darah kematian, dapat mendatangkan maut. Dua tangan yang mungil itu kini seakan-akan memegang senjata yang amat ampuh dan berbahaya, dan tusukan-tusukannya sampai mengeluarkan desir angin dingin!
"Waduhhh, kau memang hebat, Li Hwa...!"
Li Hwa tidak mempedulikan pujian Kun Liong yang terus mengelak ke sana-sini, dia tetap mengejar dan mengambil keputusan untuk merobohkan lawan dengan cara apa pun juga, karena kalau tidak, dia tidak akan berhenti merasa penasaran sekali.
"Plak-plak-plak!"
Bertubi-tubi datangnya serangan totokan Li Hwa, akan tetapi semua dapat ditangkis oleh Kun Liong. Sekali ini pemuda itu mengerahkan sinkang-nya sehingga kedua tangannya mengandung tenaga Pek-in Ciang-hoat. Uap putih mengepul dari dua telapak tangannya sehingga ketika dia menangkis, tubuh Li Hwa segera terdorong ke belakang dan hampir terjengkang.
"Aihhh...!" Li Hwa menjadi marah sekali.
"Singgg...!" Dia sudah mencabut pedang.
"Nah, ini dia... dia lari ke sini...!"
Lima belas orang prajurit bermunculan dan serta-merta mengepung dan mengeroyok Kun Liong. Mereka adalah orang-orang yang tadi ditugaskan untuk menjaga Kun Liong ketika Li Hwa pergi mandi. Melihat mereka, timbul rasa gemas di hati dara itu dan dia bertanya kepada perwira yang memimpin pasukan kecil itu.
"Bagaimana dia sampai dapat lolos?"
"Maaf, Lihiap. Dia bilang ingin kencing, maka terpaksa kami antar ke pinggir sungai, dan tiba-tiba dia meloncat ke atas pohon, ketika kami mencarinya, dia telah lenyap. Tahu-tahu berada di sini dan untung ada Lihiap yang menahannya..."
"Sudahlah, kalian semua tolol!" Li Hwa membentak dan dengan hati kesal dia menyimpan kembali pedangnya.
Dia merasa malu apa bila harus mengeroyok, bahkan dia harus mengakui bahwa dalam pertandingan tadi, walau pun dia tidak sampai roboh, akan tetapi terang bahwa dia kalah lihai oleh Kun Liong. Jika tadi dia mencabut pedang hanya karena dorongan amarahnya, akan tetapi setelah dia menyadari bahwa dia tidak akan mampu menang, dia pun teringat janjinya untuk membebaskan Kun Liong, maka dia menyimpan pedangnya dan tidak mau ikut mengeroyok.
Sesudah Li Hwa tidak menyerangnya, legalah hati Kun Liong. Biar pun kini ada lima belas orang prajurit yang mengeroyok dirinya dengan bermacam senjata, dengan enak saja dia dapat mengelak ke sana sini, meloncat tinggi melampaui kepala mereka, turun ke depan Li Hwa, menjura dan berkata,
"Terima kasih atas kebaikanmu, Li Hwa. Kulihat Yuan de Gama itu amat baik terhadapmu akan tetapi hati-hatilah terhadap Hendrik. Nah, selamat tinggal dan sampai jumpa pula!"
Sesudah berkata demikian, melihat para prajurit sudah mengejarnya lagi, Kun Liong lalu melompat jauh dan lari dari tempat itu.
Para prajurit mengejar, akan tetapi Li Hwa lalu kembali ke perkampungan pemberontak yang telah mereka duduki. Dia bertemu dengan Tio Hok Gwan yang mengatakan bahwa lebih dari lima puluh orang pemberontak tertawan, termasuk lima orang asing.
"Apa yang harus kita lakukan dengan mereka?" Tio Hok Gwan bertanya. "Jumlah mereka terlalu banyak dan kiranya hanya akan mendatangkan kesukaran saja bagi kita."
"Habis, apakah kita harus membunuh mereka begitu saja?" Li Hwa berkata, "Tio-lopek, tawanan tetap saja tawanan apa lagi kalau diingat bahwa mereka itu pun adalah prajurit-prajurit pemerintah. Jika mereka dapat diinsyafkan, tentu mereka tidak akan melanjutkan penyelewengan. Sebaiknya Lopek memimpin sebagian pasukan Lopek untuk mengawal para tawanan ke kota raja. Terserah bagaimaria keputusan pengadilan di kota raja. Ada pun aku sendiri akan memimpin pasukan untuk mengejar orang yang sudah merampas bokor emas."
"Hehh? Siapa dia?"
"Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang." Li Hwa lalu menceritakan pengakuan Kun Liong tentang bokor yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu.
"Memang bokor itu harus cepat dikejar dan dirampas kembali," berkata kakek pengantuk yang lihai ini, "Akan tetapi amatlah berbahaya kalau kau mengejar ke sana, Nona Souw, Kwi-eng Niocu lihai bukan main, anak buahnya juga banyak, belum lagi dengan adanya Siang-tok Mo-li yang juga tinggal di Kwi-ouw."
"Aku tahu, Lopek. Aku pun tidak akan bertindak sembrono. Apa bila Lopek sudah selesai mengawal tawanan sampai ke kota raja, Lopek dapat segera menyusulku dan membantu pencarian kembali bokor yang terampas oleh mereka."
Terpaksa kakek itu setuju dan Li Hwa lalu memasuki tempat tawanan. Ketika dia sedang berjalan-jalan memeriksa, di sudut terdengar ribut-ribut.
"Manusia biadab, apa engkau sudah bosan hidup? Kubunuh engkau!" seorang penjaga berteriak marah sambil mengacungkan goloknya di luar sebuah kerangkeng tahanan.
"Hemmm, mau bunuh boleh saja. Siapa yang takut mati? Sesudah aku berada di dalam cengkeraman kalian, memang mati hidupku terserah kepada kalian. Akan tetapi jangan mengira bahwa sesudah tertawan aku boleh diperlakukan sembarangan saja! Aku bukan anjing dan aku tak sudi makan makanan anjing!" Terdengar suara berkerontangan ketika piring dilempar ke luar dari tempat tahanan itu.
"Bedebah, mampuslah engkau!" Penjaga yang marah itu hendak membacok ke dalam kerangkeng.
"Tahan...!" Li Hwa meloncat dan memegang lengan penjaga itu, kemudian mendorongnya mundur. Penjaga yang marah-marah itu penasaran, akan tetapi tidak berani membantah dan segera pergi ketika Li Hwa menyuruhnya.
Ketika mendengar suara tawanan yang menolak makanan tadi, seperti telah diduga oleh Li Hwa, ketika dia tiba di depan kerangkeng, dia melihat Yuan de Gama berdiri di sana dengan sikap angkuh! Dada pemuda asing yang tampan itu terluka, dan lukanya dibalut dengan robekan bajunya sendiri.
Tubuh atasnya tidak berbaju, telanjang memperlihatkan kulit yang putih kemerahan, dada yang bidang dan terhias bulu-bulu pirang yang lembut. Kedua lengannya berotot dan di lehernya masih terbelit kain leher, tubuh bawahnya memakai celana dengan sabuk kulit. Rambutnya yang pirang itu masih rapi, matanya penuh semangat, mata yang warnanya biru itu memandang tajam dan dengan sikap angkuh melirik ke arah Li Hwa.
Akan tetapi begitu dia mengenal gadis itu, sikap angkuhnya lantas berubah. Kedua lengan yang tadinya bersedakap dengan sikap tak acuh segera dilepaskan dan dia membalikkan tubuh memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan bibir membentuk senyum. Dagu yang terbelah dua itu bergerak-gerak menandakan bahwa perasaannya bergelora ketika dia bertemu dengan dara ini.
"Nona Souw...! Ahh, betapa gembira hatiku melihat nona dalam selamat dan tidak terluka dalam perang yang dahsyat itu."
Kedua pipi Li Hwa menjadi merah. Alangkah anehnya pemuda asing ini, dalam keadaan terluka dan tertawan masih menyatakan kegembiraannya bahwa dirinya selamat! Padahal dialah yang memimpin pasukan yang menghancurkan pemberontakan dan yang sudah menawan pemuda itu.
"Kau... kau terluka...!" Li Hwa melirik ke arah dada yang terbalut itu, akan tetapi segera mengalihkan pandangan. Tidak kuat dia terlalu lama memandang dada telanjang yang terhias bulu pirang halus itu.
"Aku...? Ahh, hanya terluka sedikit. Kau hebat sekali, Nona. Baru saja dikalahkan, tetapi sudah cepat sekali dapat menyusun kekuatan dan sebaliknya menghancurkan kami. Aku benar-benar kagum!" Sepasang mata biru itu benar-benar memandangnya penuh kagum, tanpa disembunyikan lagi penuh kagum dan penuh sayang yang dirasakan benar oleh Li Hwa, membuat dia makin tertunduk dengan hati bingung.
"Mengapa kau menolak makanan? Dalam keadaan seperti ini, menyesal sekali kami tidak dapat menyediakan hidangan yang lebih baik."
Muka pemuda itu menjadi merah dan dia kelihatan tersipu malu, kemudian menjawab, "Maafkan aku Nona. Sebetulnya bukan hidangannya yang menjadi soal, akan tetapi ada dua hal yang membuat aku sengaja bersikap buruk menolak makanan. Pertama, karena sikap para penjaga yang amat menghina sehingga aku lebih senang kelaparan dari pada menerima hidangan seperti orang memberi kepada anjing. Dan ke dua, dalam keadaan tertawan dan tidak berdaya seperti ini, apa lagi yang kuharapkan? Tidak urung aku akan dihukum mati dan aku tidak ingin memperpanjang hidup seperti ini. Kalau pintu kamar ini dibuka, aku akan mengamuk sampai mati. Aku telah meninggalkan kapalku di mana aku menjadi kaptennya, berarti aku akan mati konyol di sini. Ahh... semua ini adalah karena Ayah telah keliru menyewakan kapal kepada petualang-petualang seperti keluarga Selado itu."
Li Hwa merasa tertarik sekali. Pemuda ini bukanlah orang biasa, bukan pula orang jahat.
"Di mana kapalmu?"
"Di tepi teluk Po-hai. Ahh, betapa ingin aku mati di atas kapalku sebagai seorang kapten yang tak terpisahkan dari kapal yang dikuasainya."
Hening sejenak dan beberapa kali mereka saling berpandangan.
"Yuan..."
Wajah pemuda itu berseri mendengar namanya disebut oleh bibir yang dikaguminya itu.
"Apa yang hendak kau katakan, Li Hwa?"
"Kau pernah menyelamatkan aku, membebaskan dari tawanan bangsamu. Maka jangan kau khawatir, aku pasti akan berusaha untuk membebaskanmu untuk membalas budimu itu."
"Jangan...!" Yuan de Gama cepat memegang kedua tangan Li Hwa yang memegangi ruji besi. "Jangan kau korbankan dirimu untukku, Li Hwa!"
Untuk sejenak Li Hwa membiarkan jari-jari tangan pemuda asing itu menggenggam kedua tangannya yang kecil. Kemudian secara perlahan-lahan ia menarik kedua tangannya dan berkata, "Jangan khawatir, aku tak akan membebaskanmu dengan cara menggelap, akan tetapi terang-terangan."
"Akan tetapi... ada empat orang temanku yang kini juga tertawan. Aku tidak takut mati terhukum, akan tetapi jika engkau membebaskan aku dan empat orang temanku itu tidak dibebaskan, tentu aku akan dianggap sebagai pengecut. Tidak, Li Hwa, terima kasih atas kebaikanmu..."
Li Hwa makin kagum. Tepat perkiraannya bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Seorang yang halus tutur sapanya, baik budi bahasanya, juga tampan dan gagah serta memiliki setia kawan yang besar.
"Kalau begitu, aku akan membebaskan pula empat orang temanmu itu."
Yuan de Gama membelalakkan matanya dan memandang Li Hwa yang sudah melangkah pergi dari tempat itu.
"Wanita yang hebat... betapa aku cinta kepadamu...." bisiknya.
Lapat-lapat dia mendengar perintah diucapkan oleh dara itu kepada kepala penjaga, dan agaknya dara itu menegur para penjaga yang bersikap kasar karena buktinya, tak lama kemudian kepala penjaga sendiri datang membawa hidangan dengan sikap biasa, tidak memperlihatkan sikap menghina seperti yang sudah-sudah.....