Segera dara itu dikeroyok oleh para tentara! Namun dara itu mengamuk dengan pedang rampasannya dan dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil merobohkan empat orang lawan lagi.
"Mundurlah kalian, biarlah aku menangkap kuda betina liar ini!" Hendrik Selado berteriak dengan suaranya yang nyaring dan kaku. Kini tubuhnya sudah melangkah maju dengan langkah seperti seekor harimau kelaparan.
"Tak tahu malu! Mengeroyok seorang gadis!" Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kun Liong sudah berdiri di depan pemuda asing itu.
Sejak tadi Kun Liong sudah melihat dan siap untuk membantu Hwi Sian. Melihat betapa Hwi Sian dapat merampas pedang dan mampu melayani pengeroyokan para prajurit, dia berdiam diri saja. Akan tetapi saat melihat gerakan pemuda asing yang maju, tahulah dia bahwa pemuda ini adalah sebangsa Yuan de Gama yang cukup tangguh, maka dia sudah mendahului pemuda itu, menghadangnya dan mencelanya.
Kini mereka saling berhadapan. Seorang pemuda tampan gundul dan seorang pemuda tampan bermata biru berkulit putih. Hendrik memandang tajam karena dia tidak mengenal pemuda gundul ini, akan tetapi dia sudah dapat menduga bahwa tentunya ‘pendeta’ muda inilah yang semalam sudah menolong gadis tawanan itu. Maka dia lalu membungkuk dan sambil tersenyum berkata,
"Bapak Pendeta datang dari kuil manakah dan apakah hubungan Bapak Pendeta dengan gadis pemberontak itu?"
Kun Liong tersenyum masam. Bangsanya sendiri saja, juga seorang gadis seperti Hwi Sian bisa salah menduga bahwa dia seorang hwesio, apa lagi seorang asing seperti yang dihadapinya ini! Dia tidak mau berbantah mengenai kepala gundulnya yang menimbulkan salah kira, maka dia menjawab,
"Aku tidak datang dari kuil mana pun juga, akan tetapi yang jelas, aku adalah seorang yang mengetahui benar siapa pemberontak siapa bukan! Nona ini bukan pemberontak, maka tidak perlu kau orang asing ini menjadi maling berteriak maling!"
Tentu saja Hendrik menjadi kaget sekali mendengar ini, karena ucapan itu berarti bahwa pemuda gundul ini tahu akan rahasia pemberontakan di Ceng-to dan berarti pula bahwa tentu pendeta muda inilah yang semalam telah menolong gadis tawanan.
"Pendeta muda sombong, engkaulah yang pemberontak!" Hendrik sudah menerjang maju dengan gerakan yang dahsyat.
Pemuda asing itu ternyata menguasai ilmu silat yang aneh dan mempunyai tenaga yang dahsyat, kedua tangannya lalu bergerak bergantian dan bertubi-tubi mengirim serangan-serangan berbahaya diseling tendangan kedua kakinya bergantian pula.
"Hemm... kau ganas...!"
Kun Liong menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan menangkis dan untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya, dia segera mainkan ilmu silat Pat-hong Sin-kun yang dulu dia pelajari dari Bun Hwat Tosu. Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini memang mengandalkan kecepatan dan bayangan Kun Liong seolah-olah berubah menjadi delapan dan bayangan ini mengeroyok Hendrik dari delapan penjuru!
"Kau pendeta sombong hebat juga!" Hendrik berkata, kemudian memaki dalam bahasa asing dan tangannya telah mencabut keluar sebatang pedang tipis yang kecil dan lemas sekali. Pedang itu sangat runcing, tajam dan ringan, dan begitu digerakkan, tampak sinar bergulung dan suaranya bercuitan mengerikan hati!
Kun Liong cepat menghindarkan diri, meloncat ke sana-sini dan dia mulai marah. Tadinya dia tak ingin memukul lawan, hanya membela diri saja. Akan tetapi pedang kecil panjang di tangan lawannya merupakan bahaya baginya.
Pada saat itu, dia mendengar teriakan Hwi Sian. Dia menoleh dan melihat betapa gadis itu dikeroyok oleh banyak orang, di antaranya yang paling hebat adalah seorang panglima yang menggunakan pedang. Agaknya gadis itu terancam bahaya maut dan teriakan tadi menandakan bahwa Hwi Sian telah terkena senjata lawan.
"Cuit-cuit-cuit-singg...!"
Kun Liong cepat melompat ke belakang. Hampir saja dia menjadi korban pedang lawan ketika dia menoleh ke arah Hwi Sian tadi karena saat itu telah dipergunakan oleh Hendrik untuk mengirim serangan kilat secara bertubi-tubi. Karena khawatir dengan keadaan Hwi Sian, Kun Liong mengeluarkan teriakan nyaring, lantas kedua tangannya mendorong dan tampak uap putih keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke arah Hendrik.
"Ougghhh...!" Pemuda asing itu terjengkang dan cepat membanting diri ke belakang terus bergulingan, cara yang paling tepat untuk menghindarkan diri. Kesempatan ini digunakan oleh Kun Liong untuk melompat ke arah Hwi Sian.
Ternyata Hwi Sian telah terluka pada paha dan pundak, dan dara itu telah roboh miring, agaknya pingsan. Akan tetapi di dekatnya tampak seorang lelaki yang mengamuk dengan pedangnya melindungi tubuh dara yang sudah pingsan itu. Kun Liong mengenal orang itu yang bukan lain adalah Tan Swi Bu, laki-laki tinggi besar yang menjadi ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Hwi Sian.
Maka cepat dia meloncat mendekat dan kedua kakinya langsung merobohkan dua orang pengeroyok. Tendangannya tepat mengenai tulang kering kaki kedua orang itu yang lalu berteriak-teriak dan mengaduh-aduh sambil berloncatan dan memegangi kaki yang tulang keringnya rusak!
Tan Swi Bu menoleh sambil berkata, "Harap siauw-suhu (Pendeta Muda) sudi menolong sumoi-ku dan menyelamatkannya pergi dari sini lebih dulu!"
Kun Liong kembali tersenyum pahit. Kepalanya yang sial kembali mendapat korban! Tan Swi Bu tidak mengenalnya dan mengira dia seorang hwesio. Akan tetapi dia tidak peduli, langsung menghampiri Hwi Sian yang pingsan, memondongnya dan dia meloncat ke kiri sambil mendorong roboh seorang prajurit yang menunggang kuda, kemudian ia meloncat ke atas kuda sambil memondong tubuh Hwi Sian.
"Tan-enghiong, lekas lari!" Dia berseru.
Melihat betapa ‘hwesio’ itu telah berhasil melarikan sumoi-nya, Tan Swi Bu lalu memutar pedangnya, kemudian menyerang seorang penunggang kuda lainnya yang berada di luar lingkungan para pengeroyok, merobohkannya dan dia pun meloncat ke atas kuda itu lalu membalapkan kudanya menyusul Kun Liong.
"Kejar...! Siapkan kuda...!" Terdengar panglima itu berteriak.
Pasukan itu segera melakukan pengejaran dan tidak kurang dari tiga puluh orang prajurit dipimpin oleh Bhong-ciangkun Si Panglima dan Hendrik Si Pemuda Asing lalu melakukan pengejaran.
Setelah membalapkan kudanya keluar dari hutan dan pegunungan itu, dan melihat betapa Hwi Sian masih belum sadar dari pingsannya sementara para pengejar berada tak jauh di belakangnya, Kun Liong merasa khawatir sekali. Dia memberi isyarat kepada Tan Swi Bu yang membalapkan kuda sehingga sejajar dengan Kun Liong, kemudian berkata,
"Tan-enghiong harap bawa Nona Hwi Sian pergi lebih dulu. Biarlah saya yang mencegah mereka melakukan pengejaran!"
"Akan tetapi...," Tan Swi Bu membantah ragu-ragu.
"Harap jangan ragu lagi, cepat terimalah dia!"
Dengan tangan kirinya Kun Liong melemparkan tubuh Hwi Sian yang pingsan ke kiri, ke arah Tan Swi Bu yang tentu saja menjadi terkejut dan cepat menerima tubuh sumoi-nya. Dari lontaran itu saja tahulah dia bahwa pemuda gundul itu amat lihai, dan kini sesudah melihat wajahnya, dia pun teringat kembali kepada pemuda gundul yang dahulu pernah dilihatnya.
"Jadi engkau... Siauw-hiap..."
"Pergilah cepat!"
Kun Liong meraih ke depan dan menepuk pinggul kuda yang ditunggangi oleh Tan Swi Bu. Kuda itu terkejut, lalu membalap dan sebentar saja pemuda serta sumoi-nya itu telah jauh mendahului Kun Liong. Ketika melihat suheng Hwi Sian itu telah memasuki sebuah hutan di depan, Kun Liong segera menahan kudanya, membalikkan kuda, meloncat turun dan menggunakan kedua lengannya mendorong roboh dua batang pohon besar.
Dua batang pohon itu malang melintang di tengah jalan sehingga pada saat para pengejar sampai di situ, mereka harus menahan kuda. Melihat bahwa pemuda gundul lihai itu yang menghadang mereka, Hendrik dan Bhong-ciangkun berteriak keras lantas meloncat turun dari kuda, memimpin anak buah mereka untuk mengurung dan mengeroyok Kun Liong!
"Tuan Muda Hendrik, jangan biarkan dia lolos. Aku akan mengejar gadis itu!" seru Bhong-ciangkun sesudah Kun Liong terkurung dan dia lalu mengajak belasan orang anak buah untuk mengejar ke depan.
Namun tiba-tiba tubuh Kun Liong yang terkurung tadi berkelebat, dua orang pengeroyok roboh dan hanya Hendrik seorang yang dapat melihat betapa pemuda gundul yang lihai itu telah melompat melampaui kepala para pengeroyok di belakangnya sambil mendorong roboh dua orang, dan langsung menerjang Bhong-ciangkun yang baru saja meloncat ke atas kuda.
Serangan ini dahsyat sekali, karena Kun Liong menggunakan Im-yang Sin-kun dari Tiong Pek Hosiang. Walau pun panglima itu menggunakan pedangnya membabat ketika tubuh pemuda itu menerjang dari atas, namun ujung kaki Kun Liong dengan tepat menendang pergelangan tangan yang memegang pedang dan jari tangannya menghantam leher!
Bhong-ciangkun berteriak, pedangnya terlempar dan dia secara terpaksa cepat melempar diri dari atas kuda untuk menghindarkan totokan pada lehernya. Walau pun dia berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi dia pun gagal melakukan pengejaran dan memang inilah yang dikehendaki oleh Kun Liong ketika menyerangnya.
Kun Liong segera dikurung dan pemuda ini sengaja berlompatan ke sana ke mari hingga pasukan itu tak dapat memusatkan pengeroyokan dan keadaan menjadi kacau-balau. Tak ada kesempatan bagi Bhong-ciangkun dan Hendrik untuk melakukan pengejaran. Hal ini membuat mereka marah sekali dan dua orang itu kini memusatkan semua kekuatan untuk mengeroyok dan membunuh Kun Liong!
Kun Liong melayani mereka hanya untuk memberi kesempatan kepada Tan Swi Bu untuk dapat lari menjauh membawa sumoi-nya. Sebetulnya tak ada gairah sedikit pun di dalam hatinya untuk berkelahi, maka dia hanya mengelak dan menangkis, dan apa bila terpaksa sekali baru dia merobohkan dua tiga orang pengeroyok tanpa melukai berat. Biar pun dia dikeroyok puluhan orang, tetap saja Kun Liong masih memegang pendiriannya bahwa dia tidak akan menggunakan ilmu silat untuk memukul orang, kecuali hanya untuk membela dan mempertahankan diri!
Kini mulailah Kun Liong melarikan diri, tetapi bukan lari untuk meninggalkan pertandingan, melainkan lari untuk memancing mereka menjauhi tempat itu dan membawa mereka ke arah yang berlawanan dengan larinya Tan Swi Bu. Dia lari beberapa ratus meter jauhnya, lalu sengaja membiarkan mereka menyusulnya dan dia dikeroyok lagi.
Kurang lebih satu jam dia main kucing-kucingan seperti ini, kemudian dia meloncat ke belakang dan berkata, "Aku sudah lelah, lain kali saja kita main-main lagi!" Kun Liong lalu melarikan diri.
Hendrik dan Bhong-ciangkon marah sekali, berusaha mengejar, akan tetapi sebentar saja bayangan pemuda gundul itu sudah lenyap. Mereka merasa marah sekali dan merasa dipermainkan. Pemuda gundul itu memang lihai, tetapi mereka berdua, terutama Hendrik, belum mendapatkan kesempatan untuk mengadu kepandaian sampai mati-matian karena pemuda gundul itu selalu lari ke sana ke mari, bagai seekor kucing yang mempermainkan pengeroyokan segerombolan tikus…..
********************
Hutan di dekat telaga itu amat lebat dan liar, tidak nampak seorang pun manusia kecuali Kun Liong sendiri. Celakanya, malam keburu tiba dan sebelum dia memperoleh tempat untuk melewatkan malam itu, hujan turun dengan derasnya seperti dituangkan dari langit. Bukan hanya hujan yang mengamuk, akan tetapi juga angin kencang yang membuat air hujan menampar muka seperti jarum-jarum runcing dan membuat pohon-pohon bergerak menggila sambil mengeluarkan suara yang menyeramkan.
Kun Liong memicingkan mata untuk melindungi mata dari hantaman air hujan dan untuk menembus kegelapan malam. Dia sudah terjebak ke dalam hutan yang tidak dikenalnya. Ketika sore tadi dia memasuki hutan ini, dari seorang petani dia memperoleh keterangan bahwa telaga yang dicarinya itu berada di seberang hutan ini. Maka dia berani memasuki hutan karena petani itu mengatakan bahwa hutan ini tidak terlalu besar.
Akan tetapi agaknya dia salah jalan, tersesat dan tidak menyeberangi hutan, melainkan memasuki hutan dan berjalan sepanjang hutan itu yang agaknya tiada habisnya sampai malam tiba dan sampai hujan badai datang menyerang hutan itu.
Dia tersaruk-saruk, terhuyung dan mencari jalan dengan kedua tangan, kaki dan pandang matanya yang tidak mampu melihat jelas karena terus menerus diserang oleh air hujan. Pohon-pohon kecil bergerak menggila, ranting-ranting bagaikan berubah menjadi tangan-tangan setan yang hendak menjangkau, menyergap dan mencekik dirinya! Pohon-pohon besar yang kadang kala tampak hanya kalau ada kilat menyambar, seolah-olah iblis-iblis raksasa yang sedang berlomba hendak menerkamnya. Suara air hujan bercampur desis angin menerjang daun-daun pohon menimbulkan pendengaran yang sangat mengerikan, seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit memasuki hutan itu.
"Desss…!" Sebuah ranting yang agak besar melecut tengkuknya.
"Aduhhh...!" Kun Liong meraba tengkuknya.
Sungguh celaka. Dalam keadaan seperti itu, semua ilmu kepandaian yang telah dilatihnya selama ini tak ada gunanya sama sekali. Betapa pun pandainya manusia, benar-benar tak ada artinya ketika menghadapi kekuatan dan kebesaran alam. Mana mungkin ketajaman pendengarannya dapat dipergunakan kalau suara air hujan dan angin mengamuk seperti itu? Mana mungkin dia dapat menangkap angin pukulan ranting yang melecut tengkuknya tadi kalau badai mengamuk dan menghembuskan angin yang bergulung-gulung bagaikan menenggelamkan dirinya seperti itu?
Akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon besar. Setidaknya di tempat ini, air hujan tidak begitu buas menyerangnya, terlindung oleh daun-daun yang sangat lebat dari pohon itu, juga tetumbuhan di bawah pohon raksasa itu tidak begitu lebat, sungguh pun tanahnya tertutup rumput tipis yang basah semua sehingga tanah basah itu berlumpur mengotori semua pakaiannya.
Kun Liong menggunakan kedua tangannya mengusap air yang membasahi kepala serta mukanya. Bajunya basah kuyup dan hawa dingin membuat tubuhnya menggigil. Cepat dia duduk bersila dan menggunakan tenaga dalam untuk melawan dingin. Tenaga yang dia terima dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong benar-benar sudah membuat sinkang yang dikumpulkannya berkat latihan dari Bun Hwat Tosu dan Tiong Pek Hosiang menjadi amat kuat sehingga sebentar saja tubuhnya terasa hangat.
Hujan tidak selebat tadi turunnya, akan tetapi angin badai masih mengamuk biar pun kini tempatnya bermain agak di atas, membuat pohon-pohon besar masih menari-nari seperti menggila. Hanya pohon-pohon kecil yang rendah sudah tak terlalu keras bergoyang lagi, berdiri miring dan kelelahan, cabang, ranting dan daunnya layu seolah kehabisan tenaga.
Suara angin yang mempermainkan daun-daun pohon di atas benar-benar sangat berisik dan menyeramkan. Kun Liong merasa seram hingga bulu tengkuknya bangun satu-satu karena dia teringat akan dongeng-dongeng tentang hantu. Kalau dia memandang ke atas, di antara sinar kilat seperti tampak olehnya iblis-iblis yang menakutkan, wajah-wajah yang seperti di dalam dongeng berada di atasnya dan sedang menyeringai kepadanya dengan bermacam-macam lagak, seakan-akan iblis-iblis itu hanya menunggu saatnya saja untuk menerkam dan memperebutkannya.
Kun Liong tersenyum sendiri. Kenapa dia harus takut, pikirnya? Betul-betul adakah hantu seperti yang didengarnya dan dibacanya dari dongeng? Selama hidupnya ini dia belum pernah melihat hantu dengan matanya sendiri. Dan andai kata malam ini dia melihatnya, apakah yang dilihatnya itu benar-benar hantu dan iblis? Bukankah yang dilihatnya itu, kalau benar dia dapat melihatnya tak lain hanya bayangan pikirannya sendiri yang telah membentuk wajah iblis dari dongeng-dongeng yang didengar dan dibacanya?
Andai kata sejak kecil dia tidak pernah mendengar cerita orang, tidak pernah membaca kitab tentang setan dan hantu sehingga dia sama sekali tidak mengenal sebutan iblis dan hantu, apakah dia akan dapat melihat bayangan hantu dan mungkinkah dia akan merasa takut kepada hantu? Tak mungkin! Karena dia tak akan dapat mengenal dan mengetahui apakah yang dilihatnya itu.
Bahkan mungkin sekali dalam keadaan tidak pernah mengenal sebutan iblis sama sekali seperti itu, kalau dia kebetulan bertemu sungguh-sungguh dengan iblis, dia akan tertarik sekali seperti orang yang tertarik saat melihat sebuah tanaman atau seekor makhluk yang selama hidup belum pernah didengar dan dilihat sebelumnya! Hanya karena dia pernah mendengar dongeng tentang iblis, mendengar bahwa iblis itu jahat pengganggu manusia, dan lain-lain dongeng menyeramkan mengenai iblis, maka timbullah rasa takut dan timbul pula bayangan-bayangan iblis di antara kegelapan yang samar-samar!
Tolol bila aku takut! Takut timbul karena tidak mengerti! Takut timbul karena ikatan masa lalu tentang sesuatu yang ditakutkan, atau ikatan pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga pikiran merenungkan semua itu kemudian membayangkan kalau-kalau hal-hal itu akan timbul lagi pada masa datang!
"Tidak! Aku tidak takut iblis dan setan! Hai... semua hantu dan iblis yang berada di hutan. Keluarlah bertemu dengan Yap Kun Liong. Marilah kita beramah-tamah dan mengobrol!" Pemuda itu berteriak-teriak, akan tetapi suaranya hanyut dalam desau angin dan desau daun-daun pohon.
Badai mereda. Air yang menitik turun bukan air hujan lagi, melainkan air yang jatuh dari daun-daun yang basah kuyup. Setiap kali ada angin halus berhembus, butiran-butiran air di ujung daun-daun itu rontok semua ke bawah.
Kun Liong berjalan perlahan-lahan, kedua tangannya meraba-raba di antara pohon-pohon menuju ke arah suara yang didengarnya tadi. Suara yang mendorong dirinya untuk pergi meninggalkan tempat berteduh itu walau pun malam masih gelap pekat. Suara itu, arah suara itu, yang menjadi petunjuk jalannya. Maka ia pun terus melangkah dengan hati-hati, menggunakan kedua tangannya untuk meraba ke depan agar dia tidak sampai terjatuh, persis seperti laku seorang buta melangkah melalui jalan yang tidak dikenalnya.
Ketika dia duduk tadi, dia mendengar ada suara orang bernyanyi! Kalau saja dia belum menyadari sepenuhnya mengenai hantu dan rasa takut akan hantu, tentu suara itu akan menimbulkan rasa seram dan takut. Bayangkan saja! Di dalam hutan lebat dan sehabis hujan badai seperti itu, ada suara orang bernyanyi!
Suara itu tadinya hanya lapat-lapat, sayup sampai kadang-kadang timbul dan sering kali tenggelam lalu lenyap kembali. Akan tetapi sekarang mulai terdengar jelas, dan Kun Liong tiba-tiba menghentikan langkahnya untuk dapat menangkap kata-kata yang dinyanyikan dengan suara parau itu.
“Berani hidup mengapa takut mati?
siapa bilang hidup senang
dan mati sengsara?
Lihat mereka semua hidup dan mati!
si bangsawan, si hartawan
si rakyat, si miskin
yang kuat, yang lemah,
yang mulia, yang hina.
Mereka semua telah mati,
sedang mati
dan akan mati,
dalam kematian tiada bedanya
menjadi bangkai kotor membusuk!
Yang hidup, yang mati,
yang lahir silih berganti,
tetapi ‘aku’ tetap berkuasa!
di antara mati dan hidup
aku tetap mempermainkan manusia,
ha-ha-ha-ha!”
siapa bilang hidup senang
dan mati sengsara?
Lihat mereka semua hidup dan mati!
si bangsawan, si hartawan
si rakyat, si miskin
yang kuat, yang lemah,
yang mulia, yang hina.
Mereka semua telah mati,
sedang mati
dan akan mati,
dalam kematian tiada bedanya
menjadi bangkai kotor membusuk!
Yang hidup, yang mati,
yang lahir silih berganti,
tetapi ‘aku’ tetap berkuasa!
di antara mati dan hidup
aku tetap mempermainkan manusia,
ha-ha-ha-ha!”
Kun Liong melangkah mendekat. Jika saja dia belum mengerti akan timbulnya rasa takut terhadap hantu, mungkin saat itu dia akan ketakutan dan menyangka bahwa itulah hantu yang tengah dia hadapi sekarang. Bukankah ada dongeng mengatakan bahwa hantu bisa mengambil bentuk seorang kakek-kakek, atau bahkan seorang dara cantik sekali pun?
Dia itu seorang kakek tua, usianya sulit ditaksir berapa, akan tetapi tentu lebih dari enam puluh tahun. Pakaiannya bersahaja seperti pakaian orang terlantar, rambutnya yang telah berwarna dua itu tak terpelihara, demikian pula dengan kumis dan jenggotnya yang masih basah dan berjuntai ke bawah. Akan tetapi gambaran kakek ini berkurang kelayuannya karena di depannya bernyala api unggun. Hal ini mengherankan hati Kun Liong. Betapa mungkin orang membuat api unggun di hutan yang baru saja diamuk hujan dan badai?
Kakek itu menengok. Mereka berpandangan sebentar, kakek tua yang duduk dan pemuda gundul yang berdiri.
"Maaf, Kek, kalau aku mengganggumu," Kun Liong berkata sambil tersenyum ramah.
"Kau mau apa?"
"Aku dingin, api unggunmu dan nyanyianmu menarik hatiku sehingga aku datang ke sini."
"Kau hwesio?"
"Bukan, Kek, sungguh pun kepalaku gundul. Aku bukan pendeta."
"Hemmm, kalau begitu duduklah. Kalau engkau pendeta, tentu engkau sudah mati begitu engkau mengucapkan pengakuanmu. Aku benci hwesio!"
Kun Liong duduk di dekat api unggun dan baru dia tahu bahwa kakek itu menyalakan api unggun dengan bantuan minyak. Hal ini dapat dia cium baunya. Hangat serta nyaman sekali duduk di dekat api unggun pada waktu malam sedingin itu. Kun Liong menghela napas penuh nikmat sambil memeras ujung bajunya yang basah.
"Mengapa kau membenci hwesio, Kek?"
"Mereka itu munafik."
"Mengapa kau mengatakan begitu, Kek?"
"Mereka itu pura-pura menjadi orang baik, akan tetapi semua itu hanya untuk menutupi kebobrokan watak mereka!"
"Ahh, tidak semua begitu, Kek! Memang dunia penuh dengan keganjilan dan kekecualian. Ada orang berkedudukan tinggi yang batinnya rendah, tapi ada pula orang berkedudukan rendah yang batinnya tinggi. Ada orang kaya yang hatinya miskin, dan ada orang miskin yang hatinya kaya. Ada pendeta yang batinnya kotor, tetapi ada penjahat yang batinnya bersih. Apa anehnya itu?"
"Akan tetapi pendetalah yang paling kotor karena dia berpura-pura! Orang bertubuh kotor berpakaian kotor, apa anehnya? Akan tetapi pendeta adalah seorang bertubuh kotor tapi berpakaian bersih!"
"Tidak semua, Kek. Dan mereka telah berusaha menjadi orang baik."
"Phuah! Berusaha menjadi orang baik adalah usaha yang buruk!"
"Aku tidak mengerti, Kek."
"Tidak mengerti ya sudah. Kau tadi bilang bahwa api unggunku menarik perhatianmu, hal itu lumrah sekali karena kau membutuhkannya. Akan tetapi benarkah nyanyianku menarik perhatianmu?"
"Benar, karena nyanyianmu amat indah!"
"Kau suka mendengarnya?"
"Sama sekali tidak!"
Kakek itu mendengus. Matanya yang sipit itu melirik ke arah wajah Kun Liong, kemudian dia mendengus lagi. "Mengapa tidak suka?"
"Karena dalam nyanyianmu terdapat tertalu banyak soal kematian!"
Tiba-tiba saja kakek itu tertawa sehingga Kun Liong terkejut bukan main. Suara ketawa itu melengking dan membuat dia tergetar, tanda bahwa suara itu mengandung khikang yang amat kuat! Mendadak kakek itu menghentikan suara ketawanya dan dia kini menoleh ke arah Kun Liong, menatap wajah itu dengan penuh perhatian.
Biar pun tidak kentara, agaknya kakek itu pun melihat pemuda gundul itu tidak terjungkal oleh suara ketawanya. Padahal ketawanya itu disertai pengerahan khikang dan menjadi semacam ilmu untuk menyerang lawan. Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang mampu merobohkan orang yang memiliki sinkang lumayan sekali pun!
"Orang muda, memang nyanyianku itu dibuat oleh orang yang hampir mati dan bercerita tentang kematian, dibuat untuk orang mati seperti engkau, karena engkau pun akan mati!"
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah kepala Kun Liong. Tamparan yang sangat hebat, cepat sekali dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat!
Kun Liong terkejut bukan main karena dia tidak menduga akan diserang oleh kakek aneh itu. Maka terpaksa dia lalu mengangkat lengan kirinya, menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya.
"Dessss...! Haiiiih!!"
Kedua orang itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang. Kakek itu terkejut bukan main. Tangkisan pemuda gundul itu sedemikian kuatnya sehingga dia sampai terlempar! Hal ini tidaklah aneh karena memang Kun Liong sudah mengerahkan sinkang gabungan yang dia latih dari kedua orang gurunya yang sakti ditambah gemblengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong!
Sebetulnya, ketika mengadu tenaga sinkang tadi, bisa saja jika dia hendak menggunakan Thi-khi-i-beng, akan tetapi hal ini tidak dilakukannya karena memang dia tidak bermusuh dengan kakek itu. Akibatnya, karena dia kalah latihan, pertemuan dua tenaga sinkang itu membuat tubuhnya juga terlempar sampai jauh.
Kun Liong mengerti bahwa kakek itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi, karena itu dia tidak ingin terlibat dalam permusuhan dengan kakek yang agaknya miring otaknya itu. Maka dia segera mcloncat dan cepat sekali dia menyelinap ke dalam hutan yang gelap yang tak dapat dijangkau oleh sinar api unggun.
"Hee, pemuda gundul aneh! Ke mana kau...?!" Kakek itu melompat pula dan melakukan pengejaran.
Kun Liong menyelinap di belakang sebatang pohon besar. Karena tempat itu gelap sekali kakek itu tidak mampu mencarinya. Setelah berputar-putar tanpa hasil, kakek itu kembali ke tempat tadi sambil mengomel panjang pendek. Seudah itu barulah Kun Liong berani keluar dari tempat sembunyinya dan berindap-indap menjauhi tempat itu sampai akhirnya secara kebetulan sekali dia berada di luar hutan! Dia lalu duduk di bawah pohon, tidak berani tertidur karena kakek gila itu masih berada di hutan, dan menanti datangnya fajar.
Setelah sinar matahari pagi menerangi tempat itu, tampak oleh Kun Liong bekas amukan badai semalam. Baru sekarang tampak olehnya betapa banyak pohon yang tumbang dan roboh malang melintang dilanda badai, terutama pohon-pohon yang tumbuh di pinggir hutan. Karena di luar hutan tidak ada pohon besar dan tidak tampak bekas amukan badai, maka melihat ke arah hutan itu tampak seakan-akan ada iblis-ibils mengamuk semalam, mengamuk di dalam hutan itu. Atau di dalam hutan seperti telah terjadi perkelahian antara raksasa yang menggunakan batang pohon-pohon besar untuk saling menghantam.
Kun Liong bangkit berdiri dan memandang ke arah telaga yang sudah tampak dari tempat yang agak tinggi itu. Di situlah telaga yang dicarinya. Telaga Kwi-ouw, Telaga Setan. Dan di tengah-tengah telaga nampak pula pulau-pulau kecil kehijauan. Salah sebuah di antara pulau-pulau itu adalah tempat perkumpulan Kwi-eng-pang yang dicarinya.
Ya, dia harus menemui Ketua Kwi-eng-pang, kemudian secara jujur menanyakan tentang perbuatan anak buah Kwi-eng-pang yang sudah menyerbu ke kuil Siauw-lim-si. Dia masih menaruh harapan besar bahwa sebagai sebuah perkumpulan besar yang sudah terkenal, Kwi-eng-pang akan memandang Siauw-lim-pai dan akan suka mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh anak buah Kwi-eng-pang.
Dia akan mengemukakan kebenaran, kemudian akan membujuk Kwi-eng Pangcu supaya tidak menanam bibit permusuhan dengan suatu perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai hanya karena urusan dua buah pusaka saja! Biar pun dia mendengar dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong bahwa amat berbahaya menjumpai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat seperti Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio Ketua Kwi-eng-pang itu, akan tetapi dia tidak takut.
Dia datang bukanlah untuk mencari permusuhan! Dia datang untuk menuntut hak Siauw-lim-pai mendapatkan kembali pusaka-pusakanya yang dulu dicuri. Dan dia melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh mendiang gurunya, Tiong Pek Hosiang!
Setelah tiba di tepi telaga, tempat itu sunyi sekali. Diam-diam dia merasa heran, mengapa tempat itu demikian sunyi? Mengapa tidak tampak nelayan-nelayan dan pelancong seperti pada telaga-telaga besar yang lain? Dari tepi telaga kini nampak olehnya pulau besar di tengah telaga dan kelihatan pula dari situ tembok serta genteng bangunan tertutup oleh batu-batu karang dan pohon-pohon. Agak jauh di belakang pulau besar itu tampak pula sebuah pulau lain di tengah telaga, pulau yang agak kecil.
Tiada angin pada pagi itu. Air telaga tenang tak bergoyang sedikit pun, seperti permadani beludru biru yang sangat lebar dibentang dari darat ke pulau itu. Cahaya matahari pagi mulai menyapu permukaan telaga dan agaknya cahaya ini menggugah air telaga yang sedang tidur.
Mulai tampak perubahan pada air telaga. Mulai ada kehidupan pada warna biru yang kini sebagian kejatuhan warna kuning emas kemerahan dari cahaya matahari. Agaknya bukan hanya makhluk darat dan makhluk udara saja yang memulai kesibukan hidup pada saat matahari muncul, akan tetapi juga makhluk air penghuni telaga.
Ikan-ikan mulai tampak bergurau, menjenguk dari permukaan air, dan yang nakal malah meloncat ke atas permukaan air, seperti tingkah anak-anak yang meloncat ke air untuk mandi! Tiap kali ada moncong ikan menjenguk ke permukaan air, apa lagi jika ada yang meloncat ke atas, air bergerak dan terbentuklah lingkaran-lingkaran yang makin melebar, lengkungan bundar yang amat sempuma, tak mungkin dibuat oleh tangan manusia.
Kun Liong terpesona menyaksikan semua ini. Dia lupa diri, bahkan dirinya sudah tak ada lagi. Yang ada hanya penglihatan yang serba indah itu dan dia yang melihat sudah tidak ada lagi, tenggelam dalam keasyikan yang amat dalam.
Kalau saja dia tidak membutuhkan penyeberangan, agaknya perahu kecil yang tampak bergerak didayung oleh seseorang itu akan menjadi penambah keindahan pemandangan di pagi hari yang cerah itu. Akan tetapi kebutuhannya mengingatkan dia dan menyeretnya kepada dunia yang penuh dengan kebutuhan si aku. Lenyaplah semua keindahan karena perhatiannya kini tercurah penuh kepada perahu itu, dan harapannya timbul untuk dapat segera pergi ke pulau itu, ke pusat Kwi-eng-pang! Dan tepat seperti yang dikehendakinya, perahu itu didayung ke arah daratan.
Akan tetapi setelah dekat, dia merasa heran dan juga ragu-ragu. Pendayungnya ternyata adalah seorang wanita! Dan bukan wanita nelayan atau wanita dusun yang sederhana. Sama sekali bukan!
Jelas nampak dari dandanan rambutnya, dari pakaiannya, dan dari gayanya, bahwa yang mendayung perahu itu, yaitu wanita berusia tiga puluhan tahun yang berwajah cantik dan bertubuh ramping itu, tentulah wanita kota, atau setidaknya, paling sedikit tentu pelayan orang bangsawan! Hanya anehnya, wanita yang segalanya kelihatan halus itu mengapa sampai mendayung perahu sendiri?
Betapa pun juga, kesempatan ini tidak boleh dia sia-siakan. Tidak ada perahu lain tampak di daratan yang begitu sunyi, maka ia pun cepat-cepat menghampiri wanita dalam perahu yang sudah mendekati pantai.
"Kouwnio, bolehkah saya menumpang perahumu?" Ia bertanya sambil tersenyum ramah, senyum orang yang minta tolong!
Wanita itu mengangkat mukanya memandang sejenak, memandang kepada pemuda itu, kemudian pakaiannya. Agaknya wanita itu teliti juga maka melihat pakaian Kun Liong, dia dapat menduga bahwa pemuda tampan itu bukan hwesio, melainkan seorang yang entah kenapa sengaja menggunduli kepalanya. Namun kepala gundul itu tidak buruk. Memang lucu, akan tetapi tidak buruk. Sebaiknya malah, mempunyai daya tarik yang aneh karena kepala itu begitu bersih, begitu... telanjang hingga wanita itu memandang dengan kedua pipi menjadi merah!
"Siapakah engkau dan kenapa kau minta menumpang di perahuku?" Dengan kerling genit wanita itu membalas bertanya.
Kun Liong merasa bahwa tidak baik kalau dia memperkenalkan diri kepada semua orang karena dia sedang menghadapi urusan besar dengan Ketua Kwi-eng-pang. Karena itu dia menjawab, "Saya datang dari jauh sekali dan hendak pergi menghadap Kwi-eng Pangcu. Maka, saya harap Kouwnio (Nona) yang baik suka menolong saya. Saya mau ikut dengan perahu Kouwnio pergi ke pulau itu."
Senyum dan kerling genit itu tiba-tiba saja lenyap dari wajah yang cukup cantik itu, dan pandang matanya penuh curiga pada waktu dia bertanya, "Apakah engkau sahabat dari Kwi-eng Pangcu?"
Kun Liong tidak biasa membohong, maka dia menggeleng kepala. "Bukan!"
"Habis, apa maksudmu hendak bertemu dengan pangcu?"
"Aku mempunyai sedikit urusan yang akan kubicarakan dengan Kwi-eng Pangcu. Urusan penting yang hendak kusampaikan sendiri kepadanya. Kouwnio, harap suka membawaku, Kouwnio yang baik. Biarlah aku yang akan mendayung perahunya."
Mendengar pemuda gundul itu telah beberapa kali menyebut ‘kouwnio yang baik’ sambil tersenyum-senyum, wanita itu berkata, "Sebenarnya aku sedang mempunyai kepentingan berbelanja, akan tetapi karena engkau seorang tamu, biarlah kau kuantar ke pulau. Aku adalah pelayan dari Ang-pangcu."
Kun Liong merasa terkejut, akan tetapi juga girang. Ternyata Kwi-eng-pang tidak seperti yang disohorkan orang. Kata orang, Kwi-eng-pang adalah perkumpulan iblis yang sangat berbahaya, sarang dari golongan hitam. Namun kini buktinya sama sekali tidak demikian. Baru pelayannya saja begini cantik dan halus budi, peramah dan manis!
Kun Liong menjura dan berkata girang, "Banyak terima kasih, Kouwnio yang baik."
Perahu menepi dan Kun Liong lalu melangkah memasuki perahu. Perahu kecil itu sedikit bergoyang-goyang, akan tetapi wanita itu dapat berdiri dengan tegak, tanda bahwa walau pun kelihatan lemah dan hanya seorang pelayan, akan tetapi wanita itu tentu ‘berisi’!
"Biarlah saya yang mendayungnya, Kouwnio."
Wanita itu menyerahkan dayung kepada Kun Liong, kemudian duduk berhadapan dengan pemuda itu yang mulai mendayung perahu. Kun Liong bersikap sabar, meski pun hatinya tegang dan dia ingin segera tiba di pulau. Dia mendayung biasa saja, tidak mengerahkan sinkang-nya, padahal kalau dia menggunakan tenaga saktinya, tentu perahu akan dapat meluncur jauh lebih cepat.
Wanita itu menatap wajah Kun Liong dan terang-terangan kelihatan rasa kagumnya akan ketampanan wajah Kun Liong. Beberapa kali Kun Liong memandangnya hingga pandang mata mereka bertemu. Kun Liong merasa malu sendiri sampai mukanya menjadi merah!
"Itu teman-temanku sudah menanti dan melihat kita." Wanita itu menuding.
Kun Liong melihat beberapa orang wanita berdiri di pantai pulau.
"Mereka tentu terheran-heran kenapa aku tidak pulang membawa barang belanjaan, tapi membawa seorang tamu." Wanita itu terkekeh genit. "Kita sudah dekat, biarlah aku yang mendayung karena daerah di dekat pulau terdapat banyak rahasia yang dapat membuat perahu terbalik."
Kun Liong terkejut mendengar ini sehingga cepat menyerahkan dayung. Ketika menerima dayung, mendadak jari tangan wanita itu bergerak menotok jalan darah di bawah pangkal lengan Kun Liong. Pemuda ini kaget akan tetapi pura-pura tidak tahu.
Wanita itu hampir menjerit saat ujung jari tangannya bertemu dengan ketiak yang berbulu dan totokannya tepat sekali, akan tetapi pemuda gundul itu tidak apa-apa! Dayung sudah diambil dan tiba-tiba dia membalikkan dayung, gagangnya digunakan untuk menghantam kepala yang gundul itu. Kun Liong mengangkat lengan ke atas, menangkis.
"Krakkk!" Ujung dayung itu patah!
"Ihhhhhh...!" Wanita itu berseru kaget lalu tiba-tiba dia meloncat ke air sambil membawa dayungnya.
"Eihhh. Toanio, kau mengapa...?" Kun Liong berseru kaget.
Akan tetapi tiba-tiba perahu itu terbalik dan tentu saja tubuhnya juga turut terlempar ke dalam air. Dia masih sempat melihat betapa ketiga orang wanita di pantai itu mendayung sebuah perahu yang meluncur cepat sekali.
"Byuurrr...!" Kun Liong gelagapan, menahan napas dan cepat menggerakkan kaki tangan untuk berenang.
Dia bukan seorang ahli, akan tetapi kalau hanya berenang sekedar mencegah tubuhnya agar tidak tenggelam saja, dia masih bisa. Akan tetapi tiba-tiba kakinya dipegang orang, dan tubuhnya diseret ke bawah.
"Ahhauupppp!" Dia lupa dan hendak berteriak, tentu saja air telaga membanjiri mulutnya dan terus mengalir ke perutnya!
Dia lalu menggerakkan kakinya dan berhasil membebaskan kakinya yang terpegang dari bawah. Tubuhnya meluncur ke atas sesudah dia menjejak dasar telaga. Akan tetapi baru saja kepalanya yang gundul tersembul di atas permukaan air dan dia mengambil napas, tiba-tiba kedua kakinya terlibat sesuatu dan dia ditarik lagi ke bawah!
Walau pun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya tidak dapat terlepas dari libatan sehelai tali yang kuat. Kun Liong menjadi panik sekali. Dia menahan napas, akan tetapi lama-lama dia terpaksa harus minum air juga dan ketika tubuhnya terasa lemas, dadanya bagaikan hendak meledak dan kepalanya pening, dia merasa betapa ada banyak tangan memeganginya, dan betapa kedua tangannya lantas diikat kuat-kuat, kemudian tubuhnya diseret.
Dengan perut kembung penuh air dan setengah pingsan, napas terengah-engah hampir putus, Kun Liong masih bisa melihat dirinya diseret keluar dari telaga dan naik ke daratan pulau. Yang menyeretnya ialah seorang wanita yang cantik juga, sedang di belakangnya masih ada tiga orang wanita lagi, yaitu seorang ialah wanita yang membawanya tadi dan kini berdiri di atas perahu memegang dayung yang sudah patah gagangnya, sedang yang dua orang wanita lagi tadinya berenang dan kini sudah mendarat sambil tertawa-tawa dan bersenda-gurau.
"Hi-hi-hi-hik, sekali ini pancinganmu berhasil, Adik Biauw! Kau mendapat seekor ikan yang gemuk!" Seorang di antara mereka berkata kepada wanita yang menyeret Kun Liong.
"Bukan dapat mengail, akan tetapi Enci Kun yang mendapat dari pasar!"
"Wah, ikan apa ini? Kepalanya gundul dan bersih sekali tiada rambutnya selembar pun!"
"Malah enak, tinggal mengupas kulitnya saja, tentu gurih. Hi-hi-hik!"
"Sayang Pangcu benci laki-laki, tentu dia dibunuh."
Wanita yang menyeret berkata, "Aku akan mohon kepada Pangcu, sebelum dibunuh biar dia tidur bersamaku satu malam!"
"Enaknya! Apa kau lupa kepadaku, Adik Biauw? Aku yang menemukannya, tahu?"
"Sudah jangan ribut, itu Enci Siu datang, biar kita minta Pangcu agar dia diberikan kepada kita berlima sampai dia mati kehabisan."
"Kehabisan apa?"
"Ih, tanya-tanya. Seperti tidak tahu saja. Hi-hi-hik!"
Mereka berlima tertawa-tawa. Kun Liong yang setengah pingsan masih dapat mendengar percakapan mereka tadi dan dia benar-benar merasa kecelik dan tertipu oleh sikap wanita tadi! Kiranya mereka ini tiada ubahnya bagai serombongan siluman seperti yang terdapat dalam dongeng. Cantik-cantik, genit-genit, cabul dan kejam!
Setelah tubuhnya diseret dan tiba di bawah sebatang pohon, wanita cantik yang bernama Biauw tadi tiba-tiba menggerakkan tangannya dan tubuh Kun Liong terlempar naik melalui sebatang dahan pohon hingga tubuhnya tentu saja tergantung dengan kepala di bawah! Wanita pelayan pertama yang namanya disebut Kun tadi meloncat, menggerakkan tangan memukul perut Kun Liong.
Tanpa dapat ditahan lagi Kun Liong memuntahkan air yang membanjir keluar dari dalam perutnya melalui mulut dan hidung. Kemudian dia ditotok pingsan dan sama sekali tidak dapat melawan karena seluruh tubuhnya terasa lemas dan oleh lima orang pelayan itu dia dilemparkan ke dalam kamar tahanan!
Lima orang wanita itu memang pelayan-pelayan dari Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sendiri! Pada waktu itu, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sedang tidak berada di pulau dan lima orang pelayan ini memiliki kekuasaan yang besar juga sehingga para anggota dan para murid Kwi-eng-pang tidak ada yang berani turut campur ketika melihat mereka itu menangkap Kun Liong.
Murid-murid kepala dari Si Bayangan Hantu Ang Hwi Nio ada belasan orang, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tentu saja kedudukan mereka lebih tinggi dari pada lima orang pelayan itu. Akan tetapi karena lima orang itu adalah kepercayaan subo mereka, apa lagi mereka berlima itu adalah orang-orang dalam, mereka pun hanya dapat bertanya. Ketika mendengar bahwa Si Gundul itu katanya hendak bertemu dan sikapnya mencurigakan, mereka membenarkan tindakan lima orang pelayan itu dan memutuskan bahwa pemuda itu harus ditahan sampai ketua mereka pulang.
Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa peristiwa itu menarik perhatian seorang gadis yang mereka segani, yaitu Yo Bi Kiok, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tinggal di pulau kecil! Yo Bi Kiok kini sudah menjadi seorang dara yang cantik sekali akan tetapi sikapnya pendiam dan dingin, dan ilmu kepandaiannya tinggi.
Memang dara ini mempunyai bakat yang sangat baik sehingga Bu Leng Ci yang merasa amat sayang kepadanya telah menggemblengnya hingga tingkat kepandaian gadis itu tak berselisih banyak dari tingkat gurunya, dan tentu saja jauh lebih lihai dibandingkan semua murid kepala Si Bayangan Hantu. Bagi penghuni Pulau Telaga Setan itu, gadis ini lebih dikenal dengan julukannya, yaitu Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) yang diambil dari mainan burung hong dari kemala yang dahulu dia terima sebagai hadiah dari Si Bayangan Hantu dan yang sekarang selalu dipakai di rambutnya.
Ketika Yo Bi Kiok atau Giok-hong-cu mendengar bahwa para pelayan Si Bayangan Hantu sudah berhasil menawan seorang laki-laki gundul yang bukan hwesio, yang didengarnya dari para anak murid Kwi-eng-pang perempuan, dia merasa tertarik sekali. Maka dia lalu menemui lima pelayan itu dan menyatakan keinginannya untuk melihat Si Tawanan dari lubang rahasia.
"Hi-hi-hik, mau apa kau melihatnya, Nona? Dia tampan sekali, namun sayang kepalanya telanjang!"
"Telanjang...?" Giok-hong-cu Yo Bi Kiok berseru heran.
"Hi-hik, maksudku tidak ada selembar rambut pun menutupi kepalanya. Bersih dan bagus sekali kepalanya!"
Bi Kiok mengerutkan alisnya. Para pelayan ini adalah wanita-wanita yang genit dan tidak tahu malu. Akan tetapi karena dia ingin membuktikan apakah tawanan ini adalah benar orang yang disangkanya, maka dia mendesak dan akhirnya dia diperbolehkan mengintai dari lubang rahasia.
"Kun Liong...!" Hati Bi Kiok berseru kaget pada saat dia mengintai dan mengenal pemuda gundul yang rebah telentang kelihatannya lemas dan lemah itu.
Bi Kiok maklum bahwa di pulau itu, biar pun bibi gurunya, Si Bayangan Hantu tidak ada, amatlah sukar dan berbahaya untuk menolong Kun Liong seperti yang pernah dia lakukan dahulu. Kalau ketahuan tentu terjadi ribut dan kalau sampai gurunya mendengar tentu dia akan dimarahi dan tentu Kun Liong takkan tertolong lagi. Sebaiknya menggunakan akal.
Setelah memutar otak, Bi Kiok lalu bergegas mendayung perahunya kembali ke pulaunya sendiri di mana dia tinggal bersama Bu Leng Ci dan hanya ditemani oleh beberapa orang pelayan wanita.....