Petualang Asmara Jilid 09

Kakek itu hanya menggeleng-gelengkan kepala, kemudian memandang Kun Liong sambil tersenyum. "Anak yang baik, mari kita ikut saja agar dapat melihat bagaimana kesudahan urusan aneh ini. Naiklah ke sini, anak baik, di belakangku."

Kun Liong menggeleng kepala. "Keledai itu sudah terlalu tersiksa oleh muatan yang berat, aku berjalan kaki saja, Totiang."

"Hayo cepat jalan, jangan banyak mengobrol" Si Tinggi Besar mendorong pundak Kun Liong dan pedangnya tetap ditodongkan di lambung anak itu. Hal ini membuat Kun Liong mendongkol sekali dan dia mendorong pedang itu ke samping sambil berkata,

"Aku tidak bersalah apa-apa. Aku mau ikut sudah baik. Perlu apa ditodong-todong?"

Pedang itu terdorong miring dan Si Tinggi Besar kelihatan terkejut dan marah. Dia sudah membuat gerakan hendak menyerang, akan tetapi Si Brewok membentak dan melarang Si Tinggi Besar. Bergeraklah rombongan aneh ini menuju ke sebuah bukit yang nampak dari situ.

Kakek itu tertawa dan melorot turun dari atas punggung keledai, berjalan dekat Kun Liong. "Anak baik, engkau membuat pinto malu. Memang keledai itu sudah cukup menderita. Biarlah pinto jalan kaki saja."

Kun Liong hanya tersenyum, kemudian melangkah perlahan dengan kepala menunduk. Sungguh sial, pikirnya. Di mana-mana bertemu dengan orang-orang yang menggunakan kekerasan dan kekuasaan untuk menekan orang lain! Di mana-mana dia bertemu dengan halangan, dan karena membela kakek tua yang lemah ini, dia ikut pula menjadi tawanan. Entah golongan apa tiga orang yang menangkap dia dan kakek itu, dan entah urusan apa yang membuat kakek itu ditangkap.

Dia selalu terlibat dengan urusan lain yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan dia sendiri. Apakah selama ini dia terlalu lancang dan usil? Apakah untuk selanjutnya dia harus diam saja melihat segala sesuatu yang terjadi pada orang lain dan yang tidak ada hubungannya dengan dirinya?

Ah, tak mungkin. Mana bisa dia diam saja menyaksikan kejadian yang menimbulkan rasa penasaran? Melihat seorang kakek tua renta yang lemah ini diganggu tiga orang yang kelihatan gagah itu, bagaimana dia harus diam saja di tempat persembunyiannya?

"Tidak mungkin!" Kun Liong lupa diri dan kata-kata ini terlompat keluar dari mulutnya.

"Apa yang tidak mungkin?" Si Tinggi Besar membentak. Orang termuda itu berjalan di depan menuntun kendali keledai, Kun Liong di sebelah kakek itu berjalan di tengah dan Si Brewok bersama Si Tinggi Besar paling belakang.

Ternyata perjalanan itu cukup jauh, mereka keluar masuk hutan dan mendaki bukit yang bentuknya seperti sebuah mangkuk menelungkup. Ada tiga jam mereka berjalan hingga akhirnya, setelah mendaki sampai di lereng dan membelok melalui sebuah tebing, maka tampaklah tembok-tembok bangunan di dekat puncak.

Bangunan-bangunan itu dikelilingi oleh pagar tembok yang cukup tinggi dan di luar pagar tembok itu sudah tampak para penjaga dengan pakaian seragam kuning, bukan seragam tentara melainkan seragam perkumpulan silat. Sesudah rombongan ini tiba di dekat pintu gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun Liong bahwa penjaga-penjaga itu merupakan pasukan-pasukan panah, tombak, dan golok.

Mereka berlari berjajar dengan rapi dan hanya mata mereka yang bergerak memandang penuh perhatian ke arah kakek dan Kun Liong. Tubuh mereka sama sekali tidak bergerak, tetap berdiri dalam keadaan siaga!

Pada waktu kedua orang tawanan ini dibawa masuk melalui pintu gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun Liong pasukan-pasukan lainnya berderet-deret. Ada pasukan ruyung, pasukan pedang, yang kesemuanya berbaris rapi. Kini dia dapat menduga bahwa ketiga orang yang menangkapnya itu tentulah merupakan tokoh-tokoh, Si Brewok dari pasukan ruyung, Si Tinggi Besar tentu dari pasukan pedang, dan yang termuda itu dari pasukan golok.

Kakek itu melangkah sambil menoleh ke kanan kiri, agaknya terheran-heran, dan akhirnya dia berkata perlahan, "Siancai... tempat apakah ini? Seperti benteng dan dijaga pasukan-pasukan. Apakah pinto telah menjadi tangkapan pasukan asing?"

"Jangan bicara ngawur, Totiang!" Si Brewok membentak. "Engkau sekarang menjadi tamu dari Ui-hong-pang!"

"Heh? Ui-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Kuning)? Apa itu?" Kakek itu membuka matanya lebar-lebar, juga Kun Liong tidak mengenal nama perkumpulan ini. Akan tetapi dia makin curiga dan khawatir. Kalau dia dan kakek lemah itu terancam bahaya di tempat yang terjaga kuat ini, harapan untuk lolos sungguh tidak ada sama sekali!

"Kita ini mau diapakan, Totiang?" Kun Liong berbisik, akan tetapi suaranya sama sekali tidak mengandung ketakutan, hanya keheranan. Kakek itu menunduk dan memandang, kemudian bertanya,

"Engkau takut, Nak?"

Kun Liong menggelengkan kepala kuat-kuat dan menjawab, "Aku tidak bersalah apa-apa terhadap siapa juga, mengapa takut?"

Diam sejenak dan mereka melangkah terus memasuki sebuah bangunan yang terbesar.

"Kau... dari kuil mana?" Tiba-tiba tosu tua itu bertanya.

Kun Liong mengerutkan alisnya kemudian memandang kakek itu dengan hati penasaran. Dengan suara yang agak dingin dia menjawab, "Aku bukan seorang hwesio!"

"Sssstt, tidak boleh bicara lagi. Kita menghadap Pangcu!" bentak Si Brewok ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang luas di tengah bangunan itu.

Juga di dalam bangunan itu terjaga oleh pasukan pengawal seragam. Setiap lorong dan pintu terjaga kuat dan setelah mereka menghampiri seorang laki-laki gagah yang duduk di atas sebuah kursi kuning, barulah di situ terdapat beberapa orang yang pakaiannya tidak seragam, dan agaknya mereka ini adalah pembantu-pembantu dan pengawal-pengawal pribadi Si Ketua Perkumpulan itu.

Dengan penuh perhatian Kun Liong memandang ke arah ketua itu. Dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, berwajah gagah, usianya sekitar tiga puluh tahun lebih dan pakaiannya serba kuning akan tetapi warna kuningnya lebih tua dari pada warna kuning seragam anak buah pasukannya. Berbeda dengan sikap tiga orang anak buahnya yang menangkap kakek dan Kun Liong, ketua ini tersenyum ramah ketika menerima mereka.

"Duduklah, Totiang, dan engkau juga, saudara kecil!" katanya dengan suara yang lantang sambil menuding ke arah beberapa buah kursi kosong di depannya.

"Terima kasih," kakek itu menjura dan duduk, sedangkan Kun Liong tanpa berkata apa pun juga mengambil tempat duduk di dekat kakek itu.

"Siapakah nama Totiang?" Ketua itu kembali bertanya dengan suara ramah.

"Ehhh, nama pinto...? Pinto tidak bernama, hanya disebut orang Bu Beng Tosu," jawab kakek itu.

"Sungguh tidak kami sangka mereka akan mengirim seorang tosu untuk menjadi utusan menyambut anak itu. Apakah Totiang sudah membawa tebusannya?"

"Menyambut anak? Utusan? Tebusan? Apakah artinya ini? Sungguh pinto tidak mengerti."

"Agaknya Cuwi telah salah menangkap orang!" Kun Liong berkata, suaranya nyaring dan dia memandang ketua itu dengan sinar mata penuh ketabahan.

Ketua itu mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Si Brewok, membentak, "Apa artinya ini?! Siapa kakek dan bocah ini?"

Si Brewok menjadi pucat. "Maaf, Pangcu. Sikapnya mencurigakan, dia mempunyai uang dan melakukan perjalanan seorang diri lewat di tempat yang telah ditentukan, membawa buntalan-buntalan besar. Kami mengira dialah utusan itu."

"Bodoh! Lekas periksa buntalannya!"

"Sudah diperiksa, Pangcu!" Mendadak Si Tinggi Besar yang baru saja masuk menjawab dan berdiri tegak seperti sikap seorang perajurit menghadap komandannya.

"Apa isi bungkusannya? Emas dan perak?"

"Bu... bukan... Pangcu..."

"Habis, apa isinya?"

"Batu-batu karang dan akar-akaran!"

"Plakkk!" Ketua itu menepuk ujung kursinya dengan hati marah. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?"

"Harap Pangcu maafkan. Kami telah salah menangkap orang, dan kami akan melakukan penjagaan lagi di sana. Akan tetapi... mereka... mereka itu...?"

"Pergi menjaga! Sekali lagi kalian keliru menangkap orang akan kuhajar! Biarkan mereka di sini. Pergi kalian bertiga!!" Si Brewok dan kedua orang temannya segera pergi seperti anjing-anjing dibentak.

Ketua ini kini menoleh ke arah kakek itu dan bertanya, "Mengapa kebetulan sekali Totiang lewat di tempat ini dan untuk apa semua batu dan akar itu?"

"Aihhh, pinto adalah seorang yang hidup dari menjual bahan-bahan obat. Batu-batu itu dapat dipergunakan sebagai bubuk obat, dan itu adalah bahan campuran obat pembersih darah. Pinto tadi sedang mencari telur kura-kura hitam yang kabarnya banyak terdapat di pantai Sungai Huang-ho, telur belum dapat malah pinto sudah ditangkap."

"Hemmm... dan kau, bocah gundul? Apakah engkau murid tukang obat ini?"

Kun Liong sudah mengerutkan alisnya, terlihat marah bukan main disebut gundul! Setelah kepalanya gundul pelontos, ternyata sebutan gundul ini merupakan sebutan yang sangat menyakitkan hatinya, sebab mengingatkan dia akan keadaannya yang tak menyenangkan itu.

Akan tetapi sebelum dia melontarkan jawaban yang keras, tosu itu sudah mendahuluinya menjawab, "Benar, Pangcu. Dia adalah murid pinto yang keras hati dan bandel."

Kun Liong menoleh dan memandang kakek itu, dan tiba-tiba saja dia sadar akan keadaan dirinya. Memang dia keras hati. Apa bila dia menuruti kemarahannya lalu mengeluarkan kata-kata keras dan tidak enak terhadap ketua ini, bukan hanya dia seorang yang akan menderita hukuman, tetapi kakek yang tidak berdosa itu juga akan terbawa-bawa. Maka dia menahan kemarahannya dan menggigit bibir, tidak mengeluarkan suara.

"Kalian memang tidak bersalah dan anak buah kami kesalahan menangkap orang. Akan tetapi karena kalian sudah terlanjur masuk ke sini, sebelum urusan ini beres kalian akan kami tahan."

"Akan tetapi...," tosu itu membantah.

"Tidak ada tapi! Haii, pengawal! Antarkan mereka ini masuk ke kamar tahanan dan biar mereka berdua menemani anak perempuan itu!"

Empat orang pengawal sudah maju dan menggunakan tombak mereka untuk menggiring tosu dan Kun Liong pergi dari situ, ke sebuah bangunan lain yang kokoh dan kuat dan akhirnya mereka didorong masuk ke dalam sebuah kamar empat meter persegi, kosong dan hanya ada beberapa helai tikar dan di dalamnya terdapat seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih delapan tahun, bersikap tenang dan cantik, berpakaian indah seperti puteri bangsawan, akan tetapi yang amat mencolok adalah sikapnya yang penuh ketenangan itu.

Dengan sepasang matanya yang lebar ia memandang Kun Liong dan tosu yang didorong masuk ke dalam kamar tahanannya, kemudian pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja dan di atasnya terdapat ruji baja itu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dari lubang-lubang ruji tampak kepala para penjaga yang tertutup kain kuning dan ujung-ujung tombak mereka.

Anak perempuan itu tetap di atas lantai, matanya memandang Kun Liong dan kakek itu bergantian, penuh perhatian.

"Engkau siapakah?" Kun Liong bertanya. Diam-diam ia mendapat kenyataan bahwa anak perempuan ini pandai duduk seperti cara orang bersemedhi, bersila dengan punggungnya lurus tegak.

Anak perempuan itu menggerakkan kepala menoleh padanya, gerakan kepalanya begitu tiba-tiba sehingga rambutnya yang panjang dan dikuncir dua buah itu bagaikan dua ekor ular hitam bergerak.

"Engkau siapa? Dan kakek ini siapa? Mengapa kalian juga ikut dijebloskan di sini?" Anak perempuan itu balas bertanya, suaranya mengandung keangkuhan dan kekerasan.

Dua alis tebal Kun Liong seketika berkerut. "Sombong engkau, ya?" katanya tak senang. Akan tetapi gadis cilik itu sama sekali tidak mempedulikannya dan kini membuang muka, memandang kepada Si Kakek Tua yang telah duduk di depannya dengan sikap tenang.

"Anak baik, kulihat tulang pahamu yang kanan patah, akan tetapi sudah disambung lagi, apakah sudah baik?"

Anak perempuan itu cepat melirik ke arah kaki kanannya yang sama sekali tidak kelihatan karena tertutup pakaiannya, juga tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita sakit.

"Totiang, engkau awas sekali!" serunya kagum.

"Memang pinto adalah seorang yang biasa mengobati tulang patah, tentu saja tahu. Coba kuperiksa sebentar!"

Anak perempuan itu mengangguk dan kakek itu kemudian meraba paha kanan anak itu, lalu mengangguk-angguk. "Sambungannya sudah benar, hanya obat penguatnya kurang manjur. Tulang kakimu sudah tersambung, akan tetapi engkau tak boleh banyak bergerak dulu. Sedikitnya dua pekan engkau tidak boleh menggunakan kakimu secara kuat."

Kemarahan Kun Liong atas kekasaran dan kesombongan anak perempuan itu lalu lenyap sama sekali, terganti oleh rasa iba ketika mendapat kenyataan bahwa anak itu menderita tulang paha patah. Sudah ditawan, menderita luka pula!

"Aihhh, siapakah yang begitu kejam mematahkan tulang kakimu?" tanyanya dan sekarang anak perempuan itu menjawab.

"Aku berusaha melawan. Aku sanggup menghajar tikus-tikus penculik itu seorang demi seorang kalau saja mereka tidak mengeroyok secara curang dan Si Brewok itu memukul patah pahaku dengan ruyungnya."

Kun Liong mengepal tinju. "Sudah kusangka, Si Brewok, Si Tinggi Besar dan kawannya itu bukan manusia baik-baik!"

"Siapakah engkau, Nona? Dan mengapa engkau diculik?" tosu itu bertanya dengan suara sungguh-sungguh. Mereka bertiga duduk di atas tikar yang tergelar di lantai.

"Aku Souw Li Hwa dan ayahku bernama Souw Bun Hok, tinggal di Lok-ek-tung. Pada saat aku sedang bermain-main seorang diri dengan perahu di Sungai Huang-Ho, mendadak mereka menyergap dan menculik aku. Menurut keterangan mereka, aku ditahan sampai orang tuaku datang menebusku dengan seribu tail perak. Sudah dua pekan aku ditahan di sini."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Sungguh mengherankan sekali. Sepanjang pengetahuan pinto, Ui-hong-pang bukanlah kaum penculik anak-anak!" Ucapan ini dikeluarkan dengan lirih.

Akan tetapi Kun Liong yang mendengarnya menjadi amat heran karena dari kata-kata itu membuktikan bahwa tosu tua ini telah mengenal Ui-hong-pang! Mengapa ketika ditangkap pura-pura tidak mengenal perkumpulan itu?

"Apakah ayahmu sanggup menebusmu dengan uang sebanyak itu?" Kun Liong bertanya dengan hati penasaran. Kembali dia menghadapi perbuatan manusia yang jahat!

Gadis cilik yang bernama Souw Li Hwa itu menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin ayahku mampu menebus dengan uang sebanyak itu? Ayah hanya bekas juru mudi saja yang sekarang telah mengundurkan diri karena usia tua, dan selama bekerja, Ayah tidak pernah mengumpulkan uang haram!"

Kun Liong kaget sekali dan sekarang mengertilah dia kenapa anak itu demikian angkuh, kiranya keturunan orang yang hebat. "Wah, ayahmu hebat!" Dia memuji.

"Memang, akan tetapi ayahku tidak akan dapat menolongku. Walau pun begitu, aku tidak khawatir. Aku percaya bahwa Suhu tentu akan membebaskan aku, dan bila mana Suhu sampai turun tangan sendiri, tikus-tikus itu tentu akan dibasmi habis sampai ke akarnya!"

"Siapa sih gurumu?" tanya Kun Liong.

"Nama guruku tidak boleh disebut-sebut. Pada waktu melihat aku melakukan perlawanan, tikus-tikus itu juga menanyakan nama Suhu, akan tetapi sampai mati pun aku tidak akan menyebut namanya. Ketua tikus-tikus Ui-hong-pang itu mengatakan dia sudah tahu siapa guruku, akan tetapi aku tidak percaya!"

Tosu tua yang sejak tadi mendengarkan saja, lalu memegang tangan anak perempuan itu dan bertanya halus. "Nona kecil, apakah suhu-mu she The?"

Anak itu berteriak heran. "Bagaimana Totiang bisa menduga?"

"Benarkah?"

Anak itu mengangguk.

Tosu itu menarik napas panjang. "Aihhh, pantas saja kalau begitu, engkau diculik bukan karena ayahmu melainkan karena suhu-mu."

"Bagaimana Totiang tahu? Apakah Totiang mengenal suhu-ku?"

Kun Liong juga memandang kakek itu dengan penuh keheranan. Kakek itu menarik napas panjang lagi dan mengangguk perlahan. "Sungguh kebetulan sekali peristiwa ini... siapa sangka aku akan bertemu dengan engkau. Tentu saja aku mengenal suhu-mu, Nona. Dan karena engkau adalah murid The-taiciangkun (Panglima Besar The), maka Ui-hong-pang menculikmu. Kalau pinto tak salah mendengar, pangcu dari perkumpulan ini adalah murid Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) Ang Hwi Nio, Majikan Telaga Siluman. Tentu saja pangcu itu membela gurunya yang menaruh dendam terhadap gurumu."

"Mengapa Totiang?"

"Ketika dahulu sebagai panglima besar suhu-mu mengadakan pembersihan, membasmi golongan sesat dan jahat, ayah Si Bayangan Hantu roboh dan tewas di tangan gurumu yang sakti. Tentu saja wanita iblis itu kini menaruh dendam, dan untuk membalas secara langsung kepada The-taiciangkun adalah tidak mungkin, karena itu melalui muridnya dia membalas dendam dengan cara menculikmu. Mungkin hal ini dilakukan untuk memancing agar gurumu datang ke sini."

"Tikus-tikus yang tak tahu diri!" Li Hwa berseru, "Kalau Suhu datang, mereka tentu akan mampus semua!"

Tosu itu menarik napas panjaang dan menggeleng kepala. "Mungkin begitu, akan tetapi belum tentu juga gurumu mau mengotorkan tangan menghadapi mereka ini. Setelah pinto secara kebetulan lewat di sini, biarlah pinto yang mewakilinya. Marilah, Nona, dan kau juga muridku, mari kita keluar dari sini."

"Ehhh...?" Kun Liong berseru heran.

Tosu itu mengira bahwa Kun Liong tidak suka menjadi muridnya, maka dia pun bertanya, "Apakah kau tidak mau menjadi muridku? Aku sudah terlanjur mengakuimu."

"Teecu suka, akan tetapi... bagaimana kita dapat keluar dari sini, Suhu?"

Tosu itu tertawa, kemudian mengelus kepala yang gundul itu. "Muridku yang baik sekali, siapa namamu?"

"Teecu bernama Yap Kun Liong..."

"Aihh, namanya seram, orangnya hanya bocah gundul!" Li Hwa mencela.

"Sombong kau, ya?" Kun Liong membentak.

"Husshhh, bukan saat ribut-ribut urusan tak berarti. Anak-anak, mari kita keluar dari sini." Sesudah berkata demikian, kakek itu melangkah ke pintu baja, tangan kanannya yang tertutup lengan baju yang lebar itu mendorong ke depan.

"Braaakkkk...!" Pintu baja itu terdorong roboh ke luar dan terbukalah lubang besar pada dinding bekas pintu itu.

Seorang penjaga berseru kaget, menerjang masuk dengan goloknya. Akan tetapi, dengan gerakan seperti seekor burung walet, Li Hwa mencelat ke depan, tangan kirinya menahan lengan yang bergolok, tangan kanan meninju perut. Penjaga itu berteriak dan langsung roboh terguling.

Melihat ini, Kun Liong kagum bukan main. Anak perempuan itu benar-benar tak membual ketika bercerita tadi, ternyata biar pun kaki kanannya masih sakit, dalam segebrakan saja mampu merobohkan seorang penjaga!

"Eh, jangan banyak bergerak, nanti kakimu patah lagi, Nona!" Tosu tua itu berkata dan tahu-tahu Li Hwa sudah melayang naik ketika tangan gadis itu dipegang dan ditarik oleh Si Tosu dan Li Hwa kini sudah duduk di atas punggung kakek itu!

Kun Liong tidak mau kalah. Melihat ada penjaga ke dua datang menyerbu, dia meloncat ke atas, kedua kakinya meluncur ke depan.

"Haaaiiittt! Dessss...!"

Sepasang kaki yang kecil itu dengan tepat mengenai muka serta dada penjaga tadi yang terjengkang ke belakang dan roboh bergulingan tak dapat bangkit kembali karena kedua matanya tak dapat dibuka, kena hantam sepatu Kun Liong dan napasnya juga sesak!

Kun Liong sendiri yang melakukan gerakan meloncat dan menendang, lalu terpental dan menumbuk dinding, akan tetapi dia dapat berjungkir balik lantas berdiri dengan terhuyung. Dilihatnya ada seorang penjaga datang lagi dengan pedang diangkat tinggi-tinggi hendak menyerang tosu yang menggendong Li Hwa yang bersikap tenang sambil memandang kepada Kun Liong dengan tersenyum geli. Kun Liong cepat berlari ke depan menyambut penjaga itu dengan serudukan kepalanya.

"Hyaaahhhh! Ngekkkk!"

Penjaga itu terjengkang, terbatuk-batuk, dadanya sesak perutnya mulas, dan Kun Liong melompat ke belakang, terhuyung karena kepalanya berdenyut dan pandangan matanya berkunang-kunang!

"Kun Liong, mari ikut pinto keluar dan jangan sembarangan bergerak. Biarlah pinto yang membuka jalan."

Kun Liong menurut sebab gerakan-gerakan tadi membuat badannya kembali terasa sakit. Kiranya luka akibat pukulan Ouw-Siucai di perahu itu masih belum sembuh benar. Dia sudah memperlihatkan kepada Li Hwa bahwa dia pun bukan bocah gundul sembarangan yang tidak patut bernama Yap Kung Liong, karena dia juga telah merobohkan dua orang lawan! Dengan dada dibusungkan, sepasang tangan dikepal siap bertanding, Kun Liong mengikuti tosu itu yang melangkah perlahan keluar dari tempat itu, menggendong Li Hwa.

Dari kanan dan kiri muncul belasan orang penjaga yang berpakaian seragam, tujuh orang bergolok dari arah kiri dan sembilan orang berpedang dari kanan. Dengan diiringi teriakan, mereka menyerbu dari kanan kiri.

Kun Liong yang mentaati perintah gurunya, hanya berdiri tenang, namun siap-siap untuk membela diri. Sekarang tosu itu menggerakkan kedua lengan bajunya ke kanan dan kiri, membiarkan Li Hwa merangkul pundaknya dan mengempit pinggangnya dengan kaki. Dari lengan baju itu menyambar angin pukulan yang dahsyat ke kanan kiri dan... belasan orang itu roboh malang melintang seperti rumput-rumput kering dilanda angin taufan!

Kini dari depan datang belasan orang pasukan panah dan terdengarlah suara bersuitan ketika anak-anak panah datang meluncur ke arah Kun Liong dan kakek itu. Kembali kakek itu menggunakan pukulan lengan bajunya dan semua anak panah segera dipukul runtuh, berserakan ke lantai sebelah depan mereka. Sebelum ada anak panah menyerang lagi, kakek itu sudah mendorongkan kedua lengannya bergantian ke depan dan seperti juga tadi, pasukan panah itu roboh terguling-guling!

Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan. Mereka yang roboh dan bangun kembali, tidak berani sembarangan menyerang, hanya berdiri dan siap menunggu perintah atasan. Kun Liong gembira dan kagum bukan main. Ingin dia bertepuk tangan saking kagumnya, akan tetapi melihat Li Hwa bersikap tenang, maka dia pun tenang-tenang saja dan kini melangkah tegap di samping gurunya, dengan sepasang tinju bergerak-gerak memasang kuda-kuda!

Pasukan-pasukan penjaga mengurung dari belakang, depan, kiri dan kanan. Akan tetapi mereka tidak menyerang dan hanya bergerak mengikuti kakek yang melangkah perlahan menuju ke ruangan dalam rumah tahanan itu.

"Pinto tidak ingin berkelahi. Pinto ingin bicara dengan pangcu kalian!" kakek itu berkata dengan suara tenang dan penuh kesabaran.

Tiba-tiba pintu depan terbuka lebar dan lima orang yang memegang tombak, yaitu para pengawal pribadi Kian Ti, demikian nama pangcu itu, bermunculan dan meloncat masuk dengan sikap galak. Serta-merta mereka memekik dan menerjang maju, lima orang maju sekaligus dan lima batang tombak bergerak-gerak. Ujung tombak mereka tergetar menjadi banyak, tanda bahwa Si Pemegang memiliki tenaga lweekang yang amat kuat. Kemudian dibarengi teriakan nyaring, mereka menyerang tosu itu.

"Pergilah...!" Tosu itu berseru.

Hanya tampak kedua kakinya bergerak-gerak diikuti ujung kedua tali ikat pinggang yang tergantung panjang ke bawah, dan... lima orang itu jungkir-balik lantas terbanting roboh di atas lantai! Mereka dapat meloncat kembali dengan sigap dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan kepada kakek luar biasa itu.

"Suruh pangcu kalian maju, pinto ingin berbicara dengannya." Kembali kakek itu berkata tenang.

Lima orang itu melompat ke samping dan berdiri berjajar, tombak di tangan didirikan di sebelah kiri mereka.

"Pangcu tiba...!" terdengar seruan dari pintu depan.

"Kau mau bertemu Pangcu? Silakan!" kata salah seorang di antara pengawal-pengawal bertombak itu sambil mengembangkan lengan kirinya.

Tosu itu lalu melangkah ke depan, memandang ke arah pintu depan. Li Hwa di belakang punggungnya menoleh ke kanan kiri dalam keadaan siap kalau-kalau mereka diserang dari belakang. Di belakang mereka pasukan-pasukan bergerak mengikuti, tombak, golok, anak panah dan pedang siap di tangan. Kun Liong melangkah perlahan di sebelah kanan gurunya, kedua tinju disiapkan, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang!

Tampak bayangan kuning berkelebat dan Si Ketua sudah berdiri di sana! Dia tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya menyinarkan hawa marah kepada tosu itu.

"Hemm... kiranya engkau seorang berkepandaian yang berpura-pura bodoh, ya? Agaknya engkau memang utusan mereka untuk merampas tawanan kami?"

"Tidak sama sekali!" Jawab tosu itu. "Pinto hanya kebetulan saja lewat dan tanpa sebab ditawan oleh orang-orangmu. Pangcu, engkau keliru sekali apa bila menculik anak ini dan berarti engkau memancing datangnya bahaya yang akan menghancurkan Ui-hong-pang. Apakah gurumu, Kwi-eng Niocu masih belum mau bertobat dan malah berani menentang The-taiciangkun? Kuharap saja engkau bisa sadar dan membiarkan pinto membawa pergi nona kecil ini sehingga urusan akan habis sampai di sini saja."

"Tua bangka keparat! Siapa takut kepadamu? Hayo katakan, siapa engkau sebelum mati di depan kakiku!"

"Sudah pinto katakan, orang menyebut pinto Bu Beng Tosu (Tosu Tanpa Nama)."

"Keparat! Dengan menggunakan nama Laksamana The Hoo, apa kau kira aku Kian Ti akan takut kepadamu? Engkau tak mau mengaku nama, baiklah, engkau akan mati tanpa nama!" Setelah berkata demikian, Kian Ti menggerakkan kedua lengan tangannya.

Jari jemari tangannya dibentuk laksana cakar harimau, kedua tangan itu digerak-gerakkan perlahan saling menyilang dan berputar-putaran, lantas terdengarlah suara berkerotokan seolah-olah semua tulang lengan kedua tangannya remuk, dan perlahan-lahan, sepasang lengan yang telanjang karena lengan bajunya tersingkap itu berubah menjadi kemerahan, makin lama makin merah sampai akhirnya menghitam!

Melihat perubahan pada lengan ini diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Biar pun dia belum pernah mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, akan tetapi dia adalah putera suami isteri yang sakti sehingga pernah pula dia mendengar penuturan ayah bundanya tentang ilmu-ilmu pukulan yang mukjijat, yang dilatih oleh para tokoh persilatan dengan cara yang aneh-aneh pula.

"Suhu, dia mempunyai tangan beracun!" kata Kun Liong ketika melihat kedua tangan yang kehitaman.

"Totiang, apakah itu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)?" Li Hwa juga bertanya.

Kakek itu tidak menjawab, bahkan dia berkata kepada Kiang Ti, "Kiang-kongcu, sebelum terlambat kuperingatkan lagi kepadamu supaya sadar dan tidak menggunakan kekerasan terhadap pinto seorang tua."

Akan tetapi, sikap dan ucapan kakek itu yang seperti seorang guru menasehati muridnya malah dianggap sebuah tantangan yang menghina oleh Kiang Ti. Tiba-tiba dia menerjang ke depan, berlari sambil memekik nyaring, "Yaaatttt…!"

Kedua tangannya yang berubah menjadi hitam itu menghantam ke dada dan perut kakek yang berdiri dengan tenang, sama sekali tidak bergerak, baik untuk menangkis mau pun mengelak.

"Plakk! Bukkk!"

Tubuh kakek yang menggendong Li Hwa itu sama sekali tidak terguncang seperti sebuah pilar batu diterjang lalat, akan tetapi Kiang Ti terbelalak, tubuhnya seperti lumpuh dan dia roboh berlutut di depan kedua kaki orang tua itu dengan mulutnya memuntahkan darah!

"Siancai...!" Kakek itu berkata, menunduk dan melihat tanda dua telapak tangan di dada dan perutnya karena bajunya di bagian yang terpukul itu telah berlubang dengan tepinya seperti dibakar, akan tetapi kulit tubuhnya sama sekali tidak ada tanda apa-apa. "Kenapa engkau keras kepala, Pangcu? Untung di dalam buntalan pinto yang kalian rampas itu terdapat akar obat yang bentuknya seperti ular belang. Masaklah dengan air dan minum airnya, tentu lukamu akan sembuh."

Dengan tenang kakek itu lantas melangkah menuju ke pintu, diikuti oleh Kun Liong yang merasa makin takjub dan bangga kepada kakek yang menjadi gurunya itu.

"Tunggu dulu... Locianpwe... nama apakah... yang akan kusebutkan... kepada... guruku kelak...?" Kiang Ti berkata tanpa bangkit dari lantai di mana dia jatuh berlutut.

"Hemm, katakan bahwa akar cendana sudah lama dikubur, dan kepala naga sudah lama lenyap dari sungai telaga..." Bersama anak perempuan yang digendongnya dan bocah gundul yang digandengnya tiba-tiba tubuh kakek itu lenyap dari pandang mata Kiang Ti dan anak buahnya.

Mata Kiang Ti terbelalak, bibirnya berkata dengan keluhan panjang "Ahhh... tongkat akar cendana berkepala naga... mengapa kakek sakti itu masih hidup dan muncul di sini...? Sungguh sialan..." Dia terguling dan roboh pingsan…..!

********************

Kun Liong dan Li Hwa memejamkan mata dan merasa ngeri. Apa lagi Kun Liong yang merasa betapa tubuhnya tergantung dengan tangan kanan dan meluncur seperti terbang cepatnya itu! Setelah lama dan napas mereka sudah terengah karena kencangnya angin menderu di depan hidung, secara mendadak angin berhenti dan ketika mereka membuka mata, kakek itu telah berhenti menggunakan ilmu lari cepat yang tidak lumrah hebatnya itu!

Li Hwa melorot turun dari gendongan lalu serta-merta dia menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan kaki kakek aneh itu. "Mohon Locianpwe sudi memaafkan teecu yang tidak tahu bahwa teecu telah tertolong oleh Locianpwe Bun Hwat Tosu yang sakti!"

Kun Liong terkejut sekali. Tentu saja dia sudah mendengar nama ini, nama yang sering dipuji-puji oleh ayah bundanya sebagai nama seorang di antara manusia-manusia sakti seperti dewa di dunia ini! Bahkan nama ini disejajarkan dengan nama Tiong Pek Hosiang, guru ayahnya yang menjadi orang paling sakti di Siauw-lim-pai! Nama yang dimiliki oleh tokoh pertama dari Hoa-san-pai! Sebab itu dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu juga hendak mohon maaf bahwa teecu tidak tahu telah diambil murid oleh Ketua Hoa-san-pai yang mulia!"

Kakek itu tertawa sambil mengelus jenggotnya. "Siancai...! Anak-anak di jaman sekarang benar-benar bermata tajam sekali. Ehh, Nona Li Hwa, bagaimana engkau bisa menduga bahwa pinto adalah Bun Hwat Tosu?"

"Suhu pernah menyatakan bahwa salah seorang di antara sahabat-sahabat beliau yang mempunyai kesaktian tinggi adalah seorang tua yang bersenjata sebatang tongkat terbuat dari akar kayu cendana dan berukirkan kepala naga. Pada saat Locianpwe tadi menyebut kayu cendana dan kepala naga, maka tahulah teecu."

"Ha-ha-ha-ha, engkau memang cerdik, patut menjadi murid yang mulia The-taiciangkun! Gurumu terlalu memuji pinto. Beliau sendiri adalah seorang ahli silat yang ilmunya tinggi sekali, seorang ahli sastra yang jarang tandingannya, seorang ahli perang yang jempolan dan seorang pemimpin besar armada yang luas pengetahuannya. Mana mungkin pinto yang bodoh dan sederhana dapat dibandingkan dengan dia? Nah, Nona kecil yang baik, apakah sekarang engkau dapat pulang sendiri ke Liok-ek-tung?"

Li Hwa mengangguk. "Liok-ek-tung tidak jauh lagi dari sini, Locianpwe. Harap Locianpwe sudi singgah di rumahku, supaya kedua orang tuaku dapat menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang sudah menolongku, dan apa bila mungkin dapat bertemu dengan Suhu..."

Kakek itu menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, tidak perlu... dan tentang pertemuan dengan gurumu, kelak tentu akan tiba saatnya pinto menghadap beliau yang mulia. Nah, pulanglah agar orang tuamu berlega hati."

Sekali lagi Li Hwa mengangguk-anggukkan kepalanya di hadapan kaki kakek itu. "Teecu menghaturkan terima kasih dan bermohon diri."

Li Hwa bangkit berdiri, mengerling kepada Kun Liong.

"Selamat jalan, Adik Li Hwa! Jangan lupa kepadaku, ya!"

Li Hwa tersenyum, memandang kepala Kun Liong yang licin mengkilap. "Mana bisa aku melupakan itu?" dia menuding.

Kun Liong juga tertawa dan meraba-raba kepalanya. "Mengapa ragu-ragu? Katakan saja kepalaku, kepala gundul buruk!"

"Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu, hi-hi-hik!" Li Hwa tertawa, Kun Liong tertawa dan keduanya saling pandang seperti dua orang sahabat lama. Sesudah menjura sekali lagi kepada Bun Hwat Tosu, Li Hwa lalu meloncat dan berlarian menuju ke kota Liok-ek-tung di timur.

Setelah bayangan anak perempuan itu lenyap di balik pohon-pohon, Bun Hwat Tosu baru memandang Kun Liong dan bertanya,

"Kun Liong, dari mana engkau tahu bahwa Bun Hwat Tosu adalah Ketua Hoa-san-pai?"

"Nama Suhu dihormati dan dipuji-puji oleh Ayah Bunda teecu."

Kakek itu mengerutkan sepasang alisnya. Mendengar namanya dihormati dan dipuji-puji hatinya segera merasa tidak enak. Pujian sama bahayanya dengan musuh yang datang dari belakang, berbeda dengan kata-kata keras yang seperti musuh datang dari depan.

"Siapa nama ayahmu?"

"Ayah bernama Yap Cong San."

Akan tetapi Bun Hwat tidak mengenal nama ini.

"Ayah menjajarkan Suhu setingkat dengan Sukong Tiong Pek Hosiang."

Kini kakek itu mengangkat kedua alisnya. "Ahhh! Tiong Pek Hosiang bekas ketua Siauw-lim-pai? Heran sekali! Dan dia itu sukong-mu (kakek gurumu)?"

"Ayah adalah murid beliau."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Hemm, pantas kalau begitu... gerakanmu memiliki dasar Siauw-lim-pai sungguh pun sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang aneh..."

"Dari ibu teecu." Kun Liong memotong.

"Hemmm, ibumu juga lihai sekali?"

"Hanya kalah sedikit oleh Ayah, akan tetapi Ibu menang dalam hal ilmu pengobatan. Ibu adalah sumoi (adik seperguruan) dari Supek Cia Keng Hong..."

"Ahhhh! Benar-benar suatu kebetulan yang luar biasa! Kalau begitu, pinto telah kesalahan besar mengambil engkau sebagai murid!"

Serta-merta Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki orang tua itu karena merasa khawatir kalau-kalau gurunya lantas membatalkan pengangkatan murid. "Harap Suhu tidak membatalkan teecu menjadi murid."

"Kenapa? Engkau adalah keturunan orang-orang pandai dan melihat dasarmu, sepatutnya engkau menjadi murid Siauw-lim-pai. Seorang murid Siauw-lim-pai tidak boleh belajar dari orang lain, dan kalau pinto menerimamu sebagai murid, tentu pinto kesalahan terhadap Siauw-lim-pai."

"Teecu bukan murid Siauw-lim-pai!"

"Akan tetapi ayahmu?"

"Ayah pun bukan murid Siauw-lim-pai, hanya bekas murid. Kini sudah tidak diakui lagi. Menurut penuturan Ayah, dulu Ayah pernah membuat kesalahan besar terhadap Siauw-lim-pai, biar pun diampuni akan tetapi tidak lagi diakui murid, hanya sebagai sahabat baik para pimpinan Siauw-lim-pai saja. Harap Suhu percaya keterangan teecu karena teecu tidak membohong."

Kakek itu kembali mengelus jenggotnya. Dia sudah mendengar tentang riwayat Tiong Pek Hosiang yang mengundurkan diri dari Siauw-lim-pai, akan tetapi selama ini dia tak pernah mendengar tentang murid-murid kakek sakti itu. Dia mengira bahwa tentu ayah bocah ini tidak diakui lagi sebagai murid Siauw-lim-pai karena tersangkut persoalan gurunya.

Padahal, duduknya pekara tidaklah demikian. Yap Cong San kehilangan haknya sebagai anak murid Siauw-lim-pai karena dia menikah dengan Gui Yan Cu, dara yang dianggap terlibat dalam urusan gurunya, Tung Sun Nio dengan Tiong Pek Hosiang sehingga dapat mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai.

"Akan tetapi, kalau ayah bundamu sendiri adalah orang-orang pandai, perlu apa engkau belajar dari pinto?"

Kun Liong mengerutkan alisnya, memutar otak untuk memberi jawaban yang paling tepat. Kemudian dengan suara sungguh-sungguh dia pun menjawab, "Belajar dari ayah dan ibu sendiri tidak akan maju, Suhu."

"Hemm, kenapa tidak akan maju? Ayahmu adalah murid Tiong Pek Hosiang yang berilmu tinggi, sedangkan ibumu adalah sumoi dari Cia-taihiap (Pendekar Besar Cia) yang sangat sakti, tentu ayah bundamu mempunyai kepandaian tinggi pula. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa belajar dari orang tuamu sendiri tidak akan maju?"

"Karena Ayah terlampau keras kepada teecu sehingga teecu selalu takut-takut, karena itu belajar dari Ayah tidak akan dapat maju. Ada pun ibu terlalu memanjakan teecu, belajar lelah sedikit sudah disuruh mengaso, juga tidak akan maju."

Kini kakek itu mengerutkan alisnya yang berwarna putih, memandang tajam kepada Kun Liong, kemudian berkata, "Sungguh alasan yang tidak dapat diterima. Engkau agaknya seorang anak yang nakal dan bandel, Kun Liong, apakah karena kenakalanmu itu maka engkau pergi meninggalkan rumah?"

"Wah, tidak... tidak, Suhu. Dan bukan hanya itu alasan teecu. Masih ada lagi alasan kuat mengapa teecu tidak ingin agar Suhu membatalkan teecu sebagai murid Suhu."

"Hemm, alasan tidak masuk akal apa lagi?"

"Pelajaran dari Ayah Bunda teecu dapat kapan saja, akan tetapi pertemuan dengan Suhu merupakan hal yang kebetulan sekali dan kiranya tidak akan ada kesempatan ke dua bagi teecu, maka tentu saja teecu ingin sekali menjadi murid Suhu yang namanya dipuji-puji oleh Ayah."

Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. "Hemmm... alasan ini pun tidak kuat dan hanya menonjolkan kemurkaanmu akan ilmu silat saja."

Kun Liong menjadi gugup, "Ah, sama sekali tidak, Suhu! Teecu benci... benci... akan ilmu silat!"

"Heee?"

"Maksud teecu... teecu benci akan penggunaannya yang hanya ditujukan untuk memukul lain orang, melukai bahkan membunuh lain orang."

"Kalau begitu, mengapa engkau bersikeras hendak belajar ilmu silat dari pinto (aku)?"

"Justru karena itu, teecu ingin sekali memiliki ilmu kepandaian tinggi supaya teecu dapat mempergunakannya untuk mencegah agar jangan sampai orang-orang yang pandai silat menganiaya dan memukul orang lain."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Bisa diterima alasanmu, akan tetapi untuk memperoleh ilmu silat tinggi, ayah bundamu cukup untuk mengajarimu, tidak perlu engkau belajar lagi dari pinto."

Kun Liong menjadi gelisah. Dia masih berlutut dan sekarang dia mengangkat mukanya memandang kakek itu sambil berkata, "Harap Suhu suka menerima teecu. Sesungguhnya hal ini bukan semata-mata untuk kepentingan teecu, akan tetapi demi kebersihan nama dan kehormatan Suhu sendiri."

Bun Hwat Tosu terkejut bukan main. Ia menyentuh pundak Kun Liong dan bertanya, "Apa maksudmu?"

Kun Liong menundukkan mukanya, hatinya menjadi berdebar karena takut melihat betapa ucapannya tadi membuat kakek itu bersikap demikian sungguh-sungguh. Namun sudah kepalang baginya, menggunakan siasat yang paling lihai.

Dia tahu bahwa orang-orang aneh seperti Bun Hwat Tosu ini tidak membutuhkan apa-apa lagi dan satu-satunya hal yang masih dipentingkan hanyalah satu, yaitu nama baik yang menyangkut kehormatan. Oleh karena itu dia sekarang menyinggung tentang nama dan kehormatan. Dan ternyata kakek itu benar-benar tergugah dan menaruh perhatian besar sekali!

"Teecu tidak bermaksud buruk. Suhu sendiri yang telah mengambil teecu sebagai murid dan Suhu sendiri yang telah mengucapkan kata-kata itu. Pernah teecu mendengar bahwa kata-kata seorang budiman, yang telah keluar dari mulut, mewakili suara hati dan menjadi janji yang lebih berharga dari pada nyawa. Maka dari itu, kalau sekarang Suhu menarik kembali janji Suhu itu, bukankah hal ini akan menodai nama dan kehormatan Suhu?"

Bun Hwat Tosu mengelus-elus jenggotnya kemudian memandang kepada anak gundul itu dengan sinar mata tajam, lalu dia menghela napas dan berkata, "Yap Kun Liong, sekecil ini engkau sudah bisa menggunakan kata-kata untuk mendesak dan menghimpit seorang tua seperti pinto, membuat pinto tidak berdaya. Benar-benar engkau berbakat cerdik, dan entah apa yang akan terjadi bila mana engkau sudah dewasa kelak. Kecerdikan dapat mengangkat orang ke tingkat tinggi, akan tetapi juga dapat menyeret orang ke tempat yang paling rendah. Baiklah, pinto tidak mungkin dapat menarik kata-kata sendiri. Pinto akan menurunkan ilmu kepadamu selama lima tahun, akan tetapi tidak boleh menyebut guru kepada pinto karena kalau hal ini pinto lakukan, yaitu mengambilmu sebagai murid, berarti pinto kurang hormat kepada Siauw-lim-pai dan Cin-ling-pai. Bagaimana, maukah engkau?"

Kun Liong mengangguk-angguk memberi hormat. "Teecu menghaturkan terima kasih atas kemurahan hati Locianpwe."

Bun Hwat Tosu menarik napas panjang. "Hemm, kemurahan hati apa? Pinto terpaksa dan apa bila engkau melakukan penyelewengan, entah akibat apa yang akan pinto tanggung kelak!"

Serta-merta Kun Liong berkata lantang, "Teecu bersumpah bahwa apa pun yang akan terjadi dengan diri teecu, teecu tidak akan menyebutkan nama Locianpwe, juga tak akan menyangkutkan nama Locianpwe!"

"Sudahlah, agaknya memang engkau sudah berjodoh dengan pinto. Ingatlah, sekali-kali bukan pinto takut engkau menyebut nama pinto, akan tetapi jangan dihubungkan dengan Hoa-san-pai. Pinto telah lama mengundurkan diri dari Hoa-san-pai, dan andai kata nama pinto rusak akibat sepak terjangmu, masih belum terlalu hebat. Akan tetapi kalau sampai Hoa-san-pai tersangkut, kelak pinto pasti akan mencarimu buat mencabut kembali semua ilmu yang kau pelajari dari pinto, biar pun dengan bahaya tercabutnya pula nyawamu atau nyawa pinto."

Kun Liong hanya mengangguk-angguk dan wajahnya agak pucat. Hebat sekali ancaman yang keluar dari mulut kakek itu dan dia dapat merasakan kesungguhan hati kakek itu yang membuatnya mengkirik.

"Teecu akan selalu ingat kata-kata Locianpwe."

"Nah, mari kita pergi!"

Sebelum Kun Liong bangkit berdiri, tahu-tahu tubuhnya sudah disambar dan kembali dia mengalami peristiwa yang mengerikan ketika tubuhnya meluncur dengan amat cepatnya menuju ke sebuah pegunungan yang kelihatan melintang panjang laksana seekor naga tidur di sebelah depan…..

********************

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar