Petualang Asmara Jilid 05

Kun Liong mendekatkan hidungnya pada sebuah lubang dan ternyata benar dugaannya. Bau ular itu keluar dari lubang ini. Kun Liong segera mempergunakan tangan kanannya menepuk-nepuk sebelah atas lubang dengan telapak tangan dan mulutnya mengeluarkan bunyi mencicit seperti bunyi anak tikus.

Dua orang itu berdiri dengan mata terbuka lebar, dan mata mereka menjadi lebih lebar lagi ketika tiba-tiba dari dalam lubang itu keluar kepala seekor ular hitam yang lidahnya merah! Semakin lama semakin panjang tubuh ular itu tersembul keluar, dan secepat kilat tangan kiri Kun Liong menyambar dan ular itu sudah ditangkap pada lehernya, kemudian dibuat tidak berdaya dan lumpuh seperti biasa.

"Wah, kiranya engkau benar-benar dapat menangkap ular!" Akian berseru girang seperti bersorak.

"Eh, anak kecil, bagaimana engkau berani melakukan ini? Ular-ular di sini... eh, maksudku di hutan sebelah selatan, adalah ular-ular peliharaan...," kata Si Kakek.

"Apa...?" Kun Liong bertanya tidak percaya. "Siapa yang memelihara ular?"

"Ssstt, Paman, harap jangan main-main..." Akian berkata, memandang ke kanan kiri dan kelihatan takut-takut.

"Tidak ada yang tahu betul siapa yang memelihara, anak aneh, akan tetapi ular raksasa yang berada di tengah hutan tentu akan membunuhmu karena engkau sudah berani menangkap ular ini."

"Ular raksasa? Di mana binatang itu?"

"Di tengah hutan sebelah selatan dusun kami," kata Si kakek, tanpa mempedulikan Akian yang beberapa kali menaruh telunjuk di depan bibir yang mendesis-desis sebagai isyarat menyuruh kakek itu diam.

"Kalau benar ada ular raksasa yang suka mengganggu penduduk, biarlah besok pagi aku akan menangkapnya!" Kun Liong berkata dengan nada suara gagah.

Kakek itu saling pandang dengan Akian, kemudian dia mengejap-ngejapkan sepasang matanya. Kepada Kun Liong dia berkata, "Benarkah itu, anak yang ajaib? Dan engkau juga bisa mengobati orang yang kena digigit ular berbisa?"

"Aku dapat, Kek. Apakah masih ada korban ular berbisa?"

"Ada dua orang, di dusun kami!" Akian kini berkata tergesa-gesa dan penuh harapan.

"Antarkan aku kepada mereka, akan kuobati. Cepat, jangan sampai terlambat!" kata Kun Liong.

Kakek Lo dan Akian lalu mengajak Kun Liong berlari-lari menuju ke dusun dan mereka disambut oleh penduduk dusun yang terheran-heran memandang Kun Liong yang masih memegang seekor ular hitam, apa lagi ketika mereka mendengar penuturan Si Kakek Tua bahwa anak ajaib itu akan mengobati dua orang yang terkena gigitan ular berbisa.

Kun Liong diantar kepada ayah dan anak yang siang tadi digigit ular berbisa pada waktu mereka sedang mencari kayu kering di pinggir hutan. Keduanya digigit ular pada betis kaki mereka yang kini menjadi bengkak dan biru. Anak yang usianya sebaya dengan Kun Liong itu pingsan, ada pun si ayah rebah gelisah, mengigau dengan tubuh panas seperti anaknya.

Ibu anak itu menangis, akan tetapi tangisnya dipaksa berhenti ketika mendengar bahwa anak yang tampan dan berpakaian koyak-koyak itu datang untuk mengobati suami serta anaknya. Berbondong-bondong orang dusun mengikuti Kun Liong memasuki rumah petani itu.

Sesampainya di depan pintu kamar, Kun Liong berhenti, membalikkan tubuh dan berkata, "Harap para paman dan bibi suka menunggu di luar saja. Tidak baik kalau kamar yang menderita sakit dipenuhi orang."

Kakek Lo segera melangkah maju mendekati Kun Liong, lantas berkata dengan suara lantang, "Tabib kecil ini berkata benar! Hayo kalian keluar semua! Apa dikira ini tontonan? Susah payah aku yang menemukan anak ajaib ini berhasil membawanya ke sini untuk menyelamatkan dusun kita. Hayo pergi kataku, pergi keluar!"

Dengan lagak bangga kakek itu mendesak mereka keluar dan hanya memperbolehkan nyonya rumah, dia sendiri, dan Akian yang dianggap sekutunya dalam menemukan Kun Liong, mengantar anak itu memasuki kamar dua orang korban gigitan ular berbisa itu.

Dengan sikap sungguh-sungguh Kun Liong memeriksa luka di kaki ayah dan anak itu. Dia memang sudah agak matang memperoleh pelajaran tentang racun ular dari ibunya yang menganggap betapa pentingnya pengetahuan ini, maka sekali pandang saja maklumlah Kun Liong bahwa kedua orang itu digigit ular belang. Cepat dia menuliskan nama-nama obat yang harus dibelinya dari kota, kemudian dia minta sebuah pisau yang runcing tajam, merobek kulit bagian kaki yang menggembung serta mengeluarkan darah hitam dengan jalan memijat dan mengurut.

Kakek Lo segera menyuruh seorang penduduk lari ke kota membeli obat. Setelah orang itu kembali membawa obat, menurutkan petunjuk Kun Liong obat itu sebagian dimasak dan diminumkan yang sakit, sebagian yang berupa bubuk merah dicampur air panas dan ditaruh di atas luka lalu luka itu dibalut. Dapat dibayangkan betapa lega dan girang hati nyonya rumah ketika melihat suami dan puteranya itu dapat tidur pulas dan tubuh mereka tidak terasa panas lagi. Serta merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Liong yang cepat-cepat membangunkan kembali.

Kakek Lo dengan bangga dan girang berkata, "Aihh, Siauw-sinshe, kepandaianmu seperti dewa! Harap saja engkau benar-benar akan dapat membersihkan ular-ular itu dari hutan di selatan agar keselamatan kami di dusun ini dapat terjamin,"

Kun Liong mengangguk. "Jangan khawatir, Kakek yang baik. Besok aku akan mencoba menangkap ular raksasa yang kau ceritakan tadi. Sekarang aku perlu sebuah tempat tidur dan... hemm, perutku lapar bukan main. Sejak kemarin malam aku belum makan..."

"Aihhh! Kenapa tidak dari tadi bilang? Marilah ke rumahku, kami sediakan kamar untukmu dan tentang makan, tidak perlu khawatir. Marilah!" Dia menggandeng tangan Kun Liong, menariknya ke luar untuk diajak menuju ke rumahnya. Ketika sampai di luar pintu, dia berkata kepada orang-orang yang menanti di luar.

"Kini mereka telah sembuh, disembuhkan oleh anak ajaib ini! Dan ketahuilah, besok pagi anak dewa yang kutemukan ini, yang malam ini akan makan dan tidur di rumahku, akan menangkap ular raksasa dan membasmi semua ular berbisa di hutan selatan!"

Tanpa menanti jawaban kakek itu menarik tangan Kun Liong pergi dari situ, tidak peduli akan seruan-seruan heran dan takjub dari orang-orang yang menimbulkan kebanggaan di dalam hatinya. Betapa dia tidak akan bangga? Dia yang menemukan anak ajaib ini!

Akian memperoleh kesempatan untuk mendongeng tentang ‘anak ajaib’ yang ia dapatkan bersama Kakek Lo. Kalau saja Kun Liong mendengar bagaimana Akian bercerita tentang dirinya, tentang kemunculannya yang dikatakan melayang turun dari angkasa, betapa dia menangkap ular dengan mantera, dan beberapa macam keanehan lagi, tentu Kun Liong sendiri akan terheran-heran, lebih heran dari pada orang-orang dusun itu sendiri!

Kakek Lo tidak kekurangan hidangan untuk menjamu Kun Liong karena begitu mereka memasuki rumah kakek itu, berbondong-bondong para penduduk mengantar hidangan seadanya yang masih mereka punyai sehingga tidak lama kemudian Kun Liong sudah duduk menghadapi meja yang penuh dengan hidangan, dilayani sendiri oleh Kakek Lo dan keluarganya yang terdiri dari anak laki-laki, mantu dan tiga orang cucu.

Sesudah makan kenyang, malam itu Kun Liong tidur dengan nyenyak sekali dan pada keesokan harinya, Kakek Lo menyambutnya dengan pakaian baru yang ukurannya tepat sekali bentuknya. "Pakaianmu sudah koyak-koyak semua, pakailah pakaian ini, pakaian cucuku yang masih baru, belum pernah dipakainya sama sekali."

Kun Liong tak menolak dan setelah mandi, dia mengenakan pakaian baru itu. Rambutnya disisir rapi lalu digelung dan diikat dengan sehelai sapu tangan sutera. Juga pemberian sepatu baru dipakainya.

"Hebat! Engkau tentu seorang kongcu, seorang putera bangsawan!" Kakek Lo berseru dan memandang kagum kepada anak yang berdiri di depannya, segar dan tampan sekali.

"Bukan, Kek. Aku bukan anak bangsawan, Ayah bundaku hanyalah ahli-ahli obat biasa saja."

"Siapakah namamu, Siauw-sinshe?"

"Aku she Yap, namaku Kun Liong."

"Yap-kongcu (Tuan Muda Yap)...!"

"Wah, aku bukan seorang kongcu, aku anak biasa. Panggil saja namaku, Kek."

"Ahhh, tidak, siapa percaya? Yap-kongcu, silakan keluar, di depan rumah sudah menanti para penduduk, bahkan kepala dusun ini sendiri datang untuk bertemu denganmu."

Kun Liong kaget dan merasa betapa penduduk telah menghormatinya secara berlebihan. Ketika dia keluar, benar saja dia melihat penduduk sudah berkumpul di depan rumah itu, dipimpin oleh kepala dusun yang menjura dengan sikap hormat kepada Kun Liong sambil berkata,

"Kami mewakili penduduk dusun Coa-tong-cung berterima kasih sekali kepada Siauw-kongcu yang telah menolong kami menyembuhkan dua penduduk yang terluka dan akan menangkap ular raksasa yang banyak mengganggu kami."

"Harap Cuwi tidak bersikap sungkan," kata Kun Liong malu-malu. "Aku hanya melakukan apa yang dapat kulakukan, dan memang sudah biasa aku menangkap ular. Hanya saja, terus terang kukatakan bahwa selamanya aku belum pernah menangkap ular yang besar. Akan kucoba menundukkannya dan kuharap supaya disediakan seekor ayam betina yang gemuk dengan tali panjang mengikat kakinya untuk umpan."

Kepala dusun cepat memerintahkan orangnya untuk menyediakan permintaan Kun Liong, kemudian beramai-ramai mereka mengantarkan anak itu ke dalam hutan di selatan Dusun Coa-tong-cung (Dusun Goa Ular). Akan tetapi tidak seorang pun berani memasuki hutan, hanya berdiri saja di luar hutan yang kelihatan gelap itu dengan wajah membayangkan kengerian.

"Mengapa Cuwi (Kalian) berhenti? Siapa yang akan menunjukkan kepadaku tempat ular raksasa itu?"

Semua orang menunduk, akan tetapi Kakek Lo langsung melangkah maju dan berkata dengan suara dipaksakan dan dada dibusungkan, "Aku akan menemanimu, Yap-kongcu!"

"Aku juga!" Akian melangkah maju pula.

"Hemmm…, memang sebaiknya ada yang mengawal kalau-kalau Siauw-kongcu ini perlu bantuan," kata kepala dusun yang menggunakan wibawanya lalu memilih sepuluh orang pemuda-pemuda yang bertubuh kuat dan membawa senjata, dan dia sendiri memimpin sepuluh orang itu mengikuti Kun Liong, Kakek Lo, dan Akian memasuki hutan.

Setelah tiba di tengah hutan, di bagian yang berbatu-batu, Akian menuding ke depan dan semua pengikut itu tiba-tiba berhenti, wajah mereka berubah. pucat dan tak seorang pun berani maju lagi.

Kun Liong memandang ke depan. Hidungnya sudah mencium bau keras, bau wengur yang menandakan bahwa di dekat situ terdapat seekor ular besar. "Harap Cuwi menanti saja di sini," katanya.

Dia lalu membawa ayam betina yang telah diikat kakinya itu, perlahan-lahan menghampiri sebuah goa di antara batu-batu gunung. Setelah dia menyelinap di antara batu-batu dan tiba di mulut goa, tampaklah olehnya seekor ular yang amat besar dan panjang.

Mula-mula ketika dia tiba di situ, ular itu sedang melingkar, akan tetapi agaknya ular itu telah melihat kedatangannya. Ular itu mendesis kemudian tubuhnya yang melingkar mulai bergerak-gerak, lingkarannya terlepas sehingga tampaklah tubuh yang panjang sekali, tak kurang dari empat meter panjangnya, dan besar perutnya melebihi paha Kun Liong!

Sesudah berada di depan ular yang mendesis-desis dan lidah merahnya keluar masuk mulut dengan cepat sekali itu, Kun Liong berhenti. Terlalu berbahaya kalau mendekat lagi. Dia mengukur jarak antara dia dan ular, dan mengingat apa yang telah dipelajarinya dari ibunya.

Ibunya pernah menundukkan seekor ular besar, meski pun tidak sebesar ular di depannya ini. Menurut pelajaran yang diberikan oleh ibunya, seekor ular besar berbeda bahayanya dengan ular kecil yang beracun. Ular kecil gigitannya mematikan karena mengandung bisa. Akan tetapi seekor ular besar yang tak berbisa seperti ini, bahayanya terletak pada mulut yang dapat menjadi lebar sekali, yang gigitannya tidak mungkin dapat dilepaskan oleh Si Korban, dan juga terletak pada belitan tubuhnya yang amat kuat.

Untuk membuat mulut lebar itu tidak berdaya, harus dipergunakan umpan, karena sekali ular itu menggigit korbannya, gigi-giginya yang melengkung ke dalam itu akan merupakan kaitan yang sukar melepaskan si korban dan dalam keadaan menggigit korbannya, ular itu tidak dapat menyerang lawan dengan mulutnya. Mudah untuk membuat mulut itu tidak berdaya, pikir Kun Liong, yang berbahaya adalah belitan tubuh ular itu. Harus cepat dapat menotok tengkuk di belakang kepala sehingga tubuh itu menjadi setengah lumpuh.

Ular itu kini mengeluarkan desis keras sesudah Kun Liong melepaskan ayamnya. Ayam betina gemuk itu mengenal bahaya. Dia meronta-ronta dan menggerakkan sayap hendak lari dan terbang, akan tetapi tali yang mengikat kaki itu menahannya. Dengan mata yang memandang tanpa berkedip, Kun Liong menggerakkan talinya sehingga tubuh ayam itu terlempar ke depan, ke dekat ular.

Menakjubkan melihat ular sebesar itu, membayangkan kelambanan, dapat menggerakkan kepala dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu ayam itu sudah memekik-mekik serta meronta-ronta, namun tak mungkin dapat melepaskan diri dari gigi-gigi runcing yang telah menancap pada tubuhnya dan mengait daging serta tulangnya.

Kun Liong menanti sebentar, melihat ayam yang meronta-ronta dan memekik-mekik itu mulai lemas, dan beberapa kali moncong ular itu bergerak ke depan secara mendadak, memaksa tubuh korbannya masuk makin dalam, kemudian dengan gerakan ringan Kun Liong langsung meloncat ke dekat kepala ular, menubruk dan merangkul leher ular yang menegakkan kepalanya, menggunakan jari tangannya mengerahkan semua tenaga untuk memijat dan memukul tengkuk ular.

Bau yang amis dan wengur membuatnya muak, dan melihat moncong ular yang besar itu dia merasa ngeri juga. Apa bila moncong ular itu tidak penuh dengan ayam yang mulai ditelan berikut bulu-bulunya, tentu dia yang menjadi korban dan kiranya ular itu tidak akan menghadapi kesukaran untuk menelan tubuhnya bulat-bulat.

Ular itu marah sekali, akan tetapi karena dia tidak dapat menyerang dengan mulutnya yang penuh ayam, dia hanya mempergunakan tubuhnya untuk membelit. Pukulan pada tengkuknya mendatangkan rasa nyeri dan ketika Kun Liong akhirnya berhasil menotok urat kelemahan binatang itu di tengkuk, tubuh ular itu telah berhasil pula membelit tubuh Kun Liong, menggunakan tenaga dari ekornya!

Kun Liong menggunakan lengannya melindungi leher karena dia maklum bahwa apa bila sampai lehernya terbelit dan tercekik, dia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dan tentu akan mati. Dia berhasil melindungi leher, akan tetapi pinggang, kedua kaki, dada, dan lengannya terhimpit dan terbelit, membuat dia sukar bernapas dan tidak dapat bergerak!

Saat melihat betapa kepala dusun dan anak buahnya yang menyaksikan keadaannya itu datang mendekat dengan senjata di tangan, siap membantunya, Kun Liong menggeleng kepala dan berkata, "Jangan...!"

Dia merasa khawatir sekali karena kalau orang-orang itu menyerbu lantas melukai ular besar ini, tentu ular itu akan makin marah dan memperkuat libatannya dan hal ini berarti ancaman maut baginya.

Untung bahwa kepala dusun itu seorang yang cukup cerdik untuk dapat mengerti bahwa kalau keadaan anak itu terancam bahaya, tidak mungkin anak itu menolak untuk dibantu. Maka dia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk diam, dan mereka itu kini hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran dan melihat Kun Liong bergulat dalam usahanya membebaskan diri dari belitan tubuh ular yang licin dan amat kuat itu. Biar pun tubuh bagian leher setengah lumpuh, namun tenaga dari ekornya masih sangat kuat dan agaknya ular itu hendak membuat tubuh Kun Liong remuk dengan himpitannya.

Kun Liong maklum bahwa keadaannya berbahaya. Biar pun dia telah berhasil memukul tengkuk ular itu sehingga untuk sementara ular itu tidak dapat menelan tubuh ayam dan mulutnya takkan menggigitnya, akan tetapi tenaga pukulannya tidak cukup kuat sehingga ular itu hanya akan lumpuh untuk beberapa saat lamanya saja. Bila mana ular itu dapat memulihkan kembali tenaganya, menelan tubuh ayam tadi dan mulutnya sudah kosong, tentu dia tidak akan tertolong lagi. Sekali gigit dia akan mati dan tubuhnya akan ditelan perlahan-lahan ke dalam perut yang besar itu.

Kembali Ilmu Sia-kut-hoat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya dia pergunakan untuk menolong dirinya. Dengan menggunakan ilmu ini, biar pun perlahan-lahan karena belitan ular itu betul-betul amat kuat, akhirnya Kun Liong dapat membebaskan kedua lengannya. Ekor ular itu ikut membelit ke pinggangnya, maka mudah baginya untuk menangkap ekor ular itu dan dengan sekuat tenaga dia menarik dan membetot bagian ekor ular itu sampai terdengar bunyi suara tulang berkerotok, tanda bahwa sambungan tulang di ekor itu telah terlepas!

Karena kedua ujung tubuhnya yang menjadi serupa pegangan dan pusat tenaganya telah menjadi lumpuh, ular itu lalu kebingungan. Tubuhnya bergerak-gerak lemah dan otomatis libatannya menjadi kendur sehingga dengan mudah Kun Liong dapat melepaskan diri dan meloncat keluar dari lilitan tubuh ular yang melingkar-lingkar.

"Dia sudah dapat kujinakkan!" katanya kepada orang-orang yang menonton dengan heran dan kagum. Akan tetapi karena tubuh ular besar itu masih bergerak-gerak, orang-orang itu masih merasa takut dan tidak berani datang mendekati.

"Dia tidak akan dapat menggigit atau melilit lagi. Kita ikat leher dan ekornya, bawa pulang ke dusun. Dagingnya enak sekali! Juga kulitnya amat berharga" kata Kun Liong.

Kakek Lo menjadi orang pertama yang melompat ke depan mendekati ular. Dia mengulur tangan menepuk-nepuk kepala ular itu dan pada saat melihat betapa ular itu sama sekali tidak menyerangnya, dia tertawa terkekeh-kekeh sehingga semua orang menjadi berani. Beramai-ramai mereka mengikat ular itu dengan tali yang memang sudah mereka bawa dari dusun.

Kun Liong lalu menangkap-nangkapi ular-ular beracun kecil sampai belasan ekor lebih. Kini sambil memanggul ular yang sudah diikat dan membawa ular-ular berbisa kecil yang sudah lumpuh, penduduk dusun yang dipimpin kepala kampung itu tertawa-tawa gembira dan penuh kebanggaan, berjalan beriring hendak keluar dari dalam hutan.

"Mudah saja untuk mengusir ular-ular dari hutan ini," Kun Liong sibuk memberi penjelasan kepada kepala dusun. "Cuwi dapat mempergunakan bubukan garam untuk mengusir ular. Ular-ular itu paling takut karena garam dapat mencelakakan mereka, menjadi racun yang merusak kulit mereka. Pertama-tama Cuwi sebarkan garam di bagian hutan yang dekat dusun, atau dapat juga dipergunakan api untuk membakar semak-semak. Pasti binatang-binatang itu akan lari ketakutan dan tidak akan berani datang kembali, mereka akan mencari tempat persembunyian lain yang lebih aman."

Tiba-tiba rombongan itu berhenti berjalan ketika terdengar suara yang mirip suara suling, akan tetapi aneh sekali, tidak seperti suling biasanya. Jelas bahwa suara itu keluar dari sebuah alat tiup macam suling, hanya suaranya melengking terus tanpa pernah berhenti sedikit pun dan nadanya naik turun, kalau naik menjadi tinggi sekali sampai hampir tidak terdengar lagi dan seperti menusuk-nusuk telinga, tapi kalau turun menjadi amat rendah seperti gerengan seekor harimau yang menggetarkan jantung.

"Suara apakah itu...?" Kun Liong bertanya.

Tetapi dia tidak memerlukan jawaban lagi ketika menoleh dan melihat betapa orang-orang itu saling pandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, kemudian mereka menahan seruan kaget pada saat mendengar suara mendesis-desis dari sekeliling mereka, disusul munculnya puluhan, bahkan ratusan ekor ular besar kecil yang mengurung mereka!

Tadinya ular-ular itu bergerak dan mendesis-desis akan tetapi tiba-tiba suara melengking itu berubah pendek-pendek seperti memberi aba-aba dan... ular-ular itu lalu berhenti, tak bergerak seperti mati!

"Apa... apakah ini...?" Kun Liong kembali bertanya, memandang ke sekeliling dan bergidik melihat betapa ular-ular itu memang telah mengurung mereka, agaknya datang dari empat penjuru hutan itu dan seolah-olah binatang-binatang itu terlatih sehingga dapat melakukan pengurungan yang rapat dan rapi! Tentu suara suling aneh itu yang mengatur ‘barisan’ ular ini. Diam-diam dia kagum bukan main.

Suara melengking menghilang dan dapat dibayangkan betapa kaget hati penduduk dusun itu ketika tiba-tiba saja, entah dari mana dan bagaimana datangnya, tahu-tahu di hadapan mereka sudah berdiri seorang laki-laki yang luar biasa.

Dia adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun. Pakaiannya lorek-lorek seperti kulit ular, tubuhnya kurus tinggi dan lehernya sangat panjang, kepalanya lonjong. Benar-benar seorang manusia yang bentuk tubuhnya sangat ‘mendekati’ bentuk ular!

Tangan orang ini memegang sebuah benda yang bentuknya seperti suling, akan tetapi ujung bagian depan besar dan terbuka seperti corong, agaknya sebuah alat tiup terompet yang aneh. Di punggungnya tampak gagang sebatang pedang.

"Hahhh! Siapa kalian ini yang berani mati sekali mengganggu anak buahku, mengganggu binatang peliharaanku! Lepaskan mereka!"

Tiba-tiba ia menggetarkan tangan kanannya ke depan. Ujung lengan bajunya menyambar ke depan dan... semua ular yang dipegang oleh rombongan itu langsung terlepas karena mereka, termasuk juga Kun Liong, tiba-tiba merasa ada angin menyambar dan membuat lengan mereka seperti kehilangan tenaga dan lumpuh untuk beberapa detik lamanya!

Kepala dusun dan para anak buahnya sudah berdiri menggigil, bahkan ada yang saking takutnya sudah menjatuhkan diri berlutut. Kun Liong teringat dengan cerita Kakek Lo dan Akian yang pada saat itu sudah berlutut pula, yaitu cerita tentang ular-ular hutan itu yang katanya ada yang memelihara. Kiranya cerita itu bukan cerita bohong belaka karena kini benar-benar ada seorang manusia aneh yang mengakui ular-ular itu sebagai anak buah dan peliharaannya!

Dia lalu teringat pula akan penuturan ibunya bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat manusia-manusia aneh yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki kesaktian. Maka kini melihat orang aneh yang sekali menggerakkan tangan mampu membuat mereka semua terpaksa melepaskan ular-ular yang ditangkapnya tadi, Kun Liong dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang di antara manusia-manusia sakti di dunia kang-ouw. Cepat dia melangkah maju dan memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil berkata,

"Locianpwe (Orang Tua Perkasa), harap Locianpwe tidak menyalahkan para penduduk dusun ini, mereka tidak berdosa karena akulah yang telah menangkap ular-ular ini."

Sejenak manusia aneh itu memandang ke arah ular-ular yang hanya mampu bergerak lambat, termasuk ular besar yang telah setengah lumpuh, kemudian menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan heran. "Ular-ularku ditotok dan dilumpuhkan! Engkau yang melakukan ini? Dari mana engkau memperoleh ilmu menangkap ular?"

"Pernah kupelajari dari orang tuaku sendiri."

"Hemmm, kalian manusia-manusia jahat dan lancang, sungguh berani melumpuhkan dan menangkapi ular-ularku! Kalian tak berhak hidup lagi karena kalian telah berani menghina Ban-tok Coa-ong!"

Mendengar ini, kepala dusun menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh semua anak buahnya. "Harap Locianpwe sudi mengampunkan kami..."

"Hemmm, barang kali aku bisa mengampuni, akan tetapi ular-ularku ini pasti tidak!" kata kakek itu sambil terkekeh, sikapnya kejam sekali.

Kun Liong menjadi marah. Dia melangkah maju lagi dan berkata, "Locianpwe yang telah memiliki nama julukan sedemikian menyeramkan tentu bukanlah seorang manusia biasa, melainkan tokoh besar di dunia kang-ouw. Apakah Locianpwe tidak malu dan tidak akan ditertawakan orang-orang gagah sedunia kalau Locianpwe membunuh orang-orang dusun yang tidak mampu melawan?"

Kembali kakek itu tercengang memandang wajah Kun Liong. Sikap dan ucapan bocah ini benar-benar membuat dia kaget, heran, dan kagum.

"Kalian telah mengganggu ular-ularku, karena itu sudah pantas dihukum. Siapa yang akan mentertawakan aku?"

"Locianpwe adalah seorang manusia, aku tidak percaya bahwa Locianpwe lebih sayang kepada ular dari pada kepada manusia, membela ular dan memusuhi manusia!" kembali Kun Liong membantah penuh penasaran.

"Ho-ho-ho-ha-ha-ha! Aku disebut Coa-ong (Raja Ular), siapa lagi kalau bukan aku yang membela ular-ular ini? Aku tidak sudi dimasukkan dalam kelompok manusia! Ular-ular ini jauh lebih baik dari pada manusia!"

"Locianpwe agaknya lupa bahwa ular-ular berbisa telah membunuh banyak manusia, dan merupakan binatang ganas yang berbahaya bagi manusia!" Kun Liong membantah terus, suaranya sama sekali tidak membayangkan rasa takut, bahkan terdengar nyaring penuh penasaran.

"Apa kau bilang?" Kakek itu. mencoba untuk melebarkan matanya, akan tetapi hasilnya, sepasang matanya itu bertambah sipit hampir terpejam sama sekali. Lehernya yang amat panjang bergerak-gerak makin memanjang sehingga kelihatannya lucu sekali. Lengannya yang panjang dan dapat bergerak seperti ular merayap itu menudingkan telunjuk tangan ke arah Kun Liong.

"Jangan memutar balikkan kenyataan, ya? Kau hanya mengingat manusia yang terbunuh oleh ular-ular, sama sekali tak ingat akan ular-ular yang terbunuh oleh manusia! Mungkin perbandingannya tidak ada seratus lawan satu, seratus ekor ular sudah dibunuh manusia dan baru seorang manusia yang terbunuh oleh ular! Hal itu pun terjadi karena si manusia mengganggu ular, jika tidak, tak mungkin ada ular menyerang manusia, kecuali ular besar yang menyerang apa saja kalau sudah lapar karena membutuhkan penyambung hidup. Sedangkan manusia-manusia macam engkau ini, menangkap dan membunuh ular untuk apa? Tanpa makan ular kalian masih dapat hidup. Kau bilang ular-ular itu berbahaya bagi kehidupan manusia, bukankah itu terbalik dan sesungguhnya, manusia-manusia macam kalian inilah yang amat berbahaya bagi kehidupan ular?"

Muka Kun Liong menjadi merah sekali. Di dalam hati anak yang masih belum rusak benar oleh kepalsuan-kepalsuan seperti manusia dewasa, dia dapat menerima pendapat kakek aneh itu dan dalam kewajarannya, dia mau tidak mau harus membenarkan pendapat itu. Akan tetapi maklum bahwa nyawa kepala dusun beserta anak buahnya terancam bahaya maut, dia segera membantah,

"Biar pun pendapat Locianpwe tak dapat kusangkal kebenarannya, akan tetapi Locianpwe adalah seorang manusia, tak mungkin Locianpwe hendak mengorbankan nyawa manusia untuk membela ular!"

"Memang aku raja ular! Bergaul dengan ular jauh lebih menyenangkan dari pada bergaul dengan manusia-manusia yang palsu!"

Kakek itu segera mendekatkan ujung terompetnya ke bibir sehingga terdengarlah suara melengking yang dahsyat sekali, yang membuat Kun Liong dan semua penduduk dusun itu menggigil kedua kakinya dan tidak dapat melangkah pergi dari tempat mereka berdiri seolah-olah kaki mereka menjadi lumpuh!

Ternyata bahwa suara terompet itu bukanlah suara biasa, tapi suara yang mengandung getaran dahsyat sekali dari tenaga khikang dan diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Pernah dia mendengar dari ayah bundanya akan kesaktian ini. Hanya orang yang sudah memiliki sinkang amat kuat saja yang dapat mengerahkan tenaga dalam suara sehingga melumpuhkan lawan!

Pernah ia merasakan getaran khikang dari suara nyanyian tosu Pek-lian-kauw, yaitu Loan Khi Tosu, akan tetapi getaran yang terkandung dalam suara tosu itu tidaklah sedahsyat suara terompet ini sehingga dia bahkan masih dapat mengacau nyanyian tosu itu dengan nyanyiannya.

Pernah ayahnya mendemonstrasikan suara melengkingnya yang mengandung khikang, akan tetapi agaknya kekuatan khikang ayahnya juga tidak sehebat dan sedahsyat suara yang terkandung dalam tiupan suling aneh ini!

Empat belas orang itu, Kun Liong, Kakek Lo, Akian, kepala dusun dan sepuluh orang anak buahya, hanya berdiri bagaikan arca dengan mata terbelalak lebar memandang ke arah ular-ular yang kini maju merayap menghampiri mereka! Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati mereka, akan tetapi mereka tak dapat menggerakkan kaki untuk melarikan diri, bahkan bibir mereka yang bergerak-gerak tidak dapat mengeluarkan suara, hanya terdengar ah-ah-uh-uh dan ada di antara mereka yang sudah mengeluarkan air mata saking takutnya.

Hanya Kun Liong seorang yang berdiri tenang karena dia sama sekali lupa akan keadaan diri sendiri, lupa akan bahaya yang mengancam nyawanya sendiri, dan yang menjadi perhatiannya hanyalah keadaan orang-orang yang terancam bahaya maut itu. Di dalam hatinya dia merasa menyesal bukan main. Semua ini terjadi gara-gara dia! Kalau dia tidak menangkap ular-ular itu agaknya kakek iblis Ban-tok Coa-ong takkan membunuh mereka!

Rasa penasaran dan penyesalan yang besar ini membuat dia sejenak lupa sama sekali akan suara melengking dari terompet sehingga dia terbebas dari pengaruh khikang dan berteriak keras,

"Kakek iblis! Jangan bunuh mereka! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku karena akulah yang menangkap ular-ularmu. Mereka tidak berdosa!"

Kembali kakek itu tercengang. Dalam perantauannya di dalam dunia kang-ouw, sebagai seorang di antara lima datuk persilatan yang terkenal, sudah banyak dia bertemu dengan orang gagah, bukan hanya gagah karena tinggi ilmu kepandaiannya, akan tetapi gagah karena berjiwa satria, seorang yang tidak gentar menghadapi maut dan yang selalu siap mengorbankan nyawa untuk orang lain. Akan tetapi, selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang kanak-kanak yang usianya baru sepuluh tahun sudah memiliki jiwa satria seperti ini!

Dia benar-benar tercengang, terheran, dan merasa kagum bukan main. Aihhh, kalau saja puteranya bersikap seperti anak ini, pikirnya. Dia menarik napas panjang dan menjadi marah karena iri hati kepada ayah anak yang gagah perkasa itu.

Melihat betapa ular-ular itu sudah tiba dekat sekali di depan kaki para penduduk dusun, Kun Liong yang sudah terbebas dari suara terompet, melompat ke depan kakek itu sambil membentak,

"Kakek iblis, tidak malukah engkau? Sungguh engkau pengecut hina!"

"Plakkk!"

Secara tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu bergerak dan tubuh Kun Liong terguling dalam keadaan lumpuh karena dia telah tertotok secara aneh sekali. Dan kakek itu masih terus meniup terompetnya yang membuat ular-ular itu seperti mabok dan marah.

Mulailah ular-ular itu menyerang dan menggigit empat belas orang itu dan pada saat itu, Ban-tok Coa-ong menghentikan tiupan terompetnya sehingga orang-orang itu kini kembali dapat bergerak dan dapat berteriak-teriak.

Mereka berusaha melawan, akan tetapi mana mungkin melawan ular yang sedemikian banyaknya? Sedikitnya ada sepuluh ekor ular besar kecil menggigit tubuh setiap orang dan setiap gigitan saja sudah mengandung racun yang cukup untuk mencabut nyawa!

Hanya Kun Liong seorang di antara empat belas orang itu yang tetap tidak bergerak biar pun tubuhnya juga digigit beberapa ekor ular. Ada pun tiga belas orang yang lain, selain menjerit-jerit dan semakin lama suaranya berubah menjadi rintih memilukan, juga mereka berkelojotan dan bergulingan ke sana-sini sampai akhirnya mereka diam tidak bergerak, tubuh mereka bengkak-bengkak dan berwarna biru kehitaman!

Hal ini adalah karena di dalam tubuh Kun Liong sudah terdapat racun inti bisa ular. Ibunya yang sangat sayang kepada puteranya ini telah memberi minum obat yang mengandung racun anti bisa ular itu kepadanya semenjak kecil, sedikit demi sedikit sehingga kini Kun Liong telah menjadi kebal terhadap bisa ular. Gigitan-gigitan itu memang membuat bagian tubuh yang tergigit menjadi bengkak dan merah, tetapi racun ular itu tidak dapat menjalar ke dalam tubuhnya, tertolak oleh darahnya yang mengandung racun penolak hingga bisa ular itu hanya terkumpul di tempat gigitan.

Hal ini tak diketahui oleh Ban-tok Coa-ong. Ia tertawa-tawa dan bergembira menyaksikan orang-orang yang disiksanya itu. Kalau saja tidak ada sedemikian banyaknya orang yang dikeroyok ular-ularnya, andai kata hanya Kun Liong seorang, sebagai seorang ahli racun ular tentu saja Ban-tok Coa-ong akan dapat mengetahui keanehan ini.

Sekarang tidak terdengar suara lagi. Tubuh empat belas orang itu diam tak bergerak lagi, dan ular-ular itu sudah merayap pergi setelah para korbannya tidak bergerak lagi. Mereka itu bukanlah ular-ular pemakan bangkai dan mereka hanya menyerang untuk membunuh, didorong dan dirangsang oleh suara terompet.

"Ayahhh... jangan bunuh mereka dulu...!" Mendadak terdengar suara teriakan dan gema suara teriakan itu belum lenyap ketika tahu-tahu di situ telah berdiri seorang anak laki-laki berambut panjang sampai ke punggung dan dibiarkan terurai begitu saja. Anak ini paling banyak tiga belas tahun usianya, wajahnya tampan akan tetapi gerak matanya sangat mengerikan, seperti gerak bola mata seorang yang tidak waras otaknya!

"Bouw-ji (Anak Bouw), mau apa kau?" kakek itu bertanya, suaranya penuh dengan kasih sayang.

Akan tetapi anak laki-laki ini tidak menjawab hanya tertawa ha-ha-hi-hi, kemudian berjalan melihat-lihat tubuh empat belas orang yang menggeletak tak bergerak dengan muka biru menghitam itu. Hanya muka Kun Liong seorang yang tidak menjadi biru menghitam, cuma bengkak dan merah sedikit di pipi kanan bekas gigitan ular. Akan tetapi seperti juga tiga belas orang yang lain, dia roboh pingsan setelah tujuh kali digigit ular berbisa.

Kalau di dalam tubuh tiga belas orang itu, racun ular mengamuk dan mulai menjalar ke arah jantung, di dalam tubuh Kun Liong terjadi hal lain lagi. Racun ular bertemu dengan racun di dalam tubuhnya yang menolak sehingga terjadi pertempuran, namun racun ular kalah kuat dan hanya berhenti di tempat gigitan.

"He-he-hi-hi, Ayah. Kehebatan jarum-jarumku dengan racun baru belum pernah dicoba. Mereka ini hendak kujadikan kelinci percobaan, Ayah!" Anak berambut panjang itu sudah mengeluarkan sekepal jarum-jarum kecil yang berwama merah.

"Bodoh! Mereka sudah hampir mati, tidak ada gunanya. Untuk percobaan, harus memilih korban yang masih sehat," Ayahnya mencela.

"Hi-hi-hi, mereka belum mati dan dalam keadaan keracunan bisa ular mereka merupakan kelinci-kelinci percobaan yang amat menarik. Racun di jarumku ini lebih hebat dari pada racun ular, dan sekarang dapat dibuktikan, Ayah!"

Tanpa menanti jawaban lagi, anak itu menggerak-gerakkan tangan kanannya dan segera tampaklah sinar-sinar kecil menyambar ke arah tengkuk keempat belas orang yang roboh pingsan itu. Agaknya dia sengaja melempar jarum dengan tenaga kecil terukur sehingga jarum-larum itu hanya menancap setengahnya saja pada tengkuk empat belas orang itu. Kemudian, sambil tertawa-tawa anak itu meloncat ke dekat ayahnya dan mereka lantas berpelukan sambil memandang ke arah korban mereka, menanti apa yang akan terjadi.

Kun Liong siuman ketika merasa nyeri. Akan tetapi dia segera teringat akan keadaannya, maka dia diam saja tidak bergerak, apa lagi karena tiba-tiba dari tengkuknya menjalar hawa panas ke arah kepalanya, kemudian seluruh tubuhnya terasa panas dan sakit-sakit semua, membuat dia tidak dapat bergerak dan hanya dapat memandang dengan mata setengah terpejam, mengintai dari balik bulu matanya, melihat betapa kakek mengerikan itu kini berpelukan sambil tertawa-tawa dengan seorang anak laki-laki kecil yang tampan akan tetapi amat menyeramkan. Ketika ia mengerling ke arah tiga belas orang dusun, dia terkejut setengah mati dan bulu tengkuknya meremang, berdiri satu-satu saking ngerinya.

Apa yang terjadi dengan tiga belas orang itu benar-benar mengherankan dan mengerikan sekali. Bagaikan mayat-mayat hidup, tiga belas orang itu satu demi satu bangkit berdiri dengan gerakan kaku! Mereka itu benar-benar seperti mayat-mayat hidup dalam dongeng penakut kanak-kanak.

Muka mereka kehitaman, mata mereka melotot tak pernah berkedip, mulut mereka penuh busa, berlepotan di sekeliling bibir, napas mereka terengah-engah mengeluarkan suara ‘ngaak-ngiik’ seperti napas orang menderita penyakit mengi (asma). Kemudian, seperti ada sesuatu yang mendorong mereka dari belakang, tiga belas orang itu berlari kaku ke depan seperti orang berlomba, akan tetapi agaknya mereka lari secara ngawur, gerakan mereka kaku sekali dan arahnya tidak sama!

"He-he-hi-hi-hi...! Racunku menang, Ayah! Mengalahkan racun ular! Mari kita mengikuti mereka dan melihat!"

Anak berambut panjang itu bersorak dan meloncat, mengikuti ‘mayat-mayat hidup’ yang lari berpencar tidak karuan itu. Ban-tok Coa-ong menggeleng-geleng kepala dan terpaksa mengikuti puteranya.

Untung bagi Kun Liong karena ayah dan anaknya yang agaknya berotak miring itu tidak memperhatikannya sehingga tidak melihat keanehan bahwa di antara empat belas orang itu, hanya Kun Liong seoranglah yang tidak terpengaruh oleh racun merah. Melihat ayah dan anak itu pergi mengikuti para korban yang berubah mengerikan itu, Kun Liong lalu menggunakan sisa tenaganya untuk merangkak pergi dari situ, memasuki semak-semak dan terus merangkak-rangkak karena dia tidak kuat bangkit. Jauh juga dia merangkak, hingga akhirnya dia roboh terguling, pingsan di dalam semak-semak yang gelap…..

********************

Ban-tok Coa-ong adalah nama julukan yang diberikan oleh orang-orang kang-ouw kepada kakek itu. Namanya adalah Ouwyang Kok, seorang pendatang baru di dunia kang-ouw, akan tetapi sungguh pun baru kurang lebih sepuluh tahun dia terjun ke dunia kang-ouw, namanya telah dikenal sebagai seorang di antara para datuk persilatan yang amat ditakuti orang pada waktu itu.

Tidak ada orang lain yang mengetahui asal-usulnya, akan tetapi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, manusia aneh ahli ular ini turun dari pegunungan yang asing dan tidak pernah dikunjungi orang, di perbatasan Nepal, masuk ke Tiongkok menggendong seorang anak laki-laki yang berusia tiga tahun, kemudian membuat nama besar di dunia kang-ouw karena kepandaiannya yang sangat tinggi dan sepak terjangnya yang aneh. Akan tetapi, keganasannya terhadap mereka yang menantangnya, dan keahliannya bermain dengan ular, menghasilkan nama julukan Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun)!

Anak yang dibawanya itu adalah putera tunggalnya, bernama Ouwyang Bouw yang sejak kecil digemblengnya, namun karena cara hidup Ouwyang Kok tidak lumrah manusia dan penggemblengan terhadap anaknya pun terlalu hebat, maka anak itu memiliki watak yang aneh pula, seperti seorang yang agak miring otaknya!

Ibu anak itu, isteri tercinta dari Ouwyang Kok, telah meninggal dunia di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Nepal, tewas sesudah digigit ular beracun yang sangat luar biasa sehingga tidak tertolong. Agaknya peristiwa inilah yang membuat Ouwyang Kok kini menjadi seorang ‘Raja Ular’!

Kini anak dan ayahnya itu berlari-lari sambil tertawa-tawa menyaksikan ulah para korban yang lari seperti mayat hidup. Suara tertawa mereka makin menjadi ketika mereka melihat beberapa orang di antara para korban yang lari kaku itu terjerumus ke dalam jurang, dan ada pula yang menabrak pohon terus memeluk pohon itu dan mati kaku dalam keadaan memeluk batang pohon, kedua kakinya melingkari batang pohon, sepuluh jari tangannya mencengkeram pohon dan mulutnya menggigit kulit pohon. Sungguh mengerikan!

Ada pula dua orang di antara tiga belas orang dusun yang belum roboh ke dalam jurang dan juga belum menabrak pohon, sesudah beberapa orang lagi roboh karena kakinya tersangkut akar kayu, roboh terus mencengkeram rumput-rumput sehingga akhirnya mati dalam keadaan seperti itu. Dua orang ini adalah Akian dan kepala dusun.

Agaknya mereka berdua mempunyai tubuh yang lebih kuat, maka dapat berlari kaku dan belum roboh. Kebetulan sekali mereka lari satu jurusan, yaitu ke jurusan dusun mereka! Mungkin juga masih ada sedikit sisa ingatan mereka untuk lari pulang ke dusun mereka.

Ketika mereka tiba di luar dusun, beberapa orang penduduk dusun yang merasa khawatir dan telah siap menyusul ke hutan, cepat berlari menyambut dua orang itu. Setelah dekat mereka itu berdiri bengong dan penuh rasa heran dan ngeri melihat betapa kepala dusun dan Akian berlari kaku seperti itu, muka mereka biru kehitaman, mata terbelalak tanpa berkedip dan kemerahan, mulut menyeringai penuh busa putih!

Keadaan menjadi geger dan terdengar jerit-jerit mengerikan ketika dua orang mayat hidup ini menubruk dan memeluk dua orang yang terdekat. Karena kaget dan heran, dua orang itu tidak sempat mengelak ketika mereka dipeluk oleh dua orang mayat hidup itu. Mereka hendak meronta, akan tetapi seluruh tubuh merasa panas, dan pada saat jari-jari tangan mencengkeram mereka, ketika gigi yang sekarang mengandung racun itu menggigit leher, mereka berdua menjerit-jerit, jerit yang makin melemah hingga akhirnya mereka berdua roboh terguling bersama mayat hidup yang menyerang mereka, tewas dalam keadaan masih berpelukan.

"Ha-ha-ha-ho-ho, lucu sekali...!"

"Hi-hi-hi, hebat bukan jarum-jarumku, Ayah?"

Para penduduk dusun terbelalak memandang ayah dan anak yang tahu-tahu telah berada di situ sambil tertawa-tawa. Melihat keadaan mereka, dan melihat peristiwa mengerikan yang menimpa diri kepala dusun, Akian, serta dua orang teman mereka yang menjadi korban, mereka menjadi ketakutan dan serta merta mereka melarikan diri masuk ke dalam dusun, menyeret keluarga mereka yang berada di luar rumah, memasuki rumah masing-masing, segera menutup pintu dan saling berpelukan dengan anak isteri dalam keadaan ketakutan sekali. Kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka terbelalak lebar seperti mata kelinci-kelinci yang mencium bau harimau, mata mereka memandang ke arah pintu dan muka mereka pucat sekali.

Akan tetapi, agaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya sudah merasa puas, mereka bergandengan tangan dan pergi meninggalkan dusun itu. Tadinya mereka hanya berjalan dengan langkah perlahan, akan tetapi lambat laun gerakan mereka makin cepat dan akhirnya mereka itu bergerak seperti terbang saja!

Setelah lama menanti dan mengintai sampai berjam-jam dan merasa yakin bahwa kedua siluman itu sudah tidak berada di luar dusun mereka lagi, barulah penduduk berani keluar rumah. Mereka keluar dari dusun itu, berindap-indap berbondong-bondong sebab mereka membutuhkan semua teman untuk memberanikan diri.

Biar pun hati mereka merasa ngeri sekali, terpaksa mereka mengurus jenazah Akian dan kepala dusun bersama dua orang penduduk yang menjadi korban mereka, malah mereka memberanikan diri untuk mencari ke dalam hutan. Hanya tujuh orang mereka temukan dalam keadaan amat mengerikan. Ada yang mati dalam keadaan masih memeluk batang pohon, ada yang mencengkeram rumput!

Penuh rasa takut dan ngeri hati penduduk. Namun mereka terpaksa mengangkut semua mayat itu ke dusun untuk diurus sebagaimana mestinya.

Mayat empat orang lain tidak mereka temukan dan mereka tidak tahu ke mana perginya empat orang itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa empat orang itu pun sudah menjadi mayat dengan tubuh remuk-remuk setelah mereka terjungkal ke dalam jurang.

Oleh karena mereka tidak bisa menemukan Kun Liong, maka mereka menjadi curiga dan menghubung-hubungkan anak itu dengan siluman besar kecil yang mereka lihat di luar dusun. Timbullah dugaan mereka bahwa anak yang tadinya datang sebagai penolong itu tentulah sebangsa siluman pula dan kedatangannya itu hanya pancingan belaka sehingga teman-temannya mendapatkan korban banyak orang! Teringat akan ini, mereka menjadi penasaran sekali mengapa tidak mereka keroyok dan bunuh saja anak kecil yang datang secara aneh itu sehingga mereka dapat terbujuk, belasan orang ikut memasuki hutan dan menjadi korban…..

********************

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar