Hati Yan Cu mulai menjadi gelisah ketika sampai hampir tengah hari dia tidak melihat Cong San datang. Ke mana perginya suaminya itu? Suaminya! Suaminya yang tercinta dan mengenangkan Cong San, dada wanita muda ini terasa hangat dan penuh. Ah, tentu ada sesuatu hal yang penting maka Cong San sampai meningalkannya tanpa pamit. Dia harus menanti dengan sabar.
Tiba-tiba Yan Cu melompat bangun, wajahnya pucat. Sesuatu! Jangan-jangan suaminya tertimpa bahaya! Siapa tahu. Bhe Cui Im, iblis betina itu masih berkeliaran. Dan Go-bi Thai-houw! Aihhh, kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya!
"Bhe Cui Im, kalau sampai engkau berani mengganggu suamiku, aku bersumpah untuk menghancurkan kepalamu!" Dia mengepal tinju. Akan tetapi kembali dia menjadi gelisah. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan suaminya yang tercinta?
"Ahhh, Tuhan, semoga dia selamat. Koko, ke manakah engkau pergi?" Hampir Yan Cu menangis kalau saja dia tidak ingat bahwa betapa memalukan kalau suaminya datang melihat dia menangis, atau habis menangis, seperti anak kecil saja, ditinggalkan sebentar juga menangis. Seperti wanita lemah yang manja dan cengeng, sedikit-sedikit merengek!
Yan Cu merasa heran menyaksikan perubahan hatinya sendiri. Ia adalah seorang wanita gemblengan, seorang pendekar wanita yang semenjak kecil menghadapi kekerasan tanpa berkedip mata, kini menjadi seorang wanita lemah, penakut serta mudah sekali gelisah. Beginikah cinta? Aihhh, betapa hebat kekuasaan cinta. Dia tersenyum bila teringat betapa dahulu bersama suheng-nya, Cia Keng Hong, dia bicara tentang cinta!
Uihhh, betapa jauh bedanya pelajaran kosong mengenai cinta itu dengan kenyataannya. Bumi dengan langit! Kiranya tidak semudah itu cinta dipelajari dengan kata-kata, tidak semudah itu untuk dapat diikuti dengan pikiran, tidak mungkin diselami oleh akal budi manusia. Cinta hanya dapat DIRASA, titik! Percuma saja bicara tentang dasar laut dari permukaannya! Seperti bicara tentang isi langit dari atas bumi!
Tiba-tiba lamunannya membuyar saat pendengarannya yang tajam terlatih itu mendengar suara gerakan orang. Ia cepat-cepat membalikkan tubuh dan seketika wajahnya berseri, matanya terbelalak bersinar-sinar, bibirnya terbuka, "Koko...!"
"Yan Cu... ohhh, Yan Cu...!"
Bagaikan berlomba lari Cong San dan Yan Cu saling menghampiri, saling menubruk dan saling peluk dengan penuh kerinduan seakan-akan mereka sudah bertahun-tahun saling berpisah! Kalau masih ada bekas-bekas kemarahan di hatinya, kini tersapu bersihlah dari hati Cong San dan diam-diam dia mengutuk diri sendiri.
Isterinya begitu mencintanya, jelas terasa oleh hatinya getaran kasih sayang yang keluar dari tubuh Yan Cu, dari setiap ujung jari-jari tangannya, dari dengus napasnya, dari sinar matanya, dari senyum manisnya. Aihhh, cinta kasih isterinya bersembunyi di balik setiap gerak-geriknya, di balik setiap suara yang keluar dari mulutnya, menempel di setiap bulu badannya, mengapa dia masih menyangsikan!
Ia mencium isterinya penuh kasih sayang dan kegelisahan mereka berdua lenyap ditelan dalam ciuman yang lama dan mesra itu. Dan akhirnya Yan Cu melepaskan diri, napasnya terengah-engah, tersenyum dan mengerling manja dengan mulutnya dibikin cemberut.
"San-koko, engkau sungguh keterlaluan, pagi-pagi buta sudah meninggalkan orang pergi tanpa pamit!"
Cong San yang melihat isterinya cemberut, matanya melerok, kakinya dibanting seperti seorang anak kecil ngambek ini, tersenyum geli dan dia pun lantas menjura dalam-dalam seperti orang memberi hormat kepada seorang ratu, "Mohon beribu ampun, ratuku pujaan hati! Melihat engkau tidur demikian nyenyak, kelihatan lelah sekali, hati kakanda mana mungkin tega membangunkanmu?"
"Ihhh! Siapa yang bikin orang lelah!" Yan Cu mendengus, akan tetapi ia merangkul leher suaminya ketika pinggangnya dipeluk, lalu bertanya dengan suara sungguh-sungguh,
"Suamiku, hatiku tadi benar-benar gelisah sekali. Tadinya kukira engkau mencari bahan santapan, akan tetapi sampai hampir siang engkau belum juga kembali. Apakah terjadi sesuatu, Koko? Tadi aku khawatir kalau-kalau engkau tertimpa mala petaka!"
Aduh, kekasihku, engkau tidak tahu betapa mala petaka hebat hampir saja merusak cinta kasih kita, di dalam hatinya Cong San mengeluh. Akan tetapi mulutnya berkata, "Kau maafkan aku. Aku... aku tadi teringat kepada suhu. Tadinya aku hanya ingin menengok sebentar selagi kau tidur dan sekalian menangkap kijang atau kelinci. Siapa kira, ketika sampai di sana, suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan akan bertapa hingga mati kelak. Hatiku terharu sekali sehingga aku sampai lama membujuk-bujuk agar suhu suka bicara untuk terakhir kalinya dengan aku, akan tetapi sia-sia. Ketika aku kembali, hatiku demikian penuh rindu kepadamu sampai aku lupa untuk menangkap bahan makanan dan perutku lapar bukan main!"
"Apa kau kira aku pun tidak lapar sekali? Heran sekali, baru sekarang terasa setelah kau kembali!"
"Ha-ha-ha, memang cinta membuat orang selalu merasa lapar dan haus!"
"Aaahh, masa! Apa engkau selalu lapar dan haus setelah jatuh cinta kepadaku?"
"Tentu saja, kelaparan dan kehausan. Hanya kerling matamu dan senyum bibirmu yang akan dapat mengobati lapar dan dahagaku yang tak kunjung puas. Hemmm, siapa suruh engkau memiliki mata dan bibir yang seindah ini?" Cong San mencium mata dan bibir itu sampai Yan Cu terengah-engah.
"Eh-eh-eh, engkau benar-benar buas tak kenal kenyang! Kalau begini terus, kita berdua benar-benar kelaparan, lapar perut bukan lapar itu, hi-hi-hik!" Yan Cu meronta kemudian melepaskan pelukan Cong San, lalu melarikan diri dikejar oleh suaminya.
"Hayo kita berlomba menangkap kelinci. Berlomba menangkap yang termuda dan paling gemuk. Yang kalah harus menguliti kemudian memanggang dagingnya, melayani yang menang!" Yan Cu terkekeh menantang.
Mereka lalu berlari-lari seperti dua orang kanak-kanak mencari kelinci. Karena Cong San memang mengalah, Yan Cu mendapatkan kelinci yang muda dan gemuk sekali, sedang Cong San mendapatkan kelinci kurus yang terlepas kembali, ditertawakan Yan Cu.
Akan tetapi Yan Cu bukan tidak tahu bahwa suaminya mengalah, maka dia membantu menguliti kelinci, memanggang dagingnya berdua, lalu makan berdua, mencari buah dan makan buah berdua pula. Tidak ada kesenangan lain yang lebih mengharukan hati dari pada segala-galanya dilakukan berdua oleh suami isteri ini…..
********************
Selama dua pekan mereka berdua berbulan madu di tempat itu dan biar pun kadang-kadang Cong San merasa seperti ada jarum menusuk hatinya dan telinganya mendengar bisikan suara fitnah dan maki-makian Cui Im mengenai diri isterinya, namun dia sudah dapat melenyapkannya kembali semua itu dan cintanya terhadap Yan Cu bersih dari pada prasangka buruk.
Soal malam pertama itu pun sudah dia buang jauh-jauh dari dalam hatinya dan dia telah mengambil keputusan untuk melupakannya dan tidak bertanya apa-apa kepada Yan Cu. Untuk menghilangkannya sama sekali, ketika suatu siang mereka berdua duduk di tepi telaga di bawah pohon yang teduh, sambil memangku isterinya dan membelai rambutnya, Cong San bertanya lirih,
"Isteriku..."
"Hemmm..."
"Yan Cu moi-moi, apakah engkau cinta padaku?"
Yan Cu terbelalak, lalu membalikkan tubuhnya, memandang wajah suaminya dan segera dia tertawa terpingkal-pingkal!
Cong San mengerutkan alisnya dan mukanya tiba-tiba berubah pucat tapi Yan Cu tidak melihat perubahan muka ini karena dia sedang tertawa dan kedua matanya terpejam.
"Yan Cu, mengapa kau tertawa? Apakah yang lucu tentang pengakuan cintamu?"
Baru Yan Cu terkejut ketika pundaknya diguncang oleh suaminya. Ia berhenti tertawa dan memandang dengan kedua mata terbelalak. Juga Cong San baru sadar bahwa dia telah bersikap kasar, maka dia memeluk isterinya dan berbisik, "Maaf... ahh, aku telah menjadi gila!"
Yan Cu merangkul leher suaminya. "Akulah yang minta maaf, suamiku. Sama sekali tidak kumaksudkan untuk menyinggung hatimu. Aku memang merasa geli oleh pertanyaanmu yang kuanggap aneh. Masih belum dapat melihatkah engkau betapa cintaku kepadamu amat besar, dengan seluruh hati dan jiwaku? Aihhh, suamiku, pertanyaanmu benar aneh. Aku cinta padamu! Aku cinta padamu! Nah, kalau kau belum puas boleh kuulangi sampai seribu kali, aku cinta padamu, aku cinta padamu, aku cinta..." Terpaksa Yan Cu tak dapat melanjutkannya karena bibirnya telah dicium oleh Cong San dan dia merasa betapa bibir suaminya menggigil dan ada terasa olehnya sedu sedan yang naik dari dada suaminya ke mulutnya.
Dengan pengakuan itu, tersapu bersihlah segala keraguan hati Cong San. Tidak mungkin isterinya pernah berhubungan dengan pria lain. Tentu benar seperti yang dikatakan Thian Kek Hwesio, isterinya kehilangan tanda keperawanannya karena latihan ilmu silat yang berat. Atau... andai kata... semoga tidak demikian jika Tuhan menghendaki, andai kata benar Yan Cu pernah melakukan penyelewengan, dia sudah memaafkannya karena yang terpenting sekarang dan selama hidupnya, Yan Cu adalah miliknya, tubuh serta hatinya, dan terutama sekali cintanya!
Mereka meninggalkan tempat yang menjadi sorga pertama bagi mereka itu, menuju ke kota Leng-kok. Paman Cong San adalah kakak mendiang ibunya, menerima kedatangan mereka dengan gembira dan ramah, kemudian berkat bantuan pamannya ini, Cong San dan isterinya dapat membuka sebuah toko obat-obatan di kota itu, hidup dalam keadaan sederhana namun cukup, dan kaya dengan cinta yang membuat mereka seakan tidak membutuhkan benda-benda duniawi lainnya lagi.
Suami isteri muda ini sama sekali tidak tahu bahwa kadang-kadang ada sepasang mata yang indah tetapi berkilat penuh kebencian mengintai mereka. Tidak tahu bahwa ada otak kepala beberapa orang manusia yang mencari-cari kesempatan untuk melakukan pukulan maut yang akan membuat kebahagiaan mereka hancur berantakan. Tidak tahu bahwa Bhe Cui Im, wanita yang diperhamba nafsu iblis itu tidak pernah melepaskan mereka dari intaiannya, hendak menjadikan mereka sebagai jalan untuk memuaskan nafsu kebencian dan dendamnya!
Selama setengah tahun suami isteri muda ini tinggal di kota Leng-kok dan Yan Cu telah mengandung enam bulan! Tentu saja hal ini memperlengkap kebahagiaan mereka dan membuat mereka selalu bersyukur kepada Tuhan yang sudah melimpahkan berkah dan kebahagiaan kepada mereka.
Pekerjaan mereka pun maju dan nama Cong San kini terkenal sebagai Yap-sinshe ahli pengobatan, padahal yang sesbenarnya ahli dalam hal pengobatan adalah isterinya! Toko obat mereka makin besar dan mereka hidup tidak kekurangan lagi…..
********************
Keng Hong dan Biauw Eng yang melakukan perjalanan sambil menikmati bulan madu, saling melimpahkan cinta kasih yang mendalam, tak merasakan lagi jauhnya perjalanan. Bagi dua orang yang seolah-olah merasa bahwa di dunia ini hanya ada mereka berdua, semua tempat tampak indah menyenangkan.
Baik bermalam di dalam rumah penginapan, atau di dalam hutan, di padang rumput, di lembah sungai, bagi mereka tiada bedanya. yang penting adalah merasa belaian tangan kekasih, merasakan kehadiran pujaan hati dan mereka saling menumpahkan segala rindu dendam yang sudah bersemi di hati masing-masing semenjak tahunan yang lalu, saling menyiramkan cinta kasih tak mengenal puas.
Sesuai dengan nasehat Biauw Eng yang memandang segala sesuatu penuh perhitungan dan kewaspadaan, Keng Hong dan isterinya tidak langsung mengunjungi Siauw-lim-pai, hanya melihat dan mendengar dari jauh. Akhirnya dengan hati lega mereka mendengar bahwa tidak terjadi keributan di Siauw-lim-si, hanya bahwa ketua Tiong Pek Hosiang yang usianya sudah sangat tua itu mengundurkan diri untuk bertapa di Ruangan Kesadaran, sedangkan kedudukan ketua telah dipilih Thian Kek Hwesio.
Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi girang sekali. Apa lagi pada waktu mendengar bahwa sesudah berbulan madu di hutan pohon pek, Cong San dan Yan Cu telah melanjutkan perjalanannya ke Leng-kok.
"Kalau begitu, sebaiknya kita kembali saja ke Cin-ling-san, suamiku. Sayang sekali kalau tempat yang indah itu tidak dipelihara. Mari kita pulang ke sana, dan kita bangun kembali rumah mendiang ibu tiriku. Kita tinggal di sana untuk sementara waktu, sambil melihat perkembangannya kelak karena aku tidak suka tinggal di kota yang ramai. Lebih senang di pegunungan yang sunyi, hanya berdua denganmu."
Keng Hong memegang lengan isterinya dan membelai-belainya. "Sesukamulah, Eng-moi. Mulai sekarang hidupku hanya untuk menuruti kehendakmu, untuk membahagiakanmu, dan ke mana saja kau kehendaki untuk tinggal, aku setuju."
"Hong-ko, engkau baik sekali, akan tetapi aku tidak begitu mau menang sendiri. Aku tahu bila seorang isteri harus ikut dengan suaminya ke mana pun suaminya pergi. Aku hanya menghendaki kita tinggal di Cin-ling-san yang sunyi itu untuk selama setahun. Sesudah anak kita lahir, aku menurut saja engkau akan tinggal di mana."
Keng Hong mencengkeram lengan isterinya, "Apa...? A... anak kita...?"
Biauw Eng tersenyum dan mengangguk.
"Tidak tahukah engkau bahwa aku... aku telah..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan menundukkan muka, kedua pipinya menjadi merah sekali.
Keng Hong terbelalak, baru sekali ini selama hidupnya dia melihat Biauw Eng malu, dan baru sekali ini pula dia merasa betapa hatinya mengalami kegembiraan yang sukar untuk dituturkan. Jantungnya seolah-olah membengkak, dadanya mengembang dan dia merasa seperti seekor burung merak yang mengembangkan bulu-bulunya penuh kebanggaan.
"Mengandung...? Biauw Eng isteriku, benarkah itu?"
Biauw Eng mengangguk dan Keng Hong bersorak seperti anak kecil mendapat hadiah, memeluk Biauw Eng dengan erat. Akan tetapi tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dan berkata, "Aihhh... aku harus hati-hati... mulai sekarang, tidak boleh lagi aku memelukmu erat-erat!"
"Mengapa tidak boleh? Kalau kau kurang kuat memelukku, aku akan mengira bahwa kau telah bosan denganku."
"Tidak, tidak, sungguh mati tidak! Aku harus memikirkan anak kita... ha-ha-ha! Anak kita! Aku akan menjadi ayah! Ho-hooo!" Keng Hong menangkap tubuh isterinya, dipondongnya dan dia berputar-putar sambil tertawa-tawa.
Berangkatlah suami isteri yang saling mencinta ini menuju ke Cin-ling-san dan mereka segera membangun kembali rumah mendiang Tung Sun Nio yang telah dibakar oleh para bajak anak buah Bhe Cui Im.
Para penduduk di lereng dan kaki Gunung Cin-ling-san amat menghormati kedua suami isteri ini, bahkan mereka yang maklum bahwa suami isteri ini adalah sepasang pendekar yang budiman dan sakti, lalu mendatangi mereka dan menyatakan ingin tinggal di lereng itu. Mereka merasa aman dan tenteram kalau tinggal di dekat suami isteri ini.
Tentu saja Keng Hong dan Biauw Eng tidak keberatan, bahkan merasa senang sekali bergaul dengan para petani yang jujur itu. Para petani mendirikan rumah mereka, bahkan membantu Keng Hong membangun rumah dan beberapa bulan kemudian sudah ada belasan keluarga petani yang tinggal di lereng itu. Banyak pula yang mendengar akan kesaktian sepasang pendekar budiman itu sehingga mereka yang selalu menderita oleh gangguan para perampok, mempunyai niat hendak mendekati Keng Hong dan isterinya.
Mulailah Keng Hong hidup sebagai petani di pegunungan yang indah itu dan pada waktu senggang secara iseng-iseng dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada anak-anak pegunungan. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa tempat itu akan menjadi sebuah perkampungan yang besar dan bahwa kelak dia akan menjadi pendiri dari Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan yang terdiri dari kaum petani penghuni Pegunungan Cin-ling-san!
Setengah tahun kemudian, pada suatu pagi Keng Hong bercakap-cakap dengan isterinya di halaman rumah mereka, yaitu sebuah pondok sederhana akan tetapi cukup besar dan menyenangkan.
"Heran sekali, mengapa tiada berita dari Leng-kok?" Keng Hong berkata.
"Ahhh, Cong San dan Yan Cu sudah hidup berbahagia, kabarnya membuka toko besar di situ, mana mereka ingat pada kita orang-orang gunung ini?" Biauw Eng menjawab sambil tertawa dan menuangkan teh panas untuk suaminya. Gerakannya kaku karena perutnya yang sudah mengandung empat bulan itu menghalangi gerakannya.
Keng Hong memandang ke arah perut isterinya dengan hati terharu dan bangga. "Betapa akan girang hati mereka kalau mereka tahu bahwa aku sudah hampir menjadi ayah!"
"Ihhhh! Masih lama sudah dibicarakan saja. Siapa tahu mereka pun sudah mempunyai calon anak."
"Aku rindu sekali untuk mendengar keadaan mereka. Dan... kalau aku teringat peristiwa di sini dahulu, ingat akan wajah Cong San yang dingin, hatiku tetap tidak merasa enak dan mengkhawatirkan keadaan Yan Cu sumoi. Isteriku, bukankah kini sudah cukup waktunya untuk menjelaskan kesemuanya kepada Cong San?"
"Ahhh, apakah kau hendak meninggalkan aku dalam keadaan mengandung?" Biauw Eng membentak, pura-pura marah.
"Sama sekali tidak, isteriku. Aku tidak akan meninggalkan engkau, bila mana pun juga. Kalau aku pergi, harus bersama engkau. Maksudku, menjelaskan dengan surat seperti yang kau nasehatkan dahulu itu. Sekarang saatnya tepat, aku mempunyai alasan untuk mengirim kabar tentang kita dan menanyakan kabar mereka. Nah, dalam surat itu dapat kusinggung tentang fitnah yang dilontarkan Cui Im itu, agar membersihkan hati Cong San dari rasa cemburu. Bagaimana?"
Biauw Eng mengangguk. "Kalau begitu, baik saja. Akan tetapi, siapa yang akan disuruh menghantarkan suratmu kepada mereka di Leng-kok?"
"Aku akan suruh seorang di antara pemuda di sini untuk mengantarkan surat. Dengan naik kuda kurasa dalam waktu tiga hari dia akan sampai di Leng-kok. Sebaiknya kusuruh A-liok, dia pernah pergi ke kota dan orangnya cukup cerdik, tentu akan dapat mencari alamat Cong San di Leng-kok."
"Baiklah, Koko. Akan tetapi yang hati-hati kau menulis surat dan urusan cemburu itu kau singgung sedikit saja, jangan sampai terlalu menyolok."
"Akan kutulis sekarang dan nanti engkau perbaiki kalau kurang sempurna."
Keng Hong lalu mengambil alat tulis dan kertas kemudian dengan alis berkerut dia mulai menulis sebuah surat dengan hati-hati dan sebaik mungkin. Sesudah membuang waktu satu jam lebih akhirnya dia bisa menyelesaikan surat itu dan memperlihatkannya kepada isterinya. Biauw Eng duduk di kursi, membaca surat itu penuh perhatian,
Saudara Yap Cong San dan Yan Cu sumoi yang baik.
Setengah tahun kita saling berpisah. Kami mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kami harap kalian hidup bahagia seperti kami yang kini menanti hadirnya seorang anak kurang lebih lima bulan lagi. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali oleh petani-petani Pegunungan Cin-ling-san. Kami harap kalian ada kesempatan untuk berkunjung, karena kami sudah rindu sekali.
Sebagai penutup surat ini, kami harap semoga kalian jangan mempedulikan fitnahan keji yang dilontarkan iblis betina Bhe Cui Im di Cin-ling-san dahulu, karena semua itu bohong belaka.
Sekian dan sampai jumpa!
Salam dari kami,
Cia Keng Hong dengan isteri.
Setengah tahun kita saling berpisah. Kami mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kami harap kalian hidup bahagia seperti kami yang kini menanti hadirnya seorang anak kurang lebih lima bulan lagi. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali oleh petani-petani Pegunungan Cin-ling-san. Kami harap kalian ada kesempatan untuk berkunjung, karena kami sudah rindu sekali.
Sebagai penutup surat ini, kami harap semoga kalian jangan mempedulikan fitnahan keji yang dilontarkan iblis betina Bhe Cui Im di Cin-ling-san dahulu, karena semua itu bohong belaka.
Sekian dan sampai jumpa!
Salam dari kami,
Cia Keng Hong dengan isteri.
Sesudah membaca surat itu, Biauw Eng mengangguk. "Kurasa sudah cukup, Hong-ko. Kuharap di sana Cong San akan cukup bijaksana dan cerdik untuk dapat mengerti kalimat terakhir dan melenyapkan sama sekali sisa-sisa penasaran di dalam hatinya."
Pada hari itu juga A-liok berangkat membawa surat itu dan menunggang seekor kuda sambil membawa bekal uang yang diberikan oleh Biauw Eng kepadanya. Pemuda yang berusia dua puluh tahun ini merasa girang dan bangga sekali bahwa dia dipercaya oleh ‘Cia-taihiap’ dan isterinya untuk mengantar surat kepada sahabat mereka di tempat yang begitu jauh. Dia belum pernah ke Leng-kok, akan tetapi setelah menerima petunjuk Keng Hong, pemuda yang pernah beberapa tahun tinggal di kota besar ini merasa yakin akan dapat mencari alamat itu.
Dengan pandang mata penuh harap Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti keberangkatan A-liok yang membalapkan kuda. Tadi mereka telah berpesan kepada A-liok supaya suka minta balasan surat sebagai bukti bahwa surat mereka telah diterima oleh Cong San dan isterinya.
A-liok membalapkan kudanya dengan wajah berseri. hatinya girang dan bangga bukan main. Masih terbayang di depan wajahnya yang berseri itu betapa para penduduk dusun semua memandangnya dengan kagum. Dia bukan seorang pemuda dusun sembarangan! Dia mempunyai kelebihan dari pada penduduk gunung lainnya.
Ia telah dipercaya oleh Cia-taihiap dan isterinya, diutus untuk menyerahkan surat, sebuah tugas yang penting sekali! Disuruh menunggang kuda dan dibekali uang lima tail perak! Dia seorang utusan yang maha penting. A-liok merasa dirinya penting dan gagah. Sedikit banyak dia telah menerima pelajaran dasar ilmu silat dari Cia-taihiap dan hatinya besar. Segala macam perampok cilik akan kugasak habis jika berani mengganggu tugasku yang maha penting ini, pikirnya bangga.
Hari telah senja ketika A-liok tiba di sebuah hutan. Dia harus cepat-cepat membalapkan kuda agar dapat sampai di dusun luar hutan ini kalau tidak mau kemalaman dan terpaksa bermalam di hutan. Dia tahu bahwa di luar hutan itu terdapat sebuah dusun di mana dia dapat bermalam dan membiarkan kudanya mengaso.
Mendadak di sebelah depan muncul lima orang yang menghadang jalan. Jantung A-liok berdebar keras. Celaka, tentu kaum perampok, pikirnya. Akan tetapi mengingat bahwa dia adalah orang kepercayaan dan utusan Cia-taihiap, hatinya membesar dan keberaniannya timbul. Ia menahan kendali kudanya dan berkata lantang,
"Sahabat-sahabat di depan harap membiarkan aku lewat. Aku adalah orang utusan dari Cia-taihiap di Cin-ling-san, dan aku tidak memiliki sesuatu yang cukup berharga. Biarlah kelak kulaporkan kepada taihiap agar memberi ganjaran kepada kalian!"
Lima orang itu dipimpin oleh seorang setengah tua yang berpakaian mewah sekali seperti seorang bangsawan. Ketika kelima orang itu tertawa-tawa geli menyaksikan sikap A-liok, orang itu membentak,
"Mengapa tertawa-tawa? Keparat, hayo tangkap dia!"
Seketika kelima orang itu berhenti tertawa dan sambil menyeringai mereka menghampiri A-liok yang masih duduk di atas kuda. Seorang di antara mereka berkata,
"Petani busuk, turun kau!" tangannya meraih utuk menyeret kaki A-liok, akan tetapi A-liok menggerakkan kakinya menendang.
"Crottt! Waduhhhhhhh…!"
Orang itu terkena tendangan ujung kaki A-liok, tepat pada hidungnya sehingga kontan hidung itu mengucurkan kecap! A-liok sendiri terpental karena tendangan itu dan karena kudanya kaget meringkik lalu mengangkat kaki depan ke atas, tak dapat dicegahnya lagi A-liok terbanting ke belakang.
Akan tetapi dengan gerakan seperti seorang ahli silat kelas satu benar-benar, dia sudah meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan pinggulnya yang terbanting dan terasa nyeri. Ia segera melangkah maju, mengangkat dadanya dan tidak merasa bahwa jalannya agak terpincang. Dengan keras dia membentak,
"Apakah kalian sudah buta? Berani menyerang utusan dan murid Cia Keng Hong taihiap, pendekar sakti di Cin-ling-san?"
Akan tetapi orang yang hidungnya kena tendangan ujung sepatu yang kotor dan bau itu dengan gerengan keras sudah menerjang maju kemudian memukul dadanya. A-liok baru belajar dasar-dasar ilmu silat selama beberapa bulan, akan tetapi karena yang mengajar dia adalah seorang sakti semacam Ci Keng Hong, dasar ini sudah cukup baginya untuk dapat memasang kuda-kuda yang kokoh, dan sekali menggeser kaki dia sudah berhasil mengelak, sedangkan tangan kirinya meluncur ke depan menghantam ke arah kepala si penyerang.
"Blukkk... auuuuwwwwww…!"
Kepala orang itu terkena pukulan, lantas terguling dan setengah pingsan karena matanya berkunang kepala berdenyut-denyut, sedangkan yang berteriak kesakitan adalah A-liok sendiri karena tangannya terasa sakit bukan main pada saat kepalan tangannya bertemu dengan batok kepala yang keras! Ia menyeringai dan menghelus-elus tangan kirinya.
Orang setengah tua berpakaian mewah yang memimpin lima orang itu menjadi marah. Dia menggerakkan tangannya menampar ke arah A-liok yang kebetulan sedang berada di dekatnya. A-liok kembali berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu seperti mengikuti dan cepat mengenai dadanya.
"Plakkk!"
Tubuh A-liok terlempar dan bergulingan. Dia meloncat bangun, terhuyung dan terengah-engah. Napasnya sesak dan dadanya nyeri bukan main. Kedua matanya menjadi merah saking marahnya.
"Kau...! Berani kau memukul A-liok, jago muda dari Cin-ling-san murid Cia-taihiap?"
Pemuda dusun ini maklum bahwa orang berpakaian mewah itu amat lihai, maka dengan kemarahan meluap dia menerjang maju lalu menyerang, bukan menggunakan pukulan atau tendangan, melainkan menyeruduk dengan kepalanya bagaikan seekor kerbau gila mengamuk, menyeruduk ke arah perut laki-laki setengah tua berpakaian mewah itu.
Laki-laki itu yang bukan lain adalah Mo-kiam Siauw-ong, ‘Raja Muda’ semua bajak pada sepanjang Sungai Fen-ho, tersenyum mengejek. Menghadapi seorang muda dusun tolol seperti ini, mana dia sudi untuk mengelak? Melihat serudukan itu, dia sama sekali tidak menangkis atau mengelak, malah memasang perutnya yang agak gendut dan menerima serudukan kepala pemuda itu.
"Dukkk!"
Tubuh Mo-kiam Siauw-ong sama sekali tidak bergoyang terkena serudukan yang keras itu, sebaliknya, tubuh A-liok terlempar ke belakang sampai beberapa meter. Pemuda itu berputar-putar seperti menari-nari di atas dua kakinya yang terhuyung, kedua tangannya memegangi kepalanya yang seperti pecah rasanya, kedua matanya menjuling dan dunia menjadi gelap penuh bintang-bintang gemerlapan sebelum dia roboh dan tidak tahu apa pun lagi, pingsan!
Akan tetapi tidak lama A-liok pingsan. Tubuhnya yang sudah biasa bekerja berat setiap hari, mencangkul di bawah terik panas matahari hingga membuat tubuhnya kuat dan daya tahannya besar. Pada saat dia membuka mata dan mengeluh, ternyata kedua tangannya sudah terikat, demikian pula kedua kakinya. Ia miringkan tubuh memandang dan melihat betapa laki-laki berpakaian mewah yang lihai sekali tadi kini sedang memegangi sampul surat yang tadi berada di saku bajunya, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk.
"Aha, Sianli tentu akan girang sekali melihat surat ini." Mo-kiam Siauw-ong berkata. "Seret dia, kita bawa menghadap Sianli!"
Seorang penjahat lalu menyambar kuncir rambut A-liok dan menyeretnya. A-liok berteriak-teriak, memaki-maki, bukan hanya karena rasa nyeri akibat rambutnya ditarik, akan tetapi melihat suratnya telah dirampas dan bahkan uang bekalnya dipakai main-main di tangan seorang penjahat.
"Perampok rendah! Keparat hina! Hayo kembalikan surat itu, kembalikan uangku, dan lepaskan aku. Kalau tidak, kalian tentu akan dibasmi semua oleh Cia-taihiap! Kembalikan surat dan uangku, kalian maling-maling busuk, perampok, bajak!"
Akan tetapi mereka tak mempedulikannya, dan sebuah hantaman di belakang telinganya membuat A-liok roboh pingsan lagi. Dia tidak tahu betapa tubuhnya disampirkan ke atas punggung kuda, lalu cepat dibawa pergi oleh enam orang yang menunggang kuda-kuda besar.
Kebencian membuat manusia menjadi seperti gila karena kebencian itu sendiri sebelum merugikan orang lain telah menjadi racun dalam hati sendiri. Kebencian Cui Im terhadap empat orang muda, Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, membuat wanita ini setiap detik merasa tersiksa hatinya. Belum akan reda dendam dan bencinya kalau dia belum berhasil mencelakakan musuh-musuhnya itu. Dan selama ini Cui Im tidak pernah diam.
Di samping memperhebat ilmunya di bawah pimpinan Go-bi Thai-houw yang tinggal di Sun-ke-bun yang diperlakukan seperti seorang Thai-houw (permaisuri) benar-benar, atau lebih tepat seperti Ibu suri, Cui Im juga tak pernah berhenti untuk melakukan pengintaian terhadap empat orang musuhnya dan mempelajari keadaan mereka.
Dapat dibayangkan betapa menghebat iri hati, dendam dan bencinya ketika ia mendengar bahwa kedua pasangan suami isteri itu hidup penuh kebahagiaan, bahkan kini menanti lahirnya seorang anak masing-masing!
Dia maklum bahwa sangatlah berbahaya untuk turun tangan secara kasar menggunakan kekerasan. Selain dua pasang suami isteri itu, terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng yang tinggal di Cin-ling-san, mempunyai kepandaian tinggi, juga kini pemerintah sedang bersikap keras dan akan membasmi setiap gerombolan penjahat yang berani mengacau.
Kalau dia membawa para anak buah bajak menyerbu ke Cin-ling-san, dia khawatir gagal menghadapi kelihaian Keng Hong dan Biauw Eng, sungguh pun dia dibantu oleh Go-bi Thai-houw yang di akhir-akhir ini saking tuanya menjadi malas meninggalkan kamarnya yang indah dan lengkap.
Menyerbu ke Leng-kok lebih banyak harapan karena dia sanggup mengatasi kepandaian Cong San dan Yan Cu, akan tetapi hal itu berarti dia mendatangkan kekacauan di kota itu dan kalau sampai pemerintah turun tangan memusuhinya, dia bisa celaka. Pemerintah Ceng mempunyai banyak sekali orang pandai.
Apa lagi dia sendiri sekarang mondok di tempat tinggal Coa-taijin, seorang kepala daerah, berarti seorang pegawai negeri pula. Tentu Mo-kiam Siauw-ong sebagai menantu kepala daerah tak berani mengerahkan anak buahnya membantu. Selain berbahaya, hal itu juga akan menyeret dan membahayakan kedudukan mertuanya.
Karena inilah maka Cui Im yang dimabuk dendam kebencian itu melakukan siasat dengan penuh kesabaran. Dia menyuruh Mo-kiam Siauw-ong yang sudah menjadi pembantunya yang setia untuk mengirim orang-orang menyelidiki keadaan empat orang musuhnya itu, mengintai dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka.
Demikianlah, pada saat para pengintai itu melihat seorang pemuda dusun menjadi utusan Keng Hong, segera mereka menghadang A-liok, bahkan dipimpin sendiri oleh Mo-kiam Siauw-ong yang kebetulan tengah meronda dan melakukan pemeriksaan atas tugas anak buahnya.
A-liok tertawan dan betapa girang hati Mo-kiam Siauw-ong ketika mendapatkan sepucuk surat Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Yap Cong San di Leng-kok. Penemuan ini merupakan jasa besar dan dia sudah membayang betapa Cui Im akan membalas jasa ini dengan mesra, sedikitnya semalam suntuk dia akan diterbangkan ke sorga oleh wanita yang cantik jelita, pandai merayu pria, berpengalaman dan amat lihai itu!
Biar pun diam-diam Mo-kiam Siauw-ong tergila-gila kepada Cui Im, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengambil langkah lebih dulu, di samping sungkan kepada Coa Kun, adik iparnya yang kini menjadi kekasih tetap Cui Im, juga takut kepada ayah mertuanya, dan terutama sekali mana dia berani bersikap kurang ajar kepada Cui Im yang demikian lihai? Kecuali, tentu saja, seperti dahulu setelah dia turut menyerbu Cin-ling-san, kalau Cui Im menghendakinya, untuk memberi ‘hadiah’ atas jasanya, tentu dia akan menerima dan meneguk cawan anggur manis memabukkan itu sampai tiada tertinggal setetes pun!
Benar saja seperti dugaan Mo-kiam Siauw-ong. Cui Im yang cantik dengan pipinya yang kemerahan itu menjadi berseri. Wanita yang telah berusia tiga puluh tahun lebih ini masih nampak cantik sekali, cantik dengan tubuh yang matang dan padat menggairahkan, apa lagi ditambah pula dengan gerak-geriknya yang memang menarik, setiap lekuk-lengkung tubuhnya dimanfaatkan dalam gerak-gerik terlatih dan teratur itu.
"Bagus... bagus... Coa-kongcu, sekarang saatnya tiba aku dapat membalas mereka dan kepandaianmulah yang kubutuhkan untuk ini!" katanya sambil menarik tangan pemuda tampan yang kini mukanya menjadi agak pucat karena setiap malam harus melayani iblis betina yang tidak mengenal puas dengan nafsu birahinya itu, masuk ke dalam kamar meninggalkan Mo-kiam Siauw-ong yang bengong terlongong dan kecewa!
Dua hari kemudian, salah seorang anggota anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang muda dan perawakannya mirip A-liok, memakai pakaian yang dipakai A-liok dan menunggang kuda dari Cin-ling-san itu, pada malam hari meninggalkan Sun-ke-bun bersama Mo-kiam Siauw-ong serta beberapa orang anak buahnya yang membawa pula tubuh A-liok yang terbelenggu.
Setelah tiba di sebuah hutan pegunungan, A-liok yang dibuka sumbatan mulutnya segera memaki-maki, "Mau diapakan aku? Ehh…, orang itu mengapa memakai pakaianku dan menunggang kudaku? Mana suratku dan uang bekalku? Hayo kembalikan!"
Mo-kiam Siauw-ong memberi isyarat dan sambil tertawa-tawa anak buahnya menyeret tubuh A-liok yang meronta-ronta turun dari kuda, terus menyeretnya ke tepi jurang dan tak lama kemudian terdengar pekik mengerikan ketika tubuh A-liok dibacok lalu dilempar ke dalam jurang yang amat dalam. Mereka tertawa-tawa dan berangkat menuju ke Leng-kok.
Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya menanti di luar kota, sedangkan anak buahnya yang menunggang kuda Cin-ling-san itu memasuki kota Leng-kok, langsung menuju ke rumah Yap Cong San. Dia meloncat turun dari atas punggung kuda, lalu berindap-indap mendekati toko obat yang sudah tutup karena hari telah malam.
Bagai seorang pencuri, orang ini beberapa kali jalan mondar-madir di depan toko, bahkan beberapa kali menengok ke dalam. Sebagai seorang yang akan melakukan sesuatu yang tidak baik, sikapnya itu selain mencurigakan juga amat ceroboh, karena tentu saja Cong San yang sedang duduk di dalam toko yang hanya dibuka pintunya itu menjadi curiga ketika melihat orang yang mengikat kudanya tak jauh dari situ kini berjalan mondar-madir dan melongok-longok ke dalam.
Cong San mencelat keluar sambil membentak, "Engkau mau apakah? Apakah ada orang sakit? Atau hendak membeli obat?"
Akan tetapi orang itu tak menjawab, malah cepat-cepat pergi dengan langkah lebar dan tergesa-gesa seperti hendak melarikan diri dan menghampiri kudanya. Tentu saja Cong San menjadi makin curiga. Dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat memegang pundak orang itu dari belakang dan sekali menggerakkan tenaga, orang itu dipaksanya membalikkan tubuh menghadapinya.
"Hemmmm, kau mencurigakan sekali! Engkau siapa dan mau apakah?"
Orang itu merasa betapa jari-jari tangan yang mencengkeram pundaknya itu luar biasa kuatnya. Diam-diam ia menggigil dan dengan suara terputus-putus dia berkata, "hamba... A-liok dan... hamba tidak berniat buruk... hamba... hamba adalah utusan Cia-taihiap dari Cin-ling-san..."
Cong San terkejut sekali, cepat melepaskan cengkeraman tangannya dan berkata dengan suara halus, "Ahhh, kalau memang benar begitu mengapa engkau tidak masuk saja ke toko, malah mondar-madir, longak-longok mencurigakan? Marilah masuk, apakah engkau diutus oleh Cia Keng Hong taihaip?"
Akan tetapi orang itu menggeleng kepala dan suaranya gemetar, "Hamba... tidak usahlah, hamba mau kembali saja. Lain kali hamba datang..."
Cong San mengerutkan kening dan kembali timbul kecurigaannya. "Ehh, kenapa begitu? Aku adalah Yap Cong San, tentu Cia-taihiap mengutus engkau untuk menemuiku."
"Tidak... tidak... bukan... hamba harus pergi...!" Orang itu hendak lari akan tetapi Cong San kembali memegang lengannya.
"Tunggu! Hayo katakan, engkau diutus untuk menemui siapa dan menyampaikan apa?"
Orang itu meronta-ronta, tubuhnya menggigil dan suaranya terdengar gemetar, "Hamba tidak berani... tidak berani, lepaskan hamba..."
Cong San makin penasaran. Dia menggerakkan jari tangannya dan seketika orang itu tertotok lumpuh dan tidak dapat mengeluarkan suara. Dengan mudah dia mencengkeram leher baju orang itu dan dibawanya masuk ke dalam tokonya, lalu menutupkan pintu dan mendudukkan orang yang lemas itu ke atas kursi. Kemudian dia menggeledah orang itu dan menemukan sesampul surat dalam saku bajunya.
Tangan Cong San gemetar ketika dia membaca tulisan Keng Hong di atas sampul itu, sebuah surat pribadi dari Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Gui Yan Cu! Apa artinya ini? Dia sudah membuka mulut hendak berteriak memanggil isterinya dan kakinya sudah bergerak hendak lari masuk. Akan tetapi dia teringat sesuatu dan ditahannya mulut dan kakinya.
Isterinya sedang beristirahat seperti biasa. Memang sesudah mengandung tua, dia tidak memperbolehkan isterinya bekerja dan mengharuskan banyak mengaso. Surat itu lantas dibacanya. Mukanya mendadak menjadi pucat dan berubah merah sekali, kedua matanya terbelalak, cuping hidungnya berkembang-kempis, bibirnya menggigil seperti tangan dan kakinya. Hampir dia tak percaya akan pandang matanya sendiri dan dibacanya surat itu sekali lagi, perlahan-lahan, namun tetap saja isinya tidak berubah.
Yan Cu sumoi yang tercinta,
Setengah tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san.
Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali berdua seperti dahulu memadu kasih?
Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.
Penuh cinta dan rindu dari,
Cia Keng Hong.
Setengah tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san.
Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali berdua seperti dahulu memadu kasih?
Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.
Penuh cinta dan rindu dari,
Cia Keng Hong.
Cong San merasa betapa dadanya tiba-tiba menjadi sesak dan panas, seolah-olah ada api membara membakarnya dari dalam. Si keparat Cia Keng Hong! Kiranya betul! Hampir dia lari masuk untuk melontarkan surat itu ke muka isterinya. Akan tetapi untungnya dia teringat akan keadaan isterinya.
Isterinya mengandung tua, sangat berbahaya bagi kandungannya kalau sampai batinnya terpukul. Jelas, isterinya dahulu adalah kekasih Keng Hong! Jelas sekali dari bunyi surat itu. Akan tetapi, hal itu sudah disangkanya dahulu, dan bukanlah dia sudah memaafkan?
Sekarang surat ini datangnya dari Cia Keng Hong. Si keparat Keng Hong laki-laki mata keranjang yang tak juga mau mengubah wataknya yang rendah dan kotor! Isterinya tidak bersalah dan amat kejamlah apa bila menyalahkan isterinya dengan datangnya surat ini. Hanya Keng Hong yang bersalah, si keparat hina itu. Sudah menikah dengan Biauw Eng masih berani menyurati Yan Cu yang telah menjadi isterinya. Makin diingat makin panas hatinya dan kalau saja pada saat itu Keng Hong berada di depannya, tanpa bicara satu kata pun lagi tentu akan diserangnya dan diajak mengadu nyawa!
Dengan segala kekuatan batinnya Cong San menekan hatinya yang panas dan diamuk cemburu, kemudian mengambil kertas dan pit-nya, memegang pit yang biasanya menjadi senjatanya yang ampuh itu. Ingin sekali dia mengunakan pit ini untuk menyerang Keng Hong dari pada untuk menulis surat!
Sampai tiga kali dia merobek-robek suratnya yang memaki-maki Keng Hong. Ahh…, dia harus berhati-hati. Urusan ini menyangkut nama dan kehormatan isterinya sendiri yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Dia boleh marah, boleh memaki Keng Hong, akan tetapi kalau urusan itu dia sebut-sebut dalam surat dan sampai surat itu dibaca orang lain, bukankah nama isterinya akan cemar?
Cia Keng Hong,
Aku masih cukup bersabar, akan tetapi jika sekali lagi engkau berani menulis surat atau melakukan perbuatan yang hina, aku Yap Cong San bersumpah untuk membunuhmu!
Tertanda : Yap Cong San.
Aku masih cukup bersabar, akan tetapi jika sekali lagi engkau berani menulis surat atau melakukan perbuatan yang hina, aku Yap Cong San bersumpah untuk membunuhmu!
Tertanda : Yap Cong San.
Sesudah memasukkan surat ke dalam sampul dan memasukkan ke dalam saku orang yang tertotok itu, dia lalu membebaskan totokannya, mencengkeram pundak orang itu dan melemparkan tubuhnya ke luar toko setelah dia membuka daun pintunya.
"Lekas minggat sebelum kuhancurkan kepalamu!" bentaknya.
"Baik, Taihiap... baik...!" Orang itu berlari terhuyung-huyung, lalu menghampiri kudanya, meloncat ke atas pungung kuda dan membalapkan kudanya ke luar kota Leng-kok.
Cong San menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi. Surat dari Cin-ling-san itu seolah-olah terasa panas membakar di dalam saku bajunya. Tiba-tiba dia meluruskan tubuhnya ketika mendengar langkah kaki Yan Cu keluar dari ruangan dalam.
"Apakah ribut-ribut tadi? Aku seperti mendengar ada tamu!" Yan Cu bertanya sambil memandang suaminya.
"Memang ada tamu, seorang dari luar kota membutuhkan obat untuk isterinya yang sakit demam."
"Ahhh, pantas aku mendengar derap kaki kudanya. Ehh, apakah itu?"
Cong San cepat-cepat membungkuk dan mengambil tiga robekan kertas yang tadi sudah dikepal-kepalnya, surat-surat yang bernada keras terhadap Keng Hong. Dia merasa lega bahwa isterinya dengan perutnya yang besar itu tidak dapat membungkuk. Kalau tidak sedang mengandung, tentu Yan Cu sudah membungkuk dan menyambar kertas-kertas itu.
"Ah, bukan apa-apa. Tadi kutulis catatan obat untuknya, akan tetapi sampai tiga kali keliru saja." Cong San merobek-robek kertas itu sampai hancur, kemudian melemparkan potongan-potongan kertas yang sudah diremasnya ke keranjang di sudut.
"Suamiku, kau kelihatan lelah sekali. Mengasolah."
Akan tetapi, Cong San yang rebah di samping isterinya, tak dapat tidur. Yan Cu telah tidur nyenyak dan malam itu sunyi sekali. Akan tetapi Cong San yang rebah tak bergerak itu merasa gelisah dan sama sekali tak pernah dapat tidur sekejap mata pun.
Dadanya terasa panas bukan main. Sekarang dia mendapatkan bukti bahwa antara Yan Cu dengan Keng Hong memang pernah ada hubungan cinta. Hal itu tidak menyakitkan hatinya karena memang sudah diduganya dan sudah dia lupakan. Akan tetapi, sekarang Keng Hong datang dengan suratnya yang jelas menyatakan bahwa lelaki tak tahu aturan itu masih mencintai Yan Cu!
Cong San juga tidak marah mendapat kenyataan bahwa isterinya dicinta laki-laki lain. Tidak ada seorang pun suami di dunia ini yang akan marah kalau isterinya dicinta laki-laki lain, biar pun laki-laki sedunia jatuh cinta, malah akan mendatangkan kebanggaan bahwa wanita yang dicinta orang-orang lain itu menjatuhkan pilihan kepada dirinya! Tidak, dia tak akan peduli kalau tahu bahwa Keng Hong masih mencinta isterinya.
Akan tetapi, melihat Keng Hong masih berani melanjutkan hubungan, berani mengirimkan surat, hal itu sudah melanggar batas kesopanan, seolah-olah sengaja menghinanya! Di samping ini, timbul perasaan tidak enak yang makin memanaskan hatinya, yaitu perasaan cemburu yang sudah berhasil dia padamkan sampai dua kali.
Pertama, pada saat cemburu mulai meracuni hatinya setelah dia mendengar fitnah yang dilontarkan dari mulut Cui Im sehingga dia menjadi cemburu bukan main kepada Yan Cu. Cemburu yang pertama itu dapat dia atasi dan dia tundukkan dengan keyakinan bahwa dia tidak perlu mempercayai mulut seorang iblis betina seperti Bhe Cui Im.
Kemudian ia hampir gila ketika cemburu yang kedua kalinya menerkamnya, yaitu setelah pada malam pertama di pinggir telaga dia mendapat kenyataan bahwa Yan Cu bukan perawan lagi. Rasa cemburu ini membuat dia hampir melakukan hal yang bukan-bukan, bahkan membuat dia ingin membunuh diri. Namun, akhirnya dia dapat juga menundukkan cemburu yang kedua kalinya itu berkat wejangan-wejangan dari suheng-nya, Thian Kek Hwesio yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai.
Kini, kembali cemburu menggerogoti hatinya, sedikit demi sedikit, dengan giginya yang beracun sehingga terasalah panas membakar yang membuat dadanya seperti meledak. Rasa cemburu yang timbul dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya.
“Keng Hong amat mencinta Yan Cu, sampai sebesar apakah cinta Yan Cu kepada Keng Hong? Melihat bunyi surat yang menyatakan betapa besar kasih sayang Keng Hong pada Yan Cu, mungkinkah sekarang Yan Cu sanggup menghilangkan rasa cintanya terhadap Keng Hong? Tidakkah secara diam-diam isterinya yang kini tidur di sampingnya itu masih mencinta Keng Hong?”
Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar bagaikan bisikan halus itu seperti menusuk-nusuk jantungnya, dan betapa pun Cong San berusaha mengusirnya, tetap saja bisikan-bisikan itu terus mengikuti hati dan pikirannya.
"Yan Cu menjadi isterimu hanya karena terpaksa! Sebetulnya dia mencinta Keng Hong!" Bisikan yang tadi bertanya-tanya itu sekarang berubah menjadi ejekan-ejekan yang amat menyakitkan hati dan telinga.
Cong San miring ke kanan kemudian ke kiri, menelungkup, telentang, namun suara itu tetap terdengar olehnya. Dia menjadi makin gelisah, suara terngiang-ngiang melengking memenuhi kedua telinganya dan dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat menekan ini, dia bisa menjadi gila. Maka dia cepat bangkit perlahan, duduk dan menatap wajah Yan Cu yang tidur dengan nyenyak di sampingnya.....