Gadis yang lari itu tiba-tiba tersentak kaget merasa betapa ujung pakaiannya dibetot dari belakang. Dia meronta-ronta dan menggunakan semua tenaga untuk meloncat ke depan. Terdengar bunyi robek dan sebagian baju luarnya tertinggal pada tangan Siauw Lek yang tertawa-tawa girang. Sungguh menyenangkan sekali permainan ini baginya.
Gadis itu berlari lagi, akan tetapi tiba-tiba dia menjerit dan tubuhnya terjungkal. Ketika dia bangun lagi, kedua sepatunya telah berada di tangan Siauw Lek, juga sebagian celana luar yang robek. Gadis itu mengeluarkan suara seperti dicekik karena rasa ngeri dan takut membuat ia sukar mengeluarkan suara. Akan tetapi ia sudah berdiri lagi, terengah-engah dan memaksa sepasang kakinya yang telanjang untuk berlari lagi ke depan, ke mana saja asalkan menjauhi laki-laki yang baginya lebih menakutkan dari pada iblis sendiri.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha! Engkau manis sekali. Larilah... ha-ha-ha, larilah...!"
Gadis itu berlari. Kakinya yang terasa nyeri tidak dihiraukannya. Dia berlari sampai agak jauh, napasnya terengah dan tibalah dia di sekumpulan pohon-pohon besar. Tiba-tiba dia menjerit ngeri saat melihat laki-laki tinggi itu tahu-tahu sudah berada di depannya, muncul keluar dari balik sebatang pohon sambil tertawa-tawa.
"Aiiihhhh.. Ja... jangan..!" Gadis itu menjerit, membalikkan tubuh dan lari lagi ke lapangan rumput hijau.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Larilah sekuatmu nona manis!" Siauw Lek berjalan-jalan mengikuti.
Gadis yang sudah hampir kehabisan napas itu akhirnya menjerit dan roboh terguling di atas rumput karena kakinya terjerat oleh sisa pakaiannya sendiri. Sambil tertawa puas Siauw Lek menubruknya.
"Ampunnn... jangan... tolooongggg...!" Akan tetapi tetapi di tempat sesunyi itu, siapa yang mampu menolongnya.
Siauw Lek terkekeh-kekeh dan mencium muka yang pucat ketakutan itu, namun tiba-tiba Siauw Lek berteriak kesakitan. Ternyata gadis yang sudah putus asa saking ngerinya itu, dan menjadi nekat lalu menggunakan kesempatan selagi Siauw Lek yang diamuk birahi itu lengah, sudah menggigit lehernya, menggigit sambil mengerahkan tenaga tanpa mau melepaskan lagi!
"Lepaskan! Keparat! Lepaskan...!" Siauw Lek membentak.
Akan tetapi gigitan pada lehernya itu makin mengeras. Siauw Lek menjadi marah sekali dan tangan kirinya segera menampar.
"Plakkk!"
Gigitan terlepas, tubuh gadis itu terkulai, darah keluar dari telinganya, ada pun napasnya empas-empis, akan tetapi kedua matanya masih terbelalak memandang Siauw Lek penuh kebencian.
Siauw Lek bangkit berdiri, meraba kulit lehernya yang berdarah.
"Sialan! Anjing betina!" Dia lalu memaki dan melihat ke bawah di mana gadis itu rebah terlentang dalam keadaan hampir mati karena kepalanya retak! Dengan gemas Siauw Lek mengangkat kakinya dan memaki, "Perempuan hina!"
Kakinya menginjak dada yang kini tidak tertutup lagi dan yang tadi amat menggairahkan hatinya, menginjak sambil mengerahkan tenaga.
"Krakkk!" Tulang-tulang iga gadis itu remuk dan nyawanya melayang!
"Manusia iblis! Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek manusia terkutuk!"
Siauw Lek terkejut, cepat membereskan pakaiannya dan membalikkan tubuh. Ketika dia melihat ada dua orang gadis cantik sekali telah berdiri di situ, wajahnya seketika menjadi berseri. Kiranya yang memakinya itu adalah Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng, gadis puteri Lam-hai Sin-ni yang cantik jelita, sumoi dari Cui Im yang masih perawan dan yang pernah membuat dia tergila-gila.
Kehilangan gadis bangsawan itu dan kedatangan Biauw Eng sama dengan kehilangan ikan teri mendapatkan kakap! Mata laki-laki itu bersinar-sinar, apa lagi ketika melihat bahwa wanita yang berdiri di samping Biauw Eng, yang memakai pakaian serba merah, juga amat cantiknya! Benar-benar dia mendapatkan keuntungan besar, padahal semalam dia tidak bermimpi kejatuhan bulan.
Dia tahu bahwa Biauw Eng bukanlah seorang gadis lemah, akan tetapi dia memandang rendah karena dia cukup mengenal sampai di mana tingkat kepandaian gadis ini. Dengan mudah dia akan dapat menundukkan Biauw Eng dan hemmm... wanita baju merah itu pun bukan main manisnya!
Tentu saja Siauw Lek tidak pernah mimpi bahwa Biauw Eng yang berada di hadapannya sekarang ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan Biauw Eng yang dahulu pernah dilawannya!
"Ha-ha-ha-ha-ha! Terima kasih, Biauw Eng! Memang aku sudah bosan dengan gadis tak tahu malu seperti anjing betina yang suka menggigit ini. Ternyata engkau datang untuk menemaniku! Mari... Marilah manis. Sudah lama aku rindu sekali kepadamu. Tidak usah malu-malu, di sini sunyi dan tidak ada orang lain. Kalau temanmu yang manis itu ingin pula main-main denganku, marilah. Aku masih kuat melayani kalian berdua, ha-ha-ha-ha!"
"Hi-hi-hik!" Hun Bwee, wanita pakaian merah terkekeh. "Sumoi, inikah monyet cilik murid tujuh ekor monyet tua Go-bi? Kiranya hanya macam ini saja? Dia tidak seberapa akan tetapi mulutnya amat lebar, menantang kita berdua main-main dengannya? Hi-hi-hik, aku sendiri pun cukup untuk main-main dengannya!"
Diam-diam Siauw Lek terkejut. Wanita muda itu cantik sekali, akan tetapi sikapnya begitu aneh, seperti... miring otaknya! Dan berani memaki guru-gurunya, yaitu Go-bi Chit-kwi yang terkenal.
"Biarlah Suci, jangan ikut campur. Tangannya bernoda darah ibuku, karena itu harus aku sendiri yang menghadapinya," kata Biauw Eng sambil melangkah maju dan menghadapi Siauw Lek. Sikapnya tenang sekali, akan tetapi sinar matanya mengandung ancaman maut yang mengerikan.
Sedangkan Hun Bwee sudah berlutut di dekat mayat gadis yang telanjang itu, kemudian terdengar dia terisak menangis memondong mayat itu dan membawanya pergi dari situ. Hati wanita ini penuh rasa iba dan terharu melihat korban kebiadaban ini yang membuat dia teringat akan nasibnya sendiri saat dia diperkosa oleh laki-laki yang tadinya ia kagumi, diperkosa oleh Cia Keng Hong! Hun Bwee lalu menggali lubang di tanah dan mengubur jenazah itu.
Biauw Eng yang menghadapi Siauw Lek berkata, "Siauw Lek, kekejianmu melampaui batas, kejahatanmu sudah melewati takaran. Hari ini, aku Sie Biauw Eng jika tidak dapat membunuhmu, aku bersumpah tak akan mau hidup lagi!" Kemarahan Biauw Eng melihat musuh besarnya, musuh ke dua sesudah Bhe Cui Im, mendatangkan kemarahan yang memuncak sehingga keluarlah kata-katanya yang amat menyeramkan itu.
Diam-diam Siauw Lek merasa bulu tengkuknya berdiri. Ia dapat merasa ancaman yang dahsyat itu dan maklum betapa hebat kebencian gadis ini kepadanya. Namun tentu saja dia tidak takut. Dia akan menangkap gadis ini, akan memperkosanya sepuasnya, lantas dia harus membunuhnya supaya kelak tidak menjadi ancaman baginya. Karena itu, untuk melenyapkan rasa seram di hatinya, dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Biauw Eng. Ingin aku melihat engkau melawanku. Memang aku paling suka kalau dilayani wanita, nanti pun aku ingin merasai bagaimana engkau melawan, meronta dan menggeliat dalam pelukanku. Ha-ha-ha!" Mulutnya masih tertawa, akan tetapi dengan curang sekali tiba-tiba tubuhnya sudah menyambar ke depan, meloncat sambil menubruk seperti seekor harimau menubruk kijang.
Biauw Eng masih berdiri, tidak mengelak, malah mengangkat kedua tangan menyambut terkaman kedua tangan Siauw Lek. Jari-jari tangan mereka bertemu, Siauw Lek sudah merasa girang karena tentu dia akan dapat menangkap gadis ini mengandalkan tenaga sinkang-nya yang lebih besar.
"Cuh! Cuh!" Tiba-tiba mulut Biauw Eng meludah dua kali ke arah mata Siauw Lek.
Laki-laki yang tubuhnya masih di udara ini kaget sekali. Belum pernah dia mengalami ilmu berkelahi seperti ini pakai meludah segala. Akan tetapi biar pun yang meludah seorang gadis cantik, kalau cara meludahnya disertai sinkang kuat dan yang disambar air ludah adalah sepasang mata, amatlah berbahaya!
Siauw Lek miringkan mukanya, akan tetapi pada waktu itu Biauw Eng sudah melempar tubuh ke belakang. Tentu saja Siauw Lek terbawa pula karena kedua tangan mereka masih saling cengkeram dan begitu punggungnya menyentuh tanah, kedua kaki Biauw Eng diangkat dan menendang perut dan pusar Siauw Lek.
"Celaka..!" Siauw Lek berseru kaget, cepat mengerahkan sinkang ke arah tubuh yang ditendang.
"Blukkk!"
Sinkang-nya membuat perutnya kebal, akan tetapi tidak dapat menahan tubuhnya yang masih di udara itu terpental sampai lima meter lebih. Untung bahwa Siauw Lek memiliki ilmu ginkang yang sudah tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan turun dengan kedua kaki di bawah tidak terbanting. Cepat dia melompat ke depan dan menghadapi Biauw Eng yang sudah berdiri dengan sikap tenang menghadapinya.
Kedua mata Siauw Lek merah. Hampir saja dia celaka dan sama sekali dia tidak pernah menduga bahwa gadis itu mempunyai cara berkelahi yang begini aneh! Ia marah sekali, akan tetapi kemarahannya masih belum menghapus rasa cintanya yang ingin menguasai tubuh Biauw Eng yang dirindukan.
Maka dia lalu berseru keras dan cepat sekali menerjang maju dengan tangan dimainkan secara hebat. Dari kedua tangan yang terbuka itu menyambar angin pukulan yang kuat sekali, bertubi-tubi datangnya sementara kedua telapak tangan itu berubah menjadi hitam.
Akan tetapi Siauw Lek lebih banyak membuat gerakan mencengkeram untuk menangkap gadis itu dari pada gerakan memukul. Dia sudah menggunakan ilmu pukulan Hek-liong Ciang-hoat (Ilmu Pukulan Naga Hitam) yang amat lihai.
Namun, dengan masih tenang sekali, Biauw Eng mengelak dan kadang kala menangkis semua serangan lawan. Bahkan pada saat menangkis dan lengannya yang berkulit halus putih itu bertemu dengan lengan tangan Siauw Lek yang besar dan kuat, tubuh Siauw Lek tergetar dan lengannya gatal-gatal! Ia terkejut sekali, maklum bahwa ternyata gadis ini sudah memperoleh kemajuan yang hebat.
Dia teringat akan penuturan Cui Im bahwa Biauw Eng mempunyai pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun) yang sangat berbahaya, maka kini dia berseru hebat dan segera mempercepat gerakannya. Dengan jurus menyesatkan tangan kanannya menghantam susul-menyusul dengan tendangan kaki kirinya ke arah perut Biauw Eng, akan tetapi ketika gadis itu mengelak dan menangkis, tiba-tiba tangan kirinya mencengkeram ke arah tengkuk Biauw Eng.
"Plakkk!"
Tengkuk itu kena disentuh, tapi tiba-tiba saja tangan Siauw Lek yang mencengkeramnya meleset, tubuh Biauw Eng sudah berputar dan kedua tangan Biauw Eng bergerak cepat menampar ke depan!
"Plak! Plak!"
Laksana disambar petir, tubuh Siauw Lek berputaran terhuyung-huyung. Telinganya yang kanan kena ditampar, menimbulkan bunyi mengiang tiada hentinya, kepalanya bagaikan pecah dan pandang matanya berkunang. Ketika dia meraba mukanya yang terasa nyeri, dia terkejut karena hidungnya ternyata sudah terkena tamparan pula sehingga ujungnya pecah-pecah berdarah. Hidungnya yang biasanya dia banggakan, yang mancung dan besar, kini pecah berdarah, tidak mancung lagi!
Siauw Lek menggoyang kepala mengusir pening. Ketika bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya lenyap dan dia dapat memandang lagi, dia melihat Biauw Eng masih berdiri sambil bertolak pingang. Hal inilah yang membuat jantungnya berdebar penuh rasa ngeri dan takut.
Jelas bahwa dia tadi sudah tidak berdaya dan kalau Biauw Eng tadi mengirim susulan serangan maut, tak mungkin dia dapat mempertahankan diri lagi. Akan tetapi gadis itu berdiri saja memandang, sama sekali tidak menggunakan kesempatan itu. Hal ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Biauw Eng memadang rendah padanya, bahwa Biauw Eng percaya penuh akan dapat mengalahkannya! Dan dia pun masih bingung mengapa gadis itu kini menjadi demikian hebat!
Dengan hati gentar Siauw Lek mengambil keputusan nekat. Dia mencabut senjatanya dan tampaklah sinar hitam berkelebat menyilaukan mata. Pedang hitam Hek-liong-kiam telah berada di tangannya.
Tanpa memberi peringatan lagi, sesuai dengan wataknya yang curang, tangan kirinya bergerak dan belasan sinar-sinar kecil hitam menyambar ke arah jalan darah di tubuh depan Biauw Eng. Itulah senjata paku-paku hitam beracun yang dilepas dari jarak dekat secara tiba-tiba, kemudian selagi sinar-sinar hitam menyambar, dia sendiri telah meloncat dan menerjang dengan pedang hitamnya!
"Haiiiitttttt…!"
Biauw Eng kaget juga melihat datangnya paku-paku yang amat berbahaya ini. Tubuhnya sudah mencelat ke atas dengan loncatan tinggi dan sambil meloncat ini dia telah melolos sabuk sutera putihnya yang dari atas merupakan gulungan cahaya putih bagaikan naga mengeluarkan suara meledak-ledak menyambar ke arah kepala Siauw Lek.
Laki-laki ini dengan kemarahan meluap menyabet ke arah ujung untuk membabat, akan tetapi ujung sabuk itu sudah melibat pedang. Melihat ini, Siauw Lek berseru keras dan dengan pengerahan tenaga sinkang, dia melontarkan tubuh Biauw Eng yang belum turun ke tanah.
Biauw Eng tidak dapat menahan tenaga dahsyat ini, libatan sabuknya terlepas sehingga tubuhnya melayang ke atas! Akan tetapi, dia terjungkir balik dan tubuhnya menukik turun, didahului oleh gulungan sabuknya yang berputaran merupakan gulungan sinar putih yang menyembunyikan tubuhnya!
Harus diketahui bahwa selama digembleng oleh Go-bi Thai-houw nenek gila yang lihai sekali itu, tidak saja Biauw Eng menerima pelajaran ilmu silat aneh, akan tetapi dia telah memperoleh kemajuan pesat dalam hal sinkang dan ginkang dan dengan petunjuk nenek itu, ilmunya Pek-in Sin-pian, yaitu memainkan sabuk putih, menjadi semakin hebat.
Melihat betapa lawannya itu kini meluncur turun dengan bersembunyi di balik gulungan putih seperti awan, Siauw Lek memutar pedangnya menyambut. Biauw Eng cepat-cepat menggerakkan sabuknya. Ujung sabuk itu berputar menjadi seperti payung menangkis pedang Siauw Lek, ia sendiri meloncat ke pinggir dan menggerakkan ujung sabuk ke dua yang meluncur seperti anak panah menotok ke arah pelipis Siauw Lek.
Jai-hwa-ong ini berteriak kaget sekali karena pedangnya bertemu dengan benda lunak berbentuk payung, bahkan pedangnya ikut terputar-putar seperti tersedot oleh daya putar gulungan sabuk itu, dan kini mendadak ada suara meledak serta sinar putih menyambar pelipisnya.
Dia menarik pedang dan melempar tubuh ke belakang, kemudian bergulingan. Ketika dia meloncat bangun lagi dengan keringat dingin membasahi dahi, dia melihat Biauw Eng berdiri dengan sabuk di tangan dan memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek!
Siauw Lek menjadi makin panik dan gentar. Jelaslah sudah bahwa Biauw Eng sekarang memiliki kepandaian yang lihai bukan main dan dia merasa menyesal mengapa tadi dia memandang rendah. Kini tipis sekali harapannya untuk bisa melarikan diri, apa lagi ketika dia melirik ke belakang, dia melihat nona baju merah tadi berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa-tawa, menghadang jalan larinya!
Celaka, pikirnya. Dia tidak tahu bagaimana kepandaian nona baju merah itu, akan tetapi mengingat bahwa Biauw Eng tadi menyebutnya ‘suci’, dia bergidik dan merasa ngeri! Tangan kirinya mengusap muka yang berpeluh dan dia menahan rintihan karena hidung yang pecah kena tergosok dan terasa perih. Tangannya penuh darah dan hatinya makin gentar.
"Hi-hi-hik! Kasihan sekali, Sumoi. Dia sudah ketakutan setengah mati!" Nona baju merah itu tertawa dan Siauw Lek menjadi makin gelisah.
Dia kemudian menggereng keras, menubruk maju dengan pedangnya, membabat ke arah pinggang Biauw Eng yang ramping dan yang tadi dia bayangkan akan dia lingkari dengan lengannya. Sambil membabat, dia menggunakan tangan kirinya membarengi dengan pukulan Hek-liong-ciang ke arah dada gadis itu!
"Tar-tar-tar..!"
Ujung sabuk meledak-ledak dan melecut-lecut, berubah menjadi tiga sinar, yang pertama menangkis pedang, ke dua menangkis tangan kiri Siauw Lek dan yang ke tiga menotok ke arah hidung Siauw Lek yang sudah pecah! Siauw Lek mendengus marah, lalu miringkan tubuhnya dan terus menerjang ke depan menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan Biauw Eng.
Dua ujung sabuk putih itu berputar, yang satu menangkis sambil melibat ujung pedang, yang ke dua berputar lantas melibat leher Biauw Eng sendiri, mencekik leher gadis itu! Siauw Lek terbelalak keheranan dan juga kegirangan, akan tetapi inilah kesalahannya. Karena merasa heran dan girang melihat ujung sabuk itu melibat serta mencekik leher Biauw Eng sendiri sehingga gadis itu sampai menjulurkan lidahnya yang kecil merah, maka perhatiannya terpecah dan tidak dapat lagi dia menghindarkan diri ketika kaki kecil mungil dari Biauw Eng menyambar dari bawah menggenai perutnya.
"Desss... ngekkk! Uaaak…!”
Tubuh Siauw Lek terlempar ke belakang dan dia memuntahkan darah segar. Dia sudah menjadi korban jurus aneh yang dipelajari Biauw Eng dari nenek gila Go-bi Thai-houw! Siauw Lek terhuyung-huyung dan dapat berdiri pula. Mukanya pucat, bibirnya berlepotan darah, matanya beringas dan liar, sebagian karena rasa sakit dan sebagian pula karena marah. Dadanya terasa sesak dan kepalanya pening.
Dia maklum bahwa lari pun tidak ada gunanya. Suara ketawa terkekeh-kekeh di sebelah belakangnya lebih menyeramkan dari pada Biauw Eng yang berdiri tegak dengan sabuk putihnya. Dia tahu bahwa kali ini dia harus membela diri mati-matian dan harus bertanding untuk menentukan mati atau hidup. Maka dia menjadi makin nekat.
Dengan suara gerengan yang tidak seperti manusia lagi dia menerjang ke depan. Namun Biauw Eng telah siap dengan sabuknya, digerakkan tangannya sehingga ujung sabuknya terpecah menjadi banyak sekali mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan menotok ke arah tujuh belas jalan darah di tubuh lawan!
Siauw Lek yang sudah pening itu tidak begitu cepat lagi gerakkannya. Ia memutar pedang menangkis, akan tetapi tetap saja sebuah totokan menyambar lututnya hingga membuat dia roboh terguling. Namun, dengan mengguling-gulingkan tubuh dia bisa membebaskan totokan, sedangkan tangan kirinya bergerak.
"Syut-syut-syuttt...!"
Lebih dari tiga puluh batang paku hitam menyambar secara kacau ke arah Biauw Eng. Rupanya dalam keadaan panik ini Siauw Lek menguras habis paku-pakunya dari dalam kantungnya, menyambitkan semua paku ke arah lawan.
Biauw Eng tertawa dan tangan kirinya bergerak. Serangkum sinar putih cepat menyambar. Ternyata itu adalah senjata rahasia bola-bola berduri putih yang menyambut datangnya sinar paku hitam sehingga semua paku runtuh di atas tanah, bahkan sebatang tusuk konde bunga bwe yang meluncur di antara banyak bola-bola putih tadi, dengan kecepatan luar biasa menyambar ke arah tubuh Siauw Lek tanpa dapat ditangkis lagi, menyambar ke arah mulut laki-laki itu! Siauw Lek terkejut, cepat miringkan kepalanya dan dia berteriak kaget dan… telinga kirinya buntung!
"Hi-hi-hik, ada anjing bertelinga buntung... Wah, jelek sekali...!" Hun Bwee tertawa dan bertepuk-tepuk tangan.
Kini Biauw Eng tidak mau memberi hati lagi. Ia menggerakkan tangan dan kedua ujung sabuknya menyambar-nyambar, meledak-ledak, dan melecut-lecut. Siauw Lek berusaha menangkis, akan tetapi rasa takut ditambah rasa nyeri membuat gerakannya ngawur dan tenaganya pun banyak berkurang, maka dia berteriak-teriak kesakitan ketika ujung-ujung sabuk itu seperti paruh burung garuda mematuki tubuhnya. Pakaiannya robek-robek dan kulitnya berikut sedikit daging di bawah kulit ikut pula robek dan copot!
Dengan seruan keras, Siauw Lek yang sudah habis harapan itu mengangkat pedangnya, disabetkan ke arah lehernya sendiri. Akan tetapi ujung sabuk Biauw Eng menyambar, melibat pedang dan sekali sentakan saja pedang itu terbang lantas terlempar ke dalam sungai!
Kemudian, sebelum Siauw Lek dapat berbuat sesuatu, ujung sabuk sudah melibat kedua kaki dan kedua tangannya, tubuh terangkat ke atas dan... dalam keadaan terbelenggu ujung sabuk, dia terbanting ke dalam air sungai!
Ia gelagapan, menggerakkan kedua kaki yang terbelenggu hingga tubuhnya dapat timbul di permukaan air, akan tetapi tiba-tiba Biauw Eng menggerakkan tangan yang memegang ujung sabuk, membuat tubuh Siauw Lek yang sudah tidak berdaya itu terlempar ke atas dan terbanting lagi ke air.
Demikianlah, dia dilelap-lelapkan oleh Biauw Eng yang kini pandang matanya sudah liar penuh dendam. Siauw Lek kini hanya dapat megap-megap sambil mengeluarkan suara "up-up-up-up", perutnya mengembung, mukanya membiru, matanya melotot.
"Sumoi..! Berikan dia padaku...!" Tiba-tiba Tan Hun Bwee berteriak.
Biauw Eng masih memegang ujung sabuk dan membiarkan Siauw Lek megap-megap di permukaan air Sungai Huang-ho seperti seekor ikan kena dipancing. Ia menoleh kepada Hun Bwee, mengerutkan alis dan bertanya,
"Untuk apa Suci? Harap jangan mencampuri urusan pribadiku!"
"Ihhh, Sumoi. Mengapa engkau begitu medit? Dia tukang perkosa, kau ingat? Aku benci kepada semua tukang perkosa di dunia ini, ingat?”
Biauw Eng termenung, kemudian mengangguk-angguk. Ia dapat membayangkan dendam suci-nya. Sebagai seorang gadis suci-nya pernah diperkosa orang. Tadi dia melihat gadis yang mati dan diperkosa, tentu saja kebencian suci-nya itu terhadap Siauw Lek belum tentu kalah besar oleh kebenciannya terhadap Jai-hwa-ong itu. Dia lantas menggerakkan tangannya menyendal sabuk sutera hingga tubuh Siauw Lek terlempar ke udara, terlepas dari belenggu dan melayang ke Hun Bwee!
"Hi-hi-hik! Terima kasih, Sumoi!" Hun Bwee menyodorkan tangannya dan menangkap kaki Siauw Lek yang masih sadar, hanya napasnya megap-megap karena perutnya penuh air yang membuat perutnya mengembung seperti bangkai anjing tenggelam.
Hun bwee menangkap kedua kaki Siauw Lek kemudian memutar-mutar tubuh laki-laki itu bagaikan kitiran angin cepatnya. Pada saat itu pula dari mulut Siauw Lek menyembur air sehingga pemandangan itu amat aneh. Seolah-olah Hun Bwee yang berpakaian merah itu sedang bermain sulap, atau seorang penari memperlihatkan tariannya, akan tetapi yang diputar-putar bukannya selendang melainkan tubuh orang yang ujungnya menyembur-nyemburkan air!
"Auggghhh... Bunuhlah aku... Bunuhlah...!" Setelah air diperutnya habis, Siauw Lek dapat mengeluarkan suara dan minta dibunuh.
Hun Bwee menghentikan putarannya dan sambil terkekeh-kekeh dia melemparkan tubuh Siauw Lek ke dekat sebatang pohon, menelikung kedua tangan dan kedua kaki laki-laki itu ke belakang lantas mengikat kaki tangannya dengan celana Siauw Lek sendiri yang sudah dirobek oleh Hun Bwee sambil tertawa-tawa.
Dengan demikian, tubuh Siauw Lek terikat pada batang pohon dan keadaannya sangat mengerikan. Pakaian atasnya robek-robek bekas cambukan-cambukan sabuk Biauw Eng tadi, dan sekarang tubuh bawahnya telanjang bulat sebab celananya direnggut Hun Bwee untuk mengikat kaki tangannya.
Biauw Eng membuang muka, tidak sudi memandang, akan tetapi diam-diam ia merasa ngeri mendengar suci-nya terkekeh-kekeh. Hatinya penuh keharuan. Suci-nya itu tidak normal lagi. Biar pun tidak segila Go-bi Thai-houw, namun dendam sakit hati membuat suci-nya tidak seperti manusia biasa lagi. Diam-diam dia berjanji di dalam hatinya untuk kelak membantu suci-nya membalas dendam kepada laki-laki biadab yang telah merusak kehidupan suci-nya.
"Hi-hi-hik, kau tukang perkosa wanita, ya? Heh-heh-heh!" Biauw Eng mendengar suci-nya berkata sambil tertawa-tawa. Kemudian ia mendengar suara Siauw Lek yang dibencinya.
"Bunuh saja aku! Bunuhlah aku... ampunkan... bunuh saja!"
"Hi-hi-hik, enak benar! Ingat, tentu sudah ratusan kali engkau mendengar ucapan itu dari mulut para gadis yang kau perkosa. Bukankah mereka pun mengeluh dan merintih, minta kau bunuh saja? Hi-hi-hik-hik, ingatkah engkau, anjing busuk?" Suara Hun Bwee penuh kebencian, sedangkan pandang matanya membuat Siauw Lek membelalakkan matanya penuh rasa takut.
"Kau tunggulah sebentar, Kim-lian Jai-hwa-ong! Hi-hi-hik!" Hun Bwee meloncat pergi.
"Song-bun Siu-li... kau... kau kasihanilah aku... bebaskan aku dari tangan keji perempuan gila itu… Kau bunuhlah aku, Sie Biauw Eng!" Suara Siauw Lek penuh ketakutan dan agak terisak bercampur tangis.
Akan tetapi Biauw Eng tidak menoleh, hanya berkata dengan suara dingin, "Aku sudah menyerahkanmu kepadanya. Pengecut hina, kenangkan saja ratap tangis wanita-wanita yang menjadi korbanmu!"
Biauw Eng bergidik penuh muak ketika mendengar suara laki-laki itu benar menangis! Ia muak dan jijik. Orang yang sekeji-kejinya, yang mendapat julukan Jai-hwa-ong, yang telah memperkosa dan membunuh entah berapa ribu orang wanita, sekarang merengek-rengek seperti anak kecil minta mati dan minta ampun!
Tak lama kemudian Hun Bwee sudah datang kembali tertawa-tawa. Karena tertarik Biauw Eng menoleh dan melirik. Kiranya suci-nya itu membawa sarang lebah penuh madu dan kini dia memeras keluar madunya lantas memercikkan madu ke arah tubuh Siauw Lek di bawah pusar, ke alat kelamin laki-laki itu.
Siauw Lek merintih-rintih, bukan karena sakit melainkan karena takut. Biauw Eng tak sudi memandang ke arah Siauw Lek, hanya bertanya, "Suci, apa yang kau lakukan? Bunuh saja anjing itu!"
"Hi-hik-hik, jangan kau kasihan kepadanya, Sumoi. Enak sekali kalau dia dibunuh begitu mudah. Lihat apa yang kubawa ini!"
Tan Hun Bwee lalu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan melihat itu, Siauw Lek mengeluarkan suara parau saking takutnya. Yang dipegang oleh Hun Bwee ialah sarang terbuat dari daun kering penuh semut-semut api yang merah dan besar-besar.
Siauw Lek menjerit-jerit minta ampun, namun sambil terkekeh Hun Bwee melemparkan sarang semut api itu ke bagian tubuh Siauw Lek yang sudah tertutup madu. Tentu saja semut-semut itu berpesta pora ketika mencium dan merasai madu, lalu merubung tempat itu dan menggigiti dengan lahapnya.
Siauw Lek meraung-raung bagaikan babi disembelih dan Biauw Eng membuang muka. Bukan raungan laki-laki yang ikut membunuh ibunya itu yang membuat ia merasa ngeri, melainkan suara ketawa Hun Bwee yang bukan seperti suara ketawa manusia lagi!
Siksaan yang dilakukan oleh Hun Bwee memang hebat sekali. Penderitaan tubuh Siauw Lek luar biasa mengerikan. Gigitan-gigitan ratusan ekor semut pada alat kelaminnya itu membuat seluruh tubuhnya terasa gatal dan sakit, semua bulu di tubuhnya berdiri, bahkan rambut kepalanya sampai berdiri satu-satu saking hebatnya rasa nyeri yang dideritanya.
Perasaan nyeri yang terlalu hebat akan membuatnya pingsan. Akan tetapi rasa nyeri oleh gigitan semut tidak membuatnya pingsan, melainkan menyengat-nyengat seluruh tubuh dan menggetarkan urat syarafnya!
Tiba-tiba dia menjerit lebih menyayat hati lagi saat Hun Bwee memoles mukanya dengan madu lalu melempar segenggam semut merah ke mukanya. Suara meraung-raung yang amat keras itu sampai membuat kerongkongan Siauw Lek seperti pecah, suaranya serak dan makin lama raungannya makin lemah.
Biauw Eng bergidik dan berkata, "Suci, sudahilah saja. Aku muak!"
"Heh-heh-hi-hik! Ha-ha-ha! Rasakan kau sekarang, laki-laki keparat! Rasakan sekarang! Enak, ya? Hi-hi-hik-hik, rasakan pembalasan Tan Hun Bwee kau, Keng Hong!" Dan Hun Bwee tersedu-sedu menangis!
Biauw Eng tersentak kaget laksana disambar halilintar. Tidak salahkah pendengarannya? Suci-nya menyebut nama Keng Hong! Ia cepat-cepat menengok dan kagetlah ia melihat suci-nya yang tadi ia dengar tersedu itu meringkuk pingsan tak jauh dari tubuh Siauw Lek yang mengerikan. Anggota kelamin dan muka laki-laki itu penuh semut merah dan tubuh Siauw Lek berkelojotan, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya kecuali suara seperti orang mendengkur dari kerongkongannya.
Biauw Eng kemudian menyambar tubuh Hun Bwee dan membawanya pergi dari sana, merebahkan tubuh suci-nya yang pingsan ke dalam perahu yang tadi mereka naiki dan mendayung perahu ke tengah sungai. Perahu meluncur cepat meninggalkan tempat yang mengerikan itu!
Bagaimanakah dua orang wanita murid Go-bi Thai-houw itu secara tiba-tiba bisa muncul di tempat itu hingga manusia sesat Siauw Lek akhirnya menerima hukuman yang begitu mengerikan?
Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, secara kebetulan saja Biauw Eng bertemu dengan Hun Bwee dan Go-bi Thai-houw, kemudian dia diambil murid dan digembleng secara aneh dan hebat oleh nenek yang gila namun luar biasa lihainya itu, bersama Hun Bwee yang menjadi suci-nya. Biar pun Hun Bwee sudah lebih dulu menjadi murid Go-bi Thai-houw dan menjadi suci Biauw Eng, akan tetapi karena dasar kepandaiannya jauh kalah tinggi oleh Biauw Eng, maka setelah Biauw Eng digembleng oleh Go-bi Thai-houw, dalam waktu beberapa bulan saja Biauw Eng sudah memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga melampaui tingkat suci-nya!
Biar pun Go-bi Thai-houw otaknya miring, akan tetapi dalam hal silat, dia sangat lihai dan awas sekali sehingga dia dapat melihat bahwa murid barunya ini paling boleh diandalkan. Setelah menggembleng dua orang muridnya secara tekun dan luar biasa, pada suatu hari ia memanggil mereka menghadap dan dengan suara tegas nenek gila ini berkata,
"Hun Bwee dan Biauw Eng, sekarang juga kalian harus pergi mencari Sin-jiu Kiam-ong dan membunuhnya mewakili aku!"
Hun Bwee dan Biauw Eng yang sedang berlutut di hadapan nenek gila ini saling pandang dan diam-diam mereka terkejut karena baru sekarang mereka mendengar suara nenek itu seperti orang normal.
"Subo, Sin-jiu Kiam-ong telah mati," jawab Hun Bwee.
"Betul, Subo. Sin-jiu Kiam-ong telah mati," Biauw Eng membantu suci-nya.
"Kalau begitu, kalian berdua pergi sana mencari kuburannya dan bawa tengkoraknya ke sini!"
Kembali dua orang gadis itu saling lirik. Mereka berdua sudah mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong meninggal dunia di puncak Kiam-kok-san dan kabarnya jenazah kakek raja pedang itu telah di perabukan, dibakar oleh muridnya.
"Subo, semua orang di dunia kang-ouw mengatakan bahwa jenazah Sin-jiu Kiam-ong tidak dikubur, melainkan di perabukan," kata pula Biauw Eng.
"Bukkk!" Kaki kiri nenek itu dibanting ke atas tanah sehingga dua orang gadis itu merasa betapa tanah di bawah mereka tergetar, seperti ada gempa bumi!
"Kau tidak bohong? Berani mempertaruhkan apa kalau bohong?"
"Teecu berani mempertaruhkan kepala teecu bila teecu membohong, Subo," jawab Biauw Eng.
"Teecu juga sudah mendengar urusan itu sebelum teecu tiba di sini dan menjadi murid Subo," kata pula Hun Bwee.
"Hoahhh, sial dangkalan! Siapa yang berani lancang membakar mayatnya sehingga aku tidak membalas orangnya, tidak mampu pula membalas tulangnya? Hayo katakan, siapa yang berani lancang demikian?"
Kedua orang gadis itu sudah biasa menyaksikan watak yang aneh dan edan-edanan ini, maka mereka pula melayani terus. "Menurut kabar di dunia kang-ouw, yang membakar jenazahnya adalah murid tunggalnya," berkata pula Biauw Eng dan jantungnya berdebar keras karena percakapan ini tanpa disengaja telah menyinggung diri Keng Hong!
"Hayaaaah-ha-ha-ha! Murid tunggalnya? Dia punya murid? Yahuuuu! Bagus sekali! Siapa nama muridnya itu? Siapa yang tahu?"
"Cia Keng Hong..!" Dua orang gadis itu saling lirik dengan heran karena nama itu mereka sebutkan dengan berbareng!
"Baik, sekarang kuperintah kalian pergi dan lekas tangkap muridnya yang bernama Cia Keng Hong itu. Seret dia ke sini! Mengerti?"
"Baik, Subo!" kata Hun Bwee penuh gairah.
"Baik, Subo!" Biauw Eng juga menjawab, pikirannya melayang jauh.
"Awas, jangan sampai gagal. Kalau kalian pulang tidak membawa Cia Keng Hong, kalian berdua akan kubunuh!"
"Sumoi, mari kita berangkat!"
Demikianlah, kedua orang gadis itu meninggalkan guru mereka dan turun gunung, mulai dengan perjalanan mereka untuk mencari dan menangkap Cia Keng Hong.
"Ke mana kita akan mencari dia?" tanya Biauw Eng setelah mereka tiba di kaki gunung.
"Aku pun tidak tahu. Kita nanti tanya-tanya kepada orang-orang kang-ouw."
"Kurasa sebaiknya mencari ke kota raja, di sana tentu kita dapat mendengar banyak."
Di pagi hari itu mereka melanjutkan perjalanan dengan naik perahu di sepanjang sungai Huang-ho. Mereka tentu tidak akan bertemu Siauw Lek kalau tidak melihat mayat tukang perahu terapung-apung.
Meski pun kedua orang gadis ini tidak peduli, akan tetapi sedikit banyak mereka tertarik. Maka, ketika mereka melihat perahu kosong di tempat sunyi itu, Biauw Eng mendayung perahu dan meloncat ke darat. Kedua orang gadis ini tiba pada saat puteri bangsawan yang diperkosa itu menggigit leher Siauw Lek sehingga dipukul mati oleh penjahat keji itu. Demikianlah kenapa Biauw Eng dan Hun Bwee dapat tiba di tempat sunyi itu.
Biauw Eng kini mendayung perahu meninggalkan tempat itu dengan cepat. Jantungnya berdebar keras, teringat dia akan teriakan Hun Bwee yang menyiksa Siauw Lek. Dahulu di depan Go-bi Thai-houw dia tidak merasa terlalu heran mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong yang amat terkenal dan diketahui oleh semua tokoh kang-ouw karena memang menjadi perhatian sehubungan dengan adanya Siang-bhok-kiam yang dijadikan rebutan.
Akan tetapi, ketika menyiksa Siauw Lek, mengapa suci-nya menyebut nama Keng Hong? Apakah karena pikirannya yang sudah tidak waras itu tanpa disadarinya telah mencampur adukkan nama-nama orang?
"...Cia Keng Hong... kubunuh kau... ahhh...!"
Mendengar ini, Biauw Eng cepat menengok dan ia melihat Hun Bwee sudah siuman dan suci-nya itu menangis sambil menyebut nama Keng Hong berkali-kali! Jantung Biauw Eng berdebar keras. Cepat dia mendayung perahunya ke pinggir, lalu mengikat tali perahu ke batang pohon kemudian ia cepat merangkul suci-nya yang masih menangis sedih.
"Suci... sadarlah... engkau kenapakah, Suci?"
"Ahhh, Cia Keng Hong… betapa kejamnya engkau...!" Kembali Biauw Eng terkejut sekali.
"Suci, ingatlah. Kita sedang berada di perahu dan yang kau bunuh tadi adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek."
Hun Bwee mengangkat muka memandang sumoi-nya dan Biauw Eng makin heran sebab pandang mata suci-nya wajar, sama sekali tidak membayangkan keruwetan batin. Hun Bwee memegang lengan Biauw Eng dan berkata perlahan sambil menyusut air matanya.
"Jangan khawatir, Sumoi. Aku tidak apa-apa dan aku sadar. Aku tahu bahwa anjing yang kusiksa itu adalah Siauw Lek. Akan tetapi semua kejadian itu membuat aku teringat akan pengalamanku dahulu, teringat akan... Cia Keng Hong dan hatiku sakit sekali."
"Cia Keng Hong..?" Biauw Eng mengulang nama ini penuh pertanyaan.
Tan Hun Bwee menghela napas panjang dan mengangguk. "Di luar kesadaranku, karena hati sakit, aku sudah menyebut namanya. Tadinya hendak kurahasiakan dari siapa pun juga, Sumoi, bahkan Subo sendiri tidak tahu. Akan tetapi... biarlah, karena engkau sudah tahu sekarang. Dan memang Cia Keng Hong itulah, orang yang akan kita tangkap atas perintah Subo, murid Sin-jiu Kiam-ong itulah yang telah memperkosaku.." Dan kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Hun Bwee. "Ah, sungguh tidak kusangka... betapa sakit hatiku memikirkan hal itu... hu-hu-huuuuukkk...!"
Hun Bwee tersedu-sedu dan Biauw Eng cepat merangkulnya. Sepasang mata Biauw Eng sendiri menitikkan dua butir air mata dan gadis ini menggigit bibir bawahnya. Lagi-lagi Keng Hong!
"Pemuda yang begitu tampan... begitu gagah perkasa... begitu halus budi... mengapa...? Mengapa…? Ahhh...!" Hun Bwee terisak-isak sambil mencengkeram pundak Biauw Eng, menangis di atas dada sumoi-nya.
"Sudahlah, Suci, tenangkan hatimu. Tak perlu kau ceritakan kalau memang hal itu hanya membangkitkan kenangan pahit..."
"Biar kau dengar, Sumoi, supaya kau betapa buruknya nasib Suci-mu ini...!" Hun Bwee mengangkat mukanya dan Biauw Eng segera mengusap air matanya sendiri kemudian mendengar sambil menundukkan mukanya.
"Ayah bundaku mengandung dendam terhadap Sin-jiu Kiam-ong karena dahulu pernah diganggu ketika ayah bundaku mengawal seorang puteri. Akan tetapi ayah bundaku tidak pernah berhasil membalas dendam, sehingga ayah bundaku meninggal dalam keadaan mengenaskan, menanggung dendam. Aku yang ditinggal mati dan hidup sebatang kara lalu berusaha membalas dendam, atau paling tidak merampas kembali barang-barang berharga yang dulu dirampas Sin-jiu Kiam-ong. Kemudian aku bertemu dengan Cia Keng Hong! Tutur sapanya yang manis, nasehat-nasehatnya yang amat berharga menyentuh sanubariku, membuat aku insyaf dan dapat menerima nasehatnya untuk menghapuskan permusuhan." Ia berhenti sebentar dan Biauw Eng mendengarkan dengan hati berdebar.
Terbayang di depan matanya wajah Keng Hong, terngiang suara yang selalu tak pernah ia lupakan. Kalau suci-nya tahu akan semua pengalamannya, akan kekecewaan dan akan penghinaan-penghinaan yang dideritanya, akan cintanya kepada Keng Hong, kemudian betapa cintanya dihancur leburkan, ahhh, pengalaman suci-nya itu masih belum apa-apa, masih terlampau ringan!
"Malah aku... aku tertarik... dan ketika itu muncul dua orang tosu Kun-lun-pai yang hendak menangkapnya. Aku mati-matian membelanya, malah aku sendiri sampai dirobohkan oleh tokoh Kun-lun-pai. Akan tetapi... apa yang dia lakukan sebagai balas jasa...? Aku dalam keadaan pingsan... dan agaknya dia berhasil mengusir dua orang tosu Kun-lun-pai itu... ketika aku sadar... aku telah diperkosa...!"
"Hemmm...!!" Biauw Eng menggigit bibirnya. Awas engkau, Keng Hong! Demikian hatinya berbisik.
"Kalau saja dia berterus terang... Ahh, aku sudah seperti gila... masih dapat diselesaikan dengan baik... akan tetapi dia... si pengecut itu... Dia menyangkalnya...!" Hun Bwee kelihatan berduka sekali, menghapus air matanya lalu berkata, "Itulah sebabnya mengapa ketika Subo menyuruh kita pergi mencari Keng Hong, aku bersemangat sekali. Ketika tadi aku menyiksa dan membunuh Siauw Lek, terbayang olehku bahwa yang kusiksa itu ialah Keng Hong dan... dan aku... uhu-hu-huuuh... aku... tidak tega... Sumoi...!"
Biauw Eng memeluk pundak suci-nya dan termenung. Hemmmmmm, betapa besar rasa cinta kasih yang berakar di dalam hati suci-nya ini terhadap Keng Hong! Biar pun sudah diperkosa dan disangkal pula, sekarang rasa cinta kasih itu masih belum lenyap sehingga membayangkan betapa dia akan membalas dendam kepada pemuda itu saja membuat ia berduka dan tidak tega!
"Suci, katakanlah terus terang. Aku mohon kepadamu, katakanlah terus terang kepadaku. Apakah engkau mencinta Cia Keng Hong?"
Hun Bwee mengangguk. "Semenjak dia menasehati aku untuk menghapus permusuhan, aku kagum kepadanya, aku tertarik dan aku sudah jatuh cinta kepadanya. Walau pun dia telah memperkosaku, jika dia mau mengakui perbuatannya, sejak dulu pun aku bersedia mengampuninya... tapi dia... dia menyangkal..."
"Suci, katakanlah lagi secara terus terang. Andai kata dia suka mengakui perbuatannya terhadap dirimu, lalu mohon ampun kepadamu, apakah... apakah Suci suka mengampuni dia dan suka pula menerimanya sebagai... sebagai suamimu?"
Hun Bwee memandang sumoi-nya dengan mata terbelalak. "Mungkinkah...? Mungkinkah dia... mau... melakukan hal itu?"
"Aku akan memaksa dia, Suci! Akulah orangnya yang akan memaksa dia supaya jangan bersikap pengecut, supaya suka mengakui perbuatannya yang keji terhadap dirimu, dan supaya minta maaf kepadamu dan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu dengan mengawinimu!" Biauw Eng berkata penuh semangat dengan sepasang mata bersinar dan kedua tangan dikepal.
"Aaahhhh, Sumoi...!" Hun Bwee merangkulnya sambil menangis. "Aku... aku lemah. Aku cinta padanya...! Hi-hi-hi-hi-hik! Aku... aku cinta Keng Hong, ha-ha-ha-ha-ha-hah-hah!"
Biauw Eng bergidik. Hatinya penuh keharuan. Keng Hong benar-benar manusia keparat, pikirnya. Sudah merusak hatinya, merusak cintanya, sekarang menyebabkan Hun Bwee menjadi gila seperti ini! Ia terus menghibur dan akhirnya Hun Bwee yang kadang-kadang menangis kadang-kadang tertawa itu dapat tidur pulas di dalam perahu.
Biauw Eng melanjutkan perjalanan itu, mendayung kembali perahu itu perlahan-lahan. Wajahnya yang cantik itu sekarang kelihatan keruh, pandang matanya sayu dan muram. Batinnya makin tertekan dan kalau ia mengenangkan wajah Keng Hong, tak mungkin dia melenyapkan cinta kasihnya itu yang bersemi semenjak pertama kali dia bertemu Keng Hong.
Bahkan ketika dia mengira bahwa Keng Hong sudah mati sekali pun, bertahun-tahun dia menyembahyangi arwahnya dengan hati masih penuh cinta kasih! Siapa mengira, Keng Hong telah menghancurkan hatinya, memandang rendah dan hina kepadanya ketika dia mencoba hati pemuda itu dengan mengatakan bahwa tubuhnya sudah dimiliki Sim Lai Sek.
Ternyata bahwa cinta Keng Hong kepadanya tiada bedanya dengan cinta pemuda itu kepada perempuan-perempuan lain, kepada Cui Im misalnya, hanya mencinta tubuhnya dan wajahnya yang cantik! Dan kini, ternyata Keng Hong bukan hanya mata keranjang seperti... gurunya atau ayahnya sendiri, akan tetapi bahkan lebih jahat lagi, dia sudah memperkosa Hun Bwee!
"Aahhhh... Keng Hong, mengapa engkau menjadi begitu...?" hatinya mengeluh dan hidup ini serasa kosong melompong baginya.
Betapa senangnya kalau dia menjadi air Sungai Huang-ho ini saja, tidak mengenal susah tidak mengenal kecewa! Akan tetapi, dia masih mempunyai kewajiban yaitu mencari Cui Im dan membalas dendam atas kematian ibunya! Dia sudah berhasil membalas kepada Siauw Lek, tinggal Cui Im dan... dan... memaksa Keng Hong mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap Hun Bwee. Ia percaya bahwa suci-nya ini akan sembuh dari pada serangan kegilaan itu kalau Keng Hong yang dicintanya itu suka menerimanya sebagai isteri.
Perahu yang didayung Biauw Eng meluncur cepat, tetapi lebih cepat lagi pikiran Biauw Eng yang hanyut mendahului perahu berlomba dengan riak air Sungai Huang-ho.....
********************