Dia suka akan pujian mengenai kecantikannya, apa lagi kalau pujian itu keluar dari mulut seorang pemuda yang dikaguminya! Kalau dia sampai bermusuh dengan Bong Cit adalah karena pemuda she Bong itu sudah mengeluarkan kata-kata kotor dan kemudian hendak menangkapnya.
"Kau... kau terlalu jujur dan blak-blakan, Twako..." akhirnya dengan lirih Ciang Bi berkata. "kau membikin aku menjadi... menjadi malu..."
Keng Hong tertawa dan memandang wajah yang ayu itu. Sinar merah api ungun membuat bentuk wajah itu menjadi gemilang dan tampak jelas garis-garisnya, bagaikan garis-garis daun bunga mawar dengan lekuk-lengkungnya yang tak lebih tak kurang, amat tepat dan cocok sekali, serasi pada tempatnya, membuat mata tak ada bosannya memandang dan mengaguminya.
"Salah siapakah, Bi-moi? Salahkah mata ini apa bila melihat wajah yang cantik dan indah, nikmat dipandang tanpa membosankan? Ataukah pemilik wajah itu sendiri yang salah mengapa wajahnya cantik? Kalau salah mataku, biarlah mulai sekarang juga aku akan meramkan mata bila mana berbicara dan berhadapan denganmu agar aku jangan dapat melihat wajahmu! Sebaliknya, kalau salah wajahmu mengapa begitu cantik, biarlah mulai sekarang kau menutupi wajahmu dengan sapu tangan atau dengan kedok yang buruk agar mataku tidak dapat mengagumimu. Bagaimana?"
Gadis itu tersenyum lebar, menekan diri agar tidak tertawa terkekeh, sedangkan pandang matanya bersinar-sinar ditujukan kepada wajah pemuda yang makin menarik hatinya itu, pemuda yang perkasa, yang sudah menyelamatkan nyawanya dan nyawa adiknya, yang ramah-tamah, yang telah melepas budi tetapi selalu merendahkan diri, yang amat tampan dan memiliki sepasang mata yang seolah-olah dapat menembus dadanya dan menjenguk isi hatinya, yang kini bahkan memuji-mujinya dengan kata-kata merayu-rayunya!
"Wah..., Hong-ko... engkau benar-benar pandai merayu hati! Hong-ko..., sungguhkah kau menganggap aku… aku cantik dan... dan apakah engkau... suka kepadaku?" Gadis itu memberanikan diri mengeluarkan pertanyaan ini yang keluar dari lubuk hatinya, dan dia diberanikan oleh sikap dan kata-kata Keng Hong yang selalu terbuka dan jujur blak-blakan itu.
Keng Hong tersenyum lebar. "Pria yang manakah di dunia ini yang tidak akan merayu wanita cantik seperti seekor kumbang menari-nari dan menyanyi di atas setangkai bunga? Kaum cendekiawan, kaum sastrawan selalu merayu segala keindahan dengan kata-kata indah yang dirangkai dalam bentuk sajak-sajak hingga terciptalah sajak-sajak abadi yang menyanjung keindahan bunga dan kecantikan wanita! Tentu saja aku merayumu dengan kata-kata indah sedapatku, Bi-moi, karena memang engkau cantik dan patut menerima rayuan dan sanjungan pria yang mana pun juga di dunia ini. Kau bertanya apakah aku suka kepadamu? Aduh, Bi-moi, perlukah ditanya lagi? Tiada seekor pun kupu-kupu atau kumbang yang tidak suka akan kembang! Tiada seorang pun pria yang tidak suka akan seorang wanita cantik, kecuali kalau pria itu tidak normal atau... banci!"
Gadis itu kembali menekan perutnya karena geli, akan tetapi mulutnya bertanya, "Banci? Apakah itu? Manusia atau binatang?"
Keng Hong menggelengkan kepalanya. Semua kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi hanyalah tiruan saja dari ucapan suhu-nya dan dia sendiri pun tidak tahu apa itu yang disebut banci. Maka dia pun hanya mencontoh jawaban suhu-nya pada saat dia bertanya tentang banci. "Banci itu bisa manusia bisa binatang, akan tetapi yang pasti dia itu bukan pria dan bukan pula wanita, atau boleh juga disebut bahwa dia itu dapat menjadi pria mau pun wanita!"
"Eh..., aku menjadi bingung. Bagaimana sih jelasnya?"
"Jelasnya... aku sendiri pun tidak tahu karena selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan seorang banci!"
"Engkau belum menjawab pertanyaanku, Hong-ko, apakah engkau suka kepadaku?"
"Sudah kukatakan tadi, mana ada kumbang tidak suka akan kembang?"
"Engkau bukan kumbang!"
"Hanya kiasan, Bi-moi, kuumpamakan diriku adalah seekor kumbang dan engkau adalah setangkai kembang. Kumbang takkan pernah jemu untuk berdendang memuji kecantikan kembang, tak akan jemu-jemu membelai dan menciumnya..."
Wajah Ciang Bi menjadi makin merah, kepalanya menunduk, jantung berdebar keras dan jari-jari tangannya menggigil. Keng Hong yang melihat jari tangannya menggigil itu, jari-jari tangan yang kecil dan bentuknya meruncing, dengan kuku-kuku jari yang halus bersih terpelihara, tanpa disadarinya sudah menggeser duduknya mendekat, kemudian dengan hati-hati dia memegang tangan itu.
"Tanganmu gemetar, Moi-moi... dan agak dingin. Mengapa?"
Memang ada getaran yang keluar dari tangan Ciang Bi, getaran sebagai akibat denyut jantungnya, juga akibat perasaannya. Dia merasa berbahagia, terharu dan juga... takut! Semua perasaan ini bergelut dengan rasa suka dalam hatinya, mendatangkan kemesraan sehingga tanpa disadarinya pula jari tangannya membalas sentuhan pemuda itu dan jari jemari tangan mereka tahu-tahu sudah saling meremas.
"Hong-ko... kalau engkau menjadi kumbangnya... aku suka menjadi kembangnya..." Suara Ciang Bi juga gemetar, napasnya agak terengah karena hatinya berguncang.
Keng Hong tersenyum girang, lalu dengan tangan kirinya dia meraba dagu yang halus itu, mengangkat muka cantik itu sehingga mereka berpandangan dan dia bertanya,
"Bi-moi cintakah engkau kepadaku?" Pertanyaan yang langsung seperti tusukan sebatang pedang yang meruncing.
Dulu suhu-nya setiap kali menceritakan segala pengalamannya pada waktu muda selalu diselingi nasehat-nasehat tentang wanita. Nasehat yang dia masih ingat dan sekarang dia praktekkan terhadap Ciang Bi adalah begini: ‘Jangan sekali-kali memaksa wanita untuk melayani cintamu dan jangan pula sekali-kali jatuh cinta karena sekali jatuh, engkau akan terikat dan kesengsaraan akan timbul. Lebih baik bertanya terus terang apakah wanita itu mencintaimu dan jangan menolak cinta kasih wanita, bila engkau tertarik kepadanya tentu aja!’
Nasehat inilah yang teringat oleh Keng Hong pada waktu secara tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan yang langsung itu kepada Ciang Bi. Tentu saja gadis itu menjadi malu sekali untuk menjawab. Akan tetapi karena hati Ciang Bi sudah terpikat, baik oleh ketampanan wajah, kelihaian, mau pun budi bahasa pemuda itu, dia makin menunduk dan menjawab lirih seperti bisikan, "Dengan seluruh jiwa ragaku, Koko..."
Tangan mereka pun makin erat saling meremas dan terdengar Keng Hong berkata, juga secara blak-blakan, "Juga masih mencintaku walau pun kelak aku tidak mungkin menjadi suamimu?"
Ciang Bi mengangkat mukanya, memandang tajam. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi kemudian menjadi merah kembali dan dia menjawab, "Apa kau kira sikapku ini merupakan perangkap untuk menjebak seorang calon suami?"
Keng Hong tertawa, menarik lengan gadis itu yang dengan lemas menurut saja sehingga rebah dalam pelukan pemuda yang amat dikaguminya itu.
Keng Hong sebenarnya adalah seorang pemuda yang baru berusia delapan belas tahun, masih hijau dan belum ada pengalaman sama sekali mengenai pergaulan dengan wanita. Akan tetapi, sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, seorang ‘jagoan’ besar, bukan hanya tentang ilmu silat akan tetapi juga mengenai ilmu menjatuhkan hati wanita, sedikit banyak Keng Hong ketularan penyakit itu.
Sering kali suhu-nya bercerita tentang petualangan-petualangan cintanya di masa muda, bahkan memberinya nasehat-nasehat tentang wanita, mengajarkan ‘teknik-teknik’ merayu wanita, sehingga biar pun pada dasarnya Keng Hong tidak berbakat menjadi seorang pria mata keranjang dan hidung belang, akan tetapi watak suhu-nya menular dan dia menjadi seorang pemuda yang lebih berani menghadapi wanita dari pada pemuda-pemuda lain yang sebaya dengannya.
Apa lagi sesudah dia berjumpa dengan Ang-kiam Tok-sian-li Bhi Cui Im dan remajanya gugur oleh wanita cabul yang cantik itu, pengalaman hebat ini menambah keberaniannya menghadapi Ciang Bi. Hanya ada satu hal yang menguntungkan bagi batin Keng Hong, yaitu bahwa dia amat taat kepada pesan-pesan suhu-nya sehingga betapa pun terpupuk dan bangkit selera serta nafsunya untuk berdekatan dan bermain cinta dengan wanita, tetapi seperti suhu-nya, memaksa dan memperkosa wanita merupakan pantangan mutlak baginya.
Kalau ada wanita suka kepadanya, dia akan melayaninya. Akan tetapi betapa pun cantik seorang wanita dan betapa pun tertarik hatinya, kalau wanita itu tidak suka kepadanya, dia tidak akan menyentuh seujung rambutnya. Ketaatan ini menguntungkan Keng Hong sendiri dan para wanita, karena andai kata tidak, tentu dia akan tersesat menjadi seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) atau tukang pemerkosa wanita yang berbahaya sekali!
Mendengar jawaban gadis itu, Keng Hong tertawa, merangkul lehernya dan menundukkan muka. Mereka berciuman dan biar pun keduanya belum berpengalaman dalam bermain cinta, namun karena didorong hati yang mencinta, mereka berciuman mesra.
"Hong-ko..." Ciang Bi merintih, tubuhnya menggetar, semua bulu di tubuhnya meremang pada waktu kedua lengannya merayap seperti ular melingkari leher pemuda perkasa yang menjatuhkan hatinya itu.
"Bi-moi... engkau jelita sekali..." Keng Hong juga berbisik di dekat telinga gadis itu dan kembali mereka berdekapan dan berciuman mesra.
Cinta adalah perasaan yang dimiliki oleh setiap makhluk di dunia, setiap makhluk yang hidup wajar sesuai dengan kodrat dan kekuasaan alam. Cinta bukan merupakan sesuatu yang kotor dan bukan merupakan hal yang tak patut dibicarakan. Sebaliknya dari pada itu!
Cinta antara pria dan wanita adalah hal yang amat wajar, merupakan anugrah dari Tuhan, merupakan dorongan alamiah yang tak dapat dibantah, bahkan tak dapat dihindarkan dan tak dapat dibuang karena cinta ini pula yang membuat manusia masih berlangsung ada di dunia ini, berkembang biak dan menciptakan generasi demi generasi. Karenanya, cinta adalah bersih dan murni, tidak kotor dan bukanlah sesuatu yang tidak patut dibicarakan, bahkan seharusnya dibicarakan agar tidak disalah gunakan.
Biar pun cinta antara lawan kelamin merupakan kodrat dan dimiliki oleh setiap makhluk, dari yang terkecil sampai yang terbesar, namun karena manusia adalah makhluk yang berakhlak dan berakal budi, maka tidaklah dapat disamakan dengan makhluk lain yang dalam hal cinta kasih semata-mata menurut dorongan kodrat belaka. Cinta antara pria dan wanita diciptakan oleh kodrat dan pembawaan yang sudah ada pada setiap makhluk, yaitu daya tarik yang ada di antara lawan kelamin.
Tanpa diberi tahu, tanpa membaca buku, jika masanya sudah tiba sesuai dengan usianya, seorang pemuda akan tertarik melihat seorang pemudi, dan sebaliknya. Rasa tertarik ini menimbulkan suka yang disebut cinta, kasih atau asmara. Tidak berhenti sampai di situ saja. Cinta antara pria dan wanita yang normal diikuti oleh bangkitnya nafsu birahi yang wajar, diikuti pula oleh hubungan kelamin yang juga sudah wajar.
Segala macam makhluk di dunia ini, kecuali manusia, akan melakukan hal ini, yaitu saling tertarik dan saling mendekati, menurut nafsu birahi melakukan hubungan kelamin. Adakah seorang pun dapat mengatakan bahwa perkembangan dan perbuatan itu kotor dan tidak patut? Sama sekali tidak!
Akan tetapi, sekali lagi ditekankan bahwa manusia bukanlah sembarang makhluk! Tanpa berunding lebih dulu, manusia seluruh dunia ini sudah membangun dan mendirikan mercu suar di antara segala makhluk yang disebut peradaban dan melahirkan peri kemanusiaan! Peri kemanusiaan inilah yang melahirkan hukum-hukum yang dibuat oleh manusia sendiri, disesuaikan dengan rasa, dengan kebiasaan, dan dengan kepercayaan golongan masing-masing.
Lalu lahir pula hukum-hukum susila yang melarang pria dan wanita melakukan hubungan kelamin di luar pengesahan hukum. Terciptalah istilah-istilah dan sebutan bagi perbuatan-perbuatan yang melanggar garis yang ditentukan ini, misalnya perjinahan, perkosaan dan lain-lain. Cintanya itu sendiri, nafsu birahinya itu sendiri, dan hubungan kelamin itu sendiri tetap bersih dan murni, bukanlah hal yang tidak patut. Hanya perbuatan melanggar garis hukum itulah yang tidak patut, karena sudah tahu ada garis tetap dilanggar sehingga tentu saja menimbulkan pertentangan-pertentangan.
Cinta antara pria dan wanita adalah hal yang amat wajar, merupakan anugrah dari Tuhan, merupakan dorongan alamiah yang tak dapat dibantah, bahkan tak dapat dihindarkan dan tak dapat dibuang karena cinta ini pula yang membuat manusia masih berlangsung ada di dunia ini, berkembang biak dan menciptakan generasi demi generasi. Karenanya, cinta adalah bersih dan murni, tidak kotor dan bukanlah sesuatu yang tidak patut dibicarakan, bahkan seharusnya dibicarakan agar tidak disalah gunakan.
Biar pun cinta antara lawan kelamin merupakan kodrat dan dimiliki oleh setiap makhluk, dari yang terkecil sampai yang terbesar, namun karena manusia adalah makhluk yang berakhlak dan berakal budi, maka tidaklah dapat disamakan dengan makhluk lain yang dalam hal cinta kasih semata-mata menurut dorongan kodrat belaka. Cinta antara pria dan wanita diciptakan oleh kodrat dan pembawaan yang sudah ada pada setiap makhluk, yaitu daya tarik yang ada di antara lawan kelamin.
Tanpa diberi tahu, tanpa membaca buku, jika masanya sudah tiba sesuai dengan usianya, seorang pemuda akan tertarik melihat seorang pemudi, dan sebaliknya. Rasa tertarik ini menimbulkan suka yang disebut cinta, kasih atau asmara. Tidak berhenti sampai di situ saja. Cinta antara pria dan wanita yang normal diikuti oleh bangkitnya nafsu birahi yang wajar, diikuti pula oleh hubungan kelamin yang juga sudah wajar.
Segala macam makhluk di dunia ini, kecuali manusia, akan melakukan hal ini, yaitu saling tertarik dan saling mendekati, menurut nafsu birahi melakukan hubungan kelamin. Adakah seorang pun dapat mengatakan bahwa perkembangan dan perbuatan itu kotor dan tidak patut? Sama sekali tidak!
Akan tetapi, sekali lagi ditekankan bahwa manusia bukanlah sembarang makhluk! Tanpa berunding lebih dulu, manusia seluruh dunia ini sudah membangun dan mendirikan mercu suar di antara segala makhluk yang disebut peradaban dan melahirkan peri kemanusiaan! Peri kemanusiaan inilah yang melahirkan hukum-hukum yang dibuat oleh manusia sendiri, disesuaikan dengan rasa, dengan kebiasaan, dan dengan kepercayaan golongan masing-masing.
Lalu lahir pula hukum-hukum susila yang melarang pria dan wanita melakukan hubungan kelamin di luar pengesahan hukum. Terciptalah istilah-istilah dan sebutan bagi perbuatan-perbuatan yang melanggar garis yang ditentukan ini, misalnya perjinahan, perkosaan dan lain-lain. Cintanya itu sendiri, nafsu birahinya itu sendiri, dan hubungan kelamin itu sendiri tetap bersih dan murni, bukanlah hal yang tidak patut. Hanya perbuatan melanggar garis hukum itulah yang tidak patut, karena sudah tahu ada garis tetap dilanggar sehingga tentu saja menimbulkan pertentangan-pertentangan.
Keng Hong adalah seorang pemuda yang kurang pengalaman. Dia bertumbuh menjadi dewasa dalam asuhan seorang aneh seperti Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi gurunya. Dan sejak dia masih muda, Sin-jiu Kiam-ong sudah meninggalkan dan tak lagi mengindahkan gari-garis hukum buatan manusia ini. Dia melakukan apa saja yang dia anggap benar, biar pun itu melanggar hukum manusia dan sebaliknya dia tidak akan melakukan hal yang dianggapnya tidak benar, biar pun hal itu dibenarkan hukum.
Maka timbulah perbuatan-perbuatannya yang menggemparkan sebab tidak cocok dengan hukum manusia lain, permainan cinta dengan banyak wanita yang merasa tertarik dengan ketampanan dan kegagahannya, juga pencurian-pencurian dan perampasan-perampasan benda-benda pusaka, atau pertolongan-pertolongan tanpa melihat bulu, dan pertentangan-pertentangan lain yang mengakibatkan dia dimusuhi orang-orang gagah sedunia!
Watak aneh Sin-jiu Kiam-ong yang pada hakekatnya seorang pendekar yang sakti dan berjiwa besar itu hanyalah akibat. Akibat dari kepatahan hati. Di waktu masih muda, baru berusia dua puluh dua tahun dan baru saja menikah dua tahun dengan seorang wanita yang cantik jelita, masih belum mempunyai keturunan, pada suatu malam pendekar muda yang sakti ini, yang baru pulang dari perantauan selama sebulan, menemukan isterinya yang tercinta itu sedang melakukan hubungan kelamin dengan seorang pria lain, sahabat baiknya sendiri!
Tadinya Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong amat marah dan hampir saja dia meloncat masuk dan serta-merta membunuh isterinya dan sahabatnya itu, yang dalam keadaan seperti itu tidak tahu bahwa perbuatan mereka ditonton oleh Sie Cun Hong yang mengintai di luar jendela kamar. Akan tetapi tiba-tiba pikiran yang aneh menyelinap dalam benaknya.
Kekecewaan dan pukulan batin yang amat hebat agaknya telah membuat jalan pikiran Sie Cun Hong menjadi tidak normal, tidak lumrah seperti manusia biasanya, bahkan menjadi berlawanan dengan pendapat umum! Pada saat itu timbul pendapat dalam hatinya bahwa dia tidak perlu marah karena kalau isterinya sampai mau melakukan hubungan kelamin dengan pria lain, tentu ini didasari hati suka kepada si pria itu. Kenapa dia akan melarang orang yang mencinta? Kedua orang itu, biar pun isterinya dan sahabatnya namun tetap orang, saling mencinta dan menumpahkan rasa cinta mereka dalam hubungan kelamin. Mengapa dia harus marah dan membunuh mereka?
Sie Cun Hong tertawa, suara ketawanya meninggi dan melengking sehingga mengejutkan isterinya dan sahabatnya yang baru saja mengakhiri perbuatan mereka. Isterinya terkejut setengah mati, begitu pula sahabatnya, sehingga kedua orang ini dengan tubuh menggigil menjatuhkan diri berlutut di atas lantai sambil memejamkan mata, siap menanti datangnya maut sebab mereka kenal suara ketawa di luar jendela itu. Bila pendekar itu turun tangan, mereka berdua tak akan dapat tertolong lagi. Akan tetapi Sie Cun Hong tidak pernah lagi memasuki kamarnya itu, bahkan tidak pernah lagi berjumpa dengan bekas isterinya dan bekas sahabatnya itu.
Peristiwa itulah yang menjadi sebab munculnya seorang pendekar aneh yang kemudian menggegerkan dunia persilatan. Sie Cun Hong melakukan banyak hal yang bagi manusia biasa dianggap jahat dan keji, tidak lumrah dan dia dikutuk oleh banyak tokoh kang-ouw. Bermain cinta dengan wanita mana pun juga, bahkan wanita-wanita yang sudah menjadi isteri orang lain, kalau dasarnya suka sama suka, dia tidak segan melakukannya. Banyak sekali wanita yang tergila-gila kepadanya karena memang pada waktu mudanya Sie Cun Hong merupakan seorang pria yang gagah perkasa dan tampan.
Sekarang Sie Cun Hong sudah tidak ada lagi, akan tetapi dia sudah mewariskan seluruh miliknya kepada murid tunggalnya, yaitu Cia Keng Hong. Seluruh sinkang-nya dia berikan, seluruh pusakanya dia tinggalkan untuk muridnya, bahkan sebagian wataknya juga dia wariskan sehingga kini, dalam usia delapan belas tahun, Keng Hong telah melayani nafsu birahi Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im, dan sekarang, untuk kedua kalinya dia bermain cinta dengan seorang gadis Hoa-san-pai yang mengaguminya dan jatuh hati kepadanya.
Apa bila gurunya tidak peduli akan hukum susila karena pernah patah hati menyaksikan isterinya berjinah dengan sahabatnya, adalah Keng Hong melakukan hal itu semata-mata karena dia menganggap hal itu benar dan wajar saja, sesuai dengan nasehat-nasehat dari mendiang gurunya! Dia tidak memperkosa, dia juga tidak memaksa, dia dan Ciang Bi sama-sama mau, cocok sudah dengan pesan suhu-nya, maka tentu saja hal itu sudah benar dan baik!
Sim Ciang Bi, gadis remaja yang dikuasai nafsu birahinya sendiri, sudah seperti mabuk dan buta bahwa dia telah melakukan pelanggaran garis hukum. Lupa bahwa garis hukum susila itu diadakan oleh manusia semata-mata agar dapat melindungi dan membela nasib hidup dan kebahagiaan wanita. Lupa bahwa hubungan kelamin di luar pernikahan, maka si wanitalah yang akan menanggung akibat-akibat pahit getir, bahkan yang akan dapat menyeretnya ke lembah kesengsaraan, mungkin ke lembah kehinaan.
Manusia tidak dapat membebaskan dirinya dari pada hukum-hukum manusia yang sudah tersusun dan bertumpuk ribuan tahun lamanya. Apa lagi, dalam hubungan kelamin, alam sendiri sudah menjatuhkan kodrat bahwa si wanitalah yang akan menanggung akibatnya, yaitu kehamilan.
Setiap gadis yang bijaksana, yang sadar betapa satu kali saja salah langkah melanggar garis hukum kesusilaan ini maka bisa mengakibatkan mala petaka sepanjang hidup, akan selalu pandai mengekang nafsu, pandai menjaga diri tidak terseret oleh gelombang yang memabukkan, tentu akan menjaga kesusilaan dan kehormatannya yang dia junjung lebih tinggi dan berharga dari pada nyawa! Kehilangan nyawa hanya berarti mati. Akan tetapi kehilangan kehormatan sebagai gadis ternoda, berarti akan hidup terhina oleh manusia-manusia lain yang sudah melekatkan batinnya pada hukum.
Setiap gadis yang bijaksana, yang sadar betapa satu kali saja salah langkah melanggar garis hukum kesusilaan ini maka bisa mengakibatkan mala petaka sepanjang hidup, akan selalu pandai mengekang nafsu, pandai menjaga diri tidak terseret oleh gelombang yang memabukkan, tentu akan menjaga kesusilaan dan kehormatannya yang dia junjung lebih tinggi dan berharga dari pada nyawa! Kehilangan nyawa hanya berarti mati. Akan tetapi kehilangan kehormatan sebagai gadis ternoda, berarti akan hidup terhina oleh manusia-manusia lain yang sudah melekatkan batinnya pada hukum.
Dua orang yang tenggelam dalam lautan kasih asmara itu tidak sadar bahwa Sim Lai Sek menjulurkan kepalanya keluar dari gubuk. Di tengah malam itu, pemuda remaja ini sudah terbangun dari tidurnya dan menggerakkan tubuh, lantas menjenguk keluar gubuk. Dapat dibayangkan alangkah terkejut hatinya pada saat dia menyaksikan keadaan cici-nya dan penolong mereka itu di atas rumput, di dekat api ungun.
Sejenak dia terbelalak, mukanya berubah merah, akan tetapi dia lalu menarik diri lagi dan rebah di dalam gubuk, napasnya sedikit terengah dan diam-diam dia menangis, berdoa semoga cici-nya yang telah tersesat itu akan menjadi isteri yang sah dari Cia Keng Hong. Mengingat ini lenyaplah kemarahan dan kedukaan hatinya, terganti rasa girang karena dia memang suka sekali dan amat kagum pada penolongnya yang demikian gagah perkasa. Kalau dia dapat mempunyai Cihu (kakak ipar) seperti itu, betapa senangnya dan dia akan memperdalam ilmu silatnya, belajar dari cihu-nya. Kelegaan hati inilah yang membuat Lai Sek tertidur kembali, lupa akan perutnya yang lapar.
Lewat tengah malam, Keng Hong tertidur nyenyak, sedangkan Ciang Bi pulas pula di atas dadanya. Mereka tidur berdekapan, pipi Ciang Bi terletak di atas dada Keng Hong, rambut gadis itu terurai lepas menutupi dada, leher dan sebagian muka Keng Hong. Mereka tidur dengan nikmat, karena badan lelah hati pun bahagia.
Mereka tidak sadar dan tidak tahu bahwa tak jauh dari tempat itu tampak sepasang mata yang bening dan jeli memandang ke arah mereka dengan sinar berkilat-kilat. Mulut yang manis dengan bibir merah itu bergerak-gerak, tampak giginya berderet rapi putih laksana mutiara. Kemudian, tangan yang halus itu merogoh kantong di dalam baju, mengambil sesuatu, tangan digerakkan dan sinar putih meluncur ke arah Ciang Bi yang masih tidur pulas berbantal dada Keng Hong.
Jerit melengking yang keluar dari mulut Ciang Bi adalah jerit kematian, ada pun bayangan putih itu berkelebat cepat sekali, lenyap ditelan kegelapan malam. Keng Hong tersentak bangun, secara otomatis lengannya memeluk leher Ciang Bi. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tangannya menjadi basah oleh darah yang mengucur keluar dari pelipis itu!
Di bawah cahaya api unggun yang masih menyala sedikit, dia memandang dan merasa kerongkongannya tercekik ketika dia melihat sebuah benda bulat berduri menancap pada pelipis gadis itu. Senjata rahasia Biauw Eng yang tadi sudah menolongnya merobohkan pengeroyokan para penjahat. Sekarang sebuah di antara senjata rahasia itu menancap di pelipis kiri Ciang Bi, merenggut nyawa dari tubuh yang masih hangat itu.
"Biauw Eng...!" Seruan Keng Hong ini seperti jerit tangis.
Setelah dia merebahkan tubuh yang masih hangat dan tak bernyawa lagi itu di atas tanah bertilam rumput yang juga hangat dan rebah semua karena tindihan tubuh mereka berdua semalam, dia meloncat dan mencari-cari dengan pandang matanya. Namun keadaan di sekeliling tempat itu sunyi dan agak gelap.
Dia maklum bahwa akan percuma saja dia mencari Biauw Eng. Maka dia lalu berlutut lagi dan memeluk tubuh gadis yang semalam sudah menyerahkan segala-galanya kepadanya dengan penuh kasih sayang, penuh kemesraan dan kehangatan.
"Ciang Bi... ahh, Bi-moi...!" Keng Hong teringat akan sikap gadis ini semalam dan dengan hati penuh keharuan dia menundukkan muka, kemudian mencium mulut mayat itu yang semalam membisikan kata-kata cinta kepadanya.
"Cici...! Cia-taihiap, ada apakah...?"
Sim Lai Sek melompat keluar dari gubuk. Sepasang matanya yang masih mengantuk itu belum dapat melihat jelas, hanya dia tadi terbangun mendengar jerit cici-nya.
Keng Hong mengangkat mukanya dan dua titik air mata menetes turun. Kini Lai Sek dapat melihat pelipis cici-nya dan melihat pula darah membasahi leher dan baju, melihat bahwa tubuh cici-nya telah lemas tak bernyawa.
"Cici...!!" Ia menubruk, berlutut dan menangis, memanggil-manggil nama cici-nya.
Keng Hong hanya memandang dengan penuh keharuan, lalu memegang pundak pemuda itu sambil berkata halus, "Dia... sudah mati..."
Tiba-tiba Lai Sek meloncat bangun. Tangan Keng Hong yang menyentuh pundaknya itu terasa olehnya seperti serangan seekor ular berbisa.
"Kau...! Kau... telah membunuh cici...! Kau... telah berpura-pura menjadi pendekar berbudi yang menolong kami, merayu cici, memperkosanya... kemudian membunuhnya...!"
Sim Lai Sek menerjang maju dengan pukulan tangannya ke arah kepala Keng Hong, akan tetapi sekali tangkis, tubuhnya terpelanting ke atas tanah. Akan tetapi dia bangkit kembali dengan kemarahan meluap.
"Sabar dan tenanglah, siauwte, bukan aku yang membunuhnya. Lihat, pelipisnya terluka oleh senjata rahasia..."
"Aku tahu! Senjata rahasia ini adalah senjata rahasia wanita yang menolongmu. Dia tentu sahabatmu, atau... kekasihmu! Tentu dia melihat engkau merayu dan memperkosa cici, lalu ia membunuh cici. Sama saja, berarti engkau yang telah membunuh cici-ku, keparat!"
Lai Sek menerjang kembali sehingga Keng Hong terpaksa meloncat pergi. Dia tidak dapat membantah lagi karena omongan atau tuduhan itu mendekati kenyataan. Hanya dia tidak merasa memperkosa Ciang Bi dan baru sekarang dia tahu bahwa pemuda remaja ini agaknya malam tadi telah melihat dia bermain cinta dengan Ciang Bi!
Memang dugaan itu tidak salah. Sekarang dia sendiri merasa yakin bahwa Biauw Eng membunuh Ciang Bi karena cemburu. Bukankah puteri Lam-hai Sin-ni itu terang-terangan menyatakan bahwa gadis itu mencintainya? Agaknya Biauw Eng terus mengikutinya, lalu membantunya merobohkan para pengeroyok dan tadi melihat dia bermain cinta dengan Ciang Bi, lalu datang pada saat dia pulas dan membunuh Ciang Bi. Memang bukan dia yang membunuh, namun sudah jelas gadis ini tewas karena dia!
"Siauwte, aku menyesal sekali... tetapi demi Tuhan, aku tidak bermaksud mencelakakan dia. Bukan aku yang membunuhnya dan... sekiranya aku tidak sedang tidur pulas, tentu aku dapat melindunginya... akan tetapi..."
"Laki-laki laknat! Jai-hwa-cat! Setelah engkau memperkosa cici, engkau bisa saja bicara seenakmu! Engkau sudah mempunyai kekasih yang bersenjata bola putih itu! Akan tetapi engkau masih merayu enci-ku! Hayo katakan, apakah engkau berniat mengawini enci-ku? Apakah engkau berniat mengambil dia sebagai isteri?"
Keng Hong menghela napas dan menggelengkan kepala. Urusan ini amat pelik dan tidak boleh dia main-main dan membohong. "Tidak, kami memang saling suka dan hubungan cinta kami dilakukan dengan kesadaran kami berdua, dan aku sudah menjelaskan kepada Bi-moi bahwa aku tidak dapat menjadi suaminya..."
"Keparat! Jahanam! Sudah kuduga seperti itu! Kalau aku tahu tentu malam tadi sudah kuremukkan kepalamu!" Lai Sek kembali berteriak-teriak dan menerjang maju.
Keng Hong merasa bingung dan berduka sekali. Dia maklum bahwa tidak mungkin dia dapat menenangkan dan menyabarkan hati pemuda yang sedang diamuk kemarahan dan kesedihan itu, maka dia lalu meloncat jauh dan melarikan diri, pergi dari tempat itu. Jalan satu-satunya yang paling baik hanyalah menjauhkan diri pada saat seperti itu.
Perhitungannya memang tepat. Setelah maklum bahwa tak mungkin mengejar Keng Hong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, Lai Sek kembali berlutut dan menangisi jenazah kakaknya dengan sedih. Setengah malam dia menangis sampai matahari muncul dan penduduk dusun pergi ke sawah ladang.
Para penduduk terheran dan terkejut, apa lagi setelah mendengar dari pemuda itu bahwa kakak perempuan pemuda itu malam tadi telah terbunuh oleh penjahat. Mereka menaruh kasihan dan beramai-ramai mereka itu membantu Lai Sek mengurus jenazah Ciang Bi dan menguburnya di tanah perkuburan dusun itu secara sederhana.
Pada keesokan harinya, ketika malam sedang gelap, sesosok bayangan hitam datang ke dalam tanah perkuburan itu dan berlutut di hadapan gundukan tanah yang masih baru. Bayangan ini menangis dan dia bukan lain adalah Keng Hong!
Sampai semalam dia berkabung dengan penuh kedukaan di depan kuburan itu, dan baru pada esok harinya dia meninggalkan kuburan baru itu, pergi secepatnya meninggalkan dusun di mana Ciang Bi dikuburkan, meninggalkannya sambil membawa pergi kenangan sedih yang tak akan pernah dapat terlupakan. Hatinya penuh kedukaan, bukan semata karena kematian Ciang Bi, akan tetapi yang lebih dari pada itu, adalah karena kekejaman Biauw Eng!
Ia suka kepada Biauw Eng, perasaan suka yang aneh dan berbeda kalau dibandingkan dengan rasa suka kepada wanita lain seperti kepada Cui Im dan Ciang Bi. Suka bukan semata karena kecantikan gadis puteri Lam-hai Sin-ni itu, melainkan karena pribadinya, dan mungkin sekali karena dia mengingat bahwa gadis itu adalah puteri suhu-nya, puteri Sin-jiu Kiam-ong! Inilah agaknya yang membuat dia merasa suka kepada gadis itu, dan kini kenyataan betapa puteri suhu-nya itu berhati kejam seperti iblis, membunuh Ciang Bi yang sama sekali tidak berdosa, benar-benar mendatangkan rasa duka di hatinya di samping rasa marah terhadap Biauw Eng.
Keng Hong melakukan perjalanan cepat, tujuannya adalah Kun-lun-san karena dia ingin kembali ke Kiam-kok-san, yaitu puncak di mana terdapat batu pedang tempat suhu-nya menggemblengnya selama lima tahun. Dia harus pergi ke tempat itu, mengambil pedang Siang-bhok-kiam yang memang dia sembunyikan di puncak Kiam-kok-san!
Ketika dia turun gunung setelah tak berhasil mencari rahasia penyimpanan barang-barang pusaka gurunya, dia maklum akan bahayanya kalau dia membawa Siang-bhok-kiam turun gunung, maka dia segera membuat sebuah pedang tiruan, pedang dari kayu harum pula yang dia dapatkan di puncak, pedang yang mirip sekali dengan Siang-bhok-kiam. Dia lalu menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam tulen di balik tumpukan batu-batu karang dan membawa turun pedang palsu.
Tepat seperti yang telah diduganya, begitu turun gunung pedangnya lantas menimbulkan keributan sehingga terpaksa dia menyerahkan pedang palsu itu kepada Kiang Tojin! Kini, pedang tulen masih berada di puncak Kiam-kok-san.
Setelah mengalami banyak hal yang amat tak enak, bertemu dengan orang-orang pandai yang memusuhinya, dia tahu bahwa dia harus kembali ke sana, harus menggembleng diri seperti yang dipesankan suhu-nya. Dia harus dapat menemukan kitab-kitab peninggalan suhu-nya, memperdalam ilmunya agar dia dapat menjaga diri kalau berhadapan dengan tokoh-tokoh dunia kang-auw, baik para datuk hitam mau pun para datuk putih!
Seminggu setelah dia meninggalkan dusun di mana terdapat kuburan Ciang Bi, dia telah tiba di kaki Pegunungan Bayangkara yang menyambung dengan Pegunungan Kun-lun, setelah dia berhasil melewati Pegunungan Min-san. Akan tetapi untuk sampai di tempat markas Kun-lun-pai, masih amat jauh dan sedikitnya dia harus melakukan perjalanan naik turun gunung selama setengah bulan.
Selagi Keng Hong enak-enakan berjalan mendaki sebuah lereng, tiba-tiba saja terdengar bentakan keras dan muncullah puluhan orang yang menghadang jalan, bahkan segera mengurungnya. Keng Hong terkejut bukan main karena orang-orang yang mengurungnya ini jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang dan semuanya memegang senjata tajam! Apa bila dilihat keadaan mereka, pasti bukan perampok, karena selain mereka terdiri dari bermacam-macam orang yang berpakaian cukup baik, juga di antara mereka terdapat pula wanita-wanita yang cantik dan gagah.
"Berhenti dulu, orang muda!" Yang membentak adalah seorang kakek berjenggot panjang, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan meraba gagang golok yang terselip pada pinggangnya. Gagang golok ini indah sekali, terbuat dari emas yang diukir seperti kepala naga. Kakek yang berjenggot panjang dan berusia kurang lebih lima puluh tahun ini masih kelihatan gagah dan kuat sehingga Keng Hong merasa kagum dan cepat menjura.
"Locianpwe siapakah dan ada kepentingan apa menghadang perjalanan saya?"
Kakek itu mengelus jenggotnya dan tercengang, juga bangga dan girang. Tak diduganya bahwa pemuda yang menurut laporan anak buahnya yang telah membunuh muridnya itu begini sopan dan halus, dan menyebutnya ‘Locianpwe’! Sikap Keng Hong ini saja sudah melenyapkan sebagian dari kemarahannya.
Akan tetapi mengingat akan kematian muridnya dan banyak anak buah muridnya, dia lalu berkata lagi dengan suara nyaring, "Aku adalah Kiam-to (Si Golok Emas) Lai Ban, wakil ketua Tiat-ciang-pang dan mereka semua ini adalah anak buah Tiat-ciang-pang!"
Keng Hong memandang penuh perhatian. Seingatnya ia belum pernah berurusan dengan orang-orang dari Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi), hanya pernah mendengar bahwa perkumpulan ini adalah sebuah perguruan silat yang lumayan besar dan kabarnya membantu atau memihak kepada pemerintahan utara.
"Maaf, menurut ingatan saya yang bodoh, belum pernah saya berurusan dengan pihak Locianpwe, maka entah kesalahan apa yang telah saya lakukan di luar kesadaran saya terhadap Tiat-ciang-pang, mohon Locianpwe suka memberi penjelasan."
Lai Ban semakin suka kepada pemuda ini. Dia lalu menoleh ke belakang dan bertanya dengan suara keras.
"Heiii, benar inikah bocah yang kalian maksudkan itu?"
Tiga orang muncul, laki-laki tinggi besar yang segera menuding ke arah Keng Hong dan berkata, "Benar, Ji-pangcu (Ketua Ke Dua), dia inilah bocah setan yang telah membunuh Kiang-twako dan mengaku bernama Cia Keng Hong!"
Teringatlah Keng Hong sekarang bahwa tiga orang ini terdapat di antara anak-anak buah penjahat yang mengeroyok Ciang Bi. Ketika dia membela gadis itu di depan kuil dalam hutan, dia merobohkan kepala penjahat yang wajahnya seperti Kwan Kong tokoh jaman Sam-kok yang bersenjata golok, kemudian setelah dia merobohkan beberapa orang lagi, diam-diam dibantu pula oleh Biauw Eng dengan senjata rahasianya, sisa gerombolan itu melarikan diri. Agaknya tiga orang ini lalu melapor, dan sungguh di luar dugaannya bahwa kepala penjahat yang brewok dan bersenjata golok besar itu adalah salah seorang anak murid Tiat-ciang-pang.
Kiam-to Lai Ban Si Golok Emas itu memandang kepada Keng Hong dengan pandang mata tidak percaya. Pemuda halus tutur sapanya dan lemah lembut gerak-geriknya inikah yang telah menewaskan muridnya? Sukar untuk dipercaya!
"Orang muda, benarkah engkau bernama Cia Keng Hong?"
"Tidak keliru, Locianpwe. Nama saya adalah Cia Keng Hong!"
"Benarkah engkau telah membunuh muridku Pun Kiong di depan kuil tua di dalam hutan dekat dusun Ciang-cung?"
Keng Hong menggeleng kepala. "Saya tidak tahu siapa yang menjadi murid Locianpwe, akan tetapi memang benar saya telah membunuh beberapa orang anggota penjahat yang hendak berlaku keji dan mengganggu dua orang enci dan adik..." Keng Hong berhenti dan lehernya terasa seperti tercekik karena dia teringat kepada Ciang Bi, nona cantik jelita yang tewas secara mengerikan di tangan Song-bun Siu-li Biauw Eng itu.
Kakek itu menggerakkan alisnya dan matanya mulai menyinarkan kemarahan. "Hemmm, kalau begitu benar engkau yang membunuh muridku dan anak buahnya. Bocah lancang, mengapa engkau membunuh mereka? Berani engkau menghina Tiat-ciang-pang dengan membunuh seorang anak muridnya?"
"Maaf, Locianpwe. Saya tidak tahu bahwa dia itu murid Locianpwe atau anak murid dari Tiat-ciang-pang. Saya hanya tahu bahwa mereka itu sangat jahat dan hendak menghina seorang gadis baik-baik..."
"Aahhh! Engkau seperti orang baik-baik, bukan orang jahat. Akan tetapi mengapa engkau selancang itu? Apakah engkau anak murid Hoa-san-pai?"
"Bukan, Locianpwe."
"Kalau bukan, mengapa membela orang-orang Hoa-san-pai?"
Keng Hong merasa terdesak. Kakek ini benar pandai berdebat sehingga dia tersudut oleh pertanyaan-pertanyaan itu. "Saya... saya hanya melihat seorang gadis dan adiknya... eh, diganggu orang-orang jahat..."
"Cia Keng Hong! Bagaimana kau bisa membedakan bahwa gadis dan adiknya itu adalah orang-orang baik dan anak buah muridku orang-orang jahat?" Kakek itu membentak lagi, membuat Keng Hong tertegun karena memang tentu saja dia tidak dapat membedakan, dia hanya membantu Ciang Bi dan Lai Sek berdasarkan rasa kasihan melihat seorang gadis dikeroyok banyak laki-laki tinggi besar.
"Tentu karena gadis itu cantik dan kami laki-laki mana mampu melawan kecantikannya?" teriak salah seorang di antara mereka yang dahulu mengeroyok Keng Hong dan ucapan ini disambut dengan suara ketawa.
"Cia Keng Hong, agaknya engkau seorang pemuda hijau yang baru saja muncul di dunia kang-ouw. Akan tetapi menurut pelaporan anak buah muridku, engkau lihai sekali. Dari golongan atau partai manakah engkau? Siapa gurumu?"
"Maaf, saya bukan dari golongan mana pun dan guruku yang sudah meninggal tidak boleh diganggu namanya. Harap Locianpwe suka jelaskan, kesalahan apakah yang telah saya lakukan dalam membela gadis dan adiknya yang dikeroyok itu?"
"Kami orang-orang gagah dari Tiat-ciang-pang merupakan pendukung-pendukung gerakan raja muda Yung Lo di utara yang perkasa dan yang sepatutnya dan seharusnya menjadi kaisar yang menguasai seluruh tanah air. Akan tetapi Hoa-san-pai begitu tidak tahu malu untuk membela kaisar palsu yang kini berkuasa di selatan, yang secara tidak tahu malu mengangkat diri sendiri menjadi kaisar padahal sesungguhnya singgasana menjadi hak raja Muda Yung Lo. Sudah sering kali terjadi bentrokan di antara anak murid pihak kami dengan anak murid Hoa-san-pai, maka saat terjadi bentrokan lain di dusun Ciang-cung, tanpa melihat perkaranya, engkau langsung turun tangan membantu pihak Hoa-san-pai dan membunuh orang-orang kami. Tidak salahkah itu?"
Keng Hong terkejut sekali. Hal ini sungguh tidak pernah disangkanya, bahkan ketika dia bercakap-cakap dengan Ciang Bi, gadis itu tak pernah menyebut-nyebut tentang itu, tidak pernah membicarakan tentang permusuhan antara Hoa-san-pai dan Tiat-ciang-pang yang diakibatkan perbedaan faham itu.
Dia merasa menyesal juga mengapa dia tergesa-gesa turun tangan membunuh orang. Ternyata perbuatannya itu menimbulkan kemarahan di pihak Tiat-ciang-pang. Betapa pun juga, Keng Hong seorang yang berwatak jantan yang diwarisinya pula dari suhu-nya. Dia tidak mengenal takut apa lagi karena dia merasa bahwa perbuatannya dalam urusan ini tidak salah!
Menurut ajaran suhu-nya, dalam keadaan benar dia harus berani menghadapi apa saja, bahkan mati pun bukan apa-apa apa bila mati dalam kebenaran. Lebih baik mati dalam kebenaran atau membela kebenaran dari pada hidup dalam keadaan tercemar atau pun terhina karena kejahatan! Tentu saja baik atau jahat menurut penilaiannya sendiri! Dan betapa pun dia pertimbangkan, dia tidak merasa salah dalam hal itu!
"Maaf, Locianpwe. Baru sekarang setelah mendengar penuturan Locianpwe, saya tahu akan persoalannya. Akan tetapi pada waktu hal itu terjadi, saya hanya tahu bahwa ada seorang gadis muda yang dikeroyok oleh banyak laki-laki tinggi besar yang mengeluarkan ucapan-ucapan menghina. Tentu saja saya lalu turun tangan membela wanita itu, karena bukankah hal itu merupakan tugas seorang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan? Sekarang, ternyata ada sebab-sebab lain tersembunyi di dalam perkelahian itu, sebab-sebab yang tidak saya ketahui. Semua sudah terjadi, sekarang saya berhadapan dengan Locianpwe, harap jelaskan, apa yang harus saya lakukan dan apa pula yang akan Locianpwe lakukan terhadap saya?"
Kembali kakek itu diam-diam menjadi kagum sekali. Terang bahwa bocah ini bukan bocah sembarangan dan mulailah dia percaya bahwa pemuda ini memiliki kelihaian yang luar biasa, murid seorang sakti yang tentu amat terkenal. Walau pun dia merasa kagum dan sayang, namun sebagai ketua Tiat-ciang-pang, dia harus membela perkumpulannya dan harus menuntut atas kematian murid Tiat-ciang-pang agar tidak ditertawai dan dipandang rendah dunia kang-ouw, apa lagi dipandang rendah oleh Hoa-san-pai!
"Cia Keng Hong, ucapanmu membuktikan bahwa kau seorang laki-laki sejati yang tidak menyangkal perbuatan yang pernah kau lakukan. Kau sudah mengaku bahwa kau telah membunuh murid Tiat-ciang-pan, oleh karena itu, aku sebagai wakil ketua Tiat-ciang-pang berkewajiban untuk menangkap dan membawamu ke depan ketua kami untuk menerima keputusan dan hukuman."
Keng Hong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Permintaanmu ini sukar sekali untuk dapat saya terima, Locianpwe, karena apa pun yang sudah terjadi, saya berbuat demi kebenaran dan kebaikan, sedikit pun tidak mengandung dasar yang jahat dan buruk, sedikit pun tak merasa salah. Karena itu, saya tidak dapat menghadap Tiat-ciang-pangcu (ketua) untuk menerima hukuman. Harap Locianpwe suka memaafkan."
Sinar mata yang tadinya sabar dan penuh kagum itu menjadi marah. "Ehh, orang muda, boleh jadi engkau lihai, murid seorang sakti, akan tetapi ketahuilah bahwa engkau sedang berhadapan dengan seorang tua seperti aku yang telah mengejar ilmu sebelum engkau lahir! Kami orang-orang Tiat-ciang-pang mengutamakan keadilan, setelah nanti didengar semua keteranganmu, tentu pangcu kami tidak akan menjatuhkan hukuman sewenang-wenang! Apa bila engkau menolak, sungguh menyesal sekali bahwa aku terpaksa harus memaksamu!"
"Ahh, ternyata Locianpwe hanya ingin mencari benar sendiri!" kata Keng Hong.
"Hemm, apakah bukan engkau yang hendak mencari benar sendiri, orang muda? Engkau sudah membunuh murid kami, dan kami sekarang hendak menangkapmu. Siapakah yang salah dan siapa benar dalam hal ini? Siapa yang jahat dan siapa yang baik?"
Mendadak terdengar suara ketawa, suara ketawa yang mengakak seperti suara burung gagak (goak) atau suara seekor ular besar. Mendengar suara tawanya, sepatutnya orang yang tertawa seperti itu tentulah seorang yang tinggi besar. Akan tetapi ternyata bahkan sebaliknya.
Ketika semua orang memandang ke atas karena suara ketawa itu terdengar dari atas, mereka melihat seorang kakek yang amat lucu tengah duduk dengan kedua kaki telanjang ongkang-ongkang di atas dahan pohon tak jauh dari tempat itu. Kakek ini tubuhnya kecil dan bongkok berpunuk, rambut, kumis dan jenggotnya panjang terurai akan tetapi bagian atas kepalanya botak dan kelimis.
Mukanya membayangkan kegembiraan total hingga tampak seperti wajah seorang bocah nakal yang selalu tertawa-tawa. Pakaiannya bersih sekali dan baru, akan tetapi sepasang kakinya telanjang. Tangan kirinya memegang sebuah guci arak, dan setelah tertawa dia lalu menuangkan isi guci ke mulut. Bau arak wangi memenuhi tempat itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Ia tertawa lagi setelah minum arak. "Semua salah, semua benar, tidak ada yang baik tidak ada yang buruk. Sama saja! Ha-ha-ha-ha! Yang tinggi yang pendek ya sama saja! Yang gemuk yang kurus ya sama saja! Yang salah yang benar, yang buruk yang baik, yang cantik yang bopeng, semua ya sama saja! Ha-ha-ha-ha-ha!"
Bila semua orang merasa geli dan juga jengkel mendengar kata-kata tak karuan dan sikap seperti orang gila itu, Keng Hong sebaliknya menjadi tertarik sekali. Dia dapat menangkap inti sari ucapan yang tidak karuan itu maka lalu menjura ke atas terhadap kakek itu sambil berkata,
"Kebetulan sekali Locianpwe yang arif bijaksana muncul pada saat ini. Mohon petunjuk Locianpwe siapakah yang salah dan siapa yang benar dalam urusan antara saya dengan pihak Tiat-ciang-pang ini?"
"Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain dan kami tidak membutuhkan pendapat orang lain," kata Kim-to Lai Ban yang tentu saja merasa direndahkan kalau sebagai wakil ketua Tiat-ciang-pang dia harus mendengarkan pendapat orang luar untuk mengambil keputusan atas urusan yang mengenai perkumpulannya.
"Lai-pangcu," kata Keng Hong dengan wajah tidak senang, "dalam setiap urusan antara kedua pihak, selalu harus ada pihak ke tiga yang dimintakan pertimbangan supaya dapat dipertimbangkan siapa salah siapa benar. Kalau tidak, bagaimana kedua pihak yang bertentangan itu akan dapat menyelesaikan urusan secara musyawarah?" Kemudian dia menoleh lagi kepada kakek bongkok di atas dahan itu sambil berkata, "Mohon petunjuk Locianpwe."
Kakek bongkok itu tertawa lagi. "Bocah, kau awas dan berbakat sekali! Di dunia ini mana ada baik dan buruk? Mana ada salah dan benar? Yang ada hanya pandangan manusia, tentu saja disesuaikan dengan selera masing-masing, disesuaikan dan didasari oleh nafsu mementingkan diri sendiri masing-masing! Mana ada manusia baik atau manusia jahat? Manusia ya manusia, tidak baik tidak jahat. Baik atau buruknya tergantung dari pendapat masing-masing, pendapat yang diuntungkan atau dirugikan. Pendapat manusia didasari sifat mementingkan diri pribadi. Contohnya? Biar orang sedunia menganggap seseorang itu baik, kalau orang itu merugikan dirinya, dia tentu menganggapnya jahat! Sebaliknya, biar orang sedunia menganggap seseorang jahat, kalau orang itu menguntungkan dirinya, dia tentu akan menganggapnya baik! Demikian pula perbuatan. Perbuatan ya perbuatan. Salah atau benarnya, baik atau buruknya, selalu diciptakan manusia yang terkena akibat perbuatan itu. Kalau menguntungkan, dianggapnya benar, tapi kalau merugikan, salahlah perbuatan itu! Buktinya sekarang ini. Perbuatan bocah ini terang sudah merugikan pihak Tiat-ciang-pang, tentu saja oleh pihak Tiat-ciang-pang dianggap salah dan jahat! Padahal, bagaimanakah sifat perbuatan itu sesungguhnya? Tanyakanlah kepada pihak murid-murid Hoa-san-pai yang oleh perbuatan bocah ini diuntungkan terhindar dari kekalahan, tentu saja perbuatan ini dianggapnya benar dan baik! Mana yang benar? Baik atau jahat? Salah atau benar? Ya sama saja! Ha-ha-ha-ha-ha-ha!"
Wakil ketua Tiat-ciang-pang dan anak buahnya menjadi marah dan mendongkol. Akan tetapi diam-diam Keng Hong merasa terkejut dan kagum. Kata-kata yang kedengarannya tidak karuan artinya itu sekaligus mencakup segala rahasia pertentangan dan keributan yang selalu timbul tiada henti-hentinya di atas bumi di antara manusia! Rahasia dari pada timbulnya segala bentuk pertentangan telah tercakup dalam kata-kata kakek bongkok itu, yaitu bahwa semua pertentangan timbul akibat manusia memperebutkan ‘kebenaran’ yang sesungguhnya selalu didasari oleh sifat mementingkan diri pribadi.
"Maafkan saya, Locianpwe yang bijaksana. Kalau kebenaran dan kebaikan sepalsu yang Locianpwe katakan, bagaimanakah sesungguhnya yang asli?"
"Heh-heh-heh, tidak ada yang asli tidak ada yang palsu! Yang benar dan baik bagi diri sendiri bukanlah kebenaran, yang benar dan baik bagi orang lain tanpa dipaksakan dalam pengakuannya barulah mendekati kebenaran!"
"Ahh, wejangan Locianpwe amat dalam dan sukar dimengerti. Mohon petunjuk bagaimana saya harus menghadapi kemarahan Tiat-ciang-pang?"
"Ha-ha-ha-ha-ha, sikap terbaik adalah seperti air! Kebijaksanan tertinggi seperti air, tidak memaksa tidak mendesak, sepenuhnya mematuhi kekuasaan yang ada...!"
Jantung Keng Hong berdebar. Dia sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, juga sudah banyak menghafal ayat-ayat dalam kitab-kitab suci, maka tentu saja dia bisa menangkap inti sari ucapan kakek ini, ialah bahwa dia harus bersikap wajar, tidak dibuat-buat, seperti gerakan air yang wajar mengalir ke bawah. Tetapi bukan maknanya yang mendebarkan jantungnya, melainkan disebutnya kalimat itu.....