Cui Im memandang dengan muka berubah merah karena penasaran ketika sumoi-nya mengeluarkan segulung sutera hitam, kemudian mengikat dua pergelangan tangan Keng Hong yang masih rebah terlentang kebingungan. Setelah mengikat dua tangan pemuda itu secara hati-hati, gadis baju putih ini lalu memakai kembali sabuknya, dilibat-libatkan di pinggangnya yang ramping.
"Sumoi mengapa kau tawan dia? Dia itu... punyaku! Aku yang menangkap dia, dan aku yang berhak atas dirinya. Dia itu kekasihku!" teriak Cui Im dengan nada penasaran dan marah, namun dia tetap tidak berani mengeluarkan ucapan kasar terhadap sumoi-nya ini.
"Hemmm, kulihat kau tadi hendak membunuhnya," kata si gadis baju putih dengan suara halus dan tenang.
"Karena dia adalah punyaku, aku berhak melakukan apa saja terhadapnya. Aku hendak membunuhnya karena dia tidak memenuhi permintaanku untuk mencari pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."
"Aku tahu semua itu, Suci. Hanya aku tak senang melihat engkau hendak membunuhnya. Ibu sendiri yang menyuruh aku menyusulmu dan mengawasi gerak-gerikmu. Dan harus kukatakan bahwa apa yang kulihat semalam tadi dan saat ini, sungguh mengecewakan sekali. Kau terlalu menurutkan nafsu, nafsu birahi dan nafsu kemarahanmu. Yang dicari belum didapat, mengapa hendak membunuh dia? Ibu yang menyuruh aku menangkapnya dan membawanya kepada ibu."
"Aahhhhh...!" Cui Im mengeluh dengan nada kecewa sekali. "Dahulu subo tidak tertarik dengan peninggalan Sin-jiu Kiam-ong... dan membiarkan aku pergi untuk merampasnya, untukku sendiri..."
"Sudahlah, Suci. Mari kita pergi menghadap ibu dan kau boleh bicara sendiri kepada ibu."
"Tapi subo (ibu guru)..."
"Sudahlah!" Gadis baju putih itu membentak sehingga suci-nya terdiam.
Kemudian gadis baju putih itu menggerakkan bibir diruncingkan dan terdengarlah suara suitan melengking yang amat nyaring. Tak lama kemudian terdengar suara roda gerobak yang dilarikan kuda cepat sekali menuju ke tempat itu.
Ternyata kemudian bahwa gerobak itu ditarik oleh empat ekor kuda besar, dikusiri oleh seorang wanita muda yang cantik, ada pun di belakang gerobak itu masih ada tiga orang wanita setengah tua yang cantik-cantik dan bersikap garang. Empat wanita yang datang ini semuanya memakai pakaian kuning dan di punggung mereka tampak gagang pedang.
"Masukkan dia ke dalam kereta, aku sendiri yang akan menjaganya bersama suci," kata gadis itu memberi perintah kepada tiga orang wanita setengah tua yang sudah melompat turun dari kuda.
Tanpa bicara sesuatu, mereka lalu mengangkat tubuh Keng Hong dan memasukannya ke dalam kereta, didudukkan di atas bangku menghadap ke belakang. Keng Hong masih pening kepalanya, menyadarkan diri dan meramkan mata, mulai mengumpulkan hawa sakti untuk mengusir hawa beracun yang mengotorkan dada dan kepalanya.
"Kalian berempat berangkatlah lebih dulu memberi laporan kepada ibu bahwa orang yang dikehendaki sudah tertawan. Biar suci yang menggantikan menjadi kusir dan aku yang mengawal orang ini. Berangkatlah!"
Empat orang itu mengangguk. Wanita muda yang tadi menjadi kusir diboncengkan oleh seorang di antara mereka dan tiga ekor kuda itu lalu membalap ke sebelah depan. Cui Im menghela napas panjang penuh kekecewaan, akan tetapi tanpa banyak membantah dia lalu pindah duduk ke depan dan menjadi kusir. Ada pun gadis baju putih itu kini duduk berhadapan dengan Keng Hong.
Dengan gemas Cui Im mencambuk empat ekor kuda itu yang segera membedal sambil mengeluarkan suara meringkik keras. Roda-roda kereta menderu-deru di atas jalan yang berbatu, dan guncangan-guncangan ini membuat Keng Hong cepat sadar kembali.
Sejak tadi Keng Hong tidak pingsan, hanya pening dan pandangan matanya berkunang. Namun dia masih dapat mengikuti dengan jelas apa yang telah terjadi dan dapat mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh gadis baju putih yang membelenggunya dan kini duduk di depannya. Kalau tidak ada gadis ini, tentu lehernya telah putus dan nyawanya melayang oleh pedang merah Cui Im.
Ia merasa heran sekali mengapa sumoi dari Cui Im ini kelihatannya jauh lebih lihai dari pada Cui Im sendiri dan amat ditaati oleh suci-nya. Akan tetapi dia mengetahui semua itu sebagian besar hanya dari ketajaman pendengarannya saja karena tadi matanya masih berkunang dan kabur pandangannya.
Sekarang, sesudah dia mengusir sisa hawa beracun, dibantu guncangan kereta itu yang membuat pandangan matanya terang kembali, dia lalu membuka mata memandang nona yang duduk anteng di depannya. Mula-mula yang mempesona Keng Hong adalah kedua mata itu.
Sepasang mata yang amat luar biasa indahnya, mengingatkan Keng Hong akan bintang-bintang di langit, dengan cahaya hangat lembut seperti sinar matahari pagi, bening bagai air telaga, tajam melebihi pedang pusaka, akan tetapi di balik semua keindahan itu jelas tersembunyi sifat dingin yang sangat menyeramkan!
Mata itu agaknya bisa menangkap kesadarannya akan tetapi hanya sekilas saja menyapu wajahnya, kemudian mata itu memandang lagi ke depan, seakan-akan dapat menembus segala yang berada di depannya.
Kemudian pandang mata Keng Hong merayapi wajah itu dan dia makin terpesona. Gadis yang jauh lebih muda dari Cui Im ini, yang usianya ditaksir tak akan lebih tua dari dirinya sendiri, memiliki wajah yang amat cantik jelita.
Bentuk wajahnya bulat telur, dengan kulit muka yang halus putih kemerahan tanpa bedak dan gincu. Rambutnya hitam sekali dan sangat halus seperti benang sutera, gemuk subur menghias dahi dan kedua pipi, menyembulkan dua buah telinga yang hanya kelihatan sedikit dan terhias dua buah anting-anting bermata merah. Alis itu sangat hitam dan kecil memanjang seperti dilukis saja padahal tak ada bekas-bekas goresan pensil dan agaknya alis ini beserta bulu mata yang panjang melengkung itulah yang menambah keindahan matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menantang ke atas, diapit oleh sepasang pipi yang kemerahan dan halus seperti buah tomat meranum.
Ketika pandang mata Keng Hong menurun lagi, pandang matanya seolah-olah menempel dan melekat pada sepasang bibir itu. Sukar dikatakan mana yang lebih indah antara mata dan bibir itu. Bentuknya laksana gendewa dipentang, dan warnanya merah membasah, segar dan membuat Keng Hong tanpa disadarinya sendiri menelan ludah seperti seorang kehausan melihat buah yang segar.
Kemudian sinar mata Keng Hong makin liar memandang lebih ke bawah dan apa yang dilihatnya benar-benar membuat dia terpesona. Gadis ini sangat cantik jelita, sikapnya agung dan pendiam, dan bentuk tubuhnya... sukar dilukiskan dengan kata-kata sungguh pun pakaian sutera putih itu membungkusnya. Pendeknya, kalau Cui Im merupakan gadis yang luar biasa cantiknya dan yang tidak pernah sebelumnya dia temukan atau impikan, kini gadis baju putih ini merupakan seorang gadis yang tak pernah dia sangka terdapat di dalam dunia!
"Hidung belang, sudah puaskah engkau meneliti dan menaksir diriku?"
Pertanyaan ini halus dan merdu terdengar oleh telinga, namun bagaikan pisau berkarat menggores jantung! Keng Hong belum tentu akan menjadi semerah itu kedua pipinya apa bila dia menerima tamparan keras.
"Ehhh... ohhh... aku..." Dia menggagap, berusaha mengelak dari pandangan mata yang begitu halus namun tajam menembus dada.
"Aku tahu, engkau hidung belang seperti gurumu, akan tetapi perlu kau ketahui bahwa aku bukanlah seorang wanita murahan seperti dia itu." Dengan dagunya yang meruncing halus, gadis itu menuding ke arah depan, ke arah Cui Im yang mengemudikan kereta.
Keng Hong menghela napas panjang dan tidak terasa lagi dia mengangkat kedua tangan yang terbelenggu itu untuk mengosok-gosok hidungnya yang dua kali dikatakan belang! Ketika kedua tangannya mengosok-gosok hidung ini, seolah-olah baru tampak olehnya bahwa pergelangan kedua tangannya dibelenggu, terikat oleh sehelai tali sutera hitam yang amat kuat. Ia menaksir-naksir berapa kekuatan belenggu ini.
"Jangan mencoba-coba untuk mematahkan belenggu," gadis itu seakan dapat membaca pikirannya. "Selain kau tak akan berhasil, juga aku akan menyeretmu di belakang kereta kalau kau banyak tingkah."
Wah-wah, kiranya si jelita ini malah lebih galak dari pada Cui Im, pikir Keng Hong. Dia kembali menatap wajah itu dan melihat betapa gadis itu tenang laksana air telaga, dan matanya merenung jauh ke depan. Dia dianggap seperti lalat saja, atau bahkan tidak ada.
Keng Hong penasaran. Dia bukanlah seorang yang tidak mengenal budi. Gadis ini sudah menyelamatkan nyawanya, tidak mungkin dia yang sudah diselamatkan nyawanya diam saja seperti seorang yang tidak mengenal budi.
"Nona..." Akan tetapi dia tidak melanjutkan karena gadis itu sama sekali tidak bergerak, sama sekali tidak memperhatikan tanda-tanda bahwa dia mendengar panggilannya.
Keng Hong bergidik. Gadis ini bagaikan arca saja. Arca dari batu pualam yang halus dan dingin. Akan tetapi melihat bibirnya yang begitu merah membasah, melihat kemerahan pada rongga mulutnya ketika tadi bicara, kilatan giginya yang kecil rata dan putih, semua ini membayangkan darah muda yang panas. Setelah gadis itu kini berdiam diri, sikapnya benar-benar luar biasa dinginnya, sedingin salju di utara!
"Nona...!" Ia tidak putus asa dan memanggil lagi lebih keras. Namun gadis itu tetap diam, jangankan bergerak melirik pun tidak.
"Bledak... dak... dorrr...!" kereta melalui jalan yang berbatu, rodanya menumbuk batu-batu yang besar sehingga kereta itu terguncang hebat, bahkan hampir roboh miring.
"Heiiiii... ehhh...!" Keng Hong mengatur keseimbangan tubuhnya dan kaget sekali.
Akan tetapi kereta berjalan terus dan amatlah kagumnya menyaksikan betapa gadis baju putih di depannya itu masih tetap seperti tadi, tidak bergerak, tidak berguncang, juga tidak kaget. Wah seperti orang mati saja!
Keng Hong tertegun sendiri. Jangan-jangan dia sudah mati! Matanya terbuka akan tetapi manik mata itu sama sekali tidak bergerak, napasnya pun seolah-olah berhenti.
"Nona...!"
Kembali tiada jawaban. Keng Hong mulai khawatir, maka mendekatkan kedua tangannya yang terbelenggu itu ke depan hidung kecil mancung itu. Dia hendak memastikan apakah napas nona itu masih ada. Dan tangannya tidak merasakan sesuatu! Gadis ini telah mati. Ia menjadi panik dan menurunkan tangan hendak menyentuh urat nadi lengan nona itu.
"Plakkk!" Kedua tangannya ditampar dan nona itu membuka mulut, "Kau mau apa? Ingin diseret di belakang keretakah?"
Keng Hong kaget setengah mati sampai pantatnya terloncat dari tempat duduknya.
"Walah...! Kau bikin kaget aku saja, Nona. Hampir saja aku mati karena kaget! Kusangka kau... kau tidak bernapas lagi..."
"Begini goblokkah murid Sin-jiu Kiam-ong sehingga tidak tahu orang sedang melakukan latihan Pi-khi Hoan-hiat (Menutup Hawa Mengatur Jalan Darah)?"
"Ohhh...!" Keng Hong hanya dapat mengeluarkan suara ah-eh-oh saja karena semakin lama dia merasa semakin kagum dan heran.
Dia pernah mendengar dari suhu-nya akan ilmu Pi-khi Hoan-hiat ini, semacam ilmu untuk selalu mengadakan pengendalian terhadap jalan darah dan berhubungan dengan tenaga sinkang. Akan tetapi ilmu yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah tinggi tingkat kepandaiannya. Dan nona cilik ini telah melatih ilmu itu di dalam kereta yang berguncang-guncang!
Meski pun semenjak tadi hanya mengeluarkan suara ah-eh-oh, akan tetapi suara ini jelas membayangkan kekaguman. Hal ini agaknya terasa oleh gadis itu yang sebagai seorang manusia normal, terutama wanita, tentu saja amat senang hatinya mendapat pujian.
"Kau mau apa sih, panggil-panggil orang terus?"
"Nona, aku Cia Keng Hong bukanlah orang yang tak mengenal budi. Aku telah berhutang nyawa kepadamu..."
"Aku tidak pernah menghutangkan nyawa!"
"Ehh, aku... aku telah Nona selamatkan dari pedang Cui Im..."
"Hmm, hubunganmu dengan suci sudah begitu jauh ya sehingga kau menyebut namanya begitu saja?"
Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Nona ini boleh jadi pendiam, akan tetapi seperti biasanya orang pendiam, sekali mengeluarkan kata-kata selalu akan menusuk jantung!
"Kumaksudkan... nona Bhe Cui Im... aku sudah kau tolong dan selain pernyataan terima kasihku, aku pun selamanya tidak akan melupakan budi pertolongan itu. Tetapi, sesudah menyelamatkan nyawaku yang tak berharga ini, mengapa Nona malah menawan aku?"
"Heii, awas Sumoi! Dia itu laki-laki yang pandai sekali merayu, melebihi gurunya. Jangan-jangan kau nanti dirobohkan rayuannya yang manis seperti madu. Hi-hik-hik!" dari depan Cui Im berkata dengan suara mengejek.
Gadis baju putih itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Huh! Sejak kapan aku dapat dirobohkan rayuan orang? Aku tidak seperti engkau yang begitu mudah dapat dipikat oleh rayuan bocah ini, Suci!"
"Heh-heh-heh, bocah ya? Dia itu bocah? Hi-hi-hik, tunggu saja kau, Sumoi, kalau sudah berada dalam pelukan dan belaiannya, nanti..."
"Suci, diam!" Gadis itu membentak, alisnya yang hitam panjang itu melengkung indah.
Cui Im tidak bicara lagi, hanya terdengar dia ketawa dan mencambuk empat ekor kuda itu sehingga jalannya kereta makin kencang. Kembali Keng Hong tergoncang-goncang, akan tetapi dia segera dapat mengerahkan sinkang-nya dan kini dia duduk diam tidak bergerak seperti nona di depannya.
Mulailah nona itu memandangnya, dan sungguh pun mulutnya tidak menyatakan sesuatu, akan tetapi pandang matanya penuh pengertian bahwa pemuda di depannya ini memiliki sinkang yang hebat.
"Nona, jangan perhatikan omongan Cui... ehhh, dia itu. Aku sama sekali tidak membujuk rayu, Nona, melainkan hendak bertanya kenapa setelah Nona menyelamatkan nyawaku, kini malah menawanku."
"Ibuku yang menyuruhku, aku hanya pelaksana saja," jawabnya sederhana. "Dan jangan mengira aku sudi menolongmu. Apa bila tidak ingin memenuhi perintah ibu, biar suci mau membunuh seribu orang macam engkau, aku tidak akan peduli."
Wahhh, pahit benar ucapan ini, pikir Keng Hong. Akan tetapi tak mungkin dia bisa marah menghadapi seorang gadis seperti ini. "Ibumu? Siapakah dia, Nona?"
"Lam-hai Sin-ni!"
"Ohhhh...!" Tadinya Keng Hong mengira bahwa sebagai sumoi dari Cui Im tentu nona ini merupakan murid ke dua Lam-hai Sin-ni. Kiranya bukan hanya muridnya, malah puterinya! Pantas saja, biar pun disebut sumoi oleh Cui Im, akan tetapi nona ini memiliki tingkat ilmu kepandaian yang lebih tinggi dan juga disegani oleh suci-nya itu.
"Kau sudah mengenal nama ibuku?"
"Sudah, Nona, Ibumu adalah datuk pertama dari Bu-tek Su-kwi, bukan?"
"Hemm, kau hanya mendengar saja dari suci tentu."
"Aku sudah pernah bertemu dengan tiga orang dari Bu-tek Su-kwi yang semuanya kalah oleh suhu."
"Hemm..., sombong! Kalau bertemu ibu, suhu-mu akan mampus sampai seratus kali."
"Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?"
Alis yang indah itu terangkat, mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi dan mulut yang segar itu membentak, "Kau...! Selain hidung belang, juga ceriwis sekali!"
"Hi-hi-hik, Sumoi. Tidak benarkah kata-kataku bahwa dia pandai merayu?"
"Suci, berhenti dulu!"
Kereta berhenti secara tiba-tiba dan hal ini saja membuktikan betapa pandainya Cui Im menguasai empat ekor kuda yg menarik kereta, dan betapa kuat kedua lengan yang kecil itu. Alis nona baju putih itu masih berdiri ketika dia melolos sabuknya yang putih panjang, lalu tanpa banyak cakap dia mengikat kedua kaki Keng Hong dengan ujung sabuk dan setelah itu dia melempar tubuh pemuda itu ke belakang kereta!
"Jalan terus, Suci!"
"Hi-hi-hik-hik, agaknya engkau pun tidak tahan terhadap rayuannya, sumoi. Hati-hatilah..., engkau sama sekali belum berpengalaman."
"Diam, suci!" bentak gadis itu sambil merenggut, dan kereta dijalankan cepat oleh Cui Im yang terkekeh-kekeh.
Kini tubuh Keng Hong yang rebah terlentang di belakang kereta, diseret di atas tanah berbatu! Kedua tangannya dibelenggu, kedua kakinya diikat ujung sabuk, ada pun ujung sabuk lainnya oleh gadis itu diikatkan pada tiang kereta. Sabuk itu cukup panjang hingga tubuh Keng Hong terpisah empat meter dari kereta.
Pemuda ini cepat-cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi tubuh belakangnya yang terseret. Apa bila tidak kuat sinkang-nya, tentu kulit tubuh belakangnya akan habis babak bundas. Biar pun kini hawa sakti di tubuhnya melindungi kulitnya, akan tetapi tidak dapat melindungi pakaiannya sehingga sebentar saja habislah pakaiannya di bagian belakang, compang-camping tidak karuan.
Diam-diam Keng Hong mengutuk, "Wah, gadis setan! Dua orang gadis itu benar-benar seperti iblis-iblis betina, sungguh pun kekejian mereka itu agak berbeda. Cui Im cabul dan pengejar kepuasan hawa nafsu, sebaliknya sumoi-nya ini alim dan pendiam, akan tetapi keduanya mempunyai kekejaman yang sama. Bahkan boleh jadi gadis baju putih ini lebih kejam lagi."
Keng Hong yang rebah terlentang dan terseret di belakang kereta sekarang dapat melihat keadaan di kanan kiri kereta sampai jauh di depan. Mereka sedang melalui jalan sunyi di pegunungan, jauh dari dusun-dusun. Diam-diam dia berpikir dan ingin sekali mengetahui apakah dua orang gadis iblis itu akan tetap menyeretnya seperti ini kalau melalui dusun dan kota? Apakah mereka akan membiarkan dia terseret dan menjadi tontonan? Tentu penguasa setempat akan turun tangan kalau melihat peristiwa ini, akan tetapi penguasa manakah yang sanggup melarang dua orang gadis iblis itu?
Tiba-tiba Keng Hong melihat di depan sebelah kiri muncul dua orang penunggang kuda, yakni dua orang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun yang menghadang kereta dengan senjata golok di tangan, memberi isyarat dengan tangan agar kereta dihentikan. Cui Im menghentikan kereta itu dan memandang dengan alis berkerut marah.
"Kalian ini mau apakah? Apakah perampok-perampok buta?"
"Hemm, Ang-kiam Tok-sian-li! Masih berpura-pura tidak mengenal kami Thian-te Siang-to (Sepasang Golok Bumi Langit)? Kami memenuhi perintah suhu untuk minta tawananmu, murid Sin-jiu Kiam-ong. Memandang muka suhu kami, harap kau suka mengalah kepada kami!" Jawaban ini keluar dari mulut kakek yang sebelah kiri.
Setelah kini berhadapan, barulah Cui Im melihat jelas betapa muka kedua orang kakek itu serupa benar. Teringatlah dia akan murid kembar dari Pat-jiu Sian-ong, maka dia tertawa mengejek.
"Hi-hi-hik, jangan hanya kalian Thian-te Siang-to yang maju meminta tawanan, walau pun gurumu sendiri yang datang takkan kuberikan. Kalian mau apa?"
"Hah, Ang-kiam Tok-sian-li! Kami masih memandang muka gurumu maka masih bicara dengan baik-baik, akan tetapi engkau sombong. Turunlah dan mari kita lihat siapa yang lebih unggul di antara kita. Yang unggul berhak membawa pergi murid Sian-jiu Kiam-ong!"
"Bagus, kalian sudah bosan hidup!"
Cui Im meloncat turun dari kereta sambil mencabut pedang merahnya. Akan tetapi begitu meloncat dan menerjang, Cui Im mengeluh karena dia baru teringat akan keadaannya, akan tenaga sinkang yang sebagian besar telah lenyap semenjak malam tadi dia bermain cinta dengan Keng Hong. Apa lagi sekarang yang dihadapinya adalah dua orang murid Pat-jiu Sian-ong yang merupakan seorang di antara empat datuk Bu-tek Su-kwi!
Kalau dalam keadaan normal sekali pun, tak mungkin ia dapat menangkan pengeroyokan dua orang ini dan mungkin hanya akan sanggup mengalahkan seorang di antara mereka. Akan tetapi sekarang, dengan sinkang-nya habis setengahnya lebih, melawan seorang di antara mereka sekali pun dia tak akan menang.
Keng Hong yang sekarang sudah bangkit duduk karena kereta itu tidak menyeretnya lagi, melihat betapa Cui Im sedang terdesak hebat oleh dua orang laki-laki bersenjata golok yang menggunakan julukan Sepasang Golok Bumi Langit itu. Untung bahwa pedang Cui Im benar-benar hebat, kalau tidak, tentu dalam beberapa gebrakan saja ia akan roboh.
Cui Im mainkan pedangnya secepat mungkin, dan biar pun dia sama sekali tidak mampu melakukan serangan balasan, namun dia masih mampu mempertahankan dirinya dengan gerakan pedang dan juga sambil mengelak ke sana ke mari. Dia sudah terdesak hebat dan menurut taksiran Keng Hong, tidak sampai sepuluh jurus lagi gadis itu tentu akan roboh.
"Sumoi, tidak lekas membantuku kau menunggu apa lagi?" Cui Im yang repot itu akhirnya berteriak-teriak.
Keng Hong hanya melihat muili (tirai) kereta itu tersingkap dari dalam, lantas berkelebat segulung cahaya putih berturut-turut dua kali. Cahaya ini menyebar ke arah kedua orang kakek yang mendesak Cui Im.
Mereka cepat menangkis dengan pedang, namun mereka segera berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Ternyata pangkal lengan kedua orang kakek itu sudah terluka dan mengeluarkan darah. Yang melukai mereka ialah dua butir bola putih yang permukannya halus namun mempunyai duri-duri runcing dan pada saat dua bola tadi berhasil ditangkis, bola itu tidak runtuh ke atas tanah melainkan melesat dan melukai lengan mereka.
Pada waktu dua orang kakek itu melihat wajah ayu yang tersembul keluar dari balik tirai, mereka terkejut dan cepat menjura ke arah kereta.
"Kiranya Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung) juga turut hadir di sini. Maafkan atas kelancangan kami!" Sesudah berkata demikian, kakek kembar itu lalu membalikkan tubuh dan berlari pergi.
"Heiii, kembalilah! Mari kita bertanding sampai seribu jurus! Belum bolong dadamu sudah lari, pengecut!" Cui Im berteriak-teriak menantang.
"Suci, jalan terus!" terdengar gadis baju putih yang kini julukannya telah dikenal oleh Keng Hong berkata halus.
Kereta berjalan lagi amat kencangnya, dan terpaksa Keng Hong kembali merebahkan diri telentang lagi, diseret-seret kereta. Ia bergidik bila mengingat julukan gadis baju putih itu. Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung). Mengapa berkabung? Pantas saja pakaiannya serba putih, bahkan senjatanya yang lihai, sabuk yang kini mengikat kedua kakinya, juga putih dan senjata rahasia yang berbentuk bola itu pun putih!
"Cepatlah, suci. Setelah murid-murid Pat-jiu Siang-ong muncul, kurasa yang lainnya akan muncul pula."
"Untung kau berada di sini, sumoi, kalau tidak... wah berabe juga. Aku... aku kehilangan sebagian besar sinkang di tubuhku karena... bocah setan itu!"
"Apa? Mengapa dan bagaimana?" Song-bun Siu-li bertanya heran.
"Benar, tenagaku disedot habis olehnya. Keparat! Setelah malam tadi, entah bagaimana aku pun tidak tahu. Dia memang hebat, aku sampai lupa diri dan aku... tersedot habis... uhhh..."
"Suci, diam! Kau tahu aku tidak sudi mendengarkan omongan-omonganmu yang cabul!"
Kereta berjalan terus lebih cepat lagi. Keng Hong tertegun mendengar omongan mereka itu. Dia sendiri pun tidak tahu mengapa Cui Im menjadi lemah. Tersedot olehnya? Ia lalu teringat akan peristiwa di Kun-lun-san, di mana tanpa dia sadari dia pun telah menyedot sinkang dari Kiang Tojin dan tosu-tosu lain.
Akan tetapi pada saat itu dia menghadapi pukulan sinkang yang amat berat. Sedangkan malam tadi dengan Cui Im... ahhh… dia tetap tidak mengerti.
Diam-diam dia kagumi Song-bun Siu-li. Betapa lihai gadis muda itu. Hanya dengan dua butir bola saja dia mampu mengusir murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang dia lihat tadi amat lihai ilmu goloknya.
Lewat tengah hari, ketika matahari mulai condong ke barat, mereka tiba di sebuah hutan dan jauh di depan menjulang tinggi pegunungan yang rupanya banyak dusun-dusunnya karena dari jauh sudah nampak genteng-genteng rumah yang kemerahan.
Keng Hong yang diseret kereta mulai merasa tersiksa karena selain haus dan lapar, juga debu yang mengebul dari roda-roda kereta itu seolah-olah dilemparkan semua padanya, membuat rambut dan alisnya menjadi putih, juga mukanya menjadi putih semua. Untuk bernapas pun terasa sukar di dalam kepulan debu yang tebal ini.
Tiba-tiba Cui Im berseru nyaring dan tangan kirinya menyabar dua batang anak panah yang menyambarnya. Hebat kepandaian ini dan diam-diam Keng Hong yang melihat itu menjadi kagum.
"Jalan terus, suci. Biarkan aku yang melayani mereka!" berkata Song-bun Siu-li dengan suara dingin.
Kini berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu gadis itu sudah berdiri di atap kereta, lalu minta pinjam cambuk kuda yang masih dipegang oleh Cui Im. Cambuk ini cukup panjang dan dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanannya memegang gagang cambuk, Song-bun Siu-li berdiri dengan gagah tanpa bergerak, hanya matanya saja yang menatap tajam ke depan.
Tiba-tiba dari arah kiri menyambar tiga batang anak panah, sebuah ke arah Cui Im dan yang ke dua ke arah Song-bun Siu-li dan anak panah yang datang menyambar sekali ini, walau pun warnanya juga hitam seperti tadi, namun mengandung kecepatan dan tenaga dahsyat sehingga mengeluarkan bunyi mendesing.
Cui Im tidak mempedulikan datangnya anak panah yang menyerangnya, melainkan tetap mencurahkan seluruh perhatian kepada kendali empat ekor kuda yang dipegangnya dan dibalapkannya dengan cepat. Dia sudah percaya penuh akan penjagaan sumoi-nya dan kepercayaan ini pun tidak sia-sia. Terdengar suara cambuk meledak-ledak, dan... tiga batang anak panah itu sudah kena digulung dan dibelit ujung cambuk.
Keng Hong melongo melihat itu dan dia lebih terbelalak lagi ketika nona baju putih itu menggerakkan cambuknya, membuat tiga batang anak panah meluncur ke arah kiri dan... terdengar jerit-jerit mengerikan yang lantas disusul dengan terjungkalnya tubuh tiga orang yang tadi bersembunyi di balik batang pohon. Kiranya nona baju putih yang lihai sekali itu telah meretour anak panah kepada pemiliknya masing-masing dan secara kontan keras telah membalas mereka!
Tiba-tiba terdengarlah suara keras yang bergema di seluruh hutan itu, seolah-olah suara raksasa yang sakit, padahal suara itu merupakan suara banyak orang yang mengucapkan sebuah kalimat secara berbareng, "Atas perintah Pak-san Kwi-ong, kami mohon tawanan putera Sin-jiu Kiam-ong ditinggalkan di hutan ini!"
"Suci, berhenti sebentar," kata Song-bun Siu-li dengan suara halus.
Kereta berhenti dan kini tampaklah puluhan orang, sedikitnya ada tiga puluh orang yang mengurung kereta itu dalam jarak lima puluh meter. Mereka itu tadinya bersembunyi di balik pohon-pohon dan di dalam gerombolan-gerombolan semak.
Terdengar suara Song-bun Siu-li yang berdiri di atas kereta dengan cambuk di tangan, suaranya masih tetap halus merdu, namun kini dikerahkan dengan penggunaan tenaga khikang sehingga menjadi nyaring dan bergema lebih dahsyat dari pada suara banyak orang tadi.
"Murid Sin-jiu Kiam-ong menjadi tawanan Lam-hai Sin-ni! Di sini ada Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li yang melindunginya, siapa pun tidak boleh mengganggu tawanan!"
Keng Hong yang kini sudah duduk di atas tanah, diam-diam memandang dengan hati geli. Dia tidak tahu siapakah adanya banyak orang-orang laki-laki yang tinggi besar dan kelihatan galak-galak itu, akan tetapi yang dia tahu adalah bahwa dia dijadikan rebutan! Dijadikan rebutan di antara para tokoh kang-ouw, bukan tokoh-tokoh kaum bersih seperti ketika gurunya dulu dikepung di Kiam-kok-san, melainkan tokoh-tokoh hitam yang amat lihai.
Namun, baik tokoh bersih mau pun tokoh sesat, semua memiliki pamrih yang sama yaitu menghendaki Siang-bhok-kiam dan warisan mendiang suhu-nya. Kini timbullah keinginan hatinya untuk mencari serta mendapatkan pusaka peninggalan suhu-nya. Apa bila semua tokoh kang-ouw menginginkan pusaka itu, sudah barang tentu pusaka itu amat berharga dan penting.
Sesudah mendengar disebutnya nama Song-bun Siu-li, kini para pengurung itu menjadi ragu-ragu dan mereka terdiam, kemudian muncul empat orang tinggi besar yang usianya sudah empat puluh tahun lebih. Di tangan masing-masing memegang sehelai rantai baja yang digantungi sebuah tengkorak manusia!
Melihat rantai dengan tengkorak itu teringatlah Keng Hong akan kakek tinggi besar yang berkulit hitam arang, yang matanya putih, telinganya seperti telinga gajah dan badannya berbulu, yaitu Pak-san Kwi-ong. Senjata kakek itu pun berupa seutas rantai besar dengan dua buah tengkorak pada kedua ujungnya. Hanya bedanya, rantai empat orang laki-laki ini hanya bertengkorak satu.
"Kami Pak-san Su-liong (Empat Naga Pegunungan Utara), jauh-jauh datang melakukan perintah suhu. Mengingat akan sahabat segolongan, biarlah kami menyampaikan salam suhu kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) untuk disampaikan kepada Lam-hai Sin-ni dan salam kami sendiri kepada Ji-wi. Kemudian, mengingat akan persahabatan, harap Ji-wi luluskan kami meminjam sebentar tawanan itu."
"Hi-hi-hik-hik! Enak saja membuka mulut!" Cui Im tertawa mengejek. "Kami yang susah payah menawan, tapi kalian yang hendak memboyong. Aturan mana ini? Lebih baik kalian pergi dari sini dan sampaikan kepada Pak-san Kwi-ong bahwa apa bila dia menghendaki tawanan, biarlah dia mencoba merampasnya dari tangan guruku!"
"Suci, tidak perlu banyak bicara melayani mereka. Pak-san Su-liong harap tahu diri dan jangan mengganggu kami. Betapa pun juga, kami tak akan menyerahkan tawanan!" kata gadis baju putih sambil menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tinggi besar itu.
"Hemm, kalau begitu, terpaksa kami akan menguji kepandaian Ji-wi, apakah cukup patut menjadi pengawal tawanan penting!"
"Bagus, majulah!" Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li sudah meloncat turun.
Tenaga sinkang Cui Im masih belum normal, belum pulih seperti biasa, akan tetapi tidak selemah tadi karena di sepanjang jalan gadis ini telah melatih napas untuk menghimpun tenaganya yang tercecer. Dia masih dapat mengandalkan ilmu pedangnya yang memang hebat dan pedang merahnya yang ampuh. Ada pun gadis baju putih itu sudah memutar cambuknya sehingga terdengar bunyi ledakan-ledakan nyaring.
Empat orang tinggi besar itu menyambut kedua orang nona ini dengan sambaran rantai mereka dan terdengarlah suara bersiutan, tanda bahwa mereka itu memiliki tenaga besar sekali dan dari mulut tengkorak-tengkorak itu kadang-kadang mengebul asap putih yang beracun!
Pertandingan dua lawan empat ini berlangsung seru, akan tetapi Keng Hong yang duduk di belakang kereta dapat melihat jelas betapa sebetulnya Cui Im hanya melawan seorang saja sedangkan lawan yang tiga orang diborong oleh Song-bun Siu-li. Makin kagumlah hatinya menyaksikan nona baju putih itu.
Tiga rantai tengkorak yang mengepungnya tidak boleh dipandang ringan karena ternyata bahwa naga-naga dari Pak-san itu benar-benar mempunyai kepandaian tinggi, malah jika dibandingkan dengan Thian-te Siang-to murid Pat-jiu Sian-ong, agaknya empat orang ini masih lebih berat. Akan tetapi pecut di tangan Song-bun Siu-li amat lincah gerakannya, menyambar-nyambar dengan suara nyaring seperti halilintar mengamuk dan mengancam kepala tiga orang lawanya.
Asap putih yang mengepul dari mulut empat tengkorak itu adalah hawa beracun. Akan tetapi menghadapi ini, dua orang murid Lam-hai Sin-ni tentu saja memandang rendah karena guru mereka adalah ahli racun nomor satu di dunia ini!
Baik Song-bun Siu-li mau pun Cui Im sudah mengeluarkan sehelai sapu tangan berwarna kuning yang amat harum, lalu menggosok-gosokan sapu tangan masing-masing dengan keras ke hidung dan mulut mereka, kemudian menyimpan kembali sapu tangan itu baru menghadapi lawan tanpa mengkhawatirkan asap beracun.
Biar pun tenaga sinkang-nya belum pulih seluruhnya, akan tetapi ilmu pedang Ang-kiam Tok-sian-li memang hebat, sehingga tidak percuma dia berjulukan si pedang merah, dan kecerdikannya serta kekejamannya membuat dia patut pula dijuluki Tok-sian-li Si Dewi Beracun! Karena tiga orang lawan diborong sumoi-nya dan dia sendiri hanya menghadapi seorang lawan, pedangnya sudah sanggup mengimbangi gulungan sinar rantai, bahkan beberapa kali hampir berhasil melukai lawan, yaitu memapas bagian ujung bajunya dan membuat retak rahang tengkorak.
Keng Hong yang menonton pertandingan itu, duduk dengan hati tegang, juga dia menjadi kagum. Semenjak turun gunung, dia telah menyaksikan pertandingan-pertandingan yang hebat. Sekarang mengikuti pertandingan antara murid-murid orang sakti, murid-murid dua orang datuk dari golongan sesat yang tinggi ilmunya, matanya menjadi kabur.
Gulungan sinar pedang di tangan Cui Im merah dan indah sekali, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin melebar, mengurung gulungan sinar yang dibuat oleh rantai tengkorak lawannya. Ada pun cambuk di tangan Song-bun Siu-li juga telah lenyap bentuknya, yang tampak hanya gulungan sinar hitam yang berkelebatan di angkasa dan mengeluarkan bunyi meledak-meledak keras sekali. Sinar hitam ini dapat menahan rantai tengkorak ketiga orang lawannya yang berusaha keras untuk mengalahkan gadis muda yang namanya sudah amat dikenal di dunia kang-ouw itu.
Mendadak Keng Hong mendapat perasaan aneh dan menengok ke belakang. Alangkah kagetnya pada saat dia melihat bahwa dari arah belakang berindap-indap datang puluhan orang dan jelas sekali mereka berniat untuk menangkapnya.
Mereka adalah anak buah Pak-san Su-liong yang datang menghampirinya dengan sikap mengancam, seperti segerombolan serigala yang hendak menyergap seekor kijang. Keng Hong maklum akan bahayanya apa bila terjatuh ke tangan anak buah Pak-san Kwi-ong. Memang tidak enak juga menjadi tawanan dua orang gadis berhati ganas itu, akan tetapi menjadi tawanan orang-orang kasar ini agaknya akan lebih mengerikan pula.
Kenapa dia tidak membebaskan diri saja? Kalau tadinya dia masih belum membebaskan diri adalah pertama, dia suka melayani permainan asmara Cui Im yang benar-benar telah dinikmatinya dan ke dua, karena dia tertarik dan berterima kasih kepada Song-bun Siu-li yang menyelamatkan nyawanya.
Akan tetapi sekarang, melihat dirinya mulai diperebutkan seperti sebuah benda berharga, Keng Hong menjadi muak dan tiba-tiba timbul keinginannya untuk meloloskan diri selagi ada kesempatan mereka saling gasak itu.
Keng Hong mengerahkan sinkang-nya, mendesak pusat tenaga di pusar lalu menyalurkan hawa sakti yang dia luncurkan ke arah sepasang lengannya, kemudian sekuat tenaga dia merenggut. Tali sutera hitam yang mengikat pergelangan tangannya bukan sembarang tali, kuatnya melebihi kawat baja. Namun tali itu masih tidak dapat menahan sinkang yang tersalur di kedua lengan itu, yang kekuatannya amat luar biasa, seperti tarikan dua buah belalai gajah.
Tali itu mengeluarkan bunyi keras ketika terputus dan bergerak-gerak seperti tubuh ular terputus di atas tanah. Keng Hong hanya merasakan kulit pergelangannya panas. Dia cepat membungkuk dan melepaskan tali sutera putih yang mengikat kakinya. Dia tidak mau memutuskan tali kakinya yang dia tahu adalah sabuk sutera yang dijadikan senjata si nona baju putih, maka setelah tangannya bebas dia melepaskan tali kakinya.
Pada saat itu, empat orang tinggi besar telah menubruk dan menangkapnya, ada yang merangkul kaki, ada yang merangkul pinggangnya, ada yang memegangi tangan dan ada yang memiting leher. Akan tetapi Keng Hong tidak peduli, dia terus bangun dan berjalan mendekati kereta, menyeret empat orang itu yang melekat di tubuhnya seperti lintah. Keng Hong menyendal sabuk putih kemudian berseru kepada Song-bun Siu-li yang sibuk melayani tiga orang musuhnya.
"Song-bun Siu-li! Nih senjatamu, terimalah!"
Dia sudah menggulung sabuk itu dan melemparkannya ke arah gadis berbaju putih yang mengeluarkan suara heran akan tetapi cepat menyambar senjatanya yang istimewa ini dan mengganti cambuknya dengan sabuk putih. Hebat bukan main gerakan Song-bun Siu-li setelah dia kini mainkan sabuk sutera putih itu.
Tampak sinar putih bergulung, sangat tebal menyilaukan mata laksana pelangi berwarna putih perak dan dalam tiga jurus saja sabuknya sudah melibat rantai seorang di antara tiga lawannya dan sekali renggut, rantai itu terlepas dari tangan lawan dan ujung sabuk yang sebelah lagi sudah menotoknya roboh!
Dua orang lawan yang lain menjadi marah dan menerjang lebih dahsyat lagi, akan tetapi dilayani oleh gadis baju putih itu dengan sikap tenang. Setelah kini senjatanya kembali ke tangannya, gadis ini menjadi lebih tenang dan penuh kepercayaannya pada diri sendiri.
Keng Hong masih dikeroyok oleh empat orang tinggi besar yang hendak menawannya, dan sambil berteriak-teriak belasan orang tinggi besar lain merubungnya, siap membantu teman-teman mereka kalau kewalahan. Keadaan Keng Hong seperti seekor jengkrik yang dirubung semut.
Keng Hong menjadi marah dan tidak sabar lagi. Dia mengeluarkan seruan keras sambil menggoyang tubuhnya, gerakannya seperti seekor harimau yang menggoyang tubuhnya sehabis tertimpa air hujan. Terdengar pekik kaget kemudian tubuh empat orang yang tadi menempel di tubuhnya, mencelat ke empat penjuru sampai lima enam meter jauhnya lalu menimpa teman-teman sendiri!
"Tangkap...!"
"Jangan sampai dia lari!"
Orang-orang yang menjadi kaki tangan Pak-san Su-liong itu terus berteriak-teriak sambil mengepung. Mereka ini hanya merupakan segerombolan orang liar yang mengandalkan tenaga, keberanian dan pengalaman bertempur karena orang-orang ini datang dari utara, menjadi anak buah Pak-san Su-liong yang terkenal sebagai pemimpin orang-orang liar di luar tembok besar sebelah utara.
Namun tenaga mereka hanyalah tenaga otot dan tebalnya kulit, tentu saja menghadapi Keng Hong mereka itu tidak banyak artinya. Keng Hong mulai mengamuk untuk mencari kebebasannya. Ia menggunakan kaki dan tangannya, menendang dan memukul.
Para pengeroyok berteriak-teriak kesakitan karena setiap pertemuan kaki tangan mereka dengan kaki tangan Keng Hong pasti mengakibatkan tulang patah dan kulit pecah. Melihat anak buah mereka kocar-kacir, ditambah lagi seorang di antara mereka sudah tertotok roboh, tiga orang di antara Pak-san Su-liong menjadi kacau permainannya.
Apa lagi kini Song-bun Siu-li sudah memegang senjatanya sendiri yang sangat ampuh, maka tiga orang tinggi besar murid-murid Pak-san Kwi-ong itu tidak dapat bertahan lagi. Pedang merah di tangan Cui Im berhasil melukai pundak kiri lawannya, sedangkan kedua ujung sabuk sutera putih di tangan sumoi-nya yang amat lihai itu telah merampas sehelai rantai dan memecut muka seorang lawan lagi sehingga pipinya terluka dan berdarah.
Melihat empat lawannya mundur dan para anak buah mereka pun kocar-kacir dan mulai menjauhi Keng Hong, Song-bun Siu-li cepat berkata dan meloncat mendekati Keng Hong, "Lekas masuk kereta. Kita melanjutkan perjalanan!"
Keng Hong berdiri memandang gadis itu, kemudian menjawab, "Aku tidak mau! Aku ingin melanjutkan perjalananku sendiri, Nona."
"Kau... kau hendak melawanku?" Song-bun Siu-li berkata halus, namun suaranya dingin, dan sabuknya siap di tangan.
"Hati-hati, Sumoi. Dia memiliki tenaga mukjijat!" kata Cui Im yang juga sudah melompat dekat, tidak mempedulikan Pak-san Su-liong yang mulai menolong teman-temannya dan meninggalkan tempat itu karena maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat melanjutkan usaha mereka merampas tawanan.
"Cia Keng Hong, lekas kembali ke kereta. Mereka tentu akan datang kembali, dan kalau yang muncul guru mereka Pak-san Kwi-ong, atau guru Thian-te Siang-to tadi yaitu Pat-jiu Sian-ong, kami tidak akan dapat mempertahankan engkau lagi!" berkata pula Song-bun Siu-li, suaranya tetap halus akan tetapi bukan merupakan bujukan, melainkan peringatan.
Keng Hong masih berdiri dengan kedua kaki terpentang, kokoh kuat seperti batu gunung, akan tetapi pakaian pada sebelah belakangnya sudah compang-camping tak karuan. Dia menggeleng kepala dan memandang kedua orang nona itu dengan pandang mata tajam.
"Tidak, aku ingin bebas!"
"Sumoi, hajar mampus saja laki-laki tak berbudi ini!" teriak Cui Im yang sudah melangkah maju dan siap dengan pedang merahnya.
"Tahan, Suci. ibu menghendaki dia hidup-hidup! Ehhh, Keng Hong. Engkau sendiri tadi mengaku bahwa aku telah menyelamatkan jiwamu. Inikah balasanmu? Hendak melawan aku? Beginikah kegagahan murid Sin-jiu Kiam-ong? Kasihan kakek itu yang tentu gelisah di dalam akhirat kalau menyaksikan muridnya yang tak mengenal budi."
Wajah Keng Hong menjadi merah sekali dan dia mengepal tinjunya. "Sudahlah, jangan membawa-bawa nama suhu. Baik, aku mau ikut akan tetapi ingat, hanya untuk menuruti perintahmu sebagai balas jasa atas pertolonganmu. Sesudah bertemu dengan Lam-hai Sin-ni, kuanggap hutangku kepadamu telah lunas!" Setelah berkata demikian Keng Hong lalu berjalan menuju ke kereta.
Cui Im menyenggol lengan sumoi-nya dengan siku sambil menggerakkan muka ke arah Keng Hong yang tampak oleh mereka dari belakang, sambil terkekeh dan berbisik, "Lihat, Sumoi..., hebat tidak dia?"
Gadis baju putih itu memandang dan wajah yang cantik jelita itu seketika menjadi merah sekali. Matanya yang jelita terbelalak pada saat dia melihat ke arah tubuh belakang Keng Hong. Pakaian bagian belakang yang compang-camping dan kulitnya yang penuh debu itu masih tidak dapat menyembunyikan sebuah punggung yang tegak dengan lengkung kuat di bagian bawah seperti terbuat dari pada baja. Bahu yang bidang, pinggang yang kecil dan sepasang pinggul yang bulat membayangkan otot-otot yang dipenuhi tenaga di atas kaki yang kuat.
Cepat-cepat dia memejamkan mata, tidak mau memandang lagi dan mulutnya mencela. "Suci, kau selalu mendahulukan nafsu-nafsumu. Kau tahu aku tidak sudi memperhatikan pria!" Gadis ini membuang muka dan setelah Keng Hong memasuki kereta, barulah dia berkata, "Ambilkan selimut dan suruh dia menutupi tubuh belakangnya secara pantas!"
Cui Im terkekeh dan berlarian ke kereta, mengambil selimut dan melemparnya ke arah Keng Hong.
"Keng Hong, tutupi rapat-rapat badanmu yang sebelah belakang, kau membikin sumoi menjadi jijik, hi-hi-hik!"
Kemudian dia melompat ke atas di sebelah depan dan segera membalapkan empat ekor kuda setelah sumoi-nya pun melompat masuk dan duduk di hadapan Keng Hong dengan sikap tidak acuh.
Dari luar terdengar suara seorang di antara Pak-san Su-liong. "Kalian tunggu saja! Suhu sendiri yang akan merampas tawanan itu!"
Namun dua orang murid Lam-jai Sin-ni ini tidak mempedulikan teriakan mereka dan terus membalapkan kereta ke selatan. Kereta berguncang-guncang, namun Keng Hong duduk anteng, matanya tak pernah terlepas dari wajah gadis di depannya.
Dia menjadi makin kagum. Gadis ini amat lihai ilmu silatnya, juga wataknya jauh berbeda dengan watak Cui Im yang cabul dan senang mengumbar nafsunya. Gadis ini pendiam, bahkan sama sekali tidak pernah memperlihatkan kegembiraan. Betapa pun juga dalam hal kekejaman dan keganasan, gadis baju putih ini mungkin sepuluh kali lebih ganas dari Cui Im, sungguh pun agaknya tidak berwatak licik dan curang seperti suci-nya itu.
Diam-diam dia membuat perbandingan. Yang manakah yang baik di antara kedua orang gadis ini? Cui Im hidup sebagai seorang yang ingin menikmati hidup sebanyaknya, selalu menuruti nafsunya tanpa peduli akan apa pun, hendak meraih sebanyaknya kesenangan dunia tanpa peduli dia akan dicap gadis cabul atau tidak.
Pendeknya segala hal di dunia ini harus diarahkan demi kesenangan diri pribadi. Gadis seperti itu tentu saja tidak memiliki kesetiaan terhadap siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Akan tetapi gadis yang jauh lebih muda dan jauh lebih cantik juga lebih lihai yang duduk di depannya ini memiliki type tersendiri dan sukar sekali meraba-raba untuk mempelajari wataknya. Wajah cantik ini seolah-olah memakai kedok dari salju, begitu dingin dan sukar sekali dijenguk isi hatinya karena apa yang terkandung di dalam hati dan pikirannya sama sekali tidak mengubah kulit muka yang halus dan tetap dingin itu.....