Kiam-kok-san (Gunung Berlembah Pedang) merupakan sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun Lun San yang tidak pernah dikunjungi manusia seperti puncak-puncak lain dari Kun Lun-san. Bukan karena pemandangan di Kiam-kok-san kurang indah. Sama sekali bukan. Bahkan tamasya alam yang tampak dari puncak gunung ini amat indahnya.
Batu kapur yang mengeras dan mengkilap menjulang tinggi bagai menara bei menembus awan, tak nampak ujungnya seolah-olah bersambung dengan langit. Pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa puncak batu berawan itu adalah tempat kediaman dewa-dewa penjaga gunung.
Awan putih yang berarak bagai domba-domba kapas, yang tak pernah berhenti dihembus angin langit, menjadi jinak setelah bertemu dengan Kiam-kok-san, berkumpul di sekeliling puncak seperti sehelai selimut bulu domba yang hangat. Dari puncak ini memandang ke bawah tampak awan putih mengambang di bawah kaki, menyusupi lembah-lembah bukit yang amat curam.
Indah, sukar dilukiskan dengan kata-kata keindahan tamasya alam yang dapat dinikmati dari puncak Kiam Kok-san. Betapa taman surga terbentang luas di bawah kaki gunung, suram-suram terselimut tirai halimun menciptakan sifat yang ajaib penuh rahasia.
Bukan karena kurang indah, namun kesukaranlah yang membuat tempat itu tidak pernah dikunjungi manusia. Sesuai dengan namanya, puncak ini terdiri dari lembah-lembah yang penuh dengan batu gunung yang merupakan karang-karang meruncing dan tajam seperti pedang. Tidak terdapat jalan tertentu mendaki puncak, tidak ada pula jalan setapak bekas kaki manusia. Semuanya liar, lebat dan bahaya maut mengintai setiap saat bagi manusia yang berani mendatangi tempat itu.
Jurang-jurang yang amat curam, belukar tempat persembunyian binatang-binatang buas, rumput-rumput hijau yang menjadi topeng bagi muara-muara dalam penuh lumpur dan ular berbisa, serta bahaya tersesat jalan. Jangankan orang biasa, bahkan mereka yang sudah memiliki ilmu kepandaian seperti para pertapa dan para pendekar masih akan berpikir masak-masak lebih dahulu untuk mendaki puncak berbahaya seperti Kiam-kok-san.
Pagi hari itu amatlah cerah. Halimun tidak setebal biasanya dan karenanya sinar matahari pagi dapat menerobos di antara celah-celah daun pohon dan batu pedang, lalu mengusir halimun serta menerangi tanah puncak yang penuh lumut dan rumput hijau. Tak terkira indahnya puncak Kiam-kok-san yang bermandi cahaya keemasan matahari pagi itu, sunyi dan hening, aman tentram.
Seperti itulah agaknya sorga sering kali disebut-sebut oleh para pendeta yang dijanjikan sebagai anugerah tempat tinggal bagi para manusia yang di dalam hidupnya menjauhkan diri dari pada segala kemaksiatan dan kejahatan.
Pada saat sinar matahari mencapai kaki batu hitam mengkilap yang ujungnya berselimut awan langit, tampaklah seorang kakek tua renta duduk bersila di atas batu halus. Kakek ini sudah sangat tua, terbukti dari kulit wajahnya yang dipenuhi keriput, dagingnya yang sudah tipis hingga tulang-tulangnya menonjol di balik kulit, rambutnya yang putih semua terurai panjang sampai ke punggung dan sebagian menutupi kedua pundaknya. Apa bila ditaksir, usia kakek ini tentu tidak kurang dari seratus tahun.
Pakaiannya yang sederhana hanya merupakan kain putih yang sudah agak menguning dibalut-balutkan ke tubuhnya, kakinya telanjang seperti kepalanya. Dia duduk bersila di bawah batu pedang yang tinggi itu dengan sepasang kaki dan kedua lengan menyilang, duduk tak bergerak-gerak dengan kedua mata dipejamkan.
Dilihat dari jauh, dia seperti telah membatu, lebih menyerupai sebuah arca batu dari pada seorang manusia hidup. Namun sebenarnya dia bukanlah arca, karena bila diperhatikan, tampak betapa dada di balik kain putih itu bergerak perlahan seirama dengan pernapasan kakek itu yang halus dan panjang.
Di atas tanah, di depan kaki yang bersilang dengan bentuk teratai (kedua telapak kaki terlentang di atas paha), terdapat sebatang pedang telanjang yang mengeluarkan sinar kehijauan sesudah tertimpa cahaya matahari. Sebatang pedang yang indah bentuknya, namun amat aneh karena berbeda dari pada pedang-pedang umumnya yang terbuat dari baja-baja pilihan, pedang yang terletak di depan kakek itu adalah sebatang pedang kayu!
Perlahan-lahan sekali, sedikit demi sedikit, sinar matahari seakan memandikan wajah tua keriputan itu. Di bawah sinar keemasan sang surya, wajah itu tampak sangat elok dan tak dapat diragukan pula bahwa kakek ini dahulu tentunya seorang pria yang amat tampan. Bentuk dan raut wajahnya masih jelas membayangkan ketampanan seorang pria.
Kehangatan sinar matahari yang sedap nyaman itu menyadarkannya dari semedhi. Dia membuka kedua matanya dan orang akan heran kalau melihat sinar matanya. Orangnya jelas sudah amat tua, namun sepasang matanya bening seperti mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya! Bagi seorang ahli kesaktian, hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa kakek ini telah mencapai tingkat ilmu yang amat tinggi, karena hanya orang yang memiliki sinkang (hawa sakti) yang amat kuat saja yang bisa mempunyai sepasang mata seperti itu.
Dengan pandang mata penuh kagum kakek itu memandang ke depan, lalu ke kanan kiri, dengan sinar matanya seolah-olah dia menyantap dan menikmati segala keindahan yang diciptakan oleh sinar keemasan sang surya itu. Kemudian dia menggelengkan kepalanya dan bibirnya bergerak-gerak, mengeluarkan kata-kata lirih.
"Ya Tuhan Yang Maha Kasih! Sampai sedemikian besarkah kasihMu terhadap seorang penuh dosa seperti aku? Berhakkah aku menikmati semua ini? Aaaahhh, tidak mungkin! Thian (Tuhan) hanya melimpahkan ganjaran kepada orang yang sudah berjasa di dalam hidupnya. Guruku dahulu mengatakan dalam pesannya bahwa aku harus berbuat jasa terhadap manusia dan dunia. Apakah jasaku selama aku hidup? Tidak ada! Hanya mala petaka yang menjadi akibat dari semua perbuatanku! Dan semua itu karena aku pandai ilmu silat, karena... karena Siang-bhok-kiam (pedang Kayu Harum) ini! Aaahhh, Tuhanku! Aku tidak akan mengelak dari pada kenyataan. Aku rela dan siap sedia untuk menerima hukuman-hukumannya. Tidak mungkin aku membebaskan diri dari pada belenggu karma. Aku tidak berhak menikmati kemurahan dan kasihMu, ya Tuhan....!"
Kata-kata terakhir kakek itu bercampur isak tertahan dan dia lalu memejamkan kembali kedua matanya seolah-olah dia tak mengijinkan matanya memandangi segala keindahan yang terbentang luas di depannya. Keadaan menjadi sunyi kembali. Sunyi sama sekali?
Tidak! Terdengar kicau burung pagi, riak air di belakang batu pedang, dan desau angin menghembus lewat mempermainkan daun-daun pohon. Paduan suara ini seakan-akan mengejek kakek itu, seolah-olah menertawakan kebodohan dan kebutaan manusia.
Tuhan Maha Kasih tidak membeda-bedakan. Siapa pun dia yang bersedia, pasti akan menerima uluran kasihNya, seperti cahaya matahari pagi yang tidak memilih-milih siapa yang akan disinarinya. Kasih sayang Tuhan merata, tanpa perbedaan, tidak dikotori dosa manusia, besar kecilnya kasih yang dilimpahkan tergantung dari pada rasa penerimaan si manusia sendiri!
Tiba-tiba terjadi perubahan pada paduan suara itu. Kicau burung yang tadinya merdu, kini berubah cecowetan penuh kejut dan takut, tanda bahwa terjadi sesuatu yang tak wajar di tempat itu. Kemudian muncullah bayangan orang-orang yang berkelebat cepat. Gerakan mereka tangkas bagaikan burung-burung raksasa dan dalam sekejap mata saja sembilan orang telah membentuk lingkaran kipas di hadapan kakek yang bersemedhi dalam jarak kurang lebih sepuluh meter.
Kenyataan bahwa sembilan orang ini dapat mendaki puncak, ditambah dengan gerakan mereka tadi, tentu saja mereka ini bukanlah orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika mereka berlompatan di depan kakek itu, kaki mereka tidak menimbulkan suara seperti kaki burung hinggap di atas dahan.
Mereka berdiri tak bergerak, akan tetapi dalam keadaan siap siaga, memasang kuda-kuda dengan gaya masing-masing, seluruh urat saraf menegang, pandang mata ditujukan ke arah kakek dan pedang yang tergeletak di depannya. Pandang mata yang menyapu wajah kakek itu mengandung benci yang mendalam, ada pun ketika pandang mata menyapu pedang, kebencian berubah menjadi rasa kepingin yang tak disembunyikan.
Meski kedatangan sembilan orang sakti itu hanya ditandai dengan perubahan pada kicau burung, ternyata sudah diketahui oleh kakek tua renta yang sedang duduk bersemedhi. Dia membuka kedua matanya dan menyapu dengan pandang matanya ke arah sembilan orang yang berdiri mengurungnya dalam bentuk lingkaran kipas. Mulutnya tersenyum, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa heran seolah-olah kedatangan mereka itu memang telah diduganya.
Ada pun sembilan orang itu pada saat bertemu pandang sedetik dengan sapuan matanya, langsung menjadi terkejut dan bergidik. Mereka temukan pandang mata itu saja cukup memperingatkan mereka bahwa kakek yang mereka kunjungi ini makin tua makin ampuh kesaktiannya.
"Sie Cun Hong...! Aku datang untuk menerima pedangmu sebagai pengganti nyawamu yang semestinya kukirim ke neraka agar dendam hatiku terhadapmu lunas!"
Kakek itu menoleh ke kanan karena yang berbicara ini adalah orang yang berdiri paling kanan dalam lingkaran kipas itu. Bibirnya tersenyum lebar memperlihatkan mulut ompong tak bergigi lagi, seperti senyum seorang bayi yang belum bergigi.
Wanita yang menyebut namanya yang sudah bertahun-tahun tak pernah didengarnya itu adalah seorang nenek yang usianya paling sedikit sudah tujuh puluh tahun. Rambutnya sudah hampir putih semuanya, digelung kecil ke atas dengan tusuk konde perak.
Wajahnya masih belum kehilangan raut dan bentuk yang manis, hanya mulut yang tentu dahulunya amat indah manis itu kini agak ‘nyamprut’ karena tidak bergigi lagi. Tubuhnya yang dahulunya pasti tinggi semampai itu kini agak membongkok dan kurus. Pakaiannya sederhana dan berwarna hijau. Dari depan, tampak gagang pedang tersembul dari balik pundak kanannya.
"Heiii, bukankah engkau Lu Sian Cu? Ahh, tubuhmu mungkin sudah menjadi tua, namun semangatmu benar-benar masih muda, Sian Cu! Engkau mendendam kepadaku dan kini menghendaki pedang Siang-bhok-kiam sebagai pengganti jiwaku? Eh, dalam hal apakah engkau mendendam kepadaku?"
"Keparat tua bangka! Jangan kau kira akan dapat mendesakku dengan pertanyaan untuk membikin aku malu. Aku sudah tua, dan semua yang hadir itu adalah tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, tidak perlu malu aku mengaku! Puluhan tahun yang lalu engkau telah mempergunakan kepandaianmu menggagahi dan memperkosaku. Dendamku kepadamu setinggi langit!"
Kakek itu tertawa, kemudian mengangguk-angguk. "Benar, betapa cepatnya sang waktu meluncur. Pada waktu itu engkau baru berusia kurang dari tiga puluh tahun, dan engkau terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang selain lihai juga amat cantik dan terutama sekali amat angkuh sehingga engkau menolak semua pinangan pria, membuatmu masih perawan dalam usia hampir tiga puluh. Aku pun ketika itu masih muda, belum lima puluh tahun. Aku tergila-gila kepadamu, menggunakan kepandaian memasuki kamarmu dan memperkosamu. Akan tetapi, heh,Lu Sian Cu! Lupakah engkau betapa engkau kemudian menerimaku dengan penuh kehangatan, betapa engkau menangis dan merengek-rengek ketika hendak kutinggalkan? Lupakah engkau betapa engkau sama sekali tidak menaruh dendam atas perbuatanku yang juga menyenangkan hatimu itu? Mengapa kini engkau membalik dan memutar lidah?"
"Cih, laki-laki tak berjantung! Setelah perbuatan kejimu itu, bagaimana aku masih dapat menerima pria lain? Aku telah menyerahkan raga dan jiwa, akan tetapi engkau menolak dan meninggalkanku pergi! Engkau sudah mempermainkan cintaku. Seharusnya engkau menjadi suamiku, akan tetapi engkau bahkan mengejek dan minggat. Keparat, dendamku sedalam lautan setinggi langit!"
"Ha-ha-ha, engkau mau menang sendiri, Sian Cu. Dahulu pun kau sudah tahu bahwa aku adalah seorang yang selalu ingin bebas, bebas dari golongan, bebas dari segala ikatan termasuk ikatan rumah tangga! Memang aku telah berbuat jahat, memperkosamu, namun kita berdua, engkau dan aku, telah menikmatinya bersama dan hal yang menyenangkan orang lain mana bisa kau sebut sebagai hal yang menyakitkan hati orang itu?"
"Sie Cun Hong! Tidak perlu banyak cakap lagi. Serahkan pedangmu itu atau serahkan nyawamu!" Sambil berseru demikian, nenek itu kemudian mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan.
Senjata ini berupa cambuk warna hitam, akan tetapi bukan sembarang cambuk karena pada ujungnya terpecah menjadi sembilan dan di setiap ujung diberi baja pengait seperti mata kail. Inilah senjata cambuk sembilan ekor yang sudah membuat nama nenek ini tersohor di dunia kang-ouw, karena jarang ada lawan yang dapat bertahan menghadapi senjatanya yang istimewa itu.
Dan senjata itu pulalah yang membuat nenek ini dijuluki Kiu-bwe Toanio (Nyonya Besar Berekor Sembilan), sebuah nama besar yang ditakuti para penjahat, seorang pendekar wanita tua yang ganas dan keras hati terhadap penjahat. Telah puluhan tahun lamanya ia dikenal sebagai Kiu-bwe Toanio dan baru sekarang tokoh-tokoh lain yang hadir di sana mendengar namanya disebut oleh kakek itu, yaitu Lu Sian Cu!
"Tar-tar-tar...!" Cambuk hitam itu melecut-lecut di udara dan mengeluarkan suara nyaring meledak-ledak. "Sie Cun Hong! Apakah engkau masih membandel dan tetap tidak mau menyerahkan pedangmu?"
"Ha-ha-ha, engkau masih bersemangat dan galak. Tubuhku sudah tua, semangatku pun sudah melempem, apa bila kau hendak menolongku bebas dari tubuh tua dan dunia ini, nah, lakukanlah, Lu Sian Cu!"
Nenek itu mengeluarkan suara teriakan melengking panjang, lengking yang memekakkan telinga, yang mengandung rasa duka, kecewa, menyesal dan benci karena cinta ditolak. Cambuknya menyambar ke depan sehingga tiga buah di antara sembilan ekor itu sudah meluncur ke arah sepasang mata dan ubun-ubun kepala kakek itu masih duduk bersila, kini tangan kirinya diangkat, jari-jari tangannya bergerak menyentil tiga kali.
"Tring-tring-tringgg....!"
"Aiiihhh.....!" Kiu-bwe Toania menjerit dan hampir saja ia melepaskan cambuknya karena tiga buah ekor cambuk yang terkena sentilan kuku jari tangan kakek itu secara mendadak membalik dan menerjangnya pada tiga buah tempat, yaitu ke arah buah dada dan pusar.
Selain ini, juga senjata itu keras sekali, membuat telapak tangannya yang memegang gagang cambuk terasa panas dan pedas. Dengan loncatan ke belakang sambil memutar cambuknya, nenek ini berhasil menyelamatkan diri. Wajahnya menjadi merah sekali dan ia memaki sambil menudingkan cambuknya.
"Sie Cun Hong, dasar engkau tua-tua keladi makin tua makin... cabul!"
Kakek itu hanya tertawa-tawa saja, akan tetapi ketawanya berhenti ketika dari sebelah kiri terdengar suara yang menggetar penuh tenaga. "Omitohud....!"
Pada saat melihat bahwa yang kini maju adalah dua orang hwesio gundul yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, kakek itu memandang dengan sikap tenang tetapi penuh pertanyaan karena sesungguhnya dia tidak mengenal dua orang pendeta ini.
"Locianpwe betul-betul telah membuktikan betapa julukan Sin-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Sakti) adalah tepat karena tangan Locianpwe benar sakti!" kata seorang di antara dua orang pendeta yang alisnya putih dan tubuhnya kecil kurus.
Hwesio ke dua yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar hanya merangkap kedua tangan di depan dada sambil berulang-ulang memuji, "Omitohud...!”
Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong masih duduk bersila dan kini dia pun merangkap kedua telapak tangan di depan dada sebagai pemberian hormat. Menghadapi dua orang pendeta yang begitu lemah lembut, yang bersikap merendahkan diri sehingga mau menyebutnya locianpwe sebagai sebutan terhadap golongan tua tingkat atas, dia menjadi waspada dan hati-hati. Orang yang sombong takabur tidak perlu dikhawatirkan atau ditakuti, akan tetapi terhadap orang-orang yang lemah-lembut dan sikapnya halus, haruslah hati-hati karena orang-orang yang kelihatannya lemah sesungguhnya merupakan lawan yang berat.
"Ahh, berat sekali menerima pujian ji-wi (tuan berdua) yang sesungguhnya kosong penuh angin. Aku yang tua menjadi sadar akan usiaku yang sudah terlalu tua, karena biasanya kedatangan para hwesio seperti ji-wi adalah untuk menyembahyangi orang yang sudah mau mati atau orang yang sudah mati agar nyawanya dapat diterima di tempat yang baik. Siapakah gerangan ji-wi dan apa maksud kehadiran ji-wi ini di Kiam-kok-san?"
"Omitohud...! Kami berdua hanyalah hwesio-hwesio kecil tak berarti yang menjadi utusan Siauw-lim-pai untuk menemui Locianpwe."
"Ah, kiranya dari perguruan tinggi Siauw-lim-pai...! Sungguh merupakan kehormatan yang besar sekali!" Kakek itu berkata tercengang.
"Pinceng Thian Ti Hwesio dan dia ini adalah Sute (adik seperguruan) Thian Kek Hwesio, mewakili suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai untuk mohon kepada Locianpwe supaya suka menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada kami. Suhu mohon agar Locianpwe ingat betapa Siauw-lim-pai telah bersikap sabar dan tidak menuntut ketika Locianpwe pada tiga puluh tahun yang lalu mencuri kitab-kitab Seng-to Ci-keng (Kitab Perjalanan Bintang) dan I-kiong Hoan-hiat (Kitab Pelajaran Memindahkan Jalan Darah). Mengingat akan itu suhu pecaya bahwa Locianpwe kini dalam saat terakhir akan membalas kebaikan Siauw-lim-pai dan menyerahkan Siang-bhok-kiam supaya semua ilmu yang tersimpan di dalamnya tidak akan terjatuh ke tangan yang sesat dan dipergunakan untuk mengacau dunia!"
"Aha, ternyata ji-wi adalah murid-murid Tiong Pek Hosiang? Kalau begitu ji-wi merupakan tokoh-tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai! Kehormatan besar sekali bagiku. Guru ji-wi memang sejak dahulu halus dan sopan santun, namun cerdik sekali. Memang aku telah mengambil dua buah kitab yang ji-wi maksudkan, dan hal itu kulakukan karena Tiong Pek Hosiang terlalu pelit untuk meminjamkannya kepadaku. Siauw-lim-pai agaknya telah lupa bahwa pada waktu mendiang Tat Mo Couwsu yang bijaksana menyalin dan memperbaiki kitab-kitab dari barat, adalah dengan maksud agar kitab-kitab itu dapat dipelajari semua manusia hingga umat manusia dapat menjadi kuat lahir batinnya. Akan tetapi oleh pihak Siauw-lim-pai ilmu-ilmu itu dipendam dan disembunyikan, hanya sebagian dari ilmu-ilmu yang dimiliki oleh guru lalu diturunkan kepada murid-murid. Dengan demikian, bukankah ilmu-ilmu itu semakin lama semakin berkurang dan menjadi rendah nilainya? Walau pun dua buah kitabnya kuambil, namun Siauw-lim-pai telah memiliki ilmunya. Kitabnya hanya merupakan catatan saja, dengan pindahnya kitab ke tanganku, Siauw-lim-pai sebenarnya tidak kehilangan apa-apa. Ilmu kepandaian dapat dibagi-bagikan sampai kepada selaksa orang manusia tanpa mengurangi sumbernya. Mengapa begitu pelit dan ji-wi menuntut tentang dua buah kitab pelajaran? Tidak, aku tidak dapat memberikan Siang-bhok-kiam, kecuali kepada dia yang berjodoh."
"Omitohud!" Hwesio tinggi besar Thian kek Hwesio melangkah maju sambil membentak keras.
Sekarang hwesio itu membelalakkan matanya memandang Sin-jiu Kiam-ong, dan ternyata kedua matanya lebar sekali. Wajahnya membayangkan kekasaran dan kejujuran seperti wajah Thio Hwie, tokoh pahlawan dalam cerita Sam Kok.
"Locianpwe agaknya menghendaki kami pun menggunakan cara Locianpwe sendiri. Tidak boleh meminjam kitab-kitab lalu mempergunakan kepandaian mendapatkan kitab-kitab itu. Kini kami minta baik-baik tidak Locianpwe berikan, apakah berarti bahwa kami juga harus menggunakan kepandaian untuk mendapatkan pedang Siang-bhok-kiam itu?"
Sin-jiu Kiam-ong memandang hwesio itu sambil tersenyum, pandang matanya bersinar gembira. Orang yang keras dan jujur selalu mendapatkan rasa suka di hatinya, karena orang yang demikian itu lebih mudah dihadapi. Ia mengangguk dan menjawab,
"Kalau seperti itu wawasanmu, maka benarlah demikian agaknya."
"Hemm, bagus! Sin-jiu Kiam-ong terkenal sebagai ahli pedang ahli lweekang, tapi pinceng sedikit-sedikit juga telah berlatih selama puluhan tahun!" Setelah berkata demikian, Thian Kek Hwesio membalikkan badannya dan dengan gerakan kokoh kuat, lengan kanannya yang besar itu lalu mendorong dengan pukulan ke depan, ke arah sebatang pohon yang jaraknya ada tiga meter dari tempat dia berdiri.
Sambaran angin pukulan yang dahsyat membuat batang pohon tergetar, daun-daunnya seperti dilanda angin topan, dan berhamburanlah daun-daun yang rontok ke atas tanah seperti hujan! Andai kata manusia diserang dengan pukulan jarak jauh seperti ini, pastilah tulang-tulangnya akan remuk, dan rontok isi dadanya!
Namun Sin-jiu Kiam-ong tersenyum lebar menyambut demonstrasi tenaga sinkang yang mencapai tingkat tinggi itu. "Ha-ha-ha! Membangun itu amat sukar, tapi merusak amatlah mudahnya. Memang manusia adalah perusak terbesar di antara segala makhluk! Thian Kek Hwesio, untuk merusak dan merobohkan pohon itu sampai ke akar-akarnya adalah hal yang mampu dilakukan semua orang, akan tetapi dapatkah engkau membuat sehelai daun saja? Hemm, biarlah kucoba mengembalikan daun-daun itu ke tempatnya, sungguh pun tak mungkin dapat kembali seperti asalnya karena kekuasaan itu hanya dimiliki oleh Thian!"
Sin-jiu Kiam-ong yang masih duduk bersila itu menggerakkan kedua tangannya ke depan, ke arah daun-daun yang jatuh berhamburan ke atas tanah tadi dan... bagaikan ada angin puyuh, secara tiba-tiba semua daun itu bergerak, berputar-putar dan terbang naik ke atas pohon kemudian menempel sejadinya pada cabang-cabang dan ranting-ranting, ada yang gagangnya menancap, ada yang melekat pada batang pohon, akan tetapi tidak ada yang rontok lagi ke bawah!
Melihat ini, Thian Kek Hwesio, menjadi agak pucat wajahnya dan maklumlah dia bahwa tingkat kekuatan sinkang kakek tua renta itu jauh lebih tinggi dari padanya. Ia melangkah mundur sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada dan menggumam,
"Omitohud...!"
"Maaf, sute-ku dan pinceng melupakan kebodohan sendiri!" kata Thian Ti Hwesio dan si hwesio kurus ini sekarang menggerakkan kedua tangan ke depan, ke arah pedang kayu yang tergeletak di depan kaki Sin-jiu Kiam-ong dan... pedang itu tiba-tiba melayang naik seperti tersedot besi sembrani lalu terbang ke arah kedua tangan tokoh Siauw-lim-pai itu.
Semua tokoh yang berada di situ tahu belaka bahwa kekuatan sinkang hwesio alis putih ini jauh lebih tinggi dari pada kekuatan sute-nya. Sin-jiu Kiam-ong bahkan mengeluarkan suara memuji,
"Bagus! Siang-bhok-kiam, sebelum kuijinkan, kau tidak boleh berganti majikan. Sekarang kembalilah!"
Dia menggapaikan tangan kirinya dan... pedang kayu yang sudah terbang ke arah kedua tangan Thian Ti Hwesio itu tiba-tiba berputaran lalu membalik, melayang ke arah Sin-jiu Kiam-ong!
Thian Ti Hwesio menjadi penasaran sekali. Dia segera menambah kekuatan pada kedua lengannya, bahkan tubuhnya agak merendah ketika dia menggerakkan kedua tangan ke arah pedang. Siang-bhok-kiam kembali berputaran di udara seolah-olah bimbang hendak terbang kemana, akan tetapi akhirnya terbang kembali ke Sin-jiu Kiam-ong dan jatuh ke depan kakek itu di tempatnya yang tadi.
Thian Ti Hwesio mengusap peluh pada keningnya, lalu menjura sambil merangkap kedua tangan di depan dada.
"Sin-jiu Kiam-ong makin tua semakin gagah, tepat seperti apa yang sudah diperingatkan suhu kami. Siancai....siancai....!"
"Thian Ti Hwesio terlalu memuji," kata Sin-jiu Kiam-ong.
"Orang she Sie! Kalau lain orang menghormatimu, aku Sin-to Gi-hiap tidak! Aku sudah mengenal isi perutmu! Aku adalah seorang dari golongan pendekar, termasuk kaum benar dan bersih, bagaimana aku dapat berdiri sederajat dengan engkau seorang tokoh sesat dan kotor? Aku bilang bukan untuk minta-minta diberi Siang-bhok-kiam, melainkan untuk memenggal kepalamu dan merampas pedangmu!"
Sin-jiu Kiam-ong memandang orang yang berbicara dengan suara keras itu. Dia adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih berdiri tegak dan tegap, wajahnya membayangkan kegagahan dan ketampanan. Sebatang golok telanjang mengeluarkan cahaya berkeredepan berada di tangan kanannya, pakaiannya ringkas dan sederhana, berwarna kuning bersih.
"Ehhh, kiranya Sin-to Gi-hiap (Pendekar Budiman Bergolok Sakti) yang datang? Bagiku, tidak ada permusuhan dengan seorang pendekar budiman seperti engkau. Kenapa engkau datang-datang memaki orang?"
"Lidah ular! Isteriku telah meninggal dunia, namun dendamnya dan dendamku kepadamu tidak akan lenyap sebelum golokku berhasil memenggal lehermu! Biarlah disaksikan oleh para orang gagah di sini yang mendengarkan pengakuanku, karena aku bukan seorang pengecut. Pada lima puluh tahun yang lalu, dengan kepandaianmu merayu engkau sudah mengganggu isteriku dan memaksanya melakukan hubungan perjinahan denganmu. Lima puluh tahun yang lalu memang aku kalah terhadapmu, akan tetapi sekarang coba-coba kita buktikan! Bangkitlah dan lawan golokku!"
Sin-jiu Kiam-ong menudingkan telunjuknya ke arah hidung pendekar yang kini sudah tua itu. "Sin-to Gi-hiap, sebelum memaki orang kenapa tidak meraba hidungmu lebih dahulu? Dahulu aku memang melakukan hubungan cinta gelap dengan isterimu, akan tetapi apa salahnya hal itu kalau dia sendiri juga menghendakinya? Dan ketahuilah, aku sampai hati melakukan perbuatan itu karena mengingat betapa engkau mendapatkan isterimu yang cantik jelita itu dengan jalan merampas dan memaksa! Engkau mendapatkan dia dengan membunuh suaminya si perampok tunggal di Taibu, kemudian merampas isterinya yang cantik. Apakah kau sangka aku tidak tahu bahwa engkau membunuh perampok itu bukan sekali-kali akibat terdorong jiwa pendekarmu, melainkan terdorong nafsu birahimu melihat isterinya yang cantik? Engkau merampas wanita dengan jalan kekerasan, aku merampas cintanya dengan cara halus. Apa bedanya? Setidaknya, aku lebih berhasil mendapatkan cintanya!"
"Dasar keparat! Penjahat cabul engkau, jai-hwa-cat (pemetik bunga) yang tak tahu malu. Sebentar lagi engkau tentu mampus di sini dan biarlah nanti akan kubuatkan arca seorang jai-hwa-cat untuk ditaruh di atas makammu agar setiap orang dapat meludahinya!"
Setelah berkata demikian, Sin-to Gi-hiap kemudian meloncat ke arah sebuah batu gunung sebesar manusia, goloknya mendahuluinya merupakan sinar putih cemerlang, berkelebat dan menggulung-gulung di sekitar batu itu sehingga terdengar suara keras dan bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata.
Sesudah gulungan sinar berkilauan lenyap dan semua orang memandang ke arah batu di antara debu itu, kini tampaklah bahwa batu itu telah menjadi arca yang menggambarkan kepala Sin-jiu Kiam-ong! Biar pun kasar akan tetapi jelas tampak bahwa itu adalah arca si kakek tua renta yang kini duduk bersila sambil memandang arca itu dan tersenyum!
"Wah, makin hebat saja kepandaianmu, Si Golok Sakti! Akan tetapi bukan ilmu goloknya yang kumaksudkan, melainkan ilmu ukirannya! Sayang begitu kasar! Apakah tidak dapat diperhalus lagi? Biar kubantu engkau."
Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong lalu mengambil Siang-bhok-kiam yang masih menggeletak di depan kakinya, dan sekali dia memutar pedang kayu itu terdengar suara bercuit nyaring.
Segulung sinar hijau menyambar ke depan, ke arah patung, terus sinar itu mengelilingi arca batu kemudian terbang kembali ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Semua orang memandang dan... arca batu yang tadinya kasar, kini telah menjadi halus seperti digosok pisau tajam dan agak mengkilap indah!
"Kiam-sut (ilmu pedang) yang hebat, akan tetapi siapa takut? Lihat golok!" Sin-to Gi-hiap yang sudah marah sekali menerjang maju dengan goloknya.
Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan menggerakkan Siang-bhok-kiam, membuat gerak berputar mengelilingi golok lawan. Yang berputaran hanya sinar pedangnya, oleh karena kakek itu sendiri hanya duduk bersila dan jarak antara mereka masih jauh. Namun si Golok Sakti berteriak kaget dan cepat melompat mundur kemudian memandang ujung lengan bajunya yang sudah buntung!
"Kiam-ong masih pantas menjadi Kiam-ong (Raja Pedang)!" Terdengar suara memuji dan kini dua orang kakek yang berpakaian seperti petani, bersikap sabar tenang dan gagah, telah maju. "Namun sayang Kiam-ong hanya memajukan lahir tanpa mengingat kemajuan batin, sehingga kulitnya indah akan tetapi isinya busuk! Sin-jiu Kiam-ong, kami Hoa-san Siang-sin-kiam (Sepasang Pedang Sakti Hoa-san) menjadi utusan dari Hoa-san-pai untuk minta pertanggungan jawabmu terhadap dosa-dosamu. Engkau pernah mencuri seorang murid perempuan Hoa-san-pai, mencuri pedang pusaka, dan mencuri ramuan obat yang dibuat oleh Sucouw kami. Ketua kami akan berpikir untuk bersikap bijaksana melupakan dosa-dosamu terhadap kami kalau engkau suka menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam kepada kami!"
Kakek tua renta itu mengerutkan keningnya, akan tetapi senyumnya masih ramah ketika ia menjawab. "Bermacam-macam alasan yang dikemukakan dan bermacam-macam pula yang dipergunakan, tetapi sebenarnya mengandung maksud yang sama. Wahai Hoa-san Siang-sin-kiam, aku tidak menyangkal semua tuduhan Hoa-san-pai, memang aku pernah mencuri murid perempuan, pedang pusaka dan ramuan obat. Akan tetapi semua tokoh Hoa-san-pai tahu belaka bahwa murid perempuan Hoa-san-pai, mendiang Cui Bi yang cantik manis, dahulu pergi mengikuti aku secara suka rela dan berdasarkan cinta kasih, bukan karena kupaksa! Ada pun pedang pusaka Hoa-san-pai, hingga sekarang pun masih kusimpan bersama koleksiku yang lain, karena memang aku penyayang barang-barang pusaka. Tentang ramuan obat yang dibuat oleh mendiang Sucouw kalian, ha-ha-ha telah membuka rahasia sucouw kalian karena ternyata obat itu adalah obat perangsang bagi pria tua agar supaya dapat kembali bersemangat laksana seekor kuda jantan yang muda. Ha-ha-ha!"
Dua orang pendekar itu sejenak saling pandang, kemudian wajah mereka menjadi merah. Ucapan Sin-jiu Kiam-ong itu merupakan penghinaan bagi Hoa-san-pai, apa lagi kata-kata yang terakhir. Setelah saling memberi isyarat dengan pandang mata, kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu menggerakkan tangan dan…
"Singgg…!" tampak dua sinar berkelebat ketika mereka mencabut pedang mereka.
"Sin-jiu Kiam-ong, ucapanmu yang menghina ini telah menambah dosamu terhadap kami. Biar pun engkau memakai sebutan Raja Pedang, jangan kira bahwa kami dua saudara Coa jeri padamu. Hadapilah sepasang pedang sakti dari Hoa-san!" tantang Coa Kiu sambil melintangkan pedang, sedangkan adiknya, Coa Bu juga sudah siap dengan pedangnya.
Mereka ini masing-masing hanya berpedang tunggal, akan tetapi karena mereka ini kalau memainkan pedang bersama merupakan pasangan yang amat kompak dan hebat, maka kedua orang ini mendapat julukan Sepasang Pedang Sakti!
"Hemmm, aku selamanya tidak suka berbohong, dan ucapanku tadi hanya ucapan terus terang dan apa adanya, sama sekali tak ingin menghina siapa-siapa. Kalau kalian hendak memperlihatkan Siang-sin-kiam untuk menundukkan aku, maka kalian telah melamunkan hal yang bukan-bukan karena aku tak mudah ditundukkan oleh siapa pun juga, termasuk kalian orang-orang Hoa-san-pai!" Ucapan ini dikeluarkan dengan halus dan lunak, namun mengandung kekerasan melebihi baja.
Coa Kiu dan Coa Bu mengeluarkan seruan keras, pedang mereka segera berkelebat dan tahu-tahu telah menjadi sebuah gulungan cahaya tebal dan panjang, mengeluarkan suara bercuitan dan bayangan tubuh mereka lenyap tergulung sinar pedang yang menjadi satu. Dengan suara mencicit nyaring, mendadak gulungan sinar pedang ini melayang ke arah sebatang pohon dan pecah menjadi dua, lalu bagaikan mata gunting dua gulungan sinar ini menggunting batang pohon.
Tidak terdengar sesuatu dan tidak terjadi sesuatu, namun begitu gulungan sinar pedang itu melayang kembali ke tempatnya dan sinar pedang berubah kembali menjadi dua orang kakek Hoa-san-pai yang sudah berdiri berdampingan, tiba-tiba batang pohon itu tumbang dan tampak bekas pedang yang halus membuat batang pohon itu seolah-olah baru saja digergaji!
"Ha-ha-ha-ha, kalian ini pun bukan lain hanyalah kanak-kanak tukang merusak tanaman!" Sin-jiu Kiam-ong mentertawakan.
Kakek Coa Kiu dan Coa Bu marah sekali. “Sin-jiu Kiam-ong, beranikah kau mengahadapi pedang kami?"
"Mengapa tidak?"
"Lihat pedang!"
Dua orang kakek itu kembali menggerakkan pedang dan seperti tadi, dua gulungan sinar terang menjadi satu, menjadi gulungan yang amat kuat dan tiba-tiba saja terdengar suara mencicit keras ketika sinar pedang itu menyambar ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Kakek itu tertawa sambil menyambar pedang kayu di depan kakinya, lalu menggerakkan pedang kayu menusuk ke arah sinar pedang yang menyambarnya seperti kilat itu.
"Cing..cing..trang......!"
Gulungan sinar pedang yang berkelebat itu menjadi kacau gerakannya. Meski berkali-kali mengitari tubuh Sin-jiu Kiam-ong, berusaha membabat tubuh kakek itu, akan tetapi selalu terhalang sinar hijau dari pedang kayu, bahkan kemudian terdengar suara keras dan... sinar pedang yang tebal itu tiba-tiba pecah menjadi dua, yang satu terpental ke kanan yang lain ke kiri. Sinar pedang lenyap dan kedua orang kakek itu sudah berdiri dengan muka pucat. Ujung pedang mereka somplak sedikit.
Mereka saling pandang, lalu menghela napas panjang. Sebagai dua orang sakti mereka tidaklah nekat dan cukup maklum bahwa ilmu kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat kakek sakti itu. Mereka tahu diri, lalu kembali ke tempat tadi, memandang dengan mata penuh penasaran sambil menyimpan pedang masing-masing.
Sin-jiu Kiam-ong yang sudah menundukkan enam orang lawannya, kini menoleh kepada tiga orang yang masih belum bergerak dan belum mengeluarkan kata-kata, sampai saat itu hanya menonton saja.
Dia melihat seorang tosu tua yang tidak dikenalnya, dan seperti tadi ketika menghadapi dua orang Hwesio Siauw-lim-pai, dia tidak berani memandang rendah. Ada pun yang dua orang lain adalah sepasang suami isteri tua yang dia tahu dulu pernah dia jumpai, namun lupa lagi kapan dan dimana.
Karena dia menganggap tosu itu lebih penting, maka dia segera menghadapinya sambil bersila dan berkata, "Maaf, kalau aku tidak ingat lagi siapa gerangan Toyu ini, akan tetapi karena Toyu sudah membuang waktu dan datang ke sini, tentu juga membawa keperluan yang amat penting."
"Siancai..., Sin-jiu Kiam-ong yang sudah tua kiranya masih berwatak seperti orang muda, segan mengalah dan tidak mau menyesali dosa-dosa yang dilakukan di waktu mudanya sungguh patut disayangkan!"
"Ha-ha-ha-ha, Toyu mengeluarkan pernyataan yang amat lucu! Kalau benar dosa sudah dilakukan, apa gunanya hanya disesali? Lebih baik menyadarinya dan bersiap menerima hukumannya sebab berdosa atau tidak tergantung pada penilainya, sedangkan penilainya sendiri penuh dosa dan bergelimang nafsu mementingkan diri pribadi! Ehhh, Toyu yang baik, aku seorang yang mengutamakan kejujuran dan lebih menjunjung tinggi orang yang melakukan kesalahan namun berani mengakuinya dari pada orang yang pura-pura suci akan tetapi di dalam hatinya sangat kotor, tidak sama dengan yang keluar dari mulutnya. Karenanya, aku merasa senang sekali dengan ujar-ujar dalam agamamu, seperti ini…”
Kemudian Sin-jiu Kiam-ong mengucapkan ujar-ujar itu seperti melantunkan lagu,
“Langit tiada peri kemanusiaan segala benda dianggap sebagai korban.
Orang suci tiada peri kemanusiaan semua orang dianggap sebagai korban.
Ruang antara Langit dan Bumi tiada ubahnya seperti hembusan!
Kosong namun tak pernah berkurang
makin besar gerakan makin besar tiupan!
Banyak bicara sering kali menghamburkan tenaga
Lebih baik menjaga kejujuran!"
Orang suci tiada peri kemanusiaan semua orang dianggap sebagai korban.
Ruang antara Langit dan Bumi tiada ubahnya seperti hembusan!
Kosong namun tak pernah berkurang
makin besar gerakan makin besar tiupan!
Banyak bicara sering kali menghamburkan tenaga
Lebih baik menjaga kejujuran!"
"Sin-jiu Kiam-ong, selain kekanak-kanakan engkau pun masih mempunyai kesombongan! Menggunakan ayat suci kitab To-tik-kheng untuk menghantam seorang tosu seperti pinto (aku)! Sungguh amat menyebalkan. Kiam-ong, ketahuilah bahwa pinto adalah Kok Cin Cu, utusan dari Kong-thong-pai. Jangan engkau pura-pura lupa betapa dulu engkau pernah membunuh lima orang anak murid Kong-thong-pai. Kedatangan pinto ini hendak mewakili lima orang tua Kong-thong-pai untuk menagih hutang. Kami bukanlah orang-orang yang haus darah, akan tetapi sudah cukup adil kiranya kalau engkau menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam untuk menebus dosamu terhadap kami."
Sin-jiu Kiam-ong mengangguk-angguk. "Ahh, jadi Toyu ini seorang di antara Kong-thong Ngo-lojin (Lima Kakek kong-thong-pai) yang tersohor hebat sekali ilmu kepandaiannya, yang puluhan tahun lamanya melatih diri dan kini kabarnya mencapai tingkat yang sukar dicari bandingnya? Bagus, bagus! Kabarnya Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Langit Bumi) yang menjadi tiga datuk sesat terbesar di seluruh dunia, juga merasa jeri untuk mengganggu Kong-thong-pai karena ada kalian lima kakek sakti ini! Dan kini seorang di antara mereka memberi kehormatan kepadaku? Ha-ha-ha, Kok Cin Cu toyu, engkau ini kakek yang ke berapakah?"
"Yang empat lain adalah para suheng-ku (kakak seperguruan)".
"Ahhh, jadi yang termuda? Yang tua-tua agaknya masih enggan merendahkan diri, akan tetapi aku percaya yang termuda sekali pun tentu memiliki kesaktian luar biasa. Namun sayang, Toyu, aku tidak dapat menyerahkan pedang ini kepadamu."
"Kalau begitu, perhitungan lama harus diselesaikan dengan mengadu ilmu!"
"Begitukah wawasanmu Toyu? Agaknya Toyu masih belum tahu ataukah pura-pura tidak tahu kenapa dulu lima orang anak murid Kong-thong-pai tewas di tanganku? Kami telah bentrok di tempat judi! Aku yang sudah terkenal sebagai seorang pengejar kesenangan di waktu muda, tidak usah disebut-sebut lagi mengapa aku bisa berada di tempat judi, akan tetapi lima orang tosu muda Kong-thong-pai, main-main di tempat judi yang dilayani para pelacur? Apakah mereka itu berada di sana untuk berceramah tentang kebatinan? Ahh…, betapa banyaknya orang-orang yang pada lahirnya berpura-pura menjadi orang suci akan tetapi batinnya kotor melebihi orang-orang yang mereka anggap sesat dan jahat. Karena pernyataan dan teguranku, mereka marah dan kami berkelahi. Di dalam perkelahian ada yang menang dan ada yang kalah, yang menang hidup dan yang kalah luka atau mati, apakah yang aneh dalam hal itu? Kalau Toyu menganggapnya suatu penasaran dan kini hendak mengulang kesalahan mereka menantangku, terserah."
Wajah tosu itu menjadi merah, kemudian menjawab, suaranya kereng, "Sebagai seorang tokoh Kong-thong-pai, tak mungkin pinto mendengarkan keterangan dari satu fihak saja. Untuk minta keterangan anak murid kami yang tewas, tak mungkin lagi. Yang jelas, anak murid Kong-thong-pai selalu menjunjung kebenaran, sedangkan nama Sin-jiu Kiam-ong, siapa tidak mengenalnya dan mengetahui orang macam apa? Kami Kong-thong Ngo-lojin berkewajiban membela nama Kong-thong-pai. Sin-jiu Kiam-ong, bersiaplah dan mari kita mulai!"
"Engkau yang berniat mengadu ilmu, engkau pulalah yang mulai, Toyu. Aku sudah siap melayanimu!"
Tosu ini melangkah maju. Ia bertangan kosong dan dia menjura ke arah Sin-jiu Kiam-ong lalu berkata, "Pinto menghormat usiamu yang lebih tua. Karena dulu engkau membunuh lima orang murid Kong-thong-pai dengan tangan kosong, maka sudah semestinya kalau kini pinto juga menghadapimu dengan tangan kosong. Bila mana pinto kalah, biar lain kali kami dari Kong-thong-pai kembali lagi, apa bila engkau yang kalah, pinto akan membawa pergi Siang-bhok-kiam sebagai tebusan dosa!"
"Ha-ha-ha, dalam setiap perbuatan selalu tersembunyi pamrih, di mana-mana manusia sama, menjadi hamba nafsu pribadi. Silakan."
Tosu itu mengangkat kedua lengannya ke atas kepala, lalu kedua tangan yang dibuka jari-jarinya itu mengeluarkan suara berkerotokan dan tergetar hebat. Kedua tangan itu kini bentuknya seperti cakar naga, ada pun kulit tangan itu berubah menjadi kemerahan!
Inilah Ilmu Ang-liong Jiauw-kang (Ilmu Cakar Naga Merah) dari Kong-thong-pai yang telah sangat terkenal kedahsyatannya! Kabarnya, ilmu ini kalau sudah mencapai tingkat tinggi, menjadi amat hebat sehingga tangan berubah seperti baja panas. Tidak saja kuat untuk melawan senjata tajam lawan, juga kalau mengenai tubuh lawan menimbulkan luka-luka terbakar yang tak terobati lagi!
Dengan beberapa langkah, tosu tua itu sudah berada di hadapan Sin-jiu Kiam-ong, kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka digerakkan ke depan, mengarah kepala dan dada kakek yang duduk bersila dengan tenangnya itu.
"Bergeraklah! Lawanlah! Pinto bukan seorang pengecut yang menyerang orang yang tak mau melawan!" Kok Cin Cu berkata, suaranya nyaring, sedangkan dua tangannya sudah menggetar-getar amat hebatnya.
Sin-jiu Kiam-ong tersenyum lebar. "Kiranya Kong-thong Ngo-lo-jin masih ingat akan watak pendekar. Sungguh menyenangkan sekali. Akan tetapi sayang masih dikotori rasa tamak. Biarlah kusambut Ang-liong Jiauw-kang, karena inilah nama ilmumu, bukan?"
Sambil berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong segera mengulurkan sepasang lengannya dan sebelum tosu tua itu sempat bergerak, dia telah menempelkan kedua telapak tangan tosu yang kemerahan itu.
"Wesssss...!"
Sungguh luar biasa sekali. Begitu kedua telapak itu bertemu, terdengar suara seperti api membara bertemu benda basah dan tampak asap mengepul dari kedua pasang telapak tangan yang saling bertemu.
Tosu tua itu merendahkan tubuh sambil mengerahkan tenaga sinkang untuk memperkuat daya serang Ang-liong Jiauw-kang, namun sia-sia saja karena kedua telapak tangannya yang tadinya panas itu makin lama menjadi makin dingin, bahkan rasa dingin seperti salju mulai menerobos masuk melalui kedua telapak tangannya, menjalar dari telapak tangan ke atas!
Wajah tosu itu mulai berkeringat, matanya merah dan mulutnya terbuka karena nafasnya menjadi terengah-engah. Di lain pihak, Sin-jiu Kiam-ong masih tersenyum saja dan sama sekali tidak kelihatan lelah. Tahulah Kok Cin Cu bahwa kalau adu tenaga sinkang ini terus dilanjutkan, maka ia akan roboh binasa. Terpaksa tosu tua ini lalu menarik kembali kedua tangannya dan pada saat yang bersamaan, Sin-jiu Kiam-ong yang tidak ingin membunuh orang juga menarik kedua tangannya.
Kok Cin Cu melangkah mundur ke tempat semula. Tubuhnya menggigil dan sampai lama barulah dia dapat memulihkan keadaannya, lalu menjura dan membungkuk dan berkata dengan suara lemah,
"Sungguh hebat kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, terpaksa pinto mengaku kalah dan lain kali pinto akan datang kembali bersama para suheng."
Melihat kekalahan tosu tua Kong-thong-pai, kini suami isteri tua yang semenjak tadi hanya menonton, melangkah maju. Mereka itu berusia tujuh puluh tahunan, dan si suami segera menudingkan telunjuknya.
"Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah engkau pada kami suami isteri yang pernah mengalami penghinaan darimu?"
Kakek itu memandang kepada mereka, terutama kepada wanita tua yang berdiri tegak di samping suaminya, kemudian dia menjawab, "Pernah aku berjumpa dengan kalian, akan tetapi aku lupa lagi entah dimana. Yang sudah pasti, aku tidak pernah menganggu wanita itu, karena kalau hal itu terjadi, sampai kini pun aku tentu akan ingat dan mengenalnya."
Merah wajah wanita itu dan kini ia mendamprat, "Tua bangka berhati cabul!"
Akan tetapi suaminya cepat-cepat menyambung, "Sin-jiu Kiam-ong, dahulu kami memiliki perusahaan pengawal barang kiriman. Apakah engkau lupa kepada Hek-houw Piauwkiok (Perusahaan Pengawal Macan Hitam)?"
"Aha, sekarang aku ingat! Bukankah engkau adalah orang she Tan yang menjadi kepala piauwkiok itu? Dan isterimu yang dulu amat galak dan amat pandai menggunakan am-gi (senjata rahasia)? Hemm, aku pernah merampas beberapa benda perhiasan indah yang kau kawal, perhiasan kiriman milik menteri keuangan kerajaan, bukan? Malah puterinya, ahh, masih ingat benar aku akan puteri menteri yang amat cantik manis itu, ia berkenan menemaniku di dalam hutan sampai dua hari dua malam! Aha, pengalaman yang takkan terlupakan olehku! Puteri yang cantik manis, dan dia memberikan tusuk konde dan tanda mata kepadaku. Tusuk konde dan perhiasan-perhiasan yang kurampas itu masih berada dalam kumpulan simpananku. Ehh…, Tan-piauwsu, kini engkau dan isterimu datang mau apakah?"
"Sin-jiu Kiam-ong, pada waktu muda engkau sudah melakukan segala macam kejahatan. Merampok barang milik pembesar tinggi, malah menodai puterinya, mencelakakan kami yang mengawal barang dan puteri. Masih hendak tanya mengapa kami datang? Rasakan pembalasan kami!" Piauwsu (pengawal barang) tua ini menutup ucapannya dengan satu gerakan tangan yang langsung diikuti oleh isterinya.
Cepat sekali gerakan tangan mereka dan tampaklah benda-benda kecil menyambar ke depan dan tahu-tahu suami-isteri itu menyerang Sin-jiu Kiam-ong dengan senjata-senjata rahasia mereka.....