Akan tetapi, akhirnya Ciauw In kalah. Cintanya kepada Sian Kim sudah terlalu mendalam sehingga tidak mungkin baginya untuk merubah perasaannya itu.
"Bagaimana, twako? Apakah sekarang kau membenciku? Kalau kau membenci dan ingin membunuhku, silakan, koko. Kau cabutlah pedangmu dan tusuk dadaku. Aku tidak akan melawan dan aku rela mati di dalam tanganmu."
Ciauw In diam saja, kemudian dengan napas sesak ia berkata,
"Sungguh tak kusangka sama sekali, moi-moi. Gu Ma Ong begitu jahat dan... karenanya aku membantu sumoi-ku untuk membunuhnya dan memukul hancur perkumpulannya."
Sian Kim menarik napas lega. Dia maklum bahwa pendirian pemuda ini terhadap dirinya tidak akan berubah, maka ia berkata,
"Justru karena mereka jahat maka aku meninggalkan perkumpulan itu. Harus kau ketahui bahwa setelah tamat belajar silat, baru aku kembali ke kota kelahiranku dan seperti telah kuceritakan dulu, ayahku tewas dalam tangan Hopak Sam-eng. Kemudian aku pergi ke Kiang-sin-ok untuk membalas dendam, tapi aku dikalahkan dan di kota Ban-hong-cun aku bertemu dengan Gu Ma Ong dan perkumpulan Hek-lian-pang. Tadinya mereka hendak menggangguku, akan tetapi aku dapat mengalahkannya, kemudian aku diangkat sebagai ketua dan Gu Ma Ong sendiri mengangkat aku sebagai anak angkatnya. Namun, setelah kulihat bahwa perkumpulan itu kurang baik, aku lalu meninggalkan mereka dan datanglah kau dan kedua adik seperguruanmu yang membasmi mereka!"
Untuk beberapa lama Ciauw In tak dapat mengeluarkan kata-kata. Hatinya menjadi amat bingung.
"Kalau begitu... kau... kau menaruh dendam kepada sumoi dan sute-ku dan juga padaku yang telah menewaskan ayah angkatmu dan menghancurkan perkumpulanmu?"
Sian Kim menyandarkan kepalanya pada dada Ciauw In dengan gaya memikat.
"Koko, bagaimana kau bisa berkata demikian? Kalau aku menaruh dendam kepadamu, mungkinkah aku bisa mencintamu? Tidak, aku tidak dendam kepadamu!”
"Dan juga tidak kepada sumoi dan sute-ku?"
Sampai lama Sian Kim tak dapat menjawab.
"Hal ini terus terang saja tak dapat kuputuskan sekarang. Kau tahu bahwa ayah angkatku itu amat baik terhadapku sehingga aku telah berhutang budi kepadanya. Kini ia dibunuh oleh sumoi-mu, maka... bagaimanakah aku harus bersikap kepadanya? Ahh, koko, hal ini jangan kita sebut-sebut dulu. Kalau saja sumoi dan sute-mu mau berlaku manis terhadap diriku, mungkin aku akan dapat melupakan urusan itu, karena bagaimana pun mereka itu adalah saudara-saudaramu, koko."
Ciauw In menarik napas.
“Mudah-mudahan kau dan mereka takkan terlibat permusuhan. Kau maafkanlah mereka, moi-moi."
Pada saat itulah Bong Hin dan Gui Im Tojin telah datang mendekat dan Bong Hin segera membentak,
"Orang-orang tak tahu malu! Kalian telah bertemu dengan kami, hendak menyerah secara baik-baik atau harus dirobohkan dengan senjata?"
Ciauw In dan Sian Kim melompat bangun dan melihat mereka berdua, Ciauw In terkejut sekali.
“Saudara Bong Hin!" ia berseru karena pernah bertanding kepandaian dengan jago muda dari Kun-lun-pai itu. "Apakah maksud kata-katamu?”
Bong Hin tersenyum sindir.
"Tidak kusangka bahwa Hoa-san Taihiap hanyalah seorang pemuda hidung belang yang lemah! Kau masih hendak bertanya lagi? Kau berserta perempuan tak tahu malu ini telah membunuh banyak orang gagah tanpa adanya alasan kuat, bahkan kalian sudah berani membunuh Hui Kok Losu dan Ma Sian Lo-enghiong. Lalu melarikan diri dan mengganggu gedung Ong Hwat Seng. Sungguh tak kusangka sama sekali.”
Sian Kim melangkah maju dan menuding dengan pedangnya yang tadi telah dicabut pada saat melihat kedatangan mereka.
"Orang sombong! Kau mengandalkan apamu maka kini berani membuka mulut secara sembarangan saja?"
Ada pun Ciauw In juga menjawab, “Saudara Bong Hin, sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, aku membantu Gu-siocia membasmi orang-orang jahat. Mengapa kau mencela?”
“Hm, bagus! Kalian sudah membunuh ketua Kim-houw-bun dan juga Lui-cin-tong tetapi berani menyatakan membasmi orang-orang jahat?!”
"Orang Kun-lun-pai!” Sian Kim membentak. "Urusanku dengan Kim-houw-bun merupakan urusan pribadi dan mereka itu mampus dalam sebuah pibu! Sudah layak seorang terluka atau mati dalam pertandingan silat, apa perlunya kau datang membuat ribut?”
Kini Gui Im Tojin, tosu (Pendeta To) yang tenang sikapnya itu berkata,
"Hek-lian Niocu, memang sudah jamak orang terbunuh di dalam sebuah pibu. Akan tetapi kalian berdua sudah menjatuhkan tangan kejam kepada orang-orang lain. Banyak anak buah Kim-houw-bun kau bunuh secara kejam. Apakah ini pun termasuk pibu?”
"Kami mempunyai permusuhan pribadi, apa hubungannya dengan kamu orang-orang dari Kun-lun-pai?”
“Tidak hanya kami, akan tetapi semua orang gagah mencela kejahatan kalian berdua, terutama kau sebagai ketua Hek-lian-pang yang terkenal jahat. Maka kami sengaja turun gunung membantu pemerintah untuk menangkap kalian. Menyerahlah dengan baik-baik kalau kalian tidak mau merasakan kelihaian kami dari Kun-lun-pai!" kata Bong Hin yang biar pun telah merasai kelihaian Ciauw In, akan tetapi dengan adanya paman gurunya, ia tidak merasa takut.
"Bangsat hina dina! Kaukira aku takut padamu,” Sian Kim berseru dan menerkam dengan pedangnya yang segera ditangkis oleh pedang Bong Hin.
Ciauw In tadinya ingin berdamai dengan orang-orang Kun-lun-pai itu. Akan tetapi melihat betapa pertempuran telah terjadi, terpaksa ia pun mencabut pedang untuk menjaga diri.
“Siancai, siancai, sungguh sayang Hoa-san Taihiap harus menderita kesesatan demikian jauhnya!" kata Gui lm Tojin sambil mengeluarkan tongkatnya yang berkepala naga. Inilah Liong-thouw Koai-tung atau Tongkat Iblis Kepala Naga yang membuat namanya tersohor untuk puluhan tahun lamanya.
“Sekali lagi, kau menyerahlah saja, anak muda!" katanya sambil menggerakkan tongkat kepala naganya.
Akan tetapi Ciauw In tidak mau banyak bicara lagi. Segera pemuda ini melangkah maju sambil memutar pedangnya. Pertempuran segera terjadi dengan hebatnya, dan terpecah menjadi dua rombongan, yakni Sian Kim melawan Bong Hin, sedangkan Ciauw In harus menghadapi Gui Im Tojin yang lihai.
Pertempuran antara Sian Kim dan Bong Hin berjalan luar biasa seru dan sengitnya oleh karena keduanya memang menggerakkan senjata dengan maksud membunuh. Bong Hin benci kepada Sian Kim setelah dia mendengar tentang riwayat yang kotor dari gadis baju hitam ini, maka senjatanya bergerak mengarah bagian yang mematikan. Sedangkan Sian Kim memang memiliki ilmu pedang yang ganas dan setiap serangan mengandung hawa maut bagi lawannya.
Ilmu kepandaian Bong Hin sudah terbukti kelihaiannya ketika dia maju ke panggung luitai (panggung adu silat) menghadapi lawan-lawannya hingga akhirnya ia berhasil dikalahkan oleh Ciauw In dengan susah payah. Kalau saja ia bertanding melawan Sian Kim dengan tangan kosong, agaknya akan amat sulit bagi Sian Kim untuk mendapatkan kemenangan.
Akan tetapi kini mereka bertempur dengan pedang. Meski sebagai murid kepala Bong Hin telah mewarisi ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat yang lihai, namun ketika menghadapi ilmu pedang Sian Kim yang amat ganas dan hebat itu, akhirnya ia terdesak juga!
Sian Kim tidak mau memberi hati pada lawannya. Pada suatu saat ia menyerang dengan gerak tipu Coan-jiu Cion-kiam (Lonjorkan Tangan Sembunyikan Pedang), yakni serangan yang tadinya dilakukan dengan pukulan tangan kanan dan dengan pedang tersembunyi di bawah lengan, akan tetapi secara tiba-tiba, dengan gerakan jari yang sangat cepat dan kuat, pedang itu meluncur keluar dari tempat persembunyian dan tidak menyerang ke arah dada yang dipukul tangan, akan tetapi secara tidak tersangka-sangka meluncur ke bawah menusuk pusar!
Bong Hin terkejut sekali melihat datangnya serangan yang ganas ini, dan karena kedua tangannya telah berada di atas dalam usaha menangkis pukulan tadi, maka tubuh bagian bawah menjadi kosong dan ia tak sempat menangkis lagi. Hanya dengan gerakan Yo-cu Hoan-sin (Burung Elang Memutar Badan) barulah dia dapat menghindar dari serangan pedang itu.
Tubuhnya berjungkir balik cepat sekali ke belakang dan dia cepat memasang kuda-kuda lagi untuk menghadapi lawannya yang sangat lihai itu. Kini ia bertempur dengan hati-hati sekali dan biar pun ia terus didesak, akan tetapi untuk sementara waktu ia dapat menjaga diri dengan baik sambil mengharapkan untuk segera mendapat bantuan dari susiok-nya.
Akan tetapi, pertempuran yang terjadi antara Gui Im Tojin dan Ciauw In juga berjalan dengan amat serunya sehingga pendeta itu tidak memiliki ketika sedikit pun juga untuk membantu murid keponakannya yang terdesak hebat.
Tadinya pendeta itu dan Ciauw In hanya bertempur dengan maksud mengalahkan lawan saja tanpa bermaksud membunuh. Akan tetapi setelah bertempur puluhan jurus, mereka maklum bahwa ilmu kepandaian mereka seimbang sehingga tak mungkin akan mendapat kemenangan tanpa mengeluarkan serangan-serangan yang paling lihai dan berbahava. Kini mereka bertempur dengan sungguh-sungguh, sedikit pun tidak mau mengalah lagi.
Gui Im Tojin merasa penasaran tidak mampu mengalahkan Hoa-san Taihiap yang meski pun berilmu tinggi tetapi setidaknya mempunyai tingkat yang lebih rendah dari padanya. Gui Im Tojin merasa malu kalau tidak dapat mengalahkan Ciauw In, maka ia lalu berseru keras dan tongkatnya berputar-putar mengeluarkan angin keras.
Ia lantas mengeluarkan ilmu silat Hok-thian Hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi), yakni semacam ilmu pukulan yang menjadi kepandaian khusus dari ilmu tongkatnya dan yang hanya dimengerti dan dipelajari oleh tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat atas saja.
Ciauw In merasa kagum dan terkejut melihat perubahan serangan ini, dan dia pun segera terdesak mundur. Baiknya Hoa-san Kiam-hoat memang mempunyai gerakan yang cepat dan bagian pertahanannya amat kokoh kuat, maka ia dapat menjaga diri sungguh pun serangan lawan yang mainkan Hok-thian Hok-te ini membuat dia sukar untuk mengirim serangan balasan.
Kalau tadi yang digunakan oleh Gui Im Tojin untuk menyerang hanya ujung tongkatnya saja, sedangkan bagian gagang yang berkepala naga hanya untuk menangkis, adalah kini pendeta itu memutar-mutar tongkatnya sedemikian rupa hingga kedua ujung tongkat terputar dan bergantian melancarkan penyerangan kilat yang dilakukan dengan dorongan tenaga lweekang sepenuhnya hingga tiap kali ujung tongkat menyapu dekat tanah, debu mengebul ke atas karena sambaran angin tongkat!
Ciauw In mempertahankan diri sebisa mungkin. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya amat lemas dan lemah, serta timbul keinginan keras untuk mencium harum yang timbul dari sapu tangannya!
Keinginan ini datangnya demikian tiba-tiba dan hebat, dan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas serta semangat tempurnya menjadi berkurang! Akan tetapi lawannya yang tangguh itu tidak memberi kesempatan padanya untuk mengeluarkan sapu tangan hijau dan menciumnya!
Sementara itu, Sian Kim sudah dapat mendesak Bong Hin ke satu sudut di mana tumbuh banyak pohon. Dengan serangan yang ganas dan cepat, dia membuat pemuda itu kini hanya kuat menggerakkan pedang menangkis saja dan karena ia merasa sibuk sekali, gerakan kakinya menjadi tidak tetap. Tiba-tiba dia berseru keras karena ketika bergerak mundur itu kakinya tersandung sebuah akar pohon yang melintang di belakangnya.
Pada saat itu pedang Sian Kim menyambar ke arah leher, maka terpaksa ia mendorong tubuh ke belakang sehingga tak dapat dicegah lagi, karena kedua kakinya terganjal akar, ia lalu roboh terguling ke belakang. Sebelum ia sempat melompat bangun, Sian Kim telah menerkam dengan pedangnya dan…
"Ceppp!" pedang itu menembus ulu hati Bong Hin yang tewas pada saat itu juga!
Setelah berhasil menewaskan Bong Hin, Sian Kim dengan mata beringas cepat berbalik. Dia melihat betapa Ciauw In sedang didesak hebat dan agaknya pemuda itu menjadi bingung sekali. Dia lalu berseru keras.
"Jangan kuatir, koko! Aku akan membantumu membikin mampus tosu siluman ini!"
Ia lalu menerjang Gui Im Tojin sehingga Ciauw In mendapat ketika untuk mencabut sapu tangan hijaunya dan menciuminya berulang-ulang! Aneh, tiba-tiba tubuhnya yang lemah tadi menjadi segar kembali dan kegembiraan serta semangatnya timbul. Ia maju lagi dan sebentar saja keadaan menjadi terbalik. Kini Gui Im Tojin yang terdesak hebat oleh kedua orang muda yang memiliki ilmu pedang luar biasa itu!
Saat melihat keadaan Ciauw In, diam-diam Sian Kim merasa terkejut sekali. Tanda-tanda yang diperlihatkan oleh pemuda tadi menunjukkan bahwa racun yang keluar dari sapu tangannya itu sudah mulai menyerang jantung dan paru-paru Ciauw In!
Akan tetapi, ia tak sempat memikirkan hal ini oleh karena perhatiannya harus dikerahkan untuk mendesak tosu yang benar-benar tangguh itu. Keroyokan Ciauw In dan Sian Kim benar-benar tidak boleh dipandang ringan dan kalau saja yang dikeroyok bukan Gui Im Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang besar, jarang ada orang dapat menghadapi mereka sampai demikian lama!
Akan tetapi, sesudah bertahan sepanjang lima puluh jurus, perlahan-lahan pendeta tua ini merasa lelah juga dan terdesak makin hebat. Pada saat Ciauw In menyerangnya dengan gerak tipu Angin Taufan Meniup Rumput dan pedang itu membabat dengan cepatnya dan berkali-kali ke arah kaki pendeta itu, Sian Kim membarengi dengan gerak tipu Elang Sakti Menyambar Ular, yakni serangan yang dilakukan dengan lompatan tinggi dan pedangnya menyambar-nyambar arah kepala Gui Im Tojin.
Diserang sekaligus dari atas dan bawah oleh pedang yang gerakannya demikian cepat, Gui Im Tojin merasa sibuk juga. Ia bisa menggunakan tongkatnya untuk memukul pedang Ciauw In sekerasnya sehingga pedang pemuda itu terlepas dari pegangan, akan tetapi pedang Sian Kim berhasil membacok lehernya sampai hampir putus! Gui Im Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang ternama itu lantas roboh tanpa dapat berteriak lagi dan tewas pada saat itu juga.
Akan tetapi, berbareng dengan robohnya Gui Im Tojin, Ciauw In yang pedangnya telah terpental, juga terhuyung-huyung ke belakang dan segera ia mencabut sapu tangan hijau dan didekapnya di muka hidung lalu disedotnya keras-keras seakan-akan seorang yang tadinya tenggelam ke dalam air mendapat hawa udara baru! Kesehatannya kembali pula dan ia baru memungut pedangnya.
Sian Kim menghampiri Ciauw In dan melihat betapa pucat wajah pemuda itu. Tiba-tiba gadis ini merasa terharu dan amat berduka! Entah dari mana timbulnya perasaan ini, akan tetapi dia yang tadinya sengaja hendak meracun pemuda itu, dengan girang melihat betapa Ciauw In masuk ke dalam perangkapnya, akan tetapi sekarang setelah berkali-kali pemuda itu membelanya dan melihat betapa racun pada sapu tangan itu mulai bekerja, tiba-tiba ia merasa tidak tega, merasa kasihan dan takut ditinggal mati oleh Ciauw In! Ia menubruk Ciauw In, merangkulnya sambil menangis terisak!
Ciauw In memandang dengan mata terbelalak heran.
"Moi-moi, kau kenapakah? Apakah kau terluka?"
Akan tetapi Sian Kim tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala dan tetap menangis di pundak pemuda itu.
"Moi-moi, jangan kau kuatir," berkata Ciauw In yang menyangka bahwa gadis itu merasa kuatir dimusuhi sekian banyaknya orang gagah, “selama aku masih hidup, aku tidak akan membiarkan siapa pun juga menghinamu!”
Mendengar ucapan ini, jantung Sian Kim bagaikan diiris-iris rasanya. Ia menjadi semakin sedih dan didekapnya dada pemuda itu sambil mengeluh.
"Koko... koko...”
Ciauw In menggandeng tangan Sian Kim, lalu diajak pergi dari tempat itu, meninggalkan mayat kedua orang tokoh Kun-lun-pai yang tewas dalam tangan mereka itu…..
********************
Kita lihat keadaan Bwee Hiang dan Ong Su, dua adik seperguruan Ciauw In yang kembali ke Hoa-san untuk melaporkan hasil pertemuan besar di Kui-san kepada Ho Sim Siansu, guru mereka.
Bwee Hiang di sepanjang jalan nampak bermuram durja, tanda dari kemurungan hatinya yang benar-benar merasa sedih melihat keadaan Ciauw In, suheng yang ia cinta itu. Atas permintaan Bwee Hiang, keduanya berhenti dulu di Ban-hong-cun, tempat di mana dulu mereka berdua bersama Ciauw In mengobrak-abrik sarang Hek-lian-pang.
Bwee Hiang masih merasa penasaran dan hendak mencari keterangan kalau-kalau ketua Hek-lian-pang yang baru sudah berada di sana untuk sekalian dibasmi. Mencabut pohon busuk harus dengan semua akar-akarnya, demikian pendiriannya.
Dan di kota ini mereka berdua mendengar sesuatu yang membuat keduanya lantas saling pandang dengan muka pucat. Ternyata, dari penuturan penduduk di kota Ban-hong-cun yang sangat berterima kasih kepada mereka, bahwa yang menjadi ketua baru atau anak mendiang Gu Ma Ong yang mereka tewaskan, bukan lain adalah Gu Sian Kim!
"Celaka! Kalau begitu siluman perempuan itu tentu tak bermaksud baik terhadap suheng!” kata Bwee Hiang dengan muka pucat.
"Kita harus susul mereka!" kota Ong Su yang merasa amat kuatir akan nasib suheng-nya.
Akan tetapi Bwee Hiang membantahnya.
"Tak perlu! Jika memang Sian Kim berniat buruk, kenapa kepada twa-suheng? Harusnya dia membalas kepadaku! Lagi pula, sudah terbukti bahwa kepandaian suheng lebih tinggi dari padanya, maka ia akan dapat berbuat apakah? Lebih baik memberi laporan kepada suhu lebih dulu, baru kita minta pendapat suhu tentang hal ini."
Sesungguhnya Bwee Hiang merasa demikian kecewa sehingga dia hendak membiarkan dahulu Ciauw In kecele, yakni menjatuhkan cintanya kepada seorang gadis yang ternyata adalah seorang penjahat perempuan yang kejam dan ganas!
Mereka melakukan perjalanan dengan cepat tanpa mampir dulu di lain tempat dan ketika mereka sudah sampai di puncak Hoa-san dan menceritakan semua pengalaman mereka kepada Ho Sim Siansu, orang tua ini mengangguk-angguk senang, mendengar betapa Ciauw In berhasil menjunjung tinggi nama Hoa-san-pai.
"Dan mengapa ia tidak ikut pulang ke sini?” tanyanya.
Bwee Hiang dengan bernafsu lalu menuturkan tentang munculnya Sian Kim. Sesudah Ho Sim Siansu mendengar bahwa Sian Kim adalah Hek-lian Pangcu yang sangat jahat dan menjadi musuh besar Bwee Hiang, berkerutlah jidat orang tua itu.
"Ciauw In adalah seorang lelaki yang memiliki kekerasan hati, dan sekali ia menjatuhkan cintanya, sukarlah untuk mencabutnya kembali. Aku kuatir... betul-betul aku kuatir... Akan tetapi, dia adalah seorang laki-laki yang sudah dewasa dan segala perbuatannya harus ia pertanggung jawabkan sendiri. Kalian tak perlu mencari dia dan biarlah dia insaf sendiri. Sekarang lebih baik kalian pulang ke tempat tinggal orang tuamu dan biarlah aku yang menanti kembalinya Ciauw In."
Kemudian, sambil memandang kepada Bwee Hiang dengan sinar mata tajam, ia berkata, "Bwee Hiang, selanjutnya tentang keadaanmu, kau harus menurut segala petunjuk orang tuamu dan jangan membawa kehendak sendiri. Kau masih muda dan orang-orang muda selalu berpemandangan sempit dan mudah terjerumus."
Kedua orang murid itu lalu mengundurkan diri.
Sesudah beristirahat, pada keesokan harinya mereka lalu kembali ke rumah orang tua masing-masing. Ong Su kembali ke dusun Kee-cin-bun dan membantu pekerjaan orang tuanya bertani, sedangkan Bwee Hiang menuju ke kota Kang-sin untuk tinggal bersama ibunya, yakni nyonya Gak Seng yang sudah menjadi janda.
Beberapa hari setibanya Ong Su di dusun orang tuanya, kedua orang tuanya itu kembali mendesak kepada puteranya tentang perjodohan yang mereka rencanakan dengan Bwee Hiang, gadis cantik dan gagah yang mereka suka. Ong Su merasa serba salah. Untuk menyetujui kehendak orang tuanya, dia kuatir kalau-kalau pinangannya ditolak karena dia maklum bahwa sumoi-nya itu sebenarnya mencinta twa-suheng-nya. Akan tetapi untuk menolak kehendak orang tuanya, ia pun tidak tega dan tidak berani.
Akhirnya, ayah ibunya berhasil membujuk Ong Su untuk bersama-sama pergi ke kota Kang-sin untuk mengunjungi Bwee Hiang dan ibunya, serta untuk membicarakan tentang perjodohan itu atau ringkasnya mengajukan pinangan. Dengan adanya perlindungan Ong Su yang gagah perkasa, perjalanan mereka tidak mendapat sesuatu gangguan sehingga mereka tiba di kota Kang-sin dengan selamat.
Kedatangan mereka tentu saja mendapat sambutan hangat dari Bwee Hiang dan ibunya. Akan tetapi Ong Su mendapat warta yang benar-benar mengagetkan hatinya. Ketika dia tiba di situ, ia melihat bahwa suhu-nya sudah berada di sana pula!
Dia merasa lebih terkejut ketika mendengar dari suhu-nya yang menerima surat laporan dari Ong Hwat Seng tentang kesesatan suheng-nya, yakni mengenai segala perbuatan Ciauw In dan Sian Kim yang telah menewaskan banyak orang gagah, semata-mata untuk menuruti kehendak wanita jahat itu!
Sementara itu, Ho Sim Siansu yang mendengar tentang maksud pinangan dari orang tua Ong Su kepada Bwee Hiang, sambil tersenyum berkata,
“Kalau kedua pihak setuju, aku sendiri akan merasa paling gembira melihat kedua orang muridku ini terangkap jodoh!”
Bwee Hiang yang ditanya pendapatnya, hanya menundukkan mukanya. Dia tidak dapat menahan mengalirnya air matanya karena teringat kepada Ciauw In yang sekarang telah masuk dalam perangkap siluman wanita Gu Sian Kim itu. Dengan gemas ia lalu berkata perlahan.
“Aku tak dapat memutuskan tentang perjodohan sebelum dapat mencari dan membunuh wanita iblis Gu Sian Kim itu!”
Ho Sim Siansu yang waspada maklum bahwa muridnya ini mencinta Ciauw In, maka ia lalu berkata,
“Bwee Hiang dan kau Ong Su. Kedatanganku ini sebenarnya pun hendak memberi tugas kepada kalian berdua. Sekarang sudah tiba waktunya bagi kalian untuk menyusul serta mencari Ciauw In, kemudian memanggil dia untuk kembali ke Hoa-san. Kukira dia akan suka mendengarkan kalian, mengingat hubungan persaudaraan. Kalau kalian tak berhasil memanggilnya, terpaksa aku sendiri akan mencarinya dan turun tangan!"
Setelah berkata demikian dengan suara sedih, kakek sakti itu lalu berpamit dan kembali ke Hoa-san.
Maka diputuskanlah kepada kedua orang tua Ong Su untuk menunda urusan perjodohan itu untuk sementara waktu. Kedua orang muda itu segera berangkat mencari Ciauw In untuk memenuhi pesan suhu mereka. Kedua orang tua Ong Su akan menanti kembalinya putera mereka itu di rumah ibu Bwee Hiang…..
********************
Menurut petunjuk Ho Sim Siansu, Ong Su dan Bwee Hiang langsung menuju ke Ouwciu dalam usaha mereka mencari Ciauw In. Hati mereka menjadi semakin gelisah lagi ketika mendengar berita terakhir betapa Ciauw In sudah menambah lagi kesesatannya dengan membunuh Gui lm Tojin serta Bong Hin, dua orang tokoh Kun-lun-pai itu sehingga kini tokoh-tokoh Kun-lun-pai turun gunung untuk membalas sakit hati!
Mereka berdua, terutama Bwee Hiang, ingin sekali bertemu dengan suheng mereka dan ingin sekali memberi hajaran kepada Sian Kim, ketua Hek-lian-pang yang agaknya telah membuat Ciauw In menjadi tergila-gila. Mereka bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang menceritakan riwayat kotor dari Gu Sian Kim hingga makin benci dan gemaslah hati Bwee Hiang.
“Ong-suheng, ternyata apa-apa yang dulu kukuatirkan kini terbukti. Perempuan rendah itu ternyata bukanlah perempuan baik-baik seperti yang kusangka dulu."
Ong Su menarik napas panjang.
"Kasihan twa-suheng, kalau saja kami kaum laki-laki mempunyai perasaan tajam seperti perempuan...”
Mereka melanjutkan perjalanan, mencari jejak Ciauw In dan Sian Kim…..