Ia maklum akan kelihaian orang tua ini, karena menurut penuturan suhu-nya, seorang ahli tombak mampu menggetarkan ujung tombaknya sampai terlihat menjadi lima atau enam. Akan tetapi kakek ini dapat menggetarkan tombaknya hingga ujungnya nampak menjadi delapan buah! Dapat dimengerti bahwa lweekang kakek ini tak boleh dibuat permainan.
Ciauw In tidak mau didahului, maka segera maju menyerang dengan gerak tipu Sian-jin Ci-lou (Dewa Menunjuk Jalan). Pedangnya meluncur cepat ke arah ulu hati lawannya dan ketika Hui Kok Losu menggerakkan tombak menangkis dengan gerakan yang sangat kuat dan cepat.
Ciauw In menarik pedangnya dan merubah gerakannya menjadi gerak tipu Liong-ting Ti-cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga). Dengan gerak tipu ini dia membacok ke arah kepala lawan, akan tetapi kembali sekali menggerakkan kedua tangan, tombak di tangan Hui Kok Losu telah menangkis pedang yang menyambar kepalanya.
Setelah menangkis untuk kedua kalinya, mulailah kakek itu membalas dengan gerak tipu Teng-miau Po-ci (Kucing Sakti Menerkam Tikus). Tombaknya dari atas mengemplang ke bawah menuju kepala Ciauw In dan ketika pemuda itu mengelak ke kiri, ujung tombak itu diteruskan dengan sebuah tusukan maut ke arah perutnya! Jika ujung tombak mengenai sasaran, maka perut pemuda itu tentu akan tertembus tombak sampai ke punggung!
Akan tetapi tentu saja Ciauw In tidak membiarkan dirinya dijadikan daging untuk disate. Karena itu cepat dia molompat ke atas dengan gerak loncat Kera Sakti Memetik Buah, kemudian ketika ia masih berada di atas, ia lalu membuat gerakan loh-be (berjumpalitan) dan menyerang dari atas dengan tusukan Garuda Terbang Menyambar Ikan.
Menghadapi Ciauw In yang memiliki ginkang yang begitu lihainya, Hui Kok Losu maklum bahwa pemuda ini benar-benar memiliki ilmu pedang yang jauh lebih lihai dari pada Sian Kim. Maka, dia segera mengeluarkan ilmu tombaknya Kim-houw Chio-hoat (Ilmu Tombak Harimau Emas) yang lihai dan mengerahkan tenaga, kegesitan dan kepandaiannya.
Pertempuran kali ini berjalan seru dan ramai luar biasa karena ternyata bahwa Kim-houw Chio-hoat benar-benar merupakan ilmu tombak yang jarang terdapat di daerah selatan. Ciauw In merasa seakan-akan menghadapi dinding baja yang amat kuat dan sukar sekali ditembuskan.
Akan tetapi sebaliknya, menghadapi Hoa-san Kiam-hoat, ketua dari Kim-houw-bun ini pun merasa bo-hwat (tidak berdaya) karena di samping cepat dan kuat, ilmu pedang ini juga mempunyai gerakan perubahan yang amat aneh dan tak terduga.
Keduanya sama-sama maklum akan kelihaian lawan. Oleh karena dalam hal lweekang mereka setingkat, tentu saja sukar bagi keduanya untuk saling merobohkan.
Hui Kok Losu mengambil keputusan untuk mengadu keuletan dan napas oleh karena ia pikir bahwa seorang pemuda yang bergaul dengan Sian Kim tentulah pemuda pemogoran yang bertubuh lemah. Oleh karena itu, maka ia segera mainkan tombaknya dengan ilmu tombak Membuat Dinding Baja Menutup Diri, salah sebuah bagian ilmu tombak Kim-houw Chio-hoat yang kegunaannya untuk menjaga diri.
Ketika melihat betapa gerakan lawannya berubah menjadi gerakan yang dititik beratkan kepada pertahanan saja, Ciauw In maklum bahwa lawannya hendak mengadu keuletan dan menunggu sampai ia kehabisan napas dan kelelahan untuk segera merobohkannya. Maka ia diam-diam tersenyum girang karena hal ini pun menjadi keinginannya.
Dia merasa alangkah sukarnya merobohkan kakek yang menjadi ciangbunjin (ketua) dari Kim-houw-bun ini. Karena itu dia pun ingin mendapatkan kemenangan dari keuletan dan kekuatan napas. Dia merasa bahwa dalam hal ini ia tak perlu kuatir untuk bisa dikalahkan oleh orang tua yang sudah lanjut usianya itu.
Pertempuran berjalan terus sampai hampir seratus jurus. Setelah merasa lelah, barulah Hui Kok Losu sadar akan kesalah dugaannya. Ia tidak tahu bahwa walau pun Ciauw In tergila-gila kepada Sian Kim, akan tetapi Hoa-san Taihiap ini adalah seorang lelaki sejati dan seorang pemuda yang semua tenaganya dalam tubuh masih terkumpul sepenuhnya, maka tentu saja dia yang sudah tua tak kuat untuk mengadu keuletan tenaga dan napas. Apa bila dia sudah mulai terengah-engah dan keringat sudah memenuhi jidatnya, adalah Ciauw In masih bermain pedang dengan tenang, sedikit pun belum pernah lelah!
Menyadari kesalahannya ini, Hui Kok Losu lalu hendak menggunakan kesempatan yang masih ada. Ia mulai merubah gerakan tombaknya dan sekarang melancarkan serangan-serangan yang paling berbahaya. Tombaknya berkelebatan cepat hingga mendatangkan angin dingin, menyambar-nyambar ke arah tubuh Ciauw In sehingga pemuda ini merasa terkejut sekali.
Hal ini sama sekali tak pernah diduganya, karena dalam keadaan sedemikian lelah, orang tua itu ternyata masih dapat melakukan serangan yang begitu cepat dan membutuhkan tenaga besar. Maka Ciauw In pun lalu memutar-mutar pedangnya lebih cepat lagi untuk menangkis setiap serangan.
Ketika terjadi benturan senjata, dalam hatinya Ciauw In merasa betapa ternyata tenaga lawannya sudah mulai banyak berkurang! Ia maklum bahwa lawannya ini betapa pun juga sudah mulai lelah dan hampir kehabisan tenaga, maka ia segera berseru keras dan terus mendesak dengan serangan-serangan mematikan.
Benar saja, Hui Kok Losu mulai kepayahan dan terdesak hebat. Beberapa kali ketika dia menyampok pergi pedang lawan, sebelah tangannya sampai lepas dari pegangan pada gagang tombak dan hanya karena ia memegang tombak dengan kedua tangan saja maka senjatanya itu tidak sampai terlempar!
Melihat keadaan suhu-nya ini, para anggota Kim-houw-bun merasa amat khawatir. Tanpa diperintah lagi, mereka lantas menyerbu dan mengeroyok Ciauw In untuk membantu guru mereka!
Sebenarnya Hui Kok Losu hendak mencegah hal ini. Akan tetapi dalam kelelahannya, dia tidak berani membuka mulut, oleh karena ia sedang mengerahkan tenaga terakhir, kalau ia membuka mulut dan berbicara, tentu ia tidak akan kuat menahan lagi!
Juga Ma Sian si Cangkul Kilat ketika melihat keadaan Hui Kok Losu, tentu saja tidak rela kalau kawannya yang gagah perkasa ini sampai roboh di tangan seorang penjahat muda. Maka, ia segera mengangkat paculnya menyerbu!
Akan tetapi sambil tertawa menghina Sian Kim berkata, “Orang-orang dari Kim-houw-bun memang pengecut!”
Segera ia memutar-mutar pedangnya menghadapi Ma Sian!
Pertempuran menjadi semakin ramai karena kini terpecah menjadi dua bagian. Ciauw In menghadapi Hui Kok Losu yang dibantu oleh para murid kepala yang semua berjumlah tujuh orang, ada pun Sian Kim bertempur melawan Ma Sian dan dikeroyok oleh delapan orang murid muda.
Akan tetapi Ciauw In tetap saja berada pada pihak yang menyerang. Pemuda ini merasa marah sekali melihat kecurangan pihak lawan yang mengeroyok, karena sebenarnya tadi dia tidak berniat mencelakai Hui Kok Losu, hanya ingin mengalahkannya saja.
Sejak tadi ia belum dapat merobohkan Hui Kok Losu oleh karena ia hendak mencari jalan bagaimana dia dapat mengalahkan orang tua gagah itu tanpa harus mendatangkan luka berat apa lagi menewaskannya. Kalau dia bermaksud membunuh, dari tadi pun dia dapat menjatuhkan tangan kejam.
Sekarang melihat datangnya para anggota Kim-houw-bun yang mengeroyok, timbullah marahnya dan sekali dia berseru keras dan pedangnya berkelebat, pedangnya meluncur cepat menuju tenggorokan Hui Kok Losu.
Ciangbunjin ini masih berusaha keras untuk menangkis. Akan tetapi ia benar-benar telah kehabisan tenaga serta napas, maka tangkisannya kurang kuat dan ujung pedang masih terus meluncur dan secara tepat dan tanpa disengaja, ujung pedang Ciauw In menancap pada jalan darahnya dekat leher. Hui Kok Losu menjerit ngeri dan roboh. Ia tewas bukan hanya disebabkan serangan Ciauw In, akan tetapi sebagian besar akibat telah kehabisan napas dan tenaga!
Ciauw In merasa agak menyesal melihat betapa ia telah kesalahan tangan. Akan tetapi oleh karena para pengeroyoknya sekarang menjadi semakin sengit dan nekat, ia merasa kepalang kalau tidak bergerak terus. Ia lantas mengamuk dan sebentar saja tiga orang pengeroyoknya telah roboh oleh pedangnya!
Sementara itu, pertempuran di bagian lain lebih ramai karena kini menghadapi Sian Kim, Ma Sian dapat memperlihatkan kelihaiannya. Sungguh pun apa bila bertempur satu lawan satu belum tentu ia akan dapat mengalahkan ilmu pedang Sian Kim yang juga lihai dan ganas, akan tetapi karena kini ia dibantu oleh delapan orang anak murid Kim-houw-bun, ia dapat mendesak Sian Kim yang mulai terdesak mundur.
Sian Kim menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebat semakin ganas dan beberapa kali terdengar jerit kesakitan karena pedang gadis baju hitam itu telah mendapat korban. Akan tetapi jumlah pengeroyoknya tidak pernah berkurang, karena bila jatuh seorang maju pula penggantinya yang masih banyak menanti mencari lowongan!
Sian Kim juga telah mendapat luka pada pundak kirinya oleh pukulan pacul Ma Sian yang walau pun hanya menyerempet dan merobek bahunya serta melukai kulitnya saja, akan tetapi darah yang keluar cukup banyak, membasahi lengan baju sebelah kiri.
Setelah menjatuhkan enam orang, para pengeroyok Ciauw In yang semakin bertambah jumlahnya itu mulai menjadi gentar. Mereka cepat mengundurkan diri untuk mengeroyok Sian Kim yang sudah amat terdesak.
"Koko, bantulah aku...!" gadis itu berseru.
Ciauw In cepat maju menyerbu membantu kekasihnya. Tiga orang sekaligus roboh akibat serbuannya ini sehingga semua pengeroyoknya kecuali Ma Sian, menjadi makin gentar. Kesempatan ini digunakan secara baik oleh Sian Kim yang mengirim tusukan maut ke arah Ma Sian dengan gerakan Harimau Lapar Menubruk Kambing.
Ma Sian tidak melihat jalan keluar menghadapi serangan ini, maka ia lalu berlaku nekat hendak mengadu nyawa. Ia tidak menangkis atau mengelak, akan tetapi lalu mengangkat cangkulnya dan menghantam kepala Sian Kim sekuat tenaga dengan senjatanya itu. Jika Sian Kim meneruskan serangannya, tentu kepalanya akan hancur terpukul oleh pacul itu.
Akan tetapi, Ciauw In tentu saja tidak dapat berpeluk tangan melihat kepala Sian Kim yang bagus itu dihancurkan. Maka, dia segera menangkis dengan pedangnya sedangkan pedang Sian Kim terus meluncur dan…
“Crattt…!” ujung pedangnya masuk ke dalam dada Ma Sian sampal tembus di punggung!
Pada saat gadis itu mencabut senjatanya, Ma Sian masih sempat menggunakan tenaga terakhir melontarkan paculnya ke arah Ciauw In yang segera membungkuk hingga pacul itu menghantam tembok! Tubuh Ma Sian terhuyung-huyung, kemudian rebah dan tewas!
Keadaan makin menjadi kacau dan tiba-tiba dari luar datang menyerbu penjaga-penjaga keamanan kota yang dikepalai oleh seorang perwira. Mereka ini mendapat laporan dari seorang anggota Kim-houw-bun mengenai datangnya dua orang pengacau, maka karena perkumpulan ini amat dihormati, juga oleh petugas-petugas negara, segera serombongan petugas lari menyerbu untuk membantu menangkap dua orang pengacau itu.
Melihat serbuan ini, Ciauw In segera berseru, "Moi-moi, mari kita lari!”
Akan tetapi, Sian Kim kini sedang bergembira membabati para anggota Kim-houw-bun. Setelah Hui Kok Losu dan Ma Sian tewas, maka sisa orang yang mengeroyoknya bagai tahu empuk baginya, maka setiap kali pedangnya berkelebat, robohlah seorang anggota Kim-houw-bun.
Gadis ini sama sekali tidak takut melihat kedatangan para penjaga keamanan, bahkan ia lalu melompat mendekat dan menyambut mereka dengan serangan pedang yang berhasil merobohkan dua orang penjaga keamanan dengan sekali serang saja. Oleh karena ini, ia dalam kegembiraannya menyebar maut, tidak mendengar seruan Ciauw In.
Pemuda ini melihat betapa lengan kiri Sian Kim penuh darah, dan juga melihat betapa jumlah penjaga keamanan yang menyerbu dari luar semakin banyak jumlahnya. Maka, ia lalu melompat mendekati Sian Kim, menyambar pinggang kekasihnya itu dan melompat ke atas genteng!
Setelah berada di atas ganteng, barulah Sian Kim merasa betapa pundaknya perih sekali, maka ia pun kemudian melarikan diri bersama Ciauw In, melalui wuwungan rumah-rumah penduduk dan sebentar saja mereka telah berada di luar kota.
Akan tetapi, walau pun sudah ketinggalan jauh, barisan penjaga dan sisa-sisa anak buah Kim-houw-bun tetap mengejar mereka sehingga Ciauw In dan Sian Kim tidak mendapat kesempatan untuk mengaso. Mereka ini terpaksa berlari terus ke selatan, dikejar-kejar dari belakang oleh para penjaga yang menunggang kuda!
Ciauw In telah merasa amat lelah. Juga Sian Kim merasa lelah, apa lagi karena luka kulit pundaknya terasa perih dan ngilu, maka tentu saja keadaan ini membuat mereka menjadi bingung.
Tiba-tiba saja dari jurusan depan datang sebuah kendaraan beroda tiga yang ditarik oleh empat ekor kuda besar. Seorang laki-laki yang duduk di dalam kendaraan itu, membuka tirai kereta dan melongok keluar. Pada waktu melihat Ciauw In dan Sian Kim, ia segera berseru,
“Ahh, tidak tahunya jiwi enghiong (dua orang gagah) yang sedang mendapat kesukaran. Lekas masuk ke dalam keretaku!”
Tadinya Ciauw In dan Sian Kim tidak mengenali muka ini dan merasa amat heran melihat seorang pemuda tampan dan hartawan menegur dan hendak menolong mereka. Akan tetapi ketika melihat senyumnya, tiba-tiba Sian Kim teringat.
“Dia adalah Ong Hwat Seng murid Bu-tong-pai!” katanya kepada Ciauw In yang kini juga teringat.
Pernah ia melihat pemuda ini di puncak Kui-san ketika terjadi pertandingan persahabatan di antara orang-orang gagah. Inilah pemuda sombong yang dahulu mewakili Bu-tong-pai dan meski pun Ciauw In tidak suka kepada pemuda mewah dan sombong itu, akan tetapi dalam keadaan terdesak sedemikian rupa, dan pula karena Sian Kim mendahuluinya melompat ke dalam kereta, terpaksa ia pun lalu melompat ke dalam kereta, menduduki bangku berhadapan dengan Ong Hwat Seng. Sian Kim duduk di dekat pemuda itu, ada pun Ciauw In duduk di hadapan mereka.
Pemuda itu lalu memberi perintah kepada pengemudi kereta,
“Lekas putar kembali kendaraan dan kita pulang!”
Pengemudi kereta menurut perintah. Empat ekor kuda itu lalu diputar kembali dan segera kereta dikaburkan pesat. Akan tetapi, tak lama kemudian para pengejar yang terdiri dari petugas-petugas kota Ouwciu dapat menyusul kendaraan itu dan dengan suara garang memerintahkan pengemudi untuk berhenti.
Sementara itu, Ong Hwat Seng memberi tanda kepada Ciauw In dan Sian Kim untuk tidak mengeluarkan suara, kemudian ketika kereta diperintahkan berhenti, ia lalu melongok dari tirai.
“Ada apakah maka kendaraan berhenti?” tanyanya keras-keras kepada pengemudinya. "Siapa yang berani menahan keretaku?"
Sementara itu, para pengejar yang terdiri dari anggota-anggota Kim-houw-bun dan para penjaga keamanan kota Ouwciu, ketika melihat Ong Hwat Seng, segera lenyap keraguan mereka dan dengan mengangkat tangan memberi hormat sambil tersenyum mereka lalu mendekati pemuda itu. Pemimpin mereka, seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, segera turun dari kuda dan menjura.
“Ah, tidak tahunya Ong-siauwya (Tuan muda Ong) yang berada di dalam kereta! Maafkan kami yang tidak tahu dan telah mengganggu siauwya!”
Ong Hwat Seng memperlihatkan muka manis ketika berkata, "Tidak apa, tidak apa! Akan tetapi ada keperluan apakah maka kalian sampai membalapkan kuda ke tempat ini dan menahan kereta? Agaknya ada hal yang amat penting terjadi!”
“Celaka, Ong-siauwya!” kata perwira itu. "Di kota kami datang dua orang penjahat besar yang sudah membasmi Kim-houw-bun, membunuh banyak sekali orang, bahkan Hui Kok Lo-enghiong juga tewas dalam tangan mereka."
"Aduh, hebat benar...!” Ong Hwat Seng menggeleng-geleng kepalanya dan melebarkan matanya.
"Kami mengejar dua penjahat itu, seorang pemuda dan seorang gadis, akan tetapi ketika tiba di tempat ini mereka tiba-tiba lenyap!”
Ong Hwat Seng memperlihatkan muka tidak senang mendengar ini. Ia mengeluarkan suara menghina dan berkata keras,
“Jadi karena itukah kalian menghentikan keretaku? Kalian menyangka bahwa aku sudah menyembunyikan kedua orang penjahat dalam kendaraanku? Ah, sungguh menyebalkan! Mari, kalian periksalah di dalam kereta!"
Tentu saja perwira itu merasa sangat malu dan juga gugup mendengar ucapan ini dan melihat betapa Ong Hwat Seng menjadi tak senang hati. Ong Hwat Seng mereka kenal baik, seorang pemuda kaya raya di kota Ouw-san yang letaknya tidak jauh dari Ouwciu, dan selain kaya raya dan berpengaruh besar di kalangan pembesar karena pemuda ini adalah putera dari seorang bekas pembesar tinggi yang telah meninggal dunia, ia pun terkenal sebagai seorang pemuda berkepandaian tinggi dan bahkan menjadi kenalan baik dari mendiang Hui Kok Losu! Sudah tentu ia tidak berani berlaku kurang ajar untuk tidak mempercayai omongan pemuda bangsawan yang kaya raya dan mempunyai kepandaian tinggi itu.
"Maaf, Ong-siauwya. Tadi kami tidak menyangka bahwa kendaraan ini milik Ong-siauwya. Sama sekali kami tidak berani berlaku lancang dan sudah tentu saja kami tidak pernah menyangka bahwa siauwya menyembunyikan orang jahat. Akan tetapi, besar harapan kami semoga siauwya suka memberi tahu kalau-kalau tadi melihat ke mana larinya dua orang yang sedang kami kejar-kejar itu!"
"Hm, kalau aku melihat mereka, apa kau kira mereka dapat lari jauh?" jawab Ong Hwat Seng dengan sombongnya. "Aku tak melihat mereka, akan tetapi sesampainya di rumah, aku akan melaporkan hal ini kepada pembesar-pembesar kawanku setempat supaya ikut membantu mencari dan menangkap mereka."
Perwira itu lalu menjura lagi dengan hormat sekali. "Terima kasih, siauwya, dan sekali lagi harap maafkan kami yang telah berlaku lancang."
Kemudian rombongan berkuda itu melarikan kuda mereka ke lain tempat untuk mencari dua orang penjahat yang tiba-tiba lenyap itu.
Ong Hwat Seng masuk dan duduk lagi di dalam kereta sambil memerintahkan kusirnya melanjutkan kereta menuju ke Ouw-san, ia berkata kepada kusirnya,
"Akai, awas kau! Jangan kau menceritakan kepada siapa pun juga tentang peristiwa tadi. Kedua tuan muda dan nona ini adalah sahabat-sahabat baikku yang datang dari Bi-hok, tahu kau?”
"Baik, siauwya, saya tahu."
Ong Hwat Seng kemudian memandang kepada Sian Kim dan Ciauw In sambil tersenyum bangga. "Nah, bukankah beres sudah?"
"Kau telah menolong kami," kata Ciauw In sederhana.
Ada pun Sian Kim yang meringis kesakitan, memaksa tersenyum manis sambil berkata, “Ong-Siauwya, kau benar-benar cerdik dan baik hati. Aku berterima kasih kepadamu."
Ucapan ini ditutup dengan kerlingan mata menyambar hingga membuat Ong Hwat Seng menatap wajah jelita itu tanpa berkejap! Hal ini membuat hati Ciauw In tidak enak sekali dan rasa tidak sukanya kepada pemuda kaya ini makin meluap. Akan tetapi ia pura-pura tidak melihatnya karena ia telah ditolong maka tidak seharusnya ia memperlihatkan muka tak senang.
Sementara itu, ketika Ong Hwat Seng melihat pundak kiri Sian Kim, dia hampir menjerit karena kaget dan kagum. Kaget melihat darah telah membuat pakaian gadis itu menjadi merah dan kagum karena dari balik baju yang robek itu ia melihat kulit lengan yang halus dan putih menggiurkan hatinya.
Harus diketahui pula bahwa jago muda dari Bu-tong-pai ini selain kaya raya dan berdarah bangsawan, juga terkenal mata keranjang dan gila wajah cantik. Maka melihat kecantikan Sian Kim dan lirikan mata yang tajam serta senyum di bibir yang mungil dan manis itu, tentu saja semenjak tadi hatinya telah berdebar-debar keras.
"Ah, kalian terlampau sungkan," katanya, “bukankah kita sudah saling bertemu di puncak Kui-san? Kita adalah orang-orang segolongan, karena itu tak perlu bersungkan-sungkan. Sudah sewajarnya kita saling menolong. Nona, pundakmu terluka, kau perlu mendapat rawatan yang baik. Akan tetapi tak perlu kuatir, sesampainya di rumah, aku akan panggil seorang tabib yang pandai dan ahli dalam hal mengobati luka-luka." Dia tersenyum lalu menambahkan dengan sikap yang ceriwis sekali. “Kecuali luka di dalam hati yang tidak ada obatnya!”
Kalau saja dia tidak berada dalam perlindungan dan pertolongan pemuda ini, tentu Ciauw In sudah menggerakkan tangan menampar mulut pemuda itu. Akan tetapi dia menahan kesabarannya dan ketika ia mengerling ke arah kekasihnya, ternyata Sian Kim tersenyum mendengar ucapan yang ceriwis itu!
Kembali ia merasa tidak enak dan dalam maboknya, ia tidak menyalahkan Sian Kim yang tidak seharusnya menghadapi keceriwisan itu dengan tersenyum. Ia bahkan menimpakan seluruh kejengkelannya kepada pemuda itu!
Rumah Ong Hwat Seng merupakan sebuah bangunan gedung besar yang mewah serta indah. Pemuda ini hanya tinggal dengan ibunya yang sudah tua, akan tetapi pemuda ini benar-benar seorang anak yang amat jahat dan tidak berbakti terhadap orang tuanya.
Ia berlaku sewenang-wenang terhadap ibunya. Ibunya yang sudah tua ini melihat betapa anaknya makin lama makin binal, dan lama sekali tidak menghormat atau menghiraukan dirinya, maka menjadi amat berduka dan selalu menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Jarang sekali ia keluar dari kamarnya, karena sekali ia keluar, tentu timbul percekcokan mulut dengan puteranya itu.
Pernah dulu ia menegur puteranya dengan kata-kata pedas.
“Hwat seng, kau adalah putera tunggal dari keluarga Ong, dan ayahmu terkenal sebagai seorang pembesar yang dihormati orang. Akan tetapi, apa jadinya dengan kau? Ketika disuruh mempelajari kesusasteraan, kau malah belajar ilmu silat yang kasar. Apakah kau hendak menjadi tukang pukul? Dan sekarang, setelah ayahmu meninggal dunia, kau tidak menjadi baik bahkan semakin menggila. Tiap hari kerjamu hanya berpelesir saja, bergaul dengan segala macam buaya darat, menghabiskan uang seperti melempar-lempar pasir, sama sekali tak ingin mencari kedudukan baik, atau berusaha sesuatu. Kalau kelak harta peninggalan ayahmu habis, kau akan hidup dari apa?”
Seperti biasanya, Ong Hwat Seng cemberut dan anak yang dulunya terlalu dimanja itu bahkan membentak ibunya.
“Ibu, kau sudah tua, untuk apa masih suka cerewet saja? Biasanya orang tua mencari jalan terang untuk menungggu kematiannya, akan tetapi engkau setiap hari selalu marah mengumbar hawa nafsu, tidak tahu bahwa yang kau marahi adalah anakmu sendiri. Aku sudah dewasa dan mencari sedikit kesenangan, kenapa kau marah-marah? Apakah kau iri hati?"
Terbelalak mata nyonya tua itu karena marah dan terkejut karena biar pun biasanya anak tunggalnya itu suka membantah, akan tetapi belum pernah sekasar itu.
“Bagus, Hwat Seng!” katanya dengan air mata mengalir turun ke atas pipinya. "Setelah ayahmu meninggal, kau berani terhadap ibumu, ya? Begitukah sikap seorang anak pada ibunya? Kau seorang anak puthauw (tidak berbakti), tidak membalas cinta kasih seorang ibu, bahkan berani bersikap dan bicara kasar jadi kau ingin melihat ibumu lekas mati?"
Melihat ibunya menangis, Hwat Seng bahkan lalu tersenyum yang merupakan seringai mengejek.
“Ibu, aku hanya berkata sebenarnya, karena siapakah orangnya yang akhirnya tak akan mati? Aku sendiri kelak tentu akan mati. Dan tentang berbakti atau tidak berbakti, hal ini adalah ucapan palsu yang digunakan oleh para orang tua untuk menakut-nakuti anaknya. Bila aku menghabiskan uang juga bukan dari penghasilan ibu, akan tetapi mendiang ayah yang dahulu mencarinya! Ibu hanya menumpang diri, seperti aku pula. Kalau ibu hendak memakai uang peninggalan ayah dan hidup bersenang-senang, silakan, aku juga takkan melarang!”
"Thian Yang Maha Agung!" ibu yang hancur hatinya itu mengeluh sambil mendekap dada, "mengapa aku memiliki anak semacam ini? Percuma saja kau kukandung berbulan-bulan kemudian kupelihara dengan susah payah, kupertaruhkan jiwaku ketika melahirkanmu...” Nyonya ini menangis lagi makin sedih.
“Sudahlah, sudahlah..." Hwat Seng anak durhaka itu mencela dengan muka menunjukkan kesebalan hatinya, “betapa pun juga, ibu harus ingat bahwa aku dulu tidak pernah minta dikandung, tidak minta dilahirkan, dan juga tidak minta dipelihara...!”
Setelah mengeluarkan ucapan-ucapan yang hanya patut keluar dari mulut iblis neraka ini, anak itu lalu meninggalkan ibunya. Semenjak saat itulah maka nyonya Ong tidak pernah keluar dari kamarnya lagi, tiap hari termenung memikirkan nasibnya, berprihatin menanti saatnya tiba untuk menyusul suaminya oleh karena biar pun hidup di tengah-tengah harta benda dan kemewahan, akan tetapi ia tidak merasakan kebahagiaan hidup.....