Melihat hal ini, Sian Kim lalu memegang tangan Ciauw In dan berkata perlahan,
“Lie-twako, mari kita lari cepat-cepat dari sini!"
Ciauw In melarikan diri, setengah ditarik-tarik tangannya oleh Sian Kim sehingga mereka tiba di luar kota dan berhenti di dalam sebuah hutan. Karena telah mempergunakan sisa tenaganya yang telah hampir habis, Ciauw In merasa lelah dan lemas sekali, maka ia lalu menjatuhkan diri di atas rumput.
Sian Kim segera berlutut dan mengeluarkan sehelai sapu tangan hijau yang aromanya harum. Dengan mesra ia lalu menyusut muka pemuda itu yang penuh peluh dengan sapu tangannya. Ciauw In mencium bau yang amat harum sehingga hatinya berguncang keras.
"Twako... kau telah membalaskan sakit hatiku. Budi yang amat besar ini selama hidup tak akan kulupa..." Sambil berkata demikian, Sian Kim merobek ujung bajunya dan dengan amat cekatan ia lalu membuka baju Ciauw In dan memeriksa bahunya yang tadi terpukul.
Hampir saja Ciauw In berseru kesakitan, akan tetapi dengan lemah-lembut Sian Kim lalu menggunakan ujung jari tangannya untuk menyentuh bahu yang sudah berwarna biru itu, kemudian ia membalut bahu Ciauw In sambil mulutnya yang berada dekat dengan muka pemuda itu berbisik merayu,
"Koko yang baik... sampai mati aku Sian Kim tak akan melupakan budimu yang besar..."
Ketika Ciauw In memandang, ia melihat betapa dua titik air mata yang bening tergantung di bulu mata gadis itu. Sian Kim mengejap-ngejapkan mata untuk mengusir dua titik air mata dari bulu matanya.
Melihat betapa gadis jelita dan yang amat dikasihinya itu berlulut dekat sekali dan betapa rawatan Sian Kim penuh dengan kemesraan serta cinta kasih, tak tertahan lagi Ciauw In lalu menggunakan jari-jari tangannya menjamah pipi Sian Kim dengan gerakan halus dan mesra sambil berbisik,
"Sian Kim... kau... cantik sekali...”
Warna merah menjalar ke atas mulai dari leher gadis itu dan membuat seluruh mukanya menjadi merah sampai ke telinga. Kemudian dengan kerling memikat dan senyum malu, ia pura-pura menolak tangan itu dan berbisik kembali,
“Koko... kau juga tampan sekali...”
Demikian mesra keadaan mereka hingga Ciauw In makin mabok dan tenggelam makin dalam, sedikit pun tidak sadar bahwa dia sudah masuk ke dalam perangkap yang amat berbahaya. Sian Kim memang pandai sekali merayu hati pemuda yang masih hijau itu.
Setelah selesai membalut pundak Ciauw In serta membereskan pakaian pemuda itu, dia kembali mengeluarkan sapu tangannya yang harum dan berwarna hijau, disapu-sapukan ke muka sendiri, kemudian dia menyapu muka Ciauw In pula dan sengaja beberapa kali manyapukan sapu tangan di bawah hidung pemuda itu hingga Ciauw In makin tenggelam dalam pengaruh keharuman yang melekat pada sapu tangan.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa sapu tangan itu bukanlah sapu tangan sembarangan. Aroma harum itu sebenarnya adalah bau semacam bunga yang beracun dan yang dapat meracuni tubuh orang secara berangsur-angsur dan tanpa disadari atau dirasainya, tubuh orang yang sering kali menciumnya sudah kemasukan racun yang berbahaya! Sian Kim sendiri telah memakai obat penawar sehingga baginya, kembang beracun itu merupakan kembang harum yang tidak berbahaya.
“Twako, mengapa kau begitu memperhatikan nasibku dan demikian mulia hatimu untuk menolong dan membelaku?" suaranya penuh rayu dan cumbu.
Ciauw In memegang kedua tangan gadis itu dan sambil menatap kedua mata yang jeli itu, ia berkata dengan suara menggetar,
"Moi-moi, aku... aku cinta padamu."
Tiba-tiba Sian Kim merenggutkan kedua tangannya dan memalingkan mukanya.
"Mengapa, moi-moi...? Marahkah kau...?”
Sian Kim menggelengkan kepala, dan ketika ia memandang kembali kepada pemuda itu, Ciauw In melihat betapa kedua mata gadis itu menjadi basah oleh air mata.
"Koko, benar-benarkah ucapanmu tadi?”
"Mengapa tidak benar? Aku bersumpah, demi kehormatanku sebagai seorang gagah!"
“Benar-benarkah kau mencintaku, biar pun akan kau ketahui bahwa aku adalah seorang bekas penjahat...?”
Ciauw In terkejut, akan tetapi dengan suara pasti ia berkata,
"Ada pun yang telah terjadi atau akan terjadi, aku tetap mencintamu, moi-moi, mencinta sepenuh jiwaku. Sebagai seorang laki-laki yang menjunjung tinggi kegagahan, aku tidak pernah jatuh cinta, tetapi sekali aku memberikan hatiku, aku akan tetap mempertaruhkan jiwaku demi cinta kasihku."
“Takkan berubahkah hatimu apa bila kelak kau ketahui bahwa aku adalah seorang yang mempunyai banyak dosa?"
"Aku tidak percaya, moi-moi. Kau adalah seorang yang mulia, cantik dan... yang kucinta semenjak pertemuan kita pertama kali."
"Terima kasih, Koko, kau memang baik dan mulia sekali. Sudah sepatutnya apa bila aku yang telah menerima budimu merasa bersyukur bahwa kau pemuda yang gagah perkasa ternyata mencinta seorang gadis hina dan bodoh seperti aku."
Dengan amat girang Ciauw In menerima kepala dengan rambut harum yang disandarkan ke dadanya itu. Mereka berdua tidak bergerak, tenggelam dalam laut asmara yang penuh madu dan memabokkan.
“Koko, dulu kau telah merampas ikat rambutku, di manakah sapu tangan itu sekarang?”
Ciauw In merogoh sakunya dan mengeluarkan sapu tangan itu.
“Lihat, sejak saat itu, aku tidak pernah terpisah dari sapu tangan ini, kekasihku,” katanya berbisik.
Sian Kim mengambil sapu tangan itu dari tangan Ciauw In dan menukarnya dengan sapu tangannya sendiri yang berbau harum.
"Selanjutnya kau pakailah sapu tanganku ini, koko!"
Ciauw In menerima sapu tangan hijau itu dan menempelkannya di depan hidungnya.
"Alangkah harum sapu tanganmu ini, entah bunga apakah yang demikian harum baunya."
Berulang-ulang ia menyedot bau harum itu sepuas-puasnya, tidak tahu bahwa dengan cara demikian, makin banyaklah racun yang terisap olehnya dan meracun paru-parunya.
"Koko, kalau kau benar-benar mencintaku, harap kau jangan kembali dulu ke Hoa-san."
"Mengapa begitu, adikku? Aku ingin sekali cepat-cepat pulang untuk minta kepada suhu agar supaya segera meminangmu dan agar kita dapat segera menjadi suami-isteri yang sah!"
Akan tetapi Sian Kim menggeleng kepala.
“Jangan dulu, koko. Aku masih ingin merantau, merantau berdua dengan kau, menikmati kebahagiaan ini."
Terpaksa Ciauw In menurut. Pemuda ini betul-betul sudah tunduk dan kini ia merupakan tanah lempung yang lunak di dalam tangan Sian Kim yang mulai menjalankan siasatnya yang kejam dan penuh tipu daya ini…..
********************
Orang-orang yang pernah melihat dan memperhatikan cara seekor laba-laba menangkap korbannya, tentu akan tahu betapa sesudah korban itu tertangkap oleh jaring laba-laba, binatang itu kemudian akan melibat-libat tubuh korbannya dengan jaring-jaring putih halus sehingga korban itu tidak dapat lepas kembali untuk kemudian dihisap seluruh darahnya sampai kering.
Begitu pula cara Sian Kim menawan Ciauw In. Sedikit demi sedikit ia melontarkan tali-tali jaring yang halus berupa senyuman manis, kerlingan mata tajam dan sikap yang mesra mencinta sehingga makin lama hati Ciauw In semakin terikat dan membuat pemuda itu tak berdaya dan seolah-olah menjadi buta. Pemuda ini tidak hanya terpikat dan mencinta secara membuta, bahkan telah tergila-gila!
Akan tetapi, betapa pun juga, Ciauw In memang pada dasarnya tidak berhati kotor, maka dia selalu menjaga batas-batas kesopanan. Betapa pun tergila-gilanya, namun dia masih mempertahankan diri dan menjaga kesusilaan. Justru hal inilah yang mengesalkan hati Sian Kim, oleh karena gadis jelita ini memang mempunyai sifat-sifat cabul dan tidak tahu malu sehingga ia telah menjadi hamba dari pada nafsunya sendiri.
Beberapa kali, pada waktu mereka berdua tiba di sebuah kota, ketika memesan kamar hotel, Sian Kim mendahuluinya dan hanya memesan satu kamar untuk mereka berdua. Tentu saja Ciauw In lalu menegurnya setelah mereka berada berdua di dalam kamar.
"Kim-moi, mengapa hanya memesan satu kamar? Tak baik bagi kita untuk tinggal berdua dalam satu kamar."
Diam-diam Sian Kim merasa mendongkol sekali.
“Kenapa tidak baik. Bukankah kita saling mencinta?"
"Biar pun demikian, kita belum menjadi suami isteri dan adalah berbahaya sekali apa bila kita tinggal sekamar, moi-moi," kata Ciauw In terus terang karena sesungguhnya ia belum tahu bahwa hal ini memang disengaja oleh Sian Kim dalam usahanya menjerumuskan pemuda itu makin dalam.
"Aku berani menghadapi bahaya itu!" berkata Sian Kim dengan sikap menantang sambil melempar lirikan tajam yang penuh arti. Akan tetapi dengan muka yang merah sekali oleh karena jengah dan malu-malu.
Ciauw In berkata pula, "Jangan, moi-moi. Kau terlalu cantik dan aku tidak percaya kepada kelemahan hatiku sendiri."
Sian Kim tersenyum girang dan mendekati pemuda itu, kemudian memegang pundaknya dengan mesra dan sikap memikat.
"Koko, kau tentu pernah mendengar dongeng tentang Siong Kang dan Lan Bwee?"
Ciauw In merasa semakin jengah. Tentu saja dia tahu sekali akan dongeng kuno itu yang menceritakan betapa untuk membalas budi Siong Kang, pemuda yang sudah menolong dirinya, Lan Bwe sampai melarikan diri dari rumah lantas mengikuti pemuda itu sungguh pun akibatnya ia dibenci dan dikutuk oleh kedua orang tuanya.
Dengan ucapan ini, ternyata bahwa Sian Kim hendak menyatakan tentang cinta kasihnya yang besar. Bahwa ia sudah menyerahkan jiwa raganya bulat-bulat kepada Ciauw In!
Terpaksa pemuda itu mengalah, tapi tetap saja Sian Kim tak dapat mencapai maksudnya. Setiap kali mereka bermalam bersama, pemuda itu selalu memisahkan diri dan bahkan rela tidur di atas lantai! Ciauw In sama sekali tidak berani mendekati Sian Kim!
Hal ini membuat hati gadis itu menjadi makin penasaran dan gemas, biar pun diam-diam dia merasa amat kagum kepada Ciauw In yang teguh menjaga kesopanan. Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan pemuda-pemuda lain yang pernah dikenalnya!
"Sebetulnya kau hendak mengajak aku merantau kemanakah, moi-moi?" tanya Ciauw In beberapa hari kemudian setelah mereka merantau jauh ke selatan.
“Aku ingin mengunjungi Ouwciu di Propinsi Kwisai dan mencari Hui Kok Losu," Sian Kim menjawab.
"Ada keperluan apakah dengan dia dan siapa pula Hui Kok Losu itu?"
“Dia adalah ciangbunjin (ketua) dari perkumpulan Kim-houw-bun di Ouwciu."
Ciauw In memang belum luas pengetahuannya, maka ia tidak kenal nama ini.
"Bolehkah aku mengetahui apa maksudmu mencari dia?”
Sian Kim tersenyum manis.
"Tentu saja kau boleh tahu. Semua urusanku adalah urusanmu juga, bukan? Tak perlu aku menyimpan rahasia. Juga kurasa sekarang sudah waktunya bagiku untuk membuka rahasiaku sendiri. Koko, kuharap kau jangan terkejut dan lebih-lebih kuharap jangan kau membenciku setelah mendengar ini."
"Adikku yang manis, betapa pun juga, aku tak akan dapat membencimu. Kau telah tahu akan hal ini dan sudah beberapa kali kukatakan kepadamu. Cintaku kepadamu tak dapat diukur besarnya.”
Sian Kim tersenyum lagi, kemudian dia maju dan memegang lengan tangan pemuda itu dengan gaya manis.
“Koko, benar-benar kau tidak akan marah?”
Ciauw In menggunakan tangannya untuk membelai rambut yang hitam halus dan berbau harum itu, lalu berkata,
“Tidak, Kim-moi, aku berjanji takkan marah."
"Dulu, lama sekali kira-kira dua tahun yang lalu," Sian Kim mulai menuturkan riwayatnya dengan amat hati-hati, “aku pernah menjadi ketua dari sebuah perkumpulan."
“Jarang terdapat ketua yang amat cantik seperti engkau," kata Ciauw In sambil menatap wajah yang makin cantik saja baginya itu.
"Sebagaimana sering kali terjadi," Sian Kim melanjutkan ceritanya, “sebuah perkumpulan kadang bentrok dengan perkumpulan lain. Demikian pula sudah terjadi bentrokan antara perkumpulanku dengan perkumpulan Kim-houw-bun. Soalnya biasa saja, antara anggota dengan anggota, ketika mereka sedang main barongsai pada waktu hari tahun baru. Aku sebagai ketua perkumpulan tentu saja membela anggota sendiri, demikian pula Hui Kok Losu, ciangbun dari Kim-houw-bun itu. Bentrokan ini akhirnya menjadi pertempuran pibu (adu kepandaian) antara aku dan ciangbun dari Kim-houw-bun itu dan aku kalah!"
Perhatian Ciauw In sebagian besar ditujukan untuk mengagumi bibir indah yang sedang bergerak-gerak bicara itu, dan mata bintang yang memandangnya dengan sayu merayu sehingga ia hanya dapat menangkap sebagian saja dari pada yang diceritakan oleh Sian Kim. Akan tetapi mendengar kekalahan ini, ia merasa heran juga. Tidak sembarang orang dapat mengalahkan kekasihnya ini.
“Lalu bagaimana?" tanyanya mulai menaruh perhatian.
"Sesudah dikalahkan, aku berjanji bahwa pada suatu hari aku akan mengunjunginya ke Ouwciu untuk mengadu kepandaian sekali lagi dan aku mengandalkan bantuanmu untuk menebus kekalahan itu."
Ciauw In tersenyum.
“Ahh, hal ini tidak perlu kau susahkan. Jangankan baru menghadapi seorang ciangbunjin, biar pun harus menghadapi sepuluh orang ketua perkumpulan, aku pasti bersedia untuk membelamu."
Dengan muka girang sekali dan berseri-seri Sian Kim kemudian meremas tangan Ciauw In sambil berkata,
"Koko-ku yang baik, aku...aku cinta padamu..."
Ciauw In menjadi makin mabok dan merasa seakan-akan ia menjadi seorang yang paling berbahagia di dunia ini.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Ouwciu yang tidak begitu jauh lagi letaknya dari situ. Ciauw In yang sudah tergila-gila itu sampai lupa untuk mendesak dan mengetahui lebih banyak tentang keadaan perkumpulan Sian Kim, dan sama sekali ia belum pernah menduga bahwa gadis ini adalah ketua perkumpulan Hek-lian-pang dan menjadi puteri dari Gu Ma Ong musuh besar Bwee Hiang!
Ada pun Sian Kim yang sudah membuka sedikit rahasianya itu, masih belum berani untuk membuka lebih lebar dan belum berani mengaku bahwa sebenarnya ia memiliki dendam permusuhan besar dengan adik seperguruan pemuda itu.
Sebetulnya apa yang dia ceritakan kepada Ciauw In tadi memang ada benarnya, yakni bahwa perkumpulan Kim-houw-bun ada permusuhan dengan Hek-lian-pang dan dengan dia pada khususnya. Akan tetapi, sebab-sebab permusuhan itu kembali ia putar-balikkan.
Memang terjadi permusuhan dan adu kepandaian antara dia dengan Hui Lok Losu, akan tetapi sama sekali bukan karena permainan barongsai. Pertempuran yang terjadi antara anak buah Hek-lian-pang dan anak buah Kim-houw-bun terjadi hanya sebagai akibat saja dari pada sebab-sebab pertama.
Pada waktu itu, seperti biasa pada waktu perayaan pesta menyambut datangnya musim semi (musim Chun) yang juga disebut Tahun Baru, banyak pemain-pemain barongsai dari kota lain datang untuk bermain barongsai di kota tempat tinggal Hek-lian-pang. Sian Kim yang sempat melihat betapa di antara pemain-pemain anggota Kim-houw-bun ini terdapat seorang pemuda yang sangat gagah dan tampan, lalu timbul hatinya yang dikuasai oleh nafsu jahat dan segera mengadakan hubungan dengan pemuda Kim-houw-bun itu.
Hal ini diketahui oleh para anggotanya yang segera menjadi marah kepada pemuda itu dan timbullah benci dalam hati mereka terhadap Kim-houw-bun. Maka ketika kedua pihak bertemu pada waktu bermain barongsai, tak dapat dicegah lagi timbul pertempuran hebat.
Sian Kim tadinya tak mau ambil peduli tentang hal ini, akan tetapi tidak demikian dengan ketua Kim-houw-bun. Sebagai ketua perkumpulan pendatang, tentu saja ia tak mau para anggotanya mendapat hinaan dari orang lain, apa lagi ketika ia mendengar bahwa hal itu terjadi oleh karena kecabulan ketua Hek-lian-pang.
Karena itu dia segera datang dan menantang ketua perkumpulan Hek-lian-pang. Dalam pertempuran yang amat hebat, akhirnya Sian Kim harus mengakui keunggulan Kim-houw Chio-hoat (Ilmu Tombak Harimau Emas) yang dimiliki ketua Kim-houw-bun (Perkumpulan Harimau Emas) itu dan berjanji akan menuntut balas.
Sebenarnya, perkumpulan Kim-houw-bun adalah sebuah perkumpulan yang terkenal dan semua penduduk memandang tinggi perkumpulan yang dipimpin oleh Hui Kok Losu, oleh karena perkumpulan itu memang telah banyak melakukan perbuatan baik yang menolong penduduk kota Ouwciu dan sekitarnya. Juga sebagai seorang ahli tombak nama Hui Kok Losu telah banyak dikenal di dunia kang-ouw dan dianggap sebagai seorang lo-enghiong (orang tua gagah) yang disegani dan dihormati.
Kepandaian ilmu tombaknya merupakan ilmu tombak turunan dan yang berasal dari ilmu tombak Lian-hoan Coa-kut-chio (Tombak Tulang Ular) yang dulu pernah menggemparkan dunia persilatan. Hui Kok Losu adalah murid tunggal dari Sin-chio Siauw Kiat Si Tombak Malaikat, yakni pencipta dari ilmu tombak Lian-hoan Coa-kut-chio. Dan karena Hui Kok Losu juga mempelajar berbagai macam ilmu silat, maka ia lalu mencipta semacam ilmu tombak yang dijadikan ilmu tombak keturunan keluarga Hui, yakni ilmu tombak Kim-houw Chio-hoat itu.
Pada waktu Sian Kim dan Ciauw In tiba di rumah perkumpulan Kim-houw-bun, kebetulan sekali Hui Kok Losu sedang keluar kota, mengunjungi seorang sahabat baiknya di sebuah dusun yang tak jauh dari kota Ouwciu. Sahabatnya ini pun seorang pendekar tua yang kenamaan, bernama Ma Sian dan bergelar Lui-cin-tong (Pacul Kilat) dan menjadi seorang petani setelah mengundurkan diri dari dunia kang-ouw. Sering kali kedua orang tua itu saling kunjung-mengunjungi untuk mengobrol sambil minum arak dan main tioki (catur).
Pada saat Sian Kim dan Ciauw In tiba di depan rumah besar yang memakai papan besar dengan tulisan warna emas yang amat indah dan gagah ‘KIM HOUW BUN KOAN’ atau ‘RUMAH PERKUMPULAN MACAN EMAS’, Sian Kim lalu berkata dengan senyum sindir,
"Sekarang kau boleh menjadi macan emas, akan tetapi sebentar lagi kau akan menjadi macan mampus!"
Setelah berkata demikian, ia lalu melompat ke atas dan sekali ia ayun tangan memukul dengan telapak tangannya, terdengarlah suara keras…
“Prakkk!" dan papan itu terpukul pecah menjadi beberapa potong dan jatuh ke atas tanah.
Pada waktu itu di ruang depan perkumpulan itu duduk beberapa orang pemuda anggota Kim-houw-bun yang menjadi anak murid Hui Kok Losu. Tadi mereka pun sudah melihat datangnya seorang gadis cantik berpakaian hitam dengan seorang pemuda tampan yang berhenti di depan rumah perkumpulan mereka. Maka, seperti biasanya jika para pemuda melihat wanita muda yang cantik jelita, mereka kemudian menghentikan percakapan dan memandang kepada Sian Kim dengan kagum.
Akan tetapi alangkah terkejut hati mereka pada saat melihat betapa nona cantik itu telah melompat dan sekali pukul menghancurkan papan nama perkumpulan mereka! Dengan cepat empat orang pemuda itu segera memburu keluar.
Mereka merasa marah sekali. Akan tetapi ketika mereka sudah datang dekat, seorang di antara mereka mengenal nona baju hitam ini karena dahulu ia juga ikut dalam permainan barongsai saat perkumpulannya melawat ke kota Ban-hong-cun dan terjadi pertempuran dengan perkumpulan Hek-lian-pang.
"Siapakah kau yang sudah berani mengacau di sini?!" salah seorang di antara mereka membentak.
Akan tetapi pemuda yang telah mengenal Sian Kim, sambil tersenyum penuh arti oleh karena ia pun maklum akan kecabulan nona ini yang dahulu telah mengadakan hubungan gelap dengan seorang murid Kim-houw-bun hingga timbul permusuhan, berkata kepada Sian Kim.
"Hek-lian Niocu, apakah kau datang ke sini hendak mencari Gan-suheng?" sambil berkata demikian, ia tersenyum-senyum.
Yang disebutnya Gan-suheng adalah pemuda yang dulu mengadakan hubungan dengan Sian Kim. Karena itu, tentu saja Sian Kim menjadi marah sekali sebab kuatir kalau-kalau rahasia ini akan terbuka di depan Ciauw In.
"Aku tidak kenal dengan segala suheng-mu!" Sian Kim membentak dan sebelum pemuda itu membuka mulut lagi, ia telah mendahului. "Suruh tua bangka she Hui keluar agar dia membayar penghinaannya dahulu kepadaku!"
"Kau sudah menjadi pecundang, kenapa datang-datang berlagak sombong dan merusak papan nama perkumpulan kami?" orang itu berkata lagi.
Ia telah melakukan kesalahan besar dengan ucapan yang memandang rendah ini karena mendadak tangan Sian Kim bergerak dan pemuda itu langsung menjerit kesakitan sambil menggunakan kedua tangan menutup mulutnya yang berdarah. Ternyata tamparan Sian Kim telah membuat pipinya bengkak dan beberapa buah giginya copot!
Tiga orang kawannya menjadi marah dan karena mereka ini termasuk orang-orang baru di Kim-houw-bun, maka mereka belum mengenal siapa adanya Sian Kim. Dengan cepat mereka mencabut pedang dan menyerang Sian Kim.
Akan tetapi gadis itu dengan gerakan kilat mendahului mereka dan tiga kali ia menyerang, maka tiga orang itu terlempar dan mengaduh-aduh sebab masing-masing telah menerima persenan berupa pukulan dan tendangan yang membuat mereka roboh tak dapat bangun kembali!
Ciauw In melihat semua ini sambil tersenyum saja, oleh karena ia telah dapat dibujuk oleh Sian Kim yang menceritakan bahwa semua anggota Kim-houw-bun hanyalah terdiri dari orang-orang jahat. Dan memang tadi ia melihat lagak pemuda yang memandang rendah dan kurang ajar terhadap Sian Kim yang dicintainya.
Teriakan kesakitan dari empat orang yang sudah merasakan tangan Sian Kim terdengar oleh orang-orang di dalam rumah perkumpulan itu. Oleh karena itu, tidak lama kemudian serombongan anggota Kim-houw-bun yang terdiri dari dua belas orang menyerbu keluar. Di antara mereka ini terdapat pula empat orang murid yang sudah setengah tua dan yang memiliki kepandaian lumayan, bahkan mereka sering mewakili Hui Kok Losu mengajar murid-murid yang baru.....