Pendekar Dari Hoa-San Chapter 07 Cinta Segi Empat

Akan tetapi Sian Kim cepat menundukkan kepala dan menjawab.

“Aku kuatir sekali bahwa kedatanganku ini tidak dikehendaki. Jika memang betul, biarlah, aku pergi saja...,” ucapannya ini terdengar sangat mengharukan, seakan-akan dia berada dalam kesedihan besar.

"Ahh, sama sekali tidak, nona. Katakanlah keperluanmu kepadaku, karena kau telah kami anggap sebagai teman sendiri, mengapa berlaku sungkan-sungkan? Kami merasa girang sekali dapat bertemu dengan kau!" kata Ciauw In sedangkan Ong Su yang berhati jujur itu berkata juga,

“Nona Gu, di antara sesama orang gagah tidak ada sungkan-sungkan, bila memang ada kepentingan, lebih baik berterus terang. Andai kata hanya ingin bertemu saja, kami pun merasa gembira dan kita dapat bercakap-cakap tentang pertandingan-pertandingan yang terjadi kemarin!”

Nampaklah perubahan pada muka Sian Kim yang menjadi girang sekali.

“Kalian memang baik sekali," katanya tanpa memandang kepada Bwee Hiang sedikit pun. "Sebetulnya aku datang untuk mohon bantuanmu!”

Bukan main girangnya rasa hati Ciauw ln mendengar ini. Tidak ada hal yang akan lebih menggembirakan hatinya pada waktu itu dari pada mengulurkan tangan membantu nona yang diam-diam ia cinta ini!

“Tentu aku bersedia membantumu!” katanya, lupa bahwa ia bukan seorang diri sehingga menyebut ‘aku’ dan tidak ‘kami’!

"Kalau memang kami kuasa membantumu, tentu saja kami suka membantu," kata pula Ong Su, sama sekali tidak tahu bahwa Bwee Hiang mendengarkan semua percakapan ini dengan hati dingin.

Sian Kim nampak ragu-ragu dan berkata perlahan, "Betul-betulkah kalian suka membantu aku?"

Agaknya nona baju hitam itu merasa sungkan untuk melanjutkan kata-katanya sehingga Ciauw In mendesak.

"Katakanlah, nona. Kesukaran apakah yang sedang kau hadapi?"

Ditanya demikian, dengan suara yang mengandung penuh perhatian, tiba-tiba saja Sian Kim menangis sedih! Air matanya mengalir keluar bagaikan banjir dan dia menggunakan sehelai sapu tangan berwarna hijau untuk menyusuti air mata itu dari kedua pipinya yang agak kemerah-merahan. Ketika gadis ini mengeluarkan sapu tangannya itu dari balik baju bagian dada, terciumlah bau harum yang luar biasa sedapnya oleh Ciauw In dan Ong Su.

Sedangkan Bwee Hiang yang melihat betapa tiba-tiba Sian Kim menangis dengan amat sedihnya, menjadi heran dan menaruh perhatian pula.

“Cici, kenapakah kau menangis dan bersedih? Urusan apakah yang begitu menyusahkan hatimu?"

Betapa pun Bwee Hiang adalah seorang wanita yang berperasaan halus, maka tentu saja melihat lain orang wanita menangis ia merasa terharu dan kasihan.

Dengan amat pandainya Sian Kim memperhebat tangisnya ketika mendengar pertanyaan ini, kemudian dengan susah-payah dapat juga ia berkata,

"Aku memang bernasib malang... hanya mengharapkan bantuan... sam-wi yang mulia... untuk membalas sakit hatiku... yang amat besar ini...”

"Tenanglah, nona, dan ceritakan terus terang. Aku bersumpah akan membantu padamu sekuat tenagaku,” kata Ciauw In, sama sekali tidak ingat bahwa ucapannya ini melampaui batas.

Dia belum kenal baik kepada Sian Kim, belum tahu asal usulnya dan belum tahu pula urusan apakah yang gadis itu ingin ia bantu, akan tetapi ia telah berani bersumpah untuk membantunya!

Ong Su tentu saja merasa heran melihat sikap suheng-nya ini. Maka, untuk membetulkan ucapan suheng-nya yang dianggap salah dan hanya menurutkan hati iba, dia lalu segera menyambung,

"Ceritakanlah, nona. Setelah kami mengetahui duduknya persoalan, barulah kami akan mempertimbangkan apakah kami akan dapat membantumu!"

Dengan suara sedih yang sewajarnya dan mengharukan hati ketiga pendengarnya, Sian Kim lalu menceritakan riwayat bohong. Dia menuturkan bahwa dia adalah puteri tunggal seorang hartawan di utara, dan bahwa semenjak kecil ia telah mempelajari ilmu silat dari seorang pengemis tua yang merantau dan mempunyai kepandaian tinggi. Bahkan atas kehendak suhu-nya, ia ikut pula merantau sampai sepuluh tahun hingga mempunyai ilmu silat seperti sekarang ini.

Akan tetapi suhu-nya itu meninggal dunia dalam perantauan karena terserang penyakit jantung. Kemudian ia pulang ke kota ayahnya dan hidup dengan tenteram. Ayahnya juga seorang jago silat yang kenamaan dan mempunyai banyak kenalan.

Di antara sahabat-sahabat ayahnya itu terdapat tiga orang jago tua yang disebut Hopak Sam-eng atau Tiga Pendekar dari Hopak yang berilmu tinggi. Seorang di antara Hopak Sam-eng ini mempunyai seorang putera dan pada suatu hari Hopak Sam-eng datang melamar Sian Kim untuk dijodohkan dengan pemuda itu.

Ayahnya setuju dan menerima lamaran itu, akan tetapi ia sendiri tidak suka dan menolak. Setelah ayahnya terpaksa membatalkan perjodohan itu, timbullah perasaan permusuhan dan sakit hati dari pihak Hopak Sam-eng.

Pada suatu hari, pemuda yang tergila-gila kepadanya itu datang menggoda sehingga dia menjadi marah dan melukainya. Hal ini membuat Hopak Sam-eng menjadi amat marah sehingga mereka bertiga datang menantang ke rumah orang tuanya. Dalam pertempuran hebat, ayahnya terbunuh oleh mereka, sedangkan dia sendiri sesudah berhasil melukai seorang di antara Hopak Sam-eng, dapat melarikan diri dan pergi merantau.

Demikianlah, Sian Kim mengarang cerita bohong dan menceritakannya sambil menangis sedih.

"Apakah dayaku? Mereka itu lihai...” katanya sambil menyusut air matanya. "Dan aku tak sanggup menghadapi mereka seorang diri saja. Telah beberapa kali aku menyerbu, akan tetapi selalu aku dipukul mundur, bahkan menerima hinaan-hinaan dari pemuda itu!"

Ia mengepal tinju dengan muka marah. "Tadinya karena tak berhasil membalas dendam, aku ingin membunuh diri saja untuk mengakhiri penderitaan dan kekecewaanku. Lalu aku mendengar tentang pertemuan dan pibu yang diadakan oleh pihak Go-bi-pai, maka timbul kembali harapanku. Aku sengaja datang dan ikut bertanding untuk mencari kawan yang kiranya dapat membantuku. Setelah mellhat kalian bertiga yang berkepandaian tinggi dan berbudi mulia, maka aku merasa yakin bahwa kalian sajalah yang mampu membantuku, terutama sekali kau, Lie-taihiap."

Sambil berkata demikian, tiba-tiba Sian Kim menjatuhkan dirl berlutut di depan Ciauw In! Tentu saja Ciauw In merasa gugup sekali melihat hal ini dan dengan sentuhan halus ia memegang pundak Sian Kim untuk mengangkatnya bangun.

"Jangan begitu, nona. Tentu saja aku suka membantumu untuk melenyapkan bangsat-bangsat tua itu!"

"Nanti dulu, twa-suheng," Bwee Hiang cepat berkata, "kita bertiga harus merundingkan hal ini semasak-masaknya dulu, karena seharusnya kita kembali dulu ke Hoa-san untuk memberi laporan kepada suhu tentang tugas kita. Mengenai persoalan cici Sian Kim ini pun akan lebih baik kalau kita minta ijin dulu kepada suhu."

"Untuk melakukan hal yang baik tidak perlu harus pulang dulu ke Hoa-san, sumoi," kata Ciauw In.

"Betapa pun juga, aku tetap hendak kembali dulu ke Hoa-san memberi tahu kepada suhu tentang pertempuran dan pibu itu. Barulah kita akan pikir-pikir untuk membantu cici Sian Kim.”

“Akan tetapi, sumoi...” Baru saja Ciauw In berkata sampai di sini, tiba-tiba Sian Kim lalu memotongnya.

"Ah, aku yang hina dina hanya membuat kacau saja! Biarlah aku pergi saja dulu, dan hal ini kuserahkan kepada kalian bertiga untuk mempertimbangkan. Aku sudah mengajukan permohonanku, dan dikabulkan atau tidak itu hanya tergantung pada nasibku. Aku akan berada di sebelah barat dusun ini pada besok pagi-pagi. Jika kalian kunanti-nanti sampai matahari naik tidak juga datang, maka kuanggap saja bahwa kalian tak sudi membantuku. Apa bila memang demikian, apa boleh buat, aku akan mengadu nyawaku dengan Hopak Sam-eng dan biarlah riwayatku yang penuh derita ini tamat di tangan mereka!"

Terdengar ia tersedu lagi lalu pergi melarikan diri ke dalam gelap.

“Nona...” kata Ciauw In, akan tetapi ia menahan mulutnya oleh karena ia anggap bahwa hal inilah yang terbaik. Kini ia dapat berunding dengan Bwee Hiang dan Ong Su.

“Bagaimana kau bisa berlaku kejam terhadap seorang yang minta pertolongan kita?” kata Ciauw In menegur sumoi-nya. "Sumoi, tidak hanya sekarang, bahkan kemarin ketika kau bertanding di atas panggung dengan nona Sian Kim, kau telah menunjukkan sikap yang kurang memuaskan sekali!"

Bwee Hiang bersungut-sungut dan menahan air matanya yang hendak meloncat keluar.

“Twa-suheng, kalau memang sikapku kurang baik, biarlah aku terima salah. Akan tetapi, kuharap kau tidak pergi memenuhi permintaan Sian Kim itu..."

“Mengapa?”

"Entahlah... aku kurang percaya kepadanya!"

“Kau tidak adil! Sute, coba kau bilang, apakah betul sikap dari sumoi kita ini?”

Ong Su merasa serba salah. Pada dasar hatinya, ia juga kurang setuju dengan pendirian Bwee Hiang. Sian Kim adalah seorang gadis yang harus dikasihani, kenapa tanpa alasan Bwee Hiang agaknya benci kepadanya? Akan tetapi, menyatakan perasaan ini di depan Bwee Hiang yang ia cinta, ia pun tidak berani!

Karena Ong Su tidak menjawab, Bwee Hiang lalu berkata lagi sambil menetapkan hatinya agar suaranya tidak gemetar.

“Twa-suheng, selain perasaanku yang mungkin sekali keliru itu, kurasa kurang sempurna kalau kita atau kau sendiri pergi membantu Sian Kim menuntut balas kepada musuh-musuhnya. Persoalan gadis itu adalah persoalan pribadi, soal perjodohan, jadi perlu apa kita harus ikut mencampurinya?"

"Kau keliru, sumoi. Biar pun persoalan itu tadinya merupakan soal pribadi yang tidak perlu kita campuri, akan tetapi setelah ketiga jago tua itu menurunkan tangan jahat membunuh mati orang yang tak berdosa, bahkan menghina seorang gadis yang telah mereka bunuh ayahnya, maka sudah selayaknya kalau kita turun tangan!"

Bwee Hiang memandang kepada Ong Su minta pertimbangan dan bantuan.

"Bagaimana, ji-suheng? Menurut pendapatmu, apakah kita harus pergi memberi laporan lebih dulu kepada suhu, ataukah langsung pergi membantu Sian Kim?"

Ong Su merasa serba bingung dan tidak tahu bagaimana harus menjawab. Ia hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, kemudian sesudah batuk-batuk beberapa kali, terpaksa ia menjawab,

"Aku menjadi bingung... membantu orang memang perlu dan sangat baik, akan tetapi melaporkan kepada suhu juga penting sekali...”

"Jawablah yang betul, sute, jangan bercabang dua! Kau setuju dengan keputusanku atau setuju dengan keputusan sumoi?"

Ketika Ong Su merasa ragu-ragu dan tidak dapat menjawab, hanya memandang mereka dengan bergantian, Bwee Hiang berkata gemas,

"Ji-suheng, kau benar-benar tidak mempunyai pendirian yang tetap!"

Ditegur dari kanan kiri, Ong Su menjadi makin gugup dan bingung. Ia lalu bangkit berdiri dan berkata,

"Sudahlah... lebih baik sekarang aku pergi tidur saja. Kuserahkan kepada kalian berdua untuk mengambil keputusan dan aku akan menurut saja pada keputusan apa yang kalian ambil!" Lalu ia pergi memasuki kamarnya untuk tidur!

Bwee Hiang dan Ciauw In saling pandang.

"Sumoi, betapa pun juga aku harus menolong Sian Kim! Kenapa kau agaknya demikian benci kepadanya?”

"Karena... karena pandang matamu kepadanya begitu... begitu... mesra! Dan sikapnya kepadamu itu... ahhh...”

Tiba-tiba Bwee Hiang menutupi kedua matanya dengan tangan untuk mencegah air mata yang hendak keluar, akan tetapi tetap saja air matanya tak dapat dibendung dan mengalir di sepanjang kedua pipinya.

Melihat sumoi-nya menangis, hati Ciauw In menjadi terharu sekali. Pemuda ini maklum apa yang terasa di dalam hati gadis ini. Maka sambil memegang lengan Bwee Hiang, ia berkata dengan suara gemetar,

”Sumoi, sejak kecil kita telah berkumpul, maka baiklah aku berterus terang saja padamu. Dengarlah, selain merasa kasihan pada Sian Kim, aku..... aku mencinta padanya... entah mengapa, hatiku amat tertarik... belum pernah terasa seperti ini dalam hatiku... aku cinta padanya, sumoi."

Makin keraslah tangis Bwee Hiang mendengar pengakuan ini.

"Ahhh... twa-suheng, sudah kuduga... sudah kuduga hal ini akan terjadi... dan aku... aku yang bodoh... aku...”

Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena tangisnya membuat kerongkongannya seakan-akan tersumbat.

"Aku tahu perasaan hatimu, sumoi. Maafkan aku... kau kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku harus menolong dan membantu Sian Kim membalas musuh-musuhnya, besok aku akan pergi bersama dia mencari Hopak Sam-eng...”

"Dan... dan aku bagaimana...?"

Pertanyaan ini keluar bagaikan seorang anak kecil yang hendak ditinggal pergi oleh orang tuanya, dan hati Ciauw ln tertusuk sekali. Ia merasa kasihan kepada sumoi-nya ini, akan tetapi cinta yang mengamuk dalam hatinya itu lebih besar pengaruhnya.

"Kau dan sute boleh kembali ke Hoa-san, memberi laporan kepada suhu tentang pibu di Kui-san itu. Sesudah aku berhasil membantu Sian Kim, aku akan menyusul ke Hoa-san dan mengaku terus terang kepada suhu tentang perasaanku terhadap Sian Kim."

Dengan wajah amat pucat Bwee Hiang lalu bangkit berdiri dengan tubuh lemas, dan dia pun berkata tetap, "Baiklah, suheng, semoga kau berbahagia."

Kemudian dengan isak tangis tertahan, gadis yang malang ini lalu berlari ke kamarnya, meninggalkan Ciauw In yang termenung seorang diri di ruang depan hotel itu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bwee Hiang sudah keluar dari kamarnya, begitu pula Ciauw In karena sesungguhnya kedua orang muda ini semalam suntuk tidak tidur sama sekali. Pada waktu Ong Su bangun dan bertanya tentang keputusan mereka, Bwee Hiang menjawab dengan singkat,

“Twa-suheng akan pergi untuk membantu Sian Kim, sedangkan kau dan aku kembali ke Hoa-san untuk memberi laporan kepada suhu."

"Ya, demikianlah keputusannya, sute. Kalau sudah selesai urusanku membantu nona Gu, aku akan menyusul cepat ke Hoa-san,” kata Ciauw In.

Ong Su tidak mau banyak bicara karena dari sikap kedua orang ini, ia maklum tentu telah terjadi pertentangan. Terutama sekali ia melihat betapa wajah Bwee Hiang sangat pucat dan masih nampak tanda-tanda bekas air mata di bawah pelupuk matanya yang merah. Setelah berpamit, kedua orang muda ini kemudian pergi melanjutkan perjalanan menuju ke Hoa-san.

Di tengah perjalanan, Ong Su berkata pada sumoi-nya yang melakukan perjalanan tanpa bicara sedikit pun seperti sebuah patung hidup.

"Sumoi, agaknya terjadi perselisihan antara suheng dan kau!”

“Tidak ada perselisihan apa-apa. Twa-suheng terlalu memaksa untuk pergi membantu... perempuan itu!”

Ong Su menarik napas panjang.

"Sumoi, kau... agaknya amat membenci Sian Kim, berbeda sekali dengan suheng.”

“Memang twa-suheng... cinta kepada perempaan itu!”

"Apa?!”

Ong Su terheran juga karena hal ini belum pernah ia pikirkan.

"Twa-suheng mencinta Sian Kim." Bwee Hiang mengulang. “dan itulah sebabnya kenapa ia membantu perempuan itu. Malam tadi twa-suheng mengaku terus terang kepadaku."

Kembali gadis ini menahan isaknya.

Tiba-tiba Ong Su menghentikan tindakan kakinya dan dia menarik napas panjang. Bwee Hiang juga berhenti dan memandang kepada pemuda itu.

“Kasihan sekali kau, sumoi...,“ katanya. "Aku tahu akan keadaan hatimu. Kita memang senasib, menjatuhkan cinta kasih kepada orang yang tak dapat membalasnya!”

Untuk sesaat mereka saling berpandangan. Bwee Hiang yang dapat menangkap maksud kata-kata suheng-nya ini, mengulang ucapan Ciauw In yang diucapkan kepadanya malam tadi.

“Maafkan aku, suheng..."

Hanya itulah yang dapat ia ucapkan dan keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan membisu, tenggelam dalam lamunan masing-masing yang penuh kepahitan…..

********************

Sementara itu, dengan hati berdebar dan tergesa-gesa, Lie Ciauw In meninggalkan hotel dan keluar menuju ke jurusan barat. Ketika sampai di pintu dusun, benar saja ia melihat bayangan Sian Kim dengan bentuk tubuhnya yang langsing itu telah menanti di situ.

Gadis itu duduk di atas sebuah batu besar dan ketika melihat ia datang, segera melompat bangun dan lari menyambutnya. Mereka berdiri berhadapan, berseri gembira pada wajah mereka. Dari sepasang mata gadis yang indah itu kelihatan dua titik air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum girang.

"Ah, taihiap, kau betul-betul datang membantuku,” katanya dengan suara yang merdu dan gembira.

Ciauw In tertegun memandang. Matanya menatap dengan kagum sekali. Pada pagi hari ini, Sian Kim kelihatan lebih cantik lagi, bagaikan seorang bidadari fajar. Gadis jelita ini masih mengenakan pakaian berwarna hitam seluruhnya, akan tetapi pakaiannya terbuat dari pada sutera halus dan yang amat menggiurkan hati Ciauw In ialah belahan baju pada bagian leher depan yang agak terlalu rendah sehingga nampak membayang kemontokan dada gadis itu.

Pita rambutnya berwarna merah muda, demikian pula ikat pinggangnya yang melambai-lambai ke bawah. Sepatunya juga berwarna hitam dan berkembang merah. Pada rambut kepala sebelah kiri terhias dengan setangkai bunga merah yang segar dan berbau harum!

“Maafkan bahwa sute dan sumoi-ku tak dapat ikut membantumu, nona, karena mereka itu harus segera kembali ke Hoa-san melaporkan hasil pibu itu kepada suhu."

"Tidak apa, taihiap, dengan dikawani oleh kau seorang pun sudah cukup bagiku! Seorang Hoa-san Taihiap lebih berharga bagiku dari pada seratus orang kawan yang membantu?”

”Ahh, kau terlampau melebih-lebihkan, nona."

“Selama hidupku, aku tidak akan melupakan budimu ini, taihiap."

"Nona, mengapa kau berkata demikian? Bantuan belum kuberikan, dan belum tentu pula aku akan berhasil mengalahkan musuh-musuhmu. Kemanakah sekarang kita harus pergi mencari mereka?”

"Mereka telah lama pindah dari kota kelahiranku dan kini mereka berada di Kiang-sun-ok, kota di sebelah barat yang letaknya kurang lebih seratus li dari sini."

Kedua orang ini lalu berangkat menuju ke barat. Sian Kim pandai sekali mengambil hati, mengajak kawannya bercakap-cakap dengan amat gembira hingga sebentar saja Ciauw In telah lupa kepada Bwee Hiang yang menimbulkan kasihan di dalam hatinya. Ia terpikat semakin dalam pada gadis ini dan merasa bahwa selama ini ia belum pernah menikmati kebahagiaan dan kegembiraan hidup.

Pohon-pohon dan kembang-kembang yang dilihatnya kini nampak berbeda dari biasanya, dan segala apa yang nampak mendatangkan kesedapan pada matanya. Seakan-akan dia merasa hidup baru disamping gadis jelita ini.

Sian Kim sengaja melakukan perjalanan secara lambat, akan tetapi hal ini tak menjadikan keberatan bagi Ciauw In. Bahkan pemuda ini pun menghendaki agar ia dapat berkumpul selama mungkin dengan kekasih hatinya ini.

Gadis baju hitam ini memang sudah mempunyai banyak pengalaman dan tahu cara-cara memikat hati laki-laki. Sedikit pun Ciauw In tak pernah menyangka bahwa dara jelita yang kini melakukan perjalanan bersama dia ini adalah seorang manusia berbahaya, seorang wanita yang seperti seekor ular berbisa yang berbahaya sekali.....

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar