Rajawali Emas Chapter 32

"Saudara Sin Lee she Tiauw, bukan? Bagus, she yang bagus akan tetapi juga jarang ada. Membikin aku teringat akan burung rajawali raksasa. Ehh, Saudara Tiauw Sin Lee, apa kau pernah melihat seekor burung rajawali emas raksasa yang memakai kalung mutiara?"

Wajah Sin Lee segera berubah. Jantungnya berdebar keras. Tadi ketika diperkenalkan, ia mendengar bahwa orang muda yang halus gerak-gerik serta tutur sapanya ini bernama Kwa Kun Hong, putera Ketua Hoa-san-pai. Ini saja sudah membuat ia berdebar-debar karena Kwa Kun Hong yang berdiri di depannya ini adalah adik ibunya! Adik lain ibu, jadi adik tirinya, berarti Kwa Kun Hong ini adalah paman tirinya sendiri.

Akan tetapi tentu saja dia tidak berani memperkenalkan diri dengan sesungguhnya. Dia adalah anak Kwa Kun Hong dan kepergiannya ke Thai-san mempunyai maksud menyeret Tan Beng San ke hadapan ibunya. Orang-orang muda ini sedang menuju ke Thai-san, agaknya mempunyai hubungan baik dan erat sekali dengan Ketua Thai-san-pai.

Apa bila ia mengaku dan menceritakan maksudnya, sudah tentu akan terjadi hal-hal yang tidak enak sekali. Oleh karena itu ia harus tetap memalsukan shenya. Siapa kira di sini ia bertemu dengan paman tirinya, yang entah dengan cara bagaimana, agaknya mengetahui rahasianya!

Bagaimana paman tirinya ini tahu tentang kim-tiauw pula? Sudah tentu saja ia mengenal rajawali emas yang berkalung mutiara. Siapa tidak mengenal kalau kalung yang berada di leher burung itu adalah dia sendiri yang memasangnya?

Mendengar ini, baik Hui Cu mau pun Li Eng menjadi kaget dan heran, lalu memandang kepada Sin Lee. Terutama sekali Li Eng. Sebagai seorang gadis yang cerdik sekali, ia pun dapat menghubung-hubungkan sesuatu.

"Kalau pernah melihat kim-tiauw berkalung mutiara tentu pernah melihat... dia!" Li Eng memandang tajam.

Mendengar ini Hui Cu mengeluarkan seruan tertahan. Benarkah dugaan Li Eng bahwa pemuda penolongnya dan yang sekaligus perampas hatinya ini ada hubungan dengan... dia yang dimaksudkan tentu Kwa Hong?

Ada pun Sin Lee ketika mendengar ucapan Kun Hong dan kemudian Li Eng, melihat pula pandang mata Hui Cu dan yang lain-lain, berubah air mukanya. Tidak mengakui tentang kim-tiauw bukanlah hal yang sukar baginya, akan tetapi bagaimana ia bisa tidak mengakui tentang ibunya sendiri? Ia menjadi gugup dan gelisah karena merasa rahasianya hampir terbongkar.

"Aku... aku... ah, tidak tahu siapa yang kalian maksudkan... setelah Nona Hui Cu bertemu dengan kalian, biarlah aku pergi!" Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan dia sudah melompat jauh sekali.

"Saudara Sin Lee...!" Tak terasa lagi Hui Cu berseru memanggil dan lari mengejar, namun ia segera menahan kakinya dan mukanya berubah merah ketika teringat bahwa sikapnya ini benar-benar telah membuka perasaan hatinya, sedangkan di situ terdapat Kun Hong dan Li Eng!

Dari jauh, lapat-lapat terdengar suara pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu, "Nona Thio Hui Cu, selamat tinggal, kelak kita pasti akan saling bertemu kembali..."

"Enci Hui Cu, jangan kuatir, aku yakin kau akan bertemu lagi dengan dia. Hemm, dia baik sekali kepadamu, Cu-cici." Li Eng lalu tertawa dan Hui Cu menjadi makin merah mukanya.

"Adik Eng, jangan kau main-main!"

"Siapa main-main? Memang dia... ehh, hebat sekali, bukan begitukah pendapatmu?"

"Kau... nakal...!"

Hui Cu maju sambil mengulur tangan hendak mencubit pipi Li Eng yang menggodanya. Li Eng mengelak dan menjerit-jerit.

"Ehh... ehhh, jangan... uhh, kenapa marah-marah? Lihat, tuh dia datang kembali!"

Seketika Hui Cu berhenti dan menengok ke arah perginya pemuda tadi. Ketika dia tidak melihat siapa-siapa, Hui Cu menjadi semakin jengah, maklum bahwa sekali lagi ia digoda oleh adik misan yang nakal itu.

"Sudahlah, jangan bergurau saja. Kita harus bersyukur bahwa akhirnya kita bertiga dapat berkumpul kembali dengan selamat."

Sambil melanjutkan perjalanan, tiga orang muda ini lalu saling menuturkan pengalaman mereka masing-masing…..

********************

Puncak Thai-san yang sangat tinggi menjadi tempat tinggal Raja Pedang Tan Beng San dan isterinya Cia Li Cu. Seperti telah kita ketahui dalam permulaan cerita Rajawali Emas, Tan Beng San setelah mengalami banyak sekali derita hidup, dipermainkan oleh asmara yang membuatnya banyak mengalami pahit getir penghidupan, akhirnya berjodoh dengan Li Cu dan hidup sebagai suami isteri yang penuh kebahagiaan di Thai-san ini.

Tentu saja, sebagai sepasang pendekar yang berjiwa gagah, mereka tidak dapat terus menerus menyembunyikan diri di tempat sunyi ini. Kadang-kadang mereka bersama sama atau Tan Beng San seorang diri, turun gunung untuk menjalankan tugas sebagai seorang pendekar pembasmi kejahatan serta penegak kebenaran dan keadilan, sehingga nama sepasang pendekar itu makin terkenal di seluruh dunia.

Tan Beng San adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, pewaris dari Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat. Ada pun isterinya Li Cu, adalah puteri tunggal Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan. Dengan keadaan demikian, tentu saja sepasang suami isteri ini mempunyai cita-cita untuk mengembangkan kepandaian mereka, membentuk sebuah partai persilatan di Thai-san yang akan menyebar luaskan ilmu dari mereka dan dijadikan sebagai modal untuk membantu usaha pembasmian kejahatan di dunia ini.

Cita-cita inilah yang membuat mereka akhirnya sepakat untuk mendirikan partai persilatan Thai-san-pai. Mereka lalu memilih orang-orang atau lebih tepat anak-anak yang berbakat, diambil dari dusun-dusun dan dipilih anak-anak yang telantar untuk dididik dan dijadikan murid mereka.

Kebahagiaan hidup mereka terasa meningkat ketika setahun kemudian terlahir seorang anak perempuan yang mereka beri nama Tan Cui Bi. Tentu saja anak kesayangannya ini mendapat gemblengan dari kedua orang tuanya sehingga sesudah berusia tujuh belas tahun, Cui Bi menjadi seorang gadis yang selain cantik jelita, juga berkepandaian tinggi.

Namun, sebagai anak tunggal, Cui Bi amat manja. Darah ayah bundanya, darah ksatria, mengalir dalam tubuhnya dan semenjak berusia lima belas tahun tanpa dapat ditahan lagi oleh kedua orang tuanya, anak ini kadang-kadang melakukan perantauan seorang diri dan melakukan perbuatan-perbuatan gagah berani yang menggemparkan dunia kang-ouw.

Dalam setiap perjalanan ia selalu berpakaian sebagai laki-laki. Hal ini adalah nasehat dari ayahnya yang maklum bahwa betapa pun tingginya kepandaian puterinya, namun dalam pakaian laki-laki Cui Bi akan dapat melakukan perjalanan lebih leluasa, dari pada sebagai seorang gadis cantik dan muda.

Semestinya Tan Beng San serta isterinya akan merasa sangat bahagia setelah mereka mendapatkan murid-murid yang cukup banyak untuk dapat dijadikan anggota Thai-san-pai yang akan mereka resmikan pendiriannya. Akan tetapi, sebagaimana lajimnya kehidupan manusia di dunia ini, selalu tidak mungkin sempurna, tidak ada kebahagiaan sempurna selama manusia masih hidup, pasti ada saja gangguan.

Hal yang sangat menggelisahkan hati dua orang gagah ini adalah sikap Cui Bi dalam hal perjodohan. Telah banyak sekali datang pinangan-pinangan, baik dari putera orang-orang berpangkat, putera tokoh-tokoh kenamaan di dunia kang-ouw, atau pendekar-pendekar muda yang sepak terjangnya benar-benar mengagumkan. Akan tetapi semua pinangan itu selalu ditolak mentah-mentah oleh Cui Bi, sampai akhirnya datang pinangan dari Ketua Kun-lun-pai yang menjadi sahabat baik dari Tan Beng San sendiri.

Pembaca kiranya masih ingat kepada Bun Lim Kwi, pendekar Kun-lun-pai yang terjodoh dengan Thio Eng puteri tokoh Pek-lian-pai dan murid Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang. Setelah Ketua Kun-lun-pai yang sudah tua meninggal dunia, Bun Lim Kwi diangkat menjadi ketua baru dari Kun-lun-pai. Bun-paicu ini mempunyai seorang putera tunggal dan diberi nama Bun Wan.

Bun Wan seorang pemuda yang ganteng dan gagah, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur, ilmu silatnya pun amat tinggi. Ketika dalam perantauan, Tan Beng San dan isterinya pernah singgah di Kun-lun dan pernah melihat Bun Wan ini yang mendatangkan kesan baik dalam hati mereka.

Oleh karena itulah, ketika datang lamaran dari Kun-lun, serta merta Tan Beng San dan isterinya setuju karena dalam pandangan mereka, sudah patut sekali kalau puteri mereka menjadi isteri pemuda Bun Wan itu. Bun Wan tampan dan gagah, keturunan orang-orang gagah, putera Ketua Kun-lun-pai yang besar dan terkenal, mau apa lagi? Sukar kiranya mencari mantu yang melebihi Bun Wan ini.

Maka, setelah bersepakat, suami isteri Thai-san ini menerima pinangan itu, tanpa pernah bertanya lagi kepada Cui Bi karena gadis ini sedang merantau. Bun Lim Kwi yang datang sendiri ke Thai-san menjadi girang dan amat berterima kasih, lalu kembali ke Kun-lun-pai setelah mendapat keterangan dari suami isteri Thai-san bahwa persoalan itu selanjutnya akan ditentukan hari pernikahannya sehabis peresmian pendirian Thai-san-pai.

Akan tetapi alangkah mengkal dan duka hati suami isteri ini ketika Cui Bi datang dan diberi tahu tentang ikatan jodoh ini. Gadis itu marah-marah, bahkan pada malam harinya lari pergi dari Thai-san tanpa memberi tahukan ayah bundanya.

"Hemm, anak itu terlalu manja!" Beng San membanting kaki dan mendongkol sekali. “Kali ini ia mau tidak mau harus menurut kehendak kita! Aku akan menyusul dan mencarinya."

Li Cu memegang tangan suaminya. "Jangan, terburu nafsu. Ingatlah bahwa Cui Bi baru berusia tujuh belas, mungkin perkawinan merupakan hal asing yang menakutkan hatinya. Tidak perlu disusul dan dipaksa, jangan-jangan ia akan semakin keras kepala dan nekat menolak. Tunggulah, aku yakin sekali dia akan pulang menjelang pendirian Thai-san-pai dan perlahan-lahan nanti kita bujuk. Serahkan saja kepadaku untuk membujuknya."

Beng San mengerutkan keningnya. "Ahh, kau selalu memanjakan dia, maka sekarang dia begitu keras kepala, selalu hendak membantah kehendak orang tua."

"Suamiku, bagaimana takkan begitu jadinya kalau Bi-ji itu merasa bahwa dia adalah anak tunggal kesayangan kita? Aku memang bersalah," ia menundukkan mukanya. "Aku terlalu memanjakan dia. Tapi... tapi kiraku kalau adiknya ini sudah terlahir, dia tidak akan begitu manja lagi..." Li Cu meraba perutnya yang sudah mengandung empat bulan lebih itu.

Beng San berubah mukanya. Cepat ia memegang kedua tangan isterinya dan dibawanya ke muka, diciuminya. "Ahh, maafkan aku... Li Cu, kau tahu, aku tidak menyalahkan kau, bukan begitu maksudku... ahh, aku hanya terlalu bingung dan gelisah memikirkan Cui Bi. Kita sudah menerima pinangan dari Kun-lun-pai, bagaimana jika kelak dia tetap berkeras menolaknya?"

Li Cu menarik kedua tangannya, memandang pada suaminya dengan penuh cinta kasih. "Kau selalu baik sekali. Percayalah, aku akan membujuk Bi-ji (Anak Bi)."

Suami isteri ini mengatur persiapan perayaan yang dilakukan oleh para anggota Thai-san-pai. Murid Thai-san-pai jumlahnya ada tiga puluh orang lebih dan mereka ini rata-rata sudah berusia tiga puluh tahun lebih. Malah mereka yang sudah berumah tangga dan tinggal di luar, sekarang pada datang untuk membantu.

Ramai dan gembira keadaan di puncak Thai-san ini. Selain mengatur hiasan-hiasan, juga pada beberapa tempat dibangun pondok-pondok darurat untuk para tamu yang diduga akan membajiri Thai-san-pai.

Para murid ini telah menerima pelajaran ilmu silat yang cukup tinggi juga, yaitu Ilmu Silat Thai-san Kun-hoat yang diciptakan oleh Tan Beng San dengan jalan menggabung ilmu silatnya dan ilmu silat isterinya yang mengutamakan keindahan, kecepatan dan cara yang praktis untuk merobohkan lawan tanpa membunuh, sesuai dengan jiwa Beng San yang tidak suka membunuh orang.

Telah dituturkan di bagian depan cerita ini bahwa Beng San dan isterinya melanjutkan usaha Cia Hui Gan, yaitu membuat jalan rahasia yang menuju ke puncak tempat tinggal mereka. Hanya mereka berdua, anak mereka, dan para murid saja yang tahu akan jalan rahasia yang amat sulit ini.

Jika dilihat dari jauh, agaknya tak mungkin mendatangi puncak di mana terdapat tempat tinggal mereka atau yang menjadi pusat dari Thai-san-pai, karena puncak itu dikurung jurang-jurang yang amat terjal dan tak mungkin dilalui manusia, kecuali kalau manusia itu dapat terbang seperti burung. Bahkan anak murid yang belum tamat, tidak diberi tahu tentang jalan rahasia ini dan karenanya mereka tak dapat meninggalkan puncak sebelum pelajaran mereka tamat. Karena adanya jalan rahasia inilah maka musuh-musuh besar suami isteri itu, di antaranya Song-bun-kwi, tidak berdaya menyerbu Thai-san-pai.

Jalan rahasia ini setiap saat bisa dirubah-rubah sehingga andai kata ada seorang musuh yang berhasil mendapatkan rahasia pada hari itu, pada lain harinya pengetahuannya itu akan sia-sia belaka karena setelah dirubah, rahasia itu akan jauh berlainan dengan yang sudah-sudah.

Untuk menjaga rahasia gunungnya, Beng San sengaja hendak mengadakan perayaan pendirian Thai-san-pai itu di bawah puncak, sehingga ia tidak usah mendatangkan para tamu ke puncak dan karenanya tidak perlu pula ia membuka rahasia itu.

Para anak murid Thai-san-pai sudah siap siaga di bawah puncak. Sebelum hari ditetapkan tiba, kurang satu minggu anak murid sudah siap menyambut para tamu, mewakili ketua mereka. Beng San sendiri tidak mau turun dari puncak sebelum hari yang ditentukan tiba. Ia dan isterinya sedang menanti datangnya para anak murid yang bertempat tinggal jauh, juga menanti datangnya puteri mereka, Tan Cui Bi.

Para tamu mulai berdatangan dan sibuklah anak murid Thai-san-pai menyambut mereka. Yang mewakili Beng San mengadakan penyambutan dan menyampaikan maaf ketuanya karena sibuk sehingga baru akan muncul pada hari yang sudah ditetapkan, adalah Oei Sun, murid tertua, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berusia empat puluh tahun.

Macam-macam sikap para tamu saat menerima penyambutan yang hanya dilakukan oleh murid tertua Thai-san-pai ini. Mereka ini kesemuanya amat menghormat dan mengagumi Raja Pedang Tan Beng San, namun apakah artinya murid Thai-san-pai yang baru saja berdiri ini?

Ada yang menerima penyambutan dengan hormat, ada yang berterima kasih dan berdiam diri saja, akan tetapi ada pula yang bersungut-sungut, mereka menganggap bahwa Ketua Thai-san-pai tidak memandang mata kepada mereka. Akan tetapi, karena sungkan kalau mendatangkan keributan, mereka menerima saja dan mendiami tempat masing-masing, yaitu bangunan-bangunan darurat yang sudah disediakan untuk mereka.

Seorang di antara para tamu, Lai Tang yang berjuluk Cakar Naga, seorang guru silat dari kota raja yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan berwatak kasar pongah, ketika mendapat sambutan ini segera berkata sambil berjalan ke arah pondok yang ditunjukkan baginya.

"Hemm, hemm, Thai-san-pai Ciangbunjin (Ketua) sedang sibuk dan tidak ada kesempatan menyambut kedatanganku? Membikin kakiku terasa berat saja menaiki Thai-san."

Semua tamu mendengar ini dan beberapa orang di antaranya lalu berseru kagum ketika melihat betapa jejak kaki guru silat tinggi besar ini tercetak di tanah dan memperlihatkan bekas sedalam sepuluh sentimeter lebih pada tanah yang keras itu!

Demonstrasi yang diperlihatkan Lai Tang itu menunjukkan bahwa tenaga lweekang-nya cukup hebat, agaknya sengaja ia perlihatkan untuk mengejek bahwa seorang anak murid Thai-san-pai yang tidak ada nama itu tak cukup berharga untuk menyambut seorang tamu yang berkepandaian selihai dia!

Terdengar Oei Sun tertawa ramah, lalu berkata, "Maaf, maaf, Lai-kauwsu (Guru Silat Lai), Suhu telah memesan agar menyampaikan maafnya dan memesan supaya siauwte dapat melayani semua tamu dengan hormat. Biarlah siauwte yang meringankan kalau Kauwsu merasa berat kaki."

Setelah berkata demikian, dengan tenang dia berjalan pula melangkah di dekat jejak kaki guru silat itu dan... bekas kaki yang amblas sepuluh senti meter itu segera lenyap karena tanahnya sudah rata kembali!

Semua tamu kembali berseru memuji dan guru silat Lai itu menengok, melihat apa yang dilakukan oleh Oei Sun. Mukanya segera menjadi merah dan ia cepat-cepat membalikkan tubuh dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Oei Sun.

"Panglima yang pandai mempunyai prajurit yang hebat pula! Sahabat, dengan kepandaian seperti yang kau miliki ini, tentu saja aku sudah merasa cukup terhormat bisa mendapat penyambutanmu!"

Sesudah berkata demikian, Lai Tang berjalan menuju ke pondoknya sambil tertawa tulus. Senang hati Oei Sun karena meski pun pongah dan kasar, kiranya guru silat she Lai itu cukup jujur dan terbuka hatinya.

Di kaki puncak itu telah dibuat tanah datar yang amat luas dan di tengah dibangun teratak tinggi, setinggi dua meter dengan bentuk persegi empat berukuran lima meter. Di ujung teratak yang lantainya terbuat dari papan tebal dan tiang-tiangnya di bawah dari balok besar-besar ini dipasangi meja sembahyang.

Teratak tanpa atap inilah yang nanti akan menjadi tempat dilakukannya upacara pendirian Thai-san-pai dan sengaja dibuat dalam bentuk seperti biasa orang membuat panggung lui-tai di mana orang akan dapat bermain silat cukup leluasa. Bukan hal aneh kalau setiap pertemuan di antara para jago-jago silat atau dalam partai-partai persilatan, dibuat teratak semacam ini untuk memberi kesempatan orang bermain silat atau bertanding kepandaian silat.

Banyak juga tamu yang datang, sampai tak kurang dari lima puluh orang yang mendapat tempat istirahat di pondok-pondok darurat di kaki puncak. Namun rombongan-rombongan besar dari partai-partai terkenal seperti dari Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain, adalah partai-partai yang dipimpin oleh orang-orang terkenal.

Mereka adalah orang-orang tahu diri dan tidak suka mendesak-desak, maka sebelum tiba hari yang ditentukan, mereka tidak mau naik ke kaki puncak, tapi berhenti di lereng-lereng dan mencari tempat peristirahatan di dalam hutan-hutan yang pemandangannya indah dan hawanya sejuk. Juga tokoh-tokoh besar perorangan belum ada yang muncul ke kaki puncak karena orang-orang seperti mereka ini pun tentu saja bersikap ‘jual mahal’ dan tidak muncul sebelum Ketua Thai-san-pai keluar dari sarangnya.

Pendeknya, biar pun yang terlihat berkumpul di kaki puncak hanya ada lima puluh orang, namun di lereng-lereng Thai-san telah datang banyak orang yang masih menyembunyikan diri di tempat peristirahatan masing-masing, di dalam hutan-hutan yang banyak terdapat di seluruh permukaan Pegunungan Thai-san itu.

Selama menunggu datangnya hari penentuan itu, mereka yang datang ke Thai-san, baik yang sudah diterima oleh murid kepala mau pun yang masih berdiam menanti di lereng, setiap hari berjalan-jalan menikmati pemandangan alam yang indah bukan main. Mereka yang datang dari gunung-gunung lain lalu membandingkan pemandangan di situ dengan tamasya alam di tempat masing-masing.

Rata-rata mereka memuji akan keindahan Thai-san dan diam-diam menyatakan kagum kepada Raja Pedang Tan Beng San yang pandai memilih tempat untuk dijadikan pusat perkumpulannya. Ada pula yang memuji nasib baik Raja Pedang itu karena telah menjadi mantu Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan yang dahulu merajai daerah pegunungan ini. Namun, banyak pula di antara tamu yang merasa penasaran melihat bahwa tempat upacara dan pertemuan tidak diadakan di puncak, melainkan di kaki puncak.

"Hemmm, Ketua Thai-san-pai sungguh tidak memandang kepada kita!" beberapa orang di antara mereka berkata, "Apakah puncak tempat tinggal mereka itu terlalu bersih sehingga takut dikotori kaki kita?"

Ada pula yang mengomel, "Kabarnya jalan rahasia Thai-san-pai benar-benar amat hebat dan yang paling sukar dipecahkan di antara tempat-tempat rahasia di dunia ini. Aku ingin mendapat kesempatan ini untuk melihatnya. Siapa tahu, Ketua Thai-san-pai begini pelit sehingga tidak mau memperlihatkan puncak. Apakah dia takut kalau kita akan mencuri barang-barang yang berharga?"

Macam-macam pendapat orang, pada pokoknya banyak yang merasa penasaran. Malah perasaan ini mendatangkan bermacam-macam kejadian, bahkan ada pula yang hebat akibatnya. Beberapa kelompok bahkan berusaha untuk mencari sendiri jalan rahasia itu, bermaksud untuk mendaki puncak dan mencari jalannya. Akan tetapi akibatnya, mereka ini berkeliaran di hutan-hutan, sesat tidak karuan dan selama dua hari baru dapat keluar dari hutan-hutan yang sulit dilalui, dengan tubuh lemas dan perut lapar, malah ada yang hampir mati dikeroyok ular atau binatang lain!

Lebih celaka lagi, ada yang pergi seorang diri, diam-diam mempergunakan kepandaian menawan seorang anak murid Thai-san-pai, menyeretnya ke dalam hutan dan memaksa anak murid itu untuk mengaku dan membuka rahasia jalan ke puncak. Orang ini terlalu memandang rendah anak murid Thai-san-pai.

Biar pun murid yang ia lawan itu tidak sanggup melawannya karena kalah tinggi tingkat kepandaiannya, tetapi setiap orang murid Thai-san-pai adalah orang pilihan yang memiliki kesetiaan luar biasa. Murid Thai-san-pai itu tidak mau membuka rahasia pertanyaannya, biar pun ia disiksa oleh Si Penawannya, malah kemudian sampai tewas dan ditinggalkan mayatnya begitu saja di dalam hutan itu.

Si Penawan ternyata gagal mendapatkan rahasia Thai-san-pai dan dengan hati kecut ia meninggalkan tawanannya yang sudah menjadi mayat, takut kalau-kalau akan ketahuan rahasianya. Dengan wajah biasa dan sikap tenang orang ini kembali di antara para tamu. Ributlah para anak murid Thai-san-pai ketika mereka mendapatkan seorang saudaranya tewas di dalam hutan. Namun mereka tidak memperlihatkan kegugupannya.

Oei Sun yang mendengar tentang ini, dengan tenang menyuruh seorang murid melapor kepada suhu-nya serta membawa mayat saudara seperguruannya itu naik ke puncak pula untuk diperiksa oleh ketua mereka. Kejadian ini berlangsung tanpa banyak menimbulkan keributan, namun tentu saja berita ini tersiar luas di antara para tamu sehingga mereka ini diam-diam menjadi tegang karena menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat antara Thai-san-pai dengan orang-orang yang memusuhinya, di antaranya orang-orang yang telah membunuh anak murid Thai-san-pai itu!

Lima hari sebelum bulan pertama, yaitu hari pendirian Thai-san-pai, datanglah Tan Cui Bi bersama Tan Kong Bu ke tempat penyambutan. Para anak buah murid Thai-san-pai tentu saja menyambut kedatangan Cui Bi dengan gembira.

Akan tetapi Oei Sun memandang sumoi-nya (adik perempuan seperguruan) ini dengan mata diliputi kemuraman, lalu menarik tangan sumoi-nya masuk ke dalam pondok. Sambil tertawa Cui Bi memberi tanda kepada Kong Bu untuk turut pula ke dalam. Ketika Oei San melihat ini, keningnya berkerut, akan tetapi Cui Bi berkata,

"Oei-suheng, dia ini bukan orang luar. Dia... hemm, belum waktunya kau mengetahui hal ini. Aku dan Kong Bu-koko ini tidak akan segera naik menemui Ayah Ibu, karena kami berdua hendak menanti datangnya tiga orang murid Hoa-san-pai. Aku sendiri yang harus menyambut mereka dan setelah mereka mendapat pondokan yang baik, barulah aku akan menghadap Ayah Ibu. Eh, Suheng, kenapa kau kelihatan tak senang dan gelisah? Apakah yang terjadi?"

Walau pun Cui Bi merupakan adik seperguruan, namun tentu saja Oei Sun menganggap gadis muda ini seperti atasannya karena gadis ini adalah puteri gurunya dan dia maklum bahwa dalam hal kepandaian, ia tidak ada setengahnya sumoi-nya yang nakal ini.

"Sumoi, aku merasa agak kecewa bahwa kau sama sekali tidak muncul lebih siang untuk membantu keperluan kita. Kau tahu, baru saja kemarin terjadi hal yang menggemaskan."

Lalu murid tertua ini bercerita tentang tewasnya seorang murid Thai-san-pai secara aneh itu.

"Ternyata di antara para tamu terdapat musuh-musuh curang dari Suhu sehingga mereka itu melakukan pembunuhan sebelum Suhu sendiri turun dari puncak. Bukankah ini amat menggemaskan?" berkata Oei Sun sambil membanting-banting kaki. "Thai-san-pai belum diresmikan pendiriannya saja sudah harus menelan penghinaan ini. Hemmm, ingin sekali aku mengetahui siapa yang melakukan perbuatan ini dan ingin aku berhadapan dengan dia!"

Tentu saja Cui Bi juga marah mendengar ini. "Benar-benar jahat dan curang sekali! Kalau memang mau mencari perkara dengan kita, kenapa tidak terang-terangan saja? Hemmm, coba dia berani memperkenalkan diri, tak akan mau sudah aku kalau belum kupenggal batang lehernya. Suheng, sambil menanti datangnya teman-teman dari Hoa-san-pai, aku akan memasang mata. Kurasa, orang yang membunuh itu tentu telah menculik saudara kita itu untuk dipaksa memberi tahu tentang rahasia jalan ke puncak. Apakah di tubuh Suheng itu terdapat tanda luka-luka berat?"

Oei Sun memandang kagum. Memang harus ia akui bahwa sumoi-nya ini biar pun masih muda, akan tetapi memiliki kecerdikan luar biasa. "Kau benar, Sumoi. Memang begitulah agaknya, akan tetapi derita yang dialami oleh Sute itu hebat, seperti ditusuk benda panas, tentu sebelum meninggal dia menderita sekali."

Cui Bi lalu minta disediakan sebuah pondok yang letaknya agak jauh dan tersembunyi karena dia hendak melakukan pengintaian selama menanti kedatangan Kun Hong dan Li Eng. Juga ia mengharapkan kedatangan Hui Cu yang sampai sekarang belum ia ketahui bagaimana nasibnya itu.

Sebentar saja kedukaan akan kematian seorang suheng-nya telah tak berbekas pula. Di dalam pondok ia menggoda kakak tirinya.

"Bu-ko, hatimu tentu berdebar-debar, bukan?"

"Apa maksudmu? Mengapa kita harus menanti di sini? Bukankah lebih baik terus saja ke puncak menemui... Ayah?" Kaku juga pemuda ini menyebut ayah yang selamanya belum pernah ia lihat itu.

"Hishh, benarkah kau begitu terburu-buru? Ataukah kau diam-diam ingin segera melihat kedatangan... dia?"

"Bi-moi, kau selalu menggodaku tentang Nona Kui Li Eng itu. Hmmm, tahukah kau apa yang akan terjadi apa bila aku dan dia bertemu? Kami berdua sudah saling menantang, kalau sekali lagi bertemu akan mengadu pedang!"

Akan tetapi Cui Bi tidak heran malah tertawa manis. "Tentu saja, maksud dia itu hendak menjatuhkan hatimu, bukan pedangmu. Padahal, tanpa usaha itu pun kau sudah jatuh. Bukan begitu?"

Kong Bu benar-benar merasa bohwat (tak berdaya) menghadapi adik tirinya yang nakal ini. "Sudahlah... sudahlah, Moi-moi. Siapa tidak tahu, bahwa kaulah yang rindu kepada... kutu buku itu?"

Seketika wajah Cui Bi berubah, matanya membelalak. Seakan-akan hal ini merupakan hal yang baru baginya, atau sesuatu yang baru saja teringat olehnya. Hatinya berdebar keras, membuat wajahnya seketika menjadi merah sekali.

Ia seorang gadis yang jujur, tak suka berpura-pura, apa lagi terhadap kakak tirinya yang baginya sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri itu. Ia menunduk, termenung, tak dapat berkata-kata lagi, seakan-akan lupa bahwa kakak tirinya berada di situ.

Melihat adiknya tiba-tiba menunduk dan termenung itu, Kong Bu kuatir kalau ia membuat adiknya tidak senang. Ia menyentuh pundaknya dan berkata, "Kau kenapa? Aku hanya main-main, jangan marah. Kau tukang menggoda orang, tapi jika digoda sedikit saja, lalu ngambek!"

Akan tetapi ketika adiknya itu mengangkat muka memandangnya, hati Kong Bu tertegun. Adiknya ini tidak ngambek, tidak pula marah, tetapi kelihatan terharu dan bingung!

"Bu-ko, apakah kau pikir betul-betul aku rindu kepadanya?"

"Lho, mengapa urusan begitu kau bertanya kepadaku? Habis, kau sendiri bagaimana?"

"Aku... aku tidak tahu, Bu-ko, aku tak tahu. Hanya terus terang saja, aku memang... ingin sekali melihatnya. Lucunya ia mengira aku seorang laki-laki. Ah, Bu-ko, aku meragu. Apa yang harus kulakukan?"

Kong Bu terharu. Adik tirinya ini benar-benar seorang yang berhati polos, dan terhadap dia tidak mau menyimpan rahasia apa-apa, begitu jujur dan menaruh kepercayaan yang besar sekali. Hal ini membuatnya terharu dan makin mendalam rasa sayangnya kepada adik tiri ini.

“Aku harus membelanya, harus melindunginya. Aku ingin melihat dia berbahagia, adikku sayang ini,” pikirnya.

"Bu-ko, kau lihat orang she Kwa itu orang yang bagaimana?" tanya pula Cui Bi dengan mendadak.

"Hemm, mana aku tahu? Hanya sebentar aku bertemu dengan dia. Dia memang orang aneh, semuda itu kata-katanya mengandung filsafat-filsafat tinggi. Kau... kau yang sudah cukup lama melakukan perjalanan bersama dia tentu lebih mengenal sifat-sifatnya. Tetapi dia itu... kutu buku yang lemah, seperti yang kau katakan sendiri. Apakah sifat ini sesuai dengan kau... seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi dan jiwa gagah perkasa?"

Cui Bi menggeleng kepalanya berkali-kali. "Entahlah... entahlah... dia aneh, Koko. Ah, aku bingung..."

Kedatangan dua orang itu tidak menarik perhatian para tamu. Siapa memperhatikan dua orang muda yang bersahaja itu? Hanya dua orang pemuda yang ganteng, tidak ada apa pun yang aneh. Tentu saja tidak ada di antara mereka yang tahu bahwa seorang di antara dua pemuda itu adalah puteri dari Ketua Thai-san-pai dan tidak ada yang tahu pula bahwa pemuda yang seorang lagi adalah cucu yang tergembleng dari Kakek Song-bun-kwi!

Alangkah girangnya hati Cui Bi, dan diam-diam juga hati Kong Bu, ketika pada keesokan harinya tiba tiga orang muda yang bukan lain adalah Kun Hong, Li Eng, dan Hui Cu di kaki puncak itu! Lebih besar lagi kegirangan Cui Bi karena melihat bahwa Hui Cu juga sudah berada dengan pemuda itu dalam keadaan selamat.

Berlari-larian dia menyambut kedatangan tiga orang itu, diikuti oleh Kong Bu yang agak meragu berjalan di belakangnya.

"Adik Cui Bi...!" Kun Hong berseru dan tanpa ragu-ragu lagi dia memegang kedua tangan sahabat ini. "Alangkah girangku melihat kau di sini! Ahh, adik yang nakal, kenapa tempo hari kau pergi begitu saja tanpa pamit? Aku... aku hendak memperkenalkan kau dengan keponakan-keponakanku. Ini dia Li Eng yang sering kali kuceritakan kepadamu, dan ini Hui Cu. Anak-anak, inilah pemuda aneh murid Thai-san-pai yang sering kali kuceritakan kepada kalian. Dia hebat!"

Diam-diam Cui Bi yang mukanya menjadi merah sekali itu bertukar pandang dengan Kong Bu yang juga sudah sampai di situ.

"Ehhh, kau juga di sini? Bersama-sama Bi-laote?" Kun Hong menegur kaget dan heran melihat Kong Bu berada pula di situ dengan sahabatnya itu.

Akan tetapi yang ditegur hanya mengerling kepada Li Eng yang sebaliknya memandang kepadanya dengan mata marah!

Panas rasa dada Li Eng. Tentu saja panas melihat pemuda yang dibencinya itu berada bersama Cui Bi! Hemm, dia tidak sebodoh pamannya. Akan tetapi terpaksa ia menahan panas hatinya itu karena Cui Bi sudah merangkapkan kedua tangan dan memberi hormat kepadanya serta kepada Hui Cu.

"Syukur kalian sudah datang!" Cui Bi berseru gembira. "Aku sudah menyediakan sebuah pondok yang besar untuk kalian. Mari, marilah silakan ke pondok untuk beristirahat sambil bercakap-cakap. Hong-ko kita masih banyak waktu, masih empat hari lagi dari hari yang ditentukan. Kalian bisa beristirahat sambil menikmati keindahan tempat kami."

Cui Bi kemudian menggandeng tangan Kun Hong ke pondok besar yang agak menyendiri letaknya, berdekatan dengan pondok Cui Bi sendiri. Memang untuk sahabat-sahabatnya dari Hoa-san-pai dia sengaja memilih dua pondok berjajar yang agak terpisah jauh dari pondok-pondok para tamu itu.

Pada saat melihat bahwa pondok itu tidak mempunyai kamar-kamar terpisah. Kun Hong menjadi agak bingung. "Ahhh, mengapa pondok ini tanpa kamar? Habis, bagaimana kita bisa bermalam di sini?” Ia memandang kepada dua orang keponakannya.

Li Eng tertawa, lalu berkata, "Mengapa bingung? Aku dan Enci Hui Cu tentu saja tidur sepondok dengan dia! Hayo, Saudara Cui Bi, kita mengobrol di pondok yang satunya."

Tanpa ragu-ragu lagi Li Eng menggandeng tangan Cui Bi, ditariknya memasuki pondok kedua diikuti oleh Hui Cu yang tersenyum-senyum.

Kun Hong melongo, kemudian membentak, "Eng-ji, apa kau gila...?!"

Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat Cui Bi tidak menjadi marah atau malu, malah tertawa-tawa sambil merangkul Li Eng, juga Hui Cu lalu mendekat dan merangkul sehingga tiga orang itu, Cui Bi di tengah-tengah, dirangkul oleh dua gadis keponakannya, memasuki pondok sambil tertawa-tawa!

"Gila...! Mereka gila semua... ataukah aku yang gila...?" Kun Hong berkata seorang diri dengan mata tetap terbelalak.

Diam-diam Kong Bu memperhatikan pemuda Hoa-san-pai itu dan ia menjadi geli hatinya. Pemuda Hoa-san-pai ini benar-benar tidak berpura-pura dan memang tak pernah mengira bahwa Cui Bi adalah seorang wanita. Ia tidak terlalu menyalahkannya karena dia sendiri juga tadinya tertipu oleh adik tirinya yang nakal itu.

Agaknya dua orang gadis Hoa-san-pai itu, oleh karena sama-sama wanita, begitu bertemu sudah dapat mengenal keadaan sesungguhnya dari Cui Bi.

"Saudara Kwa Kun Hong, bukan mereka yang gila, juga kau tidak gila, hanya kau itu telah tertipu. Adik Cui Bi bukanlah seorang pria, melainkan seorang gadis, puteri tunggal Ketua Thai-san-pai."

"Ohhh..." Kun Hong makin melongo, kemudian mukanya tiba-tiba berubah merah sekali.

Dia teringat betapa tadi dalam pertemuan itu dia begitu girang dan memegang kedua tangan ‘pemuda’ itu begitu mesra. Kalau ia tahu ia seorang gadis…!

Kalau tahu mau apa? Ia pernah ditempeleng, pernah dihina dimaki. Tapi, mengapa gadis itu mau melakukan perjalanan bersama dia? Mau membelanya? Ahhh, apa artinya semua ini…?

Kong Bu tertawa dan menepuk-nepuk Kun Hong.

"Tidak usah heran, aku sendiri pun pernah tertipu olehnya. Sudahlah, kau kelihatan lelah sekali, sekarang kau mengasolah. Malam ini aku mempunyai tugas penting, tak usah kau menunggu aku. Nanti akan ada anak murid Thai-san-pai yang mengantarkan hidangan untukmu.”

Sebelum Kun Hong sempat bicara, pemuda itu telah pergi meninggalkannya, keluar dari pondok. Kun Hong tidak berani mencegah karena ia belum mengenal betul pemuda cucu Song-bun-kwi itu.

Otaknya diputar. Banyak hal menimbulkan keheranan dan kebingungannya. Banyak hal hendak dia tanyakan kepada pemuda itu, namun pemuda itu telah meninggalkannya dan betul-betul ia merasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh itu.

Benar saja, menjelang malam, seorang anak murid Thai-san-pai yang gagah dengan sikap hormat sekali mengantarkan hidangan sederhana. Anak murid ini pendiam sekali dan penuh hormat sehingga Kun Hong merasa tidak enak bahwa sebagai seorang tamu ia banyak bertanya-tanya, apa lagi mengenai diri puteri Ketua Thai-san-pai.

Ia makan seorang diri, lalu merebahkan diri di atas pembaringan kayu yang berada di dalam pondok. Mengapa Hui Cu atau Li Eng tidak muncul? Apakah mereka juga lelah? Ahh, aku harus mencari mereka.

Tidak enak sekali rasa hatinya. Kalau ia teringat akan pengalamannya dengan Cui Bi yang selama ini disangkanya seorang pria itu, ia merasa amat malu. Bagaimana ia akan berani berhadapan dengan Paman Tan Beng San? Ke mana ia harus menaruh mukanya kalau nanti bertemu dengan Cui Bi?

Malam itu terang bulan, akan tetapi banyak awan hitam di angkasa raya yang sebentar-sebentar menutupi bulan. Kun Kong keluar dari pondoknya. Memang pondok ini agak jauh dari pondok-pondok lain yang penuh tamu. Pondok-pondok lain itu tidak kelihatan dalam kegelapan malam, hanya sinar api penerangan yang berkelap-kelip nampak dari jauh.

Siapa tahu kalau-kalau dua orang keponakannya itu lagi berada di luar pondok mereka, pikirnya. Dia berjalan hati-hati menghampiri pondok yang hanya terpisah beberapa puluh meter itu dari pondoknya. Sunyi sekali di pondok itu, malah api penerangannya juga telah padam. Agaknya tiga orang itu sudah tidur.

Hati-hati sekali Kun Hong menghampiri. Ketika bulan menyinarkan cahayanya menembus awan tipis, hatinya girang melihat bayangan seorang gadis duduk di belakang pondok, di atas sebuah batu besar.

Tak salah lagi, itulah Hui Cu, seorang diri melamun! Hui Cu duduk membelakanginya dan dengan hati-hati tapi cepat Kun Hong menghampirinya.

"Ssttt, Hui Cu, kau belum tidur?" bisiknya menghampiri.

Hui Cu diam saja, seakan-akan tidak mendengarnya.

"Cu-ji (Anak Cu), celaka sekali..." Kun Hong kini mendekat dan berdiri di belakang gadis itu. "Kita harus lekas-lekas pergi meninggalkan tempat ini! Ahhh, celaka, tak mungkin aku dapat menghadap Paman Tan Beng San setelah semua kejadian ini. Tak mungkin dapat aku berhadapan dengan... dia. Ahh, siapa tahu, kiranya ia seorang gadis..."

Terdengar Hui Cu tertawa perlahan, ditahan-tahan, tubuhnya bergerak sedikit akan tetapi mukanya tidak kelihatan jelas karena bulan tertutup awan hitam.

"Hui Cu, kau malah mentertawakan aku? Kau tidak tahu, betapa memalukan dan tak patut kelakuanku terhadap dia. Aku maki dia pemuda pesolek, aku mengatakan dia banci, aku marah dan dia agaknya benci kepadaku, lalu dia menampar pipiku, memaki aku pemuda sombong. Ahh, kau tidak tahu, Hui Cu, aku tidak ada muka untuk bertemu dengannya. Lekas kau beri tahukan Li Eng, bangunkan perlahan-lahan dan kita pergi meninggalkan tempat ini. Kalau kau dan Li Eng tidak mau, terpaksa aku sendiri akan pergi, aku tidak berani bertemu dengan dia dan orang tuanya."

Hui Cu sudah turun dari batu dan berdiri di depannya. Melihat keponakannya ini diam saja, Kun Hong memegang kedua tangannya diguncang-guncang dan ia berkata penuh permintaan, "Hui Cu, jangan anggap hal ini sebagai main-main. Aku benar-benar malu, kenapa kau acuh tak acuh? Lekas masuk ke pondok dan beri tahu Li Eng, malam ini juga aku akan pergi."

Perlahan-lahan awan hitam tertiup angin meninggalkan bulan sehingga perlahan-lahan sinar bulan menerangi tempat itu.

"Hui Cu, mengapa kau diam saja? Mengapa... aihhhh, kau ini siapa... ahhh..." Kun Hong terbelalak dan mulutnya ternganga memandang wajah gadis yang disangkanya Hui Cu itu.

Wajah yang seperti bulan purnama itu sendiri, gilang gemilang dengan sepasang mata bening bersinar-sinar. Hidungnya kecil mancung, di atas sepasang bibir yang setengah tersenyum mengejek, yang manis luar biasa, yang pernah membuat dia kehilangan rasa bencinya… wajah seorang gadis cantik jelita melebihi bidadari kahyangan, wajah... Cui Bi!

"Aduh, celaka... aduh... aku tolol... ah..." Kun Hong gagap-gugup akan tetapi lupa bahwa sejak tadi ia masih memegangi kedua tangan gadis itu!

"Hong-ko..." suara merdu yang sudah amat dikenalnya, terlalu dikenalnya, suara yang dahulu pun ketika gadis ini dikiranya pria, sering mendatangkan rasa nikmat dan nyaman di hatinya.

"Hong-ko, kenalkah kau padaku?"

"Hemm, ehh, tentu saja, kau... ehh, kau Bi-laote (adik laki-laki Bi)."

Cui Bi tertawa, suara ketawanya perlahan, ditahan-tahan menyatakan bahwa ia merasa geli sekali. "Bi-laote...?" ia mengulang, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri tertimpa cahaya bulan keemasan. Bibirnya tersenyum lebar sehingga nampak gigi putih berkilau sebentar.

"Eh... Oh... bagaimana aku ini...? Kau... Nona Tan..." Kemudian Kun Hong yang hendak mengangkat tangan memberi hormat baru sadar bahwa sejak tadi dia memegangi kedua tangan orang!

"Maaf... maaf sebanyak-banyaknya..." ia cepat melepaskan pegangannya dan menjura sambil membungkuk-bungkuk, "maafkan aku, Nona."

"Hong-ko, apa-apaan kau ini? Mendadak sontak menyebut nona-nonaan segala? Kalau begitu lebih baik kau seterusnya menyebut aku laote (adik laki-laki) saja!" Suara Cui Bi terdengar merajuk dan manja. Juga sikap ini amat dikenal oleh Kun Hong dan suara inilah yang dahulu membuat ia memaki Cui Bi sebagai anak manja, anak pesolek!

"Maaf... habis, bagaimana...?"

"Kau lebih tua dari pada aku. Kalau aku laki-laki, kau memanggil laote, kalau perempuan, masa kau tidak tahu harus memanggil apa? Kau menyebut ayahku paman, bukankah aku ini adik perempuanmu, adik misanmu?"

"Ohh, ya... ya, baiklah Siauw-moi (Adik Perempuan Cilik)."

"Hei, aku sudah berusia tujuh belas kau masih menyebut siauw-moi? Apakah kau anggap aku ini masih bocah?"

"Bi-moi-moi...," Kun Hong membetulkan kesalahannya.

Cui Bi nampak puas, lalu tiba-tiba ia menyambar tangan Kun Hong, dipegangnya seperti tadi Kun Hong memegang tangannya, seperti dahulu sebagai ‘Cui Bi pria’ ia memegang tangan sahabatnya.

"Hong-ko, marahkah kau kepadaku? Aku sudah menipumu."

"Tidak, tidak... kenapa mesti marah? Aku yang tolol."

"Tidak senangkah hatimu mendapat kenyataan bahwa sahabat baikmu itu ternyata adalah seorang wanita?"

"Tentu, senang... senang sekali, ehhh, aku..." Bingung Kun Hong teringat akan semua ucapannya tadi.

"Kau... apa? Kau datang ini hendak ke manakah? Hendak mencari Enci Hui Cu? Atau Li Eng?" Cui Bi melihat kebingungan pemuda itu sengaja menggoda.

"Tidak. Aku... aku tadi hendak... ehh, mencari tempat buang air..."

Mendengar jawaban yang tidak tersangka-sangka ini, Cui Bi menahan gelak tawanya, membuat Kun Hong makin bingung.

"Aiih, perutmu sakit, Hong-ko? Di sana itu, di belakang kelompok pohon kate itu, ada sebatang anak sungai, di sana kau bisa buang air. Hendak ke sanakah?"

"Ahh, tidak... maksudku, ehh, tidak jadi sakit Aku... aduh, Bi-moi, kenapa menggodaku? Bukankah kau sudah mendengar semua tadi? Aku malu, lebih-lebih sekarang aku malu sekali, Moi-moi..."

Cui Bi mempererat genggaman tangannya. "Hong-ko, kenapa malu? Seharusnya akulah yang malu kepadamu, karena aku yang banyak berbuat tak baik terhadapmu."

"Tidak, tidak! Akulah yang bodoh, yang buta, bagaimana aku berani kurang ajar terhadap puteri Paman Tan Beng San?"

"Aku sudah pernah menampar pipimu. Hong-ko, kau sudah berjanji takkan melaporkan hal itu kepada ayahku, tapi aku masih merasa salah kepadamu. Kau boleh menampar aku sekarang sebagai pembalasan."

"Wah, mana bisa? Malah aku akan girang kalau kau mau mengulang tamparanmu itu, untuk semua ucapanku yang kurang patut."

Cui Bi melepaskan pegangannya, berkata lembut, "Hong-ko duduklah."

Kun Hong dengan kikuk duduk di atas batu, gadis itu duduk di depannya. Mereka saling pandang di antara cahaya bulan yang kadang-kadang terang kadang-kadang gelap. Kun Hong merasa seakan-akan kerongkongannya tersumbat, hatinya berdebar tidak karuan dan dia tidak tahu harus berkata apa. Kikuk sekali rasanya sesudah berhadapan dengan sahabat baiknya yang ternyata seorang gadis itu.

"Hong-ko, sore tadi kau menyatakan amat girang bertemu denganku. Apakah sekarang kau juga masih merasa girang?"

"Aku girang sekali."

"Hong-ko, kau... sukakah kau kepadaku?"

Bukan main gadis ini, pikir Kun Hong. Gadis yang jujur dan terbuka hatinya. Pertanyaan itu seperti todongan pedang tajam di depan ulu hatinya.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar