Pemuda itu dengan lagak angkuh sudah berjalan pergi ke jurusan yang berlawanan. Dia ragu-ragu. Betulkah kata pemuda itu bahwa ia menuju ke arah yang berlawanan dengan Thai-san? Tadi dalam kegugupannya ketika dibawa lari Song-bun-kwi, dia tidak sempat memperhatikan jalan lagi. Karena ia tidak kenal jalan dan pemuda itu agaknya tidak asing lagi dengan wilayah itu, terpaksa ia lalu berjalan ke arah perginya pemuda itu dengan hati mengkal.
Akan tetapi, di samping rasa mendongkol terhadap pemuda yang penuh aksi dan angkuh itu, juga hatinya amat senang karena Ang-hong-kiam telah dikembalikan. Ia tidak mengira bahwa pemuda congkak itu begitu mudah mau mengembalikan pedangnya, padahal jika melihat gerak-gerik pemuda itu, kiranya dia mempunyai kepandaian silat yang tinggi juga. Biasanya orang di kalangan kang-ouw bila melihat senjata pusaka, menjadi amat tamak dan ingin memilikinya.
Ketika melewati sebuah dusun di luar hutan, Kun Hong mencari keterangan dan dengan lega mendengar bahwa memang arah Thai-san yang ditempuh pemuda itu betul. Maka ia lalu mempercepat jalannya, akan tetapi tak dapat menyusul pemuda itu yang melakukan perjalanan cepat sekali.
Beberapa hari kemudian Kun Hong tiba di sebuah kota kecil yang cukup ramai. Karena hari sudah menjelang senja ketika ia tiba di kota Tiang-bun ini, ia lalu menuju ke sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan datang menyambut dengan muka menyesal sambil berkata,
"Maaf, Tuan Muda. Semua kamar di sini sudah terisi penuh, sayang sekali kau terlambat datang karena kamar terakhir yang cukup besar telah disewa oleh seorang kongcu."
Kun Hong kecewa sekali. "Apakah di kota ini tidak terdapat rumah penginapan lain?"
Pelayan itu menggelengkan kepala dan memandang dengan kasihan melihat pemuda ini kelihatan lelah sekali. "Ada dua jalan untuk menolongmu, Tuan Muda. Pertama, harap kau menjumpai kongcu yang menyewa kamar besar itu karena dia hanya seorang diri dan kamar itu cukup besar sehingga jika dia tidak keberatan, tentu kongcu itu dapat membagi kamarnya denganmu. Jalan ke dua, kalau toh dia berkeberatan, yaaah, untuk melepas lelah saja, kiranya Tuan Muda dapat tidur di bangku di ruangan tengah.”
Kun Hong menghela napas. Apa boleh buat, dalam keadaan seperti itu terpaksa harus menerima usul ini.
"Sebetulnya aku tidak suka mengganggu lain orang, akan tetapi karena menurut katamu dia seorang kongcu, kiraku tiada salahnya untuk mencoba. Twako, antarkan aku ke kamar pemuda itu."
Dengan gembira karena mengharapkan hadiah, pelayan itu segera mendahuluinya. Kun Hong yang berjalan di belakang pelayan itu ketika sampai di ruangan tengah, melihat dua orang laki-laki tinggi besar duduk menghadapi arak di atas meja. Ketika Kun Hong lewat, dua orang yang tadinya bercakap-cakap itu tiba-tiba berhenti dan biar pun mereka tidak berkata apa-apa, namun mereka memandang penuh kecurigaan ketika melihat pelayan itu membawa Kun Hong ke kamar yang berada di ujung belakang.
Kun Hong bermata tajam dan ia dapat melihat betapa sinar mata kedua orang itu amat tajam dan mengandung kecurigaan terhadap dirinya. Akan tetapi dia tidak mengacuhkan mereka karena tidak merasa mengenal orang-orang itu.
Sementara itu, pelayan tadi sudah mengetuk pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara yang tidak begitu jelas karena pintu itu rapat sekali.
"Siapa?"
"Maaf, Kongcu, aku pelayan!" kata pelayan itu dengan suara manis, "Harap Kongcu suka membuka pintu sebentar, ini ada seorang tuan muda yang tidak kebagian kamar, hendak mohon Kongcu sudi membagi kamar dengan dia."
"Hemm, aku tidak suka diganggu!" terdengar jawaban dan pintu kamar di buka dari dalam.
Begitu pintu kamar dibuka dan Kun Hong melihat seorang pemuda di ambang pintu, dia segera membuang muka dan menarik tangan pelayan itu sambil berkata, "Twako, aku lebih suka tidur di bangku di luar atau kalau perlu di emper rumah penginapan ini dari pada tidur di kamar ini!"
Kemarahan dan kemendongkolan hati Kun Hong ini dapat dimengerti ketika ia mengenal ‘kongcu’ itu bukan lain adalah Si Pesolek tadi.
"Hemm, siapa sudi tidur sekamar dengan kutu buku jembel ini?" kata Si Pemuda dengan nada menghina sambil menutupkan pintunya kembali, akan tetapi seperti kilat pandang matanya menyambar ke arah dua orang laki-laki tinggi besar yang mendengar dan melihat semua itu dari ruangan tengah.
Pelayan itu hanya bisa melongo dan mengangkat pundak, tapi dengan baik hati dia lalu menyediakan sebuah bangku panjang yang dia letakkan di dalam ruang belakang untuk memberi tempat istirahat kepada Kun Hong. Setelah mandi dan makan, saking lelahnya Kun Hong langsung saja menggeletak berbaring di atas bangku panjang, berselimutkan sebuah baju luar yang lebar.
Ia masih dapat mendengar betapa pemuda sombong itu berteriak memanggil pelayan dan memerintahkan pelayan menyediakan air hangat untuk mandi, banyak sekali air yang dimintanya, kemudian memesan makanan yang mahal-mahal. Hemmm, seorang pemuda kaya yang mewah dan pesolek, pikirnya.
Juga dilihatnya betapa dua orang laki-laki tinggi besar tadi beberapa kali memandang ke arah kamar pemuda itu sambil mereka bicara berbisik-bisik. Diam-diam ia menaruh curiga.
Dasar pemuda mewah yang bodoh, pikirnya. Melakukan perjalanan dengan cara demikian mencolok, jelas sekali membayangkan bahwa kantongnya penuh berbekal emas sehingga menarik perhatian kaum penjahat.
Biar pun dia sendiri masih belum matang pengalamannya dalam perjalanan jauh, akan tetapi kiranya tidak setolol pemuda itu. Akan tetapi karena ia masih merasa jengkel akibat beberapa kali dimaki kutu-buku, jembel, ia pun tidak mengacuhkan pemuda itu dan kalau pemuda itu keluar kamar, ia pura-pura tidur mendengkur. Akan tetapi entah mengapa, mungkin karena gangguan kegemasannya terhadap pemuda yang tentu enak sekali tidur di dalam kamar yang hangat, tidak seperti dia yang kedinginan karena angin malam bebas menghembus memasuki ruangan itu, dia tidak segera dapat pulas.
Keadaan rumah penginapan itu sudah sunyi sekali, agaknya semua tamu sudah tertidur pulas. Hanya Kun Hong saja masih gelisah dan mendongkol karena bayangan nyamuk yang mengiang-ngiang di sekitar telinganya.
Ia menimpakan kemendongkolannya kepada pemuda sombong itu. Andai kata pemuda itu tidak sesombong itu, atau andai kata tamu itu orang lain, sudah tentu ia akan mendapat bagian di dalam kamar dan tidak menderita seperti ini.
Dalam kemendongkolannya, Kun Hong tidak ingat bahwa sebenarnya bukan hawa dingin atau nyamuk yang membuat ia tidak dapat tidur karena biasanya ia dapat tidur nyenyak walau di atas atau di bawah pohon dalam hutan. Sesungguhnya, wajah pemuda itu selalu terbayang di pelupuk matanya, mendatangkan rasa mengkal di dalam hatinya.
Tiba-tiba saja ia mendengar suara perlahan sekali. Dari balik selimutnya ia mengintai dan melihat sesosok bayangan melayang turun ke dalam ruangan itu. Ternyata dia adalah seorang laki-laki tinggi kurus yang gerakannya amat gesit dan ringan, tanda bahwa orang itu memiliki kepandaian tinggi.
Orang itu menghampiri kamar dua orang laki-laki tinggi besar tadi dan mengetuk perlahan. Pintu segera dibuka dan orang itu masuk, lalu pintu kamar segera ditutup lagi. Kun Hong menjadi curiga sekali dan merasa tidak enak hatinya.
Dua orang tinggi besar tadi selalu memandang ke arah kamar Si Pemuda, sekarang ada tamu yang demikian mencurigakan dan aneh, tentu mereka mempunyai niat yang tidak baik. Pikirannya berjalan cepat. Ia lalu mengatur bantalnya memanjang dan diselimutinya seperti orang tidur berselimut, sedangkan dia sendiri lalu melompat turun dengan hati-hati, kemudian dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh ia lantas melompat ke atas genteng.
Hatinya berdebar keras karena baru sekarang inilah ia mempergunakan ilmu yang telah dipelajarinya di puncak itu untuk melompat naik ke atas genteng dengan maksud akan mengintai kamar orang lain! Di puncak dahulu dia sudah biasa melompati jurang-jurang lebar, tentu saja meloncat ke atas genteng merupakan pekerjaan mudah baginya.
Akan tetapi karena belum terbiasa, ia menjadi berdebar dari berhati-hati sekali. Cepat ia bersembunyi di belakang wuwungan rumah, kemudian memasang telinga mendengarkan percakapan di dalam kamar dua orang laki-laki tinggi besar itu. Segera dia mendengar suara orang laki-iaki yang parau, agaknya suara orang yang baru datang tadi.
"Ji-wi laote, Twako kita melarang kalian untuk mengganggu pemuda yang hendak pergi ke Thai-san itu. Menurut Twako, apa bila kita turun tangan di sini, paling banyak hanya dapat merampas bekal dan pedangnya, sedangkan resikonya kalau sampai hal ini terdengar oleh Thai-san-pai, tentu mereka akan berhati-hati."
"Hemm, habis, apa yang harus kita lakukan?" terdengar suara lain.
"Sekarang Twako sedang mengumpulkan semua saudara kita, malah kabarnya Ji-ko dan Sam-ko (Kakak ke Dua dan ke Tiga) juga datang, bersama Hui-liong Sam-heng-te yang bersedia membantu pula. Twako menyuruhku datang memberi tahu Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bersamaku sekarang juga datang ke sana, mendengar petunjuk-petunjuk lebih jauh dan mengadakan perundingan."
"Baiklah."
Terdengar jendela dibuka dari dalam kemudian berturut-turut tiga sosok bayangan orang melesat keluar terus meloncat ke atas genteng.
Kun Hong bersembunyi cepat dan ia berhati-hati sekali, tidak segera memperlihatkan diri. Perbuatannya ini menolongnya karena dia melihat bayangan lain yang gerakannya cepat sekali berkelebat mengejar tiga sosok bayangan yang sudah berlari lebih dulu itu.
Ia menahan napas. Untung tadi ia tidak cepat-cepat muncul, kalau demikian halnya tentu orang ke empat itu akan melihatnya. Ia merasa heran, menduga-duga siapakah adanya orang ke empat itu yang seperti juga dia, melakukan pengintaian.
Muka orang itu tidak terlihat, hanya bayangannya memperlihatkan tubuh yang ramping kecil. Karena ia tidak ingin dilihat orang, baik oleh tiga orang pertama mau pun oleh orang ke empat yang mengikuti tiga orang itu, Kun Hong sengaja berlari mengejar dari jauh.
Kurang lebih sejam mereka berkejaran di dalam gelap dan akhirnya ternyata tiga orang itu memasuki sebuah kuil tua yang sudah rusak, terletak di luar kota dekat sebuah rawa yang sunyi. Kun Hong membiarkan pengintai di depannya itu melompat ke atas genteng lebih dulu, baru kemudian dia menyelinap di antara pohon-pohon di belakang kuil dan mencari tempat sembunyi dan pengintaian dari sebuah jendela yang sudah tidak dipakai dan rusak daun jendelanya.
Di dalam kuil itu terdapat ruang yang luas dan kotor, akan tetapi sekarang di situ tengah berkumpul beberapa orang mengelilingi meja bobrok, agaknya bekas meja sembahyang. Lima batang lilin menyala menerangi ruangan dan keadaan amat seram dengan beberapa patung rusak menghias pojok ruangan. Seorang penakut tentu akan menyangka mereka itu setan-setan yang berpesta-pora di dalam kuil tua itu. Karena ruangan itu cukup terang, Kun Hong dapat melihat wajah mereka itu.
Pertama-tama ia melihat wajah dua orang laki-laki tinggi besar yang berada di rumah penginapan. Dua orang laki-laki ini berusia empat puluh tahun. Orang ke tiga yang duduk dekat mereka agaknya adalah orang yang menyusul ke rumah penginapan tadi, orangnya kecil kurus dengan muka ciut seperti tikus dan pada punggungnya tergantung pedang, agaknya pedang pasangan karena kelihatan dua gagang pedang.
Sekarang Kun Hong mencurahkan perhatian kepada orang-orang yang duduk di kepala meja. Ia seorang bertubuh pendek gemuk berperut besar, berusia lima puluh tahun lebih tetapi mukanya segar kemerahan dan bundar seperti muka kanak-kanak. Gerak-geriknya halus, akan tetapi setelah membaca kitab-kitab ilmu pengobatan dari Yok-mo, Kun Hong tahu bahwa orang itu adalah seorang ahli Iweekeh (tenaga dalam) yang sangat lihai. Dari percakapan mereka, orang inilah yang dipanggil Twako (Kakak Tertua) tadi.
Orang di sebelah kirinya adalah seorang yang usianya lebih tua, rambutnya sudah putih semua. Tubuhnya sedang akan tetapi punggungnya agak bongkok. Matanya juling, pada punggungnya tampak gagang senjata ruyung. Orang ini disebut Ji-ko (Kakak ke Dua).
Orang yang disebut Sam-ko (Kakak ke Tiga) oleh Si Muka Tikus adalah seorang yang masih muda, paling banyak baru tiga puluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan dan di pinggangnya kelihatan ruyung lemas semacam cambuk.
Diam-diam Kun Hong heran dengan panggilan-panggilan mereka itu. Kakak ke dua lebih tua dari pada kakak tertua, sedangkan yang disebut kakak ke tiga oleh Si Muka Tikus adalah seorang yang masih muda. Ia tidak tahu bahwa empat orang termasuk Si Muka Tikus ini adalah tokoh-tokoh terkenal di daerah selatan yang disebut Lam-thian Si-houw (Empat Harimau Dunia Selatan)!
Girang hati Kun Hong ketika ia mendengar Si Muka Tikus itu tiba-tiba memperkenalkan dua orang tinggi besar tadi dengan tiga orang yang duduk berendeng di sebelah kanan. Hal ini sama dengan memberi tahu kepadanya siapa adanya orang-orang itu.
Dari perkenalan itu ia tahu bahwa tiga orang yang berendeng di sebelah kanan itulah yang tadi oleh Si Muka Tikus disebut Hui-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Si Naga Terbang). Ada pun dua orang laki-laki tinggi besar yang bermalam di rumah penginapan itu adalah dua orang saudara she Kam, lengkapnya Kam Ki Hoat dan Kam Siong.
"Ji-wi Kam-laote," antara lain Si Twako yang bermuka kanak-kanak itu berkata kepada kedua orang saudara Kam, "menurut keterangan Si-te (Adik Ke Empat), Ji-wi (Kalian Berdua) hendak mengenyahkan seorang muda dari Thai-san-pai. Betulkah itu?"
"Betul sekali, karena dua pasang mata kami tak akan salah melihat orang. Sungguh pun tldak jelas bagi kami siapa sebenarnya dia, namun yang sudah pasti sekali kami pernah melihat dia itu di Thai-san. Siapa tahu dia itu orang Thai-san-pai yang sengaja bertugas memata-matai gerakan kita, bukankah celaka kalau begitu? Kami rasa lebih baik turun tangan di jalan sebelum terlambat. Akan tetapi Twako menghendaki lain, habis bagaimana selanjutnya?"
Twako itu tersenyum. "Seorang muda dari Thai-san-pai memata-matai kita? Heh-heh, lucu kalau benar demikian. Apakah dia berkepala tiga berlengan enam?"
Kun Hong yang mendengar pertanyaan ini bingung, tidak tahu maksudnya. Akan tetapi Kam Ki Hoat menjawab,
"Lagaknya bagaikan seorang pemuda kaya raya yang ahli dalam bun (ilmu sastra) dan sedikit mengerti ilmu silat. Akan tetapi aku sendiri sangsi apakah dia itu ada isinya."
"Kalau begitu, kenapa harus takut dia dapat memata-matai kita? Jangan pedulikan bocah masih ingusan itu, Ji-wi Kam-laote. Sekarang dengarlah rencanaku yang tadi sudah kuberi tahukan kepada Hui-liong Sam-heng-te. Kita naik ke Thai-san dengan cara berpencaran, mempergunakan kesempatan pembukaan berdirinya Thai-san-pai. Kita mengaku sebagai orang-orang kang-ouw yang hendak memberi ucapan selamat dan menghaturkan sekedar sumbangan atau barang perkenalan. Akan tetapi setelah tiba di sana kita semua harus dapat berkumpul di dekat meja penerimaan sumbangan dan hadiah. Seorang tokoh besar seperti orang she Tan itu, sudah pasti akan menerima barang-barang luar biasa dari para tokoh kang-ouw di empat penjuru. Nah, bila telah saatnya tiba, mudah untuk kita sembilan orang menyikat barang-barang itu, tentu saja yang tidak berharga kita tinggalkan."
"Twako, apakah kau sudah merasa yakin benar bahwa saat keributan itu pasti akan tiba?" Kam Ki Hoat bertanya ragu.
Si Twako ini tertawa lagi, mukanya menjadi makin bulat. "Siapa bilang tak akan tiba? Aku yakin dan berani bertaruh memotong daun telinga! Saat ini sudah pasti akan digunakan oleh mereka yang pernah dihina oleh Si Raja Pedang. Bahkan aku dapat menduga bahwa iblis-iblis dari empat penjuru akan muncul, berlomba untuk menjatuhkan Si Sombong yang hendak membentuk Thai-san-pai itu."
Kun Hong yang mendengarkan semua ini mulai agak mengerti persoalannya. Dia dapat menduga bahwa orang-orang ini yang berjumlah sembilan dan terdiri dari tiga rombongan atau tiga golongan, adalah sekumpulan orang jahat yang hendak merampok Thai-san-pai, mempergunakan kesempatan di waktu pertemuan itu kacau karena terjadinya keributan.
Agaknya Tan Beng San yang amat dikagumi ayahnya, yang sudah sering kali ia dengar namanya, yang digelari orang Raja Pedang itu, sudah menanam bibit permusuhan yang banyak sekali. Diam-diam Kun Hong mengerutkan keningnya.
Andai kata sembilan orang yang ada di ruangan kuil bobrok ini mempunyai hati dendam terhadap Tan Beng San dan ingin membalasnya dengan cara bertempur, tentu ia takkan dapat berpihak sebelum tahu sebab-sebab permusuhannya. Akan tetapi sembilan orang ini hendak merampok benda-benda berharga.
Hemm, kalau sudah begini tak perlu diselidiki lagi sebab-sebab permusuhan, karena jelas bahwa mereka ini bukan orang-orang baik. Aku harus dapat mendahului mereka, pikirnya, mendahului mereka naik ke Thai-san dan memberi tahukan apa yang ia lihat ini kepada Tan Beng San. Apa bila sudah diberi tahu tentu dapat berjaga-jaga dan kalau sembilan orang ini kelak naik ke Thai-san boleh diusir saja!
Baru saja dia hendak keluar dari tempat persembunyian dan pergi, tiba-tiba pengintai di depan itu pun bergerak perlahan dan segera lari meninggalkan tempat itu. Kun Hong heran. Siapakah dia itu? Gerakannya demikian gesit dan ringan, sebentar saja lenyap.
Ahh, kiranya kalau tadi ia dapat mengikuti bayangan itu adalah karena bayangan itu pun mengikuti Si Muka Tikus dan dua orang saudara Kam. Maka gerakan dan larinya juga tidak begitu cepat. Sekarang kembalinya, karena tidak mengikuti orang-orang yang lebih rendah tingkatnya, ternyata bayangan ini dapat melesat seperti burung terbang cepatnya, membuat Kun Hong melongo dan makin kagum terheran-heran.
Hati-hati ia memasuki rumah penginapan, tersenyum melihat bantal guling yang tadi dia selimuti masih tetap tidak berubah, lalu tidur lagi, pulas sampai pagi hari. Dia terbangun karena mendengar suara pemuda pesolek itu berteriak-teriak memanggil pelayan,
"Hee, pelayan, tulikah engkau? Lekas ambilkan air hangat, cepat! Aku hendak berangkat pagi-pagi!"
Kun Hong memang malam tadi berniat bangun dan berangkat pagi-pagi untuk mendahului orang-orang itu ke Thai-san. Akan tetapi pada saat melihat pemuda itu ribut-ribut tanpa menghiraukan orang lain yang masih tidur, ia mendongkol dan berkata, "Benar-benar tak tahu adat! Apakah tidak melihat orang lain masih tidur?"
Pemuda itu hanya menoleh dan mencibirkan bibirnya mengejek, kemudian masuk lagi ke kamar tanpa mempedulikan Kun Hong. Dengan hati mengkal Kun Hong lalu berkemas, membersihkan mata dan membeli sarapan di warung depan rumah penginapan. Ketika ia kembali ke rumah penginapan untuk membayar sewa bermalam, ia mendapat kenyataan bahwa pemuda yang menyebalkan hatinya itu telah berangkat.
"Hemm, anak manja itu sudah pergi?" tanyanya kepada pelayan yang memberinya tempat bermalam.
Pelayan itu tertawa, mengangguk. "Anak orang kaya memang sudah biasa dimanja, Tuan Muda," katanya. "Segala keinginannya harus terkabul."
Pada saat itu Kun Hong melihat dua orang laki-laki tinggi besar semalam, yaitu Kam Ki Hoat dan Kam Siong, juga sudah siap. Dengan suara keras mereka memanggil pelayan, mengadakan perhitungan lalu meninggalkan rumah penginapan itu tanpa menoleh sedikit pun kepada Kun Hong.
Pemuda ini kaget. Ahh, sama sekali ia tidak mengira kalau mereka pun berangkat sepagi itu. Lebih baik jika ia mengikuti mereka. Tidak akan terlambat kiranya mendahului mereka kelak di kaki Gunung Thai-san.
Siapa tahu dengan mengikuti mereka secara diam-diam, nanti ia akan dapat lebih banyak memberi keterangan penting kepada Paman Tan Beng San, demikian pikirnya. Dan siapa tahu kalau-kalau mereka yang memusuhi Raja Pedang ini ternyata juga ada hubungannya dengan mereka yang menculik Li Eng dan Hui Cu.
Akan tetapi alangkah kaget dan kecewa hatinya ketika melihat betapa ternyata dua orang itu mempunyai dua ekor kuda yang dititipkan di dalam kandang kuda di belakang rumah penginapan dan sekarang mereka sudah menunggang kuda dan membalap keluar. Mau rasanya Kun Hong menempeleng kepalanya sendiri. Mengapa ia tidak menduga akan hal ini?
Terpaksa dia melanjutkan perjalanan dengan bersungut-sungut. Tidak mungkin dia harus berlari-lari mengejar dua ekor kuda itu. Hal ini tentu akan menimbulkan keheranan dan kecurigaan orang-orang yang melihatnya. Setelah dia keluar dari dusun itu dan berada di tempat yang sunyi, barulah dia berani berlari-lari cepat untuk sedapat mungkin menyusul dua orang penunggang kuda tadi.
Dia telah sampai di dalam hutan malam tadi dan dari jauh ia sudah melihat kuil tua yang dijadikan tempat pertemuan orang-orang yang memusuhi Tan Beng San. Berdebar-debar hatinya melihat beberapa orang di depan kuil dan mendengar suara pertengkaran. Cepat ia menyusup-nyusup di antara pohon dan semak-semak mendekati tempat itu.
Alangkah kaget dan herannya ketika dia melihat pemuda pesolek sombong itu berdiri di depan kuil berhadapan dengan sembilan orang yang semalam telah dia lihat di dalam kuil. Dia merasa kuatir sekali karena dapat menduga bahwa akhirnya sembilan orang penjahat itu toh akan mengganggu juga pemuda yang mereka anggap sebagai seorang anak murid Thai-san-pai.
Yang membuat Kun Hong mendongkol adalah melihat sikap pemuda itu sendiri. Di depan sembilan orang yang terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw dengan julukan nama-nama menyeramkan, kenapa dia masih tersenyum-senyum dengan bibir yang selalu mengejek? Alangkah sombongnya!
Meski hatinya menjadi gemas dan ingin dia melihat pemuda pesolek macam ini menerima hajaran keras, akan tetapi mengingat bahwa pemuda itu boleh jadi benar-benar adalah orang Thai-san-pai, tak enak kalau ia harus membiarkan saja pemuda itu dalam bahaya. Diam-diam Kun Hong bersiap sedia, apa bila nanti melihat pemuda itu terancam, pasti ia akan keluar dan membantunya. Sementara ini, ia akan mencari persembunyian yang lebih dekat dan menonton saja.
Orang pendek gemuk bermuka kanak-kanak yang mengepalai rombongan sembilan orang itu terdengar berkata sambil tertawa, "Orang muda, apakah niatmu menghadang kami di sini? Siapakah kau?"
Pemuda itu dengan lagak sombong mengerutkan kening, menjawab, "Kong Houw si perut gendut, tidak usah kau berpura-pura lagi. Kau tahu bahwa aku datang dari Thai-san-pai, akulah anak murid Thai-san-pai."
"Kau kenal namaku?" Si Gendut itu berseru kaget.
"Hemm, siapa tidak mengenal nama busukmu? Kau tokoh tertua dari Lam-thian Si-houw, di selatan menjadi momok yang ditakuti rakyat. Akan tetapi jangan kira Thai-san-pai takut kepadamu!"
Kang Houw melirik pada teman-temannya, kemudian ia tertawa lagi dengan muka ramah dan berkata, "Aha, kiranya saudara ini adalah orang Thai-san-pai. Bagus sekali, kalau begitu kita adalah orang-orang sendiri. Saudara muda, ketahuilah bahwa kami sembilan orang ini adalah orang-orang yang mengagumi ketuamu, Raja Pedang Tan-Taihiap dan kami sengaja hendak pergi ke Thai-san untuk memberi selamat dan hormat atas pendirian Thai-san-pai. Harap kau orang muda jangan salah duga."
Orang muda itu mencibirkan bibirnya, satu kebiasaan yang memanaskan perut Kun Hong karena gerakan ini benar-benar membuat orang menjadi gemas dan mendongkol!
"Kang Houw si perut gendut! Siapa sudi membeli daganganmu? Kalian hanya pura-pura saja hendak memberi selamat kepada Thai-san-pai, akan tetapi kalian sebetulnya adalah kumpulan maling-maling kecil yang sudah mengilar begitu mengingat akan barang-barang sumbangan yang berada di meja penerimaan di Thai-san-pai! Siapa yang tidak tahu akan hal itu? Hemmm, kalian ini sama dengan tikus-tikus kecil yang mau coba-coba meraba kumis harimau."
Mendengar kata-kata ini, sikap sembilan orang itu berubah, juga Kun Hong yang berada di tempat persembunyiannya tercengang keheranan. Bagaimana pemuda itu bisa tahu akan hal ini? Hatinya berdebar penuh dugaan. Jangan-jangan bayangan yang bergerak cepat bagai iblis malam tadi ialah dia ini! Mungkinkah pemuda sombong ini memiliki kepandaian begitu tinggi?
"Twako, ternyata dia mata-mata seperti yang kami sangka. Menghadapi bocah seperti ini perlu apa banyak bicara lagi? Twako, biarlah kami berdua membereskannya di sini, siapa yang akan tahu?" kata Kam Ki Hoat.
Ketika melihat Kang Houw si gendut muka kanan-kanak itu mengangguk perlahan, Kam Ki Hoat berkata kepada adiknya, "Mari kita tamatkan setan ini."
Dengan sikap mengancam dan menakutkan, kedua orang tinggi besar yang kelihatan amat kuat itu menghampiri pemuda yang tubuhnya kecil dan kelihatan lemah itu.
"Bocah yang telalu lebar telinganya, terlalu besar matanya dan terlalu lebar mulutnya! Kau bersiaplah menghadap raja akhirat!" teriak Kam Ki Hoat.
Kun Hong memandang tajam. Akan tetapi melihat sikap yang tenang sekali dari pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pemuda itu belum terancam bahaya. Oleh karena itu ia hanya memegangi dua buah batu kecil di kedua tangannya, siap menolong.
Pemuda itu benar-benar nampak amat tenang menghadapi dua orang yang tinggi besar dan mengancamnya itu. Dengan tersenyum mengejek ia berkata, "Dua ekor monyet besar menjual lagak. Siapa takut gertakanmu?"
Kam Ki Hoat dan Kam Siong berseru keras, dengan berbareng mereka maju menerjang dari kanan kiri. Kam Ki Hoat menggunakan gerakan Harimau Menerkam Domba, kedua tangannya meluncur ke arah leher pemuda itu untuk memukul patah atau mencengkeram leher itu.
Dari kiri Kam Siong menggunakan gerakan Kilat Menyambar Batu. Kedua tangannya yang terkepal sebesar kepala orang itu memukul bergantian ke arah lambung serta ulu hati lawan.
Sekaligus pemuda itu diserang dari kanan kiri ke arah atas dan bawah tubuhnya, dengan penyerangan yang dahsyat dan penuh tenaga yang amat kuat. Anehnya, pemuda itu diam saja tak bergerak, seakan-akan tidak tahu bahwa dia diserang orang dari kanan kiri!
Akan tetapi, ketika empat buah tangan itu sudah mendekati tubuhnya, tiba-tiba tubuhnya berkelebatan, tangan kakinya bergerak dan... dua orang saudara Kam itu lantas berteriak kesakitan. Apa yang terjadi?
Ternyata serangan Kam Hoat malah berbalik mengancam leher Kam Siong, sedangkan pukulan-pukulan Kam Siong mengancam ulu hati dan lambung kakaknya! Mereka kaget dan berusaha menarik kembali serangan, akan tetapi tetap saja masih saling menggebuk yang membuat keduanya terpental dan jatuh terduduk, saling memandang dengan mata melotot heran. Ada pun pemuda itu masih berdiri di tempat tadi, tersenyum penuh ejekan yang memanaskan perut.
Tujuh orang lainnya yang melihat ini menjadi terbelalak, terheran-heran karena mereka tidak dapat melihat nyata gerakan pemuda itu, tahu-tahu dua orang saudara Kam sudah saling memukul sendiri. Sudah gilakah dua orang saudara Kam itu? Ataukah memang tadi gerakan mereka itu keliru dan justru saling bertentangan?
Hanya Kun Hong yang diam-diam kagum sekali juga kaget bukan main karena ternyata olehnya bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang pandai sekali. Sekarang semakin besar dugaannya bahwa bayangan hitam tadi tentulah pemuda ini pula orangnya.
Ia tidak mengenal gerakan Si Pemuda ketika menjatuhkan kedua lawan tadi, akan tetapi dapat mengikuti dengan pandang matanya. Ia tahu bahwa tadi pemuda itu menggunakan kelincahannya dalam ilmu ‘menggunakan sedikit tenaga meminjam tenaga lawan’. Sambil mengelak cepat sekali ia menggencet kaki kedua lawannya bergantian selagi kedua lawan itu menyerang, melejit ke kanan mendorong Kam Ki Hiat ke depan sehingga tanpa dapat dicegah lagi dua saudara itu berubah arah penyerangan mereka dan terjadi saling gebuk sendiri!
Tentu saja Kam Ki Hoat dan Kam Siong marah sekali, juga malu karena terang-terangan mereka tadi dipermainkan oleh pemuda itu. Sambil mengeluarkan gerengan bagai macan kelaparan, keduanya menerjang kembali dari kanan kiri.
Kam Ki Hoat mengeluarkan ilmu tendangan yang jarang dapat dihadapi lawan, tendangan geledek yang akan sanggup menumbangkan sebatang pohon besar. Sedangkan dari kiri Kam Siong juga mengeluarkan ilmu pukulannya, pukulan geledek yang tentu akan dapat meremukkan kepala seekor harimau! Pendeknya, sekali ini dua orang saudara ini hendak menghancurkan tubuh pemuda kurus itu dari atas dan bawah agar menjadi hancur dan lumat seperti tahu dicacah!
Seperti juga tadi, pemuda itu kelihatannya tenang saja dan sama sekali tak bergerak dari tempatnya. Kini tujuh orang penjahat lainnya memandang penuh perhatian. Takkan salah lagi, pikir mereka, sekarang pemuda ini pasti akan mampus!
Hanya Kun Hong yang diam-diam tersenyum karena timbul kekaguman dan kepercayaan besar dalam hatinya terhadap kelihaian pemuda ini. Ia juga memandang penuh perhatian, ingin sekali melihat dengan cara apa pemuda ini akan mengalahkan lawan-lawannya. Dan Kun Hong kembali terkagum-kagum melihat cara pemuda itu berkelebat mengelak sambil mengerahkan ginkang-nya, menyelinap di antara pukulan dan tendangan.
Pada saat kaki Kam Ki Hoat menyambar lewat, tangan kirinya bergerak menangkap tumit lawan dan mendorong. Pada saat yang hampir bersamaan, pukulan geledek Kam Siong juga meluncur lewat, dan tangan kanannya bergerak menangkap pergelangan tangan itu kemudian mendorong.
Akibatnya... tubuh Kam Ki Hoat terlempar ke atas sampai tiga meter, sedangkan tubuh Kam Siong terdorong ke depan berjungkir-balik lantas terguling-guling sampai lima enam meter! Kedua orang ini agak nanar, menggerak-gerakkan kepala dengan mata menjuling dan berkunang-kunang.
Beberapa waktu kemudian keduanya dapat merangkak bangun dan kemarahan mereka memuncak. Tampak benda berkilat ketika kedua orang saudara Kam ini mencabut golok mereka yang besar, tajam dan meruncing.
"Bocah iblis, rasakan pembalasanku!" Kam Ki Hoat berteriak sambil lari menerjang.
"Mampuslah kau, setan!" Kam Siong juga berseru marah sambil memutar-mutar goloknya menyerang.
Agak kuatir juga hati Kun Hong melihat betapa dua orang tinggi besar itu mainkan golok yang demikian tajamnya. Mengerikan sekali. Apa lagi karena ia dapat melihat bahwa ilmu mereka bermain golok agaknya lebih lihai dari pada ilmu pukulan mereka.
Bagaikan kilat menyambar-nyambar, dua batang golok itu menyerang dari kanan dan kiri, sedangkan pemuda itu tetap saja bertangan kosong, tidak mau mencabut pedangnya dan malah enak-enak saja menanti datangnya dua batang golok yang mengancamnya!
Serangan maut kali ini akibatnya hebat sekali. Tujuh orang penjahat itu sampai terbelalak mata mereka saking kaget dan herannya. Hanya tampak dua tubuh saudara Kam yang tinggi besar itu seperti bola-bola yang ditendang melayang ke arah pohon besar, disusul melayangnya dua benda gemerlapan dan tahu-tahu kedua orang saudara Kam itu sudah tergantung di batang pohon dengan leher baju mereka terpantek pada batang itu oleh golok mereka sendiri!
Agaknya pemuda yang aneh dan luar biasa itu secara cepat bukan main sudah berhasil melontarkan tubuh mereka ke arah pohon sambil merampas goloknya, lalu menggunakan golok-golok itu sebagai golok terbang yang langsung memantek dua orang tinggi besar itu melalui leher baju mereka. Sekarang tubuh dua orang itu tergantung, kedua kaki mereka bergerak-gerak dan mereka kelihatan ketakutan sekali karena golok mereka sendiri begitu dekat dengan leher!
Kun Hong mengerutkan keningnya. Hatinya memang girang sekali melihat bahwa pemuda ini walau pun sombong, kiranya tidak kejam dan tidak mau menbunuh atau melukai berat kepada lawan. Akan tetapi diam-diam dia mulai ragu apakah perlu dia membantu karena melihat gerakan-gerakan tadi, terutama pada waktu menyambit dengan golok-golok itu, ia sangsi apakah dia sendiri becus melakukannya. Ia juga sangsi apakah dia sendiri mampu mengalahkan pemuda yang benar-benar luar biasa ini.
Dua buah batu yang tadi dipegangnya dalam persiapan untuk menolong, tanpa terasa lagi terlepas dari tangannya dan ia menonton kembali dengan penuh perhatian dan dengan hati tertarik.
Tiba-tiba dua bayangan orang melesat ke arah pohon itu dan cepat sekali dua bayangan itu sudah kembali melayang turun lagi sambil mengempit tubuh kedua saudara Kam dan memegang golok yang tadi memantek dua orang ini pada pohon. Hebat sekali gerakan itu, sekaligus melayang, mencabut golok dan mengempit orang sambil melayang turun kembali.
Kiranya kedua bayangan ini adalah dua orang di antara Hui-liong Sam-heng-te. Setelah menurunkan kedua orang saudara Kam itu, tiga orang kakak beradik Si Naga Terbang ini maju menghampiri pemuda tadi. Sikap mereka tenang akan tetapi pandang mata mereka penuh ancaman.
Tiga orang ini berusia lebih dari empat puluh tahun, bertubuh kurus-kurus sesuai dengan keahlian mereka, yaitu ilmu meringankan tubuh sehingga membuat mereka dijuluki Naga Terbang. Mereka ini adalah kakak beradik she Cong berasal dari daerah Kang-lam dan nama mereka sudah amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai ahli-ahli ginkang dan ahli pedang yang jarang bandingnya.
Pemuda itu tersenyum. "Ah, memang pantas bila kalian dijuluki Hui-liong (Naga Terbang), hanya sayang bahwa julukan itu terlalu muluk untuk tiga saudara maling kecil. Sayang sekali orang-orang yang sudah memiliki kepandaian sebaik itu merusak nama sendiri dan menjadi maling-maling tak tahu malu."
Tiga orang itu terkejut juga. Pemuda ini kelihatannya masih hijau, akan tetapi ternyata sudah mengenal nama mereka. Apakah karena nama mereka yang sudah terlalu populer. Akan tetapi berbareng mereka juga merasa marah sekali dimaki sebagai maling-maling kecil.
"Bocah bermulut lancang! Kami Hui-liong Sam-heng-te bukanlah sebangsa maling-maling kecil, keparat!"
"Ahhh? Betulkah? Kalau begitu tentulah maling-maling besar. Bukankah kalian juga ingin mencuri barang-barang berharga dari Thai-san-pai nanti?"
Merah muka tiga orang kurus itu. Tidak dapat disangkal lagi, memang mereka menerima ajakan Lam-thian Si-houw untuk merampok barang-barang hadiah di Thai-san-pai, akan tetapi hal itu bukan hanya karena barang-barang itu tentulah merupakan barang-barang pusaka yang luar biasa, melainkan juga untuk melampiaskan dendam kemarahan mereka terhadap Raja Pedang yang pernah merobohkan mereka beberapa tahun yang lalu. Niat usaha mereka ini sama sekali tak boleh dianggap sebagai perbuatan ‘maling-maling kecil’!
"Jika kami bermusuhan dengan Tan Beng San Ketua Thai-san-pai ada sangkutan apakah denganmu? Kau siapa?" tanya seorang di antara mereka, yang tertua.
Pemuda itu tersenyum mengejek, matanya berkilat. "Bukankah kalian tadi menganggap bahwa aku adalah anak murid Thai-san-pai? Nah, aku memang murid Thai-san-pai. Dan kalian ini monyet-monyet kurus memiliki kemampuan apakah berani bermusuhan dengan Ketua Thai-san-pai? Ih, benar-benar tak tahu diri! Bercerminlah terlebih dahulu dan lihat, apakah monyet-monyet macam kalian ini cukup patut untuk mengganggu Thai-san-pai!"
Kemarahan Hui-liong Sam-heng-te tidak dapat mereka kendalikan lagi. Sekali bergerak, mereka telah mencabut pedang mereka yang tajam berkilauan. Pemuda tampan itu tetap tersenyum-senyum tenang, seperti seorang tua melihat kenakalan tiga orang bocah.
Tiba-tiba tiga orang kurus itu menggerakkan pedang dan berpencar mengurung pemuda itu dari tiga jurusan. Berbareng mereka memekik dan pedang mereka serentak berkelebat menyerang. Pemuda itu berkelebat dan tiga serangan tadi mengenai tempat kosong.
"Ehh, ehhh, kalian menggunakan jurus-jurus dari Kun-lun-pai!" pemuda itu berseru.
Tiga orang itu tertegun dan saling memandang, karena herannya menunda penyerangan mereka.
"Hemmm, lucu benar. Melakukan jurus-jurus Kun-lun Kiam-hoat saja kalian masih belum becus, sudah menyerang aku. Hi-hi, melihat tingkat, kalian ini lebih patut menyebut kakek guru kepadaku!"
"Bocah sombong, kau tahu apa tentang Kun-lun Kiam-hoat?" teriak orang yang termuda.
"Ehh, kalian tidak percaya? Nih, lihat!"
Pemuda itu lalu memungut sebatang ranting kering dan memegangnya di tangan kanan seperti sebatang pedang.
"Kalian tadi menggunakan jurus Iblis Menukar Bayangan, yang seorang lagi menyerang dengan gerakan Burung Sakti Membuka Sayap, dan yang ke tiga dengan jurus Ayam Emas Mematuk Gabah. Bukankah begitu? Nah, jurus-jurus yang kalian mainkan tadi salah semua, bukan ilmu Kun-lun yang asli, melainkan sudah campur aduk seperti masakan cap-cai! Kalau tidak percaya, jurus-jurus kalian tadi dapat dipunahkan semua dengan ilmu pedang Kun-lun-pai yang bernama Ilmu Pedang Lima Serangkai."
Tiga orang Naga Terbang itu saling pandang, lalu tertawa. Memang tepat sekali ucapan pemuda itu saat menyebutkan jurus-jurus yang mereka mainkan. Memang mengherankan sekali bagaimana dalam keadaan diserang berbareng, selain dapat menyelamatkan diri, juga sekaligus pemuda itu dapat mengenal jurus-jurus mereka.
Namun mendengar bahwa pemuda itu akan menggunakan Ilmu Pedang Lima Serangkai dari Kun-lun-pai, mereka mau tidak mau tertawa. Karena ilmu pedang yang disebutkan itu adalah ilmu pedang yang paling rendah dari Kun-lun-pai, merupakan dasar pelajaran bagi para murid yang baru akan belajar ilmu pedang. Mana dapat dipakai untuk menghadapi mereka? Biar pun mereka bukan murid-murid asli dari Kun-lun-pai, namun ilmu pedang Kun-lun-pai yang tinggi telah mereka pelajari dan dicampur dengan ilmu-ilmu pedang lain.
"Manusia sombong, kau agaknya sudah ingin mampus! Nah, sambutlah kami dengan Ilmu Pedang Lima Serangkai! Keluarkan pedangmu," orang tertua dari ketiga Naga Terbang itu berkata.
Pemuda itu hanya membolang-balingkan ranting di tangannya. "Menghadapi ilmu pedang cap-cai kalian itu untuk apa harus menggunakan pedang. Dengan ranting ini dan dengan Ilmu Pedang Lima Serangkai, aku akan menghadapi kalian. Majulah!"
Selama mereka hidup, tiga orang ini belum pernah dihina seperti sekarang. Mereka malu sekali kalau harus mengeroyok seorang pemuda yang hanya bersenjata ranting. Akan tetapi karena sikap pemuda itu benar-benar amat menghina, mereka tidak mempedulikan aturan-aturan di kalangan kang-ouw lagi dan serentak mereka menyerang, mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai. Bagaikan tiga ekor naga terbang, pedang mereka berubah menjadi gulungan sinar panjang yang menyambar dari tiga jurusan ke arah pemuda itu.
Alangkah besar keheranan mereka ketika pemuda itu benar-benar memainkan Ilmu Silat Pedang Lima Serangkai! Mereka menahan gelak ketawa mereka dan dengan sungguh-sungguh mereka menyerang untuk merobohkan pemuda sombong ini.
Akan tetapi, ranting yang digerakkan secara lambat dan perlahan itu kiranya benar-benar dapat menyusup di antara pedang mereka sedemikian rupa dan mengancam jalan darah pergelangan tangan mereka bertiga! Tentu saja mereka tak mau membiarkan jalan darah yang terpenting ini tertotok dan tidak pernah jurus serangan mereka dapat dilanjutkan.
Nampaknya memang lucu sekali. Tiap kali salah seorang di antara mereka menusuk atau membacok, sebelum serangan ini mengenai tubuh Si Pemuda, sudah buru-buru ditarik kembali oleh penyerangnya untuk diubah dengan jurus lain.
"Ha-ha, lihat, bukankah ilmu pedang cap-cai kalian ini tidak ada gunanya sama sekali?" pemuda ini masih dapat mengejek ketika ia melompat ke sana ke mari untuk memapaki setiap serangan dengan totokan-totokan yang benar-benar dilakukannya sesuai dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Lima Serangkai!
Tiga orang itu betul-betul dibikin bingung dan tidak mengerti. Akhirnya mereka penasaran, merasa malu dan marah sekali, lalu melakukan serangan bertubi-tubi secara nekat dan lebih gencar.
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan seruan panjang. Ranting di tangannya cepat sekali berkelebat dan di lain saat ia sudah melompat keluar dari gelanggang pertempuran sambil tertawa-tawa.
Kun Hong kagum bukan main, akan tetapi enam orang teman penjahat itu menjadi merah muka mereka melihat betapa Hui-liong Sam-heng-te itu ternyata berdiri seperti patung, dalam sikap masing-masing, sikap orang bersilat. Mereka telah kaku tak dapat bergerak karena masing-masing telah kena ditotok oleh pemuda itu.
Melihat hal ini, Kang Houw Si Twako melangkah maju mendekati tiga orang yang telah tertotok itu, lalu berseru tiga kali sambil menotok dengan dua jari tangannya. Seketika itu terbukalah jalan darah tiga orang yang segera mengeluh dan roboh terguling.
Demikian hebatnya pengaruh totokan pemuda itu sehingga tubuh mereka terasa lemas dan baru beberapa lama kemudian mereka dapat berdiri kembali. Akan tetapi mereka sekarang seperti tiga ekor naga yang sudah dicabuti kuku dan siungnya, tidak berani lagi mengeluarkan suara.
Sementara itu, Si Pemuda dengan lagak sombong kemudian berkata, "Ehh, bagaimana sekarang? Apakah Lam-thian Si-houw juga hendak memperlihatkan kuku dan taringnya? Kalau begitu, majulah dan rasai kelihaian anak murid Thai-san-pai sebelum kalian tak tahu diri berani naik ke Thai-san."
Wajah Kang Houw menjadi merah. Ia merasa marah, penasaran, dan malu bukan main. Benarkah pemuda ini adalah anak murid Thai-san-pai? Jika hanya anak murid yang masih muda saja begini lihai, ahh, kiranya tak akan mungkin bergerak di Thai-san.
"Tuan Muda, sebenarnya siapakah kau?"
"Hi-hi-hik, sudah kalian tahu, anak murid Thai-san-pai, mengapa tanya-tanya lagi?"
Bi Houw Si Muka Tikus melangkah maju. "Twako, biarkanlah Si-te mencoba-coba bocah ini."
Twako-nya mengangguk.
"He-he-he, Si Muka Tikus yang suka merayap ke penginapan!" seru Si Pemuda. "Apakah kehendakmu? Lebih baik kau ajak saja tiga orang saudaramu itu maju bersama, supaya segera beres urusan ini!"
Bi Houw mencabut pedangnya yang ternyata adalah pedang pasangan yang berhiaskan benang-benang merah. "Bocah mulut besar, tuanmu saja sudah cukup untuk memenggal lehermu."
Pemuda itu mengulur lehernya yang kecil panjang, seperti lagak seekor kura-kura.
"Ihh, leher hanya sebuah hendak dipenggal? Habis ke mana aku mencari gantinya nanti? Jangan sembrono, tikus, jangan-jangan ekormu malah yang akan kau penggal sendiri."
"Bangsat, lihat pedang!"
Dua gulung sinar pedang menyambar ke arah pemuda itu yang berseru lucu, "Hayaaaa, ada tikus bermain siang-kiam (pedang pasangan). Jangan-jangan buntutmu sendiri yang akan putus!"
Karena melihat betapa pemuda itu dengan mudah bisa menghindarkan diri dari sambaran sepasang pedangnya, Bi Houw lalu mempercepat gerakan pedangnya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan atau sebaliknya.
Sungguh mengagumkan sekali gerakan pemuda itu. Seperti sebuah bayang-bayang saja, tubuhnya tak pernah terbabat pedang. Atau, lebih tepat seperti asap saja tubuhnya, selalu menyelinap di antara sinar pedang dengan gerakan seenaknya.
"Awas, pedangmu beradu!" pemuda itu berseru di antara bacokan-bacokan itu dan…
"Traaanggg!"
Benar saja! Dengan sentuhan-sentuhan dan sentilan di belakang telapak tangan Si Muka Tikus, membuat pedang kanan Bi Houw itu menyeleweng dan membentur pedang kirinya sendiri.....