Akan tetapi, bukan main herannya Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa ketika melihat betapa tiba-tiba kakek itu berteriak-teriak kesakitan, melepaskan tongkatnya, memandang kepada kedua tangannya yang sudah menjadi hitam dan... sambil menjerit-jerit kakek itu lantas lari secepatnya meninggalkan puncak Hoa-san-pai, diiringi suara ketawa nyaring gadis itu yang cepat-cepat melompat ke bawah.
"Hi-hi-hi-hik, termakan racunmu sendiri kau sekarang!" katanya puas sambil menggulung kembali sabuk suteranya.
Tahulah sekarang Kwa Tin Siong dan istarinya bahwa tadi ketika sabuk melibat tongkat, sabuk itu telah terkena racun yang keluar dari ujung tongkat. Ketika kakek itu merambat melalui sabuk otomatis kedua tangannya juga terkena racun hebat dari tongkat itu. Tidak mengherankan jika kedua tangannya itu menjadi hangus dan kakek itu lalu melarikan diri ketakutan.
Mengingat bahwa gadis itu telah menyelamatkan nyawanya, Kwa Tin Siong lalu berkata dengan nada menghormat, "Gadis yang gagah perkasa, entah sudah kau sengaja atau tidak, akan tetapi kau tadi telah menyelamatkan nyawa kami suami isteri. Maka, terimalah ucapan terima kasihku kepadamu."
Gadis itu menjebirkan bibirnya. "Siapa menyelamatkan siapa? Kakek bongkok itu sudah berani mengotori Im-kan-kok, tidak kubunuh juga sudah untung. Kau ini orang she Kwa yang menjadi Ketua Hoa-san-pai, sekarang juga kau harus menyerahkan pedang Hoa-san Po-kiam itu kepadaku berikut kepalamu."
Sambil berkata demikian ia melangkah maju dengan sikap tenang. Kwa Tin Siong yang mendengar itu lebih merasa heran dari pada marah. Sudah tentu ada sebab-sebab yang aneh kalau anak ini sampai memusuhinya, tak mungkin memusuhi tanpa sebab.
"Nanti dulu, kalau kau betul-betul datang hendak memusuhiku, hal itu adalah wajar asal ada alasannya yang kuat. Kau jelaskanlah lebih dahulu mengapa kau hendak merampas Hoa-san Po-kiam dan hendak membunuhku? Apa sebabnya?"
"Apa sebabnya kau tidak perlu tahu. Pendeknya aku harus merampas kembali Hoa-san Po-kiam dan membunuh Ketua Hoa-san-pai she Kwa! Hayo kau majulah dan serahkan pedang serta kepalamu, aku sudah hilang sabar!"
Kwa Tin Siong orangnya memang berwatak sabar, akan tetapi tidak demikian dengan Liem Sian Hwa. Nyonya ini menjadi marah bukan main, tak dapat ia menahan perasaan hatinya yang terbakar ketika ia mendengar orang menghina suaminya. Cepat ia mencabut pedangnya yang sudah buntung ujungnya tadi dan membentak,
"Siluman cilik, enak saja kau bicara! Siluman macam kau tak mungkin bisa diajak bicara baik-baik. Kalau memang kedatanganmu hendak memusuhi kami, kau matilah dan lawan pedangku!"
Li Eng tertawa mengejek dan memandang pedang buntung itu. "Hi-hik, dengan pedang itu kau hendak melawanku? Ahhh, sedangkan ilmu pedang Hoa-san Kiam-sut saja baru kau pelajari setengah-setengah, matang tidak mentah pun tidak, lalu bagaimana kau hendak melawanku menggunakan pedang buntung? Bibi yang cantik, aku hanya ingin mengambil kepala orang she Kwa. Kalau kau ingin mencoba kepandaianmu yang masih setengah matang, kau...majulah!"
Sampai pucat wajah Liem Sian Hwa mendengar ejekan ini. Dia merupakan seorang tokoh Hoa-san-pai, boleh dibilang menjadi orang ke dua sesudah suaminya. Semenjak kecil dia sudah mempelajari ilmu silat Hoa-san-pai dan untuk kehebatan ilmu pedangnya ia malah telah menggemparkan dunia kang-ouw hingga mendapat julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang). Masa sekarang ia dihina oleh seorang bocah cilik yang menyatakan bahwa ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-sut matang tidak mentah pun tidak? Biar pun hanya berpedang buntung, namun ia masih sanggup untuk menghadapi lawan yang tangguh.
"Bocah setan, kau benar-benar terlalu sombong. Keluarkan senjatamu dan mari kau boleh merasakan ilmu pedangku yang mentah tidak matang pun tidak ini!" tantangnya.
"Untuk menghadapi kau dan pedang buntungmu cukup dengan tangan kosong.”
"Sombong, lihat pedang!"
Sian Hwa tak dapat menahan kemarahannya lagi. Tubuhnya segera menerjang maju dan pedangnya bergerak menyerang. Dengan gerakan cepat sekali sehingga sinar pedangnya bergulung-gulung, ia mengirim tiga kali tikaman berantai dengan jurus Lian-cu Sam-kiam.
"Hemmm Lian-cu Sam-kiam yang baik sekali. Sayang tidak ada isinya!" Li Eng mengejek dan cepat mengelak.
Karena ia tahu benar agaknya akan perubahan gerak dari jurus ini, maka dengan mudah Li Eng dapat menyelamatkan diri. Sian Hwa merubah gerakannya, mengirim bacokan dari kanan kiri sambil mempergunakan kecepatannya.
"Aha, Hun-in Toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung)! Juga tidak mengandung inti sari, masih mentahl" Lagi-lagi Li Eng mengelak dan mengejek.
Sian Hwa makin marah, juga diam-diam terkejut sekali karena semua serangannya selalu dikenal oleh lawan. Dalam penyerangan-penyerangan berikutnya, baru saja dia bergerak gadis cilik itu sudah menyebutkan jurusnya dan malah mengelak dengan gerakan-gerakan dan langkah-langkah dari ilmu silat Hoa-san-pai asli.
"Tahan dulu!" tiba-tiba saja Kwa Tin Siong maju, melerai yang sedang bertempur setelah pertempuran itu berjalan puluhan jurus.
Ketua Hoa-san-pai ini menjadi curiga karena tadi ia melihat dengan jelas betapa ilmu silat gadis itu betul-betul asli Hoa-san Kun-hoat, akan tetapi dimainkannya demikian aneh dan hebat. "Nona kau sebetulnya murid siapakah?"
Juga Sian Hwa di samping kemarahan dan kegemasan karena penasaran, merasa heran sekali. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan yang begini muda tapi begini hebat ilmu silatnya, apa lagi ilmu silat dari Hoa-san-pai pula!
Li Eng tersenyum mengejek. "Murid siapa juga kau peduli apakah? Pendeknya, kau harus menyerahkan Po-kiam dari Hoa-san-pai berikut kepalamu. Kau tak berhak menjadi Ketua Hoa-san-pai!"
Kwa Tin Siong mencabut pedangnya, pedang Hoa-san Po-kiam, lalu dia melangkah maju. "Nah, ini pedangnya dan ini kepalaku, kau boleh ambil kalau kau bisa."
Kwa Tin Siong menjadi marah juga melihat sikap gadis yang bandel dan nekat ini dan ia ingin mencoba sendiri kepandaian gadis itu. Setelah suhu-nya meninggal, yaitu Lian Bu Tojin, kiranya tidak berlebihan kalau dia menganggap bahwa ahli silat Hoa-san-pai yang paling tinggi ilmunya pada saat itu adalah dia sendiri. Kalau gadis ini pun ahli ilmu silat Hoa-san-pai, mana mungkin lebih tinggi tingkatnya dari pada dia sendiri?
"Bagus, kau kehendaki kekerasan? Awas!"
Li Eng menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah pedang dan kakinya menyapu dengan kecepatan kilat. Akan tetapi Kwa Tin Siong melangkah mundur dan pedangnya berkelebat membacok tangan gadis itu. Li Eng menarik tangannya, meloncat ke kiri dan kembali menyerang dengan maksud hendak merampas pedang.
Kini tubuhnya bergerak-gerak cepat, kadang-kadang melakukan pukulan yang amat cepat dan berbahaya, lain saat ia berusaha merampas pedang dari tangan Kwa Tin Siong. Akan tetapi, kali ini ia betul-betul menghadapi seorang ahli silat yang sudah sangat matang oleh pengalaman, juga yang memiliki tenaga dalam kuat sekali. Sampai lima puluh jurus belum juga Li Eng berhasil merampas pedang.
Di lain pihak, diam-diam Kwa Tin Siong makin terheran-heran. Harus ia akui bahwa ilmu silatnya sendiri kalau dibandingkan dengan ilmu silat gadis itu, ia jauh lebih ahli, juga lebih matang. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada ilmu silat yang dimainkan gadis cilik ini, gerakan-gerakannya mengandung daya serang yang hebat sekali, yang tak ada pada ilmu silat asli Hoa-san Kun-hoat.
"He, Nona kecil, apakah kau pernah belajar pada Supek Lian Ti Tojin?" Tiba-tiba Kwa Tin Siong bertanya karena ia mendapat dugaan yang aneh.
"Aku adalah murid ayah ibu sendiri. Sudahlah jangan banyak cakap, lihat dalam beberapa jurus aku akan merampas pedangmu!"
Tiba-tiba benda hitam panjang seperti ular hidup menyambar ke arah muka Kwa Tin Siong yang menjadi kaget luar biasa. Cepat Ketua Hoa-san-pai ini menyabet dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga untuk membabat putus benda itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika benda itu tiba-tiba malah melibat pedangnya dan tak dapat dllepaskan lagi. Ia cepat mengerahkan tenaga menarik dan gadis itu pun menahan sehingga keduanya saling betot. Kiranya benda itu adalah sutera hitam yang tadi dipakai mengerek tubuh Yok-mo dan sekarang sudah berada lagi di tangan gadis aneh itu.
Melihat keadaan suaminya dalam bahaya, Sian Hwa tidak dapat tinggal diam saja. Sambil berseru keras ia menggerakkan pedang buntungnya dan menerjang Li Eng.
Gadis ini tertawa. "Bagus, kalian boleh maju bersama-sama!"
Sabuk sutera hitam terlepas dan ia lalu bersilat dengan senjata aneh ini, kini dikeroyok dua!
Pada waktu itu, tingkat kepandaian suami isteri ini sudah sangat tinggi dan kiranya tidak sembarang lawan dapat mengalahkan mereka. Mereka merupakan pasangan yang amat hebat dengan ilmu pedang mereka.
Akan tetapi ternyata keduanya tidak dapat mendesak Li Eng, sungguh pun gadis ini harus mengaku bahwa kini dia menghadapi dua lawan yang amat tangguh. Gadis itu mainkan senjatanya yang aneh secara cepat dan yang hebat sekali adalah bahwa ilmu silatnya tak salah lagi adalah ilmu silat Hoa-san Kun-hoat!
Benar-benar penasaran bagi Kwa Tin Siong dan isterinya yang merupakan tokoh-tokoh pertama dari Hoa-san-pai. Mereka sekarang tak berdaya menghadapi seorang gadis yang juga mainkan ilmu silat Hoa-san-pai, padahal gadis itu hanya bersenjatakan sehelai sabuk sutera!
Makin lama pertempuran itu berjalan makin seru, bahkan akhirnya menjadi pertandingan mati-matian. Pada suatu saat, Kwa Tin Siong dan Sian Hwa dalam waktu yang sama menerjang sedemikian hebatnya sehingga tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh gadis itu.
Li Eng kaget dan berseru keras, tubuhnya mencelat ke belakang dan sabuk suteranya berkibar, seperti kilat menyambar cepat sekali dan seperti kupu-kupu melayang indahnya, kedua ujung sabuk itu tahu-tahu telah membelit kedua pedang di tangan Kwa Tin Siong dan Sian Hwa yang mengancamnya.
Gadis ini memegangi sabuk di tengah-tengah dan berada agak jauh sehingga suami isteri itu tak dapat menyerangnya lagi dengan tangan kiri karena mereka tidak suka mengambil resiko pedang mereka terampas. Ketiganya berdiri memasang kuda-kuda, mengerahkan tenaga dan terjadilah adu tenaga memperebutkan pedang.
Li Eng mulai berpeluh. Tak kuat dia dikeroyok dua dalam adu tenaga ini. Wajahnya agak pucat. Jika ia melepaskan libatan sabuknya, maka ia dapat terluka di dalam tubuhnya. Ia bertekad terus bertahan, akan tetapi kedudukannya mulai bergerak dan terseret ke depan sedikit demi sedikit.
Keringat dingin mulai membasahi jidat yang halus itu. Akan tetapi sepasang mata yang jeli dan bening itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut sedikit pun juga.
"Li Eng, jangan kurang ajar!" terdengar bentakan suara wanita.
"Kwa-supek, maafkan anakku yang nakal!" terdengar pula suara seorang laki-laki.
Dua suara ini disusul dengan berkelebatnya dua sosok bayangan yang tahu-tahu sudah tiba di tempat pertempuran dan langsung bayangan laki-laki itu maju menengahi. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa merasa betapa tenaga mereka yang tadi dipersatukan untuk mempertahankan pedang masing-masing itu seperti terlolos dan mencair, lenyap tak tentu sebabnya dan tahu-tahu pedang mereka telah terlepas dari libatan sabuk sutera yang juga sudah ditarik kembali oleh Li Eng.
Ketika suami isteri ini memandang, dapat dibayangkan betapa heran, kaget dan girangnya hati mereka karena yang sekarang berdiri di depan mereka ini bukan lain adalah Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang anak murid Hoa-san-pai yang dulu lenyap setelah terusir oleh Kwa Hong!
Kui Lok cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan paman guru dan bibi gurunya, sedangkan Thio Bwee juga cepat menyeret tangan Li Eng kemudian ia sendiri bersama gadis itu pun berlutut di depan suami isteri Ketua Hoa-san-pai.
Para tosu Hoa-san-pai yang juga mengenal Kui Lok dan Thio Bwee, menjadi gempar dan terdengarlah seruan-seruan gembira disertai isak tertahan. Memang mengharukan sekali pertemuan itu.
Kwa Tin Siong segera memeluk Kui Lok sedangkan Liem Sian Hwa lalu merangkul Thio Bwee. Mereka bertangisan. Hanya Li Eng gadis nakal itu yang sekarang berdiri bingung memandang kedua orang tuanya yang berpelukan sambil bertangisan dengan dua orang Ketua Hoa-san-pai yang baru saja bertanding mati-matian dengannya.
"Ayah, Ibu... dia ini adalah Ketua Hoa-san-pai she Kwa!" akhirnya dia tak dapat menahan lagi hatinya, menegur ayah bundanya.
Ibunya, Thio Bwee sudah dapat menetapkan hatinya dan melepaskan pelukan Liem Sian Hwa, bibi gurunya. Dia memandang kepada puterinya dengan mata penuh teguran, lalu berkata, "Li Eng, tanpa perkenan Ayahmu, mengapa kau berani lancang sampai ke sini dan mengacau Hoa-san-pai?" kemudian nyonya ini memandang ke sekeliling, ke arah mayat-mayat manusia yang amat banyak, kemudian suaranya makin bengis, "Kau telah mengacau dan membunuh orang-orang ini?"
"Aku... tidak, tidak, Ibu. Aku tidak membunuh siapa-siapa!" Li Eng menjawab cepat dan ketakutan, apa lagi ketika melihat ayahnya pun memandangnya dengan wajah bengis. "Aku... aku keluar dari tempat kita dan aku melihat serombongan orang di Im-kan-kok yang bicara mengenai maksud mereka menyerbu Hoa-san-pai. Karena mereka berbicara tentang Ketua Hoa-san-pai pula, hatiku jadi tertarik dan aku lalu datang ke sini untuk merampas kembali Hoa-san Po-kiam dari Ketua Hoa-san-pai dan membunuh orang she Kwa ini. Bukankah orang she Kwa ini yang ayah ibu katakan jahat dan sudah merusak Hoa-san-pai?"
"Anak tolol, sama sekali bukan! Dia ini adalah paman guruku, dan yang itu adalah bibi guruku, sekaligus juga paman guru dan bibi guru ibumu. Jadi kau masih terhitung cucu murid mereka. Hayo lekas berlutut dan minta ampun!" kata Kui Lok.
Li Eng kaget sekali dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. "Kakek dan Nenek guru, aku Kui Li Eng mohon ampun..."
Liem Sian Hwa menubruk cucu muridnya itu dan memeluknya. "Tidak kusangka-sangka aku mempunyai cucu murid begini hebat..." katanya girang.
Kwa Tin Siong menarik napas panjang. "Sudahlah... sekarang aku tahu siapa yang dia maksudkan orang she Kwa itu. Tentu Kwa Hong bukan?"
Kui Lok dan Thio Bwee hanya mengangguk.
Pada saat itu terdengar suara berseru, suara wanita, "Supek...!"
Semua orang memandang dan melihat orang berlari cepat ke puncak itu. Mereka ini bukan lain adalah Thian Beng Tosu bersama dua orang wanita, yang seorang setengah tua dan yang kedua seorang gadis yang cantik dan berpakaian sederhana. Melihat wanita setengah tua itu, Liem Sian Hwa segera lari memapaki dan mereka berangkulan.
"Lee Giok... kau benar-benar telah membuat suamimu hidup menderita!"
Memang benar, wanita itu bukan lain adalah Lee Giok, isteri dari Thio Ki atau Thian Beng Tosu. Dan gadis cantik sederhana itu adalah puterinya! Bagaimana mereka bisa muncul di saat itu bersama Thian Beng Tosu? Untuk mengetahui hal ini marilah kita ikuti perjalanan Thian Beng Tosu beberapa saat yang lalu.
Telah diceritakan bagaimana Thian Beng Tosu berhasil mendesak musuh lamanya, yaitu Hek-houw Bhe Lam. Kepala rampok ini melarikan diri dikejar oleh Thian Beng Tosu dan kejar-mengejar ini membawa mereka turun dari puncak, hingga tiba di hutan tak jauh dari Im-kan-kok. Bhe Lam sudah terluka pangkal lengannya, tetapi larinya masih cepat sekali. Betapa pun juga, karena Thian Beng Tosu lebih biasa di tempat itu, setibanya di dalam hutan ini ia tersusul.
Tosu Hoa-san-pai ini membentak, "Hek-houw, percuma saja kau lari. Kejahatanmu sudah melampaui takaran, hari ini kau harus tewas di tanganku!"
Hek-houw Bhe Lam yang tahu bahwa dia tak mungkin dapat melarikan diri lagi mendadak membalikkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak. Belasan buah senjata piauw lantas melayang ke arah lawannya. Namun Thian Beng Tosu sudah menduga akan hal ini, cepat memutar pedangnya menangkis.
Pada saat itu Hek-houw Bhe Lam bersuit ketika ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawannya. Dengan perlahan namun pasti Thian Beng Tosu mendesak penjahat itu. Belasan jurus kemudian Bhe Lam masih dapat bertahan, walau pun keadaan kepala rampok ini terdesak makin hebat.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suitan dari dalam hutan dan tak lama kemudian muncullah tiga orang tinggi besar yang segera menerjang Thian Beng Tosu dengan golok di tangan. Mereka ini adalah orang-orang yang sengaja disuruh menjaga di situ oleh kepala rampok ini dan tadi ia memang sengaja memancing Thian Beng Tosu memasuki hutan ini agar ia bisa mendapatkan bantuan tiga orang temannya.
Setelah tiga orang itu mengeroyok, keadaan menjadi terbalik. Sekarang tosu inilah yang terdesak dan dihujani serangan dari kanan kiri, depan dan belakang. Ia mulai sibuk dan terpaksa hanya dapat mempertahankan dirinya tanpa mampu balas menyerang. Keadaan Thian Beng Tosu benar-benar berbahaya sekali dan Hek-houw Bhe Lam mulai mengejek serta mentertawakan.
Akan tetapi tiba-tlba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis muda yang cantik manis dengan pakaiannya yang sederhana, diikuti oleh seorang wanita setengah tua yang berpakaian seperti seorang pertapa tahu-tahu muncul dari balik pepohonan dan langsung kedua orang wanita itu menerjang empat orang penjahat tadi. Hebat sekali permainan pedang gadis sederhana itu, akan tetapi lebih hebat permainan silat wanita pertapa yang hanya memegang sebatang ranting kecil. Dalam beberapa gebrakan saja empat orang penjahat itu telah terjungkal dalam keadaan terluka.
Gadis itu dengan gemas menggerakkan pedang hendak membunuh Hek-houw Bhe Lam, akan tetapi tiba-tiba Thian Beng Tosu berseru, "Jangan bunuh!"
Gadis itu menahan pedangnya dan memandang kepada tosu Hoa-san-pai ini dengan sinar mata penuh keharuan. Sebaliknya Thian Beng Tosu dan wanita pertapa ini berdiri seperti patung dan saling pandang seperti terkena pesona.
"Lee Giok... kau Lee Giok..." bibir Thian Beng Tosu bergerak-gerak mengeluarkan bisikan.
Wanita pertapa itu meramkan kedua matanya dan menitiklah air mata pada kedua pipinya yang masih segar kemerahan. Memang benar ia adalah Lee Giok, isteri Thian Beng Tosu!
"Dan dia ini...?" lagi-lagi Thian Beng Tosu berkata amat perlahan sambil menoleh ke arah gadis cantik yang gagah perkasa itu.
"...dia Hui Cu... anak kita...," terdengar wanita pertapa itu berkata.
Mendengar ini, gadis itu yang bernama Thio Hui Cu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Beng Tosu sambil berkata, "Ayah...!"
Tosu ini membungkuk dan meraba kepala anaknya, air matanya bercucuran, kemudian ia menarik bangun anaknya, memandangi sampai lama sekali lalu berdongak ke atas dan berkata, "Siancai... Tuhan Maha Adil... siapa sangka aku akan dapat bertemu dengan kalian dalam keadaan selamat? Ya Tuhan, terima kasih atas kemurahan-Mu..."
Setelah keharuan mereka mereda, Lee Giok berkata, "Dia ini... bukankah dia penjahat Bhe Lam yang dahulu itu?"
Baru sekarang Thian Beng Tosu teringat akan empat orang penjahat yang masih berada di situ karena tidak berani melarikan diri. "Betul, dan mereka inilah yang menjadi lantaran pertemuan kita. Karena itu, biarlah kita ampunkan mereka. Bhe Lam, sekali lagi kami mengampunimu, harap saja kau dapat sadar dan insyaf bahwa menyimpang dari jalan kebenaran bukanlah hal yang akan dapat menyelamatkan dirimu. Nah, lekas pergilah dan semoga Thian akan memberi bimbingan kepada jiwamu."
Dengan malu sekali, juga merasa bersyukur karena kembali dia diampuni, Bhe Lam dan teman-temannya pergi terpincang-pincang. Setelah mereka pergi, suami isteri dan anak mereka ini saling berpandangan, penuh kebahagiaan dan penuh keharuan.
"Kau... selama ini di manakah? Kenapa tidak kembali ke Hoa-san mencariku?"
Dalam pertanyaan yang halus ini sama sekali tidak terkandung suara penyesalan, namun cukup membuat Lee Giok kembali mengucurkan air mata.
"Bagaimana aku berani? Aku... aku... telah ternoda oleh si jahat Giam Kin. Baiknya ada Adik Hong yang menolongku... dan aku lari ke sini, aku... aku bersembunyi dalam hutan, bertapa... kemudian mendidik anak kita ini... aku telah mengambil keputusan tidak akan menggangumu kecuali kau yang mendapatkan aku. Siapa duga... kau bertempur dengan mereka itu dan... dan... ahhh, kenapa kau sekarang telah menjadi tosu?"
Thian Beng Tosu tersenyum, kemudian dengan penuh kebahagiaan ia memegang tangan isterinya di tangan kanan, tangan Hui Ci di tangan kiri.
"Dan kau sendiri? Kau pun menjadi seorang tokouw (pendeta perempuan). Bagus sekali! Ternyata bukan aku saja yang sudah menemukan jalan benar, juga kau, isteriku Lee Giok, sekarang tinggal kita mendoakan saja demi kebahagiaan hidup anak kita. Marilah ikut aku ke puncak menemui Supek. Tahukah kau bahwa sekarang yang menjadi ketua adalah Supek Kwa Tin Siong?"
Dengan penuh kegembiraan Thian Beng Tosu bersama anak dan isterinya lalu menuju ke Puncak Hoa-san. Di tengah perjalanan mereka saling menceritakan pengalaman mereka yang pahit dan penuh penderitaan. Dapat dibayangkan betapa kebahagiaan ini menjadi makin berlimpah ketika mereka tiba di tempat pertempuran tadi melihat bahwa Kui Lok dan Thio Bwee berada pula di situ, malah Li Eng gadis nakal yang lihai itu ternyata adalah puteri mereka!
Hujan tangis terjadi pada saat Thian Beng Tosu muncul bersama Lee Giok dan Hui Cu. Segera Kwa Tin Siong memerintahkan para murid untuk mengurus mayat-mayat itu dan merawat mereka yang terluka. Dia sendiri dengan perasaan duka bercampur suka ria mengajak para murid Hoa-san-pai itu masuk ke dalam kuil.
Akan tetapi tiba-tiba Liem Sian Hwa berkata dengan kaget, "Ehh, di mana Kun Hong?"
Beberapa orang tosu menjawab bahwa mereka tadi melihat Kun Hong berlari pergi dari tempat itu, turun dari puncak. Ketika para tosu hendak mencegah dan memberi tahu bahwa mungkin ada orang jahat di lereng gunung, Kun Hong malah marah-marah dan membentak mereka.
"Jangan bicara padaku, kalian semua juga jahat, pembunuh-pembunuh kejam. Aku tidak sudi lagi tinggal di sini!"
Tentu saja Liem Sian Hwa berkuatir sekali. Akan tetapi Kwa Tin Siong yang sekarang merasa betapa puteranya itu amat lemah dan tak dapat dibandingkan dengan Li Eng atau Hui Cu yang biar pun merupakan anak-anak perempuan akan tetapi memiliki kegagahan, segera berkata,
"Biarkanlah, memang sudah tiba waktunya bagi dia untuk meluaskan pengalaman ke bawah gunung. Kalau sudah banyak menghadapi kesukaran, baru ia menjadi dewasa dan dia tentu akan kembali ke sini." Ia pun mencegah dan menghibur isterinya yang tadinya bermaksud untuk mengejar dan mencari puteranya.
Sian Hwa sendiri karena merasa malu kalau harus memperlihatkan kelemahan puteranya dan juga kelemahannya sendiri yang terlalu menguatirkan seorang anak laki-laki, terpaksa menurut walau pun hatinya penuh kegelisahan.
Mereka semua lalu masuk ke dalam kuil dan menceritakan pengalaman masing-masing. Yang membuat Ketua Hoa-san-pai ini girang dan bangga sekali adalah ketika mendengar bahwa Kui Lok dan Thio Bwee kini telah mewarisi ilmu kepandaian yang ditinggalkan oleh Lian Ti Tojin sehingga tingkat kepandaian dua orang murid keponakan ini jauh melampaui tingkatnya sendiri. Hal ini berarti memperkuat kedudukan Hoa-san-pai.
Keluarga besar keturunan Lian Bu Tojin ini sekarang telah berkumpul di Hoa-san-pai. Dan dengan adanya mereka, kiranya tidak akan ada sembarang orang yang berani mengacau Hoa-san-pai lagi…..
********************
Hati Kun Hong penuh kedukaan dan kemarahan. Sama sekali di luar dugaannya bahwa ayah bundanya, juga para tosu Hoa-san-pai yang setiap hari belajar tentang kebajikan, sekarang berubah menjadi pembunuh-pembunuh yang amat kejam menurut pendapatnya. Puluhan orang manusia dibunuh di puncak Hoa-san.
"Aku tidak mau melihat mereka lagi, aku tidak sudi lagi kembali ke Hoa-san-pai!" demikian hatinya menjerit penuh kengerian saat di depan matanya terbayang mayat mayat manusia yang menggeletak tumpang-tindih itu. Celaka, pikirnya. Ayahnya, ibunya dan semua tosu Hoa-san-pai tentu akan ditangkap dan dimasukkan penjara!
Biar pun ia, tidak pernah belajar ilmu silat, namun Kun Hong memang pada dasarnya memiliki tubuh yang sehat kuat dan berkat kemauannya yang luar biasa kokoh kuatnya, ia tidak merasakan kelelahan kedua kakinya. Ia berlari terus menuruni puncak. Maksudnya hendak mencari dusun terdekat untuk menemui kepala dusun dan melaporkan mengenai pertempuran di puncak itu, Biarlah yang berwajib yang mengurusnya, tetapi ia tidak akan kembali ke sana, pikirnya.
Tiba-tiba ia melihat orang berjalan terhuyung-huyung, mengeluh lalu roboh tak jauh dari tempat ia berdiri. Cepat Kun Hong lari menghampiri dan kagetlah ia ketika melihat bahwa orang itu tak lain adalah Toat-beng Yok-mo, kakek bongkok yang tadi ia lihat mengamuk di Puncak Hoa-san.
Hatinya memang penuh welas asih. Melihat kakek itu luka-luka di pundak dan lambung, mengucurkan darah, ia segera berlutut dan bertanya, "Toat-beng Yok-mo, kau kenapa?"
Kakek itu mengeluh dan membuka matanya, kelihatan kesakitan sekali. Ketika ia melihat Kun Hong, sekejap ia kelihatan kaget, akan tetapi kemudian terheran-heran.
"Lekas... tolong kau ambilkan bumbung (tabung bambu) dalam buntalanku di punggung ini... lekas... dan hati-hati, jangan sampai menyentuh tanganku...," katanya dengan suara terengah-engah.
Kun Hong melihat ke arah kedua tangan kakek itu dan bergidik ngeri. Kedua tangan kakek itu sudah menghitam seperti hangus terbakar dan teringatlah ia akan racun hebat yang mengakibatkan kematian tosu Hoa-san-pai dan kemudian karena dipegang oleh Bu Tosu mengakibatkan hal yang amat mengerikan.
Ingin ia lari pergi menjauhi kakek yang seperti iblis ini, akan tetapi melihat orang tua itu terluka dan berada dalam keadaan payah sekali, hatinya tidak tega. Ia lalu menurunkan bungkusan dari punggung kakek itu dan membukanya. Di antara bungkusan-bungkusan obat dan pakaian, ia mengambil sebatang bambu besar dan pendek yang disumbat kayu dan tabung itu diberi lubang untuk hawa, seperti tempat jangkerik akan tetapi tabung itu besar.
"Inikah bumbung itu?" tanyanya.
"Betul, buka sumbatnya dan keluarkan isinya. Hati-hati, katak putih hijau ini jangan sampai terlepas. Kau peganglah erat-erat!" Toat-beng Yok-mo berkata tergesa-gesa dan sinar kegembiraan terpancar keluar dari sepasang matanya yang tadi nampak sayu dan penuh kegelisahan.
"Katak?" kata Kun Hong terheran-heran sambil membuka sumbatnya dan tiba-tiba seekor katak yang besar dan berkulit seperti salju meloncat keluar dari tabung itu.
"Wah, terlepas...!" kata Kun Hong.
"Goblok kau! Celaka... lekas tangkap, jangan sampai hilang. Kalau dia hilang aku mati...!"
Mendengar ucapan ini Kun Hong menjadi pucat, lalu ia mengejar katak itu sampai jatuh bangun. Ini urusan nyawa orang, pikirnya.
Katak itu tidak begitu cepat gerakannya, akan tetapi selambat-lambatnya katak, ia pandai melompat sehingga tiap kali Kun Hong menubruk, katak itu melompat membuat pemuda itu terpaksa mengejar lagi dan menubruk lagi sampai jatuh bangun dan pakaiannya kotor semua. Akan tetapi akhirnya dapat juga ia menangkap katak itu.
Biar pun pakaiannya kotor semua dan kedua lengannya babak-belur tertusuk duri, namun Kun Hong girang sekali karena dapat menangkap kembali katak itu. Pemuda ini segera lari kepada Toat-beng Yok-mo sambil membawa katak itu.
"Sudah dapat kutangkap kembali, Yok-mo," katanya girang.
Keadaan Toat-beng Yok-mo makin payah, napasnya terengah-engah. "Lekas... dekatkan katak itu ke mulutku..."
Kedua tangan yang hangus itu tidak dapat digerakkan lagi. Kun Hong mendekatkan katak itu ke mulut Yok-mo dengan heran karena tidak tahu apa yang dimaksudkan. Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat kakek itu membuka mulut dan... menggigit kaki belakang katak itu sampai mengucurkan darah yang lalu dihisap!
"Eh... ehh, kau mau makan katak hidup ini?" teriaknya heran dan mencoba untuk menarik katak itu.
Akan tetapi tiba-tiba kaki Yok-mo bergerak menendang dan tubuh Kun Hong mencelat jauh. Pemuda ini merayap bangun dan bersungut-sungut.
"Kau memang jahat! Katak tidak berdosa kau gigit dan kau juga menendangku!"
Akan tetapi ia melihat keanehan setelah kakek itu minum darah katak. Kedua tangannya yang tadinya hangus itu cepat sekali pulih kembali dan lenyaplah warna hitam tadi. Tak lama kemudian kakek itu mengambil katak dari mulutnya, memasukkannya kembali ke dalam tabung dan... tertidurlah kakek itu mengorok enak sekali!
Kun Hong adalah seorang yang cerdik. Melihat ini tahulah ia bahwa darah katak itu adalah obat yang amat mujarab bagi racun hitam. Ia ingin sekali bertanya karena merasa tertarik bukan main. Akan tetapi karena kakek itu tertidur nyenyak, ia tidak mau mengganggunya dan perhatiannya segera tertarik oleh tiga jilid kitab yang terletak di dalam bungkusan kakek itu yang masih terbuka.
Segera ia mendekati, kemudian mengambil buku-buku itu. Ternyata itu adalah kitab-kitab pengobatan. Kitab pertama berjudul ‘SELAKSA MACAM OBAT’, dan kitab kedua berjudul ‘SELAKSA MACAM CARA PENGOBATAN’ sedangkan yang ketiga berjudul ‘RAHASIA PEREDARAN DARAH DALAM TUBUH’.
Kun Hong adalah seorang kutu buku. Melihat kitab sama dengan orang kelaparan melihat roti. Dengan lahapnya ia lalu membuka kitab-kitab itu dan membacanya. Yang dibukanya adalah kitab rahasia tentang peredaran darah dalam tubuh.
Biar pun pusing kepalanya membaca huruf-huruf kuno dengan gambar tentang perjalanan darah disertai ribuan macam istilah yang asing baginya, tetapi karena nafsunya membaca amat luar biasa, ia memaksa diri membaca terus.
Setengah hari Yok-mo tidur nyenyak dan setengah hari pula Kun Hong membaca kitab itu. Sekarang dia baru mengerti bahwa peredaran darah erat sekali hubungannya dengan pernapasan dan bahwa pernapasan menjadi sumber dari tenaga dalam di tubuh manusia. Asyik sekali ia membaca dan mulai banyaklah hal-hal menarik dalam kitab itu, terutama pengertian tentang keadaan tubuh yang berhubungan dengan cara pengobatan.
"Aduh... keparat... pundak dan lambungku panas sekali..."
Tiba-tiba saja suara ini membangunkannya dari alam mimpi yang amat menarik hati. Akan tetapi ia segera mengerti bahwa yang mengeluh itu adalah Toat-beng Yok-mo, maka ia tidak mempedulikan dan melanjutkan bacaannya.
"Uh... uhh... sakit dan panas... heee! Jangan baca kitab-kitabku!”
Kun Hong menutup buku itu dan meletakkannya dalam bungkusan, lalu menoleh. Kakek itu masih rebah telentang, nampak lemah dan kesakitan. Ia cepat menghampiri.
"Bagaimana, Yok-mo? Sudah sembuhkah tanganmu?"
Tiba-tiba tangan kakek itu bergerak dan tahu-tahu pergelangan tangan Kun Hong sudah dicengkeram erat-erat. Pemuda ini merasa tangannya amat kesakitan. Ia mencoba untuk melepaskan cengkeraman itu, namun tak berhasil.
"Ehh, kau ini ada apakah? Lepaskan tanganku!" teriak Kun Hong sambil terus mencoba menarik tangannya.
"Tak boleh kau membaca kitab-kitabku!"
"Baca saja apa salahnya, sih? Kalau kau tidak membolehkannya, aku pun tidak memaksa. Hemm, tanganmu panas sekali, lepaskan aku."
Yok-mo melepaskan pegangannya. Dia mengeluh lagi dan berkata dengan napas sesak, "Luka-lukaku... mengakibatkan demam panas... lekas kau carikan daun pohon sari darah, akar buah ular dan cacing hitam..."
Kun Hong menjadi bingung. "Ke mana aku mencari? Dan yang bagaimanakah macamnya daun dan akar serta cacing yang kau sebutkan itu?"
"Ah... benar juga... kau mana tahu? Celaka..., selain demam aku pun... banyak kehilangan darah... ahh, kau tolonglah aku, orang muda..."
Kun Hong merasa kasihan sekali. Ia meraba jidat kakek itu dan ternyata panas sekali. "Ah, Yok-mo, aku benar-benar ingin sekali menolongmu. Akan tetapi bagaimana caranya? Jika hanya mencarikan obat-obat yang kau sebutkan tadi aku tentu mau, akan tetapi aku tidak tahu..."
"Tak usah kau mencari... kau antarkan saja aku... ke tempat tinggalku... di sana terdapat segala obat yang kubutuhkan..."
"Mengantar kau kembali ke tempat tinggalmu? Tentu, boleh saja. Mari kuantar kau..." jawab Kun Hong cepat.
Tentu saja pemuda yang berwatak jujur ini tidak tahu akan maksud kakek itu sebenarnya. Toat-beng Yok-mo maklum bahwa dalam keadaan terluka seperti sekarang ini, kalau dia sampai bertemu dengan musuh-musuhnya, dalam hal ini orang-orang Hoa-san-pai, tentu ia akan celaka dan tidak dapat melakukan perlawanan. Dengan membawa Kun Hong di dekatnya, ia dapat rnempergunakan pemuda ini sebagai jaminan untuk keselamatannya!
"Kau baik sekali... uhh... uhhh..." Ia mencoba berdiri akan tetapi kepalanya terasa pusing dan terguling kembali.
"Bagaimana? Apakah kau tidak bisa jalan...?" tanya Kun Hong kuatir dan penuh perasaan iba.
Sebagai seorang cerdik yang sudah banyak pengalaman, Toat-beng Yok-mo sudah dapat menyelami watak Kun Hong, maka kembali ia sengaja mengeluh dan mengaduh untuk memperdalam perasaan iba di hati pemuda itu.
Kemudian, dengan suara bisik-bisik seperti orang yang amat payah keadaannya, ia pun berkata, "Aku... aku tidak bisa jalan... berdiri pun tidak kuat... ah, anak yang baik... kalau kau kasihan kepada aku orang tua... kau gendonglah aku..."
Kun Hong benar-benar sudah tergerak hatinya dan merasa amat kasihan kepada kakek itu. "Baiklah, Yok-mo, kau akan kugendong."
Ia lalu membungkus kembali bawaan kakek itu dan mengikatnya di punggung Toat-beng Yok-mo, setelah itu lalu menggendong kakek ini di punggungnya sendiri dan berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Toat-beng Yok-mo! Kun Hong bertubuh kuat dan bertenaga besar, maka menggendong tubuh yang kecil kering dan tua itu tidaklah sukar baginya. Akan tetapi karena tubuhnya tidak terlatih dan tidak biasa bekerja berat, perjalanan mereka ini berlangsung lambat sekali dan sering kali terpaksa beristirahat.
Diam-diam Toat-beng Yok-mo terheran-heran mengapa Ketua Hoa-san-pai yang gagah itu mempunyai seorang putera yang begini tidak ada gunanya. Karena ia membutuhkan bantuan Kun Hong untuk menggendongnya dan dijadikan jaminan akan keselamatannya, maka pada waktu istirahat ini dia mengajar Kun Hong cara berduduk diam (bersemedhi), mengatur pernapasan untuk memperkuat daya tahan tubuh sehingga membuat pemuda ini lebih tahan berjalan jauh.
"Toat-beng Yok-mo, aku sudah membaca kitab-kitabmu biar pun hanya sedikit, dan aku tertarik sekali. Baik sekali memiliki kepandaian untuk mengobati orang sakit. Kalau kau suka mengajarku dalam ilmu pengobatan, aku suka menjadi muridmu."
Diam-diam kakek ini menyeringai. Dia sudah mengambil keputusan hendak membawa kepandaiannya sampai mati, tidak akan ia turunkan kepada siapa pun juga. Kecuali kalau ada murid yang suka berjanji bahwa murid itu akan membunuh setiap orang yang sudah diobatinya. Akan tetapi ia tahu pula bahwa pemuda ini tak mungkin mau menerima syarat itu, maka ia berpura-pura.
"Kau anak baik sekali, tentu saja aku suka menerima kau menjadi muridku. Dan kau tahu, pelajaran semedhi dan mengatur napas yang kuajarkan ini adalah tingkat pertama dari ilmu pengobatan. Maka kau berlatihlah baik-baik setiap kali kita beristirahat."
Oleh karena kurang pengalaman, Kun Hong mempercayai omongan ini. Dan betul saja, ia berlatih giat sekali di waktu beristirahat dan di waktu malam. Ia sama sekali tidak tahu bahwa kakek itu melatih ia semedhi dan mengatur pernapasan agar badannya kuat dan tahan lebih lama melakukan perjalanan jauh itu sambil menggendong!
Baiknya kakek itu ternyata mempunyai simpanan banyak emas dalam buntalan sehingga untuk makan dan menyewa rumah penginapan bukan soal yang sulit lagi bagi mereka. Sebetulnya, setelah makan obat yang dibeli di kota yang mereka lalui, kakek itu sakitnya sudah banyak mendingan dan sudah kuat berjalan lagi. Akan tetapi, kesehatannya belum pulih semua dan andai kata ia bertemu lawan tangguh, ia masih belum sanggup melawan. Maka untuk membuat Kun Hong sungkan meninggalkannya, ia berpura-pura masih tidak kuat jalan dan membiarkan pemuda itu terus menggendongnya sepanjang jalan!
Pada suatu hari, menjelang tengah hari yang panas bukan main, Kun Hong dan Yok-mo beristirahat di sebuah hutan yang amat liar. Mereka sudah tiba di daerah lembah Sungai Huai di mana banyak sekali terdapat hutan-hutan lebat dan gunung-gunung yang masih liar. Daerah ini sudah dekat dengan tempat tinggal Toat-beng Yok-mo, yaitu di pusat gerombolan Ngo-lian-kauw yang dikepalai oleh Kim-thouw Thian-li.
Karena merasa bahwa dia sudah berada di daerah sendiri dan sekarang tidak mungkin kiranya orang-orang Hoa-san-pai bisa mengejarnya, Yok-mo mengambil keputusan untuk mencabut nyawa pemuda yang selama ini mengantar dan menggendongnya. Ia tidak lagi memerlukan pemuda ini, baik sebagai pengantar mau pun sebagai jaminan.
Sesungguhnya dalam beberapa hari ini ia sudah merasa bosan sekali digendong oleh pemuda yang tidak dapat berjalan cepat itu. Andai kata ia melakukan perjalanan sendiri, dengan ilmunya berlari cepat, kiranya ia sudah sampai di rumahnya. Semata-mata untuk menjamin keselamatannya belaka maka ia terpaksa membiarkan dirinya digendong oleh Kun Hong.
Melihat betapa pemuda ini sekarang sedang tekun duduk bersila, mengumpulkan panca inderanya dan mengatur pernapasan, kakek ini tersenyum menyeringai. Diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda ini sesungguhnya memiliki tulang bersih dan bakat yang amat baik, pula amat cerdas sehingga sekali membaca atau mendengar sudah hafal dan tak akan melupakannya lagi.
"He, Kun Hong... bangunlah jangan tidur saja!" ia menegur.
Kun Hong membuka matanya. Ia terheran-heran melihat kakek itu duduk bersandar pohon seperti biasanya sambil tersenyum-senyum aneh.
"Yok-mo, aku tidak tidur, melainkan melatih semedhi seperti biasa. Latihan ini baik sekali, aku merasa sehat dan kuat semenjak berlatih. Kitabmu itu benar-benar mengandung pelajaran pengobatan yang luar biasa."
"Heh-heh-heh, apa kau ingin membaca lagi?"
Wajah Kun Hong nampak kecewa. "Semenjak pertemuan kita dahulu kau sudah tahu jelas bahwa tidak ada keinginan lain padaku kecuali membaca tiga kitabmu itu. Tapi kau selalu melarang."
"Heh-heh-heh, kau benar-benar ingin membacanya? Kun Hong, kau sudah melepas budi kepadaku, merawat dan mengantarkan aku sampai sini. Jika sekarang aku membolehkan kau membaca ketiga kitabku, apakah aku boleh menganggap budimu itu sudah terbalas dan sudah lunas?"
Kun Hong memang seorang yang berwatak polos dan bersih. Ia menolong kakek itu tanpa pamrih apa-apa, tanpa mengharap balasan malah sama sekali tidak ada ingatan dalam hatinya bahwa ia telah melepas budi kepada orang.
Mendengar kakek itu membolehkan ia membaca kitab-kitab itu, ia menjadi girang sekali dan berkata, "Terima kasih, Yok-mo, kau baik sekali!"
Tanpa mempedulikan yang lain-lain lagi ia lalu membuka buntalan yang ditaruh di bawah pohon, lalu mengeluarkan ketiga kitab itu dan segera ia mulai membaca. Belum lama ia membaca, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan isi hutan itu.
Kun Hong terkejut sekali dan lebih-lebih herannya ketika dia melihat kakek bongkok itu sudah berdiri dengan tongkat di tangan, memandang ke depan dengan mata terbelalak. Keheranannya ini bercampur rasa girang karena kalau kakek itu sudah dapat berdiri, berarti kesehatannya sudah mulai pulih.
Akan tetapi segera ia terkejut sekali melihat cahaya kuning emas menyambar turun dari atas, tidak jauh dari tempat itu. Seekor burung yang sangat besar meluncur turun untuk menyusup ke dalam semak-semak. Akan tetapi burung itu cepat sekali gerakannya, dan tahu-tahu seekor kelinci sudah dapat dicengkeramnya. Akan tetapi, sebelum burung itu dapat terbang kembali, dengan satu kali melompat saja Toat-beng Yok-mo sudah berada di dekatnya.
"Rajawali emas! Bagus sekali... aku harus dapat menangkap burung ini!" sambil berkata demikian kakek itu menerjang dengan kedua tangan terpentang, siap menangkap burung besar itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika burung itu tiba-tiba menggerakkan sayap kanannya menghantam ke arah kepalanya. Yok-mo cepat mengelak akan tetapi tahu-tahu tubuhnya sudah terpukul oleh sayap kiri burung itu yang ternyata menggunakan cara penyerangan yang aneh sehingga kelihatannya sayap kanan yang menampar, tidak tahunya sayap kiri yang betul-betul bergerak.
Akan tetapi Yok-mo adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi. Pukulan itu membuat tubuhnya terpental akan tetapi tidak melukainya. Ia cepat meloncat bangun dan sepasang matanya bersinar-sinar.
"Hebat...! Inilah kim-tiauw (rajawali emas) yang jarang ada bandingannya! Jantung dan otaknya akan menjadi bahan obat kuat yang mukjijat!" Ia melompat lagi dan kembali ia menyerang.
Burung itu agaknya menjadi marah dan anehnya, ia tidak mau terbang pergi. Bahkan kini dia melepaskan bangkai kelinci tadi dan berdiri tegak, seperti seorang pendekar yang siap menghadapi datangnya penyerangan lawan.
Toat-beng Yok-mo dengan hati-hati sekali menerjang maju, siap untuk mencengkeram leher burung itu sambil memperhatikan gerakan binatang ini, agar jangan tertipu seperti tadi. Ia sengaja memukul ke arah dada burung dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah leher. Hebat sekali serangannya ini.
Akan tetapi kembali ia melengak ketika melihat betapa dengan langkah-langkah kaki yang amat aneh, diikuti gerakan kedua sayapnya, burung itu telah dapat mengelakkan kedua serangannya ini dengan sangat mudahnya. Malah bukan sekedar mengelak, burung itu dengan kecepatan yang luar biasa sudah menggerakkan kepala dan mematuk mata kiri Toat-beng Yok-mo!
"Celaka...!"
Yok-mo cepat melompat ke kanan. Tetapi gerakannya belum cepat karena kesehatannya memang belum pulih benar-benar. Kagetnya bukan kepalang melihat penyerangan yang lebih dahsyat dari pada tusukan pedang itu. Akan tetapi, sekali lagi ia tertipu karena begitu ia melompat ke kanan, burung itu menarik kembali kepalanya dan kaki kirinya bergerak ke depan menendang.
Sekali lagi tubuh kakek itu terlempar, kali ini malah bergulingan seperti seekor trenggiling! Hebatnya, gerakan kaki burung itu persis sekali dengan tendangan kaki manusia, dan digerakkan secara cepat serta mengandung tenaga yang amat kuat.
Yok-mo mengeluh dan merangkak bangun. Bermacam perasaan mengaduk di hatinya ketika ia memandang kepada burung itu dengan mata terbelalak. Heran, kaget dan marah sekali.....