Pendekar Buta Jilid 25

Akan tetapi karena Hui Kauw benar-benar tidak menghendaki terjadinya keributan tanpa sebab penting, ia menahan kemendongkolan hatinya, menjura dan berkata, "Tiat-jiu Souw Ki, baiklah aku memperkenalkan diri. Namaku Hui Kauw dan aku datang ke kota raja ini untuk urusan pribadi, mencari keluargaku. Nah, sekali lagi harap kau dan orang-orangmu jangan mengganggu dan aku berjanji tidak akan mengganggu kalian di mana saja kalian berada."

Orang yang sombong selalu tak mau mengalah, sempit pandangan dan tidak menimbang keadaan. Sikap Hui Kauw ini diterima keliru oleh Souw Ki yang menyangka bahwa gadis muka hitam itu merasa jeri terhadap dia!

"Ha-ha-ha, mana bisa urusan begitu gampang? Kau telah bersikap amat garang terhadap orang-orangku, nah, sekarang kau harus berlutut tujuh kali minta ampun kepadaku, baru aku Tiat-jiu Souw Ki mau sudah!"

"Kau memang terlalu sombong!" Hui Kauw membentak.

"Ha-ha-ha, majulah kalau hendak merasai kelihaianku!" Souw Ki menantang.

Hui Kauw maklum bahwa tidak mungkin bersilat lidah dengan seorang manusia macam ini sombongnya.

"Lihat serangan!" dia membentak dan cepat laksana burung menyambar tubuhnya sudah bergerak maju sambil kedua tangannya bergerak melakukan penyerangan.

Souw Ki yang memandang rendah, melihat datangnya tusukan dengan jari tangan kiri ke arah lehernya, cepat menggerakkan tangan kanan untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Dia bermaksud untuk mengalahkan dalam satu gebrakan ini saja karena kalau dia berhasil menangkap tangan kecil itu berarti dia akan menang.

Hatinya girang bukan main ketika melihat tangan kiri itu masih terus melakukan tusukan, agaknya sama sekali tak peduli akan gerakan tangan kanannya yang hendak menangkap pergelangan tangan. Wah, begini gampangkah? Dia sudah tertawa dalam hatinya karena yakin bahwa pergelangan tangan kiri yang kecil itu sudah pasti akan dapat dia tangkap.

"Ayaaaaa... celaka...!"

Tubuh Souw Ki terjengkang dan roboh terus bergulingan ketika dia sengaja membanting diri ke belakang. Dia meloncat bangun lagi dengan muka sebentar pucat sebentar merah sedangkan keringat dingin membasahi lehernya. Dia sebentar marah, sebentar kemudian malu karena harus bersikap seperti itu di depan orang banyak.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya ketika dalam gebrakan pertama tadi saja dia sudah hampir celaka. Kiranya tusukan tangan kiri Hui Kauw barusan memang sengaja dilakukan sebagai umpan. Seakan-akan gadis itu membiarkan pergelangan tangan kirinya disambar, tapi tangan kanannya sudah cepat ‘memasuki’ lowongan kedudukan lawan dan menyodok ke arah lambung di bawah iga.

Andai kata tadi Souw Ki tidak cepat-cepat membanting diri ke belakang, walau pun tangan kanannya akan berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan, akan tetapi dia sendiri juga pasti akan terkena pukulan maut yang akhirnya dapat mengguncangkan jantungnya dan banyak kemungkinan akan menewaskannya!

Hui Kauw sekarang tersenyum mengejek. "Tiat-jiu Souw Ki, sudah kukatakan bahwa aku tidak suka berkelahi mencari keributan. Masih belum terlambat apa bila kau sudahi saja pertempuran tiada guna ini."

Tiat-jiu Souw Ki adalah seorang yang sudah mempunyai banyak pengalaman bertempur dan ilmu kepandaiannya pun tinggi, tentu saja dia tak menjadi gentar menghadapi bahaya yang tadi hampir membuatnya kalah itu. Dia maklum bahwa hal tadi dapat terjadi bukan semata-mata karena lawan terlalu lihai, melainkan karena kesalahannya sendiri.

Dia tadi terlalu memandang rendah lawannya, sama sekali tak mengira bahwa lawannya, seorang perempuan muda, mempunyai kecepatan dan kelihaian seperti itu. Dia sekarang menjadi penasaran dan marah. Dibantingnya kaki kanannya dan dia membentak.

"Bocah sombong, jangan banyak mulut. Lihat pukulan!"

Tanpa sungkan-sungkan lagi kini Tiat-jiu Souw Ki kembali menerjang Hui Kauw dengan kedua kepalan tangannya yang kuat terlatih sehingga dia mendapat julukan Tiat-jiu atau Si Tangan Besi. Pukulannya sampai mendatangkan angin saking keras dan cepatnya.

Akan tetapi Hui Kauw memiliki keanehan yang telah matang. Sebagai puteri Ching-toanio yang sudah mewarisi kepandaian manusia iblis Siauw-coa-ong Giam Kin, tentu saja Hui Kauw memiliki dasar ilmu silat yang tinggi. Menghadapi penyerangan Souw Ki yang biar pun ganas namun sebagian besar hanya berdasarkan tenaga kasar itu, ia tidak menjadi gugup. Dengan tenang tapi cepat nona ini menggeser kakinya, mengelak dengan cekatan sekali sambil mengayunkan kaki kiri membalas dengan sebuah tendangan perlahan tetapi berbahaya karena yang dijadikan sasaran ujung sepatu adalah pusar lawan!

Tiat-jiu Souw Ki menggeram. Tangan kirinya menyambar kaki dengan niat mencengkeram hancur kaki mungil itu, sedangkan tangan kanannya menjotos kepala nona yang besarnya sebanding dengan kepalan tangannya.

Serangan balasan yang amat dahsyat ini dihadapi oleh Hui Kauw dengan memperlihatkan ginkang-nya yang mengagumkan. Tanpa menarik kakinya yang menendang itu, Hui Kauw sudah menjejakkan kaki kanannya ke atas tanah sehingga tubuhnya mumbul ke atas, lalu bergerak miring untuk membebaskan diri dari pukulan Souw Ki dan otomatis kaki yang menendang juga menyamping, akan tetapi bukan berarti membatalkan tendangan karena kaki itu masih terus menendang dari arah yang berlainan dengan sasaran berubah pula, kini dari ‘udara’ nona itu menendang ke arah belakang telinga kanan lawan.

"Setan!" Souw Ki memaki.

Terpaksa dia merendahkan tubuhnya karena tendangan dari atas itu tidak sempat untuk dia tangkis lagi. Dia hendak menyusuli serangan berikutnya, namun gadis itu lebih cepat lagi.

Ketika tendangannya luput Hui Kauw melayang turun dan langsung sambil meloncat turun ini ia mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka. Pukulan kedua tangannya yang kecil itu sangat cepat dan bertubi-tubi datangnya, bagai sebuah kitiran angin sehingga kelihatan seakan-akan kedua lengannya berubah menjadi belasan buah banyaknya yang serentak menghujankan pukulan-pukulan ke pelbagai sasaran berbahaya.

Souw Ki terpaksa meloncat kian ke mari sambil kedua tangannya sibuk bergerak untuk melindungi bagian tubuhnya yang lemah. Dia sampai berkeringat ketika lawannya sudah menerjangnya sebanyak belasan jurus, sebab dia betul-betul kalah cepat sehingga sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Jangankan balas menyerang, bernapas pun agaknya hampir tidak ada kesempatan. Tubuh Hui Kauw bergerak-gerak makin lama makin cepat, mengitari dirinya sehingga matanya menjadi berkunang dan dia sudah melihat empat lima orang Hui Kauw menari-nari di sekelilingnya!

"Plak-plak-plak!"

Tiga kali telapak tangan Hui Kauw menampar pipi, leher dan pundak. Panas rasanya dan membuat pandang mata Souw Ki berkunang.

Memang kembali Hui Kauw sudah memperlihatkan kemurahan hatinya. Tiga kali pukulan ini sudah menjadi bukti cukup bahwa dalam ilmu silat tangan kosong, dia jauh lebih lihai dan lebih cepat. Apa bila dia mau, sebagai seorang ahli silat tinggi, sekali menjatuhkan tangan tentu mampu mencari sasaran yang mematikan, akan tetapi sampai tiga kali dia hanya menampar saja.

Souw Ki mengeluh dan cepat dia melompat ke belakang sehingga menabrak kursi yang lantas menjadi remuk! Dua orang anak buahnya cepat menghampirinya untuk menolong pemimpin mereka yang terhuyung itu, akan tetapi Souw Ki membentak,

"Pergi kalian!"

Kakinya melayang dan... dua orang pembantu yang sial itu langsung terlempar kemudian mengaduh-aduh. Kiranya saking marah dan mendongkolnya, Si Tangan Besi ini mencari korban dan melampiaskan kepada dua orang anak buah yang hendak menolongnya.

"Tiat-jiu Souw Ki, kiranya sudah cukup sekarang." Hui Kauw kembali membujuk untuk menyudahi saja pertempuran yang tiada gunanya itu.

"Wuuuttttt!" Ruyung baja yang berat itu sudah berada di tangan kanan Souw Ki.

"Iblis betina, jangan mengira kau sudah mampu mengalahkan aku! Hemmm, memang kau menang cepat, tetapi cobalah kecepatanmu dengan ruyungku ini, akan hancur kepalamu. Hayo, cabut pedangmu itu!"

Terdengar suara berkerotan ketika Souw Ki menggertak gigi saking marah dan malunya karena dia telah ditelan mentah-mentah oleh seorang dara yang masih hijau. Tak sampai tiga puluh jurus dikalahkan. Hebat ini!

Ketika dia dikalahkan Bi-yan-cu Tan Loan Ki dalam memperebutkan mahkota, dia masih dapat menghadapi Walet Jelita itu sampai hampir seratus jurus. Masa sekarang terhadap gadis muka hitam ini, belum tiga puluh jurus dia sudah kena dikemplang tiga kali.

Kekalahannya dari Bi-yan-cu Tan Loan Ki masih bisa dia maklumi setelah dia mendengar bahwa dara lincah itu adalah puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Akan tetapi kekalahan terhadap seorang gadis muka hitam yang tidak ternama sama sekali? Benar-benar bisa membikin dia muntah darah segar saking dongkolnya!

Hui Kauw makin gelisah. Celaka, pikirnya, monyet tua ini sungguh-sungguh tidak tahu diri. Kepandaiannya hanya sekian saja tapi mau digunakan untuk menjual lagak. Tidak dilayani tidak mungkin, kalau dia dilayani dan bertempur menggunakan senjata, tentu lebih hebat ekornya. Maka dia hanya berdiri dan memandang ragu ketika Souw Ki memutar-mutar ruyung berat itu di atas kepala dengan sikap beringas.

Melihat keraguan Hui Kauw, kembali Souw Ki si pengung (si tolol) itu salah tafsir, mengira nona ini takut menghadapi senjatanya yang menyeramkan itu.

"Tidak lekas mencabut senjatamu? Nah, rasakan ini ruyung pencabut nyawa!"

"Weerrr!"

Ruyung yang beratnya tidak kalah dengan tiga perempat karung beras itu melayang dan angin pukulannya saja sudah membuat rambut halus di kepala Hui Kauw berkibar.

"Singgggg!"

Senjata itu lewat di atas telinga Hui Kauw yang cepat-cepat menundukkan kepala untuk mengelak. Nona ini maklum bahwa biar pun lawannya hanya mengandalkan tenaga besar dan senjata berat, namun ruyung itu dapat merupakan bahaya juga baginya.

Tangannya bergerak dan pada lain detik pedangnya telah terhunus dan berada di tangan kanan. Kakinya menggeser ke belakang membentuk kuda-kuda yang ringan, kaki kanan berdiri lurus dengan tumit diangkat, kaki kiri menyilang lutut, tangan kiri dikepal dan hanya jari telunjuk dan jari tengah menuding ke atas di belakang kepala, pedang di tangan kanan melintang di depan dada dari kiri ke kanan dengan pergelangan tangan ditekuk membalik. Kuda-kuda yang sukar akan tetapi memperlihatkan sikap yang gagah dan manis.

Tiat-jiu Souw Ki mendapat hati ketika gadis itu tadi mengelak dan sekarang mencabut pedang. Terang bahwa gadis itu menganggap ruyungnya ampuh dan berbahaya. Sambil berseru keras dia kembali menggerakkan ruyungnya sekuat tenaga. Kalau gadis ini berani menangkis, aku akan membikin pedangnya patah atau terpental, pikirnya sombong.

Namun tentu saja Hui Kauw bukanlah sebodoh yang disangka Souw Ki. Gadis ini sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklum pula akan bahayanya jika ia mengadu senjatanya secara keras melawan keras dengan ruyung lawan, sebab ia kalah tenaga dan senjatanya pun kalah berat. Dia mengandalkan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari semua amukan ruyung itu, sedangkan pedangnya berkelebat merupakan sinar yang bergulung-gulung mencari kesempatan baik untuk menggores kulit lawan.

Memang hebat juga permainan ruyung dari Tiat-jiu Souw Ki ini. Kalau dalam hal ilmu silat tangan kosong ia adalah seorang nekat yang hanya mengandalkan kekuatan otot-ototnya, kini dalam permainan ruyungnya, dia benar-benar memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak hanya menggunakan tenaga otot namun juga mempergunakan kecerdikan otaknya sesuai dengan siasat ilmu ruyungnya. Biar pun ruyung itu merupakan senjata yang berat, namun di tangan Souw Ki berubah menjadi senjata ringan dan cepat sekali diputarnya, mendatangkan angin dan mengeluarkan bunyi.

Hui Kauw melayaninya dengan ilmu pedang yang ia pelajari dari ibunya, yaitu dari Ching-toanio. Ilmu pedang Ching-toanio ini pada dasarnya adalah Ilmu Pedang Kong-thong-pai, karena nyonya ini dahulu pernah belajar ilmu pedang dari seorang tokoh Kong-thong-pai yang merahasiakan namanya.

Akan tetapi karena semenjak mudanya Ching-toanio berkecimpung dalam dunia golongan hitam, tentu saja ia mempelajari banyak jenis ilmu silat dan juga termasuk ilmu pedang. Oleh karena inilah, terdorong pula oleh bakat dan kecerdikannya, ia bisa menggabungkan beberapa macam jurus ilmu pedang menjadi satu dengan Ilmu Pedang Kong-thong-pai.

Malah sesudah menjadi kekasih Siauw-coa-ong Giam Kin si manusia iblis, ia banyak pula mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dari Giam Kin. Ia mencampuri pula ilmu pedangnya dengan ilmu yang ia dapat dari kekasihnya ini. Tidaklah heran apa bila ilmu pedang yang kini dimainkan oleh Hui Kauw merupakan ilmu pedang campuran yang selain lihai, juga amat sukar untuk dikenal oleh Souw Ki.

Setelah lewat dari tiga puluh jurus dan selama itu Hui Kauw hanya mengambil kedudukan mempertahankan dan menjaga diri saja, mulailah Souw Ki kaget dan gentar. Dia maklum bahwa ternyata gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, malah agaknya lebih hebat dari pada si dara lincah Loan Ki, buktinya kalau dulu Loan Ki melawannya dengan keras dan balas menyerang, adalah gadis ini seenaknya saja mempertahankan diri tanpa balas menyerang.

Kadang-kadang malah gadis ini membenturkan pedangnya dengan ruyung, bukan untuk mengadu senjata atau tenaga, melainkan untuk mempermainkannya saja karena begitu bertemu, pedang itu menyelinap di antara gulungan bayang ruyung lalu menyambar dekat bagian-bagian berbahaya seperti leher, ulu hati, lambung dan tempat-tempat yang sekali tusuk tentu akan menghentikan perjalanan napas!

Memang demikianlah kehendak Hui Kauw. Ia ingin memperlihatkan kepada Tiat-jiu Souw Ki bahwa kalau ia menghendaki, sudah sejak tadi ia dapat merobohkan orang itu. Akan tetapi, dasar lawannya yang hendak menang sendiri saja.

Tiat-jiu Souw Ki pantang mengalah, apa lagi dia berada di kota raja di mana berkumpul banyak sekali anak buahnya dan juga atasan-atasannya serta teman-teman sekerjanya yang masih lebih lihai dari padanya. Bukannya mengaku kalah, dia malah penasaran dan memutar ruyungnya lebih ganas lagi.

"Manusia tak tahu diri, lepaskan ruyung!" tiba-tiba Hui Kauw membentak.

Pedangnya berkelebat menyerang dan... Tiat-jiu Souw Ki berteriak kesakitan, meloncat mundur sambil terpaksa melepaskan senjatanya karena lengan kanannya serasa terbabat pedang!

Dengan muka pucat dia memeriksa lengannya yang mengeluarkan darah dari siku sampai ke pergelangan, takut kalau-kalau lengannya itu akan menjadi buntung atau cacad. Akan tetapi lega hatinya melihat bahwa lengannya itu hanya luka ringan tergurat ujung pedang, namun memanjang dari siku sampai pergelangan sehingga mengeluarkan banyak sekali darah.

Sebetulnya macam dari lukanya ini saja cukup menjadikan bukti bahwa lawannya si gadis muda itu merupakan seorang yang amat lihai dan juga yang telah menaruh belas kasihan kepadanya. Akan tetapi kesombongan sudah membutakan matanya terhadap kenyataan, bahkan rasa malu dan penasaran membuat dia berseru keras.

"Serbu! Tangkap pemberontak ini!"

Serentak sebelas orang anak buahnya segera maju mengeroyok dengan senjata mereka. Hui Kauw marah bukan main dan terpaksa dia harus mengangkat pedangnya menangkis dan melakukan perlawanan.

Dengan kecepatannya, belum sepuluh jurus dia berhasil melukai lengan dan pundak dua orang pengeroyok sehingga mereka ini terpaksa melepaskan senjata masing-masing, lalu menendang roboh seorang lagi. Akan tetapi keributan ini akhirnya menarik datang para penjaga lainnya sehingga pertempuran di ruangan rumah penginapan itu makin ramai.

Hui Kauw merasa makin marah, penasaran, juga menyesal. Tahulah ia sekarang bahwa ia berada dalam keadaan yang sulit sekali. Mencari orang tua belum ketemu, tahu-tahu berada dalam keadaan sesulit ini.

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan semua pengeroyok itu melompat mundur, memberi jalan kepada dua orang yang baru tiba. Hui Kauw merasa lega hatinya, akan tetapi dia tetap waspada.

Ketika ia melirik, ia melihat dua orang laki-laki yang baru datang memasuki ruangan itu, dipandang oleh para pengeroyoknya tadi dengan sikap menghormat. Ia dapat menduga bahwa dua orang ini tentulah orang lihai yang mempunyai kedudukan tinggi sehingga ia makin memperhatikan.

Seorang diantara mereka adalah pemuda yang berpakaian gagah dan berwajah tampan serta halus gerak-geriknya. Senyumnya menarik dan matanya tajam, namun Hui Kauw yang berperasaan halus dapat menangkap sesuatu yang menyeramkan di balik senyum dan kerling menarik ini, sesuatu yang tak dapat ia mengerti apa adanya akan tetapi yang membuat ia waspada, seperti kalau orang melihat keindahan pada muka dan kulit harimau atau ular yang menyembunyikan sesuatu yang menyeramkan dan mengancam di balik keindahannya itu.

Orang ke dua adalah seorang kakek yang kurus kecil, usianya lima puluhan. Pakaiannya sederhana tapi penutup kepalanya mewah dan berhias permata. Mukanya biasa seperti orang kurang tidur sehingga mata itu nampaknya hendak meram saja saking ngantuknya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bengkok.

Melihat kedua orang ini, diam-diam Hui Kauw menduga bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian tinggi, ada pun orang muda tampan itu sebaliknya malah ia pandang rendah. Mungkin dia hanya seorang putera bangsawan yang berlagak dan sombong.

Pemuda itu bukanlah sembarang orang seperti yang diduga Hui Kauw, karena sebetulnya dia bukan lain adalah The Sun, jago muda Go-bi-pai yang amat lihai itu. Kebetulan dia lewat di jalan raya depan rumah penginapan itu bersama katek yang bukan lain orang adalah Bhong Lo-koai, seorang di antara para pengawal kaisar.

Pada saat itu mereka berdua bertemu dengan Tiat-jiu Souw Ki yang dengan muka pucat dan lengan berdarah berlari ke luar dari rumah penginapan untuk mencari bala bantuan. Mendengar bahwa di dalam rumah penginapan ada seorang gadis lihai sedang dikeroyok, The Sun tertarik dan mengajak Bhong Lo-koai untuk melihat.

Begitu memasuki ruangan dan melihat sepak-terjang Hui Kauw yang luar biasa dan yang jelas memperlihatkan sebagai seorang ahli silat tinggi, The Sun segera membentak dan menyuruh mundur semua pengeroyok. Tentu saja mereka semua mengenal ‘The-kongcu’ ini, orang yang boleh dibilang duduk di tingkat tinggi dari pada deretan orang-orang yang dijadikan tangan kanan kaisar baru.

Kini pemuda itu tersenyum-senyum sambil memandang Hui Kauw yang cepat membuang muka, tidak sudi bertemu pandang lebih lama lagi dengan pemuda tampan yang menjual lagak sambil cengar-cengir itu.

"Nona yang gagah perkasa, agaknya kau masih amat asing di kota raja ini sehingga tidak mengenal siapa para pengeroyokmu ini dan siapa pula aku dan Lo-enghiong ini. Andai kata kau mengenal kami, baik kau datang dari golongan hitam atau pun putih, agaknya kau tidak nekat membuat ribut." Ucapan ini halus, tetapi penuh teguran dan mengandung sikap memperlihatkan kekuasaan.

Hui Kauw bukanlah tergolong wanita galak, malah sebaliknya ia mempunyai watak halus dan penyabar. Akan tetapi karena ia sudah mengalami pengeroyokan yang memanaskan hatinya, juga karena pertemuan pertama dengan The Sun mendatangkan kesan yang tak sedap di hatinya maka ia pun tidak mau tunduk begitu saja dan menjawab dengan sama dinginnya.

"Memang aku adalah seorang asing di sini, akan tetapi apakah ini merupakan alasan bagi orang-orangmu untuk bisa berlaku sewenang-wenang? Aku tak mencari keributan, adalah orang-orangmu dan si Tiat-jiu Souw ki yang sombong tadilah yang memaksaku. Sekarang juga aku minta kalian pergilah dari sini, tinggalkan dan jangan ganggu aku, aku pun tidak ingin bertempur dengan siapa pun juga!"

Kembali The Sun tersenyum-senyum yang amat mencurigakan hati Hui Kauw. Pemuda ini tentu saja sudah mendengar semua persoalannya dari Souw Ki bahwa gadis ini sangat mencurigakan, dan segera menyuruh pelayan menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dahulu kehilangan anak perempuannya.

"Nona harus tahu bahwa di kota raja ini, kami para petugas yang berkuasa dan berhak mengawasi keamanan kota raja. Kau adalah orang asing, tetapi datang-datang melakukan penyelidikan tentang seorang hartawan, bukankah hal itu amat mencurigakan? Tapi yang sudah biarlah lalu, sekarang kuharap kau suka memperkenalkan diri dan mengaku terus terang apa maksudmu melakukan penyelidikan itu dan apa pula maksud kedatangan Nona di kota raja ini?"

Hui Kauw bukan seorang bodoh. Ia dapat mengerti kebenaran dalam ucapan orang muda ini. Akan tetapi karena tadi sudah terlanjur dikeroyok, ia tidak dapat menekan kedongkolan hatinya begitu saja.

"Sudah kukatakan tadi bahwa namaku Hui Kauw, dan bahwa aku datang untuk urusan pribadi mencari keluarga, tidak menyinggung siapa pun juga dan tidak berniat membikin ribut. Sudahlah, harap kalian pergi meninggalkan aku!"

"He-heh-heh, anak ini memiliki kepandaian, tentu dia mengandalkan kepandaiannya dan perguruannya," tiba-tiba kakek dengan tongkat bengkok itu berkata perlahan dengan mata masih mengantuk. "Nona, kau murid siapa? Tentu gurumu sudah mengenal aku Bhong Lo-koai."

"Betul, Nona. Katakan siapa gurumu, mungkin aku The Sun sudah pernah mendengar namanya pula," sambung The Sun.

"Aku tidak mempunyai guru, sudahlah, aku tidak ingin diganggu," jawab Hui Kauw yang merasa gemas bukan main karena nama-nama itu tidak ada artinya sama sekali baginya.

The Sun dari Bhong Lo-koai adalah orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, semua penjaga kota raja menaruh hormat kepada mereka. Sekarang, di depan para penjaga itu, gadis ini tidak memandang mata kepada mereka, tentu saja mereka menjadi gemas juga.

Hemmm, kau mengandalkan apamu? Demikian The Sun berpikir gemas. Mukamu hitam buruk, siapa yang tertarik? Biar kepandaianmu setinggi langit, mana mampu melawanku.

"Bhong-lo-enghiong, dapatkah kau mencari tahu dari perguruan mana nona ini?”

Bhong Lo-koai tertawa, kemudian melangkah maju menghadapi Hui Kauw sambil berkata, "Nona, pedangmu masih di tangan. Nah, kau boleh coba hadapi tongkat bututku, dalam sepuluh jurus kalau kau belum kalah berarti kau termasuk orang pandai. Dan kau boleh balas menyerangku, aku bukan Bhong Lo-koai kalau tak dapat mengenal ilmu pedangmu."

Hui Kauw semakin mendongkol. Tua-tua sudah kurang tidur begitu masih bisa berlagak, pikirnya.

"Aku hanya mau membela diri, sama sekali tak sudi mencari ribut dengan siapa pun juga. Kalau kau mau mengganggu aku, silakan, aku tidak takut. Kalau tidak, jangan banyak bicara, pergilah tinggalkan aku!"

"Heh-heh-heh, lihat serangan!"

Bhong Lo-koai menggerakkan tongkatnya dan Hui Kauw membenarkan dugaannya tadi bahwa kakek ini adalah seorang yang ‘berisi’, tidak seperti Tiat-jiu Souw Ki. Sambaran tongkat bengkok itu tidak mengeluarkan suara, namun ujung tongkat menggetar-getar dan tusukannya mengandung tenaga dalam yang hebat.

Cepat Hui Kauw mengubah kedudukan kaki, agak miring untuk menghindarkan tusukan sambil mengelebatkan pedang mencari kesempatan membalas. Tiga kali Bhong Lo-koai menyerang hebat dan tiga kali Hui Kauw mengelak, namun belum juga Bhong Lo-koai dapat mengenal gerakan mengelak sampai tiga kali ini. Memang tidak gampang mengenal ilmu silat Hui Kauw karena seperti telah diterangkan tadi, ilmu silat nona ini adalah ciptaan Ching-toanio yang mengawinkan banyak macam ilmu silat.

Karena penasaran, Bhong Lo-koai tidak berani memandang rendah lagi. Kini tongkatnya menyambar-nyambar laksana seekor ular terbang, mengurung tubuh Hui Kauw dari empat jurusan! Bila tidak dapat mengenal ilmu nona ini, setidaknya dia harus dapat merobohkan gadis ini!

Namun benar-benar perhitungannya meleset. Ilmu tongkat dari Bhong Lo-koai memang aneh sehingga dia memperoleh julukan Koai-tung (Si Tongkat Aneh), akan tetapi betapa pun hebatnya ilmu tongkatnya, dia tidak sanggup menembus dinding sinar pedang Hui Kauw yang amat kokoh kuat.

Di lain pihak, Hui Kauw masih saja mainkan ilmu pedang warisan ibu angkatnya, karena dengan ilmu pedang ini pun ia masih mampu menandingi ilmu tongkat kakek itu. Ia tidak menghendaki pertumpahan darah, tidak mau sembarangan melukai apa lagi membunuh orang, maka juga ia tidak sampai menggunakan ilmu pedang simpanannya yang bersifat ganas dan yang ia tahu amat ampuh dan sekali turun tangan mungkin akan menjatuhkan korban itu.

Lima puluh jurus telah lewat. Mendafak kakek itu berseru keras sekali ketika pedang Hui Kauw membentur tongkatnya dan tahu-tahu pedang itu melenting ke atas, lalu dengan gerakan aneh berlenggang-lenggok mengarah lehernya. Sambil berseru ini Bhong Lo-koai menarik tongkatnya dan cepat melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri dari pada tusukan pedang.

"Tahan dulu!" demikian teriaknya dan sepasang mata yang biasanya mengantuk itu kini terbuka agak lebar karena herannya. "Nona, jawablah yang betul, kau masih terhitung apa dengan Siauw-coa-ong Giam Kin?"

Hui Kauw maklum bahwa agaknya kakek ini mengenalnya dari ilmu pedang yang memang mengandung pula inti sari ilmu silat ayah angkatnya itu, malah dahulu pernah pula dia langsung mendapat petunjuk dan latihan dari ayah angkatnya itu.

"Dia adalah ayah angkatku, apa sangkut-pautnya denganmu?" jawabnya dengan suara masih tetap dingin.

Mendadak kakek itu tertawa dan menoleh kepada The Sun yang juga kelihatan girang. "Aha, The-kongcu, kiranya orang sendiri! Nona, jika begitu kau she Giam pula! Ha-ha-ha, kalau tidak bertempur mana kenal? Nona yang baik, aku adalah kenalan baiknya, malah sahabat baik."

The Sun juga menjura dengan sikap hormat. "Kiranya Giam-lihiap adalah puteri angkat mendiang Giam lo-enghiong. Pantas begini lihai. Aku The Sun mengharap supaya kau sudi memaafkan orang-orangku yang salah mata. Tentu saja terhadap puteri angkat Giam lo-enghiong, kami tidak menganggap musuh dan sama sekali tak berani menaruh curiga. Sesungguhnya di antara kita masih ada hubungan persahabatan!"

The Sun lalu mengusir semua penjaga, malah segera memerintah para pengurus rumah penginapan itu untuk menyediakan hidangan untuk menghormati Nona Giam Hui Kauw. Ruangan yang tadinya dijadikan arena pertempuran, dalam sekejap mata saja lalu diubah menjadi tempat pesta, dengan meja yang ditilami kain merah berkembang dan sebentar kemudian berdatanganlah arak wangi dan masakan-masakan lezat yang masih panas, diambilkan cepat-cepat dari restoran terbesar yang berdekatan.

Hui Kauw merasa tidak enak sekali. Jangan dikira hatinya lantas menjadi girang karena permusuhan berubah menjadi persahabatan, karena makin rendah saja nilai orang-orang ini di dalam pandangannya. Ia sendiri sudah cukup tahu orang apa adanya Giam Kin ayah angkatnya itu, maka kalau orang-orang ini mengaku sebagai sahabat ayah angkatnya, terang bahwa mereka ini biar pun memiliki kedudukan tinggi di kota raja, juga bukan terdiri dari orang-orang yang baik.

Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak uluran tangan mereka, dan tidak dapat menolak pula penghormatan berupa hidangan itu. Diam-diam ia lega juga bahwa ia tidak jadi menimbulkan keonaran di kota raja dan dapat mencari orang tuanya dengan leluasa.

Beberapa kali The Sun dengan sikap menghormat dan manis menuangkan arak dan mengajak nona itu minum, kemudian dalam percakapan itu The Sun bertanya,

"Nona, saya mendengar dari Souw Ki bahwa kau sedang mencari keluargamu dan kau menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dulu pernah kehilangan puterinya. Sebetulnya, kau mencari siapakah? Kau percayalah kepadaku, kalau orang yang kau cari itu betul-betul berada di kota raja, aku The Sun pasti akan dapat menemukannya. Anak buahku tersebar di seluruh kota dan mengenal setiap orang penduduk."

"Betul ucapan The Sun ini, Nona," sambung pula Bhong Lo-koai. "Kami pasti akan dapat mencarikan orang itu. Tidak baik kalau Nona sendiri pergi mencari karena khawatir akan terjadinya hal-hal tidak enak akibat salah mengerti."

Diam-diam Hui Kauw mempertimbangkan hal ini. Tentu saja dia tidak bermaksud untuk membuka rahasianya sendiri, akan tetapi jika dibantu oleh The Sun, tentu lebih mudahlah untuk dapat bertemu dengan ayah bundanya. Ia meneguk araknya lalu berkata manis,

"Terima kasih banyak, ji-wi (kalian berdua) baik sekali. Sebetulnya aku masih keluarga jauh dari seorang she Kwee yang tinggal di kota raja semenjak belasan tahun yang lalu. Sayangnya, karena aku hanya mendengar hal ini dari mendiang kakekku, aku yang sejak kecil tak pernah bertemu muka dengan keluarga Kwee itu hanya tahu bahwa di kota raja dan belasan tahun yang lalu, keluarga ini kehilangan seorang anak perempuan. Tentu saja aku tak bermaksud untuk menyusahkan dan merepotkan ji-wi, akan tetapi kalau ji-wi dapat mencarikan keluarga ini untukku aku akan berterima kasih sekali."

The Sun menoleh pada Bhong Lo-koai yang tampak termenung. "Lo-enghiong, kau yang lebih lama tinggal di sini dari pada aku, apakah tidak mengenal orang yang dimaksudkan oleh Nona Giam?"

"Nanti dulu... nanti dulu..." kakek itu meraba-raba keningnya, kemudian dia mengangkat mukanya memandang Hui Kauw. "Kau maksudkan hartawan Kwee yang kehilangan anak perempuannya? Anak perempuan yang diculik penjahat belasan tahun yang lalu? Ahh... ahh... jangan-jangan yang engkau maksudkan adalah Kwee-taijin (pembesar Kwee) yang sekarang menjabat pegawai tinggi bagian benda-benda pusaka di istana. Aku ingat betul kejadian itu, kurang lebih tujuh belas tahun atau delapan belas tahun yang lampau, pada suatu malam kota raja gempar karena puteri Kwee-wangwe (hartawan Kwee) yang pada waktu itu belum menjadi pembesar namun sudah menjadi kenalan baik dari pangeran mahkota, kabarnya diculik seorang penjahat wanita yang amat lihai. Banyak penjaga dan pengawal melakukan pengejaran namun banyak yang jatuh menjadi korban penjahat wanita yang lihai itu. Aku ikut pula mengejar akan tetapi sayang tidak bertemu dengan penjahat itu. Kabarnya, penjahat wanita itu akhirnya kena dikepung oleh para pengawal, akan tetapi secara aneh dapat meloloskan diri karena tertolong oleh seorang sakti yang tidak memperlihatkan diri. Benar-benar aneh... dan... jangan-jangan dia itu orang yang kau maksudkan?"

Hui Kauw menahan debaran jantungnya. Tidak bisa salah lagi, tentu mereka itulah ayah bundanya. Anak kecil yang diculik itu, siapa lagi kalau bukan dia? Penculik itu, penjahat wanita yang lihai, siapa lagi kalau bukan ibu angkatnya, Ching-toanio yang dahulu masih bernama Liu Bwee Lan? Dan penolong sakti itu, tentu saja mendiang Giam Kin! Dengan kekuatan batinnya dia menekan perasaan supaya mukanya tidak menyatakan sesuatu, kemudian dia berkata dengan sikap gembira.

"Ahh, tentu dia orangnya! Dia masih pamanku, paman jauh... ahh, Bhong lo-enghiong, tolonglah, dapatkah kau menunjukkan kepadaku, di mana rumahnya?"

The Sun dan Bhong Lo-koai saling bertukar pandang. Kwee-taijin adalah seorang yang penting kedudukannya, dia pemegang kunci gudang benda-benda pusaka istana. Dalam keadaan politik sekacau itu, mana bisa menaruh kepercayaan begitu saja kepada gadis lihai ini untuk mendatangi Kwee-taijin? Siapa tahu gadis ini mengandung maksud buruk terhadap pembesar itu?

The Sun tersenyum. "Mudah saja, Nona. Kami mengenal baik pada Kwee-taijin. Marilah, sekarang juga kami antar kau menghadap Kwee-taijin di rumahnya."

Orang yang berperasaan halus seperti Hui Kauw tentu saja dapat menangkap kecurigaan yang terkandung dalam sikap dan pandang mata The Sun dan Bhong Lo-koai, akan tetapi ia tidak mempedulikannya karena hatinya sudah terlampau girang mendengar keterangan tentang ayah bundanya ini. Soal ayahnya menjadi pembesar atau bukan, itu urusan nanti. Yang penting baginya, ia dapat bertemu dengan ayah bundanya yang asli, yang selama ini sering dikenangnya dan dirindukan semenjak ia mendengar penuturan pelayan tua di Ching-coa-to.

"Aku tidak bermaksud merepotkah ji-wi, tapi..." dia bersungkan.

"Ah, tidak apa, Nona. Bukankah di antara kita adalah di antara orang segolongan sendiri? Tidak usah sungkan, apa lagi memang kami adalah kenalan baik Kwee-taijin. Marilah."

Tiga orang itu segera meninggalkan penginapan, diantar oleh anggukan dan sikap sangat menghormat oleh para pelayan dan pengurus rumah penginapan. Kiranya di depan rumah penginapan sudah tersedia sebuah kereta kuda dan The Sun mempersilakan Hui Kauw naik bersama dia dan Bhong Lo-koai.

Hui Kauw merasa sungkan sekali. Akan tetapi karena hatinya dipenuhi kegembiraan dan ketegangan hendak bertemu orang tuanya, dia tidak banyak menolak dan berangkatlah mereka sebagai pembesar-pembesar yang berkendaraan di kota raja!

Rumah Kwee-taijin amat besar dan mewah sehingga begitu memasuki pekarangan depan itu, hati Hui Kauw sudah berdebaran dan dia merasa dirinya amat kecil. Rumah Ching-toanio di Ching-coa-to memang juga besar dan indah, akan tetapi dibandingkan dengan bangunan-bangunan di kota raja, benar-benar tidak ada artinya.

Rumah depannya itu dijaga beberapa orang prajurit yang memberi hormat ketika melihat The Sun dan Bhong Lo-koai. Otomatis mereka menghormat Hui Kauw pula karena gadis ini datang bersama dua orang tokoh itu. Apa lagi melihat gadis muka hitam ini membawa pedang di pinggang, para penjaga maklum bahwa gadis ini tentulah juga seorang tokoh kang-ouw yang banyak berkeliaran di kota raja karena bantuan mereka dibutuhkan oleh kaisar.

Penjaga pintu depan segera melapor ke dalam setelah mempersilakan tiga orang tamu ini duduk di ruang tamu yang berada di depan, sebuah ruangan lebar yang penuh gambar-gambar indah dan tulisan-tulisan sajak yang digantung pada sepanjang dinding tebal yang dikapur putih. Diam-diam Hai Kauw membandingkan lukisan dan sajak-sajak itu dengan milik ibu angkatnya di Ching-coa-to dan merasa bahwa lukisan-lukisan yang berada di sini tidak mampu melawan keindahan kumpulan lukisan ibu angkatnya.

Tak lama kemudian terdengar derap kaki dari dalam. Hati Hui Kauw sudah berdegupan tidak karuan, akan tetapi ia terheran ketika melihat bahwa yang muncul dari pintu dalam adalah dua orang muda. Yaitu seorang gadis dan seorang pemuda. Mereka masih muda benar, kurang lebih tujuh belas atau enam belas tahun, akan tetapi sikap mereka gesit dan lincah, pakaian mereka mewah dan wajah mereka tampan dan cantik.

"The-kongcu...!" dara remaja itu menegur sambil memberi hormat, suaranya berirama manja dan manis.

Diam-diam Hui Kauw mengerutkan keningnya. Gadis ini terlalu dimanja dan agaknya telah tergila-gila kepada The Sun yang tampan! Bukan hal yang pantas kalau seorang dara remaja seperti dia itu keluar menyambut tamu pria dengan sikap semanis itu.

"Nona Kwee, sepagi ini kau sudah tampak begini gembira dan segar cantik. Hendak ke manakah?" The Sun menegur.

Diam-diam Hui Kauw dapat merasa betapa sikap The Sun ini dibuat-buat manis, seperti sikap seorang dewasa terhadap anak-anak. Hemmm, agaknya pemuda berpengaruh ini tidak seceriwis yang disangkanya, pikir Hui Kauw.

"Aku hendak pergi berburu dengan Kian-koko (kakak Kian)! Ah, kalau saja kau bisa ikut, The-kongcu, tentu akan banyak hasilnya. Panahmu selalu tepat mengenai sasaran!" Dara lincah dan jelita itu berkata pula.

The Sun tersenyum dan menggeleng kepala. "Lain kali saja, sekarang aku lagi banyak urusan. Adik Kian, hati-hati bila berburu, jangan terlalu jauh meninggalkan tembok kota," pesannya kepada pemuda remaja itu yang sejak tadi memandang kepada Hui Kauw.

"Pelayan memberi tahu bahwa ada Bhong-Locianpwe dan The-kongcu bersama seorang nona mencari ayah," katanya dengan suaranya yang besar dan keras.

"Ayah sedang mandi, kami dipesan agar mempersilakan kalian bertiga menanti sebentar."

"Baik, baik... tidak apa, hanya ada sedikit urusan," kata The Sun.

Sementara itu, pelayan datang membawa hidangan minuman. Hui Kauw merasa sangat canggung karena dua orang muda itu tiada henti memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik. Ia merasa tidak enak, juga bingung, hatinya menduga-duga.

Dari percakapan ini ia dapat menduga bahwa dara remaja itu tentu adik si pemuda, apa lagi kalau dilihat pada wajah mereka memang terdapat persamaan. Akan tetapi pemuda ini menyebut Kwee-taijin sebagai ayahnya. Kalau ayah mereka ini, yaitu Kwee-taijin yang dimaksudkan itu, benar-benar adalah ayahnya yang sejati, dengan sendirinya dua orang muda ini adalah adik-adiknya! Berpikir sampai di sini, hatinya berdebar tidak karuan dan ia pun balas memandang penuh perhatian.

Makin berdebar hatinya ketika muncul pelayan yang berkata hormat. "Taijin menanti para tamu di ruangan depan. Silakan sam-wi masuk."

The Sun dan Bhong Lo-koai bangkit berdiri. Hui Kauw juga mengikuti gerakan dua orang itu. Dua orang anak muda tadi pun berdiri dan sambil tersenyum manis dara remaja itu berkata kepada The Sun,

"Kami juga akan berangkat, The-kongcu. Kalau kau sudah selesai dengan urusanmu dan ada waktu, kami akan girang sekali jika kau menyusul kami ke hutan sebelah selatan."

The Sun hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandang dua orang muda itu yang berlarian ke luar rumah di mana menanti para pelayan yang sudah menyiapkan dua ekor kuda besar. Sebentar kemudian terdengarlah derap kuda mereka meninggalkan tempat itu.

The Sun memberi isyarat kepada Hui Kauw untuk ikut memasuki ruangan depan yang ternyata lebih luas dan lebih mewah dari pada ruangan tamu. Dengan mata tak berkedip Hui Kauw memandang lelaki setengah tua yang segera bangun dari kursinya menyambut kedatangan mereka bertiga.

Laki-laki ini usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Rambutnya sudah berwarna dua, akan tetapi yang amat menarik adalah alisnya yang sudah putih seluruhnya. Wajahnya kurus, kelihatan lebih kurus dari pada badannya yang berkerangka besar, tampan serta gerak-geriknya halus. Jari-jari tangan yang diangkat ke dada untuk memberi hormat itu memiliki kuku-kuku yang panjang dan terawat, kuku seorang sasterawan pada jaman itu. Senyumnya melebar, menyembunyikan sinar duka yang tergores pada wajahnya sebagai bekas kepahitan hidup.

"Ah, kiranya The-kongcu dan Bhong-losu yang datang berkunjung. Tidak tahu siapa Nona ini?" pembesar itu menyambut dengan suaranya yang halus.

Sikap yang tidak angkuh dan halus itu serta merta mendatangkan kesan baik dan amat mengharukan di hati Hui Kauw yang cepat-cepat memberi hormat bersama The Sun dan Bhong Lo-koai.

"Kwee-taijin," kata Bhong Lo-koai setelah mereka dipersilakan duduk, "Justru kedatangan kami berdua ini untuk mengantar Nona ini yang katanya masih terhitung keluarga dengan Kwee-taijin."

Hening sejenak, hening yang mencekam hati Hui Kauw, tetapi mendatangkan heran bagi Kwee-taijin. Kedua orang jagoan itu hanya menanti sambil memandang penuh perhatian.

"Nona siapakah...?" Sepasang mata itu mengeluarkan sinar menyusuri wajah dan bentuk tubuh Hui Kauw, lalu kembali ke wajah gadis itu dan menjadi ragu-ragu dan malah curiga ketika melihat muka yang menghitam itu.

Rasa kecewa memenuhi hati Hui Kauw, membuat dia ingin sekali menangis. Kalau benar dia ini ayahnya, mengapa tak mengenalnya lagi? Bagaimana mungkin ia mengaku begitu saja sebagai puterinya? Puteri seorang bangsawan kaya raya? Apakah semua orang tak akan menyangka bahwa dia seorang penipu? Apa buktinya bahwa ia anak pembesar ini? Dan bagaimana pula kalau ternyata bukan anaknya?

Suaranya gemetar ketika ia berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Taijin. Sesungguhnya, urusan ini mengharuskan kehadiran Nyonya Taijin. Apa bila diijinkan, saya mohon supaya Nyonya Taijin dipersilakan datang, baru saya akan bicara tentang urusan ini..."

Berubah wajah Kwee-taijin. Agaknya dia hendak marah, tetapi karena yang mengajukan permintaan yang aneh ini adalah seorang gadis, dia dapat menahan kesabarannya.

Ada pun Bhong Lo-koai dan The Sun tidak heran mendengar ini malah The Sun segera berkata, "Kwee-taijin, Nona ini tahu bahwa belasan tahun yang lalu puteri taijin lenyap diculik orang..."

"Ahh...!" Pembesar itu berseru kaget. "Kau tahu...? Di mana dia itu sebenarnya? Di mana anakku...?"

Kemudian pembesar ini sadar akan kegugupannya, maka dia segera bertepuk tangan memanggil pelayan, lalu katanya, "Pergi menghadap nyonya besar dan katakan bahwa aku minta ia datang ke ruangan depan sekarang juga."

Pelayan pergi dan keadaan hening kembali. Kini Kwee-taijin kembali menatap wajah Hui Kauw penuh perhatian dan seperti tadi, dia menjadi curiga dan ragu-ragu melihat wajah yang hitam itu karena sepanjang ingatannya, dia tidak mempunyai keluarga atau anak kemenakan yang berwajah hitam seperti nona ini.

"Kau betul-betul tahu tentang puteriku yang diculik orang itu?"

"Saya tahu betul, Taijin," jawab Hui Kauw perlahan dan di dalam hatinya nona ini berdoa semoga nyonya pembesar ini kalau memang betul-betul ibu kandungnya, akan mengenal dirinya.

Sementara itu, diam-diam The Sun dan Bhong Lo-koai telah siap siaga menjaga segala kemungkinan untuk melindungi pembesar itu dan isterinya, karena mereka pun merasa curiga kepada nona muka hitam itu. Dengan pandang mata tajam The Sun menatap wajah Hui Kauw dan melihat betapa wajah nona yang kehitaman itu mendadak menjadi pucat ketika terdengar langkah ringan dan halus dari sebelah dalam, langkah seorang wanita.

Benar saja, tak lama kemudian muncullah seorang wanita setengah tua yang masih amat cantik dan halus gerak-geriknya, tapi bermata sayu tanda penderitaan batin dan wajahnya yang pucat menandakan kesehatan yang buruk. Begitu melihat wajah nyonya ini, seketika Hui Kauw memandang dengan mata terbelalak dan ia seperti terkena pesona.

Inilah wajah yang sering kali dia lihat di dalam mimpi, dan sekaligus hatinya jatuh. Kasih sayang dan keharuan memenuhi hatinya, membuat dua matanya tak dapat menahan lagi bertitiknya dua air mata. Mulutnya serasa kering, lehernya serasa tercekik dan jantung di dalam dada meloncat-loncat.....

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar